REAKSI KUSTA.doc

download REAKSI KUSTA.doc

of 126

Transcript of REAKSI KUSTA.doc

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    1/126

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia, dikenal sejak tahun satu setengah

    millennium yang lalu penyakit ini menimbulkan tantangan yang besar bagi pemerintah di

    Negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Pemerintah mencanangkan program

    penurunan angka kesakitan kusta menjadi lebih kecild dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun

    2000 merupakan salah satu usaha untuk eradikasi kusta di Indonesia. Salah satu kendala yang

    masih perlu mendapat perhatian adalah penanganan reksi lepra. Reaksi lepra meskipun sering

    dianggap lumrah karena merapakan bagian dari proses perjalanan penyakit itu sendiri terkadang

    dapat menimbulkan kondisi yang parah hingga dapat digolongkan sebagai komplikasi sehinggapengetahuan yang cukup srta pengembangan keterampilan pada penanganan reaksi kusta

    sangatlah penting dan diperlukan

    I.2 Tujuan

    - Memberikan gambaran mengenai perjalan penyakit kusta

    - Memberikan penjelasan terkait penggolongan reaksi kusta dan reaksi kusta itu sendiri

    - Menjelaskan cara diagnose dan penatalaksanaan reaksi kusta

    I.3 Manfaat

    - Menambah wawasan pembaca mengenai penyakit kusta- proses perjalanan penyakit, reaksi

    kusta dan cara mendiagnosis serta tatalaksananya

    - Referat ini dapat menjadi rangkuman kecil untuk reaksi penyakit kusta dari beberapa sumber

    yang digunakan sebagai acuan

    I.4 Pokok Masalah

    - Apa itu penyakit kusta ?

    - Bagaimana patofisiologi penyakit kusta ?

    - Apa itu reaksi kusta ?

    - Bagaimana cara mendiagnosis penyakit kusta ?

    - Bagaimana penatalaksanaan penyakit kusta ?

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    2/126

    BAB II

    PEMBAHASAN

    II.1 Definisi

    Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-

    gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang

    menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini

    disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialah

    Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,

    lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali

    susunan saraf pusat (Kosasih, 2002).

    Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis

    penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respons selular) atau reaksi antigen-antibodi

    (respons humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum

    mendapat pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6

    bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.

    II.2 Etiologi

    M. leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan

    oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan

    asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5, biasanya berkelompok dan ada yang

    tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat

    dikultur dalam media buatan.1

    Gambar 1: Mycobacterium leprae, sumber : (http://www.ciriscience.org/ph_130-

    Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy)

    http://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy
  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    3/126

    II.3 Epidemiologi

    Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum diketahui

    pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang

    lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup

    beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada

    yang mengatakan antara 40 hari 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah

    patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian

    genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan

    kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.

    Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya

    kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai

    1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107, daya

    penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan.

    Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang

    didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus

    respiratorius atas. Dfapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di

    Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 13%, tetapi anak di bawah umur 1

    tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor social

    ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin subur penyakit

    kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis dan

    subtropics yang panas dan lembab. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan

    ditakutimoleh karena adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat

    kerusakan saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta

    dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis dan atrofi

    otot. 2

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    4/126

    Gambar 2: Distribusi penyakit kusta di dunia menurut geografi, pada tahun 2006. (Sumber: Standford

    Summary of Worldwide Leprosy, 2007 ; www.standford.edu, disadur ke dalam Pedoman Nasional Pengendalian

    Kusta 2007 )

    II.4 Patofisiologi

    Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

    penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih

    berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat

    penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi

    granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu

    penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.

    Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan

    penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka.

    Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak

    dekat adalah yang paling rentan.

    Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rataadalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa.

    Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput

    lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah

    tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana

    imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian,

    http://www.standford.edu/http://www.standford.edu/
  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    5/126

    penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan

    pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.4

    M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan

    afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat

    mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam

    lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon

    kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya,

    pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal.

    Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan

    penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme, mikroorganisme

    mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri. Komponen dinding sel

    merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga

    moderator kemampuan bakterisidal makrofag.

    Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.

    Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang

    lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang

    terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),

    tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi

    luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum

    penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta

    dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif

    tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.

    Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta . M

    leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann, terutama

    dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling

    aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen

    apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan

    penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel Schwann juga

    merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari jalur erbB2

    reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari demielinasi pada kusta.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    6/126

    Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon

    kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang terinfeksi

    oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik. [5]

    Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel

    endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M

    leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh

    dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.

    Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I

    reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun

    pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi

    menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf

    terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.

    Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai

    dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler

    (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS

    rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1

    Reaksi Kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit kusta yang

    sebenarnya sangat kronik dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di

    kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih

    bermacam-macam.

    Reaksi kusta terbagi atas dua tipe reaksi menurut hipersensitifitas yang

    menyebabkannya:

    1. Reaksi tipe 1 disebabkan reaksi hipesensitifitas selular

    2. Reaksi tipe 2 disebabkan hipersensitifitas humoral

    Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk

    reaksi tipe 2 yang lebih berat.

    Dari segi imunologisnya terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu

    pada reaksi tipe 1 atau reaksi reversalatau reaksi upgrading yang memegang peranan adalah

    imunitas selular, sedangkan pada reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL)yang

    memegang peranan adalah imunitas humoral.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    7/126

    Diunduh dari sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.fullpada tanggal 13 september 2013

    pukul 16.00

    Menurut Ridley dan Jopling spectrum kusta terdiri atas 5 tipe yaitu: TT, BT, BB, BL,

    LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang stabil, sedangkan

    yang lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Disamping tipe-tipe tersebut

    terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT

    maupun LL, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti

    TT dan LL, tetapi imunitasnya tidak stabil).

    http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.fullhttp://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full
  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    8/126

    Semakin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki seseorang pasien kusta, semakin tinggi

    jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas tinggi sukar sekali menemukan

    basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir atau tidak mempunyai imunitas, dengan mudah basil

    dapat ditemukan.5

    II.4. 1 Reaksi Tipe 1

    Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading hanya dapat terjadi

    pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang

    memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi

    peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti,

    diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi

    peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit,

    umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah

    TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti

    dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke

    arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

    Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity

    reaction seperti halnya reaksi hipersensitifitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen

    yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi

    dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe 1

    terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas (SIS) dan basil. Dengan demikian

    sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading / reversal, apabila menuju kearah

    tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk

    lepromatosa (terjadi penurunan SIS). 7

    Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan sebagai reaksi reversal oleh

    karena paling sering ditemui terutama pada kasus-kasus yang mendapat pengobatan,

    sedangkan down grading reaction lebih jarang ditemui oleh karena berjalan lebih lambat

    dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.

    Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta

    yang subpolar, tetapi pada bentuk BB lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    9/126

    Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk

    TTs sedangkan bila down grading akan menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs.

    Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada

    bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat.

    Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau

    tidak disertai neuritis tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat

    pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosinya juga disesuaikan dengan berat

    ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 40-

    60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya

    dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurani terjadinya kerusakan saraf secara

    mendadak.

    Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang

    telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat.

    Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi

    macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah

    luas. Jadi kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular)

    sedangkan reversaltanpa nodus (reaksi non-nodular).

    II.4.2 Reaksi Tipe 2

    Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa

    fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM,

    IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan

    reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan

    terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit

    kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi

    dapat terbentuk.

    ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi

    karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen

    yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen.

    Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    10/126

    melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena

    dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible.

    Reaksi tipe 2 ini dikenal dengan nama eritema nodusun leprosum (ENL).

    Berbeda dengan reaksi kusta tipe 1 atau reaksi reversalyang hanyadapat terjadi pada tipe

    borderline (Li, BL, BB, BT, T), sedangkan pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. ENL

    merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 3 menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari

    produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk komplek Ag-Ab.

    Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL

    merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun.

    Terutama terjadi pada LL dan LLs dan kadang-kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai

    gejala-gejala sistemik. Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungan dengan pemberian

    pengobatan antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama

    pengobatan, tapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular.

    Tidak terlihat gambaran perubaha lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1 (SIS

    tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spectrum pun tetap.

    Obat yang paling sering dipakai untuk menangani reaksi ini adalah tablet

    kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi,

    biasanya prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin beratnya reaksi makin

    tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai

    dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.

    Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri

    dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat

    menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan

    nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari

    ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.6

    II. 5 Gejala Klinis

    1. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline)

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    11/126

    Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan selular secara cepat.

    Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui

    secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

    a. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), atau

    gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).

    b. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan atas: reaksi ringan dan

    reaksi berat.

    c. Perjalanan reaksi 6 12 minggu atau lebih.

    Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I

    Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat

    1. Lesi Kulit Tambah aktif, menebal merah,teraba panas dan nyeri tekan.

    Makula yang menebal dapat sampai

    membentuk plaque

    Lesi membengkak sampai ada yangpecah, merah, teraba panas dan nyeri

    tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan

    kaki membengkak, sendi-sendi sakit.

    Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan

    gangguan fungsi.

    Nyeri tekan, dan/atau gangguan fungsi,

    misalnya kelemahan otot.

    Kulit dan

    saraf

    bersama -

    sama

    Lesi yang telah ada menjadi lebih

    eritematosa, nyeri pada saraf.Berlangsung kurang dari 6 minggu.

    Lesi kulit yang eritematosa disertai

    ulserasi atau edema pada tangan/kaki.

    Saraf membesar, nyeri, dan fungsiterganggu. Berlangsung sampai 6

    minggu atau lebih.Tabel 1: Perbedaan reaksi brat dan reaksi ringan pada eksi tipe satu, sumber: ( buku pedoman nasional

    pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)

    Jika ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf, dikategorikan sebagai

    Reaksi Berat.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    12/126

    Gambar 4: Manifestasi reaksi kusta tipe 1. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health

    Problem; Geneva: 2007)

    2. Reaksi tipe II (reaksi ENL, reaksi eritema nodosum leprosum)Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, di mana basil kusta yang

    utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen

    sebagai respons adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen + antibodi +

    komplemen = Immunokompleks.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    13/126

    - Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul pada kulit yang

    multiple berupa nodus eritema yang dikenal sebagai erirema nodosum leprosum (ENL),

    mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi

    seperti demam dan malaise, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah. Bila

    mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,

    limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga

    dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara

    imunologik pula.

    - Perjalanan reaksi biasanya berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul

    berulang-ulang dan berlangsung lama.

    - Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat.2

    Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I

    Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat

    Lesi Kulit Nodul yang nyeri tekan

    jumlahnya sedikit, biasanya

    hilang sendiri dalam 2 3

    hari

    Nodul nyeri tekan, ada yang

    pecah (Ulseratif), jumlah

    banyak, berlangsung lama.

    Keadaan Umum Tidak ada demam atau

    demam ringan

    Demam ringan sampai berat

    Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan atau

    gangguan fungsi

    Ada nyeri tekan, terjadi

    gangguan fungsi

    Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan pada

    organ-organ tubuh seperti

    Mata (Iridocyclitis), Testis

    (Epididymoorchitis), Ginjal

    (Nephritis), Sendi (Arthritis),

    Kelenjar Limfe

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    14/126

    (Limphadenitis), Gangguang

    pada tulang, hidung dan

    tenggorokan.

    Tabel 2: Perbedan reaksi ringan dan reaksi berat pada reaksi kusta tipe 2. Sumber: (( buku pedoman nasional

    pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    15/126

    Gambar 5: Manifestasi reaksi kusta tipe 2. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health

    Problem; Geneva: 2007)

    3. Fenomena Lucio

    Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta

    tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,

    bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,

    kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    16/126

    purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi

    lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.

    Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan

    nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah

    lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak

    ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak

    deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1

    Gambar 6: Manifestasi fenomena lucio. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health

    Problem; Geneva: 2007)

    II.6 Klasifikas Kusta

    Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table dibawah ini 1:

    Klasifikasi Zona spektrum kusta

    Ridley & Jopling TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL

    Madrid Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa

    WHO Pausibasilar, Multibasilar

    Puskesmas Pausibasilar, Multibasilar

    Tabel 3: Zona spectrum kusta.. Sumber: (WHO, Committee of Leprosy Cure, Manual of Leprosy, Geneva:2000)

    Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit

    lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu :

    TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    17/126

    Ti : tuberkuloid indefinite

    BT: borderline tuberculoid

    BB:Mid borderline

    Bl : borderline lepromatous

    Li : lepromatosa indefinite

    LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

    TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak

    mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%.

    Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara

    tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa.

    BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.

    Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun

    ke arah LL.

