Referat Henny Bab1-3

download Referat Henny Bab1-3

of 13

description

referat hpa axis dan system imun

Transcript of Referat Henny Bab1-3

BAB 1PENDAHULUAN

I.1 Latar BelakangSetiap orang pernah mengalami perasaan tertekan atau mengalami ketegangan yang dalam bahasa populernya dikenal dengan istilah stress. Sebab stress merupakan bagian dari kehidupan manusia, artinya bahwa manusia tidak akan pernah luput dari pengalaman merasakan ketegangan dalam hidupnya. Cara setiap individu dalam menyikapi kondisi stress pun berbeda-beda antara individu yang satu dan individu yang lainnya (Sukadiyanto, 2010).Stres merupakan kondisi dinamis tubuh dalam menghadapi berbagai stresor, baik stresor psikologis, fisis, biologis, lingkungan ataupun sosial yang dapat mempengaruhi sistem saraf serta sistem neuroendokrin yang pada akhirnya membangkitkan respons sistem imun (Wardhana, 2014).Pada awal tahun 1950 para ahli perilaku dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu menarik adalah hubungan antara stress dengan sistem kekebalan tubuh. Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antara perilaku, kerja saraf, fungsi endokrin, dan imunitas (Gunawan & Sumadiono, 2014). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa situasi stress dapat mengurangi berbagai aspek dari respon imun seluler. Studi para ahli dari Ohio State University menunjukkan bahwa stress psikologis mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan komunikasi antara sistem saraf, endokrin (hormon), dan sistem kekebalan tubuh. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi (Gunawan & Sumadiono, 2014).Berdasarkan dari hasil penelitian dan teori yang ada sebelumnya, penulis tertarik untuk mengetahui apakah terdapat hubungan stress dengan sistem imun dalam psikiatri.

I.2 Rumusan Masalaha. Apa yang dimaksud dengan Stres?b. Apa yang dimaksud dengan sistem imun?c. Apakah terdapat hubungan stress dengan sistem imun?d. Bagimana mekanisme stress dapat mempengaruhi sistem imun?

I.3 Tujuan a. Mengetahui apakah terdapat hubungan antara stress dengan sistem imun dalam psikiatrib. Mengetahui bagaimana proses stress dapat mempengaruhi sistem imun I.4 Manfaat a. Memberikan pengetahuan tentang hubungan stress dengan sistem imune. Menambah referensi dalam meningkatkan ilmu pengetahun

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

II.1 StresII.1.1 DefinisiStress adalah kondisi yang merupakan konsekuensi psikobiologik dari kegagalan organisme hidup untuk merespon secara berhasil guna setiap ancaman fisik ataupun emosional, baik yang merupakan ancaman aktual maupun imajinasi, yang berperan sebagai stressor (Kaplan & Saddock, 2010). Secara umum orang yang mengalami stress merasakan perasaan khawatir, tekanan, letih, ketakutan, depresi, cemas dan marah. Terdapat tiga aspek gangguan seseorang yang mengalami stress yaitu gangguan dari aspek fisik, aspek kognitif, dan aspek emosi. Gejala fisik yang dialami seseorang yang stress ditandai dengan denyut jantung yang tinggi dan tangan berkeringat, sakit kepala, sesak nafas, nausea, constipation, sakit punggung atau pundak, fatigue, gangguan tidur dan perubahan berat badan yang drastis. Secara aspek kognitif atau pikiran, stress ditandai dengan lupa akan sesuatu, sulit berkontrasi, cemas mengenai sesuatu hal, sulit untuk memproses informasi, dan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang negative terhadap diri sendiri. Dari aspek emosi, stress ditandai dengan sikap mudah marah, cemas dan cepat panik, ketakutan, sering menangis, dan mengalami peningkatan konflik interpersonal.

