PROSES POLITIK DALAM PENCALONAN KADER (Studi atas...
Transcript of PROSES POLITIK DALAM PENCALONAN KADER (Studi atas...
PROSES POLITIK DALAM PENCALONAN KADER
(Studi atas Pencalonan Mantan Narapidana Korupsi
Sebagai Calon Legislatif di Partai Gerindra)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Nabillah Aisyah Rumi
11151120000004
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019/1440 H
iv
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang proses politik dalam pencalonan kader dengan
studi tentang pencalonan mantan narapidana korupsi di partai Gerindra. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui proses politik dalam pencalonan diri
menjadi calon anggota legislatif di partai Gerindra serta untuk mengetahui faktor
yang mempengaruhi partai Gerindra dalam mencalonkan kadernya yang mantan
narapidana kasus korupsi. Gerindra cukup banyak mencalonkan mantan narapidana
korupsi di tingkat DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, ada total sekitar 6
orang calon legislatif yang diusung. Melihat latar belakang kandidat tersebut,
mengindikasikan adanya kegagalan sistem rekrutmen di tubuh partai karena
mencalonkan orang yang mempunyai latar belakang yang tidak baik. Selain itu,
faktor elit atau orang yang membuat kebijakan, dan faktor ketokohan dalam partai
lah yang menyebabkan mantan narapidana korupsi ini bisa maju di kancah
legislatif. Karena itu peneliti berpijak pada dua pertanyaan penelitian yakni, proses
politik pencalonan anggota legislatif partai Gerindra dan faktor yang
mempengaruhi partai Gerindra mencalonkan kader yang mantan narapidana
korupsi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui teknik
pengumpulan data, yaitu, dokumentasi, dan wawancara langsung. Penyusunan
dimulai dari tahapan analisis, sejarah pencalonan partai Gerindra di kancah
legislatif, yang ternyata Gerindra pernah mencalonkan mantan narapidana korupsi.
Sedangkan teori yang penulis jadikan bahan acuan adalah rekrutmen politik, dan
elit politik. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan teori tersebut, dapat
disimpulkan bahwa prosedur rekrutmen politik tidak berjalan sebagaimana
mestinya sesuai AD/ART partai. Partai tidak menyaring kadernya yang akan
melenggang di legislatif berdasarkan kompetensi dan rekam jejak yang dimilikinya.
Partai lebih mempertimbangkan popularitas dan elektabilitas tokoh tersebut.
Setelah itu, keluasan jaringan yang dimiliki tokoh tersebut dan kemampuan
finansial atau dana. Selain faktor tersebut, faktor elit atau petinggi-petinggi partai
yang mempunyai kuasa atas siapa saja yang berhak maju di legislatif menjadi
bagian dari tidak berfungsinya mekanisme rekrutmen politik partai.
Kata Kunci: Rekrutmen, Partai Politik, Kader, Mantan Narapidana Korupsi,
Partai Gerindra.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Shalawat serta salamsemoga dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, rasul yang
telah membawa umatnya dari kegelapan menuju masa yang terang benderang
hingga saat ini.
Skripsi yang berjudul “PROSES POLITIK DALAM PENCALONAN
KADER (Studi atas Pencalonan Mantan Narapidana Korupsi Sebagai Calon
Legislatif di Partai Gerindra)” disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
untukmencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam proses pembuatan skripsi dari awal sampai selesai, penulis
menyadari bahwa sepenuhnya penulis mendapatkan bantuan berupa bimbingan,
dukungan, serta motivasi dari beberapa pihak. Dalam kesempatan ini izinkan
penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Dr. Ali Munhanif, M.A, beserta seluruh staff dan jajarannya.
vi
3. Dr. Iding Rosyidin, M,Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik, dan
Suryani, M,Si. selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Politik.
4. Dr. A. Bakir Ihsan, M.Si selaku dosen penasihat akademik dan juga
pembimbing penulis yang telah membimbing, mengarahkan, mengajarkan,
serta meluangkan waktu dalam proses pengerjain skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan.
5. Para doesen tercinta selama penulis menuntut ilmu di FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Dr. Agus Nugraha, M.Si, Burhanuddin Muhtadi, Dr.
Haniah Hanafie M.Si, Dr. Idris Thaha, M.Si, Chaider S. Bamualim, Gefarina
Djohan, MA, Ana Sabhana Azmy, M.I.P, serta seluruh dosen di Program
Studi Ilmu Politik yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yangtelah
memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
6. Narasumber skripsi penulis, Bapak Desmond, Bapak Helvi, Bapak Zaid
Elhabib, Bapak Yudi, dan yang lainnya yang telah bersedia meluangkan
waktu dan tenaganya untuk dimintai pendapat sekaligus diwawancarai.
7. Kedua orang tua penulis, Ayah Taufik Hidayat dan Ibu Rina Ruhamah atas
do’a yang selalu Ayah dan Ibu panjatkan kepada Allah SWT, atas segala
usaha serta kerja keras Ayah dan Ibu lakukan, atas pelajaran-pelajaran yang
selalu Ayah dan Ibu ajarkan kepada penulis. Skripsi ini hanyalah sebagian
kecil dari perwujudan rasa cinta, sayang, dan pembuktian bahwa anakmu
selalu berusaha menjadi manusia yang berguna. Semoga Allah SWT selalu
vii
melindungi Ayah dan Ibu. Tidak lupa pula kepada adik penulis dan seluruh
keluarga besar.
8. Teman-teman Ilmu Politik angkatan 2015, kelas A dan kelas B.
9. Teman-teman Ilmu Politik seperjuangan (redbull), Adel, Umi, Helma, Inas,
Ii, Dapong, Pais, Acay, Andi, Japis, Dayat, Adnan, Dimas. Terima kasih
teman-teman telah membuat perkuliahan penulis terasa berwarna dengan
canda tawa dan semangat kalian, semoga kita sukses di setiap jalan yang
kita tempuh.
10. Teman-teman Ilmu Politik lainnya, Sultan, Kevin, Audy, Mbak Desi, Al,
Cherlinda, Fajar, Bos Redi, Nana, Chika, Fauziah, Alisa, Nida, Wida.
Terima kasih atas semua pengalaman yang telah diberikan dalam semua
proses belajar bersama.
11. Teman-teman HIMAPOL 2017-2018 serta adik-adik HIMAPOL 2019.
12. Junior terbaik, Viku Paoki. Terima Kasih atas do’a dan dukungannya selama
ini.
13. Teman-teman SMA yang masih selalu berkomunikasi, Nica, Nepoy, Aiseh,
Lulu, Dinda, Puti, Ade Istiqomah. Terima kasih telah menjadi teman yang
mengajarkan hal baik selama penulis menyusun penelitian ini.
14. Ka Ahmad Shidki Maulana dan Ka Tio, terima kasih atas link narasumber
yang telah kaka berikan dan juga ide-ide positif selama penulis menyusun
penelitian ini.
viii
15. Teman-teman KKN 105 BERPACU, terima kasih atas dukungan dan
hubungan yang terjalin selama KKN berlangsung.
16. Dan yang paling terakhir, penulis khususkan ucapan terima kasih kepada
Habib, terima kasih banyak atas segala support serta kekuatan yang telah
diberikan selama pembuatan skripsi ini. Terima kasih selalu membantu,
memberi masukan, bahkan menguatkan penulis. Semoga kita terus
diberikan kesempatan untuk berjuang bersama dan bisa bermanfaat untuk
orang banyak.
Tanpa adanya mereka, peneliti tidak yakin penelitian ini dapat selesai
dengan baik. Peneliti berterima kasih dengan sepenuh hati, semoga Allah SWT
selalu melindungi mereka serta membalas kebaikan mereka. Namun demikian,
peneliti bertanggung jawab penuh atas segala kekurangan dalam penelitian ini,
kritik yang membangun sangat peneliti harapkan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ciputat, 05 Juli 2019
Nabillah Aisyah Rumi
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah .................................................................................... 1
B. Pertanyaan Masalah .................................................................................. 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 11
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 11
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 17
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 19
BAB II KERANGKA TEORI ............................................................................... 21
A. Partai Politik .............................................................................................. 21
A.1. Pengertian Partai Politik ........................................................................ 21
A.2. Tujuan Partai Politik .............................................................................. 22
A.3. Fungsi Partai Politik .............................................................................. 23
B. Teori Rekrutmen Politik ............................................................................ 24
B.1. Pengertian Rekrutmen Politik ................................................................ 24
B.2. Bentuk-Bentuk Rekrutmen .................................................................... 27
B.3. Pengertian Kader ................................................................................... 28
B.4. Rekrutmen Partai Politik di Indonesia ................................................... 29
C. Teori Elit Politik........................................................................................ 31
C.1. Sejarah Elit Politik ................................................................................. 31
x
C.2. Elit di Indonesia ..................................................................................... 33
BAB III PROFIL DAN DINAMIKA REKRUTMEN POLITIK PARTAI
GERINDRA ............................................................................................. 37
A. Partai Gerindra .......................................................................................... 37
A.1. Sejarah Partai Gerindra .......................................................................... 37
A. 2. Ideologi, Strategi, dan Program Partai Gerindra .................................. 39
A.3. Visi dan Misi Partai Gerindra ................................................................ 40
B. Rekam Jejak Partai Gerindra di Pemilihan Legislatif ............................... 42
BAB IV PROSES DAN FAKTOR PENCALONAN ANGGOTA LEGISLATIF
MANTAN KORUPTOR DI PARTAI GERINDRA ............................... 47
A. Proses Rekrutmen Keanggotaan Partai Gerindra ...................................... 48
A.1. Proses Masuk Partai Gerindra ............................................................... 48
A.2. Proses Pencalonan Anggota Legislatif Partai Gerindra ......................... 51
B. Faktor yang Melatarbelakangi Partai Gerindra dalam Mencalonkan Mantan
Narapidana Kasus Korupsi ............................................................................ 60
B.1. Pertimbangan dalam Proses Pengkaderan ............................................. 60
B.2. Pertimbangan dalam Proses Pencalonan ................................................ 62
C. Analisis Antara Idealisme dengan Pragmatisme Partai............................. 66
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 72
A. Kesimpulan ............................................................................................... 72
B. Saran ......................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 76
LAMPIRAN ........................................................................................................... 82
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Daftar Calon Legislatif Mantan Narapidana Kasus Korupsi ................ 3
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penetapan kebijakan pelarangan mantan terpidana kasus korupsi yang dibuat
oleh KPU menuai berbagai kontroversi. Sejulmah fraksi di DPR berbeda pandangan
tentang rencana KPU tersebut yang melarang narapidana korupsi menjadi calon
legislatif. Mereka yang menentangi berdalih bahwa larangan itu bertentangan
dengan hak asasi manusia lantaran setiap orang berhak memilih dan dipilih.
Menurut Bambang Soesatyo misalnya, beliau sebagai ketua DPR menyikapi KPU
itu berlebihan dalam mengambil keputusan karena it merupakan sesuatu yang tidak
perlu, beliau berpendapat bahwa serahkan pada partai untuk memilih atau
mengusung mantan-mantan napi, dan serahkan pada masyarakat memilih atau
tidak.1
Selain itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan bahwa
PKPU 20/2018 tersebut tidak akan berlaku jika tidak diundangkan. Menurutnya,
menghilangkan hak orang itu tidak ada kaitannya dengan PKPU, dan bukan
merupakan kewenangan KPU. Kewenangan melakukan putusan tersebut ada pada
Undang-Undang dan keputusan hakim. Yasona Laoly memperkuat pendapatnya
dengan mengatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan Pasal 87 Undang-Undang
1 Detik.com, “Pro Kontra Larangan Nyaleg Untuk eks Koruptor”, artikel ini diakses pada
14 Agustus 2019, dari https://news.detik.com/berita/d-4094865/pro-kontra-larangan-nyaleg-untuk-
eks-koruptor.
2
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang
menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat pada tanggal diundangkan.2 Selain itu, caleg-caleg
mantan koruptor pun tidak menyetujui PKPU No. 20 tahun 2018 pasal 7 ayat (1)
huruf h tersebut karena merasa hak politik mereka direnggut.
Bawaslu menyetujui dan mengesahkan bahwa terpidana mantan korupsi boleh
maju menjadi calon anggota legislatif, tetapi berbeda dengan KPU yang
menolaknya. KPU mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.
20 tahun 2018 pasal 7 ayat (1) huruf h yang berisi melarang mantan napi korupsi,
mantan napi narkoba, dan mantan napi pelecehan seksual maju sebagai wakil
rakyat.3 Berbeda dengan Bawaslu yang mengacu pada pasal 240 ayat 1 UU No. 7
tahun 2017 yang berisi, mantan narapidana yang telah menjalankan hukuman 5
tahun atau lebih dapat menjadi calon legislatif, asalkan mereka mengumumkannya
ke publik.
Bawaslu juga menilai bahwa setiap warga negara mantan narapidana korupsi,
dan lainnya memiliki hak konstitusional untuk dipilih. Setelah itu ada beberapa
usaha dari beberapa calon anggota legislatif untuk menghapuskan peraturan
tersebut dimulai dari melaporkannya ke Bawaslu hingga menggugat peraturan KPU
tersebut ke MA yang lalu dibawa untuk dilakukan uji materi PKPU. Hasilnya
adalah bahwa MA menghapuskan PKPU No. 20 tahun 2018 pasal 7 ayat (1) huruf
2 Politik LIPI, “Problematika PKPU No. 2 Tahun 2018 tentang Mantan Koruptor menjadi
Caleg”, artikel ini diakses pada 15 Agustus 2019, dari http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-
2/politik-nasional/1225-problematika-pkpu-no-20-tahun-2018-mantan-koruptor-menjadi-caleg. 3 CNN Indonesia, “KPU resmi Taken Aturan Larangan Eks Koruptor Jadi Caleg”, artikel
ini diakses pada 15 Agustus 2019, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180701173711-
32-310583/kpu-resmi-teken-aturan-larang-eks-koruptor-jadi-caleg.
3
h tadi karena sejumlah pertimbangan, salah satunya adalah sepanjang calon tersebut
mengumumkannya terhadap publik, hal tersebut tidak masalah. Upaya KPU untuk
membersihkan lembaga legislatif seperti DPR, DPRD dan DPD dari kejahatan
korupsi harus kandas di tangan Mahkamah Agung (MA). Seperti yang sudah
dijelaskan bahwa MA telah menganulir peraturan KPU yang melarang mantan
narapidana korupsi maju sebagai calon legislatif di Pileg 2019.
KPU mengumumkan daftar caleg (calon legislatif) yang melenggang di pemilu
legislatif 2019 yang berlatar belakang mantan narapidana korupsi. Setelah
sebelumnya mengumumkan ada 49 caleg, kini jumlahnya bertambah menjadi 81
orang, artinya ada penambahan 32 orang caleg mantan narapidana koruptor dari
yang sebelumnya dipublikasikan KPU pada 30 Januari 2019. Dari 81 caleg, 23
orang maju untuk DPRD Provinsi, 49 caleg orang maju untuk DPRD Kab/Kota,
dan 9 lainnya merupakan caleg DPD. Berikut 81 daftar nama mantan narapidana
korupsi yang diumumkan KPU4:
Tabel 1.1 Daftar Calon Legislatif Mantan Narapidana Kasus Korupsi
No. Partai Nama Calon
Legislatif Daerah Pilih
1.
Gerindra
Mohammad Taufik DKI Jakarta
2. Herry Jones Johny
Kereh Sulawesi Utara
3. Husen Kausaha Maluku Utara
4. Alhajar Syahyan Kab. Tanggamus
5. Ferizal Kab. Belitung
Timur
6. Mirhammudin Kab. Belitung
Timur 2
7. Hanura Mudasir Jawa Tengah
4 Nasional Kompas, “Daftar Lengkap 81 Caleg Eks Koruptor”, artikel ini diakses pada 27
April 2019 dari https://nasional.kompas.com/read/2019/02/19/15075331/daftar-lengkap-81-caleg-
eks-koruptor?page=all.
4
8. Welhelmus
Tahalele Maluku Utara
9. Akhmad Ibrahin Maluku Utara
10. Warsit Kab. Blora
11. Moh. Nur Hasan Kab. Rembang
12. Moh. Asril Ahmad Maluku Utara 3
13. Rachmad Santoso Kab. Kutai
Kartanegara
14. Darjis Kab. Ogan Ilir 4
15. Andi Wahyudi
Entong Kab. Pinrang
16. Hasanudin Kab. Banjarnegara
5
17. Bonar Zaitsel
Ambarita Kab. Simalungun
18.
Golkar
Hamid Usman Maluku Utara
19. Heri Baelanu Kab.Pandeglang
20. Desy Yusandi Banten
21. Agus Mulyadi R Banten
22. Edy Muldison Kab. Blitar
23. Petrus Nauw Papua Barat
24. Dede Widarso Kab. Pandeglang
25. Saiful T. Lami Kab. Tojo Una-
Una
26. Achmad Junaidi
Sunardi Lampung
27. Christofel
Wonatorei Kab. Waropen
28.
Berkarya
Meike L Nangka Sulawesi Utara
29. Arief Armain Maluku Utara
30. Yohanes Marinus
Kota Kab.Ende
31. Andi Muttamar
Mattotorang Kab. Bulukumba
32. Muhlis Sulawesi Selatan
33. Zambri Kab. Pasaman
Barat
34. Djekmon Amisi Kab. Kepulauan
Talaud
35.
PAN
Abd. Fattah Jambi
36. Masri Kab. Belitung
Timur
37. Muhamas Afrizal Kab. Lingga
38. Bahri Syamsu
Arief Kota Cilegon
5
39. Bonanza Kesuma Lampung
40. Firdaus Obrini Kota Pagar Alam 2
41.
Demokrat
Jones Khan Kota Pagar Alam
42. Johny Husban Kota Cilegon
43. Syamsudin Kab. / Kota
Lombok Tengah
44. Darmawati Dareho Kab. Lombok
Tengah
45. Firdaus Djailani Bengkulu 5
46. Farit Wijaya Kab. Pesisit Barat
2
47. Imam Subandi Kab. Ogan
Komering Ilir 4
48. Syamsudin Oli Kab. Bolang
Mangondo Utara 1
49. Rahmanuddin Kab. Luwu Utara
50. Polman Kab. Simalungun
51.
Perindo
Samuel Buntuang Gorontalo
52. Zulfikri Kota Pagar Alam
53. Andi Gunawan Kab. Lampung
Timur 1
54. Ramadhan
Umasangaji Kota Pare-Pare
55. Garuda
Yulias Dakhi Kab. Nias Selatan
56. Ariston Moho Kab. Nias Selatan
57.
PKPI
Matius Tungka Kab. Poso
58. Joni Kornelius
Tondok Kab. Toraja Utara
59. Raja Zulhindra Kab. Indragiri
Hulu 1
60. Yuridis Kab. Indragiri
Hulu 3
61. PBB Nasrullah Hamka Jambi 1
62. Sahlan Sirad Bengkulu 5
63. Syaifullah Kepualaun Bangka
Belitung 1
64.
PDIP
Abner Reinal
Jitmau Papua Barat
65. Mat Muhizar Kab. Pesisir Barat
3
66. PKS
Maksum DG
Mannassa Kab. Mamuju
67. Muhammad Zen Kab. Okut Timur
68. PKB Usman Effenidi Kab. Pesawaran
6
69. EU K. Lenta Kab. Morowali
Utara 1
70.
PPP
Emil Silfan Kab. Musi
Banyuasin
71. Ujang Hasan Kab. Bengkulu
Tengah 1
72. Rommy Krishna Kab.
Lubuklinggau
73.
DPD RI
Syachrial Kui
Damapolli Sulawesi Utara
74. Abdullah Puteh Aceh
75. Abdillah Sumatera Utara
76. A. Yani Mulu Sulawesi Tenggara
77. La Ode Bariun Sulawesi Tenggara
78. Masyhur Masie
Abunawas Sulawesi Tenggara
79. Hamzah Bangka Belitung
80. Lucianty Sumatera Selatan
81. Ririn Rosyana Kalimantan
Tengah
Total 81
Fenomena banyaknya partai politik yang mencalonkan mantan koruptor
memperlihatkan track record nya tidak dapat meyakinkan penulis sebagai pemilih,
pada akhirnya hal tersebut akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap partai
politik. Hal ini menunjukan bahwa partai politik lebih merupakan “beban”
ketimbang solusi serta inisiator bagi penyelesaian persoalan rakyat. Transparency
Internasional mengasumsikan bahwa partai sebagai lembaga terkorup di Indonesia
yang diperankan oleh politikusnya.5 Bisa dilihat bahwa dibentuknya partai politik
sebagai wadah aspirasi kepentingan masyarakat, selain itu sebagai wadah
aktualisasi diri bagi warga negara yang memiliki kesadaran yang tinggi untuk ikut
5 Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Elemen: Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014), hal. 67.
7
serta dalam partisipasi politik.6 Namun pada kenyatannya tidak semua partai
melakukan fungsi dan tujuannya dengan benar. Banyak dari mereka mengabaikan
kepentingan warga negara dan hanya mementingkan kepentingan partai. Hal ini
berakibat terbentuknya praktik korupsi politik yang dilakukan di kalangan elit
politik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Tetapi di sisi lain, melihat realitas sosial yang ada pun tidak jarang bahwa
beberapa masyarakat yang masih memberikan ruang terhadap mantan narapidana
korupsi untuk maju menjadi calon anggota legislatif dan juga kepala daerah.
Banyak pula masyarakat yang memberikan apresiasi dan dukungan terhadap tokoh
koruptor. Terpilihnya Syahri Mulyo sebagai Bupati Tulungagung pada Pilkada
2018 adalah contohnya.7 Selain Syahri Mulyo, adapun nama-nama seperti Vonnie
Anneke Panambunan yang terpilih di Minahasa Utara dan Hamid Rizal di Natuna.
Seperti yang diketahui, pembicaraan mengenai korupsi seakan tidak ada
usainya, permasalahan tersebut menarik untuk diteliti, bahkan pada keadaan saat
ini ketika ada “sinyal” yang memperlihatkan keraguan masyarakat kepada sebuah
institusi. Partai politik berkompetisi tapi berkomplot satu sama lain, menunjukan
bahwa politik kepartaian di Indonesia yang bertentangan.8 Salah satu partai yang
mengusung bakal calon legislatif yang mantan narapidana korupsi adalah partai
Gerindra. Gerindra merupakan partai besar yang berada satu kelas dengan partai-
partai seperti PDIP dan Demokrat. Partai Gerindra sendiri termasuk banyak dalam
6 A. Rahman, Sistem Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 102. 7 Tribun News, “Tahanan KPK Menang di Pilkada”, diakses pada 13 Oktober 2018 dari
http://www.tribunnews.com/ nasional/ 2018/ 06/ 29/ tahanan-kpk-menang-di-pilkada. 8 Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Sistem Kepartaian di
Indonesia Era Reformasi, (Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia, 2009), hal. 1-2.
8
mencalonkan kadernya yang mantan narapidana korupsi. Penelitian ini menarik
untuk diteliti karena seperti dikatakan di awal bahwa, partai Gerindra termasuk
banyak mencalonkan kader yang mantan narapidana kasus korupsi, di tingkat
DPRD saja ada 6 orang, yakni, Mohammad Taufik (DPRD DKI), Herry Jones Kere
(DPRD Sulawesi Utara), Husan Kausaha (DPRD Maluku Utara), Alhajar Syahyan
(DPRD Kab. Tanggamus), Ferizal (DPRD Kab. Belitung Timur), Mirhammudin
(DPRD Kab. Belitung Timur). Selain itu, salah satu calon legislatif dari Gerindra
yang bernama M. Taufik mengajukan gugatan ke MA perihal statusnya yang
mantan narapidana korupsi, karena sempat tidak boleh maju di legislatif, akhirnya
setelah gugatannya yang diajukan atas nama pribadi di MA menang, maka ia dan
mantan narapidana korupsi lainnya boleh mencalonkan diri menjadi calon legislatif.
Hal lain yang juga membuat penelitian ini menarik untuk diteliti adalah proses
politik dalam pencalonan untuk menjadi calon legislatif di partai Gerindra. Semua
partai tentu mempunyai tata caranya masing-masing dalam menjaring kader atau
non kader yang ingin mencalonkan diri menjadi calon legislatif lewat partainya
masing-masing. Setiap partai mempunyai otoritas dalam menentukan orang mana
saja yang akan mempresentasikan wajah partainya di parlemen kelak apabila
terpilih. Sudah semestinya partai yang sudah mapan secara kualitas dan kuantitas
kader seperti Gerindra jadi yang terdepan dalam menjadi role model.
