Refarat PDF Tb Paru77
description
Transcript of Refarat PDF Tb Paru77
Laporan Kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Radiology RSUD DR. RM. Djoelham
Disusun Oleh :
Mardiyyah Nodriati - 09310156
Pembimbing :
dr. Juliamor Sinulingga Sp. Rad
KKS ILMU RADIOLOGY
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
RSUD DR. RM. DJOELHAM
2014
REFERAT
TUBERCULOSIS OF THE CHEST
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan
karunia Nya, saya dapat menyelesaikan refarat ini dalam rangka melengkapi
persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Radiology RSUD DR.R.M.
Djoelham Binjai dengan judul “Tuberculosis Of The Chest”
Tak lupa saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Juliamor Sinulingga Sp. Rad yang telah banyak memberikan
bimbingan kepada saya selama saya melaksanakan KKS di Bagian Radiology
RSUD DR.R.M. Djoelham Binjai.
Saya menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca. Semoga refarat ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah
khasanah kepustakaan kita. Terima Kasih.
Binjai, Agustus 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Hal.
Kata Pengantar ................................................................................................. i
Daftar Isi .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………… 3
2.1. Definisi .................................................................................... 3
2.2. Kuman tubercolosis………………………………………… . 3
2.3. Cara penularan ........................................................................ 4
2.4. Risiko penularan ..................................................................... 4
2.5. Patogenesis……………………………………… .................. 5
2.6. Diagnosis………………. ........................................................ 6
2.7. Komplikasi .............................................................................. 35
2.8. Tipe penderita TB…………………………………………… 35
2.9. Pengobatan .............................................................................. 37
BAB III Kesimpulan………………………………………………………. 49
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama
kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian
(mortalitas)1. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta
pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia 2
.
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000
kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di
Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi
pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun)3.
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO)
tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases
(IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Short-
course (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga
berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan
selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan
dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua
kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti
tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul
antara lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan
sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga
gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa
nekrosis jaringan hati. Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah
INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan
kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan,
akibat pemakaian INH dan/ Rifampisin 2,4
.
Pembahasan lebih lanjut mengenai TB paru akan dibahas pada referat ini.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, dan penatalaksanaan TB
paru.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium
tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh
lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity).
Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan
kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif 5.
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang
diserang kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru
dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan
tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain2.
2.2 Kuman tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 µm 5.
Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan pewarnaan tahan
asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam
lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan
kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan
sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)5.
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah
aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis7.
2.3 Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+).
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat
menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya2.
2.4 Risiko penularan
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis2.
2.5 Patogenesis tuberkulosis
2.5.1 Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke
alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis
berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang
mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke
kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).
Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman
menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya
tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis.
Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit,
membutuhkan waktu sekitar 6 bulan2.
2.5.2 Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura2.
2.6 Diagnosis tuberkulosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologis.
2.6.1 Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau
tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah
batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala
tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
dan demam/meriang lebih dari sebulan2.
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik
pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus
dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut
dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga
paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik
dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada
pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif7.
2.6.3 Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih
memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier
yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB
umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau
daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih
menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-
bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah
diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas
yang tegas dan disebut tuberkuloma2.
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang
sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun
atelektasis dan emfisema7.
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di
bawah ini :
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
7
Temuan Radiologi
Dalam prakteknya, hal ini menjadi semakin sulit untuk membedakan
antara pola utama dan post-primer klasik berdasarkan temuan radiologi, yang
menunjukkan tumpang tindih dalam manifestasi radiologi8. Karena kejadian
TB menurun di negara-negara maju, banyak orang dewasa tidak pernah
terinfeksi oleh M. tuberculosis dan beresiko infeksi TB pertama, yang dapat
berlanjut pada gilirannya menjadi penyakit aktif. Satu dapat mengharapkan
pergeseran dari yang biasa pola (reaktivasi endogen) terhadap pola yang tidak
biasa (TB primer progresif) mirip dengan yang diamati pada anak-anak dan
remaja9. Pola yang tidak biasa atau "atipikal" Ini termasuk: soliter efusi
pleura, mediastinum terisolasi/hilus limfadenopati, TB lebih rendah lobus,
lesi nodular milier, infiltrasi difus, atelektasis tetapi juga polos dada yang
normal10.
Gambar 1. TB Gangliopulmonary: pada film polos dada, infiltrat merata di
lobus kanan atas dan paratrakeal kanan limfadenopati terdeteksi.
1. TB primer
Bentuk penyakit terjadi terutama pada anak-anak, tetapi TB primer pada
orang dewasa meningkat karena kesehatan masyarakat tindakan dan terapi
antituberkulosis yang menyebabkan penurunan dalam kejadian penyakit
secara keseluruhan, dengan akibat peningkatan dalam populasi orang dewasa
non-terpapar11
. TB primer menyumbang 23-34% dari semua kasus dari
penyakit12.
Empat entitis telah dijelaskan: TB gangliopulmonary, pleuritis
tuberkulosis, TB miliar dan TB tracheobronchial18
.
a. TB Gangliopulmonary
TB Gangliopulmonary ditandai dengan adanya mediastinum atau
limfadenopati hilus dan parenkim kelain yabg disebut Ghon fokus18
.
Node yang membesar terjadi pada 83-96% kasus pediatrik, sedangkan
pada pasien dewasa mereka ditemukan dalam 10-43%13
. Tepat paratrakeal
dan hilus stasiun adalah situs yang paling umum dari Keterlibatan nodal di
TB primer, meskipun kombinasi lain juga dapat ditemukan (hilus bilateral,
mediastinal terisolasi)11,14
. Meskipun adenopati biasanya ditemukan dalam
hubungan dengan konsolidasi parenkim atau atelektasis (Gbr.1), itu dapat
menjadi manifestasi radiografi satunya penyakit18
, terutama pada anak usia
dini (49% kasus)15
. computed tomography (CT) lebih sensitif dibandingkan
dada film biasa untuk mendeteksi intratoraks adenopati TB, dan getah bening
node lebih besar dari 2 cm mungkin memiliki daerah pusat atenuasi rendah
terkait dengan peningkatan rim perifer dan pemusnahan sekitar lemak
perinodal (Gbr.2).
Gambar 2. limfadenopati tuberkulosis: CT kontras ditingkatkan menunjukkan beberapa
pusat low-density, kelenjar getah bening rim-meningkatkan
dalam mediastinum dan kiri hilus.
Hal ini terkait dengan kaseasi nekrosis, jaringan granulasi dengan
hypervascularity inflamasi dan reaksi perinodal14,16
dan sangat sugestif
penyakit aktif61
. limfadenopati menyelesaikan pada tingkat lebih lambat dari
parenkim yang penyakit, tanpa gejala sisa radiologi yang signifikan; node
pertama menjadi homogen dan akhirnya menghilang atau hasil dalam massa
sisa terdiri dari jaringan fibrotik dan kalsifikasi (Gbr.3). Ini mengembangkan
6 bulan atau lebih setelah awal infeksi dan lebih umum daripada parenkim
klasifikasi, dan juga lebih sering pada orang dewasa daripada anak-anak.
