referat gilut

58
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kesadaran akan keselamatan kerja dan beraktivitas di kehidupan sehari-hari yang rendah merupakan faktor utama terjadinya trauma maksilofasial yang berakibat salah satunya pada terjadinya diskotinuitas jaringan keras maksilofasial. Selain itu, salah satu faktor utama terjadinya diskontinuitas jaringan keras atau fraktur adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Realita saat ini menunjukkan begitu besarnya angka kecelakaan di negeri kita. Masyarakat memiliki kesadaran yang rendah dalam hal keselamatan berkendara, sehingga hal tersebut membuat resiko kecelakaan yang terjadi menjadi semakin tinggi. Fraktur akibat kecelakaan sering terjadi pada bagian tengah wajah. Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut terganggu fungsi estetisnya, juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses mastikasi dan gangguan fonetik. Fraktur juga sering terjadi pada daerah persendian (sutura) yang merupakan titik rawan terjadinya pemutusan jaringan keras. Fraktur-fraktur yang terjadi akan mampu mengganggu fungsi tubuh, terutama jika 1

description

gilut

Transcript of referat gilut

Page 1: referat gilut

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingkat kesadaran akan keselamatan kerja dan beraktivitas di kehidupan sehari-

hari yang rendah merupakan faktor utama terjadinya trauma maksilofasial yang

berakibat salah satunya pada terjadinya diskotinuitas jaringan keras maksilofasial.

Selain itu, salah satu faktor utama terjadinya diskontinuitas jaringan keras atau fraktur

adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Realita saat ini menunjukkan begitu besarnya

angka kecelakaan di negeri kita. Masyarakat memiliki kesadaran yang rendah dalam hal

keselamatan berkendara, sehingga hal tersebut membuat resiko kecelakaan yang terjadi

menjadi semakin tinggi. Fraktur akibat kecelakaan sering terjadi pada bagian tengah

wajah. Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula

merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah

tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan

wajah tersebut terganggu fungsi estetisnya, juga dapat menyebabkan terjadinya

gangguan pada proses mastikasi dan gangguan fonetik. Fraktur juga sering terjadi pada

daerah persendian (sutura) yang merupakan titik rawan terjadinya pemutusan jaringan

keras. Fraktur-fraktur yang terjadi akan mampu mengganggu fungsi tubuh, terutama jika

fraktur yang terjadi sangat kompleks, maka dampak terburuk adalah kematian.

Oleh sebab itu, diharapkan seorang dokter umum maupun dokter gigi mampu

memahami dengan baik trauma serta fraktur-fraktur yang terdapat pada

dentomaksilofasial sehingga kelak akan mampu melakukan perawatan dan diagnosa

yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengetahui apaka yang dimaksud dengan fraktur Lefort I, Lefort II,

Lefort III yang merupakan salah satu trauma maksilofacial, dan bagaimana bisa sampai

terjadi fraktur pada wajah 1/3 atas, serta bagaimana cara menegakkan diagnosa dan

penatalaksanaannya.

1

Page 2: referat gilut

1.3 Tujuan

1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai fraktur maksilofacial bagian 1/3 wajah

atas baik untuk rekan dokter muda maupun rekan lain yang juga berkecimpung

dalam dunia media

2. Mampu menegakkan diagnosa fraktur Lefort I, Lefort II, Lefort III, dan

bagaimana penatalaksanaannya.

2

Page 3: referat gilut

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan

jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak

dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak

yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras

wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus,

tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang

dimaksud dengan trauma jaringan lunak  antara lain 1 :

1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.

2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.

3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.

4. Cedera kelopak mata.

5. Cedera telinga.

6. Cedera hidung.

2.2 Etiologi

Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti

oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah

tulang yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan

masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka

untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan

patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai

sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma

penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua. 1

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena

harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan

orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma

maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).1

3

Page 4: referat gilut

Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab  pada orang dewasa Persentase (%)

Kecelakaan  lalu lintas 40-45

Penganiayaan / berkelahi 10-15

Olahraga 5-10

Jatuh 5

Lain-lain 5-10

Tabel 1. Etiologi Trauma Maksilofasial pada dewasa

Tabel 2. Etiologi Trauma Maksilofasial pada anak

Penyebab  pada anak Persentase (%)

Kecelakaan  lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10

Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65

Jatuh 5-10

4

Page 5: referat gilut

2.3 Anatomi

I. ANATOMI MAKSILA

Midfasial menghubungkan basis kranii dengan dataran oklusal. Ia menyediakan

pondasi kepada proyeksi fasial anterior sambil memberikan perlindungan kepada basis

tengkorak dan berperan sebagai jangkar kepada ligamen fasial dan perlekatan otot.

Tulang midfasial terdiri dari rangkaian penebalan vertikal, sagital dan horizontal yang

menutupi sinus. 1

Gambar 1. Disartikulasi tulang midfasial menggambarkan anatomi maksila, zigoma, tulang nasal, dan septum nasal

Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor bersama-

sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada palatum durum

dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso palatinus keluar pada

foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum dan palatum bagian anterior.

Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari nervus trigeminus. Nervus ini muncul

dari foramen infra orbital dan kemudian berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial

superior dan regio palpebral inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi

anterior.1

Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk menahan

tekanan dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan dan mengusir tekanan

infrasuperior melalui beberapa tahanan. Tetapi midfasial tidak dilengkapi dengan

kemampuan menahan tekanan dari lateral dan frontal. Struktur dukungan vertikal pada

midfasial terdiri atas pilar nasomaksilaris (medial), zygomaticomaxillary (lateral) dan

pterygomaxillary (posterior). Pilar nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis

dari kaninus dan anterior maksila melalui prossesus frontalis dari maksila dan naik ke

5

Page 6: referat gilut

cerukan lakrimal dan dinding medial orbita ke os frontalis. Pilar zygomticomaxillary

memanjang tulang alveolaris di atas molar I maksila melalui korpus zygoma naik ke

prossesus frontalis dari zygoma ke os frontalis. Pilar medial dan lateral memberikan

tahanan anterior. Sisi posterior, pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng

pterygoid dari os sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal dari

midfasial. Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior juga

palatum durum. Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar sagital, memandang

midfasial mudah untuk kolaps dan mudah bergeser pada segmen sentral. Dukungan

superior pada pilar ini adalah arkus yang dibentuk oleh rima orbita superior dan inferior

dan arkus zygomaticus.1

Gambar 2. Pilar vertikal terdiri dari pilar medial atau nasomaksilari (V1), pilar lateral atau zigomatikomaksilari (V2), dan pilar

posterior atau pterygomaxillary (V3) yang berfungsi menahan tekanan kepada basis kranii. Pilar horizontal meluas sepanjang rima

supraorbita (H1), rima infraorbita (H2) dan prossesus dentoalveolar dan palatum (H3), memberikan dukungan struktural kepada

fungsi dari mata, hidung dan mulut. Lengkung zygoma berfungsi sebagai satu-satunya pilar sagital (S1).