Apabila merujuk pada Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
partai Gerindra Bab IV pasal 13 tentang ”Tugas” poin 7 yang berisi pengawasan
jalannya penyelenggaraan negara agar tercipta pemerintah yang bersih, kuat, jujur,
serta bebas dari segala korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan politik dan Bab XV
9
Pasal 60 tentang “Jati Diri Partai” yang menyuarakan untuk pantang mencuri dan
berbuat korupsi9, seharusnya partai Gerindra enggan untuk mengajukan kader-
kader partai eks koruptor untuk maju di pileg 2019. Karena itulah peneliti ingin
mengetahui proses politik dalam pencalonan diri untuk menjadi calon legislatif di
partai Gerindra. Langkah partai Gerindra yang menjadi partai pengusung caleg eks
koruptor termasuk banyak, mengindikasikan bahwa partai Gerindra kekurangan
kader yang berkualitas, sehingga harus memakai jasa kader-kadernya yang sudah
berperngalaman walaupun pernah terjerat kasus korupsi.
Dengan fakta bahwa partai Gerindra adalah termasuk partai dengan
pengusung calon legislatif mantan narapidana korupsi yang termasuk banyak,
peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang penyebab hal ini. Apakah
penyebabnya berada dalam proses penjaringan kader yang mana partai
mengizinkan kader-kader mantan narapidana korupsi ini untuk maju di pemilihan
legislatif karena mereka mempunyai elektabilitas yang tinggi, dana yang besar,
dan/atau karena mereka adalah elit partai sehingga mereka dapat “memaksa” partai
untuk mengizinkan mereka maju di pemilihan legislatif ini. Bisa juga karena adanya
faktor-faktor lain yang lebih bersifat sistemik, misalnya dalam proses pengkaderan,
partai Gerindra tidak mengedepankan integritas calon yang bertumpu pada nilai-
nilai kejujurandan anti korupsi.
Masyarakat pun harus pintar mencari tahu calon anggota legislatif yang betul-
betul bisa merepresentasikan masyarakat itu sendiri, yakni dengan tidak memilih
9 Dalam AD/ART Partai Gerindra Pasal 13 Bab IV tentang ”Tugas” dan Pasal 60 Bab XV
tentang “Jati Diri Partai”, diakses pada 17 Oktober 2018 dari partaigerindra.or.id.
10
calonnya yang mantan narapidana kasus korupsi. Mereka bisa melihat dari social
media, misalnya membuka halaman atau link dari ICW (Indonesia Corruption
Watch), di sana terdapat beberapa rekam jejak anggota legislatif yang bermasalah,
misalnya tersandung kasus korupsi. Sekarang, harapan agar wakil rakyat itu diisi
oleh orang-orang yang bersih dari praktik korupsi ada di tangan partai politik. Ada
banyak cara yang bisa dilakukan oleh partai politik, mereka memiliki ruang untuk
mencegah mencalonkan kadernya yang mantan narapidana kasus korupsi untuk
duduk di kursi legislatif. Otoritas partai untuk menunjuk bakal calon legislatif atau
tidak itu sepenuhnya ada di partai itu sendiri, karena itu, partai-partai seharusnya
mengambil peran dalam menyeleksi mantan narapidana kasus korupsi dari
pencalonannya.
Jika melihat dari permasalahan yanga ada, penulis tertarik untuk mengetahui
proses politik, dalam hal ini rekrutmen kader di dalam partai Gerindra dan faktor
apa yang membuat partai Gerindra mencalonkan mantan narapidana korupsi
menjadi calon legislatif dengan judul “Proses Politik dalam Pencalonan Kader:
Studi atas Pencalonan Mantan Narapidana Korupsi Sebagai Calon Legislatif
di Partai Gerindra”.
B. Pertanyaan Masalah
Berdasarkan deskripsi di atas, peneliti merumuskan pertanyaan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses politik pencalonan anggota legislatif di partai Gerindra?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi partai Gerindra mencalonkan kader
yang mantan narapidana kasus korupsi?
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses politik dalam pencalonan anggota legislatif di
partai Gerindra.
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi partai Gerindra dalam
mencalonkan kadernya yang mantan narapidana kasus korupsi.
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat mengelaborasi kajian ilmu politik dalam hal
partai politik khusunya partai Gerindra.
2. Manfaat Praktis
a) Penelitian ini dapat menambah pemahaman penliti dan sekaligus
sebagai informasi akademis terkait dengan proses politik dalam
pencalonan diri menjadi calon legislatif di partai Gerindra.
b) Penelitian bermanfaat untuk menambah pemahaman penliti dan
sekaligus sebagai informasi akademis terkait dengan faktor apa yang
mendorong partai Gerindra dalam mencalokan anggota nya yang
mantan narapidana kasus korupsi.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian yang dibuat oleh peneliti, ada beberapa literatur yang penulis
jadikan bahan rujukan dan tinjauan pustaka yang bermaksud untuk mendapatkan
bagian menarik atau bahkan bagian lain dan manfaat dari penelitian ini. Beberapa
tinjauan pustaka yang penulis jadikan bahan acuan di antaranya:
12
Pertama, karya Prayudi10, merupakan hasil penelitian mengenai,
penyelenggaraan pilkada dan lemahnya sirkulasi elit politik lokal.Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan
pendekatan wawancara.Penelitian ini berisi tentang proses peredaran elit lokal yang
buruk disebabkan juga oleh dominasi partai. Tercapainya kepentingan ekonomi saja
lah yang dikhtiarkan oleh partai agar tercapai. Birokrasi pemda dianggap sebagai
sumber keuangan oleh partai politik. Dalam pencalonan, kehadiran partai sangatlah
esensial. Mencuatnya jalur independen menjadi opsi masalah partai dalam
mengajukan paslon. Sisi pemilih yang semakin logis untuk menurunkan elit calon
pemimpinnya adalah efeknya selain dari sisi tokoh elit yang ingin maju. Walaupun
penentuan calon dengan jasa survei dipakai oleh sebagian partai, sejauh ini seleksi
di partai politik bersifat tidak terbuka. Besarnya anggapan akan adanya politik
transaksional dalam penentuan akhir di dalam partai diakibatkan tidak
diumumkannya hasil survei yang dilakukan. Politik uang atau yang biasa disebut
dengan “mahar politik” dengan bentuknya yang bermacam-macam sangat mungkin
adanya namun berat untuk dibuktikan. Contoh kasus lokal yang dimaksud bisa
dilihat di Pilgub, Pilwako, dan Pilbupnya Jambi, Kota Jambi dan Batanghari, atau
sama halnya dengan di Sulut, yaitu di Kota Manado dan Bitung. Ketika dalam elit
partai tengah ada disintegrasi, jalur independen muncul ke permukaan walaupun
tokoh-tokohnya mengerti akan sulitnya memenuhi syarat pendukung.
10 Prayudi, “Penyelenggaraan Pilkada Dan Lemahnya Sirkulasi Elit Politik Lokal”, (Jurnal
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 02 Desember 2016, jurnal
.dpr.go.id), hal. 275-294.
13
Kedua, karya Kholifatul Maghfiroh, dan kawan-kawan11, merupakan
penelitian tentang perkembangan putusan MA mengenai pencalonan mantan
narapidana sebagai anggota DPR, DPD, DPRD, serta sebagai kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normative.Penelitian ini berisi tentang sebuah dampak dari
dikeluarkannya Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016 yaitu tidak berlakunya lagi
Pasal 7 ayat (2) huruf G Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berbunyi:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana.12
Pada pasal itu terkandung eksepsi bahwa selagi tidak diinterpretasi tidak
pernah menjadi narapidana yang berlandaskan putusan meja hijau yang mempunyai
daya hukum tetap akibat menunaikan tindak pidana yang mempunyai ancaman bui
setengah dekade atau lebih. Pilkada serentak tahun 2018 juga akan
mengimplementasikan persyaratan mengenai pengusungan mantan narapidana ini.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sudah mengambil langkah tindak
11 Kholifatul Maghfiroh, Lita Tyesta A.L.W., Retno Saraswati, “Perkembangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Mengenai Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Anggota DPR, DPD, dan
DPRD Serta Sebagai Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah”, (eJurnal Ilmu Hukum, Volume 7,
Nomor 2, Tahun 2018, https://ejournal3.undip.ac.id), hal. 104-112. 12 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota, diakses pada 30 November 2018 dari www.dpr.go.id.
14
lanjut terkait putusan itu dengan norma pada huruf F, huruf F1, huruf G dan huruf
H Pasal 4 ayat (1) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau
Walikota dan Wakil Walikota (PKPU 15/2017). meskipun perubahan dalam dasar
hukum tentang pilkada tentang syarat mantan narapidana masih belum ada.
Ketiga, karya Roni Tamara Saputra13, riset mengenai sistem pengaderan dan
penentuan calon anggota parlemen dalam pilkada 2009 studi pada partai golkar
Kabupaten Penajam Paser Utara. Metode yang diimplementasikan oleh partai
Golkar di Kabupaten Penajam Paser Utara periode 2004-2009 adalah musyawarah
dan pemaparan materi dan sistem pengaderan yang digunakan adalah bottom up
atau usulan dari akar rumput. Partai Golkar mengutamakan kader-kader dari tingkat
desa karena desa adalah pasukan terdepan dalam melaksanakan program-program
partai seperti pengaderan. Di Kabupaten Penajam Paser Utara pada pemilu 2009
partai Golkar mengimplementasikan sistem yang tidak terbuka yang mana dalam
mencapai putusan akhir, ketua DPD partai Golkar membangun satuan kerja yang
bertugas untuk menyaring ulang siapa-siapa saja yang akan partai Golkar calonkan
menjadi calon legislatif. Tidak seperti proses penetapan calon yang tertutup, partai
Golkar menggunaan sistem yang terbuka untuk pendaftaran. Semua orang yang
berminat untuk mencalonkan dirinya menjadi calon legislatif di Kabupaten
Penajam Paser Utara lewat partai Golkar dapat mendaftarkan dirinya.
13 Roni Tamara Saputra, “Sistem Kaderisasi dan penetapan Calon Anggota Legislatif dalam
Pemilu 2009: Studi Kasus Partai Golkar Kabupaten Penajam Paser Utara”, (eJurnal Ilmu
Pemerintahan, Volume 2, Nomor, 1, Tahun 2014, ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id), hal. 1829-1841.
15
Keempat, karya Gugum Ridho Putra14, yang berisi tentang hak mantan
narapidana untuk dipilih dalam pemilihan umum kepala daerah.Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan. Penelitian ini berisi, bahwa
secara nasional, hak politik dijaga UUD 1945 dan sebagian peraturan perundang-
undangan lainnya, seperti UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM). Status eks narapidana seseorang dapat membatasi pada hak politiknya
seperti dalam hak mencalonkan diri dalam pileg atau pilkada. Dibatasinya hal
tersebut secara tegas ada dalam pasal 58 huruf F Undang-Undang Nomor 12 tahun
2008 tentang perubahan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah. Sejumlah putusan secara konstitusional bersyarat telah dikeluarkan MK
setelah sebelumnya ada pengajuan pasal tersebut ke MK lewat judicial review.
Adanya syarat keberlakuan limitatif yang membatalkan larangan berpolitik bagi eks
narapidana adalah hasil dari putusan tersebut. Orang-orang yang pernah menjadi
narapidana yang hukumannya lebih dari setengah dekade lewat putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap adalah target yang dituju oleh putusan tersebut.
Kelima, karya Akhmad Nikhrawi Handiri15 yang penelitiannya tentang hak
eks narapidana menjadi anggota legislatif. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif/mendeskirpsikan suatu hal.Diskursus mantan
narapidana menjadi anggota parlemen dan eksekutif diawali oleh partai Golkar
yang mengusulkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu oleh Pansus RUU di DPR. Partai yang
14 Gugum Ridho Saputra, “Hak Mantan Narapidana untuk Dipilih dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah”, (Skripsi Program Studi Hukum, Depok, 2012). 15 Akhmad Nikhrawi Hamdie, “Hak eks Narapidana Menjadi Anggota Legislatif”, (eJurnal
As-Siyasah, Vol. 1, No. 1, 2016, https://ojs.uniska-bjm.ac.id), hal. 26-33.
16
berlambangkan pohon beringin ini mengusulkan kondisi supaya calon anggota
parlemen adalah individu yang tidak sedang dihukum pidana 5-10 tahun. PDIP juga
mengusulkan kondisi yang tak berbeda, tapi menekankan kondisi individu tersebut
tidak sedang dalam ancaman pidana. Dikarenakan setiap individu yang telah
rampung masa tahanannya akan mempunyai hak yang sama dengan warga negara
yang lain dan mendapatkan haknya untuk dapat memilih dan dipilih sebagai
anggota eksekutif dan legislatif, maka pengekangan hak politik mantan narapidana
tidak dibutuhkan karena melanggar hak asasi manusia. Jika eks narapidana tidak
diizinkan untuk maju menjadi calon anggota eksekutif atau legislatif, hal itu adalah
ketidakadilan karena yang berhak menentukan apakah eks narapidana berhak
menjadi anggota legislatif atau eksekutif adalah masyarakat.
Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian ini lebih menitikberatkan pada
proses politik dalam hal ini rekrutmen politik, baik itu rekrutmen kader saat masuk
partai maupun penjaringan kader saat maju menjadi calon legislatif dan juga
peneliti ingin melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi partai Gerindra
mencalonkan mantan narapidana kasus korupsi di legislatif. Penelitian pertama
fokus masalahnya adalah sulitnya jalur peseorangan maju di pilkada, siapa calon
atau paslon yang diusung lebih didasarkan pada politik transaksional. Penelitian
kedua, lebih kepada kebijakan putusan MA tentang pencalonan mantan narapidana
untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD. Penelitian ketiga berisi tentang sistem
kaderisasi terhadap partai Golkar dan penetapan calon legislatif nya, sama seperti
penelitian yang peneliti lakukan tetapi peneliti lebih fokus ke partai Gerindra.
Penelitian keempat fokus masalahnya lebih kepada hak mantan narapidana korupsi
17
untuk maju di pemilihan umum kepala daerah, bahwa status eks terpidana
seseorang ternyata dapat menjadi hak politiknya dibatasi, hak menjadi kepala
daerah contohnya. Dan penelitian terakhir berisi tentang hak mantan narapidana
untuk maju di legislatif itu tidak masalah karena mantan narapidana punya hak
dipilih dan memilih sebagai anggota legislatif atau ekskutif.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah kualitatif. Di mana penelitan
kualitatif merupakan cara pengkajian dan interpretasi yang berlandaskan pada
metodologi yang mencari suatu fakta atau peristiwa sosial dan persoalan manusia.
Penelitian ini juga merupakan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis pendekatan induktif.16 Di mana dalam penelitian ini,
penulis akan mendapatkan dukungan data dari wawancara yang mendalam dan
dokumentasi.
Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan
menggunakan data yang berasal dari buku, jurnal ilmiah, artikel, serta berita yang
berasal dari media internet yang berhubungan dengan tema dan masalah yang
diteliti oleh penulis.
2. Teknik Pengumpulan Data
a) Wawancara
16 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya Ilmiah,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hal. 34.
18
Merupakan cara pengumpulan hasil yang dikerjakan melalui
bertemu muka dengan yang diwawancarai, namun dapat pula diberikan
uraian pertanyaan atau masalah sebelumnya untuk dijawab di lain
waktu.17 Wawancara yang penulis lakukan melalui sistem tanya jawab
dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada anggota partai
Gerindra, khususnya pempinan pusat dan juga calon legislatif yang
mantan narapidana kasus korupsi. Pertanyaan yang ditanyakan di
antaranya, proses rekrutmen politik, faktor yang mendorong partai
Gerindra mengusung kadernya yang mantan narapidana kasus korupsi,
dan sebagainya.
b) Dokumentasi
Cara pengumpulan data yang dilakukan penulis dengan mempelajari
sumber literatur misalnya buku, jurnal, internet dan skripsi, dan
sebagainya yang berhubungan dengan objek yang sedang dikaji.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitan ini adalah
analisis deskriptif. Hal tersebut digunakan untuk mengamati permasalahan
secara urut atau sistematis dan juga secara akurat mengenai fakta dan sifat
objek tertentu. Berdasarkan teori rekrutmen dan teori elit politik penelitian
deskriptif menyediakan satu keterangan yang rincimengenai keadaan inti,
setting sosial, atau hubungan.18 Data yang berasal dari wawancara, buku,
17 Juliansyah Noor, Metode Penelitian, hal. 141. 18 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal. 27.
19
jurnal, dan sumber lainnya dijelaskan melalui hubungan antara satu faktor
dengan faktor yang lain. Setelah data dideskripsikan, penulis melaksanakan
penjabaran terhadap hasil yang ada dalam penelitian tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Dalam rangka penguraian masalah, peneliti membagi sistematika penulisan ke
dalam lima bagian, yakni:
Bab I, berisi pendahuluan yang di dalamnya memaparkan pernyataan
masalah yang diteliti, pertanyaan masalah, tujuan serta manfaat penelitian,
beberapa tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. Metode yang
digunakan peneliti adalah kualitatif, melalui pengumpulan data wawancara dan
observasi, serta teknik analisis data deskriptif terkait.
Bab II, pada bab ini memaparkan mengenai landasan teoretis dan kerangka
berfikir yang menjelaskan pokok permasalahan penelitian ini yaitu tentang proses
politik dalam pencalonan kader. Pada penelitian ini, penulis menggunakan teori
partai politik yang mencakup fungsi partai, rekrutmen politik dan teori elit politik.
Bab III, pada bab ini peneliti membahas profil partai Gerindra yang di
dalamnya terdapat kemunculan awal partai Gerindra, masalah-masalah yang terkait
pencalonan mantan narapidana kasus korupsi di partai Gerindra.
Bab IV, pada bab ini berisi jawaban dari pertanyaan penelitian.Penulis
memaparkan analisis penulis terhadap inti permasalahan penelitian yakni, proses
politik dalam pencalonan diri menjadi calon anggota legislatif di partai Gerindra
dan faktor yang menyebabkan partai Gerindra mencalonkan mantan narapidana
kasus korupsi di legislatif.
20
Bab V, dalam bab ini terdapat kesimpulan sebagai inti dari penelitian yang
dilakukan. Pada bab ini juga ada saran untuk penelitian dan pengembangan
akademik lebih lanjut.
21
BAB II
KERANGKA TEORI
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan pada Bab I bahwa yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses rekrutmen
dalam partai Gerindra dan faktor apa yang melatarbelakangi partai Gerindra
mencalonkan mantan narapidana kasus korupsi di pemilu legislatif, maka pada bab
ini penulis menguraikan pijakan analisis terhadap masalah tersebut melalui
kerangka teori. Untuk itu, penulis mencoba mengkombinasikan antara teori partai
politik, rekrutmen politik, dan elit politik. Penulis mengawali analisis bab ini
dengan teori yang mendukung pembahasan tentang rekrutmen partai Gerindra dan
juga bagaimana petinggi-petinggi di partai Gerindra ikut andil dalam proses
penyaringan kader pada saat rekrutmen terjadi. Selain itu, penulis ini memperdalam
teori elit politik, yakni faktor apa yang melatarbelakangi partai Gerindra
mencalonkan mantan narapidana kasus korupsi pada kontestasi pemilu 2019.
A. Partai Politik
A.1. Pengertian Partai Politik
Partai politik merupakan suatu organisasi ataugrup yang terstruktur yang
kader-kadernya menjunjung tujuan yang sama yakni untuk merenggut kekuasaan
dan kedudukan politik yang didapatkan dengan cara yang sesuai dengan konstitusi
22
untuk melangsungkan programnya.19 Partai politik ini beranggapan bahwa dengan
membentuk organisasi yang bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai dasar
pemikiran atau wawasan yang sama kemudian pemikiran tersebut bisa diperkuat.
Eksistensi partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi yang
mengedepankan cita-cita dan kepentingan rakyat, melangsungkan pendidikan-
pendidikan politik, sarana rekrutmen yang baik, dan penyelesaian konflik, saat ini
belum melakukan fungsi dengan maksimal. Kebanyakan partai politik yang ada
lebih memperjuangkan kepentingan partai itu sendiri dibandingan dengan
kepentingan atau cita-cita rakyat. Partai politik yang ada dibangun dalam rangka
mempertahankan sirkulasi kekuasaannya, maka dari itu, partai politik penting untuk
melangsungkan rekrutmen kepada anggota dan pimpinan politik guna menegakkan
otoritas yang mereka dapat. Partai politik yang ada sejatinya perlu melaksanakan
prosedur rekrutmen politik yang akan menciptakan aktor-aktor politik yang menjadi
panutan masyarakat, karena mereka mempunyai kualitas yang baik.
A.2. Tujuan Partai Politik
Partai politik dibentuk karena adanya keinginan untuk menjadi penghubung
antara yang memerintah (yang berkuasa) dengan yang diperintah. Adapun tujuan
dibentuknya partai adalah:20 (1) sebagai badan aktualisasi diri bagi warga negara
yang mempunyai kesadaran yang tinggi untuk berperan serta dalam partisipasi
politik; (2) sebagai wadah penyatuan keperluan warga negara; (3) sebagai wadah
berhimpun bagi masyarakat atau kelompok yang memiliki ideologi dan
19 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), hal. 404. 20 A. Rahman. H.I, Sistem Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 102.
23
kepentingan yang sama; (4) menjunjung harapan politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal-hal yang demikian bisa peneliti lihat
bahwa partai politik sangat mengedepankan kepentingan masyarakat tetapi pada
kenyataannya banyak partai politik yang lebih mengedepankan kepentingan
partainya sendiri.
A.3. Fungsi Partai Politik
Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 2008, Bab V tentang Tujuan dan
Fungsi Partai pasal 11, partai politik berfungsi sebagai: 21
1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
untuk kesejahteraan masyarakat
3. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan negara
4. Partisipasi politik warga negara Indonesia
5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Dalam Undang-Undang di atas, secara nyata terlihat bahwa partai politik
mempunyai andil besar dalam rangka memajukan demokasi di Indonesia. Partai
politik juga memegang peranan yang penting dalam hal kehidupan bermasyarakat
21 Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 2008, Bab V tentang Tujuan dan Fungsi
Partai Pasal 11, artikel ini dikses pada 22 Desember 2018, dari http://www.dpr.go.id/ dokjdih/
document/ uu/ UU_2008_2.pdf
24
dan bernegara apabila partai tersebut mampu menerapkan fungsinya dengan
maksimal.
B. Teori Rekrutmen Politik
Mengenai fungsi partai politik yakni, rekrutmen politik, penulis akan
membahasnya lebih dalam. Partai politik juga dibuat agar mampu melaksanakan
fungsinya, salah satu fungsi dari partai politik adalah sebagai sarana rekrutmen
politik. Untuk kepentingan partai, semua partai pasti menginginkan kader yang baik
dan berkualitas, karena dengan begitu partai mempunyai kesempatan yang besar
untuk mengembangkan potensi partainya. Dengan memiliki kader yang berkualitas,
partai pun akan mudah menentukan orang yang memimpin sendiri dan memiliki
harapan untuk mencalonkan kadernya ke kancah kepemimpinan nasional. Partai
juga mempunyai kewenangan untuk memperluas dan memperbanyak
keanggotaannya.22
B.1. Pengertian Rekrutmen Politik
Ramlan Surbakti dalam buku Memahami Ilmu Politik, mengatakan bahwa
rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan
seseorang bahkan sekelompok orang agar bisa melakukan berbagai kontribusi
dalam sebuah sistem politik dan pemerintahan. Fungsi rekrutmen dalam partai
politik menggambarkan kelanjutan dari fungsi mencari dan melanggengkan
kekuasaan. Peranan ini sangatlah penting bagi kesinambungan sistem politik,
22 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 408.
25
karena tanpa elit yang dapat melaksanakan perannya, kelangsungan hidup sistem
politik akan terancam.23
Rekrutmen politik yang merupakan seleksi dan pemilihan atau seleksi
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah
peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Dari
partai politik ini diharapkan ada proses kaderisasi yang kedepannya bisa
menjalankan tugasnya sesuai dengan jabatan yang mereka emban. Walaupun
seseorang di sini diberikan peluang yang sama untuk mencapai derajat tertentu,
tetapi ada wewenang bagaimana cara seseorang tersebut menggapai hal yang
demikian melalui peraturan yang ada. Dengan adanya partai politik, maka individu
tersebut akan lebih mudah untuk memperoleh keinginannya dalam bidang politik.24
Seperti fungsi partai politik, yakni, sebagai sarana rekrutmen politik, fungsi
ini erat kaitannya dengan persoalan seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan
internal partai maupun kepemimpinan nasional yang cakupannya lebih luas. Setiap
partai membutuhkan anggota yang mempunyai kemampuan yang kompeten, karena
hanya dengan kader yang demikian tersebut, ia akan menjadi partai memiliki
peluang yang besar untuk mengembangkan diri. Partai politik yang ada
berkepentingan untuk memperluas atau memperbanyak keanggotaannya. Maka ia
pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk ikut serta dalam
23 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Grasindo, Cet. 1 1992), hal. 150-
151. 24 Imam Yudhi Prasetya, “Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik”, (Jurnal Ilmu
Politik dan Ilmu Pemerintahan, Volume 01, Nomor 01, 2011, http://fisip.umrah.ac.id), hal. 33.
