PUTUSAN Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010 KOMISI INFORMASI … · 2. Ada beberapa prinsip dalam penanganan...
Transcript of PUTUSAN Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010 KOMISI INFORMASI … · 2. Ada beberapa prinsip dalam penanganan...
1
PUTUSAN
Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010
KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA
1. IDENTITAS
[1.1] Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia yang memeriksa, memutus, dan
menjatuhkan putusan dalam Sengketa Informasi Publik Nomor Registrasi: 002/X/KIP-PS-
A/2010 yang diajukan oleh:
Nama : Indonesia Corruption Watch (ICW)
Alamat : Jl. Kalibata Timur IV/D No. 6 Jakarta Selatan 12740
Yang diwakili oleh Danang Widoyoko selaku Koordinator Badan Pekerja ICW dan Adnan
Topan Husodo selaku Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW bertindak untuk dan atas nama
ICW, selanjutnya disebut sebagai Pemohon, di dalam persidangan memberikan kuasa kepada
Agus Sunaryanto dan Febridiansyah dengan Surat Kuasa Nomor. 390/SK/BP/ICW/XI/2010
tertanggal 30 November 2010; selanjutnya memberikan kuasa kepada Tama S. Langkun
dengan Surat Kuasa Nomor. 03/SK/BP/ICW/XI/2010 tertanggal 28 Desember 2010; dan
selanjutnya pada tanggal 18 Januari 2011 Emerson Yuntho selaku Wakil Koordinator ICW
berdasarkan Surat Kuasa Nomor: 11/SK/BP/ICW/I/11 memberikan kuasa kepada Tama Satya
Langkun, Febridiansyah, dan Agus Sunaryanto.
Terhadap
Nama : Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri)
Alamat : Jl. Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Komisi Informasi Pusat
2
selanjutnya disebut sebagai Termohon, di dalam persidangan Kepala Divisi Hukum Polri
Inspektur Jenderal Polisi Drs. Mudji Waluyo, S.H., M.M memberikan Surat Perintah Nomor:
Sprin/878/XII/2010 kepada:
1. Brigjen Pol Dr. Iza, S.IK., S.H., M.H. NRP.62080968-Karobankum Divkum Polri;
2. Kombes Pol Banuara Manurung, S.H., M.H. NRP. 56120863-Kabag Banhatkum
Robankum Divkum Polri;
3. Kombes Pol I Ktut Sudiarsa, S.H., M.Si. NRP. 56110661-Pamen Robankum Divkum
Polri;
4. AKBP Dadang Suhendar, S.H., M.H. NRP. 62090805-Kasubbag Banhat Pidham
Robankum Divkum Polri;
5. Kompol Fidian Surihati, S.H., M.H. NRP. 71080527-Advokat/Pengacara Madya
Robankum Divkum Polri; dan
6. Pembina Bambang Wahyu Broto, S.H. NIP. 030189082-Advokat/Pengacara Madya
Robankum Divkum Polri.
[1.2] Telah membaca surat permohonan Pemohon;
Telah mendengar keterangan Pemohon;
Telah mendengar keterangan Termohon;
Telah memeriksa bukti-bukti dari Pemohon dan Termohon;
Telah mendengarkan keterangan ahli;
Telah membaca kesimpulan dari Pemohon dan Termohon.
2. DUDUK PERKARA
A. Pendahuluan
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan penyelesaian Sengketa
Informasi Publik yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Komisi Informasi Pusat pada
tanggal 21 Oktober 2010 dengan registrasi Sengketa Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010.
Kronologi
[2.2] Pada tanggal 2 Agustus 2010, Pemohon mengajukan permohonan informasi kepada
Termohon berupa informasi terkait 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran
nilainya yang telah dikategorikan wajar oleh Mabes Polri setelah pemeriksaan tanggal 23 Juli
Komisi Informasi Pusat
3
2010 terhadap 23 rekening anggotanya sesuai Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK melalui
Surat Permintaan Informasi Nomor :238/SK/BP/ICW/VIII/10.
[2.3] Termohon memberikan tanggapan tertulis melalui surat Nomor.
B/364/VIII/2010/Humas pada tanggal 4 Agustus 2010 yang berisikan penolakan pemberian
informasi dengan alasan pengecualian berdasarkan:
1. Pasal 17 huruf h angka (3) dan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU KIP yang menyatakan
bahwa suatu informasi dikecualikan antara lain apabila dapat mengungkap rahasia
pribadi; dan
2. Pasal 10 A UU TPPU yang menyatakan bahwa Pejabat atau pegawai PPATK,
penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen
dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini
wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi
kewajiban menurut Undang-Undang ini.
[2.4] Terhadap tanggapan berupa penolakan pemberian informasi oleh Termohon, tertanggal
13 Agustus 2010 Pemohon mengajukan keberatan dengan Surat Nomor:
258/SK/BP/ICW/VIII/10 atas alasan Pemohon menilai bahwa dasar hukum penolakan oleh
Termohon tidak tepat dijadikan alasan penolakan permohonan informasi atas dasar
pengecualian, yang diterima Farida, pegawai di instansi Termohon pada tanggal 31 Agustus
2010. Di dalam surat pengajuan keberatannya juga Pemohon kembali meminta informasi
berupa:
1. hasil pemeriksaan dan klarifikasi Mabes Polri terhadap kepemilikan sejumlah
rekening mencurigakan para perwira Polri; dan
2. nama dan jumlah rekening yang dimiliki oleh 17 perwira kepolisian yang
diklasifikasikan wajar oleh Mabes Polri.
[2.5] Karena Termohon tidak memberikan tanggapan atas surat keberatan yang diajukan
Pemohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara
tertulis, maka pada tanggal 21 Oktober 2010 Pemohon mengajukan Permohonan
Penyelesaian Sengketa Informasi Publik kepada Komisi Informasi Pusat.
Komisi Informasi Pusat
4
Alasan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik
[2.6] Pemohon tidak mendapatkan tanggapan atas keberatan tertulis yang diajukannya dalam
jangka waktu 30 (hari) kerja sejak keberatan diajukan.
Petitum
[2.7] Meminta kepada Komisi Informasi Pusat untuk menyelesaikan Sengketa Informasi
Publik antara Pemohon dengan Termohon.
B. Alat Bukti
Keterangan Pemohon
[2.8] Menimbang bahwa di persidangan Pemohon menyatakan keterangan sebagai berikut:
1. Informasi yang diminta oleh Pemohon adalah tentang 17 rekening yang dikategorikan
wajar dan harus digarisbawahi bahwa yang dimaksud adalah yang diperoleh secara
legal.
