Referat Autisme Vera, Nero Juni-Juli 2015
-
Upload
ayu-assa-chua -
Category
Documents
-
view
11 -
download
4
description
Transcript of Referat Autisme Vera, Nero Juni-Juli 2015
AUTISME
A. DEFINISI
Autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti “sendiri”. Anak dengan
autisme seolah-olah hidup di dunianya sendiri, menghindari/tidak merespon terhadap
kontak sosial, dan lebih senang menyendiri. Autisme atau autisme infantil (Early
Infantile Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner pada tahun 1943,
seorang psikiatris Amerika. Istilah autisme digunakan untuk menunjukkan suatu
gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol, yang sering disebut Sindrom
Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang
kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang
lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi1.
Pada awalnya istilah “autisme” diambil dari gangguan skizofrenia, dimana
penggunaan istilah “autisme” ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia
yang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. Namun
ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada penderita skizofrenia
dengan penyandang autisme infantil. Pada skizofrenia, autisme disebabkan dampak
area gangguan jiwa yang di dalamnya terkandung halusinasi dan delusi yang
berlangsung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada anak-anak dengan autisme
infantil terdapat kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam kriteria
Gangguan Pervasif dengan kehidupan autistik yang tidak disertai dengan halusinasi
dan delusi2.
B. PREVALENSI
Data dari CDC Autisme and Developmental Disabilities Monitoring (ADDM)
Network menyatakan sekitar 1 dari 68 anak di Amerika Serikat teridentifikasi dengan
gangguan spektrum autism/autisme spectrum disorder (ASD). Autisme 5 kali lebih
sering terjadi pada anak laki-laki (1 dari 42) dibandingkan anak perempuan (1 dari
189) 3.
1
2
Di Indonesia sendiri belum ada angka yang pasti mengenai angka prevalensi
autism, namun data dari salah satu penelitian menyatakan penyandang autis di
Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak. Prevalensi anak dengan autis di
Indonesia dikatakan mengalami peningkatan dari 1 banding 150 kelahiran pada tahun
2000 menjadi 1 banding 100 kelahiran pada tahun 20014.
C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada satupun yang
spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi bahwa faktor genetik
berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi yang melibatkan anak kembar
terlihat bahwa dua kembar monozigot (kembar identik) kemungkinan 90% akan
sama-sama mengalami autisme; kemungkinan pada dua kembar dizigot (kembar
fraternal) hanya sekitar 5-10% saja5.
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi meskipun
baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antara gen serotonin-transporter.
Disfungsi serotonin telah terlibat sebagai faktor dalam asal-usul gangguan autis sejak
ditemukan kenaikan signifikan kadar 5-HT pada pemeriksaan darah. Hipersero-
tonemia adalah sebuah temuan yang kuat dalam gangguan autis. Pada anak-anak
nonautistik, kapasitas serotonin, diukur dengan tomografi emisi positron (PET), lebih
dari 200% meningkat sampai usia 5, dan mulai menurun saat menuju dewasa. Akan
tetapi pada anak autis sintesis serotonin telah terbukti meningkat secara bertahap
antara usia 2 hingga 15, dan mencapai 1,5 kali pada tingkat dewasa yang normal.
Dalam studi lain yang terkait, telah menunjukkan bahwa kadar serotonin tampak
stabil setelah usia 12 tahun.5
Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan bahwa autisme timbul
akibat adanya beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid pada saat
usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen dan opioid merupakan
perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan kasein makanan. Pada dasarnya teori
ini mengemukakan adanya barrier yang defisien di dalam mukosa usus dan di darah-
3
otak (blood-brain), atau oleh karena adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang
beredar dalam darah untuk mengubah opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat
racun dan menimbulkan penyakit. Protein dari kedua makanan ini tidak semua
dirubah menjadi asam amino tetapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek
asam amino yang seharusnya dibuang lewat urine. Pada penyandang autistik, peptida
ini diserap kembali oleh tubuh, masuk ke dalam aliran darah, masuk ke otak dan
dirubah oleh reseptor opioid menjadi morfin yaitu casomorfin dan gliadorphin, yang
mempunyai efek merusak sel-sel otak dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi
otak yang terkena biasanya adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku5.
