PSIKODRAMA UNTUK MENINGKATKAN EMPATI · PDF fileSurat Izin Penelitian . ... kita tidak hanya...
Transcript of PSIKODRAMA UNTUK MENINGKATKAN EMPATI · PDF fileSurat Izin Penelitian . ... kita tidak hanya...
PSIKODRAMA UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA
REGULER DI SEKOLAH INKLUSIF SMP MUHAMMADIYAH 2
MALANG
SKRIPSI
Oleh:
Niki Cahyani
201210230311410
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
i
PSIKODRAMA UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA
REGULER DI SEKOLAH INKLUSIF SMP MUHAMMADIYAH 2
MALANG
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi
Oleh:
Niki Cahyani
201210230311410
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
ii
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Skripsi : Psikodrama untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler di Sekolah
Inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang
2. Nama Peneliti : Niki Cahyani
3. NIM : 201210230311410
4. Fakultas : Psikologi
5. Perguruan Tinggi : Universitas MUhammadiyah Malang
6. Waktu Penelitian : 18 Desember 2015 – 21 Januari 2016
Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 30 April 2016
Dewan Penguji
Ketua Penguji : Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si. ( )
Anggota Penguji : 1. Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi. ( )
2. Ni’matuzzahroh, S.Psi, M.Si. ( )
3. Tri Muji Ingarianti, S.Psi, M.Psi. ( )
Pembimbing I Pembimbing II
Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si. Zainul Anwar, M.Psi.
Malang, 07 Mei 2016
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi Universita Muhammadiyah Malang
Dra. Tri Dayakisni, M.Si
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Niki Cahyani
NIM : 201210230311410
Fakultas/Jurusan : Psikologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul:
Psikodrama untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler di Sekolah Inklusif SMP
Muhammadiyah 2 Malang
1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk
kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan karya ilmiah/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak bebas
Royalti non ekslusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila penyataan ini
tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
Malang, 07 Mei 2016
Mengetahui
Ketua Program Studi Yang Menyatakan
Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si Niki Cahyani
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Psikodrama untuk
Meningkatkan Empati Siswa Reguler di Sekolah Inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang”,
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas
Muhammadiyah Malang.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk
serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarya kepada:
1. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
2. Ibu Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si selaku Pembimbing I dan dosen wali yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik serta telah mendukung dan memberi
pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.
3. Bapak Zainul Anwar, S.Psi. M.Psi. selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah membekali
penulis dengan berbagai ilmu selama mengikuti perkuliahan sampai akhir penulisan
skripsi.
5. Staf Tata Usaha Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah
banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan dan penulisan skripsi ini,
6. Bapak Drs. H. Mardjono, M.Si. selaku Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 2 Malang
yang telah memberikan izin penelitian dan dukungan atas pelaksanaan penelitian skripsi
ini.
7. Orang tua tercinta, Bapak Priyo Cahyono dan Ibu Miatun (Almh) atas jasa-jasanya yang
tidak akan terlupakan, juga kesabaran, do’a, dan tidak pernah lelah mendidik dengan tulus
kepada penulis. Serta saudara-saudara penulis yang tidak lelah mendukung penulis.
8. Rekan-rekan kelas, yakni: Sakinah Nur, Ida Nur Kusuma, Dwi Yunda, Ari Widya, Akbar
Prasetyo, Nurlaili, dan Amita Yuni yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang
berarti bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan
bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran
demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.
Malang, 07 Mei 2016
Penulis
Niki Cahyani
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul ........................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ................................................................................................ ii
Surat Pernyataan ....................................................................................................... iii
Kata Pengantar ......................................................................................................... iv
Daftar Isi ................................................................................................................... v
Daftar Tabel ............................................................................................................... vi
Daftar Gambar ............................................................................................................. vii
Daftar Lampiran .......................................................................................................... viii
Ringkasan ........................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................... 2
LANDASAN TEORI
Empati ............................................................................................................... 6
Aspek-Aspek Empati ........................................................................................ 7
Faktor yang Mempengaruhi Empati ................................................................. 7
Perkembangan Empati ...................................................................................... 7
Cara Meningkatkan Empati .............................................................................. 8
Psikodrama ...................................................................................................... 8
Prosedur Penerapan Psikodrama ....................................................................... 9
Tahap-Tahap Psikodrama ................................................................................. 9
Psikodrama sebagai Metode untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler ...... 9
Hipotesis ........................................................................................................... 11
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian ........................................................................................ 11
Subjek Penelitian .............................................................................................. 11
Tahapan Penelitian ............................................................................................ 12
Variabel dan Instrumen Penelitian .................................................................... 13
Prosedur dan Analisa Data Penelitian ............................................................... 13
HASIL PENELITIAN .................................................................................... 14
DISKUSI .......................................................................................................... 15
SIMPULAN DAN IMPLIKASI ..................................................................... 18
REFERENSI ................................................................................................... 19
LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Subjek Penelitian ................................................................................ 14
Tabel 2. Hasil Uji Pre-Test dan Post-Test ........................................................ 14
Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis ............................................................................. 15
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Berpikir ........................................................................... 10
Gambar 2. Tahapan Penelitian .......................................................................... 12
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Blueprint Uji Coba Skala Empati ................................................. 22
Lampiran 2. Blueprint Skala Empati Penelitian ............................................... 24
Lampiran 3. Hasil Uji Coba Skala Empati ....................................................... 26
Lampiran 4. Skala Penelitian ............................................................................ 28
Lampiran 5. Tabulasi Data ............................................................................... 30
Lampiran 6. Hasil Analisa Data ........................................................................ 31
Lampiran 7. Modul Penelitian .......................................................................... 32
Lampiran 8. Guide Observasi dan Interview .................................................... 43
Lampiran 9. Verbatim Focus Group Discussion (FGD) .................................. 44
Lampiran 10. Dokumentasi ............................................................................. 45
Lampiran 11. Surat Izin Penelitian
Lampiran 12. Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 13. Inform Consent
Lampiran 14. Daftar Riwayat Hidup Peserta
Lampiran 15. Berita Acara Penelitian
1
PSIKODRAMA UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA
REGULER DI SEKOLAH INKLUSIF SMP MUHAMMADIYAH 2
MALANG
Niki Cahyani
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
Pada pelaksanaan pendidikan inklusif yang bertujuan mewujudkan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman dan non diskriminatif, seringkali siswa ABK menjadi korban
bullying oleh siswa reguler dikarenakan kurangnya empati siswa reguler. Salah satu metode
yang diperkirakan dapat meningkatkan empati siswa reguler adalah Psikodrama. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas psikodrama dalam meningkatkan empati
siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode eksperimen dengan model one group pre and post test design. Teknik
pengambilan sampel dengan purposive sampling dengan jumlah subjek 15 siswa reguler SMP
Muhammadiyah 2 Malang. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah interview,
dan skala empati. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan analisa data menggunakan
paired sample t test (p = 0.000, p < 0.005 & t = -9.439), dapat diambil kesimpulan bahwa
psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah
inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang.
Kata Kunci: Empati, Psikodrama, Sekolah Inklusif
On the implementation of inclusive education aimed at realizing education that respects
diversity and non-discriminatory, often disability students are becoming victims of bullying
by another reguler students. One of the methods that are expected to increase student’s
empathy to disability students is psychodrama. The purpose of the research is to know the
effectiveness of using psychodrama for increasing reguler student’s empathy to disability
students in the inclusive class. This research is using experimental method which is one
group pre and post test design. The samples are 15 reguler students of SMP Muhammadiyah
2 Malang and taken by using purposive sampling method. Data is collected by interview and
empathy scale. The data is analyzed by paired sample t test (p = 0.000, p < 0.005 & t = -
9.439), can be concluded that psychodrama effectively can improve the empathy of reguler
students to disability students in the inclusive class of SMP Muhammadiyah 2 Malang.
Keyword: Empathy, Psychodrama, Inclusive Class
2
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki atribut fisik dan atau
kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, baik di atas atau di bawah, sehingga
membutuhkan program individual dalam pendidikan khusus (Heward & Orlansky, 1992).
Maka dari itu diperlukan suatu pendidikan yang dapat juga memfasilitasi anak yang
berkebutuhan khusus supaya mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama dengan individu
yang lain. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didikan
yang memiliki kelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat
pendidikan dasar & menengah. Pasal inilah yang memungkinkan bentuk pelayanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif yang
dimana anak berkebutuhan khusus mengikuti program pendidikan di sekolah inklusif,
menjalani proses pembelajaran bersama-sama dengan siswa-siswi reguler.
Di Indonesia sendiri disebutkan tujuan pelaksanaan pendidikan inklusif untuk memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya dan mewujudkan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, non diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, dan sosial ataupun yang memiliki kecerdasan atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya
(Direktorat PLB, 2007). Tujuan lain dari pendidikan inklusif adalah agar siswa ABK dapat
mengikuti proses pembelajaran bersama dengan siswa reguler yang pada nantinya anak dapat
bersosialisasi secara normal dan dapat terstimulasi oleh lingkungan sosial yang memiliki
siswa heterogen apabila dibandingkan dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang cenderung
mengelompokkan anak-anak didik sesuai dengan kebutuhan khusus masing-masing siswa.
Selain itu pendidikan inklusif juga diharapkan dapat menjadi sarana terjalinnya interaksi
sosial antara siswa ABK dan siswa reguler sehingga keduanya mampu memahami adanya
perbedaan fisik, mental, dan kemampuan belajar diantara mereka dimana diharapkan siswa
reguler mampu membimbing atau membantu siswa ABK dalam kegiatan belajar.
Konsekuensi dari sistem pendidikan inklusif yaitu siswa reguler harus memiliki sikap
penerimaan pada siswa berkebutuhan khusus sehingga terjadi interaksi sosial yang baik
antara siswa reguler dan siswa ABK yang berdampak pada tercapainya tujuan
penyelenggaran pendidikan inklusif. Namun pada kenyataannya meski undang-undang telah
secara tegas mengatur pemerataan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara untuk
mendapatkan pendidikan, kasus diskriminasi dalam bidang pendidikan masih kerap terjadi
khususnya terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK). Salah satu contoh diskriminasi di
dalam interaksi antar peserta didik yaitu masih adanya kekerasan verbal dan non verbal atau
bulliying yang dilakukan oleh siswa reguler terhadap siswa ABK. Siswa ABK juga enggan
dalam membantu siswa ABK yang membutuhkan bantuan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa kurangnya penerimaan siswa reguler
terhadap siswa ABK dapat menghambat tercapainya tujuan penyelenggaran pendidikan
inklusif. Penelitian yang dilakukan oleh Saripah (2008) yang menunjukkan bahwa
karakteristik perilaku bulliying sebagian besar memiliki kemampuan empati yang rendah
serta tingkat agresivitas yang tinggi. Tubbs (dalam Pramuaji, 2012) mendefinisikan empati
berasal dari kata Einfuhlung yang pertama kali digunakan oleh Psikolog Jerman, secara
terminologis memiliki arti “merasa terlibat”. Eisenberg dalam Panuntun (2012) menjabarkan
empati adalah suatu respon afektif yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan
emosi atau kondisi lain, dan yang mirip dengan perasaan orang lain. Sebuah respon afektif
dimana seorang individu menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan mampu melakukan
3
penghayatan terhadap orang lain, yaitu suatu keadaan dimana empati terjadi ketika seseorang
dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tetap tidak kehilangan realitas
akan dirinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa empati merupakan emosi yang tergugah
untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain rasakan, namun tidak membuat
seseorang menjadi kehilangan identitas dan sikap dirinya. Goleman (2007) dalam buku
Emotional Intelligence menjelaskan, empati memungkinankan seseorang untuk menghayati
masalah atau kebutuhan yang tersirat di balik perasaan orang lain, yang tidak hanya
diungkapkan melalui kata-kata. Melalui empati, kita tidak hanya keluar dari dalam usaha
memahami orang lain, tetapi juga melakukan pemahaman internal terhadap diri sendiri.
Dalam permasalahan sekolah inklusif ini empati dapat diartikan kemampuan siswa reguler
dalam memahami perbedaan mereka dengan siswa ABK serta kemampuan merasakan
kesulitan siswa ABK karena keterbatasan yang dimiliki.
Menurut Goleman (2003) empati merupakan salah satu dari lima komponen kecerdasan
emosional, komponen lainnya adalah: Pengenalan Diri (Self Awareness); Pengendalian Diri
(Self Regulation); Motivasi (Motivation); dan Keteramilan Sosial (Social Skills). Pengertian
dari kecerdasan emosional sendiri menurut Salovey (dalam Stein, 2002) yakni kemampuan
untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga
membantu perkembangan emosi dan intelektual. Goleman (2003) menyatakan bahwa
setinggi-tingginya IQ menyumbang kurang lebih 20% sebagai faktor yang menentukan
kesuksesan hidup, sedang 80% lainnya ditentukan oleh kecerdasan emosional sehingga
kecerdasan emosional sangat penting untuk dikembangkan khususnya dalam permasalahan
penyelenggaran sekolah inklusif ini adalah pada komponen empati.
