18@s nabil forum 2011

60
1 Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011 Yayasan MEL untuk Nation Building Tjan Tjoe Som : BAPAK SINOLOGI INDONESIA Edisi II Januari 2011 Nabil Award 2010 Jakarta 14 Oktober 2010 Hadirkan Senyuman Untuk Perbedaan (Laporan Jamboree of Harmony) Bogor, 27-31 Juli 2010 Artikel : Tokoh Tionghoa dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia Tjan Tjoe Som : BAPAK SINOLOGI INDONESIA ISSN:2087-9113

description

 

Transcript of 18@s nabil forum 2011

Page 1: 18@s nabil forum 2011

1Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Yayasan MEL untuk Nation Building

Tjan Tjoe Som : BAPAK SINOLOGI

INDONESIA

Edisi IIJanuari 2011

Nabil Award 2010Jakarta 14 Oktober 2010

Hadirkan Senyuman Untuk Perbedaan(Laporan Jamboree of Harmony)Bogor, 27-31 Juli 2010

Artikel :

Tokoh Tionghoa dalam Revolusi Kemerdekaan

IndonesiaTjan Tjoe Som :

BAPAK SINOLOGI INDONESIA

I S S N : 2 0 8 7 - 9 1 1 3

Page 2: 18@s nabil forum 2011

2Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Page 3: 18@s nabil forum 2011

3Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Dari Meja Ketua PendiriPembaca yang budiman,

Saya gembira bahwa publikasi yang tiba di tangan Anda ini bernama Nabil Forum.

Edisi perdana terbitan ini bernama Nabil News, yang telah dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan telah disebarluaskan, baik di Indonesia maupun ke Mancanegara. Di luar dugaan, sambutan yang sangat positif telah kami terima dari berbagai kalangan, bahkan ada beberapa pihak yang ikut mendukung secara langsung penerbitan newsletter ini. Untuk semua uluran tangan itu kami ucapkan terimakasih yang tulus.

Berbagai sambutan dan masukan tersebut makin membakar semangat dan membuat kami berfikir tentang penting dan bergunanya two ways communication. Maka kami putuskan untuk mengganti nama publikasi ini menjadi Nabil Forum, agar selain melaporkan berbagai aktivitas Nabil, media ini dapat dijadikan arena untuk berdialog dengan sidang Pembaca, namun tetap sesuai dengan arahan redaksi.

Secara singkat dapat kami sebutkan beberapa peristiwa penting bagi Nabil dalam periode Juni-November 2010, yang laporannya bisa di baca dalam edisi ini, diantaranya adalah ceramah Prof Liang Yingming, seorang sejarawan senior yang kami undang dari Peking University, Beijing; peluncuran dan bedah buku Memoar Ang Yan Goan di Perpusnas Jakarta dan FIKOM Universitas Padjadjaran Bandung serta peluncuran buku Negara Pancasila Versi Mandarin yang ditulis

oleh As’ad Said Ali Wakil Ketua PB NU yang juga menjabat Wakil Kepala BIN. Puncaknya adalah penganugerahan Nabil Award ke-4 pada bulan Oktober yang lalu, yang bertemakan “Memahami Sejarah, Membangun Bangsa”.

Ada tiga artikel yang muncul dalam edisi perdana Nabil Forum ini. Yang pertama adalah renungan mengenai pluralisme karya penulis muda, Dewi Ratih Widyaningtyas. Tulisan kedua mengenai tokoh-tokoh Tionghoa di masa Revolusi Kemerdekaan, karya sejarawan muda, Bondan Kanumoyoso. Artikel terakhir tulisan Dr A. Dahana, sinolog senior, yang mengisahkan riwayat Prof Dr Tjan Tjoe Som, seorang akademisi yang telah banyak berkorban untuk tanah air yang dicintainya, namun akhirnya dia dilupakan.

Kami harapkan agar para Pembaca yang kami hormati berkenan untuk berperan aktif dalam menyemarakkan Nabil Forum dengan berbagai pemikiran dan ide yang mendukung proses pembangunan bangsa. Tentu saja, berbagai masukan dan kritikan, juga kami nantikan.

Selamat membaca dan teriring salam,

Drs. Eddie LembongKetua Pendiri Yayasan Nabil

Ucapan Terima Kasih

Yayasan Nabil mengucapkan terimakasih yang dalam kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan dan sumbangsihnya terhadap penerbitan Nabil Forum (sebelumnya Nabil News) maupun Program Kerja Nabil lainnya. Secara Khusus kami hendak menyampaikannya kepada:

1. Soetjipto Nagaria & Ibu Liliawati Rahardjo, Summarecon Group2. Hadi Rahardja, Vice President Director PT. Kawasan Industri Jababeka, Tbk3. Sudiharto Sridjaja, Chairman PT. Eternal Buana Chemical Industries4. Wilson Tukunang, Pengurus Alumni Hwashiao Sulut, Jakarta5. Budhi Moeljono, President Director PT. Indo Acidatama, Tbk, Surakarta6. AA. Sidarto, Ciasem Cikini, Menteng Jakarta7. Drs. Hendry Jurnawan, SH.SIP.MM, Danau Indah, Sunter8. Budi Kho, Magelang9. A Rusli, PhD, Jurusan Fisika, Unpar Bandung

Page 4: 18@s nabil forum 2011

4Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Februari 2011 : • Launching kantor Nabil• Peluncuran dan diskusi buku

Aku Orang China?Maret 2011 :

• Launching Nabil Society• Road Show Memoar AYG di

Surabaya• Road Show Memoar AYG di

Yogyakarta• Peluncuran dan diskusi Buku

Liang Yingming (terjemahan Bahasa Indonesia)

Mei 2011 : • Peluncuran dan diskusi Buku

Hoon Chang Yau (terjemahan bahasa Indonesia)

Juli 2011 : Seminar bersama NIOD AmsterdamAgustus 2011 : Peluncuran & Diskusi Buku Who’s

Who (Tionghoa Militer)Oktober 2011 :

• Nabil Award 2011• Peluncuran & Diskusi Buku

Biografi Eddie Lembong di Jakarta

Penerbit : Yayasan NabilPenanggungjawab : Drs Eddie Lembong, AptPemimpin Redaksi : Didi KwartanadaSidang Redaksi : Yan, Cindy, VidyaAlamat Redaksi : Yayasan Nation Building

(Nabil), Jl. Limo No, 40, Permata Hijau, Senayan,Jakarta 12220, Indonesia.

Tel : (62-21) 7204383,7200981 Ext 206,207

Fax : (62-21) 7260788Email : [email protected] : www.nabilfoundation.orgUntuk Berpartisipasi Rekening :Yayasan Melly Eddie LembongBank CIMB NIAGA Cab. Permata Hijau Jakarta Acc. 225.01.000.26.002

Dalam melakukan kegiatan dan aktivitasnya, Yayasan Nabil mendapat dukungan pemikiran dari berbagai tokoh masyarakat yang memiliki kepakaran dalam bidang masing-masing, diantaranya :

1. Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Maarif.2. Prof. Dr. Saparinah Sadli.3. Prof. Dr. Siti Musdah Mulia.4. Prof. Dr. Bambang Purwanto.5. Dr. Thee Kian Wie.6. Dr. Yudi Latif.7. Dr. Asvi Warman Adam.8. Dr. Anhar Gonggong.9. Dr. Tamrin Amal Tomagola MA.10. Dra. Myra Sidarta.11. Mely G Tan, PhD12. Dra. Mona Lohanda, M.Phil13. A. Prasetyantoko, Ph.D14. Yerry Wirawan15. Didi Kwartanada

Dewan Pakar Yayasan Nabil

Daftar Isi

Dari Meja Ketua Pendiri........................................................... 3Ucapan Terima Kasih ............................................................... 3Dewan Pakar Yayasan Nabil .................................................... 4Agenda Nabil ............................................................................ 4Nabil Award 2010 .................................................................... 5Ceramah : Integrasi Tionghoa kedalam Bangsa Indonesia . 14Peluncuran & Diskusi Buku Memoar Ang Yang Goan........... 16Road Show Memoar Ang Yan Goan .......................................19Peluncuran & Diskusi buku “Mereka Bilang Aku China” .................................................... 21Peringatan & Pemahaman Falsafah Pancasila ....................23Pembelian & Pembagian Buku Negara Islam .......................25Suara Harmoni Indonesia .......................................................25Artikel : Hadirkan Senyuman Untuk Perbedaan (Laporan Jamboree of Harmony) ...........................................26Publikasi ..................................................................................29Artikel : Tokoh-tokoh Tionghoa Dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia .............................32Puisi : SEJARAH, IBU KEHIDUPAN Rangkaian Kata Yang Tiba-tiba Datang ................................................... 37Syarat Dasar Menjadi Entrepreneurship ..............................38Peluncuran dan Bedah Buku “Negara Pancasila” ................40Etnis Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia ..................................................................42Etnis Tionghoa Dalam Sejarah Indonesia Abad 19-20 ..............................................................................43Kuliah Umum : Mengenal China Sambil Memahami Sejarah Modern Indonesia .....................................................45Penyerahan Hadiah Lomba Booklet“Pantang Pulang Sebelum Padam” .......................................46Artikel : Tjan Tjoe Som: Bapak Sinologi Indonesia ...............49Penandatanganan MoU Yayasan Jati Diri Bangsa dengan Yayasan Nation Building (Nabil) .............................................55Tentang Nabil dan Mas Asvi ................................................... 57

Agenda Nabil 2011 Penerbit

Page 5: 18@s nabil forum 2011

5Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

“MEMAHAMI SEJARAH, MEMBANGUN BANGSA”: Penganugerahan Nabil Award Ke-4

Kamis 14 Oktober 2010 di Hotel Mulia

Pada hari Kamis, 14 Oktober 2010 di Hotel Mulia Jakarta, Yayasan Nabil menganugerahkan

penghargaan tahunannya, Nabil Award, yang ke-4. Tahun ini Nabil Award bertemakan: “Memahami Sejarah Membangun Bangsa.” Tema tersebut dipilih, karena Yayasan Nabil merasa terpanggil untuk memberikan penghargaan kepada para sejarawan. Hal ini berangkat dari keprihatinan akan memudarnya karakter dan wawasan kebangsaan, tidak saja di kalangan sebagian anak muda, tetapi juga di kalangan mereka yang sudah mapan. Maka untuk tahun 2010 ini telah terpilih tiga tokoh putera-puteri Indonesia terkemuka dalam bidang “Kesejarahan Indonesia Modern”, yaitu Dr. Anhar Gonggong, Dra. Mona Lohanda, M.Phil. dan Dr. Asvi Warman Adam, DEA. Nama Anhar Gonggong (lahir 1943 di Pinrang Sulawesi Selatan) dikenal sebagai seorang sejarawan yang sering tampil di berbagai forum seminar maupun di layar kaca dan dosen di berbagai perguruan tinggi. Tema sentral pemikiran dan karya-karya yang selalu ditekankan putera Bugis berdarah biru ini adalah keindonesiaan, tema keindonesiaan yang padu dalam keberagaman.

Mona Lohanda (kelahiran Tangerang 1947) adalah seorang Peneliti Utama dari Arsip Nasional RI, yang mampu mengawinkan Ilmu Sejarah dengan Ilmu Kearsipan. Arsip merupakan memori kolektif dan jatidiri bangsa. Dari arsip, dapat dilihat sosok perjalanan suatu bangsa. Mona telah mengabdikan diri selama 38 tahun untuk menjadikan arsip sebagai bagian dari kinerja menggerakkan penulisan sejarah bangsa agar semakin hari semakin berkualitas.

Pemenang Nabil Award 2010 bersama Bapak Eddie Lembong dan Ibu Melly Lembong

Anhar Gonggong menerima Piagam Nabil Award dari Buya Syafii Maarif

Page 6: 18@s nabil forum 2011

6Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Bagi masyarakat, Asvi Warman Adam (lahir di Bukittinggi, 1954), adalah sebuah ikon publik yang tak asing lagi. Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini adalah kolumnis yang produktif dan juga nara sumber di berbagai seminar maupun acara televisi. Asvi giat dalam kegiatan pelurusan sejarah, mengembalikan etnis Tionghoa ke dalam Sejarah Nasional Indonesia dan pelajaran sejarah, serta sebagai ilmuwan publik. Acara Nabil Award 2010 diawali dengan pidato Ketua Pendiri Yayasan Nabil, Drs Eddie Lembong, yang mengingatkan bahwa “Sejarah adalah PELITA untuk HARI DEPAN”. Pidato pertanggungjawaban atas para pemenang disampaikan oleh Ketua Dewan Pakar Nabil, Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, yang menegaskan bahwa sejarah adalah lonceng pengingat untuk tidak melakukan kesalahan dan kebodohan serupa, kapan pun dan di mana pun (pidato lengkap terlampir). Sudah menjadi tradisi di dalam Nabil Award, masing-masing pemenang diminta menyampaikan ”pidato penerimaan” (acceptance speech). Dalam pidatonya, Anhar Gonggong mengingatkan bahwa Indonesia dibangun melalui dialog oleh berbagai suku bangsa, bukan hanya satu suku bangsa saja. Hampir senada, Mona Lohanda menyerukan

agar ilmu sosial dan humaniora menjadikan keberagaman sebagai variabel yang tak tergantikan dan terus berkelanjutan. Terakhir, Asvi Warman Adam menerangkan keberpihakannya kepada kaum yang terpinggirkan dalam sejarah nasional Indonesia, yakni para korban peristiwa G30 S 1965 dan etnis Tionghoa. Grup keroncong pemuda “El Jasqee” pimpinan Lilik Jasqee mengiringi jalannya penyerahan award. Puncaknya adalah ketika mereka mempersembahkan lagu-lagu dari daerah para pemenang, “Ati Raja” (Makassar, asal Dr Anhar Gonggong); “Jali-jali” (Betawi, Mona Lohanda) dan “Teluk Bayur” (Sumatra Barat, Asvi Warman

Mona Lohanda menerima Piagam Nabil Award dari Ketua Dewan Pakar

Asvi Warman Adam menerima Piagam Nabil Award

Asvi Warman Adam menerima Paket Kristal Nabil Award

Saparinah Sadli menyerahkan Plakat Kristal kepada Anhar Gonggong

Mona Lohanda menerima Plakat Kristal dari Saparinah Sadli

Page 7: 18@s nabil forum 2011

7Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Adam), dilengkapi dengan kisah di balik lagu-lagu tersebut. Walaupun cuaca kurang bersahabat, acara dihadiri oleh lebih dari 200 undangan. Hadir diantaranya adalah Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof dr Fasli Jalal, Ph.D; mantan Menteri Pemberdayaan Wanita, Prof Dr Meutia Hatta beserta suami, Prof Dr Sri-Edi Swasono; Mayjen TNI (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo dari Legiun Veteran RI; para politikus senior Harry Tjan Silalahi dan A.M. Fatwa, beserta sejarawan senior Prof Dr Taufik Abdullah. Hadir pula dari kalangan

pengusaha Pandji Wisaksana dan Yusuf Hamdani serta Bahar Buasan yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Yayasan Nation Building (NABIL), adalah suatu lembaga nirlaba yang didirikan tanggal 30 September 2006 dengan tujuan untuk turut peduli kepada proses Nation Building Indonesia dan masalah-masalah yang dihadapinya. Sejak 2007, setiap tahun sekali Yayasan Nabil menganugerahkan NABIL Award kepada ilmuwan sosial yang telah berjasa bagi pengembangan proses Nation Building Indonesia melalui penelitian, penerbitan

Pin Emas disematkan oleh Melly Lembong kepada Anhar Gonggong

Pin Emas disematkan kepada Asvi

Mona Lohanda menerima Pin Emas

Penyerahan cek untuk Anhar oleh Eddie Lembong

Penyerahan cek untuk Mona Lohanda

Hadiah cek diterima Asvi Warman Adam

Page 8: 18@s nabil forum 2011

8Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Ketiga pemenang dengan Piagam Penghargaan

karya ilmiah dan/atau aktivitas lain yang mampu memberikan pencerahan kepada publik. Mereka yang dievaluasi di antaranya adalah orang(-orang) yang bergiat dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan tantangan yang dihadapi Nation Building Indonesia dari dulu hingga sekarang, Hingga tahun 2010 ini, sudah sembilan orang sarjana dari lima negara yang telah menerima Nabil Award, yakni dari Perancis (Dr Claudine Salmon), Jerman (Dr Mary Somers-Heidhues), Singapura (Prof Dr Leo Suryadinata), Australia (Assoc. Prof. Charles A. Coppel) dan Indonesia (Dra Myra Sidharta; Mely G.

Tan, Ph.D dan ketiga pemenang tahun ini) Persoalan character and nation building merupakan kristalisasi dari pembelajaran sejarah. Sehingga segala upaya untuk memperkuat keduanya memerlukan apresiasi terhadap sejarah. Maka salah satu founding father kita, Ir Soekarno, pernah menegaskan “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!” (JASMERAH). Semoga penganugerahan Nabil Award 2010 yang bertema: “Memahami Sejarah Membangun Bangsa,” semakin menyadarkan kita agar membangun bangsa dengan cara yang lebih arif.

Prof. Musdah Mulia salah satu dewan Pakar Yayasan Nabil

Todung Mulya Lubis disambut oleh Ketua Pendiri Yayasan Nabil

Meutia Hatta beserta suami Prof. Sri Edi Swasono sesaat setelah acara

Diantara para undangan tampak hadir AM Fatwa (Anggota DPD), Prof. Taufik Abdullah, Dr. Fasli Jalal (Wakil Menteri Pendidikan), Sukotjo Tjokroatmojo, Bahar Buasan (Anggota DPD) dan undangan lainnya

Page 9: 18@s nabil forum 2011

9Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Kata Sambutan Ketua Pendiri Yayasan NABILDisampaikan pada Nabil Award Tahun 2010

HADIRIN SEKALIAN YANG SAYA MULIAKAN, Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera untuk kita semua.

