Untitled 1.Docx Henny

download Untitled 1.Docx Henny

of 23

description

nm

Transcript of Untitled 1.Docx Henny

Tabel 2.3.1Tipe-Tipe Antibodi BesertaKarakteristiknyaNo.TipeAntibodiKarakteristik1. IgMPertama kali dilepaskan ke aliran darah pada saatterjadi infeksi yang pertama kali (respons kekebalanprimer)2. IgGPaling banyak terdapat dalam darah dan diproduksisaat terjadi infeksi kedua (respons kekebalansekunder). Mengalir melalui plasenta dan memberikekebalan pasif dari ibu kepada janin.3. IgADitemukan dalam air mata, air ludah, keringat, danmembran mukosa. Berfungsi mencegah infeksi padapermukaan epitelium. Terdapat dalam kolostrum yangberfungsi untuk mencegah kematian bayi akibat infeksisaluran pencernaan

-Daily science, Indonesian language

Pengaruh Stress Terhadap Respon Imunitas Tubuh(kesimpulan) Dalam menghadapi stressor, terjadi perubahan-perubahan fisiologik yang membantu individu untuk melawan stressor tersebut. Respon terhadap stress yang berjalan kronik melibatkan Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis (HPA Axis) dan symphatetic-adrenal-medullary axis (SAM Axis) dengan hasil akhir produksi hormon glukokortikoid dan katekolamin yang berjalan kronis. Reseptor glukokortikoid diekspresikan oleh bermacam-macam sel imun yang akan mengikat kortisol bekerjasama dengan fungsi NF-kB yang mengatur produksi sitokin sel-sel imun. Reseptor adrenergik mengikat epinefrin dan norepinefrin dan mengaktifkan respon cAMP yang akan menginduksi transkripsi gen-gen yang mengkode bermacam-macam sitokin. Perubahan ekspresi gen diperantarai hormon-hormon glukokortikoid sedangkan katekolamin dapat mengacaukan pengaturan fungsi imun. Sekarang terdapat banyak bukti baik dari penelitian hewan maupun manusia bahwa kekacauan sistem imun yang diakibatkan stress cukup berpengaruh terhadap kesehatan.

Penelitian mengenai kekacauan sistem imun yang diakibatkan stress banyak menarik para peneliti dan klinisi dalam bidang psikoneuroimunologi. Bidang ini memfokuskan interaksi sistem saraf pusat (SSP), sistem endokrin dan sistem imun dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Modulasi respon imun di SSP dipengaruhi jaringan signal-signal kompleks yang berfungsi melakukan komunikasi dua arah antara saraf, endokrin dan sistem imun. Dua jalur utama yang dapat merubah fungsi imun adalah Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis (HPA Axis) dan symphatetic-adrenal-medullary axis (SAM Axis).

Limfosit, monosit atau makrofag dan granulosit memiliki reseptor untuk produkproduk neuroendokrin dari aksis HPA dan SAM, seperti kortisol dan katekolamin yang dapat menyebabkan perubahan komunikasi seluler, proliferasi, sekresi sitokin, produksi antibodi dan aktivitas sitolitik. Misalnya pemberian katekolamin invitro pada peripheral blood leukocytes (PBLs) dapat menekan sintesis IL-12 dan meningkatkan produksi IL-10. Ini dapat menyebabkan pergeseran fenotip T helper CD4 + dari Th1 yang berfungsi dalam imunitas seluler ke Th2 yang melibatkan produksi antibodi. Penelitian yang dilakukan Marshall terhadap mahasiswa yang stress karena ujian (stress akademik) menunjukkan bahwa stress psikologis akan menyebabkan pergeseran keseimbangan sistem imun ke Th2. Data menunjukkan penurunan sintesis sitokin Th1 termasuk interferon-g (IFN-g), dan peningkatan sitokin Th2 termasuk IL-10. Sehingga dipercaya bahwa stress akan menyebabkan penurunan sitokin Th1 yang akhirnya mengacaukan respon imunitas seluler.

Keadaan stress baik mayor maupun minor dapat memberikan efek pada berbagai mekanisme imunologi. Penelitian pada binatang dan manusia memberikan keyakinan akan bukti bahwa kesehatan sangat dipengaruhi oleh perubahan sistem kekebalan. Untuk membuktikan hubungan sebab akibat antara stress psikologis dengan terjadinya penyakit infeksi, para peneliti menginokulasi subyek dengan berbagai type vaksin yang berbeda. Sebagi contoh, diantara mahasiswa kedokteran yang mengikuti ujian, stress dan derajat dukungan sosial mempengaruhi antibodi spesifik virus dan respon sel T terhadap vaksin Hepatitis B. 49 Sebagai tambahan, stress kronik pada seseorang yang merawat pasangan dengan penyakit alzheimer berhubungan dengan rendahnya respon antibodi terhadap influenza bila dibandingkan yang pasangannya normal. Sehingga dari penelitian penggunaan vaksin ini disimpulkan bahwa stress akan menempatkan sesorang pada risiko yang lebih besar untuk terjadinya sakit berat.

Meskipun lebih dari 150 penelitian klinis telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa stress dapat mengubah fungsi imun dan mempunyai andil pada buruknya kesehatan, tetap saja penelitian pada manusia memiliki keterbatasan untuk menunjukkan hubungan secara lebih jelas karena masalah

praktis dan keterbatasan etik. Penelitian pada hewan coba mendukung penemuan-penemuan pada penelitian manusia dan dapat menjelaskan secara luas mekanisme dasar keilmuannya. Penelitian pada binatang memungkinkan pengamatan efek dari berbagai variasi stressor daalam patofisiologinya dan pemberian agen-agen infeksius pada berbagai macam tempat anatomi. Hal-hal seperti ini tentu saja tidak dapat dilakukan pada manusia. Sehingga penelitian dengan model hewan coba dapat digunakan sebagai alat untuk menjelaskan analisa secara komprehensif interaksi neuroendokrin-sistem imun dalam berbagai kondisi eksperimental. Melengkapi hasil-hasil penelitian pada manusia, data-data hasil penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa stress akan menurunkan respon terhadap vaksin, terjadinya eksaserbasi patogen virus dan bakterial, penyembuhan luka yang lambat dan perubahan penyakit autoimun.

Hipothalamus menerima dan memonitor informasi lingkungan dan mengkoordinasikan respon melalui saraf dan hormon. Bagian emosi di otak juga memberikan informasinya ke hipothalamus. Melalui integrasi ini otak mengendalikan sekresi hormon dari glandula hypofise dan jaringan lain seperti glandula adrenal. Misalnya corticotropin releasing hormone (CRH) disekresikan oleh nukleus paraventrikular hipothalamus ke aliran darah porta hipofise dan akhirnya merangsang ekspresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) di glandula hipofise anterior. ACTH akan masuk dalam sirkulasi untuk mencapai glandula adrenal yang akhirnya akan menghasilkan hormon glukokortikoid (GC= Glucocrticoid). Glukokortikoid akan mempengaruhi fungsi kardiovaskuler dan ginjal, metabolisme dan bersama-sama dengan sistem saraf mengatur respon kita terhadap lingkungan. Sebagai salah satu core stress response, produksi hormon GC dari korteks adrenal akan merangsang metabolisme glukosa untuk menyediakan energi yang dibutuhkan dalam melarikan diri atau melawan tantangan yang terjadi tiba-tiba. Akan tetapi bila aktivasi ini berjalan kronis justru akan menyebabkan efek yang buruk pada kesehatan dan memperberat penyakit yang sudah ada. Sejak tahun 1940 dan 1950an, hormon glukokortikoid banyak digunakan secara klinis karena efek yang sangat kuat dan tak terpisahkan sebagai anti inflamasi. Hormon glukokortikoid dapat mengatur bermacam-macam fungsi sel imunitas secara luas. Hormon ini dapat mengatur ekspresi sitokin, ekspresi kemotraktan, ekspresi molekul-molekul adhesi dan komunikasi sel-sel imun, proliferasi dan fungsi efektor.