Rekonstruksi defek struktur midfasial membutuhkan rekonstruksi dari pilar-pilar

ini untuk mengembalikan pola tahanan normal pretrauma dan parameter biomekanikal

yang penting untuk mempertahankan integritas struktur skeletal. Penebalan-penebalan

tulang ini memberikan tempat untuk aplikasi pelat fiksasi guna memastikan dukungan

dan penyembuhan yang maksimal. 1

6

Page 7: referat gilut

2.4 Patofisiologi

Gaya yang menyebabkan cidera dapat dibedakan jadi 2, yaitu high impact atau

low impact. Keduanya dibedakan apakah lebih besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya

gravitasi. Setiap region pada wajah membutuhkan gaya tertentu hingga menyebabkan

kerusakan dan masing masing region berbeda – beda. Margo Supraorbital, maxilla, dan

mandibula (bagian syimphisis dan angulus) dan frontal membutuhkan gaya yang high

impact agar bias mengalami kerusakan. Sedangkan os zygoma dan os nasal dapat

mngalami kerusakan hanya dengan terkena gaya yang low impact.2

Fraktur Le Fort I merupakan fraktur maxilla horizontal yang menyilangi aspek

inferior  maxilla dan memisahkan procesus alveolar yang mengandung gigi

maxilla dan  palatum durum dari bagian lain maxilla. Fraktur meluas melalui 1/3

bawah septum dan mecangkup sinus maxilla medial dan lateral meluas ke os

alatum dal pterigoid

Fraktur Le Fort II merupakan fraktur pyramidal yang dimulai dari os nasal dan

meluas melalui os etmoid dan os lacrimal, turun kebawah melalui sutura

zygomaticofacial, berlanjut ke posterior dan lateral melalui maxilla, dibawah

zygomaticus dan kedalam pterigoid

Fraktur Le Fort III atau disebut juga craniofacial dysjunction  merupakan

terpisahnya semua tulang muka dari basis crania dengan fraktus simultan

zygoma, maxilla, dan os nasal. Garis fraktur meluas ke posterolateral melaui os

etmoid, orbits, dan sutura pterygomaxilla samapi kedalam fossa sphenopalatina.

7

Page 8: referat gilut

Gambar 3. Klasifikasi LeFortSumber: L. Gartshore dalam British Journal of Oral Maxillofacial Surgery edisi 48 (2010)

Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah

trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur

yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata

penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction

merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari submental

yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal

melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim,

dan zygomatic arches. 2

2.5 Klasifikasi

Klasifikasi fraktur maksilofasial (fraktur maksila), yang mana fraktur ini terbagi

atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa

hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar

9,2% dan 29,85%. 2

8

Page 9: referat gilut

a. Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung

dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya

dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar

ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid

plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah

dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini

sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.

b. Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan

fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus,

fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis

merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya

lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.

Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga

gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

c. Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah

wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini

biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma

dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup

kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.

9

Page 10: referat gilut

Gambar 4. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III ( www.emedicine.com ) ( 20 September 2010 ).

2.6 Pemeriksaan dan Gejala Klinis

1. Pemeriksaan Awal / Primary Survey

Evaluasi awal dan penatalaksanaan yang menyeluruh seringkali menentukan

apakah pasien mampu bertahan dari trauma mereka. Jejas pada kepala dan leher

seringkali melibatkan jalan nafas dan pembuluh utama; oleh karena itu resusitasi ABC

harus dilakukan secara ketat pada tahap awal pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien

dengan fraktur maksilofasial. Setiap pasien yang datang dengan jejas trauma, perhatian

pertama harus ditujukan langsung pada evaluasi menyeluruh. Selama pemeriksaan awal,

jejas yang membahayakan hidup dan kondisi medis sistemik harus dievaluasi secara

tepat. Pasien dengan jejas pada wajah sebaiknya diperkirakan memiliki jejas lain yang

berhubungan, tergantung dari insidensi trauma.3,4,5

A. Airway (Jalan Nafas)

Yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan

adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing., fraktur tulang

wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk

membebaskan airway, harus melindungi vertebra servikal. Hal ini dapat dimulai dengan

melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat

dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway

tetap harus dilakukan. 3,4,5

10

Page 11: referat gilut

Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak

bleh melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan

vertebra servikalis didasarkan riwayat perlukaan. Dalam keadaan kecurigaan fraktur

servikal fraktur servikal harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus

dibuka untuk sementara, maka untuk kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat

imobilisasi ini harus dipakai dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat

disingkirkan. 3,4,5

B. Breathing (Pernafasan)

Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan

diafragma. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi

dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk

menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat

memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin menggangu ventilasi. 3,4,5

C. Circulation (Sirkulasi)

Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal

dihentikan dengan penekanan pada pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai

karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia. 3,4,5

D. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis

secara cepat. Banyak pasien yang mengalami injuri fasial mengalami hilang kesadaran.

Kesemua pasien ini, walaupun hanya pingsan dalam waktu yang singkat, harus

diperiksa secara keseluruhan dengan Skala Koma Glagow (GCS) dan dikonsulkan ke

bagian bedah syaraf. 3,4,5

11

Page 12: referat gilut

Skor Mata (E) Verbal (V) Motorik (M)

1 Respon (-) Respon (-) Respon (-)

2 Terbuka karena rangsang sakit Tidak dipahami Ekstensi

3 Terbuka bila diminta Tidak tepat Fleksi

4 Terbuka spontan Bingung Gerakan tidak spesifik

5 - Bercakap-cakap Menunjukkan tempat yg sakit

6 - - Bisa melakukan perintah

Tabel 3. Skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) untuk evaluasi cedera kepala

E. Exposure environmental control

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara

menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka harus

dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang

sudah dihangatkan. 3,4,5

Langkah pertama yaitu memastikan pasien memiliki jalan nafas yang baik serta

ventilasi yang adekuat. Tanda klinis, termasuk respirasi, nadi, dan tekanan darah

sebaiknya diperiksa dan dicatat. Selama pemeriksaan awal, masalah lain yang dapat

mengancam kehidupan, seperti perdarahan eksesif, sebaiknya diperiksa. Penanganan

awal, seperti gigit tampon, sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Selanjutnya

pemeriksaan status nerologis pasien dan evaluasi spina servikalis pasien. Benturan yang

cukup berat yang dapat menyebabkan fraktur pada tulang wajah biasanya tersalurkan ke

spina servikalis. Leher harus diimobilisasi sementara hingga jejas pada leher dikatakan

baik. 3,4,5

Perawatan terhadap jejas kepala dan leher biasanya dilakukan setelah didapat

evaluasi menyeluruh, pemeriksaan, dan stabilisasi pasien. Bagaimanapun, beberapa

12

Page 13: referat gilut

perawatan awal seringkali penting untuk kestabilan pasien. Seringkali, fraktur pada

tulang wajah yang berat dapat mengurangi kemampuan pasien dalam menjaga jalan

nafas. 3,4,5

Jejas pada daerah wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah tapi juga jaringan

lunak, seperti lidah atau daerah leher atas, atau dapat berhubungan dengan jejas seperti

fraktur laring. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan trakheostomi untuk memberikan

jalan nafas yang adekuat. Pada pasien trauma dengan obstruksi jalan nafas atas komplit,

krikotirotomi merupakan cara paling cepat untuk mengakses trakea. 3,4,5

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan

resusitasinya harus dilakukan pada saat itu juga. Penyajian primary survey diatas adalah

dalam bentuk berurutan sesuai dengan prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam

prakteknya hal-hal diatas sering dilakukan berbarengan. 3,4,5

2. Pemeriksaan Riwayat dan Klinis

a. Pemeriksaan Riwayat Penyakit

Setelah pasien stabil, dapatkan riwayat selengkap mungkin. Riwayat ini

sebaiknya diperoleh dari pasien, tetapi karena kehilangan kesadaran atau status nerologi,

informasi harus diperoleh dari anggota lain yang mendampingi. Lima pertanyaan

penting yang sebaiknya dipertimbangkan: 6,7

1. Bagaimana kejadiannya terjadi?

2. Kapan kejadiannya terjadi?

3. Apakah spesifikasi jejasnya, termasuk jenis benda yang berkontak,

pertimbangan logistik?

