Referat ES Antipsikotik Atipikal
-
Upload
mahdiahandini -
Category
Documents
-
view
73 -
download
19
description
Transcript of Referat ES Antipsikotik Atipikal
-
1
REFERAT PENANGANAN EFEK SAMPING OBAT
ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
BAB I
PENDAHULUAN
Obat antipsikotik atau disebut juga Neuroleptik telah digunakan dalam dunia medis sudah
lebih dari 60 tahun. Pierre Deniker, Henri Leborit dan Jean Delay merupakan sekelompok ilmuwan
Perancis yang pertama kali menemukan obat antipsikotik pada awal 1950. Chlorpromazine adalah
obat yang pertama kali ditemukan dan saat itu menjadi pilihan utama dalam pengobatan
schizophrenia dan gangguan psikotik. Dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk mengontrol gejala
dari schizophrenia dan membutuhkan terapi dengan dosis maintenance untuk beberapa tahun
lamanya. 1
Istilah neuroleptic sebagai sinonim antipsikosis berkembang dari kenyataan bahwa obat
antipsikotik sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala ekstrapiramidal. Dengan
dikembangkannya golongan baru yang hamper tidak menimbulkan gejala ekstrapiramidal, istilah
neuroleptic tidak lagi dapat dianggap sinonim dari istilah antipsikotik. Selanjutnya ditemukan
generasi kedua antipsikostik yakni haloperidol, yang penggunaannya cukup luas hingga selama 4
dekade.1
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik
golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom) yang umum terjadi pada obat antipsikotik tipikal
yang ditemukan lebih dahulu. Sejak ditemukan klozapin, pengembangan obat baru golongan atipikal
ini terus dilakukan. Hal ini terlihat dengan ditemukannya obat baru yaitu risperidon, olanzapine,
zotepin, ziprasidon dan lainnya.1
-
2
Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat
reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.
Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamine 2, selain
itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamine 4, serotonin, histamine, reseptor muskarinik
dan reseptor alfa adrenergic. Golongan antipsikotik atipikal diduga efektif untuk gejala positif ( seperti
bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negative (miskin kata kata, afek yang datar, menarik
diri dari lingkungan, inisiatif menurun) pasien skizofrenia. Golongan antipsikotik tipikal umumnya
hanya berespon untuk gejala positif.1
Penggunaan antipsikotik atipikal saat ini merupakan lini pertama pengobatan
gejala psikotik pasien usia lanjut karena efek sampingnya yang lebih dapat ditolerir
daripada antipsikotik tipikal ataupun obat golongan non antipsikotik.
Namun demikian, tidak banyak penelitian yang menggunakan sampel populasi
pasien usia lanjut sehingga efikasi dan keamanannya secara ilmiah masih perlu diteliti
lebih lanjut. Secara klinis antipsikotik atipikal telah terbukti mempunyai efektifitas
dan keamanan yang cukup dalam mengobati gejala psikotik pasien usia lanjut.2
-
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. JENIS-JENIS ANTIPSIKOTIK 3
1. Antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama)
Klopromazin
Flufenazin
Tioridazin
Haloperidol
Dan lain-lain
2. Antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua
Klozapin
Olanzapine
Risperidon
Quetapin
Aripiprazol
Dan lain-lain
Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami
pergesaran. Bila pada mulanya menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilahan
beralih ke antipsikotik atipikal.
B. Indikasi Penggunaan 4,5
Gejala sasaran (target syndrome) : Sindrom Psikosis
-
4
Butir-butir diagnostik Sindrom Psikosis :
Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgment) terganggu, dn daya tilikan diri (insight) terganggu. 4
Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF:
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikaran yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi),
perilaku yang aneh atau tidak dapat terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF:
gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial
(menarik diri, pasif, apatis), gangguan prosses berfikir (lambat, terhambat), isi
pikiran yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan
cenderung menyendiri (abulia). 4
Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi dalam gejala:
tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan melakukan kegiatan rutin. 4
Sindrom otak organik yang akut dan menahun, misalnya pada delirium.5
Skizofrenia, psikosis-depresif jenis mania, parafrenia involusi dan psikosis reaktif
(kecuali pada psikosis depresif reaktif).5
Gangguan non-psikiatrik: misalnya (hiper-)emesis, alergi dan untuk potensiasi suatu
analgetikum.5
C. Mekanisme Kerja Antipsikotik Generasi Kedua (Apg II)
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
-
5
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi anatar
serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan
efek samping EPS lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi gejala negatif.
Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D2
sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan
reseptor dopamin (D2). APG II yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone,
olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik
ziprasidone belum tersedia di Indonesia.
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade terhadap
antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin pathways
sehingga terjadi keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II lebih
berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian
meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas menang dari pada yang
dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif
maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif
yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I
karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor
D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti
memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak,
karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan
-
6
perbaikan gejala negatif skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis
D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade
reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang
menyebabkan APG II dapat memperbaiki gejala positif. Pada keadaan normal
serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan
antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin
sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise.
Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin
menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan
menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat.
Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.
4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi
kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction
(EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan
leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
-
7
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada
dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG I.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai berikut: First line: Risperidone,
Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole Second line: Clozapine.
Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis berasal
dari APG I dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang didapatkan dari
pemakaian APG II selain efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki gejala
negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan
ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat antipsikotik.
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan
kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam
masyarakat. Kualitas hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari aspek
occupational dysfunction, social dysfunction, instrumental skills deficits, self-care,
-
8
dan independent living.
D. Efek Samping Pada Obat-Obat Antipsikotik Atipikal 6,7
Agranulositosis Kantuk Takikardi Depresi napas Aritmia Kejang Gangguan metabolik berupa peningkatan berat badan Gejala ekstrapiramidal/Sindrom parkinson Hiperprolaktinemia Mulut kering Pandangan kabur Akathisia
E. Penanganan Efek Samping Pada Obat-Obat Antipsikotik Atipikal
1. Hiperprolaktinemia Akibat Antipsikotik 7
Karena sebagian besar obat psikotik bekerja sebagai antagonis poten dari
reseptor D2, mereka menyebabkan peningkatan pelepasan prolaktin dengan
menghambat efek inhibisi dopamine endogen di hipofisis. Peningkatan prolactin
serum dapat menyebabkan amenore dan galaktore pada wanita. Bromocriptine
adalah terapi yang efektif karena aktivitas agonis dopaminnya menstimulasi reseptor
D2 di dalam hipofisis dan menghambat pelepasan prolactin. Walaupun aktivitas
-
9
agonis dopamine dari bromocriptine, pemakaiannya tampak tidak disertai dengan
eksaserbasi gejala psikotik. Bromocriptine digunakan dalam rentang dosis 5 sampai
15 mg sehari untuk indikasi tersebut.
2. Agranulositosis 7
Agranulositosis didefenisikan sebagai penurunan jumlah sel darah putih,
dengan penurunan spesifik pada jumlah leukosit polimorfonuklear. Konsentrasi
eritrostik dan trombosit tidak dipengaruhi. Agranulositosis terjadi pada 1 sampai 2
persen dari semua pasien yang diobati dengan clozapine, presentasi tersebut berbeda
dengan insiden 0,04 sampai 0,5 persen pada pasien yang diobati dengan antipsikotik
standar. Penelitian awal menunjukan bahwa sepertiga dari pasien yang mengalami
agranulositosis akibat clozapine meninggal, tetapi monitoring klinis yang cermat
terhadap status hematologis pasien yang diobati dengan clozapine akhirnya dapat
mencegah kematian dengan mengenali secara awal gangguan hematologis dan
menghentikan pemakaian clozapine. Agranulositosis dapat tampak secara tiba-tiba
atau bertahap, keadaan ini paling sering berkembang dalam enam bulan pertama
terapi, walaupun dapat tampak jauh lebih lama lagi. Peningkatan usia dan jenis
kelamin wanita adalah faktor risiko tambahan untuk perkembangan agranulositosis
akibat clozapine. Tetapi beberapa faktor genetika yang belum diketahui kemungkinan
menempatkan pasien tertentu kedalam risiko untuk agranulositosis.
3. Kejang 7
Kira-kira 5 persen pasien yang menggunakan lebih dari 600 mg clozapine
sehari, 3 sampai 4 persen pasien yang menggunakan 300 sampai 600 mg sehari
mengalami kejang yang berhubungan dengan clozapine. Presentase tersebut adalah
-
10
lebih tinggi dibandingkan yang berhubungan dengan pemakaian obat antipsikotik
standar. Jika kejang timbul pada seorang pasien, clozapine harus dihentikan secara
sementara. Therapy phenobarbital; (Luminal) dapat dimulai, dan clozapine dapat
dimulai kembali kira-kira 50 persen dari dosis sebelumnya, kemudian dinaikan
kembali secara bertahap. Carbamazepine (Tegretol) tidak boleh diberikan dalam
kombinasi dengan clozapine karena hubungannya dengan agranulositosis.