26
keanggotannya. Rekrutmen politik menjamin kelangsungan dan kelestarian partai,
sekaligus metode untuk bisa memperoleh dan melatih calon-calon pemimpin.25
Melihat dari fungsi partai politik di atas, yakni rekrutmen politik, partai politik
diharapkan menjelma menjadi fasilitator individu-individu dalam rangka pengisian
jabatan publik karena salah satu tugas utama dalam rekrutmen politik adalah
bagaimana partai politik ini menghadirkan aktornya yang berbobot untuk duduk di
partainya dan juga dalam pemerintahan.26 Dalam setiap organisasi, seperti partai
politik, pastinya kehadiran anggota merupakan sumber dukungan yang utama.
Anggota atau elemen yang ada di partai ini nantinya akan menyebarluaskan
platform dan program partai kepada rakyat serta akan menjadi jembatan
penghubung antara rakyat dengan pemerintah, seperti salah satu fungsi partai
politik yang ada. Pola rekrutmen yang baik sangatlah penting diterapkan di dalam
partai agar kedepannya partai yang ada memiliki kader yang berkualitas yang bisa
menyuarakan aspirasi rakyat.
Mendapatkan sumber daya manusia yang baik perlu dimulai dari sistem
rekrutmen. Dalam struktur dan sistem politik, organisasi partai politiklah yang
paling berperan dan mempunyai tanggung jawab dalam memunculkan pemimpin
yang berkualitas.Untuk itu, dalam tubuh partai politik perlu dikembangkan sistem
rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi politik. Dengan adanya hal tersebut, akan dapat
diseleksi kesesuaian antara karakteristik kandidat dengan sistem nilai dan ideologi
25 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 408-409. 26 Agus Pramono, Elit Politik yang Loyo dan Harapan Masa Depan, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005), hal. 30.
27
partai politiknya. Orang yang mempunyai tatanan nilai dan ideologi yang sama
serta mempunyai kemampuan untuk berkembanglah yang perlu direkrut.27
Almond dan Powel menegaskan bahwa partai politik melakukan seleksi
kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan atau orang-orang pilihan untuk
memuat bagian tertentu dan kemudian memotivasi mereka untuk bertindak dalam
kondisi kepentingan dan ketentuan partai politik yang bersangkutan. Rekrutmen
politik merupakan hal yang sangat esensial bagi keberlangsungan sistem politik,
sebab tanpa elit yang dapat melaksanakan perananya, kelangsungan hidup sistem
politik akan terancam.28
B.2. Bentuk-Bentuk Rekrutmen
Rekrutmen politik mempunyai keserupaan yang tidak terbatas, tetapi pada
dasarnya terdapat dua macam rekrutmen yaitu penyaringan umum dan kriteria
partikularistik.Seleksi yang berperan dalam sistem politik yang didasarkan
kemampuan dan kinerja yang dibuktikan melalui tes atau prestasi adalah kriteria
seleksi umum.Sedangkan yang bersifat primordial yang didasarkan pada faktor-
faktor seperti SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) adalah kriteria seleksi
partikularistik.29 Bahwa partai politik yang ada seharusnya bisa melaksanakan
prosedur rekrutmen politik yang berkualitas sehingga memunculkan aktor politik
yang bermutu. Melalui rekrutmen politik, akan terus ada orang-orang yang berperan
27 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di
Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 70. 28 Syamsuddin Haris (editor), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses
Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005),
hal 143-144. 29 Hesel Nogi Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, (Yogyakarta: Yayasan
Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2003), hal. 188-189.
28
melanjutkan sistem di dalam partainya. Partai politik memiliki kontribusi yang
besar dengan melakukan pemilihan secara selektif terhadap kader-kadernya yang
akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang kredibel.
B.3. Pengertian Kader
Kader dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan orang yang
diharapkan akan memegang peranan yang sangat penting dalam sebuah sistem
pemerintahan, partai, dan sebagainya.30 Kader di dalam partai juga bisa disebut
sebagai anggota. Kader-kader dari partai inilah yang nantinya menjadikan cerminan
dari partai politik. Sangat penting mengemukakan personalitas sebuah partai di
zaman modern ini. Karena, dari merekalah kebijakan tentang masa depan bangsa
terarah ke jalan yang lebih baik. Mereka yang dicalonkan oleh partai untuk
menduduki jabatan publik perlu melakukan beberapa tes kapabilitas yang nantinya
akan menentukan kualitas elit politik itu.
Dalam rangka menjalankan partai politik ke tujuan yang positif untuk
kepentingan rakyat, maka diperlukan tata cara kaderisasi yang baik di dalam partai.
Kaderisasi yang dimaksud adalah menyaring calon pemimpin yang menghuni dan
mempunyai kemampuan kebangsaan yang mapan. Mekanisme kaderisasi partai
biasanya hanya di dasarkan pada tahapan karir yang tidak mempunyai rasionalitas
yang jelas. Selanjutnya, partai dipenuhi oleh kader yang tidak menghuni. Partai
dipenuhi orang-orang yang lebih banyak mengejar posisi dan menjadikan partai
sebagai tempat “cari uang” ketimbang tempat untuk menyalurkan idealisme
30 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 02 Februari 2019 dari https://kbbi.
kemdikbud.go.id.
29
kebangsaan. Tanpa sistem kaderisasi yang baik, maka bukan hanya arah
perkembangan bangsa yang akan tergadaikan oleh elite yang tidak mempunyai
kemampuan, tetapi juga moral bangsa akan runtuh. Mereka yang tidak mampu
memerikan sumbangsihnya, harus diberikan sanski dengan mengeluarkannya
secara tegas dari proses kaderisasi partai itu sendiri.31
B.4. Rekrutmen Partai Politik di Indonesia
Partai merupakan jalan masuk untuk menjadi anggota dewan. Sistem
rekrutmen dan sistem kaderisasi partai politik yang terukur mendefinisikan mutu
kader partai yang kedepannya akan dipublikasikan menjadi anggota dewan.
Kualitas anggota dewan ditentukan oleh kualitas partai politik itu sendiri. Partai
politik mempunyai tempat yang eksklusif sebagai instrumen paling penting untuk
mencetak kader yang baik dari pola rekrutmen.32
Sistem transparan yang menyediakan jalan masuk ke semua anggota yang
mempunyai potensi penting adanya dalam sistem pengaderan. Sistem persaingan
yang sehat dan transparan dalam badan partai politik penting untuk diutamakan.
Anggota partai dan calon pemimpin harus dibiasakan dengan sistem persaingan
yang sehat dan transparan, karena dengan kompetisi yang terbebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme ini, rekrutmen dalam partai akan melahirkan calon pemimpin
yang berkualitas tinggi.33
31 Firman Subagyo, Menata Partai Politik: Dalam Arus Demokratisasi Indonesia, (Jakarta:
RMBOOKS PT. Wahana Semesta Intermedia, 2009), hal. 108-109. 32 Valina Singka Subekti, Dinamika Konsolidasi Demokrasi: Dari Ide Pembaharuan
Sistem Politik Hingga ke Praktik Pemerintaha Demokratis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2015), hal. 95. 33 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di
Era Demokrasi, hal. 71.
30
Partai politik saat ini cenderung sulit untuk mengumpulkan dana yang berasal
dari iuran anggota partainya. Akibatnya, fungsi partai politik telah berubah yang
tadinya organisasi politik yang berfungsi dalam rekrutmen politik dan selanjutnya
mengkaderkan para politisi, sekarang berubah menjelma sebagai penyedia “tiket”
bagi aktor-aktor yang memiliki dana yang besar untuk menjadi pemimpin. Proses
rekrutmen politik belum berjalan sebagaimana mestinya yang dapat dilihat dari
pemilihan kader yang tidak objektif.34 Proses yang dilakukan pun tidak lagi
mengedepankan kebutuhan masyarakat, melainkan untuk menyanggupi kebutuhan
pribadi maupun kelompok. Hal-hal yang demikian sangat disayangkan, hal tersebut
bisa membuat prosedur seperti, penyediaan, dan penyaringan kandidat atau kader
politik berjalan tidak sebagaimana mestinya. Penentuan calon legislatif dengan
sistem pemilu harusnya tidak karena mengedepankan popularitas dan kapasitas
materi si calon, tetapi calon tersebut mempunyai track record sebagai anggota
partai yang mapan sehingga mampu menginterpretasikan perannya sebagai anggota
dewan yang terhormat.
Lemahnya pola rekrutmen politik telah mengakibatkan negeri ini sering
kecolongan dengan banyaknya pejabat dan politisi, baik di ranah pusat maupun
daerah-daerah, yang belum memehuni standar, kapabilitas, baik dalam makna
kemampuan teknis, administratf hingga ke moral. Seharusnya, partai merasa malu
terhadap para rekrutannya yang bekerja bahkan berkedudukan di bawah standar
34 Muhadam Labolo, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori,
Konsep, dan Isu Strategis, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hal. 197-199.
31
kepatutan. Ke depan, partai politik harus lebih giat lagi dalam membenahi pola
rekrutmen dan kaderisasi.35
C. Teori Elit Politik
C.1. Sejarah Elit Politik
Konsep dasar teori elit yang lahir di Eropa mengemukakan di dalam
kelompok penguasa (the rulling class) selain ada elit yang berkuasa ada juga elit
tandingan, yang mendapatkan kekuasaan melalui massa jika elit yang berkuasa
kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal tersebut, publik
mempunyai otoritas jarak jauh atas elit yang berkuasa, namun lantaran mereka tidak
begitu peduli atas permainan kekuasaan, maka tidak bisa diharapkan mereka akan
menggunakan pengaruhnya. Selanjutnya, apa yang mendorong elit politik untuk
ikut andil dalam politik, adalah karena elit politik (senantiasa) mempunyai “hasrat”
yang tidak dapat dihindarkan, yakni mendapatkan kekuasaan. Bahwa di belakang
teori kelompok, dan elit, kekuasaan merupakan target penting. Tujuan politiklah
yang membawa dan menggerakan individu untuk membentuk kelompok-kelompok
serta mengaktualisasikan dirinya di dalam kelompok tersebut.36
Teori elit politik awalnya hadir dari pada ilmuan sosial Amerika tahun 1950-
an, seperti, Schumpeter (ekonom), Laswell (ilmuan politik), dan C. Wright Mills
(sosiolog). Mereka melacak tulisan dari pemikir Eropa masa awal lahirnya
Fasisme, yakni Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), Robert Michels
35 Firman Noor, Quo Vadis Demokrasi Kita: Sebuah Respon terhadap Konsolidasi
Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: RMBOOKS PT. Wahana Semesta Intermedia, Cet. 1 2015), hal.
160. 36 SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 197-
199.
32
(Jerman), dan Jose Ortega Y. (Spanyol). Tokoh pertama, yakni Pareto, percaya
bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang memiliki
nilai yang dibutuhkan untuk kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik
yang cukup. Pareto pun menaruh masyarakat terdiri dari dua kelas: (1) lapisan atas,
yakni elit, yang di dalamnya ada elit yang memerintah (governing elite) dan elit
yang tidak diperintah (non-governing elite). (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu
non-elit. Ia lebih memfokuskan kajiannya terhadap elit yang memerintah, karena
mereka dapat menyatukan kekuasaan dengan kelicikan.37
Di samping Pareto, ada pula Gaetano Mosca, menurutnya, dalam setiap
masyarakat, dari yang paling giat mengembangkan diri hingga masyarakat yang
paling maju dan kuat, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat, yakni, kelas yang
memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang mempunyai kuasa atau yang
memerintah, jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, memonopoli
kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang didapat dari kekuasaan. Sedangkan,
kelas yang diperintah, biasanya jumlahnya lebih banyak, mereka dikontrol oleh
kelas yang pertama. Kenyatannya bahwa kebijakan kelas penguasa, meskipun
dibuat sesuai kepentingannya sendiri, dikemukakan dengan cara sebaliknya, yakni
dengan maksud memberikan kepuasan dan hukum yang terkemas di dalamnya.38
Azas umum yang dianut oleh Pareto dan Mosca tentang elit mempunyai
kesamaan, yakni, elit ini mengatur sendiri kelangsungan hidupnya (self
perpetuaing) dan keanggotaannya berasal dari lapisan masyarakat yang terbatas.
37 SP. Varma, Teori Politik Modern, hal. 199-200. 38 SP. Varma, Teori Politik Modern, hal. 202-204.
33
Pemimpin selalu menentukan sendiri penerusnya dari kelas istimewa yang semata-
mata terdiri dari beberapa orang. Kelompok elit juga bersifat otonom, kebal akan
gugatan dari siapapun di luar kalangannya tentang ketentuan yang dibuatnya.
Permasalahan politik sangat esensial diselesaikan berdasarkan kepentingan
kelompok.39
Dapat diambil kesimpulan bahwa, elit merupakan kelompok terorganisir yang
mempunyai otoritas politik. Bahwa konsep elit merujuk pada kelompok yang
memiliki kedudukan utama atau yang paling dominan dalam sebuah sistem yang
mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
dinamika partai politik, elit ini memiliki kewenangandalam memutuskantujuan dan
kebijakan partai.
C.2. Elit di Indonesia
Di dalam era reformasi ini, partai politik menjadi lembaga yang sangat
dibutuhkan, mengingat partai politik diyakini sebagai perangkat yang penting bagi
kemajuan demokrasi Indonesia di masa kini. Semua pihak sepakat bahwa
demokrasi akan semakin baik apabila partai politik profesional dan akuntabel. Hal
tersebut merupakan tantangan yang cukup berat yang harus disikapi bersama oleh
semua komponen bangsa mengingat keberadaan partai politik yang demokratis,
profesional, dan akuntabel menjadi kebutuhan masyarakat saat ini.
Membahas mengenai elit, secara teoretis, hubungan pemilihan umum dengan
pergerakan elit bisa dilihat dari proses mobilitas kaum elit atau non-elit dalam
39 Mochtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2008), hal. 97
34
menempuh jalan untuk menduduki elit penguasa. Jalan tersebut adalah institusi atau
lembaga politik, pemerintahan, dan lembaga masyarakat, misalnya, DPR, DPRD,
partai politik, dan lainnya yang berfungsi sebagai jalan untuk terlibat dalam
keanggotaan atau institusi nasional tadi. Dalam kaitannya, pemilu merupakan cara
langsung guna memanfaatkan jalan menuju tempat elit penguasa. Selain itu, ada
pula cara tidak langsung, yakni dengan pengangkatan. Artinya, pemilu memiliki
peran secara tidak langsung sebagai jalan yang digunakan guna menjadi elit
penguasa. Maksudnya adalah, pengangkatan digunakan sebagai jalan pelengkap
bagi pemilu. Selain itu, dikenal juga pengangkatan sebagai upaya memanfaatkan
jalan menjadi elit yang tidak berhubungan dengan pemilu.40
Dalam konteks Indonesia, kelompok elit merupakan kalangan yang
mempunyai kontrol dalam hal pembuatan keputusan politik. Mereka biasanya lebih
mudah mencapai kekuasaan serta berkompetisi dalam memperebutkan kekuasaan.
Kelompok elit adalah sekelompok individu yang mempunyai kualitas terbaik dan
mampu mencapai pusat kekuasaan sosial politik. Setiap elit yang memerintah hanya
bisa menetap jika secara kontinuitas mendapatkan dukungan dari masyarakat
bawah.41
Di dalam partai, ideologi harus dijadikan landasan dalam melakukan kerja
politik yang menyangkut berbagai hal, tetapi di banyak kasus, ideologi hanya
menjadi aksesoris dalam partai politik, ideologi yang ada dikalahkan oleh
kepentingan elit-elit politik dalam menggapai kepentingan pribadi. Hal ini dapat
40 Syamsuddin Haris, Arbi Sanit, dkk, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah
Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 118. 41 Alim Bathoro, Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Demokrasi, (Jurnal FISIP
Umrah, Volume 02 Nomor 02, 2011, ejournal.umrah.ac.id), hal. 117-118.
35
dilihat dari banyaknya elit partai politik yang tidak mencerminkan ideologi
partainya, baik dari tindak asusila, kebijakan yang bertentangan dengan idoelogi
partai ketika ia menjadi pejabat, dan yang paling banyak adalah tindakan korupsi.42
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh elit politik bukan merupakan
gambaran kehendak rakyat, dan juga bukan tuntutan yang diajukan rakyat, tetapi
lebih kepada kepentingan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh golongan elit
tersebut.43 Sama seperti di Indonesia, elit politik dalam partai mempunyai pengaruh
besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Tidak adanya distribusi
kekuasaan secara merata sehingga menimbulkan orang-orang yang sama yang
mempunyai kuasa atas segala hal yang ada di dalam partai. Dalam hal ini elit partai
masuk kepada ketentuan partai dan menentukan kebijakan partai karena
mempunyai kelebihan, misalnya mempunyai kuasa akan hal-hal tertentu.
Elit partai politik juga menjadi ciri khas kehidupan politik Indonesia di era
multipartai saat ini. Dominasi kekuasaan partai politik masih sangat kental ada di
tangan segelintir orang kuat. Kewenangan partai bertumpuk pada kekuasaan elit
partai, sehingga tidak mudah untuk mengaplikasikan sistem otonomi kepartaian.
Kuatnya otoritas elit di partai politik berdampak pada proses politik internal partai
karena kebijakan strategis partai seringkali dirampung segelintir elit. Kenyataan
politik diatas sudah disinyalir Robert Michels tentang hukum besi oligarki (iron law
42 Imam Yudhi Prasetya, “Pergeseran peran Ideologi dalam Partai Politik”, (Jurnal Ilmu
Politik dan Ilmu Pemerintahan, Volume 01, Nomor 01, 2011, http://fisip.umrah.ac.id), hal. 40. 43 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik., hal. 76.
36
of oligarchy), bahwasannya di dalam institusi partai politik, pada kenyatannya
semata-mata dikuasai oleh segelintir elit.44
Sumber daya yang dimiliki oleh segelintir elit dalam partai politik
memberikan dampak terhadap pemfokusan kekuasaan dan pengaruh pada elit
tersebut. Yakni, dengan adanya sumber daya yang dimiliki, mereka mempunyai
akses dan dapat dengan mudahnya melakukan tindakan sesuai yang mereka
inginkan, termasuk mendesak apabila terdapat pihak yang tidak mengikuti aturan
atau tidak sependapat dengan apa yang ia inginkan, membuat dan mengontrol
terhadap kebijakan-kebijakan yang ada. Di Indonesia sendiri, orang-orang yang
duduk di struktur atas partai memiliki posisi yang strategis dan penting dalam
menentukan arah kebijakan partai, baik itu untuk kepentingan ideologis dan visi
partai atau hanya untuk kepentingan jangka pendek, atau juga kepentingan
pribadi.45
44 Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, Studi tentang
Kombinasi Sistem Presidensial dan Multipartai di Indonesia Era Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 122. 45 Herri Junius Nge, “Oligarki Partai dalam Rekrutmrn Calon Kepala Daerah: Studi Kasus
Munculnya Calon Tunggal pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Landak Tahun 2017”, (Jurnal
Academia Praja, Volume 01 Nomor 1, 2016, ejournal.fisip.unjani.ac.id), hal. 73.
37
BAB III
PROFIL DAN DINAMIKA REKRUTMEN POLITIK PARTAI GERINDRA
Berdasarkan pembahasan kerangka teori pada bab II yang meliputi teori partai
politik, rekrutmen politik, dan elit politik sebagai pijakan analisis dalam masalah
penelitian ini, maka pada bab ini menjelaskan gambaran umum tentang partai
Gerindra sebagai partai yang menjadi objek penelitian ini sebagai pintu masuk
untuk melihat secara lebih detail mekanisme rekrutmen yang ada di dalamnya.
Berdasarkan batasan masalah, penulis membatasi kajian dalam bab ini pada seputar
dinamika partai Gerindra sejak awal berdirinya sebagai partai yang selalu terlibat
dalam kontestasi presiden maupun wakil presiden.
A. Partai Gerindra
A.1. Sejarah Partai Gerindra
Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra, didirikan pada 6 Februari 2008.
Latar belakang pendirian Partai Gerindra adalah berangkat dari rasa keprihatinan,
yakni untuk mengangkat rakyat dari kemelaratan akibat permainan beberapa orang
yang acuh pada kesejahteraan. Pada November 2007, intelektual muda, yakni, Fadli
Zon dan seorang pengusana, Hashim Djojohadikusumo membahas mengenai
politik yang terjadi pada saat itu yang jauh dari nilai-nilai demokrasi yang
sesungguhnya. Demokrasi pada saat itu dikuasi oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan memiliki modal besar. Akibatnya, masyarakat menjadi alat.
Bahkan, siapapun yang tidak mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik, mereka
akan dengan gampangnnya menjadi korban. Pembentukan partai Gerindra pun
38
terbilang mendesak, karena pada saat itu berdekatan dengan waktu pendaftaran
pemilihan umum, yaitu pada 6 Februari 2008. Dalam deklarasi tersebut, tercantum
visi, misi, dan manifesto perjuangan partai, yakni, terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil, dan makmur, serta
beradab dan berketuhanan yang berlandaskan pada Pancasila sebagaimana
tercantum pada pembukaan UUD NRI tahun 1945.46
Partai Gerindra merupakan salah satu partai yang mengikuti kontestasi pemilu
di 2019. Selain itu, partai Gerindra juga mengusung salah satu calon presiden 2019,
yakni Prabowo Subianto. Memang sejak di deklarasikan tahun 2008, partai
Gerindra sulit dilepaskan dari sosok Pak Prabowo. Eksistensi politik sosok Prabowo
merupakan poros kekuatan partai yang juga ikut memutuskan posisi partai di tengah
kontestasi politik. Selain itu, Prabowo juga menempati posisi penting dalam
struktur Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Kontak Tani Nelayan
Andalan (KTNA). Dua organisasi tersebut menjadi mosal sosial politik Gerindra
yang tidak dapat diabaikan, apalagi, beberapa elit pendiri partai politik berakar dari
HKTI tadi, yakni mantan ketua HKTI DIY, Suhardi yang menjadi ketua umum
Gerindra dan mantan sekjen HKTI, Fadli Zon yang menjadi wakil ketua umum
Geindra pada saat itu.47
46 Sejarah Partai Gerindra, artikel ini diakses pada pada 19 Januari 2019 dari
http://partaigerindra.or.id/ sejarah-partai-gerindra. 47 Bestian Nainggolan, dll dalam Kompas Pedia, Partai Politik Indonesia 1999-2019:
Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2016), hal. 132.
39
A. 2. Ideologi, Strategi, dan Program Partai Gerindra
Gerindra memperlihatkan figur partai yang mempunyai pandangan
kebangsaan dalam bingkai NKRI. Dalam anggaran dasar pendirian partai, Gerindra
mengemukakan jati diri partainya adalah kebangsaan, kerakyatan, religius, dan
keadilan sosial. Secara substansial, Gerindra mengembangkan pokok perjuangan
yang mencakup bidang politik, ekonomi, kesejahteraanrakyat, hukum dan HAM,
otonomi daerah, agama, dan sebagainya. Sejauh ini, dapat dikatakan platform
politik dan ekonomi lah yang paling dominan. Terkait dengan konteks demokrasi,
Gerindra mengedepankan kemakmuran rakyat alih-alih gelombang politik yang
menjurus ke arah liberalisasi. Dalam konteks tersebut, Gerindra memperkenalkan
cita-cita yang baru yang mengoreksi beberapa sistem yang terlanjut mapan, yakni
meliputi bidang politik, ekonomi, pemberantasan korupsi, politik luar negeri, serta
pertahanan dan keamanan.48
Partai Gerindra lahir untuk mencanangkan transformasi bagi kesejahteraan
rakyat Indonesia. Partai Gerindra menyosialisasikan perjuangan, yakni pro terhadap
rakyat kecil. Partai Gerindra lahir untuk mengangkat terobosan baru untuk
mengubah kekeliruan sistem ekonomi yang pada saat itu sangat kapitalistik.
Perjuangan yang dibawa partai Gerindra pada intinya adalah memperbaiki
perekonomian masyarakat Indonesia.Selain berfokus pada perekonomian dan
keadilan, partai Gerindra juga berkomitmen untuk memperbaiki sistem hukum di
Indonesia. Hukum mesti dijadikan sebagai garda terdepan dalam menjalankan roda
48 Bestian Nainggolan, dll dalam Kompas Pedia, Partai Politik Indonesia 1999-2019:
Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, hal. 134-135.
