Referat CME
-
Upload
cindikia-ayu-sholehani -
Category
Documents
-
view
20 -
download
2
description
Transcript of Referat CME
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan
referat dengan judul “Cystoid Macular Edema” yang disusun dalam rangka memenuhi
persyaratan kepaniteraan di bagian Ilmu Penyakit Mata RSU dr. Slamet Garut.
Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. dr. Hj. Elfi Hendriati, Sp.M selaku kepala SMF dan konsulen di bagian Ilmu Penyakit
Mata RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu
kepada penyusun.
2. dr. H. Syahruddin Hasyamin, Sp.M selaku konsulen di bagian Ilmu Penyakit Mata
RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada
penyusun.
3. dr. Laila Wahyuni, Sp.M selaku konsulen di bagian Ilmu Penyakit Mata RSU dr.
Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penyusun.
4. Para perawat di poliklinik mata yang telah banyak membantu penyusun dalam kegiatan
klinik sehari-hari.
5. Orang tua dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberi kasih sayang, mendoakan
dan memberi dukungan kepada penyusun.
6. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan inspirasi dan dukungannya.
Penyusun menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Garut, 3 September 2015
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................2
I.PENDAHULUAN………………………………………………………………………………3
II.ANATOMI……………………………………………………………………………………..4
III.FISIOLOGI…………………………………………………………………………………..6
IV.CYSTOID MACULAR EDEMA……………………………………………………………8
1. Definisi…………………………………………………………………………………….8
2. Etiologi…………………………………………………………………………………….8
3. Faktor Risiko………………………………………………………………………………9
4. Patofisiologi……………………………………………………………………………….9
5. Manifestasi Klinis………………………………………………………………………..11
6. Diagnosis…………………………………………………………………………………12
7. Tatalaksana………………………………………………………………………………13
8. Prognosis…………………………………………………………………………………15
DAFTAR PUSTAKA………………...…………………………………………………………16
2
I. Pendahuluan
Cystoid macular edema adalah akumulasi cairan pada plexiform luar (Henle’s)
dan lapisan nuklear dalam retina, berpusat pada foveola. Yang merupakan penyakit
makula yang memiliki etiologi yang berbeda.2
Penyebab CME bisa dibagi menjadi dua macam berdasarkan ada atau tiadanya
kebocoran pembuluh darah retina pada flouresensi angiografi.
Dengan kebocoran pembuluh darah retina: retinopati diabetik, oklusi cabang vena
retina, pseudofakia atau afakia CME, uveitis intermediate atau idiopatik retina
telengiektasis.
Tanpa kebocoran pembuluh darah retina: retinitis pigmentosa, stadium awal macular
hole, makulopati asam nikotin dan pada asosiasi dengan neovaskularisasi koroid.2
Cystoid macular oedema diketahui sebagai komplikasi pembedahan intraokular.
Namun, patofisiologinya belum diketahui sepenuhnya. Hal ini bisa diukur dengan
berbagai cara, termasuk flouresensi angiografi atau optical coherence tomografi
(OCT).3
Insiden CME pada operasi katarak yang berjalan lancar adalah 0,1%-2,4%.
Setelah operasi katarak yang rumit (ie, ruptur kapsul posterior dengan atau tanpa
vitreous loss atau setelah laser capsulotomy), risikonya meningkat 10 kali sampai
21% selama sebulan pertama. Pada pasien dengan penyakit sistemik seperti diabetes
mellitus, CME dilaporkan terjadi sampai dengan 28,6% kasus setelah operasi katarak
dalam satu tahun pertama post operasi.3
3
II. Anatomi Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang
melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina membentang
ke anterior hamper sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi
yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang
garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal. Permukaan luar retina
sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga
berhubungan dengan membrane Bruch, koroid, dan sclera. Di sebagian besar tempat,
retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah hingga terbentuk suatu ruang
subretina, seperti yang terjadi pada ablasi retina. Namun pada diskus optikus dan ora
serrate, retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan
subretina pada ablasi retina dapat dibatasi. Hal ini berlawanan dengan ruang
subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sclera, yang meluas ke taji sclera.
Dengan demikian, ablasi koroid akan meluas melampaui ora serrate, di bawah pars
plana dan pars plicata. Lapisan-lapisan epitel pada permukaan dalam corpus ciliare
dan permukaan posterior iris merupakan perluasan retina dan epitel pigmen retina ke
anterior. Permukaan dalam retina berhadapan dengan vitreus.