2. Yang menyatakan bahwa 17 rekening itu wajar adalah Kadiv Humas Polri yang
memberikan keterangan pada tanggal 23 Juli 2010 bukan Pemohon.
Keterangan Ahli Andreas Hugo Pareira
[2.9] Menimbang bahwa di persidangan Ahli Andreas Hugo Pareira menyatakan keterangan
sebagai berikut:
1. Ada 70 kali rapat perdebatan dalam pembuatan UU KIP. Inti dari perdebatan ini
adalah pembentukan undang-undang keterbukaan informasi sebagai salah satu upaya
perlindungan warga negara dalam mendapatkan informasi publik yang terdapat di
dalam Pasal 28 UUD 1945. Filosofi yang muncul pada saat itu adalah maximum acces
information limited exemption, semangat untuk memberi kemungkinan akses
informasi publik bagi penyelenggara negara dan hak untuk berkomunikasi dan
mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi di lingkungan sosialnya serta
berhak untuk mencari, memperoleh, menyidik, menyimpan, mengolah informasi
dengan saluran informasi yang tersedia.
2. Semangat tersebut dituangkan di konsideran UU KIP. Ada 4 (empat ) konsideran
pokok dalam UU KIP yang semuanya berbicara tentang perlindungan warga negara
tentang perolehan informasi publik, kemudian kewajiban badan publik untuk
menyampaikan informasi kepada pengguna informasi.
Komisi Informasi Pusat
5
3. Adanya pasal-pasal pengecualian di UU KIP untuk melindungi negara juga untuk
menlindungi hak-hak dari warga negara. Di dalam pasal pengecualian juga terdapat
aspek-aspek penegakan hukum dimana aspek kepentingan umumnya juga sangat
besar. Disini yang menentukan adalah Majelis Komioner yang memeriksa.
4. Pasal 17 yang didalamnya terdapat pengecualian untuk membuka informasi yang
dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana dibuat lebih
rinci memang untuk melindungi kepentingan penegakan hukum namun tetap ada
pengecualian di atas pengecualian yang diatur lebih lanjut di dalam Pasal 18 ayat (2)
yang mengecualikan Pasal 17 huruf g dan h tentang rahasia pribadi terkait dengan aset
keuangan apabila berkaitan dengan pejabat publik. Apa yang dinyatakan dikecualikan
di Pasal 17 huruf g dan h tidak berlaku untuk pejabat publik sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 18 ayat (2).
5. Mengenai apakah anggota Polri pejabat publik apa tidak dapat dilihat di ketentuan
Pasal 1 angka 8 yang menyatakan bahwa pejabat publik adalah orang yang ditunjuk
dan diberi tugas menduduki posisi pada jabatan tertentu pada badan publik tersebut.
Polri sudah jelas Badan Publik, sesuai dengan Ketentuan Umum butir 3 bahwa badan
publik adalah legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain yang tugas pokoknya adalah
penyelenggara negara. Jika anggota Polri ditunjuk dan diberi tugas untuk menjabat
pada institusinya maka sudah tentu anggota Polri tersebut adalah pejabat publik, maka
dialah yang mendapat pengecualian pada Pasal 18 ayat (2) terhadap pengecualian
pada Pasal 17 tersebut.
6. Apabila A sebagai pribadi dan juga merupakan pejabat publik maka terhadapnya
melekat ketentuan sebagai pejabat publik.
7. Untuk dapat dinyatakan bahwa suatu transaksi wajar atau tidak, yang menentukan
adalah Badan Publik itu sendiri. Apabila dinyatakan wajar maka publik berhak
meminta informasi tersebut.
Keterangan Ahli Adrianus Meliala
[2.10] Menimbang bahwa di persidangan pada tanggal 18 Januari 2011, kriminolog dan
pengamat kepolisian Adrianus Meliala menyatakan keterangan sebagai berikut:
1. Polri adalah lembaga yang pertama menyebut diri telah memulai dan melakukan
reformasi internal pada tahun 1999 yakni pada hari-hari dimana kita memasuki fase
reformasi ditandai dengan turunnya pemerintahan Orba. Selanjutnya reformasi Polri
terus bergulir diawali dengan perubahan tiga aspek (struktural, kultural, dan
Komisi Informasi Pusat
6
instrumental), lalu dilanjutkan dengan keluarnya beberapa dokumen penting Polri
seperti grand Strategy polri serta Rencana Strategi Polri, beberapa Peraturan Kapolri
yang reformis seperti tentang penghargaan HAM dan Perpolisian Masyarakat.
Kesemuanya ini guna mengedepankan prinsip good governance dalam tubuh
kepolisian. Konteks good governance sendiri secara eksplisit dan implisit disebutkan
dalam dokumen-dokumen tersebut dan diterima Polri sebagai sesuatu hal yang perlu
dikembangkan oleh Polri ketika berbagai jajaran dalam Polri menerima bantuan dari
berbagai pihak, dalam dan luar negeri.
2. Bahwa reformasi Polri telah diluncurkan satu dekade lalu, namun dibandingkan
dengan aspek struktural dan instrumental, budaya atau kultur kepolisian malah
dituding menjadi penyebab tingginya angka kekerasan yang dilakukan oleh polisi,
cenderung tidak efisiennya manajemen kepolisian, cenderung tingginya praktek
korupsi di kalangan polisi serta kecenderungan untuk hidup glamour khususnya di
kalangan perwira Polri.
3. Fenomena “rekening gendut”, yang dapat diartikan sebagai uang dalam jumlah yang
jauh lebih besar dari akumulasi gaji yang diterima terkait pangkat dan jabatan tidak
perlu langsung dikaitkan bahwa pemiliknya melakukan korupsi dalam arti adanya
kerugian negara. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari tidak efisien serta
kunonya administrasi keuangan negara yang secara relatif lebih memanjakan
seseorang dengan jabatan kepala serta seseorang dengan pangkat tinggi, serta hanya
mementingkan dilakukannya suatu kegiatan (output) tanpa melihat apakah kegiatan
itu membawa hasil (outcomes) atau apalagi dampak (impact).
