Rabies

53
PROFIL IMUN RESPON TERHADAP RABIES DAN ANALISIS GENETIKA GEN PENYANDI GLIKOPROTEIN VIRUS RABIES ISOLAT BALI Oleh: QABILAH CITA KURNIANUSA NASTITI SUMARSONO NIM 061424253004 PROGRAM PASCA SARJANA

description

Rabies

Transcript of Rabies

Page 1: Rabies

PROFIL IMUN RESPON TERHADAP RABIES DAN ANALISIS

GENETIKA GEN PENYANDI GLIKOPROTEIN VIRUS RABIES

ISOLAT BALI

Oleh:

QABILAH CITA KURNIANUSA NASTITI SUMARSONO

NIM 061424253004

PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2015

Page 2: Rabies

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang

bersifat zoonosis (menular ke manusia). Lebih dari 55.000 kasus

rabies pada manusia dilaporkan setiap tahun di dunia (Rupprecht et

al., 2001; Wilde et al., 2008; Bourhy et al., 2008). Rabies disebabkan

oleh virus rabies, dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (OIE,

2008). Virus rabies termasuk virus yang memiliki genom RNA untai

tunggal berpolaritas negatif (ss-RNA virus), memiliki ukuran

diameter 75 nm dan panjang 180 nm. Virus rabies memiliki lima

jenis partikel protein yang berbeda yakni glikoprotein (G), matrik

protein (M), RNA polymerase (L), nukleoprotein (N), dan phosphoprotein

(P) (Coll, 1995). Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan

yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan, cakaran atau melalui

kulit yang terluka (Bingham, 2005; Kang et al., 2007).

Kasus klinis rabies pada hewan maupun manusia selalu

berakhir dengan kematian. Penyakit Rabies menimbulkan dampak

psikologis seperti kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan

dan ketidaknyamanan pada orang-orang yang terpapar. Kerugian

ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi karena

biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya

postexposure treatment. Disamping itu, kerugian akibat pembatalan

kunjungan wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan

wisata penting di dunia, seperti Bali, dapat saja terjadi jika tingkat

kejadian rabies sangat tinggi.

Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah

tersebar di sebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali

oleh Stchorl pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi,

Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan pada

Page 3: Rabies

tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning

tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan

oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon

tahun 1894. Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar

kebeberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa

Tengah dan Jawa Timur tahun 1953, Sulawesi Selatan tahun 1959,

Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI Yogyakarta tahun

1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah di

laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau tahun

1975. Pada dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus

menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi

tertular, yaitu Pulau Flores tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau

Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005, Ketapang

tahun 2005, serta Pulau Buru tahun 2006. Kemudian Pulau Bali

dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau

Rupat di Propinsi Riau tahun 2009 (Direktorat Kesehatan Hewan,

2006).

Bali merupakan propinsi terbaru tertular rabies di Indonesia

dan Bali dinyatakan tertular secara resmi berdasarkan Keputusan

Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008.

Secara laboratorium rabies pada anjing di Bali didiagnosis pertama

kali pada tanggal 27 Nopember 2008 yaitu pada satu ekor anjing

asal Kelurahan Kedonganan. Dengan mengkaji kasus pada manusia

dan hewan serta masa inkubasi rabies, rabies diduga masuk ke

Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Propinsi Bali sekitar bulan

April 2008 (Putra et al., 2009). Selanjutnya dalam beberapa bulan

rabies sudah ditemukan menyebar kebeberapa wilayah antara lain

di Kota Denpasar pada 19 Desember 2008. Pada pertengahan

tahun 2009 wabah sudah menyebar ke Kabupaten Tabanan,

Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Bangli

dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Klungkung tertular akhir Maret

2010, dan akhirnya bulan Juni 2010 Kabupaten Jembrana

Page 4: Rabies

dinyatakan tertular rabies. Dengan demikian, saat ini, semua

kabupaten/kota di Propinsi Bali sudah tertular rabies.

Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan

vaksinasi dan eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping program

sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR).

Vaksinasi massal merupakan cara yang efektif untuk pencegahan

dan pengendalian rabies. Di Kabupaten Badung, Propinsi Bali,

vaksinasi rabies pada anjing, sudah dilakukan sejak tanggal 4

Desember 2008, yang dilanjutkan dengan vaksinasi massal pada

tanggal 21 sampai 22 Desember 2008. Vaksinasi massal terus

dilakukan sampai saat ini (Juni 2011) di seluruh Bali. Vaksin rabies

yang digunakan adalah vaksin Rabivet Supra92 dan Rabisin.

Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan

eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil.

Di daerah-daerah tertentu, kasus rabies bahkan semakin

meningkat (Adjid et al., 2005). Demikian juga halnya yang terjadi di

Bali. Itu terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena

rabies. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang

tidak memadai. Cakupan vaksinasi merupakan salah satu hal yang

sangat penting dalam pengendalian suatu penyakit, disamping

kualitas vaksin, teknik aplikasi dan waktu pelaksanaan vaksinasi

(Rahman dan Maharis, 2008; Touihri et al.,2011).

Berdasarkan data yang ada di Balai Besar Veteriner Denpasar

(BBVet Denpasar), 3 ekor anjing yang didiagnosis positif rabies

ternyata sudah pernah mendapatkan vaksinasi rabies. Hal yang

hampir sama juga dilaporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon

(2010), bahwa 3 sampai 6% kasus anjing rabies di Thailand

memiliki sejarah sudah pernah divaksinasi. Hal ini menimbulkan

kecurigaan bahwa kasus-kasus tersebut kemungkinan disebabkan

oleh virus isolat vaksin itu sendiri. Penyebab lainnya yang perlu

dikaji antara lain rentang waktu kekebalan yang ditimbulkan oleh

vaksin yang dipakai terlalu singkat, penanganan vaksin yang tidak

Page 5: Rabies

baik (misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi), salah aplikasi,

ataukah terjadi perbedaan struktural gen pada glikoprotein virus

rabies yang ada di Bali. Yang disebut terakhir itu dapat

menyebabkan vaksin yang diberikan tidak mampu lagi memberikan

protektivitas pada anjing yang divaksin. Seperti diketahui bahwa

glikoprotein virus rabies merupakan protein yang berperan dalam

menginduksi produksi antibodi netralisasi yang bersifat protektif

setelah vaksinasi. Glikoprotein juga sebagai faktor penting dalam

patogenisitas virus rabies (Benmansour et al., 1991; Susetya, 2005;

Nagarajan et al., 2006; Maillard dan Gaudin, 2002). Masalah-

masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan surveilans

serologis untuk deteksi antibodi pasca vaksinasi dan analisis

genetika terhadap gen penyandi glikoprotein virus rabies yang ada

di Bali.

Deteksi antibodi rabies sangat penting dilakukan untuk

mengetahui efektivitas vaksin rabies. Jenis vaksin tampaknya

menghasilkan respon imun yang berbeda. Hasil penelitian Minke et

al. (2009) menunjukkan bahwa vaksin Rabisin menginduksi respon

kebal tertinggi pada hari 14 setelah vaksinasi yaitu 87%. Vaksin

yang lain, yaitu Nobivac, disebutkan menginduksi kekebalan yang

lebih seragam yang mencapai 100% (Minke et al. 2009). Penelitian

yang dilakukan di Nigeria (Ohore et al. 2007) menunjukkan bahwa

titer antibodi tertinggi dicapai antara 3 sampai 6 bulan pasca

vaksinasi (PV) dan terendah antara 9 sampai 12 bulan PV.

Metode uji untuk deteksi antibodi terhadap rabies yang sering

digunakan

adalah serum netralisasi (SN), yaitu Rapid Fluorscent Focus Inhibition Test

(RFFIT) dan Fluorscent Antibodi Virus Neutralisation (FAVN) (OIE, 2008).

Kedua metode uji tersebut menggunakan virus rabies hidup,

sehingga pengerjaannya memerlukan laboratorium dengan fasilitas

biosekuriti yang memadai dan staf yang telah terlatih baik serta

sudah divaksinasi. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk

Page 6: Rabies

deteksi antibodi pada serum hewan dan manusia sudah

dikembangkan di beberapa negara. Kit ELISA untuk deteksi antibodi

pada hewan telah diterima oleh OIE untuk uji sekrining atau uji

alternatif dari FAVN. Kelebihan dari uji ELISA adalah dapat

dilakukan dalam waktu empat jam, tidak menggunakan virus hidup,

tidak memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang

tinggi, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih

banyak. Hal ini terbalik dengan FAVN yang memerlukan waktu

pengujian selama 4 hari (McElhinney et al., 2008).

