Referat Kulit Reaksi Reversal

33
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS,2014 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Reaksi Kusa Ti!e 1 "REAKSI REVERSAL# OLEH $ Ru%a&a 'u()a a*a*+a Ri ka Da&a-a*i E a A.usa/a& 'EMBIMBING$ DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KE'ANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014 0

description

referat kulit

Transcript of Referat Kulit Reaksi Reversal

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMINREFERATFAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS, 2014UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Reaksi Kusta Tipe 1 (REAKSI REVERSAL)

OLEH :Ruhama Purwa anandaRizka DamayantiEza AgusalamPEMBIMBING:DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHMAKASSAR2014

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN 2BAB II : TINJAUAN PUSTAKAA. Definisi 4B. Epidemiologi 4 C. Etiologi 5D. Patogenesis 5E. Gejala klinis 8F. Diagnosis Kerja 14G. Diagnosis Banding 17H. Penatalaksanaan 19I. Komplikasi 29J. Pencegahan 31K. Prognosis 32BAB III : PENUTUP 33DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

BAB IPENDAHULUANKusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh M. leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan olehMycobacteriumleprae yang menyerang saraf tepi dan kulit. Penyakit kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya.1Pada tahun 2009, tercatat 17.260 kasus baru kusta di Indonesia (rate: 7,49/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91 per 10.000 penduduk. Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat 10.706 (Angka Penemuan kasus baru/CDR: 4.6/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per 10.000 penduduk.2Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan episode akut hipersensitifitas terhadap M. Leprae yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi.1 Istilah reaksi digunakan untuk mendeskripsi adanya simptom dan tanda lesi inflamasi akut pada pasien lepra. Reaksi merupakan penyebab pasien datang untuk berobat untuk pertama kali.3 Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu keadaan eksaserbasi yang ditandai dengan peningkatan aktivitas penyakit secara tiba-tiba.Reaksi kusta sering terjadi sebagai komplikasi pengobatan, tetapi dapat jugaterjadi sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan selesai dengan obat kusta. Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi kusta tipe I atau reaksi reversal dan reaksi kusta tipe II atau erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi tipe I (type I reaction/T1R) sering berlaku pada pasien tipe borderline dan dianggap sebagai respons hipersensitivitas tipe IV manakala reaksi tipe II merupakan respons hipersensitivitas tipe III. 3 Reaksi kusta tipe I disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai adanya lesi kulit yang memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis, gangguan fungsi saraf dan kadang disertai demam. Sedangkan reaksi kusta tipe II merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh lainnya.1

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. DEFINISIPenyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M.leprae) yang menyerang syaraf tepi selanjutnya menyerang kulit dan mukosa traktus respiratoriius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan syaraf pusat.Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (celluler response) atau reaksi antigen antibody (humoral response) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.B. EPIDEMIOLOGIHasil ini didapatkan dari studi retrospektif oleh leprosy referral centre dan studi yang sama dilakukan di India yang melaporkan angka TIR sebanyak 8.9% pada studi kohort Hyderabad yang mewakili 1 tahun (1987) dan diikuti selma kurang lebih 6 tahun, 10.7% di Orissa ( 1992 dan 2002) dan 24.1% di Chadigarh lebih dari 15 tahun. Angka kumulatif di Hyderabad adalah 24% paucibacillar ( tuberkuloid dan borderline tuberkuloid) penderita dari ahun 1982 1987.Sekitar 35.7% penderita MB pada studi kohort di Melawi mengalami TIR dan gangguan fungsi saraf. 19.9% penderita dalam studi prospektif di Thailand mengalami TIR, dimana setiap penderita difollow up minimum 3 tahun setelah didagnosa kusta. Studi prospektif di Rumah Sakit Vietnam menunjukkan prevalensi TIR adalah 29.1% dari 237 penderita. Studi prospektif di Bangladesh menemukan insidens rate TIR sebanyak 17% pada tipe MB setelah di follow up selama 5 tahun, dan menyarankan bahwa kerusakan saraf dan TIR berlaku 1.7 kali ganda pada laki-laki berbanding perempuan. Penemuan ini memerlukan penelitian lebih lanjut. 7C. ETIOLOGIMycobacterium leprae merupakan penyebab dari kusta, tidak dapat dikultur, gram positif, obligat, intraselluler dan basil tahan asam. Genomenya lebih pendek dari Mycobacterium tuberculosa. M.leprae mengkode sebanyak 1600 gene, dan berkongsi 1439 gene yang sama. M leprae sama seperti Triponema pallidum yang mana tidak bersifat toksik, gejala klinis yang timbul seperti penyakit kusta ini biasanya adalah respons host terhadap bakteri M.leprae atau antara lain, akumulasi dengan jumlah bakteri yang tinggi yang kelihatan seperti infiltrasi.8