4. Dalam konteks Polri, administrasi keuangan negara yang kuno dan tidak efisien itu
semakin mendapat tempat dan dikultivasikan. Atasan atau orang berpangkat tinggi
adalah atribut yang sah bagi penyandangnya untuk memperoleh perlakuan yang
memanjakan, seperti tidak perlunya yang bersangkutan mengeluarkan biaya bagi
dirinya sendiri dan secara bersamaan yang bersangkutan memperoleh aneka fasilitas
tambahan yang “diada-adakan” oleh jajaran di bawahnya. Fenomena inilah yang
dinamakan bottom-up finance flows-suatu aliran keuangan yang mengucur dari bawah
ke atas. Dalam konteks demikian, wajar rekening tersebut tidak diungkapkan dengan
berbagai alasan.
5. Dalam bahasa berbeda, kultur tersebut dikenal oleh berbagai kalangan sebagai conflict
of interest atau konflik kepentingan yang menjadikan pihak atau pihak-pihak yang
terkena menjadi tidak bisa mengambil keputusan atau bersikap netral, imparsial , apa
Komisi Informasi Pusat
7
adanya atau selaras dengan kebenaran,semata-mata karena dirinya sendiri menjadi
sesuatu yang dipertaruhkan (at stake)
6. Disarankan kepada Komisi Informasi dalam hal terjadinya konflik kepentingan, maka
pihak yang memiliki kepentingan tersebut secara etis sejak awal harus
mengungkapkan (disclosure) keterkaitan apa yang menjadikan dirinya memiliki
kepentingan atau tidak memberikan hak berbicara sama sekali. Selanjutnya,
keputusan atas pihak yang memiliki konflik kepentingan dapat diambil langsung oleh
Komisi Informasi sebagai pihak yang mengatasi, independen serta netral.
Surat-Surat Pemohon
[2.11] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan bukti surat/tertulis sebagai berikut:
Bukti P-1 Akta Pendirian Indonesia Corruption Watch (ICW) Nomor 53 tertanggal 11
Juni 2009 dengan akta notaris Harizul Sudarmadi, S.H berdasarkan
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: C-1806.HT.03.02-Th.1999.
Bukti P-2 Salinan surat Permohonan Informasi Publik yang ditujukan kepada Termohon
dengan Nomor: 238/SK/BP/ICW/VIII/10 tertanggal 2 Agustus 2010.
Bukti P-3 Salinan Surat Tanggapan Termohon terhadap Permintaan Informasi dengan
Nomor Surat: 258/SK/BP/ICW/VIII/1 tertanggal 4 Agustus 2010.
Bukti P-4 Salinan Surat Keberatan yang ditujukan kepada Termohon dengan Nomor
Surat: 258/SK/BP/ICW/VIII/10 tertanggal 13 Agustus 2010 yang diterima
tanggal 31 Agustus 2010, berdasarkan Bukti Tanda Terima yang
ditandatangani oleh Farida.
Bukti P-5 Surat Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dengan Nomor:
326/SK/BP/ICW/X/10 tertanggal 20 Oktober 2010 yang diterima pada
tanggal 21 Oktober 2010.
[2.12] Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang diuraikan di atas dan buktit terlampir, Pemohon
meminta kepada Majelis Komisioner agar memberikan putusan:
1. Primer
a. Mengabulkan permohonan Pemohon.
b. Memerintahkan Termohon untuk segera menyerahkan salinan informasi yang
diminta Pemohon.
Komisi Informasi Pusat
8
2. Subsider
Memberikan putusan lain yang seadil-adilnya menurut rasa keadilan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Keterangan Termohon
[2.13] Menimbang bahwa di dalam persidangan Termohon memberikan keterangan sebagai
berikut:
1. Seluruh tindakan penyelidikan yang dilakukan Termohon sebagai Kasubdit Tindak
Pidana Pencucian Uang atau money laundering di bawah Direktorat Tindak Pidana
Khusus Bareskrim Polri yang bertugas dan bertanggung jawab berdasarkan Surat
Keputusan Kapolri No. 61 tanggal 5 Tahun 2007 harus berdasarkan UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian, UU. No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP, UU No.39 Tahun
1999 tentang HAM, UU No. 25 Tahun 2003 Perubahan Atas UU. No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang
Kode Etik Profesi Polri, Peraturan Kapolri No, 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan
dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri.
2. Ada beberapa prinsip dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Yang pertama
bahwa pidana pencucian uang itu ada kejahatannya, yang kedua ada harta kekayaan
hasil kejahatan itu dan yang ketiga ada transaksi. Jadi kalau tidak ada ketiga itu, tidak
dapat dikatakan sebagai tindak pidana pencucian uang.
3. Dalam melakukan penyelidikan mengenai LHA, Termohon mendasari Surat Perintah
Kapolri No. 1173 tanggal 29 Juni 2010. Proses penting dalam penyelidikan ini
meliputi mekanisme kerja, pengelolaan LHA, dan penanganan LHA. Termohon
menerima LHA yang berasal dari PPATK dari Kapolri karena PPATK hanya
mengirim seluruh LHA kepada Kapolri. Selanjutnya Kabareskrim meneruskan LHA
kepada Direktur Tindak Pidana Khusus dan kepada Kasubdit untuk dipelajari
selanjutnya diadakan gelar perkara. Gelar perkara ini akan menentukan kualifikasinya
berdasarkan bobot apakah penanganan cukup dilakukan oleh satuan wilayah (Polda)
atau Mabes Polri. Apabila diputuskan disidik oleh Mabes Polri maka Bareskrim akan
membuat laporan penyelidikan. Selanjunya masih ada gelar untuk menguji apakah
proses penyelidikan telah sesuai dengan prosedur secara legal atau ada prosedur ilegal.
4. Apabila kemudian diketahui tidak ada peristiwa tindak pidana pencucian uang maka
Termohon akan melaporkan temuannya kepada PPATK namun apabila ditemukan
Komisi Informasi Pusat
9
indikasi tindak pidana pencucian uang, Termohon wajib melakukan penyidikan. Setiap
proses ini dilaporkan kepada PPATK sebagai sumber informasi.
5. Prinsip penyelidikan dalam proses penanganan LHA adalah pertama, menjaga
kerahasiaan LHA mulai dari penempatan, penggunaan, dan pengarsipan. Kedua, setiap
kegiatan penyelidikan harus berdasarkan pada surat perintah. Ketiga, penyelidikan
dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan serta peraturan lain yang
mengatur tentang tindak pidana pencucian uang.