    Menurut WHO (1981), lepra dibahi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar

    (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+,

    yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil

    dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1

    Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang

    dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe

    TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun

    klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 3

    Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    18/126

    Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1

    Sifat Lepromatosa (LL) Borderline

    Lepromatosa (BL)

    Mid Borderline (BB)

    Lesi

    Bentuk Makula

    Infiltrat difus

    Papul

    Nodus

    Makula

    Plakat

    Papul

    Plakat

    Dome-shape (kubah)

    Punched-out

    Jumlah Tidak terhitung, praktis

    tidak ada kulit sehat

    Sukar dihitung, masih

    ada kulit sehat

    Dapat dihitung, kulit

    sehat jelas ada

    Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

    Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak

    berkilat

    Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

    Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

    BTA

    Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

    Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif

    Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

    PB MB

    1. Lesi kulit

    (makula datar, papul

    yang meninggi, nodus)

    - 1-5 lesi

    - Hipopigmentasi/eritema

    - Distribusi tidak simetris- Hilangnya sensasi jelas

    - > 5 lesi

    - Distribusi

    lebih simetris- Hilangnya

    sensasi kurang jelas

    2. Kerusakan saraf

    (menyebabkan hilangnya

    sensasi/kelemahan otot

    yang dipersarafi oleh

    saraf yang terkena)

    - Hanya satu cabang

    saraf

    - Banyak

    cabang saraf

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    19/126

    Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1

    II. 7 Diagnosa

    Karakteristik Tuberkuloid

    (TT)

    Borderline

    Tuberculoid (BT)

    Indeterminate (I)

    Lesi

    Tipe Makula ; makula

    dibatasi infiltrat

    Makula dibatasi

    infiltrat saja; infiltrat

    saja

    Hanya Infiltrat

    Jumlah Satu atau dapat

    beberapa

    Beberapa atau satu

    dengan lesi satelit

    Satu atau beberapa

    Distribusi Terlokalisasi &

    asimetris

    Asimetris Bervariasi

    Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak

    berkilat

    Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat

    tidak jelas

    Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak

    jelas

    BTA

    lesi kulit Hampir selalu

    negatif

    Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

    Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau

    negatif

    Pemeriksaan

    Bakterioogis

    Pemeriksaan

    Histo-patologi

    PemeriksaanTanda-tandaAnamnesa

    DIAGNOSA

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    20/126

    Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal (tanda utama), yaitu :

    1. Bercak kulit yang mati rasa :

    Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, medatar (macula) atau meninggi (plak). Mati

    rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa

    nyeri.

    2. Penebalan saraf tepi :

    Dapat disertai rasa nyeri dan dpat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang

    terkena, yaitu :

    a. Gangguan funsi sensoris : mati rasa

    b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

    c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang

    terganggu.

    3. Ditemukan kuman tahan asam

    Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang

    aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf.

    Untuk menegakkan diagnose paling idak harus ditemukan satu tanda karidinal, jika tidak

    pemeriksan diulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakan atau disingkirkan.1

    A. Anamnesis

    - Keluhan pasien

    - Riwayat kontak dengan pasien

    - Latar belakang keluarga, misalnya keadaan social ekonomi

    B. Pemeriksaan Fisik :

    - Inspeksi : dengan penerangg baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan

    kulit.

    - Palpasi :

    Kelainan kulit : nodus, infiltrate, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan

    dan kaki

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    21/126

    Kelainan saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N.

    Aurikularis magnus, N. Ulnaris, N. Peroneus. Periksa dengan teliti apabila ada

    nyeri tekan dan juga penebalan saraf. Perhatikan raut wajah pasien, apakah

    kesakitan atau tidak pada waktu saraf di raba.3

    Pada waktu melakukan pemeriksaan saraf tepi ingat untuk membandingkan sisi kanan

    dan kiri, apakah ada pembesaran atau tidak, pembesaran regular (smooth) atau irregular

    (bergumpal), terasa keras atau kenyal, dan ada nyeri atau tidak. Cara pemeriksaan saraf

    tepi sebagai berikut :

    a. N. Aurikularis Magnus :

    Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mngkin, maka saraf yang terlibat

    akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bias terlihat bila saraf

    membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut

    dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan

    menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan antara yang kiri dengan

    yang kanan.

    b. N. Ulnaris :

    Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas

    satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan siku (sulkus N.

    ulnaris)ndan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Bandingkan antara yang

    kanan dan yang kiri.

    c. N. Paroneus lateralis:

    Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari

    capitulum fibulae. Biasanya sedikit ke posterior.

    Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, seringkali asien merasa seperti

    terkena setrum. Pada kasus neuritis akut sentuhan yang sedikit sudah dapat

    menimbulkan nyeri hebat.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    22/126

    - Tes fungsi saraf

    a. Tes sensoris : gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hagat dan

    dingin.

    Rasa raba : sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk

    memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya ke kulit.

    Pasien harus dalam keadaan duduk. Saat dilakukan tes perabaan pasien

    diminta untuk menunjukkan daerah yang telah diraba. Untuk memastikan

    hasil yang objektif pasien dapat disruh menutup mata atau ditutup dengan

    kain. Pada bercak-bercak yang ada dilakukan pemeriksan raba pada bagian

    tengahnya bukan pada bagian pinggirnya.

    Rasa nyeri : dengan menggunakan jarum petugas menusuk kulit pasien

    dengan ujung jarum yang tajam dan tangkai jarum yang tumpul. Pasien

    diminta untuk mengatakan tusukan mana yang tajam dan yang tum\pul.

    Rasa suhu: dilakukan dengan memakai dua tabung reaksi, yang satu berisi

    air hangat (40 0C) dan yang satu berisi air dingin (20 0C). mata pasien di

    tutup. Sebelumnya dilakukan tes pada kulit yang normal untuk

    memastikan bahwa pasien pada awalnya tidak memiliki kelainan

    sensibilitas (sebelun terinfeksi). Tabung disentuhkan secara bergilir dan

    pasien diminta untuk mengatakan yang mana yang panas dan yang dingin.

    b. Tes otonom :

    Berdasarkan adanya ganggaun berkeringat di macula anestesi pada penyakit

    kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

    Tes dengan pensil tinta (tes gunawan) : pensil tinta digariskan mulai dari

    bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.

    Pasien disuruh beraktivitas dan jika pada daerah lesi tinta utuh tidak

    terhapus keringa berarti tes positif.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    23/126

    Tes pilocarpin : daerah kulit pada macula dan perbatsannya diuntik dengan

    pilocarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal

    berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.

    c. Tes motoris :

    Voluntary Muscle Test(VMT)

    Cara memeriksa:

    Mula-mula periksa gerakan seperti ditunjukkan oleh tanda panah hitam

    pada gambar. Perhatikan apakah pasien dapat melakukan dengan baik dan

    tanpa bantuan.

