Makalah Empati Kedokteran

download Makalah Empati Kedokteran

If you can't read please download the document

description

Dengan pemicu dan penyelesai masalah

Transcript of Makalah Empati Kedokteran

MAKALAH DISKUSI KELOMPOK(Pemicu 1- 5)Diajukan untuk Memenuhi Tugas Modul Etika dan Empati

Disusun Oleh KELAS INTEGRASI C

KELOMPOK 1:HANI HANDAYANI IKHSAN BUDIARTO INDAH PRIHANDINI ISA NUR KHoLIFAH MARINA ULFA MUHAMMAD IKHWAN NOVIA ZULFA HANUM

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Akademik 2008/2009

2

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya lah makalah ini selesai tepat pada waktunya. Tak lupa ucapan terima kasih kami ucapkan kepada: 1. Seluruh dosen mata kuliah modul integrasi Etika dan Empati, yang telah memberikan pemahaman terkait topik. 2. Orang tua kami yang telah memberikan dukungan yang bersifat material maupun immaterial. 3. Semua teman kami yang telah turut memberikan informasi terkait topik, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Makalah ini disusun sebagai langkah untuk memahami etika dasar moral sebagai seorang tenaga kesehatan di dalam kehidupan terutama ketika menghadapi klien atau pasien. Harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kehidupan kita sehari-hari walaupun kami yakin, makalah ini memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar pembuatan makalah di masa mendatang menjadi lebih baik.

Tim Penulis

3

Daftar Isi

Kata Pengantar Daftar Isi

1 2

Pembahasan (Isi)I. II. Pemicu 1 Tolonglah aku!! Pemicu 2 Satu kamar, rame-rame 3 17

III. Pemicu 3 Aku tidak mau transfusi 27 IV. Pemicu 4 Saya sarankan, Suami Ibu yang KB! 36 V. Pemicu 5 Let me die 43

4

PEMICU 1Tolonglah Aku!

5

BAB I Pendahuluan

1.1

Latar Belakang Tn. H (51 tahun) didiagnosis menderita gagal ginjal kronik dan fungsi ginjal sudah tidak normal lagi. Pada saat ini beliau sangat tergantung sekali kepada alat pencuci darah (hemodialisa) dimana satu kali hemodialisa memerlukan dana sekitar Rp. 400.000,- dan harus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Agar beliau dapat sembuh, dokter menganjurkan untuk melakukan cangkok ginjal. Cangkok ginjal dapat dilakukan pada ginjal yang berasal dari saudara kandung maupun orang lain, asalkan dengan syarat kondisi ginjal tersebut sehat. Bila harus mencari ginjal dari orang lain sangat sulit dan mahal. Tn. H meminta kepada adiknya ( Tn. L ) dan kakaknya ( Tn. M ) untuk meneyumbangkan ginjalnya untuk kesembuhan dirinya. Kedua saudara kandung Tn. H tersebut sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Bagaimana pendapatmu tentang kasus tersebut ? Berikan beberapa alternative pemecahan dari berbagai segi / faktor.

1.2

Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dosen serta untuk memahami lebih lanjut tentang masalah yang telah diberikan kepada kami yang berhubungan langsung dengan materi kuliah Empati serta Etika moral pada modul Etika dan Empati. Serta untuk lebih mengembangkan ilmu dasar tentang empati dan dapat mengapresiasikan dalam kasus tersebut sehingga didapatkan solusi yang terbaik yang harus dilakukan oleh sang pasien. Tak hanya itu, penulisan makalah ini pun bermaksud agar kelak ketika kami calon tenaga medis terjun langsung ke lapangan dan menghadapi kasus serupa atau lebih dari apa yang kami dapatkan saat ini,

6

maka kami sudah sedikit terlatih untuk memecahkannya dan memeberikan solusi yang terbaik. Sehingga terciptalah rasa naluri empati yang tinggi yang memang seharusnya dimiliki oleh para tenaga medis yang membuat kami sebagai tenaga medis menjadi orang orang yang dapat dihargai dan dihormati di tengah tengah masyarakat. Penulisan ini pun bertujuan untuk memberikan sedikit informasi terbaru sekaligus tukar pikiran (sharing) aplikasi teori yang telah diberikan oleh dosen kami sebagai pengajar dan pembimbing kepada teman teman sekelas kami. Sehingga dengan begitu, mereka pun dapat memahami lebih dalam tentang teori yang telah diberikan dan di kemudian hari, mereka serta kami dapat mengapresiasikannya dalam kehidupan, yang nantinya akan mereka tularkan pula kepada sanak famili dan anak cucu mereka.

1.3

Manfaat Penulisan Penulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang sikap yang harus dilakukan ketika kita nantinya jikalau telah menjadi tenaga medis kepada pasien atau mungkin orang orang yang kita hadapi yangpada saat itu dalam keadaan terpuruk dan membutuhkan bantuan segera daru diri kita. Sehingga kita dapat bersikap sesuai dengan apa yang telah dipelajari dalam modul ini, tak hanya mantap dalam teori tapi mampu pula dalam hal tindakan langsung di lapangan.

1.2

Definisi masalah 1. Tn. H mengalami gagal ginjal kronik, dan fungsi ginjalnya tidak normal. 2. Tn. H harus melakukan cuci darah dua kali seminggu dengan biaya Rp 400.000,00 sekali cuci darah. 3. Tn. H dianjurkan melakukan cangkok ginjal sehat yang dapat berasal dari keluarga atau dari orang lain.

7

1.3

Hipotesis Tn.H akan sembuh dari penyakitnya dengan melakukan pencangkokan ginjal yang berasal dari keluarga.

1.4

Identifikasi masalah 1. Apa yang dimaksud dengan rasa empati dan simpati ? 2. Apa perbedaan antara Simpati dan Empati? 3. Bagaimana Aplikasi Simpati dan Empati dalam Kasus Tn. H? 4. Bagaimanakah kondisi ginjal yang sehat itu ? 5. Apakah garis keturunan dapat mempengaruhi fungsi ginjal yang dicangkok ? 6. Apa kelebihan dan kekurangan dari cangkok ginjal? 7. Apa yang terjadi jikalau seseorang telah memberikan salah satu ginjalnya kepada orang lain ? 8. Apa kelebihan dan kekurangan dari Hemodialisa? 9. Apa dampak positif dan negatif apabila dilakukan pencangkokan ginjal dari kakak, adik, dan orang lain? 10. Dimanakah rasa empati serta simpati tersebut dapat ditampilkan ? 11. Hak hak apa saja yang dimiliki oleh seorang pasien pada saat dia terdesak dengan kondisi kesehatannya ? 12. Bagaimana konsep ajaran islam menanggapi kasus seperti ini ? 13. Bagaimana solusi terbaiknya?

