PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL PASCASARJANA IAIN … · seminar ini bertujuan sebagai sebuah media...
Transcript of PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL PASCASARJANA IAIN … · seminar ini bertujuan sebagai sebuah media...
i
PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL PASCASARJANA IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 2016 Islam And Trans-Cultural In Education Jambi, Novita Hotel 3 Desember 2016 Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi http//:www.prosiding.pasca.iainjambi.ac.id
ii
PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL PASCASARJANA IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 2016 EDITOR: Muhamad Taridi LAYOUT: A. Khalid COVER DESIGN Hamdi, Taridi Diterbitkan Oleh: Pascasarjana UIN STS Jambi E-ISBN : 978-602-60957-1-8 Januari 2017 ALAMAT SURAT: Jl. Arief Rahman Hakim Telanaipura Jambi. Kode Pos 36124 Email: [email protected] [email protected] website: http//:www.prosiding.pasca.iainjambi.ac.id The copyright of each article remains with the individual author(s)
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Isi diluar tanggung jawab percetakan. Ketentuan pidana pasal 72 undang-undang nomor 19 tahun 2002: (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iii
Kata Pengantar
Mengucapkan syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada panitia sehingga buku prosiding ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tidak lupa ditujukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa ummatnya dari alam kegelapan menuju alam terang benderang, serta menyebarkan nilai-nilai Islam untuk dunia amupun akhirat.
Dalam mengantisipasi tantangan dan kesempatan-kesempatan yang dihadapi oleh ummat Islam dan pendidikan Islam akhir-akhir ini, Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dengan bangga menyelenggarakan dan menjadi tuan rumah seminar Internasional Pendidikan Islam yang mengambil tema “Islam and Trans-Cultural in Education”, seminar ini bertujuan sebagai sebuah media untuk para akademisi, para peneliti, para praktisi, serta para ilmuan yang tertarik dalam dunia Islam khususnya dan pendidikan umumnya. Melalui prosiding ini, panitia penyelenggara telah mengumpulkan 10 (sepuluh) artikel dengan berbagai sub-tema berkitan dengan tema seminar, yang mana artikel-artikel tersebut ditulis dan dipresentasikan oleh peserta prosiding baik itu dari mahasiswa program Doktor pascasarjana IAIN STS Jambi maupun dosen berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Semua artikel yang dimuat dan dipublikasi disini bukanlah hasil dari (peer-reviewer), dan bukan pula diedit berdasarkan isi, namun demikian proses pengeditan lebih ditekan pada layout untuk memenuhi konsistensi dalam penerbitan dan ketentuan yang telah disyaratkan oleh panitia. Selain itu, Isi, Pendapat, Argumentasi serta validitas penelitian yang dimuat pada artikel merupakan bagian dari tanggung jawab masing-masing penulis. Kami juga ingin mengucapkan banyak terimaksih kepada Direktur Pascasarjana, semua pembicara seminar, peserta prosiding, dan seluruh peserta seminar atas kehadiran, pendapat dan pemikiran yang luar biasa sehingga menambah semarak acara seminar. Mengakhiri kata pengantar ini, kami berharap dapat berjumpa lain waktu pada acara seminar selanjutnya, Amiin yra. Jambi, Januari 2017 Salam Panitia,
Dr. Muhamad Taridi, M.Pd
iv
ACKNOWLEDMENT
The organizing committee of The International Seminar Pascasarjana IAIN STS Jambi would like to acknowledge the following individuals who served as the anonymous reviewers for the abstract submissions and the individuals involved in the process of publishing these proceedings.
List of Reviewers
Gregory Vanderbilt (Eastern Mennonite University, Virginia, USA) Almakin (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
Ahmad Munjid (Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) Noorhuda Ismail (Monash University, Melbourne)
Mukhtar Latief (IAIN STS Jambi Muhamad Taridi (IAIN STS Jambi)
Risnita (IAIN STS Jambi) Abdul Malik (IAIN STS Jambi)
Martinis Yamin (IAIN STS Jambi)
v
DAFTAR ISI
1. Transcultural Education, Islam And Citizenship In Democratizing Indonesia: Minority Comparisons………………………………………………………….
1
2. Teachers Professionalism Development Management………………………….
4
3. Guru Profesional Dalam Membentuk Karakter Peserta Didik………………….
18
4. Sistem Pembelajaran Berorientasi Teknologi Informasi Dan Komputer di Sekolah Guna Mencetak Generasi Berkualitas…………………………………
36
5. Membangun Kepuasan Layanan Akademik Mahasiswa………………………..
60
6. Pendidikan Islam Berbasis Masyarakat Multikultur……………………………
73
7. Integrasi-Interkoneksi Paradigma Hadhari Dalam Pendidikan Multikutural…...
83
8. Kepemimpinan Transformatif Kepala Madrasah Di Provinsi Jambi…………...
92
9. Efektifitas Pelatihan SDM ……………………………………………………
110
10. The effect of Using Cartoon Animation as Instructional Media toward Students’ Writing Ability of Descriptive Text (An Evaluative Study on
Seventh Grade Student of State Junior High School 3 Jambi City)……………
123
vi
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
1
Page 1-3
TRANSCULTURAL EDUCATION, ISLAM AND CITIZENSHIP IN DEMOCRATIZING INDONESIA: MINORITY COMPARISONS
Gregory Vanderbilt
Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada Eastern Mennonite University, Virginia, USA
I like the challenge of the “trans-cultural” premise of this conference. For the last five
semesters, I have been a visiting lecturer in the Center for Religious and Cross-Cultural
Studies in Gadjah Mada University in Yogyakarta where among other courses I teach
“Religion ___ Globalization.” CRCS is a research institute and master’s program in religious
studies inaugurated in 2000 with the mission of seeking an Indonesia “yang multikultural, adil
dan demokratis.” We do a lot of thinking about the categories of agama and religion as lived
and as governed in Indonesia with its plurality and sometime pluralism, yet the framework
advocated at CRCS is most often one of “civic pluralism,” in which guarantees of civil rights
and liberties would open space for the diversity of religiosities and beliefs in this diverse
archipelago. CRCS’s “cross-cultural” emerged from the “comparative”: “trans” invites
something deeper.
Citizenship as it is being defined, contested and lived by Muslims in contemporary
Indonesia, particularly when it is understood as suggested by Engin Isin and his collaborators,
not only as in terms of rights and privileges but as performance, not merely habitus but “acts
through which people constitute themselves as political subjects,” is not only central to
preserving a democratic society and polity but also among the most important tasks of
education. As political struggles throughout the world led by majorities who feel their
entitlement threatened is showing, minority and marginal experiences of citizenship are at
risk. This paper seeks to offer comparative examples from minority perspectives. Just as
numerous versions of the ethics of citizenship turn on questions of the recognition and
protection of minorities, so too does the performance of citizenship shift when considered via
the demographic and emotional contexts of being (in) the majority. This paper will offer two
examples of how minorities perform citizenship and so “constitute themselves as political
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
2
subjects,” the cases of American Muslims as refracted through the history of Japanese
Americans) and, as a brief suggestion, of Christians in Japan and Indonesia. In the first
example, I suggest three facets of performing citizenship—visibility, participation, and
incorporation into history and memory—while in the second I look for a hint from (Christian)
theology about citizenship and self-constituting as minority “political subjects.”
My first example of how a minority performs citizenship comes from my own
country, which has just completed an ugly and hate-filled election season and given the most
powerful office in the land to a man who has offered only hatred and threats of violence, an
authoritarian whose bullying threatens the democratic system itself as well as economic
stability. History invites us to take a long view and so in order to say something about
Muslims in the United States I offer the example of Japanese Americans, whose trajectory in
American life has followed a familiar pattern shared by numerous waves of immigrants,
including Arabs and South and Southeast Asians. Two caveats are in order: inasmuch as
perhaps 20-30% of Africans sold into slavery in North America were likely Muslim, Muslims
predate by two centuries the first immigrants to arrive from Japan in the mid-nineteenth
century. Moreover, equating an ethnicity that over time has included members of several
religions and no religion with practitioners of a religion originating on three continents with
an array of differences, sectarian and otherwise, may seem logically circumspect but the
construction of race and racial hatred (Islamophobia) in America has treated these populations
in comparable ways, as an otherness became politicized by empire and global conflict, as civil
rights seemingly constitutionally guaranteed were removed and 110,000 men, women, and
children—two-thirds of them citizens—“relocated” to remote “internment camps” as a matter
of “state necessity,” and as the complex politics of serving as a “model minority” enabled the
relative safety of assimilation in the following decades. If the agency underlying this
trajectory is seen as a performance of citizenship, then some comparisons can be made with
regards to each facet noted above, visibility, participation, and incorporation into the national
history and memory. As the comparisons ranging from the visible “Gold Star” families of
soldiers killed in war to the participation of the first elected members of government using
symbols of civic virtue to the incorporation into memory of sacrifice, appealing to the
emotions and sympathies of the majority as well as to how educators in various positions re-
narrate the national story.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
3
My second example is a brief consideration of the role of theology in “political
subjectivity” from a minority perspective. At the end of my graduate school days, I was
asked to translate an intellectual history of how Japanese Christians, a micro-minority never
surpassing 1% of the Japanese population and further standing out as monotheists among the
non-and polytheistic Japanese Shinto-Buddhist “mystic synthesis,” have interpreted one of the
key Biblical texts of Christian citizenship, an injunction the Apostle Paul wrote to the
Christians in Rome, with its hegemony of a civic religion of emperor worship.1 “Let every
person be subject to the governing authorities; for there is no authority except from God, and
those authorities that exist have been instituted by God,” begins this famous passage (Romans
13:1-7), offering to those who would read it out of context a justification for any government,
however absolute or cruel. For this author, who had come of age as the Japanese wartime
ideology collapsed and, as a scholar of political theory, would study the German theologians
who resisted the false religion of the Nazi State, what mattered most was, instead, the
injunction in verse 5 to submit because of and through conscience, not wrath, and its
eschatological framing, a reminder that this order will pass and that love for the sesama
manusia is to transcend the politics of the moment. Japanese Christians in their
accommodation to the quasi-religious State and Indonesian Christians to colonial and post-
colonial regimes have compromised these core callings, which it is worth remembering were
addressed to an endangered minority, not a comfortable majority.
Finally, though, a performative definition of minority citizenship returns to biopolitics,
to the recognition, control and exploitation of bodies, bodies which are sent to die in war or to
reproduce those who will, bodies which are subject to enslavement, torture, violence and
sacrifice, bodies which are imprisoned and expelled, but also bodies which protest and resist
and bodies which enact their own freedom. As I finished these notes, the news of the
election and of the formation of a new administration in the United States has demonstrated
the fragility of citizenship. If the winning candidate ran by casting doubt on the democratic
process, then those who believe it is still a worthwhile answer to the question of how we
might live together face an even greater task to restore and revive this spirit of citizenship
itself.
1 Miyata Mitsuo, Ken’i to Fukujū: Kindai Nihon ni okeru Romasho 13shō (Tokyo: Shinkyō Shuppansha, 2003),
translated as Miyata Mitsuo, Authority and Obedience: Romans 13:1-7 in Modern Japan (New York: Peter Lang, 2009).
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
4
Page 4- 17
TEACHERS PROFESSIONALISM DEVELOPMENT MANAGEMENT
Sri Marmoah Batanghari University, Jambi
Abstrak
Professional development is the strategy government and schools use to ensure that educators continue to strengthen their practice throughout their career. The most effective professional development engages teams of teachers to focus on the needs of their students. They learn and problem solve together in order to ensure all students achieve success. Transference of learning requires knowledge, skills and attitudes from technical know-how to the creative art of teaching. The purpose of this research was to know the management of teacher professional development to increase the quality of education. The design of this research was descriptive qualitative research. The data for this research was collected through interview and documentation. In this research the researcher was given interview, it describes data about the management of teacher professional development. Furthermore, the data collected and analyzed data through the steps of data reduction, data display, and conclusion. Based on the analysis of the interview and documentation which related to the teacher professional development, this research revealed three important findings. First, the management of teacher professional development in Jambi city was optimal, where the principal done the planning, implementation, and evaluation of educational management properly. Second, the factors inhibiting the implementation of the teacher professional development consist of internal factors, namely low resource principal. While external factors, namely the lack of supports of the Department of Education, limited funding and lack of cooperation with the stakeholders and others institution. Third, the principal effort was made to improve the teacher professional development in Jambi city was improving educational qualities, in expected to more attention and allocates funds to improve the quality of education through increased professionalism of teachers. Teacher professional development needs supporting on policy, moral, infrastructure, and financial that can lead teachers to be professional.
Keywords: Management, Teacher professionalism development
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
5
1. INTRODUCTION
In order to improve the ability of teachers in teaching and to be able to adapt with the
development of science and technological progress rapidly developed, it is necessary to do
professionalism development of teachers. Professionalism development is meant to expand the
knowledge and to improve the teachers’ skill in teaching. This can be done through various
activities, whether it is attempted by the teachers themselves or attempted by the leaders such as
principals and supervisors, as well as from the Department of Education.
The effort of teacher professionalism development can be done through various efforts,
they are (1) giving the opportunity to attend the education and training in career, (2) providing
regular development program, and (3) preparing teachers' academic forum, besides supervision
activities (Gaffar, 1987). The efforts of teacher professional development above can be observed
from two aspects; internally, that is professional development efforts which come from the
teacher itself, and externally that is the attempts of institution or leader in encouraging and
building the teachers to develop their profession.
Based on the description above about the importance of professional development of
teachers, it is required forms and efforts in the development of professionalism. The fact in the
field, the challenge is very complex, it appears that most have not been adequately managed, to
make reparation or attempt in professionalism setting is generally still very low.
Based on the problem above then the main question is why the professionalism
development management of teacher resource in the city of Jambi has not been optimal? The
sub-problems of the research are: 1) how is the professionalism development management of
teacher resource in the city of Jambi? 2) what are the factors that encourage and inhibit in
professionalism development management of teacher resource in the city of Jambi? 3) what are
the efforts made in professionalism development of teacher resource in the city of Jambi?
2. LITERATURE REVIEW
2.1.1 Concept of Management Etymologically, according to Husaini Usman (2011:5), the term "management", derived
from the Latin word manus, which means hands and agere meaning do. Those words are
combined into a noun management, and manager which mean the person who performs
management activity, whereas in English there is a verb to manage which means handle or take
in hand.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
6
Meanwhile, according to Ibrahim Bafadal (2003:1), the management is the process of
utilization of all resources in order to achieve the purpose of planning, organizing, directing, and
monitoring called management.
In conclusion, the management is a process of planning, implementation, and assessment
of the aspects that exist in the school institution in order to achieve the school goals effectively
and efficiently. In this case, management consists of planning, implementation, and assessment
of the facilities and infrastructure that is used by the school to improve the process of learning
activities.
2.1.2 Professionalism of Teacher Resources The professionalism of teacher is the teacher's ability to perform the main task as educator and
teacher include the ability to plan, perform and carry out the evaluation of learning (Jamaah
Yakub, 2008: 47). According to experts, the professionalism of teacher can be defined
assortment. One of the opinions stated by Fullan, M (1997: 142) as follows:
The professionalization reforms at the national and state levels center on teachers’
demonstrated knowledge base (as reflected in standards for teacher education program
accreditation and candidate assessment), on conditions surrounding teacher certification and
licensure, and on the structure of career opportunities in teaching. At the local level,
professionalization tends to take the form of extended assistance to new teachers, and
experiments in side-based decision making.
Professionalization changes the basic knowledge of teachers on the center and national
level as the reflection of the educational program accreditation standards and assessment of
prospective teachers, teacher certification and license of career opportunities in teaching. On the
regional level, professionalization tends to increase the assistance to new teachers, provide career
opportunities for experienced teachers and conducting experiments for government policy
makers.
Teacher position is a professional position and as a professional position, the holder must
meet certain qualifications. Therefore, according to Soetjipto and Raflis Kosasi (1994: 37) states
that:
Teacher position must meet the criteria of a professional position, among other things that the
position involves intellectual activity, has a torso of special knowledge, require training in
positions that are sustainable, a carrier of life and permanent membership, attach great
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
7
importance to the service, have a professional organization, and has a code ethics are obeyed by
the members.
According to Isjoni (2006:21) explains that in order to carry out his duties, professional
teachers must have a variety of competencies. The competencies of professional teacher include
the ability to develop learners' achievements, especially the intellectual ability. In order to
implement these tasks, a professional teacher would have to master the national education
philosophy, master the extensive knowledge especially the lesson material that will be presented
to students, and technical skills in preparing and implementing the teaching program. As an
educator, a professional teacher is a communicator who is able to communicate with the students
in an effort to develop the personality of learners. Furthermore, as a profession that continues to
develop, a professional teacher should be able to conduct researches related to the increase of
professional educators.
The definitions above show that professional teachers are the people who have special
abilities and skills in the field of teacher ship so that they can perform their duties and functions
as a teacher with maximum capability.
In other words, professional teachers are educated and trained people, and have rich
experiences in the field. Educated and trained is not only obtain a formal education, but also
have to master the various strategies or techniques in teaching and learning activities, and master
the foundations of education.
2.1.3 Professionalism Development of Teachers
Professional development of teachers according to The State of Queensland (Department
of Education, Training and the Arts) (2006) are:
The Professional Development and Leadership Institute has been established in recognition
that professional development is fundamental to the professional practice of teachers, to ensure
that students benefit from dynamic and futures-oriented professional development experiences.
Support for ongoing teacher professional development is central to quality schooling and
promoting professionalism and a sense of scholarship within the teaching community. Both
forms of professional development play important and independent roles in improving school
organisational capacity and in enhancing teacher capital. Taken together, study findings on
professional development and individual teacher capital suggest that a systemic focus on
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
8
increasing individual teacher capital through professional development will improve schools'
organisational capacity to deliver improved student outcomes.
Professional development is the basis of the professional practice of teachers to ensure that
students are useful dynamically and oriented to the professionalization of future experience. The
sustainable support to the professional development is focused on the quality of schools and
promotes the professionalism as well as awards in teaching environments. Both forms of
professional development play an important role in improving the organizational capacity of the
school to improve the quality of teachers. The study findings in professional development and
the improvement of individual teachers stated that a centralized system in improving the quality
of individual teachers through professional development will improve the quality of school
organization and the quality of graduate students.
Professional development is an effort of professionalism which means that all activities are
intended to improve the profession of teaching and educating. The efforts to develop this
profession can emerge from two aspects; they are the term of external and internal. The term of
the external, that is leaders who encourages the teachers to take upgrading or academic activities
that give the opportunity to the teachers to learn more, while in the term of internal, that is the
teachers can try to learn by themselves to be able to evolve in the position. In relation with the
professionalization effort of teacher position, it is necessary to develop the effort of maintenance
and upkeep of the teacher profession. Thus the teacher will be more effective and efficient in
performing profession duties.
According to Sudarwan Danim (2002:51) explains that the professional development of
teachers is intended to fulfill three requirements. First, social necessity to improve the ability of
educational system is efficient and humane and adapt to the preparation of social necessity.
Second, the necessity to find the ways to assist the education staffs in order to develop their
personality widely. Third, the necessity to develop and encourage his/her personal life, as helps
the students to develop the desire and confidence to fulfill the personal demands that correspond
to the basic potential.
Based on the goals can be identified the functions of teachers development. Those
functions include maintain the teaching program as well as possible, assess, and improve the
factors that affect to the learning and improve the student learning situation. Therefore, the
function of teacher development is to create the improvement process and the learning results
through a series of efforts to provide guidance to the teacher in the form of professional services.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
9
3. METHODOLOGY
The purpose of this research was to analyze the teachers professional development. The
design of this research was descriptive qualitative research. Bogdan & Biklen (1982) suggest that
qualitative research considers several aspects such as; (1) natural environment as source of data,
(2) researcher as key instrument, (3) process as more important aspect than result, (4) inductive
data analysis, (5) participants backgrounds to respond to a phenomenon as essential aspect.
The subjects in this research were the Head of Department of Education and Culture in
Jambi city as the key informant, the Head of SKPD Department of Education and Culture,
Principals, Supervisors of Education Unit, and teachers as informants, who were asked about
information related to the problems that are researched by the researcher. The data for this
research was collected through questionnaire, interview, and documentation.
4. DISCUSSION 4.1 Professionalism Development Management of Teacher Resources in Jambi 4.1.1 Professionalism Development Planning of Teacher Resources
Professionalism development planning of teachers in the city of Jambi has done well,
where the head of departments and staffs had made professionalism development planning of
teachers through three stages: 1) Teachers professionalism development planning in the short-
term. 2) Teachers professionalism development planning in the medium-term. 3) Teachers
professionalism development planning in the long-term.
In professionalism development planning of teachers in the city of Jambi has done
optimally, it has been through the process as follows: 1) compiling a list of development
planning based on the analysis of the needs of each teacher. 2) Compiling a list of the estimated
cost or price of the goods or tools is needed based on the standards set. 3) Set the priority scale of
professionalism development of teachers based on the available funds and needs.
The professionalism development planning of teachers started from making strategic plan
(Renstra) within a period of five years. Then the strategic plan outlined in the work plan (Renja)
within one year. The work plan contains the programs and activities carried out in each financial
year in the Activity Plans Program.
From the results of the documentation and interviews can be concluded that the
professionalism development planning of teachers has not been displayed in the quantitative
targets, but rather in the form of a projection or perspective on the state of the desired ideal in
education development.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
10
4.1.2 The Implementation of the Professionalism Development of Teacher Resource The implementation of the professional development of teacher resource has appropriate
with the programs and activities as stated in the access enhancement program, quality and
governance of education. The program is implemented in the quality improvement activities,
competency, and certification of education and education personnel of Early Childhood
Education Program (PAUD); improvement of quality, competence, and certification of education
and education personnel of Basic Education (DIKDAS); improvement of quality, competence,
and certification of education and education personnel of Middle Education (DIKMEN); training
and mentoring the curriculum implementation 2013 of Early Childhood Education Program
(PAUD); training and mentoring the curriculum implementation 2013 of Basic Education
(DIKDAS); training and mentoring the curriculum implementation 2013 of Middle Education
(DIKMEN); Teacher Internship (Sister School); award system development and protection of
education profession and education personnel of Kindergarten (TK), Basic Education
(DIKDAS), and Middle Education (DIKMEN); Technical Guidance (Bimtek) of educator and
education personnel of Elementary School (SD), Junior High School (SMP); Technical Guidance
(Bimtek) of educator and education personnel of Senior High School (SMA), Vocational High
School (SMK); implementation and development of Early Childhood Education Program
(PAUD); implementation and development of Basic Education (DIKDAS); implementation and
development of Middle Education (DIKMEN); and education publications.
While the results of the interview, according to SH related to the professional development
of teachers is directed to strengthening the competency of teachers based on the competencies
should be possessed by the teachers which includes four competencies, namely pedagogic
competence, personal competence, social competence, and professional competence.
Professional development activities of teacher resources are done by following self-development,
following scientific publications, and creating innovative work. Professional development of
teachers through self-development can be reached through the collective training of teachers and
functional training. Collective training of teachers can be developed to MGMP, KKG, and
similar training. While functional training is training that is conducted on LPMP, P4T, LPTK,
and other relevant agencies.
Scientific publication activities consist of presentation at the scientific forum, scientific
publication on scientific research or scientific ideas in the field of formal education, publication
of textbooks or book of enrichment, and the book of enrichment teacher. In this case, the reality
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
11
in the field is still few in number of teachers in the city of Jambi who follow scientific
publication. While the Innovative Work consists of discovering the appropriate technology,
discovering or acquiring the artwork, creating the props or lab tools, and so forth. The condition
of this innovative work activity is also similar to scientific publication, could even say that there
are no teachers in the city of Jambi who develop the professionalism through innovative work.
4.1.3 The Evaluation of Professionalism Development of Teacher Resources
Evaluation is the next stage of teacher professionalism development from the perspective
of professionalism development management of teacher resource. Based on the processing of
documentation and interview in the field, that to evaluate the professionalism development of
teachers in the short term, medium term and long term in improving the quality of education in
the city of Jambi need to make good planning and implementation. With the good planning and
implementation, can be conducted the evaluation of professionalism development of teachers.
However, if the reality in the field between the planning and implementation with the
professionalism development activities of teachers are not in accordance with what has been
planned, this can lead to the evaluation of teachers professionalism development in the city of
Jambi will be hampered. Evaluation of teacher professionalism development is the main element
to oversee the professionalism development management of teachers at school, so teacher
professionalism development can help the teachers in a variety of teacher learning activities at
school well.
Planning and implementation of teacher professionalism development which has been
stated in the programs and activities in the Department of Education of Jambi to create the
condition of all the implementing activities to carry out the work in accordance with the duties
and functions. With the planning and implementation of teacher professionalism development
can determine the effectiveness and efficiency to achieve the higher quality education. Planning
and implementation of teacher professionalism development can be defined as determining the
steps that will be implemented in the future in order to achieve the desired objectives to improve
the quality of education. Therefore, planning and implementation of teacher professionalism
development should involve decision-making activities of a number of alternatives.
Furthermore, to know the evaluation of teacher professional development in improving the
quality of education in the city of Jambi, the ways used by the activity implementer to compare
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
12
the results that have been achieved are: first, the suitability between planning program with the
implementation of teacher professionalism program. Second, the implementation of
professionalism development management program of teacher. Third, see the obstacles were
encountered in the implementation of teacher professionalism program. Fourth, see the impact of
teacher professional development on learning activities at school. Fifth, see the responses of all
citizens of the school, parents, and communities to the importance of managing the professional
development of teachers. Sixth, see the change of progress to the ability of teachers which can be
seen from the achievement of the four competencies that must be possessed by teachers,
pedagogic competence, social competence, personal competence, and professional competence.
4.2 The Inhibiting Factors of professionalism development of teacher resources in Jambi 4.2.1 Internal Factors
The inhibiting internal factors in managing the teacher professional development are the
lack of support and motivation from the official policy makers. By the lack of support and
motivation will not be able to increase the motivation of teachers to develop their professionally.
In addition, the support of the Department of Education and principals in managing the teacher
professional development has not optimal.
4.2.2 External Factors Based on the observation and interview in the field, the inhibiting external factors of
teacher professional development are the lack of support from the related parties. Where the
Department of Education in the city of Jambi has not optimal in developing and improving
teacher professional development program. Training opportunities for the city, provincial and
national levels have not got a chance thoroughly. Education and training of teacher professional
development is more widely used for programs and other activities.
4.3 The Efforts in Improving the Professionalism Development of Teacher Resources 4.3.1 The Efforts in Improving the Professionalism Development of Teacher Resources by
the Department of Education In order to achieve this goal, there should be some efforts especially to create or develop
the professionalism of teacher resource, then necessary to do several things as the following: (a)
identifying and giving guidance to teachers at school, (b) preparing and equipping the equipment
required for the teacher professionalism development that have been determined, (c) optimizing
and synergizing the teacher professionalism development that will be programmed, (d) doing an
evaluation which is conducted as a control to be able to see the success or failure in the process
of professionalism development management of teachers.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
13
Besides the above matters, the efforts to teacher professionalism development can also be
done by: (a) Strict teacher recruitment, (b) appointment of teachers in accordance with the
competence, (c) organizing and engaging teachers in education and training, (d) doing the
educational supervision, (e) providing an opportunity to teachers to study in higher education, (f)
inculcating the professionalism commitment, (g) rewarding, (h) doing the routine coordination,
and (i) running the achievement allowance program.
4.3.2 The Efforts in Improving the Professionalism Development of Teacher Resources by
the Principals Teacher professionalism development has done quite adequate. Teacher professionalism
development is implemented through upgrading activities, training; working group of teachers;
and classroom supervision. The leader of the teachers has a fairly decisive role in the effort to
improve the quality of teaching capabilities of teachers. The role of the principal in developing
the teachers’ skills is a facilitator, motivator and supervisor. In this context, the principals take
the efforts as follows: (1) engaging the teachers in every opportunity of upgrading and training,
(2) encouraging the teachers to continue their education, (3) requiring the teachers to follow the
activity of KKG, MGMP, and (4) helping the teachers who get difficulties in managing the
teaching-learning process.
It can be concluded that the efforts of the principal in teacher professionalism development
are through: provide the guidance to teachers, supervise, conduct the upgrading, do visiting
between schools, and provide the opportunity for teachers to continue their education.
4.3.3 The Efforts in Improving the Professionalism Development of Teacher Resources by
the Teachers The results of the interview with one of the outstanding teachers, SG explained that the
efforts of professionalism development should be begun from ourselves without having to wait
for the outside party to engage in training, upgrading, workshops or other development activities.
Teachers can conduct self-development activities through the things that exist in the school or
home environment, for example by reading educational books. A teacher should diligently read
educational books because by reading educational books teachers are expected to have extensive
knowledge that can assist in the delivery of learning materials. Nowadays, there have been a lot
of educational books are published and very easy to obtain, and there are even many teachers
who have a personal library at home. The second thing is by reading and writing scientific
works. By reading and understanding the contents of journals or other scientific papers in the
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
14
field of teacher education can develop the professionalism. Besides add the insight and
knowledge, reading and writing scientific works can also sharpen the skills of teachers in
expressing new ideas in the field of education. The third thing is by following the actual news
from the news media. A professional teacher should not miss the latest information, especially
the information about the world of education. Besides by reading teacher education books,
following the news from various media are also one of the supports in improving the
professional competence of teachers. By always following the latest news in the education, the
teachers are expected to follow the development of education and be able to create a better new
innovation in accordance with the demands of education in this globalization era. The fourth
thing is by following the training. Training is one of the efforts in improving the teacher
professionalism competence. In this training, the ability of the teachers is sharpened to be better.
It can be concluded that the efforts made by the teachers in improving the professionalism
is by improving the quality of teachers in order to improve the learning activities at schools. As
educators, it is required to be able to develop themselves through education and training,
seminars, workshops, working groups of teachers, and follow the educator certification.
. 5. CONCLUSION 5.1 Conclusion
First, professionalism development planning of teachers in the city of Jambi have done
well, where the Department of Education and staffs have made professionalism development
planning of teachers through three stages, they are: (1) Teachers professionalism development
planning in the short-term. (2) Teachers professionalism development planning in the medium-
term. (3) Teachers professionalism development planning in the long-term. The implementation
of teacher professional development is directed to strengthening the competency of teachers
based on the competencies should be possessed by teachers that includes four competencies,
namely pedagogic competence, personal competence, social competence, and professional
competence. Professional development activities of teacher resource are conducted by following
self-development, following scientific publications, and creating innovative work. Professional
development of teachers through self-development can be reached through the collective training
of teachers and functional training. Collective training of teachers can be developed to MGMP,
KKG, and similar training. While functional training is training that is conducted on LPMP, P4T,
LPTK, and other relevant agencies. Whereas, to know the evaluation of teacher professional
development in improving the quality of education in the city of Jambi, the ways used by the
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
15
activity implementer to compare the results that have been achieved are: first, the suitability
between planning program with the implementation of teacher professionalism program. Second,
the implementation of professionalism development management program of teacher. Third, see
the obstacles were encountered in the implementation of teacher professionalism program.
Fourth, see the impact of teacher professional development on learning activities at school. Fifth,
see the responses of all citizens of the school, parents, and communities to the importance of
managing the professional development of teachers. Sixth, see the change of progress to the
ability of teachers which can be seen from the achievement of the four competencies that must
be possessed by teachers, pedagogic competence, social competence, personal competence, and
professional competence.
Second, the inhibiting internal factors in managing the teacher professional development
are the lack of support and motivation from the official policy makers. By the lack of support
and motivation will not be able to increase the motivation of teachers to develop themselves
professionally. In addition, the support of the Department of Education and principals in
managing the teacher professional development has not optimal.
Third, the inhibiting external factors of teacher professional development are the lack of
support from the related parties. Where the Department of Education in the city of Jambi has not
optimal in developing and improving teacher professional development program. Training
opportunities for the city, provincial and national levels have not got a chance thoroughly.
Education and training of teacher professional development is more widely used for programs
and other activities.
5.2 Recommendation
Based on the whole descriptions and conclusions, can be conveyed the recommendations
to the various parties as follows:
First, in order to improve the teacher professional development, to the Department of
Education of Jambi Province and the city of Jambi to be able to increase the attention and give
serious support and attention about teacher professional development to more applicable.
Second, in an effort to improve the teacher professional development, principal is expected
to make an effort as much as possible in carrying out his/her duties as a professional and
accountable principal, by implementing the open management to be more improve the teacher
professionalism at schools.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
16
Third, the community is expected to be able to play an active role in providing input and
support, both moral and spiritual in overcoming the teacher professional development problems.
In this case, the community is required to cooperate with the school management, the department
of education and the related institutions in improving the teacher professional development.
REFERENCES
Arikunto, Suharsimi. 2012. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Ary, Donald. Jacobs, Lucy Chesser. Sorensen, Chris. Razavieh, Asghar. 2010. Introduction to
Research in Education 8th Edition. Belmont: Nelson Education, Ltd. Buchori, B., 2007. Evolusi Pendidikan di Indonesia, Dari Kweekschool Sampai ke IKIP: 1852-
1998, INSISTPress, Yogyakarta. Depdiknas, 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
---------. 2005. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
---------, 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan. Jakarta: Depdiknas
---------, 2008. Manajemen Pelaksanaan Sertifikasi Dosen dan Pengelolaan Data. Buku III. Dirjen Dikti. Jakarta.
Maister, D.H., 1997. True Prefessionalism. New York, The Free Press Mungin, W. 2003. Peluang dan Tantangan Memasuki Era Global dan Otonomi. Makalah
Seminar. UNNES. Semarang. Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Raka Joni, T. 2006. Revitalisasi Pendidikan Profesional Guru. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
---------, 2007. RembugNas: Revitalisasi Pendidikan Profesional Guru. Naskah disajikan dalam rangka peringatan Dies Natalis ke-53 Universitas Negeri Malang. Malang: LP3 Universitas Negeri Malang.
Sanusi, A. 1990. Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan. IKIP Bandung. Sanusi, A. dkk. 1991. Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga
Kependidikan. IKIP Bandung. Departemen Pdan K. Jakarta. Soetjipto dan Kosasi, R. 2007. Profesi Keguruan. Rineka Cipta. Jakarta.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
17
Sumargi, 1996. Profesi Guru antara Harapan dan Kenyataan, Suara Guru, Nomor 3-4/1996
Supriadi, 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Depdikbud, Jakarta.
Suryadi, A. 2004. Refleksi UUSPN dan Prospeknya dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Nasional. Makalah: Dialog Interaktif Nasional. LPM-UNY. Yogyakarta.
Suryanto. 2003. Sertifikasi Profesi Guru. Jaminan Pengakuan Sekaligus Ancaman. Makalah
Seminar. UNNES. Semarang. Suwarno, dkk. 2005. Pengajaran Mikro, Pendekatan Praktis Menyiapkan Pendidik Profesional.
Tiara Wanana. Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Wirahadikusumah, A. 1998. Pengertian Mutu Dalam Pendidikan. Lokakarya MMT IPB, Bogor.
Yamin, H.M. 2007. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. Dilengkapi UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Gaung Persada Press. Jakarta.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
18
Page 18-35
GURU PROFESIONAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK
Adiati, M.Pd.I
(Mahasiswa S3 IAIN STS Jambi)
Abstrak
Tugas dan kewajiban guru baik yang terkait langsung dengan proses belajar mengajar maupun tidak terkait langsung, sangatlah banyak dan berpengaruh pada hasil belajar mengajar. Bila peserta didik mendapatkan nilai tinggi, maka guru mendapat pujian. Pantas menjadi guru, dan harus dipertahankan, walaupun tetap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi bila yang terjadi sebaliknya, yakni para peserta didik mendapat nilai yang rendah, maka serta merta juga kesalahan ditumpahkan kepada sang guru. Predikat guru bodoh, tidak bisa mengajar, tidak memiliki kemampuan menjalankan tugasnya sebagai guru, lebih baik beralih fungsi menjadi karyawan atau tata usaha juga dialamatkan kepada guru.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh bagaimana memberikan prioritas yang tinggi kepada guru. Sehingga mereka dapat memperoleh kesempatan untuk selalu meningkatkan kemampuannya melaksanakan tugas sebagai guru. Guru harus diberikan kepercayaan, untuk melaksanakan tugasnya melakukan proses belajar mengajar yang baik. Kepada guru perlu diberikan dorongan dan suasana yang kondusif untuk menemukan berbagai alternatif metode dan cara mengembangkan proses pembelajaran sesuai perkembangan jaman. Agar dapat meningkatkan keterlibatannya dalam melaksanakan tugas sebagai guru, dia harus memahami, menguasai, dan terampil menggunakan sumber-sumber belajar baru di dirinya. Sumber belajar bukan hanya guru, apabila guru tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan perubahan. Maka guru tersebut akan mudah ditinggalkan oleh muridnya.
