7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
1/126
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia, dikenal sejak tahun satu setengah
millennium yang lalu penyakit ini menimbulkan tantangan yang besar bagi pemerintah di
Negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Pemerintah mencanangkan program
penurunan angka kesakitan kusta menjadi lebih kecild dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun
2000 merupakan salah satu usaha untuk eradikasi kusta di Indonesia. Salah satu kendala yang
masih perlu mendapat perhatian adalah penanganan reksi lepra. Reaksi lepra meskipun sering
dianggap lumrah karena merapakan bagian dari proses perjalanan penyakit itu sendiri terkadang
dapat menimbulkan kondisi yang parah hingga dapat digolongkan sebagai komplikasi sehinggapengetahuan yang cukup srta pengembangan keterampilan pada penanganan reaksi kusta
sangatlah penting dan diperlukan
I.2 Tujuan
- Memberikan gambaran mengenai perjalan penyakit kusta
- Memberikan penjelasan terkait penggolongan reaksi kusta dan reaksi kusta itu sendiri
- Menjelaskan cara diagnose dan penatalaksanaan reaksi kusta
I.3 Manfaat
- Menambah wawasan pembaca mengenai penyakit kusta- proses perjalanan penyakit, reaksi
kusta dan cara mendiagnosis serta tatalaksananya
- Referat ini dapat menjadi rangkuman kecil untuk reaksi penyakit kusta dari beberapa sumber
yang digunakan sebagai acuan
I.4 Pokok Masalah
- Apa itu penyakit kusta ?
- Bagaimana patofisiologi penyakit kusta ?
- Apa itu reaksi kusta ?
- Bagaimana cara mendiagnosis penyakit kusta ?
- Bagaimana penatalaksanaan penyakit kusta ?
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
2/126
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat (Kosasih, 2002).
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis
penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respons selular) atau reaksi antigen-antibodi
(respons humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum
mendapat pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6
bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.
II.2 Etiologi
M. leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan
oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan
asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5, biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan.1
Gambar 1: Mycobacterium leprae, sumber : (http://www.ciriscience.org/ph_130-
Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy)
http://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
3/126
II.3 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum diketahui
pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup
beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada
yang mengatakan antara 40 hari 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah
patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian
genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan
kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.
Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya
kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai
1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107, daya
penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan.
Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang
didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus
respiratorius atas. Dfapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di
Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 13%, tetapi anak di bawah umur 1
tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor social
ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin subur penyakit
kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis dan
subtropics yang panas dan lembab. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan
ditakutimoleh karena adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat
kerusakan saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta
dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis dan atrofi
otot. 2
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
4/126
Gambar 2: Distribusi penyakit kusta di dunia menurut geografi, pada tahun 2006. (Sumber: Standford
Summary of Worldwide Leprosy, 2007 ; www.standford.edu, disadur ke dalam Pedoman Nasional Pengendalian
Kusta 2007 )
II.4 Patofisiologi
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu
penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan
penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka.
Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak
dekat adalah yang paling rentan.
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rataadalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa.
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput
lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah
tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana
imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian,
http://www.standford.edu/http://www.standford.edu/7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
5/126
penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan
pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.4
M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan
afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat
mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam
lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon
kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya,
pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal.
Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan
penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme, mikroorganisme
mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri. Komponen dinding sel
merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga
moderator kemampuan bakterisidal makrofag.
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.
Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang
lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang
terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),
tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi
luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum
penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta
dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif
tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.
Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta . M
leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann, terutama
dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling
aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen
apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan
penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel Schwann juga
merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari jalur erbB2
reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari demielinasi pada kusta.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
6/126
Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon
kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang terinfeksi
oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik. [5]
Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel
endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M
leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh
dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.
Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I
reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun
pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi
menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf
terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.
Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler
(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1
Reaksi Kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit kusta yang
sebenarnya sangat kronik dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di
kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih
bermacam-macam.
Reaksi kusta terbagi atas dua tipe reaksi menurut hipersensitifitas yang
menyebabkannya:
1. Reaksi tipe 1 disebabkan reaksi hipesensitifitas selular
2. Reaksi tipe 2 disebabkan hipersensitifitas humoral
Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk
reaksi tipe 2 yang lebih berat.
Dari segi imunologisnya terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu
pada reaksi tipe 1 atau reaksi reversalatau reaksi upgrading yang memegang peranan adalah
imunitas selular, sedangkan pada reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL)yang
memegang peranan adalah imunitas humoral.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
7/126
Diunduh dari sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.fullpada tanggal 13 september 2013
pukul 16.00
Menurut Ridley dan Jopling spectrum kusta terdiri atas 5 tipe yaitu: TT, BT, BB, BL,
LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang stabil, sedangkan
yang lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Disamping tipe-tipe tersebut
terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT
maupun LL, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti
TT dan LL, tetapi imunitasnya tidak stabil).
http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.fullhttp://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
8/126
Semakin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki seseorang pasien kusta, semakin tinggi
jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas tinggi sukar sekali menemukan
basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir atau tidak mempunyai imunitas, dengan mudah basil
dapat ditemukan.5
II.4. 1 Reaksi Tipe 1
Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading hanya dapat terjadi
pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang
memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi
peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti,
diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi
peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit,
umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah
TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti
dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke
arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity
reaction seperti halnya reaksi hipersensitifitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen
yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi
dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe 1
terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas (SIS) dan basil. Dengan demikian
sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading / reversal, apabila menuju kearah
tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk
lepromatosa (terjadi penurunan SIS). 7
Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan sebagai reaksi reversal oleh
karena paling sering ditemui terutama pada kasus-kasus yang mendapat pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang ditemui oleh karena berjalan lebih lambat
dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
9/126
Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk
TTs sedangkan bila down grading akan menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat.