6. Ada beberapa tahap penanganan LHA. Pertama, bahwa pembahasan pada tingkat
direktorat tentang dugaan tindak pidana pencucian uang yang merupakan hasil dari
LHA PPATK melalui mekanisme gelar. Kedua, penyelidikan dugaan tindak pidana
pencucian uang yang neliputi kegiatan pengumpulan data informasi awal LHA yang
merupakan data atau fakta. Terhadap data atau fakta tersebut dilakukan verifikasi,
identifikasi, dan pengujian dokumen secara legal untuk melihat apakah pengeluaran
dokumen telah sesuai dengan prosedur. Verifikasi juga dapat dilakukan dengan
interview petugas atau pejabat tertentu yang mengetahui suatu peristiwa yang
terindikasi tindak pidana pencucian uang. Selanjutnya dilakukan gelar perkara untuk
menentukan tindak pidana tersebut menang benar tindak pindana pencucian uang atau
tidak. Kemudian ada mekanisme untuk mendapatkan keterangan dari Penyedia Jasa
Keuangan terkait pemblokiran dan pembukaan blokir harta kekayaan yang dikelola.
Kemudian melakukan kegiatan lain yang diperlukan guna memperlancar pelaksanaan
penyelidikan dan penyidikan.
7. Proses penyelidikan terhadap 17 rekening anggota Polri yang diterima juga telah
melalui mekanisme penyelidikan dan proses penanganan LHA melalui tahap-tahap
yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
8. Untuk mengetahui apakah ada tindak pidana pencucian uang atau tidak sudah masuk
ke substansi rahasia karena merupakan proses penyidikan.
9. Mengenai pernyataan wajar yang dinyatakan oleh PPID Humas yang melihat dari
proses manajemen selebihnya merupakan ranah Bareskrim dimana informasi tersebut
dirahasiakan.
10. Terhadap permintaan dari Pemohon, PPID Humas Mabes Polri menunggu berkas
selesai diolah oleh Bareskrim. Berkas tersebut belum sampai kepada PPID Humas
sehingga belum dapat diverifikasi.
11. Informasi yang diberikan kepada publik mengenai 17 rekening yang dikategorikan
wajar tersebut merupakan informasi rahasia dimana ada informasi yang bocor kepada
Komisi Informasi Pusat
10
publik. Humas pada waktu itu mengklarifikasi mengenai informasi yang bocor
tersebut.
12. Termohon menyatakan bahwa sesuai dengan data yang berasal dari PPATK sampai
dengan Juli 2010 ada kurang lebih 8 juta Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
(LTKM) dan laporan transaksi keuangan tunai yang wajib disediakan oleh Penyedia
Jasa Keuangan. Dari 8 juta laporan informasi tersebut yang diterima dari tahun 2003-
2010 ada 1228 LHA artinya PPATK telah memperoleh adanya transaksi
mencurigakan. Dari 1228 LHA tersebut telah disidang 82 perkara.
13. Termohon menerangkan bahwa 17 pemilik rekening yang dikategorikan tersebut telah
pernah diperiksa.
14. Termohon melaporkan kepada PPATK mengenai perkembangan 17 rekening tersebut.
Keterangan Ahli Yenti Garnasih
[2.14] Menimbang bahwa di dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011, ahli Yenti
Garnasih dari Termohon memberikan keterangan sebagai berikut:
1. Pasal 10 A UU TPPU mengatakan bahwa pejabat, penyidik, PPATK atau siapapun
tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan tujuannya adalah jika nasabah
yang bersangkutan mengetahui bahwa rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum
sempat diperiksa dan diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana
tersebut.
2. Apabila terbukti ada tindak pidana pencucian uang, maka Pasal 10 A diabaikan dan
masuk ke Pasal 14 UU TPPU bahwa rahasia perbankan dikesampingkan.
3. Untuk dana sejumlah 500 juta atau lebih sudah langsung dianalisis oleh PPATK. Hal
ini juga berlaku untuk dana di bawah 500 juta namun ada indikasi tindak pidana
langsung dianalisis PPATK kemudian langsung diserahkan kepada pihak kepolisian.
Namun, apabila pihak kepolisian masih membutuhkan informasi, maka akan
dilakukan pendalaman-pendalaman.
4. Hanya penyelidik dan penyidik yang mengetahui suatu transaksi wajar atau tidak.
apabila informasi dari PPATK dianggap belum cukup, penyelidik wajib mendalami
apakah dana tersebut wajar atau berasal dari kegiatan yang melanggar hukum.
Apabila dikatakan wajar berarti transaksi telah dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum artinya baik jumlah maupun cara perolehannya tidak melanggar hukum
5. Kalau belum dapat disimpulkan suatu rekening ada indikasi tindak pidana pencucian
atau tidak berarti proses belum selesai.
Komisi Informasi Pusat
11
6. Hasil analisa PPATK bukan produk penyelidikan karena setelah dari PPATK akan
diserahkan kepada Kepolisian dan Kepolisianlah yang akan mengolah temuan-temuan
beserta datanya untuk menetapkan tersangka. Tidak ada kewajiban penyelidik yaitu
Kepolisian untuk mengembalikan berkas kepada PPATK. PPATK berperan sebagai
sumber informasi jika suatu saat dibutuhkan oleh penyelidik. Penyelidik yang akan
menentukan apakah telah dapat dilanjutkan prosesnya atau perlu pendalaman lagi
terhadap LHA tersebut untuk melihat kemudian ada indikasi tindak pidana pada
jumlah dan perolehan dana tersebut.
Surat-Surat Termohon
[2.15] Menimbang bahwa Termohon mengajukan bukti surat/tertulis sebagai berikut:
Bukti T-1 Salinan Surat Tanggapan Termohon terhadap Permintaan Informasi dengan
Nomor Surat: 258/SK/BP/ICW/VIII/1 tertanggal 4 Agustus 2010.
[2.16] Menimbang bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas, Termohon pada
prinsipnya memohon kepada Majelis Komisioner agar memberikan putusan sebagai berikut;
1. Primer
Menolak permohonan Pemohon atau setidak-tidaknya menyatakan bahwa permohonan
Pemohon tidak dapat diterima;
2. Subsider
Memberikan putusan lain yang seadil-adilnya menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Keterangan Ahli Dedy Djamaluddin Malik
[2.17] Menimbang bahwa Komisi Informasi Pusat mendatangkan ahli yang terlibat di dalam
proses pembuatan UU KIP sebagai anggota DPR pada saat itu, yang di dalam persidangan
pada tanggal 18 Januari 2011 memberikan keterangan sebagai berikut:
1. UU Nomor 14 Tahun 2008 yang dibuat melalui 2 periode DPR yang pertama pada
tahun 1999 dan yang kedua tahun 2004 yang selesai pada tahun 2008. Di dalam risalah
rapat pembahasan Pasal 6 ayat 3 yang terekam pada rapat Panja tanggal 15 Januari
2007 dan laporannya tertulis dan terekam pada sekretariat komisi I DPR Pemerintah
menyatakan bahwa dicantumkannya hak pribadi sebagai unsur pengecualian bertujuan
untuk menyelaraskan UU KIP dengan UU lain agar tidak saling bertentangan.