8

Bab II Pembahasan

I.

Pengertian Empati dan Simpati1.1 Empati Keadaan jiwa yang merasa iba melihat penderitaan orang lain dan terdorong dengan kemampuan sendiri untuk menolongnya tanpa mempersoalkan persoalan perbedaan latar belakang agama, budaya, bahasa, bangsa, etnik, dan lain sebagainya (Abuddin Nata) suatu kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan,pikiran,dan keinginan orang lain,tanpa mempengaruhi obyektivitas dalam menilai orang tersebut atau kemampuan menempatkan diri ke dalam diri orang lain untuk memahami pandangan dan perasaan orang tersebut,sesuai dengan latar belakang pendidikan,sosial,budaya,agama,ekonomi,etnik,dan lain-lain. 1.2 Simpati Simpati adalah kecenderungan keinginan orang untuk lain merasakan karena perasaan,pikiran,dan namun

melibatkan perasaan,seringkali penilaiannya menjadi subyektif. 1.3 Penerapan Dalam Kasus Simpati keluarga merasakan penderitaan Tn. H dan memberikan tanggapan namun tidak memberikan respon berupa tindakan. Empati keluarga merasakan penderitaan Tn. H dan memberikan ginjal salah satu dari kakak atau adik sebagai salah satu solusi untuk Tn. H.

9

II.

Perbedaan antara Simpati dan EmpatiSIMPATI 1. Memberikan perhatian terhadap perasaan sedih saja 2. Larut dalam berbagai perasaan duka 3. Cenderung memberikan Pendapat 4. Bersifat Subjektif EMPATI 1. Memberikan perhatian yang sama terhadap perasaan duka dan suka 2. Tidak terlalu larut dalam perasaan dukanya 3. Memberikan Pendapat dan lebih memahami keluhan yang berduka 4. Bersifat objektif

III.

Ginjal dan Pencangkokannya Dilihat dari Berbagai SegiGinjal adalah salah satu organ tubuh yang patut disyukuri dan sayangi, perannya sangat penting dalam proses urinaria tubuh. Kerusakan ginjal dapat mengganggu sistem sekresi. Dalam tubuh, ginjal berfungsi sebagai filter untuk membersihkan darah atau cairan lainnya. Fungsi itu bertujuan agar bahan-bahan kimia yang terkandung dalam darah atau cairan tubuh lainnya tidak terbawa kembali oleh darah dan beredar ke seluruh tubuh. Sebagian kotoran hasil penyaringan itu nantinya akan dikeluarkan melalui ginjal bersama air seni. Namun, sebagian lagi mungkin tertinggal dan mengendap menjadi batu ginjal. Apabila endapan itu tidak dikeluarkan, akan menetap di ginjal atau berpindah ke kandung kemih. Pada penyakit gagal ginjal kronis yang terdapat pada kasus ini, memiliki gejala seperti lemas, nafsu makan, mual, pucat, kencing sedikit, sesak napas. Penyakit ginjal kronik biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga seringkali terlambat diketahui dan ditangani dengan tepat. Jika penyakit ginjal menjadi kronik dan ginjal menjadi tidak berfungsi ada

10

beberapa cara yang dapart dilakukan yaitu dengan cuci darah dan pencangkokan ginjal. Cuci darah adalah tindakan medis yang dilakukan menggunakan mesin cuci darah atau biasa disebut hemodialisa. Mesin cuci darah itu berfungsi menyaring racun-racun dalam tubuh dan mengeluarkannya. Proses tersebut biasanya dilakukan seminggu dua kali. Sementara itu, pencangkokan ginjal pada prinsipnya adalah memindahkan ginjal sehat ke penderita gagal ginjal. Ginjal baru akan diletakkan di rongga ileum kemudian menyambungkan pembuluh darah ginjal baru dengan pasien, baru kemudian dengan (saluran kencing) ureter. Berhasilnya pencangkokan ginjal baru ditandai dengan keluarnya air seni dari ginjal tersebut. Ginjal yang gagal biasanya tidak perlu diambil tapi bila menyebabkan infeksi maka ginjal tersebut perlu diangkat. Untuk operasi pengangkatan ginjal tersebut diperlukan waktu 2-3 jam. Operasi pencangkokan ginjal sendiri membutuhkan waktu 2-3 jam. Pencangkokan ginjal merupakan cara pengobatan gagal ginjal terbaik dimana satu ginjal sehat dapat menggantikan 2 ginjal sakit pada pasien gagal ginjal. Ginjal hasil pencangkokan dapat bertahan selama 40 tahun bila dirawat dengan baik. Satu orang penderita gagal ginjal dapat melakukan pencangkokan ginjal maksimal 4 kali. Batas umur penerima donor ginjal pada pencangkokan bagi adalah 70-80 tahun. Setelah pencangkokan ginjal, penerima donor harus minum obat yang biasa disebut anti tolak untuk jangka panjang. Obat ini berfungsi agar tubuh dapat menerima organ baru yang dicangkokkan. Kasus ini sedikit sulit untuk diputuskan atau memprihatinkan. Dibutuhkan pemikiran yang matang untuk menyelesaikan kasus Tn. H. Kasus ini harus diselesaikan secara visioner, maksudnya bahwa ajaran islam mengharuskan agar setiap manusia dapat melihat berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang, apakah ada dampak positif dan negatifnya apabila Tn. L atau Tn. M menyumbangkan satu ginjalnya untuk 11