Barrier yang defektif ini mungkin diwarisi (inherited) atau sekunder karena
suatu kelainan. Berbagai uraian tentang abnormalitas neural pada autisme telah
menimbulkan banyak spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak
ada satupun, baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau
tes diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab utama
autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas jaringan otak pada
individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari abnormalitas ini belum diketahui,
demikian juga pengaruhnya terhadap perilaku5.
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang autisme infantil yaitu:
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa
autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orang
tuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak tersebut meyakini
bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga menciptakan
“benteng kekosongan” untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan4.
2. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih tinggi
dari wanita. Sementara resiko autis jika memiliki saudara kandung yang juga autis
sekitar 3%. Kelainan dari gen pembentuk metalotianin juga berpengaruh pada
4
kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok protein yang merupakan mekanisme
kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi lainnya yaitu perkembangan sel
saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan saluran cerna, dan penguat sistem imun.
Disfungsi metalotianin akan menyebabkan penurunan produksi asam lambung,
ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sistem imun
yang sering ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab
lebih berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan karena sintesis
metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesterone5.
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik pada salah satu
penelitian menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang
berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab
atas emosi, agresi, sensori, input, dan belajar. Penelitian ini juga menemukan adanya
defisiensi sel Purkinje di serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance
Imaging (MRI), telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobules VI dan VII, yang
pada individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari
kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian5.
Dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik menun-
jukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal dibandingkan
dengan orang normal5.
D. GAMBARAN KLINIS
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada
sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang
ibu yang cermat dapat melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia
satu tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya
minat untuk berinteraksi dengan orang lain. Secara umum ada beberapa gejala
autisme yang akan tampak semakin jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun,
yaitu1:
5
a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat
bicara, mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti,
echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya, dan lain-
lain.
b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata,
tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri, dan
lain-lain.
c. Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang
berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif
namun dilain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan permainan yang
sama dan monoton .Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti
gambar, karet, dan lain-lain yang dibawanya kemana-mana.
d. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati,
dan toleransi; kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan
sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
e. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit
mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak
menyukai rabaan dan pelukan, dan lain-lain. Gejala–gejala tersebut di atas tidak harus
ada semuanya pada setiap anak autisme, tergantung dari berat-ringannya gangguan
yang diderita anak.
E. KARAKTERISTIK
Beberapa karakteristik autism antara lain6:
1. Karakteristik dalam interaksi sosial, antara lain adalah:
a. Menyendiri (aloof): terlihat pada anak yang menarik diri, acuh tak acuh, dan
kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku dan
perhatian yang terbatas (tidak hangat).
b. Pasif : dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika
pola permainannya disesuaikan dengan dirinya.
6
c. Aktif tapi aneh: secara spontan akan mendekati anak lain, namun interaksi ini
seringkali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.
2. Karakteristik dalam komunikasi, antara lain adalah :
a. Bergumam
b. Sering mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata dan kesukaran
dalam mengggunakan bahasa dalam konteks yang sesuai dan benar
c. Sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar atau yang pernah
mereka dengar sebelumnya tanpa bermaksud untuk berkomunikasi
d. Bila bertanya sering menggunakan kata ganti orang dengan terbalik, seperti
"saya" menjadi "kamu" dan menyebut diri sendiri sebagai "kamu";
e. Sering berbicara pada diri sendiri dan mengulang potongan kata atau lagu
dari iklan tv dan mengucapkannya di muka orang lain dalam suasana yang
tidak sesuai.
f. Penggunaan kata-kata yang aneh atau dalam arti kiasan, seperti seorang anak
berkata "sembilan" setiap kali ia melihat kereta api.