SMP Muhammadiyah 2 Malang merupakan salah satu sekolah inklusif di Kota Malang yang
pada tahun ajaran 2015/2016 jumlah siswanya ada 156 siswa, terdiri dari 126 siswa reguler
dan 30 siswa ABK. Berdasarkan hasil interview dari salah satu guru BK di sekolah tersebut
menyatakan bahwa interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK di sekolah kurang efektif
karena siswa reguler kurang memahami siswa ABK dan kesulitan berkomunikasi dengan
mereka. Hal tersebut sesuai pula dengan hasil interview dengan 2 siswa kelas VII dan 1 siswa
kelas VIII, peneliti menemukan bahwa siswa reguler terkadang merasa terganggu oleh siswa
ABK di kelas. Hal ini dikarenakan beberapa siswa ABK sering tidak bisa diam dan membuat
kegaduhan saat proses pembelajaran berlangsung. Hasil observasi langsung di sekolah juga
menunjukkan bahwa setiap waktu istirahat siswa-siswa ABK berkumpul di dalam dan sekitar
ruang BK sekolah sedangkan siswa reguler bermain dengan siswa reguler lainnya. Jika ada
interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK, interaksi berupa siswa reguler yang
mengganggu siswa ABK baik secara verbal maupun non verbal. Mengganggu secara verbal
contohnya dengan mengejek siswa ABK sedangkan mengganggu secara non verbal
contohnya siswa reguler menyuruh siswa ABK mengambilkan barang dan saling bekerjasama
untuk menyembunyikan barang siswa ABK.
Berdasarkan hasil asesmen tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab fenomena-
fenomena yang menyebabkan interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK yang kurang
efektif adalah rendahnya tingkat empati siswa reguler terhadap siswa ABK, dimana siswa
reguler kurang mampu memahami perbedaan mereka dengan siswa ABK yang berdampak
pada perilaku mereka yang cenderung mengganggu saat berinteraksi dengan siswa ABK.
Padahal menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Krevans & Gibbs (1996) menyatakan
bahwa usia 11-15 tahun atau saat memasuki sekolah tingkat ke-enam anak seharusnya sudah
mulai mencapai kapasitas kematangan empati. Empati yang rendah pada remaja akan
4
mengarah pada disfungsi empati menyebabkan munculnya tingkah laku antisosial (Santrock,
2003). Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa perilaku yang
menggambarkan kemampuan empati yang rendah menunjukkan perilaku antisosial, yaitu
perilaku yang dilakukan tanpa perasaan dan tanpa memperhatikan kesejahteraan orang lain
dengan menunjukkan kepedulian yang kurang dan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak
orang lain (Clarke, 2003). Tanpa empati, siswa reguler tidak dapat memahami dan
menghargai siswa ABK.
Beberapa penelitian menunjukkan kemampuan empati pada anak memiliki hubungan dengan
perilaku positif. Janet Strayer dan William Robert (2004) meneliti tentang empati dengan
judul “Empathy and Observed Anger and Aggression in Five Years Old”. Peneliti
menggunakan metode eksperimen dengan mengobservasi langsung 24 anak usia 5 tahun yang
dibagi secara acak untuk bermain bersama selama 1 jam. Empati dinilai dengan
menggunakan The Empathy Continum dari Strayer. Hasil menunjukkan bahwa empati
berkorelasi negatif dengan agresi dan marah, sebaliknya empati berkorelasi positif dengan
perilaku prososial.
Cynthia A. Lietz, Karen E. Gerdes, Fei Sun, Jennifer M. Geiger, M. Alex Wagaman dan
Elizabeth A. Seagl (2011) meneliti tentang keabsahan versi revisi dari alat ukur Emphaty
Assessment Index (EAI). Hasilnya antara lain tidak ada perbedaan antara mahasiswa dan non
mahasiswa. Pada komponen kesadaran diri terhadap orang lain, perempuan mempunyai skor
lebih tinggi, dan terdapat perbedaan pada ras atau etnis pada ras Afrika Amerika dan latin
yang lebih tinggi daripada ras Kaukasia di komponen sikap empati. Selain itu, pada
komponen sikap empati, responden yang berasal dari keluarga menengah ke bawah
mempunyi skor lebih tinggi daripada responden yang berasal dari keluarga mengengah ke
atas. Secara keseluruhan, perempuan mempunyai skor empati lebih tinggi daripada laki-laki.
Dari beberapa pemaparan di atas menunjukkan bahwa empati sangat penting untuk dilatih
dan dikembangkan. Upaya melatih dan meningkatkan empati sedini mungkin merupakan
suatu hal yang harus memperoleh perhatian penting dari pihak sekolah agar siswa reguler
mampu menerima, memahami, dan menghargai siswa ABK agar terwujud tujuan dari sekolah
inklusif.
Adapun bentuk intervensi yang pernah digunakan untuk meningkatkan empati adalah dengan
menggunakan Pelatihan Mindfullness yang telah diteliti oleh Saleh Umniyah (2008) dalam
tesisnya yang berjudul “Pengaruh Pelatihan Mindfullness terhadap Peningkatan Empati
Perawat”. Penelitian ini menggunakan metode eksperiment randomized pretest-posttest
control group design. Instrumen pengukuran menggunakan skala empati, observasi,
wawancara, dan sharing. Hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan mindfullness dapat
meningkatkan empati perawat.
Penelitian tentang intervensi untuk meningkatkan empati selanjutnya oleh Kyle Ryan dan
Sheri Grotrian Ryan (2012) dengan judul “Linking Empathy to Character Via a Service
Learning Endeavor”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen dengan
memberikan perlakuan berupa kegiatan langsung membantu orang-orang yang kurang
mampu di rumah singgah yang melibatkan 10 orang siswa Phi beta Lambda yang diberi tugas
untuk melakukan kegiatan pelayanan sosial sebagai asisten dapur dan di jalan selama 6-8 jam
pelayanan. Dasar teori empati yang digunakan adalah teori multidimensional empati. Hasil
yang diperoleh menyatakan bahwa pengalaman langsung dalam melayani orang yang kurang
5
beruntung mampu mengubah proses berpikir, mampu menunjukkan perubahan kognisi serta
mampu untuk berpikir dalam hubungan empati.
Pada penelitian kedua ini, peneliti menggunakan teknik psikodrama dalam meningkatkan
empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2
Malang. Corey (dalam Romlah, 2001) menyebutkan bahwa psikodrama merupakan
permainan yang dimaksudkan supaya individu yang bersangkutan dapat memperoleh
pengertian yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep dirinya, menyatakan
kebutuhan-kebutuhannya dan menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya.
Peneliti memilih teknik psikodrama karena menurut Eisenberg (2002) salah satu cara untuk
meningkatkan empati adalah dengan role play atau bermain peran dan menurut Bennett
(dalam Romlah, 2001) salah satu bentuk bermain peran adalah psikodrama.
Penelitian pertama mengenai keberhasilan psikodrama dalam meningkatkan empati siswa
reguler terhadap siswa ABK telah dilakukan oleh Cahyani dan Utomo (2015). Subjek
penelitian berjumlah 15 siswa dan hasil penelitian adalah psikodrama efektif dalam
meningkatkan empati Subjek. Penelitian kedua ini dilakukan dengan tujuan sebagai
intervensi berkelanjutan di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang kepada 15
Subjek yang berbeda dari penelitian sebelumnya agar manfaat penelitian ini lebih optimal
sekaligus memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam penelitian pertama. Ada beberapa
evaluasi dari penelitian pertama yang perlu diperbaiki di penelitian kedua, yakni:
1. Ruangan Psikodrama
Pada penelitian pertama, psikodrama dilaksanakan di dalam ruang BK atau di depan
ruang BK. Kegiatan psikodrama seringkali terganggu oleh keramaian siswa-siswa lain
di SMP Muhammadiyah 2 Malang karena letak ruang BK di lantai 1 dan dekat
dengan kantin sekolah. Sehingga peneliti merekomendasikan kepada pihak sekolah
agar menggunakan ruangan yg lebih tenang dan luas.
2. Focus Group Discussion (FGD) yang kurang optimal
Pelaksanaan FGD pada penelitian pertama kurang optimal sehingga berdampak pada
penyusunan skenario psikodrama yang kurang pula. Hal ini menyebabkan peserta
psikodrama kurang siap dalam bermain peran menjadi siswa ABK sehingga sering
menolak atau saling menunjuk ketika mendapat giliran bermain peran menjadi siswa
ABK. Pada penelitian kedua, peneliti harus mengoptimalkan pelaksanaan FGD.
Beberapa penelitian yang menunjukkan efektivitas psikodrama sebagai teknik intervensi
adalah penelitian yang dilakukan oleh Affiyani Pramono (2013) dengan judul
“Pengembangan Model Bimbingan Kelompok melalui Teknik Psikodrama untuk
Mengembangkan Konsep Diri Positif” dengan subjek 158 siswa kelas IX SMPN 2 Mejobo
Kudus tahun pelajaran 2012/2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis
deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode quasi eksperimen. Hasil penelitian ini
adalah ditemukannya model bimbingan kelompok melalui teknik psikodrama yang efektif
untuk mengembang konsep diri positif.
Penelitian lain dilakukan oleh Novi Okta Alfasnur (2013) dengan judul “Upaya
Meningkatkan Kecerdasan Emosional melalui Metode Psikodrama pada Siswa Kelas VIII
SMP Negeri 1 Sleman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dapat
ditingkatkan melalui metode psikodrama. Salah satu aspek kecerdasan emosional menurut
Goleman (2000) adalah empati sehingga secara tidak langsung berdasarkan penelitian ini
psikodrama dapat meningkatkan empati.
6
Psikodrama sangat bermanfaat karena melalui interaksinya dengan anggota-anggota
kelompok, mereka memenuhi beberapa kebutuhan psikologis seperti kebutuhan untuk
menyesuaikan diri dengan teman sebaya dan diterima oleh mereka, kebutuhan untuk bertukar
pikiran dan berbagi perasaan, kebutuhan untuk menjadi lebih independen dan mandiri. Hal ini
sesuai dengan tahap perkembngan pada remaja. Dalam psikodrama, peserta memerankan
situasi yang sesuai dengan kehidupan sebenarnya sehingga melibatkan pengalaman peserta
dan membantu peserta meningkatkan pemahaman yang lebih baik terhadap diri mereka
sendiri dan orang lain. Peserta melalui psikodrama dapat mengeksplorasi hubungan dengan
cara memeragakan dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama dapat
mengekplorasi perasaan, sikap, nilai, dan perilaku. Psikodrama dapat memperkaya
kemampuan pribadi dengan cara bermain peran untuk memahami perasaan atau kondisi
orang lain dan kemudian menyesuaikan dengan perasaan atau kondisi orang lain dalam
lingkup sosial. Pada dasarnya empati merupakan respon afektif dimana seorang individu
menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan mampu merasakan apa yang dirasakan orang
lain. Uraian tersebut menguatkan bahwa teknik psikodrama merupakan salah satu intervensi
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan empati seseorang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah yang akan diangkat dalam penelitian
ini adalah apakah pemberian psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap
siswa ABK di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang? Tujuan penelitian ini yaitu
untuk mengetahui keberhasilan psikodrama dalam hal peningkatan empati siswa reguler
terhadap siswa ABK di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang. Manfaat penelitian
yaitu mendapatkan usulan model intervensi pada sekolah inklusif dalam hal peningkatan
empati siswa reguler terhadap siswa ABK yang dapat diterapkan di berbagai sekolah inklusif
lain. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan layanan pendidikan
khususnya pendidikan inklusif dalam memenuhi kebutuhan peserta didiknya.
Empati
Eisenberg (2002) menyatakan bahwa empati adalah sebuah respon afektif yang berasal dari
penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain, dan yang mirip dengan
perasaan orang lain. Empati sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi
orang lain dan mampu menghayati posisi orang lain tersebut. Empati terjadi ketika seseorang
dapat merasakan apa yang orang lain rasakan namun tidak membuat seseorang kehilangan
identitas dirinya.
Taufik (2012) mengatakan bahwa dengan empati seseorang berusaha melihat seperti apa
yang orang lain lihat, merasakan seperti apa yang orang lain rasakan. Empati memerlukan
kerjasama antara kemampuan menerima dan memahami secara kognitif dan afektif.