4. Apakah terjadi penurunan kesadaran?

5. Gejala apa yang sekarang sedang dirasakan oleh pasien, termasuk nyeri,

perubahan sensasi, perubahan visual, dan maloklusi?

Informasi lengkap, termasuk mengenai alergi, pengobatan, dan imunisasi tetanus

terdahulu, kondisi medis, dll.

Mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah sulit, karena

biasanya mereka tidak mampu memberi respon dengan baik. Keadaan tidak sadar

13

Page 14: referat gilut

(koma), syok, amnesia merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin

komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah keluarga dekat

yang menemaninya, temannya, polisi atau pekerja pada unit gawat darurat. Tanggal,

waktu, tempat kejadian dan peristiwa khusus dicatat. Apabila cedera disebabkan oleh

kecelakaan mobil, apakah si korban yang menyetir, atau sebagai penumpang, apakah

korban memakai sabuk pengaman? Apakah pasien merupakan korban tindak kejahatan

dengan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh/tidak sadar? Kondisi medis resiko tinggi,

alergi dan tanggal imunisasi tetanus juga dicatat. Adanya tanda-tanda kecanduan

alkohol dan obat-obatan, dicatat karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan

tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting

apabila akan dilakukan anestesi umum. 6,7

b. Pemeriksaan Klinis

Fraktur midfasial biasanya didiagnosa secara klinis dan dikuatkan dengan

pemeriksaan radiologis. Sejumlah faktor bisa membuat pemeriksaan klinis menjadi

sulit, termasuk kehadiran edema fasial, epistaksis, maksila yang tumpang tindih atau

bahkan pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif. 6,7

Pemeriksaan Ekstraoral

Pemeriksaan pada area fasial harus dilakukan dalam teknik yang terorganisir dan

berkelanjutan. Wajah dan kranii harus diinspeksi secara hati-hati terhadap kemungkinan

trauma termasuk laserasi, abrasi, kontusio, edema ataupun hematom dan kemungkinan

cacat pada kontur. Area ekimosis harus dievaluasi secara hati-hati. 6,7

Wajah dievaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya laserasi dan depresi tulang

yang jelas. Asimetri area wajah perlu dicatat, dan cairan yang keluar baik dari hidung

maupun telinga diasumsikan sebagai cairan serebrospinal hingga terbukti bukan itu. Jika

diduga terdapat cairan serebrospinal, hidung maupun telinga sebaiknya tidak ditutup

tampon, karena dapat menyebabkan infeksi retrograde yang menyebabkan meningitis. 6,7

Tulang wajah dipalpasi untuk mengetahui adanya diskontinuitas tulang.

Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara bimanual dan disiplin. Pertama kita lakukan

pemeriksaan rima orbitalis, lalu berlanjut ke bawah untuk meliputi rima lateral dan

14

Page 15: referat gilut

infraorbitalis, dimana apabila terdapat edema yang cukup besar dapat membuat

pemeriksaan menjadi sulit. Lengkung zigomatikus dipalpasi lalu ke tulang nasal.

Pemeriksaan berakhir dengan pemeriksaan maksila dan mandibula. 6,7

Evaluasi midfasial dimulai dengan penilaian mobiliti maksila, sendiri ataupun

kombinasi dengan zygoma atau os nasal. Untuk menilai mobiliti pada maksila, kepala

pasien harus distabilkan dengan menggunakan satu tangan menekan dahi. Dengan

menggunakan jempol dan jari telunjuk dari tangan yang lain, memegang maksila,

digoyang dengan hati-hati untuk melihat adanya mobiliti pada maksila. Fasial dan

midfasial sebaiknya dipalpasi untuk melihat adanya gap pada dahi, rima orbita, nasal

atau zygoma. 6,7

Pembukaan mandibula dievaluasi baik untuk fraktur lengkung zigoma maupun

zigoma yang terdisposisi ke lateral, yang dapat mengobstruksi pergerakan prosesus

koronoid ke depan. Vestibulum bukalis dipalpasi dengan jari telunjuk. Terdapatnya

krepitasi dan pergeseran dinding antral lateral dan zigoma dapat mudah didapatkan

dengan teknik ini. Oklusi dievaluasi, keadaan dan kualitas gigi perlu dicatat, faktor ini

berpengaruh besar terhadap metode perawatan. 6,7

Daerah ekimosis, terutama pada palatum, merupakan gambaran umum pada

fraktur maksila. Faring diperiksa untuk laserasi atau perdarahan retrofaringeal. Pasien

sebaiknya ditanya mengenai keluarnya cairan rasa metal dan asin, yang merupakan

indikasi terdapatnya drainase cairan serebrospinal. 6,7

Gambar 5. Ekimosis subkonjungtival

Gambar 6. Ekimosis sirkumorbital bilateral (racoon eyes)

15

Page 16: referat gilut

Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan adalah adanya oedem

wajah dan terjadi retrusi mid fasial yang menyebabkan wajah terlihat datar. Keadaan ini

disebut sebagai deformitas dish face atau pan face. Terjadi haemoragi subkonjunctiva

dan diplopia. Kadang timbul parestesi daerah pipi karena trauma pada nervus

infraorbita. Terdapat hematom pada sulcus bukalis rahang atas posterior, karena garis

fraktur melewati tulang zygoma. Segmen maksila bergeser ke posterior dan inferior, hal

ini akan menyebabkan kontak prematur gigi molar dan open bite anterior. 6,7

Gambar 7. Openbite anterior.

Pemeriksaan Intraoral

Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi geligi, stabilitas alveolar

ridge dan palatum serta jaringan lunak. Palpasi intra oral dengan jari pada maksila dapat

memberikan informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris, dinding sinus

maksilaris anterior, dan dinding zigomatikomaksilaris. 6,7,8

Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat integritas dari lingkar

orbita dan dasar orbita, penglihatan, pergerakan ektra ocular dan posisi bola mata, serta

jarak intercanthal. Tidak seperti fraktur Le fort II, Le fort III berhubungan dengan

adanya cedera pada zygomatikus. Perubahan penglihatan menandakan adanya gangguan

pada persyarafan mata, masalah pada retina ataupun masalah neurologic lainnya.

Gangguan pada pergerakan ekstraokular atau enopthalmos menandakan adanya suatu

blow out pada dasar orbita. Peningkatan jarak interchantal menandakan adanya

perubahan pada tulang frontomaksilaris atau tulang lacrimalis ataupun adanya avulsi

dari ligamentum canthal medialis . Dalam hal kerusakan yang parah pada mata dan

tulang orbita dapat dikonsultasikan kepada opthalmologis. 6,7,8

16

Page 17: referat gilut

Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh pembengkakan, tetapi

permeriksaan dapat menemukan adanya kehilangan kontinuitas tulang atau

displacement. Gangguan pada oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan

abnormal pada tulang dapat didiagnosa dan jika terjadi maka akan diikuti oleh sakit dan

krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras bergesekan satu sama lain. Hilangnya

fungsi pada rahang merupakan hal biasa sebagai akibat dari trismus atau sakit. 6,7,8

Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial yang kuat

menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak menciptakan maloklusi

klas III, kontak prematur pada molar dan anterior open bite. 6,7,8

Gambar 8. Pemeriksaan mobiliti pada maksila. A. Dahi difiksasi dengan tangan kiri, maksila digoyang-goyangkan untuk menilai

adanya mobiliti. B. Tangan kiri juga dapat diletakkan pada os nasal untuk menilai mobiliti pada os nasal.