Mungkin hadir dalam kasus aktif dan tidak aktif dari penyakit61
.
Gambar 3. limfadenopati kalsifikasi: CT mengungkapkan konglomerat dari kalsifikasi
kelenjar getah bening di mediastinum dan kedua hila.
Infiltrat paru terkait ditemukan pada yang sama sisi sebagai pembesaran
nodal dalam waktu sekitar dua-pertiga dari anak kasus TB primer10
.
Keterlibatan parenkim dalam tidak adanya limfadenopati terjadi hanya sekitar
1% dari anak kasus15
, sedangkan pola ini jauh lebih umum pada orang
dewasa dengan penyakit primer (38-81%)11
. parenkim kekeruhan yang paling
sering terletak di pinggiran paru-paru, terutama di zona subpleural. Meskipun
infiltrat halus sering tidak terdeteksi pada film dada polos, jadi CT mungkin
diperlukan untuk menunjukkan mereka. Keterlibatan parenkim di penyakit
utama yang paling sering muncul di film-film biasa sebagai area konsolidasi
homogen, dengan batas tidak jelas dan kadang-kadang bronchograms udara
(Gambar 4.); tambal sulam, linear, nodular dan massa-seperti pola juga telah
dilaporkan11,24,29,30
. Pada 10% pasien, penyakit utama adalah ap orang tua
sebagai lesi kavitas tunggal10
.
Gambar 4. penyakit parenkim: polos dada menunjukkan konsolidasi tambal sulam
pada lobus kanan atas dengan batas tidak jelas dan bronchograms pesawat.
Konsolidasi terjadi dalam segmental atau lobar distribusi, dengan
keterlibatan multifokal di 12-24% dari kasus15,16
. TB primer dapat
menyebabkan konsolidasi lobus apapun18
; situs yang paling umum adalah
daerah ventilasi yang lebih besar, termasuk lobus tengah, semakin rendah
lobus atau segmen anterior lobus atas22,19
. Dominasi sisi kanan dalam
distribusi11,15
. Pada CT, homogen, padat, segmental atau konsolidasi lobar
terlihat 19,20
. Dalam dua-pertiga dari kasus, fokus parenkim sembuh tanpa
radiologi gejala sisa, meskipun resolusi biasanya lambat, biasanya paralel
yang limfadenopati15
. Sebuah bekas luka kalsifikasi - Fokus Ghon - terlihat
pada 15-17% pasien, dan bersama-sama dengan hilar kalsifikasi atau kelenjar
getah bening mediastinum merupakan kompleks Ranke, juga dikenal sebagai
primer atau Ghon kompleks kompleks21
(Gbr.5). Klasifikasi fokus parenkim
sekunder disebut Simon fokus18
Gambar 5. Ranke kompleks: CT (A) kalsifikasi limfadenopati hilus dan (B)
kalsifikasi parenkim lesi.
Kekeruhan massal seperti Persistent mendominasi di atas lobus, sesuai
dengan tuberkuloma, jarang terjadi (7-9% kasus), dan dianggap sebagai
akibat dari penyakit primer sembuh (Gambar.6). Kavitasi terjadi pada 10-50%
dari nodul tersebut, kalsifikasi berkembang pada sampai dengan 50% dan
sebagian besar tetap stabil di ukuran22
. Gangliopulmonary TB mungkin juga
hadir dengan perforasi dari adenopati menjadi bronkus sebuah,
retroobstructive pneumonia atau atelektasis (epituberculosis). Obstructive
atelektasis atau overinflation karena kompresi oleh berdekatan pembesaran
kelenjar getah bening terjadi pada 9-30% dan 1-5%, masing-masing15
, dengan
dominasi sisi kanan khas.
Gambar 6. tuberculoma: homogen, kalsifikasi nodul di kanan atas
lobus ditampilkan pada film dada.
b. Pleuritis Tuberkulosis
TB pleura paling sering terlihat pada remaja dan orang dewasa sebagai
komplikasi TB primer, yang jarang pada anak-anak21,15,22,23]
. Efusi pleura
terjadi pada sekitar 10% dari semua infeksi primer dan, pada 5% kasus, efusi
adalah fitur radiografi satunya penyakit32
(Gbr.7). Efusi umumnya
berkembang di sisi yang sama dengan infeksi awal dan biasanya unilateral,
paling sering berkaitan dengan parenkim dan/ atau kelainan nodal11
. Hal ini
sering merupakan temuan akhir TB primer dan, biasanya, menyelesaikan
segera dengan terapi yang memadai, tetapi resolusi dapat terjadi dengan
penebalan sisa atau kalsifikasi (Gambar.8). Jika diobati, itu biasanya
menyebabkan penyakit sekunder22
. Komplikasi keterlibatan TB pleura
termasuk pembentukan empiema, fistula bronkopleural, erosi tulang dan
fistula pleurocutaneous24
.
Gambar 7. tuberkulosis pleuritis: efusi pleura kiri terlihat di dada polos.
Gambar 8. pleuritis tuberkulosis: CT menunjukkan dikemas pleura sisi kanan
efusi dengan ditandai penebalan pleura.
c. TB Miliaria
Pada 2-6% dari kasus TB primer, penyebaran hematogen hasil basil
penyakit miliaria16
. Orang tua, anak di bawah 2 tahun dan
immunocompromised pasien yang paling sering terkena25,21
. Dada film polos
biasanya normal pada awal gejala, dan temuan awal, terlihat dalam waktu 1-2
minggu, mungkin hiperinflasi23
. Temuan klasik difus kecil (2-3 mm) nodul,
merata, dengan sedikit dominasi lobus bawah, mungkin tidak muncul sampai
6 minggu atau lebih setelah hematogen diseminasi21
(Gbr. 9). Adenopati
asosiasi hadir dalam 95% dari anak-anak dan 12% orang dewasa dengan
penyakit miliaria, dan terkait konsolidasi parenkim juga lebih sering terjadi
pada anak (42% versus 12%)18
. CT, khususnya resolusi tinggi (HR) CT, dapat
mendeteksi penyakit miliaria sebelum polos dada tidak, menunjukkan 1-2mm
nodul dalam perivaskular dan distribusi periseptal. Sebuah penebalan nodular
septa interlobular dapat menghasilkan "septum manik-manik" penampilan
mirip dengan limfangitis karsinomatosa26
; jarang nodul bisa bergabung
menjadi konsolidasi parenkim atau kemajuan untuk ARDS dan, kadang-
kadang, kavitasi22,25
(Gbr. 10). Dengan terapi, resolusi umumnya lebih cepat
pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.