Komponen kognitif melibatkan pemahaman terhadap perasaan orang lain dan kemampuan
afektif merupakan respon emosional yang sesuai. Tanpa empati orang dapat menjadi terasing,
salah menafsirkan perasaan sehingga mati rasa atau tumpulnya perasaan yang berakibat
rusaknya hubungan. Seseorang dikatakan memiliki empati yang rendah ketika orang tersebut
menyamaratakan orang lain dengan dirinya, bukan memandang sebagai individu yang unik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa empati adalah kemampuan individu
untuk menempatkan diri dalam mengenali, mengerti, memahami, dan menerima pikiran,
perasaan, dan pandangan orang lain namun tetap tidak kehilangan identitas dirinya.
Aspek-Aspek Empati
7
Menurut Eisenberg (2002) empati memiliki dua aspek, yaitu:
a. Aspek Afektif: merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan
emosional orang lain yaitu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Aspek
afektif terdiri dari empat indikator, yaitu: kemampuan merasakan perasaan orang lain,
kemampuan menyesuaikan diri dengan perasaan atau kondisi orang lain, kemampuan
mengkomunikasikan perasaan secara verbal, kemampuan mengkomunikasikan
perasaan secara non verbal
b. Aspek Kognitif: merupakan proses intelektual untuk memahami perspektif/sudut
pandang orang lain dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya
membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami
keadaan orang lain dari: cara berbicara, raut wajah, dan ekspresi dalam berpendapat.
Aspek kognitif terdiri dari tiga indikator, yaitu: kemampuan untuk memahami sesuatu
hal yang dialami orang lain, kemampuan untuk memikirkan sesuatu hal yang dialami
dari sudut pandang orang lain, kemampuan memberi solusi terhadap masalah teman.
Faktor yang Mempengaruhi Empati
Eisenberg (2002) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi empati seseorang, yaitu:
(1) Kebutuhan: Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai
tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan individu yang memiliki kebutuhan
afiliasi yang rendah akan memiliki tingkat empati yang tinggi. (2) jenis kelamin: perempuan
mempunyai empati lebih tinggi daripada laki-laki karena perempuan lebih nurturance
(bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibanding laki-laki. (3) kematangan
psikis: seseorang dengan kematangan psikis yang baik akan mampu untuk menampilkan
empati yang tinggi pula. (4) sosialisasi: sosialisasi dapat mengarahkan seseorang untuk
melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain. (5) Variasi situai dan
pengalaman: tinggi rendahnya empati seseorang sangat dipengaruhi oleh situasi dan
pengalamannya.
Perkembangan Remaja dan Empati Remaja
Piaget (dalam Santrock, 2007) menjelaskan bahwa perkembangan kognitif remaja termasuk
dalam tahap operasional formal. Dalam tahap ini, remaja melampaui pengalaman-
pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak serta lebih logis. Dalam memecahkan
masalah, remaja dapat berpikir secara lebih sistematis, mengembangkan hipotesis mengenai
mengapa sesuatu terjadi seperti itu, kemudian menguji hipotesis ini.
Sedangkan perkembangan sosioemosi di masa remaja menurut Santrock (2007) bahwa kawan
sebaya berperan penting dalam kehidupan remaja. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat
untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompok. Sebagai akibatnya, mereka akan
merasa senang apabila diterima dan sebaliknya akan merasa sangat tertekan dan cemas
apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan sebayanya. Salah satu fungsi
terpenting dari kelompok kawan sebaya adalah sebagai sumber informasi mengenai dunia di
luar keluarga. Remaja mempelajari bahwa apa yang mereka lakukan itu lebih baik, sama
baik, atau kurang baik dibandingkan remaja lainnya. Relasi yang baik di antara kawan-kawan
sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Isolasi sosial atau
ketidakmampuan untuk “terjun” dalam sebuah jaringan sosial berkaitan dengan berbagai
bentuk masalah dan gangguan, mulai dari masalah kenakalan dan depresi. Remaja memiliki
8
motivasi yang kuat untuk berkumpul bersama kawan sebaya dan menjadi sosok yang
mandiri.
Menurut Taufik (2012), empati bukanlah sekedar sifat alami yang dianugerahkan Tuhan yang
secara otomatis dimiliki oleh setiap individu, melainkan potensi-potensi yang harus terus
dipupuk dan dikembangkan dalam berbagai setting kehidupan.
Pada perkembangannya, empati selalu dikaitkan dengan sikap. Loannidou dan Konstantikaki
(2008) mengemukakan bahwa team work merupakan cara yang cukup efektif dalam
membentuk sikap empati, dengan mendorong individu untuk memahami kebutuhan orang
lain dan memberikan masukan yang dibutuhkan orang lain, serta bekerja sama dalam
mencapai suatu tujuan.
Menurut Damon (dalam Santrock, 2007) bahwa individu usia sekitar 12 tahun
mengembangkan empati bagi orang lain yang hidup dalam lingkungan yang kurang
menguntungkan. Kepedulian tidak lagi terbatas pada perasaan dari orang-orang khusus di
situasi-situasi yang langsung teramati oleh mereka. lebih dari itu, remaja usia sekitar 12 tahun
mulai memperluas kepedulian mereka terhadap masalah-masalah umum yang dialami oleh
orang-orang yang hidup dalam lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti: orang
miskin, cacat, terkucil secara sosial, dan seterusnya. Kepekaan baru ini dapat menggiring
remaja untuk bertindak secara altruistik, dan selanjutnya memberikan rasa kemanusiaan bagi
perkembangan remaja.
Cara Meningkatkan Empati
Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan empati menurut Eisenberg (2002) yaitu: (1)
Menyadari sepenuhnya emosi, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya maka akan
semakin mampu dalam membaca perasaan orang lain. (2) Belajar mendengar pendapat orang
lain. (3) Memerhatikan orang lain di jalan, atau di tempat umum lainnya serta mencoba
memahami perasaannya melalui ekspresi wajah. (4) Menilai orang lain tidak hanya
berdasarkan pada penampilan luar saja. (5) Melihat film pendek di telivisi dan
memperkirakan pokok persoalan yang dibicarakan. (6) Role Play atau bermain peran. (7)
Menganalisis perbedaan pembicaraan yang berbeda pendapat dengan kita. (8) Bertanya pada
diri sendiri mengapa dalam situasi tertentu memberikan reaksi tertentu untuk mengetahui
latar belakang perilaku sendiri, akan mudah menempatkan diri dalam posisi orang lain. (9)
Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai orang. (10) Mencoba mencari
sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum melakukan penilaian terhadapnya
agar penilaian kita lebih tepat dan sikap kita terhadapnya lebih sesuai.(11) Mengingat setiap
orang dipengaruhi oleh perasaan dan perilakunya.
Psikodrama
Menurut Corey (dalam Romlah, 2001) psikodrama merupakan permainan yang dimaksudkan
agar individu yang bersangkutan dapat memeroleh pengertian lebih baik tentang dirinya,
dapat menemukan konsep dirinya, menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan
reaksi-reaksi tekanan terhadap dirinya.
9
Menurut Moreno (dalam Prawitasari, 2011) psikodrama memberikan kesempatan orang
untuk melihat kehidupan pribadi dengan cara pandang berbeda setelah kehidupan pribadi itu
didramakan dan dimainkan oleh orang lain yang berada dalam kelompok bersamanya.
Prosedur Penerapan Psikodrama
Prosedur psikodrama menurut Prawitasari (2011) digunakan untuk memberikan fasilitas
ekspresi, kesadaran, pengetahuan akan akibat perilaku seseorang bagi orang lain, dan
perubahan perilaku. Beberapa teknik psikodrama, yaitu: [1] Penyajian Peran (role
presentation): memperkenalkan diri dalam peran sederhana yang memperlihatkan dirinya
dalam kehidupan sehari-hari. [2] Pergantian Peran (role reversal) berganti peran dengan
orang lain dan melihat hubungan atau konflik melalui sudut pandang orang lain. [3]
Soliloquy: berpura-pura sendiri dan tidak ada seorang pun yang mendengarkan pikiran dan
perasaannya yang diungkapkan dengan keras. [4] Aside: menyuarakan perasaan yang seakan-
akan tidak tepat kalau diucapkan dengan keras. [5] Doubling: orang lain menirukan gerakan-
gerakan peserta. [6] Melantangkan (amplifying): bentuk penyederhanaan doubling, hanya
mengikuti perkataan saja (biasanya untuk peserta yang pemalu). [7] Cermin (mirror): metode
umpan balik untuk melihat refleksi dirinya. [8] Peneladanan (modelling): demonstrasi
alternatif perilaku yang dilakukan anggota kelompok untuk peserta.
Tahap-Tahap Psikodrama
Tahapan psikodrama menurut Prawitasari (2011) adalah:
1. Persiapan: Fasilitator menjelaskan secara singkat mengenai hakikat dan tujuan dari
psikodrama. Fasilitator mewawancarai pengalaman-pengalaman anggota kelompok
terkait masalah yang akan diperankan dalam psikodrama. Pembentukan kelompok dan
pembagian peran.
2. Pelaksanaan: Para pemain akan memainkan perannya dalam psikodrama.
3. Diskusi: Fasilitator memimpin diskusi dan meminta penonton memberikan umpan
balik (fedback), para penonton juga memberikan feedback.
Psikodrama sebagai Metode untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler
Menurut Eisenberg (2002) Aspek-aspek yang memengaruhi empati adalah aspek kognitif dan
aspek afektif. Peserta dalam psikodrama diajak untuk memahami masalah dari sudut pandang
orang lain, yaitu dengan membayangkan dan bermain peran menjadi orang tersebut, peserta
dapat melihat dari mata orang tersebut, bersikap seperti orang tersebut, dan bisa menyelami
perasaan orang itu. Jika peserta yang bersikap baik, mendapatkan peran dengan sikap yang
buruk, tidaklah mungkin peserta akan menampilkan keadaan yang sama dengan sikap dirinya
yang sesungguhnya. Peserta harus dapat memahami karakter peran yang akan dimainkannya
dan mempraktikkannya tanpa harus mengubah sikap aslinya yang baik menjadi buruk. Dalam
hal ini peran empati sangatlah penting untuk memahami karakter peran yang akan dimainkan.
Dalam penelitian ini setiap peserta bermain peran menjadi siswa ABK dimana siswa ABK
yang diperankan adalah salah satu teman kelas peserta yang ABK sehingga peserta dapat
mengetahui bagaimana karakter siswa ABK yang diperankan berdasarkan pengalaman
kehidupan nyata dalam interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK.
10
Sebelum bermain peran, peserta dituntut memahami bagaimana cara berbicara, cara berjalan,
pola interaksi, dan perilaku-perilaku lain siswa ABK di sekolah. Sehingga terjadi proses
kognitif pada siswa reguler untuk lebih memahami karakteristik dan sudut pandang siswa
ABK. Setelah memahami karakteristik siswa ABK, siswa reguler bermain peran menjadi
siswa ABK yang berinteraksi dengan siswa reguler. Dalam bermain peran terjadi proses
afektif di mana siswa reguler dapat merasakan apa yang dirasakan oleh siswa ABK. Setelah
penampilan psikodrama, peneliti akan memberikan umpan balik agar peserta lebih
memahami siswa ABK dan mengeksplorasi perasaaan peserta setelah berperan menjadi siswa
ABK. Kegiatan umpan balik ini bertujuan untuk mengoptimalkan proses kognitif dan afektif
selama psikodrama. Proses kognitif dan afektif inilah yang menjadi aspek dari empati. Jadi
dengan psikodrama, siswa reguler dapat memahami dan merasakan bagaimana menjadi siswa
ABK yang sering diganggu dan dijahili oleh teman lain dan bagaimana keterbatasan siswa
ABK dalam berinteraksi sehingga dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa
ABK.
Melalui psikodrama, peserta mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antar manusia
dengan cara memeragakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama peserta
dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi
pemecahan masalah dalam berinteraksi dengan siswa ABK.
