Reaksi Reversal ...

28
REAKSI REVERSAL A. PENDAHULUAN Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, berbentuk basil tahan asam dan alkohol, serta grampositif. Mycobacterium leprae berkembang biak dengan baik pada suhu 30 0 C dibawah suhu tubuh rata- rata dari manusia. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 3–5 tahun . Mycobacterium leprae, pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat. 1-4 Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik, yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi antigen-antibodi. Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang disebabkan 1

description

reaksi refersal

Transcript of Reaksi Reversal ...

Page 1: Reaksi Reversal ...

REAKSI REVERSAL

A. PENDAHULUAN

Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae,

berbentuk basil tahan asam dan alkohol, serta grampositif. Mycobacterium leprae

berkembang biak dengan baik pada suhu 300C dibawah suhu tubuh rata-rata dari

manusia. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa

replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman

lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 3–5

tahun. Mycobacterium leprae, pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem

retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat.1-4

Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah

interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat

kronik, yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi antigen-antibodi.

Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang

disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II

atau reaksi erythema nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral

yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan saraf.1,5

Reaksi reversal (RR), reaksi up grading yang umumnya terjadi pada kusta

tipe borderline. Yang memegang peranan penting pada reaksi ini adalah sistem

imunitas seluler. Reaksi ini termasuk reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi tipe I

ini merupakan keadaan dimana terdapat perubahan hipersensitivitas seluler dan

penyakit mengalami pergeseran sepanjang spectrum kusta. Reaksi tipe ini terjadi

sekitar 30-40% penderita kusta tipe borderline.5,6,7

1

Page 2: Reaksi Reversal ...

B. EPIDEMIOLOGI

Tahun 2011-2013 sebanyak 42,4% termasuk dalam beban kusta tinggi,

57,6% termasuk dalam beban kusta rendah. Sepanjang tahun 2013, Kementrian

Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per

1.000.000 penduduk. Angka ini menempatkan Indonesia ke peringkat ke-3 dunia

dengan kasus baru kusta terbanyak setelah india dan brasil.8,9

Prevalensi RR bervariasi antara 8-33% dari seluruh penderita kusta,

umumnya terjadi pada penderita kusta tipe borderline. Penderita tipemid

borderline(BB) danborderline lepromatous(BL) mempunyai prevalensi lebih tinggi

daripada tipe borderline tuberculoid (BT). Prevalensi RR pada penderita BT

bervariasi antara 20-50%.10

Bernink dkk (1997) melaporkan hasil penelitian terhadap 85 penderita

reaksi di Indonesia, dari sejumlah penderita tersebut 46 penderita (55%) mengalami

RR dan 24 penderita (55%) mengalami RR dan 24 penderita (33%) mengalami

silent neuritis.10

C. ETIOPATOGENESIS

Reaksi reversal disebabkan oleh peningkatan CMI secara tiba-tiba sebagai

respon terhadap antigen dari M. lepraeyang dapat diperlihatkan secara in vitro

dengan tes transformasi limfosit. Patogenesis meningkatnya CMI ini tidak

diketahui secara pasti.10

Menurut Jopling, RR merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti

halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Cell. Antigen yang

berasal dari produk akibat basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T

disertai perubahan SIS yang cepat. Pada dasarnya reaksi ini terjadi akibat

perubahan keseimbangan antar CMI dan basil. Sehingga sebagai hasil akhir reaksi

2

Page 3: Reaksi Reversal ...

ini dapat terjadi up-grading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid

(terjadi peningkatan SIS) atau down-grading bila menuju ke bentuk lepromatosa

(terjadi penurunan SIS). Meskipun secara teoritis RR dapat terjadi pada semua

bentuk kusta subpolar, tetapi pada bentuk borderline lepromatous (BB) jauh lebih

sering terjadi daripada bentuk yang lain. Bentuk BB, bila terjadi RR akan berubah

menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk tuberculoid polar(TT). Sedangkan bila

terjadi down-grading akan berubah menjadi bentuk BL dan dapat ke bentuk LL.1,10

Disamping itu, terdapat beberapa faktor pencetus terhadap kejadian RR, yaitu :

Infeksi yaitu malaria, filariasis, typus abdominalis, TBC dan lain-lain.

Stress mental merupakan penyebab yang paling sering.

Trauma seperti operasi.