40
pemerintahan. Dalam penegakannya, hukum tidak boleh tebang pilih dan
penegakannya harus dilakukan secara tegas agar menciptakan keadilan dan
kepastian hukum. Selanjutnya, hukum juga perlu dilaksanakan oleh para penegak
hukum yang bersih agar tidak mengakibatkan penyelewengan hukum.49
Penegak hukum yang bersih akan menghasilkan produk hukum yang akan
menjadi penunjang keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Dalam konteks
legislatif, maka anggota parlemen yang bersih akan menghasilkan produk hukum
berupa undang-undang yang akan menjadi penunjangnya. Maka dari itu, penting
bagi partai Gerindra untuk mengusung kader-kadernya yang bersih untuk maju ke
parlemen agar tercapainya komitmen dalam memperbaiki sistem hukum di
Indonesia.
A.3. Visi dan Misi Partai Gerindra
Keberadaan partai Gerindra dalam pentas politik nasional mempunyai visi
“menjadi partai politik yang mampu menciptakan kesejahteraan rakyat, keadilan
sosial, dan tatanan politik negara yang melandaskan diri pada nilai-nilai
nasionalisme dan religiusitas dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia”50,
hal tersebut mencerminkan bahwa partai Gerindra ini memimpikan sebuah negara
yang makmur dan sejahtera. Dua hal tersebut tentu saja mungkin untuk dicapai oleh
suatu negara. Ada beberapa aspek yang harus dipenuhi agar terciptanya sebuah
negara yang makmur dan sejahtera, salah satunya adalah institusi-instutusi negara
49 Inke Suharni, “Humas dalam Kampanye Politik: Studi Partai Gerindra Menghadapi
Pemilu 2009”, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), hal. 51. 50 Visi dan Misi Partai Gerindra dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia
Raya, artikel ini diakses pada pada 19 Januari 2019 dari http://partaigerindra.or.id/ sejarah-partai-
gerindra.
41
yang bebas dari korupsi. Dengan kata lain, salah satu indikator untuk mencapai visi
partai Gerindra adalah terciptanya pemerintahan yang bersih dari segala macam
parktik korupsi.
Selain itu, dalam mewujudkan visi tersebut, Gerindra mengemban lima misi,
yakni:51
1. Mempertahankan kedaulatan dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945.
2. Mendorong pembangunan nasional yang menitikberatkan pada pembangunan
ekonomi kerakyatan, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pemerataan
hasil-hasil pembangunan bagi seluruh warga bangsa dengan senantiasa berpegang
teguh pada kemampuan sendiri.
3. Membentuk tatanan sosial dan politik masyarakat yang kondusif untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat.
4. Menegakkan supremasi hukum dengan mengedepankan azas praduga tak bersalah
dan persamaan hak di hadapan hukum serta melindungi seluruh warga Negara
Indonesia secara berkeadilan tanpa memandang suku, agama, ras dan/atau latar
belakang golongan.
5. Merebut kekuasaan pemerintahan secara konstitusional melalui Pemilu Legislatif,
Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah untuk menciptakan lapisan
kepemimpinan nasional yang kuat dan bersih disetiap tingkat pemerintahan.
51 Bestian Nainggolan, dll dalam Kompas Pedia, Partai Politik Indonesia 1999-2019:
Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, hal. 134.
42
B. Rekam Jejak Partai Gerindra di Pemilihan Legislatif
Demokrasi lahir lebih dulu dibandingkan partai politik, tetapi, dalam sebuah
sistem politik, partai politik kehadirannya sangatlah penting. Partai politik dan
pemilihan umum bagai saudara kembar yang tidak dapat dipisahkan. Partai politik
menjelma sebagai lembaga dari demokrasi itu sendiri, sedangkan pemilihan umum
adalah instrumen sah bagi pelaksanaan demokrasi.
Perkembangan partai politik di Indonesia relatif aktif, terutama setelah
reformasi. Jika pada orde baru partai politik hanya sebatas pada tiga partai, di zaman
reformasi, gelombang pendirian partai tidak bisa dihindarkan. Partai politik
merupakan bentuk hubungan antara pemerintah dengan rakyat, juga alat yang sah
bagi setiap orang maupun kelompok untuk mendapatkan kekuasaan.
Partai politik, politisi, dan korupsi nampaknya terlihat sangat dekat, melekat
erat. Bahwa korupsi biasanya merupakan penggalan berarti dari kehidupan politisi.
Tidak salah apabila ada yang beranggapan bahwa KPK tidak akan pernah berhenti
mengungkap kasus mereka, hanya saja tinggal soal waktu yang menjawabnya.
Meski sudah banyak yang menjadi tersangka, para politisi tidak sama sekali jera
dan terus melakukannya, mumpung mereka sedang mempunyai jabatan dan
mempunyai kehendak atas berbagai hal.52
Jumlah koruptor terbesar berasal dari kalangan anggota DPR RI, maupun
DPRD, di mana posisi kedua diduduki oleh aparat pejabat menengah pemerintah
daerah, dan pihak swasta berada di posisi selanjutnya. ICW merilis bahwa sebanyak
48 calon anggota legislatif tahun 2014-2019 tersangkut perkara korupsi. Dari 48
52 Nusa Putra, Politik Kekuasaan dan Korupsi, (Jakarta: Murai Kencana, 2015), hal. 11
43
orang yang tersandung kasus korupsi, 26 orang akan menjabat sebagai anggota
DPRD Kabupaten/Kota, 17 orang akan menjadi anggota DPRD Provinsi, dan 5
orang yang lainnya akan dilantik sebagai anggota DPR RI. Sedangkan berdasarkan
status hukum, sebanyak 32 orang berstatus tersangka korupsi, 15 orang terdakwa
dan satu orang merupakan terpidana.53
Memasuki tahun 2019, partai Gerindra pun memasuki tahun ke sebelas
semenjak partai ini didirikan pada tahun 2008. Partai ini telah mengikuti pemilihan
legislatif sebanyak 2 masa pemilihan. Pada masa pemilihan legislatif tahun 2009,
partai Gerindra berhasil 26 kursi di parlemen. Hasil tersebut dicapai setelah
mendapatkan 4,46% suara dan menempati urutan ke 8 di antara partai lainnya.54 Di
masa pemilihan legislatif selanjutnya, partai Gerindra mengalami peningkatan yang
cukup pesat. Partai ini menempati urutan ke 3 dengan mendapatkan 11,81% suara.55
Hasil tersebut mengantarkan partai Gerindra mendapatkan 73 kursi DPR RI.
Peningkatan suara tersebut mengindikasikan peningkatan kepercayaan massa pada
partai Gerindra. Pun begitu, dalam hal pengusungan kader mantan koruptor, partai
Gerindra mempunyai beberapa catatan yang buruk. Penulis menemukan bahwa
setidaknya terdapat beberapa kader Gerindra yang diusung oleh partai ini walaupun
telah menyandang mantan narapidana korupsi di masa lalu. Mereka adalah M.
Taufik, John Ibo, dan Vonnie Anneke Panambunan.
53 Nusa Putra, Politik Kekuasaan dan Korupsi, hal. 13 54 Kompas, “Inilah Hasil Akhir Perolehan Suara Nasional Pemilu”, artikel ini diakses pada
30 Januari 2019, dari https://nasional.kompas.com/read/2009/05/09/22401496/inilah.hasil.
akhir.perolehan.suara.nasional.pemilu. 55 Kompas, “Disahkan KPU, Ini Perolehan Suara Legislatif 2014”, artikel ini diakses pada
30 Januari 2019, dari https://nasional.kompas.com /read/ 2014/ 05/ 09/ 2357075/
Disahkan.KPU.Ini.Perolehan.Suara.Pemilu.Legislatif.2014.
44
Kader Gerindra pertama yang maju melalui partai Gerindra menuju parlemen
adalah M. Taufik. Beliau terjerat kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga
Pemilu 2004 yang menuntun dirinya pada vonis 18 bulan penjara pada 27 April
2004.56 Setelah bebas dari penjara, mantan ketua KPUD DKI Jakarta ini bergabung
dengan partai Gerindra pada 2008. Mantan terpidana korupsi ini lalu menjadi wakil
ketua DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 melalui partai tersebut. Dalam
pemilihan legislatif 2019, partai Gerindra kembali mengusungkan dirinya di DPRD
DKI Jakarta. Partai yang diketuai Prabowo ini tetap mempertahankan M. Taufik
walaupun dia adalah mantan koruptor.57 Dari kasus M. Taufik, dapat nilai rekam
jejak partai Gerindra. M. Taufik masuk penjara pada 2004, maka dia telah
menyandang status mantan koruptor ketika bergabung dengan Gerindra dan maju
di Pileg 2014. Dua proses dari partai Gerindra terhitung telah meloloskan M. Taufik
yang telah menyandang label mantan koruptor, yaitu proses pengkaderan dan
penyalonan kader untuk maju di pemilihan legislatif. Hal ini mengindikasikan
bahwa partai Gerindra tidak mengindahkan nilai-nilai perjuangan partai Gerindra.
Kader kedua Gerindra yang diusung walaupun mempunyai predikat sebagai
mantan koruptor adalah John Ibo. Pada tanggal 9 Januari 2013 Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Papua John Ibo divonis satu tahun 10 bulan setelah didakwa
atas korupsi dana APBD tahun 2006/2007 sebesar Rp 5,2 milliar yang ia gunakan
56 Kompas, “Pernah dibui, Taufik tak Setuju Mantan Narapidana Korupsi Dilarang
Nyaleg”, artikel ini diakses pada 30 Januari 2019, dari https:// megapolitan.kompas.com/ read/
2018/ 05/ 24/ 10460441/pernah-dibui-taufik-tak-sejutu-mantan-napi-korupsi-dilarang-nyaleg. 57 Kompas, Coret Lima Bakal Calon Eks Koruptor, tetapi Pertahankan M. Taufik, Apa
Alasannya?”, artikel ini diakses pada 31 Januari 2019, dari https:// nasional.kompas.com/
read/2018/09/21/16230451/coret-5-bakal-caleg-eks-koruptor-tetapi-pertahankan-m-taufik-apa-
alasan.
45
untuk membangun tiga rumah pribadi yang seharusnya dana tersebut digunakan
untuk pembangunan rumah tinggal ketua DPR Papua.58
Hal di atas membuat John Ibo dipecat sebagai ketua DPRP namun begitu,
setelah bebas, John Ibo langsung mencalonkan diri menjadi calon legislatif lagi.
Walaupun telah didakwa sebagai koruptor, partai Gerindra tidak mencoret nama
John Ibo dari kader yang mereka usung sebagai calon legislatif. Hal tersebut
terbukti ketika John Ibo terpilih menjadi anggota legislatif DPR Papua dan dilantik
pada Oktober 2014.59
Setelah John Ibo ada nama Vonnie Anneke Panambuan. Nama tersebut adalah
bupati Minahasa Utara yang sudah menjabat dari 2016 lalu. Ini adalah kali kedua
bagi Vonnie Anneke Panambuan duduk di jabatan tersebut setelah pada tahun 2005
hingga 2008 dia menjabat di jabatan yang sama. Lalu, Vonnie Anneke Panambuan
maju dalam pileg 2014 melalui partai Gerindra dengan nomor urut 3 di daerah
pemilihan Sulawesi Utara. Vonnie masuk ke dalam 36 nama calon anggota DPR
yang maju di pemilihan legislatif 2014 yang dianggap tidak mempunyai komitmen
dalam memberantas korupsi versi ICW.60 Hal tersebut disebabkan karena dirinya
pernah terjerat kasus korupsi pada Mei 2008. Mantan Non Sulawesi Utara ini
58 Tempo, “Korupsi Ketua DPRD Provinsi Papua Divonis Satu Tahun 10 Bulan”, artikel
ini dikases pada 01 Februari 2019, dari https://nasional.tempo.co/read/453324/korupsi-ketua-dpr-
papua-divonis-1-tahun-10-bulan. 59 Papua Antar News, “Anggota DPRD Papua Dilantik”, artikel ini diakses pada 01
Februari 2019, dari, https://papua.antaranews.com/berita/448034/55-anggota-dpr-papua-dilantik. 60 Merdeka, “Daftar 36 Anggota DPR Tidak Komitmen Berantas Korupsi Versi ICW”,
artikel ini diakses pada 01 Februari 2019, dari https://www.merdeka.com/politik/daftar-36-anggota-
dpr-tak-komitmen-berantas-korupsi-versi-icw.html.
46
divonis 1,6 tahun penjara setelah didakwa berkolusi dengan PT Mahakam Diastar
Internasionaldan meraup kekayaan negara sejumlah Rp 4 miliar.61
Partai Gerindra mempunyai sikap yang sama dengan yang mereka lakukan
pada M. Taufik dan John Ibo, yaitu tetap mengusung kader tersebut walaupun dia
mempunyai rekam jejak korupsi di masa lalu. Kasus Vonnie Anneke Panambuan
mirip seperti kasus M. Taufik di mana sang mantan koruptor tersebut menjalani
proses pengaderan dan pengusungan kader dalam partai Gerindra setelah terlibat
kasus korupsi. Hal tersebut berarti bahwa partai Gerindra memang berniat untuk
mengusung kadernya walaupun kader tersebut adalah mantan narapidana korupsi.
61 Liputan 6 News, “Gerindra Juga Punya Eks Napi Kasus Korupsi Sebagai Caleg”, artikel
ini diakses pada 02 Februari, dari https://www.liputan6.com/news/read/570886/gerindra-juga-
punya-eks-napi-kasus-korupsi-sebagai-caleg.
47
BAB IV
PROSES DAN FAKTOR PENCALONAN ANGGOTA LEGISLATIF
MANTAN KORUPTOR DI PARTAI GERINDRA
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya (bab 3), partai Gerindra
merupakan partai yang mengikuti pemilu pertama kali pada tahun 2009. Sebagai
partai yang tergolong baru, partai Gerindra memiliki magnet elektoral yang relatif
baik bahkan dibandingkan partai politik lainnya yang sudah lebih awal mengikuti
pemilu, seperti partai Hanura. Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan partai Gerindra
yang tidak hanya berkontestasi dalam pemilu legislatif, tetapi juga dalam pemilu
presiden dengan menjadikan pendiri partainya, yaitu Prabowo Subianto sebagai
calon wakil presiden dari Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden pada
pemilu presiden 2009. Secara legal formal (anggaran dasar partai), rekrutmen
politik yang dilakukan oleh partai Gerindra menunjukkan adanya komitmen bagi
proses yang menekankan pada aspek akseptabilitas, kapasitas, kapabilitas, dan
integritas. Namun sejauh mana komitmen legal formal tersebut berkorelasi dengan
praktik rekrutmen yang dilakukan oleh partai Gerindra, maka bab ini secara lebih
detail menganalisis proses seleksi politik partai Gerindra yang diantaranya melalui
rekrutmen saat masuk partai dan seleksi pada saat ingin maju menjadi calon anggota
legislatif. Selain itu, pada bab ini penulis membahas faktor-faktor yang
melatarbelakangi partai Gerindra mencalonkan mantan narapidana korupsi di
pemilihan legislatif tahun 2019.
48
A. Proses Rekrutmen Keanggotaan Partai Gerindra
A.1. Proses Masuk Partai Gerindra
A.1.1. Proses Menjadi Anggota Partai Gerindra
Partai politik mempunyai kendali atas tanggung jawabnya untuk
mempersiapkan calon pemimpin masa depan yang mempunyai integritas yang
tinggi. Untuk dapat melakukan hal tersebut, di dalam lembaga partai politik niscaya
penting mengembangkan sistem rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi.62
Partai Gerindra sejatinya menampung setiap orang yang ingin masuk ke dunia
politik melalui partai Gerindra. Partai Gerindra mempunyai beberapa sayap partai
untuk memberikan wadah untuk orang-orang seperti itu. Untuk seseorang yang
berusia di bawah 35 tahun, Gerindra mempunyai Tunas Indonesia Raya (Tidar)
yang dapat mewadahinya dan Satuan Relawan Indonesia (Satria) untuk seseorang
yang berusia lebih dari 35 tahun. Namun, sayap-sayap partai itu tidak menjadi suatu
kewajiban untuk seseorang yang ingin menjadi anggota partai Gerindra.63 Adanya
Tidar dan Satria ini ditujukan untuk mengadakan pendidikan formal dan sebagai
wadah pendidikan informal. Adanya pendidikan politik yang bersifat formal
maupun informal ini bertujuan untuk mengembangkan jiwa dan karakter pemimpin
yang baik karena pemimpin tidak lahir dengan sendirinya, tetapi membutuhkan
proses.64
62 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di
Era Demokrasi, hal. 66. 63 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019 64 Jainuri, “Orang Kuat Partai di Aras Lokal: Blater Versus Lora dalam Pencaturan Politik”,
diakses pada 21 Oktober 2018 dari http://pemerintahan.umm.ac.id, hal. 9.
49
Seseorang yang berdomisili di Jakarta, untuk menjadi anggota partai
Gerindra, bisa mengunjungi langsung DPP Gerindra untuk membuat KTA partai
Gerindra, proses pembuatan KTA hanya memerlukan KTP, jika yang bersangkutan
berdomisili di luar Jakarta, agar datang ke kantor DPD atau DPC partai Gerindra
terdekat. Calon anggota mengisi lembar formulir yang tersedia pada setiap DPC
daerah masing-masing atau lalu mereka akan diberikan KTA yang berarti calon
kader sudah merupakan anggota dari partai Gerindra. Anggota tersebut memiliki
kriteria yang dimaksud oleh Partai Gerindra sesuai dengan UU No.40 Tahun 2009
tentang kepemudaan dijelaskan bahwa pemuda adalah warga Negara Indonesia
yang mulai berusia 17 tahun sampai 35 tahun.
Dalam halaman resmi partai Gerindra, ada beberapa persyaratan keanggotaan
partai Gerindra. Pertama, Syarat umum menjadi anggota partai Gerindra adalah:
(1) Warga Negara Indonesia, (2) Berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah, (3)
Mampu melaksanakan AD/ART dan peraturan partai lainnya, (4) Mampu
menyatakan diri menjadi anggota. Kedua, Kewajiban anggota partai Gerindra
adalah: Setiap anggota harus melaksanakan aturan dan mengikuti semua AD/ART,
patuh dan melakukan keputusan kongres serta ketentuan partai lainnya,
memperjuangkan kebijakan partai, membela kepentingan partai dari setiap usaha
dan juga tindakan yang merugikan partai, hadir dalam kegiatan partai, ikut serta
dalam melakukan program perjuangan partai, membayar iuran anggota. Ketiga,
Hak anggota partai Gerindra adalah: Setiap anggota mempunyai hak yaitu
memperoleh perlakuan yang sama, mengungkapkan argumen (lisan dan tertulis),
50
memilih dan dipilih, mendapatkan perlindungan, mendapatkan kesempatan
mengembangkan diri.65
A.1.2. Proses Menjadi Kader Partai Gerindra
Dengan adanya sistem rekrutmen akan diseleksi pantas tidaknya antara
karakteristik kandidat dengan nilai dan ideologi partai politiknya. Selain proses
rekrutmen, perlu juga membangun sistem pendidikan dan kaderisasi anggota atau
kader partai tersebut. Proses kaderisasi ini harus serius dilakukan karena perlu
adanya sharing mengenai pengetahuan politik, selain itu adanya sharing mengenai
keterampilan dan keahlian berpolitik, bukan saja perihal visi, misi, strategi partai,
melainkan hal yang berhubungan dengan persoalan bernegara.66
Apabila seseorang ingin menjadi anggota, dia hanya perlu mengunjungi
kantor partai setempat, memenuhi persyaratan, dan mengisi formulir yang ada.
Namun, untuk menjadi kader dari partai Gerindra, seseorang harus menjalani proses
yang ada. Seorang anggota bila ingin menjadi kader partai Gerindra harus
mengikuti pendidikan terlebih dahulu yang setiap tahunnya diadakan tiga kali di
kediaman Prabowo, yaitu di Hambalang.Sebelum dapat mengikuti pendidikan di
Hambalang, anggota partai diharapkan untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan partai.
Memang hal ini tidak bersifat wajib yang berarti anggota yang tidak begitu aktif
pun dapat mengikuti pendidikan di Hambalang. Hal tersebut diperbolehkan dengan
syarat setelah mengikuti pendidikan dan menjadi kader, kader tersebut harus aktif
65 Pendaftaran Anggota Partai Gerindra, artikel ini diakses pada 09 April 2019 dari
http://partaigerindra.or.id/pendaftaran-anggota-partai-gerindra-secara-online. 66 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di
Era Demokrasi, hal. 66.
51
dalam setiap kegiatan partai.67 Adapun hal lain yang menjadi kriteria untuk
mengikuti pendidikan partai Gerindra, yaitu bersedia mengikuti aturan-aturan yang
berlaku di partai Gerindra dan mengabdikan diri ke partai Gerindra seperti masuk
ke struktur partai.
Dalam pendidikan partai ini, partai Gerindra mempunyai tiga tingkatan, yaitu
pratama, madya, dan utama. Untuk anggota yang ingin menjadi kader, pendidikan
yang harus ditempuhnya adalah pendidikan pratama. Pendidikan yang diadakan di
Hambalang ini ada setidaknya ada dua materi yang harus diikuti oleh calon kader.
Ideologi keindonesiaan adalah materi wajib yang pertama yang harus dipelajari
oleh calon kader. Selain itu, calon kader juga akan diberikan materi tentang ideologi
kegerindraan. Hal ini meliputi keorganisasian partai Gerindra, visi dan misi partai,
termasuk pendalaman kemampuan bakat calon kader.68
A.2. Proses Pencalonan Anggota Legislatif Partai Gerindra
A.2.1. Persyaratan Umum KPU
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pemilu 2019 adalah
sebagai berikut:69
Pasal 7
67 Wawancara dengan Bapak Zaid Elhabib, Anggota DPRD Provinsi Banten dan Wakil
Ketua DPD partai Gerindra Provinsi Banten, Tangerang Selatan 13 Maret 2019. 68 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019 69 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pemilu 2019, diakses pada 23
April 2019 pada https://kpu.go.id/koleksigambar/PKPU_20_THN_2018.
52
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a. Sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih terhitung sejak
penetapan DCT.
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Bertempat tinggal di wilayah Indonesia.
d. Dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia.
e. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah
aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau
sekolah lain yang sederajat.
f. Setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
g. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.
h. Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap
anak, atau korupsi.
i. Sehat jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif.
j. Terdaftar sebagai pemilih.
k. Bersedia bekerja penuh waktu.
l. Mengundurkan diri sebagai: (1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil
bupati, wali kota atau wakil wali kota. (2) Kepala desa. (3) Perangkat
53
desa yang mencakup unsur staf yang membantu Kepala Desa dalam
penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam Sekretariat
Desa, dan unsur pendukung tugas Kepala Desa dalam pelaksanaan
kebijakan yang diwadahi dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur
kewilayahan. (4) ASN. (5) Anggota TNI dan POLRI. (6) Direksi,
komisaris, dewan pengawas dan/atau karyawan BUMN, BUMD atau
badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
m. Mengundurkan diri sebagai Penyelenggara Pemilu, Panitia Pemilu, atau
Panitia Pengawas
n. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris,
pejabat pembuat akta tanah, atau tidak melakukan pekerjaan penyedia
barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
o. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
direksi, komisaris, dewan pengawas dan/atau karyawan pada Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik
Desa, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara;
p. Menjadi anggota partai politik.
q. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan
54
r. Dicalonkan hanya oleh 1 (satu) partai politik
s. Dicalonkan hanya di 1 (satu) Dapil; dan
t. Mengundurkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD
Kabupaten/Kota bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD
Kabupaten/Kota yang dicalonkan oleh Partai Politik yang berbeda
dengan Partai Politik yang diwakili pada Pemilu Terakhir.
Persyaratan menjadi calon legislatif bagian huruf h sempat menjadi polemik
dikarenakan banyak penolakan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan, yakni tentu
saja para calon anggota legistaltif mantan narapidana korupsi, salah satunya adalah
Muhammad Taufik yang merupakan kader dari partai Gerindra yang saat ini
mempunyai jabatan sebagai ketua DPD Gerindra DKI Jakarta. Beliau atas nama
pribadi yang sekaligus dari partai Gerindra melakukan berbagai cara agar dia tetap
bisa mencalonkan diri menjadi calon legislatif, dari mulai melaporkan ke Bawaslu
DKI, DKPP dan Polri sampai menggugat ke Mahkamah Agung. Akhirnya setelah
proses panjang, beliau dan mantan narapidana lainnya berhak maju di legislatif.70
A.2.2. Persyaratan Partai Gerindra
Jika KPU mempunyai persyaratan yang berdasarkan atas PKPU nomor 20
tahun 2018, partai Gerindra menyaratkan setiap orang yang ingin maju ke
pemilihan legislatif harus setia kepada pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945,
dan cita-cita proklamasi Agustus 1945. Setelah itu, bakal calon legislatif juga harus
terlebih dahulu menjadi kader partai Gerindra yang dibuktikan dengan mempunyai
70 Megapolitan Kompas, “Berbagai Upaya M. Taufik Lawan PKPU untuk Bisa Jadi Caleg
Lagi”, artikel ini diakses pada 09 April 2018, dari https://megapolitan.kompas.com/
read/2018/09/17/07180151/berbagai-upaya-m-taufik-lawan-pkpu-untuk-bisa-jadi-caleg-lagi.