Pada penelitian ini metode ELISA digunakan untuk

mendeteksi adanya antibodi terhadap rabies pada anjing setelah

divaksinasi dengan vaksin Rabivet Supra92 dan vaksin Rabisin. Kit

ELISA yang digunakan adalah produksi Pusat Veterinaria Farma

(Pusvetma) Surabaya, merupakan produksi dalam negeri, lebih

murah dibandingkan dengan Kit produksi luar negeri. Sejauh ini

belum ada informasi tentang kualitas Kit ELISA rabies produksi

Pusvetma tersebut. Untuk itu perlu dipelajari akurasi Kit yang

digunakan, dengan membandingkan Kit ELISA produksi Pusvetma

(lokal) dengan Kit ELISA yang sudah divalidasi oleh OIE (Platelia II

rabies KIT produksi Bio-rad).

1.2 Rumusan Masalah

1) Berapa lamakah vaksin rabies Rabivet Supra92 dan vaksin

Rabisin yang digunakan di Bali bisa memberikan kekebalan

pada anjing?

2) Bagaimanakah agreement between test (Kappa) KIT ELISA rabies

produksi Pusvetma Surabaya dengan Kit PlateliaII rabies

produksi Bio-Rad?

3) Apakah sekuen gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat

Bali mempunyai kesamaan dengan isolat lainnya di Indonesia

atau negara lain?

1.3 Tujuan Penelitian

Page 7: Rabies

1) Untuk mengetahui rentang waktu kekebalan anjing yang

divaksinasi rabies dengan vaksin Rabivet Supra92 dan vaksin

Rabisin di Bali.

2) Untuk mengetahui agreement between test (Kappa) KIT ELISA rabies

produksi Pusvetma Surabaya (lokal) dengan melakukan uji

banding dengan KIT ELISA yang sudah divalidasi oleh OIE

(Platelia rabies II produksi Bio-Rad) sebagai standard.

3) Untuk mengetahui sekuen gen penyandi glikoprotein virus

rabies isolat Bali dan disepadankan dengan sekuen isolat

lainnya di Indonesia atau negara lain.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengetahui

berapa lama vaksin rabies yang digunakan bisa memberikan

kekebalan pada anjing, serta agreement between test (Kappa) KIT ELISA

Rabies produksi Indonesia (Pusvetma Surabaya). Dari hasil analisis

gen penyandi glikoprotein yang didapat diharapkan dapat diketahui

kekerabatan (jarak genetik) virus rabies isolat Bali.

1.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat

dirumuskan hipotesis

sebagai berikut :

1) Tidak ada perbedaan kekebalan anjing yang divaksinasi

dengan vaksin Rabisin dengan anjing yang divaksinasi

dengan vaksin Rabivet Supra92.

2) Tidak ada perbedaan kualitas/akurasi KIT ELISA Rabies

produksi Pusvetma dengan KIT PLATELIA II Rabies produksi

Bio-rad.

3) Tidak terjadi perbedaan sekuen gen penyandi glikoprotein

virus rabies isolat Bali dengan isolat Indonesia lainnya.

Page 8: Rabies

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rabies

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang

dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis) (WHO, 2010). Rabies

disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae

(Jallet et al., 1999). Virus rabies di keluarkan bersama air liur hewan

terinfeksi dan ditularkan melalui luka gigitan atau jilatan. Rabies

sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena apabila

penyakit tersebut menyerang manusia dan tidak sempat mendapat

perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala

klinis yang mengharukan dan bersifat fatal (Adjid, et al., 2005;

Bingham, 2005; Dietzschold et al., 2005; Miah et al., 2005; Rupprecht

et al., 2001).

2.1.1 Etiologi virus rabies

Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam ordo

Mononegavirales, famili Rhabdoviridae (CDC., 2007). Genus virus yang

termasuk dalam famili Rhabdoviridae antara lain genus Lyssavirus,

genus Ephemerovirus, genus Vesiculovirus, genus Cytorhabdovirus, genus

Dichorhabdovirus, genus Novirhabdovirus, dan genus Nucleorhabdovirus.

Virus yang termasuk dalam Genus Lyssavirus adalah virus rabies,

lagos bat virus, mokola virus, Duvenhage virus, European bat virus 1 & 2 dan

Australian bat virus (Gould et al., 1998; Guyat et al., 2003; Sissoe et al.,

2005; CDC., 2007; Metlin et al.,2007; Zee et al., 2004; Triakoso,

Page 9: Rabies

2007). Virus rabies memiliki bentuk seperti batang peluru (silindris)

dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut (Gambar 2.1). Virus

rabies berukuran diameter 75 nm dan panjang 180 nm, memiliki

panjang genom sekitar 12 kilo base (CDC, 2010; Suwarno, 2005;

Bourhy et al., 2008). Peneliti lain mengemukakan ukuran virus

rabies mempunyai diameter 45nm sampai 100nm, panjang 100nm

sampai 430nm, dan panjang genom 11,9 kb (Tranfuzion, 2009).

Virus rabies memiliki lima jenis protein yang berbeda, yaitu

dua protein berada pada amplop yakni glikoprotein (G) dan matrik

protein (M), tiga pada nukleokapsid yakni nukleoprotein (N),

phospoprotein (P), dan RNA-dependent RNA polymerase (RdRp, L) (Metlin

et al.,2007). Berat molekul masing-masing protein adalah

glikoprotein 64 kD sampai 68 kD, matrik protein 24 kD sampai 25

kD, nukleoprotein 60 kD, phospoprotein 40 kD sampai 45 kD dan

RNA-dependent RNA polymerase 190 kD. Panjang nukleotida (nt) masing-

masing protein adalah glikoprotein 1575 nt, matrik protein 805 nt,

nukleoprotein 1424 nt, phospoprotein 991 nt dan RNA-dependent RNA

polymerase 6475 nt (Coll, 1995; Nagarajan et al., 2006; Nagaraja et al.,

2008; Swarno, 2005; Ren, 2010; Tomar et al.,2010; Warrell, 2009)

(Gambar 2.2).

Page 10: Rabies

2.1.2 Patogenesis rabies

Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak

dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran oleh

kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya.

Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin

infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan

bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang

diciptakan oleh kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita

dengan ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah

direkam dengan cukup sering. Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin

tetapi kurang terdokumentasi dan jarang terjadi.

Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus tidak

bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka

selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian

bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-

perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s

hoorn. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas

dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel

sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-

neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf

volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ

dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan- jaringan seperti

Page 11: Rabies

kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi

rabies adalah terdapatnya negri body yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel

ganglion besar.

Gambar 2.3 Negri body di neuron

Masa inkubasi dan gejala klinis rabies bervariasi pada spesies

satu dengan lainnya. Menurut Hiswani (2003), masa inkubasi rabies

pada anjing dan kucing berkisar antara 10 hari sampai 15 hari.

Peneliti lain mengemukan bahwa massa inkubasi anjing penderita

rabies kurang dari 10 hari (Tepsumethanon et al., 2004; 2008).

Masa inkubasi rabies pada manusia juga bervariasi. Masa

inkubasi rabies pada manusia kurang dari 30 hari ditemukan

sebanyak 25%, 30 hari sampai 90 hari sebanyak 50%, 90 hari

sampai 1 tahun sebanyak 20%, dan lebih dari 1 tahun sebanyak 5%

(Transfuzion, 2009). Pada sapi, kambing, kuda, dan babi berkisar

antara 1 sampai 3 bulan.Peneliti lain mengemukakan bahwa masa

inkubasi rabies pada manusia berkisar antara 30 hari sampai 90

hari, namun ada yang 4 hari sampai beberapa tahun, dan cendrung

lebih singkat pada gigitan di muka dari pada di tungkai (WHO.,

2010).

2.1.3 Gejala klinis rabies

Gejala klinis rabies pada anjing dan kucing hampir sama.

Triakoso (2007), mengemukakan bahwa gejala klinis rabies dikenal

dalam dua bentuk yaitu bentuk ganas dan bentuk diam. Pada

rabies bentuk ganas (furious rabies) masa eksitasi panjang,

kebanyakan akan mati dalam dua sampai lima hari setelah tanda-

Page 12: Rabies

tanda rabies terlihat. Sedangkan pada rabies bentuk diam atau

dungu (dumb rabies) terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat

menjalar keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek.

Perjalanan penyakit rabies pada anjing dan kucing dibagi

dalam tiga tahap/phase (Triakoso, 2007; CIVAS., 2010) yaitu phase

prodormal, dilanjutkan ke phase eksitasi, dan phase paralisa. Pada

phase prodormal hewan mencari tempat dingin dan menyendiri,

tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervus, pupil mata melebar,

dan sikap tubuh kaku (tegang). Phase ini berlangsung selama satu

sampai tiga hari. Pada phase eksitasi hewan menjadi ganas dan

menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan barang

yang aneh-aneh. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu

terbuka serta tubuh gemetaran, kemudian masuk ke phase

paralisa. Pada phase paralisa hewan mengalami kelumpuhan pada

semua bagian tubuh dan berakhir dengan kematian. Gejala klinis

rabies pada hewan pemamah biak adalah gelisah, liar, adanya rasa

gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang, dan

akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis

biasanya tempratur normal, anorexia, ekspresi wajah berubah dari

biasanya, dan sering menguak (Hiswani, 2003).

Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium. 1) Stadium

Prodormal yaitu dengan gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan

saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal,

merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di

tenggorokan selama beberapa hari. 2) Stadium Sensoris yaitu penderita merasa nyeri,

rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan

gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris. 3) Stadium

Eksitasi terjadi tonus otot otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan

gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap

rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih

sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman

dan ketidakberaturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang

Page 13: Rabies

menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.

4) Stadium Paralis dimana sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium

eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi,

melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum

tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

2.1.4 Glikoprotein virus rabies

Glikoprotein virus rabies merupakan protein penyusun

permukaan virus yang berbentuk “spike” atau duri (berjumlah

kurang lebih 400 duri) (CDC, 2010), dengan berat molekul sekitar

64 kD sampai 68 kD (Suwarno, 2005). Peneliti lain menyebutkan 65

kD (Sissoe et al.,2005). Glikoprotein virus rabies merupakan protein

yang berperan dalam proses masuknya virus ke dalam sel inang

dan merupakan protein yang menginduksi produksi antibodi

netralisasi yang bersifat protektif (Benmansour et al., 1991;

Langevin dan Tuffereau, 2002; Susetya, 2005; Nagarajan et al.,

2006; Maillard dan Gaudin, 2002; Gupta et al., 2005; Sissoe et

al.,2005). Glikoprotein juga sebagai faktor penting dalam

patogenisitas virus rabies,

terutama asam amino arginin pada posisi 333 (Ito et al.,2001; Susan

et al.,2010).

Beberapa jenis vaksin virus rabies yang mengandung asam

aspartat (Asp) atau asam glumaic (Glu), bukan sebuah arginin (Arg)

pada posisi 333 dari glikoprotein virus rabies tidak patogen untuk

tikus (Faber et al., 2005). Namun demikian peneliti lain

mengemukakan bahwa patogenisitas strain virus rabies tidak

hanya ditentukan oleh substitusi pada posisi G333. Substitusi lain

dalam protein G, seperti N194K, juga mempengaruhi patogenisitas

virus pada tikus (Tau et al., 2010). Hasil analisis genetika gen

penyandi glikoprotein virus rabies Indonesia terhadap satu isolat

asal Sumatra Barat, menunjukkan bahwa isolat tersebut

mempunyai kekerabatan yang lebih dekat dengan isolat virus

Page 14: Rabies

rabies asal China dibandingkan dengan isolat asal Thailand dan

Malaysia (Susetya, 2005; Susetya et al., 2005).

2.2 Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies

Strategi pengendalian dan pemberantasan rabies pada

hewan umumnya dilakukan melalui program vaksinasi massal.

Rabies dapat diberantas dengan cakupan vaksinasi yang memadai

pada anjing berpemilik dan pengendalian populasi anjing jalanan

(stray dog). Jepang berhasil bebas dari rabies sejak tahun 1957

dengan melakukan kontrol legislasi yang kuat, termasuk sistem

karantina dan vaksinasi pada anjing setiap tahun (Inoue, 2003).

Kunci utama dalam menangani rabies adalah mencegah pada

sumbernya yaitu hewan. Sesuai dengan pedoman pengendalian

rabies terpadu, metoda pemberantasan rabies dilakukan dengan a)

vaksinasi dan eliminasi dilakukan pada anjing, kucing, dan kera

dengan fokus utama pada anjing, b) vaksinasi dilakukan terhadap

anjing dan kera berpemilik, dan c) eliminasi dilakukan terhadap

anjing tidak berpemilik dan anjing berpemilik yang tidak

divaksinasi/diliarkan (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006).

Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan

eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil,

bahkan didaerah-daerah tertentu kasus rabies semakin meningkat

(Adjid et al., 2005). Demikian juga halnya yang terjadi di Bali,

terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies.

Secara laboratorium seluruh kabupaten/kota di Propinsi Bali sudah

tertular rabies sejak Juni 2010. Hal ini mungkin disebabkan karena

cakupan vaksinasi yang rendah (kurang dari 70%) atau vaksin yang

digunakan hanya mampu memberikan kekebalan dalam waktu

yang relatif singkat. Cakupan vaksinasi minimal 70% telah

dibuktikan di banyak negara berhasil mencegah terjadinya wabah.

Namun demikian pemberantasan rabies tidak hanya tergantung

pada masalah anjing, tetapi juga menyangkut masalah manusia.

Page 15: Rabies

Pada dasarnya keberhasilan pengendalian dan pemberantasan

rabies bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat. Perlu ada

perubahan perilaku yang membuat masyarakat dapat menerima

dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku.

Kewajiban yang dimaksud antara lain mengandangkan atau

mengikat anjing yang dimiliki, merawat dan menjaga

kesehatannya, serta memvaksinnya secara rutin. Hal ini akan

membantu petugas pengendali rabies menjadi lebih mudah

mengatasi keadaan.

2.3 Vaksin Rabies

Vaksin rabies sudah mengalami beberapa tahap perubahan

dalam proses pembuatannya. Sejarah vaksin rabies diawali oleh

Louis Pasteur yang membuat attenuated live vaccine pada tahun 1980-

an. Seiring dengan berjalannya waktu vaksin rabies terus

mengalami modifikasi. Pada tahun 1908 Enrico Fermi berhasil

membuat killed vaccine yang pertama, menggunakan phenol untuk

menginaktivasi virus (Wilde, 2009). Peneliti lain, Hiswani (2003)

mengemukakan bahwa vaksin rabies telah dikenal sejak tahun

1879, dibuat pertama kali oleh Victor Galtier. Kemudian pada tahun

1958 Kissling membiakkan virus rabies challenge virus standar (CVS)

pada biakan sel ginjal anak hamster. Selanjutnya pada tahun 1963

Kissling dan Reese berhasil membuat vaksin rabies inaktif

menggunakan virus rabies yang dibiakkan pada sel ginjal anak

hamster (BHK).

Di Indonesia vaksin rabies untuk hewan telah diproduksi

sejak tahun 1967 oleh Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma)

Surabaya, menggunakan fixed virus rabies. Sebagai media untuk

membiakkan virus rabies digunakan otak kambing/domba umur 3

bulan. Vaksin yang dihasilkan diberi nama paten Rasivet. Aplikasi

vaksin tersebut melalui suntikan dibawah kulit dengan dosis 4 ml.

Masa kebal vaksin Rasivet relatif pendek yaitu 6 bulan (Hiswani,

Page 16: Rabies

2003). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sejak tahun 1983

pembuatan vaksin rabies di Pusvetma menggunakan biakan sel

sebagai media pertumbuhan virus rabies. Setelah melalui

rangkaian percobaan maka pada tahun 1984, Pusvetma telah

mengeluarkan vaksin rabies yang menggunakan biakan sel sebagai

tempat pembiakan virus yaitu vaksin Rabivet. Namun vaksin ini

menimbulkan masalah dilapangan yaitu beberapa daerah

melaporkan adanya endapan warna hitam pada dasar vial.

Selanjutnya Pusvetma memproduksi vaksin rabies yang diberi

nama Rabivet Supra92. Dibandingkan dengan vaksin Rabivet maka

vaksin Rabivet Supra92 mempunyai kandungan protein yang jauh

lebih rendah yaitu 2 mg/ml. Dengan turunnya kandungan protein

diharapkan tidak terjadi reaksi anafilaksis dan tidak menimbulkan

rasa sakit pada suntikan. PH vaksin juga menunjukkan kestabilan

yaitu kurang lebih 7 sesuai dengan pH tubuh (Hiswani, 2003).

2.4 Antibodi

Antibodi juga dikenal sebagai immunoglobulin, sering

disingkat dengan Ig. Antibodi dipergunakan oleh sistem imun untuk

identifikasi dan netralisasi agen asing, seperti bakteri dan virus.

Antibodi merupakan protein plasma globular dengan berat sekitar

150 kD. Berdasarkan isotipenya antibodi pada mamalia dapat

dibedakan menjadi IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Unit Fungsional dari

setiap antibodi adalah immunoglobulin (Ig). Bentuk monomer dari

antibodi berisi hanya satu unit Ig seperti IgD, IgE, dan IgG. Antibodi

juga bisa dalam bentuk dimerik dengan dua unit Ig seperti IgA,

bentuk tetramerik dengan empat unit Ig seperti IgM pada ikan, atau

pentamerik dengan lima unit Ig seperti IgM pada mamalia (Tizard,

2004, Roitt et al., 2000).