Tn. H dan dampak bagi Tn. H. Serta apabila Tn. L atau Tn. M menyumbangkan satu ginjalnya, maka harus berdasarkan hati nurani dan tentunya atas persetujuan dari seluruh keluarga Tn. L atau Tn. M. Sebenarnya seseorang mampu hidup secara normal seperti biasanya walaupun hanya dengan satu ginjalnya. Pada awalnya dua ginjal bekerja tidak secara penuh, sehinga jika salah satu ginjal seseorang diambil dengan maksud untuk didonorkan, maka kehidupannya pun tak akan berpengaruh. Lagipula, ginjal yang diambil bukanlah ginjalnya yang sehat, namun ginjalnya yang sakit. Hal ini karena tim medis tak ingin setelah proses pencangkokan ginjal, sang pendonor jadi sakit, syok atau bermasalah dengan kesehatannya. Namun bagi sang pasien, setelah proses pencangkokan ginjal berhasil maka ia harus sering di monitori perkembangan kesehatannya dan harus sering check up ke dokter serta masih harus minum obat secara rutin. Semua dilakukan karena tubuh sang pasien telah menerima sesuatu yang baru dan beda serta asing, sehingga tubuh sang pasien dikhawatirkan akan mengeluarkan zat zat antibody yang akan menyerang benda asing tersebut. Oleh karena itulah, selama waktu kurang lebih 2 bulan sang pasien harus sering dimonitori agar tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya. Dilihat dari sudut simpati serta empati, sebaiknya para keluarga Tn. H terutama yang menjadi sorotan yaitu Tn. L dan Tn. M tidak hanya bersimpati dengan hanya menunjukkan rasa kasihan pada Tn. H melainkan juga harus memiliki sara empati dengan memberikan solusi berupa sumbangan salah satu ginjalnya atau dengan cara lain berupa pemberian dana kepada Tn. H untuk membeli ginjal orang lain. Dilihat dari sudut pandang HAM, Tn. H sangatlah memiliki hak untuk hidup, dengan rasa empati yang seharusnya ditampilkan oleh Tn. L serta Tn. M, maka harapan untuk hidup Tn. H pun akan semakin besar. Dengan begitu Tn. H mendapatkan haknya, namun sebelumnya ia harus memberikan kewajiban berupa rasa terima kasih yang diungkapkan dengan pemberian dana, paket untuk hidup seperti sandang, pangan atau papan dan lainnya. Sehingga ada check and balance di antara mereka. Hal lain berupa hak untuk menentukan

12

nasibnya sendiri yang diajukan oleh Tn. H, jadi Tn. H memiliki hak untu melakukan tindakan ingin meneruskan hidupnya dengan meminta ginjal adik atau kakaknya. Sedangkan jikalau ditinjau dari segi agama, maka transplantasi ginjal harus dilihat berdasarkan bagaimana kondisi sang pasien ataupun sang pendonor di masa yang akan datang (aspek visioner). Dalam hukum islam sendiri ada fatwa Nahdlatul Ulama yang mengatakan bahwa Transplantasi Organ itu diperbolehkan, disamakan dengan diperbolehkannya menambal dengan tulang manusia, asalkan memenuhi 4 syarat: a. Karena dibutuhkan dan terdesak. b. Tidak ditemukan selain dari anggota tubuh manusia. c. Keikhlasan sang pendonor untuk memberikan ginjalnya. d. Antara yang diambil dan yang menerima harus ada persamaan agama.

III.

Hemodialisa dan KarakteristiknyaHemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer. Karakteristik Hemodialisa :

Biaya mahal Di lakukan secara rutin, 2 - 4 kali dalam seminggu Sesak nafas Penurunan Hb Aktivitas penderita terbatas Anemia Demam, Reaksi anafilaksis yg berakibat fatal (anafilaksis), Tekanan darah rendah,

13

Gangguan irama jantung, Emboli udara, Perdarahan usus, otak, mata atau perut.

IV.

Dampak Positif dan Negatif Cangkok Ginjal1. Kakak Dampak Positif : -Biaya Lebih Murah -Resiko Penolakan Imun lebih kecik -Waktu Pencangkokan dapat dipercepat Dampak negatif : -Masih Mempunyai Tanggungan -Umur sudah Tua, fungsi organ tubuh menurun 2. Adik Dampak Positif : -Biaya Lebih Murah -Resiko Penolakan Imun lebih kecil -Waktu Pencangkokan dapat dipercepat -Kadaan Ginjal Lebih bagus Dampak Negatif : -Masih Banyak Tanggungan 3. Orang Lain Dampak Positif: -Praktis -Dampaknya tidak meluas Dampak Negatif: -Harganya mahal -Sulit mencari donor yang sesuai 14

-Resiko Penolakan imun besar -waktu pencangkokan susah untuk disegerakan

15

Bab III Penutup

3.1

KesimpulanEmpati dan Simpati sangat dibutuhkan dalam hubungan antar manusia terutama dalam hubungan keluarga agar tercipta keharmonisan di dalamnya Transplantasi ginjal diperbolehkan jikalau memang dalam keadaan terdesak, dibutuhkan dan sudah tidak ada cara lain selain melakukan hal tersebut. Karena jika hanya hemodialisa saja, kemungkinan tubuhnya untuk tetap bertahan pun akan semakin kecil.

3.2

Solusi Memberikan pemahaman dan pengarahan tentang empati kepada pasien dan keluarga Sebaiknya Tn. H melakukan cangkok ginjal dari keluarga terdekat. Jika keluarga tidak bersedia, sebaiknya keluarga bersamasama mengumpulkan dana untuk membeli ginjal dan melakukan cangkok ginjal dari orang lain. Solusi yang tepat pun menjadi pilihan dari kelompok kami, yaitu dengan transplantasi ginjal dari sang adik ataupun sang kaka yang penting ada keikhlasan dari sang pendonor. Hal ini kami pilih karena ditinjau dari factor ekonomi dan kesehatan sang pasien juga jikalau dia harus cuci darah 2 3 kali dalam seminggu yang memakan biaya yang sangat besar.

16

3.3

SaranKami sebagai penulis menyarankan bagi para pembaca untuk menelaah lebih dalam lagi jikalau ingin melakukan tindakan. Serta memikirkan aspek aspek apa saja yang nantinya akan terjadi dan bagaimana cara penanganannya, agar sesuatu yang didapat bukan hanya menguntungkan satu pihak saja tetapi pihak lain yang tidak ikut terjun langsung pun dapat merasakan kenikmatan dan ketenangan terhadap apa yang kita lakukan. Sehingga nantinya kita sebagai Tenaga Medis atau yang lainnya bisa menjadi seseorang yang dapat dikagumi oleh orang lain.

17

Daftar Pustaka

www.wikipedia.com

Abdul, Dr. Ebrahim. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta : Serambi

18

PEMICU 2Satu kamar,ramerame

19

BAB I Pendahuluan

1.1

Latar Belakang Seorang dokter kebidanan terkenal di Jakarta, mempunyai pasien ratarata 150 per hari. Beliau praktek dari jam 19.00 s.d 02.00 WIB di suatu rumah sakit swasta tekenal, 3 kali dalam seminggu. Karena pasiennya yang banyak, sedangkan jam praktek yang singkat, Dr. N melakukan pemeriksaaan sekaligus untuk 5 orang ibu hamil dalam satu ruangan yang berisi 5 tempat tidur sekaligus. Perawat yang membantu dokter tersebut meminta kepada pasien yang ada di ruangan untuk membuka sebagian baju untuk dilakukan pemeriksaan. Di dalam ruangan tersebut tidak ada pemisah antara setiap pasien.