    Periksa tahanan yang diberikan sebagai respon oleh pasien. Kerjakan

    pemeriksaan ini jika gerakan pasien sempurna atau mendekati, lakukan

    perlahan-lahan, pasien jangan dikejutkan, jangan paksa pasien sampai

    berubah posisi amati perubahan posisi dan kekuatan menahan pasien

    apakaha normal, berkuang, atau tidak ada sama sekali. Bandingkan selalku

    kaki dan angan pasien yang kanan dan yang kiri. 1

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    24/126

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    25/126

    C. Pemeriksaan Histopatologis

    Diagnosis kusta melalui pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan melalui pemeriksaan

    bakterioskopis. Sediaan biasanya diambil pada daerah yang paling aktif dimna jumlah

    pengambilan sediaan jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu

    cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, serta pada bagian tubuh dengan lesi paling

    aktif.3

    Cara pembuatan :

    Daerah/ruam yang hendak di toreh dibersihkan dengan alcohol. Kemudian dijepit

    kuat dengan telunjuk dan jempol kiri pemeriksa untuk menghilangkan perdarahan dan

    mengurangi rasa sakit. Dengan tangan kanan pemeriksa, jaringan/kulit yang terjepit di

    toreh sedalam 3-5mm sepanjang kurang lebih 1 cm, darah yang keluar dibersihkan.

    Kemudian dengan satu sisi tajam pisau torehan dikerok, pisau diputar 180 derajat dan

    sayatn dikerok kea rah sebaliknya di saat yang bersamaan daerah harus terus dijepit.

    Hasil kerokan pada pisau toreh segera dihapuskan pada gelas objek. Pada satu gelas objek

    dapat dibuat bebeapa apusan dari tmpat yang berbeda. Preparat apusan dipulas dengan

    ziehl-Neelsen dan dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan minyak emersi dan

    dihitung dengan menggunakan indeks bakteri.

    D. Pemeriksaan Serologis

    Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M.leprae mengakibatkan diagnosis

    serologis merupakan alternative yang paling diharapkan. Beberapa tes serologis

    yang banyak digunakan untuk mendiagnosis penyakit kusta, antara lain :

    1. Tes FLA-ABS

    2. Tes ELISA

    3. Tes MLPA (untuk mengukur titer antibody Ig G yang telah terbentuk di dalam

    tubuh pasien. Titer dapat ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif).2

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    26/126

    II.8 Penatalaksanaan

    Non farmakologis :

    - Menjaga kebersihan tubuh dan lingkugan

    - Menjaga asupan makan agar tetap mengandung gizi dan nutisi yang cukup untuk

    menjaga daya tahan tubuh

    Farmakologis : Regimen MDT :

    Terapi untuk kusta tipe PB pada dewasa :

    1x dalam satu bulan: hari 1

    . 2 kapsul rifampisin (300mg x 2)

    . 1 tablet dapsone (100mg)

    1x dalam satu hari : hari 2-28

    . 1 tablet dapsone (100mg)

    Paket penuh : 6 paket blister

    Terapi untuk kusta tipe PB pada anak (10-14th):

    1 x dalam satu bulan: hari 1

    . 2 kapsul rifampisin (300mg + 150mg)

    . 1 tablet dapsone (50mg)

    1 x dalam satu hari : hari 2-28

    . 1 table dapsone (50mg)

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    27/126

    Paket penuh : 6 paket blister.

    Untuk anak kurang dari 10 th, dois harus disesuaikan

    Dengan berat badan.

    Terapi untuk kusta tipe MB untuk dewasa

    1x dalam satu bulan : hari 1

    . 2 kapsul rifampisin (300mg x 2)

    . 3 kapsul clofazimin (100mg x 3)

    . 1 tablet dapsone (100mg)

    1x dalam satu hari : hari 2-28

    . 1 kapsul clofazimin (50mg)

    . 1 tablet dapsone (100mg)

    Paket penuh : 12 paket blister

    Terapi untuk kusta tipe MB pada anak (10-14 th ):

    1x dalam satu bulan : hari 1

    . 2 kapsul rifampisin (300mg + 150mg)

    . 3 kapsul clofazimin (50 mg x 3)

    . 1 tablet dapsone (50mg)

    1x dalam satu hari : hari 2-28

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    28/126

    . 1 kapsul clofazimin setiap hari (50mg)

    . 1 tablet dapsone (50mg)

    Paket penuh : 12 paket blister

    Bagi anak kurang dari 10 tahun, dosisharus disesuaikan

    Dengan berat badan. 7

    Pengobata Reaksi Kusta

    Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk :

    - Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau

    kontraktur.

    - Secepatnya dilakukn tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila mnegenai mata.

    - Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas

    - Menatasi rasa nyeri

    Prinsip pengibatan reaksi kusta :

    1. Pemberian obat antireaksi

    2. Itirahat atau imobilisasi

    3. Analgetik, sedative untuk mengatasi rasa nyeri

    4. Obat antikusta yang sudah diberikn diteruskan

    Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra-indikasi, sema obat anti-kusta dosis

    penuh harus tetap diberikan:

    - Untuk membunuh kuman agr penyakit tidak mluas

    - Untuk mencegah timbulnya resistensi

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    29/126

    - Dengan menghentikan obat anti-kusta saat pengobatan reaksi, kadangkadang justru

    menimbulkan reaksi pada waktu pengobatan anti-kusta tersebut dilakukan kembali.

    A. Pengobatan reaksi ringan

    Non medikamentosa

    Istirahat, imobilisasi, berobat jalan.

    Medikamentosa

    - Aspirin : masih merupakan obat terbaik dan murah untuk mengtasi rasa nyeri dan

    sebagai nti radang. Dosis yang dianjurkan 600-1200 mg diberikan tiap 4 jam, 4

    sampai 6 kali sehari.

    - Klorokuin: kombinasi aspirin dan klorokuin memiliki khasiat lebih baik dbanding

    pemberian tunggal. Dosis 3 x 500mg/hr. efek toksik pada penggunaan jangka panjang

    dapat berupa: ruam pada kulit, fotosensitisasi serta gangguan gastro-intestinal,

    pengelihatan dan pendengaran.

    - Antimon: Stibophen berisi 8,5mg antimony per ml. dosis:2-3 ml dibrikan secara

    selang-seling, dosis total tidak melebihi 30 ml. digunakan pada reaksi tipe 2 yang

    ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi-sendi dan tulang. Efek samping : ruam pada

    kulit, bradikardi, hipotensi. Kini jarang dipakai karena efeknya toksiknya kuat.