Hari ini kita berhimpun di sini untuk menghadiri Upacara Penganugerahan Nabil Award Tahun

2010. Tahun Ini adalah tahun Ke-4 persembahan Nabil Award bagi ilmuwan-sosial yang dinilai telah berjasa dalam pengembangan pemikiran bagi ”Nation Building Indonesia” melalui penelitian, penerbitan karya ilmiah dan/atau aktivitas lainnya yang telah mampu memberikan pencerahan bagi khalayak umum.

Pemenang Nabil Award Tahun 2010 Ini adalah 3 orang putra-putri Indonesia terkemuka dalam

bidang “Kesejahteraan Indonesia Modern”! akan diumumkan oleh Ketua Dewan Pakar, mengapa ketiga sejarawan ini yang memenangi award tahun ini?

Penjelasan/pertanggungjawaban yang rinci tentang tokoh-tokoh ini akan diberikan segera

setelah sambutan saya ini. Tetapi kenapa tema “Sejarah” yang dikedepankan tahun Ini? atas pertanyaan ini, izinkan saya sampaikan jawabannya sebagai berikut: karena sejarah adalah pelita untuk hari depan.

Ilmuwan Indonesianis terkenal asal Amerika Serikat, Ben Anderson pernah mengatakan:

”tanpa Ada Nederlandsch-indie (Hindia Belanda) tidak akan ada Indonesia”. Dia berkata demikian, karena dia memahami SEJARAH Indonesia!

Seperti kita semua ketahui: dulu belum ada Indonesia, yang ada adalah Nusantara dengan ratusan kerajaan/kesultanan besar/kecil yang belum menguasai pengetahuan-pengetahuan: Ilmu Politik, Ekonomi, Hukum, Ketatanegaraan, Kemiliteran, Teknologi, dll yang memadai untuk

Page 10: 18@s nabil forum 2011

10Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

mampu mempersatukan wilayah seluas ini menjadi satu negara modern!

Dengan mengambil kesejajaran yang sama, ingin saya kemukakan: kesan saya, bahwa ”tanpa

adanya pelaksanaan ”politik etis” oleh kolonialis Belanda di akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, barangkali belum akan ada ”Indonesia”!. Oleh karena bukankah kita semua tahu dari sejarah bahwa akibat dari pelaksanaan politik etis dalam bidang pendidikan yang mencerahkan itu, sejarah mencatat bahwa sejak awal abad ke-20 terjadilah serentetan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia Modern, antara lain dapat dicatat:

• 1905 : Sarikat Dagang Islam didirikan, yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam.

• 1908 : Berdirinya Budi Utomo sebagai wujud Kebangkitan Nasional.

• 1926 : Pada usia belia 25 tahun, Soekarno telah menulis sebuah karya penting berjudul: Nasionalisme, Islamisme Dan Marxisme.

• 1928 : Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

• 1932 : Liem Koen Hian dan kawan-kawan mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI).

• Disusul pada tahun 1934, A.R. Baswedan dan kawan-kawan mendirikan Partai Arab Indonesia.

• 1945 : Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945!

Dari paparan singkat tersebut di atas, dapat dilihat betapa besar manfaat pendidikan dalam

melahirkan para “Founding Fathers” Indonesia dalam waktu yang demikian pendek. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya, beratus-ratus tahun sebelum datangnya kolonialisme, seperti yang telah disebutkan di atas. Di lain pihak, sekaligus harus kita sadari sekarang, bahwa karena pendeknya waktu sejak diperkenalkannya politik etis sampai saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dapatlah dipahami,dan dari perspektif sejarah, wajib diingat, bahwa: dalam memasuki pintu emas kemerdekaan Indonesia, sesungguhnya penguasaan pengetahuan dan pengalaman kita dalam mengelola sebuah negara modern sebesar Indonesia ini, sesungguhnya masihlah sangat terbatas. Hal ini sangat berbeda dengan pengalaman sejumlah Negara-negara bekas jajahan yang merdeka kemudian.

Inilah sebuah kenyataan, yang mungkin pada awal-awal kemerdekaan, tidak sepenuhnya kita

sadari dan mawas diri; sehingga dalam 65 tahun perjalanan kemerdekaan kita sampai saat ini, tidak sedikit kekurangan dan kekhilafan yang kita lakukan! ini semua menerangkan kenapa sampai saat ini kita masih sangat direpotkan oleh berbagai kemelut dan kesulitan-kesulitan yang belum bisa tuntas diatasi. Menoleh kebelakang; memahami sejarah; maka dapatlah kita saksikan bahwa: menghadapi banyak masalah-masalah mendasar: kita cenderung menyelesaikannya secara politis, dan bukan dengan pendekatan kenegarawanan yang visioner, demi kemaslahatan bangsa secara mendasar dalam jangka panjang.

Itulah sebabnya kami merasa sangat prihatin dengan kenyataan sekarang, bahwa banyak

sekolah-sekolah tidak lagi mengajarkan mata pelajaran sejarah, terutama sejarah Indonesia mutakhir. Kami sangat khawatir kesalahan masa kini akan membawa akibat buruk yang berkepanjangan di kemudian hari! Itulah sebabnya tema Nabil Award kita tahun ini adalah ”Memahami Sejarah, Membangun Bangsa”. !

Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Page 11: 18@s nabil forum 2011

11Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

PIDATO PERTANGGUNGJAWABANPENGANUGERAHAN NABIL AWARD 2010

Disampaikan oleh Ketua Dewan Pakar Yayasan NabilProf. Dr. Ahmad Syafii Maarif

Assalamu’alaikum w.w.Salam sejahtera bagi kita semua. Setahun sudah berlalu, kini di tahun 2010 kita kembali merayakan Nabil Award untuk keempat kalinya, sebagai pertanda bahwa Yayasan Nabil sangat peduli dengan masalah-masalah mendasar yang telah, sedang, dan akan dihadapi bangsa Indonesia yang sama-sama kita cintai. Sebagai wujud nyata dari kepedulian itu, tahun ini Yayasan Nabil merasa terpanggil untuk memberikan penghargaan kepada tiga sejarawan yang sama-sama prihatin menatap suasana semakin memudarnya karakter dan wawasan kebangsaan, tidak saja di kalangan sebagian anak muda, tetapi juga di kalangan mereka yang sudah mapan dilihat dari sisi mana pun. Tingkat keprihatinan itu semakin terusik oleh berita bahwa Pelajaran Sejarah Nasional telah dihapuskan dari kurikulum beberapa sekolah, bahkan Sejarah Nasional tidak dimasukkan dalam Ujian Nasional. Buku sejarah tertentu dilarang beredar yang kemudian telah menjadi polemik yang hangat. Di ranah lain masih terus saja bermunculan

konflik antar etnis, suatu tragedi laten yang muncul ke permukaan sejak zaman dulu, bahkan terulang lagi di abad ke-21 ini. Pertanyaannya: mengapa kita belum berdaya secara tuntas menghalau titik-titik hitam yang amat menguras energi kita sebagai bangsa? Apakah sejarah dinilai sudah tidak relevan bagi masa depan bangsa ini? Apakah sejarah hanya sibuk dengan masalah-masalah kontroversial yang tidak mampu memberi acuan moral agar kerusuhan etnis kita kubur sekali dan untuk selama-lamanya? Sejarah yang benar bukan itu. Sejarah adalah cahaya untuk menerangi masa depan; sejarah adalah lonceng pengingat untuk tidak melakukan kesalahan dan kebodohan serupa, kapan pun dan di mana pun. Ada dua unsur utama yang perlu diperhatikan dalam kaitan ini: pelaku sejarah dan sejarawan yang menuliskan sejarah. Sejarah ditulis bukan untuk orang yang sudah wafat, tetapi sebagaimana dikatakan sejarawan Italia Benedetto Croce, bahwa sejarah ditulis adalah untuk kita yang hidup. Dalam perspektif ini, kelahiran dan keberlangsungan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari para pembuat dan penulis sejarah. Maka untuk tahun 2010 ini telah terpilih

Page 12: 18@s nabil forum 2011

12Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

tiga tokoh putera-puteri Indonesia terkemuka dalam bidang “Kesejarahan Indonesia Modern”, yaitu Dr. Anhar Gonggong, Dra. Mona Lohanda, M.Phil. dan Dr. Asvi Warman Adam, DEA. Anhar Gonggong dikenal sebagai sejarawan yang sering tampil dengan gaya khasnya di berbagai forum seminar atau di layar kaca dan dosen di berbagai perguruan tinggi. Sepanjang kariernya, mencuat tiga tema penting yang terus menerus diulang dalam pelbagai tulisan, paparan, dan ceramah putera Bugis berdarah biru ini. Pertama, tema hubungan antara agama dan negara, dalam hal ini antara Islam dan Republik Indonesia, serta bagaimana kedua kekuatan itu saling berinteraksi untuk membentuk dan menguatkan keindonesiaan. Kedua, tema Indonesia yang dicita-citakan oleh anak bangsa merdeka yang tak terpisahkan dari kehidupan demokratis, politik maupun ekonomi, dan konstitusionalisme sebagai pegangan bagi bangsa ini. Ketiga, tema bagaimana semestinya keindonesiaan ini mewujudkan diri dalam kehidupan bersama dalam satu bangsa-negara yang bersepakat untuk menjadi satu dan utuh dalam keberagaman dan perbedaan. Sebuah tema keindonesiaan bergetar amat kuat di ubun-ubun Anhar Gonggong, sebuah tema keindonesiaan yang padu dalam keragaman, beragam dalam kepaduan. Dengan dasar pertimbangan ini, maka Nabil Award 2010 dikalungkan kepadanya. Mona Lohanda, adalah seorang arsiparis handal dari Arsip Nasional Republik Indonesia yang juga banyak meneliti sejarah Batavia/Jakarta. Arsip merupakan memori kolektif sebagai sumber penting dalam pembentukan jati-diri bangsa. Dari arsip, akan dapat diteropong sosok perjalanan suatu bangsa. Mona telah mengabdikan diri tanpa lelah selama 38 tahun untuk menjadikan arsip sebagai bagian dari kinerja penggerak penulisan sejarah bangsa agar kualitasnya dari hari ke hari semakin baik dan meningkat. Di tangan Mona Lohanda, tidak ada arsip yang tuna-guna dan kadaluarsa untuk menghasilkan historiografi yang bermutu secara terus menerus dan berguna, baik bagi ilmu pengetahuan maupun bagi kepentingan bangsa. Oleh karena itu tidak mengherankan, jika nama Mona selalu muncul sebagai pribadi yang ingin ditemui oleh para arsiparis, sejarawan, dan bahkan para pejabat dan ilmuwan dari berbagai belahan dunia yang berhubungan dengan Arsip Nasional selama lebih dari dua dasa warsa terakhir ini. Secara profesional Mona Lohanda memang bukan pribadi yang biasa, melainkan seorang yang mampu mengawinkan dua ilmu dan keahlian sekaligus secara bersama-sama dalam bentuk kerja dan karya kearsipan dan kesejarahan yang

bermutu tinggi serta dihargai. Pengabdiannya telah memberikan sumbangsih bagi proses nation building. Maka Nabil Award 2010 amat patut diberikan kepadanya. Asvi Warman Adam adalah sebuah ikon publik yang tak asing lagi. Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini hampir setiap hari muncul di media cetak, online dan di layar kaca. Kecepatannya dalam menulis suatu topik yang sedang hangat sukar ditandingi. Komentar-komentarnya yang kritikal dan kadang jenaka, sering dikutip secara luas. Sosoknya juga sering tampil di depan pemirsa televisi. Di tataran yang lebih serius, Asvi adalah sejarawan yang paling aktif menyerukan apa yang disebutnya ‘pelurusan sejarah’, baik di forum akademik mau pun di depan publik. Kiranya tidak salah Asvi adalah salah seorang ilmuwan publik yang terkemuka, berani, dan boleh jadi adalah sejarawan paling produktif saat ini. Keterlibatan Asvi dalam kegiatan ‘pelurusan sejarah’, upayanya untuk ‘mengembalikan’ etnis Tionghoa ke pentas Sejarah Nasional Indonesia dan pelajaran sejarah, serta aktivitasnya selaku ilmuwan publik dalam skala yang luas, telah membuktikan bahwa dirinya selaku ilmuwan dan sejarawan, tidak berdiam di menara gading, namun terjun langsung dalam persoalan-persoalan bangsa yang dihadapi masyarakat. Salah satu kriteria pemenang Nabil Award adalah ilmuwan sosial yang telah berjasa bagi pengembangan proses nation building Indonesia melalui penerbitan karya ilmiah dan/atau aktivitas lain yang mampu memberikan pencerahan kepada publik. Masyarakat rupanya membutuhkan pencerahan sejarah dalam bahasa populer yang mereka pahami dan Asvi selalu siap tanggap untuk memberikannya. Dirinya menyadari bahwa dengan memahami sejarah, maka kita akan sanggup membangun bangsa ini dengan cara yang lebih arif. Untuk itu Nabil Award 2010 dianugerahkan kepadanya. Semoga dedikasi dan sumbangsih ketiga pemenang dalam proses nation building juga mampu memberikan inspirasi kepada kita semua, kepada bangsa ini secara keseluruhan. Kepada Dr. Anhar Gonggong, Dra. Mona Lohanda, M. Phil., dan Dr. Asvi Warman Adam, DEA, kami ucapkan: Selamat.

Jakarta, 14 Oktober 2010

Wassalamu’alaikum w.w.Atas nama Dewan Pertimbangan Nabil Award 2010

Page 13: 18@s nabil forum 2011

13Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Nama: (Andi) Anhar GonggongTempat/tgl lahir:Pinrang, 14 Agustus 1943Pendidikan: Sarjana Sejarah, Universitas Gadjah Mada (1976) Kuliah orientasi tentang Sistem Politik di Negara Berkembang di Fakultas Hukum, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Leiden, Belanda (1980) Doktor dalam Ilmu-ilmu Sastra, Universitas Indonesia (1990)

Nama: Mona LohandaTempat/tgl lahir : Tangerang, 4 November 1947Pendidikan: Department of History, School of Oriental dan African Studies University of London

Nama: Asvi Warman AdamTempat/tgl lahir: Bukittinggi, 8 Oktober 1954Pendidikan: Sarjana Muda Sastra Perancis di UGM Yogyakarta (lulus 1977), Sarjana Sastra Perancis di UI Jakarta (tahun 1980), Doktor Sejarah dari EHESS Paris tahun 1990.

Para Pemenang Nabil Award 2010

Para Pemenang Nabil Award Sebelumnya

Claudine Salmon (2007) Perancis

Mary Somers Heidhues ( 2008) Jerman

Leo Suryadinata (2008) Singapura

Myra Sidharta (2009)Indonesia

Mely G Tan (2009)Indonesia

Charles A Coppel (2009)Australia

Page 14: 18@s nabil forum 2011

14Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

“Integrasi Tionghoa ke dalam Bangsa Indonesia” :Ceramah Prof Liang Yingming (Universitas Peking)

di Universitas Bunda Mulia, Sabtu 17 April 2010

Semaraknya aktivitas Tionghoa di masa Reformasi dewasa ini mengilhami Yayasan

Nabil dan Ikatan Alumni Pah Tsung Indonesia untuk mengadakan ceramah bertema “Integrasi Tionghoa ke dalam Bangsa Indonesia”. Sebagai pembicara tunggal adalah Profesor Liang Yingming, guru besar emeritus dari Universitas Beijing. Sejarawan ini dilahirkan di kota Solo pada tahun 1931 dan seorang alumnus Sekolah Menengah Atas Pah Tsung Jakarta. Setelah sempat menjadi guru, pada tahun 1955 Liang masuk ke Jurusan Sejarah Dunia di Universitas Beijing, dan kemudian menjadi tenaga pengajar tetap di almamaternya. Di China, Liang Yingming dikenal luas sebagai seorang ahli mengenai Asia Tenggara dan masyarakat Tionghoa di luar China (Chinese overseas). Dari tangannya telah lahir beberapa buku yang penting, seperti “Kamus Sejarah Asia Tenggara” dan buku-buku mengenai Chinese overseas. Walaupun telah pensiun, namun Liang yang masih fasih berbahasa Indonesia ini, terus aktif mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di Asia Tenggara.

Ceramah yang diadakan hari Sabtu siang (17/4/2010) di Auditorium Universitas Bunda Mulia ini mendapatkan minat yang besar, dengan dihadiri oleh sejumlah tokoh dari berbagai organisasi dan ikatan alumni serta para hadirin lainnya. Ketua Pendiri Yayasan Nabil, Drs Eddie

Prof Liang Yingming menyampaikan ceramah

Ketua Pendiri Yayasan Nabil Eddie Lembong memberikan kata sambutan

Page 15: 18@s nabil forum 2011

15Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Lembong dan Ketua Umum Ikatan Alumni Pah Tsung Indonesia, Ibnu Susanto mengawali acara dengan memberikan sambutannya. Dalam ceramahnya, Prof Liang menuturkan perjalanan historis golongan Tionghoa di Indonesia dalam berbagai masa pemerintahan, khususnya yang berhubungan dengan identitas diri mereka. Dia menegaskan agar Tionghoa Indonesia tanpa ragu menjadi warga negara Indonesia yang baik, karena mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh Bangsa Indonesia. Acara yang dimoderatori oleh Yoza Suryawan ini berlangsung hangat, dengan adanya tanya jawab seusai ceramah. Walaupun sudah berusia 79 tahun, namun Prof Liang tetap bersemangat dalam memberikan ceramahnya maupun saat menjawab berbagai pertanyaan yang

diajukan. Hal tersebut diapresiasi oleh para hadirin yang memadati ruangan serta rela tinggal di tempat hingga acara selesai, demi mendengarkan ceramah ini.