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Hipotesis
PSIKODRAMA
Terjadi proses
afektif
Terjadi proses
kognitif
Merasakan
bagaimana menjadi
siswa ABK
Memahami
perbedaan siswa
ABK
Aspek Empati
Meningkatnya Empati
11
Psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK (Anak
Berkebutuhan Khusus) di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Mengingat penelitian
efektivitas psikodrama untuk meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK bukan
penelitian laboratorium, sehingga tidak memungkinkan untuk mengontrol variabel lain secara
ketat. Maka metode penelitian yang cocok dalam penelitian ini adalah quasi experiment
dengan model one group pre and post-test design, merupakan desain eksperimen yang hanya
menggunakan satu kelompok subjek serta memberikan pengukuran sebelum dan sesudah
pemberian perlakuan pada subjek. Perbedaan kedua hasil pengukuran tersebut dianggap
sebagai efek perlakuan (Latipun, 2002). Secara skematis dapat digambar sebagai berikut:
O1 → (X) → O2
Keterangan: O1 = Pre-test
X = Perlakuan psikodrama
O2 = Post-test
Subjek Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah siswa reguler SMP Muhammadiyah 2 Malang sebanyak
126 siswa. Penelitian dilakukan kepada siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) dengan
pertimbangan bahwa perlakuan psikodrama paling tepat untuk siswa SMP. Jika Subjek siswa
SD (sekolah Dasar), Subjek kesulitan dalam bermain peran dan internalisasi feedback dari
kegiatan psikodrama karena keterbatasan kemampuan kognitifnya, sehingga membutuhkan
pendampingan ekstra dari fasilitator. Sedangkan jika perlakuan psikodrama diberikan kepada
siswa SMA (Sekolah Menengah Atas) dapat dikatakan sudah cukup terlambat untuk
peningkatan empati pada usia siswa SMA.
Pengambilan Subjek ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik sampling yang
dilakukan dengan mengambil sample yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh
peneliti. Dalam penelitian ini kriteria Subjek yaitu memiliki skor empati rendah dan sedang
yang diidentifikasi dengan menggunakan skala empati yang sebelumnya subjek merupakan
siswa reguler yang direkomendasikan oleh guru bimbingan konseling di sekolah. Subjek
berjumlah 15 siswa yang terdiri dari 8 siswa yang memiliki skor empati rendah dan 7 siswa
yang memiliki skor empati sedang. Penentuan jumlah sampel penelitian ini mengacu pada
pendapat Creswell (2008) yang berpendapat bahwa “dalam penelitian eksperimen, estimasi
jumlah sampel yang dibutuhkan untuk prosedur pengolahan statistik sehingga dapat mewakili
populasi secara tepat adalah sekitar 15 orang”.
12
Pengambilan Subjek dikhususkan untuk siswa kelas VII SMP dengan pertimbangan kelas
VIII SMP mayoritas aktif dalam kegiatan sekolah seperti OSIS, Mading (Majalah Dinding),
dan kegiatan lainnya serta kelas IX SMP sudah fokus dengan persiapan ujian nasional
sehingga kelas VIII dan kelas IX tidak dapat berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan
dalam beberapa pertemuan.
Tahapan Penelitian
Gambar 2. Tahapan Penelitian
Variabel dan Instrumen Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah psikodrama dan variabel terikatnya adalah empati.
Psikodrama adalah salah satu bentuk bimbingan kelompok yang bertujuan untuk memberikan
Focus Group Discussion
Mengidentifikasi interaksi peserta pikodrama dengan siswa ABK sekaligus sebagai acuan
konsep skenario psikodrama, yakni pemilihan siswa ABK yang akan diperankan oleh masing-
masing peserta psikodrama.
Melakukan interview kepada setiap Subjek terkait interaksi Subjek dengan siswa ABK (sebagai
alat ukur tambahan dalam penelitian).
Psikodrama 1
Penampilan kelompok 1 & Diskusi
Psikodrama 2
Penampilan kelompok 2 & Diskusi
Psikodrama 3
Penampilan kelompok 3 & Diskusi
Evaluasi
Pemberian feedback secara keseluruhan dan pemberian skala
empati dan interview sebagai post-test
Pemilihan Peserta Psikodrama
Berdasarkan rekomendasi guru BK
Pemberian Skala Empati
Berfungsi sebagai pre-test
13
bantuan kepada anggota kelompok berupa kegiatan bermain peran dimana setiap anggota
kelompok secara bergiliran diminta untuk berperan sebagai siswa ABK dan menampilkan
bagaimana interaksinya dengan siswa ABK di sekolah berdasarkan kenyataan, bukan
rekayasa atau skenario. Empati adalah kemampuan siswa reguler untuk merasakan apa yang
dirasakan oleh siswa ABK dan memahami keterbatasan siswa ABK yang ditandai dengan
berkurangnya perilaku mengganggu dari siswa reguler terhadap siswa ABK.
Adapun data penelitian diperoleh dari instrumen penelitian menggunakan model pengukuran
dengan skala. Pengukuran ini dilakukan dengan mengumpulkan skor hasil skala empati pada
peserta psikodrama sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test) perlakuan psikodrama. Skala
empati terdiri dari 2 aspek yang dikemukakan oleh Eisenberg (2002), yaitu (1) Aspek
Kognitif yang terdiri dari 3 indikator (Kemampuan untuk memahami sesuatu hal yang
dialami orang lain, Kemampuan untuk memikirkan sesuatu hal yang dialami dari sudut
pandang orang lain, Kemampuan memberi solusi terhadap masalah teman) dan (2) Aspek
Afektif yang terdiri dari 4 indikator (Kemampuan merasakan perasaan orang lain,
Kemampuan menyesuaikan diri dengan perasaan atau kondisi orang lain, Kemampuan
mengkomunikasikan perasaan secara verbal, Kemampuan mengkomunikasikan perasaan
secara non verbal). Setiap indikator terdiri dari 4 item dimana 2 item berupa item favorable
dan 2 item unfavorable, sehingga jumlah item dalam skala empati adalah 28 item.
Berdasarkan hasil uji coba pada tanggal 25 April 2015 kepada 125 siswa SMP
Muhammadiyah 2 Malang dan SMP Sriwedari Malang yang dilakukan oleh Utomo dan
Cahyani (2015) pada skala tersebut menunjukkan dari 28 item, 23 item valid dengan indeks
validitas 0,311-0,650 . sedangkan dari uji reliabilitas didapatkan hasil nilai alpha yaitu 0,875.
Maka dapat disimpulkan bahwa instrumen ini reliabel sesuai dengan syarat reliabilitas
crobanch alpha minimal 0,6 (Priyatno, 2011).
Prosedur dan Analisa Data Penelitian
Prosedur penelitian diawali dengan mengurus perizinan penelitian kepada pihak SMP
Muhammadiyah 2 malang kemudian menyusun instrumen dan uji coba instrumen tersebut
kepada 125 siswa reguler di SMP Muhammadiyah 2 Malang dan SMP Sriwedari. Setelah
melaksanakan uji coba, peneliti melaksanakan asesmen awal dengan interview kepada guru
BK dan observasi di sekolah. Kemudian meminta 15 siswa sebagai Subjek penelitian yang
direkomendasikan oleh Guru Bimbingan Konseling. Selanjutnya Subjek diminta
menandatangani informed consent sebagai bukti kesediaan Subjek untuk mengikuti
serangkaian prosedur penelitian.
Peneliti memulai intervensi dengan pemberian skala empati sebagai pre-test kemudian
dilanjutkan dengan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengidentifikasi
masalah interaksi dan crosscheck data hasil interview dan observasi di asesmen awal. Dalam
FGD ini juga dilaksanakan interview sebagai alat ukur tambahan untuk mengetahui
perbedaan sebelum dan sesudah pemberian psikodrama berdasarkan jawaban subjek.
Pertanyaan interview mengenai bagaimana interaksi subjek penelitian dengan siswa ABK.
Pertemuan kedua, ketiga, dan keempat peneliti melaksanakan psikodrama dimana peserta
dibagi menjadi 3 kelompok. Ketika satu kelompok melaksanakan psikodrama, 2 kelompok
lain berperan sebagai penonton. Setiap peserta secara bergiliran dalam kelompok harus
menampilkan bagaimana interaksi kesehariannya dengan siswa ABK dan juga harus berperan
sebagai siswa ABK. Setelah semua kelompok tampil, peneliti memberikan feedback dari
kegiatan psikodrama kepada peserta.
14
Pertemuan kelima kembali diadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk
mengidentifikasi perubahan interaksi peserta dengan siswa ABK setelah perlakuan
psikodrama. Pada pertemuan tersebut juga diberikan skala empati dan interview sebagai post-
test.
Setelah rangkaian intervensi berakhir, peneliti memasuki tahap analisa data. Data yang
diperoleh dari hasil pre-test dan post-test diinput dan diolah dengan menggunakan program
SPSS for windows ver. 21, yaitu analisis parametrik. Analisis yang digunakan untuk
mengetahui keberhasilan psikodrama adalah Uji-t dengan membandingkan skor sebelum dan
sesudah kegiatan psikodrama.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang dilaksanakan selama empat kali pertemuan akan dipaparkan dengan
tabel-tabel berikut.
Tabel 1. Subjek Penelitian
Jenis Kelamin Jumlah Usia Rata-Rata Skor
Pre-Test
Rata-Rata Skor
Post Test
Laki-Laki 8 anak 12-13 tahun 13,125 17,75
Perempuan 7 anak 12-13 tahun 15 19,71
Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa jumlah total subjek 15 anak yang terdiri dari 8 anak laki-
laki dan 7 anak perempuan dengan rata-rata skor pre-test dan rata-rata skor post-test subjek
perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan subjek laki-laki.
Tabel 2. Hasil Uji Pre-Test dan Post-Test
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pretest 14,00 15 2,878 -0,743
Posttest 18,67 15 3,395 -0,877
Tabel 2 menunjukkan rata-rata (mean) skor empati subjek pada sebelum dan sesudah
diberikan psikodrama, dimana sebelum diberikan psikodrama rata-rata skor empati subjek
adalah 14,00 sementara setelah diberikan psikodrama rata-rata skor empati subjek adalah
18,67. Hal ini menunjukkan adanya perubahan skor empati subjek antara sebelum dan
sesudah pemberian psikodrama.
15
Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis
Paired Ddifferences
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Mean Lower Upper T df Sig. (2-tailed)
-4,667 1,915 0,494 -5,727 -3,606 -9,439 14 0,000
Pada tabel 3 diperoleh nilai t hitung sebesar -9,439 dengan sig. 0,000. Karena sig < 0,05 dan t
hitung (-9,439) tidak berada diantara nilai - t tabel dan +t tabel (derajat kebebasan-df 14, taraf
signifikansi 5% = -1,76) maka dapat disimpulkan bahwa H1 diterima, artinya skor empati
subjek antara sebelum dan sesudah diberikan psikodrama adalah berbeda. Oleh karena itu
dapat dinyatakan bahwa psikodrama mempengaruhi peningkatan empati siswa reguler
terhadap siswa ABK.
Selain menggunakan skala empati sebagai alat ukur perubahan sebelum dan sesudah
diberikan psikodrama, peneliti juga menggunakan interview dalam kelompok untuk
mengetahui bagaimana perubahan interaksi subjek dengan siswa ABK setelah diberi
piskodrama. Interview sebelum perlakuan menunjukkan bahwa semua subjek penelitian
seringkali mengganggu siswa ABK baik secara verbal maupn non verbal, bahkan beberapa
subjek menyatakan ketidaknyamanannya di kelas karena keberadaan siswa ABK yang dinilai
mengganggu kegiatan belajar mengajar di kelas. Sedangkan interview yang dilaksanakan
setelah perlakuan menunjukkan semua subjek mengaku bahwa intensitas mengganggu siswa
ABK telah berkurang, beberapa subjek juga mengajak bermain dan mengajari teman ABK
mereka, bahkan sebagian kecil dari peserta telah menegur teman reguler lain yang sedang
mengganggu siswa ABK.
Berdasarkan hasil analisis dengan membandingkan nilai mean sebelum dan setelah diberikan
psikodrama, hasil analisis uji hipotesis, dan hasil interview pada subjek menunjukkan hasil
yang mendukung hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu psikodrama dapat
meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif SMP
Muhammadiyah 2 Malang.
DISKUSI
Hasil penelitian menunjukkan bahwa psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler
di SMP Muhammadiyah 2 Malang. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan antara skor
empati sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) pemberian psikodrama dan hasil wawancara
pada subjek.
Psikodrama secara umum memiliki unsur terapiutik yang mampu meningkatkan empati
sebagaimana penjelasan Eisenberg (2002) bahwa salah satu cara untuk meningkatkan empati
adalah dengan role play atau bermain peran dan menurut Bennett (dalam Romlah, 2001)
salah satu bentuk bermain peran adalah psikodrama.
Menurut Moreno (dalam Prawitasari, 2011) psikodrama memberikan kesempatan orang
untuk melihat kehidupan pribadi dengan cara pandang berbeda setelah kehidupan pribadi itu
didramakan dan dimainkan oleh orang lain yang berada dalam kelompok bersamanya. Pada
16
penelitian ini psikodrama dilaksanakan dengan cara siswa reguler sebagai peserta bermain
peran secara bergilir menjadi siswa ABK. Interaksi yang ditampilkan dalam psikodrama
berdasarkan pengalaman yang pernah dialami subjek sebagai siswa reguler ketika
berinteraksi dengan siswa ABK. Sehingga subjek dapat melihat kehidupan pribadinya dengan
cara pandang berbeda dalam hal ini khususnya sebagai siswa reguler yang berinteraksi
dengan siswa ABK di mana subjek mampu memahami bahwa yang selama ini dilakukan
dengan maksud bercanda kepada siswa ABK ternyata sangat mengganggu siswa ABK.
