Prospek an Sayuran Organik

18
1 PROSPEK PENGEMBANGAN SAYURAN ORGANIK DI INDONESIA 1 Witono Adiyoga Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung - 40391 Pendahuluan Pengembangan sistem agribisnis sebagai strategi utama pembangunan pertanian perlu pula didukung oleh komitmen yang tinggi untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Dalam konteks ini, pertanian berkelanjutan berperan sebagai suatu paradigma yang digunakan untuk acuan dalam perencanaan atau pengambilan keputusan. Elemen-elemen esensial dalam pertanian berkelanjutan diantaranya adalah: (a) perlindungan terhadap sistem ekologis, (b) pemerataan atau keadilan antar generasi, dan (c) efisiensi penggunaan sumberdaya (Dunlap et al., 1992; Bosshard, 2000). Ketiga elemen tersebut merupakan isu-isu terpisah yang tidak dapat dikombinasikan secara sederhana dan masih menjadi bahan diskusi hangat, terutama menyangkut indikator-indikator pengukur- annya (Andreoli and Tellarini, 2000; Steiner, et al., 2000, Lefroy, et al., 2000; Sands and Podmore, 2000). Terlepas dari tantangan kesulitan pengukuran tersebut, tampaknya sudah menjadi kesepakatan umum bahwa setiap elemen keberlanjutan di atas tetap harus diper- timbangkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan kebijakan pembangun- an pertanian (Pannell and Schilizzi, 1999; Clemetsen and Laar, 2000; Kniper, 2000). Produksi intensif dan permintaan sayuran sepanjang tahun, selain dihadapkan pada masalah konversi lahan produktif yang berjalan cepat (akibat kebutuhan non-pertanian yang secara sosio-ekonomis dianggap lebih mendesak, misalnya perumahan dan industri), juga menghadapi masalah-masalah lain meliputi polusi air tanah (akibat penggunaan material kimiawi berlebih dan tidak tertatanya sistem drainase), penurunan produktivitas lahan (akibat pengelolaan lahan yang cenderung eksploitatif, tanpa memperhatikan upaya reklamasi), tingginya tingkat residu (akibat penggunaan pestisida kimiawi yang cenderung berlebih), rendahnya kualitas produk dan tingginya kehilangan hasil lepas panen (akibat kurang diperhatikannya proses penanganan produk dan serangan/eksplosi hama penyakit sebagai konsekuensi terganggunya keseimbangan ekologis) (Jansen et al., 1994). Berbagai masalah tersebut pada dasarnya merupakan indikasi bahwa sistem usahatani sayuran diduga semakin menjauhi alur model pengembangan berkelanjutan. Dalam konteks ini, pengembangan pertanian/sayuran organik dapat ditawarkan sebagai salah satu bentuk sistem produksi yang sejalan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Pertanian/Usahatani Organik Pertanian organik pada awalnya dikembangkan dari filosofi seorang antropolog Jerman (Rudolf Steiner-1913) yang secara teoritis mempertimbang-kan manusia sebagai salah satu bagian dari keseimbangan kosmik dan berkewajiban untuk memahami cara hidup harmonis dengan lingkungannya. Teori ini kemudian diaplikasikan di bidang pertanian oleh H. Pfeiffer pada awal tahun 1920’an dan melahirkan biodynamic agriculture yang selanjutnya berkembang di Eropa sebagai organic agriculture (Viandes, 1999). 1 Makalah materi pelatihan “Teknik budidaya sayuran organik bagi petani”. 10 April 2008, di Kelompok Tani Nabila, Tarogong, Garut. Kerjasama Balitsa - Amarta untuk Program Pelatihan Penanganan Segar Sayuran dan Buah.

Transcript of Prospek an Sayuran Organik

Page 1: Prospek an Sayuran Organik

1

PROSPEK PENGEMBANGAN SAYURAN ORGANIK DI INDONESIA1

Witono Adiyoga

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung - 40391 Pendahuluan

Pengembangan sistem agribisnis sebagai strategi utama pembangunan pertanian perlu pula didukung oleh komitmen yang tinggi untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Dalam konteks ini, pertanian berkelanjutan berperan sebagai suatu paradigma yang digunakan untuk acuan dalam perencanaan atau pengambilan keputusan. Elemen-elemen esensial dalam pertanian berkelanjutan diantaranya adalah: (a) perlindungan terhadap sistem ekologis, (b) pemerataan atau keadilan antar generasi, dan (c) efisiensi penggunaan sumberdaya (Dunlap et al., 1992; Bosshard, 2000). Ketiga elemen tersebut merupakan isu-isu terpisah yang tidak dapat dikombinasikan secara sederhana dan masih menjadi bahan diskusi hangat, terutama menyangkut indikator-indikator pengukur-annya (Andreoli and Tellarini, 2000; Steiner, et al., 2000, Lefroy, et al., 2000; Sands and Podmore, 2000). Terlepas dari tantangan kesulitan pengukuran tersebut, tampaknya sudah menjadi kesepakatan umum bahwa setiap elemen keberlanjutan di atas tetap harus diper-timbangkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan kebijakan pembangun-an pertanian (Pannell and Schilizzi, 1999; Clemetsen and Laar, 2000; Kniper, 2000). Produksi intensif dan permintaan sayuran sepanjang tahun, selain dihadapkan pada masalah konversi lahan produktif yang berjalan cepat (akibat kebutuhan non-pertanian yang secara sosio-ekonomis dianggap lebih mendesak, misalnya perumahan dan industri), juga menghadapi masalah-masalah lain meliputi polusi air tanah (akibat penggunaan material kimiawi berlebih dan tidak tertatanya sistem drainase), penurunan produktivitas lahan (akibat pengelolaan lahan yang cenderung eksploitatif, tanpa memperhatikan upaya reklamasi), tingginya tingkat residu (akibat penggunaan pestisida kimiawi yang cenderung berlebih), rendahnya kualitas produk dan tingginya kehilangan hasil lepas panen (akibat kurang diperhatikannya proses penanganan produk dan serangan/eksplosi hama penyakit sebagai konsekuensi terganggunya keseimbangan ekologis) (Jansen et al., 1994). Berbagai masalah tersebut pada dasarnya merupakan indikasi bahwa sistem usahatani sayuran diduga semakin menjauhi alur model pengembangan berkelanjutan. Dalam konteks ini, pengembangan pertanian/sayuran organik dapat ditawarkan sebagai salah satu bentuk sistem produksi yang sejalan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Pertanian/Usahatani Organik Pertanian organik pada awalnya dikembangkan dari filosofi seorang antropolog Jerman (Rudolf Steiner-1913) yang secara teoritis mempertimbang-kan manusia sebagai salah satu bagian dari keseimbangan kosmik dan berkewajiban untuk memahami cara hidup harmonis dengan lingkungannya. Teori ini kemudian diaplikasikan di bidang pertanian oleh H. Pfeiffer pada awal tahun 1920’an dan melahirkan biodynamic agriculture yang selanjutnya berkembang di Eropa sebagai organic agriculture (Viandes, 1999).

1 Makalah materi pelatihan “Teknik budidaya sayuran organik bagi petani”. 10 April 2008, di Kelompok Tani Nabila, Tarogong, Garut. Kerjasama Balitsa - Amarta untuk Program Pelatihan Penanganan Segar Sayuran dan Buah.