Gambar 9. TB milier: banyak yang terdefinisi dengan baik, didistribusikan difus, nodul
kecil (2-3 mm) yang jelas pada film polos dada. Ada juga hilus bilateral limfadenopati
Gambar 10. TB milier: CT mengungkapkan nodul 1-3 mm yang tak terhitung banyaknya
dengan bahkan distribusi di seluruh kedua paru-paru.
Di lobus kiri atas nodul menyatu konsolidasi ke dalam parenkim.
d. Tracheobronchial TB
Tracheobronchial TB merupakan komplikasi dari penyakit primer yang
sering berasal dari perforasi suatu adenopati menjadi bronkus a; cara lain
yang mungkin terlibat adalah lymphogenic dan menyebar haematogenic8.
Dada film polos mungkin normal atau menunjukkan kekeruhan parenkim di
atas lobus dan segmental atau lobar atelektasis. keterlibatan Airway TB
endobronkial pada orang dewasa menyajikan sebagai daerah segmental
atelektasis distal bronkus terlibat dan endoluminal atau massa peribronchial,
simulasi neoplasma (Gbr.11). TB Endobronchically disebarluaskan
menyebabkan fokus dari tidak jelas kepadatan nodular yang mungkin menjadi
konfluen17
. Pada CT, Penyakit tracheobronchial akut menyebabkan bronkial
konsentris penyempitan, penebalan dinding dan bronkiektasis postobstructive
27,28. Setelah penyembuhan, bronchostenosis cicatricial mungkin terjadi.
Konsolidasi lobus yang lebih rendah adalah radiografi atipikal pola TB
endobronkial29
.
Gambar 11. trakeobronkial TB: di CT, kepadatan nodular
terdeteksi di bronkus utama kanan (panah).
2. TB Post-Primer
Juga disebut penyakit paru-paru, TB reaktivasi, TB sekunder atau
"Dewasa" TB (oleh oposisi utama atau "anak" TB), bentuk penyakit
berkembang di bawah pengaruh Kekebalan yang didapat. Ini adalah hasil dari
reaktivasi aktif basil di fokus sisa, menyebar pada saat infeksi primer; itu,
umumnya tapi tidak selalu, penyakit yang menyerang orang-orang di dewasa
62. Ketika diamati pada usia anak, hal itu mempengaruhi remaja
18,21,16,30.
Post-primer TB biasanya bermanifestasi sebagai radiografi penyakit
parenkim dan kavitasi, TB tracheobronchial, tuberkulosis pleuritis dan
komplikasi18
.
a. Penyakit Parenkim dan Kavitasi
Temuan parenkim awal adalah heterogen, buruk marginated opacity
(the"exsudative" lesi) yang berada di segmen apikal dan posterior lobus atas
dan segmen superior lobus bawah, memancar keluar dari hilus atau di
pinggiran paru-paru22,31
. Pada sekitar 88% kasus lebih dari satu segmen
dipengaruhi, dengan bilateral Penyakit lobus atas terlihat pada 32-64% kasus
16. Perkembangan biasa adalah menuju reticulonodular baik-didefinisikan
kekeruhan ("fibroproliferative"lesi) yang bisa bergabung22,31
(Gbr. 12). Lesi
ini, ketika sembuh, mungkin kapur dan berhubungan dengan parenkim
distorsi, atelektasis cicatricial dan traksi bronkiektasis32
. Fibrosis parah,
dengan penyusutan volume lobus atas dan retraksi hilus terlihat pada sampai
dengan 29% dari kasus 16,22
. Sebuah opacity apikal ("topi apikal") terlihat
pada 41% pasien, sesuai dengan penebalan pleura, penumpukan lemak
extrapleural dan atelektasis subpleural dan paru-paru fibrosis, seperti yang
ditunjukkan oleh CT studi 16
(Gbr. 13). Bahwa infeksi aktif berkorelasi baik
dengan "exsudative" lesi atau kavitasi22
, "fibroproliferative" lesi juga
menunjukkan penyakit aktif; stabilitas temuan radiografi untuk periode yang
lebih lama dari 6 bulan adalah indikator terbaik dari penyakit tidak aktif,
tetapi ahli radiologi mungkin harus menggunakan istilah radiografi "stabil"
dari "aktif" atau "sembuh"16
. Kadang-kadang, TB dapat bermanifestasi
sebagai lesi massa seperti, biasanya di lobus tengah atau lebih rendah, yang
tidak dapat dibedakan dari neoplasma hanya didasarkan pada studi pencitraan
12.
Gambar 12. Keterlibatan parenkim: kekeruhan nodular buruk-marginated di
lobus atas, beberapa dari mereka menunjukkan pertemuan, akan ditampilkan di dataran dada
film
Gambar 13. parenkim penyakit: Film dada menunjukkan bukti volume yang signifikan
rugi pada lobus kanan atas, bersama dengan retraksi hilar, kavitasi dan
sebuah "topi apikal". Ada juga mediastinum kalsifikasi dan adenopati hilar.
Kavitasi tuberkulosis biasanya menunjukkan tinggi38
. Kavitasi terlihat di
dada film polos dalam sekitar 50% dari pasien pada beberapa waktu selama
penyakit, tetapi CT dada lebih akurat dalam deteksi, terutama dalam kasus-
kasus rumit oleh distorsi arsitektur53,54
. Rongga Satu atau beberapa lebih
sering terlihat di MDR TB20
. Rongga yang hadir, secara umum, di beberapa
situs, dalam area konsolidasi parenkim, dan dapat mencapai beberapa
sentimeter dalam ukuran22
. Dinding mereka adalah awalnya tebal dan tidak
teratur, dan semakin menjadi tipis dan halus (Gambar 14.); dengan
penyembuhan, balon besar ruang emphysematous53
dan menyelesaikan
dengan atau tanpa bekas luka18
. Tingkat Air-cairan dalam rongga dapat
disebabkan infeksi oleh bakteri atau jamur22,53
; Namun, bahkan dalam non-
rumit, rongga yang tidak terinfeksi, air fluid level dapat ditemukan dalam 9-
22% dari kasus55
. Diagnosis rongga mencakup bula, kista, pneumatoceles
atau kistik bronkiektasis 56
.
Gambar 14. konsolidasi parenkim dan kavitasi: (A) Film CT pramuka dan (B) CT
menunjukkan beberapa nodul kecil di kedua paru-paru, dengan kavitasi berdinding tipis di
yang blobe kanan atas.