D. PATOGENESISReaksi kusta:Definisi reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respons) atau reaksi antigen antibody (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita terutama pada saraf tepi yang bisa menyebabkan gangguan fungsi (cacat ) yang ditandai dengan peradangan akut baik dikulit atau di saraf tepi. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Hal yang mempermudah (pencetus) terjadinya reaksi kusta misalnya:9 Penderita dalam kondisi lemah Kehamilan dan setelah melahirkan(masa nifas) Sesudah mendapat imunisasi Infeksi(seperti malaria, infeksi pada gigi, bisul, dll) Stress fisik dan mental Kurang gizi

Reaksi KustaReaksi Tipe I = Reaksi Reversal = Reaksi Upgrading = Reaksi BorderlineReaksi Tipe II = Eritema Nodusum Leprosum( E.N.L)

Reaksi Tipe I ( T.I.R) = Reaksi Reversal = Reaksi Upgrading = Reaksi BorderlineKlasifikasi Ridley-Jopling membagi penderita kusta menjadi spectrum tipe tuberkuloid polar dan lepromatosa polar dan tipe pertengahan yaitu Borderline tuberkuloid(BT), Mid Borderline(BT) dan Borderline lepromatosa(Bl). Penderita dengan tipe penyakit yang berlainan akan menunjukkan respons immunologi yang berbeda terhadap Micobakterium leprae. Karakterisitik TIR adalah dengan adanya inflamasi pada lesi kulit atau nerves atau keduanya. TIR secara dominananya terjadi pada tipe Borderline. Penyakit tipe borderline merupakan faktor resiko terbesar untuk terjadinya TIR, tetapi sebagian kecil penderita dengan tipe polar juga ada yang mengalami TIR. Lesi kulit menjadi eritema dan atau udem dan mungkin ulserasi. Udem di tangan, kaki dan muka juga merupakan tanda reaksi namun untuk gejala sistemik jarang berlaku.7Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah sistim imunitas selluler (SIS) , yaitu terjadi peningkatan peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan adanya hubungan dengan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil Micobacterium leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera memadai.6TIR merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gejala dermatopathological untuk serangan TIR akut adalah udem, meningkatnya jumlah limfosit dalam lapisan dermis dan hilangnya organisasi granuloma yang normal. Lama kelamaan, sel giant langerhans bertambah jumlahnya. Studi yang terbaru menyatakan bahwa empat spesimen histopatologi menunjukkan adanya udem dan giant sel sangat sensitif dalam indikator TIR.10Antigen Mycobakterium leprae telah ditemukan pada nerves dan kulit penderita TIR, berlokasi di sel Schwann dan makrofag. Sel Schwann mengekspresikan toll-like receptor (TLR). Infeksi Micobacterium leprae dapat menimbulkan ekspresi MHC II pada permukaan sel dan dapat meningkatkan jumlah presentasi antigen yang dapat memicu limfosit CD4 membunuh sel yang dimediasi oleh sitokin seperti TNF.7Jumlah protein TNF yang tinggi dideteksi menggunakan teknik immunohistochemical pada kulit dan nerves semasa TIR. TIR muncul dengan adanya mediasi melalui sel tipe Th 1 dan lesi yang mengandung reaksi yang mengekspresikan pro-inflamasi seperti IFN-, IL-12 dan oksigen sebagai radikal bebas yang memicu sintesis nitric oxide. Sitokin yang dihasilkan semasa inflamasi TIR akan memberi kesan lokal yaitu dengan adanya konversi dari kortikosteroid endogen( shuttle kortisol-kortisone) pada lesi kulit penderita TIR. Gen akan mengekspresikan enzim tipe 2 11b-hydroxysteroid dehydrogenase yang mana mengkonversi kortisol yang aktif manjadi cortisone yang tidak aktif berkurang pada lesi kulit penderita TIR berbanding dengan kontrol. Ini mendukung hipotesis bahwa tingkat steroid aktif endogen lokal meningkat selama T1R dalam menanggapi peradangan ditandai yang telah memicunya tetapi tidak mencukupi untuk menekannya.7E. GEJALA KLINIS1. Gejala klinis penyakit kusta adalah:a) Anestesi (mati rasa) Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.b) Alopesia (tidak ada rambut) Diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannnya. Kerusakan mata primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lauinnya.c) Anhidrasi (tidak ada keringat) Diperhatikan ada tidaknya hidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal.d) Akromia (hipopigmentasi atau eritema) Efloresensi : makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosae) Atrofi f) Deformitas (cacat) Deformitas primer: Akibat langsung dari granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap kerusakan saraf, umumnya deformitas M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder: Terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.g) Gejala-gejala kerusakan saraf perifer Perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu:- N. ulnaris Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis Clawing kelingking dan jari manis Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial N. medianus Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah Tidak mampu aduksi ibu jari Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah Ibu jari kontraktur Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral N. radialis Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk Tangan gantung (wrist drop) Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. N. poplitea lateralis Anestesis tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis Kaki gantung (foot drop) Kelemahan otot peroneus N. tibialis posterior Anestesia telapak kaki Claw toes Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis N. fasialis Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagofthalmus Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatup bibir N. trigeminus Anestasia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