Saat inipun sudah banyak guru yang merasa diabaikan atau ditinggalkan oleh murid-muridnya karena berbagai hal. Keadaan seperti ini akan terus berlanjut, manakala seorang guru tidak segera menyadari dan mengambil langkah khusus untuk mengembalikan atau meningkatkan, posisinya sebagai guru, dengan jalan mengenali sumber-sumber belajar lain. Untuk itu, maka guru professional harus mengenali dan menguasai berbagai sumber pembelajaran modern yang kini semakin familiar dan secara riel dimanfaatkan oleh masyarakat termasuk para murid. Guru professional harus memiliki empat Kompetensi Pedagogik, 2) Kompetensi Kepribadian, 3) Kompetensi Sosial, 4) Kompetensi Profesional dalam membentuk karakter pesertadidik yang handal di masa yang akan dating guna membangun negara Indonesia yang seutuhnya.
Keyword: Guru Profesional, Karakter, Peserta Didik
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
19
PENDAHULUAN
Guru adalah seseorang figur yang mulia dan dimuliakan banyak orang, kehadiran guru di
tengah-tengah kehidupan manusia sangat penting, tanpa ada guru atau seseorang yang dapat
ditiru, diteladani oleh manusia untuk belajar dan berkembang, manusia tidak akan memiliki
budaya, norma, agama. Sulit dibayangkan jika di tengah kehidupan manusia tidak adanya
seorang guru, bekal tidak ada peradaban yang dapat dicatat, kita akan hidup dalam tradisi-tradisi
kuno, hukum rimba akan berlaku, yang kuat menindas yang lemah, demikianlah seterusnya.
Guru merupakan orang pertama mencerdaskan manusia, orang yang memberi bekal
pengetahuan, pengalaman, dan menanamkan nilai-nilai, budaya, dan agama terhadap anak didik,
dalam proses pendidikan guru memegang peran penting setelah orang tua dan keluarga di rumah.
Di lembaga pendidikan guru menjadi orang pertama, bertugas membimbing, mengajar, dan
melatih anak didik mencapai kedewasaan. Setelah proses pendidikan sekolah selesai, diharapkan
anak didik mampu hiidup dan mengembangkan dirinya di tengah masyarakat dengan berbekal
pengetahuan dan pengalaman yang sudah melekat di dalam dirinya.
Upaya guru mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih anak didik bukan suatu hal yang
mudah dan gampang. Pekerjaan ini membutuhkan pengalaman yang banyak dan keseriusan, di
sana-sini masih juga terdapat kejanggalan dan kekurangan, sang guru berupaya mengurangi
sedikit mungkin kekurangan dan kesalahan di dalam mengembangkan tugas sebagai
tenagapendidik.
Pengalaman merupakan guru yang paling baik. Prestasi siswa suatu target yang harus
dicapai oleh guru, namun di antara anak didik terdapat mereka yang berprestasi, dan ada pula
yang tidak berprestasi, siswa yang berprestasi lebih mudah dibimbing, diajar, dan dilatih
dibanding siswa yang belum berprestasi. Sang guru merasa gelisah dengan anak didiknya yang
tidak berprestasi dan tetap mengupayakan siswanya untuk berprestasi. Kadang-kadang sebagian
kecil orang tua menyerah sepenuhnya pendidikan anak-anaknya kepada guru, sedangkan
pendidikan terlaksana manakala adanya keijasama semua pihak, guru di sekolah, orang tua di
rumah, dan masyarakat tempat anak tumbuh dan berkembang.
Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab I pasal 1 Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.Seperti dijelaskan sebelumnya,
guru bermakna sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
20
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur
pendidikan formal. Tugas utama itu akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas
tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau keterampilan yang
memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu.
RUMUSAN MASALAH
Dalam hal ini maka penulis merumuskan permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan:
1. Bagaimana peran guru professional dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran?
2. Bagaimana upaya guru professional dalam membentuk karekter peserta didik?
PEMBAHASAN
1. Peran guru professional dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinyasuatu bidang pekerjaan yang ingin atau
akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu
yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan
akademis yang intensif (Webstar, 1989).
Good’s Dictionary of Education mendefinisikan sebagai “suatu pekerjaan yang meminta
persiapan spesialisasi yang relatif lama di perguruan tinggi dan dikuasi oleh suatu kode etik yang
khusus”.
Menurut Vollmer dilihat dari sudut pandangan sosiologi, bahwaprofesi menunjukkan kepada
kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan tapi
menyediakan suatu model status pekerjaan yang bias diperoleh bila pekerjaan itu telah mencapai
profesionalisasi dengan penuh. Dengan kata lain, istilah profesi menunjuk kepada suatu model
yang abstrak dari sekelompok pekerjaan yang lelah mencapai status profesi penuh, sedang istilah
profesionalisasi menunjuk kepada proses di mana kelompok pekerjaan sedang mengubah sifat-
sifatnya yang esensial mendekati model profesi yang sungguh.
Greenwood (Vollmer, 1956) menyarankan bahwa profesi-profesi dibedakan dari non-profesi
karena memiliki unsur yang esensial berikut; 1) Suatu dasar teori sistematis. 2.) Kewenangan
(authority) yang diakui oleh klien. 3.)Sanksi dan pengakuan masyarakat atas kewenangan ini.
4.)Kode etik yang mengatur hubungan-hubungan dari orang-orang professional dengan klien dan
teman sejawat; dan 5.) Kebudayaan profesi yang terdiri atas nilai-nilai, norma-norma dan
lambang-lambang.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
21
Sementara itu, yang dimaksud profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan
kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian seseorang.
Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan
kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan
seseorang yang menjadi mata pencaharian.
Guru professional adalah mereka yang memiliki kemandirian tinggi ketika berhadapan
birokrasi pendidikan dan pusat-pusat kekuasaan lainnya. Mereka memiliki ruang gerak yang
bebas sebagai wahana bagi keterlibatannya di bidang pendidikan dan pembelajaran,
pengembangan profesi, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan penunjang lainya.
Guru profesional pun memiliki daya juang dan energy untuk mereduksi secara kuat
munculnya kuasa birokrasi pendidikan, kepala sekolah, dan pengawas sekolah atas hak dan
kewajibannya. Mereka pun bebas berafiliasi ke dalam organisasi sebagai wahana perjuangan,
pengembangan profesi, dan penegakan independensi sebagai “pekerja” yang memiliki atasan
langsung. Dengan demikian, dari sisi kepribadian untuk tumbuh menjalani profesionalisasi, ciri-
ciri umum guru professional adalah:
1) Melakukan profesionalisasi diri,
2) Memotivasi diri,
3) Memiliki disiplin diri,
4) Mengevaluasi diri,
5) Memiliki kesadaran diri,
6) Melakukan pengembangan diri,
7) Menjadi pembelajar,
8) Melakukan hubungan efektif;
9) Berempati tinggi, dan
10) Taat asas pada kode etik.
Peran guru dalam meningkatkanproses pembelajaransebagaiberikut:
1) Guru sebagai Perancangan
Untuk tugas-tugas administratif tertentu, guru dapat memerankan diri sebagai administrator.
Ketika menjadi seorang “administrator”, tugas guru ialah merencanakan, mengorganisasikan,
menggerakkan, mengawasi dan mengevaluasi program kegiatan dalam jangka pendek,
menengah, atau jangka panjang yang menjadi perioritas tujuan sekolah.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
22
Untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan utama sekolah, maka tugas guru sebagai
perancang yaitu menyusun kegiatan akademik atau kurikulum dan pembelajaran, menyusun
kegiatan kesiswaan, menyusun kebutuhan sarana-prasarana dan mengestimasi sumber-sumber
pembiayaan operasional sekolah, serta menjalin hubungan dengan orangtua, masyarakat,
pemangku kepentingan dan instansi terkait. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut ada
beberapa hal yang harus diperhatikan guru, yaitu:
a. Mengerti dan memahami visi, misi, dan tujuan lembaga sekolah atau madrasah. Guru dapat
menjabarkannya ke dalam sebuah isi kurikulum dan pembelajaran, kegiatan kesiswaan,
penciptaan kultur sekolah, serta membangun penguatan kelembagaan yang sehat dan
berkualitas. Semua kegiatan itu diadministrasikan sedemikian rupa, sehingga kontinyuasinya
tidak mengalami kendala.
b. Mampu mengalisis data-data yang terkait masalah perubahan kurikulum, perkembangan
siswa, kebutuhan sumber belajar dan pembelajaran, strategi pembelajaran, serta
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Hasil analisis data
disajikan secara baik dan tersimpan secara apik, sehingga pada saat diperlukan dapat
diperoleh sesegera mungkin.
c. Mampu menyusun perioritas program sekolah secara terukur dan sistematis, seperti proses
rekuitmen siswa, masa orientasi siswa, proses pembelajaran, hingga proses evaluasi. Hasil
evaluasi diadministrasikan, dibuat dalam bentuk laporan statistik, sehingga kemajuan atau
kemundurannya dari tahun ke tahun dapat diketahui.
d. Mampu mengembangkan program-program khusus yang bermanfaat bagi penciptaan
inovasi sekolah, khususnya di bidang pendidikan dan pembelajaran. Semua capaian
ditatalaksanakan secara baik, sehingga setiap kemajuan yang dicapai tercatat rapi dan dapat
dijadikan referensi lebih lanjut.
2) Guru sebagai Penggerak
Guru juga dikatakan sebagai penggerak, yaitu mobilisator yang mendorong dan
menggerakkan sistem organisasi sekolah. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, seorang
guru harus memiliki kemampuan intelektual dan kepribadian yang kuat. Kemampuan intelektual,
misalnya mempunyai jiwa visioner, kreator, peneliti, jiwa rasional, dan jiwa untuk maju.
Kepribadian, seperti wibawa, luwes, adil dan bijaksana, arif dan jujur, sikap objektif dalam
mengambil keputusan, toleransi dan tanggungjawab, komitmen, disiplin, dan lain-lain.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
23
Untuk mendorong dan menggerakkan sistem sekolah yang maju memang membutuhkan
kemampuan brilian tersebut guna mengefektifkan kinerja sumber daya manusia secara maksimal
dan berkelanjutan. Sebab, jika pola ini dapat terbangun secara kolektif dan dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh oleh guru, maka akan muncul perubahan besar dalam sistem manajemen
sekolah yang efektif. Melalui cita-cita dan visi besar inilah, guru sebagai agen penggerak
diharapkan mempunyai rasa tanggungjawab, rasa memiliki, serta rasa ingin memajukan lembaga
sekolahnya sebagai tenda besar dalam mendedikasikan hidup mereka.
3) Guru sebagai Evaluator
Guru menjalankan fungsi sebagai evaluator, yaitu melakukan evaluasi/penilaian terhadap
aktivitas yang telah dikerjakan dalam sistem sekolah. Peran ini penting, karena guru sebagai
pelaku utama dalam menentukan pilihan-pilihan serta kebijakan yang relevan demi kebaikan
sistem yang ada di sekolah, baik menyangkut kurikulum, pengajaran, sarana-prasarana, sasaran
dan tujuan, hingga masukan dari masyarakat luas.
Seorang guru harus terus menerus melakukan evaluasi baik ke dalam maupun ke luar
sekolah, guna meningkatkan mutu pendidikan yang lebih haik. Evaluasi ke dalam (internal)
ditujukan untuk melihat kembali tingkat keberhasilan dan kelemahan yang dihadapi sekolah,
misalnya (1) visi, misi, tujuan dan sasaran, (2) kurikulum, (3) pendidik dan tenaga kependidikan,
(4) dana, sarana prasarana, regulasi, organisasi, budaya kerja dan atau belajar. Evaluasi ke luar
ditujukan untuk melihat peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah, misalnya (1) menjaga
kepercayaan masyarakat, (2) memenuhi harapan para orangtua siswa, (3) memenuhi kebutuhan
pemangku kepentingan, (4) desain ulang program magang untuk menghadapi persaingan, (5)
memperhatikan dampak iptek dan informasi, dan (6) pengaruh dari lingkungan sosial. Guru
sebagai pelaku utama menjadi agen perubahan yang dapat meningkatkan peran administratif
tersebut.
4) Guru sebagai Motivator
Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan penentu keberhasilan. Seorang guru
seyogyanya memerankan diri sebagai motivator murid-muridnya, teman sejawatnya, serta
lingkungannya. Kata motivasi berasal dari kata motif, yang artinya daya penggerak yang ada di
dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan.
Menurut McDonald seperti yang dikutip M. Sobry Sutikno (2009), motivasi adalah
perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya perasaan dan didahului
dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Pengertian yang dikemukakan McDonald itu
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
24
mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi, yakni motivasi itu mengawali terjadinya
perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai
keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan
dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam
kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi
dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Dalam beberapa sumber dijelaskan bahwa motivasi ada dua, yaitu motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan
dorongan orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri. Motivasi ekstrinsik timbul sebagai
akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari
orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah
bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang
demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin
tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan.
2. Perluasan Peran Guru
Di masa depan, peran guru akan menjadi makin sangat strategis, meski tidak selalu dapat
ditafsirkan paling dominan dalam kerangka pembelajaran. Guru tidak lagi hanya sebatas bisa
bekerja secara manual, melainkan sudah harus makin akrab dengan instrumen teknologi
informasi dan komunikasi, komputer, internet, dan sebagainya. Hal ini berimplikasi pada
perubahan sikap dan perilaku mereka dalam menatalaksanakan tugas-tugasnya. Karenanya, guru
masa depan harus mampu memainkan peran seperti berikut ini.
1. Sebagai penasihat, dimana guru harus mampu mengumpulkan data dan informasi, serta
mempresentasikannya di hadapan sejawat dan siswa untuk perbaikan pembelajaran dan
aktivitas pendukung akademik lainnya.
2. Sebagai subjek yang memproduksi, dimana guru tidak lagi hanya sebagai penyalur dan
penyadap ilmu, melainkan harus mampu memproduksi pengalaman baru, alat bantu
pembelajaran baru, dan cara-cara baru dalam rangka perbaikan pembelajaran.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
25
3. Sebagai perencana, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja
tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen
pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, lembar kerja siswa (LKS), dan
sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang
dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan
sudah terprogram secara baik.
4. Sebagai inovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaruan dan pembaruan
dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di dalamnya metode mengajar,
media pembelajaran, system dan alat evaluasi, serta nurturant effect lainnya. Secara individu
maupun bersama-sama mampu untuk mengubah pola lama, yang selama ini tidak
memberikan hasil maksimal, dengan mengubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan
berdampak kepada hasil yang lebih maksimal.
5. Sebagai motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar
dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar dan
terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya.
6. Sebagai pribadi yang mampu atau capable personal, dimana guru diharapkan memiliki
pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai
sehingga mampu mengola proses pembelajaran secara efektif.
7. Sebagai pengembang, dimana guru mau untuk terus mengembangkan diri, mau menularkan
kemampuan dan keterampilan kepada siswanya dan untuk semua orang. Guru masa depan
haus akan menimba keterampilan dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEKS,
misalnya, mampu dan terampil mendayagunakan komputer, internet, dan pelbagai model
pembelajaran multi media.
8. Sebagai penghubung, dimana guru harus mampu menjadi bagian dari jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang berkemauan untuk memajukan sekolah dan meningkatkan prestasi
belajar siswa.
9. Sebagai pemelihara, dimana guru tidak hanya mendorong anak menjadi cerdas dan terampil,
melainkan juga sebagai subjek yang dapat melestarikan tata nilai tradisional yang masih
relevan.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik
yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Menurut Mujtahid (2010) di sini
tugas guru adalah membangkitkan motivasi siswa sehingga ia mau melakukan belajar. Dari
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
26
landasan konseptual di atas. ada Beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk
menumbuhkan motivasi belajar siswa
1. Menjelaskan tujuan belajar kepada siswa. Pada permulaan belajar mengajar seharusnya
seorang guru menjelaskan mengenai tujuan yang akan dicapainya kepada siswa. Makin jelas
tujuan maka makin besar pula motivasi siswa dalam belajar.
2. Memberikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka
untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan
termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
3. Mendorong usaha persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya,
berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Memberikan pujian yang sepantasnya bagi siswa yang berprestasi sebagai penghargaan yang
bersifat membangun.
5. Memberikan hukuman yang bersifat mendidik.
6. Membangkitkan dorongan kepada siswa untuk belajar dengan cara memberikan perhatian
maksimal ke siswa.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar siswa secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari dalam dan luar
siswa. Faktor luar misalnya, fasilitas belajar, cara mengajar guru, serta sistem pemberian umpan
balik, dan sebagainya. Serta faktor dari dalam siswa mencakup kecerdasan, strategi belajar,
motivasi, dan sebagainya.
3. EmpatKompetensi Guru yang harusdimilikiolehseorangpendidik:
1) Kompetensi Pedagogik
Kompetensi ini menuntut guru memiliki kemampuan mengelola siswa yang meliputi
pemahaman terhadap siswa, perancangan, dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar,
serta mengembangkan kecerdasan siswa untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki. Komponennya antara lain mampu memnutuskan mengapa, kapan, di mana dan
bagaimana suatu materi mendukung tujuan pengajaran, dan bagaimana memilih jenis-jenis
materi yang sesuai untuk keperluan belajar siswa; mampu mengembangkan potensi siswa;
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
27
menguasai prinsip-prinsip dasar pembelajaran; mengembangkan kurikulum yang mendorong
keterlibatan siswa dalam pembelajaran; merancang pembelajaran yang mendidik; melaksanakan
pembelajaran yang mendidik; menilai proses dan hasil pembelajaran yang mengacu pada tujuan
utuh pendidikan.
2) Kompetensi Kepribadian
Guru dituntut memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak
mulia yang menjadi teladan bagi siswa. Komponennya antara lain selalu menampilkan diri
sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa; selalu menampilkan diri
sebagai pribadi yang berakhlak mulia yang menjadi teladan bagi siswa; selalu berperilaku
sebagai pendidik profesional; mengembangkan diri secara berkesinambungan sebagai pendidik
profesional; mampu menilai kinerja sendiri yang dikaitkan dengan pencapaian tujuan utuh
pendidikan; pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dimiliki
guru.
3) Kompetensi Sosial
Adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien
dengan siswa, sesama guru, orang tua/wali siswa, dan masyarakat sekitar. Komponennya antara
lain mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang tua siswa, sesama guru, dan masyarakat
sebagai stakeholders dari layanan ahlinya; berkontribusi terhadap perkembangan pendidikan di
sekolah dan masyarakat; berkontribusi terhadap perkembangan pendidikan di tingkat lokal,
regional, dan nasional; mampu memanfaatkan materi untuk berkomunikasi dan mengembangkan
diri; dan mampu sebagai komunikator, inovator, dan emansipator.
4) KompetensiProfessional
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas
dan mendalam yang memungkinkan guru dapat membimbing siswa untuk memenuhi standar
kompetensi yang ditetapkan dan Standar Nasional Pendidikan. Komponennya antara lain
kemampuan penguasaan materi/bahan pelajaran; kemampuan perencanaan program proses
belajar mengajar; kemampuan pengelolaan program belajar mengajar; kemampuan
menggunakan media dan sumber pembelajaran; kemampuan pelakasanaan evaluasi dan penilaian
prestasi siswa; kemampuan dalam diagnosis kesulitan belajar siswa; dan kemampuan
pelaksanaan administrasi kurikulum atau administrasi guru.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
28
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi guru untuk mengetahui dan menerapkan kompetensi
tersebut demi tujuan pendidikan nasional. Dengan kompetensi tersebut, guru diharapkan akan
lebih profesional lagi dalam menjalankan tugas pokoknyadandisesuaikan dengan mata pelajaran
yang diampu. Kemudian juga perlu ada penerapan kompetensi tersebut yang disesuaikan dengan
semboyan yang telah dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu: semboyan yang
didengungkan Ki Hajar Dewantara :Ing Ngarsa Sung Tuladha: Di Depan Memberi Teladan, Ing
Madya Mangun Karsa: Di Tengah Membangkitkan Kehendak, Tut Wuri Handayani : Di
Belakang Menggerakkan
4. Pendidikan karakter
Pengertian pendidikan karakter berkaitan dengan pengertian pendidikan dan karakter.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi siswa
(Puskur, 2010). Pengertian karakter Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
hormat kepada orang lain (Puskur, 2010). Bila dua pengertian tadi digabung, akan menjadi
pendidikan yang mengkarakterkan siswa. Lebih lanjut, pengertian pendidikan karakter adalah
pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri siswa
sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius,
nasionalis, produktif dan kreatif (Puskur, 2010).
Pengertian pendidikan karakter memiliki dua kata kunci. Kata kunci yang pertama adalah isi
pendidikan karakter. Isi berkaitan dengan “apa yang akan dilaksanakan” dalam pendidikan
karakter. Isi pendidikan karakter meliputi nilai nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau
ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan
pendidikan nasional (Puskur, 2010). Kata kunci yang kedua adalah pelaksanaan pendidikan
karakter. Untuk dapat melaksanakan pendidikan karakter, perlu diketahui fungsi dan tujuan
pendidikan karakter. Adapun fungsi dan tujuan pendidikan karakter adalah :
1) pengembangan: pengembangan potensi siswa untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini
bagi siswa yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter
bangsa;
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
29
2) perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi siswa yang lebih bermartabat; dan
3) penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. (Puskur, 2010)
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak bisa dilakukan semata-
mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-
nilai. Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika,
dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan
justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “keindahan”, yang mereka senangi.
Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas
berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama,
adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau
akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan dalam pidatonya pada hari Pendidikan
Nasional tahun 2015 mengatakan bahwa memberikan karakter dari sekolah yang menyenangkan
yaitu sekolah yang melibatkan semua komponennya, baik guru, orang tua, siswa dalam proses
belajarnya; sekolah yang pembelajarannya relevan dengan kehidupan; sekolah yang
pembelajarannya memiliki ragam pilihan dan tantangan, dimana individu diberikan pilihan dan
tantangan sesuai dengan tingkatannya; sekolah yang pembelajarannya memberikan makna
jangka panjang bagi peserta didiknya.
Dalam sambutannya, Anies Baswedan juga tak lupa mengajak masyarakat untuk
mengembalikan semangat Ki Hajar Dewantara yaitu wahana belajar yang membuat para
pendidik merasakan mendidik sebagai sebuah kebahagiaan. Sebuah wahana belajar yang
membuat para peserta didik merasakan belajar sebagai sebuah kebahagiaan. Pendidikan sebagai
sebuah kegembiraan. Pendidikan yang menumbuh-kembangkan potensi peserta didik agar
menjadi insan berkarakter Pancasila.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan
penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam,
menurut Quraish Shihab (1996), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya,
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
30
pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini
dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan
anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah
yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran
tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama
dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.
5. Tujuan pendidikan karakter adalah:
1) mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif siswa sebagai manusia dan warga negara yang
memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku siswa yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai
universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus
bangsa;
4) mengembangkan kemampuan siswa menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan
kebangsaan; dan
5) mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman,
jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa Kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan (dignity). (Puskur, 2010 : 7)
6. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Nilai-nilai pendidikan karakter perlu dikembangkan di sekolah. nilai ini berlaku universal,
karena dapat digunakan oleh seluruh siswa di Indonesia tanpa adanya diskriminasi terhadap
pihak-pihak tertentu. Nilai-nilai ini bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1) Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan
individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya.
Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama.
Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus
didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
31
2) Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
Kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan
UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.
Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur
kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya
dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang lebih baik,
yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai nilai
Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara (Puskur, 2010 : 8).
Mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang
memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.Mengembangkan kebiasaan dan perilaku terpuji
dan sejalan dengan nilai-nilai universal, dan tradisi budaya bangsa Indonesia yang religius.
Adapun 18 karakter yang harus dimiliki oleh siswa sebagai berikut:
1) Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama
lain.
2) Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3) Toleransi : Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4) Disiplin : Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan
5) Kerja Keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6) Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7) Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas
8) Demokratis : Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain
9) Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
32
10) Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya
11) Cinta Tanah Air : Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
12) Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
13) Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul,
dan bekerja sama dengan orang lain.
14) Cinta Damai : Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadiran dirinya.
15) Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16) Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi
17) Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18) Tanggung-jawab : Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
7. MetodePendidikankarakter
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat
tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah:
1) metode keteladanan, Dalam penanaman karakter keteladanan merupakan metode yang lebih
efektif dan efisien, karena peserta didik pada umumnya cenderung meneladani (meniru)
guru atau pendidiknya. Hal ini karena secara psokologis peserta didik senaang meniru, tidak
saja yang baik, bahkan terkadang yang jeleknya pun ditiru oleh anak-anaknya, karena itu
orang tua memberikan keteladanan yang baik kepada anak-anaknya
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
33
2) metode pembiasaan,Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-
ulang agar sesuatu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan (habituation) ini
berintikan pengalaman, karena yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan. Inti
kebiasaan adalah pengulangan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai sesuatu yang
istimewa, yang dapat menghemat kekuatan karena akan menjadi kebiasaan yang melekat
dan sponran, agar kegiatan ini dapat dilakukan dalam setiap pekerjaaan. Menurutt para pakar
metode ini sangat efektif dalam rangka pembinaan karakter dan kepribadian anak. Orang
tua membiasakan anak-anaknya untuk bangun pagi, maka bangun pagi itu akan menjadi
kebiasaan.
3) metode pujian, pesertadidik yang telahmengerjakanapa yang telahdiarahkanoleh guru
dandapatmelaksanakandenganbaikperludiapresiasikandalammelaksanakantugassebagaipeser
tadidik, baiksecaralangsungmaupuntidaklangsung.
4) hukuman.Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan menepati
posisi yang sangat penting. Peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya
ketimbang yang dilaksanakan sang guru, tetapi jika yang telah diberikan tugas dalam proses
pembelajaran dan tidak dilaksanakan perlu diberikan sangsi atau hukuman yang mendidik
agar pesertadidiktersebutdapatmelaksanakannyatugas yang diberikanolehgurunya.
Di sinilah letak peran guru professional dansemua anggota masyarakat untuk berbenah diri
agar lingkungan kita kembali ke watak dan karakter bangsa kita yang luhur dan beradab.
Masyarakat yang damai, tenteram dan berkarakter akan memberikan dampak yang positif bagi
kepribadian dan karakter anak, sebaliknya keadaan lingkungan yang tidak tenteram dan tidak
berkarakter, secara tidak langsung akan membuat anak terpengaruh oleh hal-hal negatif dari
lingkungan tersebut.
Sudah sepantasnya jika kita semua berbenah diri agar kita kembali ke watak dan karakter
bangsa kita yang sesungguhnya yang berkepribadian luhur dan beradab berlandaskan nilai-nilai
Pancasila, sehingga kita bisa menyelamatkan watak dan karakter generasi penerus kita dalam
menghadapi arus globalisasi yang sangat cepat mempengaruhi karakter peserta didik dengan
memberikan uswah hasanah, keteladanan yang baik bagi mereka, keteladanan dari pendidik,
keteladanan dari orang tua dan keteladanan dari masyarakat. Karena, bagaimanapun bagusnya
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, hasilnya tidak akan maksimal tanpa dukungandari
berbagai pihak.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
34
KESIMPULAN DAN SARAN
Pendidikan karakter sangat penting diterapkan demi mengembalikan karakter bangsa
Indonesia yang sudah mulai luntur. Dengan dilaksanakannya pendidikan karakter di sekolah
dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas diharapkan dapat menjadi solusi
atas masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Pelaksanaan pendidikan karakter di
sekolah dapat dilaksanakan pada ranah pembelajaran (kegiatan pembelajaran), pengembangan
budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstra
kurikuler, dan kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat.
Adapun 18 karakter yang harus dimiliki oleh siswa sebagai berikut: 1) Religius, 2) Jujur, 3)
Toleransi, 4) Disiplin, 5) Kerja Keras, 6) Kreatif, 7) Mandiri,8) Demokratis, 9) Rasa Ingin Tahu,
10) Semangat Kebangsaan, 11) Cinta Tanah Air, 12) Menghargai Prestasi,13)
Bersahabat/Komunikatif, 14) Cinta Damai, 15) Gemar Membaca, 16) Peduli Lingkungan, 17)
Peduli social, 18) Tanggung-jawab
Pendidikan karakter, begitu pentingnya pendidikan karakter di negeri ini, untuk itu bagi para
guru, konselor, dosen maupun orang tua hendaknya senantiasa menanamkan karakter pada anak
didiknya. Khusus bagi guru professional di Indonesia baik secara langsung maupun tidak
langsung berkewajiban menyelenggarakan program pelayanan yang bernuansa nilai-nilai
pendidikan karakter.
Jika kita hubungkan profesi guru sangat identik dengan peran mendidik seperti
membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan
ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contohnya. Guru
(digugu dan ditiru) otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan
bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat
mendasar, karenatugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge) tetapi juga
menanamkan nilai-nilai dasar dari membangun karakter atau akhlak anak-anak kita yang perlu
menanamkam rasa karekter yang berkelanjutan.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
35
DAFTAR PUSTAKA
Doni A. Kusuma. (2007), PendidikanKarakter; StrategiMendidikAnak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo
E.Mulyasa. (2011), Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatifdan
Menyenangkan. Jakarta: Rosda Martinis Yamin. (2011), Profesionalisasi Guru Dan Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada
Press Moh. Uzer Usman. (2011), Menjadi Guru Profesional. Jakarta: Rosda Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah
Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas 2010. SyaifulSagala. (2011), Kemampuan Professional Guru dan Ttenaga Kependidikan. Bandung:
Alfabeta http://www.aktualita.co/pidato-lengkap-anies-baswedan-dalam-rangka-hari-pendidikan-nasional-
2015
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
36
Page 36-59
SISTEM PEMBELAJARAN BERORIENTASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMPUTER DI SEKOLAH GUNA MENCETAK GENERASI BERKUALITAS
Maryani, S.Ag., M.HI
(Mahasiswa S.3 Pascasarjana IAIN STS Jambi)
Latar Belakang
Perkembangan sistem pembelajaran saat ini mengharuskan seluruh aspek pembelajaran
dikaitkan dengan teknologi informasi dan komputer dan penggunaan perangkat-perangkat
teknologi dan telekomunikasi yang dibutuhkan sebagai sarana belajar-mengajar gunamencapai
kemajuan yang signifikan dibidang pembelajaran.
Menyadari hal tersebut di atas, maka pendidikan seharusnya bersikap proaktif terhadap
kemajuan iptek yang berdampak secara langsung maupun tidaklangsung terhadap perubahan
sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi
pengelolaan pendidikan, maka prosespendidikan perlu sekali mempertimbangkan kemajuan ilmu
pengetahuan danteknologi, terutama perkembangan pesat teknologi informasi dan
komputer(TIK).
Dalam paradigma baru pembelajaran, paradigma teaching (mengajar) seperti yang selama
ini dominan harus diubah menjadi paradigma learning (belajar). Melalui perubahan ini, proses
pendidikan menjadi ”proses bagaimana belajar bersama antara guru dan murid”. Dalam konteks
ini, guru termasuk individu yang terlibat dalam proses belajar, bukan orang yang serba tahu
dalam segala hal. Siswa dipandang sebagai individu aktif yang terlibat secara langsung dalam
pembelajaran.2
Kegiatan pembelajaran memiliki posisi penting bagi pengembangan sumberdaya manusia
unggul sebagaimana yang dicita-citakan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
tahun 2003. Pembelajaran merupakan jantungnya aktivitas pendidikan. Di dalam kegiatan
pembelajaran inilah terjadi proses transmisi dan transformasi pengalaman belajar kepada peserta
didik sesuai kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, apabila penerapan sistem pembelajaran
2 Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 25.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
37
ingin mencetak generasi berkualitas maka yang terlebih dahulu dilakukan adalah pengembangan
sistem pembelajarannya yang berorientasi pada teknologi dan informasi agar sesuai dengan
perkembangan zaman.
Banyak model yang bisa dilakukan untuk mengembangkan sistem pembelajaran bagi
penyiapan generasi berkualitas pada era teknologi dan informasi. Hasil pengembangan sistem
pembelajaran tersebut, pada akhirnya diharapkan mampu memfasilitasi tumbuh berkembangnya
sumberdaya manusia yang dibutuhkan pada era teknologi dan informasi secara efektif dan
adaptabel sesuai kondisi masyarakat Indonesia.Edmund Bachman menyarankan untukterus
belajar dan belajar dengan seluas-luasnya serta memperluas proses belajar pada prosesinovasi,
agar kita tetap bisa bersaing, meningkatkan produktivitas atau nilai tambah.3
Pendidikan adalah aset masa depan dalam membentuk SDM yang berkualitas.
Peningkatan SDM perlu ditangani oleh sistem pendidikan yang baik, pengelola yang profesional,
tenaga guru yang bermutu, sarana belajar dan anggaran pendidikan yang cukup. Pendidikan
memiliki spektrum masa depan yang luas dan seimbang sehingga harapan masyarakat terhadap
pendidikan terpenuhi, dan manusia Indonesia seutuhnya dapat diwujudkan. Sistem pendidikan
masa depan bangsa Indonesia adalah pendidikan yang mengantarkan generasi masa kini menjadi
generasi emas. Generasi ini akan menjadi generasi penduduk warga dunia yang bersifat
transkultural, namun harus tetap hidup dan berkembang dalam jati diri dan budaya Indonesia
sebagai sebuah bangsa yang bermartabat.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulisan makalah ini berjudul “Sistem
Pembelajaran Berorientasi Teknoligi Informasi dan Komputer di Sekolah Guna Mencetak
Generasi Berkualitas”.
Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan masalah pada makalah ini
sebagai berikut:
a. Bagaimana sistem pembelajaran berorientasi teknologi informasi dan komputer di sekolah
berkaitan dengan mencetak generasi berkualitas?
b. Bagaimana penyesuaian komponen input, proses dan output sistem pembelajaran dengan
teknologi informasi dan komputer yang ada guna mencetak generasi berkualitas? 3 Edmund Bachman, Creative thinking roadmap (terjemahan), (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hal. 2.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
38
c. Bagaimana penerapan pembelajaran berorientasite knologi informasi dan komputer di
sekolah guna mencetak generas iberkualitas.
1. Sistem PembelajaranBerorientasi Teknologi Informasi dan Komputer
Setiap individu memiliki kemampuan yang terbaik bagi dirinya, dan kemampuan tersebut
akan berkembang secara optimal jika diberi kesempatan. Peran pendidik sebagai fasilitator dan
motivator dalam proses pengembangan kemampuan peserta didik danmelihat kemampuan tiap
individu peserta didik memiliki kemampuan yang bervariatif maka dalam menerapkan system
pembelajaran hendaknya diawali dengan analisis kondisi dan kemampuan awal peserta didik dan
faktor pendukung lainnya.
Banyak definisi yang digunakan untuk menjelaskan arti kata “Sistem”, diantaranya
sebagai berikut :
a. Sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks/ terorganisir: suatu himpunan /
perpaduan hal-hal / bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan / keseluruhan yang
kompleks/utuh.
b. Sistem merupakan himpunan komponen yang saling berkaitan yangg bersam-sama berfungsi
untuk mencapai suatu tujuan.
c. Sistem merupakan sehimpunan komponen/subsistem yang terorganisasikan dan berkaitan
sesuai dengan rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Meskipun definisi-definisi diatas itu berbeda-beda tetapi mengandung unsur persamaan
yang dapat dipandang sebagai ciri umum dari sistem yaitu yang mencakup hal-hal sebagai
berikut :
• Sistem merupakan suatu kesatuan yang terstruktur.
• Kesatuan tersebut terdiri dari sejumlah komponen yang saling berpengaruh.
• Dan masing-masing komponen tersebut mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama
melaksanakan fungsi struktur, yaitu mencapai tujuan sistem.4
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku. Namun demikian, kita akan sulit melihat
bagaimana proses terjadinya perubahan tingkah laku dalam diri seseorang, karena perubahan
tingkah laku berhubungan dengan perubahan sistem syaraf dan perubahan energi yang sulit
dilihat dan diraba.5
4 Muhammad Joko Susilo, S.Pd., M.Pd., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 29.
5 Dr. Wina Sanjaya,M.Pd.,Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hal 57.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
39
Teknologi informasi didefinisikan sebagai pemanfaatan teknologi guna keperluan
pengolahan informasi. Hal ini senada dengan definisi yang dicantumkan Dictionary of
Information Technology yang menyebutkanteknologi informasi adalah, “the acquisition,
processing, storage and dissemination of vocal, pictorial, textual and numerical information by a
microelectronics-based combination of computing and telecommunications ...”.6
Istilah “Teknologi Komunikasi‟, lebih merujuk kepada proses pentransmisian/penyebaran
informasi yang telah diolah. Teknologi komunikasi adalah perangkat-perangkat teknologi yang
terdiri dari hardware, software, proses dan sistem, yang digunakan untuk membantu proses
komunikasi, yang bertujuan agar komunikasi berhasil (komunikatif).7
Perkembangan teknologi yang berlangsung dengan pesat dimulai dari pertengahan abad
ke-20 hingga saat ini (awal abad ke-21) telah menyebabkan hampir seluruh aspek dalam
kehidupan manusia mendapatkan sentuhan teknologi. Teknologi pada dasarnya memang
diciptakan untuk mempermudah hidup manusia, sehingga manusia bisa menyelesaikan
pekerjaannya lebih cepat, efektif, efisien dan juga optimal.
