PUTUSAN Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010 KOMISI INFORMASI … · 2. Ada beberapa prinsip dalam penanganan...

26
1 PUTUSAN Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010 KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia yang memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan dalam Sengketa Informasi Publik Nomor Registrasi: 002/X/KIP-PS- A/2010 yang diajukan oleh: Nama : Indonesia Corruption Watch (ICW) Alamat : Jl. Kalibata Timur IV/D No. 6 Jakarta Selatan 12740 Yang diwakili oleh Danang Widoyoko selaku Koordinator Badan Pekerja ICW dan Adnan Topan Husodo selaku Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW bertindak untuk dan atas nama ICW, selanjutnya disebut sebagai Pemohon, di dalam persidangan memberikan kuasa kepada Agus Sunaryanto dan Febridiansyah dengan Surat Kuasa Nomor. 390/SK/BP/ICW/XI/2010 tertanggal 30 November 2010; selanjutnya memberikan kuasa kepada Tama S. Langkun dengan Surat Kuasa Nomor. 03/SK/BP/ICW/XI/2010 tertanggal 28 Desember 2010; dan selanjutnya pada tanggal 18 Januari 2011 Emerson Yuntho selaku Wakil Koordinator ICW berdasarkan Surat Kuasa Nomor: 11/SK/BP/ICW/I/11 memberikan kuasa kepada Tama Satya Langkun, Febridiansyah, dan Agus Sunaryanto. Terhadap Nama : Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) Alamat : Jl. Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Komisi Informasi Pusat

Transcript of PUTUSAN Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010 KOMISI INFORMASI … · 2. Ada beberapa prinsip dalam penanganan...

1

PUTUSAN

Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA

1. IDENTITAS

[1.1] Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia yang memeriksa, memutus, dan

menjatuhkan putusan dalam Sengketa Informasi Publik Nomor Registrasi: 002/X/KIP-PS-

A/2010 yang diajukan oleh:

Nama : Indonesia Corruption Watch (ICW)

Alamat : Jl. Kalibata Timur IV/D No. 6 Jakarta Selatan 12740

Yang diwakili oleh Danang Widoyoko selaku Koordinator Badan Pekerja ICW dan Adnan

Topan Husodo selaku Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW bertindak untuk dan atas nama

ICW, selanjutnya disebut sebagai Pemohon, di dalam persidangan memberikan kuasa kepada

Agus Sunaryanto dan Febridiansyah dengan Surat Kuasa Nomor. 390/SK/BP/ICW/XI/2010

tertanggal 30 November 2010; selanjutnya memberikan kuasa kepada Tama S. Langkun

dengan Surat Kuasa Nomor. 03/SK/BP/ICW/XI/2010 tertanggal 28 Desember 2010; dan

selanjutnya pada tanggal 18 Januari 2011 Emerson Yuntho selaku Wakil Koordinator ICW

berdasarkan Surat Kuasa Nomor: 11/SK/BP/ICW/I/11 memberikan kuasa kepada Tama Satya

Langkun, Febridiansyah, dan Agus Sunaryanto.

Terhadap

Nama : Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri)

Alamat : Jl. Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta 12110

Komisi Informasi Pusat

2

selanjutnya disebut sebagai Termohon, di dalam persidangan Kepala Divisi Hukum Polri

Inspektur Jenderal Polisi Drs. Mudji Waluyo, S.H., M.M memberikan Surat Perintah Nomor:

Sprin/878/XII/2010 kepada:

1. Brigjen Pol Dr. Iza, S.IK., S.H., M.H. NRP.62080968-Karobankum Divkum Polri;

2. Kombes Pol Banuara Manurung, S.H., M.H. NRP. 56120863-Kabag Banhatkum

Robankum Divkum Polri;

3. Kombes Pol I Ktut Sudiarsa, S.H., M.Si. NRP. 56110661-Pamen Robankum Divkum

Polri;

4. AKBP Dadang Suhendar, S.H., M.H. NRP. 62090805-Kasubbag Banhat Pidham

Robankum Divkum Polri;

5. Kompol Fidian Surihati, S.H., M.H. NRP. 71080527-Advokat/Pengacara Madya

Robankum Divkum Polri; dan

6. Pembina Bambang Wahyu Broto, S.H. NIP. 030189082-Advokat/Pengacara Madya

Robankum Divkum Polri.

[1.2] Telah membaca surat permohonan Pemohon;

Telah mendengar keterangan Pemohon;

Telah mendengar keterangan Termohon;

Telah memeriksa bukti-bukti dari Pemohon dan Termohon;

Telah mendengarkan keterangan ahli;

Telah membaca kesimpulan dari Pemohon dan Termohon.

2. DUDUK PERKARA

A. Pendahuluan

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan penyelesaian Sengketa

Informasi Publik yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Komisi Informasi Pusat pada

tanggal 21 Oktober 2010 dengan registrasi Sengketa Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010.

Kronologi

[2.2] Pada tanggal 2 Agustus 2010, Pemohon mengajukan permohonan informasi kepada

Termohon berupa informasi terkait 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran

nilainya yang telah dikategorikan wajar oleh Mabes Polri setelah pemeriksaan tanggal 23 Juli

Komisi Informasi Pusat

3

2010 terhadap 23 rekening anggotanya sesuai Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK melalui

Surat Permintaan Informasi Nomor :238/SK/BP/ICW/VIII/10.

[2.3] Termohon memberikan tanggapan tertulis melalui surat Nomor.

B/364/VIII/2010/Humas pada tanggal 4 Agustus 2010 yang berisikan penolakan pemberian

informasi dengan alasan pengecualian berdasarkan:

1. Pasal 17 huruf h angka (3) dan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU KIP yang menyatakan

bahwa suatu informasi dikecualikan antara lain apabila dapat mengungkap rahasia

pribadi; dan

2. Pasal 10 A UU TPPU yang menyatakan bahwa Pejabat atau pegawai PPATK,

penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen

dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini

wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi

kewajiban menurut Undang-Undang ini.

[2.4] Terhadap tanggapan berupa penolakan pemberian informasi oleh Termohon, tertanggal

13 Agustus 2010 Pemohon mengajukan keberatan dengan Surat Nomor:

258/SK/BP/ICW/VIII/10 atas alasan Pemohon menilai bahwa dasar hukum penolakan oleh

Termohon tidak tepat dijadikan alasan penolakan permohonan informasi atas dasar

pengecualian, yang diterima Farida, pegawai di instansi Termohon pada tanggal 31 Agustus

2010. Di dalam surat pengajuan keberatannya juga Pemohon kembali meminta informasi

berupa:

1. hasil pemeriksaan dan klarifikasi Mabes Polri terhadap kepemilikan sejumlah

rekening mencurigakan para perwira Polri; dan

2. nama dan jumlah rekening yang dimiliki oleh 17 perwira kepolisian yang

diklasifikasikan wajar oleh Mabes Polri.