`

Gambar 9. Metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort. Gigi anterior dipegang dan maksila dimanipulasi untuk memeriksa

adanya pergerakan. Jika gerakan dapat dipalpasi pada jembatan nasal (A), maka terdapat adanya Le Fort II atau III. Jika gerakan

terdeteksi juga pada zigoma (B), maka terdapat fraktur III. Apabila tidak terdeteksi adanya gerakan pada daerah tersebut namun

maksila mengapung, maka kemungkinan terjadi fraktur Le Fort I.

17

Page 18: referat gilut

Gambar 10. Saat melakukan pemeriksaan fraktur pada maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus dentoalveolar dimanipulsi

sehingga adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi. Pemeriksaan fraktur Le Fort II dan III dilakukan dengan cara satu

tangan memegang puncak hidung sementara tangan lain memanipulasi maksila. Pergerakan pada sutura nasofrontal menunjukkan

kemungkinan terdapatnya fraktur Le Fort II atau III (3).

Perbedaan klinis fraktur maksila:

1. Le fort I

Manifestasi Klinis Le Fort I antara lain adalah:

Seluruh rahang atas dapat digerakan dengan mudah.

Kecuali apabila segmen fraktur mengalami impaksi kearah posterior.

Terjadinya kontak premature dari gigi posterior karena tulang maksila turun dan

menimbulkan open bite yang klasik.

Palpasi tulang alveolar pada jaringan pendukung akan terasa nyeri

Dapat dilihat dengan jelas pada foto roentgen dan sering adanya gambaran sinus

yang berkabut serta gangguan kontinuitas yang bilateral dari dinding sinus

maksila.

2. Le fort II

Manifestasi klasik Le Fort II antara lain :

Oedema periorbital secara bilateral, diikuti dengan ecchymosis yang

memberikan kesan seperti raccoon sign (menyerupai kucing).

Hipoesthesia dari nervus infra orbital juga ditemukan, kondisi ini muncul

karena perkembangan odema yang sangat cepat.

Suatu maloklusi dapat terjadi bersamaan dengan open bite.

18

Page 19: referat gilut

Suatu kelainan bentuk ini dapat dideteksi pada daerah rima infra orbital atau

daerah sutura naso frontal. Cara pendeteksian ini dapat dengan mengandalkan

genggaman pada gigi anterior maksila dan menggerakannya arah anterior-

posterior, sehingga frakmen yang pecah dari lantai orbita atau dinding media

bisa terlihat dan ikut bergerak.

Dari gambaran foto roentgen dapat terlihat pemisahan atau pergeseran pada

sutura zygomaticomaksilaris serta terputusnya kontinuitas rima orbital inferior

didekat sutura tersebut.

3. Le fort III

Manifestasi klinis Le Fort III antara lain :

Sering terlihat kebocoran cairan cerebrospinal akibat sobeknya meninge

(selaput otak)

Oedema yang hebat dan ecchymosis peri orbital terlihat bilateral karena

terjadinya perdarahan subkonjungtiva dalam berbagai tingkat keparahan.

Trauma telecantus dapat terasa seperti halnya juga ephypora. Ada baiknya

temuan ini dikomfirmasikan dengan CT coronal dan sagital scan, hal ini

berguna dalam rencana perawatan dan pertolongan nyawa pasien.

Fraktur ini biasanya diikuti dengan fraktur zygoma, dan naso orbita eithmoid,

luka yang dihasilkan pun berfariasi.

Pada waktu dilakukan tes mobilitas dari maksila akan memperlihatkan

pergerakan dari seluruh bagian atas wajah.

Gambar 11. Gambaran Klinis Fraktur Le Fort III

19

Page 20: referat gilut

III. Pemeriksaan Radiologis

Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada area fasial dan keadaan pasien stabil,

pemeriksaan radiologi harus dilakukan untuk memberikan tambahan informasi tentang

trauma fasial. Evaluasi pada fraktur midfasial secara umum ditambahkan dengan

gambaran radiografik, minimal foto Water’s, scheidel anteroposterior, lateral dan foto

submentovertex. Foto Towne’s sangat bermanfaat dalam menggambarkan lengkung

zigomatikus dan rami mandibula. Lengkung zigoma paling bagus digambarkan pada

foto submentovertex. Foto Water’s memperlihatkan antrum hampir jelas. Foto lateral

skull berguna dalam menggambarkan kehadiran cairan pada sinus paranasal dan udara

intrakranial. Jika pasien tidak dapat tengkurap, dapat menggunakan reverse Water’s

(frontoosipital). Kekurangannya yaitu bertambahnya jarak antara tulang wajah ke

film.9,10

Gambar 12. Water’s view memperlihatkan gambaran fraktur Le Fort II yang membentuk segmen fraktur bentuk Piramid. Tampak

fraktur pada hidung, os.lakrimal, dinding orbita media, dasar orbita, maksilla anterior, lempeng pteriogoid.

Gambar 13. Foto water’s lateral menunjukkan fraktur Le Fort II

20

Page 21: referat gilut

Namun, dikarenakan kesulitan untuk menginterpretasi foto polos midfasial, teknik

yang lebih memuaskan biasanya digunakan. Biasanya menggunakan CT (Computed

Tomography) scan atau rekonstruksi 3-D. 9,10

Scan yang diambil secara baik dan hasil tepat, dapat menjadi alat diagnostik

radiologi tunggal, tanpa foto lain. CT scan juga menggambarkan terdapatnya edema dan

kehadiran benda asing yang sering terlewat pada foto konvensional. 9,10

Gambar 14. CT scan axial menunjukkan fraktur Le Fort II

Gambar 15. Gambaran 3D fraktur Le Fort II.

2.7 Penatalaksanaan

Prinsip umum perawatan terhadap fraktur Le Fort terdiri dari reduksi, fiksasi,

mobilisasi, dan imobilisasi. Beberapa jenis tekhnik reduksi pada fraktur maksila: 11

a. Reduksi tertutup (close red)

Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi kembali bagian

tulang yang fraktur seperti pada fragmen fraktur ini bergerak, biasanya gigi geligi yang

21

Page 22: referat gilut

terdapat pada segmen fraktur mengalami kegoyahan. Pada kasus ini dibutuhkan tekanan

berulang (digital) untuk mereduksi tulang yang patah.11

Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan dan kiri palatum

pada sutura palatine, maka digunakan alat Rowe Disimpaction forceps atau Hayton-

Williams forcep untuk mereduksi kembali kedua sisi palatum tersebut. Arch bar

dipasang pada lengkung maksila dan mandibula. Gigi yang goyah diikat dengan kawat

(wiring) kearch bar maksila, sedangkan gigi yang terdapat pada segment yang tidak

fraktur dilindungi dengan fiksasi intermaksila. Kemudian fiksasi dilanjutkan kedaerah

fraktur yang telah direduksi tadi. Fiksasi dibiarkan selama 4 sampai 6 minggu didalam

mulut pasient dan pasien diberikan diet lunak selama fiksasi. 11

Indikasi dilakukannya metode tertutup pada fraktur maksila adalah:

Dimana pada pemeriksaan klinis dan radiografis tidak memperlihatkan

gambaran perobahan letak pada kedua segmen fraktur atau segmen frakturnya

terletak pada variable yang stabil dari tekanan otot-otot mastikasi

(Undisplacement fracture).