    - Talidomid: digunakan untuk mnegatasi reaksi tipe 2 agar dapat melepaskan

    ketergantugan pada kortikosteroid. Dosis: mula-mula diberikan 400mg/hr sampai

    reaksi teratasi, kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50mg/hr. tidak

    dianjurkan diberikan pada wanita usia subur. 2

    B. Pengobatan reaksi berat

    Segera rujuk ke rumah sakit untuk prawatan. Untuk reaksi tipe 1 harus segera diberikan

    kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe 2 dapat diberikan klofazimin, talidomid, dan

    kortikosteroid sendiri-sendiri atau kombinasi. Mengenai dosis, cara maupun lama

    pengobatan reaksi kusta sangat bervariasi sehingg belum ada dosis baku.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    30/126

    Cara pemberian kortikosteroid :

    - Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang

    - Gunakan prednisone atau predniolon

    - Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari

    - Dosis diturunkan setelah respons maksimal

    - Dosis steroid dapat dimulai antara 30-80mg prednisone/ hari dan diturunkan 5-

    10mg/2 minggu, sebagai berikut:1

    2 mg I : 30mg/hr

    2mg II : 20mg/hr

    2mg III : 15mg/hr

    2mg IV : 10mg/hr

    2mg V : 5mg/hr

    II. 9 Rehabilitasi

    Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan sosial. Usaha medis

    yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya

    tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat

    diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Terapi kejiwaan berupa

    bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat

    sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan

    menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.

    Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang

    kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu

    pemasaran hasil usaha pasien.7

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    31/126

    II.10 Monitoring dan Evaluasi Pengobatan

    1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat

    2. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan

    pelacakan

    3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

    Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita

    4. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif

    a. Tipe PB selama 2 tahun

    b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium

    5. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan

    dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium

    6. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18

    bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium

    7. Defaulter

    Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka dinyatakan

    sebagai Defaulter PB.

    Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka dinyatakan

    sebagai Defaulter MB.

    Tindakan bagi penderita defaulter :

    a. Dikeluarkan dari monitoring dan register

    b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang, pengobatan

    menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat

    8. Relaps/ Kambuh

    Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk

    menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki kemampuan klinis

    dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada pemeriksaan ulang BTA

    setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau lebih disbanding saat diagnosis

    maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam kasus relaps memungkinkan karena kasus

    relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita

    diobati sesuai hasil pemeriksaan pada saat itu.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    32/126

    Catatan :

    Untuk mereka yang pernah mendapat pengobatan Dapson monoterapi (sebelum

    diperkenalkan MDT) namun kemudian muncul kembali sebagai tanda kusta aktif yang

    membutuhkan MDT, maka penderita tersebut dimasukkan dalam kategori relaps.

    9. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah

    diagnosis, ganti klasifikasi, default.

    10. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan pesan

    penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke pelayanan

    kesehatan.6

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    33/126

    BAB III

    PENUTUP

    1. Reaksi kusta sekalipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor

    pencetus sudah diketahui namun hungga kini penyebab pastinya belum dapat diketahui.

    2. Reaksi kusta terabagi menjadi dua yakni :

    - Reaksi tipe I oleh hipersensitivitas selular

    - Reaksi tipe II oleh hipersensitivitas humoral

    Dimana kedua reaksi tersebut dapat dibedakan melalui gejala yang ditimbulkan pada

    kulit, saraf, dan kulit juga saraf bersama-sama, dimana masing masing reaksi dapat

    dikatagorikan lagi menjadi reaksi ringan dan reaksi berat.

    3. Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala seperti banyak penykit lain sehingga disebut

    sebagi the great imitator, oleh karena itu dalam mendiagnosis kusta dibutuhkan

    ketelitian dan pmeriksaan yang menyeluruh untuk mendiagnosanya secara tepat. Dasar

    diagnosanya didasarkan pada penemuan 4 tanda cardinal, anamnesis lengkap,

    pemeriksaan fisik termasuk didalamnya tes fungsi saraf dan mecari tanda apabila sudah

    terjadi kmplikasi, serta pemeriksaan histopatologis atau serologis.

    4. Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama untuk :

    - Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis

    - Mencegah kebutaan apabila penyakit sudah menyerang mata

    - Membunuh kuman agar penyakit tidak meluas

    - Mengatasi rasa nyeri

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    34/126

    Dimana hal di atas dilakukan melalui pemberian obat antireaksi, istirahat atau

    imobilisasi, pemberian analgetik atau sedatif untuk mengatasi rasa nyeri, dan melanjutkan

    obat antikusta sebelumnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Martodihardjo R, Susanto R.S.D,Reaksi Kusta dan Penanganannya, Kusta, Ed. II, p.72-

    85, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2003.

    2. Departemen Kesehatan R.I. Ditjen PPPL, Buku Pedoman Nasional Pengendalian

    Penyakit Kusta, Jakarta;2007.

    3. Litiawan M.Y, Agusni I, Martodihardjo S,Morbus Hansen-Reaksi Kusta, Pedoman

    Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. III, p. 41-48,

    Airlangga Universiy Press, Surabaya; 2005.

    4. Kosasih A, Wisnu I.M, Daili E.S.S, Menaldi S.L. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit danKelamin, Ed. VI, p. 73-88, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2010.

    5. Murtiastutik D, Ervianty E, Agusni I, Suyoso S, Morbus Hansen, Atlas Penyakit Kulit &

    Kelamin, Ed. II, p. 41-54, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP), Surabaya; 2010

    6. Guinto R.S, Abalos R.M, Cellona R.V, Fajardo T.T. Atlas Kusta ; disadur dari An Atlas

    of Leprosy, Sasakawa Memorial Health Foundation, Dirjen PPM & PL, Jakarta; 2000.