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tidak disertai neuritis tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosinya juga disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 40-
60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya
dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurani terjadinya kerusakan saraf secara
mendadak.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi
macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah
luas. Jadi kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular)
sedangkan reversaltanpa nodus (reaksi non-nodular).
II.4.2 Reaksi Tipe 2
Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM,
IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan
reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan
terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit
kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi
dapat terbentuk.
ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi
karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen
yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen.
Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
10/126
melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena
dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible.
Reaksi tipe 2 ini dikenal dengan nama eritema nodusun leprosum (ENL).
Berbeda dengan reaksi kusta tipe 1 atau reaksi reversalyang hanyadapat terjadi pada tipe
borderline (Li, BL, BB, BT, T), sedangkan pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. ENL
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 3 menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari
produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk komplek Ag-Ab.
Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL
merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun.
Terutama terjadi pada LL dan LLs dan kadang-kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai
gejala-gejala sistemik. Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungan dengan pemberian
pengobatan antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama
pengobatan, tapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular.
Tidak terlihat gambaran perubaha lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1 (SIS
tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spectrum pun tetap.
Obat yang paling sering dipakai untuk menangani reaksi ini adalah tablet
kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi,
biasanya prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin beratnya reaksi makin
tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai
dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan
nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari
ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.6
II. 5 Gejala Klinis
1. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline)
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
11/126
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan selular secara cepat.
Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui
secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
a. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), atau
gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).
b. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan atas: reaksi ringan dan
reaksi berat.
c. Perjalanan reaksi 6 12 minggu atau lebih.
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
1. Lesi Kulit Tambah aktif, menebal merah,teraba panas dan nyeri tekan.
Makula yang menebal dapat sampai
membentuk plaque
Lesi membengkak sampai ada yangpecah, merah, teraba panas dan nyeri
tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan
kaki membengkak, sendi-sendi sakit.
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan
gangguan fungsi.
Nyeri tekan, dan/atau gangguan fungsi,
misalnya kelemahan otot.
Kulit dan
saraf
bersama -
sama
Lesi yang telah ada menjadi lebih
eritematosa, nyeri pada saraf.Berlangsung kurang dari 6 minggu.
Lesi kulit yang eritematosa disertai
ulserasi atau edema pada tangan/kaki.
Saraf membesar, nyeri, dan fungsiterganggu. Berlangsung sampai 6
minggu atau lebih.Tabel 1: Perbedaan reaksi brat dan reaksi ringan pada eksi tipe satu, sumber: ( buku pedoman nasional
pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)
Jika ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf, dikategorikan sebagai
Reaksi Berat.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
12/126
Gambar 4: Manifestasi reaksi kusta tipe 1. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health
Problem; Geneva: 2007)
2. Reaksi tipe II (reaksi ENL, reaksi eritema nodosum leprosum)Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, di mana basil kusta yang
utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen
sebagai respons adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen + antibodi +
komplemen = Immunokompleks.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
13/126
- Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul pada kulit yang
multiple berupa nodus eritema yang dikenal sebagai erirema nodosum leprosum (ENL),
mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi
seperti demam dan malaise, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah. Bila
mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,
limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga
dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara
imunologik pula.
- Perjalanan reaksi biasanya berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul
berulang-ulang dan berlangsung lama.
- Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat.2
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
Lesi Kulit Nodul yang nyeri tekan
jumlahnya sedikit, biasanya
hilang sendiri dalam 2 3
hari
Nodul nyeri tekan, ada yang
pecah (Ulseratif), jumlah
banyak, berlangsung lama.
Keadaan Umum Tidak ada demam atau
demam ringan
Demam ringan sampai berat
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan atau
gangguan fungsi
Ada nyeri tekan, terjadi
gangguan fungsi
Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh seperti
Mata (Iridocyclitis), Testis
(Epididymoorchitis), Ginjal
(Nephritis), Sendi (Arthritis),
Kelenjar Limfe
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
14/126
(Limphadenitis), Gangguang
pada tulang, hidung dan
tenggorokan.
Tabel 2: Perbedan reaksi ringan dan reaksi berat pada reaksi kusta tipe 2. Sumber: (( buku pedoman nasional
pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
15/126
Gambar 5: Manifestasi reaksi kusta tipe 2. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health
Problem; Geneva: 2007)
3. Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,
bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
16/126
purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi
lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah
lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak
ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak
deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1
Gambar 6: Manifestasi fenomena lucio. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health
Problem; Geneva: 2007)
II.6 Klasifikas Kusta
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table dibawah ini 1:
Klasifikasi Zona spektrum kusta
Ridley & Jopling TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL
Madrid Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa
WHO Pausibasilar, Multibasilar
Puskesmas Pausibasilar, Multibasilar
Tabel 3: Zona spectrum kusta.. Sumber: (WHO, Committee of Leprosy Cure, Manual of Leprosy, Geneva:2000)
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit
lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu :
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
17/126
Ti : tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB:Mid borderline
Bl : borderline lepromatous
Li : lepromatosa indefinite
LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%.
Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa.
BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.
Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun
ke arah LL.