55
kartu tanda anggota dan mengikuti diklat yang diselenggarakan di Hambalang.
Apabila pelaksanaan diklat tidak memungkinkan, mereka tidak harus mengikuti
diklat sebelum mencalonkan diri ke pemilihan legislatif, namun dapat mengikuti
diklat yang diselenggarakan setelah pemilihan legislatif apapun hasil dari pemilihan
legislatif itu.
Setelah mempunyai kartu tanda anggota, hal yang harus dilakukan adalah
mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan oleh badan seleksi calon
anggota legislatif partai Gerindra di setiap tingkat tempat pendaftaran, yaitu di
kantor DPP, DPD, dan DPC setempat. Pengisian fomulir ini dibarengi juga dengan
penyerahan curriculum vitae (CV), salinan ijazah dan KTP, dan pas foto berukuran
4x6 sebanyak tiga lembar. Setelah semua berkas telah dipenuhi, individu yang ingin
maju di pemilihan legislatif melalui partai Gerindra harus terlebih dahulu mengikuti
pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh partai Gerindra sendiri.71
Untuk bakal calon legislatif non kader yang ingin mengikuti kontestasi
pemilihan legislatif melalui partai Gerindra tidak diwajibkan untuk mengikuti diklat
yang diadakan di Hambalang jika memang mendesak, namun tetap harus
mempunyai KTA.Non kader tersebut diharuskan untuk mengikuti diklat setelah
berakhirnya pemilihan legislatif.72
A.2.3. Kriteria Calon Legislatif Partai Gerindra
Dalam mengikuti kontestasi pemilu legislatif ini, partai Gerindra tentu
mempunyai kriteria yang mereka pegang untuk menyaring siapa saja kader dari
71 Pendaftaran Calon Legisatif Partai Gerindra, artikle ini diakses pada 09 April 2019, dari
http://partaigerindra.or.id/pendaftaran-caleg-partai-gerindra 72 Wawancara dengan Bapak Yudi Budi Wibowo, Sekertaris Jendral DPC partai Gerindra
Tangerang Selatan, Tangerang 16 Maret 2019.
56
partai nasionalis-agamis ini yang berhak mewakili partai Gerindra. Proses
penentuan calon legislatif ini dimulai dari DPC, DPD, dan DPP yang membuka
pendaftaran untuk menjadi calon legislatif. Pada bakal calon legislatif ini harus
mendaftarkan diri mereka sesuai dengan tingkat yang ingin mereka ikuti,
pendaftaran untuk DPRD kota/kabupaten ke DPC, DPRD, provinsi ke DPD, dan
DPR RI ke DPP. Untuk pendaftaran DPRD kota/kabupaten dan provinsi, pendaftar
harus mendaftar sesuai dengan daerah pemilihan yang ingin mereka ikuti.
Menurut Yudi Budi Wibowo, DPC mempunyai fungsi penyaringan dengan
menggunakan wawancara sebagai instrumennya. Untuk nama-nama yang pada
akhirnya disetujui oleh DPC, DPC akan mengirimkan nama-nama tersebut ke DPD
setempat. Nama-nama yang dikirim oleh DPC ini mempunyai rekomendasi
tersendiri dari struktur DPC, namun rekomendasi juga dapat diberikan oleh
oraganisasi-organisasi sayap partai sebagai tambahan.73 Helvi menjelaskan bahwa
DPD dengan tim seleksinya mempunyai fungsi sendiri, yaitu melakukan
pengolahan dan verifikasi terhadap nama-nama yang dikirimkan oleh DPC. Ketika
tim seleksi DPD menemukan hal-hal yang tidak sesuai, maka mereka akan
memberikan catatan terhadap nama tersebut sebelum diserahkan kepada DPP.
Setelah itu DPP partai Gerindra akan menyaring dengan melihat rekomendasi dan
catatan yang telah dikerjakan oleh DPC dan DPD.74 Nama-nama yang terjaring oleh
DPP akan ditetapkan dengan diturunkannya SK dari partai Gerindra dan lalu
73 Wawancara dengan Bapak Yudi Budi Wibowo, Sekertaris Jendral DPC partai Gerindra
Tangerang Selatan, Tangerang 16 Maret 2019. 74 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019.
57
didaftarkan ke KPU.75 Khusus untuk bakal calon DPR RI, pemberkasan diurus oleh
panitia penyeleksi nasional yang nantinya diajukan dan diputuskan oleh Prabowo
selaku ketua umum partai Gerindra.76 Hal ini menunjukan bahwa partai Gerindra
masih terjerat dalam kekuasaan elit partai dalam hal pengambilan keputusan
strategis. Kecenderungan ini menunjukan pengambilan keputusan partai masih
bersifat tertutup dan hanya ditentukan oleh sekelompok elit partai. Masalah
prosedur internal dalam pembuatan keputusan masih ditandai dengan pemusatan
dalam pengambilan keputusan.77
Setiap tingkat partai Gerindra mempunyai kriteria yang berbeda-beda untuk
para bakal calon legislatif. Di tingkat cabang misalnya, calon legislatif yang ingin
maju lewat partai Gerindra haruslah aktif dalam kegiatan partai. Kader ataupun
non-kader yang ingin maju di pemilihan legislatif ini harus memberikan “amal
jariyah” terhadap partai Gerindra.78 Para kader Gerindra haruslah mengharumkan
nama baik partai terlebih dahulu, contohnya bisa dengan prestasi mereka ataupun
peran mereka di masyarakat.
Untuk di tingkat DPD, Desmond Mahesa mengungkapkan bahwa DPD lebih
memprioritaskan kader partai Gerindra dibanding non kader yang ingin maju lewat
partai Gerindra. Namun beliau juga mengatakan bahwa ingin partai Gerindra
75 Wawancara dengan Bapak Yudi Budi Wibowo, Sekertaris Jendral DPC partai Gerindra
Tangerang Selatan, Tangerang 16 Maret 2019. 76 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019. 77 Lili Romli, “Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”, artikel
ini diakses pada 24 April 2019, dari ejournal.lipi.go.id/index.php/jppol/article/download/494/303,
hal. 25-26. 78 Amal Jariyah yang dimaksud adalah bentuk pengabdian para anggota atau kader partai
Gerindra selama setahun sebelum dimajukan sebagai calon anggota legislatif serta aktif dalam
kegiatan partai.
58
menjadi pemenang di pemilihan legislatif.79 Ia juga menambahkan bahwa kader
maupun non kader itu dilihat dari usahanya mengharumkan nama baik partai. Partai
kebanyakan lebih memperjuangkan kepentingan partainya, selain itu, berbagai
peranan seperti fungsi rekrutmen yang baik yang seharusnya dilakukan partai
politik menjadi terbengkalai. Sementara tentang memperjuangkan kepentingan
rakyat, partai politik dalam kapasitasnya sebagai lembaga ataupun melalui
anggotanya belum menunjukan performance yang memuaskan.80
Pada tingkat tertinggi, yaitu DPP, partai Gerindra mempunyai beberapa
kriteria dalam menentukan siapa yang berhak untuk mewakili partai Gerindra. Hal
ini dijelaskan oleh Helvi yang sekarang sedang menjabat sebagai wakil sekertaris
jendral DPP partai Gerindra. Menurut beliau setidaknya ada tiga kriteria mutlak
yang menjadi bahan pertimbangan. Kriteria pertama adalah ketokohan. Hal ini
menyangkut tentang popularitas dan elektabilitas tokoh tersebut. Setelah itu,
keluasan jaringan yang dimiliki tokoh tersebut dan kemampuan finansial atau dana
menjadi kriteria kedua dan ketiga yang disebut oleh beliau. Beliau menambahkan
bahwa kemampuan finansial menjadi kriteria bertujuan untuk mencegah praktik
korupsi ketika sudah terpilih menjadi anggota DPR dalam rangka mengembalikan
dana yang sudah dikeluarkan di masa kampanye. Mahalnya biaya pemilu ini lah
yang menyebabkan partai-partai menyaratkan kesiapan dana untuk kader-kadernya
yang ingin maju di pemilihan legislatif. Sebenarnya hal tersebut dapat dicegah
79 Wawancara dengan Bapak Desmond J. Mahesa, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra dan
Ketua DPD partai Gerindra Provinsi Banten, Serang 27 Februari 2019. 80 Lili Romli, “Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”, artikel
ini diakses pada 24 April 2019, dari ejournal.lipi.go.id/index.php/jppol/article/download/494/303,
hal. 25-26.
59
dengan menyiapkan kader yang merintis dari awal untuk memperoleh dukungan
dari rakyat.
Hal ini sebenarnya sudah difasilitasi oleh Undang-Undang RI nomor 2 tahun
2011 tentang perubahan atas UU no. 2 tahun 2008 tentang partai politik, pasal 29
bagian 2.81 Dengan ketentuan ini, masyarakat tinggal mendorong dan melakukan
kontrol terhadap partai politik agar partai politik semakin jeli dalam penyaringan
daftar calon wakilnya. Kontrol yang cermat dari rakyat dipadukan dengan kejelian
partai dalam pemilahan akan mengantarkan perubahan yang signifikan dalam
keanggotaan partai itu sendiri. Perubahan tersebut berupa profesionalisme
rekrutmen yang tidak mentolerir faktor kedekatan personal, kekuatan dana, dan
juga tidak memberikan ruang bagi calon “titipan” dari atasan. Dengan cara tersebut,
sangat memungkinkan terciptanya hubungan baik antara partai politik dengan
masyarakat. Dengan rekrutmen internal partai yang demokratis pula, akan
terciptanya kompetisi yang sehat bagi antar calon untuk memperoleh dukungan dari
rakyat.82 Selain tiga kriteria itu, Bapak Helvi juga mengatakan bahwa surat
rekomendasi dari DPC dan DPD juga ikut membantu dalam penentuan calon
legislatif ini.83
81 Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi
kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 82 Muhtar Haboddin, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Malang: UB Press, 2016),
hal. 31. 83 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019.
60
B. Faktor yang Melatarbelakangi Partai Gerindra dalam Mencalonkan
Mantan Narapidana Kasus Korupsi
B.1. Pertimbangan dalam Proses Pengkaderan
Partai Gerindra yang berlabel partai nasionalis agamis tentu mempunyai
tujuan untuk dapat mencetak kader-kader yang taat hukum sebagai bentuk ketaatan
terhadap negara dan nilai-nilai agama. Salah satu bentuk kepatuhan terhadap hukum
adalah tidak melakukan praktik korupsi. Untuk menghindari terjadinya praktik
korupsi, dibutuhkan ketegasan dalam menegakkan hukum setidaknya yang berlaku
di internal partai Gerindra, dalam hal ini berarti manifesto partai. Manifesto partai
Gerindra pasal 33 yang berbunyi “pengelolaan sumber daya alam untuk digunakan
sebenar-benarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia” sangat
bertentangan dengan praktik korupsi.84 Desmond mengatakan siapa pun yang
melakukan pelanggaran terhadap korupsi, maka akan langsung diberhentikan oleh
partai. Terlebih lagi apabila ada kader yang tertangkap tangan melakukan kegiatan
korupsi, maka partai akan langsung memecatnya tanpa menunggu proses hukum.85
Singkatnya, tidak ada ampun untuk kader yang korupsi sekali pun dia adalah
anggota dewan.86
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa syarat untuk menjadi kader
Gerindra salah satunya adalah mematuhi AD/ART, dan ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati bersama. Partai Gerindra tidak melarang seseorang yang pernah
84 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019. 85 Wawancara dengan Bapak Desmond J. Mahesa, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra dan
Ketua DPD partai Gerindra Provinsi Banten, Serang 27 Februari 2019. 86 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019
61
menjadi koruptor untuk menjadi kader partai Gerindra. Beberapa calon legislatif
yang masuk partai Gerindra ini dulunya terlibat kasus korupsi, jadi mereka korupsi
bukan pada saat menjadi kader Gerindra, tetapi sebelum masuk partai Gerindra.
Selain M. Taufik, ada beberapa caleg lainnya, yakni, Pertama, Herry Jones Kereh,
beliau terjerat kasus korupsi yakni dengan menerima gaji dari Unsrat sepanjang
April 2004 hingga Juli 2008 meski ia telah berhenti sebagai dosen sejak 2004.
Kedua, Al-Hajar Syahyan, mantan Ketua DPRD Tanggamus ini terjerat kasus
korupsi penyalahgunaan uang makan dan minum DPRD pada tahun 2010 lalu, pada
saat itu berpartai PDIP. Ketiga, Ferizal, terjerat kasus korupsi saat menjabat Plt
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung Timur. Keempat,
Mirhamuddin yang merupakan Kepala Desa Mentawak, Kecamatan Kelapa
Kampit, Belitung Timur. Ia terjerat korupsi pembukaan lahan hortikultura di Kelapa
Kampit. 87
Menurut Gerindra, orang itu boleh saja menjadi kader Gerindra dengan syarat
mematuhi kententuan yang ada, salah satunya adalah manifesto partai yang
mengharamkan korupsi. Bahwa jika seseorang itu telah memperbaiki diri dan tidak
terindikasi akan mengulangi dosa lamanya maka dia berhak bergabung dengan
partai Gerindra.88 Hal tersebut mengindikasikan proses rekrutmen dan sistem
kaderisasi partai Gerindra tidak berjalan sebagaimana mestinya yang berarti dalam
proses pengambilan keputusan internal partai, mereka tidak menyaring siapa saja
87 Kumparan.com, “Jumlah Korupsi Caleg Gerindra yang enurut Prabowo Tak Seberapa”,
artikel ini diakses pada 05 Juli 2019, dari https://kumparan.com/@kumparannews/jumlah-korupsi-
caleg-gerindra-yang-menurut-prabowo-tak-seberapa-1547802235043864873. 88 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019.
62
yang akan masuk kedalam partai Gerindra. Mantan koruptor yang ingin menjadi
kader partai Gerindra hanya diharuskan mempunyai tekad untuk berubah menjadi
individu yang terbebas dari praktik korupsi. Padahal setiap partai membutuhkan
anggota yang mempunyai kemampuan yang kompeten, karena hanya dengan kader
yang demikian tersebut, Gerindra akan menjadi partai yang memiliki peluang besar
untuk mengembangkan diri.
B.2. Pertimbangan dalam Proses Pencalonan
Seperti yang peneliti sebutkan pada latar belakang, disusunya penelitian ini
adalah dikeluarkannya PKPU pasal 7 nomor 1 huruf h yang salah satu isinya
melarang mantan narapidana untuk mencalonkan diri di pemilihan legislatif.
Anggota badan komunikasi DPP partai Gerindra, Andre Rosiade berdalih bahwa
DPP partai Gerindra selaku yang menentukan siapa saja yang berhak menjadi calon
legislatif partai Gerindra tidak dapat mendeteksi semua calon legislatif yang
mendaftar.89 Lalu, adapun Desmond yang menganggap peraturan yang dirilis KPU
tidak jelas dasar hukumnya karena berbenturan dengan UU Pasal 240 ayat (1) huruf
g UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang melarang mantan narapidana yang
dikenai hukuman penjara lima tahun atau lebih untuk maju di kontestasi pemilihan
legislatif ini. Desmond menilai KPU mengeluarkan PKPU ini karena tuntutan
popularitas dalam artian KPU ingin menarik perhatian publik karena KPU adalah
lembaga yang pastinya mendapat sorotan ketika pemilihan akan berlangsung.90
89 Kompas.com, ”Punya Bacaleg Eks Koruptor Terbanyak Gerindra Akui Tak Bisa
Deteksi”, artikel ini diakses pada 09 April 2019 dari https://nasional.kompas.com/ read/ 2018/07/27/
18010221/punya-bacaleg-eks-koruptor-terbanyak-gerindra-akui-tak-bisa-deteksi 90 Wawancara dengan Bapak Desmond J. Mahesa, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra dan
Ketua DPD partai Gerindra Provinsi Banten, Serang 27 Februari 2019.
63
Partai Gerindra sebagai partai nasionalis-agamis ternyata menjadi salah satu
partai yang cukup banyak mengusung mantan koruptor. Partai Gerindra sendiri
mempunyai pertimbangan-pertimbangan dalam mencalonkan nama-nama yang
pernah terjerat kasus korupsi ini. Partai Gerindra mempunyai pertimbangan untuk
tiap-tiap calonnya, karena mereka korupsi bukan pada saat jadi kader Gerindra,
sementara setelah dia bergabung dengan Gerindra, dia tidak pernah melakukan
praktik itu. Menurut Desmond, ketika seseorang telah dihukum atas perbuatannya
di masa lalu, maka nama orang tersebut sudah dipulihkan dan tidak boleh dihukum
selamanya. Desmond juga menambahkan bahwa M. Taufik misalnya, sudah terpilih
ketika pemilihan legislatif 2014 tanpa ada penolakan karena hukum yang berlaku
tidak melarang dia untuk mencalonkan diri. Dalam hal ini, menurut Desmond, KPU
ini hanya “mengada-ngada” dalam membuat peraturan karena tidak berdasar dan
berbenturan dengan UU lain.91
Satu pandangan dengan Desmond, Yudi Budi Wibobo berpendapat bahwa
PKPU yang dirilis oleh KPU terdapat ketidaksesuaian dengan UU. Beliau
berpendapat bahwa selama hak politik seseorang tidak dicabut, maka orang tersebut
berhak untuk memilih dan dipilih. “Bahkan presiden pun sempat berstatement kan
bahwa itu tidak masalah” tambahnya. Yudi Budi Wibobo mempunyai
menyampaikan bahwa partai Gerindra tetap berkomitmen untuk memberantas
korupsi. Karena itu lah ketika PKPU dirilis, partai Gerindra tidak menggugat KPU
dan menghargai keputusan tersebut.92
91 Wawancara dengan Bapak Desmond J. Mahesa, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra dan
Ketua DPD partai Gerindra Provinsi Banten, Serang 27 Februari 2019. 92 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019.
64
Untuk dampak citra partai sendiri, Ahmad Muzani mengungkapkan
kemungkinan memang citra partai akan tergores, namun itu bukan salah satu
komponen utama. Pendapat Muzani, komponen utamanya adalah siapa tersangka
yang paling banyak. Menurutnya, membuktikan partai bersih itu berproses. Karena
itu yang dilakukan Gerindra, harus terus berusaha, tidak boleh berhenti jadikan
dirinya partai bersih, tapi tidak merasa paling bersih. Dan mereka-mereka ini
dianggap orang-orang yang memiliki pengetahuan pemetaan di daerahnya. Dalam
proses pencalonan para mantan napi korupsi itu sendiri, Muzani menjelaskan
Gerindra menggunakan asas praduga tak bersalah selama proses seleksi.93 Selain
itu, selama hak politik tidak dicabut secara hukum, maka kata Muzani, caleg eks
koruptor masih memiliki kesempatan dipilih. Berlandaskan itu, partai tidak
membeda-bedakan antara yang bekas koruptor atau tidak.94
Hal ini memperkuat pendapat Desmond yang mengatakan bahwa partai
Gerindra ini juga ingin menjadi pemenang dalam pemilu ini. Jadi tidak menjadi
sesuatu yang mengagetkan ketika partai Gerindra tetap mengusung mantan
narapidana korupsi sebagai calon legislatif dibanding kader-kadernya yang bersih
karena mereka mempunyai oportunisme yang tinggi. Di sinilah telah hilang arah
dan tujuan suatu partai karena partai lebih mengedepankan pragmatism partai.
Partai politik yang seharusnya merupakan instrumen mengantarkan cita-cita dari
masyarakat, malah menjadi sarana menggapai kekuasaan. Individu kuat di dalam
93 IDN Times “6 Caleg Mantan Napi Korupsi dari Gerindra, Ini Kata Sekjen Gerindra”
artikel ini diakses pada 30 Juni 2019 dari https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/6-
caleg-mantan-napi-korupsi-dari-gerindra-ini-kata-sekjen-gerindra/full. 94 CNN Indonesia, “Gerindra Akui Caleg Eks Koruptor Sedikit Gores Nama Partai”, artikel
ini diakses pada 30 Juni 2019 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190131231913-32-
365574/gerindra-akui-caleg-eks-koruptor-sedikit-gores-citra-partai.
65
partai dapat mempengaruhi dan memastikan sumber-sumber kekuasaan tersalurkan
disebabkan oleh kualitas individu yang cakap walaupun hanya sekadar pengurus
harian partai dibanding anggota lain dalam partai yang mempunyai kedudukan
tinggi di partai.95
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, partai Gerindra ingin menjadi
pemenang di pemilihan legislatif ini. Landasan pikiran seperti itu lah yang membuat
partai Gerindra membuka rekrutmen seluas-luasnya sehingga para mantan
narapidana korupsi ini tidak tersaring dan leluasa masuk partai Gerindra.96 Lalu,
dalam proses pencalonan anggota legislatif, M. Taufik adalah calon anggota
legislatif yang mempunyai keuntungan dari segi administratif. Beliau adalah calon
anggota legislatif provinsi DKI Jakarta. Hal ini membuat M. Taufik lebih mudah
dalam melewati proses di DPD DKI Jakarta karena DPD tempat beliau mendaftar
diketuai oleh dirinya sendiri. Beliau dapat memberi rekomendasi penuh untuk
dirinya sendiri agar dapat lebih dipertimbangkan lebih oleh DPP.
Menurut peneliti Perludem, Wasisto, caleg mantan narapidana narapidana
korupsi ini mempunyai posisi tinggi di partai di setiap tingkatannya.97 Pernyataan
tersebut bertentangan dengan pernyataan wakil sekertaris jendral parta Gerindra,
Helvi, yang mengatakan bahwa mereka, yakni partai Gerindra hanya berpegang
95 Jainuri, “Orang Kuat Partai di Aras Lokal: Blater Versus Lora dalam Pencaturan Politik”,
diakses pada 21 Oktober 2018 dari http://pemerintahan.umm.ac.id, hal. 9. 96 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019. 97 Wasisto Raharjo Jati dalam CNN Indonesia, “Caleg Eks Koruptor Dipilih Karena
Unggul Materi”, diakses pada 05 Juli 2019, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/
20180723055204-32-316155/caleg-eks-koruptor-dipilih-karena-unggul-materi
66
pada tiga kriteria, yakni, ketokohan, jaringan yang luas, dan kesiapan dana. Adapun
keuntungan yang didapat oleh caleg seperti M. Taufik, yang mempunyai jabatan
sebagai ketua DPD partai Gerindra DKI Jakarta sekaligus berstatus sebagai
incumbent, yaitu berarti beliau sudah mempunyai bekal setidaknya ketokohan yang
didapat pada kampanye periode sebelumnya dan jaringan yang luas yang
didapatkan dari jabatannya tersebut. Selain itu, caleg lainnya, yakni, Al-Hajar
Syahyan, dulunya mempunyai jabatan sebagai ketua DPRD Tanggamus, yang mana
beliau sudah dikenal masyarakat di daerahnya maupun di kalangan DPRD
wilayahnya.
Hal tersebut mereka pun sudah memahami pola politik praktis dibandingkan
pemula. Sehingga, partai tidak bisa sembarangan mencoret nama-nama yang
bersangkutan. Partai tidak mempunyai mekanisme dalam melakukan penyaringan
kader. Penyaringan artinya harusnya partai punya mekanisme sebelum mengajukan
calon, semua persyaratan atau pengaturan yang tidak terpenuhi oleh calegnya.
Selain itu, keputusan final hanya terpusat di jajaran petinggi saja, yang mana berarti
elit-elit partai ini lah yang meloloskan mereka dengan tidak mengindahkan nilai-
nilai idealisme. Hal tersebut berkaitan dengan teori elit bahwa, kelompok elit inilah
yang mempunyai kontrol dalam hal pembuatan dan pelaksanaa keputusan politik.
Sumber daya yang dimiliki oleh segelintir elit di dalam partai politik ini
memberikan dampak terhadap pemfokusan kekuasaan.