2.5 Diagnosa Serologis Rabies

Page 17: Rabies

Beberapa metode uji telah dikembangkan untuk diagnosa

rabies secara serologis. Metode uji untuk deteksi antibodi terhadap

rabies yang sering digunakan adalah serum netralisasi (SN), yaitu

Rapid Fluorscent Focus Inhibition Test (RFFIT) dan Fluorscent Antibodi Virus

Neutralisation (FAVN) (OIE, 2008). SN merupakan uji gold standard

dalam pemeriksaan antibodi netralisasi terhadap rabies (Moore dan

Hanion, 2010). Metode uji tersebut menggunakan virus rabies

hidup, sehingga pengerjaannya memerlukan laboratorium dengan

fasilitas biosekuriti yang memadai dan staf yang telah terlatih baik

serta sudah divaksinasi. Complement fixation test dengan glikoprotein

sebagai antigen juga dapat digunakan untuk deteksi antibodi

netralisasi terhadap virus rabies (Cox et al., 1977).

Enzym Linked Immunosorbent assay (ELISA) juga merupakan salah

satu metode yang digunakan untuk deteksi antibodi pada serum

hewan (anjing dan kucing) serta pada serum manusia. ELISA juga

digunakan untuk deteksi antibodi pada hewan untuk uji sekrining

atau uji alternatif dari FAVN (Cliquet et.al., 2004; Meslin dan Kaplan,

1996; OIE, 2008; Shanker, 2009). Kelebihan dari uji ELISA adalah

dapat dilakukan dalam empat jam, tidak menggunakan virus hidup,

tidak memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang

tinggi. Hal ini terbalik dengan FAVN yang memerlukan waktu

pengujian selama 4 hari (McElhinney et al., 2008). ELISA sudah

banyak digunakan untuk deteksi antibodi rabies pada program

vaksinasi di beberapa negara antara lain Nigeria, dengan hasil

prevalensi antibodi tertinggi 87,5% ditemukan pad a periode 3

sampai 6 bulan PV (Ohoe et al., 2007), di Botswana 54% (148/276)

sampel yang diuji mempunyai antibodi protektif (Sebunya, 2007), di

Bangkok, Tanzania, dan negara lain (Adriana et al., 1999:

Cleaveland et al., 1999; Kasempimolporn, 2006; Salina et al., 1992;

Cliquet et al., 2000; 2003; Servat and Cliquet, 2006; Servat et al.,

2006, 2007).

Page 18: Rabies

Kit ELISA untuk deteksi antibodi terhadap rabies sudah

tersedia di Indonesia yang diproduksi oleh Pusat Veterinaria Farma

Surabaya. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan reaksi

pengikatan antara antigen dengan antibodi dengan bantuan

enzyme sebagai penanda. ELISA merupakan teknik laboratorium

yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen

dalam sampel. Secara umum teknik ELISA yang digunakan untuk

mendeteksi adanya antibodi adalah indirect ELISA, sedangkan

sandwich ELISA untuk deteksi antigen. Dalam indirect ELISA untuk

deteksi antibodi, microplate 96-wells yang berbahan polystirene dilapisi

dengan antigen dan diinkubasikan sebelum dicuci. Serum yang

diuji ditambahkan ke microplate sehingga antibodi dalam serum

dapat berikatan dengan antigen. Setelah inkubasi dan pencucian

untuk menghilangkan antibodi yang tidak terikat, kehadiran dari

setiap antibodi terikat terdeteksi dengan penambahan antiglobulin

kimia terkait dengan enzim (konjugat). Komplek ini mengikat

antibodi, setelah inkubasi dan pencucian, dapat dideteksi dan

diukur dengan penambahan substrat. Intensitas warna yang

berkembang sebanding dengan jumlah antibodi yang hadir dalam

serum yang diuji. Intensitas warna dapat diperkirakan secara visual

atau dengan spektrofotometri (Tizard, 2000). Secara singkat prinsip

uji ELISA disajikan pada gambar 2.3.

Page 19: Rabies

Gambar 2.3.Indirect ELISA and Sandwich ELISA.

A) Dalam indirect ELISA, kepekatan warna mengindikasikan jumlah antibodiyang berikatan dengan antigen.

(B) Dalam sandwich ELISA, kepekatan warna mengindikasikan kuantitas antigen(Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK22420/)

2.6 Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR), merupakan

suatu metode yang sensitif untuk mendeteksi kadar ekspresi

mRNA. RT-PCR tradisional melibatkan dua langkah yaitu reaksi RT

dan amplifikasi PCR. RNA pertama direverse transkripsi menjadi

DNA complement (complementary DNA, atau cDNA) menggunakan enzym

reverse transcriptase. cDNA yang dihasilkan digunakan sebagai

template untuk amplifikasi PCR selanjutnya menggunakan primer

spesifik untuk satu atau lebih gen. RT-PCR juga dapat dilakukan

dalam satu langkah RT-PCR (one-step PCR). Pada satu langkah RT-

PCR semua komponen reaksi dicampur dalam satu tabung sebelum

memulai reaksi (Protocolonline. org., 2011; McPherson and Moller,

2000).

2.7 Validasi Metode

Validasi metode uji laboratorium sangat penting dilakukan

sebelum digunakan di laboratorium. Menurut Putra (2009), validasi

metode adalah suatu proses yang dilakukan untuk membuktikan

bahwa suatu metode uji layak digunakan di laboratorium. Ada dua

jenis validasi metode yaitu a) validasi primer dilakukan jika

laboratorium menggunakan metode baru hasil pengembangan atau

metode yang dimodifikasi terhadap suatu metode standard dan b)

validasi sekunder dilakukan untuk verifikasi, jika laboratorium

menggunakan atau mengadopsi metode yang telah divalidasi.

Page 20: Rabies

Pelaksanaan validasi metode tergantung dari karakter yang dapat

dideteksi oleh suatu metode uji. Beberapa kriteria yang dapat

digunakan sebagai pedoman dalam melakukan validasi suatu

metode uji yaitu limit deteksi, selektivitas/spesivisitas, linearitas

dan rentang, kekuatan/robustness, ketangguhan metode/ketidak

mantapan (ruggedness), presisi/keseksamaan, dan

akurasi/kecermatan (Harmita, 2004; Wahyuriadi, 2009).

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konseptual

Penelitian ini sangan penting dilakukan dalam upaya

pengendalian dan pemberantasan rabies dilakukan dengan

Page 21: Rabies

melakukan vaksinasi pada anjing, kucing dan kera, serta eliminasi

terhadap anjing liar dan anjing yang tidak berpemilik. Untuk

mengetahui keberhasilan program vaksinasi yang telah

dilaksanakan, perlu dilakukan evaluasi dengan monitoring antibodi

pasca vaksinasi. Dari hasil monitoring tersebut dapat diketahui

profil immun respon dari HPR yang di vaksinasi.

Profil respon imun pasca vaksinasi akan memberikan

gambaran jangka waktu kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin.

Metode uji yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antibodi

pada serum adalah serum netralisasi (SN) dan enzym linked

immunosorbent assay (ELISA). Saat ini sudah tersedia KIT secara

komersial, baik produksi lokal maupun luar negeri. Namun

demikian, untuk mengetahui sensitivitas dan spesivisitas kit yang

diproduksi oleh Pusvetma Surabaya (produksi lokal Indonesia),

supaya mendapatkan hasil yang valid, maka perlu dilakukan uji

banding dengan kit yang sudah divalidasi.

Berdasarkan data yang ada di laboratorium Balai Besar

Veteriner Denpasar diketahui bahwa, beberapa kasus klinis rabies

pada anjing adalah berasal dari anjing yang sudah mendapatkan

vaksinasi rabies. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain mungkin strain virus vaksin yang digunakan tidak cocok

dengan strain virus yang ada di Bali, handling vaksin yang tidak

baik misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi, kemungkinan

aplikasi vaksin yang tidak tepat, dan anjing dalam masa inkubasi.

Adanya kasus positif rabies pada anjing yang sudah divaksinasi,

menimbulkan pertanyaan apakah hal ini disebabkan oleh virus dari

vaksin yang dipakai, ataukah ada perbedaan struktural gen

penyandi glikoprotein rabies di Bali sehingga vaksin yang

digunakan tidak mampu lagi memberikan proktektivitas pada

anjing yang divaksin. Salah satu komponen virus rabies yang

berperanan dalam pembentukan antibodi setelah vaksinasi adalah

Page 22: Rabies

glikoprotein. Untuk itulah maka perlu dilakukan analisis genetika

terhadap gen penyandi glikoprotein virus rabies isolat Bali.

Penelitian ini sangat jarang dilakukan apalagi di Indonesia.