Wakil Ketua Pendiri Yayasan Nabil, Melly Lembong menyerahkan Plakat kepada Prof Liang Yingming didampingi oleh Ibnu Susanto dan Ibu serta istri Prof Liang, Yao Chaozhen

Ketua Ikatan Alumni Pah Tsung Ibnu Susanto memberikan sambutan

Page 16: 18@s nabil forum 2011

16Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Apa sumbangsih golongan Tionghoa dalam bidang pendidikan, kesehatan, pers

dan nation building? Adakah hubungan pers Melayu Tionghoa dengan Pergerakan Nasional? Pertanyaan-pertanyaan itu yang dijawab dalam peluncuran dan diskusi buku Memoar Ang Yan Goan yang diselenggarakan oleh Yayasan Nabil di Auditorium Perpustakaan Nasional, Kamis 11 Februari 2010 pukul 14.00 WIB. Memoar Ang Yan Goan ditulis oleh alm. Ang Yan Goan, yang lahir di Bandung (1894) dan wafat di Toronto, Kanada (1984). Semula beliau adalah seorang guru, yang kemudian menjadi pemimpin redaksi dan direksi grup media Sin Po, yang bersimpati kepada perjuangan pergerakan nasional. Dalam konteks sejarah perjuangan, menarik sekali bahwa Sin Po yang berorientasi kepada Tiongkok, secara sadar mendukung Pergerakan Nasional Indonesia, dengan

resiko dibreidel pemerintah Hindia Belanda. Maka tidaklah heran, bahwa Soekarno pada tahun 1923 (masih berusia 22 tahun!), selaku pemimpin pergerakan nasional, datang sendiri ke Sin Po untuk menyampaikan penghargaan dan terimakasih atas dukungan koran tersebut kepada perjuangan kemerdekaan. Lebih jauh lagi, Sin Po adalah media massa pertama yang menyebarluaskan lagu Indonesia Raya, yang kelak menjadi lagu kebangsaan. Selaku tokoh masyarakat, beliau aktif dalam bidang pendidikan dan juga merupakan tokoh penting dalam berdirinya RS Jang Seng Ie (kemudian menjadi RS Husada). Hubungan baik yang telah dirintis Sin Po dengan Bung Karno, membuat Presiden pertama RI tersebut pada bulan September 1945 mengundang Ang untuk diperkenalkan kepada kabinet yang baru dibentuk, serta mendapat pengarahan tentang

Eddie Lembong, Ibu Budiasni Joesoef Isak, Rosihan Anwar, Tjiong Thiam Siong, Ichsan K Gunawan dan Melly Lembong

Peluncuran dan Diskusi Buku “Memoar Ang Yan Goan”

Perpusnas, 11 Februari 2010

Page 17: 18@s nabil forum 2011

17Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

UU Kewarganegaraan. Ang juga merupakan salah satu wartawan peliput Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Di tahun 1960-an, bersama Presiden Soekarno, Ang membidani lahirnya koran Warta Bhakti. Namun sayang, ketika terjadi pergantian rezim di tahun 1960-an, Ang terpaksa meninggalkan tanah air yang dicintainya. Buku yang banyak memberikan informasi baru tentang sejarah Tionghoa di Indonesia maupun sejarah Indonesia di abad XX ini hadir setelah melalui perjalanan panjang. Naskah asli ditulis dalam bahasa Inggris dan tidak pernah diterbitkan. Buku ini pertama kali terbit justru dalam bahasa Mandarin di Tiongkok tahun 1989. Sepuluh tahun kemudian buku ini “ditemukan” oleh seseorang yang menyadari arti penting buku tersebut bagi masyarakat Indonesia. Yayasan Nabil memprakarsai penerjemahannya agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas, serta menggandeng Penerbit Hasta Mitra untuk menerbitkan edisi Indonesianya di tahun 2009.

Pembicara Dr Yudi Latif

Moderator Didi Kwartanada & Asvi Warman Adam sebagai pembicara

Bonnie Triyana pembicara dari aspek “Pers”

Wartawan senior Rosihan Anwar

Pandji Wisaksana, Dr. Priyanto Wibowo, Prof. A Dahana dan Wisber Loeis

Page 18: 18@s nabil forum 2011

18Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Memoar Ang Yan Goan disunting oleh wartawan senior Joesoef Isak dari Hasta Mitra, dan sekaligus merupakan karya terakhir beliau. Diskusi Memoar Ang Yan Goan menghadirkan tiga pembahas: Sejarawan DR Asvi Warman Adam yang membahas dari sisi sejarah; intelektual muda Yudi Latif menimbang buku ini dari sisi kebangsaan dan wartawan/sejarawan muda Bonnie Triyana mendiskusikan dari sisi pers. Diharapkan bahwa informasi yang terkandung dalam buku ini akan dapat turut meningkatkan saling pengertian dan saling menghargai di antara sesama kita, sesama komponen bangsa.

Mewakili penerbit Nabil, Eddie Lembong menyerahkan buku Ang Yan Goan kepada Tjiong Thiam Siong disaksikan oleh Ichsan K Gunawan dan Rosihan Anwar

Tamrin Amal Tomagola, Rosihan Anwar, Eddie & Melly Lembong Melly Lembong menyerahkan buku kepada wartawan senior Rosihan Anwar

Penerbit Nabil menyerahkan buku kepada Ibu Budiasni istri dari alm. Joesoef Isak

Page 19: 18@s nabil forum 2011

19Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Yayasan Nabil bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung meluncurkan buku “Memoar Ang Yan Goan” di Kampus Unpad, Rabu 19 Mei 2010. Ang Yan Goan adalah wartawan dan motor surat kabar Sin Po. Dia mengarahkan suratkabar yang terbit sejak 1910 itu sebagai pers yang pronasionalisme dan rakyat Indonesia. Ang merupakan wartawan, pendidik, aktivis kemanusiaan dan seorang nasionalis sejati. Di masa kolonial ia bangga sebagai warga Tionghoa, sekaligus mendukung pergerakan nasionalisme Indonesia. Ia bahkan memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan berperan mendekatkan Indonesia dan RRT (China). Pada akhir 1968, Ang dan keluarganya

beremigrasi ke Kanada, meninggalkan situasi politik di tanah air yang dianggap mulai membatasinya. Ia wafat di Kanada pada 1984. Jejak perjuangan Ang Yan Goan pun seakan raib di masa Orde Baru. Setelah 26 tahun wafatnya, Yayasan Nabil menerbitkan otobiografi Ang Yan Goan untuk mengajak belajar bagaimana peran pers Tionghoa yang diwakili Sin Po dan Ang Yan Goan sebagai seorang jurnalis nasionalis yang berperan dalam pembentukan semangat kebangsaan. Ang Yan Goan juga mengutarakan ide-idenya dalam kegiatan sosial, salah satunya ketika Harian Sin Po digunakan mengkampanyekan perlunya pendirian Rumah Sakit Jang Seng Ie untuk menolong orang-orang Tionghoa dan warga Indonesia. Rumah

Road Show “Memoar Ang Yan Goan” Fikom, UNPAD 19 Mei 2010

Didi Kwartanada mewakili Penerbit Nabil menyerahkan buku Ang Yang Goan kepada Dekan Fikom UNPAD Prof. Deddy Mulyana disaksikan juga oleh Syafik Umar (Harian Pikiran Rakyat) dan Prof. Nina Syam (Fikom UNPAD)

Para pembicara & moderator Rektor UNPAD Prof. Ganjar Kurnia, Dekan Fikom UNPAD Prof Deddy Mulyana & Didi Kwartanada

Page 20: 18@s nabil forum 2011

20Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

sakit itu kemudian menjadi RS Husada yang eksis sampai sekarang. Peran serta aktif warga etnis Tionghoa dalam pembentukan kesadaran kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepas dari hadirnya mingguan Sin Po (1910) yang kemudian menjadi harian Sin Po (1912). Harian itu memuat teks lagu kebangsaan “Indonesia Raya’ dan aktif menyosialisasikan penggunaan nama Indonesia menggantikan Hindia Belanda. Pada peluncuran buku memoar yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tan Beng Hok itu juga digelar Seminar bertema “Peran Komunikasi Etnis Tionghoa dan Pembentukan Kebangsaan Nasional” serta peluncuran buku “Komunikasi Lintas Budaya” karya Deddy Mulyana, Dekan Fikom Unpad. Kegiatan yang digelar di Gedung Rektorat Kampus Unpad di Jalan Dipati Ukur, Bandung itu juga sebagai sarana diskusi, berbagi pengalaman dan kajian tentang

komunikasi antar budaya dan nasionalisme. Forum itu mempertemukan khalayak akademis komunikasi khususnya dan berbagai disiplin yang lainnya bersama-sama dengan warga etnis Tionghoa untuk menelaah kembali komunikasi antaretnis dan memberdayakan etnis Tionghoa dalam pembentukan kebangsaan Indonesia. Tiga narasumber mengupas komunikasi lintas budaya dan buku memoar Ang Yan Goan yakni Deddy Mulyana (Dekan Fikom Unpad), Yudi Latif (Ketua PSIK Indonesia) dan Tanty Skober (Pengajar Sejarah Unpad). “Komunikasi antar persona antar pribadi-pribadi biarkan bergulir dan berlangsung baik, media massa sangat berperan untuk memadukan komunitas-komunitas itu dalam satu kesatuan, dan itu tugas yang harus dilaksanakan bersama-sama,” kata Deddy Mulyana.

Para pembicara dan Panitia dalam Road Show di Bandung : Prof. Deddy Mulyana, Dr. Yudi Latif, Tanty Skober dan Dr. Eni Maryani

Para Undangan Acara RoadShow

Page 21: 18@s nabil forum 2011

21Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Peluncuran dan diskusi Buku “Mereka Bilang Aku China”

Karya Dewi Anggraeni di FIB UI, 20 Oktober 2010

KERJASAMA yang kompak antara penerbit Bentang Pustaka, Yayasan Nabil dan Wacana Jumal Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB UI) berhasil menggelar launching buku karya Dewi Anggraeni, Rabu (20/10) lalu di auditorium FIB, Universitas Indonesia. Buku tersebut berjudul “Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa” Selain p e l u n c u r a n buku, dalam kegiatan itu juga digelar

diskusi yang menghadirkan Mely G Tan (Dewan Pakar Nabil), Endy Bayuni (Redaktur Senior The Jakarta Post) dengan moderator Tommy Christomy, Ph.D. Dalam acara itu juga, diputar juga film pendek dokumenter tentang kisah Tjeng Tjiam Hwie (90 thn), seorang pelukis Indonesia Tionghoa yang menuturkan kisah panjangnya bermigrasi

dari Manchuria ke Malang, hingga akhirnya dia menjadi pelukis ternama di tanah airnya yang baru. Menurut Dewi Anggraeni yang mantan jurnalis, tujuan dibuatnya buku tersebut adalah agar untuk melihat gambaran yang lebih utuh soal orang

Tionghoa. Sebab, dalam era lalu lintas telekomunikasi yang sibuk ini, di berbagai kalangan

masyarakat ada kecenderungan untuk menerima gambaran besar dari suatu isu.“Apalagi, isu itu seringkali didaurulang dalam media massa dan percakapan antar-insan sebagai kebenaran umum.” paparnya. Maka itu, salah satu cara untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan rinci dari isu tertentu adalah dengan mengikuti titik-pandang tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.Tak heran, dalam bukunya itu, dia berusaha mengajak pembaca menembus dinding stereotipe yang menghalangi orang untuk menyimak lebih luas dan lebih dalam, apa dan siapa sebenarnya etnis Tionghoa. “Termasuk, memahami perasaan, apakah mereka merasa bagian dari bangsa dan negara Indonesia? Bagaimana sebenarnya kehidupan mereka? Bagaimana pemikiran mereka? Bagaimana mereka menghadapi kendala-

Didi Kwartanada, memberi sambutan mewakili Yayasan Nabil Prof. Bambang Wibawarta memberikan kata sambutan

Page 22: 18@s nabil forum 2011

22Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

kendala sosial yang direkayasa, yang tumbuh dari stereotipe, yang diakibatkan perilaku orang lain maupun perilaku mereka sendiri?” jelasnya panjang lebar. Dalam bukunya itu, wanita yang saat ini menetap di Australia itu mencoba merangkai titik pandang delapan perempuan Indonesia keturunan Tionghoa sebagai fokus sentral dari bukunya itu. Diantaranya adalah Ester Indahyani Jusuf (aktivis kemanusiaan dan advokat), Linda Christanty, Susi Susanti

(mantan pebulutangkis), dan Hj Sias Mawarni Saputra (muslim Tionghoa dan pengusaha) Acara yang berlangsung sukses ini dihadiri oleh Dekan FIB UI, Bambang Wibawarta, Gunawan Mohamad, Prof. JAC Mackie, Ketua Pendiri Yayasan Nabil dan para guru besar serta Civitas Akademika UI.

Ketua Pendiri Yayasan Nabil berbincang dengan Dekan FIB UI, Prof. Bambang Wibawarta

Eddie Lembong menerima bingkisan dari Dekan FIB UI

Para peserta yang hadir dari berbagai kalangan

Page 23: 18@s nabil forum 2011

23Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Peringatan dan Pemahaman Falsafah Pancasila RS Imanuel Bandung, 1 Juni 2010

Gema kemeriahan peringatan Hari Kelahiran Pancasila di tahun ini juga bergaung ke

Bandung. Perhimpunan INTI Jabar bekerjasama dengan Forum Pembauran Kebangsaan dan Univesitas Maranatha Bandung mengadakan seminar “Pemahaman Falsafah Pancasila.” Acara diselenggarakan di RS Imanuel Bandung pada hari Selasa 1 Juni 2010. Sebagai pembicara tunggal dalam acara tersebut adalah Ketua Pendiri Nabil, Drs Eddie Lembong. Acara dibuka dengan sambutan dari berbagai pihak. Dari pihak tuan rumah tampil Ketua

Perhimpunan INTI Jabar, Prof. Dr. dr. Demin Shen, M.Kes dan Ibu Hj Dra Popong Otje Djundjunan dari Forum Pembauran Kebangsaan. Gubernur Jawa Barat, Bapak Achmad Heryawan, juga berkenan hadir dan memberikan apresiasinya pada acara kebangsaan ini. Eddie Lembong membawakan ceramah berjudul “Kedudukan Etnis Tionghoa dalam Kebangsaan Indonesia Ditinjau dari Jiwa dan Semangat Pancasila”. Menurut Eddie, Indonesia lahir dengan landasan yang kokoh, yaitu dengan Dasar Negara Pancasila sebagai hasil renungan para “Founding

Ketua Pendiri Yayasan Nabil menyampaikan presentasinya Pembicara Eddie Lembong dan Moderator

Eddie Lembong menerima Plakat dari Dra. Popong Otje Djundjunan

Page 24: 18@s nabil forum 2011

24Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Fathers” hasil pendidikan “Politik Etis” di awal abad XX. Dasar Negara yang kokoh mutlak diperlukan. Bandingkan dengan negara-negara Uni Soviet dan Yugoslavia yang bubar setelah Dasar Negaranya tidak lagi berlaku! Domain Utama Pancasila, menurut Eddie, ialah di Ruang Publik, di mana kebutuhan kolektif kebangsaan dan kenegaraan bertemu dan berinteraksi. Dalam Ruang Publik

itu berlaku Nilai-nilai Pancasila, di situ kita bangun Identitas Indonesia dan melaksanakan kehidupan Multikultural yang berkarakter Indonesia. Ruang Privat bersifat individual maupun kelompok, di mana hal-hal yang tidak bertentangan dengan Pancasila dapat berada.

Indonesia lahir dengan landasan yang kokoh, yaitu dengan Dasar Negara

Pancasila sebagai hasil renungan para “Founding Fathers” hasil pendidikan

“Politik Etis” di awal abad XX.

Dari seluruh paparan di atas, Eddie menyimpulkan, bahwa Etnis Tionghoa sebagai Warga Negara Indonesia, sebagai komponen Bangsa yang tidak terpisahkan, mempunyai Hak dan Kewajiban yang sama terhadap Negara dan Bangsa Indonesia, seperti juga semua suku Bangsa dan Etnis WNI lainnya manapun. Bagi pembaca yang berminat dengan ceramah tersebut, bisa men-download power point-nya di: http://www.nabilfoundation.org

Dra. Popong memberikan kata sambutan Suasana seminar

Para Peserta Seminar Tampak Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawandan para undangan lainnya

Para Undangan menyanyikan lagu Indonesia Raya

Page 25: 18@s nabil forum 2011

25Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Pembelian dan Pembagian Buku “Negara Islam”

Buku dengan judul “Negara Islam” karya Prof. Musdah Mulia ini adalah sebuah buku yang mengulas dan

mengembangkan pemikiran seorang ilmuwan dari Mesir Muhammad Husain Haikal (1888-1956) mengenai landasan dasar sebuah negara menurut Islam. Secara khusus buku ini hendak menyampaikan bahwa Islam pada dasarnya tidak menjelaskan secara rinci mengenai konsep negara, namun memberikan panduan mendasar mengenai bagaimana sebuah masyarakat harus dibagun melalui tiga prinsip dasar, yaitu Tauhid, Sunatulah, dan Prinsip Persamaan Antar Manusia. Menurut Haikal, Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum utama dalam Islam disamping Itjihat tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung secara rinci mengenai persoalan kenegaraan. Pemikiran ini memberikan pandangan dan kesadaran mendasar bahwa Islam bukanlah semata-mata agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan juga agama yang serba lengkap dalam arti ajaranya mencakupi segala aturan secara rinci, termasuk mengenai kenegaraan, namun Islam cukup memberikan prinsip-prinsip dasar yang dapat dipedomani manusia dalam mengatur perilaku dan hubungannya dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (tauhid, sunnatulah dan persamaan antar manusia). Lebih jauh dari pada pembahasan mengenai

konsep Negara Islam kontemporer, buku Prof. Musdah Mulia ini memberikan sebuah gambaran dan pedoman mengenai bagaimana sebuah Masyarakat/Negara seharusnya dikelola

dengan benar berlandaskan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam Islam, bagaimana memahami Islam tidak dengan dangkal dan sempit dengan menunjukan dalil-dalil utama dalam Al-Quran dan Sunnah. Buku ini secara eksplisit juga memaparkan bahwa bentuk sebuah negara bagi penganut Islam tidaklah harus dinyatakan dalam bentuk sebuah Negara Islam, Islam telah cukup memberikan landasan dasar bagaimana sebuah negara harus dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip Tauhid, Sunnatullah dan Persamaan Antar Manusia. Yayasan Nabil menilai buku ini sangat baik untuk dibaca sebagai pencerahan bagi kalangan Pemerintah, pemimpin Islam Fundamentalis, Para Pemimpin Lintas Agama (Katolik, Kristen, Hindu, Budha,

Konghucu) sehingga nantinya dapat memberikan landasan pemikiran dalam memahami Islam dan negara secara objektif. Atas dasar pemikiran di atas Yayasan Nabil telah membagikan sebanyak 156 Eksemplar buku Negara Islam ke berbagai kalangan.