Menurut WHO (1981), lepra dibahi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar
(PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+,
yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil
dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe
TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 3
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
18/126
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline
Lepromatosa (BL)
Mid Borderline (BB)
Lesi
Bentuk Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-shape (kubah)
Punched-out
Jumlah Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat
Sukar dihitung, masih
ada kulit sehat
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif
PB MB
1. Lesi kulit
(makula datar, papul
yang meninggi, nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/eritema
- Distribusi tidak simetris- Hilangnya sensasi jelas
- > 5 lesi
- Distribusi
lebih simetris- Hilangnya
sensasi kurang jelas
2. Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
- Hanya satu cabang
saraf
- Banyak
cabang saraf
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
19/126
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1
II. 7 Diagnosa
Karakteristik Tuberkuloid
(TT)
Borderline
Tuberculoid (BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Tipe Makula ; makula
dibatasi infiltrat
Makula dibatasi
infiltrat saja; infiltrat
saja
Hanya Infiltrat
Jumlah Satu atau dapat
beberapa
Beberapa atau satu
dengan lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi Terlokalisasi &
asimetris
Asimetris Bervariasi
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
lesi kulit Hampir selalu
negatif
Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau
negatif
Pemeriksaan
Bakterioogis
Pemeriksaan
Histo-patologi
PemeriksaanTanda-tandaAnamnesa
DIAGNOSA
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
20/126
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal (tanda utama), yaitu :
1. Bercak kulit yang mati rasa :
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, medatar (macula) atau meninggi (plak). Mati
rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa
nyeri.
2. Penebalan saraf tepi :
Dapat disertai rasa nyeri dan dpat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu :
a. Gangguan funsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnose paling idak harus ditemukan satu tanda karidinal, jika tidak
pemeriksan diulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakan atau disingkirkan.1
A. Anamnesis
- Keluhan pasien
- Riwayat kontak dengan pasien
- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan social ekonomi
B. Pemeriksaan Fisik :
- Inspeksi : dengan penerangg baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan
kulit.
- Palpasi :
Kelainan kulit : nodus, infiltrate, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan
dan kaki
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
21/126
Kelainan saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N.
Aurikularis magnus, N. Ulnaris, N. Peroneus. Periksa dengan teliti apabila ada
nyeri tekan dan juga penebalan saraf. Perhatikan raut wajah pasien, apakah
kesakitan atau tidak pada waktu saraf di raba.3
Pada waktu melakukan pemeriksaan saraf tepi ingat untuk membandingkan sisi kanan
dan kiri, apakah ada pembesaran atau tidak, pembesaran regular (smooth) atau irregular
(bergumpal), terasa keras atau kenyal, dan ada nyeri atau tidak. Cara pemeriksaan saraf
tepi sebagai berikut :
a. N. Aurikularis Magnus :
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mngkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bias terlihat bila saraf
membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut
dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan
menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan antara yang kiri dengan
yang kanan.
b. N. Ulnaris :
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas
satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan siku (sulkus N.
ulnaris)ndan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Bandingkan antara yang
kanan dan yang kiri.
c. N. Paroneus lateralis:
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitulum fibulae. Biasanya sedikit ke posterior.
Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, seringkali asien merasa seperti
terkena setrum. Pada kasus neuritis akut sentuhan yang sedikit sudah dapat
menimbulkan nyeri hebat.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
22/126
- Tes fungsi saraf
a. Tes sensoris : gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hagat dan
dingin.
Rasa raba : sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya ke kulit.
Pasien harus dalam keadaan duduk. Saat dilakukan tes perabaan pasien
diminta untuk menunjukkan daerah yang telah diraba. Untuk memastikan
hasil yang objektif pasien dapat disruh menutup mata atau ditutup dengan
kain. Pada bercak-bercak yang ada dilakukan pemeriksan raba pada bagian
tengahnya bukan pada bagian pinggirnya.
Rasa nyeri : dengan menggunakan jarum petugas menusuk kulit pasien
dengan ujung jarum yang tajam dan tangkai jarum yang tumpul. Pasien
diminta untuk mengatakan tusukan mana yang tajam dan yang tum\pul.
Rasa suhu: dilakukan dengan memakai dua tabung reaksi, yang satu berisi
air hangat (40 0C) dan yang satu berisi air dingin (20 0C). mata pasien di
tutup. Sebelumnya dilakukan tes pada kulit yang normal untuk
memastikan bahwa pasien pada awalnya tidak memiliki kelainan
sensibilitas (sebelun terinfeksi). Tabung disentuhkan secara bergilir dan
pasien diminta untuk mengatakan yang mana yang panas dan yang dingin.
b. Tes otonom :
Berdasarkan adanya ganggaun berkeringat di macula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
Tes dengan pensil tinta (tes gunawan) : pensil tinta digariskan mulai dari
bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.
Pasien disuruh beraktivitas dan jika pada daerah lesi tinta utuh tidak
terhapus keringa berarti tes positif.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
23/126
Tes pilocarpin : daerah kulit pada macula dan perbatsannya diuntik dengan
pilocarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal
berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.
c. Tes motoris :
Voluntary Muscle Test(VMT)
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan seperti ditunjukkan oleh tanda panah hitam
pada gambar. Perhatikan apakah pasien dapat melakukan dengan baik dan
tanpa bantuan.