Pada pasien yang edentulous (tidak bergigi) dan fraktur maksila secara radiology

memperlihatkan perobahan letak yang minimal dan letak garis fraktur kemudian

menjadi stabil oleh otot-otot pengunyahan. Maka union tulang pada fraktur ini

dapat menjadi penghubung yang baik.

Pasien dengan fraktur yang menimbulakan kerusakan pada otak dan tidak

adanya rangsangan untuk bangun, maka metode terbuka untuk sementara

merupakan kontra indikasi.

b. Reduksi terbuka (open red)

Metode ini lebih baik untuk kasus fraktur maksila khususnya yang komplek.

Dengan metode ini dapat dicapai immobilisasi fraktur yang sempurna dan fiksasi yang

kuat dan rigid. Metode ini dimulai dengan tahapan sebagai berikut: 11,12

1. Pembukaan flap dengan insisi vestibular secara bilateral.

2. Sisi fraktur disingkapkan dengan meretraksi flap tadi

3. Dilakukan pembersihan segment pada garis fraktur.

22

Page 23: referat gilut

4. Dilakukan perlekatan kembali kontunuitas tulang yang terputus.

5. Fiksasi garis fraktur dengan wiring atau mini dan mikro plat serta bautnya.

6. Tutup daerah operasi dengan mengembalikan flap pada posisi awal dan dijahit

7. Fiksasi inter maksila selama 4 minngu (masa penyembuhan)

8. Pasien diberikan diet lunak selama fiksasi dengan kandungan gizi yang cukup.

Indikasi dilakukannya metode fraktur terbuka adalah sebagai berikut:

Apabila metode tertutup gagal dilakukan

Fraktur dengan displacement yang kearah bawah dengan segala komplikasinya

seperti open bite klasik, elongasi fasial dana dish face.

Fraktur fasial kompleks dan multiple seperti Le fort I, II, III .

Fraktur dengan impaksi pada rahang bawah.

Fraktur yang memerlukan pemasangan miniplate dengan skrup untuk reduksi dan

stabilitas segment fraktur.

Fraktur yang membutuhkan bone graft.

c. Fiksasi dan Imobilisasi fraktur maksila

Ada beberapa macam alat untuk Immobilisasi fraktur maxilla yang mana pada

dasarnya menggunakan prinsip berikut ini : 13

Fiksasi Intramaksila dan Intermaksila.

1. Hanya rahang atas saja yang dipasangkan alat fiksasi misalnya, dengan memakai

arch bar dari Erich. Contoh pada kasus fraktur sebagian kecil dari prosesus alveolaris

rahang atas (Intramaksila).

2. Pemasangan alat fiksasi pada gigi-geligi di maksila dan mandibula, kemudian pada

kedua rahang ini dipasang rubber elastic band melalui kaitan atau hock pada acrh bar

yang digunakan. Elastik hanya dipakai pada gigi-geligi yang tidak mengalami fraktur

rahang (berguna untuk fraktur unilateral atau segmental ) sehingga tulang alveolar yang

mengalami fraktur akan terdorong keatas oleh tekanan gigi-geligi dirahang atas dan

rahang bawah (Intermaksila).

23

Page 24: referat gilut

Gambar 16. Arch bar dan fiksasi intermaksilaris

Fiksasi Internal

Teknik ini ditemukan oleh Adam yang mana diindikasikan pada fraktur horizontal

yang sederhana dengan tidak terlibatnya tulang orbita.13

Teknik ini menggunakan kawat suspensi (stainless steel ukuran 0.018 atau 0,2

inchi, 0,45 atau 0,5mm) yang dimasukan (diikatkan) pada titik tertentu di tulang bagian

superior. Bagian yang paling sering digunakan adalah Apertura piriformis, Spina

nasalis, tonjolan Malar, Arcur zygomatikus, Prosesus zygomatikus ossis frotalis dan

pinggiran tulang infra orbita. kemudian kawat menelusuri daerah fasial terus kebawah

dan kemudian dihubungkan (diikatkan) pada arch bar yang telah dipasang pada gigi-

geligi rahang atas (terhadap maksila) disebut fiksasi kraniomaksila. Sedangkan pada

ikatan atau perlekatan kawat terhadap mandibula disebut fiksasi kraniomandibula. Gigi-

geligi rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan fiksasi Intermaksila (Transosseous

wiring fixation). Apabila mandibula utuh atau karena perawatan bisa stabil, maka

fiksasi kraniomandibula lebih dianjurkan dibanding perawatan fiksasi kraniomaksila,

karena perlekatan ini memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan posisi

komponen maksila yang mengalami fraktur.13

Fiksasi eksternal

1. Pesawat Cranio-Maxilla.

Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang dihubungkan dengan alat

lain yang dipasang pada maksila. Head appliances yaitu suatu alat yang dipasang

pada kepala yang berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi fraktur maksila

dengan tulang cranial. Alat ini ada beberapa macam yang biasa digunakan yaitu:

24

Page 25: referat gilut

Plaster of Paris head cap.

Woodards appliance.

Englands appliance.

Bisnoffs head band.

Crawford head frame.

Crawford bloom head appliance

Pesawat Cranio Maxilla sendiri ada beberapa macam yaitu;

a. Pesawat C-M yang menggunakan Kingsley splint yang dapat dihubungkan

dengan berbagai macam splint yang diletakan pada gigi-gigi dirahang atas

seperti:

Wire splint

Cast metal splint

Band orthodontic

Pada pasien edentulous digunakan modifikasi dari kingsley sendiri.

b. Pesawat C-M yang menggunakan Steinmann pin, dimana pin ini dimasukan

kedalam tulang alveolar rahang atas yang mengalami fraktur melalui pipi lalu

pin ini dihubungkan kembali kealat head appliance.

c. Pesawat C-M yang menggunakan cranio fasial wire. Ditemukan oleh Erich,

dimama kawat dihubungkan dengan arch bar yang telah dipasang sebelumnya

pada rahang atas ( gigi-geligi ), kawat ini menembus pipi lalu dihubungkan

denga head appliance. Pemakaian alat ini diindikasikan pada fraktur dengan

tidak adanya perubahan tempat dari rahang (fragmen) dan mandibula dapat

bergerak untuk berbicara dan makan (makanan lunak).

d.

2. Pesawat Cranio – Mandibula.

Pada metode ini gigi-geligi pada kedua rahang berada dalam keadaan oklusi dengan

menggunakan Intermaksila wiring fixation dan eksternal traction. Pesawat ini pun ada

beberapa macam yaitu :13

a. Pesawat C-mand dengan menggunakan Traction bandage (head bandage).

Terdiri dari Barton bandage denagn elastic yang dilekatkan pada kedua sisi

25

Page 26: referat gilut

dengan menggunakan plaster. Ini untuk perawatan sementara dari fraktur

rahang.

b. Peasawat C-mand dengan menggunakan Steinmann-pin yang dimasukan

kedalam corpus mandibula , dibagian luar dihubungkan dengan Frac-sure link

vertical rod dikedua sisi. Frac-sure rods ini dihubungkan dengan head appliance

c. Pesawat C-mand dengan half pin hamper sama dengan Steinmann pin, juga

digunakan Frac-sure rods dipakai sebagai penghubung dengan head appliance.

d. Pada kasus tidak bergigi digunakan Gunning splint yaitu suatu acrilik aplint

yang digunakan sebagai alat fiksasi mandinbula.