C. Analisis Antara Idealisme dengan Pragmatisme Partai
Di tengah sistem kontestasi yang biasanya mengarah kepada kepentingan
sendiri, maka peran partai politik rnenjadi semakin menurun, dan kekuatan individu
67
para kandidat rnenjadi salah satu penentu kesuksesan dalarn perebutan jabatan-
jabatan politik. Demikian juga, partai politik yang harusnya bisa menyiapkan kader-
kader terbaik untuk mengisi jabatan-jabatan publik ternyata sebagian besar diisi
oleh orang-orang yang hanya memiliki modal kekuasaan dan latar belakang yang
kurang baik. Partai Gerindra pun mempunyai kebijakan yang serupa. Partai
Gerindra tetap mengusung kader-kadernya yang mana adalah mantan narapidana
korupsi dengan dalih tidak menyalahi hukum yang berlaku.98 Partai Gerindra justru
mengatakan bahwa mereka akan menutupi hak seseorang bila melarang kader-
kadernya yang mantan koruptor ini maju di pileg.99 Oleh karena itu, bukan hal yang
aneh bila sumber daya manusia di dalam kelembagaan partai bisa dibilang rendah
kualitasnya karena meritokrasi ataupun sistem career pathing tidak berjalan baik.100
Partai Gerindra sendiri sebenarnya mempunyai idealisme partai yang sangat
bagus. Hal ini terdapat pada AD/ART partai Gerindra Bab IV pasal 12 tentang
“Fungsi” poin 8 yang berisi, menyiapkan kader-kader pemimpin politik bangsa
dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, kapabilitas, integritas dan
akseptabilitas dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.101 Jelas tertulis dalam AD/ART tersebut bahwa salah satu tugas partai
Gerindra adalah menyiapkan kader yang berintegritas dan dapat diterima oleh
98 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia”,
(Jurnal Analisi eSIS, Volume 40, Nomor 02, http://www.academia.edu/download/36869050/
harjanto-politik-kekerabatan.pdf), hal. 141. 99 Wawancara dengan Bapak Desmond J. Mahesa, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra dan
Ketua DPD partai Gerindra Provinsi Banten, Serang 27 Februari 2019. 100 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia”,
(Jurnal Analisi eSIS, Volume 40, Nomor 02, http://www.academia.edu/download/36869050/
harjanto-politik-kekerabatan.pdf), hal. 141. 101 Dalam AD/ART Partai Gerindra Pasal 12 Bab IV tentang ”Fungsi”, diakses pada 18 mei
2019 dari partaigerindra.or.id.
68
masyarakat. Langkah partai Gerindra mengusung kader-kadernya yang mantan
narapidana korupsi jelas berlawanan dengan fungsi partainya yang tercantum pada
AD/ART karena korupsi menciderai integritas individu dan partainya dan membuat
dirinya sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat.
Selain hal tersebut, idealisme partai tentang jati diri partai Gerindra yang
tercantum pada AD/ART partai Gerindra Bab XV Pasal 60 tentang “Jati Diri Partai”
yang menyuarakan bahwa kader partai Gerindra adalah Ksatria yang membela
kebenaran, kejujuran dan keadilan. Dalam hidup dan perilaku kami sehari-hari,
kami akan selalu bertindak dengan sopan, disiplin dan rendah hati. Kami pantang
berbuat curang, pantang mencuri dan pantang berbuat korupsi terhadap uang Partai,
uang rakyat ataupun uang Negara.102 AD/ART ini menunjukan sebenarnya, salah
satu jati diri partai adalah anti terhadap nilai-nilai korupsi. Ketika melakukan
perekrutan dan pengaderan, seharusnya 6 orang mantan narapidana korupsi ini
sangat dipertimbangkan karena tidak sesuai dengan jati diri partai Gerindra yang
anti terhadap korupsi sementara orang-orang tersebut adalah mantan koruptor.
Namun partai Gerindra tetap menjadikannya kader partai Gerindra, bahkan
mencalonkannya menjadi calon anggota legislatif dan bahkan pula ada yang sampai
dua periode. Hal ini menunjukan bahwa pragmatisme partai Gerindra telah
menghilangkan idealisme partai Gerindra.
Dalam pengambilan keputusan, seringkali mekanisme demokrasi berjalan
karena kuatnya peran pimpinan maupun kekuatan oligarki di partai politik. Proses
102 Dalam AD/ART Partai Gerindra Pasal 60 Bab XV tentang “Jati Diri Partai”, diakses
pada 18 Mei 2019 dari partaigerindra.or.id.
69
bottom-up untuk pengembangan kebijakan maupun pilihan politik partai, apalagi
yang menyangkut masalah candidacy hampir tidak berjalan di semua partai politik.
Bahkan untuk penentuan kandidat yang akan didukung dalam pemilukada atau
pileg misalnya, peran pimpinan pusat partai politik sangat dominan. Pengambilan
keputusan di dalam partai cenderung berkiblat pada personalisasi kekuasaan, di
mana sosok yang berpengaruh atau pimpinan partai politik menjadi the only and
ultimate authority.103
Elit politik merupakan kelompok terorganisir yang mempunyai otoritas politik.
Konsep elit pun merujuk pada kelompok yang mempunyai kedaulatan dan punya
posisi yang dominan. Apalagi, dalam dinamika partai politik, elit ini yang
mempunyai kewenangan dalam memutuskan tujuan dan kebijakan partai, sama
seperti di partai Gerindra, di dalam sistem pencalonan anggota legislatif, partai
Gerindra memang membuka pendaftarannya berdasarkan jenjangnya, setiap
jenjang pun mempunyai fungsi masing-masing. Namun keputusan terakhir tetaplah
ditentukan oleh elit partai yang berada di DPP dan ketua umumnya. Hal ini
menyebabkan tidak berjalan dengan baiknya proses bottom-up yang dilakukan oleh
partai Gerindra ini.104
Keadaan bagian dalam partai politik belum dapat berpartisipasi dalam
membentuk caleg yang mempunyai karakter dan mempunyai cita-cita yang tinggi
hingga saat ini. Ada dua hal yang menyebabkan hal ini. Penyebab pertama adalah
103 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia”,
(Jurnal Analisi eSIS, Volume 40, Nomor 02, http://www.academia.edu/download/36869050/
harjanto-politik-kekerabatan.pdf), hal. 147. 104 Wawancara dengan Bapak Helvi Y. M, Wakil sekertaris DPP partai Gerindra,
Tangerang, 18 Maret 2019
70
karena ketidakdisiplinan yang disebabkan oleh dimudahkannya sistem rekrutmen
partai. Hal tersebut menyebabkan banyaknya kader yang kurang teruji, tidak paham
atas ideologi, komitmen dasar, dan manifesto perjuangan partai. Selain itu,
penyebab lainnya adalah tidak berjalannya kaderisasi yang baik. Tidak
dilaksanakannya kaderisasi secara periodik dan sering terbentur dengan
kepentingan politik oportunis yang disetujui oleh elit partai yang menyebabkan
harus mengalahnya proses kaderisasi partai atau pun karena kepopuleran seseorang
yang menjadi prioritas dalam menentukan jenjang keberhasilan seseorang dalam
partai politik.105
Hal ini juga dilakukan oleh partai Gerindra dalam hal perekrutan, kaderisasi,
dan pencalonan anggota legislatif. Dalam proses perekrutan, partai Gerindra tidak
mempunyai saringan yang menghambat mantan-mantan koruptor ini untuk masuk
ke dalam partai Gerindra. Hal yang menyebabkan mantan-mantan koruptor ini
sangat mudah untuk masuk adalah karena partai Gerindra selalu menganggap
mantan-mantan koruptor ini berhak masuk partai Gerindra asalkan ada itidak untuk
berubah.
Di dalam mengikuti kontestasi legislatif, partai Gerindra ingin menjadi
pemenang, maka dari itu mereka sangat terbuka terhadap orang-orang yang
mempunyai kecukupan dana dan ketokohan atau kepopuleran yang tinggi walaupun
mereka bukanlah kader partai Gerindra yang sudah melewati proses penyaringan
yang mapan. Hal ini dapat menyebabkan tidak tersalurkannya paham atas ideologi,
105 Firman Noor, “Mencermati Kampanye Pileg 2009: Gradasi Peran Partai dan Gejala
Pragmatisme”, (Jurnal Penelitian Ilmu Politik, ejournal.lipi.go.id), hal. 41.
71
komitmen dasar, dan manifesto perjuangan partai kepada caleg non kader
tersebut.106 Caleg non kader itu memang akan tetep mengikuti kaderisasi setelah
mengikuti pemilihan legislatif, namun tetap besar kemungkinan orang itu tidak
sesuai dengan nilai-nilai perjuangan partai. Bila itu terjadi, apalagi orang itu terpilih
sebagai anggota parlemen, maka orang itu akan sulit untuk dikontrol.
106 Wawancara dengan Bapak Desmond J. Mahesa, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra dan
Ketua DPD partai Gerindra Provinsi Banten, Serang 27 Februari 2019.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembacaan terhadap data-data temuan baik dari dokumen
maupun wawancara dengan beberapa narasumber terkait proses rekrutmen kader
dalam pencalonan anggota legislatif yang dilakukan oleh partai Gerindra, terlihat
bahwa partai Gerindra lebih mengedepankan aspek pragmatisme dibanding
idealisme partai yang tercantum pada AD/ART partai Gerindra. Hal ini dapat dilihat
dari sikap partai Gerindra dimulai dari proses kaderisasi hingga proses pencalonan
untuk pemilihan legislatif. Pada proses rekrutmen, sistem rekrutmen yang ada di
partai Gerindra terlihat tidak berjalan dengan semestinya. Hal ini bisa dilihat dari
sangat mudahnya menerima individu-individu mantan koruptor untuk bergabung
dengan partai Gerindra walaupun di dalam AD/ART partai tercantum bahwa jati
diri partai Gerindra adalah bertentangan dengan nilai-nilai praktik korupsi. Partai
Gerindra selalu beranggapan bahwa dalam perekrutan partai, partai Gerindra tidak
membeda-bedakan satu orang dengan yang lainnya. Partai Gerindra berpandangan
bahwa mantan narapidana korupsi telah kembali bersih ketika mereka telah
menjalani masa hukumannya dan tidak boleh untuk dibeda-bedakan dengan yang
lainnya.
Lalu pada proses pencalonan calon legislatif, partai Gerindra melalui elit
partainya yang bertugas sebagai pengambil keputusan akhir tidak menahan laju
kader-kadernya yang mantan narapidana korupsi dengan beralasan bahwa tidak ada
73
hukum yang melarang caleg mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri di
pemilihan legislatif. Mereka juga hanya menerapkan tiga kriteria, yaitu ketokohan,
keluasan jaringan, dan kesiapan dana. Dalam hal ini partai Gerindra tidak
mengedepankan kriteria yang bersifat menolak status mantan narapidana koruptor
tersebut. Selain itu, alasan yang membuat mantan narapidana korupsi ini lolos
mencalonkan diri melalui partai Gerindra adalah karena partai Gerindra yang terlalu
mengedepankan pragmatisme partainya sehingga ingin menjadi pemenang dan
mengenyampingkan idealisme partai. Adapun dalam pengambilan keputusan partai
dalam meloloskan kadernya, partai Gerindra menggunakan cara yang tidak
transparan di mana para elit partai yang berada di DPP bertugas untuk memutuskan
siapa saja yang berhak maju di pemilihan legislatif. Bagaimanapun peneliti
menemukan bahwa posisi para calon legislatif mantan narapidana korupsi ini tidak
disebabkan oleh posisi mereka di dalam partai Gerindra.
Partai Gerindra selalu beralasan bahwa kader-kadernya yang mantan koruptor
tidak melanggar hukum karena PKPU No. 20 tahun 2018 pasal 7 ayat (1) huruf h
yang sempat melarang mereka maju dalam pemilihan legislatif telah dihapuskan
setelah dilakukan judicial riview sehingga partai Gerindra tidak akan mengambil
posisi di mana partai ini menghalangi hak-hak kadernya yang ingin maju di
pemilihan legislatif.
74
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil analisis di atas, peneliti merumuskan kelemahan
yang dapat disempurnakan melalui penelitian yang relevan pada penelitian
selanjutnya. Penulis memiliki saran untuk pihak-pihak yang akan melakkan
penelitian lebih lanjut, diantaranya:
B.1. Akademis
a) Dapat meningkatkan pengetahuan bagi pembacanya mengenai
proses pencalonan anggota legislatif di partai Gerindra dan faktor
penyebab partai Gerindra mencalonkan kadernya yang mantan
narapidana korupsi.
b) Hasil analisis yang peneliti lampirkan jauh dari kata sempurna, untuk
itu pada penelitian selanjutnya yang tertarik pada judul yang sama
diupayakan untuk dapat lebih mendalam menentukan proses
pencalonan anggota legislatif di Partai Gerindra serta faktor yang
menyebabkan partai Gerindra mencalonkan kadernya yang mantan
narapidana korupsi.
c) Penelitian ini hanya terbatas pada aspek dari proses rekrutmen calon
legislatif mantan koruptor partai Gerindra.
d) Perkaya analisis dengan menggunakan teori-teori lain yang lebih
baru.
B.2. Praktis
a) Memberikan penjelasan yang lebih mendalam untuk pembaca bahwa
partai Gerindra seharusnya tidak sekadar memilki kerangka dasar
75
dalam rekrutmen politik baik dalam bentuk anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga partai, namun tidak kalah pentinya adalah
komitmennya untuk konsisten menjalankan mekanisme sesuai aturan.
Langkah memperbaiki sistem rekrutmen akan sangat berpengaruh
besar kepada kehidupan mesin partai.
b) Di dalam sistem pencalonan calon legislatifnya, seharusnya partai
Gerindra, begitu juga partai politik lainnya, menerapkan kriteria yang
sesuai dengan jati diri partai sebagai bentuk komitmen dan
konsistensinya untuk menegakkan aturan main yang ada.
c) Menggunakan Bahasa yang baik sesuai dengan kaidah penulisan dan
yang mudah dimengerti oleh pembaca.
76
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Sistem Kepartaian
di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia, 2009.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik
di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Haboddin, Muhtar. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Malang: UB Press,
2016.
Haris, Syamsuddin. Partai, Pemilu, dan Elemen: Era Reformasi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Harrison, Lisa.Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, 2009.i
Labolo, Muhadam. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori,
Konsep, dan Isu Strategis. Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Mas’oed, Mochtar dan Colin Mac Andrews. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.
Nainggolan, Bestian. Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan
Dekonsentrasi Kuasa. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2016.
Noor, Firman. Quo Vadis Demokrasi Kita: Sebuah Respon terhadap Konsolidasi
Demokrasi di Indonesia. Jakarta: RMBOOKS PT. Wahana Semesta
Intermedia, Cet. 1 2015.
77
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya Ilmiah.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Pramono, Agus. Elit Politik yang Loyo dan Harapan Masa Depan. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005.
Putra, Nusa. Politik Kekuasaan dan Korupsi. Jakarta: Murai Kencana, 2015.
Rahman, Arifin. Sistem Politik di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2010.
Subagyo, Firman. Menata Partai Politik: Dalam Arus Demokratisasi Indonesia.
Jakarta: RMBOOKS PT. Wahana Semesta Intermedia, 2009.
Subekti, Valina Singa. Dinamika Konsolidasi Demokrasi: Dari Ide pembaharuan
Sisten Politik hingga ke Praktik Pemerintaha Demokratis. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo, 1992.
Tangkilisan, Hesel Nogi. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: Yayasan
Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2003.
Varma, SP. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Yuda, Hanta. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, Studi
tentang Kombinasi Sistem Presidensial dan Multipartai di Indonesia Era
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
78
Karya Ilmiah
Ridho Saputra, Gugum. “Hak Mantan Narapidana untuk Dipilih dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah”, (Skripsi Program Studi Hukum, Depok, 2012).
Suharni, Inke. “Humas dalam Kampanye Politik: Studi Partai Gerindra Menghadapi
Pemilu 2009”, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).
Jurnal Online
Bathoro, Alim. Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Demokrasi,
(JurnalFISIP Umrah, Volume 02 Nomor 02, (2011): 117-118.
Hamdie, Akhmad Nikhrawi. “Hak eks Narapidana Menjadi Anggota Legislatif”,
eJurnalAs-Siyasah, Nomor 01 Volume 01, (2016): 26-33.
Harjanto, Nico. “Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di
Indonesia”, JurnalAnalisi eSIS, Volume 40, Nomor 02, 141.
Maghfiroh, Kholifatul, Lita Tyesta A.L.W, dan Retno Saraswati. “Perkembangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pencalonan Mantan Narapidana
Sebagai Anggota DPR, DPD dan DPRD Serta Sebagai Kepala Daerah Dan
Wakil Kepala Daerah”, eJurnalIlmu Hukum, Nomor 02 Volume 07, (2018):
104-121.
Nge, Herri Junius. “Oligarki Partai dalam Rekrutmrn Calon Kepala Daerah: Studi
Kasus Munculnya Calon Tunggal pada Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Landak Tahun 2017”, JurnalAcademia Praja, Nomor 1 Volume
01, (2016): 73.
79
Prasetya, Imam Yudi, “Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik”,
(JurnalIlmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Volume 01, Nomor 01, (2011):
33.
Prayudi, “Penyelenggaraan Pilkada Dan Lemahnya Sirkulasi Elit Politik Lokal”,
JurnalPusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, (02 Desember 2016): 275-
294.
Saputra, Roni Tamara.“Sistem Kaderisasi dan penetapan Calon Anggota Legislatif
dalam Pemilu 2009: Studi Kasus Partai Golkar Kabupaten Penajam Paser
Utara”, eJurnalIlmu Pemerintahan,Nomor 01 Volume 02, (2014): 1829-
1841.
Artikel Internet
AD/ART Partai Gerindra Pasal 12 Bab IV tentang ”Fungsi”, dari
partaigerindra.or.id. Artikel ini diakses pada 17 Oktober 2018.
AD/ART Partai Gerindra Pasal 13 Bab IV tentang ”Tugas”, dari
partaigerindra.or.id. Artikel ini diakses pada 17 Oktober 2018.
AD/ART Partai Gerindra Pasal 60 Bab XV tentang “Jati Diri Partai”, dari
partaigerindra.or.id. Artikel ini diakses pada 17 Oktober 2018.
CNN Indonesia, “Gerindra Akui Caleg Eks Koruptor Sedikit Gores Nama Partai”,
dari https:// www.cnnindonesia.com/nasional/ 20190131231913 -32-
365574 /gerindra-akui-caleg-eks-koruptor-sedikit-gores-citra-partai.
Artikel ini diakses pada 30 Juni 2019
CNN Indonesia, “KPU Resmi Taken Aturan Larangan Eks Koruptor Jadi Caleg,
dari https:// www.cnnindonesia.com /nasional/ 20180701173711 -32-
80
310583/kpu-resmi-teken-aturan-larang-eks-koruptor-jadi-caleg. Artikel ini
diakses pada 15 Agustus 2019.
Detik.com, “Pro Kontra Larangan Nyaleg Untuk eks Koruptor”, dari
https://news.detik.com/berita/d-4094865/pro-kontra-larangan-nyaleg-
untuk-eks-koruptor. artikel ini diakses pada 14 Agustus 2019
Hadjar, Abdul Fickar. Dalam Kompas.com, “Putusan MA terhadap PKPU
Menjauhkan dari Hukum progresif”, dari https://nasional.kompas.com/read/
2018/09/15/11482971/pakar-putusan-ma-terhadap-terhadap-pkpu-
menjauhkan-dari-hukum-progresif. Artikel ini diakses pada 05 Oktober
2018.
IDN Times “6 Caleg Mantan Napi Korupsi dari Gerindra, Ini Kata Sekjen
Gerindra”, dari https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/6-caleg-
mantan-napi-korupsi-dari-gerindra-ini-kata-sekjen-gerindra/full. Artikel ini
diakses pada 30 Juni 2019.
Jainuri, “Orang Kuat Partai di Arus Lokal: Blater Versus Lora dalam Pencaturan
Politik”, dari http://pemerintahan.umm.ac.id. Artikel ini diakses pada 21
Oktober 2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dari https://kbbi. kemdikbud.go.id. artikel
ini diakses pada 02 Februari 2019.
Kompas, “Coret Lima Bakal Calon Eks Koruptor, tetapi Pertahankan M. Taufik,
Apa Alasannya?”, dari https://nasional.kompas.com/read/2018/09/21/
16230451/coret-5-bakal-caleg-eks-koruptor-tetapi-pertahankan-m-taufik-
apa-alasan. Artikel ini diakses pada 31 Januari 2019.
81
Kompas, “Disahkan KPU, Ini Perolehan Suara Legislatif 2014”, dari
https://nasional.kompas.com/read/2014/05/09/2357075/Disahkan.KPU.Ini.
Perolehan.Suara.Pemilu.Legislatif.2014. Artikel ini diakses pada 30 Januari
2019.
Kompas, “Gerindra Terbanyak Ajukan Caleg Eks Napi Korupsi, Rakyat Diminta
Jangan Ragu”, dari https://nasional.kompas.com/read/2018/07/27/
18544111/terbanyak-ajukan-caleg-eks-napi-korupsi-gerindra-minta-
rakyat-tak-ragu.Artikel ini diakses pada 15 Oktober 2018.
Kompas, “Inilah Hasil Akhir Perolehan Suara Nasional Pemilu”, dari
https://nasional.kompas.com/read/2009/05/09/22401496/inilah.hasil.akhir.
perolehan.suara.nasional.pemilu.Artikel ini diakses pada 30 Januari 2019.
Kompas, “Pernah dibui, Taufik tak Setuju Mantan Narapidana Korupsi Dilarang
Nyaleg”, dari https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/24/10460441
/pernah-dibui-taufik-tak-sejutu-mantan-napi-korupsi-dilarang-nyaleg.
Artikel ini diakses pada 30 Januari 2019.
Kumparan.com, “Jumlah Korupsi Caleg Gerindra yang menurut Prabowo Tak
Seberapa”, dari https://kumparan.com/@kumparannews/jumlah-korupsi-
caleg-gerindra-yang-menurut-prabowo-tak-seberapa-
1547802235043864873. Artikel ini diakses pada 05 Juli 2019.
Liputan 6 News, “Gerindra Juga Punya Eks Napi Kasus Korupsi Sebagai Caleg”,
dari https://www.liputan6.com/news/read/570886/gerindra-juga-punya-
eks-napi-kasus-korupsi-sebagai-caleg.Artikel ini diakses pada 02 Februari
2019.
82
Megapolitan Kompas, “Berbagai Upaya M. Taufik Lawan PKPU untuk Bisa Jadi
Caleg Lagi”, artikel ini diakses pada 09 April 2018, dari
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/09/17/07180151/berbagai-
upaya-m-taufik-lawan-pkpu-untuk-bisa-jadi-caleg-lagi.
Merdeka, “Daftar 36 Anggota DPR Tidak Komitmen Berantas Korupsi Versi
ICW”, dari https://www.merdeka.com/politik/daftar-36-anggota-dpr-tak-
komitmen-berantas-korupsi-versi-icw.html. Artikel ini diakses pada 01
Februari 2019.
Nasional Kompas, “Daftar Lengkap 81 Caleg Eks Koruptor”, dari
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/19/15075331/daftar-lengkap-
81-caleg-eks-koruptor?page=all.Artikel ini diakses pada 27 Februari 2019.
Okezone News, “Gerindra Sepakat Mantan Napi Korupsi Dilarang Nyaleg”, dari
https://news.okezone.com. Artikel ini diakses pada 09 April 2019.
Papua Antar News, “Anggota DPRD Papua Dilantik”, dari, https://
papua.antaranews.com/berita/448034/55-anggota-dpr-papua-dilantik.
Artikel ini diakses pada 01 Februari 2019.
Pendaftaran Anggota Partai Gerindra, dari http://partaigerindra.or.id/pendaftaran-
anggota-partai-gerindra-secara-online.Artikel ini diakses pada 09 April
2019.
Politik LIPI, “Problematika PKPU No. 2 Tahun 2018 tentang Mantan Koruptor
menjadi Caleg”, dari http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-
83
nasional/1225-problematika-pkpu-no-20-tahun-2018-mantan-koruptor-
menjadi-caleg. Artikel ini diakses pada 15 Agustus 2019.
Romli, Lili, “Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”,
dari ejournal.lipi.go.id/index.php/jppol/article/download/494/303. Artikel
ini diakses pada 24 April 2019
Sejarah Partai Gerindra, dari http://partaigerindra.or.id/ sejarah-partai-
gerindra.Artikel ini diakses pada 19 Januari 2019.
Tempo, “Korupsi Ketua DPRD Provinsi Papua Divonis Satu Tahun 10 Bulan”, dari
https://nasional.tempo.co/read/453324/korupsi-ketua-dpr-papua-divonis-1-
tahun-10-bulan.Artikel ini diakses pada 01 Februari 2019.
Tribun News, “Soal Bakal Calon Legislatif, Gerindra Ikuti Putusan MA”, dari
http://www.tribunnews.com/ nasional/ 2018/ 06/ 29/ tahanan-kpk-menang-
di-pilkada. Artikel ini diakses pada 15 Oktober 2018.
Tribun News, “Tahanan KPK Menang di Pilkada”, dari
http://www.tribunnews.com/ nasional/ 2018/ 06/ 29/ tahanan-kpk-menang-
di-pilkada. Artikel ini diakses pada 13 Oktober 2018.
Visi dan Misi Partai Gerindra dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerakan
Indonesia Raya, dari http://partaigerindra.or.id/ sejarah-partai-gerindra.
Artikel ini diakses pada 19 Januari 2019.