Subjek dalam penelitian ini adalah subjek dengan kategori usia remaja, yaitu dengan
rentangan usia menurut Santrock (2007) berada pada usia 10-13 tahun. Menurut Piaget
(dalam Santrock, 2007) perkembangan kognitif diusia remaja sudah mencapai pada tahap
Operasional Formal, dimana remaja mulai mengembangkan pola berpikir abstrak yang juga
mempunyai implikasi secara emosional. Pada tahap perkembangan kognitif ini
memungkinkan remaja untuk berpikir dalam kerangka apa yang mungkin akan terjadi bukan
hanya yang terjadi. Pada perkembangan ini remaja juga sudah mulai terampil dalam
penyerapan perspektif sosial, mulai mampu untuk memahami sudut pandang orang lain serta
level pengetahuan berbicara menjadi seimbang dengan kedua hal tersebut. Anak yang telah
memasuki masa remaja awal (early adolescence) telah mampu menunjukkan rasa empati
pada teman sebayanya dan pada orang lain. Ditinjau dari kemampuan perkembangan
tersebut, maka tepat jika remaja yang menjadi subjek penelitian ini karena sudah mampu
dalam bepikir secara abstrak untuk memahami sudut pandang orang lain melalui psikodrama.
Sebelum pelaksanaan psikodrama, peneliti memberikan tugas kepada subjek ketika FGD
untuk mengamati bagaimana karakteristik dan perilaku keseharian siswa ABK yang akan
diperankan oleh masing-masing subjek. Ketika mengamati dan mempelajari perilaku siswa
ABK yang akan diperankan, terjadi proses kognitif pada siswa reguler di mana siswa reguler
mulai memahami perbedaan antara mereka dengan siswa ABK. Pemahaman kognitif siswa
reguler tentang siswa ABK lebih dioptimalkan lagi saat sesi akhir di mana peneliti
menjelaskan materi singkat tentang siswa ABK dan keterbatasannya. Ketika bermain peran
dalam psikodrama, siswa reguler yang berperan menjadi siswa ABK akan diganggu oleh
peserta lain yang berperan menjadi siswa reguler sebagaimana interaksi berdasarkan
pengalaman subjek. Hal ini menyebabkan subjek mampu merasakan bagaimana rasanya
diganggu oleh teman-teman reguler lain sehingga terjadi proses afektif di dalam pelaksanaan
psikodrama. Setelah pelaksanaan psikorama dalam setiap sesi, dilaksanakan diskusi
kelompok untuk mengeksplorasi bagaimana perasaan subjek setelah bermain peran. Saat
diskusi inilah proses afektif diperkuat. Semua subjek setelah bermain peran mengatakan
bahwa menjadi siswa ABK ternyata sangat tidak enak karena sering diganggu, diremehkan
dan diperintah oleh siswa lain sehingga mereka menyadari bahwa tindakan mereka selama ini
sangat merugikan siswa ABK.
Berdasarkan uraian di atas, melalui psikodrama peserta mendapat pemahaman secara kognitif
dan afektif mengenai siswa ABK. Hal ini sesuai dengan aspek-aspek yang mempengaruhi
empati menurut Eisenberg (2002) yakni aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif
merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain.
Eisenberg (2002) mendefinisikan aspek kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan dan
mengenali kondisi emosional yang berbeda. Hal yang paling mendasar pada proses empati
adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu dan orang lain. Berdasarkan uraian
tersebut, aspek kognitif dalam empati meliputi aspek pemahaman atas kondisi orang lain.
Oleh karena itu, aspek kognitif sangat berperan penting dalam berempati. Psikodrama dalam
penelitian ini memberikan kesempatan kepada subjek untuk memahami perbedaan antara
17
subjek sebagai siswa reguler dan siswa ABK yang telah diperankan sehingga memenuhi
aspek kognitif dalam empati.
Aspek afektif yaitu respon emosi yang seolah–olah terjadi pada diri sendiri merupakan dasar
empati. Pada awalnya dalam aspek ini subjek cenderung kurang dapat memahami apa yang
dialami oleh siswa ABK, justru mereka suka mengganggu siswa ABK dan tidak peduli
dengan apa yang dirasakan siswa ABK. Namun setelah bermain peran dalam psikodrama,
subjek mampu merasakan bagaimana tidak enaknya menjadi siswa ABK dan enggan untuk
mengganggu siswa ABK lagi. Jadi dengan psikodrama, siswa reguler dapat memahami dan
merasakan bagaimana menjadi siswa ABK yang sering diganggu dan dijahili oleh teman lain
dan bagaimana keterbatasan siswa ABK dalam berinteraksi sehingga dapat meningkatkan
empati siswa reguler terhadap siswa ABK. Hal ini dibuktikan secara kuantitatif dengan uji
analisis paired sample t-test yang menunjukkan adanya peningkatan empati siswa reguler
terhadap siswa ABK setelah diberikan psikodrama (p = 0.000, p < 0.05 & t hitung = -9.439, t
tabel = -1,76).
Hasil pretest dan posttest skala empati menunjukkan bahwa mean skor empati subjek
perempuan lebih tinggi daripada subjek laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Maite Garaigordobil (2009) dengan judul “A Comparative Analysis of
Empathy in Childhood and Adolescence: Gender Differences and Associated Socio-
emotional Variables”. Penelitian ini mengambil 313 sampel yang berusia antara 10-14 tahun.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa perempuan mempunyai skor yang lebih tinggi pada
empati, perilaku prososial, perilaku asertif, dan kemampuan kognitif untuk menganalisis
emosi negatif. Sementara itu, laki-laki menunjukkan kecenderungan untuk lebih agresif saat
berinteraksi dengan teman sebayanya.
Penelitian lain yang membahas empati berdasarkan perbedaan gender adalah dari Nicole L.
Cundiff, Joel T. Nadler, dan Alicia Swan (2009) yang berjudul “The Influence of Cultural
Empathy and Gender on Perceptions of Diversity Program” dengan sampel 294 mahasiswa
Midwestern University.hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan dengan empati
yang tinggi terhadap budaya atau etnis mempunya intensitas perilaku yang tinggi untuk
menghadiri dan mempunyai persepsi yang positif terhadap berbagai macam program.
Penelitian psikodrama ini dan penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat
empati perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, subjek cukup antusias dalam mengikuti psikodrama. Hal
ini terlihat dari semangat subjek ketika bermain peran dan ketika melihat kelompok lain yang
tampil. Suasana psikodrama sengaja dibuat santai dan menyenangkan agar subjek yang
termasuk dalam usia remaja menikmati proses psikodrama. Selain itu, proses kelompok
dalam psikodrama juga dianggap penting karena dapat menyampaikan substansi program
secara efektif dengan adanya kehangatan, dukungan, dan kesempatan untuk behubungan
secara individual (Sochet dkk dalam Gerald, 2012). Perlakuan dalam bentuk kelompok ini
sesuai dengan perkembangan sosioemosi pada masa remaja di mana peran kawan sebaya
sangat penting bagi remaja. Dalam psikodrama, subjek dapat saling membentuk konformitas
untuk mengembangkan sikap positif guna meningkatkan empati mereka. Teknik psikodrama
ini memberi kesempatan juga kepada subjek untuk saling berinteraksi baik ketika bermain
peran maupun ketika diskusi sehingga antar subjek dapat saling mendukung terciptanya
dinamika kelompok yang mengoptimalkan tujuan dari pelaksanaan psikodrama. Sehingga
psikodrama tepat sebagai perlakuan untuk mengembangkan sikap positif pada remaja karena
model bermain peran yang menyenangkan dan tidak terlalu serius.
18
Dengan berbagai kelebihan yang telah dijelaskan sebelumnya, bukan berarti penelitian ini
tidak memiliki kekurangan. Berbagai keterbatasan juga muncul pada penelitian ini terutama
masalah waktu pelaksanaan. Seringkali waktu pertemuan lebih singkat daripada waktu yang
sudah dirancang dalam modul pelaksanaan psikodrama. Hal ini dikarenakan waktu
pelaksanaan psikodrama ketika jeda antara istirahat sholat dhuhur dengan kegiatan
ekstrakurikuler wajib sekolah sehingga pihak sekolah memberikan waktu yang terbatas
kepada peneliti dalam melaksanakan penelitian. Keterbatasan waktu ini cukup mengganggu
penelitian karena menyebabkan peneliti tidak bisa melaksanakan kegiatan psikodrama sesuai
dengan modul yang sudah dirancang sebelumnya. Contohnya pemberian ice breaking yang
dirancang di setiap sesi pertemuan tidak bisa dilaksanakan. Selain itu, peneliti juga tidak
menyusun check list observasi berisi indikator-indikator perilaku peserta yang menjadi alat
ukur peningkatan empati peserta saat bermain psikodrama.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 15 subjek yang terdiri dari 8
subjek siswa laki-laki dan 7 subjek siswa perempuan, maka dapat disimpulkan bahwa
perlakuan psikodrama yang diberikan selama 4 sesi diikuti oleh seluruh subjek, efektif untuk
meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK. Hal ini dibuktikan dengan uji
analisa data dengan paired sample t-test (p = 0.000, p < 0.05 & t hitung = -9.439, t tabel = -
1,76). Setelah pelaksanaan psikodrama, subjek mengaku bahwa intensitas menganggu siswa
ABK berkurang, sebagian subjek mau mengajak bermain dan belajar bersama siswa ABK,
bahkan beberapa subjek sudah mau menegur teman reguler lain yang sedang mengganggu
siswa ABK. Hal ini menjadi pendukung adanya peningkatan empati pada subjek penelitian.
Penelitian perlakuan psikodrama ini dapat efektif dengan kriteria usia subjek dalam
kelompok remaja, jumlah subjek antara 10-15 siswa, perlakuan diberikan minimal 4
pertemuan yang sebelumnya diawali dengan asesmen, pemberian feedback tiap akhir
pertemuuan, dan tempat pelaksanaan yang kondusif.
Implikasi dari penelitian ini diharapkan pihak sekolah inklusif tempat penelitian dan sekolah-
sekolah inklusif lain bersedia menerapkan psikodrama sebagai salah satu solusi alternatif
untuk meningkatkan empati siswa reguler sehingga juga meningkatkan penerimaan siswa
reguler terhadap siswa ABK dan jangka panjangnya tujuan dari penyelenggaraan pendidikan
inklusif dapat tercapai dengan baik. Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian
dengan variabel yang sama disarankan untuk menggunakan model perlakuan yang sama
dengan kelompok umur berbeda, atau prosedur pelaksanaan yang berbeda, atau menggunakan
model perlakuan yang berbeda.
REFERENSI
Alfasnue, N.A. (2013). Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional Melalui Metode
Psikodrama Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Sleman. Skripsi: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Clarke, D. (2003). Prosocial and Anti Social Behavior. New York: Routledge.
19
Cresswell, John W. (2008). Educational Research (Third Edition). California: Pearson
Prentice Hall.
Cundiff, N. L., Nadler, J.T., & Swan, A. (2009). The Influence of Cultural Empathy and
Gender on Perception of Diversity Program. Journal of Leadership & Organizational
Studies, 16, 97-110.
Direktorat PLB. (2007). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta :
Depdiknas.
Eisenberg, N. (2002). Empathy and its Development. Cambridge: Cambridge University
Press.
Garaigordobil, M. (2009). A Comparative Analysis of Empathy in Childhood and
Adolescence: Gender Differences and Associated Socio-emotional Variables.
International Journal of Psychology and Psychological Therapy, 9, 217-235.
Gerald, K. (2012). Practical Interventions for Young People at Risk. (Terj. Helly P. S, MA &
Dra. Sri Mulyantini S). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goleman, Daniel. (2000). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Goleman, Daniel. (2003). Working With Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Goleman, Daniel. (2007). Social Intelligence: The New Science of Human Relationship.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Heward, W. L., & Orlansky, M. D., (1992). Exceptional Children: An Introductory Survey of
Special Education. Columbus, Ohio, U.S.A: Merril Pub Co.
Krevans, J. & Gibbs, J.C. 1996. Parents Use of Inductive Discipline: Relations to Children’s
Empathy and Prosocial Behavior. Child Development, 6, 3263-3277
Latipun. (2002). Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.
Lietz, C. A., Gerdes, K. E., Sun, F., Geiger, J. M., Wagaman, M. A., & Segal, E. A. (2011).