Komisi Informasi Pusat
12
2. Terkait dengan pengecualian tersebut, ada perbedaan perlakuan untuk pejabat publik
yang tunduk pada ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU KIP mengingat tujuan UU KIP
adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif,
efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan.
3. Tafsir Pasal 6 UU KIP adalah memproteksi setiap warga negara siapapun dia yang
memiliki rekening pada bank. Bahwa ada hak individual seseorang yang secara
otomatis tidak boleh dibuka. Tetapi karena berbicara tentang Badan Publik dan Pejabat
Publik yang harus transparan, maka muncullah Pasal 18 ayat (2) tersebut.
4. Pemerintah menyatakan bahwa apabila di kemudian hari UU KIP bertententangan
dengan UU lain, maka kita kembali kepada asas. Asas yang dimaksud disini adalah
asas yang dikecualikan bersifat rahasia dan kepentingan umum dengan didasarkan
pada uji konsekuensi yang timbul pada informasi yang ada pada masyarakat dan telah
dipertimbangkan dengan seksama dan informasi publik dapat melindungi kepentingan
publik yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
5. Untuk memecahkan masalah informasi yang bersifat tertutup diperlukan uji
konsekuensi dan berdasarkan pada kepentingan umum.
6. Ketika suatu Badan Publik menyampaikan informasi kepada publik, maka informasi
yang disampaikan haruslah informasi yang akurat. Apabila informasi yang diminta
merupakan informasi rahasia, Badan Publik seharusnya memberikan penjelasan belum
dapat memberikan informasi yang dimaksud disertai dengan alasannya sehingga tidak
ada informasi yang simpang siur di masyarakat.
7. Sepanjang itu sudah diumumkan kepada Publik dan informasinya dinyatakan wajar
maka hal tersebut sudah menjadi keputusan publik yang masuk ke dalam Pasal 11 UU
KIP.
Keterangan Ahli M. Novian
[2.18] Menimbang bahwa Komisi Informasi Pusat mendatangkan ahli dari PPATK
berdasarkan Surat Penunjukan Kepada PPATK Nomor: S21/1.02.1/PPATK/01/11, yang di
dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011 memberikan keterangan sebagai berikut:
1. PPATK memiliki kewenangan untuk memeriksa transaksi keuangan berdasarkan
laporan dari penyedia jasa keuangan sehingga mengeluarkan suatu produk yang
namanya adalah Laporan Hasil Analisis (LHA).
Komisi Informasi Pusat
13
2. Terhadap LHA ini PPATK memiliki kewenangan menyerahkan kepada penyidik
dalam hal ini POLRI untuk dilakukan upaya penegakan hukum oleh Penyidik baik
berupa penyelidikan maupun penyidikan itu sendiri.
3. Bentuk pertama dari LHA itu sendiri ketika dilakukan proses penegakan hukum
sebenarnya dia sudah berubah dan tidak disebut lagi sebagai LHA. Tapi informasi
awal untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan itu masih LHA namun ketika
sudah ada pendalaman melalui proses penegakan hukum itu sudah bukan lagi LHA
karena sudah berubah bentuknya.
4. PPATK tidak mengetahui apakah di pihak penyidik memiliki ketentuan atau ada
peraturan perundangan yang menyatakan itu rahasia atau tidak sebenarnya sudah ranah
yang lain, sehingga sudah tidak masuk ranah PPATK.
5. Di PPATK tidak dikenal istilah pengembalian berkas hasil penyidikan Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU). Akan tetapi jika dibutuhkan pendalaman informasi lebih
lanjut mengenai transaksi-transaksi baik yang terkait dengan yang bersangkutan atau
terkait si A atau si B itu bisa dilakukan pendalaman dengan bertukar informasi di
PPATK dengan penyidik untuk melakukan pendalaman terkait dengan rekening
tersebut melalui surat dari Kepolisian atau penyidik.
6. Yang dimaksud dengan penyidik PPATK di pasal 44 bahwa penyidik PPATK
memiliki kewenangan meminta laporan perkembangan proses penegakan hukum
hanya semata-mata meminta perkembangan sudah sejauh mana dan tahap apa. Untuk
pertukaran informasi antara PPATK dengan penyidik sudah diatur melalui Peraturan
Kepala PPATK.
3. KESIMPULAN PARA PIHAK
Kesimpulan Pemohon
[3.1] Menimbang bahwa pada tanggal 1 Februari 2011 Pemohon menyampaikan Kesimpulan
sebagai berikut:
1. Termohon telah gagal membuktikan bahwa Termohon telah melakukan pengujian
tentang konsekuensi dalam menetapkan informasi yang dikecualikan. Hal ini terlihat
di dalam surat penolakan Termohon yang tidak menyebutkan mengenai pelaksanaan
pengujian tentang konsekuensi, dimana hal ini juga tidak dampak dijelaskan di
persidangan.
Komisi Informasi Pusat
14
2. Ahli Andreas Hugo Pareira menegaskan serendah apapun pangkat/jabatan anggota
polisi pasti akan mendapatkan penugasan dari atasannya, oleh karenanya memiliki
kewajiban sesuai pasal 1 angka 8 dan pasal 18 angka 2 (huruf a dan b UU KIP).
3. Pihak Termohon berbelit-belit atau tidak dapat menjelaskan secara jelas definisi
kriteria wajar dalam mengklasifikasikan 17 rekening hasil pemeriksaan internal
Mabes Polri.
4. PPATK tidak mengenal terminologi pengembalian berkas dari kepolisian serta tidak
memiliki kewenangan mengumumkan kepada publik.
5. Termohon menyatakan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) belum
dikeluarkan oleh Mabes Polri maka informasi yang diminta Pemohon tidak bisa
dipenuhi karena dikhawatirkan akan menghambat proses penegakan hukum.
6. Bahwa dengan demikian alasan penolakan karena informasi yang diminta adalah
informasi yang dikecualikan karena terkait dengan hak-hak pribadi tidak terbukti.
Kesimpulan Termohon
[3.2] Menimbang bahwa pada tanggal 4 Februari 2011 Termohon menyampaikan
Kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa informasi yang diminta Pemohon terhadap 17 rekening milik anggota Polri
sebagai objek perkara merupakan informasi yang dikecualikan sesuai dengan Pasal 17
huruf a UU KIP.