Page 2: Prospek an Sayuran Organik

2

Pada dasarnya tidak ada definisi tunggal untuk pertanian organik, karena terminologi ini lebih tepat diarahkan untuk mencirikan suatu gerakan (movement), bukan suatu kebijakan (policy). Batasan pertanian organik lebih sering digambarkan melalui deskripsi: (a) suatu agro-ekosistem yang secara mandiri dan persisten memelihara keseimbangan lingkungan, (b) sejauh memungkinkan, sistem ini memanfaatkan sumberdaya lokal dan sumberdaya yang dapat diperbaharui, (c) secara holistik menggabungkan aspek ekologis, ekonomis dan sosial dari produksi pertanian, baik ditinjau dari perspektif lokal maupun global, (d) alam dipertimbangkan secara utuh beserta dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan manusia memiliki kewajiban moral untuk melakukan usahatani dengan cara-cara yang memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan sistem produksi (Kristensen, 2000). Secara lebih spesifik, pertanian organik adalah suatu sistem produksi yang tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimiawi buatan, tetapi bertumpu pada pengembangan diversitas bilogis dan pemeliharaan/perbaikan kesuburan tanah (Organic Farming Research Foundation, 1998). Pertanian organik dikembangkan berdasarkan sejumlah prinsip dan gagasan yang diarahkan untuk: (a) mendorong interaksi konstruktif antara metode produksi dengan sistem dan daur ulang alami, (b) mendorong dan meningkatkan daur ulang biologis dalam sistem usahatani yang melibatkan mikro organisme, flora dan fauna tanah, tanaman dan hewan, (c) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, (d) memelihara keaneka-ragaman hayati yang terdapat di dalam sistem produksi, termasuk habitat tanaman dan hewan, (e) menggunakan seoptimal mungkin sumberdaya dapat diperbaharui yang berasal dari sistem usahatani itu sendiri, (f) meminimalkan segala bentuk polusi yang mungkin timbul dari kegiatan usahatani, (g) mempromosikan penggunaan dan pemeliharaan air secara tepat dan sehat, dan (I) mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usahatani terhadap kondisi sosial dan ekologis (Ikerd, 1999; Benbrook, 1998; Fairweather, 1999). Substansi dari prinsip ekologis dan sasaran pertanian organik menggaris-bawahi kedudukan manusia sebagai bagian integral dari alam, dan alam merupakan entitas yang kompleks, sehingga manusia tidak dapat sepenuhnya memahami konsekuensi serta pengaruh yang ditimbulkannya terhadap alam. Berdasarkan asumsi fundamental tersebut, beberapa prinsip pengembangan yang sesuai dengan filosofi pertanian organik dapat ditentukan, yaitu: (a) Prinsip siklikal (The cyclical principle) yang didasarkan pada kenyataan bahwa nutrisi dapat didaur ulang dan digunakan lagi, dan dengan pertolongan sinar matahari, sumberdaya dapat diperbaharui kembali. Melalui pendekatan yang sama, ma-nusia juga harus mendaur-ulang nutrisi, menghindarkan penggunaan sumber-daya yang tidak dapat diperbaharui, dan mencegah eksploitasi sumberdaya alam secara berlebih, (b) Prinsip pencegahan (The precautionary principle) yang merekomendasikan kehati-hatian dalam pemanfaatan teknologi baru, karena manusia merupakan bagian dari siklus alami dan alam merupakan suatu entitas yang sangat kompleks, sehingga manusia menemukan kesulitan untuk memperkirakan konsekuensi tindakannya. Konsekuensi alami dari prinsip pencegahan adalah perlu didahulukannya teknologi lama yang dikenal pengguna dan berfungsi baik, dibandingkan dengan teknologi baru yang dikembangkan secara lebih teoritis, dan (c) Prinsip kedekatan (The nearness principle) yang menaruh perhatian terhadap upaya untuk mengamankan aspek-aspek sosial khusus dari pertanian organik, misalnya transparansi, keselamatan, humanitas dan keadilan sosial. Kontak langsung antara produsen dengan konsumen dapat mengurangi alienasi yang seringkali merupakan ciri/karakteristik masyarakat moderen. Pembelajaran yang berbasis pada pengalaman lokal serta penelitian ke dalam sistem secara keseluruhan akan merupakan komponen sentral untuk mengamankan nilai-nilai sosial dan kultural hubungan manusia dengan alam (Kristensen, 2000). Secara umum terdapat beberapa prinsip yang mencirikan pertanian organik bersertifikat, yaitu: (a) biodiversitas; (b) diversifikasi dan integrasi usahatani; (c) keberlan-jutan; (d) nutrisi tanaman alami; (e) pengendalian hama alami; dan (f) integritas. Prinsip-prinsip usahatani organik tersebut dimanifestasikan ke dalam praktek-praktek budidaya yang mengkombinasikan alternatif metode tradisional dengan metode kontemporer.

Page 3: Prospek an Sayuran Organik

3

BUDIDAYA TANAMAN ORGANIK

Prinsip dan Praktek

biodiversitas diversifikasi dan integrasi usahatani

keberlanjutan nutrisi tanaman alami

pengendalian hama alami

integritas

rotasi tanaman

rotasi tanaman

rotasi tanaman

rotasi tanaman

rotasi tanaman

catatan

pupuk hijau

pupuk kandang

pupuk hijau

pupuk hijau

pupuk hijau

dokumentasi

tanaman penutup tanah

kompos

tanaman penutup tanah

pupuk kandang

tanaman penutup tanah

pupuk kandang

tumpangsari

tumpangsari

kompos

kompos

kompos

penataan lahan usahatani

(farmscaping)

pengendalian biologis

pupuk alami/hayati

tumpangsari

tumpangsari

mulsa penataan lahan usahatani

(farmscaping)

pupuk daun pengendalian biologis

pengendalian biologis

pupuk kandang

penataan lahan usahatani

(farmscaping)

penataan lahan usahatani

(farmscaping)

kompos

sanitasi

mulsa pengolahan tanah

pestisida alami/hayati

Perkembangan Pertanian/Usahatani Organik Global

Pertanian organik berkembang cepat di seluruh dunia pada beberapa tahun terakhir ini dan diusahakan disekitar 120 negara. Jika pertanian organik yang belum bersertifikat dimasukkan, maka dapat dipastikan bahwa sistem tersebut telah berkembang di lebih banyak negara. Berikut ini adalah beberapa pointers mengenai perkembangan pertanian organik global: EROPA

• 690.000 hektar; 190.000 usahatani

• Italy memiliki lahan pertanian organik terluas dan jumlah usahatani organik terbanyak

• Lahan pertanian organik meningkat 8% per tahun

Page 4: Prospek an Sayuran Organik

4

• Pasar terbesar adalah Jerman, diikuti oleh Italy, and Perancis

• Pertumbuhan di pasar Eropa mencapai 10% per tahun

USA

• 2200.000 hektar; 12.000 usahatani

• Pertumbuhan lahan usahatani organik tertinggi di dunia (+30% per tahun)

• Faktor penting penentu pertumbuhan

– Peningkatan permintaan konsumen akan makanan bergizi dan sehat

– Peningkatan distribusi melalui semakin banyaknya toko makanan sehat konvensional

AFRIKA

• 435.000 hektar; 118.000 usahatani

• Pertanian organik berkembang terutama di negara-negara Afrika bagian selatan

• Pertumbuhan dihela oleh peningkatan permintaan dari negara-negara industri

• Pasar organik di Afrika cenderung kecil, kecuali untuk Egyp dan South Africa)

• Tunisia and Egypt sudah memiliki sistem regulasi organik

• Negara-negara Afrika Timur juga sudah memiliki regulasi organik regional sejak 2007

ASIA

• 2900.000 hektar; 130.000 usahatani

• Negara terpenting berdasarkan luas lahan organiknya: China, India, Bangladesh, Sri Lanka, Korea and Thailand

• Pasar terbesar adalah Japan dan yang mulai berkembang: China, Malaysia, Singapore and Thailand

• Sertfikasi dilakukan oleh organisasi asing: China, Japan,

• Thailand dan Israel sudah melakukan pengawasan dan sertifikasi organik sendiri

AUSTRALIA/OCEANIA

• 11.900.000 hektar; 2.700 usahatani

• Uni Eropa mengimpor 70% kebutuhan organiknya dari Australia

LATIN AMERICA

• 5.800.000 hektar; 180.000 usahatani

• Negara dengan proporsi luas lahan organik terluas: Uruguay, Mexico and Argentina

• Perdagangan produk organik terutama berorientasi ekspor

• Dukungan pemerintah relatif rendah, kecuali untuk Brazil, Bolivia, Costa Rica (penelitian dan pendidikan) dan Argentina serta Chile (ekspor)

• Dukungan tinggi dari lembaga donor internasional untuk penyuluhan dan pengembangan asosiasi

Grafik di bawah ini menunjukkan 10 negara yang memiliki pertanian organik terluas dan 10 negara yang memiliki persentase areal tertinggi di bawah sistem pengelolaan organik.