2. Gejala klinis reaksi reversala) Umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. b) Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.6c) Timbul lesi baru makulopapular satelit yang kecil dan multiple.12d) Lesi menjadi inflamasi akut disertai edema dan nyeri, bisa menjadi ulseratif.e) Kebayakan edema di bagian muka, tangan dan kaki.f) Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.6g) Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri pada saraf (nyeri tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi saraf.11h) Adanya neuritis akut yang dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteriod, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.6i) Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum, seperti demam12j) Lesi reaksi reversal tanpa nodus berarti reaksi non-nodular.Tabel 1. Gejala tanda reaksi tipe 111Gejala TandaReaksi tipe 1

Tipe kustaDapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB

Waktu timbulBiasanya segera seteah pengobatan

Keadaan umumUmumnya baik, demam ringan (subfebris) atau tanpa demam

Peradangan di kulitBercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadang-kadang hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul bercak baru.

SarafSering terjadi, umumnya berupa nyeri saraf dan atau gangguan fungsi sarafSilent Neuritis (+)

Udem pada ekstremitas(+)

Peradangan pada mataAnestesi kornea dan lagoftalmus karena keterlibatan N. V dan N. VII

Peradangan pada organ lainHampir tidak ada

Tabel 2. Berat ringannya Reaksi tipe 1 pada organ terkena11Organ yang terkenaReaksi Tipe 1

Ringan Berat

KulitBercak putih menjadi merah, yang merah jadi lebih merah.Bercak meninggiBercak putih menjadi merah, yang merah jadi lebih merah.Timbul bercak baru, kadang-kadang disertai panas dan malaise

Ulserasi (-)Edema tangan dan kaki (-)Ulserasi (+)Edema tangan dan kaki (+)

Saraf tepiMembesar, tidak nyeri.Fungsi saraf tidak tergangguMembesar, nyeri.Fungsi saraf terganggu.

Gejala konstitusiDemam (-)Demam ()

Gangguan pada organ lainTidak ada Tidak ada

Hubungan tipe reaksi dengan klasifikasiUntuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksudkan dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negative pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I,TT, dan BT menurut kalsifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB. Hal ini tercantum pada tabel 3.6

Tabel 3. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)SifatKusta Pausibasiler (PB)Kusta Multibasilar (MB)

Lesi KulitMakula datar, papul yang meninggi, nodus1-5 lesiHipopigmentasi/eritemaDistribusi tidak simetrisHilangnya sensasi yang jelas>5 lesiDistribusi lebih simetrisHilangnya sensasi kurang jelas

Kerusakan sarafMenyebabkan hilangnya sessasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkenaHanya satu cabang sarafBanyak cabang saraf

Reaksi reversal (reaksi tipe 1) lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum borderline (Borderline lepramatous, Mid Borderline, Borderline tuberculoid) karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil.11 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta spectrum borderline adalah seperti tabel 4:Tabel 4. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta spectrum borderline6TipeMBPB

SifatBorderline Lepromatosa (BL)Mid Borderline (BB)Bordeline Tuberculoid (BT)