1.2

Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dosen serta untuk memahami lebih lanjut tentang masalah yang telah diberikan kepada kami yang berhubungan langsung dengan materi kuliah Empati serta Etika moral pada modul Etika dan Empati. Serta untuk lebih mengembangkan ilmu dasar tentang empati dan dapat mengapresiasikan dalam kasus tersebut sehingga didapatkan solusi yang terbaik yang harus dilakukan oleh sang pasien. Tak hanya itu, penulisan makalah ini pun bermaksud agar kelak ketika kami calon tenaga medis terjun langsung ke lapangan dan menghadapi kasus serupa atau lebih dari apa yang kami dapatkan saat ini, maka kami sudah sedikit terlatih untuk memecahkannya dan memeberikan solusi yang terbaik. Sehingga terciptalah rasa naluri empati yang tinggi yang memang seharusnya dimiliki oleh para tenaga medis yang membuat kami sebagai tenaga medis menjadi orang orang yang dapat dihargai dan dihormati di tengah tengah masyarakat. Penulisan ini pun bertujuan untuk memberikan sedikit informasi terbaru sekaligus tukar pikiran (sharing) aplikasi teori yang telah diberikan

20

oleh dosen kami sebagai pengajar dan pembimbing kepada teman teman sekelas kami. Sehingga dengan begitu, mereka pun dapat memahami lebih dalam tentang teori yang telah diberikan dan di kemudian hari, mereka serta kami dapat mengapresiasikannya dalam kehidupan, yang nantinya akan mereka tularkan pula kepada sanak famili dan anak cucu mereka. 1.3 Manfaat Penulisan Penulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang sikap yang harus dilakukan ketika kita nantinya jikalau telah menjadi tenaga medis kepada pasien atau mungkin orang orang yang kita hadapi yangpada saat itu dalam keadaan terpuruk dan membutuhkan bantuan segera daru diri kita. Sehingga kita dapat bersikap sesuai dengan apa yang telah dipelajari dalam modul ini, tak hanya mantap dalam teori tapi mampu pula dalam hal tindakan langsung di lapangan.

1.2

Definisi masalah Dokter atau tenaga kesehatan memeriksa pasien berjumlah 5 orang dalam 1 ruangan tanpa sekat.

1.4

Hipotesis Dokter tersebut tidak professional dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter.

1.5

Identifikasi masalah 1.Apakah profesionalisme sebagai seorang dokter itu? 2. Apa hak dan kewajiban seorang dokter? 3. Apa hak dan kewajiban seorang pasien? 4. Apakah dokter tersebut berempati kepada pasiennya? 5. Bagaimana etika dasar moral yang terdapat dalam kasus tersebut? 6. Bagaimana solusinya?

21

BAB II Pembahasan

2.1

Profesionalisme seorang dokterProfesionalisme sering disebut dalam berbagai kaitan. Satu pendapat menyatakan profesionalisme yaitu suatu status, cara, karakteristik, standar yang terkait dengan suatu profesi. Pendapat lain menyatakan profesionalisme sebagai ajektif yang memiliki arti kualifikasi. Namun bila ditilik dari asal katanya, profesional berasal dari kata profession dari bahasa Latin yang berarti a public declaration with the force of a promise, atau bila diartikan dalam bahasa Indonesia adalah sebuah deklarasi umum dengan kekuatan sebuah janji. Ciri- ciri seorang profesional adalah: 1. Mempunyai kompetensi dalam bidang pengetahuan dan keterampilan tertentu. 2. Mempunyai tugas dan tanggung jawab tertentu baik terhadap individu dan masyarakat. 3. The right to train, admit, discipline and dismiss its members for failure to sustain competences or observe the duties and responsibilities. Sebagai seorang dokter yang professional, maka harus: 1. Fiducity/ trust/ confident 2. Berdasarkan etik. Berdasarkan The American Board of Internal Medicine (1995), profesionalisme sebagai seorang dokter haruslah diajarkan dan dibentuk oleh seorang dosen atau tutor dan telah menjadi bagian dari sikap, perilaku dan keahlian dokter dalam menangani pasiennya yaitu: 1. Altruism: Seorang dokter wajib mendahulukan kebutuhan/urusan klien daripada urusannya sendiri, serta senantiasa memberi yang terbaik.

22

2. Accountability : Dokter bertanggung jawab kepada pasien, kepada masyarakat di kesehatan masyarakat dan pada profesi mereka. 3. Excellence : seorang dokter wajib berkomitmen pada pembelajaran jangka panjang. 4. Duty : seorang dokter harus bersedia dan cepat tanggap bila dipanggil untuk melakukan pelayanan atau tindakan medis yang diperlukan. 5. Honor and integrity : Seorang dokter wajib berkomitmen untuk jujur, berterus terang dan adil dalam interaksinya dengan pasien dan profesi mereka. 6. Respect to others : seorang dokter harus menunjukkan rasa hormat (respect) pada pasien dan keluarganya, anggota timya dan dokter lain, mahasiswa kedokteran, residentnya dan pemagangnya. Menurut aspek profesionalisme di atas, dokter itu tidaklah profesional, karena tidak memperhatikan hak-hak pasien dan melanggar etika dasar moral.

2.2

Hak dan kewajiban dokterHak-hak seorang dokter : 1. Hak bekerja menurut standar profesi medik 2. Hak menolak melaksanakan tindak medik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional 3. Hak menolak suatu tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak baik 4. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien, kecuali dalam keadaan gawat darurat 5. Hak atas privacy dokter 6. Hak atas jasa atau honorarium 7. Hak atas itikad baik dari pasien.

23

Kewajiban- kewajiban dokter : 1. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi medik 2. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien 3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial dari pemeliharaan kesehatan

2.3

Hak dan kewajiban pasienHak- hak seorang pasien: 1. Hak memilih dokter dan rumah sakit 2. Hak memperoleh informasi medis dan persetujuan 3. Hak menolak pengobatan 4. Hak atas rahasia dirinya 5. Hak untuk memutuskan hubungan antara dokter dan pasien 6. Hak menerima ganti rugi 7. Hak atas bantuan yuridis Kewajiban-kewajiban seorang pasien: 1. Kewajiban memberi informasi yang sebenarnya kepada dokter 2. Kewajiban mematuhi nasihat dokter yang mengobati 3. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang mengobatinya 4. Kewajiban untuk memberikan imbalan atau honorarium yang pantas 5. Kewajiban pasien untuk menaati peraturan rumah sakit dan melunasi biaya rumah sakit Berdasarkan penjelasan di atas, dokter telah melanggar hak pasien, diantaranya adalah hak atas kerahasiaan dirinya dan hak untuk mendapat pelayanan medis yang sesuai standar.