“Suara Harmoni Indonesia”Maret-Juli 2010

Ketidakmampuan menenggang dan menerima perbedaan seringkali berujung pada tindakan

kekerasan atau peminggiran orang atau kelompok orang. Namun, perlu dicermati bahwa sebab dan daya dukung ketidakmampuan itu berwujud banyak hal, antara lain soal-soal primordial yang tidak dikelola, ketidakadilan dan kemiskinan, ketiadaan kepemimpinan yang sanggup mengelola perbedaan, dan masih banyak lagi. Dengan kata lain, ketidakmampuan menenggang dan menerima perbedaan ini merupakan masalah yang sentral dalam demokrasi dan kemanusiaan Indonesia pada dewasa ini. Diakui juga bahwa menumbuhkan kebersamaan pertama-tama bukanlah ranah teoritis, melainkan suatu pengalaman yang selalu melingkupi hidup (living experience). Pengalaman ini perlu untuk dibangun berdasarkan perbedaan latar belakang dan gagasan, sekaligus berdasarkan kesamaan rasa terhadap mereka yang lemah dan terhadap mereka yang mau bekerja keras. Berangkat dari pemikiran dan keprihatinan di atas, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia bekerja sama dengan The Wahid Institute, Nurcholish Madjid Society, Yayasan Nabil dan USAID-Serasi mengadakan rangkaian kegiatan Suara Harmoni Indonesia, yang terdiri dari Harmony Film Festival (29 Maret 2010); Jazz for Harmony (21 April), Nusantara Festival of Harmony (20 Mei), Expert Meeting (16 Juni) dan ditutup

dengan Jamboree of Harmony (27-31 Juli). Dalam acara terakhir yang diadakan di Cansebu Resort, Mega Mendung tersebut, Yayasan Nabil memfasilitasi dua nara sumber: Dewi Ratih Widyaningtyas (pembuat film dokumenter) dan Didi Kwartanada (staf Nabil). Catatan dan renungan Dewi Ratih dimuat dalam Nabil Forum edisi ini, sedangkan Didi membawakan makalah berjudul ‘Etnis Tionghoa dan Keindonesiaan dalam Dinamika Sejarah Indonesia”. Dalam Kompas 31 Juli 2010, Ketua Umum PSIK Indonesia Yudi Latif, yang juga salah seorang anggota Dewan Pakar Nabil, mengemukakan, ada keprihatinan besar akan fenomena kebangsaan akhir-akhir ini ketika toleransi hidup multikulturalisme makin luntur. Keprihatinan akan munculnya kelompok-kelompok fundamentalis yang, meskipun jumlahnya terbatas, sudah melakukan aksi yang mengkhawatirkan, seperti perusakan tempat ibadah dan sweeping dengan menggunakan simbol-simbol agama. ”Jika dulu ada tokoh seperti Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang perjuangkan toleransi dalam pluralisme, sepeninggal mereka bagaimana nasib toleransi di Indonesia?” katanya. Upaya membangun kesadaran toleransi dalam pluralisme di kalangan masyarakat sipil, termasuk di dalamnya jejaring mahasiswa lintas agama dan suku, menurut Yudi, menjadi salah satu solusi untuk mentransformasikan gagasan dan perjuangan dua tokoh besar itu. Jamboree of Harmony, diharapkan merupakan bagian dari proses transformasi itu.

Page 26: 18@s nabil forum 2011

26Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Hadirkan Senyuman Untuk Perbedaan(Laporan Jamboree of Harmony)

Dewi Ratih Widyaningtyas*“Jika kita dan

masyarakat mau untuk selalu terbuka

terhadap hal yang berbeda dan

mencoba memahami serta menghormati keberbedaan itu,

saya yakin, hidup ini akan tetap indah dan

aman,”

Pengantar editor:Penulis karangan ini bersama rekan-rekannya telah memproduksi satu film dokumenter berdurasi 24 menit berjudul “Sepintu Pemali Sedulang Timah” (2009), yang mengangkat keharmonisan hubungan Tionghoa-Melayu di Pulau Bangka. Kisah berawal ketika Dewi selaku mahasiswi dari UGM melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sana dan dirinya menyaksikan langsung bagaimana etnis yang berbeda bisa dan mau hidup bersama dengan rukun. Fenomena keberagaman itu menyentak nuraninya, karena jarang disaksikannya di tempat tinggalnya di Jawa Tengah. Tidak berhenti di situ, Dewi ingin mengabadikan dan menyebarluaskan praktek multikultural yang dijumpainya di Bangka melalui film dokumenter. Maka dia membentuk tim kerja dan lahirlah film tersebut.

Bersama rekan-rekannya, Dewi rajin melakukan road show atas filmnya ini. Tahun 2009 yang lalu mereka membawanya beberapa kota di Jawa Tengah, Aceh, Medan, Kupang dan Bangka. Di tahun yang sama pula, Dewi dan “Sepintu Pemali” sampai ke Yayasan Nabil. Tulisan di bawah ini adalah catatan dan renungan Dewi sebagai salah satu pembicara dalam “Jamboree of Harmony”, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)-Indonesia, Cansebu Resort-Bogor, 27-31 Juli 2010. Keterangan lebih lanjut soal film “Sepintu Pemali Sedulang Timah”, bisa ditanyakan langsung ke Dewi Ratih Widyaningtyas di email <[email protected]>

Awal Perjalanan Perjalanan ke Jamboree of Harmony dimulai ketika saya mendapati sebuah message dari Mas Didi Kwartanada (Yayasan Nabil) melalui Facebook. Mendadak mata saya tertuju pada sebuah judul pesan yang menyuratkan permohonan sebagai pembicara. Saya tertegun sejenak. Ingatan saya melambung melampaui momen satu tahun lalu. Ketika perbincangan tentang pemutaran film Sepintu Pemali Sedulang Timah bergulir. Jadi inilah saatnya. Membagikan kembali ‘pesan’ film ini kepada teman-teman di Bogor. Hati saya sebenarnya sedikit ragu karena waktu yang tertera dalam TOR (term of reference) adalah hari kerja. Sedang saya sudah nyangkut di sebuah perusahaan di mana waktu adalah mutlak mengikat. Namun niat hati ternyata seperti gayung

Didi Kwartanada & Ahmad Suaedy dari Wahid Institute bersama para peserta

artikel

Page 27: 18@s nabil forum 2011

27Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

bersambut. Boss saya mengizinkan saya ijin satu hari. Dan perjalanan ini pun dimulai... Mimpi, harapan dan kebahagiaan melingkupi diri saya pada dini hari 28 Juli 2010. Di bandara Adi Sucipto-Yogyakarta saya merenung, membayangkan seperti apa suasana Jamboree of Harmony di Bogor nanti. Detik demi detik yang lewat saya isi dengan mengingat-ingat kembali suasana di Pemali-Bangka beberapa tahun lalu. Sebuah tempat yang memberi saya akan arti sebuah ‘perdamaian etnis’. Tanpa sadar, saya sudah sampai di pool bus DAMRI di Bogor. Dengan ramah Mas Fachrurozi dari PSIK-Indonesia menyapa saya. Meski belum kenal sebelumnya, obrolan renyah muncul menghiasi perjalanan kami ke resort. Katanya, teman-teman peserta Jamboree adalah mahasiswa aktif dari Aceh hingga Papua. Wah, ‘nafsu’ saya semakin meningkat! Tak sabar lagi rasanya ingin berbagi dengan mereka.

Film versus Stereotype Dan benar saja, sesampainya di Cansebu Resort, tempat Jamboree of Harmony digelar, ada banyak sekali teman mahasiswa yang bersemangat mengikuti rangkaian acara ini. Sesi saya pun dibuka oleh Neneng dari PSIK-Indonesia sebagai

moderator. Hingar bingar semangat peserta semakin mengobarkan semangat siang itu. Acara kemudian bergulir dengan pemutaran film Sepintu Pemali Sedulang Timah terlebih dahulu. Cekikik, teriakan dan tawa, keluar spontan dari peserta. Senang rasanya saya sebagai pembuat film dapat memantik minat mereka. Tia, salah seorang peserta asal Jakarta yang mengenakan jilbab, membagi pengalamannya bekerja bersama orang Tionghoa di suatu stasiun radio lokal. Ia menceritakan bahwa tak semua orang Tionghoa itu jahat dan pelit terhadap warga pribumi. Ia merasakan betapa indah dan bahagianya bekerja bersama mereka, tanpa dibeda-bedakan. Bahkan, dalam suatu mata acara radio tersebut, Tia membawakan acara siraman rohani untuk Nasrani. What a woman! Bagi saya, tanggapan awal ini sangat mengejutkan! Bahkan mungkin bagi kebanyakan peserta lain. Teriakan, dehem, hingga tepuk tangan tersampaikan untuknya. Sharing pembuka tersebut cukup sukses menghantarkan acara menjadi ramai dan riuh oleh acungan para peserta yang tidak sabar ingin juga berbagi. Termasuk juga Metlin. Dia mahasiswi yang sedang menempuh kuliah di Universitas Kristen Duta Wacana-Yogyakarta. Menarik sekali ceritanya. Setelah sekian lama hidup dengan warga kebanyakan, ia baru diberi tahu oleh orang tuanya bahwa ia adalah keturunan Tionghoa. Orang tuanya dulu khawatir, bahwa identitas ini akan membawa anaknya pada hal-hal yang tidak diinginkan, karena teringat tragedi Mei 1998. Saya tidak membayangkan jika hal tersebut terjadi pada saya. Beban sebagai kelompok etnis minoritas sepertinya membawa tekanan tersendiri, sehingga menurut saya, betapa ulet dan tekunnya orang Tionghoa itu salah satu output tekanan tersebut. Pembelaan yang sama terhadap etnis Tionghoa juga diungkapkan oleh Mumun, salah seorang mahasiswi dari Universitas HAMKA (UHAMKA). Dia bercerita bahwa dulunya, ketika keadaan ekonomi menghimpit keluarganya, ada seorang keturunan Tionghoa yang secara baik memberikan modal pengolahan limbah plastik. Dan dari situlah kemudian keluarganya bisa bangkit. Satu lagi stereotype bahwa ‘Cina itu pelit’, terpatahkan. Obrolan kemudian berkembang pada gagasan bahwa sebenarnya semua itu bergantung pada pribadi, meski pengaruh kelompok juga cukup kuat. Parahnya, generalisasi, stereotyping terhadap sesuatu itu berasa mudah sekali hidup di masyarakat kita.

Satu Kunci: Terbuka! Bagaimana kemudian masalah ini dapat terpecahkan? Saya berpikir, kuncinya satu, ‘terbuka’.

Didi Kwartanada & Ahmad Suaedy dari Wahid Institute bersama para peserta

Para peserta berpose bersama di Gereja Katolik Kampung Sawah

Page 28: 18@s nabil forum 2011

28Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Jika kita dan masyarakat mau untuk selalu terbuka terhadap hal yang berbeda dan mencoba memahami serta menghormati keberbedaan itu, saya yakin, hidup ini akan tetap indah dan aman, meski tanpa Polisi dan TNI. Tanggapan kritis juga terus mengucur pada sesi diskusi tersebut. Dari Fauzi Ridwan salah satunya. Ia melihat bahwa ‘kedamaian’ yang terjadi di Pulau Bangka itu tercipta karena keterdesakan ekonomi sehingga mau tidak mau mereka harus berdamai dengan orang lain di sana. Baiklah, bisa saja mungkin seperti itu. Namun juga bisa saja jika mereka mau, boss-boss timah keturunan Tionghoa memilih tenaga kerja yang seetnis dengannya saja. Namun itu tidak terjadi. Bahkan, di Bangka ada satu istilah dalam bahasa Khek, “thong in fang in, jit jong”. Yang artinya, “Cina-Melayu sama saja.” Bayangkan, adakah konsep ini di masyarakat Indonesia (terutama Jawa)? Ya, Jawa. Sebagai tempat kelahiran saya, yang memberi banyak pengaruh juga pandangannya pada saya. Termasuk pula masalah pandangan terhadap etnis Tionghoa, yang dalam bahasa Jawa, sering sekali disebut ‘Cino’—dengan nada sedikit sinis. Entah kenapa, tanpa saya sadari, tanpa saya alami sendiri, pandangan bahwa Tionghoa itu ‘berbeda’ dan tak wajib didekati, melekat erat dalam benak saya. Sampai ketika saya tiba di Bangka, dan melihat keharmonisan ini. Saya terbelalak, “Ini? Bisa ya??”. Tanda tanya tersebut coba saya runut kemudian dengan membuat film “Sepintu Pemali Sedulang Timah“ bersama teman-teman. Sungguh luar biasa.. Pengalaman ini bisa mendobrak pandangan saya akan etnis Tionghoa. Bahwa kita sebenarnya bisa sama-sama, tanpa merasa berbeda, meski

sampai kapanpun juga tetap berbeda.Memutus Rantai Sterotyping Konsep pengkastaan masyarakat yang tercipta pada zaman penjajahan Belanda dulu sepertinya merupakan warisan yang hingga kini masih dirasakan efeknya. Etnis Tionghoa yang dijadikan warga kelas dua di atas warga pribumi, memunculkan kesirikan tersendiri di kalangan warga pribumi. Kecemburuan itulah yang sepertinya ditanamkan turun-temurun hingga kini, meski ungkapannya juga tidak langsung, atau bahkan tidak bermaksud menegatifkan etnis Tionghoa. Bagi saya sebutan “Cino” (dari bahasa Jawa) itu juga sudah sangat peyoratif (menghina). Entah apa rasa ini juga di rasakan oleh orang lain. Sebagian mungkin ya, sebagian mungkin tidak. Begini saja, cukup perih rasanya. Terkait dengan tertanamnya sentimen dan sinisme yang tak berujung itu dari generasi ke generasi membuka pikiran kami pada sesi tersebut untuk membuat semacam pendidikan multikultur secara dini bagi anak. Mumpung mereka belum ‘tercemar’ dan tercekoki hal yang sebenarnya hanya prejudice dan belum dialami sendiri oleh mereka. Ide pemutusan mata rantai stereotyping ini secara lugas muncul dari benak Vita, seorang mahasiswi Universitas Kristen Duta Wacana-Yogyakarta. Di sela usulannya tersebut, ia sempat bercerita. Dulu sewaktu kecil, ia sangat trauma untuk melewati jalan menuju ke sekolahnya. Setiap hari, di jalan tersebut, ia selalu diolok oleh teman-temannya karena ia seorang Batak yang beragama Nasrani. Ketakutan tersebut membuatnya harus melewati jalan memutar dengan berlari sembari sesenggukan menahan tangis. Kepedihan cerita Vita

* Penulis, lahir di Yogyakarta pada 20 September 1987,

adalah alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM.

Kini bekerja di suatu bank milik pemerintah di kota kelahirannya

dan masih sangat tertarik dengan isu pluralisme dan

multikulturalisme.

tersebut menyebar ke pojok-pojok ruangan. Semua tertegun. Saya yakin, di dalam benak semua orang yang hadir di sana, tersirat semburat semangat yang memancar, untuk saling membagi spirit harmonisasi ini kepada semua orang di luar sana nanti. Dan tidak hanya terhenti pada obrolan ‘seminar’ seperti ini. Dialog, pemahaman, dan penghormatan sepertinya dapat menjadi langkah awal untuk kita, memahami keberbedaan. Seperti kata F. Ushuludin, seorang peserta Jamboree of Harmony asal Aceh yang mengambil Jurusan Perbandingan Agama, “agree in disagreement”. Hmm…mata saya kembali berkedip. Bukan karena kelilipan, namun menyadari bahwa saya telah kembali ke ‘dunia nyata’, di mana realita benar ada di hadapan, di mana pemahaman atas harmoni masih tipis dan kian terkikis. Maka marilah, meski kita hanya berada di balik meja, hadirkan senyuman untuk perbedaan.

Page 29: 18@s nabil forum 2011

29Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di ”Distrik Tionghoa”

Kalimantan Barat.

Penulis : Mary Somers HeidhuesPengantar : Eddie LembongJudul asli : Golddiggers, Farmers, and Traders in the ‘‘Chinese Districts’ of West Kalimantan, Indonesia (Ithaca: Cornell University, 2003).Penerbit : Yayasan NABIL, Jakarta Cetakan I, Oktober 2008, xxi + 342 halaman. Harga : Rp. 80,000ISBN : 978-979-18730-0-0

Salah satu masterpiece sejarawati Jerman, Mary Somers-Heidhues ini memberikan informasi mendalam mengenai sejarah sosial ekonomi Kalimantan Barat, khususnya mengenai kehidupan etnis Tionghoa, serta sumbangsih mereka dalam membangun daerah ini. (Penerjemahan dan penerbitan buku ini dilaksanakan oleh Yayasan Nabil. Bisa dipesan langsung melalui Sekretariat Nabil dengan diskon 40%.)