g.Mengalami kesukaran dalam berkomunikasi walaupun mereka dapat
berbicara dengan baik, karena tidak tahu kapan giliran mereka berbicara,
memilih topik pembicaraan, atau melihat kepada lawan bicaranya.
h. Bicaranya monoton, kaku, dan menjemukan.
i. Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan atau emosinya melalui nada
suara
j. Tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan
keinginannya, tetapi dengan mengambil tangan orangtuanya untuk
mengambil obyek yang dimaksud
k. Mengalami gangguan dalam komunikasi nonverbal; mereka sering tidak
menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi untuk mengekspresikan
perasaannya atau untuk merabarasakan perasaan orang lain, misalnya
menggelengkan kepala, melambaikan tangan, mengangkat alis, dan
sebagainya.
7
3. Karakteristik dalam perilaku dan pola bermain, antara lain adalah:
a. Abnormalitas dalam bermain, seperti stereotip, diulang-ulang dan tidak
kreatif.
b. Tidak menggunakan mainannya dengan sesuai
c. Menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru.
d. Minatnya terbatas, sering aneh, dan diulang-ulang.
e. Hiperaktif pada anak prasekolah atau sebaliknya hipoaktif.
f. Gangguan pemusatan perhatian, impulsifitas, koordinasi motorik terganggu,
kesulitan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
4. Karakteristik kognitif, antara lain adalah:
a. Hampir 75-80% anak autis mengalami retardasi mental dengan derajat rata-
rata sedang.
b. Sebanyak 50% dari idiot savants (retardasi mental yang menunjukan
kemampuan luar biasa) adalah seorang penyandang autisme.
F. DIAGNOSIS
Secara detail, menurut DSM IV, kriteria gangguan autistik adalah sebagai
berikut2:
A. Harus ada total enam atau lebih hal dari 1, 2 dan 3 dengan sekurangnya dua dari 1
dan masing-masing satu dari 2 dan 3.
1. Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial seperti ditunjukkan oleh
sedikitnya 2 dari gejala berikut:
a) Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal multipel seperti kontak
mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik dalam berinteraksi
sosial.
b) Gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai
menurut tingkat perkembangannya.
c) Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang
lain.
8
d) Kurang mampu memberikan hubungan timbal balik sosial atau emosional.
2. Kelemahan kualitatif dalam komunikasi seperti yang ditujukkan oleh
sekurangnya satu dari berikut:
a) Keterlambatan dalam atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa
ucapan (tidak disertai oleh usaha untuk berkompensasi melalui cara
komunikasi lain seperti gerak-gerik atau mimik).
b) Pada individu dengan bicara yang adekuat gangguan jelas dalam
kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan
orang lain.
c) Pemakaian bahasa atau bahasa idiosinkratik secara stereotipik dan
berulang.
d) Tidak adanya berbagai permainan khayalan atau permainan pura-pura
sosial yang spontan yang sesuai menurut tingkat perkembangan.
3. Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipik,
seperti ditunjukkan oleh sekurangnya satu dari berikut :
a) Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang stereotipik dan
terbatas, yang abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya.
b) Ketaatan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau ritual
yang spesifik dan nonfungsional.
c) Manerisme motorik stereotipik dan berulang (misalnya menjentikkan, atau
memuntirkan tangan atau jari atau gerakan kompleks seluruh tubuh).
B. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada sekurangnya satu bidang berikut
dengan onset sebelum usia 3 tahun :
1. Interaksi sosial.
2. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial.
3. Permainan simbolik atau imaginatif.
C. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Rett atau gangguan
disintegratif masa anak-anak.
9
G. DIAGNOSIS BANDING
Ada beberapa jenis gangguan perkembangan pervasif yang menjadi diagnosis
banding autisme, antara lain6,7:
1. Sindrom Asperger
Anak yang menderita sindrom Asperger biasanya berusia lebih dari 3 tahun dan
memiliki problem bahasa. Penderita sindrom ini cenderung memiliki intelegensi rata-
rata atau lebih tinggi. Namun seperti halnya gangguan autistik, mereka kesulitan
berinteraksi dan berkomunikasi. Oleh karena itu, sindroma Asperger sering disebut
sebagai “high functioning autism”.