Di masa ini e-learning bahkan sudah menjadi sebuah industri di mana banyak pihak yang
mengembangkan produk aplikasi e-learning dengan keunggulannya masing-masing dan diklaim
dapat lebih meningkatkan hasil pembelajaran pada aspek-aspek tertentu. Satu hal yang patut
diperhatikan dari perkembangan e-learning pada masa ini adalah para pakar pembelajaran mulai
menyadari bahwa pembelajaran dengan memanfaatkan TIK tetap memerlukan keberadaan aspek
sosial.
Dari perkembangan terakhir dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran tersebut, muncul
sebuah harapan bahwa di masa depan TIK akan mampu lebih mengakomodirkeperluan seluruh
masyarakat dunia untuk belajar. Sesuai dengan yang telah dicanangkan oleh UNESCO (2012)
bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi di dalam kegiatan pembelajaran harus
mampu membuka akses universal kepada pendidikan (universal access to education),
memberikan pendidikan yang adil (equity in education), mengantarkan kegiatan pembelajaran
dan pengajaran yang berkualitas (the delivery of quality learning and teaching), mengembangkan
profesionalisme tenaga pengajar (teachers’ professional development), serta menciptakan
administrasi, pengaturan kebijakan dan manajemen pendidikan yang lebih efisien (more efficient
education management, governance and administration).
6 Longley, D., & Shain, M., Dictionary of Information Technology,(London: Macmillan Publisher, 2012), hal. 164.
7 Munir,Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi,(Bandung: Alfabeta, 2010),hal 14.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
40
Lebih lanjut, visi pemanfaatan TIK seperti yang dicanangkan oleh UNESCO di atas bisa
tercapai karena TIK sendiri memiliki beberapa karakteristik seperti yang dituliskan oleh
Abdulhak sebagai berikut:
1. Memungkinkan siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar dan kemampuan yang
dimiliki, termasuk bagi siswa yang lambat belajar, siswa dengan kebutuhan khusus, dan
mereka yang tinggal di daerah terpencil;
2. Membuat belajar lebih efektif, karena melibatkan lebih banyak dalam memanfaatkan
multimedia dan hubungan dalam konteks media tingkat tinggi; dan
3. Menyediakan informasi yang bersifat internasional secara lebih luas, terutama untuk
mendekati pemecahan masalah serta lebih sensitif dalam menanggapi kebutuhan lokal.8
TIK sebagai sebuah alat bantu dalam kegiatan pembelajaran bila didesain dan
diintegrasikan dengan baik bisa membantu meningkatkan penyerapan pengetahuan, keterampilan
dan sikap hidup peserta didik. Dengan pengintegrasian TIK, sebuah kegiatan pembelajaran tidak
lagi hanya akan berpusat kepada pengajar sebagai pusat pengetahuan, akan tetapi berpusat
kepada peserta didik sebagai pihak yang memiliki kendali atas kegiatan pembelajaran yang
dilakukannya. Ada lima kondisi efektif pembelajaran yang bisa dicapai melalui pemanfaatan
TIK sebagai berikut:
1. Pembelajaran Aktif; Dengan pemanfaatan TIK, suasana pembelajaran tidak akan lagi
menjadi abstrak, melainkan lebih nyata dan relevan dengan kebutuhan belajar peserta didik.
Pembelajaran Kolaboratif; TIK memungkinkan peserta didik untuk belajar secara
kolaboratif, baik dengan sesama peserta didik, dengan pengajar, maupun narasumber yang
berhubungan dengan topik yang sedang mereka pelajari.
2. Pembelajaran Kreatif; TIK telah memungkinkan peserta didik untuk menghasilkan produk
yang unik dan menarik, karena TIK memiliki kemampuan untuk menggabungkan berbagai
format sajian ke dalam satu kesatuan, seperti materi multimedia, flm, website dan lain-lain.
3. Pembelajaran Integratif; Penggunaan TIK telah memungkinkan peserta didik untuk lebih
mudah menggabungkan berbagai informasi dari ragam disiplin ilmu ke dalam satu kesatuan
informasi. Dengan informasi yang lebih mudah didapat, peserta didik akan memiliki
pemahaman yang lebih komprehensif mengenai topik yang sedang mereka bahas.
8 Abdulhak, I., “Penerapan ICT dalam Pembelajaran di Madrasah”, dalam Bahan Ajar Pelatihan Peningkatan Kompetensi
Pembelajaran Berbasis ICT Bagi Guru Madrasah Se-Indonesia, (Bandung: Yayasan Idea Cendekia, 2010), hal 2.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
41
4. Pembelajaran Evaluatif; TIK memungkinkan peserta didik untuk mengevaluasi sendiri
kegiatan pembelajaran mereka. Dengan menggunakan aplikasi tertentu, peserta didik mampu
mengukur sejauh mana pemahaman mereka terhadap sebuah materi pembelajaran dan
mengidentifikasi kelemahan-kelemahan mereka agar bisa lebih menyempurnakan
pemahamannya.9
Hasil riset Haddad dan Jurich mengenai pemanfaatan TIK dalam pendidikan di beberapa
negara berkembangmengatakan bahwa bila dimanfaatkan dengan baik dan tepat guna, maka TIK
memiliki potensi untuk memperluas akses pendidikan (expanding access), meningkatkan
efisiensi (promoting efficiency), memperbaiki kualitas belajar dan meningkatkan kualitas
pengajaran (improving the quality of learning and enhancing the quality of teaching), serta
memperbaiki sistem pengelolaan dan administrasi pendidikan (improving management system).10
Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, terlihat jelas bahwa kebutuhan pemanfaatan
TIK di dalam dunia pendidikan adalah mutlak untuk diadakan guna kepentingan peningkatan
kualitas pembelajaran. Secara garis besar TIK memiliki empat peranan sebagai berikut:11
1. Memperluas akses pendidikan
TIK dapat membuka akses yang lebih luas terhadap pendidikan. Dengan TIK, kegiatan
pembelajaran tidak terbatas lagi ruang kelas, tetapi dapat berlangsung di mana saja dan
kapan saja asal peserta didik yang bersangkutan terhubung ke internet.
2. Meningkatkan efisiensi pendidikan
Efisiensi dalam bidang pendidikan berarti sebuah pendidikan bisa tersampaikan dengan
kualitas terbaik dan menuju hasil yang optimal tanpa biaya yang mahal. Pemanfaatan TIK
memungkinkan hal itu terjadi.
4. Memperbaiki proses belajar mengajar
TIK dengan segala potensi dan kemampuannya dalam menyajikan materi yang variatif
dalam berbagai format mampu mengantarkan proses belajar mengajar yang lebih baik guna
memberikan hasil belajar yang lebih optimal pada diri peserta didik. Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa bila dibandingkan dengan mengikuti pembelajaran konvensional
9 Cynthia, R.,“Hakikat Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran”, dalam Teknologi Informasi dan
Komunikasi dalam Pembelajaran,(Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 2009), hal. 6.
10 Haddad, WD. &Jurich, S.,ICT for Education: Potential and Potency. [Online]. Tersedia: http://www.ictinedtoolkit.org/usere/library/tech_for_ed_chapters/03.pdf [9 Juli 2012]. hal. 29.
11 Abdulhak, I.,“Penerapan ICT dalam Pembelajaran di Madrasah”, dalam Bahan Ajar Pelatihan Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Berbasis ICT Bagi Guru Madrasah Se-Indonesia, (Bandung: Yayasan Idea Cendekia, 2010), hal. 4-5.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
42
tatap muka dan ceramah yang monoton di dalam kelas, peserta didik akan lebih memiliki
ketertarikan untuk belajar melalui penggunaan media yang bisa mengantarkan beragam
format seperti gambar, suara, video, animasi, atau program interaktif.
4. Memperbaiki sistem pengelolaan
Dalam hal manajemen dan administrasi pendidikan, TIK dapat dipergunakan untuk
membantu mengelola dan mengolah data-data pendidikan dan pembelajaran, seperti keadaan
peserta didik dan pengajar, hasil penilaian peserta didik, keuangan, keadaan sarana dan
prasarana suatu lembaga pendidikan dll. Hal ini dilakukan demi menghasilkan suatu
lembaga pendidikan dan kegiatan pembelajaran yang berkualitas yang mampu menyediakan
data pendidikan yang akurat, mudah dipergunakan, serta diperoleh dengan tepat waktu.
Selain empat peranan TIK dalam pendidikan seperti yang telah disebutkan di atas, TIK
juga memiliki peranan-peranan lain yang lebih spesifik dalam dunia pendidikan. Peranan
tersebut lebih terkait kepada kegiatan pembelajaran sebagai kegiatan sentral dalam sebuah sistem
pendidikan. Berikut adalah enam peranan TIK tersebut seperti yang:12
a.TIK sebagai keterampilan (skill) dan kompetensi
Setiap pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan pendidikan, baik itu peserta didik, pengajar,
administrator maupun para pengambil kebijakan pendidikan, harus memiliki kompetensi dan
keahlian di bidang teknologi informasi dan komunikasi, khususnya aplikasi TIK yang
spesifik diperuntukkan bagi pendidikan.
b. TIK sebagai infrastruktur pembelajaran
Penggunaan TIK sebagai salah satu komponen pembelajaran akan meningkatkan kualitas
pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran jadi bisa dilaksanakan di mana saja dan kapan saja,
serta tidak terkendala lagi oleh keadaan di mana peserta didik, pengajar dan bahan ajar
terpisah secara geografis.
c. TIK sebagai sumber bahan belajar
Pemanfaatan TIK sebagai suatu sumber bahan belajar akan menjamin tersedianya materi-
materi pembelajaran yang selalu terperbaharui dan selalu tersedia untuk diakses setiap saat.
Selain itu materi-materi pembelajaran pun akan lebih mudah untuk diperbaharui
menyesuaikan dengan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi.
12 Munir,Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi,(Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 185.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
43
d. TIK sebagai alat bantu dan fasilitas pembelajaran
Melalui pemanfaatan TIK sebagai alat bantu dan fasilitas pembelajaran, suatu materi
pembelajaran akan tersampaikan dengan lebih baik dengan mempertimbangkan konteks
dunia nyatanya. Ilustrasi berbagai fenomena ilmu pengetahuan akan tersampaikan dengan
lebih riil sehingga penyerapan bahan ajar pun terjadi dengan lebih cepat.
e. TIK sebagai pendukung manajemen pembelajaran
Pemanfaatan TIK dalam mendukung manajemen pembelajaran dapat dipergunakan untuk
membantu mengelola dan mengolah data-data pendidikan dan pembelajaran sehingga
menghasilkan suatu lembaga pendidikan yang berkualitasyang mampu menyediakan data
pendidikan yang akurat, mudah dipergunakan, serta dapat diperoleh dengan tepat waktu.
f. TIK sebagai sistem pendukung keputusan.
Ketersediaan data-data pendidikan yang akurat dapat digunakan oleh para pembuat
keputusan dan pemegang kewenangan untuk membuat keputusan yang tepat bagi sistem
pendidikan yang berlangsung.
Satu hal yang jelas dari kegiatan pemanfaatan TIK dalam pendidikan, bahwa TIK kini
memegang peranan yang penting dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan guna
menjamin terciptanya pendidikan yang berkualitas, perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemajuan umat manusia.
4. Penyesuaian Komponen Sistem Pembelajaran
Terbentuknya generasi berkualitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang mendukung
maupun yang menghambat. Dalam sejarah perkembangan manusia, ada tiga lingkungan yang
berpengaruh pada kepribadian dan kualitas dirinya. Tiga lingkungan itu adalah keluarga,
lembaga pendidikan formal, dan masyarakat.
Generasi menjadi generasi yang kuat dan berkualitas, pendidikan dan lembaga pendidikan
harus mendapat perhatian yang khusus. Sebisa mungkin, pendidikan diselenggarakan dalam
lembaga dan sistem yang baik, yang memungkinkan anak didik mencapai segenap kualitas yang
diperlukan olehnya dalam mengarungi kehidupan. Pendidikan merupakan tanggung jawab semua
pihak yang berkepentingan, keluarga, masyarakat, dan pemerintah.13
13 Membentuk Generasi Berkualitas. http://bermenschool.wordpress.com/2008/12/18/membentuk-generasi-berkualitas.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
44
Penyesuaian komponen sistem pembelajaran dalam hal ini kaitannya dengan penyesuaian
komponen input, proses dan output sistem pembelajaran dengan teknologi informasi dan
komputer guna mencetak generasi berkualitas sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas.
5. Komponen Input
Komponen input pembelajaran terdiri dari karakteristik peserta didik, karakteristik guru,
dan sarana prasarana dan perangkat pendukung pembelajaran.
A. Karakteristik peserta didik
Karakteristik siswa adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa yang terdiri dari
minat, sikap, motivasi belajar, gaya belajar kemampuan berfikir, dan kemampuan awal yang
dimiliki. Fisik seorang peserta didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses
pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan:
1. Peserta didik pada usia 1 – 7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami masa
kanak-kanak.
2. Peserta didik pada usia 7 – 14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami
masa sekolah yang didukung dengan peraihan pendidikan formal.
3. Peserta didik pada 14 – 21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami masa
pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.14
Kriteria tentang seseorang dapat disebut sebagai siswa (kesiswaan) manakala telah lulus
ujian seleksi, maupun latar belakang kultural/ akademis yang kuat, wawasan yangg luas dan
cukup mendalam, integritas kepribadian yang dewasa, dan memiliki sifat-sifat ilmuan : objektif,
kritis, analitis, integratif dan komprehensif dengan daya logika yang tinggi untuk jenjang
sarjana.15 Kriteria tersebut tentu akan jelas berbeda dengan kriteria bagi anak yang baru mau
masuk SMP maupun SMA.
Proses belajar harus tumbuh dan berkembang dari diri anak sendiri, dengan kata lain anak-
anak yang harus aktif belajar sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Pandangan ini
pada dasarnya mengemukakan bahwa mengajar adalah membimbing kegiatan belajar anak.
”Teaching is the guidance of learning activities, teaching is for the purpose of aiding the pupil
learn”.16Sehingga dapat disimpulkan bahwa belajar mengajar merupakan proses kegiatan
14 Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Cetakan ke II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006),
hal. 42. 15Muhammad Joko Susilo,S.Pd.,M.Pd., Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Belajar, 2007), hal.
58. 16 Hamalik, Oemar,Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 2002), hal. 58.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
45
komunikasi dua arah. Proses belajar mengajar merupakan kegiatan yang integral (terpadu) antara
peserta didik sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang
mengajar. Selanjutnya proses belajar mengajar merupakan aspek dari proses pendidikan.
6. Karakteristik Pendidik
Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi
pembelajaran. Tanpa adanya guru bagaimana pun bagus dan idealnya suatu strategi jika tanpa
adanya guru, strategi tersebut tidak dapat diimplikasikan, karena guru merupakan suatu
pekerjaan profesional, sehingga jabatan ini memerlukan suatu keahlian khusus yang menuntut
seorang guru menguasai betul seluk beluk pendidikan dan pengajaran serta ilmu lainnya, dengan
harapan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik secara otomatis akan mampu
menghasilkan output yang baik pula.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa,
“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Undang-undang tersebut secara jelas
menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 10, dinyatakan bahwa
kompetensi guru itu meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dalam penjelasan
undang-undang tersebut, kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian, berakhlak. Kompetensi
profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajara. Kompetensi sosial adalah
kemampuan guru untuk beinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Seorang pendidik harus mampu membentuk peserta didik yang berkepribadian dan dapat
mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang pendidik harus mampu memahami peserta
didik beserta segala karakteristiknya. Adapun hal-hal yang harus dipahami adalah :
1. Kebutuhannya
2. Dimensi-dimensinya
3. Intelegensinya
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
46
4. Kepribadiannya.17
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat
jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 28 ayat 3 yaitu:
1. Kompetensi pedagogik;
2. Kompetensi kepribadian;
3. Kompetensi profesional; dan
4. Kompetensi sosial.
Penjabaran tentang kompetensi pendidik sebagaimana berikut:
1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam mendidik peserta didik yang
meliputi :
a. Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
b. Pemahaman terhadap peserta didik
c. Pengembangan kurikulum / silabus
d. Perancangan pembelajaran yang kreatif dan inovatif
e. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
f. Evaluasi hasil belajar, dan
g. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang di milikimya
2. Kompetensi kepribadian, yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah komponen-
komponen yang akan mendukung kemampuan pribadi dan karakteristik guru agar
pelaksanaan tugas guru dapat berjalan lancar sesuai yang diharapkan.
Beberapa kompetensi kepribadian guru itu meliputi :
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Percaya kepada diri sendiri
c. Tenggang rasa dan toleran
d. Bersikap terbuka dan demokratis
e. Sabar dalam menjalankan profesi keguruannya
f. Mengembangkan diri bagi kemajuan profesinya
g. Memahami tujuan pendidikan
h. Mampu menjalin hubungan insan
i. Mampu memahami kelebihan dan kekurangan diri 17
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), Hal. 78.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
47
j. Kreatif dan inovatif dalam berkarya
3. Kompetensi professional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara
luas dan mendalam yang meliputi :
a. Konsep, struktur, dan metode keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan
materi ajar
b. Materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah
c. Hubungan konsep antar mata pelajaran yang terkait
d. Penerapan konsep-konsep keilmuan dan kehidupan sehari-hari
e. Kompetisi secara professional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan
budaya nasional.
4. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagian dari masyarakat untuk :
a. Berkomunikasi lisan dan tulisan
b. Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional
c. Bergaul secara efektif bagi peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang
tua / wali peserta didik
d. Bergaul secara sopan santun dengan masyarakat sekitar
7. Sarana prasarana dan perangkat pendukung pembelajaran
Sarana adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan
menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas,
meja, kursi, serta alat dan media pembelajaran. Adapun yang dimaksud prasarana adalah fasilitas
yang tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan/pengajaran, seperti halaman, kebun,
taman sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti
taman sekolah untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sekaligus lapangan olahraga.18
Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses
pembelajaran yaitu sarana dan prasarana. Prasarana dan sarana pendidikan adalah salah satu
sumber daya yang menjadi tolak ukur mutu sekolah dan perlu peningkatan terus menerus seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup canggih.
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang
menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42
dengan tegas disebutkan bahwa :
18
Muhammad Joko Susilo,S.Pd.,M.Pd., Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Belajar, 2007), hal. 65.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
48
• Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan,
media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan
lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
• Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang
pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang
laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa,
tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat
lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan
Sarana dan prasarana pendidikan artinya segala sesuatu (alat dan barang) yang
memfasilitasi (memberikan kemudahan) dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Sarana
pendidikan adalah segala macam alat yang digunakan secara langsung dalam proses pendidikan.
Sementara prasarana pendidikan adalah segala macam alat yang tidak secara langsung digunakan
dalam proses pendidikan. Perbedaan sarana pendidikan dan prasarana pendidikan adalah pada
fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan untuk “memudahkan penyampaian/mempelajari
materi pelajaran” sedangkan prasarana pendidikan untuk “memudahkan penyelenggaraan
pendidikan.” Dalam makna inilah sebutan “digunakan langsung” dan “digunakan tidak
langsung”.
6. Komponen Proses
Dalam keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah berlang-sung interaksi
guru dan siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan kegiatan paling pokok. Jadi
proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi yakni
siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar. Dalam proses interaksi
tersebut dibutuhkan komponenproses sistem pembelajaran yang menitikberatkan pada strategi,
model, dan metode pembelajaran.
A. Strategi Pembelajaran
Istilah strategi mula-mula dikenal dalam dunia militer yang berarti sebagai cara
penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan. Dalam dunia
pendidikan, strategi diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang
didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Ada beberapa strategi pembelajaran yang
dapat digunakan. Rowntree mengelompokan strategi pembelajaran menjadi tiga: (1) exposition-
discovery learning (strategi pembelajaran penemuan), (2) cooperative learning (strategi
pembelajaran kelompok), (3) groups-individual learning (strategi pembelajaran individual).
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
49
Strategi exposition, bahan pelajaran disajikan kepada siswa dalam bentuk jadi dan siswa
dituntut untuk menguasai bahan tersebut. Karena dalam pembelajaran ini, materi pelajaran
disajikan begitu saja kepada siswa, siswa tidak dituntut untuk mengolahnya. Kewajiban siswa
adalah menguasainya secara penuh. Dengan demikian dalam strategi ekspositori guru
berfungsisebagai penyampai informasi. Berbeda dengan strategi discovery , di mana bahan
pelajaran dicari dan ditemukan sendiri oleh siswa melalui berbagai aktivitas, sehingga tugas guru
lebih banyak sebagai fasilitator dn pembimbing bagi siswanya. Karena sifatnya yang demikian
strategi ini sering juga dinamakan strategi pembelajaran tidak langsung.
Berbeda dengan strategi pembelajaran individual, adalah belajar kelompok, yang dilakukan
secara beregu. Sekelompok siswa diajar oleh seorang atau beberapa guru. Bentuk belajar
kelompok itu bisa dalam pembelajaran kelompok besar atau pembelajaran klasikal; atau bisa
juga siswa belajar dalam kelompok kecil. Strategi kelompok tidak memerhatikan kecepatan
belajar individual. Setiap individu dianggap sama.19
B. Model pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dirancang atau
dikembangkan dengan menggunakan pola pembelajaran tertentu. Pola pembelajaran yang
dimaksud menggambarkan kegiatan guru dan peserta didik dalam mewujudkan kondisi belajar
atau sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya proses belajar. Pola pembelajaran
menjelaskan karakteristik serentetan kegiatan yang dilakukan oleh guru-peserta didik. Pola
pembelajaran dikenal dengan istilah sintak.
Pada penjelasan pelaksanaan pembelajaran yang tertuang pada Lampiran Permendiknas
Nomor 41 tahun 2007, tentang Standar Proses, dinyatakan tentang beberapa model
pembelajaran alternatif yang dapat dikembangkan dan digunakan secara inovatif sesuai dengan
kebutuhan dan situasi yang dihadapi di kelas serta untuk mendukung iklim belajar PAKEM
(pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Iklim belajar PAKEM diharapkan dapat
menumbuhkembangkan secara optimal multi kecerdasan yang dimiliki setiap peserta didik.
Model-model pembelajaran yang dapat digunakan terkait dengan iklim belajar PAKEM
antara lain:
19
Wina Wijaya,Strategi pembelajaran. Berorientasi standard proses pendidikan, (Jakarta : Kencana Preda Media Group, 2008), hal. 128-129.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
50
1. Project Work
Project work adalah model pembelajaran yang mengarahkan peserta didik pada prosedur
kerja yang sistematis dan standar untuk membuat atau menyelesaikan suatu produk (barang
atau jasa), melalui proses produksi/pekerjaan yang sesungguhnya. Model pembelajaran
project work sering digunakan untuk program pembelajaran produktif.
2. Quantum Teaching and Learning (QTL)
Merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan untuk menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan bagi peserta didik. Filosofi pendekatan pembelajaran Quantum
dikenal dengan istilah TANDUR yang merupakan kepanjangan dari : T (Tumbuhkan), A
(Alami), N (Namai), D (Demonstrasikan), U (Ulangi) dan R (Rayakan).
3. Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pembelajaran CTL (Contextual Teaching And Learning) merupakan suatu proses belajar
yang holistik, bertujuan membantu peserta didik untuk memahami makna materi pelajaran
yang dipelajari dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan peserta didik
sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural). Problem-Based Learning (PBL)
PBL adalah pembelajaran yang didasari oleh dorongan penyelesaian masalah. Sebagai model
pembelajaran, PBL menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru.
4. Model MengajarInquiry Training
Model mengajar Inquiry Training adalah model pembelajaran yang diarahkan untuk
membantu peserta didik mengembangkan keterampilan intelektual yang terkait dengan
penalaran sehingga mampu merumuskan masalah, membangun konsep dan hipotesis serta
menguji untuk mencari jawaban
5. Model Bermain Peran (Role Playing)
Model pembelajaran yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan analogi tentang
situasi permasalahan kehidupan yang sebenarnya.
Metode pembelajaran
Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan
suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam menciptakan suasana atau
pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya
memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
51
Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai
tujuan belajar. Metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam proses belajar mengajar.20 Metode mengajar adalah teknik penyajian yang
dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar
pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik..21
Tiap-tiap kelas bisa kemungkinan menggunakan metode pembelajaran yang berbeda
dengan kelas lain. Untuk itu seorang guru harus mampu menerapkan berbagai metode
pembelajaran. Banyak Jenis-jenis metode pembelajaran, berikut 10 metode pembelajaran terbaru
yang menyenangkan, yaitu:
1. Kartu arisan
2. Example non examples
3. Picture and picture
4. Cooperative script
5. Kepala bernomor struktur (Modifikasi Numbered Head Together)
6. Artikulasi
7. Mind mapping
8. Make a match (Mencari pasangan)
9. Debate
10. Role playing. 22
9. Komponen Output
Komponen output dari sistem pembelajaran adalah berupa hasil dan dampak
pembelajaran kepada peserta didik. Peserta didik dinyatakan berkompeten dalam pekerjaan
tertentu manakalaia memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja minimum yang
digunakanuntuk enyelesaikan pekerjaan tersebut dalam bentuk unjuk kerja/kinerja.
Bagi guru sebagai dampak pembelajaran (instructional effect) berupa hasil yang dapat
diukur sebagai data hasil belajr siswa (angka/nilai) dan berupa masukan bagi pengembangan
pembelajaran selanjutnya. Sedangkan bagi siswa sebagai dampak pengiring (nurturent effect)
berupa terapan pengetahuan dan atau kemampuan di bidang lain sebagai sutau transfer belajar
yang akan membantu perkembangan mereka mencapai keutuhan dan kemandirian.
20
Hamalik, Oemar , Pendidikan Guru: Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: Bumi Aksara 2003), hal. 2. 21
Roestiyah, N.K., Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 1. 22 10 METODE PEMBELAJARAN TERBARU DAN MENYENANGKAN. http://wiraseniors.blogspot.com/2013/10/10-metode-pembelajaran-terbaru-dan.html
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
52
Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran.Hasil belajar siswa
padahakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalampengertian yang lebih
luas mencakup bidang kognitif, afektif, danpsikomotorik.23Hasil belajar merupakan hasil dari
suatu interaksi tindak belajar dantindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri
dengan prosesevaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakanberakhirnya
pengajaran dari puncak proses belajar.24
Benjamin S. Bloom menyebutkan enam jenis perilaku ranah kognitif, sebagai berikut:
1. Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan
dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaandengan fakta, peristiwa, pengertian kaidah, teori,
prinsip, ataumetode.
2. Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari.
3. Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi
masalah yang nyata dan baru. Misalnya, menggunakan prinsip.
4. Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga
struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya mengurangi masalah menjadi
bagian yang telah kecil.
5. Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya kemampuan
menyusun suatu program.
6. Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan
kriteria tertentu. misalnya, kemampuan menilai hasil ulangan.25
Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuanpembelajaran di kelas tidak
terlepas dari faktor-faktor yangmempengaruhi hasil belajar itu sendiri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar,sebagai berikut:26
1. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Faktor
internal meliputi: faktor jasmaniah dan faktor psikologis.
2. Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu. Faktor eksternal meliputi: faktor
keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.
10. Penerapan pembelajaran berorientasi teknologi informasi dan komputer di sekolah
guna mencetak generasi berkualitas
23 Nana Sudjana,Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 3.. 24
Dimyati & Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 3-4. 25 Ibid.Hal. 26-27. 26 Sugihartono. Dkk.,Psikologi Pendidikan,(Yogyakarta: UNY Pres., 2007), hal. 76-77.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
53
Pergantian generasi jangan sekadar bergantinya sekumpulan manusia dari yang tua
menjadi muda. Generasi pengganti itu haruslah berkualitas agar dapat melanjutkan tugas
generasi sebelumnya dalam mengelola bumi dan peradaban dengan baik. Dalam hal ini, Alquran
telah memberikan peringatan agar manusia jangan meninggalkan generasi (anak-anak) yang
lemah sepeninggal mereka:
وليقول فا خافوا عليهم فليتقوا ٱ� ية ضع وا وليخشٱلذين لو تركوا من خلفهم ذر
۹قوال سديدا Artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(QS. An-Nisâ [4]: 9)
Tanggung jawab untuk membentuk generasi yang tidak lemah, dalam bahasa yang
positif: generasi kuat atau generasi berkualitas, yang pertama dan terutama berada di pundak
para orang tua dalam keluarga. Namun pembentukan generasi penerus yang berkualitas bukanlah
kerja individual, melainkan mesti melibatkan segenap unsur dalam masyarakat, seperti para
pendidik, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah, media massa, dan lain sebagainya.
11. Ciri-ciri Generasi Berkualitas
Perkataan “kualitas” menunjukkan kondisi sesuatu dibandingkan dengan suatu ukuran tertentu,
berdasarkan norma-norma atau nilai-nilai terbaik mengenai sesuatu itu. Ukuran dari nilai-nilai
itu sendiri adalah abstrak, sehingga ketika disebutkan istilah “generasi berkualitas”, definisi atau
pengertian langsung dari istilah itu tidaklah begitu diperlukan karena maknanya tidak akan lebih
jelas daripada istilah yang didefinisikan. Yang lebih penting untuk disampaikan di sini adalah
ciri-ciri dari generasi berkualitas tersebut.
Ciri-ciri generasi berkualitas dilihat dari beberapa aspek penting, yakni aspek
fisik/jasmani, aspek psikis/psikologis, aspek sosial dan kultural, serta aspek spiritual dan moral.
1. Aspek Fisik/Jasmani
Generasi berkualitas berarti dari segi jasmani menunjukkan tingkat kesehatan yang baik. Jasmani
dipengaruhi oleh jenis dan kualitas makanan sejak dilahirkan, pada masa kanak-kanak, remaja,
dan masa dewasa. Faktor lain yang berpengaruh adalah kebersihan dalam menjalani kehidupan
baik kebersihan diri, rumah dan lingkungan tempat tinggal.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
54
Kualitas jasmani ditentukan sejak masa konsepsi yang merupakan pengaruh dan tanggung jawab
orang tua. Setelah seseorang berangsur besar dan dewasa, maka memelihara kesehatan jasmani
merupakan tanggung jawab individu itu sendiri.
2. Aspek Psikis/Psikologis
Psikologis yang berkualitas diukur dari tingkat pengembangan dan pendayagunaan potensi-
potensi yang terdapat di dalamnya, seperti bakat, minat, kemampuan berpikir, pengendalian
emosi, kepedulian sosial dan lain-lain.
3. Aspek Sosial dan Kultural
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial yang harus menjalani kehidupan bersama
dan dalam kebersamaan dengan orang lain. Perwujudannya dalam kebersamaan tidak sekadar
mampu bergaul dengan orang lain, tetapi juga memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang
tinggi. Misalnya, menolong orang lain yang berada dalam kesusahan, suka bergotong royong,
dan senang beroganisasi.
4. Aspek Spiritual dan Moral
Aspek spiritual terwujud dalam kualtas iman dan takwa, yang berarti kemampuan
mengendalikan diri untuk tidak melanggar yang diperintahkan dan sebaliknya tidak
memperturutkan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan. Manusia yang beriman tidak menghalalkan
segala cara untuk mencapai kesuksesan. Kualitas spiritual (iman dan takwa, hubungan manusia
dengan Tuhan) terimplementasi dalam akhlak atau moral (hubungan manusia dengan
sesamanya).
12.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Generasi Berkualitas
Terbentuknya generasi berkualitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang mendukung
maupun yang menghambat. Perkembangan manusia, ada tiga lingkungan yang berpengaruh pada
kepribadian dan kualitas dirinya. Tiga lingkungan itu adalah keluarga, lembaga pendidikan
formal, dan masyarakat.27
1. Keluarga
Keluarga merupakan institusi pertama yang ditemui seorang anak dalam perjalanan
hidupnya. Keluarga adalah awal dari pengenalan dan pemahaman setiap anak mengenai
kehidupan. Perkembangan kepribadian seorang anak sangat dipengaruhi keadaan dan pola
pengasuhan dalam keluarganya. Oleh karena itu, peranan keluarga dalam proyek pembentukan
27 Hidayat, Aat, ”Pendidikan Anak dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Studi Gender dan Islam Musawa, Juli 2006, Vol.4,
No.2,
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
55
generasi berkualitas sangat penting untuk ditekankan.Sejak kelahiran, setiap manusia telah
membawa sifat-sifat keturunan sebagai akibat pertemuan gen kedua orang tuanya.
2. Lembaga Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis untuk menghasilkan manusia-
manusia yang terpelajar, memiliki kapasitas intelektual dan keterampilan tertentu. Oleh karena
itu peranan lembaga pendidikan dalam pembentukan generasi sangat krusial. Seringkali kualitas
seseorang diukur dari seberapa tinggi pendidikannya. Meski tidak sepenuhnya tepat, hal itu
memang banyak benarnya.
3. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah lingkungan sekitar di mana seorang anak tumbuh dan dibesarkan. Bagi
seorang anak, pada mulanya masyarakat berarti teman-teman sepermainan tempat di mana dia
mulai bersosialisasi dengan orang-orang di luar anggota keluarganya. Seiring dengan
pertumbuhan usianya, pergaulannya pun akan semakin meluas, dengan tetangga, komunitas kecil
di kampung, hingga masyarakat di luar kampungnya.
Lingkungan masyarakat dengan segala sistem nilai dan normanya sangat berpengaruh
pada kepribadian seseorang. Masyarakat yang permisif dan materialistik akan cenderung
menghasilkan individu-individu yang permisif dan materialistik pula. Masyarakat yang suka
bekerja keras dan kreatif akan membuat individu-individu di dalamnya suka pula bekerja keras
dan kreatif.
4. Negara dan Lingkungan Global
Negara dapat dikatakan sebagai masyarakat dalam lingkup yang lebih luas, dan dunia
(lingkungan global) adalah masyarakat dalam lingkup yang lebih luas lagi. Peranan negara dalam
pembentukan generasi berkualitas melibatkan penyediaan berbagai sarana dan prasarana yang
memadai untuk segenap aktivitas warganya.
Seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, penggunaan elektronik
sebagai media pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan kini sudah tak asing lagi. Hampir
seluruh sekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi sudah menggunakannya.
Di masa sekarang ini ada banyak manfaat menggunakan metode e-learning baik bagi guru
maupun siswa, diantaranya :28
28
Eti Rochaety, Pontjorini Rahayuningsih dan Prima Gusti Yanti, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), hal 75-76.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
56
1. Efisiensi Waktu
Dengan metode ini guru dapat menghemat waktu untuk menyampaikan lebih banyak
informasi, sehingga waktu yang ada dapat digunakan lebih efisien untuk memfasilitasi
kreatifitas guru dan siswa dalam proses pengembangan Kegiatan Belajar Mengajar.
2. Fleksibel
Siswa dapat mengerjakan tugas-tugas di luar kelas dan berkomunikasi dengan gurunya tidak
terbatas pada ruang dan waktu di dalam kelas saja.
3. Lebih Mudah
Dengan e-learning Kegiatan Belajar Mengajar dapat menjadi lebih mudah karena berbagai
macam aplikasi yang tersedia dalam komputer sangat mendukung proses pembelajaran,
seperti microsoft power point, ecxel, foto dan animasi, grafik, audio, bahkan klip film edukasi,
sehingga kelas tidak terasa membosankan bagi siswa.
4. Lebih Menarik
Pembelajaran dengan media elektronik terlebih bagi siswa di sekolah dasar dapat memberikan
alternatif yang dapat membuat siswa lebih tertarik untuk mengikuti proses pembelajaran di
kelas.
5. Pembelajaran Berpusat pada Siswa.
Sesuai harapan kurikulum 2013, dengan pembelajaran elektronik siswa dituntut proaktif dan
mandiri untuk mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan media yang telah
disediakan oleh guru. Guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan narasumber.
5. Jangkauan Lebih Luas
Dengan pembelajaran elektronik yang terkoneksi internet, siswa bisa bergabung dengan aneka
forum diskusi dan komunitas pendidikan sehingga bisa mendapatkan informasi dari lebih
banyak sumber. Guru dan siswa juga dapat mengakses perkembangan ilmu pengetahuan
mutakhir dengan lebih cepat.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode e-
learning ini di lembaga pendidikan :29
1. Sebagai lembaga pencetak generasi penerus bangsa, lembaga pendidikan tidak hanya
bertumpu pada perbaikan aspek kognitif siswa, namun juga berperan penting dalam
pembentukan karakter bangsa. Kurikulum yang berulangkali direvisi menunjukkan i’tikad
baik pemerintah mendukung perbaikan karakter siswa. 29Nawawi, Hadari, dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press :1994). Hal. 86-87
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
57
2. Derasnya arus informasi melalui internet juga harus diwaspadai. Sudah bukan rahasia jika
beberapa situs yang mengatasnamakan pendidikan ketika diakses ternyata berisi konten
yang justru merugikan dunia pendidikan.
3. Penerapan metode ini menuntut siswa jujur dan mandiri. Perilaku belajar siswa yang buruk
dan kultur budaya belajar lingkungan disekitarnya yang tidak mendukung akan membuat
tingkat keberhasilan menjadi sangat rendah.