2.4

Empati dokter2.4.1 Pengertian empati Keadaan jiwa yang merasa iba melihat penderitaan orang lain dan

24

terdorong

dengan

kemampuan

sendiri

untuk

menolongnya

tanpa

mempersoalkan persoalan perbedaan latar belakang agama, budaya, bahasa, bangsa, etnik, dan lain sebagainya (Abuddin Nata). Suatu kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan,pikiran,dan keinginan orang lain,tanpa mempengaruhi obyektivitas dalam menilai orang tersebut atau kemampuan menempatkan diri ke dalam diri orang lain untuk memahami pandangan dan perasaan orang tersebut,sesuai dengan latar belakang pendidikan,sosial,budaya,agama,ekonomi,etnik,dan lain-lain. 2.4.2 Empati dokter dalam kasus ini Pada kasus ini, dokter tidak berempati kepada pasiennya, karena dokter menyatukan 5 orang pasien dalam satu ruang periksa tanpa sekat. Bila dokter berempati terhadap pasiennya, beliau pasti memahami bagaimana tidak nyamannya menceritakan hal-hal yang pribadi dalam kamar periksa bersama 4 orang lain yang mungkin bisa mendengar keluhannya mengenai hal-hal yang sangat pribadi, apalagi bila diminta membuka baju untuk pemeriksaan lebih lanjut.

2.5

Etika dasar moralEtika dasar moral ada 4, yaitu: a. Menghormati martabat manusia (respect for

person/autonomy). Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan. b. Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian berbuat baik diartikan bersikap ramah atau menolong, serta melakukan yang terbaik, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban. 25

c. Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. d. Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa dokter telah melanggar etika dasar moral, karena bila dokter menempatkan 5 pasien dalam satu kamar tanpa sekat, maka pasien akan malu atau keberatan dalam mengungkapkan keluhannya, bila keluhan-keluhan yang seharusnya dibicarakan itu dipendam, maka hal yang mungkin terjadi adalah kesalah diagnosis akibat kurangnya informsi dari pasien. Kesalahan diagnosis ini tentu tidak sesuai dengan prinsip etika dasar moral benefiecence dan non maleficience.

26

BAB III Penutup

3.1Kesimpulan1. Dokter/tenaga kesehatan tidak profesional, karena tidak memperhatikan hak-hak pasien dan melanggar etika dasar moral. 2. Dokter/tenaga kesehatan telah melanggar hak pasien, diantaranya adalah hak atas kerahasiaan dirinya dan hak untuk mendapat pelayanan medis yang sesuai standar. 3. Dokter/tenaga kesehatan tidak berempati kepada pasiennya, karena menyatukan 5 orang pasien dalam satu ruang periksa tanpa sekat. 4. Dokter/tenaga kesehatan telah melanggar etika dasar moral, karena dengan menempatkan 5 pasien dalam satu kamar tanpa sekat akan membuat pasien malu menceritakan riwayat kesehatannya, sehingga dokter/tenaga kesehatan tidak mendapatkan informasi yang seharusnya ia ketahui, dan hal ini memungkinkan kesalahan diagnosis. Kesalahan diagnosis ini tentu tidak sesuai dengan prinsip etika dasar moral benefiecence dan non maleficience.

3.2

Solusi1. Memperbaiki fasilitas (infrastruktur) untuk kegiatan pelayanan

kesehatan seperti membuat sekat antar tempat tidur. 2. Menambah tenaga kesehatan yang profesional. 3. Membatasi jumlah pasien. 4. Membuat komitmen/ janji periksa dengan pasien.

27

Daftar Pustaka

www.yusufalamromadhon.blogspot.com diakses pada tanggal 6 Januari 2009 Tim Penyusun. Modul Etika dan Empati. 2008. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Pendidikan Kedokteran. 2004. Jakarta : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

28

PEMICU 3Aku tidak mau transfusi

29

BAB I Pendahuluan

1.1

Latar Belakang Tn. JW adalah seorang pasien yang mengalami anemia karena pendarahan dari anus. Dokter mendiagnosis sebagai Hemoraid Interna. Tn. JW dibawa ke rumah sakit oleh keluarganya, karena tampak lemah dan pucat setelah keluar darah dari anus dan tidak berhenti. Sejak satu bulan terakhir ini Tn. JW mengalami sering mengalami pendarahan setelah buang air besar yang berwarna merah segar dan biasanya langsung berhenti. Pendarahan ini sering terjadi apabila buang air besar. Dan yang terakhir adalah tiga hari sebelum masuk ke rumah sakit, pendarahan yang keluar dari anus sanngat banyak dan tidak berhenti. Pada pemeriksaan darah, didapatkan kadar Hb 5 g/dl (normal laki-laki = 12 g/dl). Dokter menyarankan Tn, JW untuk dilakukan transfusi darah agar fungsi tubuh dapa mendekati normal dan Tn. JW tidak lemas lagi, sebelum dilakukan tindakan operasi. Tn. JW dengan tegas menolak untuk dilakukan transfusi darah karena tidak sesuai dengan keyakinan (kepercayaannya). Dan apabila nanti dia meninggal, sudah memang jalan hidupnya.

1.2

Tujuan penulisan Agar dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran mahasiswa. Agar mahasiswa dapat menjunjung tinggi profesionalisme, moral dan etika dalam melaksanakan praktik kedokteran nantinya. Agar mahasiswa dapat menunjukkan perilaku ilmiah, berwawasan luas, peka terhadap perasaan dan pemikiran orang lain. Agar mahasiswa mampu bertindak serasi dengan budaya masyarakat dan tidak merugikan masyarakat itu sendiri

30

1.3

Manfaat penulisan Mahasiswa mampu menunjukkan sikap budi pekerti luhur, antara lain sopan santun, menghargai orang lain sebagai sesama manusia, menunjukkan sikap kepedulian / empati sesuai dengan budaya dan kondisi yang dihadapi. Mahasiswa bisa menghargai pendapat orang lain.

1.4

Definisi masalah Tn. JW tidak mau di tranfusi walaupun Hbnya rendah (5gr/dl) karena tidak sesuai dengan kepercayaannya.