Page 5: Prospek an Sayuran Organik

5

Page 6: Prospek an Sayuran Organik

6

Tabel di bawah ini memperlihatkan beberapa indikator sosio-ekonomis negara-negara penghasil dan pengonsumsi produk organik.

Negara Nilai pasar organik (US$

mill.)

Konsumsi per kapita (US$)

Pertumbuhan pasar (%/tahun)

Rata-rata premium (%)

Argentina 3 0,08 25 -

Australia 132 6,95 60 35

Austria 152 19,00 - 10-50

Brazil 150 0,87 20 25-35

Canada 571 18,42 25 10-50

France 610 10,34 25 25-50

Germany 1 800 21,95 10 30

Hongkong - - 15 15

Italy 900 15,79 20 20-200

Japan 3 000 23,81 - 10-30

Korea 61 1,30 - 50

Mexico 15 0,15 - 30-40

New Zealand 16 4,44 50 10-100

Philippines - - 10-20 20-30

Poland - - - 10-30

Portugal - - - 10-15

Spain - - - 20-50

Taiwan 9,5 0,43 30 > 400

UK 650 11,02 100 25-100

USA 6 000 21,98 20 10-20

Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia Sebagian besar petani, khususnya di luar Jawa, mungkin dapat dikategorikan sebagai petani organik, karena tidak ditargetkan sebagai partisipan revolusi hijau, dan sampai saat ini masih melanjutkan usahataninya secara tradisional. Sementara itu, di daerah lain banyak petani yang tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan akan pupuk dan pestisida pada saat harganya meningkat, sebagai dampak dari krisis ekonomi. Hal ini mengimplikasikan bahwa argumentasi metode pertanian organik menjadi sangat relevan. Beberapa kelompok tani dan lembaga swadaya masyarakat memandang pertanian organik sebagai suatu cara untuk melawan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh revolusi hijau dan membebaskan petani dari dominasi revolusi hijau – ketergantungan terhadap pupuk, pestisida serta input kimiawi lainnya. Namun demikian, kepedulian/kesadaran publik mengenai arti pertanian organik dan permintaan konsumen untuk produk organik masih sangat rendah (belum ada skim nasional untuk sertifikasi dan pelabelan produk organik). Pemilik toko yang menjual produk organik di Yogyakarta (didirikan pada tahun 1997 oleh Consortium of Fair Trade Community, dengan bantuan pendanaan dari Oxfam) mengeluhkan kesulitan untuk mencari pelanggan yang bersedia membeli produk organik dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan produk konvensional.

Page 7: Prospek an Sayuran Organik

7

Grafik berikut ini menunjukkan tahapan pengembangan pertanian organik yang dirancang Departemen Pertanian untuk Go Organik 2010.

Sumber: Departemen Pertanian, 2005 Namun demikian, sampai dengan 2008, tampaknya Indonesia masih satu langkah tertinggal dibanding target rencana pengembangan yang telah ditetapkan. Berikut ini adalah beberapa pointers perkembangan pertanian organik di Indonesia:

• Produksi pertanian organik Indonesia diperkirakan tumbuh kurang lebih 10% per tahun (Indro Surono peneliti Elsspat dan Biocert, 2004).

• Perkembangan cukup pesat yang ditandai dengan semakin banyaknya supermarket, outlet, dan model pemasaran alternatif di berbagai kota yang menjual produk organik (di Jakarta tahun 2001, hanya ada dua toko/outlet, sekarang ini lebih dari 12 supermarket, restoran, dan outlet khusus yang memasarkan produk organik).

• Perkembangan juga tergambar dari semakin banyak organisasi nonpemerintah pendamping petani yang mengembangkan pertanian organik, kelompok petani atau perusahaan swasta yang bergerak di pertanian organik.

• Beberapa jaringan atau organisasi nasional yang peduli pada pengembangan pertanian organik, diantaranya Jaringan Kerja Pertanian Organik Indonesia (Jaker PO) dan Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina).

• Produk pertanian organik Indonesia hampir semuanya adalah produk pertanian belum diolah (fresh product), sedangkan produk pertanian organik olahan sangat sedikit.

• Produk organik asal Indonesia yang terkenal adalah produk tanaman keras seperti kopi, vanili dan rempah-rempah yang kebanyakan dihasilkan dari daerah wild harvested.

• Belum ada data resmi luas lahan organik di Indonesia dari pemerintah. Dalam buku “The World of Organic Agriculture, Statistic and Emerging Trends 2004” karangan Helgar Willer dan Minou Yussefi, yang dipublikasikan oleh IFOAM disebutkan luas lahan yang ditangani (under management) secara organik di Indonesia sekitar

Page 8: Prospek an Sayuran Organik

8

40.000 ha (0,09% dari total lahan pertanian). Indonesia berada di peringkat ke-37 dunia.

• Sebagian besar produk yang dipasarkan di pasar lokal adalah sayuran segar dan beras, sebagian besar belum disertifikasi.

• Produk organik utama Indonesia yaitu beras, sayuran, buah-buahan, kopi, mete, rempah-rempah, herbal, minyak kelapa murni, madu, produk liar (wild product), dan udang. Khusus untuk kopi, mete, dan udang telah diekpor ke pasar Eropa, AS, dan Jepang (Prawoto & Surono 2005).

Perkembangan pertanian organik, terutama sayuran, di Indonesia secara tidak langsung juga tercermin dari variasi yang terungkap berdasarkan komparasi tiga usahatani organik di bawah ini. Pertanian Organik A: Lokasi Pertanian Organik A adalah di Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey, ketinggian rata-rata 1200 m dpl, dan waktu tempuh 1,5-2 jam dari kota Bandung. Usahatani ini mengusahakan sekitar 3 hektar lahan, yang terdiri dari 2 hektar untuk pengusahaan sayuran dan peternakan terpadu, dan 1 hektar untuk hutan bambu.

Penyiapan lahan/pengolahan tanah

Pengolahan lahan dilaksanakan dengan sistim pengolahan lahan minimal, yang ditujukan agar struktur tanah tidak rusak. Kedalaman olah + 30 cm, tidak menggunakan pacul, tetapi dengan alat gacok/garpu. Lahan olah dibagi menjadi bedengan-bedengan, dengan lebar 1 m, panjang 10 m, tinggi bedengan + 20 cm dan sedikit lebih tinggi untuk musim penghujan, serta jarak antar bedengan 0.5 m. Untuk menghindari erosi, bagian pinggir bedeng ditanami rumput pahit atau rumut madu dan secara periodik rumput dipotong untuk kompos atau pakan ternak. Sementara itu, kelembaban bedengan dijaga melalui penggunaan penutup tanah dari limbah organik. Urutan kerja pengolahan lahan adalah sebagai berikut: (1) pematokan lahan untuk bedengan dengan ukuran lebar 1 m dan panjang 10 m, (2) jarak antar bedengan 0.5 m, (3) rumput dibersihkan, (4) rumput dikumpulkan untuk bahan kompos, (5) tanah digarpu, (6) tanah dihaluskan dengan menggunakan gacok, (7) dibuat lubang tanam untuk tanaman yang menggunakan bumbunan atau dibuat garitan untuk tanaman yang tidak menggunakan bumbunan. Untuk tanah cadas/kurang subur, pengolahan tanah dilakukan dengan menggali sedalam + 60 cm dan menukar/membalikkan lapisan olah tanah, yaitu tanah atas disimpan dibawah dan tanah bawah disimpan diatas.