    7. World Health Organization, Giude to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem, Ed.

    I, Geneva; 2000

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    35/126

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia, dikenal sejak tahun satu setengah

    millennium yang lalu penyakit ini menimbulkan tantangan yang besar bagi pemerintah di

    Negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Pemerintah mencanangkan program

    penurunan angka kesakitan kusta menjadi lebih kecild dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun

    2000 merupakan salah satu usaha untuk eradikasi kusta di Indonesia. Salah satu kendala yang

    masih perlu mendapat perhatian adalah penanganan reksi lepra. Reaksi lepra meskipun sering

    dianggap lumrah karena merapakan bagian dari proses perjalanan penyakit itu sendiri terkadang

    dapat menimbulkan kondisi yang parah hingga dapat digolongkan sebagai komplikasi sehingga

    pengetahuan yang cukup srta pengembangan keterampilan pada penanganan reaksi kusta

    sangatlah penting dan diperlukan

    I.2 Tujuan

    - Memberikan gambaran mengenai perjalan penyakit kusta

    - Memberikan penjelasan terkait penggolongan reaksi kusta dan reaksi kusta itu sendiri

    - Menjelaskan cara diagnose dan penatalaksanaan reaksi kusta

    I.3 Manfaat

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    36/126

    - Menambah wawasan pembaca mengenai penyakit kusta- proses perjalanan penyakit, reaksi

    kusta dan cara mendiagnosis serta tatalaksananya

    - Referat ini dapat menjadi rangkuman kecil untuk reaksi penyakit kusta dari beberapa sumber

    yang digunakan sebagai acuan

    I.4 Pokok Masalah

    - Apa itu penyakit kusta ?

    - Bagaimana patofisiologi penyakit kusta ?

    - Apa itu reaksi kusta ?

    - Bagaimana cara mendiagnosis penyakit kusta ?

    - Bagaimana penatalaksanaan penyakit kusta ?

    BAB II

    PEMBAHASAN

    II.1 Definisi

    Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-

    gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang

    menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini

    disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialahMycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,

    lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali

    susunan saraf pusat (Kosasih, 2002).

    Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis

    penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respons selular) atau reaksi antigen-antibodi

    (respons humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum

    mendapat pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6

    bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.

    II.2 Etiologi

    M. leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan

    oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    37/126

    asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5, biasanya berkelompok dan ada yang

    tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat

    dikultur dalam media buatan.1

    Gambar 1: Mycobacterium leprae, sumber : (http://www.ciriscience.org/ph_130-

    Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy)

    II.3 Epidemiologi

    Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum diketahui

    pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang

    lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup

    beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada

    yang mengatakan antara 40 hari 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah

    patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian

    genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan

    kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.

    Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya

    kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai

    1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107, daya

    penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan.

    Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang

    didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus

    respiratorius atas. Dfapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di

    Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 13%, tetapi anak di bawah umur 1

    tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor social

    ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin subur penyakit

    http://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy
  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    38/126

    kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis dan

    subtropics yang panas dan lembab. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan

    ditakutimoleh karena adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat

    kerusakan saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta

    dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis dan atrofi

    otot. 2

    Gambar 2: Distribusi penyakit kusta di dunia menurut geografi, pada tahun 2006. (Sumber: Standford

    Summary of Worldwide Leprosy, 2007 ; www.standford.edu, disadur ke dalam Pedoman Nasional Pengendalian

    Kusta 2007 )

    II.4 Patofisiologi

    Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

    penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih

    berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat

    penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi

    granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu

    penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.

    Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan

    penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    39/126

    Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak

    dekat adalah yang paling rentan.

    Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata

    adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa.

    Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput

    lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah

    tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana

    imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian,

    penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan

    pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.4

    M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan

    afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat

    mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam

    lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon

    kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya,

    pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal.

    Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan

    penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme, mikroorganisme

    mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri. Komponen dinding sel

    merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga

    moderator kemampuan bakterisidal makrofag.

    Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.

    Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang

    lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang

    terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),

    tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi

    luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum

    penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta

    dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif

    tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.

    http://www.standford.edu/
  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    40/126

    Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta . M

    leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann, terutama

    dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling

    aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen

    apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan

    penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel Schwann juga

    merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari jalur erbB2

    reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari demielinasi pada kusta.

    Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon

    kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang terinfeksi

    oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik. [5]

    Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel

    endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M

    leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh

    dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.

    Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I

    reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun

    pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi

    menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf

    terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.

    Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai

    dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler

    (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS

    rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1

    Reaksi Kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit kusta yang

    sebenarnya sangat kronik dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di

    kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih

    bermacam-macam.

    Reaksi kusta terbagi atas dua tipe reaksi menurut hipersensitifitas yang

    menyebabkannya:

    3. Reaksi tipe 1 disebabkan reaksi hipesensitifitas selular

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    41/126

    4. Reaksi tipe 2 disebabkan hipersensitifitas humoral

    Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk

    reaksi tipe 2 yang lebih berat.

    Dari segi imunologisnya terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu

    pada reaksi tipe 1 atau reaksi reversalatau reaksi upgrading yang memegang peranan adalah

    imunitas selular, sedangkan pada reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL)yang

    memegang peranan adalah imunitas humoral.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    42/126

    Diunduh dari sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.fullpada tanggal 13 september 2013

    pukul 16.00

    Menurut Ridley dan Jopling spectrum kusta terdiri atas 5 tipe yaitu: TT, BT, BB, BL,

    LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang stabil, sedangkan

    yang lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Disamping tipe-tipe tersebut

    terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT

    maupun LL, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti

    TT dan LL, tetapi imunitasnya tidak stabil).

    http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.fullhttp://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full
  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    43/126

    Semakin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki seseorang pasien kusta, semakin tinggi

    jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas tinggi sukar sekali menemukan

    basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir atau tidak mempunyai imunitas, dengan mudah basil

    dapat ditemukan.5

    II.4. 1 Reaksi Tipe 1

    Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading hanya dapat terjadi

    pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang

    memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi

    peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti,

    diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi

    peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit,

    umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah

    TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti

    dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke

    arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

    Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity

    reaction seperti halnya reaksi hipersensitifitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen

    yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi

    dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe 1

    terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas (SIS) dan basil. Dengan demikian

    sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading / reversal, apabila menuju kearah

    tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk

    lepromatosa (terjadi penurunan SIS). 7

    Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan sebagai reaksi reversal oleh

    karena paling sering ditemui terutama pada kasus-kasus yang mendapat pengobatan,

    sedangkan down grading reaction lebih jarang ditemui oleh karena berjalan lebih lambat

    dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.

    Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta

    yang subpolar, tetapi pada bentuk BB lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    44/126

    Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk

    TTs sedangkan bila down grading akan menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs.

    Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada

    bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat.

    Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau

    tidak disertai neuritis tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat

    pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosinya juga disesuaikan dengan berat

    ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 40-

    60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya

    dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurani terjadinya kerusakan saraf secara

    mendadak.

    Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang

    telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat.

    Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi

    macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah

    luas. Jadi kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular)

    sedangkan reversaltanpa nodus (reaksi non-nodular).