Penelitian ini membutuhkan sampel virus rabies yang berbahaya

dan sangat banyak uji yang dilakukan sehingga membutuhkan

tempat laboratorium yang memadai serta biosecurity yang baik.

Banyaknya bahan yang digunakan sehingga penelitian ini termasuk

penelitian yang mahal. Uji yang dipakai dalam penelitian ini

membutuhkan keterampilan peneliti yang baik dan ahli. Penelitian

Page 23: Rabies

ini sulit dilakukan dan tidak bisa dilakukan pada level S1 sehingga

dilakukan pada level S2.

3.2 Kerangka Operasional

Page 24: Rabies

Gambar 3.2 Profil respon imun dan uji banding Kit ELISA

Page 25: Rabies

Gambar 3.3 Analisis genetika gen penyandi glikoprotein

BAB IV

MATERI DAN METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel serum untuk penelitian profil imun

respon terhadap rabies dilakukan di beberapa kabupaten/kota di

Provinsi Bali. Uji ELISA dilakukan di Balai Besar Veteriner (BBVet)

Denpasar. Pengujian sampel untuk isolasi RNA dan RT-PCR

dilakukan di ITD Universitas Airlangga. Sekuensing dilakukan di

Eikjman Institute Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus-

Desember 2015.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Sampel otak positif rabies untuk analisis gen penyandi

glikoprotein diambil dari arsif sampel di laboratorium BBVet

Denpasar. Data primer berupa data sampel dari lapangan dan data

hasil pengujian sampel di laboratorium. Data sekunder berupa data

sekuen asam amino/susunan nukleotida gen penyandi glikoprotein

virus rabies yang tersedia di Genbank.

4.3 Intrumen Penelitian

Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain tabung venoject, spuit, mesin pembaca ELISA (Reader 250

biomeureuck, Franch), mesin pencuci ELISA (Biomeureux, Franch),

Mikropipet berbagai volume (0,5- 5μl, 5 sampai 25 μl, 20 μl sampai

200 μl, 200 μl sampai 1000 μl), multicannel pipet volume 20 μl

sampai 250 μl, (effendorf), inkubator 37oC (B&T), Micro centrifuge

(Thermo), Waterbath (B&T), tips pipet, PCR mesin (termocycle,

Page 26: Rabies

programable termal controler, MJ-Research ink, PTC-100), gel

elektrophoresis (Bio-rad), camera, dan mesin sekuenser.

Bahan yang digunakan antara lain serum sampel, sampel

otak anjing positif rabies, serum reference rabies positif (Antirabies

reference serum of dog origin, batch number 2010-1, Maret 2010, titer

3UI/ml, produksi ANSES, Nancy laboratory for rabies and wild life,

France, OIE reference laboratory for rabies), serum reference rabies

negatif (Dog serum naive for rabies virus, batch number SR-07, 24/12/09,

produksi ANSES, Nancy laboratory for rabies and wild life, France),

kit ELISA rabies produksi bio-rad (Platelia Rabies II KiT Ref.: 355-

0180), dan kit ELISA Produksi pusvetma Surabaya tahun 2010,

Trizol (Invitrogen), primer, RNA isolation kit (Invitrogen), PCR

reaktion kit (Invitrogen), enzym taq (Super Scrip III, One step RT-

PCR mix Platinum Taq. Cat No.12574-026 Invitrogen), PCR Kit,

Chlorofom, alkohol (Merck), 1% Agarose gel (UltrapureTM agarose

gel, Invitrogen, USA), TAE buffer (Invitrogen), 100 bp DNA ladder

(Invitrogen), dan ethidium bromide solution (Promega Corp.,

Madison, USA).

4.4 Metode Penelitian

4.4.1 Profil imun respon antibodi rabies pada anjing

Sampel serum diambil dari anjing yang belum dan sudah

mendapatkan vaksinasi rabies. Serum anjing diambil pada saat

akan dilakukan vaksinasi atau booster vaksinasi menggunakan

metode convenient sampling. Serum dikelompokkan berdasarkan status

vaksinasinya yaitu belum divaksinasi (pravaksinasi), satu bulan

sampai dengan tiga bulan pasca vaksinasi, lebih dari tiga bulan

sampai dengan enam bulan pasca vaksinasi, lebih dari enam bulan

sampai dengan sembilan bulan pasca vaksinasi, dan lebih dari

sembilan bulan sampai dengan dua belas bulan pasca vaksinasi.

Selanjutnya semua sampel serum diuji menggunakan Kit ELISA

produksi Pusvetma.

Page 27: Rabies

4.4.2 Uji banding kit ELISA

Sampel serum yang diambil dari anjing yang sudah

divaksinasi dengan vaksin rabies dan serum reference rabies positif

dan negatif (produksi ANSES France, OIE reference laboratory for rabies)

yang sudah diencerkan, diuji dengan Kit produksi Pusvetma

Surabaya dan Platelia II rabies Kit produksi Bio-Rad, dengan

prosedur yang sudah tersedia didalam Kit sebagai berikut:

A. Prosedur uji ELISA Kit Rabies Pusvetma Surabaya

Serum sampel di inaktivasi dengan memanaskan dalam

penangas air dengan suhu 56oC selama 30 menit, kemudian

diencerkan 1:50 dengan menambahkan 5μl sampel serum dengan

245 μl pelarut. Selanjutnya diencerkan serum kontrol positif

(sediaan 25 kali) dan serum kontrol negatif secara serial dari 50

kali, 100 kali, 200 kali dan 400 kali. Serum sampel dan kontrol

dimasukkan pada lubang mikroplate masing-masing 100μl dan dua

lubang dibiarkan tanpa serum sebagai kontrol konjugat. Kemudian

mikroplate ditutup dengan plastik penutup dan diinkubasikan pada

suhu 37oC selama 45 sampai dengan 60 menit. Selanjutnya cairan

serum pada mikroplate uji dibuang dan dilakukan pencucian

sebanyak minimal 5 kali. Cairan pencuci yang tersisa dalam jumlah

kecil dalam mikroplat dikeringkan dengan cara membalikkan

mikroplat di atas kertas tissue tebal. Kemudian tambahkan

konjugat yang telah diencerkan sebanyak 100μl per lubang.

Mikroplat ditutup kembali dan diinkubasikan pada suhu 37oC

selama 45 sampai dengan 60 menit. Selanjutnya cairan dibuang

dan dilakukan pencucian sebanyak minimal 5 kali dan ditambahkan

substrat ABTS sebanyak 100μl pada setiap lubang. Plate

diinkubasikan pada suhu kamar, dalam kondisi gelap selama 30

menit. Terakhir ditambahkan 100μl stop solution pada setiap

lubang. Pembacaan densitas optik (OD = Optical Density) pada

pembaca (Reader) dengan panjang gelombang 450nm. Selanjutnya

Page 28: Rabies

dihitung Equivalent Unit (EU) dari masing-masing OD sampel dengan

menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer

serum 0,5 EU atau lebih dianggap protektif.

B. Prosedur uji ELISA KIT Platelia II Kit Rabies Bio-Rad

(Platelia Rabies II KiT Ref.: 355-0180)

Mikroplate dikeluarkan dari kemasan, kemudian serum sampel,

serum kontrol positif (R4a 0,5EU) dan kontrol negatif (R3)

diencerkan dengan perbandingan 1: 100 dalam larutan pengencer

(R6). Sedangkan serum kontrol positif standar (R4b), diencerkan

1:100 (sebagai S6 dengan titer 4EU) dalam larutan pengencer (R6),

selanjutnya dari S6 tersebut diencerkan secara serial dua kali

(500μl S6 ditambah 500μl R6) menjadi S5 (2EU), demikian

seterusnya dengan cara yang sama menjadi S4(1EU), S3(0,5EU),

S2(0,25EU) dan S1 (0,125EU). Kemudian masing-masing serum

sampel dan serum kontrol, dimasukkan 100μl ke dalam lubang

mikroplate. Mikroplate ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37oC

selama 1 jam. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian

ditambahkan 100μl conjugate yang telah diencerkan pada semua

lubang. Tutup mikroplate dan diinkubasikan 1 jam pada suhu 37oC.

Mikroplate dicuci sebanyak 5 kali. Kemudian ditambahkan 100μl

substrat pada semua lubang, dan diinkubasikan pada suhu kamar

selama 30 menit dalam kondisi gelap. Kemudian

ditambahkan 100 μl stop solution pada semua lubang. Setelah 30

menit, dilakukan pembacaan optical density pada panjang

gelombang 450nm sampai 620nm. Penghitungan dilakukan ke

dalam EU dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan

rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer 0,5 EU atau lebih

dianggap protektif.