1.5

Hipotesis Tuan JW perlu diberikan transfusi darah agar Hbnya naik menjadi normal (12gr/dl).

1.6

Identifikasi masalah 1. Apa tujuan transfusi darah? 2. Apa syarat untuk menjadi seorang pendonor? 3. Apa hubungannya kasus ini dengan HAM? 4. Bagaimana kasus ini jika dikaitkan dengan norma autonomy, justice, beneficence, dan nonmaleficence? 5. Sebagai seorang yang professional, tindakan apa yang harus dilakukan oleh dokter? 6. Apa solusi yang dapat diberikan yang sesuai dengan etika dasar moral?

31

Bab II Pembahasan

I.

Tujuan Transfusi DarahMeningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen Memperbaiki volume darah tubuh Memperbaiki kekebalan Memperbaiki masalah pembekuan.

II.

Syarat Menjadi Pendonor DarahUntuk menjadi seorang pendonor darah terdapat berbagai sayarat atau kriteria, antara lain : Umur 17 - 60 tahun Berat badan minimum 45 kg Temperatur tubuh : 36,6 - 37,5o C (oral) Tekanan darah baik ,yaitu: Sistole = 110 - 160 mm Hg Diastole = 70 - 100 mm Hg Denyut nadi; Teratur 50 - 100 kali/ menit Hemoglobin Wanita minimal = 12 gr % Pria minimal = 12,5 gr % Jumlah penyumbangan pertahun paling banyak 5 kali, dengan jarak penyumbangan sekurang-kurangnya 3 bulan. Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum donor.

32

III.

Kasus Dihubungkan dengan Hak Asasi ManusiaBicara tentang HAM, tidak hanya hak asasi saja yang dilihat, namun juga kewajiban asasi. Pada kasus ini, dokter berkewajiban untuk menyelamatkan jiwa si pasien, melakukan pengobatan terhadap pasien, dan yang paling penting adalah menghormati dan menghargai hak pasien. Disini pasien dengan tegas menolak dilakukannya transfuse darah, dan kalaupun dia mati, maka itu memang sudah menjadi takdirnya. Yang intinya disini si pasien pasrah terhadap nasibnya. Walaupun sebenarnya pasien mempunyai hak untuk tetap hidup dan mendapatkan pengobatan dari dokter. Dan di atur dalam the right of self determination, bahwa pasien berhak atas tubuhnya sendiri , hak menolak pengobatan / perawatan / tindakan medis tertentu. Jadi, pada kasus ini dokter tidak bias melakukan transfuse darah tanpa persetujuan dari pihak pasien itu sendiri.

IV.

Kasus Dihubungkan dengan Prinsip Autonomy, Beneficence, Nonmaleficence, dan Justice.A. Autonomy Prinsip dari autonomy itu sendiri adalah menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Jika dikaitkan dengan kasus ini yang dimana Tn. Jw tidak mau melakukan transfuse darah sengan alasan tidak sesuai dengan keyakinannya, maka itu adalah keputusan Tn. Jw yang harus dihargai oleh pihak dokter. Pada prinsip ini, Tn. Jw free action ( bebas bertindak ), apakah dia mau dilakukan transfuse darah atau tidak . hal itu mutlak menjadi hak Tn. Jw , karena tidak bertentangan dengan undang undang seperti euthanasia. Yang jelas disini dokter harus melakukan informed consent terlebih dahulu, siapa tahu Tn. Jw bias berubah fikiran. B. Justice Maksud dari prinsip ini adalah adil terhadap seseorang/ kelompok, baik berupa jasa atau apapun . perlakuan adil harus didasarkan pada : 33

kebutuhan, persamaan , kegunaan kebebasan dan ganti rugi. Pada kasus ini, dokter telah berlaku adil kepada Tn. Jw , sesuai dengan kebutuhan Tn. Jw saat itu, yaitu transfuse darah. Berdasarkan prinsip ini, harus ada prosedurnya, yaitu harus diketahui orang. Jadi harus ada saksi atau bukti berupa pernyataan Tn. Jw yang tidak mau dilakukan transfuse darah terhadap dirinya. C. Beneficence Prinsip ini adalah menganggap penting menolong orang lain yang bertujuan baik. Kewajiban yang berakar pada prinsip ini: 1. melindungi dan mempertahankan hak pasien. 2. mencegah bahaya yang terjadi pada orang lain. 3. menyingkirkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain. 4. menolong orang yang tidak mampu 5. menyelamatkan orang yang dalam bahaya. Jika dikaitkan dengan kaus ini, disini dokter telah melindungi dan mempertahankan hak Tn. Jw untuk tidak dilakukan transfuse darah terhadap dirinya, dibuktikan dengan dokter yang tidak melakukan pemaksaan terhadap Tn. Jw . D. Nonmaleficence Dasar dari prinsip ini adalah kewajiban untuk tidak dengan sengaja melakukan tindakan yang membahayakan. Kewajiban yang berakar ada prinsip ini: 1. Tidak boleh membunuh 2. Tidak menimbulkan sakit dan penderitaan. 3. Tidak membuat orang lain tidak berdaya. 4. Tidak ikut campur urusan orang lain. 5. Tidak boleh menghambat hal-hal yang baik pada hidup orang lain. Pada kasus ini dokter telah melakukan prinsip nonmaleficence karena tidak melakukan tindakan operasi sebelum kadar hemoglobin Tn. Jw kembali normal, karena malah akan membahayakan dan memperparah keadaan Tn. Jw.

34

Bab III Penutup

3.1

KesimpulanDari uraian pada bab diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Tn. Jw berhak penuh terhadap dirinya, dia berhak menolak perawatan dari tim dokter untuk melakukan transfuse darah. Namun sebelumnya, dokter harus memberikan informed consent atau keterangan kepada Tn. Jw terlebih dahulu agar siapa tahu Tn. Jw bisa berubah fikiran. Namun jika Tn. Jw tetap pada keyakinannya untuk tidak melakukan transfuse darah, maka harus ada bukti pernyataan resmi dari Tn. Jw bahwa dirinya tidak mau dilakukan transfuse darah, agar dari pihak dokter tidak mendapat tuntutan jika nanti kedepannya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi dokter harus tetap menghargai dan menghormati keputusan Tn. Jw tersebut.