Hormon glukokortikoid dapat menembus membran plasma seluruh sel-sel tubuh. Ada dua reseptor glukokortikoid yaitu GC receptor (GR) dan Mineralocorticoid Receptor (MR). Pada kadar sirkulasi glukokortikoid yang rendah, GC lebih banyak berikatan dengan MR karena kortikosteron mempunyai afinitas yang tinggi terhadap MR dibandingkan GR. Pada kadar glukokortikoid yang tinggi dalam sirkulasi (misalnya pada keadaan stress) barulah berikatan dengan GR. Sel-sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit T, reseptor primernya terhadap glukokortikoid adalah GR, sehingga pengaruh glukokortikoid terhadap sistem imun diperantarai oleh GR. Hormon glukokortikoid dapat berinterferensi dengan aktivitas NF-kB. Hormon ini dapat mengaktifkan inhibitor NF-kB. GC menginduksi IkBa yang menyebabkan sekuestrasi NF-kB di dalam sitoplasma dan menghalangi terjadinya translokasi ke dalam nukleus untuk menginduksi aktivasi gen. Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh makrofag dan sel T helper berada di bawah kontrol NF-kB, sehingga dengan menghambat transkripsi NF-kB akan menghentikan gen-gen pembuat sitokin secara simultan. Memang mekanisme ini belum jelas benar sehingga masih terjadi kontroversi mengenai pengaruh hormon glukokortikoid ini.

Regulasi sistem imun pada keadaan stress juga dipengaruhi oleh katekolamin yang mengatur fungsi-fungsi imunologis seperti proliferasi sel, produksi sitokin dan antibodi, aktivitas sitolitik dan komunikasi sel. Katekolamin sering bekerja bersama-sama dengan diaktifkannya HPA axis. Sebagai contoh, bersamaan dengan peningkatan hormon glukokortikoid dari korteks adrenal, aktivasi HPA axis juga akan meningkatkan produksi katekolamin dari medula adrenal. Sel-sel di medula adrenal mensintesa dan mensekresikan nordrenalin dan adrenalin. Pada manusia, 80% katekolamin yang dikeluarkan dari medula adalah adrenalin. Noradrenalin dilepaskan dari serabut-serabut saraf simpatis secara langsung di dekat jaringan target. Apabila diaktivasi secara akut, sistem katekolaminergik akan memperkuat tubuh dalam menghadapi tantangan yang datang tiba-tiba. Secara tipikal dikatakan bahwa aktivasi sistem katekolaminergik akan memberi kestabilan mamalia primitive dalam bereaksi untuk lari atau menghadapi tantangan dengan meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan aliran darah ke otot-otot skelet. Bila aktivasi SAM ini berlangsung kronis maka akan terjadi disregulasi sistem imun. Hubungan dari sistem saraf simpatik terhadap sistem imunitas didukung dari penelitian bahwa serabut-serabut saraf simpatis berjalan dari SSP menuju organ-organ limfoid baik primer maupun sekunder.

Katekolamin memberikan efeknya pada jaringan target melalui reseptor-reseptor adrenergik dan banyak sel-sel sistem imun termasuk limfosit dan makrofag yang mengekspresikan adrenoreseptor. Reseptor-reseptor ini adalah protein G yang terdiri dari 2 subgrup yaitu reseptor adrenergik a dan b. Yang penting dalam sistem imun adalah reseptor adrenergik b2. Reseptor ini berfungsi sebagai perantara jalur signaling transmembran yang melibatkan reseptor, protein G dan efektor. Terikatnya katekolamin pada reseptor akan mengaktifkan adenilat siklase sehingga disintesa cAMP. cAMP akan memacu transkripsi gen setelah fosforilasi faktor-faktor transkripsi oleh protein kinase A yang tergantung c AMP (cAMP-dependent protein Kinase A=PKA). Hasilnya akan diekspresikan banyak sekali gen-gen yang bertanggungjawab terhadap respon imun. Ekspresi gen ini dapat dipengaruhi oleh produksi katekolamin selama stress.

PUSTAKA

Elemkov IJ and Chrousos GP. Stress hormones, Th1/th2 paterns, Pro/Anti-inflamatory Cytokines and susceptibility to disease. TEM 1999;10(9):359-68.

Padgett DA, Glaser R. How Stress influences the immune response. TRENDS in immunology August 2003; 24(8): 444-8

Madden KS and Livnat S. Catecholamine action and immunologic reactivity. In: Ader R editor. Psychoneuroimmunology, 2nd ed. Academic Press,1991.

Kiecolt-Glaser JK, Glaser R, Gravenstein S, Malarkey WB, Sheridan J. Chronic stress alters the immune response to influenza virus vaccine in older adults. Proc Natl Acad Sci U S A. 1 996;93 :3043 -7.

Vedhara K, Cox NKM, Wilcock GK, et al. Chronic stress in elderly caregivers of dementia patients and antibody response to influenza vaccination. Lancet. 1 999;353:627-63 1.

McCabe PM. Animal models of disease. Physiol Behav 2000;68: 501-7

Padgett DA. Restraint stress slows cutaneous wound healing in mice. Brain Behav Immun 1998; 12: 64-73

Teunis MA. Maternal deprivation of rat pups increases clinical symptoms of experimental autoimmune encephalomyelitis adult age. J Neuroimmunol 2002; 133: 30-8

Dowdell, K.C. et al. Neuroendocrine modulation of chronic relapsing experimental autoimmune encephalomyelitis: a critical role for the hypothalamic-pituitary-adrenal axis. J Neuroimmunol 1999; 100: 243-51

Elenkov IJ and Chrousos GP. Stress hormones, proinflammatory and antiinflammatory cytokines, and autoimmunity. Ann N Y Acad Sci 2002; 966: 290-303

Russo-Marie F. Macrophages and the glucocorticoids. J Neuroimmunol 1992; 40: 281-6

Li Q and Verma IM. NF-kB regulation in the immune system. Nat Rev Immunol 2002; 2: 725-34.