4. Guru dituntut mempunyai kemampuan mengelola kegiatan belajar mengajar dengan
menggunakan teknologi komunikasi dan informasi, serta menguasaisofwarenya.
5. Penerapan e-learning akan memakan biaya yang tinggi, karena baik lembaga pendidikan
maupun siswa harus menyediakan sarana dan prasarananya jika tidak ingin tertinggal.
Penggunaan media elektonik dalam proses pembelajaran dapat sangat mendukung proses
belajar mengajar jika digunakan secara bijaksana. Beberapa kekurangan di atas dapat diatasi
dengan adanya kerjasama terpadu antara pihak sekolah dan siswa serta orangtua utamanya bagi
siswa di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah.
Pihak swasta dalam hal ini operator penyedia layanan data juga punya andil besar. XL
sebagai operator penyedia layanan data terbesar sangat memahami kebutuhan dunia pendidikan
akan koneksi internet saat ini. Oleh karenanya XL telah meluncurkan banyak program yang
mendukung pendidikan diantaranya :30
1. Program Internet Sehat. Saat ini internet tidak hanya digunakan oleh kalangan dewasa namun
juga sudah dapat diakses oleh anak-anak. Sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan
anak ini XL meluncurkan Buku Panduan Internet Sehat yang bertujuan mengingatkan bahwa
perkembangan teknologi infrastruktur telekomunikasi dan internet haruslah dibarengi dengan
berbagai upaya menumbuhkan konten yang bermanfaat dan etika berjejaring di dunia maya
secara sehat.
2. Program Sistem Informasi Sekolah Terpadu (Sifoster) yakni sistem yang berfungsi untuk
memberikan informasi denagan cepat kepada siswa maupun orangtua tentang nilai, absensi,
pembayaran uang sekolah, bimbingan karir, bimbingan konseling, dan informasi lain yang
bisa dilakukan melalui fungsi broadcast SMS.
30http://www.merdeka.com/teknologi/xl-dukung-program-internet-sehat.html
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
58
Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulan sebagai berikut:
1. Sistem pembelajaran berorientasi Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) kaitannya
pemanfaatan TIK di dalam dunia pendidikan adalah mutlak untuk diadakan guna
kepentingan peningkatan kualitas pembelajaran. Secara garis besar TIK memiliki empat
peranan yaitu:
a. Memperluas akses pendidikan.
b. Meningkatkan efisienasi pendidikan.
c. Memperbaiki proses belajar mengajar.
d. Memperbaiki sistem pengelolaan.
2. Komponen input, proses dan output sistem pembelajaran haruslah dipersiapkan atau
dirancang sesuai dengan program pembelajaran berorientasi teknologi informasi dan
komputer yang akan diterapkan agar tercapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan guna
mencetak generasi berkualitas.
3. Terbentuknya generasi berkualitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang mendukung
maupun yang menghambat. Perkembangan manusia, ada tiga lingkungan yang berpengaruh
pada kepribadian dan kualitas dirinya. Tiga lingkungan itu adalah keluarga, lembaga
pendidikan formal, dan masyarakat.
4. Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, penggunaan elektronik sebagai media
pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan kini sudah tak asing lagi dan penggunaan
media elektronik ini secara offline dengan CBT (Computer-Based Training), seiring dengan
perkembangan teknologi internet, masyarakat dunia pendidikan mulai terkoneksi melalui
jaringan internet melalui Learning Management System (LMS) yang berkembang secara
total untuk pembelajar maupun untuk administrasi belajar-mengajar.
Daftar Pustaka
Abdulhak, I., 2010, “Penerapan ICT dalam Pembelajaran di Madrasah”, dalam Bahan Ajar Pelatihan Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Berbasis ICT Bagi Guru Madrasah Se-Indonesia, Bandung: Yayasan Idea Cendekia.
Abdulhak, I., 2010, “Penerapan ICT dalam Pembelajaran di Madrasah”, dalam Bahan Ajar Pelatihan Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Berbasis ICT Bagi Guru Madrasah Se-Indonesia, Bandung: Yayasan Idea Cendekia.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2006, Ilmu Pendidikan Cetakan ke II, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
59
Cynthia, R., 2009, “Hakikat Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran”, dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran, Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia,.
Dimyati & Mudjiono, 2006, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
Edmund Bachman, 2005, Creative thinking roadmap (terjemahan), Jakarta: Prestasi Pustaka.
Eti Rochaety, Pontjorini Rahayuningsih dan Prima Gusti Yanti, 2009, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan Jakarta: PT Bumi Aksara.
Haddad, WD. &Jurich, S., 2012, ICT for Education: Potential and Potency. [Online]. Tersedia: http://www.ictinedtoolkit.org/usere/library/tech_for_ed_chapters/03.pdf.
Hamalik, Oemar , 2002, Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung: Sinar Baru.
_____________ , 2003, Pendidikan Guru: Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayat, Aat, ”Pendidikan Anak dalam Perspektif Islam”, Vol.4, No. 2. dalam Jurnal Studi Gender dan Islam Musawa.
http://bermenschool.wordpress.com/2008/12/18/membentuk-generasi-berkualitas. http://wiraseniors.blogspot.com/2013/10/10-metode-pembelajaran-terbaru-dan.html
http://www.merdeka.com/teknologi/xl-dukung-program-internet-sehat.html
Indra Djati Sidi, 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Logos.
Longley, D., & Shain, M., 2012, Dictionary of Information Technology, London: Macmillan Publisher.
Muhammad Joko Susilo 2007, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Muhammad Joko, 2007, Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Belajar.
Munir, 2010, Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bandung: Alfabeta.
Nana Sudjana, 2009, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nawawi, Hadari, dan Mimi Martini, 1994, Manusia Berkualitas, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ramayulis, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Roestiyah, N.K., 2001, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Sugihartono. Dkk., 2007. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: UNY Pres.
Wina Sanjaya, 2008, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Group.
Wina Wijaya, Strategi pembelajaran. Berorientasi standard proses pendidikan, (Jakarta : Kencana Preda Media Group, 2008), hal. 128-129.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
60
Page 60-72
MEMBANGUN KEPUASAN LAYANAN AKADEMIK MAHASISWA
MOHAMAD MUSPAWI
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi E-mail: [email protected]
Abstract:
Student academic service satisfaction is very important to be noticed by a college, because it is one indicator of their good and bad performance. Students can be regarded as a major customer for a college. Therefore, as their customers have the right to get a satisfactory service or excellent service, which is a very good service and exceed their expectations as a customer.
As indicators of student academic service satisfaction in this paper are: 1. Timeliness of service. 2. Accuracy of service. 3. Courtesy and friendliness. 4. Responsibility. 5. Completeness. 6. Ease of getting care. 7. Variations service model. 8. Personalized service. 9. Comfort in obtaining services. 10. Attributes supporting other services.
When services shift from the expectation that arises is dissatisfaction, the emergence of dissatisfaction can be caused by several things, among others: 1. Did not match expectations with reality experienced. 2. Services to enjoy during the service unsatisfactory. 3. Behavior personnel no / less fun. 4. Atmosphere and the physical condition of the environment is not supportive. 5. Cost is too high, because the distance is too far, a lot of wasted time, and the price is too high. 6. Promotion / advertisement too high, do not correspond to reality. This paper aims to provide a structured their ideas on how to build academic service satisfaction on a college student.
Keywords: Satisfaction, student
Pendahuluan.
Mahasiswa merupakan sub sistem yang sangat penting bagi suatu perguruan tinggi, keberadaan mahasiswa sangat sentral, tanpa mahasiswa maka perguruan tinggi tidak akan berarti apa-apa, dan tanpa mahasiswa perguruan tinggi tidak akan pernah berdiri dan bertahan. Perguruan tinggi termasuk organisasi publik, organisasi publik merupakan tipe organisasi yang berbeda dalam kinerjanya dengan organisasi privat. Organisasi publik lebih berorientasi service making, sedangkan organisasi publik lebih berorientasi profit making31.
Pihak utama yang menjadi target layanan perguruan tinggi adalah mahasiswa, perguruan tinggi memang menawarkan jasa layanan untuk mengantarkan para mahasiswa ke gerbang pintu kesuksesan, karena kesuksesan mahasiswa juga merupakan indikator kesuksesan perguruan tinggi. Mengingat posisi keberadaan mahasiswa yang sangat penting,
31Sudiyono, Manajemen Pendidikan Tinggi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 85.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
61
maka adalah wajar jika pihak perguruan tinggi dituntut untuk melayani mahasiswa dengan pelayanan yang terbaik, yakni pelayanan yang memberikan kepuasan kepada mahasiswa selaku pihak yang dilayani.
Pelayanan merupakan serangakaian aktivitas yang tidak dapat diraba dan terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara pemberi pelayanan dan yang diberi pelayanan32. Pelayanan yang memuaskan adalah pelayanan yang melebihi atau paling tidak sama dengan apa yang diharapkan oleh pihak yang dilayani.
Memberikan pelayanan memang perlu ketelitian, Islam melalui Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 159 telah memberikan pedoman kepada kaum muslimin (dalam hal ini pihak yang melayani/pelaku usaha) agar berlemah lembut (memuaskan) kepada objek dakwah (pihak yang dilayani/customer/pelanggan). Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S. Ali Imran: 159)33.
Al-Maraghi memberikan penjelasan melalui tafsirnya sebagai berikut:
Artinya: yakni seandainya kamu berlaku kasar lagi keras dalam memperlakukan mereka niscaya mereka akan berpecah belah darimu, dan mereka akan lari darimu, mereka tidak akan merasa senang kepadamu, dan dakwahmu tidak akan sempurna dalam mengupayakan hidayah dan petunjuk bagi mereka ke jalan yang lain (jalan agama Allah)34.
Mengacu kepada ayat Al-Qur’an di atas dapatlah diambil suatu pemahaman bahwa
dalam melayani mahasiswa para petugas harus mengedepankan aspek kesantunan, kelembutan, bersahabat, dan profesional, sehingga mahasiswa yang dilayani merasa puas dengan pelayanan yang diberikan. Sebaliknya para petugas juga diingatkan agar menghindari sikap yang kasar, keras, tidak disiplin, yang bisa mengundang ketidakpuasan mahasiswa terhadap pelayanan akademik yang mereka terima. Penafsiran Al-Maraghi juga semakin memperkuat pemahaman bahwa pihak pemberi layanan jasa, dalam hal ini perguruan tinggi, harus melayani mahasiswa dengan pelayanan prima, yakni pelayanan sebagaimana yang diharapkan oleh mahasiswa sebagai pihak yang dilayani.
32Daryanto dan Ismanto Setyobudi, Konsumen dan Pelayanan Prima, (Yogyakarta: Gava Media, 2014), hal. 135. 33Anonim, Al-Qur'an dan Terjemahnya. (Semarang: Asy-Syifa', 2006), hal. 87. 34Ahmad Mushtofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Musthofa Al-Babi Al-Halbi Wa Auladuh, 1946), hal.
113.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
62
Konsep Kepuasan.
1. Pengertian Kepuasan. Kepuasan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata satisfaction, satisfaction
berasal dari bahasa latin, yaitu satis yang berarti enough atau cukup dan facere yang berarti to do atau melakukan.35 Kepuasan menurut Stackpole seperti yang dikutip Buchari Alma diartikan sebagai berikut: Satisfaction is fulfillment of a need, or the degree to wich an expectation is met, kepuasan yaitu pemenuhan kebutuhan, atau tingkat di mana harapan terpenuhi.36
Kepuasan adalah cara pandang seseorang baik bersifat positif atau negatif tentang sesuatu, sehingga ketika apa yang terjadi atau yang dipandang sesuai dengan kenyataan, maka saat itulah kepuasan akan terasa. Kepuasan adalah perasaan seseorang di saat orang mengharapkan sesuatu dan di waktu yang bersamaan harapan tersebut dapat terpenuhi37.
Kepuasan pelanggan adalah suatu kondisi di mana pelanggan merasa apa yang diterimanya sama atau melebihi harapannya.38 Dalam hal ini dapat dipahami kepuasan mahasiswa adalah suatu kondisi di mana mahasiswa merasa apa yang diterimanya sama atau melebihi harapannya.
Fandy Tjiptono menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan tidak mudah didefinisikan. Ada berbagai macam pengertian yang diberikan oleh para pakar: 1. Day, menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah respons pelanggan terhadap
evaluasi ketidak sesuaian yang dirasaakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya.
2. Wilkie, mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi sautu produk jasa.
3. Engle, menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli di mana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampui harapan pelanggan, sedang ketidak puasa timbul apabila hasil tidak memenuhi harapan.
4. Kotler, menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya.39
Pelanggan adalah pengguna/stakeholder, salah satu pengguna jasa perguruan tinggi
adalah mahasiswa. Jadi kepuasan pelanggan dalam konteks ini lebih ditujukan kepada kepuasan mahasiswa dalam menerima layanan akademik dari pihak perguruan tinggi.
35Nina Rahmayanti, Manajemen Pelayanan Prima, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), cet. ke-3, hal. 17 36Buchari Alma & Ratih Hurriyati, Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan Fokus Pada
Mutu dan Layanan Prima, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 326. 37Mohsin Ali Raza, Student Hailey College of Commerce University of the Punjab Lahore Pakistan. Muhammad Musarrat Nawaz, Lecturer Hailey College of Commerce University of the Punjab Lahore Pakistan. Impact of Job Enlargement on employees’ Job Satisfaction, Motivation and Organizational Commitment. Pakistan, International Journal of Business and Social Science, Vol. 2 No. 18, October 2011, hal. 2-3. 38Ibid. 39Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi, 2003), hal. 102.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
63
Atep mengatakan “kita sebagai pihak yang melayani tidak akan mengetahui apakah pelanggan yang kita layani puas atau tidak, karena yang dapat merasakan kepuasan dari suatu layanan hanyalah pelanggan yang bersangkutan”.40
Marzuki Mahmud mengatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan suatu keadaan di mana terpenuhinya kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan terhadap kinerja, pelayanan serta sarana-sarana yang dimiliki41. Evans & Lindsay mengatakan: Kepuasan pelanggan juga merupakan faktor penting untuk digaris bawahi.42
Pelanggan yang dimaksudkan di dalam tulisan ini adalah mahasiswa, jadi kepuasan dalam hal ini dapat dipahami sebagai suatu keadaan di mana terpenuhinya kebutuhan, keinginan, dan harapan mahasiswa terhadap kinerja, pelayanan serta sarana-sarana yang dimiliki oleh perguruan tinggi.
2. Mengukur kepuasan Layanan.
Mengukur tingkat kepuasan para pelanggan sangat perlu walaupun tidak semudah mengukur berat atau tinggi badan pelanggan tersebut43. Jadi dalam hal ini pihak kampus perlu melakukan pengukuran tingkat kepuasan mahasiswa terhadap layanan akademik yang mereka berikan kepada para mahasiswa. Dengan mengukur kepuasan mahasiswa maka pihak pengelola kampus akan memiliki informasi sebagai bahan evaluasi terhadap kualitas pelayanan akademik yang berikan kepada mahasiswa.
Cara mengukur kepuasan pelanggan menurut kotler sebagaimana yang dikutip Buchari Alma adalah sebagai berikut: 1. Complaint and Suggestion System (sistem keluhan dan saran). Banyak perusahaan
yang berhubungan dengan langganan membuka kotak saran dan menerima keluhan-keluhan yang dialami oleh langganan. Ada juga perusahaan yang memberi amplop yang telah ditulis alamat perusahaan untuk digunakan menyampaikan saran keluhan serta kritik setelah mereka sampai di tempat tujuan. Saran-saran tersebut dapat juga disampaikan melalui kartu komentar, customer hot line. Informasi ini dapat memberikan ide-ide dan masukan kepada perusahaan yang memungkinkan perusahaan mengantisipasi dan cepat tanggap terhadap kritik dan saran tersebut.
2. Customer satisfaction surveys (Survey kepuasan pelanggan). Tingkat keluhan yang disampaikan oleh konsumen tidak bisa disimpulkan secara umum untuk mengukur kepuasaan konsumen pada umumnya. Umumnya penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan melalui survey, melalui pos, telepon, atau wawancara pribadi. Atau ada perusahaan mengirimkan angket ke orang-orang tertentu.
3. Ghost Shopping (Pembeli bayangan). Dalam hal ini perusahaan menyuruh orang-orang tertentu sebagai pembeli ke perusahaan lain atau ke perusahaannya sendiri. Pembeli-
40Atep Adya Barata, Dasar-Dasar Pelayanan Prima: Persaipan Membangun Budaya Pelayanan Prima Untuk
Meningkatkan Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006), hal. 15 41Marzuki Mahmud, Manajemen Mutu Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 81. 42Evans, James R and Lindsay, William M, The Manegement and Control of Qualitiy, (Canada: South-Westrn
Cengage Learning, 2008), p. 154. 43J. Supranto, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hal. 76.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
64
pembeli misteri ini melaporkan keunggulan dan kelemahan pelayan-pelayan yang melayaninya. Juga ia melaporkan segala sesuatu yang bermanfaat sebagai bahan mengambil keputusan oleh manajemen.
4. Lost customer analysis (Analisis pelanggan yang beralih). Perusahaan-perusahaan yang kehilangan langganan mencoba menghubungi langganan tersebut. Mereka dibujuk untuk mengungkapkan mengapa mereka berhenti, pindah ke perusahaan lain, adakah sesuatu masalah yang terjadi yang tidak bisa diatasi. Dari kontak semacam ini akan diperoleh informasi dan akan memperbaiki kinerja perusahaan sendiri agar tidak ada lagi yang lari dengan cara meningkatkan kepuasan mereka.44
Ketika pendapat kotler di atas dibicarakan dalam konteks dunia akademik maka dapat dipahami bahwa dalam mengukur kepuasan layanan akademik mahasiswa sebagai berikut:
1. Sistem menerima keluhan dan saran dari mahasiswa. Pihak perguruan tinggi memfasilitasi mahasiswa untuk dapat menyampaikan keluhan-keluhan yang mereka alami dan menyampaikan saran-saran yang mereka miliki.
2. Melakukan survey terhadap kepuasan mahasiswa. Mensurvei kepuasan mahasiswa bisa dilakukan melalui angket, wawancara, surat, atau memalui media jejaring sosial.
3. Pihak manajemen kampus mengutus orang khusus yang dirahasiakan untuk memantau pelaksanaan pelayanan akademik di kampus mereka, agar dapat diketahui titik lemah dari pelayanan mereka, atau memantau kampus orang lain untuk mengetahui sisi kelebihan orang lain sebagai bahan perbaikan mereka.
4. Menganalisis mahasiswa yang berhenti atau pindah ke perguruan tinggi lain. dengan melakukan analisis terhadap mahasiswa yang berhenti atau pindah ke perguruan tinggi lain, akan diketahui apa sesungguhnya permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa, apa yang menyebabkab mereka berhenti atau pindah, mungkin saja ada kaitannya dengan kualitas pelayanan akademik di kampus mereka.
Menurut Danang bahwa setiap orang melakukan pembelian dengan harapan tertentu mengenai apa yang akan dilakukan oleh produk atau jasa bersangkutan ketika digunakan, dan kepuasan merupakan hasil yang diharapkan45. Dalam hal ini dapat pahami bahwa mahasiswa memilih kuliah di suatu perguruan tinggi memiliki harapan akan mendapatkan pelayanan yang memuaskan untuk mencapai tujuan kuliah mereka.
Peters sebagaimana yang dikutip oleh Fandy mengatakan bahwa ada 10 kunci sukses dalam mengukur kepuasan pelanggan, yaitu: 1). Frekuensi, 2). Format, 3). Isi (content), 4). Desain isi, 5). Melibatkan setiap orang, 6). Mengukur kepuasan setiap pelanggan, 7), Kombinasi berbagai ukuran, 8). Hubungan dengan kompensasi dan reward lainnya, 9). Penggunaan ukuran secara simbolik, 10). Bentuk pengukuran lainnya.46
44Buchari Alma, Pemasaran Stratejik Jasa Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal 34-35. 45Danang Sunyoto, Perilaku Konsumen: Panduan Riset Sederhana untuk Mengenali Konsumen, (Yogyakarta:
CAPS, 2013), hal. 115. 46Fandy & Anastasia Diana, Op.Cit., hal. 106-107.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
65
Fandy mengatakan bahwa pengukuran kepuasan pelanggan dilakukan dengan berbagai macam tujuan, di antaranya: 1. Mengidentifikasi keperluan (requirement) pelanggan, yakni aspek-aspek yang dinilai
penting oleh pelanggan dan mempengaruhi apakah ia puas atau tidak. 2. Menentukan tingkat kepuasan pelanggan terhadap kinerja organisasi pada aspek-aspek
penting. 3. Membandingkan tingkat kepuasan pelanggan terhadap perusahaan dengan tingkat
kepuasan pelanggan terhadap organisasi lain. 4. Mengidentifikasi PFI (Prioritas for improvement) melalui analisis gap antar skor
tingkat kepentingan dan kepuasan. 5. Mengukur indeks kepuasan pelanggan yang bisa menjadi indikator andal dalam
memantau kemajuan perkembangan dari waktu ke waktu.47
Dalam konsep mutu antara layanan pendidikan dengan pemberian layanan lain hampir sama, bahwa mutu layanan diukur dari kepuasan pelanggan atau peserta didik. Layanan pendidikan atau pembelajaran yang bermutu, adalah yang memenuhi kebutuhan dan memberikan kepuasan kepada peserta didik sebagai pelanggan pendidikan.48
Menurut PJ. Johnson sebagaimana yang dikutip oleh Purwoko bahwa kepuasan seorang pelanggan dapat terlihat dari tingkat penerimaan pelanggan yang didapatkan. Tanda dari kepuasan tersebut diidentifikasi sebagai berikut: (1) senang atau kecewa atas perlakuan atau pelayanan yang diterima, (2) mengeluh atau mengharap atas perlakuan yang semestinya diperoleh, (3) tidak membenarkan atau menyetujui sesuatu yang bertautan dengan kepentingannya, (4) menghendaki pemenuhan kebutuhan dan keinginan atas berbagai pelayanan yang diterima. Keempat tanda tersebut di atas akan berbeda-beda sesuai dengan bentuk pelayanan jasa yang diterima49.
3. Ketidak-puasan Layanan.
Ketika pelayanan dinilai tidak memadai maka yang muncul adalah ketidak puasan pelanggan, keluhan pelanggan yang tidak puas dibedakan dalam tiga model, yaitu: 1. Voice complaint. adalah keluhan yang disampaikan langsung oleh pembeli yang tidak
puas atas barang dan atau jasa yang telah dibeli tersebut kepada penjual. 2. Private complaint. Merupakan keluhan yang disampaikan oleh pembeli yang tidak
puas atas barang dan atau jasa yang telah dibeli tersebut kepada dan atau melalui teman /kerabat.
3. Third party complaint. Merupakan tingkat yang paling buruk, yakni keluhan yang disampaikan oleh pembeli yang tidak puas atas barang dan atau jasa yang telah dibeli tersebut kepada penjual melalui lembaga atau orangisasi independen.50
47Fandy Tjiptono, Service Management: Mewujudkan Layanan Prima, (Yogyakarta: Andi, 2012), hal. 320. 48Marzuki, Op.Cit., hal. 11. 49Bambang Purwoko, Asocial Security Highlight in Indonesia: An Economic Perspective. (Jakarta: Komunika Jaya
Pratama, 2000), hal. 31. 50Mulyadi Nitisusastro, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Kewirausahaan, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 218.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
66
Dalam konteks dunia akademik pendapat Mulyadi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Bahwa keluhan mahasiswa yang tidak puas dengan layanan akademik dibedakan dalam tiga model, yaitu: 1. Keluhan yang disampaikan langsung oleh mahasiswa yang tidak puas atas layanan
akademik yang diterima mereka kepada pihak kampus. 2. Merupakan keluhan yang disampaikan oleh mahasiswa yang tidak puas atas layanan
akademik yang diterima mereka kepada dan atau melalui teman /kerabat. 3. Keluhan yang disampaikan oleh mahasiswa yang tidak puas atas layanan akademik
yang diterima mereka kepada pihak kampus melalui lembaga atau orangisasi independen.
Buchari Alma mengatakan bahwa munculnya rasa tidak puas dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut: 1. Tidak sesuai harapan dengan kenyataan yang dialami. 2. Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan. 3. Perilaku personil tidak/kurang menyenangkan. 4. Suasana dan kondisi fisik lingkungan tidak menunjang. 5. Cost terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang, dan harga telalu
tinggi. 6. Promosi/ iklan terlalu muluk, tidak sesuai dengan kenyataan.51
Konsep Kualitas Layanan Akademik.
Layanan dalam bahasa Inggris disebut dengan service. Secara sederhana, istilah service mungkin bisa diartikan sebagai “melakukan sesuatu bagi orang lain”. Akan tetapi, tidaklah mudah mecari padanan kata alam bahasa Indonesia yang pas untuk istilah tersebut. Setidak ada tiga kata yang bisa mengacu pada istilah tersebut, yakni jasa, layanan, dan servis. Sebagai jasa, service umumnya mencerminkan produk tidak berwujud fisik (intangible) atau sektor industri spesifik, seperti pendidikan, kesehatan, telekomunikasi, transportasi, asuransi, perbankan, perhotelan, konstruksi, perdagangan, rekreasi, dan seterusnya. Sebagai layanan, istilah service mengisyaratkan segala sesuatu yang dilakukan pihak tertentu (individu maupun kelompok). Salah satu contohnya adalah layanan pelanggan (customer service).52
Mengingat perguruan tinggi bersifat layanan jasa, dan pelanggan rutinitas yang merasakan layanan itu adalah mahasiswa, maka Sugiyanti sebagaimana yang dikutip oleh Marzuki mengingatkan bahwa terdapat beberapa atribut yang harus mendapat perhatian dalam perbaikan kualitas jasa, yaitu: 1. Ketepatan waktu pelayanan. 2. Akurasi pelayanan. 3. Kesopanan dan keramahan.
51Buchari Alma, Pemasaran... Op.Cit, hal. 35-36. 52Fandy Tjiptono, Service ... Op.Cit., hal. 3.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
67
4. Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan dari pelanggan eksternal.
5. Kelengkapan, menyangkut lingkup pelayanan komplementer lainnya. 6. Kemudahan mendapatkan pelayanan. Seperti banyaknya outlet, petugas yang melayani,
serta fasilitas pendukung seperti komputer dan lain-lain. 7. Variasi model pelayanan. Seperti pola-pola baru serta features dari pelayanan dan lain-
lain. 8. Pelayanan pribadi. Berkaita dengan fleksibilitas, penanganan permintaan khusus dan
sebagainya. 9. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan. 10. Atribut pendukung pelayanan lainnya. Seperti lingkungan, kebersihan, ruang tunggu,
fasilitas musik, dan lain-lain.53
Menurut Supranto, bahwa ada lima dimensi mutu pelyanan, yaitu: 1). Dapat diraba (tangibles), 2). Andal (reliability), 3). Ketanggapan (responsiveness), 4). Jaminan (assurance), 5). Empati (empathy)54. Juliana juga mengatakan bahwa ada lima hal yang harus diperhatikan mengenai kualitas layanan, yaitu: 1). Biaya, 2). Penampilan fisik, 3). Jaminan, 4). Keandalan, 5). Ketanggapan55.
Buchari Alma mengatakan bahwa penyerahan jasa perguruan tinggi dapat dilihat dari dua aspek utama, yaitu dimensi kualitas jasa administrasi serta dimensi kualitas jasa perkuliahan. Proses jasa administrasi yang ditawarkan oleh suat perguruan tinggi harus sesuai dengan apa yang dijanjikan yakni akurat, cepat, tanggap serta peduli terhadap kebutuhan mahasiswa. Misalnya pada saat registrasi, untuk mengantisipasi adanya antrian maka dilakukan penambahan petugas yang melayani mahasiswa, dan menyediakan beberapa kursi bagi mereka.56
Layanan yang diharapkan pelanggan, adalah layanan yang memberikan mereka kepuasan, dalam hal ini dapat disebut dengan layanan prima, layanan prima adalah pelayanan yang sangat baik dan melampaui harapan pelanggan.57
Lebih lanjut Nina Rahmayanty menjelaskan bahwa prinsip pelayanan publik itu ada 10, yaitu: 1. Kesederhanaan.
Prosedur pelayanan tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. 2. Kejelasan.
Meliputi teknis dan administratif, unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan, rincian biaya.
3. Kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanaan dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
53Marzuki Mahmud, Op.Cit., hal. 82-83. 54J. Supranto, Op.Cit., hal. 13. 55Erna Juliana, Manajemen Pemasaran, (Yogyakarta: Sinergi Visi Utama, 2008), hal. 57-58. 56Buchari Alma & Ratih Hurriyati, Op.Cit., hal. 326. 57Nina Rahmayanti, Op.Cit, hal. 17.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
68
4. Akurasi. Produk pelayanan diterima dengan benar, tepat, dan sah.
5. Keamanan. Proses dan produk layanan memberikan rasa aman dan kepastian hukum
6. Tanggung jawab. Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai, termasuk penyediaan sasrana teknologi telekomunikasi dan informatika.
8. Kemudahan akses. Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
9. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan. Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberi pelayanan dengan ikhlas.
10. Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, limgkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.58
Atep mengembangkan budaya pelayanan prima berdasarkan 6A, yaitu:
1. Kemampuan (Ability). Kemampuan (ability) adalah pengetahuan dan keterampilan tertentu yang mutlak diperlukan untuk menunjang program layanan prima, yang meliputi kemampuan dalam bidang kerja yang ditekuni, melaksanakan komunikasi yang efektif, mengemabangkan motivasi, dan menggunakan public relations sebagai instrumen dalam membina hubungan ke dalam dan keluar organisasi.
2. Sikap (Attitude). Sikap (attitude) adalah perilaku atau perangai yang harus ditonjolkan ketika menghadapi pelanggan.
3. Penampilan (Appearance). Penampilan (appearance) adalah penampilan seseorang, baik yang bersifat fisik maupun non fisik, yang merefleksikan kepercayaan diri dan kredibilitas dari pihak lain.
4. Perhatian (Attention). Perhatian (attention) adalah kepedulian penuh terhadap pelanggan, baik yang berkaitan dengan perhatian akan kebutuhan dan keinginan pelanggan maupun pemahaman atas saran dan kritiknya.
5. Tindakan (Action). 58Ibid., hal. 18-19.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
69
Tindakan (action) adalah berbagai kegiatan nyata yang harus dilakukan dalam memberikan layanan kepada pelanggan.
6. Tanggung Jawab (Accountability) Tanggung Jawab (accountability) adalah suat sika keberpihakan kepada pelanggan sebagai wujud kepedulian untuk menghindarkan atau meminimalkan kerugian atu ketidakpuasan pelanggan.59
Berdasarkan pendapat Atep dapat dipahami bahwa dalam layanan akademik perlu memperhatikan: 1). Kemampuan petugas dalam memberikan layanan akademik, 2). Sikap yang santun para petugas dalam melayani mahasiswa 3). Penampilan yang meyakinkan dari para petugas kampus, 4). Perhatian total petugas kampus terhadap kondisi dan kebutuhan layanan akademik mahasiswa , 5). Tindakan nyata para petugas dalam memberikan layanan akademik mahasiswa, 6). Tanggungng Jawab yang tinggi dari para petugas akan layanan akademik yang diberikan kepada mahasiswa.
Untuk mengoptimalkan organisasi dalam rangka kepuasan pelanggan dapat pula diupayakan dengan manajemen mutu terpadu, yaitu suatu sistem nilai yang mendasar dan komprehensif dalam mengelola organisasi dengan tujuan meningkatkan kinerja secara berkelanjutan dalam jangka panjang dengan memberikan perhatian secara khusus pada tercapainya kepuasan pelanggan denga tetap memperhatikan secara memadai terhdap terpenuhinya kebutuhan seluruh stakeholder organisasi yang bersangkutan.60 Dan prinsip umum manajemen mutu terpadu meliputi: 1. Organisasi yang memfokuskan pada ketercapaian kepuasan pelanggan. 2. Kepemimpinan (Leadership). 3. Keterlibatan seluruh partisipan organisasi. 4. Pendekatan yang menekankan pada perbaikan proses. 5. Penerapan manajemen dengan pendekatan sistem. 6. Langkah perbaikan yang dilakukan secara terus menerus. 7. Penerapan pengambilan keputusan yang didasarkan fakta. 8. Hubungan dengan supplier yang saling menguntungkan.61
Harapan pelanggan, dalam hal ini pelanggan eksternal, antara lain sebagai berikut:
1. Kemudahan dalam memperoleh barang atau jasa. 2. Persyaratan kualitas barang atau jasa. 3. Harga yang kompetitif. 4. Cara pelayanan yang tepat, cepat, dan ramah. 5. Layanan purna jual sebagai jaminan dan tanggung jawab.62
Menurut Susan M. Gage, bahwa secara umum, para pelanggan menginginkan hal-hal sederhana sebagaimana berikut ini:
59Atep, Op. Cit., hal. 31-32. 60Sudiyono, Manajemen Pendidikan Tinggi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 102. 61Ibid., hal. 103-104. 62Atep, Op. Cit., hal. 42.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
70
1. Produk atau jasa yang berkualitas. Mereka merasa mendapat balasan atas uang yang telah dikeluarkan.
2. Aksesbilitas. Mereka tidak perlu bersusah payah untuk memperoleh produk/jasa yang disediakan.
3. Pelayanan pelanggan yang baik. Mereka diperlakukan secara hormat, dan setiap proses berjalan secara lancar dan efisien63.
Buchari mengatakan bahwa kepuasan mahasiswa dapat dipenuhi dengan
mempertimbangkan faktor karakteristik perguruan tinggi (nama perguruan tinggi yang dikenal baik oleh masyarakat, staf pengajar yang kompeten, dan hubugan dengan dunia usaha yang produktif), motivasi mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan dan mengembangkan diri, atribut-atribut pendukung (promosi jasa perguruan tinggi yang efektif, lulusan yang dihasilkan produktif di masyarakat, dan prestasi-prestasi lain yang dicapai), persepsi mahasiswa yang positif terhadap pelayanan yang diterimanya, penyebarluasan informasi, serta kesesuaian antara manfaat dan biaya yang dirasakan mahasiswa.64
Mutu pelayanan pendidikan tinggi yang baik menurut Pinando sebagaimana yang dikutip oleh Sudiyono adalah: 1. Sesuai dengan kebutuhan pelanggan syukur kalau lebih. 2. Dapat menyajikan layanan jasa pendidikan uang sesuai dengan kebutuhan pelanggannya
baik peserta didik, dunia usaha maupun masyarakat.65 Menurut Parasuraman bahwa konsep kualitas layanan yang berkaitan dengan kepuasan
ditentukan oleh lima unsur yang biasa dikenal dengan istilah kualitas layanan “RATER” yang merupakan singkatan dari: 1). Responsiveness (daya tanggap), 2). Assurance (jaminan), 3). Tangible (Bukti Fisik), 4). Empathy (empati), 5. Reliability (kehandalan)66.
Indikator Kepuasan Layanan Akademik Mahasiswa.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat diinvetarisir indikator kepuasan layanan akademik mahasiswa sebagai berikut: 1) Ketepatan waktu layanan. 2) Akurasi layanan. 3) Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan. 4) Tanggung jawab. 5) Kelengkapan. 6) Kemudahan mendapatkan layanan. 7) Variasi model layanan.
63Susan M. Gage, Strategi Pelayanan Prima, (Jakarta: Tugu Publisher, 2013), hal. 17. 64Buchari, Manajemen Corporate...Op.Cit, hal. 326. 65Sudiyono, Op.Cit., hal. 107 66A. Valerie Parasuraman, Delivering Quality Service (diterjemahkan oleh Sutanto), (New York: The Free Press,
2005), hal. 58
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
71
8) Pelayanan pribadi. 9) Keamanan. 10) Kenyamanan dalam memperoleh layanan. 11) Atribut pendukung layanan lainnya.
Untuk lebih jelasnya mengenai kepuasan layanan akademik mahasiswa dapat
diperhatikan melalui kerangka konseptual berikut: Bagan 1: Kerangka konseptual kepuasan layanan akademik mahasiswa.
Penutup
Memberikan pelayanan yang terbaik adalah kewajiban perguruan tinggi terhadap mahasiswa, sebaliknya mendapatkan kepuasan layanan adalah hak yang mesti didapatkan mahasiswa.
Mahasiswa selaku pelanggan/pengguna/Stakeholder utama suatu perguruan tinggi akan merasakan kepuasan layanan akademik jika pihak perguruan mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang diharapkan, yakni pelayanan yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1). Ketepatan waktu pelayanan. 2). Akurasi pelayanan. 3). Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan. 4). Tanggung jawab. 5). Kelengkapan. 6). Kemudahan mendapatkan pelayanan. 7). Variasi model pelayanan. 8). Pelayanan pribadi. 9). Keamanan. 10). Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan. 11). Atribut pendukung pelayanan lainnya.
