Refarat Hiv 1
-
Upload
egia-terulin-pinem -
Category
Documents
-
view
23 -
download
1
description
Transcript of Refarat Hiv 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak Negara diseluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah
AIDS, pernah memperkiraan jumlah ODHA diseluruh dunia pada Desember 2004
adalah 35, 9- 44, 3juta orang. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS.
HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara ekonomi, pendidikan dan juga krisis
kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidemensi. Sebagai
krisis kesehatan, AIDS memerlukan respon dari masyarakat dan memerlukan
layananan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV.
Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health
Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah
membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia.
Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan
pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui apa saja komplikasi
neurologis yang dapat terjadi.
Dampak AIDS terhadap sel saraf yaitu dimana virus tampaknya tidak menyerang
sel saraf secara langsung tetapi membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Peradangan yang diakibatkan dapat merusak otak dan saraf tulang belakang. Penelitian
menunjukkan bahwa infeksi HIV secara bermakna dapat mengubah struktur otak
tertentu yang terlibat dalam proses belajar dan pengelolaan informasi.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf, menyebabkan
kerusakan neurologis. 31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini
mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat
penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa
dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dirumuskan sebuah
masalah, yakni bagaimana gambaran umum mengenai HIV pada Penyakit Neurologis?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran umum mengenai HIV pada Penyakit Neurologis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis dari HIV
pada penyakit neurologis.
2. Mengetahui terapi dari HIV pada penyakit neurologis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi HIV/AIDS 1
AIDS (Acquired immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi
oleh virus HIV (human immunodeficiency virus) yang termasuk family retroviridae,
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
2.2 Epidemiologi HIV/AIDS 1
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum
suntik pada pengguna narkotika, transfuse komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok resiko tinggi terhadap
HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelangganannya,
serta narapidana.
Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik sekelompok resiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada
awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari kelompok homeseksual maka kini telah
terjadi pergeseran dimana presentase penularan secara heteroseksual dan penggunaan
obat semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya
menunjukkan tahap lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di
Indonesia sebagian besar ODHA pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan
tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat
penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir maret 2005 tercatat 6789
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tertentu masih sangat jauh dari jumlah
sebenarya Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.
Sebuah survey yang dilakukan ditanjung Balai karimun menunjukkan peningaktan
jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1 persen pada tahun
1995/ 1996 menjadi lebih dari 8, 38 persen pada tahun 2000 sementara itu survey yang
dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka infeksi HIV yang cukup tinggi di
lingkungan PSK di Merauke yaitu 5- 26, 5 persen 3, 36 persen di Jakarta utara dan 5, 5
persen di jawa barat
Pengguna narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh HIV atau
bibit – bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah
penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh
sebagian besar pengguna narkotik. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai
lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang dilakukan di RS
ketergantungan obat di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada
pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi 40, 8% pada tahun 2000 dan 47,
9 pada tahun 2001.
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indicator
untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat umum. Jika pada tahun
1990 belum ditemukan darah donor dipalang merah Indonesia (PMI) yang tercemar
HIV, maka periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang jumlah makin lama makin
meningkat.
2.3 Patofisiologi HIV
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit Thelper/induser
yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan
sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi
fungsi-fungsi imunologik. 2
Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang memicu
perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan
koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi penyatuan pori
yang dimediasi oleh gp41. 3
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA
oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Ini merupakan proses
yang sangar berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam
nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel pejamu. Virus yang
terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi sel pejamu, RNA
ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi menyebabkan produksi
protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim
(misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein struktural. Hasil pecahan ini
kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari
permukaan sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru (virion)
selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan mengulang proses
tersebut. 3
Infeksi HIV menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup, yang lambat laun akan
menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah
pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. 2
Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa
inkubas) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak
dan 60 bulan pada orang dewasa. Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan
tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya
mudah terkena penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan
neurologis.2
Virus tampaknya tidak menyerang sel saraf secara langsung tetapi
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Peradangan yang diakibatkannya dapat
merusak otak dan saraf tulang belakang dan menyebabkan berbagai gejala, contoh
kebingungan dan pelupa, perubahan perilaku, sakit kepala berat, kelemahan yang
berkepanjangan, mati rasa pada lengan dan kaki, dan stroke. Kerusakan motor kognitif
atau kerusakan saraf perifer juga umum. 2
Komplikasi sistem saraf lain yang muncul akibat penyakit atau penggunaan obat
untuk mengobatinya termasuk nyeri, kejang, ruam, masalah saraf tulang belakang,
kurang koordinasi, sulit atau nyeri saat menelan, cemas berlebihan, depresi, demam,
kehilangan penglihatan, kelainan pola berjalan, kerusakan jaringan otak dan koma.