The Empathy Assessment Index (EAI): A Confirmatory Factor Analysis of a
Multidimensional Model of Empathy. Journal of the Society for Social Work and
Research, 2, 104-124.
Loannidou, F. & Konstantikaki, V. (2008). Empathy and Emotional intelligence: What is it
Really About?. International Journal of Caring Sciences, 1, 118-123.
Panuntun, J. G. (2012). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Empati Pada Siswa Kelas X
SMK 3 Salatiga Tahun Pelajaran 2012/2013. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Kristen Saya Wacana, Salatiga
20
Pramono, Affiyani. (2013). Pengembangan Model Bimbingan Kelompok Melalui Teknik
Psikodrama untuk Mengembangkan Konsep Diri Positif. Jurnal Bimbingan
Konseling, 2, 99-104.
Pramuaji, Krisan Andreas. (2012). Penggunaan Metode Bermain Peran (Role Play) dalam
Meningkatkan Empati Teman Sebaya Siswa Kelas XILD Jurusan Administrasi
Perkantoran di SMK PGRI 02 Salatiga. Skripsi: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Prawitasari, J.E. (2011). Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta:
Erlangga.
Romlah, Tatik. 2001. Teori dan Praktik Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Ryan, K. & Ryan, S.G. (2012). Linking Empathy to Character Via a Service Learning
Endeavor. Journal of Civic Commitment, 18, 1-13.
Santrock, J.W. 2003. Adolescene, sixth edition. (Terj. Shinto B. Adelar & Sherlu Saragih).
Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. (2007). Adolescene, eleventh edition. (Terj. Benedictine Widyasinta). Jakarta:
Erlangga.
Saripah, I. (2010). Model Konseling Kognitif Perilaku untuk Menanggulangi Bulliying
Peserta Didik.(Studi Pengembangan Model Konseling pada Peserta didik Sekolag
Dasar di beberapa Kabupaten Kota di Jawa Barat). Disertasi. Pogram Pasca Sarjana
Univesitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Strayer, J. & Roberts, W. (2004). Empathy and Observed Anger and Aggression in Five
Years Old. Social Development, 13, 1-13.
Stein, S. J. & Book, H. E. (2002). Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional
Meraih Sukses. Bandung: Kaifa
Taufik (2012). Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Umniyah, S. Pengaruh Pelatihan Mindfullness Terhadap Peningkatan Empati Perawat.
Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
21
Lampiran 1 Blueprint Uji Coba Skala Empati
SKALA EMPATI
ASPEK AFEKTIF
NO INDIKATOR PERTANYAAN U/F
1 Kemampuan
merasakan perasaan
orang lain
Saya dapat merasakan kesedihan ketika melihat
teman ABK saya mengalami kesulitan
Ketika melihat teman ABK saya bersedih, saya
malah tertawa
Ketika melihat teman ABK saya marah karena
F
U
F
22
diganggu teman yang lain, saya juga merasa
marah
Saya senang melihat teman ABK saya yang
marah karena diganggu teman lain
U
2 Kemampuan
menyesuaikan diri
dengan perasaan
atau kondisi orang
lain
Saya merasa sedih ketika melihat teman ABK
saya sendirian di kelas
Saya merasa senang ketika melihat teman ABK
saya diacuhkan oleh teman-teman yang lain
Saya ikut bahagia ketika melihat teman ABK
saya dipuji oleh guru
Saya merasa senang ketika melihat teman ABK
saya diejek oleh teman lain
F
U
F
U
3 Kemampuan
mengkomunikasikan
perasaan secara
verbal
Saya mengucapkan selamat kepada teman ABK
saya ketika dia mendapat nilai yang bagus
Saya tidak perlu mengucapkan selamat kepada
teman ABK saya ketika dia mendapat nilai
bagus
Saya meminta maaf kepada teman ABK saya
ketika saya berbuat kesalahan kepada dia
Saya hanya diam meskipun yang berbuat
kesalahan pada teman ABK saya
F
U
F
U
4 Kemampuan
mengkomunikasikan
perasaan secara non
verbal
Saya bertepuk tangan ketika melihat teman
ABK saya senang
Saya menyuruh teman saya mengganggu teman
ABK
Saya melarang teman saya mengganggu teman
ABK
Saya ikut menertawakan teman ABK saat diejek
teman lain
F
U
F
U
ASPEK KOGNITIF
NO INDIKATOR PERTANYAAN U/F
1 Kemampuan untuk
memahami sesuatu
hal yang dialami
orang lain
Ketika teman ABK saya bercerita mengenai
kesulitannya, saya mampu merasakan apa yang
dirasakannya
Saya kurang mampu memahami bagaimana
rasanya menjadi anak ABK
Saya dapat memahami kesulitan yang dialami
teman ABK dalam belajar
Saya kesulitan memahami perilaku anak ABK
dalam berinteraksi
F
U
F
U
2 Kemampuan untuk Saya memaklumi kesulitan teman ABK untuk F
23
memikirkan sesuatu
hal yang dialami
dari sudut pandang
orang lain
mengikuti pelajaran di kelas
Saya tida tahu kalau pekerjaan rumah (PR)
cukup sulit bagi teman ABK
Saya mengerti teman ABK kesulitan
mengerjakan petugas rumah (PR) dari guru
Saya tidak mengerti bahwa pelajaran di sekolah
sulit dipahami teman ABK
U
F
U
3 Kemampuan
memberi solusi
terhadap masalah
teman
Saya akan membantu mengajarkan pelajaran
kepada teman ABK saya saat mengalami
kesulitan memahami mata pelajaran tertentu
Saya membiarkan teman ABK saya saat
kesulitan memahmi pelajaran
Saya akan memberi tahu kepada teman ABK
saya bagaimana berinteraksi dengan teman
sebaya
Saya membiarkan teman ABK saya yang
membutuhkan bantuan
F
U
F
U
Keterangan:
F : Favorable
U : Unfavorable
Lampiran 2. Blueprint Skala Empati Penelitian
SKALA EMPATI
ASPEK AFEKTIF
NO INDIKATOR PERTANYAAN U/F
1 Kemampuan
merasakan perasaan
orang lain
Ketika melihat teman ABK saya bersedih, saya
malah tertawa
Saya senang melihat teman ABK saya yang
marah karena diganggu teman lain
U
U
2 Kemampuan
menyesuaikan diri Saya merasa sedih ketika melihat teman ABK
saya sendirian di kelas
F
24
dengan perasaan
atau kondisi orang
lain
Saya merasa senang ketika melihat teman ABK
saya diacuhkan oleh teman-teman yang lain
Saya ikut bahagia ketika melihat teman ABK
saya dipuji oleh guru
Saya merasa senang ketika melihat teman ABK
saya diejek oleh teman lain
U
F
U
3 Kemampuan
mengkomunikasikan
perasaan secara
verbal
Saya mengucapkan selamat kepada teman ABK
saya ketika dia mendapat nilai yang bagus
Saya tidak perlu mengucapkan selamat kepada
teman ABK saya ketika dia mendapat nilai
bagus
Saya meminta maaf kepada teman ABK saya
ketika saya berbuat kesalahan kepada dia
Saya hanya diam meskipun yang berbuat
kesalahan pada teman ABK saya
F
U
F
U
4 Kemampuan
mengkomunikasikan
perasaan secara non
verbal
Saya bertepuk tangan ketika melihat teman
ABK saya senang
Saya menyuruh teman saya mengganggu teman
ABK
Saya melarang teman saya mengganggu teman
ABK
Saya ikut menertawakan teman ABK saat diejek
teman lain
F
U
F
U
ASPEK KOGNITIF
NO INDIKATOR PERTANYAAN U/F
1 Kemampuan untuk
memahami sesuatu
hal yang dialami
orang lain
Ketika teman ABK saya bercerita mengenai
kesulitannya, saya mampu merasakan apa yang
dirasakannya
Saya dapat memahami kesulitan yang dialami
teman ABK dalam belajar
F
F
2 Kemampuan untuk
memikirkan sesuatu
hal yang dialami
dari sudut pandang
orang lain
Saya memaklumi kesulitan teman ABK untuk
mengikuti pelajaran di kelas
Saya mengerti teman ABK kesulitan
mengerjakan petugas rumah (PR) dari guru
Saya tidak mengerti bahwa pelajaran di sekolah
sulit dipahami teman ABK
F
F
U
3 Kemampuan Saya akan membantu mengajarkan pelajaran F
25
memberi solusi
terhadap masalah
teman
kepada teman ABK saya saat mengalami
kesulitan memahami mata pelajaran tertentu
Saya membiarkan teman ABK saya saat
kesulitan memahmi pelajaran
Saya akan memberi tahu kepada teman ABK
saya bagaimana berinteraksi dengan teman
sebaya
Saya membiarkan teman ABK saya yang
membutuhkan bantuan
U
F
U
Keterangan:
F : Favorable
U : Unfavorable
Lampiran 3. Hasil Uji Coba Skala Empati
26
27
Lampiraan 4. Skala Penelitian
Identitas
Nama :
Jenis Kelamin : L/P
Usia :
Sekolah :
28
Pada tabel di bawah ini terdapat daftar pernyataan. Berilah pilihan “Ya” atau “Tidak” pada
daftar tersebut. Dalam pengisian pada setiap kolom tidak diperkenankan untuk memiliki
jawaban ganda.
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Saya merasa sedih ketika melihat teman ABK saya sendirian di kelas
2. Saya merasa senang ketika melihat teman ABK saya diacuhkan oleh
teman-teman yang lain
3. Ketika melihat teman ABK saya bersedih, saya malah tertawa
4. Saya membiarkan teman ABK saya yang membutuhkan bantuan
5. Saya membiarkan teman ABK saya saat kesulitan memahmi
pelajaran
6. Saya ikut bahagia ketika melihat teman ABK saya dipuji oleh guru
7. Saya menyuruh teman saya mengganggu teman ABK
8. Saya mengucapkan selamat kepada teman ABK saya ketika dia
mendapat nilai yang bagus
9. Saya mengerti teman ABK kesulitan mengerjakan tugas rumah (PR)
dari guru
10. Saya hanya diam meskipun yang berbuat kesalahan pada teman
ABK saya
11. Saya bertepuk tangan ketika melihat teman ABK saya senang
12. Saya senang melihat teman ABK saya yang marah karena diganggu
teman lain
13. Saya tidak perlu mengucapkan selamat kepada teman ABK saya
ketika dia mendapat nilai bagus
14. Saya meminta maaf kepada teman ABK saya ketika saya berbuat
kesalahan kepada dia
15. Saya melarang teman saya mengganggu teman ABK
16. Saya memaklumi kesulitan teman ABK untuk mengikuti pelajaran di
kelas
17. Saya merasa senang ketika melihat teman ABK saya diejek oleh
teman lain
18. Ketika teman ABK saya bercerita mengenai kesulitannya, saya
mampu merasakan apa yang dirasakannya
19. Saya dapat memahami kesulitan yang dialami teman ABK dalam
belajar
20. Saya tidak mengerti jika pelajaran di sekolah sulit dipahami teman
ABK
21. Saya akan memberi tahu kepada teman ABK saya bagaimana
berinteraksi dengan teman sebaya
22. Saya akan membantu mengajarkan pelajaran kepada teman ABK
saya saat mengalami kesulitan memahami mata pelajaran tertentu
29
23. Saya ikut menertawakan teman ABK saat diejek teman lain
Lampiran 5. Tabulasi Data
No Nama Pretest Posttest
1 Achmad Syachfir H 8 12
2 Alma Wasiem 15 20
3 Annora Mahsa I 16 22
4 Bagus Bandung J.P 8 13
5 Danang Tejo K. 16 18
6 Fadhil Rahmat N 15 22
7 Fawwas Rayhan F 15 17
30
Lampiran 6. Hasil Analisa Data
8 Izzah Aulia A 16 23
9 Jasmine Ina H 13 19
10 Nabilah Nur A. 17 21
11 Puguh Hananto 11 17
12 Qumairoh Mursalina 13 17
13 Raffi Yuli Susanti 15 16
14 Rizki Feri A. 16 20
15 Savira Adelevi A. 16 23
31
Lampiran 7. Modul Penelitian
MODUL PSIKODRAMA
32
Oleh:
Niki Cahyani
201210230311410
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
Psikodrama merupakan permainan yang memberikan kesempatan kepada peserta untuk
melihat kehidupan pribadi dengan cara pandang berbeda dari sebelumnya setelah kehidupan
pribadi tersebut diperankan oleh orang lain dalam kelompok. Berikut modul pelaksanaan
kegiatan psikodrama :
33
A. ASESMEN
1. Gambaran Umum
Asesmen merupakan proses untuk melaksanakan penggalian data, hal ini
bertujuan untuk mengetahui data tentang kondisi maupun permasalahan yang
dimiliki oleh peserta. Data hasil asesmen akan dianalisis sebagai bahan untuk
menentukan prosedur pelaksanaan psikodrama. Asesmen ini dilaksanakan
sebelum pelaksanaan psikodrama. Proses asesmen dilakukan kepada siswa reguler
sekolah inklusif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan empati
siswa reguler terhadap siswa Anak Berkebutuhan Khusus (selanjutnya akan
disingkat ABK).