3.2

SolusiBerdasarkan penjelasan di atas, sikap yang seharusnya dokter lakukan adalah inform concent yaitu memberikan penjelasan pada pasien tentang kondisinya dan akibat dari tindakan, agar dokter tidak melanggar non maleficience. Apabila pasien masih bersikeras untuk menolak ditransfusi, maka ada 2 pilihan solusi: 1. Melanggar etika dasar yaitu autonomy, karena autonomy bisa dilanggar dengan 3 alasan yaitu: keadaan darurat terjadi pada anak-anak kondisi pasien pikun atau gila 2. Menghormati hak otonomi pasien, tetapi agar dokter tidak terjerat hukum karena tidak melakukan hal yang diwajibkan, maka pasien harus 35

membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa dokter tidak melakukan transfusi karena dia menolak sebab dianggap tidak sesuai dengan kepercayaannya. Hak dan kewajiban secara etika maupun hukum dalam dunia medis menjadi bahan pertimbangan dalam pencapaian kemaslahatan Sebagai seorang dokter yang professional, harus bias menyikapi hal ini dengan bijaksana. Walaupun sudah menjadi kewajibannya untuk menolong Tn. Jw, namun adalah hak Tn. Jw untuk menolak perawatan dari dokter karena tidak sesuai dengan kepercayaannya. Disini dokter bias menjelaskan bagaimana transfuse darah itu sendiri dan pentingnya dilakukan pada dirinya agar bias dilakukan operasi. Namun jika Tn. Jw teap tidak berubah fikiran, maka lebih baik Tn. Jw diberikan obat yang dapat merangsang pembentukan sel darah merah, agar kadar hemoglobinnya bias normal kembali dan bias dilakukan tindakan operasi, itupun jika Tn. Jw mengizinkannya.

36

Daftar Pustaka

www.wikipedia.com

Abdul, Dr. Ebrahim. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta : Serambi

37

PEMICU 4Saya sarankan, Suami Ibu yang KB!

38

BAB I Pendahuluan

1.1

Latar Belakang Sepasang suami istri datang ke Klinik Kandungan di Jakarta. Ny. L datang ke klinik dengan keluhan pusing, badan lemas, dan pendarahan haid yang lebih dari 2 minggu. Ny. L mengatakan bahwa sebelum menggunakan pil KB, dia tidak pernah mengeluh seperti ini. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh petugas kesehatan, didapatkan tekanan darah yang tinggi (170/100 mmHg). Menurut petugas kesehatan tersebut, karena adanya hipertensi maka Ny. L tidak dianjurkan untuk mengunakan alat kontrasepsi yang mengandung hormon. Petugas kesehatan mengatakan, Saya menyarankan agar Suami Ibu saja yang KB,.....

1.2

Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dosen serta untuk memahami lebih lanjut tentang masalah yang telah diberikan kepada kami yang berhubungan langsung dengan materi kuliah Empati serta Etika moral pada modul Etika dan Empati. Serta untuk lebih mengembangkan ilmu dasar tentang empati dan dapat mengapresiasikan dalam kasus tersebut sehingga didapatkan solusi yang terbaik yang harus dilakukan oleh sang pasien. Tak hanya itu, penulisan makalah ini pun bermaksud agar kelak ketika kami calon tenaga medis terjun langsung ke lapangan dan menghadapi kasus serupa atau lebih dari apa yang kami dapatkan saat ini, maka kami sudah sedikit terlatih untuk memecahkannya dan memeberikan solusi yang terbaik. Sehingga terciptalah rasa naluri empati yang tinggi yang memang seharusnya dimiliki oleh para tenaga medis yang membuat kami sebagai tenaga medis menjadi orang orang yang dapat dihargai dan dihormati di tengah tengah masyarakat.

39

Penulisan ini pun bertujuan untuk memberikan sedikit informasi terbaru sekaligus tukar pikiran (sharing) aplikasi teori yang telah diberikan oleh dosen kami sebagai pengajar dan pembimbing kepada teman teman sekelas kami. Sehingga dengan begitu, mereka pun dapat memahami lebih dalam tentang teori yang telah diberikan dan di kemudian hari, mereka serta kami dapat mengapresiasikannya dalam kehidupan, yang nantinya akan mereka tularkan pula kepada sanak famili dan anak cucu mereka.

1.3

Manfaat Penulisan Penulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita tentang sikap yang harus dilakukan ketika kita nantinya jikalau telah menjadi tenaga medis kepada pasien atau mungkin orang orang yang kita hadapi yangpada saat itu dalam keadaan terpuruk dan membutuhkan bantuan segera daru diri kita. Sehingga kita dapat bersikap sesuai dengan apa yang telah dipelajari dalam modul ini, tak hanya mantap dalam teori tapi mampu pula dalam hal tindakan langsung di lapangan..

1.4

Hipotesis Keputusan yang diambil oleh tenaga kesehatan untuk menyarankan pemakaian pil KB pada suami pasien, tidak berdasarkan prinsip-prinsip etika

1.5

Identifikasi masalah 1. Bagaimana kasus ini jika dilihat dari segi prinsip Autonomy, beneficence, Nonmaleficence, dan Justice ? 2. Apa sajakah alat-alat kontrasepsi baik homonal amaupun non hormonal?

40

Bab II Pembahasan

I.

Kasus dihubungkan dengan Prinsip Autonomy, Beneficence, Nonmaleficence, dan Justice A. Autonomy

Si Ibu dapat menentukan untuk tidak menggunakan pil KB karena jika si Ibu menggunakannya maka dirinya akan merasakan keluhan seperti pusing, badan lemas, dan pendarahan, yang merupakan kondisinya ketika datang ke klinik setelah mengkonsumsi pil KB. Tak hanya sang ibu saja yang memiliki hak autonomy, para tenaga medis juga memilikinya yang berupa saran kepada sang ibu agar suaminya yang menggunakan pil KB. Suamipun memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dengan langkah menggunakan atau tidak menggunakan alat KB.

B.

Beneficence

Hal lain yang menjadi kata kunci adalah prinsip beneficence, yaitu dengan adanya solusi yang diberikan oleh tenaga medis kepada si ibu dengan cara menyarankan agar suaminya saja yang KB. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah bahaya yang kemungkinan akan terjadi bila si ibu tetap mengkonsumsi pil KB. Tindakan tenaga medis ini juga bertujuan mencari jalan yang terbaik untuk menyelamatkan si Ibu.

C.

Nonmaleficence

Prinsip ini terlihat dari tindakan tenaga medis yang ingin menghindari hal-hal berbahaya yang kiranya akan terjadi kembali bahkan lebih parah pada si ibu.

41

D.

