Referat Anna CA Rektum
-
Upload
anna-apriliana -
Category
Documents
-
view
127 -
download
2
Transcript of Referat Anna CA Rektum
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-
Nyalah, penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan referat yang berjudul “Tumor Rektum”
dengan baik.
Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat dalam kepaniteraan klinik Ilmu
Bedah RS.TNI-AL Dr.Mintohardjo, Jakarta. Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat
untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian dan dapat dipergunakan
dengan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada:
1. Dr. Dityo Hendrastho, Sp.B selaku dokter pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dalam penyusunan referat ini
2. Teman-teman serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini
Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak dijumpai
kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat diharapkan demi proses penyempurnaan referat ini. Besar harapan semoga referat ini
dapat bermanfaat bagi kita smua
Jakarta, Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………..... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang............................................................................................ 1
1.2 Tujuan penulisan........................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Dislokasi Bahu........................................................................ ..... 3
2.2 Anatomi Fungsional Sendi Bahu
2.2.1 Sendi Glenohumeralis.......................................................................... ..... 4
2.2.2 Sendi suprahumeral.......................................................................... .... 6
2.2.3 Sendi Sternoclaviculare.............................................................. ........ .... 7
2.2.4 Sendi Acromioclaviculare.......................................................... ........ .... 8
2.2.5 Sendi subacromiale................................................................ ............ 9
2.2.6 Sendi Scapulothoracicus............................................................ ........... 9
a. Otot Penggerak Sendi Bahu........................................................... ... 9
b. Otot Penggerak Pergelangan Bahu.................................................. ... 12
2.3 Biomekanika Sendi Bahu........................................................................... 14
2.4 Etiologi.................................................................................................. .... 17
2.5 Faktor Resiko................................................................................ ............ 18
2.6 Klasifikasi............................................................................................ ... 13
A. Dislokasi Anterior..................................................................... .......... 20
B. Dislokasi Posterior................................................................... ........ .. 26
C. Dislokasi inferior....................................................................... ........ .. 28
2.7 Diagnosis............................................................................................ . 29
2.8 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... .. 30
2.9 Komplikasi....................................................................................... .... 30
2.10 Penatalaksanaan................................................................................ ....... 31
2.11 Prognosis........................................................................................... ....... 31
BAB III. KESIMPULAN ...................................................................... ....... 34
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... vi
PENDAHULUAN
Karsinoma rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran
cerna, lebih dari 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu kanker rektal
adalah masalah nutrisi dan kurang berolah raga. Karsinoma rektal merupakan salah satu jenis
kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Kanker rektal adalah
kanker yang menyerang kolon dan rektum. Namun, penyakit ini bukannya tidak dapat
disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh
bisa mencapai 50 persen.3
Setiap waktu, kanker ini bisa menyerang seseorang. Risikonya akan terus meningkat
seiring dengan penambahan usia. Data dari Amerika Serikat dan Inggris memperlihatkan,
orang yang berusia antara 60 sampai 80 tahun berisiko tiga kali lipat dari kelompok usia
lainnya. Mereka yang memiliki riwayat peradangan saluran cerna seperti kolit usus kronis,
tergolong berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker kolorektal. Demikian juga
dengan mereka yang memiliki riwayat penyakit kanker tersebut, risiko terkena penyakit ini
bisa menyerang pada kelompok usia mana pun di bawah 60 tahun.3
Umumnya penderita datang dalam stadium lanjut, seperti kebanyakan tumor ganas
lainnya; 90% diagnosis karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan colok dubur. Sampai saat
ini pembedahan adalah terapi pilihan untuk karsinoma rekti.1,2,3,10
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI DAN ANATOMI
Karsinoma Rektum adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak di
anterior sakrum dan coccygeus panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid junction terletak
pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir seluruhnya
dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian bawah rektum keseluruhannya adalah
ektraperitoneal.1,2,
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal.
Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter.
Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan
fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis
pada insersi muskulus levator ani. Panjang rektum berkisar 10-15 cm, dengan keliling 15 cm
pada rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa
dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan
longitudinal), dan lapisan serosa.5,11
Gambar 1. Anatomi Anus dan Rektum.
Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media,
dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a. mesenterika
inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. iliaka
interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena hemoroidalis
superior berasal dari 2 plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v.
Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta. Vena ini tidak
berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma
rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior
mengalirkan darah ke v. pudenda interna, v. iliaka interna dan sistem vena kava.
Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya
menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi
dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal.
Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior
dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta.
Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik
berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4, serabut ini
mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3,
dan 4, serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke
dalam jaringan.
