Reaksi Hipersensitivitas.docx
-
Upload
davina-amalia -
Category
Documents
-
view
6 -
download
2
Transcript of Reaksi Hipersensitivitas.docx
Reaksi Hipersensitivitas
Definisi
Peningkatan reaktivitas/sensitivitas terhadap Antigen yang pernah dikenal.
a. Reaksi Hipersensitivitas Menurut Waktu Timbulnya Reaksi
Cepat Intermediate Lambat
T0 Detik Beberapa Jam Pajanan dgn Ag oleh aktivasi
sel Th
T t 2 jam 24 jam 48 jam
Mekanisme Perm.sel mast:
Ikatan silang
alergen &
IgE→induksi→
mediator
vasoaktif
dilepaskan.
Aktivasi
komplemen&sel
NK/ADCC→
kompleks IgG
dibentuk &
jar.pejamu rusak
Sel T lepas sitokin→aktifkan
sel efektor
makrofag→kerusakan jaringan
Manifestasi Anafilaksis
sistemik/local
1) Rx transfusi
darah,
eritroblastosis,&
anemia hemolitik
autoimun.
2) Rx Arthus local &
rx sistemik e.g.,
serum sickness,
vaskulitis
nekrotis,
glomerulonefritis,
arthritis
rheumatoid, &
LES
Dermatitis kontak, reaksi M.
tuberculosis, & rx penolakan
tandur
Keterangan:
ADCC : Antibody Dependent Cell(mediated) Cytotoxicity
LES : Lupus Eritematosus Sistemik
Serum sickess: rx alergi
b. Reaksi Hipersensitivitas berdasarkan Gell dan Coombs
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi: Cepat/anafilaksis/alergi
Sel Mast & Mediator pada Reaksi Tipe I
1) Histamine
Komponen utama granul sel mast, 10% berat granul
Mediator primer yang dilepas, akan diikat oleh reseptornya (H1-4)
- H1 : permeabilitas vascular ↑,vasodilatasi,kontraksi otot polos
- H2: sekresi mukosa gaster, aritmia jantung
- H3:CNS (regulator?)
- H4: eosinofil (?)
Puncak reaksi : 10-15 menit
[cAMP]↑ = CEGAH GRANULASI
[cGMP]↑= memacu degranulasi
Degranulasi sel mast:
- Tidak timbulkan lisis sel
- Karena: anafilatoksin,C3a,C5a
Fase aktivasi:
- Perubahan dalam membrane sel mast karena metilasi fosfolipid→influx Ca++¿¿
timbulkan aktivase fosfolipase
- Glikolisis, pengaktifan enzim, pergerakan granul ke permukaan sel
2) PG & LT
Asal: hasil metabolism asam arakidonat (pengaruh fosfolipase A2) & sitokin pada
fase lambat rx tipe I
Mediator sekunder
Efek biologis timbul lebih lambat, TAPI lbh menonjol & berlangsung lebih lama
dibandingkan dengan Histamin
LT: untuk brokokonstriksi, permeabilitas vascular & produksi mucus ↑
Prostaglandin E: bronkokonstriksi
3) Sitokin
Dilepas: sel mast & basofil
E.g., IL 3-6,10,13,TNF-α,GM-CSF
Ubah lingkungan mikro,kerahkan sel inflamasi (neutrofil,eosinofil)
IL-4 & IL-13 : produksi IgE oleh sel B ↑
IL-5: aktivasi eosinofil
Manifestasi
1) Reaksi Lokal
Pada jaringan/organ spesifik, melibatkan permukaan epitel
Atopi: kecenderungan untuk menunjukkan rx tipe 1 dan diturunkan
Sensitasi dapat terjadi secara pasif JIKA serum/darah orang yang alergi
dimasukkan ke dalam sirkulasi orang normal.
Rx alergi: kulit ,mata, hidung, saluran napas
2) Reaksi sistemik-anafilaksis
Dapat fatal,dalam beberapa menit
Dipacu oleh : makanan, obat/sengatan serangga,latihan jasmani.
2/3 pasien: pemicu nya tak teridentifikasi
3) Reaksi pseudoalergi/anafilaktoid
Libatkan pelepasan mediator oleh sel mast yang tidak melalui IgE
Mekanisme jalur efektor nonimun
Tidak perlu pajanan terdahulu untuk timbulkan sensitasi
Timbul oleh antimikroba,penisilin, pelemas otot
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi sitotoksik/sitolitik
Terjadi karena: dibentuk Ab jenis IgG/IgM thd Ag yang merupakan bagian sel pejamu
Sitolotik: karena lisis, BUKAN EFEK TOKSIS
Erat dengan proses penanggulangan munculnya sel klon baru,yang dapat ditemukan
pada Sel tumor,terinfeksi virus,dan terinduksi mutagen.
Sel target: karena factor lingkungan→kecacatan DNA→DNA Repair/Musnahkan
melalui mekanisme imunologik
Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi
dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah
antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi
komponen C1 komplemen. Konsekuensinya adalah:
a) Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen
akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel
mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi
sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen dalam
fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika
target terlalu besar maka lisosom dieksositosis.
b) Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d
pada membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor
(makrofag, neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b
berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen setelah putusnya ikatan
tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan enzim
serum, C3d berikatan dengan sel target secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi
sebagai struktur pengenalan untuk sel yang memiliki reseptor komplemen.
Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yang memiliki reseptor Fc (makrofag,
eosinofil, neutrofil, sel K)
c) Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan
Membrane Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.
Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan pada
kompleks antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen komplemen
yang melekat pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc
merangsang fagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan prostaglandin
yang merupakan molekul-molekul yang berperan pada respon inflamasi. Sel-sel
efektor yang telah terikat kuat pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan
akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti yang
terlihat pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat
ketidaksesuaian faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat
obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan transplantasi hiperakut akibat
interaksi dengan antibodi yang telah ada sebelunya pada resipien. Reaksi terhadap
trombosit dapat menyebabkan trombositopenia sedangkan reaksi terhadap neutrofil
dan limfosit dihubungkan dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
1) Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Asal Ag: infeksi kuman pathogen persisten (malaria),spora jamur,penyakit auto
imun
Infeksi: dapat dengan Ag dlm Σ↑↑,tapi TANPA respons Ab efektif; makrofag
yang diaktifkan terus menerus lepas bahan yang dapat rusak jaringan
Kompleks imun,tda Ag dalam sirkulasi & IgM/IgG3(dpt jg IgA) diendapkan di
membrane basal vascular&memb.basal ginjal→rx inflamasi local&luas
Bhn toksik neutrofil→jaringan rusak
Komplek yang terjadi→aktivasi makrofag,sel mast; agregasi trombosit,etc.
2) Kompleks imun mengendap di jaringan
Histamine dilepas sel mast→ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas
vascular ↑.
Antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen
antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen,
menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi
vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak
proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula
berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim
pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan,
proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak
jaringan sekitar kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler
twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja
bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung
pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana
antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari
antibody.
Kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang
ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN,
agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan
edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau
mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam
suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang
larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di berbagai
jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti pada
glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan kompleks yang berbeda
dapat memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula.
Pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi sistemik seperti:
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus
mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya
dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks
imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu.
Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan produksi antibody dengan
afinitas rendah dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran
kecil, sehingga individu bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks
imun.
Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas
immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat
pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak
demkian halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan
dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan
dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.
Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah
berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen
melalui jalur klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena
C3b yang terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks yang besar.
Kompleks yang terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor
C3b, lalu dibawa ke hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag.
Bila system ini terganggu, misalnya pada defisiensi komplemen, maka
kompleks diatas akan membentuk kompleks yang berukuran besar dan
memungkinkan ia terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah
diketahui bahwa kompleks imun yang paling merusak apabila ia mengendap
atau terperangkap dalam jaringan
Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas
vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal
yang berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan,
misalnya komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan
kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vascular.
Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan
tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap
dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam
dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti
pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.
Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat –
tempat tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun
adalah ginjal. Pada arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap
dalam sendi dan walaupun selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak
mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan oleh afinitas antigen terhadap organ
tetentu.
Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama
2. Infusi intravena obat antigenik
3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)
4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)
5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus
erythematosis -SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa
asing dan membuat anti-nuclear antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab
terdeposit pada dinding pembuluh (vasculitis) pada:
− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia
− Ginjal
− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala (Canis
lupus)
− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada
Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara
lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi
dan antitoksin
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Peran: CD4+ & CD8+
Sel T lepas sitokin; produksi mediator sitokin→respons inflamasi pada penyakit kulit
hipersensitivitas lambat.
DTH Tipe IV
- Hipersensitivitas granulomatosis
- Fase sensitasi : 1-2 minggu setelah kontak primer dgn antigen
- Fase efektor: sel Th1 lepas sitokin yang aktifkan makrofag&sel inflamasi
nonspesifik; gejala: 24 jam setelah kontak sekunder dengan antigen
T-Cell Mediated Cytolysis
Reaksi Jones Mote (JM)
Reaksi ini ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi
ini timbul oleh karena terdapat antigen yang larut dan oleh limfosit yang peka
terhadap siklofosfamide. Reaksi ini terjadi sesudah 24 jam.
Dermatitis kontak dan Hipersensitivitas kontak
Hipersensitivitas kontak terjadi setelah sensisitasi dengan zat kimia sederhana
(misalnya nikel,formaldehid), bahan-bahan kimia, bahan-bahan tumbuhan (racun
pohon oak), obat yang digunakan secara topical (misalnya sulfonamide,neosin).
Molekul-molekul kecil masuk ke dalam kulit dan kemudian bereaksi sebagai
hapten,melekat pada protein tubuh dan bertindak sebagai antigen komplit.
Hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel terinduksi, khususnya di kulit. Ketika
kulit kembali kontak dengan agen penyebab hipersensitivitas tersebut, orang yang
sensitive mengalami erotema, gatal, vesikulasi, eksema, atau nekrosis kulit dalam
waktu 14-28 jam. Dermatitis kontak adalah dermatitis yang timbul pada kulit tempat
kontak dengan allergen.
Reaksi Tuberkulin
Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme terjadi pada
banyak penyakit infeksi dan telah digunakan sebagai alat bantu diagnosis. Seperti
yang terjadi pada reaksi tuberculin. Reaksi ini terjadi 20 jam setelah terpajan dengan
antigen. Kemudian setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di
sekitar pembuluh darah sehingga menyebabkan hubungan serat-serat kolagen kulit
rusak