4.4.3 Analisis gen penyandi glikoprotein

Sampel otak anjing diambil dari arsip sampel positif rabies

(telah diuji FAT/ biologis) yang ada di laboratorium patologi Balai

Page 29: Rabies

Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Isolasi RNA dilakukan dengan

melakukan ektraksi sampel otak dengan menggunakan trizol

(Invitrogen). Selanjutnya dilakukan uji Reverse transcription- polymerase

chain reaction (RT-PCR) pada single-step reaction, dengan total volume 25

μl, menggunakan primer yang didisain oleh IGNK Mahardika

dengan sofware primer 3, berdasarkan sekuen nukleotida

glikoprotein (protein G) virus rabies yang tersedia di GenBank.

Produk PCR divisualisasikan secara elektrophoresis dalam 1%

agarose dengan ethidium bromide. Band DNA hasil amplifikasi

diobservasi dalam ruangan gelap menggunakan UV transluminator.

Setelah produk PCR difurifikasi, selanjutnya dilakukan sekuen.

Analisis sekuen nukleotida dari glikoprotein virus rabies isolat

Bali dibandingkan dengan sekuen virus rabies isolat lain di

Indonesia atau isolat negara lain. Data sekunder diperoleh dari

GenBank. Data primer dan data sekunder disepadankan dan

dianalisis dengan program Mega4. Parameter yang dianalisis

adalah filogenetik dan jarak genetik. Prosedur inaktivasi virus,

isolasi RNA dan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR)

adalah sebagai berikut :

A. Inaktivasi virus

Organ positif rabies dicuci dengan phospate buffer saline (PBS) pH

7,2 sebanyak tiga kali dan dimasukkan ke dalam tabung, kemudian

digerus sampai halus. Selajutnya ditambahkan PBS sampai volume

500 μl dan ditambahkan 50 μl sodium dodecyl sulfate (SDS) 10% (dalam

aquadest) sehingga konsentrasi SDS menjadi 1%. Selanjutnya

divortex sebentar untuk mencampur, kemudian ditutup dan

diselotip serta di desinfektan, terakhir disimpan pada suhu minus

20oC sebelum dipakai.

B. Isolasi RNA

Sebanyak 250 μl suspensi sampel yang telah diinaktivasi

ditambah 750 μl trizol, kemudian divortex selama 1 menit dan

Page 30: Rabies

diinkubasikan pada suhu kamar selama 5 menit. Selanjutnya

ditambahkan 200 μl Chloroform, kemudian divortex selama 15

detik dan di inkubasikan pada suhu kamar selama 15 menit.

Selanjutnya disentrifuge 13.000 rcf (12.700 rpm) selama 15 menit.

Kemudian dipisahkan supernatan ke tabung steril (yakinkan bahwa

trizol tidak ikut terambil karena mempengaruhi Band menjadi tidak

bersih) dan ditambahkan Isopropil alkohol (2 propanol) 500 μl.

Selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar 10 menit, kemudian

disentrifuge 13.000 rcf selama 10 menit dan supernatannya

dibuang, ditambahkan alkohol 70% (Pro analisis) sebanyak 1000 μl,

dan dihomogenkan dengan tangan dengan cara membentuk angka

8. Kemudian disentrifuge 7500 rcf selama 5 menit dan

supernatannya dibuang, kemudian dikeringkan (air dry) 5-10 menit

pada inkubator dengan suhu 55oC. Selanjutnya ditambahkan Treaded

water (Aquadest injeksi/ nuklease free water) 20μl. Kemudian disimpan

dalam lemari es selama 1 malam, selanjutnya disimpan dalam

freezer sampai digunakan.

C. Primer design

Primer dirancang sendiri oleh IGNK Mahardika, menggunakan

program. Primer 3 (http://biotool.umassmed.edu/bioapps/Primer3-

www.cgi). Primer dirancang berdasarkan susunan nukelotida dari

glikoprotein (protein G) virus rabies yang tersedia di GenBank.

Primer dirancang khusus untuk mengamplifikasi sekitar 751bp,

yaitu dari nukleotida nomor 688 sampai 1439 berdasarkan ORF

protein G virus rabies 03003INDO-G/Padang Pariaman/Sumatera

Barat/2003/acession number EU086151.

Primer tersebut adalah: BPRG :

5’CAACATGTCATTAGGAAAATTATCAACA 3’G688F :

5’GATGAAAGAGGATTGTAGAAGTC 3’

D. Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR)

Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) dilakukan

pada single-step reaction, dengan total volume 25 μl yang

Page 31: Rabies

mengandung PCR mix 12,5 μl, RNA sampel 2,5 μl, forward primer

1,5 μl, reverse primer 1,5 μl, enzym taq polymerase (Super ScripTM III

One-Step RT-PCR System with Platinum Taq DNA Polymerase Kit,

Invitrogen, Carlsbad, CA, USA ) 0,5 μl dan 6,5 μl akuades dalam

micro tube (PCR tube), kemudian dihomogenkan, selanjutnya di

masukkan kedalam mesin PCR (Thermal cycler) untuk sintesis cDNA

yang diikuti dengan amplifikasi PCR, dengan program sebagai

berikut: satu siklus untuk sintesis cDNA pada suhu 50oC selama 1

jam, satu siklus denaturasi pada suhu 95oC selama 45 detik ,

kemudian diikuti dengan 40 siklus yang terdiri atas denaturasi pada

suhu 94oC selama 45 detik, anneling pada suhu 52oC selama 45 detik

dan ekstensi pada suhu 72oC selama 1 menit. Setelah 40 siklus

selanjutnya step terakhir adalah ekstensi pada suhu 72oC selama 5

menit dan terakhir diinkubasi pada suhu 22oC.

E. Visualisasi produk PCR

Produk PCR yang diperoleh divisualisasikan dengan

elektrophoresis menggunakan 1% agarose (0,5 gram Ultrapure TM

agarose gel, Invitrogen, dalam 50 ml TAE 1x buffer dan 5 μl

ethidium bromide ). Kemudian pada setiap lubang agar gel diisi 3 μl

campuran terdiri dari 1 μl Blue joice (loading day) dan 2 μl produk

PCR. Running gel dalam waktu 30 menit, voltase 100 volt dan

ampere 400mA. Pada setiap gel pada salah satu lubangnya diisi

marker 100bp DNA lader (Invitrogen).

F. Sekuensing

Sekuensing dilakukan di Eijkman Institute Jakarta. Produk PCR

dikirim bersama-sama dengan primernya.

4.5 Analisis data

1. Data hasil uji titer antibodi protektif dianalisis secara statistik

dengan logistik regresi dan data parametrik (titer EU) dianalisis

dengan analisis of variance (ANOVA), menggunakan program Epi Info

version 3.5.1 (CDC, 2009).

Page 32: Rabies

2. Data hasil uji banding 2 kit ELISA dianalisis berdasarkan agreement

between test (kappa) (Viera dan Garrett, 2005, Robertson, 2008)

dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

Po (Observed agreement) = (a+d)/n

Pe (expected agreement) = [(a+c/n) x (a+b/n)] + [(b+d/n) x (c+d/n)]

a = Jumlah hasil positif dengan kit PlateliaII dan kit Pusvetma

b = Jumlah Hasil positif dengan kit Pusvetma dan negatif dengan

kit PlateliaII

c = Jumlah hasil uji positif dengan PlateliaII dan negatif dengan kit

Pusvetma

d = Jumlah hasil uji negatif dengan kit PlateliaII dan kit Pusvetma

n = Jumlah keseluruhan sampel yang diuji (a+b+c+d), secara

ringkas disajikan pada Tabel 4.1.

Interpretasi nilai Kappa adalah seperti berikut :

>0,8 – 1,0 = Excelent agreement

0,6 – 0,8 = Substantial agreement

0,4 – 0,6 = Moderate agreement

0,2 – 0,4 = Fair agreement

Page 33: Rabies

0,0 – 0,2 = Slight agreement

0,0 = Poor agreement

-1 – 0 = Disagreement

3. Data primer hasil sekuensing fragmen gen penyandi glikoprotein

virus rabies (3 isolat Bali, 1 isolat Flores dan 1 isolat Sulawesi) dan

data sekunder hasil sekuensing gen penyandi glikoprotein virus

rabies yang ada di genbank (lampiran C1), disepadankan dan

dianalisis dengan program MEGA4 (Tamura et al., 2007). Parameter

yang dianalisis adalah filogenetik dan jarak genetik.

DAFTAR PUSTAKA

Adriana S.T.P., J.L.F.Santos, C.L. Botelho, and Z.C.Roberto. 1999. An ELISA suitable for the detection of rabies virus antibodies in serum samples from human vaccinated with either cell culture vaccine or sukling mouse brain vaccine. Rev. Inst. Med. Trop.S.Paulo.41(1).

Adjid.R.M.A., A.Sarosa, T.Syapriati, dan Yuningsih. 2005. Penyakit rabies di Indonesia dan pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa. 15(4 ) : 165-172

Direktorat Kesehatan Hewan. 2006. Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan.