Penanaman

Lubang tanam yang telah disiapkan pada tahapan pengolahan tanah diisi dengan

pupuk organik. Lubang tersebut dibiarkan terbuka selama 1 minggu jika pupuknya belum terlalu matang, atau dibiarkan selama 3 hari untuk pupuk yang telah matang. Untuk tanaman yang menggunakan bumbunan, penanaman langsung dilakukan diatas pupuk kandang. Sementara itu, untuk tanaman yang tidak menggunakan bumbunan, benih disebar diatas garitan dan selanjutnya ditutup dengan pupuk kandang yang sudah matang.

Keputusan dalam memilih jenis tanaman terutama didasarkan pada prediksi keadaan musim. Untuk satu musim, rata-rata jenis sayuran/tanaman yang diusahakan berkisar antara 15-20 jenis. Sebagai contoh, pada musim hujan jenis tanaman yang biasanya dikembangkan adalah tanaman sayuran daun, seperti: kubis, pakcoy, sosin dan petsay. Untuk musim peralihan atau kemarau biasanya dipilih tanaman sayuran buah, seperti: tomat, kapri, terung dll. Sementara itu, tanaman umbi-umbian, seperti wortel dan lobak, dapat ditanam setiap

Page 9: Prospek an Sayuran Organik

9

saat. Jenis sayuran yang permintaannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sayuran lain, diantaranya adalah bayam, selada, pecai, wortel, kacang buncis, dan jagung.

Sistem produksi organik A paling tidak pernah mencoba dan sedang mengembangkan kurang lebih 50 jenis tanaman yang secara sederhana diklasifikasikan sebagai berikut :

No Kategori Tanaman

1. Tanaman akar Wortel, bit, lobak, empon-empon (laja/laos, jahe dll)

2. Tanaman kubis-kubisan Pecai, caisin, choy putih, kubis bulat, kubis tunas

3. Tanaman sayuran buah

Jagung (baby corn, sweet corn), cabai, tomat, terung, labu siam, oyong, baligo, labu besar

4. Tanaman kacang-kacangan Kacang panjang, kacang kapri, buncis putih, buncis hitam, kacang tanah, kacang merah (perdu dan rambat)

5. Tanaman keras Mangga, jeruk, nangka, jambu

6. Tanaman sayuran daun Bayam merah, bayam hijau, kangkung darat potong, selada merah, selada hijau, siong bak, peterseli

7. Tanaman pakan ternak Ubi jalar, rumput gajah

8. Tanaman pengusir OPT Bawang-bawangan, sintek, kacang babi, kenikir, kemangi

9. Tanaman perangkap OPT Tanaman bunga-bungaan yang berwarna merah dan kuning (bunga matahari, jamur kotok )

10. Tanaman bunga-bungaan Bunga gerbera, bunga anggrek, bunga gladiul

11. Tanaman pupuk hijau Crotalaria, kacang-kacangan

12. Tanaman obat Katuk, ginseng, jawer kotok, kirinyuh, peppermint, babadotan

Sistim pertanaman yang digunakan adalah sistim intercropping, sequential cropping, alley cropping dan companion planting. Pertanaman dalam satu bedeng terdiri dari minimal 2 jenis tanaman. Tanaman bertajuk tinggi (tanaman sayuran buah) biasanya ditanam dibagian tengah bedeng, sedangkan tanaman bertajuk rendah ditanam dipinggir bedeng. Jarak tanam untuk tanaman bertajuk tinggi 50-60 cm, sedangkan untuk tanaman bertajuk rendah 5 - 50 cm tergantung jenis tanaman. Sistem rotasi yang dilakukan mengikuti urutan sebagai berikut: legume crop - leaf crop - fruit crop - root crop - legume crop. Penyulaman dilakukan pada pertanaman yang ditanam dalam bentuk semaian (misalnya, tomat, kubis dll.), sedangkan penjarangan dilakukan pada tanaman yang ditanam dalam bentuk benih/biji (misalnya, wortel). Penyulaman maupun penjarangan biasanya dilakukan setelah tanaman berumur 2 - 4 minggu. Beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan dalam menentukan kombinasi jenis tanaman tumpangsari adalah: (a) penyinaran/pemerataan cahaya, (b) perakaran tanaman, dan (c) faktor ekonomis. Penyiangan Berdasarkan luasan lahan yang diusahakan, penyiangan dilakukan sepuluh hari sekali. Lahan usaha dibagi menjadi sepuluh bagian dan penyiangan dimulai dari bagian pertama, berurut sampai bagian kesepuluh, kemudian penyiangan berikutnya kembali lagi ke bagian

Page 10: Prospek an Sayuran Organik

10

pertama. Sebagian limbah penyiangan yang layak dikonsumsi hewan dimanfaatkan untuk pakan ternak. Sementara itu, limbah yang tidak layak untuk pakan ternak ditumpuk dipinggir kebun sampai membusuk dan matang. Limbah tersebut selanjutnya digunakan sebagai pupuk serasah atau ditimbun dalam lubang tanah dicampur dengan pupuk kandang menjadi bahan kompos. Pemupukan Pupuk yang digunakan adalah pupuk serasah, yaitu limbah pertanian/gulma yang tidak termanfaatkan untuk pakan ternak, pupuk kompos (campuran serasah/limbah dengan pupuk kandang) dan pupuk kandang. Semua jenis pupuk tersebut dihasilkan dari kebun dan/atau ternak sendiri. Rata-rata dosis penggunaan pupuk + 20 ton per ha. Pupuk diberikan sepanjang garitan bedengan, setelah benih/biji disebar (bayam, wortel, dll.), atau diletakkan pada lubang tanam untuk tanaman yang harus dibumbun terlebih dahulu (kubis, tomat, petsay, dll.). Untuk tanaman yang pertumbuhannya dianggap agak lambat atau terhambat, biasanya ditambahkan pupuk N dalam bentuk cair. Pupuk N tersebut berasal dari rendaman daun crotalaria (+ 5 kg) dicampur air (+ 20 liter) yang direndam selama 2 minggu. Aplikasi pupuk dilakukan dengan menyiramkannya ke tanah di sekitar tanaman. Pengendalian hama penyakit Organisme pengganggu yang sering diidentifikasi menyerang berbagai jenis tanaman yang diusahakan, diantaranya adalah: (a) ulat dan penyakit kawat pada kubis-kubisan, (b) pelentung serta kutu loncat pada kangkung dan bawang daun, (c) ulat grayak pada cabai, (d) ulat buah dan busuk daun pada tomat serta cabai, (e) layu pada tomat, dan (f) penyakit karat dan kutu daun pada kacang-kacangan. Konsep pengendalian yang digunakan pada dasarnya mengacu pada tindakan sanitasi dan perawatan rutin. Tindakan tersebut dimaksudkan agar gejala serangan hama penyakit dapat dideteksi secara lebih awal , sehingga kerusakan akibat serangan dapat diminimalkan. Pada sistem ini, penggunaan pestisida organik (bio-pestisida) tetap diposisikan sebagai alternatif pengendalian yang terakhir. Berbagai upaya organik diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan ekosistem, sehingga pengendalian hama dan penyakit dapat terjadi dengan sendirinya (alami). Secara ringkas, beberapa metode pengendalian yang ditempuh, diantaranya adalah: ♦ Menghindarkan penanaman tanaman tertentu pada musim tertentu, karena pada musim

tersebut, tanaman bersangkutan diperkirakan sangat peka terhadap serangan hama/ penyakit (misalnya, tomat pada musim hujan)

♦ Menggunakan sistem pertanaman berganda atau kombinasi (misalnya, tomat dengan kubis – bau atau aroma tanaman tomat tidak disukai hama plutella)

♦ Menggunakan sistem pengendalian mekanis (misalnya, membuang ulat atau memusnahkan tanaman yang terserang layu)

♦ Memutuskan siklus hidup hama/penyakit (misalnya, melalui pemberaan lahan, rotasi tanaman dan tidak menggunakan mulsa tanaman sejenis)

♦ Menanam tanaman pengusir hama disekitar tanaman yang diusahakan ♦ Menanam tanaman perangkap disekitar tanaman yang diusahakan ♦ Menyemprot dengan bio-pestisida (dibuat dari 5 genggam daun kacang babi, direbus

dengan air 10 liter, setelah dingin disemprotkan pada tanaman tanpa harus dicairkan lagi).