Sekapur Sirih dari Eddie Lembong Suatu kegembiraan yang tiada terkira, setelah melalui berbagai proses yang panjang, salah satu karya Magnum Opus dari Dr. Mary Somers Heidhues ini akhirnya dapat kami terbitkan dalam bahasa Indonesia. Buku yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 2003 ini, memberikan gambaran sejarah etnis Tionghoa di suatu daerah yang disebut “Distrik Tionghoa” di Kalimantan Barat, dimana dapat kita ketahui, bahwa etnis Tionghoa memiliki peranan yang besar dalam perkembangan pembangunan sosial, budaya dan ekonomi di sana, yang menurut saya sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat luas Indonesia umumnya. Sayangnya sulit sekali bisa mendapatkan buku tersebut dalam edisi bahasa Inggris. Didorong oleh keinginan yang kuat supaya buku yang penting ini dapat diketahui dan dibaca oleh masyarakat luas Indonesia umumnya, tergeraklah niat kami untuk mengusahakan penterjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Maka, melalui Yayasan NABIL yang saya pimpin ini, buku terjemahan tersebut dapat terealisasi. Banyak sekali tahap yang harus kami lalu untuk menghasilkan buku terjemahan ini, hal ini tidak lain supaya kami tetap bisa menghasilkan

buku terjemahan yang memiliki kualitas yang sama dengan versi aslinya. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada tiap-tiap orang yang telah memberikan waktu dan tenaga yang tidak terbatas hingga buku ini dapat diterbitkan, antara lain yang dapat saya sebutkan adalah, pihak Cornell University Press atas persetujuan memberikan copyright kepada Yayasan NABIL untuk menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkannya di Indonesia, Asep Salmin yang telah membantu penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, Suma Mihardja, S.H., M.H. untuk mengedit dan menyunting sehingga naskah tersebut sudah siap menjadi sebuah buku, salah seorang Dewan Pakar Yayasan Nabil yang sangat kami kasihi, Dra. Myra Sidharta atas “pengorbanannya” dalam memberikan masukkan dan koreksi yang sangat beharga, dan “last but not least” kepada Dr. Mary Somers Heidhues, atas dukungan yang sangat luas, antara lain persetujuannya mengizinkan kami untuk menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Indonesia dan kejeliannya mengoreksi naskah terjemahan buku tersebut sebelum naik cetak. Akhir kata, kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas lindungan dan rahmatNya selama kami melalui proses dari awal sampai akhir buku ini bisa diterbitkan.

Jakarta, September 2008

Publikasi

Page 30: 18@s nabil forum 2011

30Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau

Bangka Abad XVIII s/d Abad XX

Penulis : Mary Somers HeidhuesPengantar : Eddie LembongJudul asli : Bangka Tin and Mentok Pepper: Chinese Settlement on an Indonesian Island (Singapore: ISEAS, 1992, cetak ulang terbatas 2008)Penerbit : Yayasan NABIL, Jakarta Cetakan I, November 2008, xxi + 268 halaman. Harga : Rp. 80,000ISBN : 978-979-18730-1-7

Buku yang menunjukkan peran historis orang-orang Tionghoa dalam membangun Pulau Bangka dengan teknologi dan etos kerja yang mereka miliki, khususnya dalam pengolahan timah dan merica. Salah satu karya terpenting dalam kajian mengenai masyarakat Tionghoa di daerah pedesaan. (Dapatkan diskon 40% untuk pembelian melalui sekretariat Nabil).

Sekapur Sirih Dari Eddie Lembong Suatu kegembiraan yang tiada terkira, setelah melalui berbagai proses yang panjang, salah satu karya Magnum Opus dari Dr. Mary Somers Heidhues ini akhirnya dapat kami terbitkan dalam bahasa Indonesia. Buku yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 1992 ini, memberikan gambaran sejarah tentang pembentukan pemukiman Tionghoa di Pulau Bangka, dimana turut memberikan pengaruh dalam berbagai aspek perkembangan masyarakat lokal di sana, yang menurut kami sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat luas Indonesia umumnya. Sayangnya buku asli versi bahasa Inggris ini sudah sulit sekali bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, terdorong oleh keinginan yang kuat supaya buku yang penting ini dapat diketahui dan dibaca oleh masyarakat luas Indonesia umumnya, maka Yayasan NABIL mengambil keputusan agar penterjemahan buku tersebut bisa terwujud.

Banyak sekali tahap yang harus dilalui untuk dapat menghasilkan buku terjemahan ini, hal ini tidak lain supaya kita tetap bisa menghasilkan buku terjemahan yang memiliki kualitas yang sama dengan versi aslinya. Untuk itu, kami ucapkan terima

kasih yang tidak terhingga kepada tiap-tiap orang yang telah memberikan waktu dan tenaga yang tidak terbatas hingga buku ini dapat diterbitkan, antara lain yang dapat saya sebutkan adalah, Asep Salmin yang telah membantu penerjemahannya, Mona Lohanda, M.Phil untuk mengedit sehingga naskah tersebut sudah siap menjadi sebuah buku, salah seorang Dewan Pakar Yayasan Nabil yang sangat kami kasihi, Dra. Myra Sidharta atas “pengorbanannya” dalam memberikan masukkan dan koreksi yang sangat beharga, dan “last but not least” kepada Dr. Mary Somers Heidhues, atas dukungan yang sangat luas, antara lain persetujuannya memberikan copyright kepada Yayasan NABIL untuk menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkannya di Indonesia, serta kejeliannya mengoreksi naskah terjemahan buku tersebut sebelum naik cetak.

Akhir kata, kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas lindungan dan rahmat Nya selama kami melalui proses dari awal sampai akhir buku ini bisa diterbitkan. Jakarta, November 2008

Publikasi

Page 31: 18@s nabil forum 2011

31Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

AKU ORANG CHINA?

NARASI PEMIKIRAN POLITIK PLUS

DARI SEORANG TIONGHOA MUDA

Penulis : Dr. Beni BevlySekapur Sirih : Eddie Lembong Judul asli: Aku Orang China?Penerbit : Yayasan Nabil, JakartaCetakan : Edisi Indonesia 2010, xii,214hal.Harga : Rp. 45,000 (diskon 10% untuk pembelian melalui Sekretariat Nabil)ISBN : 978-979-18730-2-4

Buku “Aku Orang China? Narasi Pemikiran Politik Plus dari Seorang Tionghoa Muda” ditulis oleh Beni Bevly, yang lahir dan besar di Kalimantan Barat. Beliau adalah alumnus FISIP Universitas Indonesia, yang kini bermukim di Amerika Serikat. Bersama dengan beberapa kawan yang peduli dengan Indonesia, Beni membentuk Overseas Think Tank for Indonesia (OTTI) yang berpusat di Kalifornia Utara.

Dalam Aku Orang China? penulis berusaha memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan bangsa Indonesia. Di pihak lain, dirinya juga memperkaya khazanah pengetahuan kita dengan serba-serbi kehidupan orang Hakka (Khek) yang sejauh ini tidak banyak diketahui umum.

Kelebihan buku ini adalah dianalisisnya potongan-potongan episode kehidupan penulis melalui ilmu-ilmu sosial (politik, ekonomi, manajemen, dll). Sehingga apa yang tersaji di sini bukanlah hal-hal yang deskriptif naratif, namun berupa analisis yang mencerahkan tentang beragam masalah kebangsaan, khususnya yang berkaitan dengan etnis Tionghoa.

Memoar Ang Yan Goan

Penulis: Ang Yan Goan

Pengantar : Eddie Lembong dan Joesoef IsakJudul asli : Hong Yuan Yuan

Zi Zhuan (Beijing 1989).

Editor : Liang YingmingPenerbit : Yayasan Nabil,

Jakarta/ Hasta Mitra

Cetakan I : Juni, 2009, xxvii, 383 hal.

Harga : Rp. 80,000ISBN : 979-8659-37-6

Buku ini adalah memoar seorang tokoh pers Tionghoa yang peduli pada pembangunan bangsa Indonesia. Riwayat hidup Ang Yan Goan yang lahir di Bandung tahun 1894, sesungguhnya berhimpit dengan

sejarah perjalanan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, sejak akhir abad ke-19 sampai melewati paruh pertama dari abad ke-20. Memoar ini sekaligus adalah ”karya terakhir” Joesoef Isak, wartawan senior, editor dan salah satu pendiri penerbit Hasta Mitra .

Bisa didapatkan langsung di Sekretariat Nabil (diskon 30 % bebas ongkos kirim untuk Jabodetabek).

Publikasi

Page 32: 18@s nabil forum 2011

32Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

PengantarPeriode revolusi kemerdekaan merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia yang berisikan kisah perjuangan bangsa di berbagai bidang seperti diplomasi, militer, jurnalisme, sastra, kesehatan, perhubungan dan sebagainya. Perjuangan tersebut terutama ditujukan untuk mempertahankan kemerdekaan, yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, dari ancaman kolonialisme yang ingin ditegakkan kembali oleh Belanda. Berbagai komponen bangsa turut menyumbangkan tenaga dalam revolusi kemerdekaan, diantaranya adalah masyarakat Tionghoa. Peran serta mereka di dalam tahap awal mula berdirinya negara ini, menunjukkan bahwa orang Tionghoa, seperti juga kelompok masyarakat lainnya, merasa Indonesia adalah tanah air mereka yang kedaulatannya wajib mereka bela. Tulisan ini akan menyorot peran masyarakat Tionghoa, terutama tokoh-tokohnya, dalam revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Karangan ini juga akan membahas terbentuknya pemerintah Republik Indonesia (RI) serta kiprah para tokoh Tionghoa di dalam lembaga-lembaga pemerintahan yang baru terbentuk. Juga akan dibicarakan afiliasi dan kecenderungan politik dari para tokoh tersebut serta gagasan-gagasan mereka dalam memajukan masyarakat Indonesia. Sebelum masalah-masalah di atas dibahas, terlebih dahulu akan dibicarakan secara singkat perkembangan kesadaran politik di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa dari awal abad

20 sampai dengan masa pendudukan Jepang (1942-1945).

Perkembangan Kesadaran Politik Masyarakat TionghoaKesadaran politik di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad 20. Pada masa itu paham nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok mulai dianut oleh sebagian orang Tionghoa. Sebagian diantaranya adalah kaum peranakan, memandang dirinya sebagai bagian dari bangsa China. Sebagai wadah dari aspirasi tersebut, kaum Tionghoa mendirikan berbagai organisasi seperti Tiong Hoa Hwee Koan atau THHK2 (1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908)3. Gagasan nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok semakin terartikulasi dengan terbitnya koran Sin Po pada tahun 19104. Selain menganjurkan nasionalisme Tiongkok, dalam masalah kewarganegaraan, para pendukung koran ini beranggapan bahwa orang Tionghoa di Hindia Belanda adalah rakyat Tiongkok dan bukan kawula Belanda. Meski demikian, tidak semua orang Tionghoa adalah pendukung nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok. Mereka itu terutama adalah kaum peranakan yang mendapat pendidikan Belanda. Pada tahun 1928 kelompok ini mendirikan partai yang diberi nama Chung Hwa Hui (CHH). Para pendukung CHH berpendapat bahwa peranakan Tionghoa adalah kawula Belanda dan harus ikut serta dalam pemerintahan untuk membela kepentingan mereka5.

TOKOH-TOKOH TIONGHOADALAM REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA1

Bondan Kanumoyoso

1Makalah yang disampaikan pada Seminar Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) berjudul “Etnis Tionghoa Dalam Pergolakan Revolusi Indonesia”, Depok 16 Juli 2010. 2Pada mulanya THHK bertujuan untuk memperbaiki kebiasaan orang Tionghoa yang berdasarkan pada ajaran Konfusianisme. Dalam perkembangannya THHK menjadi perkumpulan yang ingin memajukan pendidikan orang Tionghoa dan ia berhasil mendirikan cabang di berbagai wilayah di Hindia Belanda. Untuk sejarah THHK Batavia lihat Nio Joe Lan, Riwajat 40-Taon dari Tiong Hoa Hwee Koan Batavia (Batavia: THKK, 1940). 3Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa. Kasus Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2002), hlm.25. 4Tahun 1911 koran Sin Po melebarkan usaha mencakup perniagaan dan percetakan dan berubah dari mingguan menjadi harian. Lihat Ang Yang Goan, Memoar Ang Yang Goan 1894-1984 (Jakarta: Yayasan Nabil/Hasta Mitra, 2009), hlm.38. 5Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia. Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm.53.

Artikel

Page 33: 18@s nabil forum 2011

33Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Sikap CHH yang pro kepada Belanda mendapat tanggapan dari kaum peranakan yang berorientasi ke Indonesia. Kelompok ini kemudian membangun organisasi bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Pemimpin PTI, Liem Koen Hian, menyerukan agar kaum peranakan Tionghoa yang menganut nasionalisme Tiongkok menukar obyek orientasi mereka ke Indonesia dan bekerja untuk kemerdekaan Indonesia6. Dengan demikian, secara garis besar, sebelum kedatangan Jepang pada tahun 1942, ada tiga golongan utama yang berbeda dalam masyarakat Tionghoa, yaitu mereka yang berorientasi ke Tiongkok, Belanda, dan Indonesia. Masa pendudukan Jepang berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menutup seluruh koran yang diterbitkan oleh orang Tionghoa7 dan melarang orang Tionghoa untuk melakukan kegiatan politik. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda juga ditutup dan ini menyebabkan kekuatan kelompok Chung Hwa Hui semakin melemah. Sementara itu, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok, terutama Sin Po, beberapa tokohnya ditangkap dan ada yang melarikan diri. Sedangkan kelompok PTI yang beorientasi nasionalisme Indonesia dibubarkan. Liem Koen Hian sebagai tokoh PTI sempat ditangkap pada masa awal pendudukan sebelum kemudian dibebaskan. Pemerintah pendudukan Jepang menyatukan seluruh organisasi Tionghoa ke dalam satu federasi yang diberi nama Hua Chiao Tsung Hui (HCTH)8. Para pemimpin HCTH ditunjuk oleh pemerintah pendudukan Jepang dan bertanggung jawab kepada mereka.

Persiapan KemerdekaanMenjelang akhir Perang Dunia II, posisi Jepang di Asia dan Pasifik semakin terdesak. Akibat dari perkembangan situasi ini maka pada bulan Maret

1945 Jepang mendirikan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam rangka untuk mendapat dukungan dari rakyat. Di dalam lembaga yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta ini terdapat pula beberapa tokoh Tionghoa. Diantara para tokoh Tionghoa itu yang paling menonjol adalah 9Liem Koen Hian dari PTI. Dalam rapat-rapat BPUPKI dia sering mengemukakan pendapatnya yang mendukung secara penuh kemerdekaan Indonesia. Dalam suatu sidang BPUPKI ia mengemukakan bahwa masyarakat Tionghoa di Jawa tidak lagi menganut kebudayaan Tionghoa. Liem menekankan bahwa masyarakat Tionghoa telah lebih menjadi Indonesia daripada Tiongkok. Meskipun demikian ia mengidentifikasi adanya kebingungan dalam masyarakat Tionghoa tentang posisi mereka karena adanya perubahan situasi, baik nasional maupun internasional. Dalam pandangan Liem, dalam Republik Indonesia yang akan dibentuk nanti, semua orang Tionghoa mesti diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Tokoh Tionghoa kedua yang duduk di dalam BPUPKI adalah Oei Tjong Hauw yang berasal dari CHH. Tentang masalah kewarganegaraan, Oei menganjurkan agar pemerintah Indonesia yang akan datang menyatakan semua orang Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Tiongkok. Ia mengemukakan bahwa setelah pendudukan Jepang maka Undang-Undang Kekaulaan Belanda tidak berlaku lagi. Maka banyak orang Tionghoa peranakan yang dengan sendirinya menjadi warga negara Tiongkok. Meskipun demikian Oei berjanji bahwa ia bersama orang-orang Tionghoa lainnya akan bekerja semaksimal mungkin untuk membantu rakyat Indonesia membentuk negara merdeka. Komitmen ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu pertama: Tiongkok juga sedang berjuang

6Ibid., hlm.76. 7Perkecualian adalah Hong Po, pimpinan Oey Tiang Tjoei yang pro-Jepang, diijinkan tetap terbit, namun segera ganti nama sebagai Kung Yung Pao (edisi Melayu dan Mandarin) (tambahan editor). 8Amy L. Freedman, Political Participation and Ethnic Minorities. Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia, and the United States (London: Routledge, 2000), hlm.99. 9Bagian ini dan beberapa paragraf berikutnya mengacu pada Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, hlm.37-39.

Page 34: 18@s nabil forum 2011

34Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

untuk mencapai kemerdekaannya dan kedua: orang Tionghoa berhutang budi kepada bangsa dan tanah air Indonesia yang telah menyediakan mata pencaharian bagi mereka. Tokoh-tokoh Tionghoa berikutnya yang menjadi anggota BPUPKI adalah mereka yang pada masa kolonial Hindia Belanda tidak tergabung dalam tiga aliran politik utama. Tokoh yang pertama adalah Oey Tiang Tjoei. Ia menganut pandangan bahwa meskipun kaum peranakan memiliki darah campuran, namun hal itu tidak membuat mereka menjadi orang Indonesia. Menurut Oey, dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan datang kewarganegaraan Tionghoa sebaiknya diberi pertimbangan yang adil. Secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa orang Tionghoa sebaiknya dinyatakan sebagai warga negara Tiongkok. Oey tidak melihat adanya pertentangan antara menjadi warga negara Tiongkok dan menjadi anggota masyarakat Indonesia. Hal ini karena dalam pandangan Oey, orang Jepang, Indonesia, dan Tionghoa adalah bangsa Asia dan karena itu perlu untuk bekerja sama dalam mewujudkan Asia Raya. Selain mereka bertiga, masih ada orang Tionghoa di dalam BPUPKI, yakni Tan Eng Hoa dan Yap Tjwan Bing. Tidak banyak keterangan yang diperoleh mengenai kedua tokoh ini. Apa yang diketahui tentang Tan Eng Hoa adalah bahwa dia seorang sarjana hukum. Sedangkan Yap10 adalah seorang apoteker lulusan Belanda namun memiliki hubungan yang erat dengan kaum nasionalis Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Berdasarkan fakta-fakta ini dapat diperkirakan bahwa ia memiliki pandangan yang tidak terlalu berbeda dengan Liem Koen Hian. Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam akhir sidang I BPUPKI, Soekarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang Pancasila yang kelak

akan menjadi dasar negara. Rancangan Undang-Undang Dasar Republik dengan batas wilayah bekas teritori Hindia Belanda berhasil ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1945. BPUPKI mengakhiri tugasnya dengan merancang konstitusi pertama Indonesia yang menghendaki sebuah republik kesatuan dengan jabatan kepresidenan yang kuat. Sebagai gantinya dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Peresmian pembentukan panitia ini dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1945, sesuai dengan keputusan Jendral Besar Terauchi, Panglima Tentara Umum Selatan, yang membawahi semua tentara Jepang di Asia Tenggara. Anggota PPKI kebanyakan diambil dari bekas anggota BPUPKI. Dari keseluruhan anggota PPKI, 12 orang adalah wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatra, 2 dari Sulawesi, 1 dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan wakil masyarakat Tionghoa. Sebagai wakil masyarakat Tionghoa, sekaligus golongan minoritas lainnya (Arab dan Indo), di dalam PPKI adalah Yap Tjwan Bing. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah tanpa syarat dan pada tanggal 17 Agustus 1945 atas desakan para pemuda, kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan.