Wasisto Raharjo Jati dalam CNN Indonesia, “Caleg Eks Koruptor Dipilih Karena
Unggul Materi”, dari https:// www.cnnindonesia.com/ nasional/
84
20180723055204-32-316155/caleg-eks-koruptor-dipilih-karena-unggul-
materi. Artikel ini diakses diakses pada 05 Juli 2019.
Undang-Undang dan Peraturan
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
pada Pemilu 2019, diakses pada 23 April 2019 pada https://kpu.go.id/
koleksigambar/PKPU_20_THN_2018.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 2008, Bab V tentang Tujuan dan
Fungsi Partai Pasal 11.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 2011 tentang perubahan atas UU
no. 2 tahun 2008 tentang partai politik, pasal 29 bagian 2.
LAMPIRAN
1. Wawancara dengan Bapak Desmond J. Mahesa (Anggota DPR RI Partai
Gerindra dan Ketua DPD Gerindra Provinsi Banten).
Pewawancara : Assalamu’alaikum Wr. Wb. Perkenalkan nama saya Nabillah
Aisyah Rumi, mahasiswi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya, saya berterimakasih kepada
Bapak yang sudah bersedia menjadi narasumber untuk skripsi saya yang berjudul,
“Proses Politik dalam Pencalonan Kader (Studi atas Pencalonan Mantan
Narapidana Kasus Korupsi pada Partai Gerindra di Pemilihan Legislatif 2019)”.
Langsung saja ke pertanyaan pertama pak, di partai Gerindra sendiri, bagaimana
proses dan persyaratan untuk menjadi anggota atau kader Gerindra?
Pak Desmond : Yang pertama, orang tersebut datang kekantor DPC, mengisi
blanko untuk mendaftar keanggotaan. Dari situ DPC atau DPC memberikan
anggaran dasar anggaran rumah tangga atau AD/ART, atau mereka-mereka ini
disuruh baca AD/ART tersebut, semantap apa orang tersebut, sesuai tidak anggaran
dasar partai Gerindra, manifesto perjuangan partai dengan apa yang dia atau orang
tersebut bayangkan. Sesuai tidak dengan apa yang ada, maunya orang tersebut.
Membaca manifesto perjuangan partai, buku-buku yang berkaitan dengan diskusi-
diskusi sebagai jalan partai Gerindra. Nah hal tersebutlah yang dijelaskan oleh
kepengurusan terhadap orang-orang yang ingin mendaftar.
Pewawancara : Baik pak, jika tadi saya bertanya proses masuk partai Gerindra itu
seperti apa, sekarang yang saya mau tanya adalah kalau persyaratan dan proses
menuju calon legislatif yang di usung partai Gerindra ini bagaima?
Pak Desmond : Ada dua hal, ada kader dan ada pendatang. Kader tentu kami
prioritaskan, tapi kami juga harus bisa melihat terhadap orang yang mendaftar ini,
ini bicara tentang elektabilitas kader, berhadapan dengan partai-partai lain. Nah
dalam konteks strategi politik pemenangan, kami pun mencari yang bukan kader,
agar pada saat pertarungan seperti pemilu ini bahwa partai Gerindra jadi pemenang.
Tapi sesudah mereka calon, tentunya mereka harus belajar tentang apa yang
dimaksud dengan partai gerakan, ini kan gerakan Indonesia raya (Gerindra),
berartikan ada pula gerakan. Kamu harusnya ngerti tentang “gerak” kan? Apa yang
dilakukan oleh gerak, ini kan ada sesuatu terencana, terstruktur.
Pewawancara : Berarti persyaratannya bagaimana pak untuk nyaleg itu sendiri?
Pak Desmond : Yaa persyaratannya isi blanko sebagai keanggotaan, dia mendaftar
sebagai anggota, dia mendaftar sebgaia anggota kan dia harus memahami anggaran
dasar anggaran rumah tangga, manifasto perjuangan partai, taklimat-taklimat dari
sekian banyak pidato dan arah politik partai Gerindra. Kan itu yang harus
diperlukan.
Pewawancara : Terus kalo kader ini sendiri harus khatam tidak soal AD/ART
Pak Desmond : Karena bicara AD/RT, ini bicara tentang kemungkinan-
kemungkinan resiko kalo dia melanggar kode etik. Kan dia harus paham, harus
paham dia, masa kader tidak paham AD/ART, nanti “nabrak-nabrak” kena sanksi
seolah-olah dia ga bersalah.
Pewawancara : Terus kalo kasusnya seperti tadi pindah partai atau belum berpartai
kan prosesnya ke hambalang itu setelah mencalonkan, sesudah terpilih. Nah berarti
untuk pemahaman tentang AD/ART nya juga setelah dia terpilih?
Pak Desmond : tidak, sambil berjalan. Sesudah dia mengisi kan dia harus tau apa
AD/ART dan manifesto perjuangan partai, pada saat dia kampanye di tengah
masyarakat dia bisa menyampaikan apa visi dan misi partai Gerindra yang hari ini
dia bercalon di partai Gerindra. Jangan sampai orang dari partai lain sudah ada,
yang sudah pernah dia disana, masuk kesini (partai Gerindra) gaya nya gaya partai
yang dulunya, kan ga cocok.
Pewawancara : Kalo di dalam proses pengakderan sendiri ada penanaman nilai-
nilai anti korupsi?
Pak Desmond : Itu pasti. Pelanggaran terhadap korupsi otomatis diberhentikan
oleh partai. Nah yang dipersoal kan mantan narapidana korupsi. Kami yang bicara
tentang itu ya Cuma ada satu orang, Muhammad Taufik, ketua DPD Gerindra Prov.
Jakarta. Tapi kan dia sebelum di partai, waktu dia di KPU. Pertanyaannya, undang-
undang tidak melarang itu, gerakan Indonesia bersih, itu menganggap bahwa itu dia
tidak bersih tapi secara hukum, dia kan boleh nyalon, legal secara hukum. Jadi
bukan isu-isu yang hari ini seolah-olah Indonesia itu sangat ideal. Pertanyannya,
selama dia di Gerindra, dia korupsi tidak? Itu kan parameter kami. Yang jadi soal
kalo kami melarang sodara Taufik, misalnya, kan dia bisa gugat partai, seperti dia
gugat KPU dan dia menang, ada proses hukumnya. Apa alasan KPU melarang
orang yang tidak ada aturannya, kalo kita berbicara aspek legal. Jangan di dengar
menurut saya, ini negara hukum gitu, bukan negara-negara isu-isu karena
kepentingan sekelompok orang merasa bersih, seperti ICW, itukan lelucon yang
gak lucu. Kenapa? Saya juga bagian dari ICW masa lalu, sebelum ada ICW saya
ketua MAKI, di dirikan sebelum saya diculik pada 98.
Pewawancara : Berarti kalo ada orang yang mau nyaleg lewat gerindra, misalkan
dia punya track record korupsi tapi di luar partai Gerindra, bagaimana?
Pak Desmond : Kalo di Banten, orang yang narapidana korupsi pasti saya tolak.
Mohammad Taufik itu berbeda. Dia sudah mencalon dan sudah terpilih. Berbeda
kasus dia, sebelum dia di Gerindra dan sesudah dia di Gerindra. Pada saat dia
Gerindra sudah keluar dari hukuman, mendaftar waktu 2014, tidak ada main-
mainan lucu-lucuan kaya gini (pelarangan mantan koruptor maju di pileg), lalu dia
lanjut, tiba-tiba KPU mengambil keputusan tidak ada aturannya. Apa aturannya
KPU melarang caleg, dasarnya tidak ada. Cuma karena tuntutan popularitas doang,
ini kan tidak benar kelembagannya karena popularitas. Minta dihargai
popularitasnya, seolah-olah anti korupsi. Menghukum orang, itukan tidak benar.
Yang harus dipahami caleg-caleg ini tidak terlibat dalam konteks dia korupsi di
Gerindra, tapi pada saat dia KPU dia korupsi, itu urusan masa lalu dia. Pada saat
dia mendaftar 2014, hal-hal ini kan tidak terbicarakan, tapi pada saat dia mendaftar
2019, baru diungkit lagi. Ini kan Cuma sekelompok orang cari popularitas, KPU
cari popularitas.
Pewawancara : Maksud saya kalo ada orang yang punya dosa masa lalu tapi bukan
kader gerindra pada saat itu, kaya misalkan Muhammad Taufik dan 5 caleg lainnya
itu berarti tidak masalah dari partai Gerindranya?
Pak Desmond : Itu juga salah satu yang kita akan hindari. Itu bagian dari
pembicaraan, kita pertimbangkan. Ini kan muncul pada saat 2018-2019 ini. Masa
lalu tidak ada masalah. Tapi kalo diliat sekarang ya masalahnya masalah apa? Cuma
kelembagaan KPU cari popularitas, komisionernya. ICW selalu seolah-olah bersih.
Enggaklah bermaslaah semua itu orang, sebelum Teten, masuk ke kekuasaan
Jokowi, dia teriak tentang korupsi. Sekarang? Di pemerintahan ini bersih gak? Ya
yaudah jangan melihat sesuatu yang ideal. Hidup itu perlu konsistensi, ini kan lucu-
lucuan yang tidak lucu dan melanggar hukum. Harus di kaji hukumnya.
Pewawancara : Kalo bapak sendiri melihat KPU ini yang melarang eks koruptor
nyaleg, setuju atau tidak, secara umum?
Pak Desmond : Secara hukum dia mengada-ada, tanpa dasar. Mereka cari
popularitas. Rezim ini kan juga rezim korup. Ini kan bagian dari kekuasaan. Jadi
kalo pemerintahan ini udah beres betul, tidak ada hakim yang ditangkap, tidak ada
gubernur yang ditangkap, tidak ada jaksa yang ditangkap, nah ini kan bagus. Nah
rezim yang korup tiba-tiba muncul KPU, harusnya kan ini kita lihat apa sebenarnya
yang terjadi dengan rezim ini, dan apa yang terjadi dengan KPK. Kenyatannya yang
berbau pemerintahan, rezim ini kok yang sudah jadi tersangaka, gak lanjut,
gubernur Jawa Tengah, Menteri Hukum dan HAM, Muhaimin? Ada apa dengan
republik mimpi ini kalo kalian bicara tentang saklek anti korupsinya.
Pewawancara : Pertimbangan partai Gerindra dalam mencalonkan mantan
narapidana kasus korupsi ini, misalkan ada orang yang lagi bermasalah, misalkan
dia lagi jadi tersangka atau hanya saksi kasus korupsi, ada pertimbangan nya tidak
pak?
Pak Desmond : Kan harus diperhatikan, kan ada beberapa banyak contoh.
Menunggu proses hukum, menunggu hasil. Ini negara hukum atau negara lucu-
lucuan? Kalo dia ketangkap tangan, kan otomatis kita pecat, tidak menunggu proses
hukum.
Pewawancara : Misalkan dalam pengambilan keputusan terakhir itu, kan dalam
organisasi itu misalnya dalam partai, tidak mungkin diminta pendapat semua
kadernya misalkan dari ranting. Itu bagaimana pengambilan keputusan terakhirnya?
Pak Desmond : Oh enggak, kalo di partai ada namanya mahkamah partai. Kode
etik itu panduan dasar bagi mahkamah partai untuk memutuskan, salah satu tadi
disinggung, sumpah kader yang tidak korupsi. Pada saat dia korupsi disidangkan di
mahkamah partai, dia bisa apalagi? Dia udah melanggar ko, di hukum,
diberhentikan. Jadi yang memberhentikan itu adalah keputusan mahkamah partai
yang merekomendasikan kepada ketua umum untuk memberhentikan orang sebagai
misalnya anggota DPR, kader partai.
Pewawancara : Kan ada kader yang track record nya baik, masa lalu nya baik,
apakah ada kaya kecemburuan sosial terhadap kader yang track record nya mantan
koruptor?
Pak Desmond : Misalnya Muhammad Taufik ini nyalon di 2014, dia terpilih di
2014, 2014 itu tidak ada penolakan dari apapun karena tidak ada hukum yang
melarang dia nyalon. Waktu itu tidak ada warning apa-apa, ya dia berjalan ya dia
terus terpilih. Nah pada saat 2018-2019 dia nyalon ini ada warning yang lucu dari
KPU. Apakah Muhammad Taufik bekas korupsi di Gerindra? Yang dia korupsi itu
masa lalu dia pada saat dia KPU, pada saat dia di Gerindra kan enggak. Apakah ini
dikatakan kader korupsi? Kan enggak. Karena dia korupsi sebelum. Jangan kalian
tidak bisa memisahkan hukum masa lalu orang dan hukum yang ada sekarang. Pada
2014 tidak ada hukumnya melarang, 2018-2019 juga tidak ada, kalo ada ya gabisa
nyalon. Ini kan keputusan yang sepihak yang tidak punya dasar hukum dan KPU
tidak diperbolehkan secara konstitusi membuat Undang-Undang sendiri, dia
pelaksana Undang-Undang. Yang bisa membuat Undang-Undang itu DPR dan
pemerintah. KPU melarang orang itu kan melanggar Undang-Undang, berarti KPU
nya ngaco.
Pewawancara : Terus kalo rakyat ini sendiri kan banyak rakyat yang tidak “melek”
terhadap hal ini, kata bapak KPU ini kan tidak berdasar, tapi rakyat ini kan
melihatnya mereka-mereka ini mantan koruptor dan ngecap mereka pernah korupsi.
Pendapat bapak untuk rakyat yang seperti ini bagaimana pak?
Pak Desmond : Ini lah sebenarnya yang harus kita lakukan pendidikan politik yang
baik. Kasian rakyat yang tidak mengerti, orang Cuma mencari popularitas seolah-
olah mereka lembaga yang bagus, tapi dasar-dasar sebagai pelaksana negara itu
tidak paham. Kalo dia paham ketatanegaraan, tentang pembuat Undang-Undang,
KPU tidak begitu. Kalo kita bicara politik hari ini, memangnnya KPU hari ini KPU
yang bagus? KPU kan sudah bagian dari rezim kekuasaan sekarang. Memang ada
demokrasi di republik ini? Tidak ada. Kalo kamu lihat hukum hari ini, tidak ada.
Karena huku, sudah milih kekuasaan sekarang, berrati negara hukum sudah gak
ada, berarti adanya negara kekuasaan. Kondisi sosial politik seperti ini, ini lebih
parah daripada zaman saya (1998).
Pewawancara : Mungkin terakhir pak, dari partai gerindra ini sendiri kan keadaan
sekarang rakyat itu belum melek politik, contohnya rakyat langsung men-cap dia
mantan koruptor. Keadaan seperti itu bagaimana pak?
Pak Desmond : Karena itu ada sesuatu hal yang tidak dipahami. Karena masyatakat
masih apa yang bahasa “wah-wah” langsung ditelaah, tidak dipikirkan. Itu kan hoax
aja sebenarnya. Hoax yang omong kosong, menyesatkan masyarakat kan. Menuduh
orang yang mantan koruptor, yang muncul Gerindra nya, bukan misalnya
Muhammad Taufik pada waktu KPU. Ini kan secara tidak langsung menggiring
opini, apalagi yang bicara Jokowi. Agak susah saya bicara, Gerindra ini sudah
disamakan dengan negara, debat pertama kan adna lihat. Ini kan tidak boleh, bicara
yang sifatnya seperti itu, debat kedua lucu juga, Prabowo melemah, ya karena
Prabowo ngapain dia melayani orang kaya gitu. Nah ini lah yang sebenarnya yang
harus dilakukan oleh kita bersama, jangan sampai masyarakat nge-cap karena
ketidaktahuan dia. Kan kasian mantan koruptor, dia udah korupsi lalu dia di hukum,
udah jalanin hukuman, masa tidak boleh nyaleg. Melanggar konstitusi loh, hukum
kaya di bunuh. Hukum di Indonesia pengayoman, lembaga permasyarakatan adalah
pembinaan, memberi ruang orang untuk taubat. Itukan lembaga permasyarakatan,
bukan lembaga penghukuman. Kan aneh, kelembagaan KPK, KPU, bikin statement
bikin hal-hal yang menurut saya melanggar hukum. Yang ga ada hukumnya mereka
karang-karang sendiri dan mereka bukan pembuat hukum dan Undang-Undang.
Kalo presiden sekarang menggunakan style kekuasaan, negara hukumnya hilang,
maka chaos republik ini.
Pewawancara : Mungkin closing statement saja pak untuk permasalahan ini
Pak Desmond : Iya pada inti dasarnya, negara ini negara hukum, bukan negara
kekuasaan. Tertib sosial, patuh pada hukum, bukan politik yang jadi main-mainnya.
Kelembagaan harus memahami topoksinya, jangan tidak paham topuksinya seperti
KPU melarang orang atau membikin aturan yang mereka itu bukan pembuat
peraturan. Mereka membuat peraturan di internal mereka sendiri, tapi perturan
mereka tidak boleh keluar untuk orang lain, misalnya mereka buat peraturan tentang
bagaimana mereka bekerja di internal KPU, tapi peraturan yang mereka buat tidak
boleh melibatkan orang laur dalam kasus pelarangan terhadap mantan narapidana
korupsi itu bukan kapasitas KPU, itu kapasitas DPR dan pemerintah membuat
aturan itu, atau kapasitas Presiden membuat Perpu dan Perpu itu juga harus disetujui
oleh parlemen.
2. Wawancara dengan Bapak Helvi Y.M (Wakil Sekjend DPP Partai
Gerindra).
Pewawancara : Assalamu’alaikum Wr. Wb. Perkenalkan nama saya Nabillah
Aisyah Rumi, mahasiswi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya, saya berterimakasih kepada
Bapak yang sudah bersedia menjadi narasumber untuk skripsi saya yang berjudul,
“Proses Politik dalam Pencalonan Kader (Studi atas Pencalonan Mantan
Narapidana Kasus Korupsi pada Partai Gerindra di Pemilihan Legislatif 2019)”.
Langsung saja ke pertanyaan pertama pak, di partai Gerindra sendiri, bagaimana
proses dan persyaratan untuk menjadi anggota atau kader Gerindra?
Pak Helvi : Kalo Gerindra itu partai nasional religius, sudah jelas. Jadi otomatis
kita mengacu UUD 1945, tiap orang yang berminat dengan politik, itu kita
tampung, dan memang di Gerindra itu sendiri ada sayap yang didirkan yang
khususnya untuk memberikan pendidikan politik pada generasi yang mau masuk
politik, itu namanya Tunas Indonesia Raya (TIDAR), nah darisana kemudian ada
orang yang selama ini melakukan pergerakan sosial di masyarakat kemudian ingin
lebih kenal lebih kepada Gerindra, yaitu ada lagi, yakni sekmen di atas TIDAR, bisa
jadi pemuda, bisa jadi orang yang sudah masuk usia matang, nah itu namanya
SATRIA (Satuan Relawan Indonesia), tetapi bisa juga orang-orang yang sudah
bermain di politik tetapi dia belum mempunyai partai, tapi sudah bekerja di aktivitas
sosial, pergerakan, nah dia bisa juga masuk ke Gerindra nya langsung. Tentu saja
dalam hal ini dia paham apa itu visi dan misi Gerindra yang dituangkan dalam
manivesto partai Gerindra, kemudian melakukan pendaftaran, kemudian kalo
memang berminat masuk ke pengurus, kita lihat bakatnya seperti apa nah kemudian
kita tempatkan sesuai temapt dia atau permintaan dia dimana, kemudian kita cari
posisinya dia yang memang ketika klasifikasikan dia cocok di satu bidang ya kita
masukan.
Pak Helvi : Yang namanya kader itu sudah pasti anggota, tapi yang namanya
anggota belum tentu kader. Kenapa? Karena yang namanya kader itu dia itu sudah
melewati proses pendidikan di Gerindra, kaya contohnya kamu, masuk ya sebagai
anggota, tapi kalo kader itu jelas dia mengikuti segala latihan yang tersedia yang
dia pilih, kemudian setelah itu dia ditempatkan di dalam struktur, itu otomatis
namanya kader. Karena memang sebagian hidupnya dia sudah serahkan ke
Gerindra. Kalo anggota ya dia ikut acara Gerindra.
Pewawancara : Kalo anggota sama relawan itu beda lagi atau sama saja?
Pak Helvi : Beda lagi. Kalo relawan kan sudah jelas mereka tidak berbendera, nah
di Gerindra itu disebut simpatisan. Itu yang nantinya ditarik jadi anggota, kemudian
dia merasa cocok dengan Gerindra, kemudian Gerindra juga melihat potensi dia,
itulah yang ditarik sama kader, kemudian diikutkan pada pelatihan kader di
hambalang.
Pewawancara : Kriteria dipanggil ke hambalang apa saja pak?
Pak Helvi : Kriteria secara umum, yang jelas bersedia mengikuti aturan-aturan
yang ada di Gerindra. Ketika kamu sebagai anggota, ya kamu hanya mengenal
Gerindra itu seperti apa. Tapi ketika kamu pengen mengabdikan diri sebagai kader,
otomatis kamu harus tau apasih itu Gerindra, apasih kewajiban dari kader Gerindra,
ketika kamu sudah memenugi kriteria itu, kemudian kamu juga terbuka untuk
masuk ke jajaran Gerindra (struktur), kamu diberi kesempatan latihan, dan itu
permintaannya dari kamu. Biasanya dalam satu tahun ada 3 kali, tergantung
kesempatan turtornya yang juga kan ada yang dari DPR RI, jadi pak Prabowo
misalnya sudah menentukan bulan sekian sampe sekian pelatihan. Itu juga sesuai
tingkatan, ada pratama, madya, dan hutama. Kalo pratama yang baru masuk, kalo
madya itu dia setingkat sudah pegang di atas PAC.
Pewawancara : Kalo untuk kader menjadi calon legislatif itu seperti apa
kriterianya?
Pak Helvi : Kalo dari sisi Gerindra nya, itu menempuh kebijakan yang pertama
yang diutamakan itu kader, karena percuma Gerindra mendidik orang tetapi tidak
jadi apa-apa, itu diperintahkan DPP, pak Prabowo memerintahkan menyeleksi
kader, kemudian perintah pak prabowo dilanjutkan oleh DPP partai Gerindra, pak
Prabowo dalam hal ini sebagai ketua dewan pimpinan, dilanjutkan oleh DPP partai
Gerindra untuk menginstruksikan kepada DPD melakukan perekrutan, nah caleg
ini kan ada tiga tingkatan, kalo untuk DPR RI itu dilakukan oleh DPP sendiri,
kemudian untuk DPRD (provinsi) itu DPD, untuk DPRD Kab/Kota, itu DPC.
Kemudian sebaliknya, DPD juga menerima usulan rekomendasi dari DPD maupun
DPC, ada yang misalnya tokoh masyarakat setempat yang dinilai kapabel, ada tiga
hal, pertama, ketokohan seseorang, kedua, bagaimana jaringan (kemampuan dia
dari sisi jaringan), ketiga, kemampuan finanasial dia (dana). Ya tidak mungkin
mendorong orang yang tidak punya kemampuan finansial jadi legislatif, yang ada
nanti dia jualan, bahkan ujung-ujungnnya pasti korupsi. Hal ini ketika sudah
dilakukan saringan, itu bermuara nantinya pada satu tingkatan diatasnya, semisal
pertama, DPC menyaring kader Kab./Kota dia memberika deskripsi apa yang dia
saring itu ke DPD, DPD dengan tim seleksi calegnya itu menggodok sekaligus
memverivikasi orang itu, nah ketika ditemukan hal-hal yang janggal, itu dia
melakukan notice atau catatan, kemudian deskirpsi ini beserta file nya itu
diserahkan ke DPP, di DPP lah diputuskan semuanya. Khusus DPR RI setelah
dilakukan pemberkasan oleh panitia penyeleksi caleg nasional, itu diajukan ke pak
Prabowo.
Pewawancara : Terus kalo misalnya ada orang yang ingin nyaleg tapi belum
berpartai terus misalkan ingin lewat Gerindra itu bisa ga?
Pak Helvi : Ya bisa, kalo kita nilai dia mampu, tapi syaratnya, sebelum kita
memberikan dia hak untuk mencaleg, dia harus clear dulu bahwa dia tidak terlibat
di partai lain. Kemudian menurut PKPU, bukan pegawai negeri, bukan pegawai
BUMN, bukan juga aparatur negara. Ketika dia sudah clear itu baru kita lakukan
saringan.
Pewawancara : Jadi kadernya berarti setelah dia menang?
Pewawancara : Kalo bicara soal AD/ART, apa kader-kader ini harus khatam?
Pak Helvi : Sudah pasti. Ancur Gerindra ini kalo dia tidak memahami AD/ART,
apalagi kalo dia mau dicantumin sebagia pengurus. Yang pertama dia harus paham
manifesto perjuangan partai (visi misi, arah perjuangan partai), kemudian dia harus
paham AD/ART partai.
Pewawancara : Kalo penanaman nilai-nilai anti korupsi gimana pak?