Panen dan pasca panen

Panen dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Hasil

panen dipersiapkan untuk dijual tanpa perlakuan khusus. Setelah dibersihkan di kebun, hasil panen diikat dan langsung diangkut ke daerah konsumen (delivery order) untuk dipasarkan per kilogram atau per paket.

Page 11: Prospek an Sayuran Organik

11

Pembibitan

Pada awalnya, sumber pengadaan bibit berasal dari toko/kios sarana produksi. Sejauh

memungkinkan, benih/bibit untuk pertanaman selanjutnya diperoleh dari upaya pembibitan sendiri. Dengan demikian, sebagian besar varietas tanaman yang digunakan adalah open polinated. Proporsi jumlah benih/bibit yang digunakan adalah 25% dari luar (toko) dan 75% berasal dari pembibitan sendiri.

Pemasaran

Produk hasil panen pada umumnya dipasarkan kepada konsumen tetap yang terdiri

dari konsumen rumah tangga dan rumah sakit. Segmen konsumen produk organik dapat diklasifikasikan sebagai konsumen kelas menengah ke atas. Konsumen dapat melakukan pemesanan melalui telpon dan pesanan kemudian dihantarkan. Dengan demikian, rantai tataniaga yang berlaku relatif pendek, yaitu langsung dari produsen ke konsumen. Pengalaman produsen untuk memasarkan sayuran organik melalui supermarket ternyata kurang memuaskan karena pada beberapa kasus seringkali disubstitusi dengan produk non-organik. Pada kasus seperti ini, produsen belum dapat menuntut melalui jalur hukum, karena perangkat aturan mengenai pelabelan sayuran organik masih belum tersedia. Upaya maksimal/agresif untuk mempromosikan produk organik masih belum dilakukan. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan kemampuan pasokan yang masih relatif terbatas serta harga produk yang relatif lebih tinggi dibanding dengan harga produk sejenis dari pertanian non-organik. Volume panen masih relatif rendah, yaitu berkisar antara 250-400 kg (berbagai jenis sayuran) per waktu panen. Pertanian Organik B: Lokasi Perintis Pertanian Organik B adalah di Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, dengan ketinggian rata-rata 900 m dpl. Usahatani organik ini mengusahakan sekitar 4 ha lahan, dengan luas lahan efektif 1,7 ha. Usahatani organik B merupakan usahatani perintis (tertua, sejak tahun 1982) yang menggunakan pendekatan organik. Disamping melakukan kegiatan usahatani, yayasan tersebut juga menyediakan atau memberikan pelatihan pertanian organik. Tujuan pelatihan adalah untuk mempromosikan teknik budi-daya sayuran organik dan perlunya mengkonsumsi sayuran sehat. Pengelolaan usahatani organik ditangani oleh 11 kelompok(setiap kelompok terdiri dari 2 orang laki-laki dan satu orang wanita). Tiga kelompok diserahi untuk menangani pembenihan/pembibitan dan 8 kelompok bertanggung jawab untuk menangani kegiatan produksi (setiap kelompok menangani/menggarap 120-200 bedeng, setara dengan 250-400 m2).

Penyiapan lahan/pengolahan tanah

Pengolahan tanah pada dasarnya dilakukan dengan menerapkan sistem pengolahan

minimal (minimum tillage). Secara ringkas, pengolahan dan/atau penyiapan lahan dilakukan dengan mengikuti tahapan: (a) lahan olah dibagi ke dalam bedengan-bedengan, dengan ukuran lebar 1m, panjang 10 m dan jarak antar bedengan 50 cm, (b) lahan yang miring diratakan dengan sistem terasering, (c) tanah dilonggarkan dengan menggunakan garpu, (d) rumput dibersihkan dan permukaan tanah diratakan, (e) dibuat lubang tanam untuk tanaman yang benihnya perlu disemai terlebih dahulu, atau dibuat garitan untuk jenis tanaman yang menggunakan biji, (f) pada lubang tanam atau garitan diberikan pupuk kandang yang sudah matang, dan (g) untuk menahan erosi pada setiap pinggiran bedengan ditanami rumput madu. Perbedaan pengolahan lahan untuk musim kemarau dan musim hujan hanya terletak pada ketinggian bedengan (untuk mengatur drainase air). Tinggi bedengan untuk musim hujan 15-20 cm, sedangkan untuk musim kemarau 10-15 cm.

Page 12: Prospek an Sayuran Organik

12

Penanaman Kegiatan penanaman dilakukan setelah lubang tanam atau garitan diberi pupuk dasar, berupa pupuk kandang/kompos matang. Jenis sayuran yang paling banyak ditanam adalah wortel, sedangkan luas tanam sayuran lainnya diprogram cukup merata. Sistim pertanaman yang dilakukan dalam setiap bedeng adalah sistim polikultur (2 s/d 4 jenis tanaman), dengan memperhatikan: perakaran tanaman, kanopi daun, umur setiap jenis tanaman, tinggi rendah tanaman dan pengambilan unsur hara dari setiap jenis tanaman.

Contoh kombinasi tanaman dalam satu bedengan: • mentimun dengan kangkung -- mentimun ditanam di tengah, sedangkan kangkung

ditanam 2 alur pada setiap pinggir bedeng. • bawang daun dengan wortel -- bawang daun di tengah bedeng, sedangkan wortel

ditanam beralur disetiap pinggir bedengan. • buncis dengan kacang tanah -- buncis ditanam di tengah, sedangkan kacang tanah

ditanam beralur disetiap pinggir bedengan. • bit dengan kacang tanah -- bit ditanam di tengah bedeng dan kacang tanah di bagian

pinggir bedeng • kacang kapri dengan seledri -- kacang kapri ditanam di tengah bedengan dan seledri

di pinggir bedengan • mentimun dengan kubis -- mentimun ditanam di tengah bedengan sedangkan kubis

ditanam di pinggir bedengan • jagung dengan selada -- jagung ditanam di tengah bedeng, sedangkan selada di

pinggir bedeng • bawang daun dan petsai -- bawang daun di tengah bedeng, sedangkan petsai ditanam

di pinggir bedeng. Agak berbeda dengan Tidusaniy, keragaman jenis tanaman yang diusahakan di BSB

ternyata relatif lebih rendah, sebagai refleksi dari jenis usaha yang telah memiliki market outlet lebih jelas. Berbagai jenis tanaman yang diusahakan, diantaranya adalah:

No Kategori Jenis Tanaman

1. Sayuran daun Brokoli, kubis (kubis merah, kubis putih), kubis bunga, kaelan, kenikir, petsai (Nagaoka, Granat), caisim, sawi sendok/pakcoy, selada (selada air, selada keriting, selada head), bayam, kangkung (kangkung darat, kangkung air), seledri, petersely, bawang daun, bawang kucai dan kemangi

2. Sayuran buah Tomat (tomat buah, tomat cherry), cabai, terung (terung lalab, terung ungu), mentimun (mentimun lokal, mentimun taiwan), buncis, kacang kapri, oyong, paria, zukini, jagung (jagung manis, jagung lokal, jagung baby), labu siam

3. Sayuran umbi bit, wortel, lobak, radish dan ubi jalar

4. Sayuran bumbu Sereh, laos, kemangi

5. Kacang-kacangan Kacang tanah dan kacang merah

Pada musim hujan, selain tidak menanam jenis tanaman yang peka terhadap penyakit, pengaturan jarak tanam juga dilakukan. Sebagai contoh, tanaman kubis pada musim kemarau menggunakan jarak tanam 50 x 40 cm atau 50 x 50 cm, sedangkan musim penghujan 60 x 60 cm. Selain itu, ketebalan mulsa juga diatur agar lebih tipis dibandingkan dengan musim kemarau.