Komite Nasional Indonesia PusatSegera setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, pemerintah pusat dibentuk di Jakarta pada akhir Agustus 1945. Dalam pemerintahan baru tersebut Sukarno diangkat sebagai presiden (1945-1967) dan Hatta ditunjuk sebagai wakil presiden (1945-1956). Kepercayaan diberikan kepada kedua tokoh pergerakan tersebut karena para tokoh politik Indonesia pada umumnya meyakini bahwa hanya merekalah yang dapat berurusan dengan pihak Jepang yang pada saat itu secara de facto masih memiliki kekuatan militer yang besar11. Karena

10Lebih lanjut tentang Yap Tjwan Bing, lihat otobiografinya, Meretas Jalan Kemerdekaan. Jakarta: Gramedia, 1988. Sebagai penghargaan, sejak 2008 namanya diabadikan sebagai nama jalan di kota kelahirannya, Solo, lihat “Yap Tjwan Bing, Warga Tionghoa Pertama yang Diabadikan Jadi Nama Jalan”, Indopos, 21 dan 22 November 2010, h. 16 (tambahan editor). 11M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2008), hlm.448-449.

Page 35: 18@s nabil forum 2011

35Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Pemilihan Umum belum dapat dilaksanakan maka untuk membantu presiden didirikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Komite-komite nasional yang serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan karesidenan. Para anggota KNIP yang pertama dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Anggota inti dari KNIP terdiri dari 25 orang. Kebanyakan dari mereka sebelumnya merupakan anggota PPKI yang ditunjuk oleh Jepang. Sebagai tambahan, Presiden Sukarno menunjuk 110 orang sebagai anggota KNIP. Dalam bulan-bulan selanjutnya anggota KNIP diperluas menjadi hampir 200 orang12. Sidang KNIP pertama kali diadakan pada tanggal 16 Oktober 1945 di Jakarta. Berlaku sebagai pimpinan sidang adalah Kasman Singodimedjo. KNIP dan badan pekerjanya sejak dari awal memang telah mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat Tionghoa. Ketika KNIP untuk pertama kali disusun, terdapat dua anggota yang mewakili masyarakat Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing. Perjuangan melalui jalur diplomasi akhirnya mengahasilkan perjanjian Linggarjati yang diselenggarakan pada 22 Oktober sampai 15 November 1946. Di dalam perjanjian tersebut, pihak Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia di Pulau Sumatra dan Jawa. Kedua belah pihak juga menyepakati untuk membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 1 Januari 1949. Di dalam RIS akan diikut sertakan RI dan beberapa negara bagian lainnya. Juga disetujui untuk membentuk suatu uni Indonesia-Belanda, yang di dalamnya terdiri dari RIS dan kerajaan Belanda. Uni ini akan secara resmi dipimpin oleh Ratu Belanda. Agar perjanjian Linggarjati diterima secara resmi oleh Indonesia diperlukan persetujuan dari KNIP. Untuk menjamin diterimanya perjanjian tersebut oleh KNIP, pada tanggal 29 Desember 1946 Sukarno mengeluarkan dekrit yang isinya

menambah jumlah anggota KNIP dari 200 menjadi 515 orang. Pada awalnya ada penolakan terhadap dekrit ini dari kalangan anggota KNIP. Namun setelah Hatta mengancam bahwa Soekarno dan dirinya akan meletakkan jabatan jika dekrit itu ditolak, akhirnya dekrit tersebut diterima. Di dalam KNIP ada 7 tokoh Tionghoa yang mewakili masyarakat Tionghoa. Diantara mereka 4 berasal dari Jawa Timur, yaitu Yap Tjwan Bing (Madiun), Oey Hway Kiem (Bondowoso), Tan Boen An (Kediri), dan Siauw Giok Tjhan (Malang). Sedangkan 3 wakil lainnya berasal dari Jakarta, yaitu: Liem Koen Hian, Inyo Beng Goat, dan Tan Po Goan. Selain itu masih ada 3 orang Tionghoa yang mewakili partai politik. Mereka adalah Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat yang mewakili Partai Sosialis (PS) dan Lauw Khing Hoo yang mewakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Siauw Giok Tjhan, dari daftar nama tokoh-tokoh Tionghoa yang tergabung di dalam KNIP dapat disimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah lama ikut aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia13. Selain tiga orang terakhir yang secara jelas tergabung ke dalam partai politik, paling tidak ada tiga tokoh Tionghoa lainnya yang menjadi anggota KNIP yang diketahui merupakan simpatisan atau anggota partai politik tertentu. Mereka adalah Yap Tjwan Bing dan Liem Koen Hian yang merupakan pendukung PNI dan Siauw Giok Tjhan yang merupakan pendukung PS. Khusus mengenai Siauw Giok Tjhan, ia diketahui telah masuk ke dalam Partai Sosialis, khususnya ke dalam kelompok Amir Sjarifuddin, pada akhir bulan Desember 194514.

Tokoh-tokoh Tionghoa Pada Masa RevolusiDalam masa revolusi kemerdekaan, masyarakat Tionghoa sebagai kelompok minoritas berada dalam kondisi terjepit antara pihak Belanda dan Indonesia. Banyak orang Tionghoa yang

12P.J. Drooglever, “Komite Nasional Indonesia Pusat Dan Politik Dalam Negeri Di Republik Indonesia”, dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.209. 13Siauw Giok Tjhan, Renungan Seorang Patriot Indonesia (Jakarta: Lembaga Kajian Sinergi Indonesia, 2010), hlm.140. 14Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan Dalam Pembangunan Nasion Indonesia, Jakarta: Lembaga Kajian Sinergi Indonesia, 2010), hlm.94.

Page 36: 18@s nabil forum 2011

36Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

berada di wilayah kekuasaan RI menaruh simpati kepada Indonesia. Namun sebaliknya, orang Tionghoa yang berada di wilayah Belanda, sulit untuk menunjukkan dukungan seperti yang diperlihatkan orang Tionghoa di wilayah kekuasaan RI. Pada akhirnya meskipun di dalam hati mereka mendukung Indonesia namun mereka berusaha bersikap netral, walau ada juga sebagian yang terang-terangan bersikap pro-Belanda. Sementara di daerah yang tidak dikuasai oleh RI maupun Belanda, banyak orang Tionghoa yang menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota laskar, para pemuda revolusioner, maupun para penjahat yang berkedok sebagai pejuang. Dengan tuduhan sebagai kaki tangan Belanda, mereka menjadi korban pembunuhan, perampokan, penjarahan, dan pemerkosaan. Peristiwa tindak kekerasan terhadap orang Tionghoa yang mendapat liputan luas antara lain terjadi di Tangerang, Kebumen, dan Malang. Peristiwa Tangerang mendapat kritikan keras dari koran Sin Po yang telah terbit kembali menyusul berakhirnya pendudukan Jepang. Wartawan terkemuka koran ini yaitu Kwee Kek Beng melakukan lawatan langsung ke Tangerang dan melihat penderitaan orang Tionghoa di sana15. Kwee menunjukkan simpati yang mendalam terhadap orang Tionghoa dan bersikap sangat kritis terhadap pihak Indonesia. Sikap kritisnya itu bercampur dengan kecenderungannya yang memang anti republik. Apa yang kurang dipertimbangkan oleh Kwee, sebenarnya para pemimpin republik berusaha keras untuk mencegah kerusuhan rasial walaupun upaya tersebut kadang-kadang tidak berhasil. Para bekas anggota PTI dan tokoh peranakan seperti Siauw Giok Tjhan dan Dr.Tjoa Sek Ien justru mengecam dan menyalahkan Belanda atas terjadinya peristiwa Tangerang16. Dengan kata lain mereka tidak mau menyalahkan pihak RI dalam peristiwa tersebut. Sikap tegas dalam memihak RI juga ditunjukkan oleh Liem Koen Hian. Pada masa revolusi Liem bersama Rahman Tamin, seorang pengusaha pribumi, melakukan kegiatan penyelundupan senjata untuk membantu para pejuang Indonesia17.

Pada bulan November 1947, Liem dipercaya oleh pemerintah RI untuk menjadi anggota delegasi dalam perjanjian Renville. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Sjarifuddin yang saat itu masih dianggap sebagai orang Partai Sosialis namun di kemudian hari mengaku dirinya telah menjadi komunis sejak lama. Pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun yang gagal banyak orang komunis yang terbunuh dan tertangkap. Diantara mereka yang tertangkap adalah Amir Sjarifuddin yang pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Sjahrir dan kemudian pernah pula menjadi Perdana Menteri. Ada bekas wakil Tionghoa di dalam KNIP yang terlibat di dalam peristiwa Madiun, yaitu Oey Gee Hwat. Ia berhasil ditangkap oleh TNI dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Sebenarnya Oey Gee Hwat berasal dari Partai Sosialis, namun kemungkinan ia telah beralih menjadi anggota PKI sebelum terjadinya peristiwa Madiun. Dalam masa revolusi ada pula tokoh-tokoh Tionghoa yang menjabat sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan republik. Dalam kabinet yang dibentuk oleh Amir Sjarifuddin pada tanggal 3 Juli 1947 Siauw Giok Tjhan ditunjuk sebagai menteri urusan minoritas menggantikan Tan Po Goan. Tan dipandang oleh Amir secara politik lebih dekat kepada Sjahrir. Ketika itu telah terjadi perpecahan di dalam tubuh Partai Sosialis antara kubu Sjahrir dan kelompok Amir. Pada awalnya Siauw menolak untuk menjadi menteri, tetapi akhirnya ia mau menerimanya setelah didesak oleh Amir dan Tan Ling Djie18. Menurut Siauw, alasan lain dari kesediaannya menjadi menteri adalah untuk memenuhi janji pemerintah yang tercantum di dalam Manifesto 1 November 1945, yaitu menjadikan semua peranakan Tionghoa, Arab, dan Eropa yang lahir di Indonesia sebagai warga negara dan patriot Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin19.

KesimpulanMasyarakat Tionghoa di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang memiliki pandangan heterogen. Aspirasi mereka yang diwakili oleh para tokoh-tokohnya menunjukkan bahwa orang Tionghoa telah memiliki kesadaran politik sejak awal abad

15Suryadinata, Tokoh Tionghoa, hlm.107 16Tentang pandangan Siauw Giok Tjhan terhadap peristiwa Tangerang lihat Siauw, Renungan Seorang Patriot, hlm.146. 17Suryadinata, Tokoh Tionghoa, hlm.86. 18Siauw Giok Tjhan, Lima Jaman. Perwujudan Integrasi Wajar (tp.: Jakarta-Amsterdam, 1981), hlm.117. 19Siauw, Renungan Seorang Patriot, hlm.158.

Page 37: 18@s nabil forum 2011

37Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

ke-20. Kebangkitan kaum pergerakan nasional Indonesia terjadi dalam periode yang sama dengan munculnya kesadaran politik di kalangan orang Tionghoa. Meskipun masyarakat Tionghoa memiliki aspirasi politik yang berbeda-beda, namun ada satu ciri kesamaan diantara mereka, yaitu kesadaran sebagai kelompok minoritas yang hidup di tengah suatu bangsa yang sedang membentuk jati dirinya. Berbagai aktivitas tokoh-tokoh Tionghoa dalam masa revolusi kemerdekaan menunjukkan bahwa golongan Tionghoa bukanlah kelompok yang eksklusif dan terpisah dari bangsa Indonesia. Meskipun selama masa kolonial dan pendudukan Jepang, orang Tionghoa diperlakukan sebagai golongan masyarakat tersendiri yang berbeda dengan orang pribumi, namun banyak diantara tokoh-tokoh Tionghoa yang menyuarakan aspirasi masyarakatnya yang merasa sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sumbangsih masyarakat Tionghoa dalam masa revolusi tidak kalah pentingnya dari sumbangsih kelompok masyarakat lainnya dalam proses pembentukan negara dan bangsa Indonesia.

Bondan Kanumoyoso adalah pengajar tetap di Program Studi Sejarah FIB-UI. Pendidikan S1 (1996) dan S2

(2000) sejarah ditempuh di UI. Menamatkan Advanced Master Program (2002) di Universitas Leiden dan saat ini menjadi kandidat doktor sejarah di universitas yang sama. Minat utamanya adalah pada sejarah sosial-ekonomi dan

sejarah Indonesia masa modern awal.

SEJARAH, IBU KEHIDUPAN:Rangkaian Kata Yang

Tiba-tiba Datang Oleh: Anhar Gonggong

Aku bermimpi, terbang bak memotret kehidupanAku melihat hamparan keindahan dan keburaman peristiwa-peristiwaAku tampak bertemu dengan Cokroaminoto, bersalaman dengan Bung Karno, berpelukan dengan Bung Hatta dan Bung Syahrir Melihat wajah beningnya Tan Malaka, Bung Koko, dan Cak NurJuga aku memeluk perempuan perkasa Tjoet Nya’ Dien dari AcehAku melihat hamparan keindahan dari peristiwa lampauTetapi juga aku mendapatkan teropong untuk melihat hari depanAkh…aku melihat wajah ku cemas

Aku melihat batu-batu granit Gunung Merapidan Gunung Latimojong berantakanAlam seakan runtuh tak memberikan kehidupan Akh…tiba-tiba wajahku tampak cerah, ada sungging senyumAku melihat anak-anak berlarian dengan ceriaAku melihat kepedihan, tetapi juga ada harapan di mata bayi-bayiSejarah…, ibu kehidupanIa menghamparkan peristiwa-peristiwa indah, namun juga pedihSejarah…, ibu kehidupan Menggendong untuk menapaki harapan dihari depanSejarah…, ibu kehidupanMemberi hamparan peristiwa di kelampauanAgar pemimpin dikekinian pandai bermenung dan berhati nuraniKarena ibu kehidupan memberi air susu untuk kehidupan dan bermenungAgar pandai dan berani jujur!!

Dibacakan dalam penganugerahan Nabil Award 2010

Page 38: 18@s nabil forum 2011

38Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Dalam rangkaian Dies Natalis III, civitas akade-

mika Universitas Ma Chung Malang pada Selasa, 6 Juli 2010. Sudhamek AWS dan Eddie Lembong selaku Ketua Pendiri Yayasan Nabil diundang untuk membagikan pengalaman dalam bidang usaha kepada mahasiswa, staf, dan dosen Universitas Ma Chung. Eddie Lembong dalam kesempatan tersebut mene-kankan dasar-dasar yang diperlukan oleh seseorang untuk dapat menjadi seorang entrepreneur. Dasar-dasar yang

diperlukan tersebut antara lain adalah Pintar, Jujur, Rajin, Hemat, dan Rapi. Menurut

Eddie, seseorang harus membekali dirinya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas

(berilmu dan berpengetahuan) dalam segala aspek (generalis) agar mampu menghadapi pelbagai situasi dan mampu menjadi orang yang memiliki spesifikasi keahlian khusus (skills) sebagai bekal utama menjadi manusia yang produktif. Kepintaran dapat diperoleh melalui sebuah proses belajar yang benar dan tepat. Untuk dapat menjadi manusia yang bisa maksimal dalam proses belajar maka sangat diperlukan asupan Nutrisi makanan yang memadai. Nutrisi yang baik akan memaksimalkan pertumbuhan otak yang akan berdampak kepada kecerdasan seseorang (IQ), jadi sangat penting dari sejak dini Nutrisi harus diperhatikan. Seseorang harus memiliki ilmu dan pengetahuan serta penguasaan informasi dalam segala aspek agar mampu menghadapi berbagai tantangan. Kedua, seseorang yang hen-dak menjadi entrepreneur harus memiliki sifat jujur, kejujuran adalah hal yang utama untuk dapat mengembangkan bidang usaha. Kejujuran melahirkan sebuah kepercayaan (reputasi), kepercayaan atau reputasi seseoarang akan dapat mendorong sebuah usaha berjalan dengan lancar dan maju. Ketiga, seseorang untuk dapat sukses dalam dunia usaha harus memiliki sifat rajin dan ulet untuk menjalankan bidang usahanya, dengan modal kerajinan yang dimiliki seseorang maka ia akan memiliki daya saing yang lebih dari orang lain. Bangsa yang maju didunia adalah bangsa

Syarat Dasar Menjadi EntrepreneurCeramah di Universitas Ma-Chung, Malang

“Untuk dapat menjadi manusia yang bisa

maksimal dalam proses belajar maka sangat diperlukan asupan

nutrisi makanan yang memadai.”