Indikator Layanan Akademik Mahasiswa
Ketepatan waktu layanan
Akurasi layanan
Kedisiplinan, Kesopanan dan keramahan
Atribut pendukung layanan lainnya
Kenyamanan
Keamanan
Tanggung jawab
Kelengkapan
Kemudahan
Variasi model layanan
Pelayanan pribadi
Kepuasan Layanan
Akademik Mahasiswa
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
72
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: Asy-Syifa', 2006. Abdul Hadis & Nurhayati, Manajemen Mutu Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010. Ahmad Mushtofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Mesir: Musthofa Al-Babi Al-Halbi Wa
Auladuh, 1946. Atep Adya Barata, Dasar-Dasar Pelayanan Prima: Persaipan Membangun Budaya Pelayanan
Prima Untuk Meningkatkan Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006.
Bambang Purwoko, Asocial Security Highlight in Indonesia: An Economic Perspective. (Jakarta: Komunika Jaya Pratama, 2000.
Buchari Alma, Pemasaran Stratejik Jasa Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2005. Buchari Alma & Ratih Hurriyati, Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan
Fokus Pada Mutu dan Layanan Prima, Bandung: Alfabeta, 2008. Buchari Alma, Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan Fokus Pada Mutu
dan Layanan Prima, Bandung: Alfabeta, 2008. Danang Sunyoto, Perilaku Konsumen: Panduan Riset Sederhana untuk Mengenali Konsumen,
Yogyakarta: CAPS, 2013. Daryanto dan Ismanto Setyobudi, Konsumen dan Pelayanan Prima, Yogyakarta: Gava Media,
2014. Erna Juliana, Manajemen Pemasaran, Yogyakarta: Sinergi Visi Utama, 2008. Fandy Tjiptono, Service Management: Mewujudkan Layanan Prima, Yogyakarta: Andi, 2012. Hanief Saha Ghafur, Manajemen Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi di Indonesia: Suatu
Analisis Kebijakan, Jakarta: Bumi Aksara, 2010. J. Supranto, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, Jakarta: Rineka Cipta, 2011. Marzuki Mahmud, Manajemen Mutu Perguruan Tinggi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012. Mohsin Ali Raza, Student Hailey College of Commerce University of the Punjab Lahore
Pakistan. Muhammad Musarrat Nawaz, Lecturer Hailey College of Commerce University of the Punjab Lahore Pakistan. Impact of Job Enlargement on employees’ Job Satisfaction, Motivation and Organizational Commitment. Pakistan, International Journal of Business and Social Science, Vol. 2 No. 18, October 2011.
Mulyadi Nitisusastro, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Kewirausahaan, Bandung: Alfabeta, 2013.
Parasuraman, A. Valerie, Delivering Quality Service (diterjemahkan oleh Sutanto), New York: The Free Press, 2005.
R. Eko Indrajit & R,. Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi, 2006.
Susan M. Gage, Strategi Pelayanan Prima, Jakarta: Tugu Publisher, 2013. Syahrizal Abbas, Manajemen Perguruan Tinggi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer. Cet.ke-4. Bandung: Alfabeta, 2008.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
73
Page 73-82
PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MASYARAKAT MULTIKULTUR
Sodiah [email protected]
Abstrak
Pendidikan Islam berbasis masyarakat multikultur menghidupkan lembaga pendidikan, materi, kurikulum, pengajar, dan anak didik dengan mengajarkan Islam sebagai ruh dari setiap penyelenggaraan pendidikan dan nilai-nilai budaya yang menjadi pemersatu seluruh umat manusia. Nilai-nilai budaya menjadi bagian dalam membentuk sistem pendidikan Islam dan nilai-nilai keislaman menjadi pondasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan Islam menjadi filter, penjaga, dan pelestari multikultur yang bersemanyam di dalam masyarakat. Kata kunci : Pendidikan Islam, Masyarakaat, dan Multikultur.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang penuh dengan rahmat. Keagungan agama Islam tampak tidak
hanya dari satu sudut yang memberikan pedoman bagi seluruh umat muslim di seluruh dunia.
Islam juga memberikan pencerahan bagi semua elemen kehidupan umat manusia. Ajaran-
ajarannya mengandung nilai kemanfaatan di dunia juga di akhirat tanpa membeda-bedakan
status atau kedudukan. Al-Qur’an dan hadist menjadi sumber terpercaya dan tercanggih bagi
umat muslim untuk mencari jawaban terhadap fenomena sosial yang sedang terjadi dan alam.
Sebagaimana firman Allah, berikut:
لمتقين ذا بيان للناس وهدى وموعظة ل ۱۳۸هArtinya : “(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”. (Q.S Ali Imran :138).
Pendidikan berkembang seiring sejalan dengan perubahan sosial budaya, modernisasi dan
pembangunan. Dan Islam menjadi sumber bagi umat manusia untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Banyak kandungan ajaran Islam yang mengandung nilai pendidikan dan
dijadikan sebagai pedoman dalam pengembangan pendidikan Islam. Sebagaimana
perkembangan manusia di dalam sebuah komunitas yang semakin kompleks, dimana berbagai
masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang berada dalam satu perkumpulan, maka
pendidikan harus mampu merespon kebutuhan masyarakat yang berada pada lintas budaya.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
74
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi sekalian alam bukanlah sebuah
cerita dongeng. Sejak awal peradaban Islam berkembang hingga masa modern pada abad ke-21
ini, setiap manusia memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.
Dan mereka juga memiliki hak yang sama untuk mengelola pendidikan. Oleh karena itu
sangatlah menarik ketika menggali bagaimana pendidikan Islam di dalam masyarakat
multikultur yaitu individu-individu yang memiliki berbagai perbedaan baik kebiasaan,
kepercayaan, dan suku ke dalam satu kedudukan yang sama.
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam
Islam ditempatkan sebagai tolok ukur yang memberikan landasan bagi nilai penggalian
dan diskursus-diskursus ilmu pengetahuan apapun jenis dan bentuknya termasuk teori
penddikan Islam.67 Pendidikan Islami merupakan sistem pendidikan berdasarkan nilai-nilai
Islam. Teori yang digunakan dalam sistem pendidikan Islam yaitu toeri yang disusun
berdasarkan Al-Qur’an dan hadist. Pendidikan Islam memiliki komponen–komponen yang
secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan.68
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim
setuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia, baik yang berbentuk jasmaniah maupun
rohaniah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia
dengan alam semesta, maka aspek-aspek pendidikan yang perlu didikkan kepada manusia,
yaitu aspek pendidikan ketuhanan dan akhlak, aspek pendidikan akal dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan kejasmanian, kemasyarakatan, kejiwaan, keindahan, dan keterampilan.
Kesemuanya diaplikasikan secara seimbang.69
Beberapa pengertian pendidikan Islam sebagai berikut:
Pertama, Athiyah Al-Abrasyi, pendidikan Islam bukanlah memenuhi otak anak didik
dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik
aklhak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan
67Deden Makbuloh, Pendidikan Islam dan Sistem Pengembangan Mutu, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2016), hal. 84 68Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 276. 69Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta : Kencana, 2014),hal. 18-19
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
75
kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci, ikhlas, dan
jujur.70
Kedua, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, pendidikan adalah proses mengubah
tingkah laku, pada kehidupan pribadi masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran
sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi di dalam
masyarakat.71
Ketiga Ahmad Fuad al-Ahwani, pendidikan adalah pranata yang bersifat sosial yang
tumbuh dari pandangan hidup tiap masyarakat. Pendidikan senantiasa sejalan dengan falsafah
hidup masyarakat tersebut, atau pendidikan itu pada hakikatnya mengaktualisasikan falsafah
dalam kehidupan nyata.
Dari pengertian di atas terdapat beberapa elemen pendidikan. Pertama, unsur materi atau
bahan yang akan ditanamkan atau didikkan kepada peserta didik selain ilmu pengetahuan juga
akhlak mulia dan rasa keutamaan. Kedua, unsur proses atau langkah yang sistematis. Ketiga,
unsur tujuan untuk mengubah tingkah laku baik kehidupan individu, masyarakat, maupun alam
sekitar. Keempat, unsur utama atau landasan adalah falsafah hidup atau peradaban yang
terdapat pada masyarakat.72 Maka pendidikan Islam adalah sebuah sistem pendidikan yang
digerakkan dalam lembaga pendidikan dengan berdasarkan pada nilai-nilai Islam.
Pendidikan IslamBerbasisMasyarakat Multikultural
1. Masyarakat
Krech yang dikutip Elli M. Setiadi mengemukakan bahwa “a society is that it is an
organized collectivity of interacting people whose activities become centered arounds a set of
common goals and who tend to share commmon beliefs, attitudes and modes of action.”73Ciri-
ciri masyarakat yaitu terdiri dari sekumpulan orang, sudah terbentuk dengan lama, sudah
memiliki social system atau struktur sosial tersendiri, memiliki kepercayaan, sikap, dan
perilaku yang dimiliki bersama.Pada konsep ini masyarakat dicirikan oleh interaksi, kegiatan,
tujuan, keyakinan dan sejumlah manusia yang sedikit banyak berkecenderungan sama.
70 Athiyah al- Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj), H. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry L.I.S dari Judul asli al-Tarbiyah al-Islamiah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 15 71Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, (terj) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tabiyah al-Islamiah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 399 72Abudin Nata, Sejarah Pendidkan Islam, (Jakarta :Kencana, 2011), hal. 17 73Elli M. Setiadi dkk., Ilmu Sosial & Budaya Dasar, (Jakarta : Kencana, 2014), hal. 80
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
76
Menurut teori sosiologi pendidikan yang dikemukakan oleh Wilbur B. Brookover,74
disebut social order terjadi dalam empat fase, yaitu:Fase pertama, masyarakat tidak mau
mengalami perubahan yang datang, baik dipaksakan atau datang memperngaruhinya. Fase
kedua, masyarakat mengalami kebimbangan dalam menerima perubahan. Masyarakat ini hanya
menerima perubahan bila tidak bertentangan dengan kebudayaan mereka. Fase ketiga,
masyarakat sudah mulai menerima perubahan sosial, sehingga mereka mempersiapkan generasi
penerus mereka melalui pendidikan. Fase keempat, masyarakat telah mengalamai kemajuan
yang sangat tinggi, sehingga dikelompokkan ke dalam masyarakat yang sudah establish, yaitu
kelompok masyarakat yang sudah mapan dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan, sehingga tidak disibukkan oleh masalah-masalah kecil
seperti kesehatan, penyakit menular, kemiskinan atau perumahan.
Dalam rangka menghadapi perubahan dan perluasan lingkungan interaksi sosial bagi
masyarakat yang majemuk. Maka diperlukan sistem demokratisasi budaya yakni suatu sistem
yang mendukung kebebasan dan otonomi manusia serta lembaga-lembaga sosial yang mengatur
kehidupan masyarakat.75 Sistem ini diharapkan dapat menciptakan perluasan dan
penyempurnaan lembaga sosial termasuk lembaga pendidikan. Perluasan interaksi sosial
masyarakat ini berhubungan dengan perubahan norma dan nilai budaya baik tradisional dan
modern untuk mendukung pengembangan hubungan sosial baru.
2. Budaya (Kultur)
Budaya merupakan pola kegiatan manusia yang secara sistematis diturunkan dari
generasi kegenarasi melalui berbagai proses pembelajaran untuk menciptakan cara hidup
tertentu yang paling cocok dengan lingkungannya.76 Budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai,
keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari
satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.77
Budaya dalam suatu organisasi adalah norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat,
kebiasaan organisasi, dan sebagai (isi budaya organisasi) yang dikembangkan dalam waktu
yang lama oleh pendiri, pemimpin dan anggota organisasi yang disosialisasikan dan diajarkan
kepada anggota baru serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga mempengaruhi pola
74Wilbur B. Brookover, Sociological Education, terj, (New York: American Book Company, 1995), hal. 37-78. 75Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta : Bumi aksara, 2010), hal. 143. 76Wibowo, BudayaOrganisasi, (Jakarta: RajawaliPers, 2010), hal. 16 77D. Matsumoto, PengantarPsikologiLintasBudaya. (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2008), hal. 5
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
77
pikir, sikap dan prilaku anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani para
konsumen dan mencapai tujuan organisasi.78
Perubahan pada segi kultural masyarakat seperti nilai-nilai, sikap, norma-norma sosial
masyarakat. Masyarakat mempunyai budaya sosial, maka manusia sebagai individu sekaligus
makhluk sosial akan dipengaruhi oleh budaya di lingkungan tempat tinggalnya. Demikian
halnya pada orang-orang yang berada pada satu komunitas atau daerah yang memiliki budaya
yang mapan, akan diajarkan mengenai nilai-nilai kepercayaan dan perilaku yang diharapkan
oleh lingkungan tersebut.
3. Konsep Multikultural
Multikultural adalah keanekaragaman kultur. Dengan demikian pendidikan multikultur
terkait dengan keanekaragaman etnis, bangsa, ras, bahasa, adat istiadat, agama, kepercayaan
dan lain-lain. Keanekaragaman itu adalah sesuatu yang sudah tidak bisa dihindari oleh
manusia.79 Sebagaimana dalam Islam dijelaskan adanya kemajemukan (pluralitas) dalam Al-
Qur’an surah: كم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن ن ذكر وأنثى وجعلن كم م أيها ٱلناس إنا خلقن أتقٮكم ي أكرمكم عند ٱ�
عليم خبير ۱۳إن ٱ�Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Q.S Al-Hujurat: 13)
Konsep ajaran Islam mengacu kepada humanis, memiliki kepedulian kepada manusia.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tinggal di tengah keberagaman budaya. Budaya
yang dijalankan di tengah masyarakat memiliki nilai beragam baik nilai, norma, atau aturan
kehidupan bermasyarakat untuk mencapai kehidupan yang harmonis.
Pendidikan Islam yang berbasis multikultural adalah pendidikan yang meilihat perbedaan
suku, agama dan ras merupakan bagian dari skenario dan rekayasa penciptanya, satu paket
dengan ragam ciptaan alam raya.80 Oleh karena itu pendidikan didesain untuk membangun
78Wirawan, BudayadanIklimOrganisasi, (Jakarta: SalembaEmpat, 2007), hal. 10 79Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hal. 163. 80Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2014), hal. 255.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
78
karakter dengan mempertahankan nilai budaya yang beragam dengan mengembangkannya
bersama nilai-nilai Islam.
4. Peran Pendidikan Islam
Secara umum pendidikan agama memiliki tujuan yang dijelaskan PP No 55 Tahun 2007,
tujuan pendidikan agama adalah berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaanya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.81Sebagaimana fungsi dan tujuan pendidikan agama di atas,
dapat dipahami bahwa pendidikan agama untuk menumbuhkan karakter anak bangsa yang
mampu mengamalkan nilai-nilai agama di tengah perbedaan sehingga memiliki ikatan yang
baik terhadap sang pencipta, terhadap sesama, dan lingkungannya.
Pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan potensi manusia baik lahir maupun
batin atau fisik maupun pikiran dan perasaan manusia. Maka aspek pendidikan yang perlu
ditanamkan berdasarkan masyarakat multikultural adalah aspek pendidikan ketuhanan dan
akhlak, aspek pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, aspek pendidikan
psikologi, aspek pendidikan seni dan keterampilan, serta aspek pendidikan sosial.
Berpedoman pada ruang lingkup pendidikan Islam, maka kurikulum pendidikan Islam
berorientasi pada tiga hal, yaitu:
1. Tercapai tujuan hablum minallh (hubungan dengan Allah)
2. Tercapai tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3. Tercapai tujuan hablum minal ‘alam (hubungan dengan alam)82
Oleh karena itu pendidikan dalam kancah masyarakat multikultur memiliki peran sebagai
berikut:
Pertama, Pendidikan berperan dalam menjaga nilai-nilai moral yang menjadi landasan
bagi tumbuh kembang masyarakat. Pendidikan dipersepsikan oleh Durkheim sebagai satu
kesatuan utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat
menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Pendidikan juga berfungsi
sebagai baby sitting yang bertugas agar warga masyarakat tidak ada yang memiliki perilaku
81 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 55 Tahun 2007 TentangPendidikan Agama danPendidikanKeagamaan, Bab II, Pasal 2, hal. 3. 82Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hal. 20.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
79
menyimpang.83
Kedua, pendidikan sebagai cagar budaya berusaha menjelaskan pentingnya untuk
melestarikan tradisi, norma, bahasa daerah yang mulai terkikis oleh era globalisasi. Generasi
muda penting mewarisi budaya leluhur sebagai wujud memahami sejarah. Pendidikan sebagai
sistem sosial harus mampu menyerap dan menyiasati perubahan tatanan nilai yang terjadi di
masyarakat. Untuk mewujudkannya adalah menempatkan pendidikan yang mampu
memberikan pencerahan yang kontruktif dalam berpikir dan bertindak yang dilandasi oleh
keyakinan bangsa.84
Ketiga, pendidikan merupakan lapangan sentral dalam upaya menerjemahkan nilai-nilai,
gagasan, sikap, dan tindakan sosial yang mencerminkan kehidupan yang bermoral dan
bermartabat.85 Dalam implementasinya pendidikan berwawasan pluralisme dan
multikulturalisme menganjurkan agar guru tidak membawa budaya dominan masuk ke dalam
kelas. Pendidikan multikultural melahirkan manusia-manusia yang siap bergaul, berinteraksi,
bekerjasama, saling isi-mengisi, saling menghargai, hormat-menghormati dengan orang lain,
meski cara hidup berbeda, mengucap salam pembuka dan penutup pidato berbeda, status sosial
dan ekonomi berbeda, dan lambang-lambang dan simbol kehidupan yang mereka pakai
berbeda.86
Pendidikan yang diselenggarakan di sekolah sebagai agen pengembangan individu untuk
menjadi anggota masyarakat yang berbudaya.87 Dengan bantuan perspektif pendidikan Islam
dalam kontek masyarakat multikultural membantu guru dapat memahami lingkungan sosial,
proses sosial seperti terjadinya konflik, integrasi, pelapisan dan proses sosialisasi. Pendidikan
dikembangkan dengan nilai-nilai Islam yang membantu meningkatkan kepekaan budaya
sehingga memungkinkan praktisi pendidikan mampu mengelola pembelajaran berbasis
multikultural, melakukan antisipasi terhadap dampak budaya global.
Esensi Pendidikan Islam tidak hanya melihat pada satu sisi mata ajar pendidikan agama
Islam tetapi juga lembaga pendidikan Islam. Sehingga nilai-nilai yang ditanamkan adalah nilai-
nilai yang tidak radikal terhadap pemahaman perubahan sosial dan budaya saat ini. Nilai-nilai
83Abdullah Idi dan Safarina, Etika Pendidikan “Keluarga, Sekolah dan Masyarakat”, (Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2015), hal. 231. 84Ali Maksum, Sosiologi Pendidikan, (Jatim : Madani, 2016), hal. 250. 85Ibid., hal. 245 86Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2008), hal. 254. 87Prayitno dan Manullang B., Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa, (Medan : Pascasarjana Universitas
Negeri Medan Unimed, 2010), hal. 87.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
80
yang dikembangkan adalah nilai secara komprehensif dan universal berdasarkan paradigma
pendidikan Islam yang mengakui perbedaan dan kesederajatan sebagai kekayaan bangsa.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi pendidikan khususnya sekolah, maka perlu
memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekolah secara optimal. Sekolah memerlukan
masukan dari masyarakat dalam menyusun program yang relevan sekaligus memerlukan
dukungan masyarakat dalam melaksanaknnya. Disisi lain masyarakat memerlukan jasa sekolah
untuk mendapatkan program-program pendidikan sesuai dengan yang diinginkan.88 Hubungan
saling membutuhkan ini mendukung sistem pendidikan Islam yang diimplementasikan telah
dikaji berdasarkan perubahan sosial budaya masyarakat.
Pendidikan Islam yang diselenggarakan juga berpedoman pada Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, fungsi pendidikan dinyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.89
Pengembangan kemampuan atau kekuatan yang terkait dengan sosio budaya melalui
pendidikan pada dasarnya membawa kehidupan manusia sesuai dengan kehendak sang maha
pencipta, Tuhan yang Maha kuasa Allah Swt, sesuai dengan fitrah kehidupan manusia itu
sendiri. Kehidupan demikian adalah kehidupan karakter, yaitu kehidupan mengikuti kaidah-
kaidah nilai dan norma dalam kondisi ketenangan batin sehingga memperoleh kesejahteraan
dan kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Pendidikan terjadi di setiap sendi kehidupan
manusia dan pendidikan berlangsung dalam kehidupan manusia untuk meningkatkan kualitas
diri sebagai hamba Tuhan, makhluk individu, sosial, religi, dan estetika.90
Sistem pendidikan Islam yang dikembangkan dalam kancah masyarakat multikulural juga
berdasarkan pada konsep kerangka kompetensi abad ke-21 yang terdiri dari core subject and
21st century theory; life and career skill; learning and innovation skill; dan information, media
88E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 163. 89Diknas, Undang-UndangNomor 20 Tahun 2003 TentangSistemPendidikanNasional, (Jakarta: SinarGrafika, 2005),
hal. 7. 90Syaiful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan “Peluang dan Tantangan”, (Jakarta : Kencana 2013), hal. 288.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
81
and technology skills.91Kerangka di atas menunjukkan bahwa proses pembelajaran tidak cukup
hanya untuk meningkatkan pengetahuan, harus dilengkapi dengan pertama berkemampuan
kreatif dan kedua berkarakter kuat (bertanggung jawab, sosial, toleran, produtif, adaptif),
disamping itu didukung dengan kemampuan memanfaatkan informasi dan komunikasi.
Salah satu figur penting dalam proses pendidikan Islam adalah guru. Seorang guru dalam
pandangan Al-Qur’an adalah seseorang memainkan peran sebagai ulama. Dalam perannya,
seorang guru harus menguasai ilmu agama dan ilmu umum secara mendalam, mau
mengajarkan ilmu atas panggilan agama, memiliki akhak mulia dan menjadi teladan bagi
masyarakat, dan mengembangkan ilmunya secara terus menerus, melakukan peran sebagai
pelindung dan pembimbing masyarakat.92
Berlangsungnya proses pendidikan Islam tidak akan terlepas dari peran seorang guru.
Sebaik apapun kurikulumnya jikalau tidak ada seorang guru maka tidak memiliki arti
apapun.Pendidikan Islam memiliki tujuan yang sama dengan tujuan pendidikan nasional
dimana keduanya memiliki cita-cita untuk mencetak future generation yang berkarakter yaitu
memiliki akhlakul karimah, aqidah, sehat jasmani dan rohani, sehat akal dan hatinya dengan
memberikan kesempatan yang sama pada setiap individu. Sehingga menjadi pribadi yang
memiliki karakter kuat, religius, innovatif, sosial, dan mencitai perbedaan sebagai keindahan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam berbasis
masyarakat multikultural merupakan pendidikan yang didesain untuk mengembangkan potensi
umat manusia secara total dengan mengkolaborasikan nilai-nilai budaya sehingga tertanam
nilai ketuhanan, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang mampu merespon perubahan sosial dan
budaya dan tidak keluar dari nilai agama dan juga nilai budaya. Sehingga terlahirlah generasi
masa depan dan pemimpin-peminpin berkarakter yang bermoral, bermartabat, dan
berintelektual dengan memiliki kecerdasan sosial, emosional dan intelgensi yang terbalut oleh
ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
9121st Century Skills, Education & Competitiveness “A Resource and Policy Guide”, (Amerika : Partnership for 21st Century Skills, 2008, Website : www.21centuryskills.org), hal. 13. 92
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta : Kencana, 2016), hal. 109.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
82
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata. Pendidikan dalam Perspektif Islam. Jakarta : Kencana. 2016. _______. Sosiologi Pendidikan Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 2014. _______. Sejarah Pendidkan Islam. Jakarta :Kencana. 2011. Abdullah Idi dan Safarina. Etika Pendidikan “Keluarga, Sekolah dan Masyarakat”. Jakarta :
Rajagrafindo Persada. 2015. Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2008. Ali Maksum. Sosiologi Pendidikan. Jatim : Madani. 2016. Athiyah al- Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj), H. Bustami A. Ghani dan
Djohar Bahry L.I.S dari Judul asli al-Tarbiyah al-Islamiah. Jakarta: Bulan Bintang. 1974. Deden Makbuloh. Pendidikan Islam dan Sistem Pengembangan Mutu. Jakarta : Rajagrafindo
Persada. 2016. D. Matsumoto. PengantarPsikologiLintasBudaya. Yogyakarta: PustakaPelajar. 2008. Diknas.Undang-UndangNomor 20 Tahun 2003 TentangSistemPendidikanNasional. Jakarta:
SinarGrafika. 2005. Elli M. Setiadi dkk. Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Jakarta : Kencana. 2014. E. Mulyasa. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2011. Haidar Putra Daulay. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. Jakarta : Kencana. 2014. Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, (terj) Hasan Langgulung dari
judul asli Falsafah al-Tabiyah al-Islamiah. Jakarta : Bulan Bintang, 1979. Prayitno dan Manullang B. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Medan :
Pascasarjana Universitas Negeri Medan Unimed. 2010. Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi aksara. 2010. SyaifulSagala.Etika dan Moralitas Pendidikan “PeluangdanTantangan”. Jakarta : Kencana.
2013. Wibowo.BudayaOrganisasi. Jakarta: RajawaliPers. 2010. Wilbur B. Brookover. Sociological Education, terj. New York: American Book Company.
1995 Wirawan.BudayadanIklimOrganisasi. Jakarta: SalembaEmpat. 2007. Zainuddin Maliki. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 2008. 21st Century Skills. Education & Competitiveness “A Resource and Policy Guide”. Amerika :
Partnership for 21st Century Skills, 2008, Website : www.21centuryskills.org Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan, Bab II, Pasal 2
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
83
Page 83-92
INTEGRASI-INTERKONEKSI PARADIGMA HADHARI DALAM PENDIDIKAN MULTIKUTURAL
Ikhtiati,M.Pd.I Nasyariah Siregar,M.Pd.I Sri Yulia Sari, M.Pd.I [email protected] [email protected] [email protected]
(IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)
Abstract
Islamic educational conditions facing many problems moving some circles concerned to stand up and give the spirit of improving the condition of Islamic education. Over time, there are always studies on how to reform Islami education.
Movement of renewal of Islamic thought basically carrying values such as: the value of renewal, the value of the struggle, the value of freedom of thought and religion, the value of unity, solidarity. Educational paradigm based integrative-interkonektif Hadhari is one of the ideas that seek reform of Islamic education. Abd. Rachman Assegaf describe and explain the concept of integrative-based education Hadhari interkonektif which according to researchers is relevant to be applied across the board in education, especially in Sulthan Taha Saifuddin IAIN Jambi as the strengthening of science.
Hadhari concept of education-based integrative interkonektif that can be developed are: visionary Development (philosophy, ideology, vision, mission, goals, objectives, traditions, work programs, strategic plans, and activities). Substantial development (curriculum, lecture materials, reference literature, the structure of science, the job descriptions of the science and others. The development of administrative management (governance, organization, etc.). The development of human resources (quality of lecturers, education, certification, and others ).The development of institutions (institutions, policies, facilities, andothers). Keywords: Integration-Based Education Hadhari Interkonektif
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
84
PENDAHULUAN
Penghargaan terhadap kebebasan untuk berkembang dan berpikir maju tentu saja sangat
besar, mengingat manusia merupakan makhluk yang berpikir dan memiliki kesadaran. Namun
realitasnya masih terjadi kesenjangan dalam pendidikan Islam. Masih banyak persoalan-
persoalan yang dihadapi pendidikan Islam seperti masalah demokrasi, pemerataan pendidikan,
multikulturalisme, pluralisme, globalisasi pendidikan dan lain sebagainya.
Persoalan-persoalan mulai dari masih banyaknya umat Muslim yang masih anti dengan
penemuan-penemuan Barat sehingga menimbulkan pola berpikir fiqih oriented yang hanya
mengedepankan implementasi hubungan vertikal dan terjebak dalam arus ritualisasi. Pola
keberagaman seperti ini dikhawatirkan akan menciptakan masyarakat yang selalu dihiasi budaya
ritualistik, kaya akan unsur kultur Islami tapi miskin nilai spiritual yang berdimensi
kemanusiaan.
Ketidakseimbangan antara konsep hablum minallah dan hablum minannas telah
mengakibatkan diabaikannya rumusan khalifatullah dalam rumusan pendidikan.93 Menurut
Ahmad Barizi, terdapat asumsi pemetaaan lebih jauh antara apa yang disebut dengan
revealedknowledge (pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan) dan scientific knowledge
(pengetahuan yang bersumber dan berasal dari analisa pikir manusia) seperti filsafat, ilmu-ilmu
sosial (social siencies), ilmu-ilmu humaniora (humanities siencies), ilmu-ilmu alam (natural
siencies), dan ilmu-ilmu eksakta (mathematic siencies).94 Sehingga Pengembangan pendidikan
Hadhari berbasis Integrasi Interkonektif sangat perlu diterapkan di setiap lini pendidikan.
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam Multikultural
Pada perinsipnya pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai
perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap
kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Ada 2 hal bila kita mewujudkan pendidikan multikultural
yang mampu memberi ruang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Pertama
adalah dialog. Pendidikan multikultural tidak mugkin berlangsung tanpa dialog. Dalam
93
Mas’ud: Pejelasan Ketidakseimbangan antara konsep hablum minallah dan hablum minannas 2002. 94 Ahmad Barizi: Penjelasan: Masalah dikotomi keilmuan pun menjadi persoalan yang tidak pernah habisnya diperdebatkan dalam pendidikan Islam. 2011.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
85
pendidikan multikultural setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berbeda dalam posisi yang
sejajar sama. Dengan dialog diharapkan dapat mencari titik-titik persamaan sambil memahami
titik-titik perbedaaan.
Kedua toleransi adalah sikap menerima bahwa orang lain berbeda dengan kita. Dialog
dan toleransi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila dialog itu bentuknya,
tolrensi itu isinya. Toleransi diperlukan tidak hanya pada tataran konseptual, melainkan juga
pada tingkat teknis operasional.
Gagasan multikultural ini dinilai dapat mengakomodir kesetaraan budaya yang mampu
meredam konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat yang heterogen dimana tuntutan akan
pengakuan atas eksistensi dan keunikan budaya, kelompok, etnis sangat lumrah terjadi.
Muarahnya adalah tercipta suatu sistem budaya (culture system) dan tatanan sosial yang mapan
dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadikan pilar kedamaian sebuah bangsa.
Secara bahasa, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris plural yang berarti jamak,
dalam keragaman masyarakat atau ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui.
Secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak atau
banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling
mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan atau
memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak.95
Dalam konteks social masyarakat Indonesia, pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beranekaragam, terdiri dari berbagai suku
dan agama. Sebab, jika hal semacam ini yang menjadi pemahaman, maka bukan pluralisme yang
dipahami, tetapi hanya menggambarkan kesan fragmentatif. Selain itu, pluralisme juga tidak
boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan yang negative. Sebab cara pandang semacam ini hanya
mampu meminimalisasi fanatisme, tetapi belum sampai ke taraf membangun pluralisme secara
hakiki. Menurut Nurcholis Majid, pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of
civility).
Toleransi tanpa adanya sikap pluralistic tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar
umat beragama yang langgeng, demikian sebaliknya. Toleransi merupakan kemampuan untuk
menghormati sifat dasar, keyakinan dan perilaku yang memiliki oleh orang lain. Dalam literature
95 Ngainun naim, Achmad sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi, (Yogyakarata: Ar-ruzz media, 2008), hal. 75.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
86
agama islam, toleransi disebut dengan tasamuh yang dipahami sebagai filsafat atau sikap
menghargai, membiarkan, atau membolehkan pendirian (pandangan) orang lain yang
bertentangan dengan pandangan kita. Secara prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan
terhadap yang nampak sampai kepalsuannya tersingkap. Toleransi relevan dengan epistemology.
Ia juga relevan degan etika, yaitu sebagai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai
ketidaklayakannya tersingkap. Dan toleransi adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama
terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang mempengaruhinya, baik kondisi ruang, waktu,
prasangka, keinginan, dan kepentingannya yang berbeda antara satu agama dengan agama
lainya.
Nabi Muhammad Saw, sebagai pemimpin kekauatan agama dan politik, tidak pernah
mengharapkan Yahudi dan Kristen masuk ke dalam Islam. Tetapi, hanya berharap mereka
mengakui kenabian Muhammad dan kewahyuan Al-Qur’an. Jika tidak demikian, hubungan di
antara mereka akan diwarnai konflik panjang, permusuhan dan persengketaan.
Dialektika Al-Qur’an menegaskan adanya kesatuan dalam keagamaan. Kesatuan adalah
dasar pemahaman terhadap konsep keesaan Tuhan yang bersimbolkan dengan kalimat ‘La ilaha
illa Allah’. Adapun keagaman adalah konsekuansi logis dari keragaman geografis dan bahasa.
Al-Qur’an sama sekali tidak mengencam keragaman. Yang dilarang adalah konflik dan
sengketa. Al-Qur’an mengecam perbuatan anarkis, permusuhan dan dengki antaraindividu
maupun kelompok. Keragaman adalah sesuatu yang indah dan konflik adalah sesuatu yang
buruk. Inilah yang harus disadari oleh semua manusia tanpa kecuali. Dan untuk itu diperlukan
toleransi dan dialog anatar sesama agar tercipta kerukuanan.
Kenyataan bahwa Indonesia merupakan sebuah Negara yang multi etnis memang tidak
dapat disangkal. Hal ini terbukti96 yang menyebutkan sekitar 1000 etnis atu sub etnis di
Indonesia. Keadaan ini harus disadari, menyimpan potensi besar terhadap timbulnya
pertengkaran antaretnis yang satu dan lainnya. Sejarah telah menceritakan kejadian-kejadian
yang berhubungan dengan kekerasan yang melibatkan kelompok-kelom[pok etnis di Nusantara
yang terjadi sejak mada colonial sekitar tahun 1730-an hingga tahun 2000-an. Sebenarnya jauh
sebelum masa kolonial telah banyak kisah menyedihkan menyangkut pertentangan kelompok ini,
meskipun dalam bentuk perang antar kerajaan. Contohnya dalam perbincangan tentang
kerusuahan di Indonesia, peristiwa :Mei kelabu” di Jakarta pada tahun 1998 dan peristiwa
96
Adanya penjelasan tiga peneliti senior Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). 2003.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
87
“Sampit” pada tahun 2001 adalah dua topic bahasan yang tidak bisa dilupakan dalam
pembahasan kekerasan antaretnis yang terjadi di negeri ini.97
Sejak republik ini terbentuk, tercatat kekerasan dan konflik semakin meningkat. Salah satu
kasus tersebut adalah konflik antara warga Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan tengah,
yang berkembang menjadi konflik antaretnis. Dalam waktu seminggu, jumlah korban yang tewas
dari etnis madura tercatat 315 orang. Konflik Sampit telah menambah panjang daftar konflik
yang bernuansa SARA di tana air. Konflik antra warga Dayak dengan warga Madura yang
terjadi tanggal 18 Februari di kota Sampit, ibukota kabupaten Waringin Timur, Kalimantan
Tengah, berkembang menjadi kerusauhan antaretnis. Pelaku dan daerah konflik bertambah luas,
hingga menjangkau ke daerah lain seperti Kuala Kapuas, Pangkaln Bun, bahkan Palangkaraya.98
Sebagai sebuah wacana baru pengartian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga
saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya.
Namun demikian, bukan berarti bahwa defenisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak
jelas. Sebetulnya, sama dengan defenisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar
dengan pakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi
pada penafsiran tentang arti pendidikan multikultural.
Meminjam pendapat Adersen dan Cusher bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaaan. Kemudian James Banks mendefinisikan
pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan
multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan atau
Sunatullah). Kemudian, sebagai kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran
dan semangat egaliter.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secure
sederhana pendidikan multicultural dapat didefenisikan sebagai pendidikan tentang keagaman
kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kulturallingkungan masyarakat tertentu
atau bahkan dunia secure keseluruhan (global).99
Pendidikan multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti
(difference), atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas). Pendidikan multicultural hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan
97 Amin Abdullah, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007), hal. 206 98 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 119 99 Maslikhak, Pendidikan Multikultural, (Surabaya: PT. Temprina Grafika, 2007), hal. 167
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
88
dengan menawarkan strategi trasformasi budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme
pendidikan yang menghargai perbedaan budaya (difference of culture).
Untuk dapat memahami arti kultur dalam pendidikan multikultural dengan membangun
pemahaman tentang karakteristik kultur dan wilayah kultur. Karakteristik kultur antara lain
kultur sebagai sesuatu yang general sekaligus spesifik, kultur sebagai sesuatu yang dipelajari,
kultur sebagai sebuah simbol, kultur sebagai pembentuk, dan pelengkap sesuatu yang alami,
kultur sebagai atribut bagi individu dari kelompok lain, kultur sebagai sebuah model, dan ukurna
sebagai sesuatu yang bersifat adaptif. Sebagai wilaya kultur sebagai mana dikutif Ainul Yaqin
dalam Contrad P. Kottak adalah kultur nasional, internasional dan sub-kultur.