Penyebaran bronkogenik adalah komplikasi yang paling umum
kavitasi tuberkulosis, terdeteksi radiografi di sebanyak 20% kasus, dan
muncul sebagai beberapa illdefined micronodules, didistribusikan dalam
segmental atau lobar fashion, biasanya jauh dari situs rongga dan melibatkan
lobus paru-paru yang lebih rendah55
(Gbr. 15). HRCT mungkin yang paling
Metode pencitraan sensitif untuk mendeteksi bronkogenik penyebaran TB,
yang dapat diidentifikasi pada sampai dengan 98% kasus. Temuan meliputi
nodul centrilobular 2-4 mm dalam ukuran dan linier bercabang kekeruhan
marginated tajam (mewakili kaseosa nekrosis dalam dan di sekitar terminal
dan pernapasan bronkiolus), yang disebut "pohon-in-bud" tanda, yang
menunjukkan penyakit aktif dan sesuai dengan bronkitis tuberkulosis saluran
udara kecil53
(Gbr.16). Lesi yang sama, Namun, ketika dikelilingi oleh
konsolidasi pengap, mungkin muncul bronchograms sebagai fluida57
. Lima
sampai delapan mm buruk nodul marginated, konsolidasi lobular dan
interlobular penebalan septum antara lain HRCT fitur di bronkogenik spread
53. Penyembuhan dengan jaringan parut, nodul residual dan parenkim atau
pengapuran endobronkial ditemukan di 30%32.
Perangkap udara karena sisa
stenosis bronchiolar mengarah ke daerah hypoattenuation; bila dikaitkan
dengan arsitektur distorsi, temuan ini biasanya merupakan paracicatricial
emfisema53
.
Gambar 15. penyebaran bronkogenik: HRCT menunjukkan penebalan dinding anterior
bronkus segmental dari lobus kiri atas (panah) dan beberapa centrilobular
nodul. Ada juga meninggalkan adenopati hilar.
Gambar 16. bronkogenik penyebaran: CT (A) rongga tidak teratur dan berdinding tebal di
segmen anterior lobus kanan atas dan tersebar nodul kecil (panah) dan (B) percabangan
opacity pada paru-paru perifer (panah) sesuai dengan dilatasi bronchioli diisi dengan bahan
yang terinfeksi ("pohon-in-bud").
Dalam beberapa kasus (3-6%) TB post-primer, tuberkuloma yang dominan
parenkim temuan58
tapi mereka mewakili, sering kali, sembuh penyakit
primer. Lesi ini muncul kekeruhan marginated tajam sebagai bulat atau oval,
mengukur 0,5-4 cm (mayoritas tetap stabil dalam waktu), umumnya soliter
dan kalsifikasi (Gbr. 17). Tuberkuloma memiliki kekeruhan bulat kecil yang
berdekatan ("satelit" nodul) di dekat dalam 30% kasus59
. Pada CT kontras
ditingkatkan, tuberkuloma mungkin menunjukkan cincin-seperti atau
lengkung sentral tambahan, dengan luas meningkatkan berhubungan dengan
berserat kapsul, sedangkan berkorespondensi daerah non-meningkatkan untuk
kaseosa atau nekrosis liquefaktif 60
.
Gambar 17. tuberculoma: Sebuah didefinisikan dengan baik, nodul benar-benar
kalsifikasi dengan 4 cm di ukuran di lobus kanan atas ditampilkan pada CT.
Penyakit miliaria terlihat lebih jarang di post-primer dari TB primer12
.
Pola radiografi karakteristik beberapa micronodules, tersebar melalui kedua
paru-paru, adalah kadang-kadang tak terlihat sampai akhir penyakit, tetapi
karakteristik Fitur TB aktif (konsolidasi, kavitasi, limfadenopati) hidup
berdampingan pada 30% pasien33
. HRCT dapat mendeteksi penyakit miliaria
sebelum menjadi jelas di dada film polos34
, menunjukkan kedua tajam dan
buruk didefinisikan nodul 1-4 mm, secara acak, sering dengan intra terkait
dan penebalan septum interlobular dan bidang tanah-kaca opacity 34,35
(Gbr.
18). DiagnosiS banding termasuk lymphangitis karsinomatosa, bronchiolitis,
pneumoconiosis atau metastasis 26,35
.
Gambar 18. milier TB: HRCT mengungkapkan beberapa nodul 1-2mm luas,
beberapa dari mereka dalam distribusi perivaskular
Setelah TB post-primer, atelektasis cicatricial relatif umum. Hingga 40%
dari pasien memiliki fibrosis ditandai respon, dengan atelektasis lobus atas,
retraksi hilar, hiperinflasi lobus lebih rendah, dan pergeseran mediastinum ke
arah mempengaruhi paru-paru8. Parenkim kehancuran ("Paru-paru hancur")
adalah kadang-kadang tahap akhir post-primer TB, menyebabkan beberapa
kesulitan dalam penilaian penyakit kegiatan yang hanya didasarkan pada
kriteria radiografi37
. Selain itu, Infeksi piogenik atau jamur sekunder dapat
muncul8
. Hilus atau mediastinum limfadenopati juga jarang di Penyakit post-
primer (5% pasien), biasanya berhubungan dengan penyakit parenkim dan
kavitasi16
.
b. Tracheobronchial TB
Tracheobronchial TB lebih sering terlihat sebagai komplikasi penyakit
primer, tetapi juga terjadi dalam pengaturan Penyakit post-primer. Stenosis
bronkial terjadi pada 10-40% pasien dan disebabkan oleh perluasan langsung
dari tuberkulosis limfadenitis, berdasarkan penyebaran endobronkial atau
limfatik diseminasi17
(Gbr. 19). Sedangkan penyakit aktif melibatkan bronkus
kanan dan kiri dengan frekuensi yang sama, fibrotik penyakit yang lebih
umum mempengaruhi bronkus kiri27
. Pada film polos, temuan termasuk
segmental atau lobar atelektasis, lobar hiperinflasi, Sumbatan mukoid dan
obstruktif pneumonia17
. CT lebih akurat dan dapat menunjukkan bronkial
penyempitan (umumnya dari segmen panjang) dengan tidak teratur penebalan
dinding, obstruksi luminal, dan ekstrinsik kompresi dengan limfadenitis
dalam pengaturan penyakit akut17,27
, Sedangkan pada penyakit fibrosis,
dinding menjadi halus dan tipis. Temuan ini harus dibedakan dari karsinoma
bronkogenik yang melibatkan saluran udara sentral27
. Bronkiektasis sering
mempersulit endobronkial TB, paling sering terjadi sebagai proses
paracicatricial (traksi bronkiektasis), tetapi juga karena bronchostenosis pusat
dan distal bronkus dilatasi. Lobus atas lebih sering berada terlibat32
. Trakea
dan laring TB lebih jarang dari penyakit endobronkial38
.
Gambar 19. trakeobronkial TB: pada film CT pramuka, stenosis dari utama kanan
bronkus, karena perluasan langsung dari limfadenitis TB, terlihat (panah).
c. Pleuritis Tuberkulosis
Penyakit pleura yang paling sering dikaitkan dengan TB primer, tetapi bisa
terjadi pada penyakit post-primer. Efusi unilateral Kecil, berhubungan dengan
penyakit parenkim, terdeteksi pada sampai dengan 18% dari pasien16
. Kontras
ditingkatkan CT scan di efusi TB postprimary menunjukkan lancar menebal
visceral dan parietal pleura leaflet, yang disebut "split-pleura" tanda38
. Efusi
adalah biasanya lokulasi dan mungkin stabil dalam ukuran selama beberapa
tahun (Gbr. 20).