2. Tujuan
a. Melakukan analisa tingkat empati siswa reguler terhadap siswa ABK.
b. Menentukan peserta psikodrama.
3. Metode
a. Interview terhadap orang-orang yang bersangkutan seperti guru yang menjadi
wali kelas dan guru Bimbingan Konseling (BK) serta beberapa siswa reguler
di sekolah inklusif.
b. Observasi secara langsung di sekolah
c. Pemberian skala empati kepada siswa reguler sekolah inklusif.
4. Waktu
Proses asesmen dengan 3 metode ini dilaksanakan di beberapa waktu.
Interview dilaksanakan dengan menyesuaikan waktu luang guru Bimbingan
Konseling (BK) dan wali kelas. Observasi dilaksanakan pada saat kegiatan
belajar-mengajar sedang berlangsung maupun pada waktu istirahat dengan cara
melakukan observasi di dalam kelas maupun di luar kelas. Asesmen terakhir
berupa pemberiavasi dan skala empati yang diaksanakan setelah proses observasi
dan interview selesai. Asesmen difokuskan untuk mengetahui bagaimana interaksi
antara siswa reguler dengan siswa ABK. Proses asesmen ini dapat dinyatakan
selesai apabila telah mendapatkan data sesuai dengan yang dibutuhkan.
5. Tahapan
Tahap pertama, peneliti mengumpulkan data tingkat kemampuan empati siswa
reguler terhadap siswa ABK dengan melakukan observasi atau pengamatan baik
ketika proses pembelajaran berlangsung maupun ketika istirahat. Tahap kedua,
peneliti melaksanakan interview kepada guru BK, guru wali kelas, dan beberapa
siswa reguler di sekolah inklusif dengan topik interview adalah interaksi siswa
reguler dan siswa ABK di sekolah tersebut. Tahap ketiga, peneliti memberikan
skala empati kepada siswa reguler kelas VII di sekolah inklusif. Tahap keempat,
peneliti menganalisis data-data yang diperoleh dari proses interview, observasi,
dan pemberian skala. Hasil tersebut digunakan untuk menentukan siswa reguler
yang tepat menjadi peserta psikodrama, yakni yang memiliki kemampuan empati
yang rendah terhadap siswa ABK.
B. FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
34
1. Gambaran Umum
FGD dilakukan kepada 15 siswa reguler yang telah ditentukan menjadi
peserta psikodrama melalui asesmen. Pada tahap ini peneliti mengidentifikasi
interaksi peserta psikodrama dengan siswa ABK secara rinci yang digunakan
sebagai acuan konsep skenario psikodrama. Pada tahap ini peneliti berperan
sebagai fasilitator yang akan mendampingi peserta dalam pelaksanaan FGD dan
mempersiapkan sarana maupun prasarana penunjang yang akan digunakan dalam
pelaksanaan FGD.
2. Tujuan
a. Membangun rapport baik antara peserta psikodrama dengan fasilitator
maupun antar peserta psikodrama
b. Menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman dalam kelompok.
c. Mengidentifikasi interaksi antara peserta psikodrama dengan siswa ABK
d. Menjadi acuan penyusunan konsep skenario psikodrama
3. Metode
a. Ice Breaking
b. Focus Group Discussion (FGD)
4. Waktu
Waktu pelaksanaan FGD dilakukan dalam sekali pertemuan sebelum
pelaksanaan psikodrama.
5. Tahapan
a. Ice Breaking
- Gambaran Umum
Ice Breaking merupakan permainan bertujuan untuk memecahkan
kebekuan sehingga peserta bersemangat dalam mengikuti kegiatan. Pada
tahap ini fasilitator memberikan permainan yang digunakan sebagai media
perkenalan dan pengakraban antara fasilitator dengan peserta dan antar
peserta.
- Tujuan
Menciptakan suasana yang akrab dan nyaman dalam kelompok
Membuat peserta bersemangat dan fokus dalam kegiatan
- Waktu
Pelaksanaan ice breaking ± 15 menit sebelum FGD dimulai.
- Tahapan
Kelompok peserta diminta untuk berbaris membentuk lingkaran
Fasilitator menyalakan musik sambil mengoper bole ke salah satu
peserta dan bola terus berputar diantara peserta. Bola berhenti ketika
fasilitator menghentikan musiknya.
Peserta yang mendapatkan bola diminta untuk memperkenalkan
dirinya secara lengkap yaitu menjelaskan nama, asal daerah, tempat
tanggal lahir, alamat, hobi, cita-cita masing-masing, dan pernyataan-
pernyataan lain yang bisa ditambahkan, kemudian peserta diminta
35
untuk menceritakan hal yang pernah dialami yang tidak disukai
tentang siswa ABK.
Setelah memperkenalkan diri, peserta diminta untuk mengoper
kembali bola tersebut kepada teman di samping kanan atau kirinya
dan bagi peserta yang sudah mendapat bola harus mundur ke
belakang satu langkah. Hal ini bertujuan agar permainan lebih efektif
dan efisien waktu.
Permainan berkahir ketika semua peserta sudah mendapat giliran
perkenalan diri.
b. Focus Group Discussion (FGD)
- Gambaran Umum
Focus Group Discussion ini dilakukan setelah kegiatan Ice Breaking:
Bola Perkenalan. Pada Focus Group Discussion fasilitator melakukan
pembangunan rapport (pendekatan lebih jauh dengan peserta). Setelah itu
fasilitator mengidentifikasi permasalahan yang pernah dialami oleh siswa
reguler dalam proses interaksi dengan siswa ABK di sekolah dengan cara
memberikan kesempatan pada setiap peserta untuk bercerita. Fasilitator
diharapkan mampu menciptakan suasana yang hangat dan akrab sehingga
para peserta dapat mengungkapkan perasaan dan pemikiran mereka secara
jujur, terbuka, baik dan leluasa.
- Tujuan
1. Peserta dapat mengenal peserta yang lainnya dalam kelompok secara
dekat
2. Fasilitator mampu mengenal peserta secara lebih dekat
3. Mengidentifikasi faktor-faktor permasalahan interaksi peserta dengan
siswa ABK di sekolah
4. Mengetahui permasalahan yang dihadapi peserta dengan berbagai sudut
pandang peserta dalam menyikapinya
5. Hasil FGD menjadi acuan penyusunan konsep skenario psikodrama
- Waktu
Focus Group Discussion (FGD) ini dilakukan satu kai pertemuan dengan
durasi ± 60 menit.
- Tahapan
1. Fasilitator memperkenalkan diri kembali di depan peserta psikodrama. Isi
perkenalannya adalah nama, asal daerah, tempat tanggal lahir, alamat,
hobi dan cita-cita dan pernyataan-pernyataan lain yang bersifat
membangun kondisi yang nyaman dan kondusif bagi seluruh anggota.
36
2. Fasilitator memberikan waktu apabila ada hal lain yang ingin ditanyakan
tentang informasi fasilitator.
3. Fasilitator mengajak peserta untuk berdiskusi dengan tema sekolah inklusif
secara umum yang kemudian difokuskan kepada permasalahan tentang
interaksi siswa reguler terhadap siswa ABK.
4. Fasilitator menanyakan permasalahan yang pernah dialami oleh peserta
siswa reguler terkait interaksinya dengan siswa ABK.
5. Peserta lain diminta untuk memberikan tanggapan ataupun klarifikasi
tentang hal yang telah diceritakan oleh peserta tersebut.
6. Fasilitator kemudian menyimpulkan secara umum permasalahan yang
terdapat pada interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK dan
menyampaikan kesimpulan tersebut sebagai klarifikasi atas permasalahan
yang dialami oleh siswa reguler.
7. Fasilitator dan peserta mendata siswa ABK yang ingin diperankan oleh
masing-masing peserta.
c. Pembentukan Norma Kelompok
- Gambaran umum :
Pembentukan norma kelompok digunakan untuk membuat peraturan
kelompok secara bersama-sama yang melingkupi hal-hal yang boleh
dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama proses
pelaksanaan Psikodrama ini berlangsung. Pembentukan norma kelompok
ini juga berguna untuk keamanan dan kenyamanan peserta selama
pelaksanaan psikodrama.
- Tujuan :
1. Peserta dapat membentuk peraturan dalam kelompok dan mengambil
keputusan untuk kesepakatan secara bersama-sama.
2. Memahami hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh
dilakukan selama kegiatan psikodrama ini berlangsung.
- Waktu :
Waktu pelaksanaan pada tahap ini adalah ± 15 menit setelah fasilitator
mengidentifikasi permasalahan interaksi antara peserta dengan siswa ABK.
- Tahapan :
1. Fasilitator menjelaskan gambaran kegiatan psikodrama secara umum
kepada peserta.
2. Fasilitator menjelaskan pentingnya untuk membuat norma kelompok dan
menawarkan kepada peserta pembuatan norma kelompok.
37
3. Anggota kelompok diberikan kesempatan untuk memberikan kritik
maupun saran untuk pembentukan norma kelompoknya.
4. Peserta menyepakati norma yang telah dibentuk secara bersama-sama.
5. Fasilitator menuliskan hasil kesepakatan norma kelompok yang telah
dibentuk
6. Peserta diminta untuk dapat mematuhi norma kelompok yangtelah
dibentuk.
7. Fasilitator membacakan kembali norma yang telah disepakati oleh
peserta.
d. Pembagian Kelompok
- Gambaran Umum
Pembagian kelompok digunakan untuk mempermudah pelaksanaan
kegiatan psikodrama dalam pembagian peran.
- Tujuan
1. Peserta dapat mempersiapkan diri sebelum bermain peran dihadapan
peserta lain sehingga pelaksanaan psikodrama diharapkan optimal.
2. Peserta mengetahui urutannya dalam bermain peran.
- Waktu
Waktu pelaksanaan pada tahap ini adalah ± 15 menit setelah pembentukan
norma.
- Tahapan
1. Fasilitator membagi peerta menjadi 3 kelompok secara acak di mana
masing-masing kelompok terdiri dari 5 peserta.
2. peserta diminta berkumpul sesuia dengan kelompoknya dan mengatur
urutan anggota kelompok yang berperan menjadi pemeran utama
(protagonis).
3. Fasilitator mencatat urutan tampilan psikodrama masing-masing kelompok
dan membacakannya kembali.
4. Fasilitator meminta peserta agarmengamati bagaimana kebiasaan dan
perilaku siswa ABK yang akan diperankannya ketika di sekolah.
C. PELAKSANAAN
1. Gambaran Umum
Psikodrama ini dilakukan kepada siswa reguler sekolah inklusif yang telah
ditentukan melalui proses asesmen yang telah dilakukan sebelumnya. Pada tahap
ini peneliti berperan sebagai fasilitator yang akan mendampingi peserta dalam
pelaksanaan psikodrama dan mempersiapkan sarana maupun prasarana penunjang
yang akan digunakan dalam pelaksanaan psikodrama.
2. Tujuan
38
a. Siswa reguler memahami bahwa siswa ABK berbeda dari dirinya.
b. Siswa reguler mampu menempatkan dirinya pada posisi siswa ABK sehingga
menimbulkan empati dan keengganan untuk mengganggu siswa ABK.
c. Meningkatkan kemampuan empati pada siswa reguler terhadap siswa ABK
3. Metode
a. Ice Breaking
b. Psikodrama
4. Waktu
Waktu yang diperlukan adalah 3 kali pertemuan, dengan rincian sebagai
berikut :
a. Hari Pertama : Ice breaking, psikodrama, pemberian feedback (± 60 menit)
b. Hari Kedua : Ice breaking, psikodrama, pemberian feedback (± 60 menit)
c. Hari Ketiga : Ice breaking, psikodrama, pemberian feedback (± 60 menit)
5. Tahapan
a. Pelaksanaan Psikodrama
- Gambaran Umum
Psikodrama merupakan drama yang dilakukan dalam kelompok
sebagai bentuk pengembangan manusia dengan eksplorasi melalui tindakan
yang dramatis. Setiap peserta menjadi agen penyembuh dalam kelompok.