Page 13: Prospek an Sayuran Organik

13

Penyiangan, penyulaman dan penjarangan Dalam pertanian organik, kegiatan penyulaman, penjarangan dan penyiangan biasa

dilakukan seperti halnya pada pertanian konvensional. Penyulaman biasa dilakukan pada tanaman yang tidak tumbuh atau mati setelah beberapa hari ditanam dan penjarangan dilakukan pada tanaman yang ditanam disebarkan sepanjang alur/garitan (tanam biji langsung) misalnya tanaman wortel. Melalui penjarangan ini diharapkan akan diperoleh jarak tanam optimal, sehingga umbi wortel yang dihasilkan relatif lebih besar. Penyiangan biasanya dilakukan dua kali, seperti halnya pada sistem pertanian konvensional, yaitu saat rumput sudah dianggap mulai menggangu pertumbuhan tanaman. Limbah/sisa rumput dari hasil penyiangan di musim kemarau dimanfaatkan untuk mulsa bedengan. Sementara itu, limbah pada musim hujan, selain untuk mulsa juga dimanfaatkan sebagai bahan baku campuran pembuatan kompos. Dalam pembuatan kompos, rumput ditumpuk berselang-seling dengan pupuk kandang dan dibiarkan selama + 3 bulan sampai matang dan siap digunakan. Pemupukan

Jenis pupuk organik yang digunakan antara lain adalah: pupuk kandang ayam, pupuk

hijau, pupuk kompos dan pupuk cair. Komposisi pupuk cair adalah: pupuk kandang 1 karung, daun kacang-kacangan satu karung dan air sebanyak 1 drum (+ 200 liter). Campuran ini dibiarkan di dalam drum selama 3 sampai 4 minggu. Pupuk cair disiramkan di sekitar perakaran tanaman dengan dosis 1 kaleng susu (+ 200 cc) larutan per tanaman, terutama untuk tanaman yang secara visual pertumbuhannya lambat atau tidak subur. Perlakuan pupuk cair diberikan mulai tanaman berumur 2 minggu setelah tanam atau tergantung pada kondisi tanaman bersangkutan. Interval yang digunakan adalah 3 hari sekali sampai tanaman berumur 1 bulan atau 7 hari sekali sampai tanaman berumur 1.5 bulan. Jenis tanaman yang biasa diberi pupuk cair diantaranya adalah: kubis, paria, mentimun dan brokoli (biasanya diberikan pada musim kemarau).

Dosis penggunaan pupuk kandang/kompos agak bervariasi tergantung jenis tanamannya. Sebagai contoh, untuk tanaman tomat, kubis, cabai dan terung dosis per pohon adalah 0.5 kg, sedangkan untuk tanaman petsai, caisim, kaelan dan selada rata-rata 0.3 kg per pohon. Pemberian pupuk kandang biasanya dilakukan satu kali setiap musim tanam. Pupuk disimpan pada setiap lubang tanam, sepanjang garitan atau disebar dipermukaan bedengan, kemudian diaduk dengan tanah dan diratakan kembali. Untuk penggunaan pupuk hijau, pangkasan tanaman/daun pupuk hijau yang masih segar atau sudah layu dipendam ke dalam tanah dan setelah itu, lahan dapat langsung ditanami.

Pengendalian hama penyakit

Salah satu upaya peengendalian yang biasa dilakukan pada sistem pertanian organik

adalah tidak menanam komoditas tertentu yang dianggap peka pada musim tertentu. Dalam perencanaan pola tanam di lapangan, pengelola biasanya membagi musim menjadi musim penghujan, peralihan dan kemarau. Pada musim penghujan, jenis tanaman yang dianggap cocok adalah sayuran daun atau famili Brassica. Penanaman sayuran Solanaceae dihindari pada musim ini, karena sayuran dari keluarga Solanaceae peka terhadap penyakit busuk daun. Sementara itu, pada musim peralihan dan musim kemarau, semua jenis sayuran dapat diusahakan. Namun demikian, perlu pula diperhatikan penanaman tanaman pendukung, misalnya tanaman pengusir hama (kemangi, bawang-bawangan dan tagetes), karena pada musim tersebut populasi hama cukup tinggi. Pengendalian hama dengan cara mekanis dan penyemprotan dengan bio-pestisida merupakan kegiatan yang biasa dilakukan di pertanian organik. Jenis OPT yang sering ditemui antara lain: ulat Plutella, ulat Crosidolomia, ulat Spodoptera, kutu anjing, aphid, bengkak akar, batang kawat, Phytopthora, Alternaria dan layu bakteri. Berbagai metode pengendalian yang dilakukan adalah:

Page 14: Prospek an Sayuran Organik

14

• Mekanis -- pengendalian OPT secara mekanis dilakukan apabila tingkat serangan relatif rendah dan memungkinkan untuk dilakukan secara manual

• Pestisida botani -- penggunaan pestisida botani dilakukan apabila serangan OPT sudah dianggap melewati ambang ekonomi. Contoh pestisida botani diantaranya:

• daun kacang babi ditumbuk, setelah agak halus dicampur air, lalu diaduk dan disaring selanjutnya disemprotkan tanpa harus dicairkan lagi.

• daun Mindi dan buahnya ditumbuk dicampur air, disaring dan selanjutnya disemprotkan pada tanaman

• daun Suren, dengan komposisi campuran: 2 ons daun suren dicampur dengan satu liter air.

• Pengaturan jenis tanam – menyesuaikan jenis tanaman yang diusahaakan dengan musim, misalnya pada musim hujan dihindari menanam jenis tanaman yang peka terhadap serangan penyakit layu phytopthora (tomat, kentang, dll).

• Menanam jenis tanaman pengusir hama -- menanam jenis tanaman yang aroma atau baunya tidak disukai oleh jenis hama-hama tertentu, misalnya bawang-bawangan, kemangi, tegetes dll.

• Rotasi tanaman -- pergiliran tanaman untuk memotong siklus hidup OPT jenis tanaman sefamili, disamping untuk memelihara tingkat kesuburan tanah. Pola rotasi umum yang dilakukan adalah: jenis Brassica -- jenis sayuran buah -- jenis sayuran akar/umbi -- jenis pupuk hijau. Sehubungan dengan pola rotasi tersebut, jenis tanaman dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan kebutuhan unsur hara, yaitu (a) kelompok boros hara -- jenis tanaman brassica, (b) kelompok kebutuhan hara sedang -- cabe, buncis, wortel, bawang-bawangan, ubi jalar, dll., (c) kelompok pembangun hara -- jenis tanaman kacang-kacangan. Kelompok tanaman pembangun hara ini biasanya ditanam setelah rotasi tiga musim tanam sayuran.