Gejala ini mungkin ringan pada stadium awal AIDS tetapi dapat berkembang menjadi
berat. Di AS, komplikasi saraf terlihat pada lebih dari 40% pasien AIDS dewasa.
Komplikasi ini dapat muncul pada segala usia tetapi cenderung berkembang secara
lebih cepat pada anak-anak. Komplikasi sistem kekebalan dapat termasuk penundaan
pengembangan, kemunduran pada perkembangan penting yang pernah
dicapai, lesi pada otak, nyeri saraf, ukuran tengkorak di bawah normal, pertumbuhan
yang lambat, masalah mata, dan infeksi bakteri yang kambuh.2
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang tergolong virus
RNA (Ribonucleic Acid), yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul
pembawa informasi genetik. HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat
di dalam inti HIV dan akan mengubah informasi genetika dari RNA virus menjadi
deoxy-ribonucleid acid (DNA). Enzim ini adalah polimerase DNA yang mampu
bergabung dengan kromosom tubuh. Sekali berintegrasi, ia digunakan sebagai
pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus. HIV secara signifikan berdampak pada
kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama
yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga
mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel
retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi
oleh perlekatan virus ke permukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel
dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. 2
Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada
sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat
terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut
dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. 2
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut: 2
Infeksi virus (2-3 minggu)
Sindrome retroviral akut (2-3 minggu)
Gejala menghilang + serokonversi
Infeksi kronis HIV asimptomatik (rata-rata 8 tahun, di negara berkembang lebih
pendek)
Infeksi HIV/AIDS simptomatik (rata-rata 1,3 tahun)
Kematian
Berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, infeksi HIV dapat dibedakan menjadi beberapa
fase: 2
Fase I - Infeksi HIV primer ( infeksi HIV akut )
Fase II - Penurunan imunitas dini ( sel CD4 > 500/ µl )
Fase III - Penurunan imunitas sedang ( sel CD4 500-200 /µl )
Fase IV - Penurunan imunitas berat ( sel CD4 <200 /µl )
2.4 Manifestasi Klinis 3
CD4 adalah sebuah penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih
manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi infeksi yang
masuk ke dalam tubuh. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, jumlah CD4
berkisar antara 1400-1500 sel/μL. Pada penderita HIV/AIDS jumlah CD4 akan
menurun dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Umumnya muncul
jika dijumpai keadaan immunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3).
Infeksi oportunistik pada SSP muncul secara tidak langsung sebagai akibat dari proses
immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma.
2.4.1 Infeksi pada Sistem Saraf Pusat
a. Toksoplasmosis Otak (TO)
Toxoplasma gondii dapat menyebakan infeksi asimtomatis pada 80%
manusia sehat, namun bisa menimbulkan manifestasi klinis mematikan
pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Perjalanan penyakit
toksoplasmosis otak biasanya berlangsung subakut pada pasien HIV
stadium lanjut atau yang memiliki jumlah sel CD4 < 200 sel/UL. Keluhan
dan gejala timbul secara bertahap pada minggu pertama hingga mingguke-4.
Manifestasi utama yang tampak pada penderita AIDS dengan
toksoplasmosis otak adalah demam, sakit kepala, defisit neurologis fokal
dan penurunan kesadaran.
Tanda dan Gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak
respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan,
kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah
berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua
pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya
perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari
terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu
kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang
semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala
fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami
kejang dan penurunan kesadaran.
b. Meningitis TB (MTB)
Meningitis TB adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberkulosis primer. Meningitis TB disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis jenis Hominis, jarang oleh jenis Bovinum atau Aves.
Meningitis TB hampir selalu ada dalam diagnosis banding pasien AIDS
karena hampir 50% pasien AIDS menderita tuberkulosis paru.
Manifestasi klinis yang terlihat adalah hidrosefalus yang disebabkan oleh
eksudat yang menyumbat akuaduktus, fisura Sylvii, foramen Magendi,
foramen luschka dan edema papil yang disebabkan oleh terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial.
c. Meningitis kriptokokus (MK)
Meningitis kriptokokus terlihat pada sekitar 10% individu dengan
AIDS yang tidak diobati dan pada orang lain dengan sistem kekebalannya sangat tertekan
oleh penyakit atau obat. Hal ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus
neoformans, yang umum ditemukan dalam kotoran kotoran dan burung. Jamur
pertama-tama menyerang paru dan menyebar menutupi otak dan sumsum
tulang belakang, menyebabkan peradangan.Gejala termasuk kelelahan,
demam, sakit kepala, mual, kehilanganmemori, kebingungan,
mengantuk, dan muntah. Jika tidak diobati, pasien dengan meningitis
kriptokokus dapat jatuh dalam koma dan meninggal.