Lesi Bentuk

Jumlah

Distribusi Permukaan Batas AnestesiaMakulaPlakatPapulSukar dihitungMasih ada kulit sehatHampir simetrisHalus berkilatAgak jelasTidak jelasPlakatDome-shaped (kubah)Punched-outDapat dihitungKulit sehat jelas adaAsimetrisAgak kasar,agak berkilatAgak jelasLebih jelasMakula dibatasi infiltratInfiltrat saja

Beberapa atau satu dengan satelitMasih simetrisKering bersisikJelasJelas

BTA Lesi kulit Sekret hidungBanyakBiasanya negativeAgak banyakNegatifNegatif atau hanya 1+

Tes leprominNegatifBiasanya negatifPositif lemah

F. DIAGNOSA KERJAKusta dengan reaksi reversal atau reaksi upgrading (Lepra reaksi tipe 1) adalah reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline12 (Lepramatosa indefinite, Borderline lepramatous, Mid Borderline, Borderline tuberculoid, Tuberkuloid indefinite) karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil, sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peran utama dalam hal ini adalah sistem imunitas selular (SIS), yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. 11 Pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Reaksi reversal diperkirakan ada hubungannnya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.6 Dalam arti kata lain, reaksi reversal terjadi akibat respon terhadap pengobatan.12 Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda cardinal (cardinal sign), yaitu:111. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi).2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer) kronis.Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasab. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) ototc. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta. Jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai (suspek).Tanda-tanda tersangka kusta:111. Tanda-tanda pada kulita. Bercak kulit yang merah atau putih (gambran yang paling sering ditemukan) dan/atau plakat pada kulit, terutama di wajah dan telingab. Bercak kurang/mati rasac. Bercak yang tidak gatald. Kulit mengkilap atau kering bersisike. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan/atau tidak berambut.f. Lepuh tidak nyeri2. Tanda-tanda pada sarafa. Nyeri tekan dan/atau spontan pada sarafb. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerakc. Kelemahan anggota gerak dan/atau wajahd. Adanya cacat (deformitas)e. Luka (ulkus) yang sulit sembuh3. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelainan kulit yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepiTanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta dan belum dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Jika diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan yang dapat dilakukan adalah:11 Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, psoriasis, vitiligo) Pengambilan kerokan jaringan kulit Bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana pemeriksaan kerokan jaringan kulit, tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya tanda utama. Jika ditemukan tanda utama, diagnosis kusta dapat ditegakkan. Bila masih meragukan suspek harus dirujuk.Perlu diingat bahwa tanda-tanda utama tersebut dapat tetap ditemukan pada pasien yang sudah sembuh atau release from treatment (RFT). Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk menghindari pengobatan ulang yang tidak perlu.Kusta reaksi reversal ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis yaitu:6,12a) Umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. b) Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. c) Timbul lesi baru makulopapular satelit yang kecil dan multiple.d) Lesi menjadi inflamasi akut disertai edema dan nyeri, bisa menjadi ulseratif.e) Kebayakan edema di bagian muka, tangan dan kaki.f) Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.g) Ada atau tidaknya gejala neuritis akut.h) Kadang-kadang bisa disertai demam.i) Lesi reaksi reversal tanpa nodus berarti reaksi non-nodular.G. DIAGNOSA BANDING1. Relaps11a. Untuk kusta PB, reaksi reversal seringkali dikelirukan sebagai relaps. Kebanyakan pasien yang dicatat sebagai relaps sebenarnya adalah reaksi reversal terlambat. Ini disebabkan karena tidak adanya standard baku (gold standard) sebagai pembanding oleh karena hasil pemeriksaan BTA-nya sejak awal negatif.b. Pada pasien MB, reaksi reversal kadang masih juga dikelirukan dengan relaps, tetapi kemungkinan untuk mengkonfirmasi relaps secara bakteriologi lebih memungkinkan, melalui kerokan jaringna kulit yang menunjukkan peningkatan indeks bakteri dan atau indeks morfologi yang positif. Tetapi tidak semua pasien mempunyai data awal pemeriksaan kerokan jaringan kulit tersebut untuk dapat dibandingkan.Tabel 5. Diagnosis banding reaksi tipe 1 dengan relaps11Gejala Reaksi tipe 1Relaps

Interval/onsetUmunya dalam 4 minggu-6 bulan pengobatan atau dalam 6 bulan setelah RFTPada reaksi berulang sampai 2 tahun setelah RFT1 tahun atau lebih setelah RFTPB : 3 tahun pada non-lepromatosaBorderline : 5 tahunMB : 9 tahun

Timbulnya gejalaMendadak, cepatLambat, bertahap

Tipe kustaBT, BB, BLSemua tipe

Lesi lamaBeberapa atau seluruh lesi menjadi berkilap, eritematosa dan bengkak ; nyeri tekan (+); konsistensi lunak.Terjadi perubahan tipe ke arah yang lebih baik, edema tangan dan kaki (+)Eritem dan plak di tepi lesiLesi bertambah dan meluas.