Sanders VM and Kohm AP. Sympathetic nervous system interaction with the immune system. Int Rev Neurobiol 2002; 52: 17-41

Madden KS. Catecholamines, sympathetic innervation, and immunity. Brain Behav Immun 2003; 17 (Suppl 1): 5-10

Carrasco GA and Van de Kar LD. Neuroendocrine pharmacology of stress. Eur J Pharmacol 2003; 463: 235-72

Goldfien A. Adrenal medulla. In: Greenspan FS and Gardner DG editors. Basic and Clinical Endocrinology. New york: Lange Medical Books, McGraw-Hill; 2001. p 399-421,

Madden KS. Catecholamines, sympathetic innervation, and immunity. Brain Behav Immun 2003; 17 (Suppl 1): 5-10

Gilman AG. G proteins: transducers of receptor-generated signals. Annu Rev Biochem 1987; 56: 615-49Artikel Lainnya:

2008LaporanPenelitian.com-Daily science, Indonesian language www.kesimpulan.com/2009/05/pengaruh-stress-terhadap-respon.html

TINJAUAN KEPUSTAKAANStres dan Sistem Imun Tubuh:Suatu PendekatanPsikoneuroimunologiBambang Gunawan*, Sumadiono**Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, YogyakartaSub Bagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, YogyakartaABSTRAKKondisi sehat dapat dipertahankan karena individu mempunyai ketahanan tubuh yang baik. Stres terjadi karena tidak adekuatnya kebutuhan dasar manusia yang akan dapat bermanifes pada perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. Paradigma yang banyak dianut pada saat ini adalah memfokuskan pada hubungan antara perilaku, sistem saraf pusat (SSP), fungsi endokrin dan imunitas. Responsivitas sistem imun terhadap stres menjadi konsep dasar psikoneuro-imunologi. Mekanisme hubungan tersebut diperantarai oleh mediator kimiawi seperti glukokortikoid, zat golongan amin dan berbagai polipeptida melalui aksis limbik hipotalamus-hipofisis-adrenal yang dapat menurunkan respon imun seperti aktifitas sel natural killer (NK), interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN). Kata kunci: Psikoneuroimmunologi stres stresor sistem imun glukokortikoid