[2.5] Karena Termohon tidak memberikan tanggapan atas surat keberatan yang diajukan

Pemohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara

tertulis, maka pada tanggal 21 Oktober 2010 Pemohon mengajukan Permohonan

Penyelesaian Sengketa Informasi Publik kepada Komisi Informasi Pusat.

Komisi Informasi Pusat

4

Alasan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik

[2.6] Pemohon tidak mendapatkan tanggapan atas keberatan tertulis yang diajukannya dalam

jangka waktu 30 (hari) kerja sejak keberatan diajukan.

Petitum

[2.7] Meminta kepada Komisi Informasi Pusat untuk menyelesaikan Sengketa Informasi

Publik antara Pemohon dengan Termohon.

B. Alat Bukti

Keterangan Pemohon

[2.8] Menimbang bahwa di persidangan Pemohon menyatakan keterangan sebagai berikut:

1. Informasi yang diminta oleh Pemohon adalah tentang 17 rekening yang dikategorikan

wajar dan harus digarisbawahi bahwa yang dimaksud adalah yang diperoleh secara

legal.

2. Yang menyatakan bahwa 17 rekening itu wajar adalah Kadiv Humas Polri yang

memberikan keterangan pada tanggal 23 Juli 2010 bukan Pemohon.

Keterangan Ahli Andreas Hugo Pareira

[2.9] Menimbang bahwa di persidangan Ahli Andreas Hugo Pareira menyatakan keterangan

sebagai berikut:

1. Ada 70 kali rapat perdebatan dalam pembuatan UU KIP. Inti dari perdebatan ini

adalah pembentukan undang-undang keterbukaan informasi sebagai salah satu upaya

perlindungan warga negara dalam mendapatkan informasi publik yang terdapat di

dalam Pasal 28 UUD 1945. Filosofi yang muncul pada saat itu adalah maximum acces

information limited exemption, semangat untuk memberi kemungkinan akses

informasi publik bagi penyelenggara negara dan hak untuk berkomunikasi dan

mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi di lingkungan sosialnya serta

berhak untuk mencari, memperoleh, menyidik, menyimpan, mengolah informasi

dengan saluran informasi yang tersedia.

2. Semangat tersebut dituangkan di konsideran UU KIP. Ada 4 (empat ) konsideran

pokok dalam UU KIP yang semuanya berbicara tentang perlindungan warga negara

tentang perolehan informasi publik, kemudian kewajiban badan publik untuk

menyampaikan informasi kepada pengguna informasi.

Komisi Informasi Pusat

5

3. Adanya pasal-pasal pengecualian di UU KIP untuk melindungi negara juga untuk

menlindungi hak-hak dari warga negara. Di dalam pasal pengecualian juga terdapat

aspek-aspek penegakan hukum dimana aspek kepentingan umumnya juga sangat

besar. Disini yang menentukan adalah Majelis Komioner yang memeriksa.

4. Pasal 17 yang didalamnya terdapat pengecualian untuk membuka informasi yang

dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana dibuat lebih

rinci memang untuk melindungi kepentingan penegakan hukum namun tetap ada

pengecualian di atas pengecualian yang diatur lebih lanjut di dalam Pasal 18 ayat (2)

yang mengecualikan Pasal 17 huruf g dan h tentang rahasia pribadi terkait dengan aset

keuangan apabila berkaitan dengan pejabat publik. Apa yang dinyatakan dikecualikan

di Pasal 17 huruf g dan h tidak berlaku untuk pejabat publik sebagaimana dimaksud di

dalam Pasal 18 ayat (2).

5. Mengenai apakah anggota Polri pejabat publik apa tidak dapat dilihat di ketentuan

Pasal 1 angka 8 yang menyatakan bahwa pejabat publik adalah orang yang ditunjuk

dan diberi tugas menduduki posisi pada jabatan tertentu pada badan publik tersebut.

Polri sudah jelas Badan Publik, sesuai dengan Ketentuan Umum butir 3 bahwa badan

publik adalah legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain yang tugas pokoknya adalah

penyelenggara negara. Jika anggota Polri ditunjuk dan diberi tugas untuk menjabat

pada institusinya maka sudah tentu anggota Polri tersebut adalah pejabat publik, maka

dialah yang mendapat pengecualian pada Pasal 18 ayat (2) terhadap pengecualian

pada Pasal 17 tersebut.

6. Apabila A sebagai pribadi dan juga merupakan pejabat publik maka terhadapnya

melekat ketentuan sebagai pejabat publik.

7. Untuk dapat dinyatakan bahwa suatu transaksi wajar atau tidak, yang menentukan

adalah Badan Publik itu sendiri. Apabila dinyatakan wajar maka publik berhak

meminta informasi tersebut.

Keterangan Ahli Adrianus Meliala

[2.10] Menimbang bahwa di persidangan pada tanggal 18 Januari 2011, kriminolog dan

pengamat kepolisian Adrianus Meliala menyatakan keterangan sebagai berikut:

1. Polri adalah lembaga yang pertama menyebut diri telah memulai dan melakukan

reformasi internal pada tahun 1999 yakni pada hari-hari dimana kita memasuki fase

reformasi ditandai dengan turunnya pemerintahan Orba. Selanjutnya reformasi Polri

terus bergulir diawali dengan perubahan tiga aspek (struktural, kultural, dan

Komisi Informasi Pusat

6

instrumental), lalu dilanjutkan dengan keluarnya beberapa dokumen penting Polri

seperti grand Strategy polri serta Rencana Strategi Polri, beberapa Peraturan Kapolri

yang reformis seperti tentang penghargaan HAM dan Perpolisian Masyarakat.

Kesemuanya ini guna mengedepankan prinsip good governance dalam tubuh

kepolisian. Konteks good governance sendiri secara eksplisit dan implisit disebutkan

dalam dokumen-dokumen tersebut dan diterima Polri sebagai sesuatu hal yang perlu

dikembangkan oleh Polri ketika berbagai jajaran dalam Polri menerima bantuan dari

berbagai pihak, dalam dan luar negeri.

2. Bahwa reformasi Polri telah diluncurkan satu dekade lalu, namun dibandingkan

dengan aspek struktural dan instrumental, budaya atau kultur kepolisian malah

dituding menjadi penyebab tingginya angka kekerasan yang dilakukan oleh polisi,

cenderung tidak efisiennya manajemen kepolisian, cenderung tingginya praktek

korupsi di kalangan polisi serta kecenderungan untuk hidup glamour khususnya di

kalangan perwira Polri.