Lesi baruJumlah beberapa, morfologi samaJumlahnya banyak

Ulserasi(+) pada reaksi berat(-)

Keterlibatan sarafNeuritis akut yang nyeri; ada nyeri spontan; abses saraf; tiba-tiba ada paralisis otot disertai meluasnya gangguan sensorisTerjadi keterlibatan saraf baru; tanpa nyeri spontan; nyeri tekan positif; gangguan motoris dan sensoris terjadi lambat/perlahan

Gangguan sistemikMungkin (+)Mungkin (-)

BTATerjadi penurunan BIPeningkatan bentuk granulerBI mungkin positif pada pasien dengan BI yang sebelumnya negative

Tes leprominReaksi Fernandez positif pada tipe BL dan BB yang secara berurutan menjadi BB dan BTHasil tes tergantung tipe saat relaps

Respons terhadap pemberian steroidBagus.Lesi membaik dalam 2-4 minggu; tetap membaik dengan pengobatan 2 bulanRespons tidak ada atau sedikit

2. Berbagai kelainan kulit11a. Lesi kulit berbentuk plakat merah pada urtikaria akut, erisepelas, selulitis, erupsi obat dan gigitan serangga.b. Lesi kulit bercak merah adalah seperti tabel 6.

Tabel 6. Diagnosis banding bercak merahDiagnosis banding Bercak MerahPsoriasisTinea CircinataDermatitis seboroik

EfloresensiBercak merah berbatas tegas, dengan sisik berlapis-lapis

Bercak meninggi, sering meradang, mengandung vesikel/krusta

Lesi di daerah sebore (berminyak) dengan sisik kuning berminyak gatal, kronis, residif, tidak ada rasa baal

Gambar

H. PENATALAKSANAAN1. MEDIKA MENTOSAKemoterapi kusta dimuali tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal. DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu, pada tahun 1982 WHO merekomendasiikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.11Tujuan pengobatan MDT adalah:1. Memutuskan mata rantai penularan2. Mencegah resistensi obat3. Memperpendek masa pengobatan4. Meningkatkan keteraturan berobat5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatanDengan matinya kuman maka sumber penularan dari pasien, terutama tipe MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT.Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit menetap bahkan memburuk. Gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf. Regimen Pengobatan MDTMulti drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik.11Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:a. Relapsb. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)c. Pindahan (pindah masuk)d. Ganti klasifikasi/tipe.Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:111. Pasien pausibasiler (PB) DewasaPengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) 1 tablet dapson/DDS 100mgPengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 100mgSatu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Anak anak (umur 10-15 tahun)Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 150mg dan 300mg 1 tablet dapson/DDS 50mgPengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 50mgSatu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.2. Pasien multibasiler (MB) DewasaPengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) 3 tablet lampren @ 100mg (300mg) 1 tablet dapson/DDS 100mgPengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet lampren 50mg 1 tablet dapson/DDS 100mgSatu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan. Anak - anak (umur 10-15 tahun)Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 150mg dan 300mg 3 tablet lampren @ 50mg (150mg) 1 tablet dapson/DDS 50mgPengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet lampren 50mg selang sehari 1 tablet dapson/DDS 50mgSatu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.Dosis anak disesuaikan dengan berat badan: Rifampisin: 10-15 mg/kgBB Dapson: 1-2 mg/kgBB Lampren: 1mg/kgBB

Gambar 1 . Regimen pengobatan MDT

Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunakan seperti tabel 10 dan 11.Tabel 7. Pedoman dosis MDT Tipe PB11Jenis Obat15 tahunKeterangan

RifampisinBerdasarkan berat badan300mg/bulan450mg/bulan600mg/bulanMinum di depan petugas