    II.4.2 Reaksi Tipe 2

    Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa

    fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM,

    IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan

    reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan

    terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit

    kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi

    dapat terbentuk.

    ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi

    karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen

    yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen.

    Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    45/126

    melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena

    dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible.

    Reaksi tipe 2 ini dikenal dengan nama eritema nodusun leprosum (ENL).

    Berbeda dengan reaksi kusta tipe 1 atau reaksi reversalyang hanyadapat terjadi pada tipe

    borderline (Li, BL, BB, BT, T), sedangkan pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. ENL

    merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 3 menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari

    produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk komplek Ag-Ab.

    Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL

    merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun.

    Terutama terjadi pada LL dan LLs dan kadang-kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai

    gejala-gejala sistemik. Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungan dengan pemberian

    pengobatan antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama

    pengobatan, tapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular.

    Tidak terlihat gambaran perubaha lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1 (SIS

    tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spectrum pun tetap.

    Obat yang paling sering dipakai untuk menangani reaksi ini adalah tablet

    kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi,

    biasanya prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin beratnya reaksi makin

    tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai

    dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.

    Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri

    dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat

    menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan

    nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari

    ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.6

    II. 5 Gejala Klinis

    2. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline)

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    46/126

    Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan selular secara cepat.

    Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui

    secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

    d. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), atau

    gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).

    e. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan atas: reaksi ringan dan

    reaksi berat.

    f. Perjalanan reaksi 6 12 minggu atau lebih.

    Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I

    Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat

    4. Lesi Kulit Tambah aktif, menebal merah,teraba panas dan nyeri tekan.

    Makula yang menebal dapat sampai

    membentuk plaque

    Lesi membengkak sampai ada yangpecah, merah, teraba panas dan nyeri

    tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan

    kaki membengkak, sendi-sendi sakit.

    Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan

    gangguan fungsi.

    Nyeri tekan, dan/atau gangguan fungsi,

    misalnya kelemahan otot.

    Kulit dan

    saraf

    bersama -

    sama

    Lesi yang telah ada menjadi lebih

    eritematosa, nyeri pada saraf.Berlangsung kurang dari 6 minggu.

    Lesi kulit yang eritematosa disertai

    ulserasi atau edema pada tangan/kaki.

    Saraf membesar, nyeri, dan fungsiterganggu. Berlangsung sampai 6

    minggu atau lebih.Tabel 1: Perbedaan reaksi brat dan reaksi ringan pada eksi tipe satu, sumber: ( buku pedoman nasional

    pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)

    Jika ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf, dikategorikan sebagai

    Reaksi Berat.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    47/126

    Gambar 4: Manifestasi reaksi kusta tipe 1. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health

    Problem; Geneva: 2007)

    5. Reaksi tipe II (reaksi ENL, reaksi eritema nodosum leprosum)Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, di mana basil kusta yang

    utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen

    sebagai respons adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen + antibodi +

    komplemen = Immunokompleks.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    48/126

    - Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul pada kulit yang

    multiple berupa nodus eritema yang dikenal sebagai erirema nodosum leprosum (ENL),

    mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi

    seperti demam dan malaise, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah. Bila

    mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,

    limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga

    dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara

    imunologik pula.

    - Perjalanan reaksi biasanya berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul

    berulang-ulang dan berlangsung lama.

    - Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat.2

    Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I

    Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat

    Lesi Kulit Nodul yang nyeri tekan

    jumlahnya sedikit, biasanya

    hilang sendiri dalam 2 3

    hari

    Nodul nyeri tekan, ada yang

    pecah (Ulseratif), jumlah

    banyak, berlangsung lama.

    Keadaan Umum Tidak ada demam atau

    demam ringan

    Demam ringan sampai berat

    Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan atau

    gangguan fungsi

    Ada nyeri tekan, terjadi

    gangguan fungsi

    Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan pada

    organ-organ tubuh seperti

    Mata (Iridocyclitis), Testis

    (Epididymoorchitis), Ginjal

    (Nephritis), Sendi (Arthritis),

    Kelenjar Limfe

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    49/126

    (Limphadenitis), Gangguang

    pada tulang, hidung dan

    tenggorokan.

    Tabel 2: Perbedan reaksi ringan dan reaksi berat pada reaksi kusta tipe 2. Sumber: (( buku pedoman nasional

    pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    50/126

    Gambar 5: Manifestasi reaksi kusta tipe 2. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health

    Problem; Geneva: 2007)

    6. Fenomena Lucio

    Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta

    tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,

    bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,

    kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    51/126

    purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi

    lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.

    Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan

    nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah

    lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak

    ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak

    deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1

    Gambar 6: Manifestasi fenomena lucio. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health

    Problem; Geneva: 2007)

    II.6 Klasifikas Kusta

    Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table dibawah ini 1:

    Klasifikasi Zona spektrum kusta

    Ridley & Jopling TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL

    Madrid Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa

    WHO Pausibasilar, Multibasilar

    Puskesmas Pausibasilar, Multibasilar

    Tabel 3: Zona spectrum kusta.. Sumber: (WHO, Committee of Leprosy Cure, Manual of Leprosy, Geneva:2000)

    Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit

    lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu :

    TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    52/126

    Ti : tuberkuloid indefinite

    BT: borderline tuberculoid

    BB:Mid borderline

    Bl : borderline lepromatous

    Li : lepromatosa indefinite

    LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

    TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak

    mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%.

    Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara

    tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa.

    BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.

    Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun

    ke arah LL.

    Menurut WHO (1981), lepra dibahi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar

    (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+,

    yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil

    dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1

    Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang

    dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe

    TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun

    klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 3

    Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    53/126

    Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1

    Sifat Lepromatosa (LL) Borderline

    Lepromatosa (BL)

    Mid Borderline (BB)

    Lesi

    Bentuk Makula

    Infiltrat difus

    Papul

    Nodus

    Makula

    Plakat

    Papul

    Plakat

    Dome-shape (kubah)

    Punched-out

    Jumlah Tidak terhitung, praktis

    tidak ada kulit sehat

    Sukar dihitung, masih

    ada kulit sehat

    Dapat dihitung, kulit

    sehat jelas ada

    Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

    Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak

    berkilat

    Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

    Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

    BTA

    Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

    Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif

    Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

    PB MB

    3. Lesi kulit

    (makula datar, papul

    yang meninggi, nodus)