Gambar 20. tuberkulosis pleuritis: a sisi kanan, yang diselenggarakan efusi
pleura adalah ditampilkan pada film polos dada.
d. Komplikasi
Bronkiektasis dan sisa rongga gejala sisa biasanya ditemukan di lobus atas,
diakui dalam 71-86% dan 12-22%, masing-masing39
. Organisme jamur,
terutama Aspergillus spesies, bisa menjajah ruang-ruang, terutama yang
terakhir. Tanda radiografi awal kolonisasi jamur penebalan dinding rongga
pleura atau berdekatan18
. Pada film biasa, sebuah aspergilloma (bola jamur)
muncul sebagai nodul bulat dipisahkan dari dinding rongga oleh hyperlucent
berbentuk bulan sabit gambar ("tanda air-sabit")40.
CT fitur orang-orang dari
nodul intrakaviter bola atau massa, sebagian dikelilingi melalui udara atau
menduduki seluruh rongga40
, yang mungkin menunjukkan mobilitas menuju
posisi tergantung pada rawan dan terlentang scan41
(Gbr.21). Konsekuensi
yang paling penting dari aspergillomas, terjadi pada 50-70%, adalah
hemoptisis 43
.
Gambar 21. aspergilloma: (A) foto dada menunjukkan dua gigi berlubang, sebagian
diduduki oleh bola jamur, di lobus kanan atas dikembangkan dalam area konsolidasi, (B)
HRCT menunjukkan rongga berdinding tipis di lobus kanan atas dijajah oleh aspergilloma
dan (C) dari tomography konvensional (detail), intrakaviter kekeruhan nodular yang hadir di
kedua lobus atas, lepas dari dinding rongga dengan sabit udara (panah).
Sebuah aneurisma Rasmussen adalah pseudoaneurysm paru yang arteri
yang disebabkan oleh erosi dari TB yang berdekatan rongga44
, ditemukan
pada sekitar 5% pasien18
dan penyajian dengan hemoptisis, Kadang – kadang
besar45
. Radiografi fitur termasuk massa memperbesar atau muncul dengan
cepat parenkim opacity mewakili perdarahan44.
Broncholitiasis adalah komplikasi yang jarang, sehingga dari pecahnya
limfadenopati kalsifikasi menjadi berdekatan bronkus, dengan dominasi sisi
kanan. Radiografi Manifestasi termasuk perubahan dalam posisi atau
hilangnya dari kalsifikasi pada film serial, pengembangan saluran napas
obstruksi, atau ekspirasi perangkap udara. CT dapat menunjukkan, selain dari
endobronkial atau peribronchial node kalsifikasi, segmental atau lobar
atelektasis, pneumonitis obstruktif, bercabang kekeruhan linear(bronchoceles
obstruktif), hiperinflasi focal dan bronkiektasis46
.
Hilus dan mediastinum kelenjar getah bening yang terinfeksi dapat
menjadi granuloma fibrocaseous dan bersatu, membentuk tuberkulosis
granuloma. Hal ini dapat menyebabkan berserat reaktif perubahan dan
peradangan akut mediastinum. Jika yang mendominasi pertama, hasilnya
adalah fibrosing mediastinitis dan jika yang terakhir ini lebih relevan,
mediastinitis TB adalah hasil47
. Keduanya, bagaimanapun, jarang28
.
Radiografi temuan serupa dengan tumor mediastinum, tetapi ada juga
mungkin massa hilus atau efusi pleura. Pada CT, sekelompok homo
membesar atau heterogen meningkatkan kelnjar getah bening menunjukkan
diagnosis47
(Gambar 22.); Kadang-kadang node ini muncul sebagai massa
hilus atau mediastinum, sering dengan kalsifikasi28
. Temuan lainnya termasuk
tracheobronchial penyempitan, paru bungkus kapal, unggul obstruksi vena
cava dan infiltrat paru28
, Terakhir karena obstruksi bronkus (dengan
menghasilkan obstruktif pneumonia atau atelektasis) atau obstruksi vaskular
(terkemuka infark)36
. Namun, CT tidak bisa selalu membedakan mediastinis
tuberkulosis dari neoplasma mediastinum47
. Magnetic resonance imaging
(MRI) dapat menunjukkan daerah intensitas sinyal rendah pada T1-
tertimbang gambar, karena kehadiran dari jaringan fibrosa dan inflamasi.
Fibrosis mungkin juga menjadi hypointense pada urutan T2-tertimbang,
sedangkan inflamasi dan jaringan granulomatosa meningkatkan pada
gadoliniumenhanced Gambar T1-tertimbang48
. Diagnosis banding meliputi
sarkoidosis, limfoma, neoplasma metastatik, thymoma, karsinoma thymus
dan teratoma ganas47
.
Gambar 22. tuberkulosis mediastinitis: sekelompok diperbesar homogen
kelenjar getah bening di mediastinum terdeteksi pada CT.
Perikarditis tuberkulosis merupakan komplikasi dari sekitar 1% dari pasien
dengan TB, menyajikan baik sebagai efusi perikardium, karena exsudation
cairan dengan proliferasi sel, atau perikardial penebalan, karena produksi
fibrin dan pembentukan jaringan granulasi. CT sekarang metode pilihan
untuk evaluasi perikardium, tetapi dalam waktu dekat mungkin disusul oleh
MRI49
. Penebalan perikardial (>3mm) di pengaturan klinis sugestif
menunjukkan adanya konstriktif perikarditis, yang terjadi pada 10% pasien
dengan TB Keterlibatan perikardial28
. Tanda-tanda sekunder meliputi vena
cava inferior dilatasi (> 3 cm) sekunder kegagalan sisi kanan jantung, dan
angulasi atau ketidak jujuran dari septum interventrikular mungkin karena
pembatasan perikardial ekspansi. Tanda-tanda terkait lainnya adalah adanya
cairan perikardial dalam bentuk akut, Sedangkan pada sub-akut fase ada
penyerapan bertahap cairan dan kaseasi terjadi, Sehingga purulen perikarditis
dan penebalan perikardial. Purulen perikarditis mungkin sekunder terinfeksi
kelenjar getah bening, dan lesi mendominasi di sepanjang perbatasan yang
tepat jantung. Pada fase kronis yang tidak teratur menebal dan pericardium
sering kalsifikasi, tanpa cairan perikardial, adalah dilihat49
(Gbr. 23). Efusi
pleura adalah sekunder untuk terkait kelainan hemodinamik49
dan atrium
kanan trombus disebabkan oleh stasis intrakardiak darah.