Page 39: 18@s nabil forum 2011

39Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

yang memiliki budaya kerja keras dan ulet, sebagaimana yang ditunjukan oleh Bangsa Jepang. Sifat keempat yang juga tidak kalah penting adalah sifat hemat, hemat merupakan dasar seseorang untuk dapat menggunakan dan mengatur keuangan dengan efisien dan efektif (pembentukan cadangan dan pemupukan modal). Jika seseorang boros dan tidak biasa mengatur keuangan dengan baik, maka akan sangat sulit untuk dapat mengembangkan usahanya. Sifat hemat mendorong seseorang mampu mengunakan keuangannya dengan perencanaan yang baik. Bangsa-bangsa yang memiliki budaya hemat atau suka menabung seperti Jepang, Tiongkok dan USA terbukti bisa menjadi negara maju. Sifat kelima sebagai syarat dasar yang harus dimiliki seseorang untuk sukses adalah rapi. Sifat rapi adalah kemampuan seseorang untuk dapat merencanakan segala sesuatu dengan baik (well organized) dan mampu memperhitungkan segala

persoalan dengan cermat dan detail. Kelima syarat dasar tersebutlah menurut Eddie Lembong harus dimiliki seseorang untuk dapat sukses dalam dunia usaha maupun dalam kehidupan sosial. Lima syarat dasar tersebut disimpulkan berdasarkan pengalaman beliau dalam bidang usaha dan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai seorang tokoh dalam dunia farmasi di Indonesia Eddie Lembong mempelopori penerapan GMP (Good Manufacturing Practice), suatu pendekatan baru dalam pembuatan obat yang bermutu,

baik, dan terjamin. Pada tahun 1971, beliau mendirikan PT. Pharos Indonesia, salah satu perusahaan farmasi besar di Indonesia, serta mendirikan jaringan Apotek Century pada 1993. Selain tokoh dalam dunia farmasi, Eddie Lembong aktif dalam organisasi sosial kemasyarakat, terkini aktivitas tersebut adalah sebagai ketua pendiri Yayasan Nabil. Melalui berbagai pengalaman tersebutlah Eddie Lembong dapat berbagi pengalaman dengan para mahasiswa di Universitas Ma Chung .

Ketua Pendiri Yayasan Nabil menyampaikan pengalamannya didepan para mahasiswa Universitas Ma Chung, Malang

Eddie Lembong dan Sudhamek AWS menerima cenderamata dari Rektor Universitas Ma Chung Leenawaty Limantara, PhD

Page 40: 18@s nabil forum 2011

40Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Bulan Juni 2010 terasa spesial bagi Pancasila. Untuk pertama kalinya, pidato Bung Karno di depan Badan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945, yang melahirkan Pancasila, dirayakan secara resmi oleh MPR dan pemerintah. Perayaan tersebut adalah puncak dari berbagai upaya yang intensif pada dewasa ini untuk mengaktualisasikan kembali dasar negara republik ini.

Menyusul lengsernya kekuasaan Orde Baru dan memasuki masa Reformasi, citra

Pancasila sempat “meredup” dan seolah dilupakan maknanya bagi kehidupan berbangsa. Maka beberapa pihak yang peduli, secara aktif mengupayakan revitalisasi Pancasila. Salah satu upaya penting adalah terbitnya buku Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (2009) karya As’ad Said Ali, Wakil Ketua Badan Intelejen Nasional (BIN) yang juga Wakil Ketua Nahdhatul Ulama (NU). Butir terpenting dari pemikiran As’ad Said Ali adalah penegasan bahwa domain utama Pancasila ialah di ruang publik, di mana kebutuhan kolektif kebangsaan dan kenegaraan bertemu dan berinteraksi. Dalam ruang publik itu berlaku nilai-nilai Pancasila. Di situ kita membangun Identitas Indonesia dan menciptakan tempat melaksanakan kehidupan multikultural yang berkarakter Indonesia. Jadi seorang Batak, Jawa atau Tionghoa harus mengedepankan nilai-nilai kebangsaan saat berada di ruang publik dan jangan menonjolkan identitas primordialnya di sini, baik itu identitas suku,

agama maupun budaya. Di sisi lain, terdapat Ruang Privat, yang bersifat individual maupun kelompok, di mana hal-hal yang tidak bertentangan dengan Pancasila dapat berada. Di domain ini, identitas primordial boleh diekspresikan dengan bebas. Disinilah nampak salah satu bukti relevansi Pancasila di tengah kondisi zaman yang makin menuntut pengakuan

akan keberagaman.

Peluncuran dan Bedah Buku “Negara Pancasila”(Edisi Mandarin)

Hotel Grand Sahid Jaya, 7 Agustus 2010

Ketua Yayasan Nabil memaparkan pendapatnya tentang Pancasila

Eddie Lembong, Anhar Gonggong, Yoza Suryawan dan Moderator Tadjudin Hidajat

“domain utama Pancasila ialah di ruang publik, di mana kebutuhan kolektif

kebangsaan dan kenegaraan bertemu dan berinteraksi.”

Page 41: 18@s nabil forum 2011

41Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Melihat arti penting buku Negara Pancasila, maka buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, Ban Cha Xi La Guo Jia. Menandai terbitnya terjemahan tersebut, maka Lembaga Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsa (LP2KB) bekerjasama dengan tujuh Lembaga: LIC, Perpit, BMS, Yayasan Nabil, KIKT, Permit dan ICBC telah menyelenggarakan peluncuran dan bedah buku “Negara Pancasila” edisi Mandarin, pada hari Sabtu, 7 Agustus 2010. Adapun tempatnya adalah di Puri Ratna Room, Grand Sahid

Jaya Hotel (Lt.2) dari pukul 13.30-16.30. Tampil tiga orang pembahas: Yoza Suryawan (Pengamat); Dr Anhar Gonggong (Sejarawan) dan Drs Eddie Lembong (Ketua Pendiri Yayasan Nabil). Diharapkan acara interaktif ini akan semakin memperjelas relevansi dan keaktualan Pancasila bagi kehidupan berbangsa kita saat ini dan di masa mendatang, seperti yang tercantum dalam anak judul buku yang dibahas, yakni Pancasila sebagai “Jalan Kemaslahatan Berbangsa”.

Narasumber Yoza Suryawan Anhar Gonggong

Eddie Lembong menerima Piagam dari Wakil Ketua BIN As’ad Said Ali Penerbit Nabil menyerahkan buku kepada penulis As’ad Said Ali

Tadjudin Hidajat Para Undangan

Page 42: 18@s nabil forum 2011

42Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Etnis Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi IndonesiaPusat Studi Jepang UI, 16 Juli 2010

Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT) menggelar seminar kebangsaan bertajuk “Etnis Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia”, Jumat 16 Juli 2010 di Pusat Studi Jepang (PSJ), Universitas Indonesia, Depok. Staf Yayasan Nabil, Didi Kwartanada diminta menjadi salah satu nara sumber. Menurut Ir Bondan Gunawan, Ketua Umum PPIT, yang juga adalah mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Presiden Gusdur kegiatan seminar itu merupakan bagian dari rangkaian kegiatan PPIT dalam memperingati 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia - Tiongkok. “Tujuan diselenggarakannya kegiatan seminar ini secara umum adalah untuk mengingatkan masyarakat mengenai sejarah keberadaan NKRI.” jelasnya. Lebih jauh, diharapkan akan muncul pemahaman tentang bagaimana peranan etnis Tionghoa sepanjang revolusi Indonesia serta bertambahnya pengetahuan atas peran aktif dari kalangan etnis Tionghoa selama Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1950). Dirinya berharap agar seminar itu bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Hadir juga sebagai pembicara adalah staf pengajar Jurusan Sejarah FIB UI Bondan Kanumoyoso, yang paper nya mengenai tokoh-tokoh Tionghoa di masa revolusi dimuat dalam Nabil Forum edisi ini. Pengamat sejarah Dr dr H Husein Rusdhy Hoesein M Hum. lebih banyak menyajikan foto dan film. Dokumen-dokumen tersebut jarang dipublikasikan. Padahal, informasi dari foto dan film itu menunjukan jelas keterlibatan etnis Tionghoa dalam memperjuangkan kemerdekaan di masa revolusi Indonesia. Didi Kwartanada memberikan paper berjudul

“Sumbangsih Tionghoa pada Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1950)” yang menampilkan para pejuang Tionghoa dari berbagai daerah yang kini dilupakan. Salah satunya adalah Ibu Liem (Giam Lam Nio). Bagi prajurit RI di Jawa Timur, ia bukan seorang ibu biasa. Dengan segala kasih sayangnya Ibu Liem mengatur dapur umum siang malam. Pejuang perempuan yang dilupakan ini saat wafat, petinya ditutup bendera Merah Putih dan dimakamkan di perkuburan Tionghoa di Sepanjang, Surabaya. Sejarawan dari Nabil ini ingin menyampaikan bahwa etnis Tionghoa, yang di masa pasca kemerdekaan mengalami diskriminasi yang panjang, merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang secara langsung ikut memperjuangkan kemerdekaan dan berdirinya Republik Indonesia. Hadirin yang terdiri dari kalangan umum dan mahasiswa, memberikan atensi yang besar, sehingga tercipta tanya jawab yang dinamis, dengan diwarnai humor, baik dari para penanya maupun nara sumber.

Para Pembicara : Bondan Kanumoyoso, Husein Rushdy Hoesein, Didi Kwartanada

Bondan Gunawan memberikan kenang-kenangan kepada Didi Kwartanada dari Yayasan Nabil

Page 43: 18@s nabil forum 2011

43Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Etnis Tionghoa Dalam Sejarah Indonesia Abad 19-20 Seminar Mahasiswa Sejarah UGM

28 dan 30 April 2010

Untuk mewadahi kreativitas mahasiswa dalam menuangkan tulisan, Badan Keluarga

Mahasiswa Sejarah (BKMS) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada secara rutin mengadakan seminar. Di tahun 2010 ini mereka menggandeng Yayasan Nabil untuk bekerjasama menyelenggarakan seminar bertema “Etnis Tionghoa dalam Sejarah Indonesia Abad 19-20 ”. Acara diadakan di kampus Bulaksumur dan dibagi dalam dua sesi, yakni pada tanggal 28 dan 30 April 2010. Selain membantu penyelenggaraannya, Yayasan Nabil juga mengirimkan Didi Kwartanada sebagai salah seorang pembicara. Menurut ketua panitia seminar, Dukarno Devis, “masyarakat Tionghoa merupakan salah satu bagian penting dalam pembentukan nasion Indonesia, jauh sebelum bangsa ini merdeka. Bahkan ketika dominasi Majapahit muncul, Chinese Diaspora sudah merebak di Nusantara. Keunikan kajian China bukan cuma sekedar persoalan kajian ekonomi. Akan tetapi bagaimana budaya China merasuk dalam tubuh kebudayaan di Indonesia. Entah itu dari segi arsitektur, kesenian, gaya hidup bahkan peralatan dapur serta kuliner.

Dari sini kita mencoba menghadirkan pembahasan mengenai Tionghoa dalam sejarah Indonesia. Karena masyarakat Tionghoa bukanlah bangsa asing bagi kita. Semoga acara ini bermanfaat bagi khalayak sekalian.” Pada hari pertama muncul empat pembicara dari kalangan mahasiswa Sejarah UGM, yang menyaikan berbagai topik tentang golongan Tionghoa di Indonesia. Di hari kedua, tampil Faizatush Sholikhah (Mahasiswa S2 Sejarah UGM) yang membahas kebijakan kewarganegaraan yang

Didi Kwartanada sedang memaparkan uraiannya

Mahasiswa S2 UGM, Faizatush Sholikhah

Page 44: 18@s nabil forum 2011

44Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

diterapkan bagi golongan Tionghoa di Indonesia dari zaman ke zaman. Meski sejak reformasi Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) telah dihapus, namun dalam praktiknya, tandas Faiz, masih diterapkan di berbagai daerah hingga sekarang. Bila ada warga Tionghoa hendak mengurus berbagai hal di birokrasi SBKRI ternyata masih harus disertakan. Dalam paper berjudul “Beberapa Catatan Mengenai Penelitian Etnis Tionghoa Abad XIX-XX”, pembicara dari Nabil, Didi Kwartanada antara lain menuturkan golongan Tionghoa dari masa

kolonial hingga kini lebih diposisikan sebagai minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, tetapi secara politis masih lemah. Menurutnya, kedudukan sebagai perantara ini memang diinginkan penguasa sebagai pihak yang disalahkan saat terjadi kerusuhan menentang penguasa atau saat terjadi kevakuman pemerintahan. Acara dipadati hadirin dari berbagai kalangan dan diwarnai dengan tanya jawab yang hangat

Para Pembicara dari Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada

Suasana Seminar

Suasana Seminar

Page 45: 18@s nabil forum 2011

45Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Ketua Pendiri Yayasan Nabil, Eddie Lembong diminta memberikan Kuliah Umum bagi Para Peserta Kursus Tsinghua Advanced Business Management Course (ABMC), Part 3 yang akan berangkat ke Beijing, China. Pembekalan tersebut diadakan di Grand Sahid, Jakarta pada hari Sabtu 21 Agustus 2010. Dalam kuliahnya yang bertajuk “Mengenal China Sambil Memahami Sejarah Modern Indonesia”, Eddie menegaskan bahwa pada saat ini, China menjadi salah satu negara barometer teknologi, yang memiliki peranan cukup besar bagi dunia industri. Salah satu kehebatan China adalah keberhasilannya mengadopsi semua kebudayaan Barat, mulai dari sistem ekonomi hingga ideologi, untuk kemakmuran rakyatnya. Inilah yang patut ditiru oleh negara lain, termasuk Indonesia, serunya seperti dilaporkan Sinar Harapan, 23 Agustus 2010. Jika dibandingkan dengan China, Eddie menganggap Indonesia saat ini telah kehilangan arah dalam pembangunan. Pemerintah, kata Eddie, seharusnya

mengerti apa yang bisa diterapkan dan disesuaikan dengan nilai budaya yang ada di Tanah Air. “Indonesia telah salah urus dalam segala hal,” cetusnya. Salah satu contohnya adalah salah urus dalam sistem manajemen transportasi. Eddie memprediksi keadaan akan terus bertambah parah jika kebijakan yang diterapkan tidak berubah.Eddie meminta agar sepulangnya nanti, para peserta Management Course Part 3 dapat membagikan informasi dan pengetahuannya kepada seluruh masyarakat, sehingga mereka dapat menerapkannya di sini sesuai dengan sistem nilai budaya yang berlaku. ABMC di Tsinghua University School of Economics and Management, salah satu sekolah ekonomi terkemuka di China, dimulai sejak tahun 1991 dan mencakup semua bidang subjek utama dan kursus bisnis inti manajemen.

Mengenal China Sambil Memahami Sejarah Modern

Indonesia

(Kuliah Umum bagi Para Peserta Kursus Tsinghua Advanced Business Management

Course Part 3 di Beijing, China)

Keluarga Besar Yayasan Nabil

mengucapkan

Selamat Hari Natal 2010,Tahun Baru 2011 &

Tahun Baru Imlek 2562Kiranya tahun baru ini membawa berkah dan kemakmuran bagi kita semua

Page 46: 18@s nabil forum 2011

46Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Penyerahaan Hadiah Lomba Booklet “Pantang Pulang Sebelum Padam”

SMA Regina Pacis Jakarta, 4 Juni 2010

Pada tanggal 1 Februari 2010 sampai 31 Maret 2010, Yayasan Nabil menyelenggarakan lomba

resensi booklet dengan judul “Pantang Pulang Sebelum Padam” antar siswa Sekolah Menengah Atas se Jakarta. Panitia lomba dalam hal ini Yayasan Nabil menyebarkan/membagikan sebanyak 5000 eksemplar booklet yang dicetak secara khusus untuk diresensi oleh siswa-siswi dan dikirimkan ke 49 sekolah SMA se-Jakarta. Tujuan utama dari lomba tersebut adalah menarik minat siswa-siswi untuk menulis dan sekaligus menyebarkan nilai-nilai positif yang terkandung di dalam booklet “Pantang Pulang Sebelum Padam”. Dengan menulis dan membaca booklet tersebut diharapkan siswa-siswi SMA yang merupakan generasi muda penerus bangsa dapat mencotoh dan meniru figur seorang anak muda (Sulistiyo Putranto) yang merupakan petugas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta yang tewas saat menjalankan tugas yang memiliki jiwa patriotisme, bertanggungjawab terhadap tugas dan memiliki

perilaku positif di dalam keluarga dan di lingkungan sosialnya. Dari tulisan yang diterima oleh panitia lomba resensi, maka ditetapkan 4 (empat) orang pemenang dengan mengacu pada kriteria-kriteria tulisan sebagai berikut:1. Tulisan mengambarkan ulasan singkat dan

padat terhadap isi booklet; 2. Tulisan memaparkan kelebihan dan kelemahan

dari booklet; 3. Tulisan mengulas kegunaan dan manfaat dari

isi booklet; 4. Tulisan memberikan koreksi atas kelayakan

booklet. Atas dasar tersebut, panitia dan juri lomba menetapkan para pemenang sebagai berikut:1. Juara 1 diberikan kepada Melisa Natasha dari

SMA Regina Pacis dengan judul resensi “Sulistyo Putranto, Kesatria Dibalik Kobaran Api”. Mendapatkan hadiah uang Rp. 1.000.000,- + Piagam Penghargaan.

2. Juara 2 diberikan kepada Cindy Elizabeth

Ketua Pendiri Yayasan Nabil memberikan sambutan dalam acara Penyerahan Hadiah bagi para pemenang

Page 47: 18@s nabil forum 2011

47Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta Dr. Paimin Napitupulu menyampaikan Pidatonya

Ketua Pendiri Yayasan Nabil memberikan hadiah uang tunai kepada pemenang lomba Resensi Booklet

dari SMA Regina Pacis, dengan Judul “113, Semangat!!”. Mendapatkan hadiah uang Rp. 750.000,- + Piagam Penghargaan.

3. Juara 3 dengan 2 orang pemenang dengan hadiah @ Rp. 500.000,- + Piagam, yaitu: Kelvina Wibowo, dari SMA Budi Mulia dan Rosalie dari SMA Regina Pacis dengan Judul tulisan “ Pengabdian Hingga Akhir Hayat”.