3. Fenomena “rekening gendut”, yang dapat diartikan sebagai uang dalam jumlah yang

jauh lebih besar dari akumulasi gaji yang diterima terkait pangkat dan jabatan tidak

perlu langsung dikaitkan bahwa pemiliknya melakukan korupsi dalam arti adanya

kerugian negara. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari tidak efisien serta

kunonya administrasi keuangan negara yang secara relatif lebih memanjakan

seseorang dengan jabatan kepala serta seseorang dengan pangkat tinggi, serta hanya

mementingkan dilakukannya suatu kegiatan (output) tanpa melihat apakah kegiatan

itu membawa hasil (outcomes) atau apalagi dampak (impact).

4. Dalam konteks Polri, administrasi keuangan negara yang kuno dan tidak efisien itu

semakin mendapat tempat dan dikultivasikan. Atasan atau orang berpangkat tinggi

adalah atribut yang sah bagi penyandangnya untuk memperoleh perlakuan yang

memanjakan, seperti tidak perlunya yang bersangkutan mengeluarkan biaya bagi

dirinya sendiri dan secara bersamaan yang bersangkutan memperoleh aneka fasilitas

tambahan yang “diada-adakan” oleh jajaran di bawahnya. Fenomena inilah yang

dinamakan bottom-up finance flows-suatu aliran keuangan yang mengucur dari bawah

ke atas. Dalam konteks demikian, wajar rekening tersebut tidak diungkapkan dengan

berbagai alasan.

5. Dalam bahasa berbeda, kultur tersebut dikenal oleh berbagai kalangan sebagai conflict

of interest atau konflik kepentingan yang menjadikan pihak atau pihak-pihak yang

terkena menjadi tidak bisa mengambil keputusan atau bersikap netral, imparsial , apa

Komisi Informasi Pusat

7

adanya atau selaras dengan kebenaran,semata-mata karena dirinya sendiri menjadi

sesuatu yang dipertaruhkan (at stake)

6. Disarankan kepada Komisi Informasi dalam hal terjadinya konflik kepentingan, maka

pihak yang memiliki kepentingan tersebut secara etis sejak awal harus

mengungkapkan (disclosure) keterkaitan apa yang menjadikan dirinya memiliki

kepentingan atau tidak memberikan hak berbicara sama sekali. Selanjutnya,

keputusan atas pihak yang memiliki konflik kepentingan dapat diambil langsung oleh

Komisi Informasi sebagai pihak yang mengatasi, independen serta netral.

Surat-Surat Pemohon

[2.11] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan bukti surat/tertulis sebagai berikut:

Bukti P-1 Akta Pendirian Indonesia Corruption Watch (ICW) Nomor 53 tertanggal 11

Juni 2009 dengan akta notaris Harizul Sudarmadi, S.H berdasarkan

Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor: C-1806.HT.03.02-Th.1999.

Bukti P-2 Salinan surat Permohonan Informasi Publik yang ditujukan kepada Termohon

dengan Nomor: 238/SK/BP/ICW/VIII/10 tertanggal 2 Agustus 2010.

Bukti P-3 Salinan Surat Tanggapan Termohon terhadap Permintaan Informasi dengan

Nomor Surat: 258/SK/BP/ICW/VIII/1 tertanggal 4 Agustus 2010.

Bukti P-4 Salinan Surat Keberatan yang ditujukan kepada Termohon dengan Nomor

Surat: 258/SK/BP/ICW/VIII/10 tertanggal 13 Agustus 2010 yang diterima

tanggal 31 Agustus 2010, berdasarkan Bukti Tanda Terima yang

ditandatangani oleh Farida.

Bukti P-5 Surat Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dengan Nomor:

326/SK/BP/ICW/X/10 tertanggal 20 Oktober 2010 yang diterima pada

tanggal 21 Oktober 2010.

[2.12] Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang diuraikan di atas dan buktit terlampir, Pemohon

meminta kepada Majelis Komisioner agar memberikan putusan:

1. Primer

a. Mengabulkan permohonan Pemohon.

b. Memerintahkan Termohon untuk segera menyerahkan salinan informasi yang

diminta Pemohon.

Komisi Informasi Pusat

8

2. Subsider

Memberikan putusan lain yang seadil-adilnya menurut rasa keadilan dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Keterangan Termohon

[2.13] Menimbang bahwa di dalam persidangan Termohon memberikan keterangan sebagai

berikut:

1. Seluruh tindakan penyelidikan yang dilakukan Termohon sebagai Kasubdit Tindak

Pidana Pencucian Uang atau money laundering di bawah Direktorat Tindak Pidana

Khusus Bareskrim Polri yang bertugas dan bertanggung jawab berdasarkan Surat

Keputusan Kapolri No. 61 tanggal 5 Tahun 2007 harus berdasarkan UU No. 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian, UU. No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP, UU No.39 Tahun

1999 tentang HAM, UU No. 25 Tahun 2003 Perubahan Atas UU. No. 15 Tahun 2002

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang

Kode Etik Profesi Polri, Peraturan Kapolri No, 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan

dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri.

2. Ada beberapa prinsip dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Yang pertama

bahwa pidana pencucian uang itu ada kejahatannya, yang kedua ada harta kekayaan

hasil kejahatan itu dan yang ketiga ada transaksi. Jadi kalau tidak ada ketiga itu, tidak

dapat dikatakan sebagai tindak pidana pencucian uang.

3. Dalam melakukan penyelidikan mengenai LHA, Termohon mendasari Surat Perintah

Kapolri No. 1173 tanggal 29 Juni 2010. Proses penting dalam penyelidikan ini

meliputi mekanisme kerja, pengelolaan LHA, dan penanganan LHA. Termohon

menerima LHA yang berasal dari PPATK dari Kapolri karena PPATK hanya

mengirim seluruh LHA kepada Kapolri. Selanjutnya Kabareskrim meneruskan LHA

kepada Direktur Tindak Pidana Khusus dan kepada Kasubdit untuk dipelajari

selanjutnya diadakan gelar perkara. Gelar perkara ini akan menentukan kualifikasinya

berdasarkan bobot apakah penanganan cukup dilakukan oleh satuan wilayah (Polda)

atau Mabes Polri. Apabila diputuskan disidik oleh Mabes Polri maka Bareskrim akan

membuat laporan penyelidikan. Selanjunya masih ada gelar untuk menguji apakah

proses penyelidikan telah sesuai dengan prosedur secara legal atau ada prosedur ilegal.

4. Apabila kemudian diketahui tidak ada peristiwa tindak pidana pencucian uang maka

Termohon akan melaporkan temuannya kepada PPATK namun apabila ditemukan

Komisi Informasi Pusat

9

indikasi tindak pidana pencucian uang, Termohon wajib melakukan penyidikan. Setiap

proses ini dilaporkan kepada PPATK sebagai sumber informasi.