Periksa tahanan yang diberikan sebagai respon oleh pasien. Kerjakan
pemeriksaan ini jika gerakan pasien sempurna atau mendekati, lakukan
perlahan-lahan, pasien jangan dikejutkan, jangan paksa pasien sampai
berubah posisi amati perubahan posisi dan kekuatan menahan pasien
apakaha normal, berkuang, atau tidak ada sama sekali. Bandingkan selalku
kaki dan angan pasien yang kanan dan yang kiri. 1
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
24/126
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
25/126
C. Pemeriksaan Histopatologis
Diagnosis kusta melalui pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan melalui pemeriksaan
bakterioskopis. Sediaan biasanya diambil pada daerah yang paling aktif dimna jumlah
pengambilan sediaan jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu
cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, serta pada bagian tubuh dengan lesi paling
aktif.3
Cara pembuatan :
Daerah/ruam yang hendak di toreh dibersihkan dengan alcohol. Kemudian dijepit
kuat dengan telunjuk dan jempol kiri pemeriksa untuk menghilangkan perdarahan dan
mengurangi rasa sakit. Dengan tangan kanan pemeriksa, jaringan/kulit yang terjepit di
toreh sedalam 3-5mm sepanjang kurang lebih 1 cm, darah yang keluar dibersihkan.
Kemudian dengan satu sisi tajam pisau torehan dikerok, pisau diputar 180 derajat dan
sayatn dikerok kea rah sebaliknya di saat yang bersamaan daerah harus terus dijepit.
Hasil kerokan pada pisau toreh segera dihapuskan pada gelas objek. Pada satu gelas objek
dapat dibuat bebeapa apusan dari tmpat yang berbeda. Preparat apusan dipulas dengan
ziehl-Neelsen dan dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan minyak emersi dan
dihitung dengan menggunakan indeks bakteri.
D. Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M.leprae mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternative yang paling diharapkan. Beberapa tes serologis
yang banyak digunakan untuk mendiagnosis penyakit kusta, antara lain :
1. Tes FLA-ABS
2. Tes ELISA
3. Tes MLPA (untuk mengukur titer antibody Ig G yang telah terbentuk di dalam
tubuh pasien. Titer dapat ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif).2
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
26/126
II.8 Penatalaksanaan
Non farmakologis :
- Menjaga kebersihan tubuh dan lingkugan
- Menjaga asupan makan agar tetap mengandung gizi dan nutisi yang cukup untuk
menjaga daya tahan tubuh
Farmakologis : Regimen MDT :
Terapi untuk kusta tipe PB pada dewasa :
1x dalam satu bulan: hari 1
. 2 kapsul rifampisin (300mg x 2)
. 1 tablet dapsone (100mg)
1x dalam satu hari : hari 2-28
. 1 tablet dapsone (100mg)
Paket penuh : 6 paket blister
Terapi untuk kusta tipe PB pada anak (10-14th):
1 x dalam satu bulan: hari 1
. 2 kapsul rifampisin (300mg + 150mg)
. 1 tablet dapsone (50mg)
1 x dalam satu hari : hari 2-28
. 1 table dapsone (50mg)
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
27/126
Paket penuh : 6 paket blister.
Untuk anak kurang dari 10 th, dois harus disesuaikan
Dengan berat badan.
Terapi untuk kusta tipe MB untuk dewasa
1x dalam satu bulan : hari 1
. 2 kapsul rifampisin (300mg x 2)
. 3 kapsul clofazimin (100mg x 3)
. 1 tablet dapsone (100mg)
1x dalam satu hari : hari 2-28
. 1 kapsul clofazimin (50mg)
. 1 tablet dapsone (100mg)
Paket penuh : 12 paket blister
Terapi untuk kusta tipe MB pada anak (10-14 th ):
1x dalam satu bulan : hari 1
. 2 kapsul rifampisin (300mg + 150mg)
. 3 kapsul clofazimin (50 mg x 3)
. 1 tablet dapsone (50mg)
1x dalam satu hari : hari 2-28
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
28/126
. 1 kapsul clofazimin setiap hari (50mg)
. 1 tablet dapsone (50mg)
Paket penuh : 12 paket blister
Bagi anak kurang dari 10 tahun, dosisharus disesuaikan
Dengan berat badan. 7
Pengobata Reaksi Kusta
Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk :
- Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau
kontraktur.
- Secepatnya dilakukn tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila mnegenai mata.
- Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas
- Menatasi rasa nyeri
Prinsip pengibatan reaksi kusta :
1. Pemberian obat antireaksi
2. Itirahat atau imobilisasi
3. Analgetik, sedative untuk mengatasi rasa nyeri
4. Obat antikusta yang sudah diberikn diteruskan
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra-indikasi, sema obat anti-kusta dosis
penuh harus tetap diberikan:
- Untuk membunuh kuman agr penyakit tidak mluas
- Untuk mencegah timbulnya resistensi
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
29/126
- Dengan menghentikan obat anti-kusta saat pengobatan reaksi, kadangkadang justru
menimbulkan reaksi pada waktu pengobatan anti-kusta tersebut dilakukan kembali.
A. Pengobatan reaksi ringan
Non medikamentosa
Istirahat, imobilisasi, berobat jalan.
Medikamentosa
- Aspirin : masih merupakan obat terbaik dan murah untuk mengtasi rasa nyeri dan
sebagai nti radang. Dosis yang dianjurkan 600-1200 mg diberikan tiap 4 jam, 4
sampai 6 kali sehari.
- Klorokuin: kombinasi aspirin dan klorokuin memiliki khasiat lebih baik dbanding
pemberian tunggal. Dosis 3 x 500mg/hr. efek toksik pada penggunaan jangka panjang
dapat berupa: ruam pada kulit, fotosensitisasi serta gangguan gastro-intestinal,
pengelihatan dan pendengaran.
- Antimon: Stibophen berisi 8,5mg antimony per ml. dosis:2-3 ml dibrikan secara
selang-seling, dosis total tidak melebihi 30 ml. digunakan pada reaksi tipe 2 yang
ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi-sendi dan tulang. Efek samping : ruam pada
kulit, bradikardi, hipotensi. Kini jarang dipakai karena efeknya toksiknya kuat.