Gangguan Asperger berbeda dengan autis dari segi onset dimana usia autis
infantil terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya lebih parah dibandingkan
gangguan Asperger. Pasien autis menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam
kemahiran berbahasa serta adanya gangguan kognitif. Defisit sosial dan komunikasi
lebih berat pada autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik, sedangkan
pada gangguan Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan motorik yang
canggung serta gagal mengerti isyarat non verbal. Gangguan Asperger biasanya
memperlihatkan gambaran IQ yang lebih baik daripada autisme infantil. Gangguan
Asperger mempunyai empati yang lebih baik dibandingkan dengan autisme infantil,
sekalipun keduanya mengalami kesulitan berempati.
2. Gangguan Perkembangan Menurun (PDD NOS/Pervasive Developmental
Disorder not Otherwise Specified).
Gejala ini disebut juga non tipikal autisme. Penderita memiliki gejala-gejala
autisme, namun berbeda dengan jenis autisme lainnya. IQ penderita ini lebih rendah.
10
3. Sindrom Rett
Sindrom Rett adalah penyakit otak yang progresif tapi khusus mengenai anak
perempuan. Mulanya perkembangan anak sampai usia 5 bulan normal, namun setelah
itu mundur. Umumnya kemunduran terjadi pada usia 1 hingga 4 tahun, dan sangat
parah meliputi perkembangan bahasa, interaksi sosial maupun motoriknya
pengulangan gerakan tangan dan pergantian gerakan tangan.
4. Gangguan Disintegrasi Anak
Pada gejala autisme ini, anak tumbuh normal hingga tahun kedua. Selanjutnya
anak akan kehilangan sebagian atau semua kemampuan komunikasi dan keterampilan
sosialnya.
Tabel 1. Diagnosis Banding Autisme dengan Gangguan Pervasif Lainnya6
Klinis AutismeSindrom
Asperger
Sindrom
Rett
Gangguan
Disintregasi
Anak
PDD NOS
Usia (bulan) 0-36Biasanya
>365-30 >24 Variasi
Jenis
kelamin♂>♀ ♂>♀ ♀ ♂>♀ ♂>♀
Hilang
kemampuanVariasi
Umumnya
tidakBerat Berat
Umumnya
tidak
Kemampuan
sosial
Sangat
burukBuruk Variasi Sangat buruk Variasi
Ketertarikan
khusus
Variasi
(mekanikal)
Berat
(fakta)- - Variasi
Riwayat Kadang SeringUmumnya
tidakTidak
Tidak
diketahui
11
Deselerasi
pertumbuhan
kepala
Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
Rentang IQRM berat-
normal
RM ringan-
normal
RM berat-
normalRM berat RM berat
Keluaran Buruk-biasa Biasa-baikSangat
burukSangat buruk Biasa-baik
5. Skizofrenia dengan Onset Masa Anak-Anak
Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia disertai
dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang
lebih rendah dan dengan I.Q yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistik.
Tabel 2. Perbedaan Kriteria Gangguan Autistik dan Skizofrenia dengan Onset Masa
Anak-Anak7
Kriteria Gangguan AutistikSkizofrenia dengan Onset
Masa Anak-Anak
Usia onset <38 bulan >5 tahun
Insidensi 2-5 dalam 10.000
Tidak diketahui, kemung-
kinan sama atau bahkan
lebih jarang
Rasio jenis kela-
min (L:P)3-4:1 1,67:1
Riwayat keluarga
skizofrenia
Tidak naik atau kemungkinan
tidak naik
Naik
Penyulit prenatal
dan perinatal dan
disfungsi otak
Lebih sering pada gangguan
autistik
Lebih jarang pada
skizofrenia
12
Karakteristik
perilaku
Gagal untuk mengembangkan
hubungan: tidak ada bicara
(ekolalia); frasa stereotipik;
tidak ada atau buruknya
pemahaman bahasa; kegigihan
atas kesamaan dan stereotipik.