Konsentrasi plasma antiepileptik lain harus di dimonitor dengan cermat karena
kemungkinan interaksi farmakokinetik dengan clozapine.
4. Efek Kardiovaskuler 7
Takikardi, hipotensi dan perubahan elektroensefalogram (EEG) adalah
berhubungan dengan terapi antipsikotik atipikal seperti clozapine. Takikardi dapat
diobati dengan antagonis adrenergik beta kerja perifer, seperti atenolol (Tenormin),
walaupun terapi tersebut mungkin memperberat efek hipotensif clozapine mungkin
cukup parah sehingga menyebabkan episode sinkop, khususnya bilamana dosis awal
melebihi 75 mg sehari.
5. peningkatan Berat Badan 7,8
Allison dkk (1999) melakukan review komprehensif tentang literatur
penelitian untuk memperkirakan dan membandingkan efek antipsikotik konvensional
dan atipikal pada berat badan, menggunakan metodologi pencarian yang sangat teliti.
Hal ini diikuti oleh meta-analisis, dengan berat rata-rata estimasi perubahan dihitung
menggunakan kedua efek tetap dan model acak. Terhadap pasien dengan dosis
standar selama 10 minggu, para penulis menghitung perkiraan titik berat badan untuk
setiap obat. Berat badan yang berhubungan dengan lima antipsikotik atipikal diperiksa
dalam penelitian ini adalah ziprasidone (0,04 kg), risperidone (2,10 kg), sertindole
-
11
(2,92 kg), olanzapine (4,15 kg), dan clozapine (4,45 kg). Subjek yang menerima
plasebo kehilangan berat badan dalam kisaran 0,74 kg. Walaupun kedua antipsikotik
konvensional molindone dan pimozide berhubungan dengan berat badan, efek tidak
signifikan pada 10 minggu. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien bisa
mendapatkan peningkatan lebih dari 5% dari berat badan awal, dengan berat badan
menjadi lebih jelas dengan waktu, dan berdampak untuk kesehatan fisik umum
pasien.15 Almeras dkk mempelajari indeks antropometri dan metabolik yang
berhubungan dengan pengobatan antipsikotik atipikal, dalam penelitian open-label,
cross sectional, multi-center. Pasien diobati dengan risperidone (n = 45) atau
olanzapine (n = 42) dan hanya antipsikotik yang paling utama untuk dipelajari.
Dibandingkan dengan kelompok referensi, pasien yang diobati dengan antipsikotik
atipikal memiliki gula darah puasa yang tinggi dan resistensi insulin. Hasil penelitian
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara olanzapine dan risperidone. Pasien
diobati dengan olanzapine memiliki profil metabolik secara signifikan lebih buruk
dibandingkan dengan mereka yang dirawat dengan risperidone, dengan lebih dari
sepertiga dari kelompok menunjukan adanya pinggang yang hypertrigliseridemik
(lingkar pinggang 90 cm, trigliserida 2,0 mmol / L). Jadi dapat dikatakan
antipsikotik atipikal berpengaruh terhadap peningkatan berat badan.8
Penambahan berat badan menyertai pemakaian obat antipsikotik. Penambahan
berat badan dapat disebabkan oleh cairan yang tertahan, peningkatan asupan kalori,
atau penurunan latihan. Edema dapat diobati dengan meninggikan bagian tubuh yang
terkena atau dengan memberikan diuretic thiazide.7
6. Mulut Kering 7
Mulut kering disebabkan oleh penghambatan reseptor asetilkolin muskarinik.
Jika pasien berusaha untuk menghilangkan mulut kering dengan terus menerus
-
12
menghisap permen yang mengandung gula, mereka akan meningkatkan risiko,
mengalami karies gigi, sebaiknya mengunyah permen karet tanpa gula atau
menghisap permen tanpa gula. Klinisi lain menganjurkan tablet bethanechol
(urecholine, myotonachol), suatu agonis kolinergik lainnya 10 sampai 30 mg, sekali
atau dua kali sehari.