Vaksinasi, hasil, melahirkan atau post partum.10

Reaksi-reaksi dapat terjadi spontan, khususnya pada kusta tipe BT, tetapi

biasanya diikuti dengan berkurangnya jumlah kuman sebagai akibat pengobatan.

Keuntungan dari meningkatnya kekebalan seluler yaitu prognosis menjadi lebih

baik dengan lebih cepat terjadinya kemajuan dalam penyembuhan dan menurunnya

kecenderungan untuk terjadi relaps. Indeks bakteriologi juga menurun. Penyebab

peradangan akut yang mana merupakan gambaran penting reaksi tipe ini adalah

meningkatnya transformasi limfosit.10

D. GEJALA KLINIS

Reaksi reversal lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum

borderline (borderline lepromatous, mid borderline, borderline tuberculoid)

karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil.5

Gambaran klinis dari RR berupa penambahan atau perluasan lesi yang ada,

tetapi bukan nodus, tanpa atau dengan gejala neuritis dari yang ringan sampai

3

Page 4: Reaksi Reversal ...

berat.10Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin

eritematosa,lesi macula menjadi bertambah luas.1

Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS). SIS baik

akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah akan

memberikan gambaran lepromatosa. Tipe I atau indeterminate tidak termasuk

dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%,

merupakan tipe yang stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga

lepromatous polar (LL) adalah tipe lepromatosa polar merupakan lepromatosa

100% yang stabil. Sedangkan tipe antara lepromatosa indefinite (Li) dan

tuberculoid indefinite (Ti) disebut tipe borderline atau campuran, campuran antara

tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50%

tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,

sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe ini merupakan tipe

yang labil, sehingga bisa bebas beralih tipe kearah TT atau LL.1

Perubahan tiba-tiba dari yang sebelumnya plak yang mati rasa menjadi lesi

yang baru, dan lesi baru timbul di kulit normal dengan atau tanpa gangguan

neuritis. Warna eritematous yang ungu kehitaman adalah karakteristik delayed

type hypersensitifity (DTH). Varian morfologi meliputi anular, konsentris, dan

perubahan eczematous.11

4

Page 5: Reaksi Reversal ...

Gambar 1 : Reaksi Tipe 1, terjadi inflamasi akut pada daerah lesi yang sudah ada, bersisik, dan tampak ulserasi. Banyak lesi kecil yang baru muncul. Gambar 2 Reaksi reversal. Tampak lesi lama lebih eritem, udem, berbatas tegas, berukuran besar, disertai lesi baru dengan ukuran lebih kecil.2,12

Tabel 1. Gejala tanda reaksi tipe 1.10

Gejala Reaksi Ringan Reaksi BeratLesi Kulit Tambah aktif, menebal

merah, terasa panas dan nyeri tekan; makula yang menebal dapat sampai membentuk plak

Lesi membengkak sampai ada yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri tekan; ada lesi kulit baru; tangan dan kaki membengkak, sendi-sendi bengkak

Saraf Tepi Tidak ada neuritis (tidak ada penebalan saraf dan gangguan fungsi)

Ada neuritis (nyeri tekan, dan/atau gangguan fungsi, misalnya kelemahan otot)

Keadaan Tidak ada demam Kadang-kadang ada demam ringan

Tabel 2. Berat ringannya Reaksi tipe 1 pada organ terkena.9

5

1 2

Page 6: Reaksi Reversal ...

Organ yang terkena

Reaksi Tipe 1Ringan Berat

Kulit Bercak putih menjadi merah, yang merah jadi lebih merah.Bercak meninggi

Bercak putih menjadi merah, yang merah jadi lebih merah.Timbul bercak baru, kadang-kadang disertai panas dan malaise

Ulserasi (-)Edema tangan dan kaki (-)

Ulserasi (+)Edema tangan dan kaki (+)

Saraf tepi Membesar, tidak nyeri.Fungsi saraf tidak terganggu

Membesar, nyeri.Fungsi saraf terganggu.

Gejala

konstitusi

Demam (-) Demam (±)

Gangguan pada

organ lain

Tidak ada Tidak ada

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis dan membuat pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan

jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan

perwarnaan terhadap basil tahan asam, antar lain dengan ZIEHL-NEELSEN.

Bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan berarti orang tersebut

tidak mengadung bakteri M. leprae. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit

yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah terlebih dulu menentukan

jumlah tempat yang akan diambil. Jumlah lesi untuk pemeriksaan rutin

sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4

lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.

Pemilihan kedua cuping telingan tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi

6

Page 7: Reaksi Reversal ...

di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharap

mengandung basil paling banyak.1

M.leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada

sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented),

butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan

granular merupakan bentuk mati. Penting untuk membedakan antara bentuk

solid dan non solid karena bentuk solid lebih berbahaya karena dapat

berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Namun, dalam praktek,

sukar untuk membedakan solid dan non sloid karena dipengaruhi oleh banyak

macam faktor. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada

sebuah sediaan dinyatakan dalam bentuk indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0

sampai 6+ menurut RIDLEY.1

Tabel 3. Indeks bakteri menurut RIDLEY1,10

0 Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang

1+ 1-10 BTA dalam 100 lapang pandang

2+ 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang

3+ 1-10 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang

4+ 11-100 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang

5+ 101-1000 rata-rata dalam 1 lapang pandang

6+ >1000 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang

7

Page 8: Reaksi Reversal ...

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskopik cahaya dengan minyak

emersi pada pembesaran lensa objektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata

semua lesi yang dibuat pada sediaan. Indeks morfologi (IM) adalah persentase

bentuk solid dibanding dengan jumlah solid dan non solid.1

2) Pemeriksaan Histopatologi

Gambaran histopatologi terdapat infiltrat limfosit yang meningkat

sehingga terjadi udem dan hiperemi. Diferensiasi makrofag ke arah

peningkatan sel epiteloid dan sel Giant memberi gambaran sel Langhans.

Penurunan jumlah basil dari IM, bahkan basil kusta sudah tidak dijumpai lagi.

Kadang-kadang terdapat nekrosis di dalam granulosum, penyembuhan ditandai

dengan fibrosis.1,10

Adanya kuman M.leprae masuk, akibatnya akan bergantung pada

sistem imunitas seluler (SIS) orang itu. Apabila imunitas selulernya tinggi,

makrofag akan mampu memfagosit M.leprae. Datangnya histiosit ke tempat

kuman disebabkan karena proses imunoligik dengan adanya faktir kemotaktik.

Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag

akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan

kemudian akan berubah menjadi sel datialanghans. Adanya massa

epiteloidyang berlebihan dikelilingi oleh lomfosit yang disebut tuberkel akan

menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan

imunitas seluler rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan

M.lepraeyang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat

berkembangbiak dan disebut sel Virchow/sel lepra/sel busa dan sebagai alat

pengangkut penyebarluasan.1

8

Page 9: Reaksi Reversal ...

Tabel 4. Karakteristik tipe kusta menurut klasifikasi RIDLEY-JOPLING.1

TipeTT BT BB BL LL

TT Ti BT BB BL Li LLReaksi

lepromin3+ 2+ 1+ - - - -

Stabilitas imunologi

k

++ + ± - ± + ++

Reaksi borderline

- ± + ++ + ± -

E.N.L - - - - - + +Basil dalam hidung

- - - - + ++ ++

Basil dalam

granuloma

0 0 - 1+

1+ - 3+

3 – 4+

4 – 5+

5 – 6+ 5 – 6+

Sel epiteloid

+ + + + - - -

Sel datia Langhans

+++ ++ + + - - -

Globi - - - - - + +Sel

Virchow- - - - + ++ +++

Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±Infiltasi zona sub epidermal

+ + +/- - - - -

Kerusakan saraf

++ +++ ++ + ± + -

3) Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi pada

tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat

bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1

(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang

tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga

dihasilkan oleh kuman M. tuberkulosis.1

9

Page 10: Reaksi Reversal ...

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosa

lepra yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.