Gambar 23. tuberkulosis perikarditis: Film dada menunjukkan perikardial ditandai
kalsifikasi (panah). Ada juga penebalan pleura bilateral dengan kalsifikasi dari pleura kiri
(panah).
Pneumotoraks terjadi pada 5% pasien dengan postprimary penyakit,
biasanya dengan adanya kavitasi parah. Ini bentara terjadinya fistula
bronkopleural dan empiema8. Ketika pleurisy TB terlokalisir (1-4% kasus),
tuberkulosis yang empiema terjadi kemudian, yang menyajikan radiografi
sebagai kumpulan lokulasi cairan berhubungan dengan parenkim
Penyakit16,37
. Pada CT, koleksi cairan fokus dengan penebalan pleura dan
kalsifikasi, kadang-kadang dikaitkan dengan proliferasi lemak extrapleural,
terlihat8
(Gbr.24). Empiema dapat berkomunikasi dengan kulit
pleurocutaneous fistula (empiema necessitatis) atau dengan bronchial yang
pohon-bronkopleural fistula, dimanifestasikan oleh tingkat air-fluid dalam
rongga pleura; CT menunjukkan komunikasi antara rongga pleura dan pohon
bronkial50
(Gbr.25). Empiema tidak diobati juga dapat menyebabkan
kerusakan tulang, seperti serta penebalan pleura dan kalsifikasi24,37
. Ada juga
laporan tentang asosiasi empiema kronis dan keganasan, lebih umum
limfoma, karsinoma sel skuamosa dan mesothelioma, mungkin karena
onkogenik aksi peradangan kronis dan zat containedin pleura. Temuan
radiografi meliputi peningkatan toraks opacity, jaringan lunak melotot dan
kabur dari pesawat lemak dalam dinding dada, kerusakan tulang dan
pergeseran medial pleura kalsifikasi. CT dapat menunjukkan-jaringan lunak
meningkatkan massa sekitar empiema51
.
Gambar 24. Empiema: CT menunjukkan pengumpulan cairan terorganisir bilateral
dengan pleura kalsifikasi dan proliferasi lemak extrapleural di sisi kanan.
Gambar 25. bronkopleural fistula: CT menunjukkan jalan napas melebar, yang
berkomunikasi langsung dengan koleksi air-cairan di rongga pleura kiri (panah). Perhatikan
juga penebalan dari kedua leaflet pleura visceral dan parietal.
TB paru dapat mendukung perkembangan bronkogenik karsinoma karena
efek onkogenik kronis peradangan dan fibrosis ("karsinoma bekas luka")32
.
Kanker paru-paru, di sisi lain, dapat menyebabkan ractivation TB dengan
mengikis fokus diam atau dengan menekan imunitas seluler. Pemandangan
lain yang mungkin adalah karsinoma bronkogenik TB dan mungkin kebetulan
terkait12
. Fitur radiologi yang menyarankan penyakit neoplastik pada pasien
dengan post-primer TB meliputi: penyakit progresif meskipun
antituberkulosis yang memadai terapi, hilar dan/atau limfadenopati
mediastinum, massa fokus lebih besar dari 3 cm dan rongga dengan dinding
nodular52
adenopati hilar .
2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga
pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif2.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1).
Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung
TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak
ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan
dahak SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita
tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan
pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA
negatif rontgen positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh 2
, sebagaimana bisa dilihat di
bawah ini:
Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Hasil BTA
+ + +
+ + -
Hasil BTA
+ - -
Hasil BTA
- - -
Periksa Rontgen
Dada Beri Antibiotik
Spektrum Luas
Hasil
Mendukung
TB
Hasil Tidak
Mendukung
TB
Tidak Ada
Perbaikan
Ada
Perbaikan
Ulangi Periksa Dahak
SPS
Hasil BTA
+ + +
+ + -
Hasil BTA
- - -
Periksa Rontgen Dada
Hasil
Mendukung
TB
Hasil
Rontgen
Negatif
Bukan
TBC,
Penyakit
Lain
TB BTA
Negatif
Rontgen
Positif
Penderita
Tuberkulosis
BTA Positif
Gambar 2.3
Alur Diagnosis TB paru
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi,
Sewaktu (SPS)
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria
pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan
BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya
positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1
sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan
sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya
positif7.
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit
masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah
limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran
normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah
menurun 2
.
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes
tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium
patogen lainnya 2.
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin
P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini
adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan,
akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat
limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen
tuberkulin. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di
bawah ini 7:
Penyuntikan Tes Tuberkulin
7
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam7: a).
Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity.
Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil
meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low
grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15
mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi
seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni
pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif
palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi,
penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan
panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas
menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua,
malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV
positif, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif 7.
2.7 Komplikasi tuberkulosis
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering
terjadi pada TB milier dan kavitas TB) 7.
2.8 Tipe penderita tuberkulosis
Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, yaitu :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB.
09).
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA
negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya 2.
2.9 Pengobatan Tuberkulosis Paru
2.9.1 Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas
sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan
Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk
mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid
mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin
menempati urutan lebih bawah 7.
2.9.2 Kemoterapi TB
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan
sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu
Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol
(E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program
pengobatan TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly observed
Treatment Short-course (DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO,
strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan
pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar :
Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang
basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus
bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda
dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R
merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah,
sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan penyakit
membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya,
perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi basil yang
persisten 7.
Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu
18-24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS
pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT,
dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua
kuman dapat dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan
tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari
dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
jenis OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA
positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat
dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman
persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan 2,7
.
2.9.3 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat
lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke
penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan
resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup
Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini
dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat
tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,
Rifampisin, dan Etambutol 7.
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid
(H)
Bakterisid
Terkuat
Obat ini sangat efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu
kuman yang sedang berkembang.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
cell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin
(R)
bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-
dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis
Pirazinamid
(Z)
bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang
berada dalam sel dengan suasana asam.
Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan
pertama pengobatan.
Streptomisin
(S)
bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan
aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.
Etambutol
(E)
bakteriostatik -
2.9.4 Regimen pengobatan (metode DOTS)
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut
definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini2,7
:
Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Kategori
pengobatan
TB
Pasien TB
Paduan pengobatan TB
alternatif
Fase awal
(setiap hari / 3 x
seminggu)
Fase lanjutan
I Kasus baru TB paru
dahak positif; kasus baru
TB paru dahak negatif
dengan kelainan luas di
paru; kasus baru TB
ekstra-pulmonal berat
2 EHRZ
(SHRZ)
2 EHRZ
(SHRZ)
2 EHRZ
(SHRZ)
6 HE
4 HR
4 H3 R3
II Kambuh, dahak positif;
pengobatan gagal;
pengobatan setelah
terputus
2 SHRZE / 1
HRZE
2 SHRZE / 1
HRZE
5 H3R3E3
5 HRE
III Kasus baru TB paru
dahak negatif (selain
dari kategori I); kasus
baru TB ekstra-
pulmonal yang tidak
berat
2 HRZ atau
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2H3R3Z3
6 HE
2 HR/4H
2 H3R3/4H
IV Kasus kronis (dahak
masih positif setelah
menjalankan pengobatan
ulang)
TIDAK DIPERGUNAKAN
(merujuk ke penuntun WHO
guna pemakaian obat lini kedua
yang diawasi pada pusat-pusat
spesialis)
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari
selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah
2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase
lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif
setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa
melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H,
Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4
obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum
untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3
atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda,
sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup
diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan
TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan
kategori II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan
pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA
positif 2.