PENDAHULUANStres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan sehari-hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses modernisasiyang biasanya diikuti oleh proliferasi teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar individu yang makin berat(1,2)Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan perilaku dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu menarik adalah hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh. Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antara perilaku, kerja saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi(5,6,9).STRES DAN STRESORDalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. (1,2,5,10,12)Teori stres bermula dari penelitian Cannon (1929) yang kemudian diadopsi oleh Meyer (1951) yang melatih para dokter untuk menggunakan riwayat hidup penderita sebagai sarana diagnostik karena banyak dijumpai kejadian traumatik pada penderita yang menjadi penyebab penyakitnya(11).Hans Selye (1956) dalam penelitiannya menggunakan stimulus untuk menimbulkan reaksi fisiologik yang ia sebut GAS (General Adaptation Syndrome). Menurut teorinya stresor fisik maupun psikologik akan mengakibatkan 3 tingkatan gejala adaptasi umum; tahap reaksialarm (alarm reaction), resistensi (resistance) dan tahap kehabisan tenaga (exhaustion).(1,11).Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu :a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain. Cermin Dunia Kedokteran No. 154, 2007 13Stres dan Sistem Imun Tubuhb. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain.c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain. Stres dapat mengenai semua orang dan semua usia (1,10,11).Wheaton (1983) membedakan stres akut dan kronik sedangkan Holmes dan Rahe (1967) menekankan pembagian pada jumlah stres (total amount of change) yang dialami individu yang sangat berpengaruh terhadap efek psikologiknya. Ross dan Viowsky (1979) dalam penelitiannya berpendapat, bahwa bukan jumlah stres maupun beratnya stres yang mempunyai efek psikologik menonjol akan tetapi apakah stres tersebut diinginkan atau tidak diinginkan (undesirable) yang mempunyai potensi besar dalam menimbulkan efek psikologik(10,11,13)Stres baik ringan, sedang maupun berat dapatmenimbulkan perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku (1,5,14).SISTEM KEKEBALAN TUBUHKeutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas sistem imun nonspesifik (natural /innate/ native) dan spesifik (adaptive / acquired) (7,8).Sistem imun nonspesifikSistem imun nonspesifik dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sistem ini disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Komponen sistem imun nonspesifik terdiri atas pertahanan fisik dan mekanik, biokimiawi, humoral dan seluler (8).Dalam sistem pertahanan fisik dan mekanik kulit, mukosa, silia saluran nafas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke dalam tubuh. Adapun bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, telinga, spermin dalam semen mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi (15)Pertahanan non spesifik humoral terdiri dari berbagai bahan seperti komplemen, interferon, fagosit (makrofag, neutrofil), tumor necrosis factor(TNF) dan C-Reactive protein (CRP) (7).Komplemen berperan meningkatkan fagositosis (opsonisasi) dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit. Interferon menyebabkan sel jaringan yang belum terinfeksi menjadi tahan virus. Di samping itu interferon dapat meningkatkan aktifitas sitotoksik Natural Killer Cell (sel NK). Sel yang terinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan di permukaannya sehingga dikenali oleh sel NK yang kemudianMembunuhnya (7,8).Natural Killer Cell (sel NK), adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai ciri sel limfoid dari sistem imun spesifik, sehingga disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel populasi ke tiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma (7,8,15).Fagosit atau makrofag dan sel NK berperanan dalam sistem imun nonspesifik seluler. Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat, yaitu kemotaksis, menangkap, memakan (fagositosis), membunuh dan mencerna (15).Sistem imun spesifikSistem imun spesifik terdiri dari sistem imun spesifik humoral dan selular. Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B yang jika dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi (imunoglobulin). Selain itu juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC) ( 7,8,15).Sedangkan yang berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T yang berfungsi sebagai regulator dan efektor. Fungsi regulasi terutama dilakukan oleh sel T helper (sel TH, CD4+) yang memproduksi sitokin seperti interleukin-4 (IL-4 dan IL-5) yang membantu sel B memproduksi antibodi, IL-2 yang mengaktivasi sel-sel CD4, CD8 dan IFN yang mengaktifkan makrofag. Fungsi efektor terutama dilakukan oleh sel T sitotoksik (CD8) untuk membunuh sel-sel yang terinfeksi virus, sel-sel tumor, dan allograft. Fungsi efektor CD4+ adalah menjadi mediator reaksi hipersensitifitas tipe lambat pada organisme intraseluler seperti Mycobacterium tuberculosis (7,8,9,15).Pada keadaan tidak homeostasis, bangkitnya respon imun ini dapat merugikan kesehatan, misal pada reaksi autoimun atau reaksi hipersensitifitas (alergi). Beberapa penyakit seperti diabetes melitus, sklerosis multipel, lupus, artritis rematoid termasuk contoh penyakit autoimun. Kondisi ini terjadi jika sistem imun disensitisasi oleh protein yang ada dalam tubuh kemudian menyerang jaringan yang mengandung proteintersebut. Mekanisme terjadinya masih belum jelas (8,9,15).PSIKONEUROIMUNOLOGIMartin (1938) mengemukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu (1). status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan, dan (2). stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma. Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi berperan pada modulasi sistem imun (16).Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan istilah psikoneuroimunologi; yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan, neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak digunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stres terhadap berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma (5,6,16).Interaksi antara stres dengan sistem ImunStresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti (5,16,17).Aksislimbic-hypothalamo-pitutary-adrenal (LHPA) Cermin Dunia Kedokteran No. 154, 200714Stres dan Sistem Imun Tubuh menerima berbagai input, termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleusparaventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya.Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis danmelepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stressor (3,6,18,19).Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid umumnya disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena glukokortikoid dan steroidgonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid gonadal) (3,6)Karena rasio estrogen androgenberubah maka stres menyebabkan efek yang berbeda pada wanita dibanding pria. Pada penelitian binatang percobaan, stres menstimulasi respon imun pada betina tetapi justru menghambat respon tersebut padajantan.19Suatu penelitianmenggunakan 63 tikus menunjukkan kadar testosteron serum meningkat bermakna dan berahi betina terhadap pejantan menurun(20).Selain kenaikan kadar ACTH, beta endorfin, enkefalin dan katekolamin di peredaran darah juga terjadi penekanan aktifitas sel NK saat stres. Blalock (1981) melaporkan bahwa limfosit yang mengalami infeksi virus dapat menghasilkan hormon imunoreaktif (ir), antara lain irACTH, ir endorfin, irTSH dan limfokin yang sangat mirip dengan hormon sejenis yang dihasilkan di luar limfosit. Limfosit B dan limfosit T yang merupakan sel efektor respon imun diketahui mempunyai reseptor opioid yang berbeda, sehingga pengaturan kualitas maupun kuantitas opioid ini dapat mengatur respon imun. Pengaruh stres terhadap sistem imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T. Kecocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang (5,9).Beberapa penelitian imunologis menunjukkan stres menyebabkan penurunan respon limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con-A), aktifitas sel natural killer (NK) turun dan produksi interferon gama (IFN-) turun (4,5,19,22)Glaser etal melaporkan adanya penurunan aktifitas Natural Killer Cell (sel NK) dan produksi Interferon Gamma (IFN-) pada mahasiswa kedokteran yang sedang menjalani ujian. Dilaporkan juga bahwa pada mahasiswa yang mengalami stres pada saat menjalani ujian terjadi penurunan IL-2R mRNA (1992); sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres akibat masalah akademis dapat memodulasi interaksi sel imunokompeten (4,5,16,25).Penelitian Uchakin dkk. (2003) pada 15 pelari maraton pria menunjukkan peningkatan signifikan granulosit, sel MID, dan limfopenia beberapa saat setelah maraton. Sekresi IL-2 dan interferon turun pada 0 dan 1 jam setelah lari sedangkan sekresi TNF-turun pada 0 jam dan tetap rendah setelah 5 hari. Sekresi IL-6 turun pada 24 dan 48 jam dan konsentrasi ACTH, kortisol, endorfin dan GH mencapai puncak pada 0 dan 1 jam (23).Lebih menarik lagi adalah pengaruh stres (eksperimental) terhadap organ atau jaringan tubuh tertentu. Contohnya pemberian syok elektris (electric footshock) intensitas rendah akan meningkatkan produksi antibodi saluran pernafasan tikus. Mekanismenya adalah melalui proses hambatan makrofag alveolar yang bersifat supresif (21).Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkatStres kronik dengan tingginya kadar glukokortikoidbiasanya akan menurunkan berat badan tikus, tetapi kebalikannya, stres kronik pada manusia dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan. Orang depresi yang banyak makan mengalami penurunan kadar CRF serebrospinal, konsentrasi katekolamin dan aktivitas sistem hipotalamo-pituitari-adrenal. Efek glukokortikoid (GCs) sebagai hasil sekresi adrenokortikotropin sangatlah kompleks; secara akut (dalam beberapa jam), glukokortikoid langsung akan menghambat aktifitas aksis hipothalamo-pituitari-adrenal, tetapi pada yang kronik (setelah beberapa hari) steroid di otak secara langsung akan terpacu (21).Salah satu faktor yang tampaknya penting adalah kemampuan individu untuk dapat mengendalikan stres. Persepsi pengendalian memperantarai pengaruh stres pada sistem imun manusia. Dalam satu penelitian tentang efek perceraian, pasangan yang memiliki kendali lebih besar terhadap masalah ini memiliki kesehatan yang lebih baik dan menunjukkan fungsi sistem imun yang lebih baik. Demikian pula, penelitian terhadap wanita dengan kanker payudara menemukan bahwa pasien yang pesimistik memiliki kemungkinan lebih besar mengalami tumor baru dalam periode lima tahun, bahkan setelah keparahan fisik penyakit mereka diperhitungkan (1,5)Karena konsep onkogen sudah diterimasecara luas, dan sudah digunakan sebagai indikator diagnosis, maka konsep psikoneuroimunologi ini akan menjadi ladang baru yang menarik bagi para peneliti kanker khususnya dan berbagai penyakit pada umumnya.KESIMPULANTelah diuraikan bukti-bukti yang mendukung adanya interaksi dan hubungan antara saraf dan sistem imun. Beberapa fenomena menunjukkan bahwa sistem saraf mengontrol sistem imun, dan sebaliknya. Sensitivitas sistem imun terhadap stres Cermin Dunia Kedokteran No. 154, 2007 15Stres dan Sistem Imun TubuhCermin Dunia Kedokteran No. 154, 200716 merupakan konsekuensi tidak langsung dari proses pengaturan interaksi saraf pusat dengan sistem imun. Sistem imun menerima sinyal dari otak dan sistem neuroendokrin melalui sistem saraf autonom dan hormon, sebaliknya mengirim informasi ke otak lewat sitokin. Bukti yang sudah jelas di antaranya adalah penurunan respon limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con-A), aktifitas sel natural killer (NK), Interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN-). Pendekatan psikoneuroimunologi akan sangat bermanfat untuk mengungkap patogenesis, dan memperbaiki prognosis suatu penyakit.