Benmansour A., H. Leblois, P. Coulon, C.Tuffereau, Y. Gaudin, A. Flamand dan F. Lapay. 1991. Antigenicity of Rabies Virus Glycoprotein. Journal of Virology. 65 (8): 4198-4203.

Berg J.M., J.L.Tymoczko, L. Stryer. 2002. Immunology Provides Important Techniques with Which to Investigate Proteins. Section 4.3. Biochemistry. 5th edition. New York: W H Freeman. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK22420/.

Bingham J. 2005. Canine Rabies Ecology in Southern Africa. Emerging Infectious Diseasses. 11(9) : 1337-1341. www.cdc.org. Diakses Maret 2011.

Page 34: Rabies

Bourhy H., J.M.Reynes, E.J.Dunham, L.Dacheux, F.Larrous, V.T.Q.Huang, G.Xu, J. Yan, M.E.G.Miranda, and E.C.Holmes. 2008. The Origin and Phylogeography of Dog Rabies Virus. J Gen Virol. 89(208):2673-2681.

CDC. 2007. The Rabies Virus. Centers for Diseases Control and Prevention.

CIVAS. 2010. Gejala Klinis (Hewan, manusia). Posted Tuesday, 06/08/2010 by Admin. Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies. http://www.Civas.net/gejala-klinis-hewan-manusia.

Cliquet F., T. Muller, F.Mutinelli, S.Geronutti, B.Brochier, T.Selhorst, J.L.Schereffer, N.Krafft, J.Burrow, A.Schmeitat,H.Schluter dan M.Aubert. 2003. Standardisation and establishment of rabies ELISA test in European laboratories for assesing the efficacy of oral fox vaccination campaigns.Vaccine 21 (2003) : 2986 – 2993.

Cliquet F., L.Sagne, J.L. Schereffer dan M.F.A. Aubert. 2000. ELISA test for rabies antibody titration in orally vaccinated foxes sampled in the fields. Vaccine.18 (2000) : 3272 – 3279.

Cliquet F., L.M.McElhinney, A.Servat, J.M.Boucher, J.P.Lowings, T.Goddard, K.L.Mansfield dan A.R.Fooks. 2004. Protocol. Development of a qualitative indirect ELISA for the measurement of rabies virus-specific antibodies from vaccinated dogs and cats. Journal of Virological Methods. 117 (2004):1 – 8.

Cleaveland S., M.Kaare, P.Tiringa, T.Mlengeya, and J. Barrat. 2003. A dog rabies vaccination campaign in rural Africa: impact on the incidence of dog rabies and human dog-bite injuries .Vaccine. 21(17-18):1965-1973. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264410X02007788.

Coll.J.M. 1995. The Glikoprotein G of Rhabdoviruses. Arch.140:827-851. Cox J.H., B. Dietzschold and L.G. Schneider. 1977. Rabies Virus Glycoprotein.II. Biological and Serological Characterization. Infect Immun. 16(3):754-759.

Dietzschold B., M.Schnell, H.Koprowski. 2005. Pathogenesis of rabies. Curr. Top. Microbial. Immunol. 292 : 45-56.

Page 35: Rabies

Direktorat Kesehatan Hewan. 2006. Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan. 57

Faber M., M.L.Faber, A.Papaneri, M.Bette, E.Weihe, B.Dietzschold, and M.Schnell. 2005. A Single Amino Acid Changes In Rabies Virus Glycoprotein Increases Virus Spread and Enhances Virus Pathogenicity. J.Virol.79(22):14141-14148.

Gould, A.R., A.D.Hyatt, R.Lunt, J.A.Kattenbelt, S.Hengsberger, S.D.Blacksell. 1998. Characterization of novel lyssavirus isolated from Pteropid bats in Australia. Virus. Res. 54 : 165-187.

Gupta P.K., S.Sharma, S.S.Walunj, V.K.Chaturvedi, A.A.Raut, S.Patial, A.Rai, K.D.Pandey and M.Saini. 2005. Abstrak, Immunogenic and Antigenic Properties of Recombinant Soluble Glycoprotein of Rabies Virus. Veterinary Microbiology. 198(3-4):207-214.

Guyat, K.J., J.Twin, P.Davis, E.C.Holmes, G.A.Smith, I.L.Smith, J.S.Mackenzie, P.L.Young, 2003. A moleculer epidemiological study of Australian bat lyssavirus. J.Gen.Virol. 84: 485-496.

Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1 (3): 117-135.

Inoue, S., M.Yurie, K.Tomoko, O.Kenichiro, and Y.Akio. 2003. Safe and Easy monitoring of anti-rabies antibody in dogs using His-Tagged Recombinant N-protein. Jpn.J.Infect.Dis. 56 : 158-160.

Ito N., M. Takayama, K. Yamada, M. Sugiyama, and N. Minamoto.2001. Rescue of Rabies Virus From Cloned cDNA and Identification of the Pathogenicity- Related Gene : Glycoprotein Gene Is Associated With Virulance for Adult Mice. Journal of Virology.75(19): 9121-9128.

Jallet C, Y. Jacob, C.Bahloul, A. Drings, E. Desmezieres, N. Tordo and P. Perrin. 1999. Chimeric Lyssavirus Glycoprotein with Increased Immunological Potential. Journal of Virology. 73(1), Jan1999 : 225-233. 58

Kang B., J.S.Oh, C.S.Lee, B.K.Park, Y.N.Park, K.S.Hong, K.G.Lee, B.K.Cho, and D.S.Song. 2007. Evaluation of Rapid Immunodiagnostic Test kit for Rabies Virus. Journal of Virology Methods.145(2007): 30-36.

Page 36: Rabies

Karamany R.M., J. Kazar, S.A. Malik, S. al-Multi, dan M. Badriya. 1988. Rapid Quantitative Assay of Rabies Post-Vaccination Antibody ELISA. Abstract. PubMed. APMIS Suppl.(3):40-3.

Kartika H. 2008. Respon Imun Outline. http://hennykartika.wordpress.com/2008/01/01/respon-imun-outline/.

Kasempimolporn.S., B. Sichanasai, W. Saengseesom, S. Pesempumpanich, S. Chatraporn, and V. Sitpsija. 2006. Prevalence of rabies virus infection and rabies antibody in stray dogs : A Survey in Bangkok, Thailand. Preventive Veterinary medicine XXX (2006). PreVET. 2253. 1-8.

Lancet. 2007. Rabies Has Ist Day. The Lancet Infectious Diseases. 7 (October 2007). http://Infection.thelancet.com.

Langevin C.and C. Tuffereau.2002. Mutation Confering Resistance to Neutralization by a Soluble Form of The Neurotropin Receptor (P75NTR) Map Outside of The Known Antigenic Sites of The Rabies Virus Glycoprotein. Journal of Virology.76(21): 10756-10765.

Lestari.I.S dan D.M.N. Dharma.2005. Review Rabies. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15 September 2005.

Maillard.P.A. dan Y. Gaudin. 2002. Rabies virus glycoprotein can fold in two alternative, antigenically distinct conformations depending on membraneanchor type. Journal of General virology. 83 : 1465-1476.

Mansfield K.L., P.D.Burr, D.R.Snodgrass, R.Savers dan A.R.Fooks. 2004. Factors Affecting the Serological Response of Dogs and Cats to Rabies Vaccination. The Veterinary Record, April 3, (2004) : 423 – 426.

McElhinney.L.M., A.R.Fooks, and A.D.Radford. 2008. Diagnostic tools for the detection of rabies virus.EJCAP-Vol.18-issue 3 December 2008. 224-231. 59

McPherson M.J. and S.G.Moller. 2000. Analysis of Gene Expression. Chapter 8 in PCR the Basics from Background to Bench. Bios Scientific Publishers.Ltd. Oxford IRE.UK. First Publised. 183-204.

Page 37: Rabies

Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1/Kpts/PD 640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Meslin.F.X, dan M.M.Kaplan.1996. An overview of laboratory techniques in the diagnosis and prevention of rabies and in rabies research hal 9-27, Chapter2 in laboratory techniques in rabies fouth edition.

Metlin A., L.Paulin, S.Suomalainen, E.Neuvonen, S.Rybakov, V.Mikhalishin and A.Huovilainen. 2007. Characterization of Russian Rabies Virus Vaccine Strain RV-97. Short Communication. Virus Research xxx(2007) xxx-xxx. Article in Press.

Miah, A. 2005. Bat rabies – the achilles heel of a viral killer? Lancet 366: 876-877.

Mirjana S.P., P. Hoetnik, S.Levinik-Stezinar, dan L. Zaletel-Kragelj. 2006. Vaccination Against Rabies and Protective Antibodies – Comparison of ELISA and Flourescent Antibody Virus Neutralization (FAVN) Assays. Veterinary Archives.76 (4).