5. Prinsip penyelidikan dalam proses penanganan LHA adalah pertama, menjaga

kerahasiaan LHA mulai dari penempatan, penggunaan, dan pengarsipan. Kedua, setiap

kegiatan penyelidikan harus berdasarkan pada surat perintah. Ketiga, penyelidikan

dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan serta peraturan lain yang

mengatur tentang tindak pidana pencucian uang.

6. Ada beberapa tahap penanganan LHA. Pertama, bahwa pembahasan pada tingkat

direktorat tentang dugaan tindak pidana pencucian uang yang merupakan hasil dari

LHA PPATK melalui mekanisme gelar. Kedua, penyelidikan dugaan tindak pidana

pencucian uang yang neliputi kegiatan pengumpulan data informasi awal LHA yang

merupakan data atau fakta. Terhadap data atau fakta tersebut dilakukan verifikasi,

identifikasi, dan pengujian dokumen secara legal untuk melihat apakah pengeluaran

dokumen telah sesuai dengan prosedur. Verifikasi juga dapat dilakukan dengan

interview petugas atau pejabat tertentu yang mengetahui suatu peristiwa yang

terindikasi tindak pidana pencucian uang. Selanjutnya dilakukan gelar perkara untuk

menentukan tindak pidana tersebut menang benar tindak pindana pencucian uang atau

tidak. Kemudian ada mekanisme untuk mendapatkan keterangan dari Penyedia Jasa

Keuangan terkait pemblokiran dan pembukaan blokir harta kekayaan yang dikelola.

Kemudian melakukan kegiatan lain yang diperlukan guna memperlancar pelaksanaan

penyelidikan dan penyidikan.

7. Proses penyelidikan terhadap 17 rekening anggota Polri yang diterima juga telah

melalui mekanisme penyelidikan dan proses penanganan LHA melalui tahap-tahap

yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

8. Untuk mengetahui apakah ada tindak pidana pencucian uang atau tidak sudah masuk

ke substansi rahasia karena merupakan proses penyidikan.

9. Mengenai pernyataan wajar yang dinyatakan oleh PPID Humas yang melihat dari

proses manajemen selebihnya merupakan ranah Bareskrim dimana informasi tersebut

dirahasiakan.

10. Terhadap permintaan dari Pemohon, PPID Humas Mabes Polri menunggu berkas

selesai diolah oleh Bareskrim. Berkas tersebut belum sampai kepada PPID Humas

sehingga belum dapat diverifikasi.

11. Informasi yang diberikan kepada publik mengenai 17 rekening yang dikategorikan

wajar tersebut merupakan informasi rahasia dimana ada informasi yang bocor kepada

Komisi Informasi Pusat

10

publik. Humas pada waktu itu mengklarifikasi mengenai informasi yang bocor

tersebut.

12. Termohon menyatakan bahwa sesuai dengan data yang berasal dari PPATK sampai

dengan Juli 2010 ada kurang lebih 8 juta Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan

(LTKM) dan laporan transaksi keuangan tunai yang wajib disediakan oleh Penyedia

Jasa Keuangan. Dari 8 juta laporan informasi tersebut yang diterima dari tahun 2003-

2010 ada 1228 LHA artinya PPATK telah memperoleh adanya transaksi

mencurigakan. Dari 1228 LHA tersebut telah disidang 82 perkara.

13. Termohon menerangkan bahwa 17 pemilik rekening yang dikategorikan tersebut telah

pernah diperiksa.

14. Termohon melaporkan kepada PPATK mengenai perkembangan 17 rekening tersebut.

Keterangan Ahli Yenti Garnasih

[2.14] Menimbang bahwa di dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011, ahli Yenti

Garnasih dari Termohon memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Pasal 10 A UU TPPU mengatakan bahwa pejabat, penyidik, PPATK atau siapapun

tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan tujuannya adalah jika nasabah

yang bersangkutan mengetahui bahwa rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum

sempat diperiksa dan diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana

tersebut.

2. Apabila terbukti ada tindak pidana pencucian uang, maka Pasal 10 A diabaikan dan

masuk ke Pasal 14 UU TPPU bahwa rahasia perbankan dikesampingkan.

3. Untuk dana sejumlah 500 juta atau lebih sudah langsung dianalisis oleh PPATK. Hal

ini juga berlaku untuk dana di bawah 500 juta namun ada indikasi tindak pidana

langsung dianalisis PPATK kemudian langsung diserahkan kepada pihak kepolisian.

Namun, apabila pihak kepolisian masih membutuhkan informasi, maka akan

dilakukan pendalaman-pendalaman.

4. Hanya penyelidik dan penyidik yang mengetahui suatu transaksi wajar atau tidak.

apabila informasi dari PPATK dianggap belum cukup, penyelidik wajib mendalami

apakah dana tersebut wajar atau berasal dari kegiatan yang melanggar hukum.

Apabila dikatakan wajar berarti transaksi telah dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum artinya baik jumlah maupun cara perolehannya tidak melanggar hukum

5. Kalau belum dapat disimpulkan suatu rekening ada indikasi tindak pidana pencucian

atau tidak berarti proses belum selesai.

Komisi Informasi Pusat

11

6. Hasil analisa PPATK bukan produk penyelidikan karena setelah dari PPATK akan

diserahkan kepada Kepolisian dan Kepolisianlah yang akan mengolah temuan-temuan

beserta datanya untuk menetapkan tersangka. Tidak ada kewajiban penyelidik yaitu

Kepolisian untuk mengembalikan berkas kepada PPATK. PPATK berperan sebagai

sumber informasi jika suatu saat dibutuhkan oleh penyelidik. Penyelidik yang akan

menentukan apakah telah dapat dilanjutkan prosesnya atau perlu pendalaman lagi

terhadap LHA tersebut untuk melihat kemudian ada indikasi tindak pidana pada

jumlah dan perolehan dana tersebut.

Surat-Surat Termohon

[2.15] Menimbang bahwa Termohon mengajukan bukti surat/tertulis sebagai berikut:

Bukti T-1 Salinan Surat Tanggapan Termohon terhadap Permintaan Informasi dengan

Nomor Surat: 258/SK/BP/ICW/VIII/1 tertanggal 4 Agustus 2010.