- Talidomid: digunakan untuk mnegatasi reaksi tipe 2 agar dapat melepaskan
ketergantugan pada kortikosteroid. Dosis: mula-mula diberikan 400mg/hr sampai
reaksi teratasi, kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50mg/hr. tidak
dianjurkan diberikan pada wanita usia subur. 2
B. Pengobatan reaksi berat
Segera rujuk ke rumah sakit untuk prawatan. Untuk reaksi tipe 1 harus segera diberikan
kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe 2 dapat diberikan klofazimin, talidomid, dan
kortikosteroid sendiri-sendiri atau kombinasi. Mengenai dosis, cara maupun lama
pengobatan reaksi kusta sangat bervariasi sehingg belum ada dosis baku.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
30/126
Cara pemberian kortikosteroid :
- Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang
- Gunakan prednisone atau predniolon
- Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari
- Dosis diturunkan setelah respons maksimal
- Dosis steroid dapat dimulai antara 30-80mg prednisone/ hari dan diturunkan 5-
10mg/2 minggu, sebagai berikut:1
2 mg I : 30mg/hr
2mg II : 20mg/hr
2mg III : 15mg/hr
2mg IV : 10mg/hr
2mg V : 5mg/hr
II. 9 Rehabilitasi
Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan sosial. Usaha medis
yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya
tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat
diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Terapi kejiwaan berupa
bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat
sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan
menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.
Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang
kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu
pemasaran hasil usaha pasien.7
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
31/126
II.10 Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat
2. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan
pelacakan
3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita
4. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
a. Tipe PB selama 2 tahun
b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium
5. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan
dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
7. Defaulter
Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka dinyatakan
sebagai Defaulter PB.
Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka dinyatakan
sebagai Defaulter MB.
Tindakan bagi penderita defaulter :
a. Dikeluarkan dari monitoring dan register
b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang, pengobatan
menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat
8. Relaps/ Kambuh
Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk
menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki kemampuan klinis
dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada pemeriksaan ulang BTA
setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau lebih disbanding saat diagnosis
maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam kasus relaps memungkinkan karena kasus
relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita
diobati sesuai hasil pemeriksaan pada saat itu.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
32/126
Catatan :
Untuk mereka yang pernah mendapat pengobatan Dapson monoterapi (sebelum
diperkenalkan MDT) namun kemudian muncul kembali sebagai tanda kusta aktif yang
membutuhkan MDT, maka penderita tersebut dimasukkan dalam kategori relaps.
9. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah
diagnosis, ganti klasifikasi, default.
10. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan pesan
penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke pelayanan
kesehatan.6
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
33/126
BAB III
PENUTUP
1. Reaksi kusta sekalipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor
pencetus sudah diketahui namun hungga kini penyebab pastinya belum dapat diketahui.
2. Reaksi kusta terabagi menjadi dua yakni :
- Reaksi tipe I oleh hipersensitivitas selular
- Reaksi tipe II oleh hipersensitivitas humoral
Dimana kedua reaksi tersebut dapat dibedakan melalui gejala yang ditimbulkan pada
kulit, saraf, dan kulit juga saraf bersama-sama, dimana masing masing reaksi dapat
dikatagorikan lagi menjadi reaksi ringan dan reaksi berat.
3. Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala seperti banyak penykit lain sehingga disebut
sebagi the great imitator, oleh karena itu dalam mendiagnosis kusta dibutuhkan
ketelitian dan pmeriksaan yang menyeluruh untuk mendiagnosanya secara tepat. Dasar
diagnosanya didasarkan pada penemuan 4 tanda cardinal, anamnesis lengkap,
pemeriksaan fisik termasuk didalamnya tes fungsi saraf dan mecari tanda apabila sudah
terjadi kmplikasi, serta pemeriksaan histopatologis atau serologis.
4. Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama untuk :
- Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis
- Mencegah kebutaan apabila penyakit sudah menyerang mata
- Membunuh kuman agar penyakit tidak meluas
- Mengatasi rasa nyeri
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
34/126
Dimana hal di atas dilakukan melalui pemberian obat antireaksi, istirahat atau
imobilisasi, pemberian analgetik atau sedatif untuk mengatasi rasa nyeri, dan melanjutkan
obat antikusta sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Martodihardjo R, Susanto R.S.D,Reaksi Kusta dan Penanganannya, Kusta, Ed. II, p.72-
85, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2003.
2. Departemen Kesehatan R.I. Ditjen PPPL, Buku Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit Kusta, Jakarta;2007.
3. Litiawan M.Y, Agusni I, Martodihardjo S,Morbus Hansen-Reaksi Kusta, Pedoman
Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. III, p. 41-48,
Airlangga Universiy Press, Surabaya; 2005.
4. Kosasih A, Wisnu I.M, Daili E.S.S, Menaldi S.L. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit danKelamin, Ed. VI, p. 73-88, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2010.
5. Murtiastutik D, Ervianty E, Agusni I, Suyoso S, Morbus Hansen, Atlas Penyakit Kulit &
Kelamin, Ed. II, p. 41-54, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP), Surabaya; 2010
6. Guinto R.S, Abalos R.M, Cellona R.V, Fajardo T.T. Atlas Kusta ; disadur dari An Atlas
of Leprosy, Sasakawa Memorial Health Foundation, Dirjen PPM & PL, Jakarta; 2000.