7. Pandangan Kabur 7
Penghambatan reseptor asetilkolin muskarinik menyebabkan midriasis
(dilatasi pupil) dan sikloplegia (paresis otot siliaris), yang menyebabkan presbyopia
(penglihatan dekat yang kabur). Gejala dapat dihilangkan dengan tetes mata
kolinomimetik. Suatu larutan pilocarpine 1 persen dapat diresepkan sebagai obat tetes
mata, satu tetes empat kali sehari. Sebagai alternatifnya, bethanechol dapat digunakan
seperti digunakan untuk mulut kering.
8. Akathisia 7
Akathisia ditandai oleh perasaan subjektif berupa kegelisahan atau tanda
objektif kegelisahan atau keduanya. Contonya adalah rasa kecemasan,
ketidakmampuan untuk santai, kegugupan, langkah dan perubahan cepat antara duduk
dan berdiri.
Tiga dasar terapi untuk akathisia yakni menurunkan dosis medikasi
neuroleptik, mengusahakan terapi dengan obat yang sesuai, dan mempertimbangkan
untuk mengganti neuroleptic. Obat lini pertama yang paling bermanfaat untuk terapi
akathisia adalah antagonis reseptor beta adrenergic contohnya propranolol (Inderal),
walaupun obat anti kolinergik dan benzodiazepine juga dapat berguna pada beberapa
kasus.
9. Tardive Dyskinesia Akibat Neuroleptik 7
-
13
Tardive dyskinesia akibat neuroleptic adalah gangguan pergerakan involunter
dan koreoatetoid yang timbulnya lambat. Gerakan yang paling sering adalah
mengenai daerah orofasial dan gerakan koreoatetoid pada jari-jari dan ibu jari kaki.
Gerakan atetoid pada kepala, leher, dan panggul juga ditemukan pada pasien yang
mengalami gangguan serius. Pada kasus yang paling serius, pasien mungkin memiliki
iregularitas dalam bernapas dan menelan, yang menyebabkan aerofagia, bersendawa,
dan mengorok. Faktor risiko untuk tardive dyskinesia adalah terapi jangka panjang
dengan neuroleptic, bertambahnya usia, jenis kelamin wanita, adanya gangguan
mood, dan adanya gangguan kognitif. Suatu alternative baru untuk pasien tersebut
adalah pengobatan dengan satu antipsikotik baru yang mungkin kurang berhubungan
dengan perkembangan tardive dyskinesia (sebagai contohnya, clozapine, remoxipride,
dan risperidone).
Bila terjadi gejala tersebut, obat antipsikotik perlahan-lahan dihentikan, bisa
dicoba pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent), obat anti
Parkinson atau l-dopa dapat memperburuk keadaan.
10. Parkinsonisme 4,7
disamping penggunaan obat antiparkinsonisme untuk mengatasi Parkinson
akibat obat antipsikotik, dapat dilakukan pula dengan penurunan dosis antipsikotik
atau mengganti denganti dengan antipsikotik yang kurang poten. Untuk terapi
parkinsonisme akibat neuroleptik, ekuivalen 1 sampai 4 mg benztropine harus
diberikan satu sampai empat kali sehari. Pasien biasanya berespon terhadap dosis
benztropine tersebut dalam satu sampai 2 hari. Jika amantadine digunakan untuk
terapi parkinsonisme akibat neuroleptik, dosis awal biasanya 100 mg per oral dua kali
sehari, walaupun dapat ditingkatkan sampai 200mg dua kali sehari tapi harus hati-hati
-
14
jika di indikasikan. Obat antikolinergik misal trihexyphenidyl atau amantadine harus
diberikan selama 4 sampai 8 minggu, selanjutnya dihentikan untuk menilai apakah
pasien masih memerlukan obat. Obat antikolinergik dan amantadine harus diturunkan
perlahan selama periode 1 sampai 2 minggu.
-
15
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. FKUI.2011.Farmakologi dan Terapi.Badan Penertbit FKUI:Jakarta.
2. Andri.2007.Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis Penderita Usia Lanjut.
3. Prof D. Castle and N. Tran.2008.Psychiatric Medication Information.
4. Maslim Rusdi.2007.Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.
5. Maramis, willy F.2009.Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.AUP:Jakarta.
6. Loebis Bahagia.2007.Penanggulangan Memakai Antipsikotik.
7. Kaplan H, Sadock B, dkk.2010.Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis.Binarupa Aksara:Tanggerang.
8. Sumardi M.2012. Dampak Antipsikotik Atipikal pada Sindrom Metabolik.