[2.16] Menimbang bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas, Termohon pada

prinsipnya memohon kepada Majelis Komisioner agar memberikan putusan sebagai berikut;

1. Primer

Menolak permohonan Pemohon atau setidak-tidaknya menyatakan bahwa permohonan

Pemohon tidak dapat diterima;

2. Subsider

Memberikan putusan lain yang seadil-adilnya menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Keterangan Ahli Dedy Djamaluddin Malik

[2.17] Menimbang bahwa Komisi Informasi Pusat mendatangkan ahli yang terlibat di dalam

proses pembuatan UU KIP sebagai anggota DPR pada saat itu, yang di dalam persidangan

pada tanggal 18 Januari 2011 memberikan keterangan sebagai berikut:

1. UU Nomor 14 Tahun 2008 yang dibuat melalui 2 periode DPR yang pertama pada

tahun 1999 dan yang kedua tahun 2004 yang selesai pada tahun 2008. Di dalam risalah

rapat pembahasan Pasal 6 ayat 3 yang terekam pada rapat Panja tanggal 15 Januari

2007 dan laporannya tertulis dan terekam pada sekretariat komisi I DPR Pemerintah

menyatakan bahwa dicantumkannya hak pribadi sebagai unsur pengecualian bertujuan

untuk menyelaraskan UU KIP dengan UU lain agar tidak saling bertentangan.

Komisi Informasi Pusat

12

2. Terkait dengan pengecualian tersebut, ada perbedaan perlakuan untuk pejabat publik

yang tunduk pada ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU KIP mengingat tujuan UU KIP

adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif,

efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan.

3. Tafsir Pasal 6 UU KIP adalah memproteksi setiap warga negara siapapun dia yang

memiliki rekening pada bank. Bahwa ada hak individual seseorang yang secara

otomatis tidak boleh dibuka. Tetapi karena berbicara tentang Badan Publik dan Pejabat

Publik yang harus transparan, maka muncullah Pasal 18 ayat (2) tersebut.

4. Pemerintah menyatakan bahwa apabila di kemudian hari UU KIP bertententangan

dengan UU lain, maka kita kembali kepada asas. Asas yang dimaksud disini adalah

asas yang dikecualikan bersifat rahasia dan kepentingan umum dengan didasarkan

pada uji konsekuensi yang timbul pada informasi yang ada pada masyarakat dan telah

dipertimbangkan dengan seksama dan informasi publik dapat melindungi kepentingan

publik yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

5. Untuk memecahkan masalah informasi yang bersifat tertutup diperlukan uji

konsekuensi dan berdasarkan pada kepentingan umum.

6. Ketika suatu Badan Publik menyampaikan informasi kepada publik, maka informasi

yang disampaikan haruslah informasi yang akurat. Apabila informasi yang diminta

merupakan informasi rahasia, Badan Publik seharusnya memberikan penjelasan belum

dapat memberikan informasi yang dimaksud disertai dengan alasannya sehingga tidak

ada informasi yang simpang siur di masyarakat.

7. Sepanjang itu sudah diumumkan kepada Publik dan informasinya dinyatakan wajar

maka hal tersebut sudah menjadi keputusan publik yang masuk ke dalam Pasal 11 UU

KIP.

Keterangan Ahli M. Novian

[2.18] Menimbang bahwa Komisi Informasi Pusat mendatangkan ahli dari PPATK

berdasarkan Surat Penunjukan Kepada PPATK Nomor: S21/1.02.1/PPATK/01/11, yang di

dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011 memberikan keterangan sebagai berikut:

1. PPATK memiliki kewenangan untuk memeriksa transaksi keuangan berdasarkan

laporan dari penyedia jasa keuangan sehingga mengeluarkan suatu produk yang

namanya adalah Laporan Hasil Analisis (LHA).

Komisi Informasi Pusat

13

2. Terhadap LHA ini PPATK memiliki kewenangan menyerahkan kepada penyidik

dalam hal ini POLRI untuk dilakukan upaya penegakan hukum oleh Penyidik baik

berupa penyelidikan maupun penyidikan itu sendiri.

3. Bentuk pertama dari LHA itu sendiri ketika dilakukan proses penegakan hukum

sebenarnya dia sudah berubah dan tidak disebut lagi sebagai LHA. Tapi informasi

awal untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan itu masih LHA namun ketika

sudah ada pendalaman melalui proses penegakan hukum itu sudah bukan lagi LHA

karena sudah berubah bentuknya.

4. PPATK tidak mengetahui apakah di pihak penyidik memiliki ketentuan atau ada

peraturan perundangan yang menyatakan itu rahasia atau tidak sebenarnya sudah ranah

yang lain, sehingga sudah tidak masuk ranah PPATK.

5. Di PPATK tidak dikenal istilah pengembalian berkas hasil penyidikan Tindak Pidana

Pencucian Uang (TPPU). Akan tetapi jika dibutuhkan pendalaman informasi lebih

lanjut mengenai transaksi-transaksi baik yang terkait dengan yang bersangkutan atau

terkait si A atau si B itu bisa dilakukan pendalaman dengan bertukar informasi di

PPATK dengan penyidik untuk melakukan pendalaman terkait dengan rekening

tersebut melalui surat dari Kepolisian atau penyidik.

6. Yang dimaksud dengan penyidik PPATK di pasal 44 bahwa penyidik PPATK

memiliki kewenangan meminta laporan perkembangan proses penegakan hukum

hanya semata-mata meminta perkembangan sudah sejauh mana dan tahap apa. Untuk

pertukaran informasi antara PPATK dengan penyidik sudah diatur melalui Peraturan

Kepala PPATK.

3. KESIMPULAN PARA PIHAK

Kesimpulan Pemohon

[3.1] Menimbang bahwa pada tanggal 1 Februari 2011 Pemohon menyampaikan Kesimpulan

sebagai berikut:

1. Termohon telah gagal membuktikan bahwa Termohon telah melakukan pengujian

tentang konsekuensi dalam menetapkan informasi yang dikecualikan. Hal ini terlihat

di dalam surat penolakan Termohon yang tidak menyebutkan mengenai pelaksanaan

pengujian tentang konsekuensi, dimana hal ini juga tidak dampak dijelaskan di

persidangan.

Komisi Informasi Pusat

14

2. Ahli Andreas Hugo Pareira menegaskan serendah apapun pangkat/jabatan anggota

polisi pasti akan mendapatkan penugasan dari atasannya, oleh karenanya memiliki

kewajiban sesuai pasal 1 angka 8 dan pasal 18 angka 2 (huruf a dan b UU KIP).

3. Pihak Termohon berbelit-belit atau tidak dapat menjelaskan secara jelas definisi

kriteria wajar dalam mengklasifikasikan 17 rekening hasil pemeriksaan internal

Mabes Polri.

4. PPATK tidak mengenal terminologi pengembalian berkas dari kepolisian serta tidak

memiliki kewenangan mengumumkan kepada publik.

5. Termohon menyatakan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) belum

dikeluarkan oleh Mabes Polri maka informasi yang diminta Pemohon tidak bisa

dipenuhi karena dikhawatirkan akan menghambat proses penegakan hukum.