SIKONEUROIMUNOLOGI DI BIDANG DERMATOLOGIMade WardhanaBagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unud/RS Sanglah, Denpasar, Bali.ABSTRAKPsikoneuroimunologi (PNI) adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang mengkaji interaksi antara faktor stress psikologis yang mempengaruhi respon imun, pengaruh stres psikologis terhadap perubahan respons imun serta manifestasi berbagai penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Secara umum, stres psikologis dapat memicu pelepasan hormon stres misalnya glukokortikoid dan katekolamin yang pada akhirnya mempengaruhi respons imun melalui beberapa jalur. Jalur pertama, melalui sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA), dengan sintesis corticotropin-releasing hormone (CRH) oleh hipothalamus yang akan merangsang pelepasan adenocorticotropine hormone (ACTH) oleh hipofise anterior (pituitary), dan stimulasi pelepasan kortikosteroid oleh korteks adrenal. Kortikosteroid merupakan hormon yang penting dalam menekan sistem imun. Jalur kedua, melalui sumbu simpatiko-adrenal medularis (SAM), stresor psikologis akan merangsang sistem adrenergik di saraf pusat, serat saraf pascasinaptik simpatis dan medula adrenal yang akan melepaskan katekolamin. Katekolamin akan mempengaruhi keseimbangan sel Th1/Th2, terjadi pengalihan ke sel Th2 sehingga peran imunitas humoral lebih dominan. Jalur ketiga, melalui sumbu CRH-sel mast, CRH yang dilepas hipotalamus dapat mempengaruhi sel mast melalui reseptor CRHR1 di permukaan sel mast, sehingga terjadi degranulasi sel mast dengan pelepasan histamin dan mediator peradangan lainnya.Jalur lain melalui neuropeptid yaitu substance P dan neuropeptid Y berefek langsung terhadap sel imun. Selama dekade terakhir telah diketahui bahwa stresor psikologis akut maupun kronis dapat menekan sistem imunitas seluler dan meningkatkan imunitas humora. Hal ini dapat menerangkan kekambuhan atau bertambah beratnya beberapa penyakit kulit seperti dermatitis atopik, psoriasis, urtikaria, sistemik lupus eritematosus sistemik, herpes simpleks dan sebagainya.Kata kunci: Psikoneuroimunologi, stresor psikhis, respons imun, penyakit kulit.ABSTRACTPsychoneuroimmunology (PNI) is the study of interactions between psychological factors influence immune function responsse, how a psychological stressor influence the changes immune responsses and their various manifestasion of the immune mediated disease including skin disease. The Psycho as a psychological aspect, the Neuro as a central nervous system aspect and endocrine system, and the Immunology reffers immune responsse against infection and antigens that enter the body. In general, psychological stressor will stimulate release of stress hormones such as glococorticoids and cathecolamines (epinephrine and nor-epinephrine) and then will influence immune responsse through many pathway. The first line, through hypothalamus-pituitary adrenal axis (HPA axis) and release corticotropin-releasing hormone (CRH) by hypothalamus will stimulate production and realese adenocorticotropine hormone (ACTH) by anterior pituitary gland, finally this hormone will stimulate adrenal cortex to release glucocorticoid. Glucocorticoid is an important hormone as immunosupressive effect. The second line, through sympathico-adrenal-medulla axis (SAM axis) will stimulate release of cathecolamine from medulla adrenal and post synaptic sympathetic nerves. Cathecolamine will affect supress of Th1 responsse and shift toward Th2 responsse, with result dominate role of humoral immunity. The third line, through CRH-Mast Cell axis, CRH from hypothalamus will binding to mast cell via CRHR1 receptors on mast cell surface, lead to degranulation of mast cell and releasing histamine and other inflammation mediators. The other pathway, neuro peptide; substance P, neuropeptide Y, have directly affect on immune cell. During last decade have been known that acute, and chronic stressor might supress cellular immunity and generate humoral immunity. These finding can explain the important role of exacerbation and progression of various skin diseases such as; atopic dermatitis, psoriasis, urticaria, herpes simplex, systemic lupus, etc.Key word: Psychoneuroimmunology, psychological stressor, immune responsse, skin disease.PENDAHULUANPsikoneuroimunologi (PNI) adalah cabang ilmu kedokteran yang mengkaji interaksi antara faktor psikologis, sistem saraf dan sistem imun melalui modulasi sitem endokrin. Cabang ilmu ini relatif baru, karena baru berkembang sejak dua dekade yang lalu dan telah banyak memberikan kontribusi kepada ilmu kedokteran umumnya. Stresor psikologis yang diterima di otak melalui sistem limbik kemudian diteruskan ke hipothalamus ditanggapi sebagaistress perceptiondan kemudian diterima sistem endokrin sebagaistress responses. Saat ini PNI telah berkembang dengan pesat dan banyak peneliti dapat menjelaskan peran stres psikologis dalam patobiologi beberapa penyakit. Respon stres berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh yang dikenal sebagai homeostatis.1,2Komunikasi antara sistem saraf pusat (SSP) dengan jaringan limfoid primer dan sekunder dimediasi secara anatomis melalui serat saraf yang menginervasi jaringanlimfoid seperti kelenjar limfe regional maupun kelenjar thymus dan juga melalui mediator neurotransmiter dan neuropeptid. Telah dibuktikan bahwa organ limfoid primer seperti sumsum tulang, timus dan kelenjar limfe di persarafi oleh serat saraf simpatik. Demikian pula, sel limfoid mempunyai reseptor terhadap berbagai hormon dan neurotransmiter yang dilepaskan oleh sel saraf dan kelenjar endokrin. Demikian komunikasi ke dua sistem tersebut dapat terjadi timbal balik.2,3Konsep hubungan antara stres dengan penyakit(tubuh) telah ada sejak era Hipocrates yang mengatakan bahwa kesalah besar para dokter adalah memisahkan antara badan dan pikiran. Rene Descrates (1650) yang menyatakan pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing percobaannya membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan dengan lonceng maka asam lambung keluar tanpa melihat makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, menkaji secara ilmiah dengan mengemukakan teori homeostatis dan teori fight or flight. Hans Selye (1936) memperkenalkan respon biologis dan fisiologis dari stres melalui teori General Adaptation Syndrome. Istilah Psikoneuroimunologi pertama kali di perkenalkan oleh Dr. Robert Ader (1975), yang mengungkapkan terjadi suatulearning processtubuh sehingga tubuh merespon stres dengan melibatkan multiorgan.3Stres merupakan kondisi dinamis tubuh dalam menghadapi berbagai stresor, baik stresor psikologis, fisis, biologis, lingkungan ataupun sosial yang dapat mempengaruhi sistem saraf serta sistem neuroendokrin yang pada akhirnya membangkitkan respons sistem imun. Seperti juga organ lainnya, kulit juga dapat berfungsi sebagai cermin keadaan mental dan psikologis seseorang. Sejak lama telah diketahui bahwa beberapa penyakit kulit dapat dicetuskan atau diperberat oleh stresor termasuk stresor psikologis misalnya, dermatitis atopik, urtikaria kronis, psoriasis, akne vulgaris, alopesia, lupus eritematosus sistemik dan sebagainya.4,5Sejak dua dekade terakhir, telah diketahui bahwa sistem saraf dan sistem endokrin dapat mengendalikan respons imun. Demikian juga sebaliknya, sistem imun dapat mempengaruhi sistem saraf dan sistem endokrin. Hubungan timbal balik antara ketiga sistem besar tersebut terjadi karena terdapat sistem komunikasi yang diperantarai oleh serabut saraf, neurokimiawi dan sitokin. Komunikasi tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan tubuh (homeostatis). Pada awal perkembangan embriologis, organ sistem imun primer maupun sekunder dipersarafi oleh ujung saraf otonom, demikian juga sebaliknya, sel-sel imun mampu mensintesis beberapa jenis neurotransmiter dan neuropeptida dan sel saraf dapat memproduksi sitokin atau mediator yang lain.Tulisan ini akan membahas secara singkat peran PNI pada patofisiologi beberapa penyakit kulit yang sering dijumpai, terutama penyakit yang berdasarkan atas respons imun dan hipersensitivitas.PENGARUH HORMON STRES TERHADAP RESPONS IMUNStimulus stres pertama kali diterima oleh sistim limbik di otak yang berperan sebagai regulasi stres, perubahan neurokimiawi yang terjadi selanjutkan akan mengaktivasi beberapa organ lain dalan sistem saraf pusat untuk selanjutnya akan membangkitkan respon stres secara fisiologis, selular maupun molekular. Stresor dapat memacu respons imun tubuh terhadap berbagai stimulus yang dapat mengganggu kemampuan kompensatorik tubuh dalam upaya mempertahankan homeostatis. Stresor telah diketahui dapat merangsang sistem tubuh untuk memproduksi hormon stres utama yaitu glukokortikoid, epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin, beta endorfin dan sebagainya. Respon stress tersebut akan membangkitkan suatu rentetan reaksi melalui beberapa sumbu (axis), dalam upaya menjaga homeostasis, ada 5 sumbu utama respons stres adalah; 1. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA axis), 2. Sumbu Simpato-adrenal-medulari (SAM), 3, Sumbu CRH-Sel Mast, 4. Melalui Neuropeptid, 5. Sumbu Hipotalamus-Pituitary-Tiroid, Sumbu HPA- Sistem reproduksi.4,51. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA axis)Jalur pertama adalah aktivasi sumbu HPA melalui neuron dalam nukleus paravestibuler di hipotalamus dan menghasilkancorticotropin releasing hormone(CRH). Hormon ini akan memacu hipofise anterior melepaskanadreno-corticotropin hormone(ACTH) yang akan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk melepaskan hormon glukokortikoid atau kortisol. Hormon ini merupakan produk akhir sumbu HPA yang mempunyai peran biologis misalnya efek anti-inflamasi dan imunosupresi. Kortisol juga dapat mempengaruhi keseimbangan sel Th1/Th2, karena pada permukaan limfosit terdapat reseptor glukokortikoid. Stimulus yang akan diproses oleh korteks serebrum diteruskan ke hypotalamus melalui sistem limbik dengan memproduksi CRH. Hormon tersebut bertindak sebagai pembawa pesan yang dikirim ke kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan ACTH. ACTH merupakan aktivator kelenjar korteks adrenal untuk memproduksi berbagai hormon. Dengan pengaruh ACTH, korteks adrenal melepaskan hormon kortisol sedangkan bagian medula kelenjar adrenal yang akan melepaskan katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. (lihat gambar 1).5,6Gambar 1.Stres dan CRH mempengaruhi ekspresi respons Th1 dan Th2 oleh Glukokortikoid dan katekolamin. Glukokortikoid menghambat IL-2, IF- dan IL-12, sedangkan catekolamin meningkatkan sistesis IL-10 (Elencov 1999)Secara umum kortisol berperan menekan reaksi radang dan sebagai imunosupresan. Kortisol menimbulkan efek berbeda terhadap Th1 dan Th2, sehingga terjadi perubahan keseimbangan Th1/Th2. Pada hewan coba yang diberi stres akan terjadi dominasi peran sel Th2 dengan dilepaskannya sitokin tipe 2 misalnya, IL-4, IL-5 dan IL-6. Interleukin ini sangat berperan dalam respons imun humoral. Buske-Kirschbaum, dkk. (2002) menyimpulkan bahwa pada dermatitis atopik kronis terjadi penurunan respons sumbu HPA sehingga kadar kortisol menurun dalam sirkulasi.12Kortisol dapat menghambat sel Th2 secara langsung dengan peningkatan IL-4,10Selain itu, kortisol menghambat lekosit dari sirkulasi ke ekstraselular, mengurangi akumulasi monosit dan granulosit di tempat radang, serta menekan produksi beberapa sitokin dan mediator radang.4,5,6Pengaruh kortisol terhadap sel imun dimungkinkan karena di permukaan makrofag, selnatural killerdan sel Th terdapat reseptor terhadap glukokortikoid (GCR) yang bekerja di dalam sitoplasma dan mempengaruhi transkripsi sistesis DNA. Penelitian lain juga menunjukkan stresor akut dapat meningkatkan peran sel Th2, sedangkan stresor kronis meningkatkan fungsi sel Th1.7Penurunan sistesis kortisol akan menimbulkan pergeseran peran dari Th1 ke arah Th2. Hal ini dapat menerangkan berbagai penyakit kulit.12,13Atas dasar mekanisme tersebut kortikosteroid digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit inflamasi serta sebagai imunosupresif sistemik maupun topikal.62.Sumbu simpato-adrenal-medular (SAM)Jalur ini dimulai dari rangsangan yang diterima dilocus ceruleus adrenergic systemdalam susunan saraf pusat dan di bagian medula kelenjar adrenal. Sistem terdiri atas sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Serat praganglion simpatis dan para-simpatis melepaskan neurotransmiter yang sama yaitu asetilkholin (Ach), sedangkan ujung saraf pascaganglion simpatis melepaskan noradrenalin atau norepinefrin (NE). Selain disintesis oleh batang otak, norepinefrin disintesis pula oleh medula adrenal yang merupakan sistem saraf simpatik yang termodifikasi. Serabut praganglion mensarafi sel-sel kromafin medula adrenal yang dapat menghasilkan hormon katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. Dikenal 2 jenis reseptor adrenergik yang terdiri atas reseptor 1, 2 dan reseptor 1 dan 2.5,6 Beberapa organ limfoid seperti monosit dan limfosit memiliki reseptor adrenergik di permukaan, sehingga rangsangan terhadap reseptor tersebut oleh norepinefrin dapat mempengaruhi peran sel imun. Norepinefrin juga dapat meningkatkan produksi interleukin-6 (IL-6) dari sumber utama yaitu limfosit dan makrofag. Sitokin ini berperan sebagai protein fase akut, serta sangat berperan dalam pertumbuhan sel plasma untuk membentuk antibodi dan meningkatkan proliferasi sel Th2. Reseptor beta-adrenergik di permukaan sel Th akan berdiferensiasi menjadi sel Th2 dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10, yang sangat berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. Norepinefrin bekerja melalui reseptor alfa dan beta, serta mempunyai efek yang luas, termasuk terhadap sumbu HPA dan sistem imun.Corticotropin releasing hormonesecara langsung dapat mempengaruhi sistesis norepinefrin melalui jalurparaventricular nucleus,dengan merangsang sekresi IR-rCRH melalui reseptor alfa dilocus ceruleusbatang otak.4,53. Sumbu CRH sel MastSel mast adalah sel yang sangat penting dalam reaksi hipersensitivitas tipe I, karena dapat melepaskan berbagai mediator radang terutama histamin. Ikatan dengan antigen tertentu yang telah dikenalnya, mengakibatkan proses biokomiawi yang panjang sehingga sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediatornya. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan degranulasi sel mast, salah satu di antaranya faktor stresor psikologis. Hal ini dapat dimengerti karena di permukaan sel mast dijumpai reseptorcorticotropin releasing hormone(CRHR-1). Selain itu di permukaan sel mast juga dijumpai reseptorbeta-adrenergic, dan ujung saraf simpatetik dekat dengan sel-sel imunokompeten di kulit. Ini menunjukkan bahwa degranulasi sel mast dapat terjadi akibat stimuli CRH langsung, dari norepinefrin maupun neuropetid terutama substansi P (SP) dan neuropeptid Y. Efek SP dalam degranulasi sel mast adalah meningkatkan sensitivitas sel mast terhadapelectrical field stimulation(EFS) sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator sel mast dengan bermacam-macam manifestasi klinis.5,64. Peran NeuropeptidBerbagai neuropeptid yaitu,vasoactive intestinal peptide(VIP), substansiP(SP), neuropeptid Y dan somatostatin dapat berikatan dengan sel-sel imun, baik di mukosa maupun di kulit melalui reseptor, terutama yang terdapat di permukaan sel mast, kelenjar sebaseus, dan folikel rambut. Substansi P dan peptid yang lain menrangsang degranulasi sel mast melalui kerja langsung terhadap peningkatan prekursor mediator radang yang dilepaskan oleh sel mast, dan juga melalui reseptor SP di permukaan sel mast. Neuropeptid sangat berperan dalam inflamasi neurogenik oleh karena terjadi pelepasan neuropeptid pada akhir saraf. Neuropeptid ini penting dalam imunitas mukosa dengan cara regulasi proliferasi sel limfosit dan mobilitasnya di dalam mukosa serta mensistesis IgA dan pelepasan histamin. Bukti terkini menunjukkan bahwa VIP memodulasi respons imun melalui cAMP, sedangkan SP meregulasi sistem imun melalui keterlibatan dalam metabolisme fospolipid. Kini diketahui bahwa sel Langerhan juga mengekspresikan reseptor terhadap neuropeptid. Dengan demikian neuropeptid sangat berperan dalam imunitas selular maupun imunitas humoral.5