    - 1-5 lesi

    - Hipopigmentasi/eritema

    - Distribusi tidak simetris- Hilangnya sensasi jelas

    - > 5 lesi

    - Distribusi

    lebih simetris- Hilangnya

    sensasi kurang jelas

    4. Kerusakan saraf

    (menyebabkan hilangnya

    sensasi/kelemahan otot

    yang dipersarafi oleh

    saraf yang terkena)

    - Hanya satu cabang

    saraf

    - Banyak

    cabang saraf

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    54/126

    Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1

    II. 7 Diagnosa

    Karakteristik Tuberkuloid

    (TT)

    Borderline

    Tuberculoid (BT)

    Indeterminate (I)

    Lesi

    Tipe Makula ; makula

    dibatasi infiltrat

    Makula dibatasi

    infiltrat saja; infiltrat

    saja

    Hanya Infiltrat

    Jumlah Satu atau dapat

    beberapa

    Beberapa atau satu

    dengan lesi satelit

    Satu atau beberapa

    Distribusi Terlokalisasi &

    asimetris

    Asimetris Bervariasi

    Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak

    berkilat

    Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat

    tidak jelas

    Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak

    jelas

    BTA

    lesi kulit Hampir selalu

    negatif

    Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

    Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau

    negatif

    Pemeriksaan

    Bakterioogis

    Pemeriksaan

    Histo-patologi

    PemeriksaanTanda-tandaAnamnesa

    DIAGNOSA

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    55/126

    Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal (tanda utama), yaitu :

    4. Bercak kulit yang mati rasa :

    Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, medatar (macula) atau meninggi (plak). Mati

    rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa

    nyeri.

    5. Penebalan saraf tepi :

    Dapat disertai rasa nyeri dan dpat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang

    terkena, yaitu :

    d. Gangguan funsi sensoris : mati rasa

    e. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

    f. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang

    terganggu.

    6. Ditemukan kuman tahan asam

    Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang

    aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf.

    Untuk menegakkan diagnose paling idak harus ditemukan satu tanda karidinal, jika tidak

    pemeriksan diulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakan atau disingkirkan.1

    E. Anamnesis

    - Keluhan pasien

    - Riwayat kontak dengan pasien

    - Latar belakang keluarga, misalnya keadaan social ekonomi

    F. Pemeriksaan Fisik :

    - Inspeksi : dengan penerangg baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan

    kulit.

    - Palpasi :

    Kelainan kulit : nodus, infiltrate, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan

    dan kaki

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    56/126

    Kelainan saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N.

    Aurikularis magnus, N. Ulnaris, N. Peroneus. Periksa dengan teliti apabila ada

    nyeri tekan dan juga penebalan saraf. Perhatikan raut wajah pasien, apakah

    kesakitan atau tidak pada waktu saraf di raba.3

    Pada waktu melakukan pemeriksaan saraf tepi ingat untuk membandingkan sisi kanan

    dan kiri, apakah ada pembesaran atau tidak, pembesaran regular (smooth) atau irregular

    (bergumpal), terasa keras atau kenyal, dan ada nyeri atau tidak. Cara pemeriksaan saraf

    tepi sebagai berikut :

    d. N. Aurikularis Magnus :

    Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mngkin, maka saraf yang terlibat

    akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bias terlihat bila saraf

    membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut

    dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan

    menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan antara yang kiri dengan

    yang kanan.

    e. N. Ulnaris :

    Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas

    satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan siku (sulkus N.

    ulnaris)ndan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Bandingkan antara yang

    kanan dan yang kiri.

    f. N. Paroneus lateralis:

    Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari

    capitulum fibulae. Biasanya sedikit ke posterior.

    Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, seringkali asien merasa seperti

    terkena setrum. Pada kasus neuritis akut sentuhan yang sedikit sudah dapat

    menimbulkan nyeri hebat.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    57/126

    - Tes fungsi saraf

    d. Tes sensoris : gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hagat dan

    dingin.

    Rasa raba : sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk

    memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya ke kulit.

    Pasien harus dalam keadaan duduk. Saat dilakukan tes perabaan pasien

    diminta untuk menunjukkan daerah yang telah diraba. Untuk memastikan

    hasil yang objektif pasien dapat disruh menutup mata atau ditutup dengan

    kain. Pada bercak-bercak yang ada dilakukan pemeriksan raba pada bagian

    tengahnya bukan pada bagian pinggirnya.

    Rasa nyeri : dengan menggunakan jarum petugas menusuk kulit pasien

    dengan ujung jarum yang tajam dan tangkai jarum yang tumpul. Pasien

    diminta untuk mengatakan tusukan mana yang tajam dan yang tum\pul.

    Rasa suhu: dilakukan dengan memakai dua tabung reaksi, yang satu berisi

    air hangat (40 0C) dan yang satu berisi air dingin (20 0C). mata pasien di

    tutup. Sebelumnya dilakukan tes pada kulit yang normal untuk

    memastikan bahwa pasien pada awalnya tidak memiliki kelainan

    sensibilitas (sebelun terinfeksi). Tabung disentuhkan secara bergilir dan

    pasien diminta untuk mengatakan yang mana yang panas dan yang dingin.

    e. Tes otonom :

    Berdasarkan adanya ganggaun berkeringat di macula anestesi pada penyakit

    kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

    Tes dengan pensil tinta (tes gunawan) : pensil tinta digariskan mulai dari

    bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.

    Pasien disuruh beraktivitas dan jika pada daerah lesi tinta utuh tidak

    terhapus keringa berarti tes positif.

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    58/126

    Tes pilocarpin : daerah kulit pada macula dan perbatsannya diuntik dengan

    pilocarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal

    berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.

    f. Tes motoris :

    Voluntary Muscle Test(VMT)

    Cara memeriksa:

    Mula-mula periksa gerakan seperti ditunjukkan oleh tanda panah hitam

    pada gambar. Perhatikan apakah pasien dapat melakukan dengan baik dan

    tanpa bantuan.

    Periksa tahanan yang diberikan sebagai respon oleh pasien. Kerjakan

    pemeriksaan ini jika gerakan pasien sempurna atau mendekati, lakukan

    perlahan-lahan, pasien jangan dikejutkan, jangan paksa pasien sampai

    berubah posisi amati perubahan posisi dan kekuatan menahan pasien

    apakaha normal, berkuang, atau tidak ada sama sekali. Bandingkan selalku

    kaki dan angan pasien yang kanan dan yang kiri. 1

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    59/126

  • 7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc

    60/126

    G. Pemeriksaan Histopatologis

    Diagnosis kusta melalui pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan melalui pemeriksaan

    bakterioskopis. Sediaan biasanya diambil pada daerah yang paling aktif dimna j