6. Bahwa dengan demikian alasan penolakan karena informasi yang diminta adalah

informasi yang dikecualikan karena terkait dengan hak-hak pribadi tidak terbukti.

Kesimpulan Termohon

[3.2] Menimbang bahwa pada tanggal 4 Februari 2011 Termohon menyampaikan

Kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa informasi yang diminta Pemohon terhadap 17 rekening milik anggota Polri

sebagai objek perkara merupakan informasi yang dikecualikan sesuai dengan Pasal 17

huruf a UU KIP.

2. Bahwa dalam konteks ini Pasal 18 ayat (2) UU KIP tidak relevan karena informasi

yang dirahasiakan ini telah bocor, sehingga secara hukum tidak memungkinkan

sesuatu informasi yang ilegal dapat diklarifikasi.

3. Bahwa PPID Bareskrim Polri sebagai bagian dari PPID Mabes Polri akan

menyediakan informasi terhadap kinerja Bareskrim Polri bukan substansi pokok

perkara yang sedang dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

4. Bahwa Laporan Hasil Analisa (LHA) sebagai informasi intelijen merupakan

rangkaian komunikasi antara penyidik Polri dengan PPATK, oleh sebab itu

komunikasi tidak terhenti atau tidak mempunyai jangka waktu sampai dengan laporan

informasi tersebut telah memenuhi kriteria dapat ditindaklanjuti dengan memnuhi

persyaratan:

a. Adanya predikat crime (kejahatan asli)

b. Adanya harta kekayaan dari hasil kejahatan

c. Adanya transaksi atas harta kekayaan hasil kejahatan;

Komisi Informasi Pusat

15

Dalam proses penanganan 17 rekening objek perkara masih terbuka ruang adanya

penyelidikan dan penyidikan berdasarkan LHA dari PPATK. Hal tersebut

menunjukkan bahwa proses penanganan 17 rekening milik anggota Polri belum

selesai proses penyelidikan dan penyidikannya.

5. Bahwa permohonan permintaan 17 (tujuh belas) nama pemilik rekening secara uji

konsekuensi harus pula membuka nama-nama 1299 LHA lainnya yang

mengakibatkan mempersulit proses pengungkapan Tindak Pidana Pencucian Uang

(TPPU)

[3.3] Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,

Termohon memohon kepada Majelis Komisioner agar memberikan putusan sebagaimana

pada paragraf [2.16].

4. PERTIMBANGAN HUKUM

[4.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai permohonan

Penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana diatur Pasal 35 ayat (1) huruf a juncto

Pasal 3 ayat (2) huruf b dan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun

2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki PPSIP).

[4.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Majelis Komisioner akan

mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

1. kewenangan Komisi Informasi Pusat untuk memeriksa, memutus, dan menjatuhkan

putusan permohonan a quo;

2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.

Terhadap kedua hal tersebut di atas, Majelis berpendapat sebagai berikut:

A. Kewenangan Komisi Informasi Pusat

[4.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 5, Pasal 26 ayat (1) huruf a, Pasal 27 ayat

(1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 35 ayat (1) huruf a juncto Pasal 3 ayat (2) huruf a, dan Pasal 3

ayat (4) huruf a Perki PPSIP pada pokoknya mengatur Komisi Informasi berwenang

menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui ajudikasi.

Komisi Informasi Pusat

16

[4.4] Menimbang bahwa permohonan a quo merupakan permohonan penyelesaian Sengketa

Informasi Publik yang menyangkut penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a juncto Pasal 3 ayat (2) huruf a dan

Pasal 3 ayat (4) huruf a Peraturan Perki PPSIP.

[4.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada [4.3] dan [4.4] Majelis berpendapat bahwa

Komisi Informasi berwenang memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan terhadap

permohonan a quo.

[4.6] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU KIP juncto Pasal 4 ayat (1) Perki

PPSIP pada pokoknya mengatur bahwa Komisi Informasi Pusat berwenang menyelesaikan

Sengketa Informasi Publik apabila permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik

menyangkut Badan Publik Pusat;

[4.7] Menimbang bahwa Termohon adalah Badan Publik Pusat, yang berkedudukan di

ibukota Negara dan mempunyai garis subordinasi dengan Badan Publik di tingkat Provinsi,

Kabupaten, sampai dengan Kecamatan.

[4.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian [4.6] dan [4.7] Majelis berpendapat bahwa

Komisi Informasi Pusat berwenang memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan terhadap

permohonan a quo.

B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[4.9] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 12, Pasal 35 ayat (1) huruf a, Pasal 36

ayat (1) Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UU KIP juncto pasal 1 angka 8, Pasal 30 ayat (1) huruf

a, Pasal 30 ayat (2), Pasal 35 Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang

Standar Layanan Informasi Publik (Perki SLIP) juncto Pasal 1 angka 6, Pasal 7, Pasal 8,

Pasal 11 huruf a Perki PPSIP, yang pada pokoknya Pemohon merupakan Pemohon Informasi

Publik yang telah mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik kepada

Komisi Informasi Pusat setelah terlebih dahulu menempuh upaya keberatan kepada

Termohon.

Komisi Informasi Pusat

17

[4.10] Menimbang bahwa berdasarkan fakta permohonan:

1. Pemohon adalah Badan Hukum berdasarkan Akta Pendirian Indonesia Corruption

Watch (ICW) Nomor 53 tertanggal 11 Juni 2009 dengan akta notaris Harizul

Sudarmadi, S.H berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor: C-1806.HT.03.02-Th.1999. (Bukti P-1);

2. Pemohon telah mengajukan permohonan informasi kepada Termohon dengan Surat

Nomor: 238/SK/BP/ICW/VIII/10 pada tanggal 2 Agustus 2010. (Bukti P-2);

3. Terhadap permohonan informasi Pemohon, Termohon memberikan tanggapan berupa

penolakan pemberian informasi dengan alasan informasi yang dimohon merupakan

informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 huruf h butir 3 UU KIP, Pasal 6

ayat (3) huruf c UU KIP, dan Pasal 10 A UU TPPU dengan Nomor Surat Tanggapan:

258/SK/BP/ICW/VIII/1 tertanggal 4 Agustus 2010. (Bukti P-3);

4. Pemohon telah mengajukan keberatan kepada Termohon yang diterima oleh Farida

pada tanggal 31 Agustus 2010 (Bukti P-4);

5. Pemohon pada tanggal 20 Oktober 2010 mengajukan permohonan penyelesaian

Sengketa Informasi Publik dengan Surat Nomor: 326/SK/BP/ICW/X/10 kepada

Komisi Informasi Pusat yang diterima pada tanggal 21 Oktober 2010.

[4.11] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [4.9] dan [4.10] tersebut Majelis

berpendapat bahwa Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing),

selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan pokok permohonan.