PA Axis (Sumbu Hipotalamus Pituitary Adrenaly)HPA AXISHPA AXIS adalah Singkatan dariHPA =Hypothalamus-Pituitary-Adrenal.Sedang pengertian AXIS adalahSumbu / hubungan langsung.HPA AXISadalah bagian utama dari sistem Neuroendokrin (Saraf pada hormon) yang mengontrol reaksi terhadapStresdan pula memiliki fungsi penting dalam mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan tubuh ,suasana hati, emosi, seksualitas, dan penyimpanan penggunaan energi. Sumbu HPA juga terlibat dalam gangguan kecemasan, gangguan bipolar, pasca-traumatic stress disorder, depresi klinis, kelelahan dan sindrom iritasi usus besar.ANATOMIElemen-elemen kunci dari sumbu HPA adalah: Paraventrikular dari hipotalamus, yang berisi neuron neuroendokrin yang mensintesis dan mengeluarkan vasopresin sertacorticotropin-releasing hormon(CRH). Secara khusus, CRH dan vasopresin merangsang sekresi hormonadrenokortikotropik(ACTH). ACTH pada gilirannya bekerja pada adrenal korteks yang menghasilkan hormon glukokortikoid (terutama kortisol pada manusia) dengan stimulasi ACTH.CRH dan vasopresin yang dilepaskan dari terminal saraf neurosecretory dieminensia median. Mereka diangkut ke hipofisis anterior melalui sistem pembuluhdarah portal dari tangkai hypophyseal. Ada, CRH dan vasopresin bertindak sinergis untuk merangsang sekresi ACTH yang tersimpan dari sel corticotrope. ACTH diangkut oleh darah ke korteks adrenal kelenjar adrenal, di mana ia cepat merangsang biosintesis kortikosteroid dari kolesterol.Kortisolmemiliki efek pada banyak jaringan dalam tubuh, termasuk pada otak. Di otak, kortisol bekerja pada dua jenis reseptor reseptormineralokortikoiddan reseptorglukokortikoid, dan ini diungkapkan oleh berbagai jenis neuron. Salah satu target penting dari glukokortikoid adalahhippocampus, yang merupakan pusat pengendali utama dari sumbu HPA.FUNGSIPelepasan CRH dari hipotalamus dipengaruhi oleh stres, dengan tingkat kortisol darah dan oleh siklus tidur / bangun. Pada individu sehat, kortisol meningkat pesat setelah bangun tidur yang hingga mencapai puncaknya dalam,-waktu 30-45 menit. Ini kemudian secara bertahap mengurangi sepanjang hari, naik lagi pada sore hari. Tingkat cortisol kemudian jatuh pada larut malam, mencapai palung selama tengah malam. Sebuah siklus normal rata kortisol sirkadian telah dikaitkan dengan sindrom kelelahan kronis, insomnia , dan kelelahan .