Halusinasi dan waham,
gangguan pikiran
Fungsi adaptif Biasanya selalu terganggu Pemburukan fungsi
Tingkat inteligensi
Pada sebagian besar kasus
subnormal, sering terganggu
parah (70%)
Dalam rentang normal,
sebagian besar normal
bodoh (15%-70%)
Pola I.Q. Jelas tidak rata Lebih rata
6. Retardasi Mental
Hal yang tidak mudah untuk membedakan autisme infantil dengan retardasi
mental sebab autisme juga sering disertai retardasi mental. Akan tetapi pada retardasi
mental tidak terdapat 3 ciri pokok autisme secara lengkap. Retardasi mental adalah
gangguan intelegensi, biasanya diketahui setelah anak sekolah karena
ketidaksanggupan anak mengikuti pelajaran formal. Pembagian retardasi mental
dilihat dari kemampuan IQ. Retardasi mental ringan IQ 55-70, RM sedang 40-55,
RM berat 25-40, sangat berat IQ <25. Ciri utama yang membedakan antara gangguan
autistik dan retardasi mental adalah: “pada anak teretardasi mental biasanya
berhubungan dengan orang tua atau anak-anak lain dengan cara yang sesuai dengan
umur mentalnya. Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang
lain. Mereka memiliki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan fungsi.
13
7. Afasia Didapat dengan Kejang
Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang kadang sulit
dibedakan dari gangguan autistik dan gangguan disintegratif masa anak-anak. Anak-
anak dengan kondisi ini normal untuk beberapa tahun sebelum kehilangan bahasa
reseptif dan ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa bulan.
Sebagian akan mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada saat onset,
tetapi tanda tersebut biasanya tidak menetap. Suatu gangguan yang jelas dalam
pemahaman bahasa yang terjadi kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang
menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa anak pulih tetapi dengan gangguan
bahasa residual yang cukup besar.
8. Ketulian Kongenital atau Gangguan Pendengaran Parah
Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak tersebut
sering membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara selektif terhadap bahasa
ucapan. Ciri-ciri yang membedakan yaitu bayi autistik mungkin jarang berceloteh
sedangkan bayi yang tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal dan
selanjutnya secara bertahap menghilang dan berhenti pada usia 6 bulan – 1 tahun.
Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang keras, sedangkan anak autistik
mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan berespon hanya terhadap suara
lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram atau potensial cetusan auditorik
menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli. Tidak seperti anak-anak
autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan orang tuanya, mencari kasih sayang
orang tua dan sebagai bayi senang digendong.
H. PENANGANAN AUTISME
Penanganan anak-anak autisme sangat sukar untuk disembuhkan. Bukan saja
oleh karena isolasi mentalnya sudah merupakan dunia anak yang sudah mantap dan
yang disenangi, akan tetapi semua anggota rumah tangga harus ikut serta dalam terapi
kelompok. Gangguan autisme tidak bisa disembuhkan secara total tetapi gejala-gejala
14
yang timbul dapat dikurangi semaksimal mungkin agar anak tersebut dapat berbaur
dalam lingkungan yang normal8.
Penanganan yang baik untuk gangguan autisme adalah dengan terapi terpadu.
Terapi terpadu ini melibatkan keluarga, psikiater,psikolog,neurolog, dokter anak,
terapis bicara dan pendidik8.
Beberapa terapi yang dapat dijalankan antara lain:
a. Terapi medikamentosa
b. Terapi psikolog
c. Terapi wicara
a. Terapi medikamentosaPemberian obat pada anak harus didasarkan pada diagnosis yang tepat,
pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping, dan mengenali
cara kerja obat. Perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-
beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada
kehati-hatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung
jangka panjang. Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak
sehingga diberikan obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat antidepressan
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan
antara neurotransmitter serotonin dan dopamin. Yang diinginkan dalam pemberian
obat ini adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek
samping. Pemakaian obat akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak
terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya.
Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi
bahkan dihentikan.
15
b. Terapi psikolog
Pada umumnya pengobatan difokus pada inti dari gangguan. Penyandang
autisme biasanya kurang motivasi untuk menanggapi rangsangan yang kompleks, ini
merupakan inti masalah dan intervensi yang diberikan harus ditujukan untuk
memotivasi agar dapat memulai berinteraksi sosial.
Beberapa pendekatan yang komprehensif dalam intervensi autisme memiliki
tujuan8:
1. Membantu perkembangan kognitif, bahasa dan sosial yang normal.
2. Meningkatkan kemampuan belajar anak autistik.
3. Mengurangi kekakuan dan perilaku stereotype dengan meningkatkan
interaksi penyandang autis dengan orang lain dan tidak membiarkannya
“hidup sendiri”. Interaksi yang kurang justru akan menyebabkan munculnya
perilaku-perilaku yang tidak dikehendaki. Dalam hal ini pemberian mainan
yang bervariasi juga dapat mengurangi kekakuan ini.
4. Mengurangi perilaku maladaptif seperti temper tantrum dan melukai diri
sendiri.
5. Mengurangi stress pada keluarga penderita autisme
Setelah seorang anak didiagnosa autisme, orang tua perlu diberikan pengertian
mengenai kondisi anak dan mampu menerima anak mereka yang menderita autis.
Mereka juga dilibatkan dalam proses terapi dengan konsep orang tua belajar dan
dilatih untuk dapat melakukan sendiri terapi yang dilakukan psikolog/terapis. Terapi
tidak hanya dilakukan oleh terapis tetapi juga oleh keluarga di rumah. Terapi yang
intensif akan meminimalisir kemungkinan hilangnya kemampuan yang telah dilatih
dan dikuasai anak.
16
c. Terapi wicara
Umumnya hampir semua penyandang autisme menderita gangguan bicara dan
berbahasa. Oleh karena itu terapi wicara pada penyandang autisme merupakan
keharusan. Penanganannya berbeda dengan penderita gangguan bicara oleh sebab
lain. Terapi wicara ini diberikan agar kemampuan berkomunikasi pada penyandang
autis dapat bertambah begitu pula agar terciptanya interaksi dengan orang lain.8
I. PROGNOSIS
Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu5,7:
- Berat ringannya gejala atau kelainan otak
- Usia; diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak
saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil
- Kecerdasan; makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
- Bicara dan bahasa; 20% anak autis tidak mampu berbicara seumur hidup,
sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang
berbeda-beda.
- Terapi yang intensif dan terpadu. Penanganan/intervensi terapi pada anak
autisme harus dilakukan dengan intensif dan terpadu. Seluruh keluarga harus
terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak. Penanganan anak autisme
memerlukan kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai disiplin
ilmu antara lain psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak, terapis bicara dan
pendidik.
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme,
anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa
mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak
dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah
positif dengan berbagai terapi.5
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiman, Melly. 1998. Makalah Simposium. Pentingnya Diagnosis Dini dan
Penatalaksanaan Terpadu Pada Autisme. Surabaya.
2. APA. DSM IV. 1995. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder.
Fourth Edition. Washington DC.
3. Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network Surveillance.
2014. Prevalence of Autism Spectrum Disorder Among Children Aged 8 Years-
Autism and Developmental Disabilities Montoring Network, 11 Sites, United
States. Centers for Disease Control and Prevention. WWMR, CDC. 63(2): 1-22.
4. Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis.
Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E012
32.pdf . Diakses tanggal: 28 Juni 2015.
5. Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian
Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal
Kedokteran Trisakti. Vol. 22. No. 1; 24-30.
6. Anonim. Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme. YPAC.
7. Saddock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. 2007. Kaplan & Sadock's
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
New york; p 1192-99.
8. Yusuf, EA.. 2003. Autisme: Masa Kanak. Universitas Sumatra Utara: Sumatra
Utara.