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut: (1)
membrane limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel
ganglion yang berjalan menuju nervus opticus; (3) lapisan sel ganglion; (4) lapisan
pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel amakrin
dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin, dan
horizontal; (6) lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan
sel horizontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor; (8) membrane
limitans eksterna; (9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut;
dan (10) epitel pigmen retina. Lapisan dalam membrane Bruch sebenarnya
merupakan membrane basalis epitel pigmen retina.
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrate dan 0,56 mm pada kutub posterior.
Ditengah-tengah retina posterior terdapat macula berdiameter 5,5-6 mm, yang secara
klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah
retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area centralis, yang
4
secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh
darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area centralis,
yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel
ganglionnya lebih dari satu lapis. Macula lutea secara anatomis didefiniskan sebagai
daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning-xantofil. Fovea
yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avascular retina pada angiografi
flouresens. Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami
penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain. Hal ini terjadi karena
akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan-
lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara
sentrifugal. Di tengah macula, 4 mm lateral dari diskus optikus, terdapat foveola yang
berdiameter 0,25 mm, yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai
cekungan yang menimbulkan pantulan khusus. Foveola merupakan bagian retina
yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut. Gambaran
histologis fovea dan foveola ini memungkinkan diskriminasi visual yang tajam;
foveola memberikan ketajaman visual yang optimal. Ruang ektraselular retina yang
normalnya kosong cenderung paling besar di macula. Penyakit yang menyebabkan
penumpukan bahan ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan daerah
ini (edema macula).
Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di luar
membrane Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiform
luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-
cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua pertiga dari retina. Fovea
seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang tak dapat
diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan
endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar darah-retina. Lapisan endotel
pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar darah-retina sebelah luar terletak setinggi
lapisan epitel pigmen retina.1
5
III. Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan mata yang paling kompleks. Mata berfungsi sebagai alat optic,
suatu reseptor yang kompleks, dan suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls
saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan oksipital.
Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut meningkat ke
pusat macula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan sel batang lebih
tinggi ke perifer. Di foveola, terdapat hubungan hamper 1:1 antara fotoreseptor
kerucut, sel ganglionnya, dan serat-serat saraf yang keluar, sedangkan di retina
perifer, sejumlah fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama. Fovea
berperan pada resolusi spasial (ketajaman penglihatan) dan penglihatan warna yang
baik, keduanya memerlukan pencahayaan ruang yang terang (penglihatan fotopik)
dan paling baik di foveola; sementara retina sisanya terutama digunakan untuk
penglihatan gerak, kontras, dan penglihatan malam (skotopik).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar retina sensorik yang
avascular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali
proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rhodopsin, suatu
pigmen penglihatan yang fotosensitif dan terbenam di dalam diskus bermembran
ganda pada fotoreseptor segmen luar. Pigmen ini tersusun atas dua komponen, sebuah
protein opsin dan sebuah kromofor. Opsin dalam rhodopsin adalah scotopsin, yang
terbentuk dari tujuh heliks transmembrane. Opsin tersebut mengelilingi kromofornya,
retinal, yang merupakan turunan dari vitamin A. Saat rhodopsin menyerap foton
cahaya, 11-cis-retinal akan mengalami isomerisasi menjadi all-trans-retinal dan
akhirnya menjadi all-trans-retinol. Perubahan bentuk ini akan mencetuskan terjadinya
kaskade penghantar kedua (secondary messenger cascade). Puncak absorbsi cahaya
oleh rhodopsin terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang merupakan
daerah biru-hijau pada spectrum cahaya. Penelitian-penelitian sensitivitas spectrum
fotopigmen kerucut memperlihatkan puncak absorbsi panjang gelombang, berturut-
turut untuk sel kerucut sensitive-biru, -hijau, dan –merah, pada 430, 540, dan 575 nm.
Fotopigmen sel kerucut terdiri atas 11-cis-retinal yang terikat pada protein opsin
selain scotopsin.
6
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor batang. Dengan
bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat beragam corak abu-abu, tetapi warna-
warnanya tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi penuh terhadap
cahaya, sensivitas spectrum retina bergeser dari puncak dominasi rhodopsin 500 nm
ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu objek akan berwarna apabila
objek tersebut secara selektif memantulkan atau menyalurkan sinar dengan panjang
gelombang tertentu dalam kisaran spectrum cahaya tampak (400-700 nm).
Penglihatan siang hari (fotopik) terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut,
senjakala (mesopik) oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan malam (skotopik)
oleh fotoreseptor batang.
Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina, yang berperan penting dalam proses
penglihatan. Epitel ini bertanggung jawab untuk fagositosis segmen luar fotoreseptor,
transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif
antara koroid dan retina. Membrane basalis sel-sel epitel pigmen retina membentuk
lapisan dalam membrane Bruch, yang juga tersusun atas matriks ekstraseluler khusus
dan membrane basalis koriokapilaris sebagai lapisan luarnya. Sel-sel epitel pigmen
retina mempunyai kemampuan terbatas dalam melakukan regenerasi.1
7
IV. Cystoid Macular Edema
IV.1. Definisi
Cystoid macular edema adalah akumulasi cairan pada plexiform luar (Henle’s) dan
lapisan nuklear dalam retina, berpusat pada foveola. Yang merupakan penyakit
makula yang memiliki etiologi yang berbeda.2
Cystoid macular oedema diketahui sebagai komplikasi pembedahan intraokular.
Namun, patofisiologinya belum diketahui sepenuhnya. Hal ini bisa diukur dengan
berbagai cara, termasuk flouresensi angiografi atau optical coherence tomografi
(OCT).3
Pseudofakia cystoid macular edema (CME) merupakan penyebab kehilangan
penglihatan pasca operasi katarak yang tak terduga. Patogenesis CME masih belum
diketahui, peningkatan permeabilitas vaskular akibat mediator inflamasi berperan
penting. Berbagai faktor pra operasi dan pasca operasi yang diusulkan untuk
meningkatkan CME setelah operasi katarak; trauma iris atau ruptur kapsul posterior,
kehilangan vitreous, retinopati diabetes, oklusi vena retina, membran epiretinal, atau
uveitis adalah beberapa dari faktor.4
IV.2. Etiologi
Setelah berbagai jenis pembedahan mata (termasuk fotokoagulasi laser dan
kryoterapi). (Puncak kejadian setelah operasi katarak kira-kira 6 sampai 10 minggu;
kejadian meningkat dengan komplikasi operasi termasuk vitreous sampai pada luka,
prolapse iris, dan hilangnya vitreous). Selain itu dapat juga disebabkan karena
retinopati diabetik, CRVOs dan BRVOs, uveitis, retinitis pigmentosa, tetes topical
(contohnya: epinephrine, dipivefrin, dan latanoprost), khususnya pada pasien yang
telah menjalani operasi katarak.5
Selain itu, CME dapat juga disebabkan oleh retinal vaskulitis, retinal telangiektases,
ARMD, tumor intraokular, hipertensi sistemik, collagen-vascular disease, surface-
wrinkling retinopati, autosomal dominant CME, pseudo-CME [tidak ada penolakan
pada IVFA (makulopati asam nikotin digunakan untuk terapi hiperkolesterolemia).5
Penyebab CME bisa dibagi menjadi dua macam berdasarkan ada atau tiadanya
kebocoran pembuluh darah retina pada flouresensi angiografi.
8
Dengan kebocoran pembuluh darah retina: retinopati diabetik, oklusi cabang vena
retina, pseudofakia atau afakia CME, uveitis intermediate atau idiopatik retina
telengiektasis.
Tanpa kebocoran pembuluh darah retina: retinitis pigmentosa, stadium awal macular
hole, makulopati asam nikotin dan pada asosiasi dengan neovaskularisasi koroid.2
IV.3. Faktor risiko
1. Implantasi AC-IOL sekunder pada mata tanpa kapsul posterior berkaitan dengan
kira-kira 30% insiden CME.
2. Mata dengan semiflexible, loop-tertutup AC-IOL meningkatkan risiko persisten
pada CME yang dapat berkembang dalam beberapa bulan atau terkadang sampai
beberapa tahun setelah implantasi. Pasien ini awalnya mengalami gejala yang
berkaitan dengan inflamasi intraocular kronis, terdiri dari nyeri, penglihatan
berfluktuasi dan fotofobia. Selanjutnya penurunan endotel, peningkatan tekanan
intraokular, deposit inflamasi pada IOL, vitritis anterior, dan CME.
3. Ketika kapsulotomi primer dilakukan dengan cara ECCE, insiden CME post
operasi meningkat hingga empat kali lipat. Apabila kapsulotomi tertunda 6 bulan atau
lebih, maka risiko CME akan menurun secara signifikan.
4. Kehilangan vitreus pada saat ekstraksi katarak berkaitan dengan peningkatan
insiden CME, terlepas dari teknik operasi.