DDS25mg/bulan50mg/bulan100mg/bulanMinum di depan petugas

25mg/hari50mg/hari100mg/hariMinum di rumah

Tabel 8. Pedoman dosis MDT Tipe MB11Jenis Obat15 tahunKeterangan

RifampisinBerdasarkan berat badan300mg/bulan450mg/bulan600mg/bulanMinum di depan petugas

Dapson 25mg/bulan50mg/bulan100mg/bulanMinum di depan petugas

25mg/bulan50mg/bulan100mg/bulanMinum di rumah

Lampren 100mg/bulan150mg/bulan300mg/bulanMinum di depan petugas

50mg 2x seminggu50mg setiap 2 hari50 mg per hariMinum di rumah

Sediaan dan Sifat ObatMDT tersedia dalam bentuk blister. Ada 4 macam blister untuk PB dan MB dewasa serta PB dan MB anak. 11Obat MDT terdiri atas :1) DDS (dapson)a) Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone.b) Sediaan berbentuk tablet warna putih 50mg dan 100mg.c) Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta.d) Dosis dewasa 100mg/hari, anak 50mg/hari (umur 10-15 tahun).2) Lampren (B663) juga disebut klofazimina) Sediaan berbentuk kapsul lunak 50mg dan 100mg, warna coklat.b) Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi.c) Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari gangguan gastrointestinal.

3) Rifampisina) Sediaan berbentuk kapsul 150mg, 300mg, 450mg dan 600mg.b) Bersifat bakterisidal; 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian.c) Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan agar penyerapan lebih baik. Obat penunjang (vitamin/roboransia) Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6 dan B12 dapat diberikan.Pasien dengan keadaan khusus1) Hamil dan menyusui : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya.2) Tuberkulosis : bila seseorang menderita tuberkulosis (TB) dan kusta, maka pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis rifampisin sesuai dosis untuk tuberkulosis.a) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PBi) Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100mg, karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.b) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe MBi) Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT.3) Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat diganti dengan lampren.4) Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan hanya dengan 2 macam obat saja, yaitu rifampisin dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu pengobatan MB. Efek Samping dan PenanganannyaTabel 9. Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya11Masalah Nama ObatPenanganan

Ringan

Air seni berwarna merahRifampisinReassurance (menenangkan penderita dengan penjelasan yang benar) Konseling

Perubahan warna kulit menjadi coklatKlofaziminKonseling

Masalah gastrointestinalSemua obat (3 obat dalam MDT)Obat diminum bersama makanan (atau setelah makan)