Pak Helvi : Bagi Gerindra, korupsi itu adalah hal yang haram, itu ada di manifesto
partai, karena yang kita perjuangkan itu adalah pasal 33 “pengelolaan sumber daya
alam untuk digunakan sebenar-benarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat Indonesia”, otomatis kita tidak bicara kekayaan individual disana. Itukan
gambaran umumnya, gambaran detailnya itu akan di dapatkan pada pelatihan kader,
bahwa kader itu tidak boleh melanggra ini itu.
Pewawancara : Apakah ada kroscek tentang latar belakang caleg pada saat ia maju
di pileg?
Pak Helvi : Sudah pati di cek, kan kita minta keterangan kelakuan baik, SKCK dan
pengadilan kan juga dilihat tidak pernah terlibat narapidana.
Pewawancara : Pendapat bapak tentang caleg mantan koruptor seperti apa pak?
Pak Helvi : Kalo di Gerindra itu jelas, orang dinyatakan tidak bisa diikuti caleg
ketika dia tidak mendapatkan surat declair dari pengadilan. Bagi Gerindra, ketika
pengadilan menyatakan bahwa itu itu sudah clear ya sudah, kan gabisa dong
misalnya kamu pernah melakukan sesuatu, tapi kamu bisa melakukan surat declair
dari pengadilan. Kita juga harus menghargai lembaga pemerintahan bahwa orang
ini sudah dipulihkan hak politiknya, kecuali kamu pernah ditahan di atas 5 tahun,
itu kan hak politik di cabut. Selama pengadilan bisa mengeluarkan surat declair,
tidak ada hak Gerindra untuk hak politik seseorang itu.
Pewawancara : Jadi sikap Gerindra bagaimana dalam pencalonan caleg mantan
koruptor?
Pak Helvi : Ini bukan persoalan sikap saja, Gerindra itu taat hukum. Ketika
memang sudah ingkrah itu tidak ada ampun sekalipun dia menjadi dewan,
katakanlah dia jadi dewan, Gerindra sudah pasti men-PAW dia. Itu sudah banyak
yang kejadian seperti itu, terakhir Bali, anggota dewan, penangkapan narkoba, kita
PAW. Jadi gini, tidak ada yang bisa menjamin seseorang itu baik, tapi seseorang
juga punya hak membela diri. Ketika sudah melakukan pembuktian ke tingkat
pengadian, sampai pengadilan tinggi kamu dinaytakan bersalah, Gerindra baru bisa
mengikuti itu, karena Gerindra mematuhi Undang-Undang. Nah selama itu tidak
terjadi, istilahnya “hembusan begono begini” ya Gerindra itu tidak mau, karena
hembusan ini itu tidak ada kekuatan hukumnya. Gerindra itu adalah partai yang taat
hukum. Kalo membahas persoalan John Ibo, dia kan banding, setau saya kalo
sampai orang itu banding, masih ada keputusan di atasnya itu kita tidak bisa, tapi
ketika di eputusan terakhir, dia dinyatakan bersalah, Gerindra memanggilnya pasti
lewat mahkamah etik partai, selesai itu. Maksud saya gini, kalo mau menertibkan
hal-hal yang dituntut masyarakat itu, perangkat itu harus kuat. Contoh, untuk
pengadilan korupsi itu ketika dia sudah terhukum oleh KPK, itu harus dinyatakan
ada UU tertentu bahwa itu tidak ada hak lagi untuk banding-banding, karena itu
komisi yang khusus. Jadi tidak lagi ada upaya pembanding sehingga membuat yang
namanya semua partai pasti taat, kalo engga dia di tuntut secara HAM, makanya
Gerindra sangat setuju pemberantasan korupsi dengan penguatan KPK. Jadi
mengikuti keputusan dewan pembina.
Pewawancara : Misalkan caleg yang kabupaten atau kota kan ke DPC daftarnya,
yang menentukan itu prosesnya pengurus DPC nya?
Pak Helvi : Itu ada tim yang memerintahkan DPP lewat DPD supaya membentuk
tim seleksi celag daerah, disitulah di proses semuanya, kemudian hasil itu
dilaporkan kepada DPD, DPD memverivikasi, ketika menurut DPD saat verivikasi
wilayah, itu diteruskan ke DPP. Nah di DPP lah itu di putuskan. Putusannya tetap
di DPP. Kalo misalnya ketua DPC Tangsel yang juga sebagai caleg, kalo toh dia
memutuskan sendiri kapasitas dia mengusulkan dirinya, itulah gunanya disaring
oleh DPD, kalo dia merasa ga mampu, DPD akan memberi catatan, atau misalkan
DPD punya pertimbangan lain misalkan dia di calonkan jadi kepala daerah, gausa
caleg. Itu gunanya bertingkat.
Pewawancara : Kalo penentuan dapil dari pusat juga engga?
Pak Helvi : Ya kalo misalkan kamu caleg, ya berdasarkan kekuatan wilayah kamu
dong, gamungkin kamu misalnya kuat di Serpong ini kemudian kamu usulkan diri
kamu di Ciputat. Itulah yang di seleksi DPC, benar tidak ini orang punya suara.
Ketika diyakini oleh DPC, itu diusulkan ke DPD, lalu DPD mempelajari kira-kira
kemampuan kita dibandingkat kader yang lain kuat mana, disitulah nanti berlaku
nomor urut. Kemudian, dikaji lagi lawan-lawan kamu siapa saja. Banyak aspek
yang dikajai, tetapi tidak terlepas dari tiga garisan besar itu (ketokohan, jaringan,
kekuatan finansial). Kalo DPR RI begitu juga tetapi yang melakukannya itu DPP,
makanya DPR RI itu juga semakin banyak rekomendasi dari DPC dan DPD itu
punya nilai tersendiri buat dia untuk kekuatan dia nanti.
Pewawancara : Tentang pencalonan mantan narapidana ini kan sudah booming di
media, kalo di koran, di sosial media, banyak rakyat ini yang menolak atas hal itu.
Pendapat bapak bagaimana? Dan solusi bapak seperti apa?
Pak Helvi : Kita disatu sisi tidak menyalahkan masyarakat, tapi disatu sisi,
pertarungan politik, kemudian dihembuskan oleh media itu sesuatu itu dibawa
seperti penyakit yang besar. Kalo di sisi masyarakat memang tidak menghendaki
itu, solusinya sederhana, tidak usah dipilih. Tepai secara kepartaian, Gerindra tidak
mau terjebak untuk melawan kekuatan hukum, karena hak hukum seseorang kalo
kita langgar, dia punya hak juga untuk menuntut balik, secara hak asasi dia.
Pewawancara : Tetapi ada kekhawatiran dari partai gak pak kehilangan suara
rakyat?
Pak Helvi : Kita kan punya caleg lain, dan kita juga memberikan sosialisasi bahwa
maslaah korupsi adalah masalah isu perjuangan Gerindra. Nah kita bisa
memberikan contoh beberapa orang kita yang korupsi, ketika dia sudah
mendapatkan keputusan tetap, kita PAW saja, ketika dia sudah jadi dewan. Ada hal-
hal yang khususterutama yang menyangkut pengurus partai. Jadi gini, kan
perlakuan partai terhadap orang biasa dengan pengurus partai kan beda, disatu sisi
partai membutuhkan dia, tentu kita benar-benar ini orang clear, hak politiknya, hak
hukumnya sudah clear. Karena ini wilayah politik, bisa jadi orang tidak senang
sama dia, bisa jadi yang menghajar lawan politiknya, ini kasusnya mislakan kita
bicara Pak Taufik (caleg mantan koruptor), ini kan kejadian berhembus sekiataran
akhir tahun 2018 kemarin, setelah huru hara pilkada, kemudian ditambah Gerindra
menang, bertambah kuat lagi ketika dia di nominasikan sebagai calon wakil
gubernur DKI Jakarta, jadi nuansa politiknya kental. Tapi sampai sekarang, dia bisa
declair pengadilan, dan bahkan presiden sendiri pernah bilang bahwa ya tidak apa-
apa. Statement nya saja, yang jelas Gerindra itu taat hukum, ketika saat pencaleg-
an diminta diminta declair nya caleg koruptor dari pengadilan, ada tidak hak
Gerindra mencegah mereka, kan ga ada, ya yaudah. Sedangkan umum saja kita
perlakukan saja kita perlakukan seperti itu, apalagi pengurus.
Ya bagi Gerindra, sepenuhnya tergantung pada utusan otoritas hukum, sesuai
dengan tata aturan perundang-undangan, kalo masalah korupsi, adalah isu yang
memang dikedepankan dan diperjuangkan oleh Gerindra, untuk itu statement
Gerindra jelas, penguatan KPK, Gerindra tidak mau melakukan perubahan
perundang-undangan KPK yang bersifat pelemahan terhadap kewenangan KPK, itu
saja sudah jelas bahwa Gerindra fokus pada isu pemberantasan korupsi. Jadi kalo
masalah narapidana, Gerindra mentaati aturan hukum yang berlaku, aturan hukum
yang berlaku, selama yang bersangkutan bisa membuktikan suatu pernyataan atau
declair dari institusi hukum yang diakui di republik ini, bagi Gerindra itu tidak
masalah. Jadi intinya, kita di Gerindra itu sudah dikumpulkan, bahwa tidak ada hak
kita mematikan hak politik seseorang, selama negara masih menghidupkan hak
politik dia. Kejahatan berat itu adalah dibuktikan dengan masa hukuman dia. Jadi
di dalam hukum itu seseorang bisa dicabut hak politiknya ketika dia mendapat
hukuman berat diatas 5 tahun. Artinya, ketika si orang tersebut ke pengadilan, dan
berkata bahwa dia tidak masuk ke kejahatan berat yang di dakwa di atas 5 tahun,
saya bisa dong nyaleg, ya yaudah pengadilan mengeluarkan surat keterangan bahwa
yang bersangkutan berhak untuk mencaleg. Terus kalo tiba-tiba Gerindra bilang
tidak bisa, gimana? Itu kan perosoalan. Makanya kalo mau tertib, negara juga harus
konsisten. Misalkan KPK nangkep orang, hukumannya banyak juga yang dibawah
5 tahun, terus masyarakat menuntut juga. Memang secara etika moral itu udah
selesai, tapi ini persoalannya hukum. Kalo persoalan etika moral, yang namanya
etik itu konsekuensinya adalah hukum masyarakat, hukum sosial, hukum sosial
yang diharapkan partai “masyarakat, kamu menganggap ini udah melanggar etika,
gausah kami pilih”. Tapi kami secara institusi resmi, berdiri atas UU, kami harus
mengakomodai UU juga, nah itu yang dimaksud taat azas. Jadi intinya, tidak ada
hak Gerindra untuk menentukan hak politik seseorang, hak politik seseorang
dilakukan oleh institusi yang berwenang. Nah kalo dalam hal ini yang paling tinggi
MA, karena proses kasasi itu kesana, ketika MA sudah menhyatakan dia ingkrah,
itu ga ada lagi, itu hukuman akhirat aja udah.
3. Wawancara dengan Bapak Zaid Elhabib (Wakil Ketua DPD Gerindra
Provinsi Banten, Ketua Komisi I Bidang Pemerintahan DPRD Provinsi
Banten).
Pewawancara : Assalamu’alaikum Wr. Wb. Perkenalkan nama saya Nabillah
Aisyah Rumi, mahasiswi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya, saya berterimakasih kepada
Bapak yang sudah bersedia menjadi narasumber untuk skripsi saya yang berjudul,
“Proses Politik dalam Pencalonan Kader (Studi atas Pencalonan Mantan
Narapidana Kasus Korupsi pada Partai Gerindra di Pemilihan Legislatif 2019)”.
Langsung saja ke pertanyaan pertama pak, di partai Gerindra sendiri, bagaimana
proses dan persyaratan untuk menjadi anggota atau kader Gerindra?
Pak Zaid Elhabib : Proses masuk partai ya sebetulnya tidak sulit, gampang saja,
partai politik kan terbuka bagi siapa saja warga negara Indonesia yang
menginginkan demokrasi menjadi lebih baik itu melalui proses partai politik. Jadi
siapa saja berhak masuk partai politik. Proses untuk masuk partai politik sendiri
sebetulnya dia cukup memiliki umur dan mempunyai KTP warga negara Indonesia,
kemudia proses di partai politik itu sendiri dia mengikuti seluruh kegiatan-kegiatan
partai, dia sudah memiliki kartu tanda anggota (KTA), diharapkan seseorang itu
aktif dalam mengikuti kegiatan partai. Simple sebenarnya, kalo memang dia ada
keinginan partai politik ya bisa masuk, siapa saja berhak masuk, tergantung orang
itu memilih partai mana yang kira-kira menurut orang tersebut bisa berperan dalam
proses demokrasi di Indonesia untuk menjadikan negara ini menjadi lebih baik.
Pewawancara : Proses dari kader lalu menjadi caleg seperti apa ?
Pak Zaid Elhabib : Persyaratannya harus aktif, mekanisme caleg persyaratannya
sesuai dengan KPU, siapa saja boleh asal dia menjadi anggota partai politik.
Sedangkan di partai politik sendiri juga punya persyaratan juga, adalah mengukur
keaktifan anggota maupun kader partai tersebut dalam rangka menaikan citra baik
partai. Kalo dia pasif, dia mau jadi caleg terus bagaimana dia bisa terkenal,
bagaimana dia bisa mengenalkan diri kepada calon-calon pemilihnya. Jadi caleg
kan tidak mudah, dia harus mempunyai tingkat popularitas dan elektabilitasnya.
Kalo dia pasif, bagaimana dia bisa dipilih karena pasif. Kalo mau dipilih menjadi
caleg dari partai, dia harus aktif kegiatan-kegiatan partai. Contohnya saya, saya
aktif di partai, saya ikut meningkatkan nama baik partai, berarti orang tau saya,
meningkatkan partai Gerindra, jadi dengan sendirinya saya akan dikenal. Kalo
persyaratan KPU itu umum, secara hukum. Kalo mekanisme dari partai nya,
melihat dan mengukurnya dari keaktifan si kader tersebut dalam menaikan nama
baik partai.
Pewawancara : Jadi semua kader belum tentu lolos menjadi caleg ?
Pak Zaid Elhabib : Belum, karena kuota kita kalo di DPRD 50 orang di Tangerang
Selatan, tapi kemarin yang daftar 100 orang, berarti kan harus ada 50 orang yang
hilang. Berarti kita harus melihat siapa anggota partai politik ini yang
kemungkinannya bisa dipilih. Itu kan ada tolak ukur juga. Kalo misalkan ingin
mendaftar menjadi anggota DPRD Provinsi ya ke DPD, sesuai dengan tingkatan,
yang screening nya pengurus. Terus kalo penentuan dapil itu sesuai dengan domisili
tempat tinggal, intinya untuk bisa mewakili tempat tinggal kita. Kalo
memungkinkan seperti itu, tapi kalo DPR RI tidak juga karena wilayah cakupan
DPR RI itu luas. Itu yang menentukan partai.
Pewawancara : Apakah kader partai dan caleg harus khatam AD/ART?
Pak Zaid Elhabib : Dia harus mematuhi apa yang menjadi ketentuan yang ada di
AD/ART dan dia wajib untuk mematuhi nya, itukan semacam kitab suci kita. Jadi
apa yang ada di AD/ART ya kita harus mematuhinya, apa yang menjadi sanksi, apa
yang menjadi hak, itu berpedoman dari AD/ART nya. Dan kalo misalkan kita
terjadi maslaah apapun kita rujukannya dari situ.
Pewawancara : Terus kalo dari kader sendiri ada penanaman nilai-nilai anti
korupsi?
Pak Zaid Elhabib : Saya rasa di AD/ART sendiri nilai-nilai itu sudah dijelaskan,
bukan hanya anti korupsi, yang sifatnya melanggar hukum sudah pasti tidak boleh.
Pokoknya apapun yang melanggar hukum tidak boleh (mencuri, melakukan
kekerasan), ya namanya caleg ya apalagi anggota DPRD harus mematuhi itu,
karena dia merupakan unsur pemerintahan, yang nantinya membuat Undang-
Undang kalo ditingkat DPR RI, kalo di DPRD dia membuat peraturan daerah.
Memang sudah menjadi keharusan apabila dia sudah menjadi anggota dewan dia
harus mematuhi peraturan yang ada. Apalagi dia sebagai anggota dewan sebagai
wakil masyarakat banyak.
Pewawancara : Kalo misalkan ingin menjadi kader atau caleg dari partai politik,
itu ada diusut dulu latar belakangnnya? Ada screening nya?
Pak Zaid Elhabib : Iya. Sebetulnya secara tidak langsung, sebagai anggota partai
dan caleg, minimal dia punya kredibilitas yang baik. Kita liat doang CV nya, latar
belakang keluarga, sekolah, kemudian dari aktivitas dia sehari-hari, perlu kita
jabarkan kepada pengurus partai. Jangan sampai kita menerima anggota partai yang
dia preman, bermasalah, tetapi yang selama ini masih melakukan tindakan hukum,
kita harus menjadi hal itu, jangan sampai nama baik partai dirusak oleh orang
tersebut.
Pewawancara : Terus pendapat bapak sendiri tentang pencalonan mantan
narapidana kasus korupsi seperti apa?
Pak Zaid Elhabib : Ya begini kita lihat juga latar belakang dia mendapatkan
hukuman korupsi itu. Karena ada yang korupsi karena kesengajaan, ada yang
korupsi karena kesalahan wewenang atau kebijakan. Sebetulnya dia tidak berniat
korupsi, tetapi karena ada maslaah dari kebijakannya, proses di anak buahnya, dan
lainnya, dia harus bertanggung jawab. Itu sebetulnya hukum yang menindaklanjuti.
Jadi menurut saya jangan diambil secara umum bahwa tindakan korupsi untuk
memperkaya diri sendiri, tapi ada berbgaai macam latar belakang yang membuat
putusan vonis itu dilakukan. Yang tadi saya bilang, kita lihat juga, kalo memanh itu
karena kesalahan administrasi dan kebijakan, ya saya rasa kita harus liat juga latar
belakangnnya. Kita juga harus liat aturan dari KPU kalo memang itu ada masa
jangka waktu, mantan narapidana itu sudah selesai masa “indah” nya sudah selesai,
tidak apa-apa menurut saya. Maka kita lihat apakah dia korupsi terus menerus, atau
itu kejadian hanya sekali saja. Tapi kalo selama ini dia kerja nya baik, terus karena
kesalahan satu saja kita harus lihat latar belakangnya, apa karena kebijakannya,
kemudian kita lihat lagi setelahnya dia melakukan kebaikan, memperbaiki diri, saya
rasa itu tidak menjadi masalah. Kita harus liat latar belakangnnya intinya, berbuat
maslaah karena apa, dan kalo misalkan KPU memperbolehkan ya tidak jadi
masalah kan, kalo dia sudah selesai masa tahannya, dia sudah berbuat baik, masa
orang tertaubat kita tidak terima.
Pewawancara : Kalo sikap Gerindra terhadap anggota yang sudah menjadi
tersangka ini bagaimana?
Pak Zaid Elhabib : Itu sudah pasti coret, tidak ada mapunan. Tapi kalo tindakan
korupsi itu biasanya kita lihat dulu, dia dijebak atau dia melakukan sendiri.
Makanya saya bilang lihat latar belakangnnya dulu. Kecuali narkotika, itu udah
ampun, pasti dia terlibat.
Pewawancara : Faktor pertimbangan partai Gerindra mencalonkan mantan
narapidana korupsi itu apa?
Pak Zaid Elhabib : Itu lihat latar belakangnnya, dan kita lihat kalo dia sudah
memperbaiki diri dan sudah tidak lagi melakukan kecurangan, saya rasa orang juga
butuh pengampunan dan membuktikan kalo dia seseorang yang baik, jadi itu
mungkin yang jadi latar belakang orang pusat. Itu keputusan dari pusat, tapi saya
rasa pertimbangannya seperti itu.
Pewawancara : Tapi itu juga tergantung elektabilitasnya, misalnya mohammad
taufik, kan banyak yang mendaftar menjadi caleg DPRD Provinsi DKI, itu kenapa
Mohammad Taufik yang terpilih? Dan caleg lainnya bagaimana? Kan banyak juga
yang ingin menjadi anggota DPRD Provinsi/Kab.Kota?
Pak Zaid Elhabib : Ya pasti elektabilitasnya juga, kita lihat dia keaktifan di partai
Gerindra seperti apa, kan dia ketua DPD, sejak awal berdirinya partai Gerindra, dia
sudah aktif banyak berbuat baik partai Gerindra. Jasa dia sudah banyak, hal-hal
seperti itulah yang kita pertimbangkan untuk menyalonkan di legislatif. Itu tadi saya
bilang kita lihat jasa-jasa beliau dalam meningkatkan elektabilitas partai, nama baik
dia, tanggung jawab dia juga besar, kita lihat prestasi dia juga cukup baik. Itulah
pertimbangan positifnya, tetapi ada pertimbangan negatifnya kita lihat dia dulu
mantan koruptor, tapikan itu kejadian di tahun kapan? Apakah dia mengulanginya
lagi? Kita lihat positif sama negatifnya lebih banyak mana. Ya gak ada salahnya
kan kalo banyak positifnya dia nanti bisa meningkatkan nama baik partai lagi.
Pewawancara : Kalo dari internal partai sendiri menanggapi isu KPU in, berbeda-
beda tidak satu sama lain?
Pak Zaid Elhabib : Kita ikut kata DPP, karena itu semua kita kembali pusat, pasti
mereka punya pertimbangan-pertimbangan lain, kita tinggal mengikuti apa
kebijakan pimpinan pusat.
Pewawancara : Setelah munculnya kasus mantan narapidana kasus korupsi maju
di legislatif, banyak pendapat masyarakat yang kurang setuju, solusi dan pendapat
bapak sendiri agar Gerindra tidak kehilangan suara dari rakyat yang sudah punya
stigma negatif?
Pewawancara : Solusinya kita harus membuktikan. Kalo misalnya diputuskan
sekarang, misalnya mantan koruptor sudah pasti jahat, ya saya rasa tidak adil juga.
Orang yang divonis dan sudah melakukan tahanan dan sudah selesai dan padahal
itu juga sudah lama dan dia tidak diberikan kesempatan untuk berbuat baik ya
pembuktian yang harus dibuktikan. Ya pasti kita dari pihak partai juga membuat
warning terhadap para mantan koruptor dari Gerindra agar tidak melakukan lagi.
Kalo misalnya dia dulu karena kesahalahan kebijakan, dia harus melakukan
tindakan yang terpuji, istilahnya berjanji untuk hati karena posisi dan tanggung
jawab dia, dia harus lebih selektif dalam melakukan tindakan yang menjadi
keputusan dia. Dilihat lagi apakah keputusan ini dapat melanggar hukum atau tidak.
Ya itu tadi saya bilang warning, kekhawatiran pasti ada. Kalo memang dia sudah
di stempel oleh masyarakat ini mantan koruptor, buktikan bahwa sekarang dia
bukan mantan kortor lagi.
Pewawancara : Tadi bapak bilang solusinya membuktikan, nah dari partai sendiri,
misalkan dari DPRD Provinsi Banten atau dari DPP, ada tidak program-program
yang mendukung pendidikan untuk rakyat? Atau program nilai-nilai anti korupsi?
Pak Zaid Elhabib : Jadi dari AD/ART itu saja cukup sebenarnya, itu harus
dipelajari dan dibaca. Itu semua ada hal yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan. Ikuti saja aturan itu, ya terhindarlah kita dari perbuatan negatif.
Untuk memantapkan kita terhadap nasionalisme kita terhadap negara, loyalitas kita
terhadap partai, itu kita ada pengkaderan di hambalang. Itu kita di gembleng, supaya
kita nasionalis, harus loyal terhadap partai, berbuat hal yang baik terhadap
masyarakat. Dari hal-hal tersebut ya otomatis menjaga untuk hal yan tidak baik.
Kalo sampai terjadi hal-hal negatif, partai tidak bertanggung jawab, karena partai
sudah mendidik, kita sudah kasih aturan-aturan yang jelas, partai tidak akan
membela siapa saja yang berbuat salah, otomatis hak politik akan kita cabut.
Pencalonan mantan koruptor saya rasa kita sebagai warga negara yang mempunyai
hak politik di Indonesia melalui jalur partai politik. Keinginan kita untuk
membangun Indonesia itu otomatis timbul dari diri kita sendiri, apabila memang
kita dulu pernah menjadi narapidana, tersangka, apalagi sudah divonis, kalo ingin
memperbaiki diri, ingin tidak dianggap mantan koruptor, ya saya rasa harus
membuktikan bahwa mereka ini benar-benar bersih dari masalah yang dulu.
Buktikanlah hal tersebut melalui jalur politik, bahwa mereka ingin berbuat baik.
Semua warga negara punya hak politiknya dan punya hak untuk memperbaiki
dirinya sendiri dan juga kebaikan terhadap bangsa negara Indonesia. Tapi memang
harus hati-hati, jangan sampai orang ini masuk malah jadi masalah.