C. Pokok Permohonan

[4.12] Menimbang bahwa dari fakta hukum, baik dalil Pemohon, jawaban Termohon serta

bukti surat, Majelis menemukan fakta hukum baik yang diakui maupun yang menjadi

perselisihan hukum para pihak, sebagai berikut:

1. Fakta hukum dan dalil-dalil permohonan Pemohon yang tidak dibantah oleh

Termohon, karenanya fakta hukum tersebut menjadi hukum bagi Pemohon dan

Termohon sehingga hal tersebut tidak perlu dibuktikan lagi, yaitu:

a. Pemohon telah mengajukan permohonan Informasi Publik sebagaimana diuraikan

dalam Duduk Perkara;

b. Pemohon telah menempuh upaya keberatan kepada Termohon sebagaimana

diuraikan dalam Duduk Perkara;

Komisi Informasi Pusat

18

c. Pemohon telah mendapatkan tanggapan atas keberatan dari Termohon

sebagaimana diuraikan dalam Duduk Perkara;

2. Bahwa Pemohon telah menegaskan bahwa informasi yang diminta sesuai dengan

surat permohonan informasi tertanggal 2 Agustus 2010 yaitu tentang 17 nama pemilik

rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar, tidak

termasuk permohonan tambahan informasi terkait hasil pemeriksaan dan klarifikasi

Mabes Polri terhadap kepemilikan sejumlah rekening sebagaimana tertulis di dalam

surat keberatan Np. 258/SK/BP/ICW/VIII/10.

3. Bahwa selain fakta hukum atau hal-hal yang diakui para pihak, dalam persidangan

juga terdapat fakta hukum atau hal-hal yang menjadi pokok perselisihan, yaitu alasan

penolakan permohonan Informasi Publik;

D. Pendapat Majelis

[4.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal yang menjadi perselisihan hukum di atas, Majelis

akan memberikan pertimbangan dan penilaian hukum sebagai berikut:

1. Salah Satu Alasan Penolakan adalah Tidak Boleh Diungkapkan Berdasarkan Pasal

10 A Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang

No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)

[4.14] Menimbang bahwa informasi yang dimohon adalah mengenai 17 nama pemilik

rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar sebagaimana

dimaksud dalam paragraf [2.2].

[4.15] Menimbang bahwa salah satu dasar pengecualian informasi yang digunakan oleh

Termohon adalah ketentuan Pasal 10 A UU TPPU yang menyatakan:

(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

(2) Sumber keterangan dan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.

(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.

Komisi Informasi Pusat

19

(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

[4.16] Menimbang bahwa Pasal 6 ayat (1) UU KIP mengakomodasi penggunaan peraturan

perundang-undangan lain yang mengecualikan informasi untuk menjadi salah satu dasar

penolakan.

[4.17] Menimbang bahwa Termohon tidak memberikan informasi a quo dengan alasan

informasi tersebut bersumber pada LHA PPATK dan berdasarkan surat yang disampaikan

oleh PPATK semua informasi tersebut tidak dapat disampaikan ke publik.

[4.18] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU KIP, informasi publik yang

dikecualikan sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan

pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada

masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan seksama bahwa menutup informasi publik

dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

[4.19] Menimbang berdasarkan Lampiran C.1 angka 74 huruf c UU Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa:

Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.

[4.20] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa:

(1) Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

[4.21] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf

[4.19], pengecualian berdasarkan undang-undang lain sebagaimana dimaksud pada paragraf

Komisi Informasi Pusat

20

[4.16] harus melalui mekanisme pengujian tentang konsekuensi sebagaimana diatur di dalam

Pasal 2 ayat (4) UU KIP.

[4.22] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU KIP menyatakan bahwa:

Badan Publik harus membuktikan hal-hal yang mendukung pendapatnya apabila menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a UU KIP.

[4.23] Menimbang Termohon tidak dapat membuktikan bahwa sebelum persidangan,

Termohon telah melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana diatur di dalam

Pasal 2 ayat (4) UU KIP.

[4.24] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Termohon di dalam persidangan pada

tanggal 28 Desember 2010, Termohon mengakui dan menyatakan bahwa sesunggguhnya

konsekuensi yang relevan terhadap UU TPPU adalah sebagaimana yang diatur di dalam Pasal

17 huruf a angka 1 UU KIP dan Pasal 17 huruf h angka 1 UU KIP, yaitu dapat menghambat

proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana serta dapat mengungkap rahasia

pribadi.

[4.25] Menimbang bahwa berdasarkan paragraf [4.14] sampai dengan paragraf [4.24] Majelis

berpendapat bahwa dalil Termohon yang menolak hanya berdasarkan UU TPPU tidak

memadai untuk dijadikan sebagai dasar penolakan permohonan informasi a quo.

2. Apakah membuka informasi nama dan besaran nilai sebagaimana dimohon oleh

Pemohon dapat mengungkap rahasia pribadi sebagaimana dimaksud Pasal 17 huruf

h angka 3 UU KIP?

[4.26] Menimbang bahwa Termohon di dalam persidangan menyatakan informasi tentang

nama dan besaran nilai tidak dapat diberikan dengan alasan melanggar Pasal 10 A UU TPPU.

[4.27] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Termohon di dalam persidangan pada

tanggal 28 Desember 2010, Termohon mengakui dan menyatakan bahwa sesunggguhnya

konsekuensi yang relevan terhadap Pasal 10 A UU TPPU adalah sebagaimana yang diatur di

dalam Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP, Pasal 17 huruf h angka 3 dan Pasal 6 ayat (3) huruf

Komisi Informasi Pusat

21

c UU KIP, yaitu dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana

serta dapat mengungkap rahasia pribadi.

[4.28] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (2) huruf b UU KIP dinyatakan bahwa

informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan h yang dapat mengungkap

rahasia pribadi tidak termasuk informasi yang dikecualikan dalam hal pengungkapan tersebut

berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan publik.

[4.29] Menimbang bahwa di dalam persidangan tanggal 18 Januari 2011 ahli Dedy

Djamaluddin Malik anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlibat dalam proses

perancangan UU KIP pada pokoknya menerangkan bahwa meskipun Pasal 6 ayat (3) huruf c

dan Pasal 17 huruf g dan h angka 3 UU KIP memproteksi hak individu warga negara yang

secara otomatis tidak boleh dibuka. Namun, apabila berbicara tentang Badan Publik dan

Pejabat Publik harus transparan sebagaimana yang tertuang di dalam ketentuan Pasal 18 ayat

(2) huruf b yang muncul sebagai perwujudan dari semangat fundamental UU KIP untuk

mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif, efisien, dan akuntabel

serta dapat dipertanggungjawabkan.