• Sanitasi -- menjaga kebersihan lingkungan di sekitar kebun

• Membakar tanaman yang sakit -- memotong siklus hidup penyakit, misalnya bengkak akar pada tanaman kubis atau busuk daun pada tanaman tomat. Sisa pembakaran tanaman masih dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.

• Cara lain untuk memotong siklus OPT -- dalam 1 tahun hanya menanam satu kali jenis tanaman yang sama dalam bedeng yang sama dan menanam tanaman kacang-kacang-an dalam periode 2 tahun sekali pada setiap bedeng untuk mempertahankan kesuburan.

Panen dan pasca panen

Secara reguler, panen dilakukan tiga kali dalam seminggu, yaitu hari Senin, Rabu dan

Jumat. Penentuan jadwal panen pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh jenis tanaman bersangkutan: (a) tanaman siap panen -- buncis, kacang kapri, kubis bunga, brokoli, (b) jadwal panen sesuai permintaan atau kapasitas jual -- ubi jalar, wortel, pakcoy, selada, dan (c) panen dilakukan dengan cara menseleksi terlebih dahulu, biasanya untuk tanaman yang tidak habis sekaligus -- jagung, bayam, lobak, dan tomat. Sayuran yang tidak layak jual, tetapi masih layak makan biasanya dibagikan kepada karyawan, sedangkan yang tidak layak makan dimanfaatkan untuk makanan ikan (kolam), bahan kompos atau mulsa. Penyortiran dilakukan berdasarkan ukuran (besar/sedang/kecil) dan layak/tidak layak jual secara visual (terlalu tua, busuk atau bentuk tidak normal). Sementara itu, pengemasan dilakukan dalam bentuk ikatan-ikatan kecil menggunakan tali bambu, untuk jenis sayuran seperti: buncis, caisim, bayam, kangkung, selada, pakcoy, daun ketela pohon, lobak, bit, kenikir dll. Untuk sayuran lain (wortel, baby corn, kapri, ubi jalar, labu siam dan tomat) pengemasan dilakukan menggunakan kertas koran per 0.5-1 kg.

Page 15: Prospek an Sayuran Organik

15

Pembibitan

Sebagian besar benih/bibit yang memungkinkan diproduksi/diperbanyak sendiri dilakukan oleh kelompok produksi benih/bibit. Sebagian lagi sisanya diperoleh dari dari toko sarana produksi. Proporsi jumlah benih/bibit yang digunakan adalah 20% berasal dari luar (toko) dan 80% berasal dari pembibitan sendiri. Pemasaran

Dua konsumen utama produk sayuran organik dari BSB adalah kelompok konsumen

rumah tangga berlangganan dan institusi rumah sakit (St. Carolus). Konsumen berlangganan mendapatkan jatah pengiriman sayuran satu kali per minggu, yaitu hari Selasa (jadwal panen Senin), atau hari Kamis (jadwal panen Rabu), atau hari Sabtu (jadwal panen Jumat). Pengiriman seminggu sekali ini dilakukan karena keterbatasan volume sayuran yang dapat dipanen sesuai jadwal. Jenis dan bobot sayuran yang dikirimkan kepada konsumen disesuaikan dengan besarnya uang sumbangan yang diberikan kepada yayasan, sebagai ongkos pengganti biaya produksi. Dengan demikian, pengiriman sayuran ke konsumen biasanya dalam bentuk paket (terdiri beberapa jenis sayuran dengan bobot yang telah ditentukan). Contoh beberapa paket sayuran ditunjukkan pada bagian akhir uraian ini.

Konsumen dapat menolak jenis sayuran yang kurang disukai, setelah dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan produsen. Konsumen juga dapat memesan jenis sayuran tertentu dalam jumlah relatif lebih banyak dan mendiskusikan besarnya pembayaran yang dibebankan, selama produsen masih sanggup untuk memenuhi kebutuhan pesanan tanpa harus merusak pola tanam yang telah ditetapkan. Intensitas komunikasi antara konsumen dengan produsen relatif tinggi. Produsen juga memerlukan informasi mengenai jumlah anggota keluarga disetiap keluarga konsumen sebagai dasar dalam menentukan jumlah dan bobot sayuran dalam paket. Konsumen rumah tangga pada umumnya berdomisili di Jakarta, namun ada pula pembeli yang datang langsung ke lokasi usahatani pada saat panen. Konsumen tamu biasanya memperoleh sayuran dalam jumlah yang terbatas karena volume panen sudah disesuaikan dengan permintaan pasar konsumen langganan.

Hasil panen sayuran langsung dikirim ke agen/kolektor/pengumpul di Jakarta dan selanjutnya akan diambil oleh konsumen langganan sesuai dengan paket-paket yang telah ditetapkan sebelumnya. Besarnya sumbangan atau harga jual sayuran pada umumya ditetapkan berdasarkan nilai input produksi, biaya penelitian, dan nilai tambah yang diperoleh konsumen apabila mengkonsumsi sayuran sehat. Pengalaman produsen menunjukkan bahwa prospek usahatani produk organik cenderung semakin membaik. Hal ini diindikasikan dari banyaknya permintaan konsumen yang terpaksa ditolak karena keterbatasan volume panen serta luas lahan yang dimiliki produsen. Pertanian Organik C: Lokasi pertanian organik C adalah di Desa Langensari, Kecamatan Lembang, Bandung, dengan ketinggian rata-rata 1200 m dpl. Pertanian organik tersebut berada di daerah peri-urban Bandung, sehingga aksesnya ke konsumen secara fisik, jauh lebih baik dibandingkan dengan dua pertanian organik terdahulu. Luas lahan yang diusahakan sebenarnya relatif lebih sempit, yaitu 4 500 m2, namun lebih memperlihatkan karakteristik integrated organic farming system dibandingkan dengan lainnya. Bermacam ternak (ayam, kambing, angsa, bebek) diusahakan secara terintegrasi dengan usahatani sayuran. Usahatani ini bahkan mampu menjual kelebihan produksi pupuk kandang ke petani lain. Berbagai aspek usahatani/ budidaya (pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pengendalian hama penyakit, panen dan pasca panen serta pembibitan) yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan kedua pertanian organik terdahulu. Usahatani ini juga memiliki

Page 16: Prospek an Sayuran Organik

16

ciri-ciri ke"organik"an sebagai berikut: (a) tidak menggunakan pupuk buatan dan pestisida kimiawi, (b) pengusahaan sayuran disesuaikan pada kemampuan lahan, dengan komposisi penanaman komoditas yang lebih mengutamakan keamanan lahan jangka panjang, (c) sistem pertanaman polikultur yang diarahkan untuk mendukung keseimbangan ekosistem. Namun dari sisi pemasaran, sesuai dengan kemampuan pemasokan, usahatani ini cenderung bersifat menunggu kunjungan tamu/pembeli. Walaupun demikian, pada saat-saat tertentu, berdasarkan kese-pakatan sebelumnya, usahatani ini terkadang juga mengisi/memenuhi permintaan konsumen langganan usahatani sayuran organik A, khususnya untuk sayuran daun. Berkaitan dengan bobot ke”organik”an, beberapa hal yang dapat ditarik dari hasil karakterisasi untuk ketiga sistem di atas adalah: • Secara umum, usahatani B merupakan yang terbaik (dengan skala usaha terbesar) dan

dapat digunakan sebagai acuan atau model untuk pengusahaan sayuran secara organik • Usahatani A merupakan kedua terbaik (terutama karena relatif masih baru dan berada

pada tahap akhir perintisan). Usahatani ini termasuk skala sedang dan memiliki kelebihan dibandingkan lainnya, karena mampu memasok susu kambing Etawa dalam jumlah cukup besar.

• Usahatani C merupakan ketiga terbaik, karena relatif masih baru dan skalanya relatif kecil. Namun demikian, usahatani ini lebih memperlihatkan karakteristik integrated organic farming system dibandingkan dengan lainnya. Sebagai contoh, seluruh kebutuhan pupuk kandang sudah dapat dipenuhi dari ternak sendiri.