Tanda dan Gejala
Gejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit
kepala, mual dan muntah, kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan
pada cahaya terang. Gejala ini muncul secara perlahan. Tanda-tanda seperti
meningismus, termasuk kuduk kaku, timbul < 40% penderita. Kejang dan
defisit neurologik fokal sering timbul dan merupakan tanda koma
kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi ekstraneural,
dapat terjadi dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi di
kulit, abses prostat dan hepatitis.
d. AIDS dementia complex (ADC)
Demensia HIV adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan
gangguan kognitif dan motorik yang menyebabkan hambatan menjalankan aktivitas
hidup sehari-hari tetapi hal ini bisa diobati dengan terapi anti-retroviral.
Gejala termasuk ensefalitis (peradangan otak), perubahan perilaku,
dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan
berkonsentrasi, ingatan dan perhatian atau ensefalopati terkait HIV,
muncul terutama pada orang dengan infeksi HIV lebih lanjut. Gejala
termasuk ensefalitis (peradangan otak), perubahan perilaku, dan
penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan
berkonsentrasi, ingatan dan perhatian. Orang dengan ADC juga
menunjukkan pengembangan fungsi motor yang melambat dan kehilangan
ketangkasan serta koordinasi. Apabila tidak diobati, ADC dapat
mematikan.
e. Limfoma susunan saraf pusat (SSP)
Limfoma sususnan saraf pusat adalah tumor ganas yang mulai di otak
atau akibat kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain. Limfoma SSP
hampir selalu dikaitkan dengan virus Epstein-Barr (jenis virus herpes yang
umum pada manusia). Gejala termasuk sakit kepala, kejang, masalah
penglihatan, pusing, gangguan bicara, paralisis dan penurunan mental.
Pasien AIDS dapat mengembangkan satu atau lebih limfoma
SSP. Prognosis adalah kurang baik karena kekebalan yang semakin rusak.
f. Infeksi cytomegalovirus (CMV)
Dapat muncul bersamaan dengan infeksi lain. Gejala ensepalitis CMV
termasuk lemas pada lengan dan kaki, masalah pendengaran dan
keseimbangan, tingkat mental yang berubah, demensia, neuropati perifer,
koma dan penyakitretina yang dapat mengakibatkan kebutaan. Infeksi CMV
pada urat saraf tulang belakang dan saraf dapat mengakibatkan lemahnya
tungkai bagian bawah dan beberapa paralisis, nyeri bagian bawah yang
berat dan kehilangan fungsi kandung kemih. Infeksi ini juga dapat
menyebabkan pneumonia dan penyakit lambung-usus.
g. Infeksi virus herpes
Sering terlihat pada pasien AIDS. Virus herpes zoster yang
menyebabkan cacar dan sinanaga, dapat menginfeksi otak dan
mengakibatkan ensepalitis dan mielitis (peradangan saraf tulang belakang).
Virus ini umumnya menghasilkan ruam, yang melepuh dan sangat nyeri di
kulit akibat saraf yang terinfeksi. Pada orang yang terpajan dengan herpes
zoster, virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahun-tahun hingga
muncul kembali sebagai ruam. Reaktivasi ini umum pada orang yang AIDS
karena sistem kekebalannya melemah. Tanda sinanaga termasuk bentol
yang menyakitkan (serupa dengan cacar), gatal, kesemutan (menggelitik)
dan nyeri pada saraf.
Pasien AIDS mungkin menderita berbagai bentuk neuropati, atau
nyeri saraf, masing-masing sangat terkait dengan penyakit kerusakan
kekebalan stadium tertentu. Neuropati perifer menggambarkan kerusakan
pada saraf perifer, jaringan komunikasi yang luas yang mengantar
informasi dari otak dan saraf tulang belakang ke setiap bagian tubuh. Saraf
perifer juga mengirim informasi sensorik kembali ke otak dan saraf tulang
belakang. HIV merusak serat saraf yang membantu melakukan sinyal dan
dapat menyebabkan beberapa bentuk neropati.Distal sensory
polyneuropathy menyebabkan mati rasa atau perih yang ringan hingga
sangat nyeri atau rasa kesemutan yang biasanya mulai di kaki dan telapak
kaki. Sensasi ini terutama kuat pada malam hari dan dapat menjalar ke
tangan. Orang yang terdampak memiliki kepekaan yang meningkat
terhadap nyeri, sentuhan atau rangsangan lain. Pada awal biasanya muncul
pada stadium infeksi HIV lebih lanjut dan dapat berdampak pada
kebanyakan pasien stadium HIV lanjut.
h. Stroke
Disebabkan oleh penyakit pembuluh darah otak jarang dianggap
sebagai komplikasi AIDS, walaupun hubungan antara AIDS dan stroke
mungkin jauh lebih besar dari dugaan. Para peneliti di Universitas
Maryland, AS melakukan penelitian pertama berbasis populasi untuk
menghitung risiko stroke terkait AIDS dan menemukan bahwa AIDS
meningkatkan kemungkinan menderita stroke hampir sepuluh kali lipat.