3. Pesawat Malar-Mandibula fixation.

Pesawat ini ditemukan oleh Gross, yang mana dua buah pin dimasukan kedalam

tulang pipi kiri dan kanan. Pin ini lalu dihubungkan dengan pin yang telah dipasang

pada corpus mandibula melalui suatu batang penghubung (rods) atau rubber elastic

band.13

Gambar 17 Fiksasi kraniomaksilar.

Tahapan perawatan pada fraktur Le Fort:

1. Perawatan Fraktur Le Fort I

Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun

metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur maksila

yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi sebaiknya dilakukan

dengan metode terbuka.13,14

26

Page 27: referat gilut

Aturannya, reduksi dini fraktur Le Fort I memberikan kesulitan minimal. Di atas

7 hingga 10 hari, perlu tenaga tambahan untuk melakukan reduksi sempurna. Fraktur dr

pergeseran minimal direduksi di diimobilisasi secara ideal dengan reduksi terbuka dan

immobilisasi diperoleh dengan penempatan plat yang tepat. Sebagai alternatif yang

kurang ideal, melakukan fiksasi intermaksilari selama sebulan, biasanya cukup untuk

terjadi penyembuhan. Pada kasus fraktur remuk yang parah, diperlukan perpanjangan

periode fiksasi hingga 6 minggu. Fraktur impacted atau fraktur yang tidak mudah

direduksi karena penyatuan dini oleh jaringan ikut (fibrous union) sebaiknya direduksi

dengan menggunakan tang disimpaksi Rowe atau Hayton-Williams. Paruh dari tang

Rowe ditempatkan sepanjang dasar hidung, dan sisi lainnya pada palatum keras

(gambar). Digunakan secara sepasang atau sendiri. Untuk melindungi mukosa hidung

dan mukoperiosteum palatum, dapat ditempatkan ujung karet pada paruh tang. Gunakan

gerakan menekan atau memutar, maksila ditarik ke depan dan ke bawah.13,14

Gambar 18. Penggunaan tang disimpaksi Rowe untuk mereduksi maksila.

2. Perawatan Fraktur Le Fort II

Reduksi tertutup yang dilakukan pada fraktur Le Fort II mudah dilakukan

dengan tang disimpaksi Rowe. Fiksasi intermaksilari kemudian dilakukan untuk

memperbaiki posisi anteroposterior fraktur. Hal tersebut perlu dilakukan untuk

mendapat stabilitas dan penyembuhan yang adekuat. Imobilisasi dilakukan minimal 4

minggu. 13,14

27

Page 28: referat gilut

Sebagai alternatif, dapat dilakukan reduksi terbuka. Pada fraktur Le Fort II

dilakukan insisi pada sulkus bukalis, pembukaan tambahan ke superior sering

dibutuhkan untuk akses yang cukup dari orbital rim. Hal ini dapat dicapai dengan insisi

subsiliary atau transkonjunctiva. Perawatan dimulai dengan pemasangan IDW untuk

mendapatkan oklusi. Pada umumnya segmen maksila pyramidal yang bebas distabilisasi

ke tulang zygoma yang intak. Fiksasi dapat dilakukan dengan mini plate yang

menjangkau penyangga zygomaticomaksilaris. 13,14

Setelah dilakukan reduksi pada fraktur, terdapat variasi pilihan untuk

imobilisasi. Minimal fiksasi tiga-titik atau mungkin empat-titik diperlukan. Hal ini

dapat diperoleh dengan membuka regio sutura zigomatikomaksilaris baik dari rima

inferior maupun intraoral, atau dapat juga menggunakan daerah sutura nasofrontal.

Kombinasi yang diperlukan tergantung pada kebutuhan untuk mengeksplor dasar orbita,

atau rekonstruksi rima inferior, atau keduanya, dan rekonstruksi regio nasofrontal

karena daerah ini sering kali terjadi keremukan. 13,14

Pilihan lain dari perawatan pada fraktur Le Fort II yaitu imobilisasi sutura

nasofrontal. Dapat dilakukan dengan bilateral Lynch, open sky, atau insisi flap koronal,

atau melalui laserasi yang sudah ada. Semua pendekatan ini dapat memberikan akses

yang baik ke daerah sutura nasofrontalis. Penempatan plat pada daerah ini dapat

memberikan kestabilan dan keamanan dalam arah superior posterior. 13,14

3. Perawatan Fraktur Le Fort III

Fraktur Le Fort III secara esensial merupakan kombinasi fraktur zigoma bilateral

dan fraktur pada kompleks nasal-orbital-ethmoid (NOE). Terdapatnya jejas yang remuk

dan parah bervariasi, tetapi prinsip perawatannya identik dengan yang lain. 13,14

Prinsip umum perawatan fraktur ini yaitu, reduksi dan imobilisasi

zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, dan sutura nasofrontal, serta reduksi yang tepat

dari maksila ke wajah tengah inferior. Pada gilirannya, oklusi yang baik harus

didapatkan untuk mendapatkan posisi anteroposterior dan lateral wajah tengah. 13,14

Dalam perawatan fraktur Le Fort III, kita menstabilisasi segmen tulang yang

bergerak untuk stabilisasi mandibula dan tulang kranium. Awalnya, rahang atas harus

28

Page 29: referat gilut

dalam kondisi tidak terpendam (direposisi) dan MMF dilakukan. Insisi jaringan lunak

dapat dilakukan di lokasi yang sama seperti untuk fraktur Le Fort II. Insisi alis lateral,

lipatan glabela, atau flap kulit kepala bicoronal dapat digunakan untuk topangan

tambahan pada tulang frontozigomatik. Flap bicoronal dapat diperpanjang untuk

mencapai akses ke lengkung zigoma. Flap bicoronal harus dirancang hati-hati untuk

menghindari cedera pada cabang saraf wajah. Ketika flap dibuat pada area lengkung

orbita, perikranium dapat diinsisi tepat di atas lengkung untuk menjaga suplai darah dari

daerah supraorbital dan supratroklearis ke flap. Pada daerah lateral, kita melakukan

diseksi superfisial dari fasia temporalis. Dalam mencapai lengkung zigomatik, kita

lakukan insisi fasia temporalis di atasnya. Perluas bidang insisi ke dalam fasia sampai

tulang zigoma yang fraktur. Patahan tulang kemudian dapat dikurangi dengan elevator

kaku. Jika terpendam atau comminuted, fiksasi langsung mungkin diperlukan. Jangan

gunakan flap bicoronal dalam situasi dimana flap membutuhkan suplai arteri temporal.