II.1.2 Faktor penyebab stressFaktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu : (Gunawan & Sumadiono, 2014)a. Stresor fisik biologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain.c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain. Stres dapat mengenai semua orang dan semua usia

Terdapat dua tipe stressor yaitu stressor yang berasal dari lingkungan internal dan lingkungan eksternal. (Gunawan & Sumadiono, 2014) a. External stressorPhysical environment misalnya kebisingan, cahaya yang berlebihan, suhu udara yang panas, dan kondisi ruangan yang sempitb. Internal stressorsStressor internal dapat disebabkan adanya pemilihan terhadap gaya hidup dan hambatan pribadi

II.1.3 Tingkatan Stres (Gunawan & Sumadiono, 2014)a. EustressEustress adalah stress positif yang terjadi ketika tingkatan stress cukup tinggi untuk memotivasi agar bertindak untuk mencapai sesuatu. Eustres adalah stress yang bai dan menguntungkan kesehatan seperti latihan fisik atau mencapai promosi. b. DistressDistress atau stress negative terjadi ketika tingkatan stress terlalu tinggi atau terlalu rendah dan tubuh dan pikiran mukai menanggapi stressor dengan negative. Distress merupakan stress yang mengganggu kesehatan dan sering menyebabkan ketidakseimbangan antara tuntutan stress dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan.

II.1.4 Fase pada StresSelye merangkum reaktivitas stress sebagai proses tiga fase yang disebut sebagai general adaptation syndrome, yaitu :a. Fase 1 : Alarm reactionPada tahap ini tubuh menunjukkan karakteristik perubahan-perubahan dari eksposur pertama stressor. Dalam waktu yang sama, rsistensi tubuh berkurang namun setelah dihadapi, perubahan-perubahan tadi akan kembali ke semula (Titik keseimbangannya). Bila stressor cukup kuat (seperti kebakanan hebat, temperatur yang ekstrim), kematian dapat terjadi.b. Fase 2 : Stage of resitanceResitensi terjadi jika eksposur stressor yang terus terjadi kompatibel dengan adaptasi. Signal-signal karakteristik alarm reaction tubuh secara virtual hilang, dan resitensi meningkat di atas tingkat nomalnya.c. Fase 3 : Stage of ExhaustionMenghadapi stressor yang sama terus-menerus, dimana tubuh telah berhasil menyesuaikan diri, pada akhirnya akan membuat energy adaptasi kelelahan (exhausted). Signal-signal alarm reaction muncul kembali, namun saat ini mereka tidak dapat dikembalikan seperti semula (ke titik keseimbangan, sehingga individu mengalami serious illness yang bisa membawa pada kematian.

II.2 Sistem ImunII. 2.1 DefinisiImunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Sistem imun merupakan sistem yang berfungsi untuk mencegah terjadinya kerusakan tubuh atau timbulnya penyakit (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).

II. 2.2 Pembagian Sistem ImunSistem imun terdiri atas : (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).a. Sistem imun nonspesifik (natural /innate/ native)Sistem imun nonspesifik dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sistem ini disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Komponen sistem imun nonspesifik terdiri atas pertahanan fisik dan mekanik, biokimiawi, humoral dan seluler. Dalam sistem pertahanan fisik dan mekanik kulit, mukosa, silia saluran nafas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke dalam tubuh. Adapun bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, telinga, spermin dalam semen mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. Pertahanan non spesifik humoral terdiri dari berbagai bahan seperti komplemen, interferon, fagosit (makrofag, neutrofil), tumor necrosis factor (TNF) dan C-Reactive protein (CRP). Komplemen berperan meningkatkan fagositosis (opsonisasi) dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit. Interferon menyebabkan sel jaringan yang belum terinfeksi menjadi tahan virus. Di samping itu interferon dapat meningkatkan aktifitas sitotoksik Natural Killer Cell (sel NK). Sel yang terinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan di permukaannya sehingga dikenali oleh sel NK yang kemudian membunuhnya.Natural Killer Cell (sel NK), adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai ciri sel limfoid dari sistem imun spesifik, sehingga disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel populasi ke tiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma.b. Sistem imun spesifik (adaptive / acquired)Sistem imun spesifik terdiri dari sistem imun spesifik humoral dan selular. Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B yang jika dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi (imunoglobulin). Selain itu juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC) (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). Sedangkan yang berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T yang berfungsi sebagai regulator dan efektor. Fungsi regulasi terutama dilakukan oleh sel T helper (sel TH, CD4+) yang memproduksi sitokin seperti interleukin-4 (IL-4 dan IL-5) yang membantu sel B memproduksi antibodi, IL-2 yang mengaktivasi sel-sel CD4, CD8 dan IFN yang mengaktifkan makrofag. Fungsi efektor terutama dilakukan oleh sel T sitotoksik (CD8) untuk membunuh sel-sel yang terinfeksi virus, sel-sel tumor, dan allograft. Fungsi efektor CD4+ adalah menjadi mediator reaksi hipersensitifitas tipe lambat pada organisme intraseluler seperti Mycobacterium tuberculosis.

Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun

II. 3 PsikoneuroimunologiMartin (1938) mengemukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu status emosi menentukan fungsi system kekebalan, dan stress dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap tubuh terhadap infeksi dan karsinoma. Dikatan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi berperan pada modulasi sIstem imun (Gunawan & Sumadiono, 2014).Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan istilah psikoneuroimunologi; yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan, neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak digunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stres terhadap berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.

II. 4 Stres dan Sistem imunStresor pertama kali ditampung oleh panca indera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti (Gunawan & Sumadiono, 2014).

II. 5 HPA AXIS HPA AXIS adalah Singkatan dariHPA =Hypothalamus-Pituitary-Adrenal.Sedang pengertian AXIS adalahSumbu / hubungan langsung. HPA AXISadalah bagian utama dari sistem Neuroendokrin (Saraf pada hormon) yang mengontrol reaksi terhadapStresdan pula memiliki fungsi penting dalam mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan tubuh ,suasana hati, emosi, seksualitas, dan penyimpanan penggunaan energi. Sumbu HPA juga terlibat dalam gangguan kecemasan, gangguan bipolar, pasca-traumatic stress disorder, depresi klinis, kelelahan dan sindrom iritasi usus besar.

II. 5.1 AnatomiElemen-elemen kunci dari sumbu HPA adalah:a. Paraventrikular dari hipotalamus, yang berisi neuron neuroendokrin yang mensintesis dan mengeluarkan vasopresin sertacorticotropin-releasing hormon(CRH).b. Secara khusus, CRH dan vasopresin merangsang sekresi hormone adrenokortikotropik(ACTH). ACTH pada gilirannya bekerja pada adrenal korteks yang menghasilkan hormon glukokortikoid (terutama kortisol pada manusia) dengan stimulasi ACTH.

CRH dan vasopresin yang dilepaskan dari terminal saraf neurosecretory dieminensia median. Mereka diangkut ke hipofisis anterior melalui sistem pembuluh darah portal dari tangkai hypophyseal. CRH dan vasopresin bertindak sinergis untuk merangsang sekresi ACTH yang tersimpan dari sel corticotrope. ACTH diangkut oleh darah ke korteks adrenal kelenjar adrenal, di mana ia cepat merangsang biosintesis kortikosteroid dari kolesterol.Kortisolmemiliki efek pada banyak jaringan dalam tubuh, termasuk pada otak. Di otak, kortisol bekerja pada dua jenis reseptor reseptormineralokortikoiddan reseptorglukokortikoid, dan ini diungkapkan oleh berbagai jenis neuron. Salah satu target penting dari glukokortikoid adalahhippocampus, yang merupakan pusat pengendali utama dari sumbu HPA.Pelepasan CRH dari hipotalamus dipengaruhi oleh stres, dengan tingkat kortisol darah dan oleh siklus tidur / bangun. Pada individu sehat, kortisol meningkat pesat setelah bangun tidur yang hingga mencapai puncaknya dalamwaktu 30-45 menit. Ini kemudian secara bertahap mengurangi sepanjang hari, naik lagi pada sore hari. Koneksi anatomis antara amigdala, hipokampus, dan hipotalamus memfasilitasi aktivasi dari sumbu HPA. Informasi sensorik tiba di aspek lateral amigdala diproses dan disampaikan ke inti pusat, yang proyek ke beberapa bagian otak yang terlibat dalam respon terhadap rasa takut. Peningkatan produksikortisolmenengahi reaksi alarm stres, memfasilitasi fase adaptif dari sindrom adaptasi umum di mana reaksi alarm ditekan, memungkinkan tubuh untuk mencoba penanggulangan.Glukokortikoidmemiliki fungsi penting, termasuk modulasi reaksi stres, tetapi bila berlebihan dapat merusak. Atrofi dari hippocampus pada manusia dan hewan terkena stres berat diyakini disebabkan oleh paparan yang terlalu lama untuk konsentrasi tinggi glukokortikoid. Kekurangan dari hippocampus dapat mengurangi sumber daya memori yang tersedia untuk membantu tubuh merumuskan reaksi yang tepat terhadap stres.Sumbu HPAterlibat dalam neurobiologi gangguan mood dan penyakit fungsional, termasuk gangguan kecemasan, gangguan bipolar, pasca-traumatic stress disorder, depresi klinis, kelelahan, sindrom kelelahan kronis dan sindrom iritasi usus besar. Penelitianeksperimentaltelah menyelidiki berbagai jenisstres, danefekmereka pada aksis HPA dalam situasi yang berbeda banyak. Stres bisa dari berbagai jenis, dalam studi eksperimental pada tikus, perbedaan sering dibuat antara stres sosial dan stres fisik, namun kedua jenis tetapmengaktifkan aksis HPA, meskipun melalui jalur yang berbeda. Beberapa neurotransmiter monoamina penting dalam mengatur sumbu HPA, terutama dopamin, serotonin dan norepinefrin (noradrenalin).