Para peneliti mengingatkan bahwa penelitian tambahan diperlukan untuk
mengkonfirmasi hubungan ini. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
infeksi HIV, infeksi lain atau reaksi sistem kekebalan terhadap HIV, dapat
menyebabkan kelainan pembuluh darah dan/atau membuat pembuluh darah
kurang menanggapi perubahan dalam tekanan darah yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah dan stroke.
i. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Terutama berdampak pada orang dengan penekanan sistem kekebalan
(termasuk hampir 5%pasien AIDS). PML disebabkan oleh virus JC, yang
bergerak menuju otak, menulari berbagai tempat dan merusak sel yang
membuat mielin – lemak pelindung yang menutupi banyak sel saraf dan
otak. Gejala termasuk berbagai tipe penurunan kejiwaan, kehilangan
penglihatan, gangguan berbicara, ataksia (ketidakmampuan untuk
mengatur gerakan), kelumpuhan, lesi otak dan terakhir koma. Beberapa
pasien mungkin mengalami gangguan ingatan dan kognitif, dan mungkin
muncul kejang. PML berkembang terus-menerus dan kematian biasanya
terjadi dalam enam bulan setelah gejala awal.
j. Kelainan psikologis dan neuropsikiatri
Dapat muncul dalam fase infeksi HIV dan AIDS yang berbeda, dan
dapat berupa bentuk yang beragam dan rumit. Beberapa penyakit misalnya
demensia kompleks terkait AIDS yang secara langsung disebabkan oleh
infeksi HIV pada otak, sementara kondisi lain mungkin dipicu oleh obat
yang dipakai untuk melawan infeksi. Pasien mungkin mengalami
kegelisahan, depresi, keingingan bunuh diri yang kuat, paranoid,
demensia, delirium, kerusakan kognitif, kebingungan, halusinasi,
perilaku yang tidak normal, malaise, dan mania akut.
2.4.2 Sistem Saraf Tepi
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah parastesia pada
ujung jari kaki dan dysesthesia pada telapak kaki. Rasa terbakar pada telapak kaki
juga sering ditemukan
2.5 Diagnosis 4
a. Computed tomography (CT scan)
CT-Scan memakai sinar X dan komputer untuk menghasilkan gambar tulang dan
jaringan, termasuk peradangan, kista dan tumor otak tertentu, kerusakan otak
karena cedera kepala, dan kelainan lain. CT scan menyediakan hasil yang lebih
rinci dibandingkan rontgen saja.
b. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI memakai komputer, gelombang radio dan bidang magnetik yang kuat untuk
menghasilkan gambar tiga dimensi secara rinci atau “potongan” struktur tubuh dua
dimensi, termasuk jaringan, organ, tulang dan saraf. Tes ini tidak memakai radiasi
ionisasi (serupa dengan rontgen) dan memberi dokter tampilan jaringan dekat
tulang yang lebih baik.
c. Functional MRI (fMRI)
fMRI memakai unsur magnetik darah untuk menentukan wilayah otak yang aktif
dan untuk mencatat berapa lama wilayah tersebut tetap aktif. Tes ini dapat menilai
kerusakan otak dari cedera kepala atau kelainan degeneratif contohnya penyakit
Alzheimer, dan dapat menentukan serta memantau kelainan neurologi lain,
termasuk demensia kompleks terkait AIDS.
d. Magnetic resonance spectroscopy (MRS)
MRS memakai medan magnet yang kuat untuk meneliti komposisi biokimia dan
konsentrasi molekul berbasis hidrogen yang beberapa di antaranya sangat khusus
terhadap sel saraf di berbagai wilayah otak. MRS dipakai sebagai percobaan untuk
menentukan lesi otak pada pasien AIDS.
e. Elektromiografi atau EMG
EMG dipakai untuk mendiagnosis kerusakan saraf dan otot (misalnya neuropati
dan kerusakan serat saraf yang disebabkan oleh HIV) dan penyakit saraf tulang
belakang. Tes ini mencatat kegiatan otot secara spontan dan kegiatan otot yang
digerakkan oleh saraf perifer.
f. Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan dan pemeriksaan jaringan tubuh. Biopsi otak, yang
melibatkan pengangkatan sebagian kecil otak atau tumor dengan bedah, dipakai
untuk menentukan kelainan dalam tengkorak dan tipe tumor. Berbeda dengan
kebanyakan biopsi lain, biopsi otak memerlukan rawat inap. Biopsi otot atau saraf
dapat membantu mendiagnosis masalah saraf otot, sementara biopsi otak dapat
membantu mendiagnosis tumor, peradangan dan kelainan lain.
2.6 Terapi
BAB III
KESIMPULAN