JusticeDari segi ini bahwa penggunaan pil KB harus sesuai dengan

kebutuhan. Apakah pada saat itu si Ibu membutuhkan pil KB tersebut atau tidak? Sehingga ada keadilan atau rasa adil yang diberikan tenaga kesehatan atau dokter kepada si ibu. Jika tenaga medis menyarankan kepada si Ibu agar suaminya saja yang KB maka mereka harus mampu bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi pada suaminya. Disinilah prinsip justice akan terasa diterapkan atau tidak.

II.

Jenis Jenis alat KontrasepsiA. Bersifat hormonal : Suntik Pil Implan

B. Bersifat Non Hormonal : IUD Tubektomi Vasektomi Kondom

42

Bab III Penutup

3.1

Kesimpulan Tindakan yang diberikan dokter kepada pasien yang bersangkutan kurang memperhatikan prinsip-prinsip etika, diantaranya : autonomy, justice, beneficience, dan nonmaleficience.

3.2

Solusi Masalah Pada Kasus ini / Saran Menggunakan Alternatif terbaik setelah ada konfirmasi dengan pasien. Memberikan Informed Consent kepada pasien, sehingga secara seksama bisa diputuskan apakah hal yang terbaik. Penggunaan alat kontrasepsi non hormonal ataupun hormonal pada suami pasien, merupakan salah satu alternatif yang diperbincangkan terlebih dahulu.

43

Daftar Pustaka

www.wikipedia.com

44

PEMICU 5

45

Let Me diePendahuluan1.1 Latar Belakang

BAB I

Siang itu, Tn.L menghadap dokter jaga diruang ICU suatu Rumah Sakit pemerintah di Jakarta, dan mengatakan bahwa Tn.L ingin agar semua peralatan yang dipasang pada istinya dicabut. Biarkan istri saya meninggal. Sudah 5 bulan Ny.Y terbaring di ruang ICU tanpa ada prubahan sama sekali. Kata Tn..L, Saya sudah tidak sanggup lagi..Dana sudah tidak ada, saya sudah tidak bekerja lagi karena harus mengurusi istri di Rumah Sakit. Anak-anak dititipkan ke saudara. 1.2 Definisi masalah Tn.L. menginginkan agar perawatan yang dipasang pada istrinya (Ny.Y) dicabut, karena dana yang tersedia sudah tidak ada dan dia sudah tidak bekerja lagi 1.4 Hipotesis Dokter tidak mengabulkan permintaan Tn. L untuk melakukan Euthanasia. 1.5 Identifikasi masalah 1. Bagaimanakah termminologi dan klasifikasi dari Eutanasia? 2. Bagaimanakah sejarah Eutanasia? 3. Euthanasia menurut hukum di beberapa negara? 4. Bagaimanakah Eutanasia menurut ajaran agama Islam? 5. Bagaimanakah kasus Eutanasia jika dihubungkan dengan etika dasar moral? 6. Adakah contoh kasus Eutanasia yang serupa dengan kasus Tn.L dan Ny. Y?

46

7. Hubungannya dengan informed consent?

47

Bab II Pembahasan

I. Terminologi1.1 Euthanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif.

Euthanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.

Euthanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.

Euthanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif dimana tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat 48

penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis. 1.2 Euthanasia ditinjau dari sudut pemberian izin Ditinjau dari sudut pemberian izin maka euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

Euthanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

Euthanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

Euthanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

1.3 Euthanasia ditinjau dari sudut tujuan Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :

49

Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) Eutanasia hewan Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela

II. Sejarah euthanasia2.1 Asal-usul kata euthanasia Euthanasia (Bahasa Yunani: -, eu yang artinya "baik", dan , thanatos yang berarti kematian) adalah merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya. 2.2 Praktek-praktek euthanasia zaman dahulu kala Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat.

Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orangorang tua ke dalam sungai Gangga.

Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.

Uruguay mencantumkan kebebasan praktek Euthanasia dalam undangundang yang telah berlaku sejak tahun 1933.

Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan

50

khusus.

Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.

Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

III.Euthanasia Menurut Hukum di beberapa Negara 3.1 Belanda Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

51

Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum. 3.2 Indonesia Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP. 3.3 Inggris Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan

52

semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran. Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.

IV.Euthanasia Menurut Ajaran Agama IslamSeperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan

53

dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga . Pandangan Syariah Islam Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Eutanasia positif/Aktif Yang dimaksud tafsir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya. Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

54

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS AlAnaam : 151) Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92) Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29). Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (QS Al-Baqarah : 178) Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (QS Al-Baqarah : 178) Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat AnNasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).

55

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan Muslim). Eutanasia Negatif/Pasif Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabatsahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).

V.

Eutanasia dihubungkan dengan Etika Dasar MoralSebagai perbuatan moral, eutanasia aktif langsung tidak pernah dapat

56

dibenarkan karena sama dengan pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan dan dengan demikian sama dengan merampas hak untuk hidup. Dalam pada itu, eutanasia aktif tidak langsung masih dapat dibenarkan. Sedangkan yang pasif diperbolehkan dengan syarat : 1. Dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. 2. Harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. 3. Dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis.

VI.

Beberapa Kasus Euthanasia yang Serupa dengan Kasus Tn. L6.1 Kasus Hasan Kusuma - Indonesia Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya. [34] 6.2 Kasus Terri Schiavo Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun

57

1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya. Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-uupaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undangundang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

VII. Adanya Informed ConsentNy. Y maupun Tn L beserta sanak keluarga memiliki hak untuk mendapatkan penjelasan dari dokter mengenai tindakan medik yang akan dilakukan selanjutnya untuk kemudian dijadikan sebuah pertimbangan dari 58

apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya untuk Ny. Y dengan persetujuan semua pihak.

59

Bab III Penutup

3.1

Kesimpulan Dokter yang dimintai pasien bernama Tn L untuk mencabut segala tindakan medis dan obat dari Ny. Y sang istri- dengan dalih permasalahan ekonomi dan melakukannya bisa dikatakan benar jika, optimalisasi jalan keluar lain telah maksimal, adanya Informed Consent, Etika Dasar Moral telah diberlakukan, syarat prasarana telah memenuhi, namun tidak memberikan pilihan lain selain euthanasia pasif.

3.2

Solusi Etika dasar moral, informed consent, dan maksimalisasi jalan keluar lain. Eutanasia pasif, empati dan dukungan moril untuk pasien maupun keluarga dari berbagai pihak. Pemerintah memperbaiki status ekonomi.

60

Daftar Pustaka

www.wikipedia.com/eutanasia www.multiply.com/mengatasi masalah dengan syariah Abdul, Dr. Ebrahim. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta : Serambi

61