II. 6 Hubungan Stres dengan Sistem Imun Stres dan Sistem Imun Tubuh menerima berbagai input, termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stressor (Gunawan & Sumadiono, 2014).Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid umumnya disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena glukokortikoid dan steroid gonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steroid gonadal) Selain kenaikan kadar ACTH, beta endorfin, enkefalin dan katekolamin di peredaran darah juga terjadi penekanan aktifitas sel NK saat stres. Limfosit B dan limfosit T yang merupakan sel efektor respon imun diketahui mempunyai reseptor opioid yang berbeda, sehingga pengaturan kualitas maupun kuantitas opioid ini dapat mengatur respon imun. Pengaruh stres terhadap sistem imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T. Kecocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang. Beberapa penelitian imunologis menunjukkan stres menyebabkan penurunan respon limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con-A), aktifitas sel natural killer (NK) turun dan produksi interferon gama (IFN-) turun (Gunawan & Sumadiono, 2014).

II.7 Kerangka Konsep VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Sistem ImunStres

Bagan 1. Kerangka Konsep

II.7 HipotesisH0 :Tidak ada hubungan antara stress dengan sistem imun dalam PsikiatriH1 :Ada hubungan antara stress dengan sistem imun dalam Psikiatri

BAB IIIPENUTUP

III. 1 KesimpulanBerdasarkan hasil teori yang ada telah diuraikan bukti-bukti yang mendukung adanya interaksi dan hubungan antara saraf dan sistem imun. Beberapa fenomena menunjukkan bahwa sistem saraf mengontrol sistem imun, dan sebaliknya. Sensitivitas sistem imun terhadap stress. Stres dan Sistem Imun Tubuh merupakan konsekuensi tidak langsung dari proses pengaturan interaksi saraf pusat dengan sistem imun. Sistem imun menerima sinyal dari otak dan sistem neuroendokrin melalui sistem saraf autonom dan hormon, sebaliknya mengirim informasi ke otak lewat sitokin. Pengaruh stres terhadap sistem imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T. Bukti yang lain di antaranya adalah penurunan respon limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con-A), aktifitas sel natural killer (NK), Interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN-).

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, KG & Rengganis, I 2010, Imunologi Dasar Edisi ke 9, FKUI, JakartaGunawan, B & Sumadiono 2014, Suatu Pendekatan Psikoneurologi, Jurnal Kesehatan, Universitas Gajah Mada, YogyakartaKaplan H.I, Saddock B.J, Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri.Binarupa Aksara, JakartaLianasari, D 2009, Sumber Stres pada Pekerja, Skripsi, Universitas IndonesiaSukadiyanto, 2010, Stres dan Cara Menguranginya, Jurnal Cakrawala Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta, YogyakartaWardhana, M 2014, Psikoneurologi di Bidang Dermatologi, Jurnal Kesehatan Universitas Udayana, Bali

1

i 12