Pertama, kultur nasional berbentuk aneka macam pengalaman, sifat dan nilai-nilai yang
dipakai oleh semua warga negara yang berada dalam satu negara. Kedua, kultur internasional
berbentuk dari tradisi kultur yang meluas melampaui batas-batas wilayah nasional sebuah negara
melalui proses penyebaran (diffusion), yaitu sebuah proses penggabungan antara dua kultur atau
lebih melalui beberapa cara seperti perkawinan, migrasi, media massa atau bahkan melaui film.
Kegita, sub-kultur sebagai sebuah perbedaan karakteristik kultur dalam satu kelompok
masyarakat. Istilah pendidikan multikultural secara etimologis terdiri atas dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suatu belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekeuatan spiritual agama, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan secara
terminologis pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia
yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis,
suku dan aliran (agama).
Dengan demikian, pendidikan multikultural merupakan proses yang dapat diartiakan
sebagai proses pengembangan sikap yang dapat diartikan sebagai proses pengembangan siapa
dan taat laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai
pluralitas dan heterogenitas secara humanistik.
Penyelengaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi
solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerpa
terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realtias plural. Dengan lain kata, pendidikan
multikultural dapat menjadi sarana alaternatif pemecahan konflik sosial-budaya.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
89
Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan guna mengelolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan.
Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar yaitu: menyiapkan
bangsa Indonesia utnuk siap menghadapi arus budaya luar di ara globalisasi dan menyatukan
bangsa sendiri yang terdidik dari berbagai macam budaya.
Pada dasarnya, model-model pembelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan kebangsaan
memang sudah ada. Namun, hal itu masih kurang memadai sebagai sarana pendidikan guna
menghargai perbedaan masing-masing suku, budaya, etnis. Hal itu terlihat dengan munculnya
konflik yang kerap terjadi pada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal itu
menunjukan bahwa pemahaman toleransi masih amat kurang. Maka, penyelenggaraan
pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil bila terbentuk pada diri siswa dan mahasiswa
sikap hidup saling toleran, tidak bermusuhan dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh
perbedaan budaya, suku, bahasa, adat istiadat atau lainnya.
Perubahan yang diharapkan dalam konteks pendidikan multikultural ini tidak terletak
pada justifikasi angka atau statistik dan beorientasi kognitif masih sebagaimana lazimnya
penilaian keberhasilan pelaksaan pendidikan di negeri ini. Namun, lebih dari itu, terciptnya
kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul
konflik yang disebabkan oleh pebedaan budaya dan SARA.
Melihat banyaknya persoalan tersebut diperlukan pembaharuan strategi pendidikan yang
membumi, dan untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam diperlukan paradigma
pendidikan yang mampu mengarahkan pada tujuan dan sasaran pendidikan Islam. Kemajuan
pendidikan ditentukan oleh landasan pijak dan paradigma yang mampu mengantarkan pada
substansi apa yang akan dibawa dalam proses dan metode pendidikan.
Ketika pendidikan Islam dijadikan sebagai paradigma maka keseluruhan pendidikan
juga harus mengadaptasi dari ajaran-ajaran Islam. Dasar paradigma pendidikan Islam adalah al-
Qur’an dan Hadis yang digunakan sebagai rujukan utama dalam membuat dan mengembangkan
konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan. Dapat disimpulkan bahwa ideologi atau paradigma
pendidikan merupakan gambaran utuh antara ketauhidan, akhlak, alam semesta dan tentang
manusia yang dikaitkan dengan teori pendidikan Islam.
Kondisi pendidikan Islam yang menghadapi banyak problem menggerakkan beberapa
kalangan yang prihatin untuk bangkit dan menyuarakan semangat perbaikan kondisi pendidikan
Islam. Seiring berjalannya masa, selalu ada kajian-kajian tentang bagaimana melakukan
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
90
pembaharuan pendidikan Islam. Gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada dasarnya
mengusung nilai-nilai seperti: nilai pembaharuan, nilai perjuangan, nilai kemerdekaan pikiran
dan agama, nilai persatuan, nilai solidaritas (Lestari & Ngatini, 2010:94).
Paradigma pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif adalah salah satu hasil
pemikiran yang berusaha melakukan pembaharuan pendidikan Islam. Abd. Rachman Assegaf
menjelaskan dan memaparkan konsep pendidikan hadhari berbasis Integratif-interkonektif
dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif.
Ilmu-ilmu ke-Islam-an dan umum menjadi wilayah kajian UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang berangkat dari paradigma keilmuan integratifinterkonektif. Dialog keilmuan ini
membagi wilayah studi ke-Islam-an dalam tiga bagian, yaitu hadharah al-nash, hadharah al-
falsafah dan hadharah al-‘ilm. Ketiga bagian tersebut saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri.
Secara konsep, ketiga bagian tersebut sama dengan tiga entitas yang dikembangkan dalam
paradigma pendidikan hadhari, hanya saja dalam pendidikan hadhari lebih dikaji secara
mendalam.
Bagi Abd. Rachman Assegaf progam konversi STAIN dan IAIN menjadi UIN penting
dilakukan untuk menjadi sarana pengembangan paradigma keilmuan integratif-interkonektif.
Banyak hal yang perlu dibenahi dari PTAI di Indonesia yang secara ringkas dijabarkan sebagai
berikut oleh Abd. Rachman Assegaf:
a. Pengembangan visioner (falsafah, ideologi, visi, misi, sasaran, tujuan, tradisi, progam kerja,
rencana strategis, dan kegiatan).
b. Pengembangan substansial (kurikulum, bahan kuliah, referensi kepustakaan, struktur
keilmuan, pembidangan ilmu dan lain-lain.
c. Pengembangan manajemen administrasi (tata kelola, organisasi, dan lain-lain).
d. Pengembangan SDM (kualitas dosen, pendidikan, sertifikasi, dan lainlain).
e. Pengembangan kelembagaan (institusi, kebijakan, fasilitas, dan lainlain). Abd. Rachman
Assegaf mendambakan UIN menjadi pusat pembaharuan Islam dengan meneladani spirit
ilmuwan Muslim pada era klasik dan abad pertengahan yang mampu menunjukkan
peradaban Isam yang tinggi.
Dengan kata lain ini isyarat bahwa Abd. Rachman Assegaf mencita-citakan UIN
sebagai tempat mekar suburnya tradisi pengembangan Islamic studies dengan melakukan
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
91
agenda-agenda pembaharuan yang telah diprogamkan oleh Panitia Kerja. UIN sunan Kalijaga
saat ini masih mengembangkan konsep segitiga hadharah dan pendekatan keilmuan integratif-
interkonektif yang digagas oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah. Konsep tersebut dikembangkan
oleh Abd. Rachman Assegaf dengan menggagas konsep paradigma pendidikan hadhari berbasis
integratif-interkonektif.
Dari uraian di atas, dalam domain lingkungan Ini Abd. Rachman Assegaf melihat
konsep segitiga hadharah dan pendekatan keilmuan integratif-interkonektif perlu dikembangkan.
Hal ini diperlukan untuk mewujudkan cita-cita yang ideal dari sebuah gerakan pembaharuan di-
UIN sebagai tempat pengembangan studi Islam yang tidak timpang serta tidak mengenal
dikotomi ilmu.
KESIMPULAN
1. Pendidikan multicultural adalah sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau politics of
recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas). Pendidikan
multicultural hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan dengan menawarkan
strategi trasformasi budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme pendidikan yang
menghargai perbedaan budaya (difference of culture)
2. Konsep pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif yang dapat dikembangkan yaitu:
Pengembangan visioner (falsafah, ideologi, visi, misi, sasaran, tujuan, tradisi, progam kerja,
rencana strategis, dan kegiatan). Pengembangan substansial (kurikulum, bahan kuliah,
referensi kepustakaan, struktur keilmuan, pembidangan ilmu dan lain-lain. Pengembangan
manajemen administrasi (tata kelola, organisasi, dan lain-lain). Pengembangan SDM (kualitas
dosen, pendidikan, sertifikasi, dan lain-lain). Pengembangan kelembagaan (institusi,
kebijakan, fasilitas, dan lainlain).
3. Penyelengaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi
nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerpa
terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realtias plural. Dengan lain kata, pendidikan
multikultural dapat menjadi sarana alaternatif pemecahan konflik sosial-budaya.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
92
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrasi-Interkonektif. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2011.
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah dan Pendidikan.
Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar. Cet. II. Bandung: Remaja Rosda Karya Tilaar. 1994.
Amin Abdullah, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Nuansa Aksara. 2007 Arief Furchan, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial
Lainnya Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006 Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2008. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2011. Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2014. Maslikhak, Pendidikan Multikultural, Surabaya: PT. Temprina Grafika. 2007 Moh. Nazir, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011. Ngainun naim, Achmad sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi, Yogyakarata: Ar-
ruzz media. 2008 Nurul Zuhriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R& D. Bandung: Alfabeta, 2008. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta,
2013. Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
93
Page 93-109
KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF KEPALA MADRASAH DI PROVINSI JAMBI
Dr. Sumarto, S.Sos.I, M.Pd.I
(STAI Ma’arif Jambi) [email protected]
Abstrak
Pemimpin transformasional menjelaskan bagaimana pemimpin mengubah lembaga dengan menciptakan, mengkomunikasikan dan memberi inspirasi. Melakukan perpindahan perubahan dalam menanamkan budaya madrasah dengan proses belajar mengajar yang baik, pemenuhan dan perbaikan fasilitas, prestasi belajar dan ekstrakurikuler, ibadah keagamaan, disiplin dan kerja sama yang baik internal dan eksternal. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui mengapa kepala madrasah yang transformasional dapat menanamkan budaya madrasah, peran kepemimpinan transformasional dan keberhasilan peran kepemimpinan transformasional dalam menanamkan budaya madrasah di provinsi Jambi. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model Miles dan Huberman dan Teknik keabsahan data menggunakan triangulasi data. Hasil penelitian, yaitu: Kepala Madrasah memiliki kepribadian muslim sebagaimana Rasulullah SAW, mengetahui kebutuhan anggota, membangun rasa percaya diri dan anggota, membangun komitmen bersama dalam melakukan perpindahan menuju perubahan yang lebih baik, kreatif, produktif dan berinovasi, teladan dan berani menghadapi tantangan, sensitifitas terhadap keluhan dan saran anggota, Bermusyawarah dan semangat motivasi. Peran kepemimpinan transformasional Kepala Madrasah sebagai penentu arah (Direction Setter), agen perubahan (Agent of Change), juru Bicara(Spokesperson), pelatih (Coach) yang baik, penggalang dukungan (support-getter), penjamin kesuksesan(succes-guarantor) dan pemandu jalan untuk melakukan perpindahan perubahan yang labih baik (path-finder). Implikasi praktis, yaitu: Peran kepemimpinan transformasional Kepala Madrasah dalam menanamkan budaya madrasah dengan menerapkan Idealiced influence, Inspirational motivation, Intelelectual stimulationdan Individualized considerationdan pencapaian keberhasilan dengan kepribadian pemimpin yang baik, faktor pendidikan, pengalaman yang tinggi, kerja sama yang baik. Kata Kunci: Kepemimpinan Transformasional, Budaya Madrasah PENDAHULUAN
Pemimpin transformasionaladalah prospek kepemimpinan yang menjelaskan bagaimana
pemimpin mengubah tim atau lembaga dengan menciptakan, mengkomunikasikan dan membuat
model visi untuk lembaga atau unit kerja dan memberi inspirasi kepada para guru atau pegawai
lainnya untuk berusaha mencapai visi tersebut. Budaya madrasah salah satu metode pendidikan
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
94
nilai yang komprehensif. Karena dalam perwujudannya terdapat nilai, teladan dan penyiapan
generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan-pembuatan
keputusan moral secara bertanggung jawab dan ketrampilan hidup yang lain.
Hasil grand tour yang dilakukan peneliti di tiga Madrasah yang ada di Provinsi Jambi
yaitu MAN Olak Kemang Kota Jambi, MAN Pulau Temiang Kabupaten Tebo dan MAN 2
Kabupaten Tanjung Jabung Timur banyak keunggulan yang dapat diamati dari hasil observasi
dan wawancara dengan Kepala Madrasah, diantaranya adalah; lingkungan Madrasah terletak di
daerah Desa Kelurahan sehingga aktifitas Madrasah sangat dekat dengan lingkungan masyarakat
sekitar dan masyarakat merasa menjadi bahagian besar dari setiap kegiatan dan kemajuan yang
dicapai Madrasah. Selalu ada upaya yang dilakukan Kepala Madrasah dalam meningkatkan
kualitas para guru dengan mengikuti berbagai kegaiatan pelatihan (training) tingkat Kabupaten,
Kota, Provinsi sampai dengan Nasional terutama dalam mempersiapkan guru menjadi Trainer
Kegiatan Olympiade Sains dan Agama Tingkat Nasional yang dilaksanakan oleh Kementrian
Agama RI dan Kementrian Pendidikan Nasional. Budaya Madrasah yang erat dengan Budaya
religiusitas; hafalan Al-Qur’an, sholat Dhuha, marawis, pidato bahasa arab, kegiatan yasinan dan
lain sebagainya. Kegiatan relegius yang ada di Madrasah sangat mendukung kegiatan akademik
dengan harapan menjadi Insan Kamil (cerdas dan berakhlak terpuji). Secara terperinci hasil dari
grand tour (wawancara dan observasi awal) yang dilakukan oleh peneliti, yaitu: (Hasil Observasi
Tidak Langsung Tanggal 2 Desember 2014).
MAN Olak Kemangberada di Kelurahan Olak Kemang Kecamatan Danau Teluk
Seberang Kota Jambi. Suasana geografis rawan terkena banjir sehingga bangunan Madrasah
berbentuk panggung. MAN Olak Kemang Kota Jambi adalah MAN tertua di Jambi, sehingga
sangat sarat dengan situasi sosial dan budaya Madrasah. MAN Olak Kemang Kota Jambi sangat
dekat dengan berbagai Pondok Pesantren salah satunya adalah Pondok Pesantren As’ad sehingga
erat dengan interaksi relegius. Jumlah guru di MAN Olak Kemang Kota Jambi 22 orang PNS, 14
orang guru Honor dan 11 karyawan/tenaga kependidikan dengan Akreditasi B. (Hasil Observasi
dan Wawancara dengan Bapak H. Muhammad Aman, M.Pd.I (Kepala MAN Olak Kemang Kota
Jambi) dan Bapak Suparno, SH Tanggal 9 Agustus 2016.)
MAN Olak Kemang Kota Jambi sebagai MAN tertua tentunya banyak keunggulan yang
dimiliki terutama dalam sosial dan budaya Madrasah. Tenaga pendidik di MAN Olak Kemang
Kota Jambi secara akademik selalui meningkatkan kualitasnya dengan mengikuti kegiatan
Pelatihan (Training) ditingkat Kota Jambi, Provinsi Jambi dan Nasional di bidang Pelatihan
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
95
untuk menjadi seorang Trainer yang mempersiapkan siswa-siswinya dalam kegaitan Olympiade
Nasional Biologi dan Bahasa.
Peserta didik di MAN Olak Kemang Kota Jambi memiliki banyak prestasi di bidang
akademik, seni dan olahraga diantaranya adalah Juara 1 Pusat Informasi Konsultasi Remaja
Tingkat Kota Jambi dan Juara Harapan 1 Tingkat provinsi Jambi yang diadakan oleh BkkBn
Bagian Pendidikan Usia Dini dalam Perkawinan. Juara 3 Olympiade Sains yang diadakan oleh
Mahasiswa UNJA dan Juara 2 Pertandingan Sepak Bola Liga Pelajar Indonesia (LPI) Provinsi
jambi. Budaya yang masih lekat di MAN Olak Kemang Kota Jambi yaitu hafalan Al-Qur’an dan
marawis yang mewarnai sosial keseharian siswa-siswi.
MAN Pulau Temiang Kabupaten Tebo Berdasarkan hasil wawancara awal yang
dilakukan oleh peneliti di MAN Pulau Temiang jumlah guru PNS sebanyak 10 orang dan guru
honor 14 orang. Jumlah siswa sebanyak 352 orang. Budaya Madrasah yaitu tradisi para guru
yang sudah mulai respon dengan informasi yang ada terutama informasi terkini dan bersifat e-
informasi. Budaya madrasah para guru menjalankan tugas dan fungsinya hanya di dasarkan pada
kebiasaan yang ada tetapi dengan peran aktif dari Kepala Madrasah, para guru sudah mulai
memperhatikan Job Descripton yang sudah ditetapkan. (Hasil Wawancara dengan Purwadi, S.Pd
(Kepala MAN Pulau Temiang Tebo) Tanggal 16 Februari 2015)
Kepala Madrasah selalu berupaya meningkatkan kualitas akademik dengan pembiasaan
belajar dan koordinasi dengan para guru dan tenaga kependidikan dengan wujud pelaksanaan
tradisi rapat sebulan sekali, rapat persiapan dalam melaksanakan setiap program Madrasah dan
keterbukaan serta sikap toleransi saling menghargai menghormati sebagai bukti untuk memimpin
rapat tidak harus selalu kepala Madrasah tetapi boleh yang lain sesuai dengan kemampuan dan
keahlian. Kepala Madrasah dengan segala keterbatasan yang dimiliki selalu memiliki komitmen
dan semangat untuk melakukan perubahan di MAN Pulau Temiang, keunggulan yang sudah
tercapai yaitu dengan perolehan akreditasi B MAN Pulau Temiang Kabupaten Tebo dan
Mendapatkan Bantuan Beasiswa bagi para siswa sehingga sangat membantu bagi siswa-siswi
yang kurang mampu tetapi berprestasi.MAN 2 Kabupaten Tanjung Jabung TimurBerdasarkan
hasil wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti yaitu jumlah guru PNS 6 orang dan guru
honor 14 orang. Jumlah siswa kelas X dan XI sebanyak 97 orang dan kelas XII 64 orang. Budaya
madrasah yang ada yaitu di dasarkan pada tata tertib dan Dasa Prasetya Siswa yang selalu
diupayakan untuk dijalankan dengan baik terutama dalam menjaga nama baik Madrasah. (Hasil
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
96
Wawancara dengan Drs. Sumanto, S.Pd (Kepala MAN 2 Tanjung Jabung Timur) Tanggal 20
Maret 2015)
Kepala MAN 2 Tanjung Jabung Timur sudah melakukan banyak perubahan yang
membudaya yaitu tradisi rapat yang selalu dilakukan kepala Madrasah dalam menyelesaikan
masalah dilaksanakan 4 x setahun yaitu rapat UN, rapat PPDB, rapat semesteran, rapat kenaikan
kelas dan rapat yang sifatnya insidental. MAN 2 Kabupaten Tanjung Jabung Timur masih berdiri
selama 5 tahun tetapi sudah banyak pencapaian keunggulan yang dilakukan sebagai upaya untuk
mewujudkan visi misi dan program kerja. Budaya madrasah yang masih tetap dipertahankan
yaitu sebelum masuk kelas para siswa wajib membaca surat yasin secara bersamaan, praktek
sholat jenazah dan safari ramadhan. Adapun judul penelitian yang diangkat dalam penelitian ini
adalah Kepemimpinan Transformasional dalam Menanamkan Budaya Madrasah di Provinsi
Jambi (Studi di MAN Olak Kemang Kota Jambi, MAN Pulau Temiang Kabupaten Tebo dan
MAN 2 Tanjung Jabung Timur).
Rumusan Masalah yaitu 1) Mengapa kepemimpinan transformasional dapat menanamkan
budaya madrasah di Provinsi Jambi (Studi di MAN Olak Kemang Kota Jambi, MAN Pulau
Temiang Kabupaten Tebo dan MAN 2 Tanjung Jabung Timur). 2) Bagaimana kepemimpinan
transformasional di Madrasah Provinsi Jambi (Studi di MAN Olak Kemang Kota Jambi, MAN
Pulau Temiang Kabupaten Tebo dan MAN 2 Tanjung Jabung Timur). 3) Bagaimana
kepemimpinan transformasional dalam menanamkan budaya madrasah di Provinsi Jambi (Studi
di MAN Olak Kemang Kota Jambi, MAN Pulau Temiang Kabupaten Tebo dan MAN 2 Tanjung
Jabung Timur). 4) Bagaimana keberhasilan kepemimpinan transformasional dalam menanamkan
budaya madrasah di Provinsi Jambi (Studi di MAN Olak Kemang Kota Jambi, MAN Pulau
Temiang Kabupaten Tebo dan MAN 2 Tanjung Jabung Timur). Adapun fokus dari penelitian ini
adalah mendeskripsikan secara mendasar dan menemukan konsep kepemimpinan
transformasional dalam upaya menanamkan budaya madrasah di Provinsi Jambi.
LANDASAN TEORI Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan seseorang dalam mempengaruhi
perilaku orang lain ke arah pencapaian (tujuan). Hoy dan Miskel mengatakan bahwa
kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, yang
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
97
diarahkan melalui proses komunikasi ke arah satu atau beberapa tujuan tertentu. (Hoy K. Wayne
dan Miskel. G Cecil, 2008: 418).
Kepemimpinan menjelaskan bahwa berkaitan dengan pengikutsertaan seluruh anggota
atau pengikutnya beradaptasi dengan perubahan dalam mencapai tujuan-tujuan individu
maupun organisasi serta mengkoordinasikan secara aktif tugas-tugas yang perlu dalam mencapai
keberhasilan. (Sudarwan Danim dan Suparno, 2009:7). Menurut Abdul Azis Wahab,
kepemimpinan mencakup unsur-unsur sebagi berikut: a) Unsur pemimpin atau orang yang
mempengaruhi; b) Unsur interaksi atau kegiatan/usaha dan proses mempengaruhi; c) Unsur
tujuan yang hendak dicapai dalam proses mempengaruhi; d) Unsur perilaku/kegiatan yang
dilakukan sebagai hasil mempengaruhi. (Abdul Azis Wahab, 2008:83). Kepemimpinan juga
diartikan sebagai suatu proses kegiatan seseorang untuk menggerakan orang lain, untuk
melaksanakan sesuatu dengan memimpin, membimbing, mempengaruhi orang lain, untuk
melakukan sesuatu agar dicapai hasil yang diharapkan. (Edy Sutrisno, 2012:13). Menurut
Jonson, Jeffry dan Michael, leadership as the use of power and influence to direct the activities
of followers toward goal achievement. (Jason A. Colquitt, Jeffry A. Lepine dan Michael J.
Wesson, 2009:441).
Ricky W. Griffin dan Gregory Moorheadmembagi definisi kepemimpinan menjadi dua
bagian yaitu sebagai proses dan properti. Sebagai suatu proses, kepemimpinan adalah
penggunaan pengaruh tanpa paksaan untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan
anggota kelompok ke arah pencapaian tujuan. Sebagai properti, kepemimpinan adalah
karakteristikyang dikaitkan dengan orang-orang yang dianggap mempekerjakan pengaruh
tersebut berhasil. (Ricky W. Griffin dan Gregory Moorhead, tth. : 347).
Kepemimpinan adalah pola tingkah yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan
organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan atau dengan kata lain
kepemimpinan berkaitan dengan proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan
pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur, memfasilitasi
aktivitas dan hubungan di dalam kelompok atau organisasi. (Gary Yukl, 2010: 3).
Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas tugas dari
orang-orang dalam kelompok. Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu bawahan atau
karyawan yang akan dipimpin, kepemimpinan juga melibatkan pembagian kekuasaan (power).
(Mamduh M. Hanafi, 2006: 328). Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menggunakan
gaya yang dapat mewujudkan sasarannya, misalnya dengan mendelegasikan tugas, mengadakan
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
98
komunikasi yang efektif, memotivasi bawahannya, melaksanakan kontrol dan seterusnya.
(Husaini Usman, 2009:293)
Kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan seseorang dalam mempengaruhi
perilaku orang lain ke arah pencapaian (tujuan). Hoy dan Miskel mengatakan bahwa
kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, yang
diarahkan melalui proses komunikasi ke arah satu atau beberapa tujuan tertentu. (Hoy K. Wayne
dan Miskel. G Cecil, 2008:418).
Ide teori kepemimpinan transformasional atau transformational leadership diawali oleh
James McGregor Burnsdalam bukunya yang mendapat pulizer dan National Book Award yang
berjudul Leadership. Burns dalam Sudarwan Danim dan Suparno menggunakan istilah
mentransformasi kepemimpinan (transforming leadership), di mana yang mentransformasikan
adalah kepemimpinannya dari peimimpin ke pengikut (Sudarwan Danim dan Suparno, 2009: 52-
53)
Kepemimpinan transformasional, Leithwood dkk, mengemukakan: “Transformational
leadership is seen to be sensitive to organization building, developing shared vision, distributing
leadership and building school cultute necessary to current restructuring effors in schools”.
Esensi pendapat ini, bahwa kepemimpinan transformasional memiliki ciri dominan,
yaitu:memiliki sensitivitas terhadap pengembangan lembaga, mengembangkan visi bersama
antarkomunitas lembaga, mendistribusikan peran kepemimpinan, mengembangkan kultur
madrasah danmelakukan usaha-usaha restrukturisasi di madrasah (Sudarwan Danim dan
Suparno, 2009: 52-53).
Bass dalam Yukl menjelaskan bahwa perilaku kepemimpinan transformasional dapat
dikategorikan dalam empat hal berikut: 1) Pengaruh ideal. Perilaku idela adalah perilaku yang
membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat dari pengikut terhadap pemimpin. 2)
Pertimbangan individual. Pertimbangn individual meliputi pemberian dukungan, dorongan, dan
pelatihan bagi pengikut. 3) Motivasi inspiration. Motivasi inspiration meliputi penyampaian visi
yang menarik, dengan menggunakan simbol untuk memfokuskan upaya bawahan, dan membuat
model perilaku yang tepat. 4) Stimulasi intelektual. Stimulasi intelektual adalah perilaku yang
meningkatkan kesadaran pengikut akan permasalahan dan mempengaruhi para pengikut untuk
memandang masalah dari perspektif yang baru. Perilaku kepemimpinan transformasional
memiliki indikator: 1) Pengaruh ideal. 2) Pertimbangan individual. 3) Motivasi inspiration. 4)
Stimulasi intelektual. (Gary Yukl, 2010: 305).
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
99
Bass dan Aviola dalam Aan Komariah dan Cepi Triatna mengusulkan empat dimensi
dalam kadar kepemimpinan transformasional dengan konsep 4 “I” yang artinya (Aan Komariah
dan Cepi Triatna, 2010) : “I” pertama adalah idealiced influence, yang dijelaskan sebagai
perilaku yang menghasilkan rasa hormat(respect) dan rasa percaya diri(trust) dari orang yang
dipimpinnya. Idealized influence mengandung makna saling berbagi risiko melalui pertimbangan
kebutuhan para staf diatas kebutuhan pribadi dan perilaku moral secara etis. “I” kedua adalah
inspirational motivation, tercermin dalam perilaku yang senantiasa menyediakan tantangan bagi
pekerjaan yang dilakukan staf dan memperhatikan makna pekerjaan bagi staf. Pemimpin
menunjukkan atau mendemonstrasikan komitmen terhadap sasaran organisasi melalui perilaku
yang dapat diobservasi staf. Pemimpin adalah seorang motivator yang bersemangat untuk terus
membangkitkan antusiasme dan optimisme staf.
“I” ketiga adalah intelelectual stimulation,yaitu pemimpinyang mempraktikan inovasi-
inovasi. Sikap dan perilaku kepemimpinannya didasarkan pada ilmu pengetahuan yang
berkembang dan secara intelektual ia mampu menerjemahkannya dalam bentuk kinerja yang
produktif. Sebagai intelektual, pemimpin senantiasa menggali ide-ide baru dan solusi yang
kreatif dari para staf dan tidak lupa selalu mendorong staf mempelajari dan mempraktikkan
pendekatan baru dalam melakukan pekerjaan. “I” keempat adalah individualized consideration,
pemimpin merefleksikan dirinya sebagai seorang yang penuh perhatian dalam mendengarkan
dan menindak lanjuti keluhan, ide, harapan-harapan, dan segala masukan yang diberikan
staf.Dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Perilaku Pemimpin Transformasional
Individual Consideratio
Intellectual Stimulation
Inspirational Motivation
Idealized Influence
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
100
Figure 1. Perilaku Kepempinan Transformatif Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang sempurna, sebelum terjun ke medan perjuangan
Islam, telah membuat perencanaan yang matang, sehingga dalam mensyi’arkan Islam selalu
berhasil dan perlahan-lahan para pengikutnya bertambah banyak.Setelah Islam tersebar luas,
perjuangan Rasulullah tidak berhenti. Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk
membangun kekhalifahan. Kekhalifahan ini dimaksudkan supaya perjuangan Islam harus terus
berjalan walaupun suatu saat Rasulullah Saw. wafat. Ini merupakan visi jangka panjang
Rasulullah. Prinsip kepemimpinan Islam menurut Ismail Noor, yaitu : syura (musyawarah)(QS.
Asy-Syura (42) ayat 38 dan QS. Ali Imron (3) ayat 159), ’adl bi al-qisth (keadilan dengan
kesetaraan) (Q.S. An-Nisa, 58, Q.S. An-Nisa (4) : 135 dan Q.S. Al-Maidah (5) ayat 8), dan
hurriyah al-kalam (kebebasan berekspresi dengan adab al-ikhtilaf) (Q.S. Al Hasyr ayat 18).
(Ismail Noor, 2011: 23)
Tiga prinsip kepemimpinan manajerial Nabi Muhammad SAW Versi Ismail Noor (Ismail Noor, 2011: 23)
Figure 2: Tiga prinsip kepemimpinan manajerial Nabi Muhammad SAW
Kepemimpinan transformer yaitu kemampuan menciptakan dan mengartikulasikan visi
yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik tentang masa depan organisasi atau unit organisasi
yang terus tumbuh dan meningkat dibanding saat ini. Visi ini memiliki gambaran yang jelas dan
mendorong, yang menawarkan cara yang inovatif untuk memperbaiki, yang mengakui dan
berdasarkan tradisi serta terkait dengan tindakan-tindakan yang dapat diambil orang untuk
merealisasikan perubahan. (S.P. Robbins, 1993: 473).
SYURA
(Musyawarah)
‘ADL BI AL- QISTH (Keadilan dengan
Kesetaraan)
HURRIYAH AL-KALAM (Kebebasan
Berekspresi dengan Adab Al-Ikhtilaf)
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
101
Budaya Madrasah
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture yang berasal
dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani, kata culture juga kadang sering diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa
Indonesia. (Muhaimin, 2001: 153).
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang ditemukan dan ditentukan oleh suatu
kelompok tertentu karena mempelajari dan menguasai masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal, yang telah bekerja dengan cukup baik untuk dipertimbangkan secara layak dan
karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang dipersepsikan, berpikir dan dirasakan
dengan benar dalam hubungan dengan masalah tersebut. (Jerald, G. and Robert, 2008: 12)
Koentjaraningrat berpendapat bahwa “kebudayaan” berasal dari kata sansekerta
buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal, sehingga menurutnya
kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal, ada juga
yang berpendapat sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi daya yang artinya daya dari
budi atau kekuatan dari akal. (Koentjaraningrat,1993:9). Koenjtaraningrat berpendapat bahwa
unsur kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu pertama sebagai suatu ide, gagasan, nilai-nilai
norma-norma peraturan dan sebagainya, kedua sebagai suatu aktifitas kelakuan berpola dari
manusia dalam sebuah komunitas masyarakat, ketiga benda-benda hasil karya manusia
(Koentjaraningrat,1993:5).
Koentjaraningrat mengelompokkan aspek-aspek budaya berdasarkan dimensi wujudnya,
yaitu: Kompleks gugusan atau ide seperti pikiran, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma dan
sikap. Aktifitas seperti pola komunikasi, tari-tarian, upacaraadat. Material hasil bendaseperti
seni, peralatan dan sebagainya. (Koentjaraningrat,1993:28).Sedangkan menurut Robert K.
Marton, diantara segenap unsur-unsur budaya terdapat unsur yang terpenting yaitu kerangka
aspirasi tersebut, dalam artian ada nilai budaya yang merupakan konsepsi abstrak yang hidup di
dalam alam pikiran. (Fernandez, 1990: 28).
Madrasah model beberapa tahun belakang ini mendapat sorotan banyak pihak. Hal ini
terjadi karena, baik di kalangan ahli dan praktisi pendidikan maupun masyarakat, terdapat
persepsi yang berbeda tentang praktek dan model Madrasah. Persepsi ini tergantung pada visi
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
102
dan misi yang digariskan individu maupun lembaga dalam mengkreasi model Madrasah yang
berpengaruh terhadap budaya madrasah itu sendiri. (M. Ali Hasan dan Mukti Ali, 2006: 127).
Budaya sekolah dengan budaya madrasah memiliki perbedaan, karena budaya madrasah
memiliki ciri-ciri khusus dibandingkan dengan sekolah, sebagaimana yang disampaikan oleh
Minnah El Widdah, Asep Suryana dan Kholid Musyaddad dalam kepemimpinan berbasis nilai
dan pengembangan mutu madrasah yaitu madrasah adalah konsep lembaga pendidikan yang
berbasis agama Islam, keberadaannya muncul dikarenakan hasrat kuat masyarakat Islam untuk
berperan serta dalam pendidikan dan motivasi keagamaan yang kuat dari para orang tua untuk
meningkatkan pendidikan agama anak-anaknya dibandingkan dengan bersekolah di sekolah
umum pada biasanya serta adanya anggapan di masyarakat bahwa menyekolahkan anak
perempuannya di madrasah merasa lebih aman dengan kata lain madrasah dianggap sebagai
benteng moral bagi siswa-siswinya. Begitu juga dengan mata pelajaran yang diperoleh oleh para
siswa-siswinya tidak hanya mendapatkan pelajaran agama sebagai ciri khas dari madrasah tetapi
juga mendapatkan mata pelajaran umum sebagaimana di sekolah umum biasanya. (Minnah El
Widdah, dkk, 2012: 24).
Budaya madrasah yang kondusif mendorong semua warga madrasah untuk bertindak dan
melakukan sesuatu yang terbaik yang mengarah pada prestasi siswa yang
tinggi.(Mulyasa,2011:90). Demikian pula, dengan budaya madrasahakan dapat meningkatkan
kinerja guru sehingga produktivitas madrasah lebih baik dan lebih tinggi. (Supiana,2008:259-
260). Budaya madrasah lebih berkaitan dengan aspek-aspek informal dari organisasi dari pada
elemen-elemen resminya yang selalu dilambangkan dengan gambaran struktur. Budaya fokus
terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan norma-norma individu dan bagaimana persepsi-
persepsi ini bergabung atau bersatu dalam makna-makna organisasi.(Tony Bush dan Marianne
Coleman, 2012:133). Suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi tersebut
dinamakan budaya organisasi. Budaya ini dapat terwujud dalam filosofi, ideologi, nilai-nilai,
asumsi, keyakinan serta sikap dan norma bersama anggota-anggota organisasi tersebut dalam
memandang realitas, terutama berkaitan dengan permasalahan internal maupun eksternal.
(Asmaun Sahlan, 2010:73).
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
103
PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif analitis, menurut
Noeng Muhadjir penelitian kualitatif lebih konsekuen yaitu sesuai dengan keadaan di lapangan
dalam memperoleh hasil deskripsi di lapangan. (Noeng Muhadjir, 2005: 86-87) Metode
deskriptif yaitu metode yang menggambarkan gejala-gejala yang ada pada saat penelitian.
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang dapat diamati. (Nurul Zuhriah, 2006:
1992). Penelitian ini merupakan studi kasus sehingga hasilnya bukan merupakan representasi
Madrasah yang lain. Oleh karena itu kajian yang demikian menurut Sukmadinata tidak ditujukan
untuk membuat generalisasi, tetapi untuk memperluas temuan yang memungkinkan pembaca
atau peneliti lain dapat memahami situasi yang sama dan menggunakan hasil penelitian ini dalam
praktik. (Nana Syaodih Sukmadinata, 2007: 60-61). Tempat penelitian di MAN Olak Kemang
Kota Jambi, MAN Pulau Temiang Kabupaten Tebo dan MAN 2 Kabupaten Tanjung Jabung
Timur. Subjek penelitian Kepala madrasah, wakil kepala madrasah, perwakilan guru, tenaga
kependidikan dan siswa-siswi dengan purposive sampling. Teknik pengumpulan data dengan
observasi partisipatif, wawancara dan studi dokumentasi dengan teknik snawball. Analisis data
dengan model Miles dan Huberman. Teknik keabsahan data menggunakan traiangulasi data.