2. Bahwa dalam konteks ini Pasal 18 ayat (2) UU KIP tidak relevan karena informasi
yang dirahasiakan ini telah bocor, sehingga secara hukum tidak memungkinkan
sesuatu informasi yang ilegal dapat diklarifikasi.
3. Bahwa PPID Bareskrim Polri sebagai bagian dari PPID Mabes Polri akan
menyediakan informasi terhadap kinerja Bareskrim Polri bukan substansi pokok
perkara yang sedang dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
4. Bahwa Laporan Hasil Analisa (LHA) sebagai informasi intelijen merupakan
rangkaian komunikasi antara penyidik Polri dengan PPATK, oleh sebab itu
komunikasi tidak terhenti atau tidak mempunyai jangka waktu sampai dengan laporan
informasi tersebut telah memenuhi kriteria dapat ditindaklanjuti dengan memnuhi
persyaratan:
a. Adanya predikat crime (kejahatan asli)
b. Adanya harta kekayaan dari hasil kejahatan
c. Adanya transaksi atas harta kekayaan hasil kejahatan;
Komisi Informasi Pusat
15
Dalam proses penanganan 17 rekening objek perkara masih terbuka ruang adanya
penyelidikan dan penyidikan berdasarkan LHA dari PPATK. Hal tersebut
menunjukkan bahwa proses penanganan 17 rekening milik anggota Polri belum
selesai proses penyelidikan dan penyidikannya.
5. Bahwa permohonan permintaan 17 (tujuh belas) nama pemilik rekening secara uji
konsekuensi harus pula membuka nama-nama 1299 LHA lainnya yang
mengakibatkan mempersulit proses pengungkapan Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU)
[3.3] Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
Termohon memohon kepada Majelis Komisioner agar memberikan putusan sebagaimana
pada paragraf [2.16].
4. PERTIMBANGAN HUKUM
[4.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai permohonan
Penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana diatur Pasal 35 ayat (1) huruf a juncto
Pasal 3 ayat (2) huruf b dan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun
2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki PPSIP).
[4.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Majelis Komisioner akan
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1. kewenangan Komisi Informasi Pusat untuk memeriksa, memutus, dan menjatuhkan
putusan permohonan a quo;
2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Terhadap kedua hal tersebut di atas, Majelis berpendapat sebagai berikut:
A. Kewenangan Komisi Informasi Pusat
[4.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 5, Pasal 26 ayat (1) huruf a, Pasal 27 ayat
(1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 35 ayat (1) huruf a juncto Pasal 3 ayat (2) huruf a, dan Pasal 3
ayat (4) huruf a Perki PPSIP pada pokoknya mengatur Komisi Informasi berwenang
menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui ajudikasi.
Komisi Informasi Pusat
16
[4.4] Menimbang bahwa permohonan a quo merupakan permohonan penyelesaian Sengketa
Informasi Publik yang menyangkut penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a juncto Pasal 3 ayat (2) huruf a dan
Pasal 3 ayat (4) huruf a Peraturan Perki PPSIP.
[4.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada [4.3] dan [4.4] Majelis berpendapat bahwa
Komisi Informasi berwenang memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan terhadap
permohonan a quo.
[4.6] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU KIP juncto Pasal 4 ayat (1) Perki
PPSIP pada pokoknya mengatur bahwa Komisi Informasi Pusat berwenang menyelesaikan
Sengketa Informasi Publik apabila permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik
menyangkut Badan Publik Pusat;
[4.7] Menimbang bahwa Termohon adalah Badan Publik Pusat, yang berkedudukan di
ibukota Negara dan mempunyai garis subordinasi dengan Badan Publik di tingkat Provinsi,
Kabupaten, sampai dengan Kecamatan.
[4.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian [4.6] dan [4.7] Majelis berpendapat bahwa
Komisi Informasi Pusat berwenang memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan terhadap
permohonan a quo.
B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[4.9] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 12, Pasal 35 ayat (1) huruf a, Pasal 36
ayat (1) Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UU KIP juncto pasal 1 angka 8, Pasal 30 ayat (1) huruf
a, Pasal 30 ayat (2), Pasal 35 Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Standar Layanan Informasi Publik (Perki SLIP) juncto Pasal 1 angka 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 11 huruf a Perki PPSIP, yang pada pokoknya Pemohon merupakan Pemohon Informasi
Publik yang telah mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik kepada
Komisi Informasi Pusat setelah terlebih dahulu menempuh upaya keberatan kepada
Termohon.
Komisi Informasi Pusat
17
[4.10] Menimbang bahwa berdasarkan fakta permohonan:
1. Pemohon adalah Badan Hukum berdasarkan Akta Pendirian Indonesia Corruption
Watch (ICW) Nomor 53 tertanggal 11 Juni 2009 dengan akta notaris Harizul
Sudarmadi, S.H berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor: C-1806.HT.03.02-Th.1999. (Bukti P-1);
2. Pemohon telah mengajukan permohonan informasi kepada Termohon dengan Surat
Nomor: 238/SK/BP/ICW/VIII/10 pada tanggal 2 Agustus 2010. (Bukti P-2);
3. Terhadap permohonan informasi Pemohon, Termohon memberikan tanggapan berupa
penolakan pemberian informasi dengan alasan informasi yang dimohon merupakan
informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 huruf h butir 3 UU KIP, Pasal 6
ayat (3) huruf c UU KIP, dan Pasal 10 A UU TPPU dengan Nomor Surat Tanggapan:
258/SK/BP/ICW/VIII/1 tertanggal 4 Agustus 2010. (Bukti P-3);
4. Pemohon telah mengajukan keberatan kepada Termohon yang diterima oleh Farida
pada tanggal 31 Agustus 2010 (Bukti P-4);
5. Pemohon pada tanggal 20 Oktober 2010 mengajukan permohonan penyelesaian
Sengketa Informasi Publik dengan Surat Nomor: 326/SK/BP/ICW/X/10 kepada
Komisi Informasi Pusat yang diterima pada tanggal 21 Oktober 2010.
[4.11] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [4.9] dan [4.10] tersebut Majelis
berpendapat bahwa Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing),
selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan pokok permohonan.