• Ditinjau dari skala pengusahaan, usahatani B telah dapat dikategorikan ke dalam skala semi-industri. Usahatani C masih termasuk ke dalam skala rumah tangga (kombinasi antara motivasi bisnis dan kegemaran). Sementara itu, usahatani A terdapat di antara keduanya.

Kesimpulan Secara umum, hasil observasi di ketiga usahatani di atas memberikan gambaran sementara bahwa status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik, walaupun kontribusinya terhadap produksi total sayuran relatif masih kecil (diperkirakan masih < 10%). Prospek pengembangan sayuran organik juga cenderung menjanjikan, sebagaimana diindikasikan oleh masih banyaknya permintaan yang belum dapat dipenuhi karena adanya keterbatasan pasokan. Kegiatan karakterisasi juga mengidentifikasi beberapa hal yang memerlukan dukungan penelitian, terutama menyangkut (a) pengelolaan gulma, (b) perencanaan usahatani dan perancangan integrasi ekosistem, (c) pengelolaan kesuburan organik terapan, dan (d) kualitas nutrisi dalam hubungannya dengan kultur praktis. Strategi pembangunan pertanian yang menekankan pada kebijakan pengembangan sistem agribisnis perlu didukung oleh kebijakan penyangga menyangkut sistem pertanian berkelanjutan, agar masalah generasi kedua revolusi hijau yang sedang dihadapi tidak semakin memburuk. Kebijakan penyangga tersebut harus lebih bersifat operasional, agar tidak lagi hanya sekedar bersifat retorik atau jargon pembangunan. Sampai saat ini, kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan pertanian organik di Indonesia sebagian besar merupa-kan inisiatif dari lembaga swadaya masyarakat. Jika strategi pembangunan di atas akan ditempuh, maka pemerintah perlu berperan lebih aktif lagi, karena pertanian organik dan produk organik merupakan bagian integral dari pertanian berkelanjutan. Dalam hal ini, pemerintah dapat berfungsi sebagai fasilitator melalui berbagai kebijakan spesifik (misalnya, standarisasi proses/produk organik, pelabelan produk organik) yang dapat memberikan insentif bagi produsen untuk mengadopsi sistem produksi organik dan insentif bagi konsumen untuk mengkonsumsi produk bersih/sehat. Lebih jauh lagi, operasionalisasi kebijakan tersebut perlu dilaksanakan secara hati-hati dan konsisten, agar tidak terjebak

Page 17: Prospek an Sayuran Organik

17

pada pola pikir pertanian konvensional yang selalu menekankan pada aspek teknis dan skala makro. Operasionalisasi kebijakan harus disertai dengan kesadaran bahwa pengembangan pertanian organik memiliki nilai-nilai dan ukuran tersendiri, berdasarkan pada keselarasan alam. Beberapa nilai yang secara implisit terkandung dalam pengembangan pertanian organik adalah: spesifik lokal, tingkat produksi optimal, sistem produksi berkelanjutan, prinsip konservasi dan sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Lampiran: Komparasi usahatani organik berdasarkan prinsip-prinsip pertanian organik yang telah dilaksanakan

No

Kegiatan

Pertanian Organik

A

B

C

1. Persiapan benih (Seed preparation)

Sebagian besar benih/bibiit bersumber dari produksi sendiri dan berasal dari tumbuhan alami

√√ √√√ √

2. Pengolahan tanah (Land preparation)

Olah tanah minimal untuk memacu perkem-bangan organisme tanah dan menjaga aerasi tanah

√√√ √√√ √√√

Multikultur √√√ √√√ √√√

Rotasi tanaman √√√ √√√ √√√

Kombinasi tanaman dalam satu luasan lahan tertentu √√√ √√√ √√√

Tanaman pendamping (Companion planting) √√√ √√√ √√

Penanaman tanaman habitat predator, tanaman pagar, penolak hama, perangkap hama

√√ √√√ √

3. Penanaman (Planting)

Tanaman pupuk hijau material pestisida hayati dan obat-obatan

√√√ √√√ √√

4. Pemupukan (Fertilization)

Menggunakan pupuk organik (pupuk hijau, kompos, kandang)

√√√ √√√ √√√

Metode pengendalian mekanis (membuang ulat atau memusnahkan tanaman terserang layu)

√√√ √√√ √√√

Melakukan pengaturan waktu tanam √√ √√√ √√

Memutuskan siklus hidup hama/ penyakit (pemberaan lahan, rotasi tanaman dan tidak menggunakan mulsa tanaman sejenis)

√√ √√√ √

Menyemprot dengan bio-pestisida √√ √√ √√

5. Pengendalian hama penyakit (Plant protection)

Sanitasi -- menjaga kebersihan lingkugan di sekitar kebun

√√ √√√ √

6. Panen dan pasca panen (Harvest and post-harvest)

Terprogram/terjadwal dan menggunakan kemasan daur ulang

√√ √√√ √

Catatan: semakin banyak jumlah tanda √ , semakin tinggi konsistensi usahatani bersangkutan melaksanakan prinsip-prinsip usahatani organik

DAFTAR PUSTAKA Andreoli, M and V. Tellarini. 2000. Farm sustainability evaluation: Methodology and practice.

Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 43-52.

Bosshard, A. 2000. A methodology and terminology of sustainability assessment and its perspectives for rural planning. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 29-41.

Clemetsen, M. and J. Laar. 2000. The contribution of organic agriculture to landscape quality in the Sogn og Fjordane region of Western Norway. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 125-141.

Page 18: Prospek an Sayuran Organik

18

Dunlap, R.E., C.E. Beus, R.E. Howell, and J. Waud. 1992. What is sustainable agriculture? An empirical examination of faculty and farmer definitions. Journal of Sustainable Agriculture. 3: 5-39.

Fairweather, J.R. 1999. Understanding how farmers choose between organic and conventional production: Results from New Zealand and policy implications. Agriculture and Human Values, 16: 51-63.

Ikerd, J. 1999. Organic agriculture faces the specialization of production systems: Specialized systems and the economical stakes. Paper presented at the international conference, " Organic Agriculture Faces the Specialization of Production Systems", Lyon, France, December 6-9, 1999.

Jansen, H. G., D. Poudel, D. J. Midmore, R. K. Raut, P. R. Pokhrel, P. Bhurtyal & R. K. Shrestha. 1994. Sustainable peri-urban vegetable production and natural resources management in Nepal: Results of a diagnostic survey. Working Paper no. 8. AVRDC, Taiwan.

Kniper, J. 2000. A checklist approach to evaluate the contribution of organic agriculture to landscape quality. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 143-156.

Kristensen, E.S. 2000. Principles of organic farming. Discussion document prepared for Danish Research Center for Organic Farming Users Committee, November 2000. Denmark.

Lefroy, R.D.B., H. Bechstedt and M. Rais. 2000. Indicators for sustainable land management based on farmer surveys in Vietnam, Indonesia, and Thailand. Agriculture, Ecosystem and Environment, 81: 137-146.

Pannell, D.J. and S. Schilizzi. 1999. Sustainable agriculture: A question of ecology, equity, economic efficiency or expedience? Journal of Sustainable Agriculture. 13(4): 57-66.

Sands, G. R. and T.H. Podmore. 2000. A generalized environmental sustainability index for agricultural system. Agriculture, Ecosystem and Environment, 79: 29-41.

Steiner, K., K. Herweg and J. Dumanski. 2000. Practical and cost-effective indicators and procedures for monitoring the impacts of rural development projects on land quality and sustainable land management. Agriculture, Ecosystem and Environment, 81: 147-154.

Viandes, M.H.R. 1999. History of organic farming. Meat Industry Documents, # 30 – February 1999. France.