AnemiaDapsonBerikan tablet Fe dan Asam folat

Serius

Ruam kulit yang gatalDapsonHentikan dapson, Rujuk

Alergi urtikariaDapson atau RifampisinHentikan keduanya, Rujuk

Ikterus (kuning)RifampisinHentikan Rifampisin, Rujuk

Shock, purpura, gagal ginjalRifampisinHentikan Rifampisin, Rujuk

Pengobatan Kusta Reaksi Reversal (Tipe 1)Penatalaksanaan reaksi reversal didasarkan pada pengetahuan tentang imunopatologi reaksi reversal sebagai reaksi hipersensitifitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae, sehingga pendekatan terapi yang digunakan adalah dengan mengurangi paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat penekanan respon CMI. Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikroba, terapi anti inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang adekuat, dan dukungan kesehatan fisik selama fase aktif neuritis. Imobilisasi dan tindakan bedah dapat mencegah dan memulihkan gangguan saraf. Jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diteruskan dengan dosis tidak diubah.Penatalaksanaan reaksi reversal terdiri dari 5 aspek yang dilaksanakan secara bersamaan karena kelima aspek tersebut sama pentingnya dan mempunyai efek sinergis: 1. Mengendalikan neuritis untuk mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur dengan terapi anti inflamasi yang efektif dan lama.2. Menghentikan kerusakan pada mata untuk mencegah kebutaan3. Mematikan basil kusta dan menghentikan progresi penyakit4. Tindakan fisik untuk mencegah atau memulihkan kontraktur5. Analgetik untuk meredakan nyeri.Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat (POD), seperti :111) Adanya lagoftalmus baru terjadi dalam 6 bulan terakhir.2) Adanya nyeri raba saraf tepi.3) Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir.4) Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir.5) Adanya bercak pecah atau nodul pecah.6) Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi.Kortikosteroid Pada reaksi reversal kortikosteriod dimaksudkan untuk menekan proses inflamasi. Penggunaan kortikosteriod, prednisolon, dimulai dengan dosis 40-80 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 40 mg setelah beberapa hari, dan lalu 5-10 mg setiap 2-4 minggu, dan diakhiri dengan dosis 10 mg. WHO (World Health Organization) merekomendasikan pemberian kortikosteroid (prednisolon) dosis 40 mg sehari pada minggu I dan II, 30 mg sehari pada minggu III dan IV, 20 mg sehari pada minggu V dan VI, 15 mg sehari pada minggu VII dan VIII, 10 mg sehari pada minggu IX dan X, dan 5 mg sehari pada minggu XI dan XII. Dosis maksimum 1 mg/kgbb/hari. Regimen tersebut dapat diterapkan pada penderita kusta tipe BT dan umumnya mendapatkan terapi selama 2-4 bulan. Sedang penderita kusta tipe BB dan BL membutuhkan terapi yang lebih lama karena dengan pengobatan seperti diatas masih sering terjadi reaksi ulangan. Pada kusta tipe BL, dibutuhkan terapi 20 minggu dengan cara pemberian yaitu 40 mg sehari selama 2 minggu, 30 mg sehari selama 4 minggu, 20 mg sehari selama 4 minggu dan 5 mg sehari selama 2 minggu. Sebagian besar reaksi dan neuritis dapat diterapi dengan baik dengan pengobatan standar prednisone selama 12 minggu. Jika timbul neuritis diberikan kortikosteroid, prednisone 30-60 mg/hari.72. NON MEDIKA MENTOSA Menghindari/menghilangkan faktor pencetus Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.

I. KOMPLIKASIJika mendengar kata kusta maka yang dibayangkan adalah penyakit kulit yang akhirnya akan menimbulkan mutilasi yang menakutkan. Bahwa penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan memang sudah diketahui, namun proses terjadinya tidak sepenuhnya diketahui. Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer dan cacat sekunder. Cacat primer adalah yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae, seperti anestesi, claw hand dan kulit kering. Cacat sekunder adalah terjadi akibat cacat primer, terutamanya akibat adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.111. Proses terjadinya cacat kustaTerjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :a. Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ (misalnya mata)b. Melalui reaksi kustaSecara umum fungsi saraf ada 3 macam, yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba, nyeri dan suhu serta fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris, otonom, maupun kombinasi antara ketiganya. Berikut adalah skema yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan akibat kerusakan dari fungsi saraf.

Bagan 1. Proses terjadinya kecacatan11

Sesuai patogenesisnya, susunan saraf yang terkena akibat penyakit ini adalah susunan saraf perifer, terutama beberapa saraf seperti saraf fasialis, radialis, ulnaris, medianus, poplitea lateralis (peroneus communis) dan tibialis posterior. Kerusakan fungsi sensoris, motoris, maupun otonom dari saraf-saraf tersebut secara spesifik memperlihatkan gambaran kecacatan yang khas.

J. PENCEGAHAN1. Pencegahan Penyakit KustaMenghindari kontak droplet dari hidung dan sekret lain dari pasien yang mempunyai infeksi M. leprae yang tidak mendapat pengobatan merupakan salah satu cara yang direkomendasikan untuk mencegah penyakit ini. Pengobatan dengan antibiotik yang bersesuaian akan menghentikan penyebaran penyakit ini. Mereka yang tinggal dengan individu yang menghidap kusta yang tidak diobati mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk terkena penyakit kusta karena mereka lebih dekat terhadap droplet yang terinfeksi. 132. Pencegahan Cacat Akibat Penyakit KustaKomponen pencegahan cacat adalah seperti berikut : 11 a) Penemuan dini pasien sebelum cacatb) Pengobatan pasien dengan MDT-WHO sampai RFTc) Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutind) Penanganan reaksie) Penyuluhanf) Perawatan diri g) Penggunaan alat bantuh) Rehabilitasi medis (antara lain operasi rekonstrusi)Upaya pencegahan-pencegahan cacat sendiri oleh pasien di rumah. Petugas kusta harus memperhatikan pasien dengan cacat menetap dan menentukan tindakan perawatan diri apa yang perlu dilakukan pasien itu dengan mengupayakan penggunaan material yang mudah diperoleh disekitar lingkungan pasien.