5. Penyakit vaskular sistemik, seperti hipertensi atau diabetes, meningkatkan risiko
CME.
6. Pasien dengan CME pada salah satu mata meningkatkan risiko pengembangan
pada mata sebelahnya, bahkan setelah ekstraksi katarak simple.2
IV.4. Patofisiologi
Patogenesis yang tepat dari CME masih belum jelas. CME terjadi ketika kelebihan
cairan terakumulasi dalam retina makula. Hal ini diduga terjadi gangguan pada blood
retina barrier (BRB). Angiografi fluorescein di mata normal menunjukkan
penghalang utuh serta pewarna tetap dalam pembuluh darah dan tidak bocor ke dalam
jaringan retina. Secara khusus, zona avaskular di makula tetap gelap tanpa jalan
keluar dari pewarna. Ketika BRB rusak, cairan terakumulasi dalam retina baik intra
dan ekstrasel (Yanoff et al 1984).
9
Akumulasi cairan ekstraseluler mengganggu fungsi sel dan arsitektur retina. Sel
Muller berperan penting dalam bertindak sebagai pompa metabolisme yang menjaga
makula tetap dehidrasi. Namun, akumulasi cairan intraseluler dalam sel Müller juga
dapat terjadi di CME dan mengurangi fungsi retina makula. Tarikan vitreous berperan
seperti yang ditunjukkan oleh temuan Hirokawa dan rekan (1985) yang menunjukkan
bahwa mata uveitis dengan detachement vitreous lengkap cenderung memiliki lebih
sedikit makula perubahan dibandingkan mata tanpa detachement vitreous lengkap.
Hikichi dan Trempe (1993) melaporkan 116 mata dengan uveitis dan menunjukkan
pentingnya sebuah vitreous melekat: itu hadir di 78% dari mata dengan CME vs 22%
dari mata tanpa CME. Di mata dengan uveitis, kerusakan integritas BRB hasil
kebocoran pewarna selama angiografi fluorescein yang terakumulasi di daerah
makula, sering dengan karakteristik suatu penampilan petalloid.
Banyak sitokin sel-T yang berbeda telah terdeteksi di kedua cairan intraokular mata
meradang dan biopsi dari jaringan okular terlibat dan sitokin seperti interferon-γ,
interleukin-2, interleukin-10, dan tumor necrosis Faktor-α merupakan kunci dalam
generasi inflamasi intraokular (Wakefield dan Lloyd 1992). Inflamasi lainnya
mediator seperti prostaglandin dan kemokin disekresikan oleh berbagai jenis sel yang
terlibat dalam peradangan mata dan juga mediator inflamasi penting di mata.
Meskipun faktor memulai untuk sebagian besar bentuk uveitis di pria yang tidak
diketahui, timbulnya proses inflamasi di model eksperimental uveitis terkait dengan
masuknya limfosit sel-T, terutama dari CD4+ subtype (Lightman dan Chan 1990).
Dalam model eksperimental uveitis, kuantitatif sensitive teknik telah menunjukkan
bahwa integritas BRB dilanggar pada saat yang sama bahwa sel-sel T masuk ke mata,
menunjukkan bahwa sel T bertanggung jawab untuk kerusakan ini (Lightman dan
Greenwood 1992). Apakah sel T spesifik seseorang disekresikan sitokin secara
langsung bertanggung jawab untuk ini tidak diketahui dan kemungkinan bahwa
banyak yang mampu merusak BRB. Data dari model eksperimental juga
menunjukkan bahwa BRB dapat rusak ke derajat variabel dan secara merata di
sepanjang dinding pembuluh darah (Lightman et al 1987). Lebih parah kerusakan di
satu daerah dapat memungkinkan makromolekul protein besar ke dalam retina,
sedangkan di daerah terdekat kerusakan kurang parah memungkinkan di zat terlarut
10
dengan berat molekul hanya rendah. Ini daerah fokus BRB breakdown dapat menutup
dengan cepat dan lainnya daerah maka mungkin terlibat. Mekanisme yang tepat
memungkinkan lewatnya cairan dan molekul dalam retina tidak diketahui, tetapi
mungkin terjadi melalui rute transelular bukan melalui persimpangan ketat. Sebagai
resolusi proses inflamasi terjadi, produksi sitokin oleh sel T berkurang, BRB tidak
lagi terganggu, dan masuknya cairan abnormal ke retina berhenti. Penglihatan baik
dipulihkan ketika cairan intraretinal tersisa dihapus dan integritas normal dari BRB
dipulihkan. Namun, jika edema adalah kerusakan permanen kronis atau sangat parah
ke makula sel retina dapat terjadi, dengan penipisan retina dan fibrosis, bahwa
resolusi tersebut dari cairan edema mungkin tidak mengakibatkan kembalinya
penglihatan normal (Guex-OSC 1999).