7. World Health Organization, Giude to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem, Ed.
I, Geneva; 2000
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
35/126
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia, dikenal sejak tahun satu setengah
millennium yang lalu penyakit ini menimbulkan tantangan yang besar bagi pemerintah di
Negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Pemerintah mencanangkan program
penurunan angka kesakitan kusta menjadi lebih kecild dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun
2000 merupakan salah satu usaha untuk eradikasi kusta di Indonesia. Salah satu kendala yang
masih perlu mendapat perhatian adalah penanganan reksi lepra. Reaksi lepra meskipun sering
dianggap lumrah karena merapakan bagian dari proses perjalanan penyakit itu sendiri terkadang
dapat menimbulkan kondisi yang parah hingga dapat digolongkan sebagai komplikasi sehingga
pengetahuan yang cukup srta pengembangan keterampilan pada penanganan reaksi kusta
sangatlah penting dan diperlukan
I.2 Tujuan
- Memberikan gambaran mengenai perjalan penyakit kusta
- Memberikan penjelasan terkait penggolongan reaksi kusta dan reaksi kusta itu sendiri
- Menjelaskan cara diagnose dan penatalaksanaan reaksi kusta
I.3 Manfaat
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
36/126
- Menambah wawasan pembaca mengenai penyakit kusta- proses perjalanan penyakit, reaksi
kusta dan cara mendiagnosis serta tatalaksananya
- Referat ini dapat menjadi rangkuman kecil untuk reaksi penyakit kusta dari beberapa sumber
yang digunakan sebagai acuan
I.4 Pokok Masalah
- Apa itu penyakit kusta ?
- Bagaimana patofisiologi penyakit kusta ?
- Apa itu reaksi kusta ?
- Bagaimana cara mendiagnosis penyakit kusta ?
- Bagaimana penatalaksanaan penyakit kusta ?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialahMycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat (Kosasih, 2002).
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis
penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respons selular) atau reaksi antigen-antibodi
(respons humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum
mendapat pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6
bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.
II.2 Etiologi
M. leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan
oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
37/126
asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5, biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan.1
Gambar 1: Mycobacterium leprae, sumber : (http://www.ciriscience.org/ph_130-
Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy)
II.3 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum diketahui
pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup
beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada
yang mengatakan antara 40 hari 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah
patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian
genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan
kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.
Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya
kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai
1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107, daya
penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan.
Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang
didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus
respiratorius atas. Dfapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di
Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 13%, tetapi anak di bawah umur 1
tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor social
ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin subur penyakit
http://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopyhttp://www.ciriscience.org/ph_130-Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
38/126
kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis dan
subtropics yang panas dan lembab. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan
ditakutimoleh karena adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat
kerusakan saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta
dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis dan atrofi
otot. 2
Gambar 2: Distribusi penyakit kusta di dunia menurut geografi, pada tahun 2006. (Sumber: Standford
Summary of Worldwide Leprosy, 2007 ; www.standford.edu, disadur ke dalam Pedoman Nasional Pengendalian
Kusta 2007 )
II.4 Patofisiologi
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu
penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan
penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
39/126
Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak
dekat adalah yang paling rentan.
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata
adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa.
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput
lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah
tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana
imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian,
penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan
pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.4
M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan
afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat
mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam
lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon
kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya,
pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal.
Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan
penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme, mikroorganisme
mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri. Komponen dinding sel
merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga
moderator kemampuan bakterisidal makrofag.
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.
Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang
lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang
terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),
tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi
luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum
penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta
dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif
tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.
http://www.standford.edu/7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
40/126
Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta . M
leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann, terutama
dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling
aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen
apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan
penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel Schwann juga
merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari jalur erbB2
reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari demielinasi pada kusta.
Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon
kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang terinfeksi
oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik. [5]
Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel
endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M
leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh
dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.
Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I
reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun
pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi
menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf
terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.
Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler
(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1
Reaksi Kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit kusta yang
sebenarnya sangat kronik dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di
kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih
bermacam-macam.
Reaksi kusta terbagi atas dua tipe reaksi menurut hipersensitifitas yang
menyebabkannya:
3. Reaksi tipe 1 disebabkan reaksi hipesensitifitas selular
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
41/126
4. Reaksi tipe 2 disebabkan hipersensitifitas humoral
Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk
reaksi tipe 2 yang lebih berat.
Dari segi imunologisnya terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu
pada reaksi tipe 1 atau reaksi reversalatau reaksi upgrading yang memegang peranan adalah
imunitas selular, sedangkan pada reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL)yang
memegang peranan adalah imunitas humoral.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
42/126
Diunduh dari sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.fullpada tanggal 13 september 2013
pukul 16.00
Menurut Ridley dan Jopling spectrum kusta terdiri atas 5 tipe yaitu: TT, BT, BB, BL,
LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang stabil, sedangkan
yang lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Disamping tipe-tipe tersebut
terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT
maupun LL, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti
TT dan LL, tetapi imunitasnya tidak stabil).
http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.fullhttp://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
43/126
Semakin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki seseorang pasien kusta, semakin tinggi
jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas tinggi sukar sekali menemukan
basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir atau tidak mempunyai imunitas, dengan mudah basil
dapat ditemukan.5
II.4. 1 Reaksi Tipe 1
Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading hanya dapat terjadi
pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang
memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi
peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti,
diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi
peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit,
umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah
TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti
dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke
arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity
reaction seperti halnya reaksi hipersensitifitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen
yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi
dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe 1
terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas (SIS) dan basil. Dengan demikian
sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading / reversal, apabila menuju kearah
tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk
lepromatosa (terjadi penurunan SIS). 7
Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan sebagai reaksi reversal oleh
karena paling sering ditemui terutama pada kasus-kasus yang mendapat pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang ditemui oleh karena berjalan lebih lambat
dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
44/126
Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk
TTs sedangkan bila down grading akan menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat.