K. PROGNOSISPrognosis tergantung pada stadium penyakit. Kusta Borderline tuberkuloid (BT) biasanya melibatkan kerusakan saraf yang cepat dan parah. Reaksi reversal jarang terjadi dengan penyakit lepromatosa, justeru kusta lepromatosa adalah keadaan kronis dengan komplikasi jangka panjang. Bahkan dengan MDT, pasien mengalami kerusakan saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Relapse (penyakit baru setelah MDT memadai selesai) terjadi pada 0,01-0,14% pasien per tahun dalam 10 tahun pertama. Resistensi dapson dan / atau rifampisin harus dipertimbangkan. 14Sekitar 5-10% pasien memiliki tipe reaksi reversal I pada tahun pertama setelah menyelesaikan MDT. Karena mengurangi imunitas seluler, kehamilan dapat memicu kekambuhan atau reaksi penyakit, terutama jenis reaksi II pada wanita hamil muda dari 40 tahun. Dapson umumnya dianggap aman pada kehamilan, keselamatan klofazimin dan rifampisin yang kontroversial, dan thalidomide (digunakan dalam reaksi tipe II) merupakan kontraindikasi selama kehamilan. Tipe I dan reaksi tipe II dapat memicu kekambuhan penyakit.14 Kusta pada reaksi tipe 1 bertahan selama 2 hingga 4 bulan pada individu dengan BT dan sehingga 9 bulan pada individu dengan BL.12

BAB IIIPENUTUPPenyakit kustaatau juga dikenali sebagaipenyakit Hansen, merupakan penyakit berjangkit yang disebabkan oleh jangkitanMycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Pada referat ini telah dibahas mengenai penyakit kusta dengan reaksi reversal di mana gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritem, lesi eritem menjadi makin eritomatosa, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate menjadi makin infiltrate dan lesi lama menjadi lebih luas. Dengan diagnosa yang dini dan pengobatan yang tepat, komplikasi-komplikasi dari penyakit kusta dapat dicegah dan dengan perawatan yang benar akan dapat membantu mencegah komplikasi atau kecacatan yang sudah ada daripada menjadi lebih parah. Justeru, penyakit kusta ini tidak boleh dipandang ringan karena merupakan salah satu penyakit menular yang menimbul masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksudkan bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.

DAFTAR PUSTAKA 1. Prawoto, Kabulrachman, Udiyono A, Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta, http://eprints.undip.ac.id/6325/1/Prawoto.pdf2. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1421-prevalensi-kusta-berhasil-diturunkan-81-persen-.html 3. Sharma N, Koranne R.V, Mendiratta V, Sharma R.C, A study of leprosy reaction in a tertiary Hospital in delhi, The Journal of Dermatology 2004;31:898-9034. Kahawita I.P, Sirimanna G.M, Satgurunathan K, Athukorala D.N, Sri Lanka College of Dermatologist : Guidelines on the management of leprosy reaction: 3-55. Walker S.L, Lockwood D.N.J, leprosy type 1 (reversal) reactions and their management, diunduh dari http://www.leprahealthinaction.org/lr/Dec08/Lep372-386.pdf6. Stephen L.W, Diana N.J.L. Leprosy Type 1(reversal) reactions and their management. Department of Infection and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 2 December 2008.7. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Penerbit FKUI Jakarta 2007; 73-88.8. Thomas H.R, Robert L.M, Chapter 186: Leptosy in Klaus W, Lowell A.G, Stephen I.K, Barbara A.G, Amy S.P, David J.L. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th Edition McGraw Hill comp. USA, 2008, page: 1786-96.9. Modul pelatihan program P2 kusta.Sub Direktorat Kusta dan Frambusia , diperbanyak oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat10. Indira P.K, Stephen I.W, Diana N.J.L. leprosy type 1 and erythmma nodosum leprosum. Department of Infection and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 28 Dicember 2007.11. Mr. M.O. Regan, Dr. J. Keja. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Kementerian Kesehatan RI. Direktor Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2012; 67-71, 99-104, 112-21, 123-25, 127-37.12. Klaus Wolff, A.J. Richard, S. Dick. Lepra. Fitzpatricks Atlas Berwarna dan Sinopsis Dermatologi Klinikal. Edisi kelima. Penerbit McGraw-Hill Medical.2005; 655-661.13. Medscape. Dermatologic Manifestation of Leprosy Follow-up. Prognosis. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1104977-followup#a2650.

LAMPIRAN

Kusta reaksi reversal

4