2.9.5 Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien 7:
Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis Dosis
Isoniazid (H) harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R)
harian = intermiten : 10 mg/kgBB
Pirazinamid (Z)
harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)
harian = intermiten : 15 mg/kgBB
usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E)
harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
2.9.6 Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian
obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB
untuk menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai.
Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT
kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan
berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1
masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3
Berat badan Tahap Intensif tiap hari
selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 16 minggu
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3
Berat
badan
Tahap Intensif tiap hari
RHZE (150/75/400/275)
+ S
Tahap Lanjutan3x seminggu
RH (150/150) + E (400)
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg
Streptomisin inj
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2
tab Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg
Streptomisin inj
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3
tab Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg
Streptomisin inj
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4
tab Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg
Streptomisin inj 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5
tab Etambutol
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.6 Dosis OAT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
2.9.7 Efek samping pengobatan
Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin
OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek
samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan
dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin
2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap
pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan
pada syaraf tepi,
kesemutan, nyeri otot dan
gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain
menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain
gatal-gatal.
Hepatitis, ikhterus
Rifampisin (R)
gatal-gatal kemerahan
kulit, sindrom flu, sindrom
perut.
Hepatitis, sindrom
respirasi yang ditandai
dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal
Pirazinamid (Z)
Reaksi hipersensitifitas :
demam, mual dan
kemerahan
Hepatitis, nyeri sendi,
serangan arthritis gout
Streptomisin (S)
Reaksi hipersensitifitas :
demam, sakit kepala,
muntah dan eritema pada
kulit
Kerusakan saraf VIII
yang berkaitan dengan
keseimbangan dan
pendengaran
Etambutol (E)
Gangguan penglihatan
berupa berkurangnya
ketajaman penglihatan
Buta warna untuk warna
merah dan hijau
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)
2.10 Hasil pengobatan tuberkulosis
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil
pengobatan penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2
kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir
pengobatannya.
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai
jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya
1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir
pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada
akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-
2 dari pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2
bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa
melihat sebab kematiannya.
2.11 Evaluasi pengobatan
Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode
yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai
akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-
keluhan pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu
makan bertambah, berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA
mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan
sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA
langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang
mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut.
Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka
pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada
akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti
timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya
tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat
keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya.
Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali
(Bayupurnama, 2007).
BAB 3
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian
besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.
2. Tuberkulosis paru disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis.
3. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri
menyebar ke udara dalam bentuk droplet.
4. Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di
sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masing-
masing individu.
5. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
6. Gejala klinis utama TB apru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan
7. Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB
milier dan kavitas TB)
8. Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus
baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kroinis dan tuberkulosis
resistensi ganda.
9. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan
dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat
dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)
yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan
Etambutol (E)
10. Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap,
gagal, putus berobat, dan meninggal.
11. Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan
radiologis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama, TY,. Chairil, AS, Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia 2002.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta. 2006.
3. World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia
diakses pada 23 Maret 2010 pukul 14:39 WIB
<http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-
indonesia/article/55/000100150017/2>
4. Arsyad, Zulkarnain. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru yang
Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia Kedokteran No.
110, 1996 15.
5. Daniel, M. Thomas. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13
Volume 2. Jakarta : EGC : 1999. p.799-808
6. Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., “Jawetz, Melnick & Adelbergh’s:
Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi
FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika. 2004.
7. Bahar, A., Zulkifli Amin.. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 2007.p 995-
1000.
8. McAdams HP, Erasmus J Winter JA. Manifestasi radiologi TB paru. Radiol
Clin Utara Am 1995; 33: 655-78.
9. Van der Brande P, Dockx S, Valck B, Demedts M. tuberculosis paru dalam
dewasa di daerah prevalensi rendah: adalah radiologi mengubah presentasi? Int
J Tuberc Lung Dis 1998; 11: 904-8.
10. Lee KS, Lagu KS, Lim TH, et al. Onset dewasa TB paru: Temuan pada
radiografi dada dan CT scan. AJR 1993; 160: 753-8.
11. Choyke PL, Sostman HD, Curtis AM, et al. Onset dewasa paru TBC.
Radiologi 1983; 148: 357-62.
12. Miller WT, Miller Jr WT. Tuberkulosis di host normal: radiologi temuan.
Semin Roentgenol 1993; 28: 109-18.
13. Leung AN. TB paru: yang hakiki. Radiologi 1999; 198: 307-22.
14. Im JG, Lagu KS, Kang HS, et al. Mediastinal limfadenitis TB: CT
manifestasi. Radiologi 1987; 164: 115-9.
15. Leung AN, Muller NL, Pineda PR, FitzGerald JM. TB primer di masa kecil:
radiografi manifestasi. Radiologi 1992; 182: 87-91.
16. Pombo F, Rodriguez E, Mato J, Perez-Fontan J, E Rivera, Valvuena L. Pola
peningkatan kontras kelenjar getah bening TB ditunjukkan oleh computed
tomography. Clin Radiol 1992; 46: 13-7.
17. Lee KS, Kim YH, Kim WS, Hwang SH, Kim PN, Lee BH. endobronchial
TB: CT fitur. J comput Membantu Tomogr 1991; 15: 424-8.
18. McAdams HP, Erasmus J Winter JA. Manifestasi radiologi TB paru. Radiol
Clin Utara Am 1995; 33: 655-78.
19. Lee KS, Im JG. CT pada orang dewasa dengan TBC dada: karakteristik
temuan dan peran dalam manajemen. AJR 1995; 164: 1361-7.
20. Lee KS, Im JG. CT pada orang dewasa dengan TBC dada: karakteristik
temuan dan peran dalam manajemen. AJR 1995; 164: 1361-7.
21. Agrons GA, Markowitz RI, Kramer SS. TB paru di anak-anak. Semin
Roentgenol 1993; 28: 158-72.
22. Palmer PES. Tuberkulosis paru-biasa dan radiografi yang tidak biasa
presentasi. Semin Roentgenol 1979; 14: 204-42.
23. Stransberry SD. Tuberkulosis pada bayi dan anak-anak. J Thorac Imag
1990; 5: 17-27.