Garis rambut yang terlalu mundur juga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk

menggunakan tipe insisi lain. Sehubungan dengan tindakan fiksasi pada fraktur maksila,

kurangi dan stabilkan setiap patahan tulang yang terlibat. Setelah ini dilakukan dan

segmen fraktur terlihat, maka fiksasi dapat dilakukan. Fiksasi Miniplate saat ini

merupakan tipe yang paling dapat diandalkan. Gunakan template lunak, pelat

pembentuk kontur yang akurat dan monocortical serta sekrup self-tapping. Gunakan

pelat yang menjangkau seluruh penopang utama. Pada fraktur Le Fort III sejati, fiksasi

zygomaticofrontal bilateral mungkin sudah cukup. Namun, secara umum, tetap

dibutuhkan fiksasi tambahan (misalnya, nasomaxillary, nasofrontal, lengkung inferior

orbital, lengkung zigomatic). Gunakan sesedikit mungkin pelat untuk mencapai fiksasi;

pelat berlebihan tidak diperlukan. Interoseus wiring dan suspension wiring digunakan

pada fraktur Le Fort III, tetapi hasilnya tidak sebaik miniplate fiksasi karena vektor gaya

untuk mempertahankan reduksi kurang akurat dan micromotion meningkat. 13,14

Perawatan Post Operasi

Untuk meminimalisir edema paska operasi, lakukan pembalutan kassa dengan

tekanan ringan, pada daerah operasi. Jika pembalut tetap kering, dapat diangkat setelah

2-5 hari. Apabila daerah fraktur terbuka terhadap lingkungan eksternal atau terdapat

29

Page 30: referat gilut

komunikasi dengan intra oral atau ruang nasal, maka perlu diberikan antibiotik

profilaksis terhadap organisme gram-positif dan anaerob selama 5-10 hari.15

Setelah pembedahan, observasi pasien selama semalam terhadap kemungkinan

terjadinya perdarahan, masalah pada jalan nafas, dan muntah. Jika menggunakan fiksasi

dengan kawat pada IMF, tempatkan pemotong kawat di dekat pasien setiap saat pada

awal periode post-operasi untuk mengeluarkan muntah. Lepas kawat atau rubber band

apabila pasien mulai merasa mual.15

Sebelum pulang, instruksikan pasien mengenai cara melepas IMF apabila

muntah. Selain itu, pasien diberi tahu untuk membatasi diet yaitu bubur atau cairan.15

Follow Up

Lakukan evaluasi follow-up pada hari ke 5-7 (jahitan kulit dapat dilepas pada

saat ini), minggu ke 2-4, lalu minggu ke 3-8 untuk melepas IMF. Follow-up jangka

panjang mungkin dibutuhkan untuk memonitor terjadinya komplikasi post-operasi atau

deformitas. 15

Tujuan paling penting selama periode awal post-operasi yaitu memelihara

imobilisasi. Tergantung pada umur dan kesehatan umum pasien, keparahan dan

displacement fraktur, serta teknik perawatan yang digunakan, periode ini berkisar antara

4-8 minggu. Sehingga IMF perlu dirawat selama periode ini. Selama periode ini,

tekankan pasien untuk memelihara kebersihan mulut dengan rajin menyikat gigi dan

arch bar dan berkumur dengan saline atau mouthwash antiseptik setiap pagi dan malam

serta setiap habis makan. 15

Pada pemeriksaan post-operasi, lakukan tes stabilitas tulang wajah dengan

mempalpasi geligi rahang atas pasien saat menggigit dan merelaksasi otot pengunyahan.

Terdapatnya Pergerakan minimal mungkin masih dapat diterima, tapi mobilisasi

berlebihan dapat mengindikasikan terjadinya penyembuhan yang buruk. Pengambilan

foto post-operasi (misal, serial mandibula, Panorex dental views, facial series, CT scan)

dapat membantu pada pasien yang dicurigai terjadi malunion. 15

Apabila tulang wajah telah sembuh dengan baik dan didapat oklusi normal, IMF

dapat dilepas. Mobiliti vertikal yang minimal pada midfasial dapat pulih seiring dengan

30

Page 31: referat gilut

waktu. Pergerakan yang berlebihan mengindikasikan terlalu dininya melepas arch bar

atau terdapatnya masalah penyatuan tulang. Pada umumnya, MMF dapat dilepas lebih

cepat pada fraktur yang diperbaiki dengan fiksasi miniplate, dan lebih lama pada fraktur

yang diperbaiki dengan kawat interosseus atau suspensi. 15

2.8 Prognosis

Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah

satu yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan

sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah

akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat

membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang,

sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang

baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami

penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full

open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi. 15,16

Laporan Kasus I

Tn. IM berusia 15 tahun berasal dari Bangkalan datang ke IRD RSUD Dr.

Soetomo Surabaya pada tanggal 30 Desember 2008 rujukan dari dokter spesialis THT-

KL setempat untuk penanganan fraktur maksilofasial lebih lanjut setelah mengalami

kecelakaan lalu lintas 4 hari sebelumnya saat penderita mengendarai sepeda motor.

Tidak ada riwayat pingsan, mimisan beberapa saat setelah kecelakaan berlangsung,

penglihatan baik, tidak ada trismus, tidak ada keluhan pada telinga dan tenggorok.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan telinga, hidung dan tenggorok dalam batas

normal. Pada pipi kiri terdapat deformitas, tidak didapatkan hematom dan nyeri.

Dilakukan pemeriksaan penunjang foto waters pada 30 Desember 2008 didapatkan

fraktur dasar orbita kiri, dinding medial dan lateral sinus maksilaris kiri, hematosinus

maksilaris kiri.

31

Page 32: referat gilut

.

Gambar 19. Foto waters tampak adanya fraktur dan hematosinus maksilaris kiri

Pemeriksaan penunjang lainnya berupa CT Scan kepala irisan aksial tanpa

kontras (fokus pada sinus paranasalis) dengan kesimpulan fraktur dasar orbita kiri dan

dinding anterior sinus maksilaris kiri disertai penebalan mukosa rongga hidung kanan

kiri. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal

Gambar 20. CT Scan kepala Tn. IM tampak fraktur pada dinding anterior sinus maksilaris kiri

Pada tanggal 6 Januari 2009 dilakukan operasi. Teknik operasi sebagai berikut,

desinfeksi lapangan operasi dengan povidon iodine 10% lapangan operasi dipersempit

dengan kain steril. Membuat gambar irisan tepat dibawah pelipatan palpebra inferior

kiri dengan metilen biru, infiltrasi dengan lidokain efedrin dan dilanjutkan dengan irisan

32

Page 33: referat gilut

sesuai dengan lipatan kulit. Irisan diperdalam lapis demi lapis mencapai periosteum

mencapai fragmen fraktur. Fragmen fraktur direposisi dan dilakukan fiksasi dengan

mini plat. Setelah fiksasi selesai dilakukan penjahitan lapis demi lapis.

Pasca operasi penderita dirawat di ruang THT-KL dengan mendapat terapi

ampicilin sulbaktam 3x 1.5 gram, ketorolac 3x1 ampul, rawat luka. Pada hari kedua

luka operasi baik tidak didapatkan tanda infeksi, penderita diperbolehkan pulang.

Kontrol satu minggu pasca operasi untuk melepas jahitan. Saat kontrol luka operasi

kering, tidak didapatkan nyeri maupun tanda-tanda infeksi.

Gambar 21. Teknik operasi dengan incisi pada pelipatan palpebra inferior

Gambar 22. Foto penderita Tn.IM sebelum operasi dan 1 minggu pasca operasi

33

Page 34: referat gilut

Laporan Kasus II

Tn. P berusia 31 tahun berasal dari Flores datang ke poli THT-KL pada bulan

Agustus 2008 dengan keluhan sulit mengunyah sejak mengalami kecelakaan lalu lintas

yang terjadi satu bulan sebelum ke RSUD Dr. Soetomo. Sulit membuka mulut, nyeri

kepala sisi kiri, makan bubur halus masih bisa. Tidak ada keluhan pada telinga, hidung

dan tenggorok. Penglihatan kiri menghilang sejak kecelakaan lalu lintas tersebut.