HASIL PENELITIAN
Kepala madrasah yang transformasional menanamkan budaya madrasah di Provinsi
Jambi (MAN Olak Kemang Kota Jambi, MAN Pulau Temiang Kabupaten Tebo dan MAN 2
Tanjung Jabung Timur) dengan integritas keagamaan yang baik yaitu memiliki kepribadian
muslim sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW menjadi pemimpin yang mengetahui
kebutuhan anggotanya, memiliki komitmen bersama, melakukan kerja kreatif dan inovatif,
berani menghadapi tantangan sehingga dapat terlihat dalam aksinya di Madrasah yaitu (1)
Memiliki kemampuan untuk mengelola lembaga pendidikan Islam secara porfesional
berbasiskan pada akuntabilitas, transparansi dan efisiensi; (2) Memiliki rancangan
pengembangan yang transformasional; (3) Memiliki sarana dan fasilitas pembelajaran yang
memadai, seperti perpustakaan, laboratorium dan sebagainya serta mampu memberdayakan
sarana lain yang dapat digunakan lagi; (4) Memiliki tenaga pendidik dan kependidikan yang
memenuhi tuntutan kualifikasi dan kompetensi; (5) Menggunakan kurikulum dan metode
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
104
pembelajaran yang mencerminkan pembelajaran yang memenuhi standar PAIKEMI (praktis,
aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan dan Islami); (6) Memiliki keunggulan dalam
bidang agama dan ilmu pengetahuan; (7) Mengembangkan kemampuan bahasa asing; dan (8)
Memberikan keterampilan teknologi.
Peran kepemimpinan transformasional kepala madrasah (MAN Olak Kemang Kota
Jambi, MAN Pulau Temiang Kabupaten Tebo dan MAN 2 Tanjung Jabung Timur). Melakukan
to transform yaitu perpindahan untuk melakukan perubahan yang lebih baik, kepala madrasah
melakukan perannya sebagai penentu arah (Direction Setter), pemimpin mesti menyeleksi dan
menetapkan sasaran dengan mempertimbangkan lingkungan eksternal masa depan yang menjadi
tujuan pengerahan seluruh sumber daya organisasi. Kemudian agen perubahan (Agent of
Change). Dalam perannya sebagai agen perubahan, pemimpin transformer bertangggungjawab
untuk merangsang perubahan di lingkungan internal.Juru Bicara(Spokesperson). Seorang
pemimpin efektif adalah juga seorang yang mengetahui dan menghargai segala bentuk
komunikasi yang tersedia, guna menjelaskan dan membangun dukungan. Pelatih (Coach).
Pemimpin transformer yang efektif harus menjadi pelatih yang baik. Dengan ini berarti bahwa
seorang pemimpin harus menggunakan kerjasama kelompok untuk mencapai perpindahan
perubahan. Pemimpin transformasional kepala madrasah sebagai Pembangkit motivasi. Dalam
perspektif masa kini, seorang pemimpin berperan sebagai motivator bagi anggota
internalnya.Penggalang dukungan (support-getter). Dalam perspektif masa kini, pemimpin
berperan sebagai penggalang dukungan dari anggota eksternalnya sehingga dukungan
diberikan.Penjamin sukses (succes-guarantor). Dalam perspektif masa depan, seorang pemimpin
berperan sebagai penjamin sukses di mata anggotanya dengan menyediakan kepastian akan masa
depan yang lebih baik. Pemandu jalan (path-finder). Dalam perspektif masa depan, seorang
pemimpin berperan sebagai pemandu jalan menuju perpindahan perubahan yang lebih baik.
Peran kepemimpinan transformasional kepala madrasah dalam menanamkan budaya
madrasah di Provinsi Jambi (MAN Olak Kemang Kota Jambi, MAN Pulau Temiang Kabupaten
Tebo dan MAN 2 Tanjung Jabung Timur), yaitu a) Idealiced influence (rasa hormat (respect),
Rasa percaya diri (trust), Mengembangkan visi bersama, Mengembangkan budaya kerja,
Melakukan usaha-usaha restrukturisasi, Memberdayakan anggotanya, Perilaku moral secara etis
serta teladan. b) Inspirational motivation (Menghadapi tantangan, Memperhatikan makna
pekerjaan, Menunjukkan komitmen, Motivator yang bersemangat untuk terus membangkitkan
antusiasme dan optimisme anggotanya). c) Intelelectual stimulation (Perilaku inovasi,
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
105
kepemimpinan didasarkan pada ilmu pengetahuan yang berkembang dan secara intelektual ia
mampu menerjemahkannya dalam bentuk kinerja yang produktif, Menggali ide-ide baru dan
solusi yang kreatif dan mendorong anggotanya mempelajari dan mempraktikkan pendekatan
baru dalam melakukan pekerjaan. d) Individualized consideration (Penuh perhatian dalam
mendengarkan dan menindak lanjuti keluhan, ide, harapan-harapan dan segala masukan yang
diberikan anggotanya dan Memiliki sensitivitas terhadap pengembangan lembaga.
Keberhasilan peran kepemimpinan transformasional dalam meningkatkan budaya
madrasah di Provinsi Jambi. Faktor-faktor keberhasilan adalah faktor kepribadian pemimpin
yang baik, faktor pendidikan dan pengalaman yang tinggi, faktor internal dan faktor eksternal
yaitu kerja sama yang baik di dalam madrasah dan di luar madrasah dengan pihak lain untuk
mencapai kemajuan dan perubahan madrasah yang lebih baik dan bermanfaat yaitu dalam 1)
aspek proses belajar mengajar, 2) prestasi belajar para siswa di dalam Madrasah dan mengikuti
event/ kegiatan eskul di luar madrasah, 3) peningkatan kualitas mengajar guru melalui kegiatan
ilmiah, 4) peningkatan fasilitas madrasah sebagai penunjang keberhasilan belajar mengajar, 5)
menjalin kerja sama yang baik secara internal di dalam madrasah dan eksternal di luar madrasah,
6) menegakkan budaya disiplin kepada seluruh warga madrasah dan membudayakan/
membiasakan menjalankan perintah Agama seperti sholat berjamaah, membaca surat Yasin
Tahlil Takhtim Doa, melaksanakan praktek sholat jenazah, melaksanakan praktek ruqyah,
menghafal Al Qur’an khusus Juz 30, mampu dengan baik Baca Tulis Al Qur’an, budaya 5 S
(sapa, senyum, salam, sopan dan santun), budaya disiplin (datang tepat pada waktunya, isi daftar
hadir, siapkan sarana kerja bagi guru perangkat pembelajaran bagi para siswa buku mata
pelajaran atau perangkat belajar, patuhi semua peraturan, laksanakan tugas yang menjadi
kewajiban dan wewenang, izin apabila tidak hadir dan norma dan nilai sebagai paraturan yang
menjadi buah dari budaya yang harus membudaya), dalam peningkatan budaya madrasah yaitu:
1) budaya merupakan keyakinan, 2) kebijakan, 3) norma dan kebiasan dalam madrasah yang
dapat dibentuk, diperkuat dan dipelihara melalui pimpinan dan guru-guru di sekolah serta budaya
madrasah berpengaruh tidak hanya pada kegiatan warga madrasah tetapi juga motivasi dan
semangatnya.
Peningkatan budaya madrasah perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: Pertama:
Peningkatan budaya madrasah membutuhkan pemimpin transformasional yang perubah,
memiliki sensitivitas terhadap pengembangan lembaga, mengembangkan visi bersama
antarkomunitas lembaga, mendistribusikan peran kepemimpinan, mengembangkan kultur
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
106
madrasah, melakukan usaha-usaha restrukturisasi di madrasah, memberi teladan dan
memberdayakan bawahan, memiliki visi utama, misi, yang menjadi uaraian apa saja yang harus
dilakukan dan menjadi indikator keberhasilan pencapaian visi,tujuan, sasaran, target rencana
tindakan yang telah dibuat dengan matang, teladan sebagai model untuk perubahan, memiliki
integritas kepribadian muslim dan bermusyawarah serta semangat kekeluargaan.
Kedua: Peningkatan budaya madrasah harus dilakukan dengan peran pemimpin yang
transformasional yaitu idealiced influence, inspirational motivation, intelelectual stimulation,
individualized consideration. Peran-peran tersebut dijalankan secara aktif, optimal dan
berkarakter integritas religius dalam mewujudkan penanaman budaya madrasah sehingga dapat
terwujud budaya madrasah yang membudaya berdasarkan keyakinan, kebijakan, norma dan
kebiasan dalam madrasah yang dapat dibentuk, diperkuat dan dipelihara melalui pimpinan dan
guru-guru di madrasah.
Figure 3: Model pengembangan Teori Kepemimpinan Transformasional dalam menanamkan Budaya Madrasah
1. Integritas Kepribadian Muslim 2. Mengetahui Kebutuhan Anggota 3. Membangun Rasa Percaya Diri 4. Membangun Komitmen Bersama 5. Kreatif, Produktif dan Berinovasi 6. Teladan, Berani Menghadapi Tantangan 7. Sensitifitas Terhadap Keluhan Anggota 8. Musyawarah dan Motivasi Semangat
Kepemimpinan Transformasional Kepala Madrasah
Menanamkan Budaya Madrasah
1. Pelaksanaan Sistem Religi 2. Pelaksanaan Sistem Organisasi Madrasah 3. Penerapan Bahasa 4. Bentuk Keterampilan dan Kesenian 5. Sistem Teknologi dan Peralatan Madrasah 6. Penghargaan Kepada Keberhasilan Anggota 7. Sensitifitas Terhadap Keluhan Anggota 8. Network: Jaringan Komunikasi dan
Informasi Penyebaran Nilai Kemadrasahan
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
107
Fiigure 4: Model Pengembangan Penanaman Budaya Madrasah
Peran Kepemimpinan Transformasional berada pada sentral atau pusat yang melakukan
perubahan di Madrasah dengan menerapkan 4 “I” yaitu Idealiced Infulence, Inspirational
motivation, Intelelectual stimulation, Individualized consideration dengan prinsip
Kekeluargaan, Musyawarah dan berdasarkan tauhid keimanan kepada Allah SWT. Kepala
Madrasah menanamkan budaya madrasah dengan peran-peran kepemimpinan
transformasionalnya sehingga dapat melakukan perubahan budaya atau mempertahankan
budaya yang sudah ada menjadi lestari dan membudaya.
KESIMPULAN
Kesimpulan Penelitian ini adalah kepemimpinan transformasional dalam menanamkan budaya
madrasah dengan memiliki integritas kepribadian muslim sebagaimana Rasulullah SAW
sebagai pemimpin benar atau mampu bersikap jujur, cerdas memiliki kemampuan pendidikan
dan pengalaman yang baik, bertanggung jawab dengan apa yang sudah dilakukan dan
memperjuangkan amanah untuk mencapai perubahan yang baik, menyampaikan kebenaran dan
mencegah kepada yang munkar, Mengetahui kebutuhan anggota, Membangun rasa percaya diri
dan anggota Membangun komitmen bersama dalam melakukan perpindahan menuju perubahan
yang lebih baik. Kreatif, Produktif dan Berinovasi. Teladan dan Berani menghadapi tantangan.
Sensitifitas terhadap keluhan dan saran anggota. Bermusyawarah dan semangat motivasi untuk
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
108
melakukan perpindahan perubahan menuju yang lebih baik yaitu budaya Madrasah yang
relegius dan berprestasi dalam akademik serta kegiatan ekstrakurikuler.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI. Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta : Bumi
Aksara. 2010. Abdul Azis Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Alfabeta,
2008. Amirul Bakhri, Kepemimpinan Kepala Madrasah dalam Mengembangkan Budaya Mutu. 2007. Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI dari
Teori ke Aksi. Malang: UIN Maliki Press, 2010. Blumberg & W. Greenfield, The Effective Principal: Perspectives; J.M. Kouzes & B.Z. Posner,
The Leadership Challenge; A.L. Manasse, Effective Principals; W.I. Rutherford, School Principals; L.T. Shieve & M.B. Shoenheit, Vision and the Work Life.
B.L. Brock & M.L., Grady, Launcing ; F.C. Lunenburg & B.J. Irby, The Principalship; Mendez-S. Morse. Characteristics of Leaders of Change. 1992.
Blumberg & W. Greenfield, The Effective Principal: Perspectives on School Leadership. Boston: Allyn & Bacon. 1980.
Cartwright, J. Cultural Transformation: Nine Factors For Continuous Business Improvement.Singapore : Financial Times/Prentice 2009.
Clark & S. Clark, Restructuring Middle Level School: Strategies for Using Turning Points. In S. Clark & D. Clark (Eds.), School in the Midlle: A Decide of Growth and Change. Reston, VA: NASSP. 1990.
Dadan Rusmana dan Yayan Rahtikawati, Tafsir Ayat-Ayat Budaya. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2014.
Daryanto dan Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. 2009.
David,C.T.dan Kerr, I.Cultural Intellegence: People Skill for Global Business.San Francisco : Jossey Bass, Publisher. 2004.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: CV Penerbit Doponegoro. 2010. Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2012. Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana.
2006. Euis Karwati dan Donni Juni Priansa, Kinerja dan Profesionalisme Kepala Sekolah
Membangun Sekolah yang Bermutu. Bandung : Alfabeta. 2013. F. Crowther, S. Kaagan, M. Ferguson, dan L. Hann, Developing Teachers Leaders. Thousand
Oaks: Corwin Press, Inc.2002.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
109
F.C. Lunenburg & B.J. Irby, The Principalship; J. Murphy, Principal InstructionalLeadership, in P.W. Thurston & L.S. Lotto, Recent Advinces in Educational Administration, Vol.1B. Greenwich, CT: JAI Press. 1990.
Fernandez, S.O, Citra Manusia Budaya Timur dan Barat. NTT: Nusa Indah, 1990. Gary Yukl, Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta: Indeks, 2010. Hoy K. Wayne dan Miskel. G Cecil. Educational Administration. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.2008. Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Ismail Noor, Manajemen Kepemimpinan Muhammad SAW: Mencontoh Teladan
Kepemimpinan Rasul Untuk Kesempurnaan Manajemen Modern. Bandung: Mizan. 2011.
Jason A. Colquitt, Jeffry A. Lepine dan Michael J. Wesson, Organizational Behavior Improving Performance and Commitment in the Workplace. New York, McGraw-Hill, 2009.
Jerald, G. and Robert, A.B.Behavior in Organizations. Cornell University: Pearson Prentice 2008.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2006.
Minnah El Widdah, dkk, Kepemimpinan Berbasis Nilai dan Pengembangan Mutu Madrasah. Bandung: Alfabeta, 2012.
Muhaimin, Islam dalam Bingkai Buduaya Lokal;Potret dari Cirebon. Jakarta : Logos, 2001. Mulyasa, Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, Remaja Rosdakarya, 2007. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif . Yogyakarta: Rake Sarasin, 2005. Nurul Zuhriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2006 Ricky W. Griffin dan Gregory Moorhead, Organization Behavior. Boston: Hougton Mifalin
Company, t.th. S.P. Robbins, Organizational Behavior. 6th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Inc. Internet
Edition, 1993. Sudarwan Danim dan Suparno. Manajemen dan Kepemimpinan Transformasional
Kekepalasekolahan.Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Tony Bush dan Marianne Coleman, Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan, terj.
Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
110
Page 110-123
EFEKTIFITAS PELATIHAN SDM
Khairunnas
(IAIN STS Jambi)
PENDAHULUAN Latar Belakang
Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan merupakan
kebutuhan hidup dan kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok
masyarakat untuk meningkatkan kemampuan yang berkualitas dan keterampilan sumber daya
manusia (SDM).Atas karunia Allah SWT, Pelatihan telah terbukti mampu mengembangkan
SDM yang potensial serta memiliki kemampuan handal untuk mengembangkan nilai-nilai
bekerja yang Islami dalam kehidupan yang semakin menuntut persaingan kompetitif.
Ivancevich dan Sikula dalam Edy Sutrisno menjelaskan, pelatihan terkait dengan
keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sekarang dilakukan.
Pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu karyawan untuk menguasai keterampilan
dalam pekerjaannya. Pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan
prosedur sistematis dan terorganisasi, yang mana tenaga kerja non manajerial mempelajari
pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan-tujuan tertentu.100
Berbagai riset menunjukan bahwa pelatihan yang efektifsecara signifikan berpengaruh
terhadap peningkatan proses kerja yang luar biasa. Studi yang dilakukan Tall dan Hall dalam
Edy Sutrisno, menghasilkan kesimpulan bahwa dengan mengkombinasikan berbagai macam
faktor teknik pelatihan yang benar, persiapan dan perencanaan yang matang, serta komitmen
terhadap esensi pelatihan, perusahaan dapat mencapai manfaat kompetisi yang sangat besar di
dalam pasar yang sangat ketat.101Lebih lanjut As’ad dalam Edy Sutrisno, mengatakan
bahwakaryawan yang mengikuti pelatihan tanpa adanya minat padanya sudah tentu tidak akan
membawa hasil kerja yang memuaskan. Sebaliknya dengan timbulnya minat, maka perhatiannya
terhadap pelatihan yang dijalaninya akan semakin besar.102
100Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Prenadamadia Group, 2015), hal. 67 101 Edy Sutrisno, Ibid, hal. 68. 102 Edy Sutrisno, Op. Cit, hal. 68.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
111
Dapat disimpulkan bahwa pelatihan merupakan upayameningkatan kemampuan dan
keterampilan peserta secara efektif dalam bekerja yang akhirnya dapat meningkatkan
produktivitas tinggi. Syarat pelaksanaan pelatihan yang efektif apabila peserta punya minat dan
niat baik, dipersiapkan dangan perencanaan yang matang, terjadwal jangka pendek,
menggunakan prosedur sistematis, materi pelatihan yang relevan berdasarkan kebutuhan dan
masalah pekerjaan, serta komitmen yang tinggi dari pihak penyandang dana. Maka dampak
positif terhadap pelatihan yang efektif adalah bertambahnya keterampilan peserta, mempercapat
proses kerja, memperoleh manfaat dalam pengelolaan usaha masa yang akan datang.
Hasil penelitian awal (Grand tour) wilayah penelitian di Kab.Tanjab Timur, Kota Jambi,
dan Kab.Merangin bahwa, pelatihan keterampilan yang dilaksanakan Disperindag belum
menghasilkan efektifitas bekerja perajin-perajin dalam menjalankan dan mengelola usaha batik.
Berturut-turut data menujukan jumlah perajin yang mengikuti pelatihan 32 orang, 129 orang, dan
38 orang, dan menghasilkan perajin terampil 5 orang, 28 orang, dan 7 orang.
Dengan demikian, pelatihan yang sudah dilaksanakan DinasPerindag belum dapat
mencetak atau menghasilkan perajin terampil di Kab. Tanjabtim, Kab. Merangin, dan Kota
Jambi, berturut-turut yaitu, 27 orang (84,4 %), 31 orang (82 %), dan 101 orang (78,3 %).
Apabiladiakumulasikan data keseluruhan menunjukan rata-rata perajin terampil 40 orang (20 %)
dan belum terampil 159 orang (80 %). Apabila diakumulasikan data keseluruan di tiga
Kabupaten dan Kota tersebut akan menunjukan fenomena yang cukup ironis, dimana terdapat
rata-rata perajin terampil 40 orang (40 %) dan belum terampil 159 orang (80 %).
Studi awal ini merupakan satu gambaran bahwa efektifitas pelatihan SDM perajin batik
di Provinsi Jambi, belum mampu menghasilkan kualitas lulusan yang produktif, yang bisa
dimungkinkan oleh tidak hanya karena kualitas SDM bersangkutan, namun bisa pula disebabkan
oleh proses pelaksanaan pelatihan yang mencakup: sistemsystemihan, tehnis pelatihan, dan hal-
hal lain berkenaan dengan syarat keberhasilan sebuah pelatihan.
Fokus Permasalahan
Telah digambarkan pada latar belakang masalah bahwa perajin sebelum, saat, dan
sesudah mengikuti pelatihan keterampilan belum terampil. Dampaknya banyak perajin yang
belum dapat meningkatkan keahlian dalam mengerjakan atau proses membatik baik, kuantitas
maupun kualitas. Disimpulkan bahwa pelaksanaan pelatihan belum efektif untuk meningkatkan
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
112
keterampilan peserta dalam bekerja dan belum produktif dalam meningkatan produktivitas usaha
batik di Provinsi Jambi.
Berdasarkan permasalahan tersebut penulis berpendapat bahwa Efektivitas pelatihan
SDM dalam meningkatan produktivitas 112ndustry batik di Provinsi Jambi” (Studi kasus di
KUB batik Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kota Jambi, dan Kabupaten Merangin), sangat
penting untuk diteliti. Adapun permasalahan yang dikaji dan diteliti dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: “Mengapa Desain Pendidikan dan Pelatihan Efektif Belum
Dapat Menciptakan Produktivitas Pengusaha Batik di Provinsi Jambi”?.
KAJIAN TEORI Efektifitas Pelatihan SDM Perajin Batik
Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat dan cepat telah mendorong setiap
individu, kelompok, atau industry kecil menengah (IKM) untuk selalu menerapkan,
memanfaatkan, serta mengelola pengetahuan (knowledge management), mengingat pekerjaan
yang dijalankan semakin berat sesuai tuntutan perkembangan dan kemajuan teknologi dan
informasi. Maka, untuk menjamin kelancaran industri kecil yang semakin berat tersebut,
dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang superior.Untuk memperoleh SDM yang superior
dan mempunyai keahlian spesifik perlu dilakukan pelatihan-pelatihan teknis. Melalui pelatihan,
pekerja akan memperoleh ilmu pengetahuan dalam menghadapi tantangan di era persaingan
kompetitif. Maka pelatihan yang dilaksanakan dengan efektif dan terencana akan dapat
meningkatkan kemampuan dan keterampilan khusus untuk menyelesaikan pekerjaan yang
dijalankannya.
Sondang P. Siagian, mengatakan bahwa bebagai alas an menyelenggarakan pelatihan
yaitu, apabila pelatihan dipandang sebagai wahana yang efektif untuk pengembangan diri dan
kemampuan para pekerja yakni sebagai berikut, (1) Menurunnya produktivitas kerja. Kiranya
perlu disadari bahwa merendahnya produktivitas kerja bisa terjadi karena masalah keprilakuan
dan rendahnya keterampilan para tenaga kerja.Untuk mengatasi kedua jenis penyebab tersebut,
perlu pelatihan, (2) Para pekerja sering berbuat kesalahan dalam penyelesaian tugas
pekerjaannya dan mungkin pula kurang kemahiran dalam menyelesaikan pekerjaan (3)
Manajemen pekerja sendiri merasakan bahwa pengetahuan, kemahiran, dan keterampilan sudah
ketinggalan zaman.103
103 Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 160.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
113
Selanjutnya Malayu P. Hasibuan, mengatakan bahwa pengertian pengelolaan pelatihan
sangat erat sekali hubungannya dengan manajemen, dengan mendefenisikan, Manajemen
SumberDaya Manusia (MSDM) adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga
kerja agar bekerja efektif dan membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan
masyarakat. Lebih lanjut Malayu, mengatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, pengadaan, pengembangan,
kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian.104
Defenisi manajemen yang disampaikan di atas mengandung makna yang sangat jelas,
yaitu: mengatur individu atau kelompok untuk bekerja efektif dengan sistem bekerja yang tepat
dalam mencapai efektifitas yang tinggi. Dalam mencapai efektifitas untuk mencapai
produktivitas, diperlukan pelatihan-pelatihan khusus menurut keahlian atau keterampilan
dibutuhkan. Manajemen membantu para pengelola SDM perajin batik untuk menyusun strategi
formulasi, implementasi, dan evaluasi pencapaian tujuan, atau merencanakan tujuan,
mengorganisasikan pekerjaan, menyediakan sumberdaya, mengkomunikasikan informasi kerja,
menggerakan dan mendorong pekerja, dan mengendalikan pelaksanaan pekerjaan agar tujuan
tercapai secara efektif. Dengan demikian uapaya dan langkah kongrit perlu dilakukan pelatihan-
pelatihan khusus (spesifik).
Produktivitas dan Pekerja Produktif Produktivitas mengandung makna “keinginan” dan upaya” pekerja untuk selalu
meningkatkan kualitas kerjanya di segala bidang secara terus-menerus.Produktivitas diharapkan
menghasilkan kuantitas dan kualitas produk yang berdaya saing tinggi.Dewan Produktivitas
Nasional(DPN) dalam Triton menjelaskan bahwa Produktivitas adalah bentuk sikap mental yang
selalu berpandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemaren, dan hari
esok lebih baik dari hari ini. Memahami konsep dan teori produktivitas secara baik dapat
dilakukan dengan cara membedakannya dari efektifias dan efisiensi.105Jay Heizer dan Barry
Render, memberikan defenisi bahwa produktivitas (productivity) merupakan rasio hasil (barang
dan jasa) dibagi dengan masukan (sumberdaya, seperti buruh dan modal),peningkatan
produktivitas berarti peningkatan efesiensi.106
104Malayu P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 10. 105 Trinton, Entrepreneurrship. Kiat Sukses Menjadi Pengusaha (Yogyakarta: Tugu Publisher, 2007), hal. 148. 106 Jay Heizer dan Barry Render, Manajemen Operasi, Manajemen Keberlangsungan dan Rantai Pasokan (Jajakrta: Salemba Empat, 2015), hal. 9.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
114
Pengukuran produktivitas, menurut Tjutju Yunarsih danSuwanto produktivitas kerja
merupakan kondisi untuk mengukur tingkat kemampuan dalam menghasilkan produk:
individual, kelompok, dan organisasi. Produktivitas ditentukan oleh dukungan semua
sumberdaya organisasi, yang dapat diukur darisegi efektifitas dan efisensi, yang difokuskan pada
aspek-aspek: Pertama, hasil akhir (produk nyata) yang dicapai adalah kualitas dan kuantitasnya.
Kedua, durasi atau lamanya waktu yang digunakan untuk mencapai hasil akhir. Ketiga,
penggunaan
sumberdaya secara optimal, serta. Keempat, kemampuan beradaptasi dengan permintaan pasar
atau pengguna.107
PEMBAHASAN Desain Pelatihan Produktif 1. Rancangan Strategis Pelatihan
Untuk mencapai dan memenuhi target pelatihan dengan tepat waktu, maka aspek
terpenting yang dilakukan adalah membuat analisa strengths (kekuatan), weaknesses
(kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman) (SWOT). Dinas Perindag,
pengambil kebijakan dan keputusan sudah mengetahui dan melaksanakan keempat aspek strategi
tersebut dengan baik sebagai dasar dalam menetapkan antara kekuatan dan peluang dengan
kelemahan dan ancaman. SWOT bertujuan untuk pemecahan masalah. Oleh karena secara umum
ada beberapa kegunaan dengan dipergunakannya analisis SWOT dalam pengambilan keputusan,
yaitu: (1) Mampu memberikan gambaran dari empat sudut dimensi, yaitu kekuatan, kelamahan,
peluang, dan ancaman, (2) Dapat dijadikan rujukan
pembuatan keputusan jangka pendek dan panjang, dan (3) Dapat dijadikan penilaian secara rutin
atas pelatihan.
Pelaksanaan pelatihan yang sudah dilakukan selama ini, peneliti mengasumsikan bahwa
analisis SWOT belum dijadikan bahan kajian atau analisa dalam program pelatihan, dampaknya
capaian target peningkatan keterampilan perajin belum terwujut.Wawancara peneliti dengan
Dinas Perindag Kab.dan Kota, diperoleh informasi bahwa dasar perencanaan pelatihan
berdasarkan usulan dari masyarakat atau berdasarkan pantauan
instansi atau permintaan pihak berkepentingan (pencitraan melalui politik).
107Tjutju Yunarsih dan Suwanto, Manajemen Sumber Daya Manusia. Teori Aplikasi dan Isu Penelitian (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 222.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
115
Dapat difahami bahwa tercapainya target sesuai waktu yang sudah ditetapkan, perlu
memahami dan melaksanakan dengan baik dari aspek perencanaan matang (SWOT), kesesuaian
anatara kebutuhan peserta dengan waktu dan biaya, dan membuat tolok ukur, serta evaluasi
selama dan setelah pelatihan berjalan. Semakin seseorang meyakini bahwa dirinya dapat
mengelola berbagai kekuatan dan kelamahan, maka semakin yakin bahwa dirinya dapat
mewujutkan suatu proses.
2. Desain Pelatihan Aspek desain pelatihan dan pengembangan perlu dilakukan berdasarkan pada
kebutuhan.Maka desain pelatihan sangat erat kaitannya dengan kebutuhan perajin baik secara
individu maupun berkelompok. Oleh karena itu, sebelum melakukan pelatihan perlu dilakukan
analisis kebutuhan pelatihan (traning needs analysis = TNA). Analisis kebutuhan pelatihan
merupakan sasaran program secara sistematik yang didasarkan analisis pekerjaan.
Penyelenggaraan pelatihan sebagai suatu intervensi permasalahan kinerja sampai
mengevaluasi hasil. Menurut Noe dalam Sudarmanto, pelatihan untuk memperbaiki kinerja dari
parameter kompetensi kerja yang
dipersyaratkan. Tahapan desain pelatihan terdiri dari: (1) Melakukan analisis kebutuhan yang
berdasarkan analisis pekerjaan, perorangan/individu, (2) Memastikan bahwa para karyawan siap
melakukan pelatihan, sehingga perlu disiapkan sikap, motivasi, dan keterampilan dasar, (3)
Menciptakan lingkungan pembelajaran yang meliputi: sasaran pembelajaran materi yang
bermanfat, praktik, umpan balik, komunitas pembelajaran, model, dan administrasi program, (4)
Memastikan transfer pelatihan bagi manajemen, rekan dan pendukung, (5) Mengembangkan
rencana evaluasi yang terdiri dari mengidentifikasikan hasil pembelajaran, memilih desain, dan
analisis biaya-manfaat, (6) Seleksi metode pelatihan, (7) Monitor dan evaluasi program untuk
perubahan, dan memperbaiki program.108
Sedangkan Marwansyah, menjelaskan secara spesifik,analisis kebutuhan pelatihan
memiliki tujuan sebagai berikut: (1) Memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah satu
solusi untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja pegawai dan produktivitas, (2) Memastikan
bahwa para peserta pelatihan benarbenar orang tepat untuk mengikuti pelatihan, (3) Memastikan
bahwa kompetensi yang diajarkan selama pelatihan benar-benar sesuai dengan elemen-elemen
kerja yang dituntut dalam suatu pekerjaan, (4) Mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan
108Sudarmanto, Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM. Teori, Dimensi Pengukuran dan Implementasi dalam Organisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 235-236.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
116
metode yang dipilih sesuai dengan materi pelatihan, dan (5) Memastikan bahwa penurunan
kinerja atau masalah sejenis memang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, keterampilan,
dan sikapkerja.109
Suharyadi, mengatakan bahwa pada dasarnya kita bisaberhasil mengembangkan usaha
sesuai dengan kemampuan, yaitu: membangun kepribadian, mempersiapkan keterampilan,
kekuatan, dan kemauan menjadi kenyataan, melalui: (1) Membangun kepribadian, Mengenal diri
sendiri. Mempersiapkan perubahan sikap mental. (2) Mempersiapkan keterampilan. Untuk
menjadi pengusaha yang sukses diperlukan keterampilan softskill yang harus dikuasai, (3)
Membangun usaha saat ini.Kreatifitas yang tinggi dan lahirnya inovasi, (4) Merealisasikan
mimpi menjadi kenyataan.110
Disentesiskan dari beberapa kajian teori dan aspek yangperlu diperhatikan Dinas
Perindag Kab. Tanjung Jabung Timur, Kota Jambi dan Kabupaten Merangin dalam
pengembangan SDM perajin batik, peneliti memberikan penekanan pada tujuan akhir efektifitas
pelatihan dalam meningkatan produktivitas sebgai berikut: (1) Pelatihan sebagai sarana
pengembangan keterampilan peserta untuk dapat memenuhi persyaratan bekerja membatik, (2)
Pelatihan dapat memberikan dampak spesifik terhadap hasil kerja berdasarkan kebutuhan
perajin, (3) Pelatihan harus dirancang sebaik mungkin dalam memberikan pengetahuan
danketerampilan yang dibutuhkan peserta sesuai spesifikasi membatik, (4) Pelatihan harus dapat
mengubah perilaku peserta yang diarahkan untuk
mencapai tujuan efektifitas bekerja dalam peningkatan produktivitas usaha, (5) Pelatihan dapat
membekali para peserta dengan keterampilan khusus untuk membatu memperbaiki kelemahan
dan kekurangan perajin batik, serta dapat meningkatkan prestasi bekerja, (6) Pelatihan
merupakan keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta
mengembangkan kompetensi kerja perajin, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja, dan
tingkat keterampilan dan keahlian membatik berdasarkan jenjang atau sistematika proses
membatik.
3. Konsisten melaksanakan program
Belajar dari pengalaman dan fenomena-fenomena yangditemukan melalui penelitian dan
analisis pembahasan pada masalah satu dan masalah kedua, dapat disimpulkan bahwa pelatihan 109 Marwansyah, Manajemen Sumber Daya Manusia (Bandung: Alfabeta, 2004), hal. 167. 110 Suharyadi, Kewirausahaan. Membangun Usaha Sukses Sejak Usian Muda. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hal. 27-35.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
117
yang sudah diberikan kepada perajin batik oleh DinasPerindag Kab. Tanjung Jabung Timur,
Kota Jambi dan Kabupaten Merangin dalam Provinsi Jambibelum dapat meningkatkan
keterampilan saat dan sesudah pelatihan, sehingga produktivitas menjalankan usaha batik belum
tercapai.
Data penelitian menunjukan bahwa perajin yang terampilsebanyak 40 orang dan belum
terampil sebanyak 159 orang.Faktor belum terampilnya perajin setelah mengikuti pelatihan
adalah, (1) Perencanaan kurang matang, (2) Seleksi peserta dan tenaga pengajar belum dilakukan
sesuai kebutuhan, (3) Pelaksanaan pelatihan belum berdasarkan target capaian dantolok ukur, (4)
Kegiatan bersifat proyek pemerintah.
Selanjutnya, Sondang P. Siagian,mengatakan bahwamengapa sebuah pelatihan
diperlukan dan inilah beberapa jawaban dan alasan yang perlu dipertimbangkan dari beberapa
aspek sebagai berikut: (1) Mengapa pelatihan diperlukan karena:Rendahnya produktivitas kerja
dengan keperilakuan dan kurangnya keterampilan pekerja, Ada tantangan baru, maka pekerja
perlu diberikan senjata ampuh untuk menghadapinya.
(2) Manfaat pelatihan terhadap pekerja adalah, perilaku pekerja yang didorong oleh motivasi
bekerja keras, kemampuan menajerial dalam melaksanakan tugas-tugas guna mencapai tujuan
dan berbagai sasarannya, (3) Langkah-langkah penyelenggaraan pelatihan. Apakah program
pelatihan dapat dikatakan efektif atau tidak, sangat tergantung pada tepat tidaknya langkah-
langkah yang dimulai dari persiapan dan pelaksnaannya.
Tujuh langkah utama dalam pelatihan: (1) Analisis kebutuhan dan sasaran pelatihan.
artinyadirencanakan sesuai kebutuhan, penyebab timbulnya masalahmasalah, (2) Seleksi peserta
pelatihan untuk memudahkan dalam menyusun materi pelatihan, teknik dan metode belajar, (3)
Penentuan materi pelatihan yang diharapkan dapat memutakhirkankemampuan dan keterampilan
peserta., (4) Seleksi instruktur. Bahwa keberhasilan pelatihan sangattergantung pada mutu tenaga
pengajar.agar efektif, seorang instruktur dituntut:Menguasai materi, menguasai teknik belajar-
mengajar dengan tepat, Kepribadian yang bersahabat, mudah diakses oleh peserta, dan Mampu
mengendalikan emosinya, (5) Efektifitas Pelatihan. Pelatihan akan meningkat apabila ada
partisipasi, pengulangan, relevansi, dan umpan balik. Prinsip ini sangat berkaitandengan proses
belajar-mengajar, (6) Evaluasi untuk mengetahui efektif tidaknya program pelatihan. Tolok
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
118
ukurnya adalah, dapat mengetahui reaksi peserta,keterampilan baru yang diperoleh, perubahan
yang terjadi pada diri peserta.111
Berdasarkan kajian teoretis di atas dapat disimpulkanbahwa aspek terpenting yang sangat
diperhatikan dalam pengembangan usaha batik di Provinsi Jambi adalah berperilaku baik,
mempunyai target produktivitas, punya keahlian, dan diiringi dengan kajian mendalam sesuai
manajemen strategis, ada manfaat diperoleh, penyeleksian peserta dan tenaga pengajar, metode
pelatihan yang akan digunakan, serta evaluasi terhadap capaian pelatihan berdasarkan
standarisasi.
Menurut hemat peneliti dari kajian teori-teori di atas, makalangkah-langkah utama dan
aspek-aspek yang perlu diperhatikan Dinas Perindag dalam pengembangan usaha batik melalui
pelatihan keterampilan di Propinsi Jambi, adalah menerapkan manajemen (minimal manajemen
sederhana) sebagai berikut:
1) Langkah pertama, perencanaan kebutuhan
Program pelatihan (Pra-pelatihan) yaitu, merencanakan kebutuhan yang mendesak,
penting dan perlu diatasi melalui pelatihan diantaranya: (1) Pemetaan data perajin batik yang
sudah membuka usaha atau pekerja batik, (2) Klasifikasikan perajin yang sudah atau belum
mempunyai keterampilan, (3) Keterampilan apa yang diprioritas (pemula, atau lanjutan), (4)
Sesuaikan antara biaya dengan waktu pelatihan efektif, (5) Tentukan tenaga pengajar
profesional, (6) Buat SOP, dan (7) Pengajuan program pembiayaan kepada Pemerintah sesuai
rencana.