Koneksi anatomis antara amigdala, hipokampus, dan hipotalamus memfasilitasi aktivasi dari sumbu HPA. Informasi sensorik tiba di aspek lateral amigdala diproses dan disampaikan ke inti pusat, yang proyek ke beberapa bagian otak yang terlibat dalam respon terhadap rasa takut. Pada hipotalamus, ketakutan-sinyal impuls mengaktifkan kedua sistem saraf simpatik dan sistem modulasi dari sumbu HPA. Peningkatan produksikortisolmenengahi reaksi alarm stres, memfasilitasi fase adaptif dari sindrom adaptasi umum di mana reaksi alarm ditekan, memungkinkan tubuh untuk mencoba penanggulangan. Glukokortikoidmemiliki fungsi penting, termasuk modulasi reaksi stres, tetapi bila berlebihan dapat merusak. Atrofi dari hippocampus pada manusia dan hewan terkena stres berat diyakini disebabkan oleh paparan yang terlalu lama untuk konsentrasi tinggi glukokortikoid. Kekurangan dari hippocampus dapat mengurangi sumber daya memori yang tersedia untuk membantu tubuh merumuskan reaksi yang tepat terhadap stres. Sumbu HPAterlibat dalam neurobiologi gangguan mood dan penyakit fungsional, termasuk gangguan kecemasan, gangguan bipolar, pasca-traumatic stress disorder, depresi klinis, kelelahan, sindrom kelelahan kronis dan sindrom iritasi usus besar.Penelitianeksperimentaltelah menyelidiki berbagai jenisstres, danefekmereka pada aksis HPA dalam situasi yang berbeda banyak. Stres bisa dari berbagai jenis, dalam studi eksperimental pada tikus, perbedaan sering dibuat antara stres sosial dan stres fisik, namun kedua jenis tetapmengaktifkan aksis HPA, meskipun melalui jalur yang berbeda. Beberapa neurotransmiter monoamina penting dalam mengatur sumbu HPA, terutama dopamin, serotonin dan norepinefrin (noradrenalin). (5)