Moore S.M. dan C.A. Hanton. 2010. Rabies-Specific Antibodies: Measuring Surrogates of Protection Against a Fatal Disease. PloS Neglected Tropical Diseases. http://www.plosntds.org/article/info:doi%2F10.1371%2Fjournal.pnt.

Nagaraja T., B. Mohanasubramanian, E.V. Seshagiri, S.B. Nagendrakumar, M.R.Saseendranath, M.L. Satyanarayana, D. Thiagarajan, P.N. Rangarajan, dan V.A. Srinivasan. 2006. Molecular Epidemiology of Rabies Virus Isolates in India. Journal of Clinical Microbiology. 44 (9) : 3218-3224. 60

Nagaraja T., S.Madhusudana dan A. Desal. 2008. Molecular Characterization of Full-length Genome of Rabies Virus Isolated from India. Virus Genes. 36 : 449 – 459.

Ohore.O.G., B.O.Emikpe., O.O.Oke, and D.O.Oluwayelu. 2007. The seroprofile of rabies antibodies in companion urban dogs in Ibalan Nigeria. Journal of animal and veterinary advance 6 (1). 53-56. Medwell online.

Ondrejkova A., J.Soli, R.Ondrejka, Z. Benesek, R.Franka, S. Svrcek,M.Madar, dan A. Bugarsky. 2002. Comparison of The

Page 38: Rabies

Detection and Qualification of Rabies Antibodie in Canine Sera. Vet.Med-Czech, 47,2002 (8) : 218-221.

OIE . 2008. Rabies. Manual of standard for diagnostic techniques. Chapter 2.1.13. Terrestrial manual. P.304-323.

Rahman A. dan R. Maharis. 2008. Analisis Keberhasilan Vaksin Oral Rabies Sebagai Perbandingan Pengendalian Rabies di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan.13 (2008).

Ren L. 2010. Short report Molecular Characterization of a Chinese Variant of the Flury-LEF Strain. VirologyJournal: 7(80). http://www.virologyj.com/content/7/1/80.

Riasari J.R.2009. Kajian Titer Antibodi terhadap Rabies pada Anjing yang di Lalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyebrangan Merak. (Tesis) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/4622/Cover_2009jrr.

pdf?sequence=5.

Robertson I. 2008. VET 641 Principles of Epidemiology Reader. Murdoch University. Perth. 148-149.

Roitt I., J. Brostotoff and D. Male. 2000. Immunology. Fifth Edition. Mosby . London Philadelphia st Louis Syndney Tokyo. 77-80

Rupprecth C.E., M.D. Leonard-Blass, K. Smith, L.A. Orciari, M. Niezgoda, S.G. Whitfield, R.V. Gibbons, M. Guerra, dan C.A. Hanion. 2001. Human Infection Due to Recombinant Vaccinia-Rabies Glycoprotein Virus. The New England Journal of Medicine: 345 (8): 582-586.

Salinas J., F.Cuello, M.R.Coro, M.C.Gallego, M.J.Sanches, A.J.Buendia, J.Breton, B.Marsilla. 1992. Qualification and evolution of rabies antibodies level by ELISA in dog sera with different number of vaccination. ANVET (Murcia) (8) : 3-6.

Sebunya T.K., N.Ndabumbi and S.Mpuchane. 2007. A serosurvey of rabies antibodies in dogs in Goborone, Botswana. Journal of animal and veterinary advances 6 (4) : 549-553.

Servat A., M.Wasnieswski dan F.Cliquet. 2006. Tools for Rabies Serology to Monitor the Effectiveness of Rabies Vaccination in Domestic and Wild Carnivores. Dev. Biol (Basel). Basel Karger. 125 : 91 – 94.

Page 39: Rabies

Shanker B.R. 2009. Advances in Diagnosis of Rabies. Veterinary world. 2(2) : 74-78. 62

Sissoe L., M. Mousi, P. England, and C. Tuffereau. 2005. Stable Trimerization of Recombinant Rabies Virus Glycoprotein Ectodomain Is required for Interaction with P75NTR Receptor. Journal of general Virology. 86 : 2545- 2552.

Suryadi Y., I.Manzila, dan M.Machmud.2009. Tinjauan Potensi Pemanfaatan Perangkat Diagnostik ELISA Serta Variannya Untuk Deteksi Patogen Tanaman. Journal of Agro Biogen.5(1) : 39-40.

Susan A., N.Davis, Y. Feng, D. Mousse, I Alexander, Wondeler, and s.Aris- Brosou.2010. Spatial and Temporal Dynamic of Rabies Virus Variants in Long Brown Bat Population Across Coroda: Foot Prints of an Emerging Zoonosis. Molecular ecology.19: 2120-2136.

Susetya H. 2005. Analisis genetik gen penyandi glikoprotein dari virus rabies isolat Indonesia. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner.

Susetya H., I. Naoto, M. Sugiyama, and N. Minamoto.2005. Genetic Analysis of Glycoprotein Gene of Indonesian Rabies Virus. Indonesian Journal of Biotecnology.10(1) : 795-800.

Suwarno. 2005. Identifikasi Virus Rabies Diadaptasi pada Kultur Sel Neuroblastoma dengan Indirect Sandwich – ELISA dan direct-FAT. Media Kedokteran Hewan. 21(1) : 43-47.

Tamura K., J. Dudley, M. Nei, and S. Kumar. 2005. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) Sofware Version 4.0. MEGA4 sofware. 1597-1599.

Tao L., J. Ge, X.Wang, H. Zhai, T.Hua, B. Zhao, D. Kong, C. Yang, H. Chen, and Z. Bu. 2010. Molecular Basis of Neurovirulence of Flury Rabies Virus Vaccine Strains: Importance of the Polymerase and The Glycoprotein R333Q Mutation. Journal of virology. 84(17) : 8926-8936.

Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin, and H.Wilde. 2004. Survival of Naturally Infected Rabid Dogs and Cats. Brief Report. Clinical Infectious Diseases. 39 : 278-280.

Page 40: Rabies

Tepsumethanon V., H.Wilde, dan V. Sitprija. 2008. Ten-day Observation of Live Rabies Suspected Dogs. Dev. Biol. Basel, Kanger. 131 : 543-546.

Tizard I.R. 2004. Veterinary Immunology. An introduction. Sevent edition. Saunders an Inprint of alsever. 145-168.

Tomar N.R., V.Singh, S.S.Marla, R.Chandra, R.Kumar, and A.Kumar. 2010. Molecular Docking Studies With Rabies Virus Glycoprotein to Design Viral Therapeutics. Research paper.72(4) : 486-490.

Touihri L., I. Zaouia, K.Elhili, K.Dellagi, and C.Bahloul. 2011. Evaluation of Mass Vaccination Campaign Coverage Against Rabies in Dogs in Tunisia. Zoonoses and Public Health, 58: 110-118. Doi:10.1111/j.1863-2378.2009.01306.

Triakoso B., 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies. Penerbit Kanisius. http://books.google.co.id. Di akses Desember 2010.

Transfuzion aabb.org. 2009. Rhabdo Virus (Virus Rabies). Appendix2 Transfuzion. 49:146s-147s.

Viera A.J. and J. M. Garrett. 2005. Understanding Interobserver Agreement: The Kappa Statistic. Research series. 37 (5) : 361-363.

Wahyuriadi. 2009. Validasi Metode Analisis. http://wahyuriadi.blogsport.com/ 2009/03/validasi metode-analisis.html

Warrell M.J.2009. Rabies and Other Lyssavirus Infection. Dalam Principle & Practice of Clinical Virology. Sixth edition. Editor. Zuckerman A.J.,choub, P.Mostimer. 777-800.

WHO. 2010. RABIES. http://www.who.int/immunization/topics/rabies/en/ Last

updated: 6 August 2010.

Wilde H., T. Hemachuda, dan A.C. Jackson. 2008. Viewpoint: Management of Human Rabies. Trans R Soc Trop Med Hyg (2008),xxx, xxx-xxx.

Wilde H.,2009. Rabies Vaccines.Travelers Vaccines State of the Art. Chapter 9 : 215 – 236.

Page 41: Rabies

Zee Y.C. dan N.J.Maclachlan, 2004. Rhabdoviridae: Rabies. Chapter 61 Veterinary. Microbiology. 2nded. Editor: Hirch D.C., N.J.Maclachlan, R.L.Walker. http//www.ubmb.edu/gsbs/microbook/ch061.htm. Diakses 17 Februari 2010.

Zhang S., Y Liu, F. Zhang, dan R. Hu. 2009. Competitive ELISA Using a Rabies Glycoprotein-Transformed Line to Semi-Quantify Rabies Neutralizing- Related Antibodies In Dogs. Abstract, Vaccine, 2009.Mar 28;27(15):2108- 13. Epub 2009 Feb 6.