[4.30] Menimbang di dalam persidangan tanggal 18 Januari 2011 ahli Andreas Hugo Pareira

menerangkan bahwa Pasal 18 ayat (2) merupakan salah satu Pasal yang mengecualikan

pengecualian, yaitu Pasal yang mengecualikan Pasal 17 huruf g dan h tentang rahasia pribadi

terkait dengan aset keuangan apabila berkaitan dengan pejabat publik.

[4.31] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU KIP dinyatakan bahwa: “Pejabat

Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan

tertentu di Badan Publik.”

[4.32] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU tentang Kepolisian menyatakan

bahwa setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi pangkat yang

mencerminkan peran, fungsi dan kemampuan, serta sebagai keabsahan wewenang dan

tanggung jawab dalam penugasannya.

Komisi Informasi Pusat

22

[4.33] Menimbang keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.31] dan [4.32]

Majelis berpendapat bahwa 17 (tujuh belas) anggota Polri sebagaimana dimaksud pada

paragraf [2.2] adalah pejabat publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UU KIP.

[4.34] Menimbang keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.40], Majelis

berpendapat bahwa dalil Termohon yang menolak memberikan informasi nama pemilik

rekening dan besaran nilainya sebagaimana dimaksud pada paragraf [2.2] berdasarkan alasan

yang dinyatakan dalam Pasal 17 huruf h angka 3 tidak relevan.

3. Apakah membuka informasi besaran nilai sebagaimana dimohon oleh Pemohon

dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud

Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP?

[4.35] Menimbang bahwa Termohon di dalam persidangan menyatakan informasi tentang

besaran nilai tidak dapat diberikan dengan alasan melanggar Pasal 10 A UU TPPU.

[4.36] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Termohon di dalam persidangan pada

tanggal 28 Desember 2010, Termohon mengakui dan menyatakan bahwa sesunggguhnya

konsekuensi yang relevan terhadap Pasal 10 A UU TPPU adalah sebagaimana yang diatur di

dalam Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP dan Pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP, yaitu dapat

menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana serta dapat

mengungkap rahasia pribadi.

[4.37] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan ahli Yenti Garnasih di dalam persidangan,

tujuan Pasal 10 A UU TPPU yang menyatakan bahwa pejabat, penyidik, PPATK atau

siapapun tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan adalah bahwa apabila nasabah

yang bersangkutan mengetahui bahwa rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum sempat

diperiksa dan diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana tersebut.

[4.38] Menimbang bahwa Termohon menyatakan bahwa proses penyelidikan terhadap 17

rekening a quo belum selesai.

Komisi Informasi Pusat

23

[4.39] Menimbang bahwa di dalam persidangan pada tanggal 28 Desember 2010 Termohon

menyatakan telah memanggil, mendatangkan, dan memeriksa 17 pemilik rekening a quo.

[4.40] Menimbang berdasarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.39]

pemilik rekening telah mengetahui bahwa rekening yang bersangkutan sedang diperiksa dan

Polri seharusnya telah mengambil langkah-langkah sehingga tidak terjadi konsekuensi yang

disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.37]

[4.41] Menimbang berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.35]

sampai dengan paragraf [4.40], Majelis berpendapat membuka besaran nilai tidak akan

menimbulkan konsekuensi terhadap penyelidikan dan penyidikan sehingga dalil-dalil

Termohon yang tidak memberikan informasi besaran nilai menjadi tidak relevan.

4. Apakah membuka informasi nama pemilik rekening sebagaimana dimohon oleh

Pemohon dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana

dimaksud Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP?

[4.42] Menimbang bahwa Termohon di dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011

menyatakan informasi tentang nama pemilik rekening tidak dapat diberikan karena masih di

dalam tahap penyelidikan dan memiliki konsekuensi menghambat penegakan hukum

sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP.

[4.43] Menimbang bahwa Termohon menerangkan bahwa belum ada Surat Pemberitahuan

Penghentian Penyidikan (SP3) karena masih dalam status penyelidikan.

[4.44] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan ahli Yenti Garnasih di dalam persidangan,

tujuan Pasal 10 A UU TPPU yang menyatakan bahwa pejabat, penyidik, PPATK atau

siapapun tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan adalah apabila nasabah yang

bersangkutan mengetahui rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum sempat diperiksa dan

diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana tersebut.

[4.45] Menimbang bahwa di dalam persidangan pada tanggal 28 Desember 2010, Termohon

juga menerangkan bahwa meskipun proses penyelidikan belum selesai, Termohon telah

memanggil, mendatangkan, dan memeriksa 17 pemilik rekening a quo.

Komisi Informasi Pusat

24

[4.46] Menimbang berdasarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.45]

pemilik rekening telah mengetahui bahwa rekening yang bersangkutan sedang diperiksa dan

Polri seharusnya telah mengambil langkah-langkah sehingga tidak terjadi konsekuensi yang

disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.44]

[4.47] Menimbang keterangan sebagaimana dimaksud pada paragraf [4.46], Majelis

berpendapat dalil Termohon yang menolak permohonan informasi tentang nama pemilik

rekening a quo dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan apabila informasi

dibuka, menjadi tidak relevan.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian dan fakta hukum di atas, Majelis Komisioner berkesimpulan:

[5.1] Komisi Informasi Pusat berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

a quo.

[5.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan

dalam perkara a quo.

[5.3] Dalil-dalil Termohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum untuk

seluruhnya.

6. AMAR PUTUSAN

Memutuskan,

[6.1] Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

[6.2] Menyatakan bahwa informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran

nilainya yang telah dikategorikan wajar sesuai dengan pengumuman oleh Mabes Polri pada

tanggal 23 Juli 2010 adalah informasi yang terbuka;

Komisi Informasi Pusat

25

[6.3] Membatalkan keputusan Termohon tentang penolakan untuk memberikan informasi 17

nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar.

[6.4] Memerintahkan Termohon untuk memberikan informasi 17 nama pemilik rekening

anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar kepada Pemohon

dalam jangka waktu selambat-lambatnya 17 (tujuh belas) hari kerja sejak putusan

berkekuatan hukum tetap.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Komisioner yaitu Ahmad

Alamsyah Saragih selaku Ketua merangkap Anggota, Henny S. Widyaningsih, dan Ramly

Amin Simbolon masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, 7 Februari 2011 dan

diucapkan dalam Sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa, 8 Februari 2011 oleh Majelis

Komisioner yang nama-namanya tersebut di atas, dengan didampingi oleh Chairul Hasibuan

sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon dan Termohon;

Komisi Informasi Pusat

26

Untuk Salinan Putusan ini sah dan sesuai dengan aslinya diumumkan kepada masyarakat

berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan

Pasal 61 ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 tentang

Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.

Jakarta, 8 Februari 2011

Panitera

Komisi Informasi Pusat