Disamping itu dapat membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak

didapatkan lesi kulit, misalnya pada nonkontak serumah. Pemeriksaan   

serologik,   didasarkan terbentuk  antibodi  pada  tubuh  seseorang  yang 

terinfeksi  oleh  M. leprae.Macam-macam pemeriksaan serologik lepra ialah:1

a. Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)

b. Uji ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)

c. ML Dipstick (mycobacterium leprae dipstick).1

F. DIAGNOSIS BANDING

1. Relaps Kusta

Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif kepada penderita yang

sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan karena

itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas yang berwenang. Gambaran klinis

relaps berupa : 1). Biasanya muncul sesudah pengobatan dihentikan, umumnya

sesudah interval satu tahun. 2). Penebalan atau kerusakan saraf atau adanya saraf

baru yang terkena. 3). Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan

atau positif pada lesi yang baru. 4). Meluasnya lesi yang telah ada, menebal,

eritematosa, atau terjadinya infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah menghilang

atau terbentuknya lesi baru. Gejala timbul perlahan-lahan dan tidak pernah disertai

dengan demam atau perasaan kurang enak.10

2. Urtikaria

Urtikaria merupakan reaksi vaskuler di kulit akibat bermacam-macam

sebab biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan hilang

10

Page 11: Reaksi Reversal ...

perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan meninggi dipermukaan kulit,

sekitarnya dapat dikelilingi halo.1

Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak

eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak

lebih pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan

serangga, besarnya dapat rentikular, numular, sampai plakat.1

Gambar 3 : Urtikaria. Pada dorsum manus dan pergelangan tangan tampak lesi urtika berukuran lentikular, di sekitarnya eritema.2

3. Psoriasis

Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronis dan

residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan

skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan ; disertai fenomena tetesan lilin,

Auspitz, dan Kobner. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang

meninggi (plak dengan skuama di atasnya). Eritema sirkumskrip dan merata,

tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema di tengah menghilang dan hanya

terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarnah putih seperti

mika serta transparan.1

11

3

Page 12: Reaksi Reversal ...

Gambar 4 : Bercak eritematosa berupa plak kronik dengan batas tegas.11

G. PENATALAKSANAAN

Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan identifikasi tipe

reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan

pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat, seperti :

1) Adanya lagoftalmus baru terjadi dalam enam bulan terakhir

2) Adanya nyeri raba saraf tepi

3) Adanya kekuatan otot berkurang dalam enam bulan terakhir

4) Adanya rasa raba berkurang dalam enam bulan terakhir

5) Adanya bercak pecah atau nodul pecah

6) Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi.8

Bila terdapat salah satu dari gejala di atas berarti ada reaksi berat dan perlu

diberikan obat anti reaksi.10

Penatalaksanaan reaksi reversal didasarkan pada pengetahuan tentang

imunopatologi RR sebagai reaksi hipersensitifitas tipe lambat terhadap antigen M.

leprae, sehingga pendekatan terapi yang digunakan adalah dengan mengurangi

paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat penekanan respon CMI.

Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikobakteri,

tetapi anti inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang adekuat dan

12

4

Page 13: Reaksi Reversal ...

dukungan kesehatan fisik selama fase aktif neuritis. Imobilisasi dan tindakan bedah

dapat mencegah dan memulihkan gangguan fungsi saraf.10

Pada RR terjadi nekrosis kaseosa M. leprae yang berisi antigen yang terdapat

pada jaringan. Pendekatan tetapi tidak hanya tergantung pada derajat dan luasnya lesi

tetapi juga pada letak lesi kulit, dan derajat, bentuk dan letak dari lesi saraf yang biasa

muncul secara bersamaan. Lesi kulit wajah yang melibatkan. Lesi saraf menyebabkan

defisit neural yang cukup besar dan gangguan saraf sensoris pada telapak tangan,

telapak kaki, dan kornea serta gangguan motorik lain membutuhkan dengan segera

kortikosteroid sistemik dosis tinggi.10

Obat anti reaksi terdiri atas :

1. Kortikosteroid

Predinison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)merupakandrug of choice untuk

pengobatan reaksi tipe 1, menekan proses inflamasi, dan sangat penting untuk

pemulihan fungsi saraf setelah reaksi.6,8,13

Dosis awal prednison 40 mg sehari cukup berhasil mengendalikan 85%

kasus reaksi reversal. Pada wanita hamil diberikan prednison dengan dosis 30

mg sehari. Bila terjadi perbaikan lesi kulit dosis diturunkan 5 mg sehari setiap

1-2 minggu sampai dicapai dosis pemeliharaan 20-25 mg sehari.4,5,10,

WHO merekomendasikan pemberian prednisolon dosis 40 mg sehari

pada minggu pertama dan ke-2, 30 mg sehari pada minggu ke-3 dan ke-4, 20

mg sehari pada minggu ke-5 dan ke-6, 15 mg sehari pada minggu ke-7 dan ke-

8, 10 mg sehari pada minggu ke-9 dan ke-10, dan 5 mg sehari pada minggu ke-

11 dan ke-12. Dosis maksimum 1 mg/kgbb/hari.9,10

Sebagian besar reaksi dan neuritis dapat diterapi dengan baik dengan

pengobatan standar prednison selama 12 minggu tetapi Croft dkk (2000)