Lengan bawah kanan mengalami patah tulang dan sudah mendapat penanganan dari

rumah sakit setempat setelah kecelakaan berlangsung. Tidak terdapat riwayat penurunan

kesadaran sesaat ataupun setelah kecelakaan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran

komposmentis, tidak didapatkan anemi, ikterus, sianosis dan sesak. Tanda vital dalam

batas normal. Pada pemeriksaan telinga dalam batas normal. Hidung terdapat deformitas

kiri. Tenggorok terdapat trismus 2cm, maloklusi, tonsil dan faring dalam batas normal.

Pada inspeksi wajah didapatkan deformitas pada regio frontalis dan zygoma kiri.

Kelopak mata kiri tidak dapat membuka (ptosis), penglihatan kanan masih baik

sedangkan kiri sama sekali tidak dapat melihat. Thorak dalam batas normal, foto nasal

terdapat fraktur tulang nasal (gambar 23)

Gambar 23. Foto nasal tampak fraktur tulang nasal

1). Dilakukan CT scan 3 dimensi didapatkan multipel fraktur pada tulang zygoma,

tulang frontal, atap dan dinding medial orbita kiri, tulang nasal, dinding anterior-medial

dan lateral sinus maksilaris kanan/kiri dan septum nasi, displacement septum nasi ke

34

Page 35: referat gilut

kanan, retensi kista sinus maksilaris kanan, sinusitis maksilaris kiri dan ptisis bulbi kiri

(gambar 24, 25 dan 26).

Gambar 24. CT scan 3 dimensi tampak fraktur tulang frontal, dinding medial orbita kiri

Gambar 25. CT scan kepala lateral kiri tampak displacement septum nasi

35

Page 36: referat gilut

Gambar 26. CT scan kepala tampak ptisis bulbi kiridilakukan desinfeksi lapangan operasi

Dilakukan konsultasi ke departemen mata untuk ptisis bulbi kiri, didapatkan visus mata

kanan 6/6 sedangkan mata kiri 0, direncanakan operasi bersama untuk dilakukan

conjunctival flap sebagai persiapan pemasangan bola mata palsu 2 bulan setelah operasi.

Pada tanggal 11 September 2008 dilakukan operasi rekonstruksi. Pada fraktur frontal

dan zygoma dilakukan refrakturisasi, rekonstruksi tulang nasal dilakukan osteotomi.

Dilanjutkan pembuatan conjuntival flap oleh sejawat mata.

Teknik operasi rekonstruksi adalah sebagai berikut, setelah dibuat gambar tempat irisan

di atas tempat fraktur dengan metilen biru. Pada tempat gambar rencana irisan

diinfiltrasi dengan lidokain efedrin. Dibuat irisan sesuai garis lipatan kulit, periosteum

dipisahkan dengan rush kemudian dilakukan refraktur pada tulang zygoma dan frontal.

Dilakukan pemasangan mini plat dan difiksasi dengan sekrup, luka operasi ditutup.

Rekonstruksi tulang nasal kiri dengan osteotomi medial dan lateral dengan pembuatan

incisi di interkartilago septum nasi, refraktur tulang nasal kemudian diangkat dan

difiksasi dengan pemasanganan tampon anterior pada kavum nasi kiri.

36

Page 37: referat gilut

Gambar 26. Refraktur, reposisi dan pemasangan plat

Setelah operasi penderita dirawat di ruangan THT-KL. Pengobatan yang diberikan yaitu

Ampisilin Sulbaktam 3 x 1.5 gram, ketorolac 3 x30 mg, statrol tetes mata 3 x 2 tetes,

diet bubur halus dan perawatan luka operasi tiap hari dengan salep gentamisin dan

ditutup kasa steril.

Selama perawatan di ruangan penderita mengalami perbaikan, 2 hari pasca operasi

trismus menghilang sehingga diet bubur halus dapat diubah secara bertahap menjadi

diet nasi biasa. Luka operasi mengering tidak tampak tanda infeksi. Pada hari ke lima

tampon anterior dilepas, penderita tidak didapatkan buntu hidung. Hari ketujuh jahitan

dibuka dan hari ke delapan diperbolehkan pulang.

Satu minggu setelah keluar rumah sakit penderita kontrol, kondisi makin membaik tidak

didapatkan maloklusi , makan minum lancar, bicara tidak sulit, tidak didapatkan tanda

infeksi pada luka bekas operasi, dan tidak didapatkan buntu hidung

37

Page 38: referat gilut

Gambar 27. Foto penderita sebelum operasi (a) dan 1 minggu pasca operasi

38

Page 39: referat gilut

BAB III

KESIMPULAN

Fraktur pada maksila merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada suatu

jejas yang mengenai wajah tengah. Wajah tengah memiliki pilar-pilar yang dapat

menentukan pola fraktur tertentu. Le Fort merupakan orang pertama yang

menggambarkan klasifikasi fraktur pada wajah tengah, yang disebut sebagai klasifikasi

fraktur Le Fort I, II, dan III, tergantung tulang-tulang yang terlibat. Prinsip perawatan

terhadap fraktur Le Fort yaitu reduksi, fiksasi, imobilisasi, dan mobilisasi. Terdapat

beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan biasanya tidak

tampak hingga beberapa minggu hingga bulan setelah terjadinya trauma.

39

Page 40: referat gilut

DAFTAR PUSTAKA

1. Arosarena Oneida A, MD, et al. Maxillofacial Injuries and Violence Against

Women. Arch Facial Plast Surgery. 2009; 11(1):48-25.

2. Fraioli Rebecca E, MD,et al. Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol Clin

N Am. 2008; 41:51-76.

3. Ellis, Edward. 2000. Assesment of Patients with Facial Fractures.Dallas:

Saunders.

4. Geeta Singh, Shadab Mohammad, U. S. Pal, Hariram, Laxman R. Malkunje, and

Nimisha Singh., Pediatric facial injuries: It's management.Department of Oral

and Maxillofacial Surgery, C.S.M. Medical University, Lucknow, Natl J

Maxillofac Surg. 2011 Jul-Dec; 2(2): 156–162.

5. Werning John W, MD, et al. The Impact of Osteoporosis on Patients With

Maxillofacial Trauma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004; 130:353-356.

6. Hopper Richard A, MD, et al. Diagnosis of Midface Fractures with CT : What

the Surgeon Need To Know. Radiographics. 2006; 26:783-793.

7. Patrick Cole, M.D.,1Yoav Kaufman, M.D.,1 and Larry H. Hollier, Jr.,

M.D.Managing the Pediatric Facial Fracture, Craniomaxillofacial Trauma&

Reconstruction/Volume 2, Number 2. 2009,New York, NY 10001, USA.

8. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.

9. Peterson. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 4th ed. St.

Louis: Mosby.

10. Fonseca. Oral and Maxilofacial Trauma Volume 2. 2005,Elsevier-

Saunders,USA.

11. Tiwana Paul S, et al. Maxillary Sinus Augmentation. Dent Clin N Am.2006; 50:

409-424.

40

Page 41: referat gilut

12. Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed. Hamilton:

BC Decker Inc.

13. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel Dekker,

Inc.

14. Moore, U.J. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Oxford:

Blackwell-Science.

15. Rhea James T, Novelline Robert A. How to simplify the CT diagnosis of Le fort

Fractures. AJR. 2005; 184:1700-1705.

16. Moe, K.S. 2009. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment & Management.

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-treatment#a1135.

41