Misalnya, mata dengan endoftalmitis bakteri atau jamur sering ditandai hilangnya
penglihatan karena CME telah berhasil diobati.6
Kira-kira 20% pasien yang menjalani fakoemulsifikasi sederhana atau ekstraksi
extrakapsular dengan angiografi dapat dibuktikan dengan CME. Namun, penurunan
ketajaman penglihatan hanya terlihat pada 1% dari pasien. Jika ekstraksi katarak
diperberat oleh ruptur kapsula posterior dan kehilangan vitreous, trauma iris berat
atau tarikan vitreous pada luka, maka insiden akan semakin tinggi (sampai 20%)
gejala klinis CME nyata, yang tidak berhubungan dengan keberadaan AC-IOL.
Gejala klinis signifikan CME biasanya terjadi antara 3-12 minggu post operasi, tetapi
pada beberapa contoh onsetnya terhambat selama beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah operasi. Resolusi spontan dari CME dengan peningkatan penglihatan terjadi
dalam 3-12 bulan pada 80% pasien. Operasi katarak pada pasien katarak terjadi
peningkatan yang dramatis pre-existing macular edema diabetic mengarah pada hasil
fungsi penglihatan yang buruk. Hal ini bisa dicegah dan diatasi dengan fotokoagulasi
laser sebelum operasi. Penelitian membandingkan antara fakoemulsifikasi dengan
ekstraksi katarak ekstrakapsular pada pasien dengan diabetes tidak ada perbedaan
insiden.6
IV.5. Manifestasi klinis
Gejala termasuk penurunan tajam penglihatan yang diikuti dengan edema retina,
hilangnya sensitivitas kontras dan penglihatan warna, metamorphopsia yang dapat
11
didemonstrasikan dengan bagan Amsler, mikropsia, dan skotoma sentral. Kebocoran
pada angiografi flourescein tidak berkorelasi dengan penurunan tajam penglihatan.5
IV.6. Diagnosis
Gambaran kebocoran kapiler perifoveal pada flouresensi terdapat pada 60% pasien
yang melakukan ektraksi katarak.7
Flourescein angiography: penumpukan pewarna pada lapisan luar plexiform retina,
dengan pengaturan radial dari serat pusat foveola (lapisan Henle), yang bertanggung
jawab atas pola “kelopak bunga”. Kebocoran dari pewarna ke daerah parafoveal
dimulai pada saat fase arteriovenous pada angiogram. Titik pusat kebocoran
kemudian menyatu menjadi pola “kelopak bunga” pada akhir fase arteriovenous.2
Optical coherence
tomography (OCT)
merupakan metode baru
untuk resolusi tinggi
gambaran cross-sectional
untuk mengukur
perubahan pada z-plane
(kedalaman retina).
Metode ini menggunakan cahaya near-infrared untuk mengetahui perubahan pada
refleksi antar muka optikal dengan metode low-coherence interferometry.
Keuntungan OCT adalah non-invasif, nyaman, dan aman apabila digunakan berulang.
12
OCT berguna untuk menunjukkan ketebalan retina pada pasien macular oedema,
macular holes atau epiretinal membranes, dengan reproduktifitas dan pengulangan
tingkat tinggi. OCT dapat menunjukkan perubahan kistik dan peningkatan ketebalan
retina pada pasien CME. OCT berguna untuk mengetahui dan konfirmasi CME
setelah operasi katarak, OCT berguna untuk mengetahui perubahan halus pada
ketebalan retina. Pengukuran ketebalan retina dengan OCT bisa saja berpengaruh
pada status lensa.8
IV.7. Tatalaksana
Tatalaksana sering tidak memuaskan dan tergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Pilihan tatalaksana yang dapat berguna pada kasus tertentu:
1. Fotokoagulasi laser: digunakan pada kasus vascular.
2. Systemic carbonic anhydrase inhibitors: digunakan untuk tatalaksana CME yang
berhubungan dengan ekstraksi katarak, uveitis intermediate, dan kasus yang
berhubungan dengan retinitis pigmentosa.