24. Hulnick DH, Naidich DP, McCauley DI. TB pleura dievaluasi
oleh computed tomography. Radiologi 1983; 149: 759-65.
25. Buckner CB, Walker CW. Manifestasi Radiologi tuberkulosis dewasa.
J Thorac Imag 1990; 5: 28-37.
26. Webb WR, Muller NL, Naidich DP. Resolusi CT tinggi dari paru-paru.
New York: Raven Tekan; 2001 p. 315-25.
27. Bulan WK, Im JG, Yeon KM, Han MC. Tuberkulosis pusat
saluran udara: Temuan CT penyakit aktif dan fibrosis. AJR
1997; 169: 649-53.
28. Kim Y, Lagu KS, Goo JM, Lee JS, Lee KS, Lim TH. Rongga Dada
sekuele dan komplikasi tuberkulosis. Radiographics
2001; 21: 939-58.
29. Lee JH, Taman SS, Lee DH, Shin DH, Yang SC, Yoo BM. endobronchial
TBC. Dada 1992; 102: 990-4.
30. Harisinghani MG, McLoud TC, Shepard JAO, Ko JP, Shroff
MM, Mueller PR. Tuberkulosis dari kepala sampai kaki. Radiographics
2000; 20: 449-70.
31. Miller WT, MacGregor RR. Tuberkulosis: frekuensi radiografi yang tidak
biasa temuan. AJR 1978; 130: 867-75.
32. Fraser RS, Pare JAP, Pare PD, et al. Diagnosis penyakit pada
dada. Philadelphia: WB Saunders; 1991 p. 882-939.
33. Kwong JS, Carina S, Kang E, Muller NL, FitzGerald JM. miliaria TB:
akurasi diagnostik radiografi dada. dada 1996; 110: 977-84.
34. Oh Y, Kim YH, Lee NJ, et al. CT resolusi tinggi tuberkulosis milier. J
comput Membantu Tomogr 1994; 18: 862-6.
35. Hong SH, Im JG, Lee JS, et al. Resolusi tinggi CT temuan tuberkulosis
milier. J comput Membantu Tomogr 1998; 22: 220-4.
36. Lee JY, Kim Y, Lee KS, Chung MP. Tuberkulosis fibrosing mediastinitis:
Temuan radiologis. AJR 1996; 167: 1598-9.
37. Winer-Muram HT, Rubin SA. Komplikasi Thoracic tuberkulosis. Pencitraan
J Thorac 1990; 5: 46-63.
38. Harisinghani MG, McLoud TC, Shepard JAO, Ko JP, Shroff
MM, Mueller PR. Tuberkulosis dari kepala sampai kaki. Radiographics
2000; 20: 449-70.
39. Lee KS, Hwang JW, Chung MP, Kim H, Kwon OJ. Utility CT di evaluasi TB
paru pada pasien tanpa AIDS. Dada 1996; 110: 977-84.
40. Fraser RS. Paru aspegillosis: fitur patologis dan patogenetik. Pathol Annu
1993; 28: 231-77.
41. Broderick LS, Conces Jr DJ, Tarver RD, Bergmann CA, Bisesi MA.
Aspergillosis paru: spektrum penyakit. Crit Rev Diagn Pencitraan 1996; 37:
491-531.
42. Leung AN. TB paru: yang hakiki. Radiologi 1999; 198: 307-22.
43. Fraser RS. Paru aspegillosis: fitur patologis dan patogenetik. Pathol Annu
1993; 28: 231-77.
44. Santelli ED, Katz DS, Goldschmidt AM, Thomas HA. embolisasi beberapa
Rasmussen aneurisma sebagai pengobatan hemoptisis. Radiologi 1994; 193:
396-8.
45. Ramakantan R, Bandekar VG, Gandhi MS, Aulakh BG, Deshmukh HL.
Hemoptisis masif karena TB paru: kontrol dengan embolisasi arteri bronkial.
Radiologi 1996; 200: 691-4.
46. Conces Jr DJ, Tarver RD, Vix VA. Broncholitiasis: CT fitur di 15 pasien.
AJR 1991; 157: 249-53.
47. Kushihashi T, Munechika H, Motoya H, et al. CT dan MRI Temuan di
mediastinitis TB. J comput Membantu Tomogr 1995; 19: 379-82.
48. Rholl KS, Levitt RG, Glazer HS. Magnetic resonance imaging dari fibrosa
mediastinitis. AJR 1985; 145: 255-9.
49. Suchet IB, Horwitz TA. CT di perikarditis konstriktif TB. J comput
Membantu Tomogr 1992; 16: 391-400.
50. Westcott JL, Volpe JP. Peripheral fistula bronkopleural: evaluasi CT pada 20
pasien dengan pneumonia, empiema atau udara pasca operasi bocor.
Radiologi 1995; 196: 175-81.
51. Minami M, N Kawauchi, Yoshikawa K, et al. keganasan terkait dengan
empiema kronis: penilaian radiologi. Radiologi 1991; 178: 417-23.
52. Ting TM, Gereja WR, Ravikrishnan KP. Karsinoma paru ditumpangkan pada
tuberkulosis paru. Radiologi 1976; 119: 307- 12.
53. Im J, Itoh H, Shim Y, et al. TB paru: CT findingsearly
penyakit aktif dan perubahan berurutan dengan terapi anti tuberkulosis.
Radiologi 1993; 186: 653-60.
54. Kuhlman JE, JH Deutsch, Fishman EK, et al. Fitur CT dari dada penyakit
mikobakteri. Radiographics 1990; 10: 413-31.
55. Hadlock FP, Taman SK, Awe RJ, Rivera M. radiografi biasa Temuan di TB
paru dewasa. AJR 1980; 134: 1015-8.
56. Winer-Muram HT, Rubin SA. Komplikasi Thoracic tuberkulosis. Pencitraan
J Thorac 1990; 5: 46-63.
57. Taman S, Hong YK, Joo SH, Choe KO, Cho SH. Temuan CT paru TB
menyajikan konsolidasi sebagai segmental. J Comput Membantu Tomogr
1999; 23: 736-42.
58. Miller WT, MacGregor RR. Tuberkulosis: frekuensi radiografi yang tidak
biasa temuan. AJR 1978; 130: 867-75.
59. Lee KS, Im JG. CT pada orang dewasa dengan TBC dada: karakteristik
temuan dan peran dalam manajemen. AJR 1995; 164: 1361-7.
60. Lee JY, Lee KS, Jung KJ, et al. Paru TBC: CT dan
korelasi patologis. J comput Membantu Tomogr 2000; 24: 691-8.
61. Bulan WK, Im JG, Yeon KM, Han MC. TB mediastinal limfadenitis: Temuan
CT penyakit aktif dan tidak aktif. AJR 1998; 170: 715-8.
62. Lamont AC, Cremin BJ, Pelteret RM. Pola Radiologi paru
tuberkulosis pada kelompok usia anak. Paediatr Radiol
1986; 16: 2-7.