C. Pokok Permohonan
[4.12] Menimbang bahwa dari fakta hukum, baik dalil Pemohon, jawaban Termohon serta
bukti surat, Majelis menemukan fakta hukum baik yang diakui maupun yang menjadi
perselisihan hukum para pihak, sebagai berikut:
1. Fakta hukum dan dalil-dalil permohonan Pemohon yang tidak dibantah oleh
Termohon, karenanya fakta hukum tersebut menjadi hukum bagi Pemohon dan
Termohon sehingga hal tersebut tidak perlu dibuktikan lagi, yaitu:
a. Pemohon telah mengajukan permohonan Informasi Publik sebagaimana diuraikan
dalam Duduk Perkara;
b. Pemohon telah menempuh upaya keberatan kepada Termohon sebagaimana
diuraikan dalam Duduk Perkara;
Komisi Informasi Pusat
18
c. Pemohon telah mendapatkan tanggapan atas keberatan dari Termohon
sebagaimana diuraikan dalam Duduk Perkara;
2. Bahwa Pemohon telah menegaskan bahwa informasi yang diminta sesuai dengan
surat permohonan informasi tertanggal 2 Agustus 2010 yaitu tentang 17 nama pemilik
rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar, tidak
termasuk permohonan tambahan informasi terkait hasil pemeriksaan dan klarifikasi
Mabes Polri terhadap kepemilikan sejumlah rekening sebagaimana tertulis di dalam
surat keberatan Np. 258/SK/BP/ICW/VIII/10.
3. Bahwa selain fakta hukum atau hal-hal yang diakui para pihak, dalam persidangan
juga terdapat fakta hukum atau hal-hal yang menjadi pokok perselisihan, yaitu alasan
penolakan permohonan Informasi Publik;
D. Pendapat Majelis
[4.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal yang menjadi perselisihan hukum di atas, Majelis
akan memberikan pertimbangan dan penilaian hukum sebagai berikut:
1. Salah Satu Alasan Penolakan adalah Tidak Boleh Diungkapkan Berdasarkan Pasal
10 A Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)
[4.14] Menimbang bahwa informasi yang dimohon adalah mengenai 17 nama pemilik
rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar sebagaimana
dimaksud dalam paragraf [2.2].
[4.15] Menimbang bahwa salah satu dasar pengecualian informasi yang digunakan oleh
Termohon adalah ketentuan Pasal 10 A UU TPPU yang menyatakan:
(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Sumber keterangan dan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Komisi Informasi Pusat
19
(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
[4.16] Menimbang bahwa Pasal 6 ayat (1) UU KIP mengakomodasi penggunaan peraturan
perundang-undangan lain yang mengecualikan informasi untuk menjadi salah satu dasar
penolakan.
[4.17] Menimbang bahwa Termohon tidak memberikan informasi a quo dengan alasan
informasi tersebut bersumber pada LHA PPATK dan berdasarkan surat yang disampaikan
oleh PPATK semua informasi tersebut tidak dapat disampaikan ke publik.
[4.18] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU KIP, informasi publik yang
dikecualikan sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan
pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada
masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan seksama bahwa menutup informasi publik
dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
[4.19] Menimbang berdasarkan Lampiran C.1 angka 74 huruf c UU Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa:
Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
[4.20] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa:
(1) Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
[4.21] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf
[4.19], pengecualian berdasarkan undang-undang lain sebagaimana dimaksud pada paragraf
Komisi Informasi Pusat
20
[4.16] harus melalui mekanisme pengujian tentang konsekuensi sebagaimana diatur di dalam
Pasal 2 ayat (4) UU KIP.
[4.22] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU KIP menyatakan bahwa:
Badan Publik harus membuktikan hal-hal yang mendukung pendapatnya apabila menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a UU KIP.
[4.23] Menimbang Termohon tidak dapat membuktikan bahwa sebelum persidangan,
Termohon telah melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana diatur di dalam
Pasal 2 ayat (4) UU KIP.
[4.24] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Termohon di dalam persidangan pada
tanggal 28 Desember 2010, Termohon mengakui dan menyatakan bahwa sesunggguhnya
konsekuensi yang relevan terhadap UU TPPU adalah sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
17 huruf a angka 1 UU KIP dan Pasal 17 huruf h angka 1 UU KIP, yaitu dapat menghambat
proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana serta dapat mengungkap rahasia
pribadi.
[4.25] Menimbang bahwa berdasarkan paragraf [4.14] sampai dengan paragraf [4.24] Majelis
berpendapat bahwa dalil Termohon yang menolak hanya berdasarkan UU TPPU tidak
memadai untuk dijadikan sebagai dasar penolakan permohonan informasi a quo.
2. Apakah membuka informasi nama dan besaran nilai sebagaimana dimohon oleh
Pemohon dapat mengungkap rahasia pribadi sebagaimana dimaksud Pasal 17 huruf
h angka 3 UU KIP?
[4.26] Menimbang bahwa Termohon di dalam persidangan menyatakan informasi tentang
nama dan besaran nilai tidak dapat diberikan dengan alasan melanggar Pasal 10 A UU TPPU.
[4.27] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Termohon di dalam persidangan pada
tanggal 28 Desember 2010, Termohon mengakui dan menyatakan bahwa sesunggguhnya
konsekuensi yang relevan terhadap Pasal 10 A UU TPPU adalah sebagaimana yang diatur di
dalam Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP, Pasal 17 huruf h angka 3 dan Pasal 6 ayat (3) huruf
Komisi Informasi Pusat
21
c UU KIP, yaitu dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana
serta dapat mengungkap rahasia pribadi.
[4.28] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (2) huruf b UU KIP dinyatakan bahwa
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan h yang dapat mengungkap
rahasia pribadi tidak termasuk informasi yang dikecualikan dalam hal pengungkapan tersebut
berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan publik.
[4.29] Menimbang bahwa di dalam persidangan tanggal 18 Januari 2011 ahli Dedy
Djamaluddin Malik anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlibat dalam proses
perancangan UU KIP pada pokoknya menerangkan bahwa meskipun Pasal 6 ayat (3) huruf c
dan Pasal 17 huruf g dan h angka 3 UU KIP memproteksi hak individu warga negara yang
secara otomatis tidak boleh dibuka. Namun, apabila berbicara tentang Badan Publik dan
Pejabat Publik harus transparan sebagaimana yang tertuang di dalam ketentuan Pasal 18 ayat
(2) huruf b yang muncul sebagai perwujudan dari semangat fundamental UU KIP untuk
mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif, efisien, dan akuntabel
serta dapat dipertanggungjawabkan.