2) Langkah Kedua, pengajuan program
Pengajuan program pelatihan kepada pemerintah untuk mendapatkan pembiayaan dan
didukung data: (1) Pengajuan program pelatihan disesuaikan pra-perencanaan (biaya, peserta,
dan lama pelatihan), (2) Tentukan peserta yang akan dilatih (pemula atau lanjutan), (3) Tentukan
tenaga pengajar yang profesional, (4) Buat tolok ukur capaian minimal, (5) Buat SOP dan buku
panduan (pedoman), (6) Buat silabus, dan (7) Buat laporan dan evaluasi untuk ditandak lanjuti.
3) langkah Ketiga, pelaksanaan pelatihan dan evaluasi
Setelah pembiayaan diperoleh dari pemerintah, maka Dinas Perindag melaksanakan
operasional pelatihan dengan memperhatikan aspek-aspek penting: (1) Pra-pelaksanaan
pelatihan: surat Keputusan tentang personil pelatihan (dirinci tugaspokok dan fungsi masing-
111 Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 160-163.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
119
masing personil), seleksi calon peserta yang ingin meningkatkan keterampilan membatik. Seleksi
tenaga pengajar yang profesional, siapkan bahan dan peralatan dibutuhkan, buat buku pedoman
(silabus, tata tertib, hak dan kewajiban, dan sebagainya) dan tempat pelatihan.(2) Pelaksanaan
pelatihan, laksanakan ketentuan sebagaimana tertera pada SOP dan buku pedoman, evaluasi
harian pelaksanaan pelatihan, evaluasi dan penilaian hasil pelatihan (kemajuan dan hambatan
yang dicapai, dan tindak lanjut pelatihan (pembinaan selanjutnya).
4. Kualitas dan motivasi peserta dan tenaga pengajar Temuan dan analisis pembahasan di atas terungkap bahwatidak semua perajin memiliki
disiplin dan motivasi yang samauntuk menjadi terampil. Sebahagian perajin menginginkan
dirinya menjadi lebih terampil dan sebahagian lagi biasa-biasa saja, namun ada juga yang
sekedar ikut-ikutan. Proses termotivasinya pun tidak sama, ada yang karena faktor kebetulan,
ajakan teman, mengharapkan sesuatu (kompensasi) dan ada pula karena memanfaatkan bakat,
menambah keterampilan melalui pelatihan.
Maka aspek disiplin dan motivasi perlu ditanamkan pada setiappeserta, tenaga pengajar
dan pelaksana proyek.Disiplin dan motivasi merupakan dua sisi saling mendukung.Apabila salah
satu diabaikan maka hasil pekerjaan mengalami kegagalan.Maka kedua aspek ini sangat penting
diperhatikan dalam melaksanakan pelatihan.Langkah utama dimulai dari Dinas Perindag agar
melakukan kajian-kajian terhadap konsistensi praperencanaan, perencanaan, melaksanakan
rencana, dan melakukan evaluasi. Bila sistem perencanaan dilakukan baik maka hasil pelatihan
berjalan efektif dan pencapaian produktivitas usaha akanterwujud sesuai target dan sasaran.
Peserta dan tenaga pengajar juga konsisten melaksanakandisiplin dengan motivasi
tinggi.Peserta taat dan bersedia menerima sanksi bila melanggar ketentuan yang sudah
disepakti.Sebaliknya pelaksana pelatihan juga dapat memberikan kompensasi bagi peserta yang
berprestasi dalam upaya meningkatan disiplin dan motivasi bekerja, serta diberi kesempatan
pertama untuk mengikuti pelatihan ulang.Salah satu ciri perajin yang berhasil apabila perajin
tersebut memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam melakukan pelatihan.Makna kata disiplin
tersebut adalah ketepatan komitmen terhadap tugas dan pekerjaannya.Ketepatan dimaksud
bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan waktu, kualitas pekerjaan, sistem bekerja, dan sebagainya.
Dapat difahami bahwa disiplin dan motivasi merupakantolokukur berhasil atau belum
berhasilnya efektifitas pelatihan.Maka aspek disiplin dan motivasi ini dapat dijadikan
peganganDinas Perindag dalam Provinsi Jambi untuk melaksanakan pelatihan.Dan tidak kalah
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
120
penting adalah peserta dan tenaga pengajar serta stakeholder agar memahami dan melaksanakan
aspek disiplin dan motivasi dengan kesadaran tinggi.
KESIMPULAN Berdasarkan permasalahan dan pembahasan tentang efektivitas pelatihan sumber daya
manusia (SDM) perajin dalam meningkatkan produktivitas usaha industri kecil batik di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kota Jambi dan Kabupaten Merangin dalam Provinsi Jambi,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelatihan yang telah diberikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, Kota Jambi dan Kabupaten Merangin dalam Provinsi Jambi kepada perajin
batik belum dapat meningkatkan keterampilan (keahlian) perajin dalam mengaplikasikan pada
proses membatik. Belum tercapainya efektivitas pelatihan perajin untuk meningkatkan
produktivitas usaha sangat dipengaruhi beberapa aspek
2. Pelatihan yang belum dapat mencetak perajin terampil disebabkan beberapa faktor: (1)
Pengelolaan pelatihan belum dijalankan Pengembangan SDM perajin pada kelompok usaha
bersama (KUB), oleh Dinas Perindag dalam Provinsi Jambi melalui pelatihan belum
membawa perubahan sikap dan mental perajin secara signifikan. Pengembangan SDM yang
belum terampil tersebut disebabkan beberapa aspek: (1) Konsistensi perencanaan dan
pelaksanaan pelatihan belum menerapan aspek manajemen, (2) Pelatihan belum didasarkan
pada aspek desain yang dibutuhkan perajin, (3) Seleksi peserta dan tenaga pengajar belum
disesuaikan pada aspek pemecahan masalah, (4) Pra-perencanaan belum mengacu pada aspek
analisis SWOT yaitu, kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities),
dan ancaman (threats), dan (5) Praktek pelatihan dikerjakan meraton (dipadatkan) dan belum
menerapkan aspek spesifikasi keterampilan dengan menggunakan tolok ukur.
IMPLIKASI 1. Efektifitas a. Tujuan dan sasaran pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan teknis
perajin, dari belum terampil menjadi terampil, sudah terampil menjadi semakin terampil, dari
kurang motivasi menjadi lebih tinggi motivasi, dari sikap dan perilaku pemalas menjadi lebih
inovatif, dari usaha belum maju menjadi lebih maju. Dan pada akhirnya usaha membatik
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
121
berkembang dan produktivitas usaha meningkat, serta berkontribusi baik secara individu,
kelompok maupun lingkungan sosial.
b. Bagi perajin sudah terampil dan unggul dalam mengelola usaha batik, dengan ciri-ciri: (1)
Bekerja sudah lebih efektif sesuai target yang direncanakan dan kualitas dan kuantitas
produksi meningkat, berdaya saing tinggi, (2) Perajin sudah dapat berinovasi
mengembangkan dan menciptakan desain, motif, warna baru, (3) Perajin sudah menanamkan
jiwa entrepreaneurship mandiri, (4) Sebagian perajin sudah berani dan sanggup mendirikan
KUB dan menyerap tenaga kerja, dan (5) Pemasaran produksi batik sudah melebar ke luar
daerah bahkan ke luar negari (mancanegara.)
c. Untuk mempertahankan dan bahkan selalu meningkatkan keunggulan-keunggulan yang sudah
dicapai maka: (1) Dinas Perindag tetap memberikan pembinaan berkelanjutan dan selalu
mengadakan pelatihan-pelatihan dan pengembangan melalui stimulus-stimulus sesuai
perkembangan dan tantangan dalam menghadapi persaingan era globalisasi, (2) Adapun
maksud utama program pelatihan dan pengembangan, yaitu: memperbaiki kinerja,
meningkatkan keterampilan perajin, menghindari keusangan manajerial, memecahkan
permasalahan, orientasi karyawan baru, persiapan promosi dan keberhasilan manejerial, dan
memberi kepuasan untuk kebutuhan pengembangan personal.
d. Sebaliknya bagi perajin yang belum terampil saat dan sesudah mengikuti pelatihan. Penyebab
belum efektifnya pelatihan dipengaruhi oleh tata kelola pelatihan yang belum matang seperti:
perekrutan peserta diserahkan pada instansi lain tanpa dikontrol, penunjukan tenaga pengajar
belum profesional, belum disediakan SOP dan belum menegakan disiplin, pelaksanaan
pelatihan belum bersistim, dan belum melakukan evaluasi total atas keberhasilan/kekurangan
capaian pelatihan.
2. Produktivitas a. Pelatihan dan pengembangan sangat diperlukan dalam meningkatan keahlian perajin batik.
seiring perkembangan toknologi dan berjalannya waktu, maka pengetahuan dan keterampilan
perlu ditingkatkan terus-menerus agar proses produksi batik jambi berdaya saing tinggi,
serta selalu mengikuti perkembangan terkini dan dapat memuaskan produsen dan konsumen.
Dan pelaksanaan pelatihan dan pengembangan disesuaikan dengan kebutuhan peserta dan
waktu, serta anggaran biaya, baik bersumber dari KUB sendiri, melalui perusahaan,
outsourching, pemerintah, maupun lembaga lainnya.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
122
b. Oleh karena perajin sudah memiliki keunggulan melalui pelatihan (sudah ahli), Perindag
sudah memikirkan sebuah konsep yang berorientasi pada model-model pelatihan dan
pengembangan untuk memantapkan dan meningkatkan keunggulan tersebut, yang diantaranya
dimulai: teori, percontohan (Demonstrasi), praktik Laboratorium atau simulasi, praktek
pekerjaan dengan umpan balik, dan praktek pekerjaan dengan coaching.
SARAN-SARAN
Berdasarkan fakta dan kondisi awal temuan peneliti pada pelatihan dimana tingkat
keefektifannya hanya mencapai keunggulan 20 % dan 80.% belum unggul atau belum efektif.
Maka dalam upaya mewujutkan pengelolaan pelatihan yang efektif dalam meningkatan
produktidivitas usaha batik di Provinsi Jambi, peneliti menyarankan kepada:
1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jambi sebagai
instansi penanggung jawab dalam pembinaan terhadap industri batik, agar memahami dan
konsisten melaksanakan pelatihan yang terukur melalui:
a. Muncul perajin-perajin yang terampil dan ahli dalam proses membatik
b. Muncul kreasi-kreasi baru dari perajin unggul dalam mengembangkan batik khas jambi
c. Muncul KUB-KUB baru dalam menyerap tenaga kerja (mengurangi pengangguran)
d. Usaha batik semakin berkembang dan berkontribusi masa datang
e. Ekonomi perajin dan masyarakat makin meningkat.
2. Para pelaku-pelaku usaha kecil, khususnya usahawan batik di Provinsi Jambi dapat
mengadopsi hasil penelitian ini, agar lebih kreatif, inovatif, motivatif dan dapat
memamfaatkan kesempatan dan peluang untuk peningkatan keterampilan pada instansi
pemerintah dan swasta nasional. Setiap individu atau kelompok yang terampil sudah
merupakan modal awal dalam mengerjakan suatu pekerjaan membatik. Sebaliknya bagi calon
peserta pelatihan agar sudah mempersiapkan rencana kebutuhan dalam mengikuti pelatihan
dan sesuai masalah dihadapi. Hal ini untuk memudahkan merekrut peserta oleh instansi
Pembina dimasa mendatang.
3. Bagi pembaca atau dunia pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam membuat kajian-kajian terhadap pengembangan keterampilan dengan melaksanaan
pelatihan. Dan penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai referensi untuk
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
123
mengembangkan penelitian yang sama, sehingga di masa yang akan datang peneliti lain dapat
melakukan penelitian tentang pelatihan pada perajin batik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Barry Render, Jay Heizer,Manajemen Operasi, Manajemen Keberlangsungan dan Rantai
Pasokan. Jajakrta: Salemba Empat, 2015.
Doni Juni Priansa, Perencanaan & Pengembangan SDM. Bandung: Alfabeta, 2014
Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Prenadamadia Group, 2015.
Malayu P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Marwansyah, Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Alfabeta, 2004.
Sudarmanto, Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM.Teori, Dimensi Pengukuran dan
Implementasi dalam Organisasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Suharyadi, Kewirausahaan. Membangun Usaha Sukses Sejak Usian Muda. Jakarta: Salemba
Empat, 2011.
Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
-------- Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Tjutju Yunarsih dan Suwanto, Manajemen Sumber Daya Manusia.Teori Aplikasi dan Isu
Penelitian.Bandung: Alfabeta, 2009.
Trinton, Entrepreneurrship. Kiat Sukses Menjadi Pengusaha. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2007.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
124
Page 124-138
THE EFFECT OF USING CARTOON ANIMATION
AS INSTRUCTIONAL MEDIA TOWARD STUDENTS’ WRITING ABILITY OF DESCRIPTIVE TEXT ACHIEVMENT
(An Evaluative Study on Seventh Grade Student of State Junior High School 3 Jambi City)
Dr. Muhamad Taridi, M.Pd Nurhasanah, S.Pd (Dosen FITK IAIN STS Jambi) (IAIN STS Jambi) [email protected]
Abstract
This study aimed at discusing about the effect of using cartoon animation as instructional media toward students’ writing descriptive text which was conducted to know the students’ writing ability of class VII SMPN 3 Jambi trough the descriptive text. It is used a quantitative approach using T-test by adopting experimental-posttest only control group design. However, after doing the calculations by finding out of the highest and lowest scores, calculating the range of data, dividing the class, obtaining the interval, finding the standard deviation, as well as the average of standard error between media that used cartoon and without using cartoon media against the students' writing skills. The findings shows that T0 = 4.98 is greater than the Ttabel (2.00 <4.98> 2.65). It can be concluded that there is a significance result when students write text trough descriptive text with cartoon animation media.
Keyword : Descriptive Text, Cartoon Animation
Introduction Today, English has become an international language that holds an important role in the
world life. It is interesting to be studied and mastered in order to be able to communicate with
people from the other countries. In addition, English can help us to face global life where the
competition of job marketing is very strict so it is used as communication tool. For those reasons,
the Indonesian government has decided that English must be taught from Junior High School
until University.
Writing is one of the subjects and one of the four language skills in English, plays major
role in the process of teaching and learning English. Writing as a part of four language skills
have to be comprehended by the students in order to convey many messages and share
information and ideas to others. Harmer (2007) stated that the people can be judged as literate, if
they can read and write in certain situations and for certain purposes, some of which are more
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
125
prestigious than others. Thus, being able to write is a vital skill for “speakers’ of a foreign
language as much as for everyone using their own first language. Training students to write thus
demands the care and attention of language teachers (Harmer, 2004).
Writing is transferring information or ideas of different kinds of the context to reader. Writing is
as process that has four main elements namely planning, drafting, editing (reflecting and
revising), and final revision(Harmer, 2007). Indeed, those processes of writing really take more
time in order to accomplish the learning activities. Therefore, a sufficient time for writing is
needed in order to complete all the writing process. On the other hand, compared to teaching
writing in the actual situation, writing has limited time to be taught in junior high school because
the time allowed to other skills namely reading, speaking and listening.
It is no doubt because of the difficulty and time limitation of teaching writing, there will be
problems that arise during the teaching and learning activities in school. The learners have less
exposure and exercises of writing activities because of limited time for English writing. As a
result, learners will be less motivated in writing since they consider that writing is difficult.
Therefore, it is needed a solution to overcome this situation to create effective class activities
that enforce effective learning outcome. Hence, the teacher has to be creative in the class by
creating an interesting instructional media and activities in teaching learning process.
Based on the researcher experience, students feel difficult in learning Descriptive Text. There are
some of student’s problems in understanding descriptive text, they are: 1) Instructional media
that used, could not motivate students for enhancing their motivation in learning English. 2) The
student lack of vocabularies, so they feel trouble in understanding what they read. 3)
Instructional materials are not fit with students’ environment, so they feel strange and hard to
understand. 4) As new learner in English subject, students have not mastery in English
grammatical.
In fact, teacher only use textbook as instructional media, whereas there are several media in
school such as in focus, computer and DVD player but those media are not used as well. Besides
that, students as young learner lack of vocabulary and are not mastery English grammar yet, they
always open their dictionary every time and this case wasting time in learning.
Instructional media is needed by the teacher to make the learning easier for the students.
Media is a channel of communication, while instructional media that incorporate concrete
experiences help students integrate prior experience and thus facilitate learning of abstract
concepts (Heinich, Molenda, Russell, & Smalldino, 1993). According to Reiser (2001),
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
126
instructional media is defined as the physical means, other than the teacher, chalkboard, and
textbook, via which instruction is presented to learners. Instructional media developed every year
so there is a great deal of initial interest and much enthusiasm about the effect it is likely to have
on instructional practice. However, enthusiasm and interest eventually fade, and an examination
reveals that that the medium has had a minimal impact on such practices. It means that the use of
media in schools and the setting in which the use of instructional media has been most closely
examined (Reiser, 2001).
Heinich (1993) stated that media and technology have influenced education. Most recently,
for example, the computer and internet have invaded instructional setting. Such tools offer
powerful possibilities for improving learning. The teacher, however, makes difference in the
integration of media and technology into this process. The roles of instructor and learner are
clearly changing because of influence of media and technology in the classroom. No longer are
teachers and textbooks the sources of all knowledge. The teacher becomes the director of the
knowledge-access process. Along the continuum of instructional strategies, sometimes the
teacher will elect to provide direct instructional experiences for students. It is essential that, as
the guide for learning, the teacher examine media and technology in the context of learning and
its potential impact on the outcome for students.
Cartoon is a media that teacher can use in the writing activities because a cartoon can include
humorous drawings, separated into political or editorial, which use caricature, humor, and satire
to comment on current affairs and influence public opinion, to comment on social events, which
poke fun at daily life and its problem, or merely to illustrate a joke. A cartoon can be described
as “a shorthand by which humorous ideas can be absorbed by the reader with minimum effort
“(Mushohwe, 2011). Hamidon Khalid et, al. (2010) conducted a research about teaching
perception towards the usage of cartoon in teaching. The finding showed that the use of cartoon
have positive impact in terms of learning, motivation and interests. The suitability as agreed by
majority of teachers looks promising, in addition to humour, in overcoming the difficulties often
encountered by students in their learning. The use of cartoons in the teaching and learning can be
carried out in various situations, including creating discussion environment and students’ active
participation. Thus, this leads to students constructing their knowledge (Khalid, Meerah, &
Halim, 2010).
Nowadays, modern technology makes some innovation in developing cartoon. Cartoon
animation becomes one of the choices for the teacher to bring it to the learning environment
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
127
when it comes to educating children. The presence of fantasy and colorful in cartoon animation
can increase the interest of the young learner and reinforces the learning of abstract items in
second language instruction. Consequently, teachers become interested in utilizing cartoon
animation in teaching students in various language classes (Faloye, 2013).
Based on the problem and explanation discussed above, the writer intended to study more
and conduct a research entitled “The Effect of Cartoon Animation as Instructional Media
towards Writing Descriptive Text”.
Literature review Definition of Instructional Media
A medium (plural, media) is a channel of communication. Derived from the Latin word
meaning “between”, the term refers to anything that carries information between a source and a
receiver (Heinich et al., 1993). The term instructional media has been defined as the physical
means via which instruction is presented to learners (Reiser, 2001). Under this definition, every
physical means of instructional delivery, from the live instructor to the textbook to the computer
and so on, would be classified as an instructional medium. Several media can be used by a
teacher to transfer the lesson. The medium of teaching can be the material of the lesson or the
tools that facilitated the teaching and learning process physically.
According to Susilana & Riayana (2009), besides definitions above, many definitions of
instructional media as follows:
1. Technology to bring the message that is utilized for learning activity (Schramm, 1982).
2. Physical tool to convey the learning material such as; books, films, videos, slides etc.
3. Communication tool in printed material or audio visual, including its hardware technologies.
Instructional media consist of two important elements, namely element of device
(hardware) and element of message (software). Thus, instructional media need device or tool to
display the message, but the important one is message or information that was brought by that
media.
From some definitions above, it can be concluded that a) instructional media is a tool to
bring the message, b) the material is the message of learning, 3) the goal that want to achieve is
learning process. Therefore, the use of creative instructional media will influence the motivation
of the student to study more and increase their performance based on the goal of teaching
learning in the classroom.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
128
Advantages of Media in Teaching
According to Susilana & Riayana (2009), the advantages of media are as follows:
1. To clear the message
2. To overcome the limited room, time and energy
3. To increase the learning motivation, direct interaction between the students and learning
sources
4. To enable the students to learn independently based on their ability in visual, auditoria or
kinesthetic
5. To give the same stimulation
Classifications of Media
Susilana & Riyana (2009) stated that media can be classified in five categories, they are:
silent visual media, animated visual media, audio media, silent audio visual media, and animated
audio visual media. These media can be differenced with the process of transfer the message or
information, how the voice or the picture can be catches, and in what way (direct looking, optic
projection, electronic projection or telecommunication.
Edgar Dale proposed classification of media in an experience pyramid as follows:
Adapted from Susilana & Riyana (2009).
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
129
Since There are many varieties of media for teaching, Heinich (1993) stated that the
decision about whether to use a particular piece of instructional media depends on several
factors. He added that resent research confirms that certain criteria are critical in the appraisal of
materials. Among the questions to be asked about each specific piece of media are the following:
• Does it match the curriculum?
• Is it accurate and current?
• Does it contain clear and concise language?
• Will it motivate and maintain interest?
• Does it provide for learner participation?
• Is it of good technical quality?
• Is there evidence of its effectiveness?
• Is it free from objectionable bias and advertising?
• Is a user guide or other documentation included?
Cartoon Animation as Instructional Media
One of instructional media can be used in writing process is cartoon animation.
Previously, cartoon is used as a graphic media containing interpretative pictures using symbols
to create a brief message and quickly change attitude towards people, situation or specific events
(Dahlan, 2015). According to Heinich et, al. (1993), cartoons (line drawings that are rough
caricature of real people and events) are perhaps the most popular and familiar visual format.
Humor and satire are mainstays of the cartoonist’s skill. Cartoons are easily and quickly read and
appeal to children and adults alike. The best of them contain wisdom as well as wit. We can
often use them to make or reinforce a point of instruction. Appreciation and interpretation,
however, may depend on the experience and sophistication of the viewer. Be sure the cartoons
that used for instructional purpose are within the experiential and intellectual range of the
students.
Nowadays, cartoon developed and can also be manipulated by animation. This is the
technique in which the producer takes advantages of persistence of vision to give motion to
otherwise inanimate objects. Cartoon animation is made up of series of photographs or drawing
of small displacements of objects or images (Heinich,1993).
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
130
The Advantages of Cartoon Animation as Instructional Media
Heinichet, al. (1993) stated that cartoon is one of other types of non-projected visual
media commonly found in the classroom situation. Several advantages of cartoon as non-
projected visual media can be listed as follows:
a) It is easy to use because it does not require any equipment.
b) It is relatively inexpensive.
c) Many can be obtained at little or no cost.
d) It can be used in many ways at all levels of instructions and in all disciplines.
e) It can be used to stimulate creative expression, such as telling or writing stories or
composing poetry.
f) It may be used in testing and evaluation
g) It is particularly helpful with objectives requiring identification of people, places, or things
(Heinich, et, al., 1993).
According to Su (2014), over the last two decades, many scholars have concluded the
benefits of merging digital animated cartoons into teaching including:
1. They provide learners authentic language: Just like textbooks incorporate the menus from
restaurants or the timetable of trains or buses into teaching; videos could also bring in the
authentic language into teaching. Because most of the stories in the videos (DVDs) are adapted
from real life stories, the dialogues are all from daily language.
2. They improve students’ listening ability: According to Flower drew and Miller (2005), using
videos (DVDs) can be a passive activity and can benefit the listeners.
3. They enable students to be familiar with the social environment of the target language: Leung
and Jenks (2005) also indicated that language usage is part of culture and vice versa. Putting
culture concept into language teaching by using the life style, behavior, the values of target
language could provide a sense of reality.
Writing Skill
Writing has been described in many ways. According to Harmer (2004), among the four
language skills, writing is important to be mastered by the students in which mastering the ability
to write effectively is seen as a key objective for the learners. Because of the need for accuracy
in writing, the mental process of the students when writing is differ significantly from the way
they approach discussion or other kinds of spoken communication.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
131
Writing activity can take role as a means of communication as well as a means of
discovery. Writing activity also essential because merely it becomes a process of discovery for
the students as they discover new ideas and language forms to express the ideas and it is seen as
a developmental process when students choosing their own words for their writing. In writing,
students frequently have more time to think than in speaking, so they can express almost all that
they have in their minds, and also consult dictionaries, grammar books, or any other references
for the perfection of their writing (Harmer, 2004). Therefore, practice and study of writing
remain significant parts of the school curriculum.
Elements of Writing
According to Harmer (2004) to be able to write well, students need to know and consider (1)
grammatical ties, or grammatical cohesion such as pronoun, possessive reference, tense
agreement, article reference, linkers, and substitution and ellipse, (2) lexical cohesion, such as
repetition of word, and (3) coherence of text, such as line of thought order and writing purpose.
There are some elements of writing skills that are needed to be trained to the learners in
practicing their writing in order to make them accustomed to write a text. In writing practice,
they have to follow the steps to make their writing more effective in teaching writing such as
grammar, sentence organization, vocabulary and mechanic. These elements become categories
for the teacher in evaluating students’ writing so that the teacher can judge the students’ writing
is good or not.
Those elements of writing was proposed by Brown (2001):
a) Content
It included thesis statement, related ideas development of ideas through personal experience,
illustration, facts opinions, using of description, cause/effect, comparison/contrast, and
consistent focus.
b) Organization
It concluded effectiveness of introduction, logical sequences of ideas, conclusion, and
appropriate of length.
c) Discourse
It concluded topic sentences, paragraph unity, transitions, discourse markers, cohesion,
rhetorical convention, reference, fluency, economy and variation.
d) Syntax
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
132
e) Vocabulary
f) Mechanic
It concluded spelling, punctuation, citation of reference (if applicable), neatness, and
appearance. Based on the previous theories, it is clear that the students should process adequate
English vocabulary and structure to support their writing skill. Because in the writing process, a
writer must be able to choose the appropriate words and structures in order to avoid
misunderstanding and communication breakdown. Writing activity will automatically encourage
the students to enhance the other skills, enhance students’ vocabulary and develop students’
grammar insight.
The approach in teaching writing
In teaching writing, an educator can focus on product of that writing or on the writing
process itself. When concentrating on the product as Harmer (2001) noted that, we are only
interested in the aim of the task and the end of product. Those who advocate a process approach
to writing, however, pay attention to the various stages that any piece of writing goes through.
By spending time with learners on re-writing phases, editing, redrafting, and finally finishing
their work in the term of product, the process approach aims to get to the heart of the various
skills that should be employed when writing. The process approach that asks students to consider
the procedures of putting together is a good piece of work
Although the process approach has become more popular than the product approach, it is
not always easy to choose the appropriate one for second language writing instruction. In
addition, the recent approach, genre based approach, are introduced in Indonesian curriculum.
Hyland (2003) state that writing instruction of genre based approach with the purpose for
communicating, and then moves to the stages of a text which can express these purpose.
Teachers can help students to distinguish between different genres and to write them more
effectively by a careful study of their structures. The teaching learning cycle in genre based
approach having three phases: modeling, joint construction of text by learners and the teacher,
and the independent construction of texts by learners themselves.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
133
Figure 2.2. The Teaching Learning Cycle of Genre Approach by Ken Hyland (2003).
Descriptive Text
Many types of writing form exist including descriptive, argumentative, narrative, report and
recount and among others. In descriptive writing, the writer tells and describes about specific
places, things or people. Wiyanto as cited in Ahmad Dahlan (2015) states that descriptive text is
a text presenting a verbal portrait of person, a place or a thing.
A good description usually has three important qualities. They are:
1. Dominant impression: The first sentence or even the first words of description which usually
serves as the topic sentence the paragraph.
2. Mood: A feeling that goes beyond measurable physical appearances.
3. Logical development: A picture or impression of a person, place or thing.
According to Hutchinson (2005), in order to keep the reader interested in writer ideas in
descriptive text, first, develop the ideas so clearly that they’re easy to understand. This always
involves supplying specific details, examples, or reasons. Often it also means choosing a method
of development that works well with topic. Some lists below contain several good methods of
development:
a. Time : describing events or steps in the order of their occurrence
b. Space: describing a city, for example, from outskirts to center or a mural from left to right
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
134
c. Increasing complexity: beginning with the simple or familiar and going on to the more
complex or unfamiliar
d. Comparison and contrast: beginning with a discussion of the features of two ideas and
ending by drawing a conclusion about them
e. Support: beginning with a general statement and going on to support it with specific
examples, details, and reasons
f. Climax: beginning with a specific fact or situation and continuing with more facts about
the subject, ending with the most exciting moment or result.
Method This research was an experimental-posttest only group design that asks researcher to manipulate and control on more independent variables and observed dependent variables, to see the difference. In this research, the sample was divided in two classes by simple random sampling. The first class was experimental and gets treatment. And, the second class was control. After that, researcher looking for posttest to get differences of mean based on treatment. Using cartoon animation as instructional media as independent variable, and writing descriptive text as dependent variable. The descriptions above, can be explaining the design of research posttest only control design (Sugiyono, 2011:112).
Explanations: X = Treatment by using cartoon animation as instructional media R1= The students of experiment group R2= The Students of control group O2= The Result of learning writing descriptive text by using cartoon animation O4= The Result of learning writing descriptive text tough by the teachers
The populations of the research were all seventh grade students of SMPN 3 Jambi. In this research, the populations are 126 students. 126. 126 students divided to experiment group, control group, and validity group, with total 94 students.
No Class Male Female Amount 1 VII A 15 17 32 2 VII B 14 18 32 3 VII C 15 17 32 4 VII D 13 17 30
Total 57 69 126
R1 X O2
R2 O4
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
135
After the number of sample was clearly, researcher divided them into two groups: experimental group (X) and control group (Y) with total number 64 students. For validity item, researcher used 30 students from populations who not include in experimental group and control group. Let see this table below:
Class Amount
Experiment group 32 Students Control group 32 Students Total 64 Students
Findings and Discussion Score Description of Students’writing ability using Cartoon Animation (Experiment Group). To describe the score of the writing ability at experiment group:
No Name Score 1 Student A 79 2 Student B 70 3 Student C 64 4 Student D 81 5 Student E 64 6 Student F 88 7 Student G 81 8 Student H 57 9 Student I 72 10 Student J 52 11 Student K 85 12 Student L 63 13 Student M 90 14 Student N 72 15 Student O 78 16 Student P 82 17 Student Q 96 18 Student R 93 19 Student S 90 20 Student T 87 21 Student U 93 22 Student V 85 23 Student W 91 24 Student X 82 25 Student Y 79 26 Student Z 70 27 Student Aa 88 28 Student Bb 84 29 Student Cc 79 30 Student Dd 91 31 Student Ee 78 32 Student Ff 87
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
136
Distribution Data for Frequency Score of Students’ Writing ability by Using Cartoon Animation
No Interval F X1 X1’ X1’2 F X1’ F X1’2
1 92-99 3 95,5 3 9 9 27 2 84-91 11 87,5 2 4 22 44 3 76-83 9 79,5 1 1 9 9 4 68-75 4 71,5 0 0 0 0 5 60-67 3 63,5 -1 1 -3 3 6 52-59 2 55,5 -2 4 -4 8
N=32 - - - ∑F X1’= 33 ∑ F X1’2 = 91
Score Description of Students’writing ability using teachers (Control Group) To describe the score of the writing ability at control group:
No Name Score 1 Student A 60 2 Student B 55 3 Student C 75 4 Student D 79 5 Student E 53 6 Student F 73 7 Student G 55 8 Student H 50 9 Student I 80 10 Student J 60 11 Student K 54 12 Student L 70 13 Student M 45 14 Student N 78 15 Student O 63 16 Student P 68 17 Student Q 65 18 Student R 58 19 Student S 55 20 Student T 70 21 Student U 65 22 Student V 73 23 Student W 65 24 Student X 67 25 Student Y 58 26 Student Z 73 27 Student Aa 35 28 Student Bb 59 29 Student Cc 63 30 Student Dd 65 31 Student Ee 64 32 Student Ff 79
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
137
Distribution Data Frequency Score of Students writing ability using teachers No Interval F X1 X1’ X2’2 F X2
’ F X2’2 1 75-82 4 78,5 3 9 12 36 2 67-74 8 70,5 2 4 16 32 3 59-66 10 62,5 1 1 10 10 4 51-58 7 54,5 0 0 0 0 5 43-50 2 46,5 -1 1 -2 2 6 35-42 1 38,5 -2 4 -2 4
N=32 - - -
34 84
Analysis the effect of using cartoon animation and teachers toward students writing ability
descriptive text.
To obtain the effect of using Cartoon Animation and using teachers toward students’
achievement about writing descriptive text, the data could be displayed as follows:
Achievement Using Cartoon Animation
Without Cartoon Animation
Amount
Highest Score 96 80 32 Lowest Score 52 35 32
Amount 32 32 64
Finally, interpretation (To) based on calculation above, Tobtained = 4,98. And then, researcher looking for degree of freedom with formula:
Since Ttable with significance level of 5% is (2,00) and with significance level of 1 % is (2,65), on the contrary based on the calculation of Tobtained is 4,98, so it can stated that (tobtained) is bigger than ttable (to˃ttable) or it is similar to (2,00 < 4,98 ˃ 2,65). It can be concluded that using cartoon animation before learning process have significant effect for the students’ writing descriptive text achievement. So that: Ha = excepted H0 = refused
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
138
Conclusions This research has proved that using animation media toward students writing ability of
descriptive text at the seventh grade of State Junior High School 3 Jambi City. It can be
concluded that:
1. The highest and lowest score students on writing ability of descriptive text using cartoon
animation are 96 and 52.
2. The highest and lowest score students on writing ability descriptive text with the teachers
are 80 and 35.
3. There is a significant effect of applying cartoon animation to students writing ability of
descriptive text based on the result (2,00 < 4,98 ˃ 2,65).
References
Anonim (2007). Al-qur’an dan Terjemahannya For Wowen. Bandung: PT Sygma Examedia
Arkan Leema ---------- (2015). Pedoman Penulisan Skripsi. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN STS
Jambi Brown, H. Douglas (2001). Teaching by Principles; An interactive Approach to Language
Pedagogy. New York: Person Education. Dahlan, Ahmad (2015). Cartoon as Instructional Method in Teaching Descriptive Text Writing.
Journal of English Studies (ADJES), 2(2), 58-62. Faloye, Bankole (2013). The Effect of Animated Cartoons on Teaching English Grammar. Harmer, Jeremy (2004). How to Teach Writing. England: Pearson Education Limited. Harmer, Jeremy (2007). The Practice of English Language Teaching. Edinburgh: Pearson
Education Limited. Heinich, Robert, Molenda, Michael, Russell, James D., & Smalldino, Sharon E. (1993).
Instructional Media and Technologies for Learning. New Jersey: Macmillan Publishing Company.
Hutchinson, Emily (2005). Descriptive Writing Hyland, Ken (2003). Second Language Writing. Cambridge: Cambridge University Press.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
139
Khalid, Hamidon, Meerah, T. Subahan, & Halim, Lilia. (2010). Teacher’s Perception towards the Usage of Cartoons in Teaching and Learning Physics. Procedia Social and Behavioral Sciences, 7(C), 538-545.
Mushohwe, Knowledge (2011). An Analysis of Selected Editorial Cartoons Published during
Zimbabwe's 2008 Election. Nelson Mandela Metropolitan University, Zimbabwe. Reiser, R.A (2001). A history of Instructional Design and technology: Part I: A History of
Instructional Media. Educational Technology Research and Development, 49(1), 53-64. Richards, Jack C., & Renandya, Willy A. (Eds.) (2002). Methodology in Language Teaching: an
Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press. Ridwan (2013). Dasar-Dasar statistika, Bandung: Alfabet,121 Su, Shu-Chin (2014). Elementary Students’ Motivation and Attitudes toward English Animated
Cartoons at a Cram School. International Journal of Arts and Commerce, 3(5). Sudijono, Anas (2010), Pengentar Evaluasi Pendidikan,Jakarta:rajawali pers. Sudijono, Anas, (2011), Pengantar Evaluasi pendidikan, Jakarta:Rajwali Pers. Susilana, Rudi, & Riyana, Cepi. (2009). Media Pembelajaran: Hakiakat, pengembangan,
pemanfaatan dan penilaian. Bandung: CV. Wacana Prima. Suyanto, Kasihani K.E. (2007). English for Young Learners. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Prosidinginternasionalpascaiainjambi:“Islam and Trans-Cultural in Education”.
E-ISBN : 978-602-60957-1-8
140