13

Page 14: Reaksi Reversal ...

melaporkan 32% kasus penderita reaksi yang disertai penurunan fungsi saraf

dalam 6 bulan sebelum terapi kortikosteroid, tidak mengalami perbaikan

setelah kontrol pada bulan ke-12 sehingga membutuhkan terapi alternatif.

Apabila dengan terapi kortikosteroid masih terdapat penurunan fungsi saraf,

dilakukan tindakan bedah untuk memulihkan tekanan intraneural. Iridosiklitis

akut diterapi dengan hidrokortison tetes mata 1% setiap jam dan atropine 1%

atau skopalamin 0,`15% 2 kali sehari.10

2. Klofazimin

Klofazimin digunakan pada penderita RR yang membutuhkan terapi

kortikosteroid dosis tinggi yang lebih lama, atau timbul efek samping steroid.

Dosis yang digunakan biasanya 300 mg sehari, setelah 2-4 minggu dosis

kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Dosis ditingkatkan ke dosis semula

dan dipertahankan selama 2 sampai 4 minggu apabila sampai penurunan dosis

tidak menunjukan perbaikan gejala klinis. Penurunan dosis yang lebih lambat

biasanya akan berhasil dan kortikosteroid biasanya dihentikan setelah 6-12

bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari tidak dapat ditoleransi oleh

penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan menjadi 100 mg sehari selama

1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut mengakibatkan kegagalan pengobatan

reaksi. Penggunaan klofazimin pada reaksi reversal masih controversial dan

tidak bermanfaat pada fase kaut reaksi.4,10

3. Dapson

Dapson dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar menimbulkan

efek supresif terhadap RR. Prevalensi RR selama masa pengobatan penyakit

kusta dibeberapa Negara berkurang setelah WHO menganjurkan penggunaan

MDT yang menggunakan Dapson 100 mg sehari. Prevalensi RR meningkat

14

Page 15: Reaksi Reversal ...

setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan efek imunosupresif

Dapson. Penderita reaksi berat dapat diterapi dengan kombinasi dapson dan

kortikosteroid, tetapi apabila setelah beberapa minggu masih membutuhkan

kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya dilakukan perubahan terapi dengan

mengganti dapson dengan klofazimin.10

4. Azatioprin

Azatioprin digunakan sebagai second line terapi untuk pasien yang

tidak bisa lagi mentolerir atau telah ketergantungan terhadap steroid.

Azatioprin (dengan dosis 3 mg/kg/hari) digunakan dengan kombinasi selama 8

minggu yang menurunkan kerja dari prednisolone telah terbukti efektif selama

12 minggu. Azatioprin bisa direkomendasikan sebagai steroid sparing agent

tetapi penggunaannya dengan dosis yang cukup besar terhambat oleh kurangya

pemantauan untuk tooksitas sumsum tulang.14

Azatioprin bekerja lambat dan hanya dapat digunakan pada pengobatan

tahap lanjut karena tidak mempunyai efek pada udem intarneural. Azatioprin

menghambat sintesis asam nukleat, dan mempunyai efek sangat lambat,

tersedia bentuk tablet 50 mg dan vial 100 mg. Penggunaan azatioprin dapat

menimbulkan keracunan berupa leukopenia dan trombositopenia sehingga

dibutuhkan monitoring dan efek tersebut mempengaruhi besarnya dosis

pemberian azatioprin. Keluahan lain yang sering ditemukan adalah mual dan

muntah tetapi tidak membatasi pemberian obat.10

5. Siklosporin A

Secara teoritis merupakan obat ideal RR, sebab Cyclosporin A bekerja

dengan CD4 sel Th, tetapi sampai sekarang belum diketahui apakah

siklosporin A mempunyai efek yang sama cepatnya dengan kortikosteroid pada

15

Page 16: Reaksi Reversal ...