[4.30] Menimbang di dalam persidangan tanggal 18 Januari 2011 ahli Andreas Hugo Pareira
menerangkan bahwa Pasal 18 ayat (2) merupakan salah satu Pasal yang mengecualikan
pengecualian, yaitu Pasal yang mengecualikan Pasal 17 huruf g dan h tentang rahasia pribadi
terkait dengan aset keuangan apabila berkaitan dengan pejabat publik.
[4.31] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU KIP dinyatakan bahwa: “Pejabat
Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan
tertentu di Badan Publik.”
[4.32] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU tentang Kepolisian menyatakan
bahwa setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi pangkat yang
mencerminkan peran, fungsi dan kemampuan, serta sebagai keabsahan wewenang dan
tanggung jawab dalam penugasannya.
Komisi Informasi Pusat
22
[4.33] Menimbang keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.31] dan [4.32]
Majelis berpendapat bahwa 17 (tujuh belas) anggota Polri sebagaimana dimaksud pada
paragraf [2.2] adalah pejabat publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UU KIP.
[4.34] Menimbang keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.40], Majelis
berpendapat bahwa dalil Termohon yang menolak memberikan informasi nama pemilik
rekening dan besaran nilainya sebagaimana dimaksud pada paragraf [2.2] berdasarkan alasan
yang dinyatakan dalam Pasal 17 huruf h angka 3 tidak relevan.
3. Apakah membuka informasi besaran nilai sebagaimana dimohon oleh Pemohon
dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud
Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP?
[4.35] Menimbang bahwa Termohon di dalam persidangan menyatakan informasi tentang
besaran nilai tidak dapat diberikan dengan alasan melanggar Pasal 10 A UU TPPU.
[4.36] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Termohon di dalam persidangan pada
tanggal 28 Desember 2010, Termohon mengakui dan menyatakan bahwa sesunggguhnya
konsekuensi yang relevan terhadap Pasal 10 A UU TPPU adalah sebagaimana yang diatur di
dalam Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP dan Pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP, yaitu dapat
menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana serta dapat
mengungkap rahasia pribadi.
[4.37] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan ahli Yenti Garnasih di dalam persidangan,
tujuan Pasal 10 A UU TPPU yang menyatakan bahwa pejabat, penyidik, PPATK atau
siapapun tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan adalah bahwa apabila nasabah
yang bersangkutan mengetahui bahwa rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum sempat
diperiksa dan diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana tersebut.
[4.38] Menimbang bahwa Termohon menyatakan bahwa proses penyelidikan terhadap 17
rekening a quo belum selesai.
Komisi Informasi Pusat
23
[4.39] Menimbang bahwa di dalam persidangan pada tanggal 28 Desember 2010 Termohon
menyatakan telah memanggil, mendatangkan, dan memeriksa 17 pemilik rekening a quo.
[4.40] Menimbang berdasarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.39]
pemilik rekening telah mengetahui bahwa rekening yang bersangkutan sedang diperiksa dan
Polri seharusnya telah mengambil langkah-langkah sehingga tidak terjadi konsekuensi yang
disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.37]
[4.41] Menimbang berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.35]
sampai dengan paragraf [4.40], Majelis berpendapat membuka besaran nilai tidak akan
menimbulkan konsekuensi terhadap penyelidikan dan penyidikan sehingga dalil-dalil
Termohon yang tidak memberikan informasi besaran nilai menjadi tidak relevan.
4. Apakah membuka informasi nama pemilik rekening sebagaimana dimohon oleh
Pemohon dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana
dimaksud Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP?
[4.42] Menimbang bahwa Termohon di dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011
menyatakan informasi tentang nama pemilik rekening tidak dapat diberikan karena masih di
dalam tahap penyelidikan dan memiliki konsekuensi menghambat penegakan hukum
sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP.
[4.43] Menimbang bahwa Termohon menerangkan bahwa belum ada Surat Pemberitahuan
Penghentian Penyidikan (SP3) karena masih dalam status penyelidikan.
[4.44] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan ahli Yenti Garnasih di dalam persidangan,
tujuan Pasal 10 A UU TPPU yang menyatakan bahwa pejabat, penyidik, PPATK atau
siapapun tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan adalah apabila nasabah yang
bersangkutan mengetahui rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum sempat diperiksa dan
diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana tersebut.
[4.45] Menimbang bahwa di dalam persidangan pada tanggal 28 Desember 2010, Termohon
juga menerangkan bahwa meskipun proses penyelidikan belum selesai, Termohon telah
memanggil, mendatangkan, dan memeriksa 17 pemilik rekening a quo.
Komisi Informasi Pusat
24
[4.46] Menimbang berdasarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.45]
pemilik rekening telah mengetahui bahwa rekening yang bersangkutan sedang diperiksa dan
Polri seharusnya telah mengambil langkah-langkah sehingga tidak terjadi konsekuensi yang
disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.44]
[4.47] Menimbang keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.46], Majelis
berpendapat dalil Termohon yang menolak permohonan informasi tentang nama pemilik
rekening a quo dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan apabila informasi
dibuka, menjadi tidak relevan.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian dan fakta hukum di atas, Majelis Komisioner berkesimpulan:
[5.1] Komisi Informasi Pusat berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
a quo.
[5.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan
dalam perkara a quo.
[5.3] Dalil-dalil Termohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum untuk
seluruhnya.
6. AMAR PUTUSAN
Memutuskan,
[6.1] Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
[6.2] Menyatakan bahwa informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran
nilainya yang telah dikategorikan wajar sesuai dengan pengumuman oleh Mabes Polri pada
tanggal 23 Juli 2010 adalah informasi yang terbuka;
Komisi Informasi Pusat
25
[6.3] Membatalkan keputusan Termohon tentang penolakan untuk memberikan informasi 17
nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar.
[6.4] Memerintahkan Termohon untuk memberikan informasi 17 nama pemilik rekening
anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar kepada Pemohon
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 17 (tujuh belas) hari kerja sejak putusan
berkekuatan hukum tetap.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Komisioner yaitu Ahmad
Alamsyah Saragih selaku Ketua merangkap Anggota, Henny S. Widyaningsih, dan Ramly
Amin Simbolon masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, 7 Februari 2011 dan
diucapkan dalam Sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa, 8 Februari 2011 oleh Majelis
Komisioner yang nama-namanya tersebut di atas, dengan didampingi oleh Chairul Hasibuan
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon dan Termohon;
Komisi Informasi Pusat
26
Untuk Salinan Putusan ini sah dan sesuai dengan aslinya diumumkan kepada masyarakat
berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan
Pasal 61 ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
Jakarta, 8 Februari 2011
Panitera
Komisi Informasi Pusat