Semua peran dimainkan secara spontan oleh setiap peserta yang merupakan
cerminan dari kehidupannya sehari-hari dan menggambarkan
permasalahannya. Permasalahan peserta tersebut memiliki hubungan erat
dengan interaksi siswa reguler terhadap siswa ABK. Pada tahap ini salah satu
anggota kelompok diminta untuk melakukan psikodrama menggunakan teknik
pegantian peran (role reversal) yakni berganti peran dengan orang lain dan
melihat hubungan atau konflik melalui sudut pandang orang lain. Sedangkan
cerita yang digunakan dalam psikodrama ini adalah peristiwa-peristiwa yang
pernah dialami secara faktual oleh peserta terkait interaksinya dengan siswa
ABK.
Setiap peserta secara bergiliran diminta untuk bermain peran menjadi
siswa ABK, sedangkan peserta lainnya berperan sebagai siswa reguler seperti
dirinya sendiri pada saat berinteraksi dengan siswa ABK di sekolah, kemudian
peserta diminta untuk merespon hal tersebut. Fasilitator berperan sebagai
pemimpin psikodrama (sutradara) yang bertugas merancang kegiatan,
mengarahkan pelaksanaan dan mengamati berlangsungnya pelaksanaan
psikodrama. Serta memberikan feedback kepada peserta setelah
kegiatanpsikodrama dilakukan.
- Tujuan
39
1. Setiap peserta memiliki kesempatan untuk berperan menjadi siswa ABK
yang bertujuan untuk membentuk kemampuan dalam pemahaman dan
kemampuan untuk dapat ikut serta merasakan apabila peserta berada dalam
posisi siswa ABK.
2. Meningkatkan kemampuan empati siswa reguler terhadap siswa ABK.
- Waktu
Pelaksanaan psikodrama dilakukan selama 3 kali pertemuan dengan setiap
pertemuan berlangsung selama ± 60 menit.
- Tahapan
1. Setiap kali pertemuan fasilitator hanya memberikan kesempatan satu
kelompok untuk bermain peran dalam psikodrama yang telah dipilih secara
bersama-sama oleh kelompok, sedangkan 2 kelompok lainnya berperan
sebagai penonton (audience) yang juga bertugas memberikan komentar dari
permainan psikodrama yang ditampilkan.
2. Setiap pertemuan sebelum pelaksanan psikodrama, dilakukan briefing
singkat terlebih dahulu antara fasilitator dan seluruh peserta untuk
membahas aktivitas dan setting yang akan diperankan pemeran pembantu
(auxiliary). Setiap peserta akan mendapat giliran untuk berperan sebagai
siswa ABK (protagonist)
3. Pada pelaksanaan psikodrama, siswa yang berperan sebagai protagonist
berperan sebagaimana hasil pengamatannya terhadap siswa ABK yang
diperankan.
4. Setelah menampilkan perannya yang berdasarkan pengalamannya di masa
lalu, protagonist berganti peran menjadi auxilary .
5. Protagonist memberikan kesempatan kepada anggota lain (auxilary) untuk
memainkan peran dari setiap cerita yang ada dalam tema tersebut. Hal ini
bertujuan membantu protagonist mengembangkan sebuah pemahaman
mengenai penilaian dari orang lain terhadap dirinya sendiri mengenai
sebuah kejadian. Setiap peserta yang berperan sebagai auxilari dianjurkan
mengekspresikan dirinya secara spontan berdasarkan pengalaman mereka,
bukan berdasar rekayasa, baik secara verbal maupun non vebal
6. Fasilitator bertugas memberikan semangat pada anggota kelompok yang
sedang menampilkan psikodrama. Apabila terdapat peserta yang merasa
malu atau canggung melakukan psikodrama, fasilitator dan audience
bertugas untuk memberikan dukungan terhadap peserta untuk menampilkan
psikodrama.
7. Pada nantinya respons yang diberikan oleh peserta yang berperan menjadi
auxiliary terhadap siswa yang berperan sebagai siswa ABK (protagonist)
40
akan membentuk insight tersendiri bagi siswa yang berperan sebagai siswa
ABK. Insight tersebut membantu siswa agar dapat menempatkan dirinya
dalam posisi siswa ABK.
8. Setelah peserta berperan menjadi siswa ABK (protagonist), Fasilitator
memberikan kesempatan kepada tokoh protagonist untuk merencanakan
perilaku yang baru dalam kehidupannya (yang akan dia lakukan jika
berhadapan dengan situasi permasalahan yang sama kembali, yaitu bertemu
dengan siswa ABK di sekolah, antara masih mengganggu siswa ABK atau
membantu siswa ABK) dan fasilitator akan membantu protagonist
mendapatkan gagasan yang lebih jelas mengenai dampak dari perilaku
barunya tersebut, hingga peserta mendapatkan gagasan yang lebih konkret
dan dapat memberikan manfaat baik bagi siswa ABK maupun pada diri
sendiri.
9. Setiap akhir sesi pelaksanaan psikodrama, fasilitator kembali mengadakan
diskusi yang bertujuan untuk memberikan umpan balik (feedback) dari
kegiatan yang telah dilakukan. Setiap peserta diberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapat mengenai perasaannya ketika bermain
psikodrama dan penonton juga berhak memberikan komentar pada akhir
pelaksanaan psikodrama. Fasilitator mengarahkan jalannya diskusi dan
memberikan kesimpulan maupun overview atas kegiatan psikodrama yang
telah dilakukan.
D. EVALUASI
1. Gambaran Umum
Pada tahapan ini fasilitator memberikan overview atas kegiatan psikodrama
yang telah dilakukan, yaitu dari awal proses asesmen sampai akhir kegiatan
psikodrama. Setiap anggota diberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan
perasaan mereka baik pada saat pelaksanaan psikodrama maupun setelah mengikuti
psikodrama, mencakup dampak dan efek terhadap diri mereka maupun lingkungan
di sekitar mereka. Serta gambaran apa yang akan mereka lakukan setelah sesi
psikodrama berakhir. Selanjutnya Fasilitator akan memberikan saran bagi mereka
saat berinteraksi dengan siswa ABK di sekolah. Pada tahap ini, peserta juga
memberikan evaluasi atau komentar tentang proses pelaksanaan psikodrama dari
awal sampai akhir dan diminta untuk memberikan saran dan kritikan bagi
fasilitator. Tahapan ini sebagai penutup yang menunjukkan bahwa kegiatan
psikodrama telah berakhir.
2. Tujuan
a. Membimbing peserta untuk mengekspresikan pengalamannya setelah
psikodrama.
b. Memberikan pemahaman kepada peserta tentang manfaat yang diperoleh dari
kegiatan psikodrama.
41
c. Membantu peserta untuk menerapkan hal-hal yang telah dipelajari dalam
psikodrama pada kehidupan sehari-hari.
d. Menjadi sarana refreshing bagi peserta.
e. Fasilitator mengetahui kekurangan dalam pelaksanaan psikodrama sehingga
dapat menjadi bahan pebaikan pada kegiatan-kegiatan selanjutnya.
f. Mengakhiri kegiatan psikodrama.
3. Metode
a. Ceramah
b. Diskusi
c. Pemberian skala empati
4. Waktu
Waktu pelaksanaan adalah 1 kali yaitu pada pertemuan akhir yang akan
dilakukan selama ± 60 menit.
5. Tahapan
1. Fasilitator meminta peserta untuk berkumpul dan duduk melingkar.
2. Setiap peserta diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya selama
mengikuti psikodrama.
3. Tugas Fasilitator adalah memulai dan mengarahkan diskusi untuk
memaksimalkan pemberian umpan balik (feedback) dari peserta lain.
4. Tokoh protagonist diberikan kesempatan untuk membuat kesimpulan mengenai
pengalamannya dalam memerankan tokoh yang diperankan tersebut melingkupi
interaksinya dengan auxiliary yang berperan menjadi siswa reguler.
5. Fasilitator memberikan penjelasan secara singkat tentang Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) kepada peserta psikodrama untuk memberikan pemahaman
secara kognitif dan afektif yang bertujuan membangun kemampuan empati
peserta.
6. Fasilitator memberikan skala empati untuk mengetahui peningkatan kemampuan
empati
7. Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk memberikan kritik atau
saran kepada fasilitator atas kegiatan psikodrama yang telah dilaksanakan.
8. Fasilitator memberikan motivasi singkat kepada peserta.
9. Fasilitator menutup kegiatan psikodrama.
42
Lampiran 8.Guide Observasi dan Interview
GUIDE INTERVIEW DAN OBSERVASI
PERTANYAAN UTAMA KETERANGAN
43
Bagaimana sikap siswa reguler kepada siswa ABK?
Bagaimana interaksi antar siswa reguler di kelas?
Bagaimana interaksi siswa reguler dan siswa ABK di
kelas?
Bagaimana interaksi siswa reguler dan siswa ABK di luar
kelas (saat istirahat)?
Bagaimana interaksi antar siswa ABK?
Bagaimana intensitas komunikasi siswa reguler dan siswa
ABK?
Bagaimana metode pembelajaran di kelas inklusif?
(efektivitas)
Bagaimana perlakuan khusus dari pihak sekolah kepada
siswa inklusif? (fasilitas)
Lampiran 9. Verbatim Focus Group Discussion (FGD)
VERBATIM
NO SUBJEK SEBELUM FGD SESUDAH FGD
1 Achmad Syachfir Saya suka mengganggu dan
nyuruh-nyuruh teman ABK di
kelas
Sekarang mengganggu saya
berkurang, saya ajak main, ajak
diskusi, bercanda. Ya teman ABK
saya anggap seperti teman reguler
INDIKATOR KETERANGAN
Tidak terjadi interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK
Siswa ABK berkumpul sendiri dengan siswa ABK
Siswa reguler mengejek/menggoda siswa ABK
Siswa reguler mengacuhkan keberadaan siswa ABK
Siswa ABK kesulitan memahami pelajaran di kelas
Siswa ABK kesulitan mengikuti kegiatan belajar mengajar di
kelas
44
2 Alma Wasiem Saya suka gangguin teman ABK
karena mereka lucu dan berbeda
dengan teman reguler
Saya negur teman reguler lain yang
mengganggu teman ABK karena saya
sudah merasakan menjadi ABK tidak
enak
3 Annora Mahsa I Saya suka godain teman ABK
karena asyik godain mereka
Saya sudah nggak sering godain
teman ABK lagi
4 Bagus Bandung Saya sering marahin teman ABK
soale sulit dibilangi
Saya tidak gangguin teman ABK
seperti dulu lagi.
5 Danang Tejo K. Anak ABK itu suka marah-
marah sendiri dan senang
mengganggu mereka
Saya kasihan sama teman ABK,
sekarang saya ajak ngobrol dan sholat
bareng
6 Fadhil Rahmat N Saya suka gangguin mereka pas
istirahat
Saya berkurang gangguin teman
nggak kayak dulu lagi
7 Fawwas Rayhan F Saya sering gangguin teman
ABK di kelas
Saya kasihan ketika melihat teman
ABK dibully, saya nggak mau
gangguin lagi tapi saya balas ketika
mereka mengganggu saya
8 Izzah Aulia A Teman ABK sering mengganggu
pelajaran di kelas. Mereka sulit
kalau disuruh diam.
Saya jadi tahu bagaimana rasanya
menjadi teman ABK, jadi kasihan
dan saya jarang ganggu mereka lagi
9 Jasmine Ina H Saya selalu ganggu dan nyuruh-
nyuruh teman ABK
Sekarang lebih care dan lebih
perhatian ke teman ABK
10 Nabilah Nur A. Saya suka mengganggu teman
ABK karena mereka uni dan
beda dengan kita
Saya mau ganggu mereka tapi nggak
jadi karena kasihan, saya ajak
interaksi, bantuin ngerjakan tugas dan
saya negur teman reguler yang
gangguin mereka
11 Puguh Hananto Saya senang kalau ganggu siswa
ABK
Saya jadi lebih care dan jarang
gangguin siswa ABK lagi
12 Qumairoh M Saya suka marahin teman ABK
karena sulit diatur dan tidak bisa
diam kalau di kelas
Saya berkurang gangguin teman
ABK, nggak seperti dulu lagi
13 Raffi Yuli Susanti Saya sering gangguin teman
ABK karena mereka lucu
Saya tidak menggoda teman ABK
lagi, lebih perhatian dan peduli, terus
saya ajak mereka ketika ada kegiatan
14 Rizki Feri A. Saya suka godain teman-teman
ABK, ya karena senang saja
godain mereka
Saya jadi semakin tahu tentang siswa
ABK dan ketika berinteraksi saya
harus hati-hati
15 Savira Adelevi A. Saya jarang interaksi dengan
teman ABK karena nggak
nyambung. Kadang-kadang saya
godain mereka
Saya berkurang godainnya, sekarang
jadi lebih sering berinteraksi,
mengajari pelajaran ke mereka dan
menegur teman reguler lain yang
gangguin teman ABK
Lampiran 9. Dokumentasi
DOKUMENTASI PSIKODRAMA
45
46