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tidak disertai neuritis tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosinya juga disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 40-
60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya
dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurani terjadinya kerusakan saraf secara
mendadak.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi
macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah
luas. Jadi kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular)
sedangkan reversaltanpa nodus (reaksi non-nodular).
II.4.2 Reaksi Tipe 2
Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM,
IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan
reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan
terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit
kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi
dapat terbentuk.
ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi
karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen
yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen.
Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
45/126
melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena
dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible.
Reaksi tipe 2 ini dikenal dengan nama eritema nodusun leprosum (ENL).
Berbeda dengan reaksi kusta tipe 1 atau reaksi reversalyang hanyadapat terjadi pada tipe
borderline (Li, BL, BB, BT, T), sedangkan pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. ENL
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 3 menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari
produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk komplek Ag-Ab.
Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL
merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun.
Terutama terjadi pada LL dan LLs dan kadang-kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai
gejala-gejala sistemik. Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungan dengan pemberian
pengobatan antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama
pengobatan, tapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular.
Tidak terlihat gambaran perubaha lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1 (SIS
tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spectrum pun tetap.
Obat yang paling sering dipakai untuk menangani reaksi ini adalah tablet
kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi,
biasanya prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin beratnya reaksi makin
tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai
dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan
nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari
ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.6
II. 5 Gejala Klinis
2. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline)
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
46/126
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan selular secara cepat.
Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui
secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
d. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), atau
gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).
e. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan atas: reaksi ringan dan
reaksi berat.
f. Perjalanan reaksi 6 12 minggu atau lebih.
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
4. Lesi Kulit Tambah aktif, menebal merah,teraba panas dan nyeri tekan.
Makula yang menebal dapat sampai
membentuk plaque
Lesi membengkak sampai ada yangpecah, merah, teraba panas dan nyeri
tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan
kaki membengkak, sendi-sendi sakit.
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan
gangguan fungsi.
Nyeri tekan, dan/atau gangguan fungsi,
misalnya kelemahan otot.
Kulit dan
saraf
bersama -
sama
Lesi yang telah ada menjadi lebih
eritematosa, nyeri pada saraf.Berlangsung kurang dari 6 minggu.
Lesi kulit yang eritematosa disertai
ulserasi atau edema pada tangan/kaki.
Saraf membesar, nyeri, dan fungsiterganggu. Berlangsung sampai 6
minggu atau lebih.Tabel 1: Perbedaan reaksi brat dan reaksi ringan pada eksi tipe satu, sumber: ( buku pedoman nasional
pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)
Jika ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf, dikategorikan sebagai
Reaksi Berat.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
47/126
Gambar 4: Manifestasi reaksi kusta tipe 1. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health
Problem; Geneva: 2007)
5. Reaksi tipe II (reaksi ENL, reaksi eritema nodosum leprosum)Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, di mana basil kusta yang
utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen
sebagai respons adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen + antibodi +
komplemen = Immunokompleks.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
48/126
- Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul pada kulit yang
multiple berupa nodus eritema yang dikenal sebagai erirema nodosum leprosum (ENL),
mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi
seperti demam dan malaise, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah. Bila
mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,
limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga
dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara
imunologik pula.
- Perjalanan reaksi biasanya berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul
berulang-ulang dan berlangsung lama.
- Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat.2
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
Lesi Kulit Nodul yang nyeri tekan
jumlahnya sedikit, biasanya
hilang sendiri dalam 2 3
hari
Nodul nyeri tekan, ada yang
pecah (Ulseratif), jumlah
banyak, berlangsung lama.
Keadaan Umum Tidak ada demam atau
demam ringan
Demam ringan sampai berat
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan atau
gangguan fungsi
Ada nyeri tekan, terjadi
gangguan fungsi
Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh seperti
Mata (Iridocyclitis), Testis
(Epididymoorchitis), Ginjal
(Nephritis), Sendi (Arthritis),
Kelenjar Limfe
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
49/126
(Limphadenitis), Gangguang
pada tulang, hidung dan
tenggorokan.
Tabel 2: Perbedan reaksi ringan dan reaksi berat pada reaksi kusta tipe 2. Sumber: (( buku pedoman nasional
pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
50/126
Gambar 5: Manifestasi reaksi kusta tipe 2. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health
Problem; Geneva: 2007)
6. Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,
bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
51/126
purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi
lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah
lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak
ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak
deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1
Gambar 6: Manifestasi fenomena lucio. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health
Problem; Geneva: 2007)
II.6 Klasifikas Kusta
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table dibawah ini 1:
Klasifikasi Zona spektrum kusta
Ridley & Jopling TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL
Madrid Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa
WHO Pausibasilar, Multibasilar
Puskesmas Pausibasilar, Multibasilar
Tabel 3: Zona spectrum kusta.. Sumber: (WHO, Committee of Leprosy Cure, Manual of Leprosy, Geneva:2000)
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit
lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu :
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
52/126
Ti : tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB:Mid borderline
Bl : borderline lepromatous
Li : lepromatosa indefinite
LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%.
Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa.
BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.
Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun
ke arah LL.