13
3. Steroid: diberikan sistemik atau injeksi sub-Tenon periakular posterior, dapat
berguna pada uveitis intermediate dan ekstraksi katarak.(kanski)
Kebanyakan kasus akan sembuh secara spontan dalam waktu 6 bulan dan tidak
memerlukan terapi khusus. CME dengan durasi kurang dari 6 bulan biasanya tidak
menyebabkan lamellar hole formation.
Terapi dengan acetazolamide oral 500 mg/hari selama 2 minggu, diikuti dengan 250
mg/ hari selama 2 minggu dan dosis perawatan harian 125 mg sering efektif
menyebabkan resolusi CME dan meningkatkan ketajaman visual. Pasien intolerans
acetazolamide bisa diterapi dengan dichlorphenamide.
Pada kasus persisten, steroid bermanfaat meskipun efeknya transien. Terapi inisial
dengan topical steroid setiap 2 jam selama 3 minggu. Jika tidak ada perbaikan, injeksi
posterior sub-tenon steroid jangka panjang seperti methylprednisolone
(depomedrone) atau triamcinolone (kenalog) harus diberikan.
Jika terapi steroid tidak berhasil pada mata dengan adhesi vitreous pada insisi katarak,
maka dilakukan upaya dengan merusak adhesi dengan laser YAG.
Jika kedua pengobatan dan terapi YAG gagal, maka vitreous harus dibuang dari
segmen anterior dengan vitreous cutter.
Pembuangan IOL perlu dipertimbangkan jika tampaknya akan memberi kontribusi
atau memperburuk inflamasi intraocular. Ini berlaku untuk iris-supported dan AC-
IOLS.2
Tujuh puluh persen kasus CME post katarak akan sembuh dengan sendiri dalam
kurun waktu 6 bulan; CME diterapi apabila menyebabkan penurunan penglihatan.
1. Terapi penyakit yang mendasari.
2. Topical NSAID; e.g. ketorolac selama 3 bulan (NSAID topical lainnya belum
diterima untuk CME).
3. Hentikan terapi topical epinephrine, dipivefrin atau tetes xalatan dan pengobatan
yang mengandung asam nikotinik.
4. Pertimbangkan acetazolamide, 500 mg p.o., tertutama untuk pasien post operasi
dan untuk pasien uveitis.
5. Tatalaksana lainnya yang belum diterima efikasinya tetapi digunakan:
- Sistemik NSAID (indomethacin 25mg p.o., selama 6 minggu)
14
- Topical steroid (prednisolone acetate 1%, selama 3 minggu, lalu tapering off
selama 3 minggu); untuk hasil maksimal jika digunakan bersamaan dengan ketorolac.
- Sistemik steroid (prednisone 40 mg p.o., selama 5 hari, lalu tapering off selama 2
minggu)
- Steroid subtenon (methylprednisolone 80 mg/mL, dalam 0,5 mL).5
IV.8. Prognosis
CME biasanya self-limiting dan sembuh secara spontan dalam 3-4 bulan. Tergantung
etiologi, perbaikan edema bisan dibantu dengan menggunakan terapi medikamentosa
ataupun operasi. Apabila edema kronik (lebih dari 6-9 bulan) kerusakan permanen
pada fotoreseptor dan penipisan retina dan fibrosis dapat terjadi.5
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P, Whitcher J., 2015. Vaughan & Ashbury’s
Oftalmologi Umum -17th ed. Jakarta: EGC.
2. Kanski, Jack J., 1997. Clinical Opthalmology. Windsor: Great Britain by Buttler &
Tanner Ltd, Frome and Whelir.
3. Heinzelmann S, Maier P, Böhringer D, et al. Br J Ophthalmol 2015;99:98-102.
4. Oh, Jong-Hyun et al. ‘Vitreous Hyper-Reflective Dots In Optical Coherence Tomography
And Cystoid Macular Edema After Uneventful Phacoemulsification Surgery’. PLoS ONE
9.4 (2014): e95066.
5. Kunimoto D, Kanitkar K, Makar M., 2004. The Wills Eye Manual. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
6. Rotsos T. Cystoid macular edema. OPTH. 2008;:919.
7. Miller, Stephen J. H., 1984. Parson’s Disease of The Eye. London: Churcill Livingstone
Edinburgh London Melbourne and New York.
8. Ching H, Wong A, Wong C, Woo D, Chan C. Cystoid Macular Oedema and Changes in
Retinal Thickness after Phacoemulsification with Optical Coherence Tomography. Eye.
2005;20(3):297-303.
16