udem intraneral. Pengobatan dimulai dengan dosis 5-10 mg/KgBB dan

diturunkan sesuai tingkat penurunan dosis pada penggunaan kortikosteroid. 10

H. KOMPLIKASI

Penderita dengan reaksi kusta terutama reaksi reversal yang terlambat

didiagnosis dan tidak mendapat terapi mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya

kerusakan saraf atau kecacatan. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf,

hilang sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Kecacatan yang terjadi tergantung

pada komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris, otonom atau kombinasi

antara ketiganya.1,5

I. PROGNOSIS

Prognosis ditentukan seberapa cepat reaksi ini terdeteksi dan diobati. Semakin

cepat diobati maka prognosis semakin baik, sedangkan jika tidak cepat dideteksi dan

ditangani akan menimbulkan kecacatan reversible pada sistem saraf tepi yang

terkena.1,5

J. KESIMPULAN

Reaksi reversal merupakan episode akut dari penyakit kusta yang disebabkan

oleh peningkatan system imun seluler terhadap M.leprae. reaksi ini ditandai dengan

adanya neuritis akut dan atau inflamasi akut pada kulit. Reaksi reversal sering muncul

sebelum, selama atau sesudah pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). Gejala klinik

dari RR, antara lain peningkatan inflamasi kulit berupa pembengkakan dan eritem

pada lesi kulit tertentu akan timbul lesi kulit yang baru .

16

Page 17: Reaksi Reversal ...

DAFTAR PUSTAKA

1. Juanda A., Hamzah M., Aisah S.2013. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

Keenam. Jakarta: FKUI. Hlm.73-88

2. Daili ESS, Sri L. M., I Made W. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia.

Jakarta :Medical Multimedia Indonesia. Hlm. 51-59

3. Barakbah J., Saut S. P., Hari S., Sunarko M,. Indropo A., Hans L., et al. 2008. Atlas

Penyakit Kulit Dan Kelamin FK Unair. Cetakan Ke-5. Surabaya : Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga. Hlm. 41-54

4. James D.M, Timothy G.B, Dirk M.E. Andrew’s Diseases of The Skin Clinical

Dermatology. 10th ed. 2006. Philadelphia. Sounders Elseveers. Page 348-350

5. Depkes RI. 2013. Program Pengendalian Penyakit Kusta.

6. Safa G, Laure D, Alain C, Laurent T. Type 1 Leprosy Reversal Reaction Treated With

Topical Tacrolimus Along With Systemic Corticosteroid. Indian journal Med SCI. vol

63 No 8. August 2009

7. Stephen L.W, Diana N.J.L. Leprosy Type 1(Reversal) Reactions And Their

Management. Department of Infection and Tropical Disease, London School of

Hygiene and Tropical Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 2 December

2008.

8. Depkes RI. 2015. Kusta. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan.

9. Depkes RI. 2015. Kusta. Available at URL :

http://www.depkes.go.id/article/view/15012300020/hari-kusta-sedunia-2015-

hilangkan-stigma-kusta-bisa-sembuh-tuntas.html. Accessed : 22 Juni 2015

10. Amiruddin M.D,. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Cetakkan ke-1.

Surabaya. Brilian international. Hlm 147-164

17

Page 18: Reaksi Reversal ...

11. Delphine J. Lee, Thomas H. Rea, & Robert L.M. Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine. 8thed. 2008, New York: McGraw Hill. Page 2253-2260.

12. Lockwood J.N.D.2010. Leprosy .in : Rook’s Textbook of Dermatology. A Jhon Wiley

& Sons, Ltd. Publication. Page 1469-1488

13. Faber R.W,.A M. Iyer,. T.T. Fajardo,. T. Dekker,. L. G. Villahermosa,. R. M. Abalos,.

P. K. Das. 2004. Serial Measurement of serum Cytokines, Cytokine Receptors and

Neoprotein in Leprosy Patient with Reversal Reactions. Department of Pathology,

Departement of Dermatology, Academic Medical Centre, Amsterdam, The

Netherlands, Leonard Wood Memorial Center for Leprosy Research, Philipines. 13

July 2004

14. Kahawita I. P, Sirimanna G. M, Satgurunathan K, Athukorala D. N. Guidelines on the

Management of Leprosy Reaction. Sri Lanka College of Dermatologists.

18