II. ANGKA KEJADIAN
Karsinoma kolorektal di Amerika merupakan kanker gastrointestinal yang paling
sering terjadi dan nomor dua sebagai penyebab kematian di negara berkembang. Tahun 2005,
diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di
kolon dan 40,340 kasus di rektal. Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan
kematian, 47.700 kasus Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal merupakan 11 %
dari kejadian kematian dari semua jenis kanker.1,4
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi kematian pada
hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization, 2003). Menurut data di RS
Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari 10
jenis kanker dari pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang
paling mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun, perkembangan teknologi dan
juga adanya pendeteksian dini memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan
bisa dicegah.1,3,4
Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun. Hanya 5%
pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki – laki memiliki insidensi terbanyak
mengidap kanker rektal dibanding wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5.1,2
III. ETIOLOGI dan EPIDEMIOLOGI
Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rektum sama
seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor predisposisi
munculnya karsinoma rektum adalah poliposis familial, defisiensi Imunologi, kolitis
ulseratifa, granulomartosis dan Kolitis. Faktor predisposisi penting lainnya yang mungkin
berkaitan adalah kebiasaan makan. Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi
protein hewani dan lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi.
Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa diet rendah
serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora feces dan perubahan
degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian
dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat
yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa
transisi feses meningkat. Akibatnya kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa
usus bertambah lama.
Sekitar 135.000 kasus baru kanker kolorektal terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya, dan menyebabkan angka kematian sekitar 55.000. Sepertiga kasus ini terjadi di
kolon dan 2/3 di rektum. Adenokarsinoma merupakan jenis terbanyak (98%), jenis lainnya
yaitu karsinoid (0,1%), limfoma (1,3%), dan sarkoma (0,3%).
Insiden karsinoma kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi demikian juga angka
kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda.
Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid. Di negara barat, perbandingan insiden pria : wanita
= 3 : 1 dan kurang dari 50 % ditemukan di rektosigmoid dan merupakan penyakit orang usia
lanjut. Pemeriksaan cocok dubur merupakan penentu karsinoma rektum.
PATOFISIOLOGI
Mukosa rektum yang normal sel-sel epitelnya beregenerasi setiap 6 hari. Pada
adenoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi sel-sel
tersebut, yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang
menyebabkan replikasi yang tidak terkontrol. Dengan peningkatan jumlah sel tersebut
menyebabkan terjadi mutasi yang mengaktivasi K-ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini
akan mencegah apoptosis dan memperpanjang hidup sel.
III. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
1. Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker
kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana
proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi
gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma,
perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.13
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1%
dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada
pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan
keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun,
8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk
seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada
pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan
asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi
prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial
untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau
lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak
menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah
tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para
ahli patologi anatomi.13
2.2 Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis. Keseluruhan
insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan striktur
kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis.
Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari
dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga
bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien
dengan crohn’s disease.14
3. Faktor Genetik
3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai
kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih
tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal
pada keluarganya.13
3.2 Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa
kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat
pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada . dari
seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon
dan adenoma yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini,
dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang
berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal
cancer (HNPCC).13
3.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis)
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada
kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP
yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat
dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi,
direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan
endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali
terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan
elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus
dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali
sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang
mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,
hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari FAP
termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.13,15
3.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2 Generasi
multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda ( �}45
tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini
terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari
abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite
instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang
dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana
predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari malignansi primer.
Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous,
dan multipel keratocanthoma, Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih,
ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal,
tumor pada HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet
cell, reaksi yang mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada
perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon
yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan
proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker
kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun
atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker
kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang
didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien
kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC
terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant
kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.13,15
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan
kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya
adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi
insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi
dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut
dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi
berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara
experimental. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya
fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan
lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat
dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-
inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang
berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal,
dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.13,16
5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih
dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang
berukuran besar.
Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika dihubungkan
dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan
meningkatnya risiko kanker kolorektal. Pada berbagai penelitian telah menunjukkan
hubungan antara aktifitas, obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada
percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari
kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas
prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses
Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan
terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan
risiko terjadinya adenoma.
6. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita adalah
61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000
orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah
dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per
100.000), kanker paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar
48% kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248
per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per 100.000) dan
kanker lambung (75 per 100.000).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal
pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan
usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker
kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. 55% kanker terdapat pada usia
≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan
337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.13
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar 5%.
Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah pada usia
diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki
kemungkinan menderita kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 2000- 2003, rata-rata
usia saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan
usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35- 44 tahun sebesar 3,5%,
45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84
tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.17
IV. MANIFESTASI KLINIK
1. Histologi
Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi, penanganan dan
prognosis dari kanker. Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai derajat differensiasi
yang berbeda-beda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari
area ke area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi yang
heterogen. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarcinoma
(90-95%), adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-4%), dan sarcoma
(0,1-3%).
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998- 2001
di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran
histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.
Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak
diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe
histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma
sering ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat
terdiagnosa, signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk
dan telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan
sarcoma yang sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat
terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering
sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)
didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma
[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang
adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil
penelitian di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan
derajat differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan
oleh Soeripto et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat
differensiasi kanker kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik. Perbedaan
pola demografik dan klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat
membantu untuk studi epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang.13,16
2. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah : 1,2,5,7,8,12
Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar
maupun yang berwarna hitam
Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB
Feses yang lebih kecil dari biasanya
Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada
perut atau nyeri
Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
Mual dan muntah
Rasa letih dan lesu
Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada
daerah gluteus
3. Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat
direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering
ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang.
Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju
vena cava inferior, maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru
paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka
metastase kanker kolon pertama kali paling sering di hepar.11
V. DIAGNOSIS DAN STAGING
1. Diagnosis
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker rektal, diantaranya
ialah : 1,2,5,7,8,9,12
1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen) dan
Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di jaringan
2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining
awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal,
pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum,
tumor akan teraba keras dan menggaung.
Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur pada Karsinoma Rektum
Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu
penonjolan tepi, dapat berupa :
a) suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu
plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.
b) suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi umumnya
mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
c) suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang menonjol dengan
suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
d) suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a) Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os
coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi melalui vagina
untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat
digerakkan atau apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari
lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok
dubur.
b) Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan.
Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding
rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi
perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti
kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterio vagina atau dinding anterior uterus.
c) Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.
3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang mengandung barium
dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus
gastrointestinal bawah.
4) Sigmoidoscopy , yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat
diambil untuk biopsi.
5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid
apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope dimasukkan
melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk
biopsi.
6) Biopsi . Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling
sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah
karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan
undifferentiated tumors.1,2
2. Staging
The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging
system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV).1,2,5
1) Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu pada
mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2) Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis
dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar
dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3) Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun
tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4) Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar
kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5) Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau
ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer
Gambar 7. Stadium Karsinoma Rektum I-IV
KLASIFIKASI
a. Modifikasi klasifikasi Dukes (Modified Astler-Coller Staging System)
Tabel 1. Klasifikasi karsinoma rektum menurut Dukes
Klasifikasi Dukes Lokasi Tumor
Dukes A Terbatas pada mukosa dinding rektum
Dukes B-1 Tumor menginfiltrasi terbatas sampai lapisan muskularis
propria
Dukes B-2 Tumor sudah menembus sampai lapisan terluar (serosa) tapi
belum mengenai organ yang berdekatan.
Dukes B-3 Tumor sudah mengenai organ yang berdekatan.
Dukes C-1 Tumor kategori Dukes B-1 + pembesaran KGB regional.
Dukes C-2 Tumor kategori Dukes B-2 + pembesaran KGB regional.
Dukes C-3 Tumor kategori Dukes B-3 + pembesaran KGB regional.
Dukes D Bila sudah terdapat metastase jauh.
b. Klasifikasi berdasarkan sistem Tumor- Node-Metastase (TNM).
Tabel 2. Klasifikasi karsinoma rektum menurut system TMN
Stage T N M Dukes Stage
I Tis NO M0 A
T1 NO M0
T2 NO M0
II T3 NO MO B
T4 NO MO
III Any T N1 M0 C
Any T N2,N3 M0
IV Any T Any M M1 D
Stage T
N
DIAGNOSIS
a. Anamnesa
Gejala yang dapat ditemukan antara lain :
Perdarahan perektal merupakan gejala yang paling sering terjadi (60%) pasien.
Perubahan pola defekasi seperti perubahan bentuk feses, tenesnus, rasa tidak puas
setelah BAB.
Occult bleeding (tes darah samar) positif pada 26% kasus.
Nyeri abdomen, sidapatkan sekitar 20% kasus.
Malaise (9% kasus).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastase seperti
pembesaran KGB atau hepatomegali. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diketahui : 1,7
Adanya tumor rektum
Lokasi dan jarak dari anus
Posisi tumor, melingkar / menyumbat lumen
Perlengketan dgn jar.sekitar
Dapat dilakukan biopsi cubit
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan CEA (carcinoembrionic antigen).
Fungsi hati dan ginjal.
Trasnrectal ultrasonography (TRUS)
Magnetic Resonane Imaging (MRI)
Pemeriksaan FOBT (fecal occult bleeding test)
Kolonoskopi.
CT Scan abdomen
Doule contras barium enema.M
PENATALAKSANAAN
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah terapi standar dan
beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk kanker rektal
yang digunakan antara lain ialah :
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium I dan II
kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan pembedahan.
Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak
pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi.
Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy,
dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan
III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar
jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan
kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. 2,7
Tipe pembedahan yang dipakai antara lain : 1,2,9
Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat
dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker
ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy.
Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis.
Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu diidentifikasi apakah
limfonodi tersebut juga mengandung sel kanker.
PROGNOSIS
Angka 5 tahun keberhasilan hidup untuk pasien kanker kolorektal adalah sebagai berikut :
Stage I - 72%
Stage II - 54%
Stage III - 39%
Stage IV - 7%
Limapuluh persen pasien biasanya terjadi rekurensi, baik lokal maupun ditempat yang lain,
atau keduanya. Rekurensi lokal lebih sering terjadi pada kanker rektum daripada kanker
kolon. Angka rekurensi berkisar 5-30%, terjadi 2 tahun setelah pembedahan. Faktor yang
mempengaruhi rekurensi antara lain stadium tumor primer, lokasi tumor primer.