Menurut WHO (1981), lepra dibahi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar
(PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+,
yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil
dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe
TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 3
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
53/126
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline
Lepromatosa (BL)
Mid Borderline (BB)
Lesi
Bentuk Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-shape (kubah)
Punched-out
Jumlah Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat
Sukar dihitung, masih
ada kulit sehat
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif
PB MB
3. Lesi kulit
(makula datar, papul
yang meninggi, nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/eritema
- Distribusi tidak simetris- Hilangnya sensasi jelas
- > 5 lesi
- Distribusi
lebih simetris- Hilangnya
sensasi kurang jelas
4. Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
- Hanya satu cabang
saraf
- Banyak
cabang saraf
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
54/126
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1
II. 7 Diagnosa
Karakteristik Tuberkuloid
(TT)
Borderline
Tuberculoid (BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Tipe Makula ; makula
dibatasi infiltrat
Makula dibatasi
infiltrat saja; infiltrat
saja
Hanya Infiltrat
Jumlah Satu atau dapat
beberapa
Beberapa atau satu
dengan lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi Terlokalisasi &
asimetris
Asimetris Bervariasi
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
lesi kulit Hampir selalu
negatif
Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau
negatif
Pemeriksaan
Bakterioogis
Pemeriksaan
Histo-patologi
PemeriksaanTanda-tandaAnamnesa
DIAGNOSA
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
55/126
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal (tanda utama), yaitu :
4. Bercak kulit yang mati rasa :
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, medatar (macula) atau meninggi (plak). Mati
rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa
nyeri.
5. Penebalan saraf tepi :
Dapat disertai rasa nyeri dan dpat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu :
d. Gangguan funsi sensoris : mati rasa
e. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
f. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
6. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnose paling idak harus ditemukan satu tanda karidinal, jika tidak
pemeriksan diulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakan atau disingkirkan.1
E. Anamnesis
- Keluhan pasien
- Riwayat kontak dengan pasien
- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan social ekonomi
F. Pemeriksaan Fisik :
- Inspeksi : dengan penerangg baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan
kulit.
- Palpasi :
Kelainan kulit : nodus, infiltrate, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan
dan kaki
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
56/126
Kelainan saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N.
Aurikularis magnus, N. Ulnaris, N. Peroneus. Periksa dengan teliti apabila ada
nyeri tekan dan juga penebalan saraf. Perhatikan raut wajah pasien, apakah
kesakitan atau tidak pada waktu saraf di raba.3
Pada waktu melakukan pemeriksaan saraf tepi ingat untuk membandingkan sisi kanan
dan kiri, apakah ada pembesaran atau tidak, pembesaran regular (smooth) atau irregular
(bergumpal), terasa keras atau kenyal, dan ada nyeri atau tidak. Cara pemeriksaan saraf
tepi sebagai berikut :
d. N. Aurikularis Magnus :
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mngkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bias terlihat bila saraf
membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut
dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan
menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan antara yang kiri dengan
yang kanan.
e. N. Ulnaris :
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas
satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan siku (sulkus N.
ulnaris)ndan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Bandingkan antara yang
kanan dan yang kiri.
f. N. Paroneus lateralis:
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitulum fibulae. Biasanya sedikit ke posterior.
Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, seringkali asien merasa seperti
terkena setrum. Pada kasus neuritis akut sentuhan yang sedikit sudah dapat
menimbulkan nyeri hebat.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
57/126
- Tes fungsi saraf
d. Tes sensoris : gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hagat dan
dingin.
Rasa raba : sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya ke kulit.
Pasien harus dalam keadaan duduk. Saat dilakukan tes perabaan pasien
diminta untuk menunjukkan daerah yang telah diraba. Untuk memastikan
hasil yang objektif pasien dapat disruh menutup mata atau ditutup dengan
kain. Pada bercak-bercak yang ada dilakukan pemeriksan raba pada bagian
tengahnya bukan pada bagian pinggirnya.
Rasa nyeri : dengan menggunakan jarum petugas menusuk kulit pasien
dengan ujung jarum yang tajam dan tangkai jarum yang tumpul. Pasien
diminta untuk mengatakan tusukan mana yang tajam dan yang tum\pul.
Rasa suhu: dilakukan dengan memakai dua tabung reaksi, yang satu berisi
air hangat (40 0C) dan yang satu berisi air dingin (20 0C). mata pasien di
tutup. Sebelumnya dilakukan tes pada kulit yang normal untuk
memastikan bahwa pasien pada awalnya tidak memiliki kelainan
sensibilitas (sebelun terinfeksi). Tabung disentuhkan secara bergilir dan
pasien diminta untuk mengatakan yang mana yang panas dan yang dingin.
e. Tes otonom :
Berdasarkan adanya ganggaun berkeringat di macula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
Tes dengan pensil tinta (tes gunawan) : pensil tinta digariskan mulai dari
bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.
Pasien disuruh beraktivitas dan jika pada daerah lesi tinta utuh tidak
terhapus keringa berarti tes positif.
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
58/126
Tes pilocarpin : daerah kulit pada macula dan perbatsannya diuntik dengan
pilocarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal
berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.
f. Tes motoris :
Voluntary Muscle Test(VMT)
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan seperti ditunjukkan oleh tanda panah hitam
pada gambar. Perhatikan apakah pasien dapat melakukan dengan baik dan
tanpa bantuan.
Periksa tahanan yang diberikan sebagai respon oleh pasien. Kerjakan
pemeriksaan ini jika gerakan pasien sempurna atau mendekati, lakukan
perlahan-lahan, pasien jangan dikejutkan, jangan paksa pasien sampai
berubah posisi amati perubahan posisi dan kekuatan menahan pasien
apakaha normal, berkuang, atau tidak ada sama sekali. Bandingkan selalku
kaki dan angan pasien yang kanan dan yang kiri. 1
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
59/126
7/29/2019 REAKSI KUSTA.doc
60/126
G. Pemeriksaan Histopatologis
Diagnosis kusta melalui pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan melalui pemeriksaan
bakterioskopis. Sediaan biasanya diambil pada daerah yang paling aktif dimna j
Top Related