alur HPA Axis

PENGERTIAN HPA Axis

HPA axis adalah sistem neuroendokrin (syaraf-hormon) tubuh yang melibatkan hypothalamus (bagian dari otak kecil, red.), kelenjar hormon pituitary, dan kelenjar adrenal (kelenjar yang terletak melekat pada bagian atas ginjal). Sistem komunikasi kompleks ini bertanggungjawab untuk menangani reaksi stress dengan mengatur produksi kortisol, sejenis hormon dan merupakan mediator rangsang syaraf. HPA-axis dalam konsep psikoneuroimmunologi menjelaskan mekanisme sebuah keyakinan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan tubuh seseorang. HPA-axis merupakan sebuah jalur kompleks interaksi antara tiga sistem yang terjadi dalam tubuh yang mengatur reaksi terhadap stress dan banyak proses dalam tubuh, termasuk didalamnya proses pencernaan, sistem ketahanan tubuh, mood dan tingkat emosi, gairah seksual, penyimpanan energi dan penggunaannya.Keadaan stress secara psikologis akan merangsang penurunan produksi hormon beta endorphin yang meningkatkan tingkat ambang rangsang. Stress juga memicu ketidakteraturan produksi hormon kortisol sehingga hipotalamus meningkatkan produksi CRH atau hormon kortikotropin yang pada akhirnya menyebabkan kelemahan, dan penurunan daya tahan tubuh. Jika terjadi stress pada penderita penyakit menahun akan menyebabkan ia jatuh pada kondisi yang lebih burukHipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA atau HTPA sumbu), juga dikenal sebagai limbik-hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (LHPA sumbu), adalah sebuah kompleks pengaruh langsung dan umpan balik interaksi antara hipotalamus (yang kosong, saluran - membentuk bagian dari otak), maka kelenjar pituitari (sebuah struktur berbentuk kacang polong yang terletak di bawah hipotalamus), dan adrenal (atau suprarenal) kelenjar (kecil, organ kerucut di atas ginjal).HPA-Axis dirancang untuk memindahkan tubuh dari bahaya dengan tiba-tiba dan berkelanjutan tenaga. Sebagai respon terhadap stres, sistem limbik mematikan bergegas pencernaan nutrisi darah ke otot-otot panjang; merangsang hipofisis adrenal untuk melepaskan hormon melawan dan penerbangan, amigdala.

JALUR HPA Axis

Hipotalamus merupakan pusat kontrol untuk sebagian besar sistem hormon tubuh.Sel-sel dalam hipotalamus menghasilkan hormon corticotrophin-releasing factor (CRF) pada manusia sebagai tanggapan atas sebagian besar semua jenis stres fisik atau psikologis, yang pada gilirannya mengikat reseptor spesifik pada sel-sel hipofisis, yang menghasilkan hormon adrenocorticotropic (ACTH).ACTH ini kemudian diangkut ke targetnya kelenjar adrenal merangsang produksi hormon adrenalin. Kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal lalu meningkatkan sekresi kortisol. Pelepasan kortisol memulai serangkaian efek metabolik yang bertujuan untuk mengurangi efek berbahaya dari stres melalui umpan balik negatif baik kepada hipotalamus dan hipofisis anterior, yang mengurangi konsentrasi ATH dan kortisol di dalam darah setelah keadaan stres reda.Psikoneuroimunologi sebagai ilmu yang digunakan untuk menjelaskan tentang respons imun pada kondisi stres mulai dikembangkan. Holden (1980) dan Ader (1981) menyatakan bahwa psikoneuroimunologi adalah kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan, neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Martin (1938) mengemukakan 2 konsep dasar psikoneuroimunologi yaitu: Status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan Stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma.

Sistem saraf, endokrin, dan sistem imun saling berhubungan dengan memanfaatkan berbagai substansi penghantar sinyal stres dan reseptor sinyal, yang berakibat terjadi pengaturan perilaku sel pada sistem imun Stres dapat menyebabkan peningkatan kortisol dan katekolamin sehingga akan menekan aktivitas sel imunokompeten yang berakibat pada penurunan ketahanan tubuh.Konsep ini memberi peluang untuk menjelaskan perubahan biologis sebagai bentuk respons stres oleh rangsangan. Sinyal stres yang dirasakan individu, dirambatkan melalui hypotalamic - pituitary - adrenocortical axis (HPA axis). Stresor menyebabkan peningkatan corticotropin releasing factor (CRF) hipotalamus, yang memicu aktivitas HPA aksis. Pengaruh kortisol pada hambatan sekresi IL-l eleh makrofag dan IT,-2 .Boleh sel Th yang clapat menurunkan sintesis imunogobulin oleh sel.Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. Sedangkan Selye (1976) mendefinisikan stres sebagai the nonspesific response of the body to any demand, stress juga dapat diartikan sebagai berikut, stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources (Lazarus, 1976).Stres dapat mengenai semua orang dan semua usia. Stres baik ringan, sedang maupun berat dapat menimbulkan perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. Stres dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu akut dan kronik (Wheaton, 1983). Sedangkan dalam penelitian Ross dan Viowsky (1979) menyatakan bahwa efek psikologi tidak tergantung pada jumlah stres maupun beratnya stres yang terjadi, akan tetapi tergantung pada status stress itu sendiri, apakah stres tersebut diinginkan (desirable stress) atau tidak diinginkan (undesirable stress). Stres yang tidak diinginkan mempunyai potensi yang lebih besar dalam menimbulkan efek psikologik.Menurut Prawirohusodo, stresor adalah faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres. Stresor dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu : Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain.Stres yang merusak sering disebut distress, adalah ketika seseorang mendapat impuls rangsangan secara terus-menerus dan berulang kali yang melampaui batas adaptasi. Telah dilaporkan bahwa pekerja yang berada atau bekerja di tempat yang mempunyai tingkat kebisingan tinggi sering mengalami gangguan kesehatan dan mudah terserang infeksi (Budiman, 2004).

KOMPONEN & SISTEM YANG TERLIBAT DALAM HPA Axis

Komponen-komponen yang terlibat : paraventrikular inti dari hipotalamus, yang berisi neuroendokrin neuron yang mensintesis dan mengeluarkan vasopresin dan kortikotropin-releasing hormone (CRH).Kedua peptida mengatur: Lobus anterior dari kelenjar pituitari. Secara khusus, dan vasopresin CRH merangsang sekresi adrenocorticotropic hormon (ACTH), yang dulu dikenal sebagai kortikotropin. ACTH pada gilirannya bekerja pada adrenal korteks, yang menghasilkan glukokortikoid hormon (terutama kortisol pada manusia) sebagai tanggapan terhadap rangsangan oleh ACTH. Glukokortikoid pada gilirannya kembali bertindak hipotalamus dan hipofisis (untuk menekan produksi CRH dan ACTH) dalam siklus umpan balik negatif. CRH dan vasopresin dilepaskan dari terminal saraf neurosecretory di median eminence. Mereka diangkut ke anterior pituitari melalui sistem pembuluh darah portal dari hypophyseal tangkai. Di sana, CRH dan vasopresin bertindak sinergis untuk merangsang sekresi ACTH dari corticotrope disimpan sel. ACTH ini diangkut oleh darah ke korteks adrenalin dari kelenjar adrenal, di mana cepat merangsang biosintesis kortikosteroid seperti kortisol dari kolesterol. Kortisol adalah hormon stres utama dan memiliki efek pada berbagai jaringan dalam tubuh, termasuk pada otak. Di otak, kortisol bekerja pada dua jenis reseptor - reseptor mineralokortikoid dan glukokortikoid reseptor, dan ini dinyatakan oleh berbagai jenis neuron. Salah satu target penting Glukokortikoid adalah hipotalamus, yang merupakan pusat pengendali utama dari sumbu HPA.

INTERAKSI ANTARA STRES DENGAN SISTEM IMUN

Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak ditelit

http://file.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._EKONOMI_DAN_KOPERASI/SUSANTI_KURNIAWATI/MAKALAH/STREES_MAN.pdf