Penyerahaan hadiah bagi para pemenang diselenggarakan oleh Yayasan Nabil di sekolah pemenang Juara I yaitu Regina Pacis di Jalan Palmerah I Slipi, Jakarta tanggal 4 Juni 2010 Jam 08.30 WIB yang dihadiri Pejabat Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta, beberapa perwakilan sekolah SMA di DKI Jakarta, siswa-siswi dan OSIS SMA Pemenang. Yayasan Nabil juga akan melanjutkan program penyebaran booklet “Pantang Pulang Sebelum Padam dan lomba resensinya secara nasional keseluruh Indonesia. Program ini diharapkan dapat memberikan pelajaran yang baik dan positif bagi siswa-siswi SMA yang nantinya menjadi penerus bagi Nation Building Indonesia di masa yang akan datang. Sebagaimana telah dilaporkan dalam “Nabil News” edisi perdana lalu, penerbitan Booklet “Pantang Pulang Sebelum Padam” bermula dari peristiwa terjadinya kebakaran hebat 10 Desember 2009 pukul 14.30 di kawasan padat penduduk,

Tambora Jakarta Barat, yang mengakibatkan ratusan rumah hangus terbakar dan memakan korban tewasnya seorang petugas pemadam kebakaran yang masih sangat muda Sulistiyo Putranto (24). Pimpinan Yayasan Nabil yang pada saat itu baru saja kembali dari rumah sakit dan masih dalam masa pemulihan membaca berita tersebut kemudian merasa terharu atas keberanian dan pengorbanan Alm. Sulistiyo. Dalam peristiwa tersebut pimpinan Yayasan Nabil menilai bahwa apa yang ditunjukan Sulistiyo memiliki nilai-nilai positif sebagai seorang pemuda, terutama sifat bertanggungjawab terhadap pekerjaan, berani berkorban untuk orang lain, dan berkepribadian yang baik. Oleh karena itulah, kemudian Yayasan Nabil memutuskan untuk menerbitkan sebanyak 5000 eksemplar Booklet yang diberi judul “Pantang Pulang Sebelum Padam” yang berisikan nilai-nilai positif tentang Sulistiyo untuk disebarkan kepada siswa-siswi SMA di berbagai daerah. Yayasan Nabil juga secara langsung memberikan santunan kepada keluarga Sulistiyo sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh Juta Rupiah). Tanda kasih tersebut dimaksudkan sebagai ungkapan bela sungkawa sekaligus rasa hormat dan bangga atas keperibadian dan karakter serta dedikasi almarhum dalam menjalankan tugasnya.

Page 48: 18@s nabil forum 2011

48Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Acara penyerahan hadiah dimeriahkan juga oleh Group Band siswa Regina Pacis

Acara penyerahan hadiah dihadiri oleh para siswa SMA Regina Pacis dan beberapa perwakilan SMA di Jakarta

Wakil Ketua Pendiri Yayasan Nabil Melly Lembong memberikan Piagam Penghargaan kepada Pemenang Lomba Resensi

Page 49: 18@s nabil forum 2011

49Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

A. Dahana(Dengan riset oleh Agni Malagina)

Pengantar Tak dapat dibantah bahwa Almarhum Prof. Dr. Tjan Tjoe Som (1903-1969) adalah seorang Sinolog kaliber internasional dan Bapak Sinologi Indonesia. Dialah yang memperkenalkan baik studi Sinologi klasik maupun modern di Indonesia, padahal pendidikan dasar yang diperolehnya dan keahliannya adalah di bidang studi klasik tentang Tionghoa. Ia mendapat pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan kemudian diangkat sebagai guru besar Sinologi di alma maternya itu. Namun pada 1952 ia kembali ke tanah kelahirannya, khusus atas undangan pemerintah Indonesia untuk memimpin Lembaga Sinologi yang menjadi cikal-bakal Program Studi Cina di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sekarang ini. Dialah yang meletakkan dasar studi Sinologi modern di Indonesia dan mendidik kelompok pertama para Sinologi di negeri ini. Akan tetapi, sebagai akibat dari liku-liku pergolakan politik Indonesia pada 1960-an ia dipecat dari posisinya sebagai Guru Besar Sinologi di Universitas Indonesia dan dilarang meninggalkan negeri ini sampai akhirnya meninggal dalam kesunyian dan kesendirian. Yang sangat menyedihkan, para Sinolog, lulusan Program Studi Cina, dan mahasiswa Program Studi Cina Universitas Indonesia dewasa ini tidak pernah tahu atau mengenal namanya, apalagi faham akan sumbangan yang diberikannya terhadap pengetahuan mengenai Tionghoa di Indonesia. Tulisan ini merupakan langkah awal untuk mengenang jasanya dan mudah-mudahan pada suatu saat nanti suatu studi yang lebih mendalam mengenai Prof. Dr. Tjan Tjoe Som akan menyusul. Latar Belakang Keluarga Tjan Tjoe Som lahir di dalam keluarga peranakan Tionghoa yang telah bermukim di Jawa selama lebih dari satu abad. Keluarga Tjan telah tinggal di Surakarta sejak tahun 1800. Salah satu anggota keluarga nenek moyang keluarga itu menikah dengan wanita Jawa, dan barangkali karena perkawinan itulah ia dan keturunannya menjadi seorang Muslim. Mengenai hal ini, catatan yang dibuat oleh Prof. Tjan Tjoe Siem, adik Tjan Tjoe Som, sama sekali tidak menyentuhnya. Nenek moyang keluarga Tjan punya dua orang anak laki-laki yang tumbuh dewasa semasa Perang Diponegoro (1825-1830). Kedua

bersaudara ini memihak Diponegoro dalam perang melawan Belanda. Kemudian kedua Tjan bersaudara tersebut mendapat anugerah dari Mangkunegara III atas jasa dan keberpihakannya kepada keraton Mangkunegara. Pada 1845, yang tua dari kedua bersaudara itu mendapat hadiah gelar Tumenggung dan diangkat sebagai anggota aristokrasi, sedangkan yang lainnya hanya memperoleh sebidang tanah tanpa gelar kebangsawanan. Tjan Tjoe Som merupakan keturunan langsung dari tokoh yang disebut belakangan tersebut. Kedua orang tua Tjan adalah penganut Islam yang saleh. Mereka dapat membaca huruf Jawa dan huruf Arab serta melakukan ibadah secara Islam di dalam lingkungan keluarga. Tjan Tjoe Som dilahirkan pada 15 Februari 1903 dan punya seorang adik, Tjan Tjoe Siem yang lahir pada 1909 dan dua saudara perempuan. Berkat pendidikan dalam keluarga kedua kakak beradik Tjan sangat faham akan kebudayaan Tionghoa dan Islam. Tapi, walaupun ia seorang penganut Islam yang taat, orang tua kedua Tjan adalah seorang yang berpikiran modern. Ia memiliki perusahaan pembuatan batik dan menyekolahkan kedua puteranya di sekolah Belanda. Tjan Tjoe Som masuk Hollands-Chinese School (HCS), sekolah dasar sistem Belanda yang diperuntukkan anak-anak keturunan Tionghoa dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sekolah lanjutan pertama berbahasa Belanda di Surakarta sebelum Perang Dunia I meletus. Keduanya kemudian melanjutkan pendidikan dengan masuk Algemene Middelbare School (AMS), yang setara dengan SMA dewasa ini, di Yogyakarta. Namun, pada akhir Perang Dunia I, sebelum menyelesaikan AMS, Tjan Tjoe Som terpaksa kembali ke Solo untuk membantu menjalankan pabrik batik milik keluarga, yang hampir gulung tikar. Sejak kembali ke Surakarta itulah ia mempelajari Sinologi dan Islamologi sebagai seorang otodidak. Ia juga tertarik mempelajari filsafat dan antropologi. Pada waktu itulah ia berjumpa dengan Dr. H. Kraemer, penulis buku A Christian Message to Non-Christian World. Adalah Dr. Kraemer yang mendorongnya mempelajari Sinologi di bawah bimbingan Prof. Duyvendak.

Kehidupan Universitas di Belanda Tjan Tjoe Siem juga mendapat pendidikan dasar dan menengahnya di sekolah-sekolah Belanda. Tapi, tak seperti kakaknya, ia lebih tertarik kepada budaya dan seni Timur. Mengetahui akan minat kedua anak laki-lakinya akan buku, filsafat dan

TJAN TJOE SOM: BAPAK SINOLOGI INDONESIA1

Artikel

1Disunting dan dikoreksi oleh Didi Kwartanada, berdasarkan masukan dari penulis.

Page 50: 18@s nabil forum 2011

50Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

kebudayaan, ayah mereka kemudian membeli sebuah percetakan kecil, De Bliksem untuk dikelola kedua bersaudara itu. Kemudian, Siem berhasil meyakinkan kakaknya untuk mengelola semua aset keluarga, dan ia pun pergi ke Belanda untuk belajar Sastra Timur di Universitas Leiden. Pada 1935, tak lama setelah Siem memperoleh gelar Sarjana muda, Som juga bergabung dengan adiknya di Leiden. Siem memperoleh gelar doktor dalam Kesusastraan Jawa pada 1938 dan kembali ke Jawa, sedangkan Som tetap tinggal di Belanda untuk menyelesaikan pendidikannya. Baru pada 1936 Som berhasil menjadi mahasiswa Departemen Sinologi, Universitas Leiden dan belajar di bawah bimbingan sinolog Belanda terkenal, yakni Prof. J. J. L. Duyvendak. Dialah yang membentuk Lembaga Sinologi di Universitas tersebut sambil memegang jabatan sebagai direkturnya. Som sendiri bertugas sebagai pustakawan dan bertanggung jawab atas arsip-arsip kuno Tionghoa. Tak banyak informasi mengenai aktivitasnya selama Som menjadi mahasiswa. Namun menurut A.Hulsewe (A.H.) dalam obituarinya tentang Som yang dimuat dalam jurnal T’oung Pao, ia seorang mahasiswa yang sangat rajin dan serius, juga bekerja sebagai pustakawan di Institut Sinologi, Universitas Leiden. Pada 1947 Universitas Leiden mengusulkan pembentukan Asosiasi Eropa untuk Studi Tionghoa dan gagasan itu disambut hangat universitas-universitas yang menyelenggarakan pendidikan Sinologi di benua itu. Atas dasar gagasan itu sekelompok mahasiswa dan sarjana yang berminat pada Sinologi berkumpul di Uniersitas Cambridge, Inggris, dan menyelenggarakan dialog di bawah judul Conference of Junior Sinologists at Cambridge and Oxford. Dalam pertemuan tersebut Leiden diwakili oleh Tjan Tjoe Som, A.F.H Hulsewe, R.P Kramers, P. Swann, dan seorang wanita bernama Ny. H. Wink. Pada akhir pertemuan para wakil sarjana dan mahasiswa generasi muda Sinolog dari Leiden, Cambridge, Oxford, Stockholm, Paris, dan London itu sepakat untuk membentuk European Association of Chinese Studies (EACS atau Ouzhou Hanxue Xuehui). Organisasi itu masih aktif sampai sekarang dan pada 2008 merayakan hari ulang tahunnya yang ke 61. Tjan Tjoe Som adalah salah satu pendirinya. Tjan Tjoe Som berhasil menyabet gelar doktor pada 1949 dengan pujian (cum laude) setelah sukses dengan gemilang mempertahankan disertasinya yang berjudul Po Hu T’ung: The Comprehensive Discussions in the White Tiger Hall. A Contribution to the History of Classical Studies in the Han Period

Disertasi tersebut diterbitkan dalam seri Sinica Leidensia, Vol. VI., 2 jilid, oleh penerbit E.J. Brill, di Leiden (1949–1952). Kemudian ia diterbitkan kembali oleh penerbit Hyperion di Westport, Conn., 1973. Penerbitan ulang buku ini menunjukkan minat yang besar atas masterpiece Tjan tersebut Keberhasilan melampaui ujian yang sangat berat itu merupakan suatu sukses yang sangat besar dan patut dibanggakan dalam dunia ilmu pada masa itu. White Tiger Hall mendiskusikan tentang serangkaian perdebatan di kalangan para sarjana Konfusian ortodoks di Balairung Macan Putih (Baihuguan) pada tahun 58 S.M dalam masa Dinasti Han. Tema diskusi dan perdebatan, walaupun ajaran Kong Hu Cu bukan agama, sangat bernuansa agama dan berkisar pada hubungan antara penguasa Langit

(Tian) dan para penguasa dunia. Itulah yang mengacu antara lain kepada para kaisar

dan raja dan ganjaran apa saja yang akan diterima para penguasa dunia itu sebagai ganjaran dari Langit apabila mereka tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik dalam memerintah dunia (Tianxia). Karya itu sampai kini selalu menjadi rujukan untuk mengerti tentang sistem pemerintahan pada masa kedinastian di Tiongkok.

Sejalan dengan tradisi Leiden, karya tersebut diterbitkan

sebagai buku pada 1949 tak lama setelah dipertahankan dan langsung

saja telah menarik perhatian masyarakat sinologi di Eropa. Tak mengherankan dengan

demikian, segera setelah menerima gelar doktor itu, Tjan Tjoe Som diangkat sebagai Guru Besar Khusus dalam Filsafat Tionghoa dan Ketua Departemen Filsafat Tionghoa (1950) di Universitas Leiden, alma maternya sendiri. Dia memberikan pidato inagurasi yang berjudul: “De Plaats van de Studie der Kanonieke Boeken in de Chinese Filosofie” Ini merupakan suatu kejadian yang sangat jarang bagi seorang Asia, apalagi seorang Indonesia, untuk memperoleh kehormatan yang begitu tinggi di dunia Barat, paling tidak pada masa itu. Itu juga merupakan puncak dari karir akademiknya.

Kembali ke Indonesia Tjan Tjoe Som kembali ke Indonesia setelah menerima undangan dari pemerintah Indonesia yang baru saja terbentuk, untuk mengembangkan Studi Sinologi di negeri ini. Menurut sumber yang dapat dipercaya, adalah Mr. Muhammad Yamin, yang menduduki jabatan Menteri Pendidikan pada masa itu, yang secara pribadi menjemputnya di Pelabuhan Udara Kemayoran, Jakarta. Dua tahun sebelum

Page 51: 18@s nabil forum 2011

51Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

kedatangan kembali Tjan ke tanah airnya, Indonesia baru saja memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Kuomintang (Republik Tiongkok) di Taiwan, dan membuka hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRC). Tahun 1952 merupakan titik balik dalam kehidupan dan karir akademik Tjan. Ia meninggalkan segala kehidupan nyaman dan ketenaran yang dinikmatinya di Eropa dan Belanda untuk mengabdi kepada negeri yang dicintainya. Rekan-rekan dia berusaha mencegahnya pergi karena Indonesia pada masa itu masih merupakan sebuah negeri yang penuh dengan ketakpastian terutama untuk seorang sarjana filsafat seperti dia. Namun, pikirannya telah bulat untuk pergi kembali ke tanah airnya. Pada pandangannya, adalah jauh lebih baik baginya unuk mengabdikan keahliannya demi membangun Studi Sinologi di Indonesia ketimbang duduk dengan nyaman di Menara Gading. Itulah keputusan besar yang diambilnya setelah hidup di Belanda selama 17 tahun dan sebagian waktunya dihabiskannya di perpustakaan demi mengejar karir akademik. Kepergiannya meninggalkan Belanda dibekali dengan keyakinan bahwa ia akan dapat memberikan sumbangan kepada negeri yang dicintainya. Itu sungguh merupakan keputusan yang diambil dengan penuh keberanian. Selama tahun-tahun pertama tinggal di Indonesia, ia disibukkan dengan mengurus Lembaga Sinologi. Lembaga itu kemudian digabungkan ke dalam Universitas Indonesia di bawah nama Jurusan Bahasa dan Sastra Tionghoa, yang menjadi salah satu bagian di Fakultas Sastra dan Filsafat. Menjelang akhir dasawarsa 1960-an, ketika sentimen anti-Cina dan anti-komunis tengah berkecamuk di Indonesia, jurusan itu diubah namanya menjadi Program Studi Cina, dan kini berada di dalam lingkungan Departemen Kewilayahan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB). Dalam pekerjaannya Tjan dibantu oleh beberapa pengajar senior seperti mendiang Drs. Sie Ing Djiang, mendiang Dra. Oey Soan Nio, mendiang Lie Swan Nio, mendiang Mr. Koh Chung Chuen, Drs Aman Kombali, dan Dra. Oei Ertie Nio (kini di Amerika). Tjan membeli banyak buku dan berlangganan bermacam-macam jurnal, surat kabar dan terbitan-terbitan lain yang berkenaan dengan Sinologi. Hasilnya, perpustakaan lembaga itu pernah menjadi satu pemilik koleksi tentang Tiongkok yang terbaik di Asia Tenggara. Kumpulan koleksinya berupa karya-karya yang terbit mulai akhir abad ke-19 sampai pertengahan dasa warsa 1960-an. Walau keahliannya lebih banyak tentang Tiongkok pada masa Klasik, ia mulai melangkah ke studi tentang Tiongkok zaman modern dan kontemporer. Ini dilakukannya dengan cara menunjuk para pengajar yang ahli dalam berbagai subyek untuk mengajar di dalam program. Program

itu juga memberi kesempatan kepada para pejabat Kementerian Luar Negeri dan para perwira Angkatan Darat dan Laut serta pejabat Kejaksanaan Agung, bahkan Bea Cukai dan Imigrasi untuk belajar dan mengambil gelar dalam Sinologi. Beberapa alumni dari program itu di kemudian hari memegang peran penting dalam memberikan “warna” pada kebijakan Indonesia terhadap Tiongkok dan juga terhadap kebijakan pemerintah terhadap golongan etnik Tionghoa di Indonesia. Dari tokoh-tokoh itu dapat disebut misalnya Brigjen. (Pur) Drs W. D. Sukisman, mendiang Brigjen (Pur) T. W. Slamet, dan A.R. Gunadirdja, duta besar Indonesia pertama di RRC setelah normalisasi hubungan kedua negara pada 1990. Adalah pada masa Prof. Tjan memegang pimpinan program, jelasnya pada 1960, penggunaan sistem romanisasi pinyin diperkenalkan kepada kelompok mahasiswa yang masuk pada tahun itu. Penulis artikel ini adalah salah satu di antara kelompok mahasiswa yang belajar Bahasa Tionghoa dengan menggunakan sistem pinyin itu. Pada 1959 Presiden Sukarno mengangkat Prof Tjan Tjoe Som menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perencanaan Nasional. Dalam kedua organisasi itu ia mewakili golongan ilmuwan. Pada 1960 ia menghadiri Kongres ke-13 tentang Masalah yang dihadapi Tiongkok di Moskow. Pada kesempatan itu ia juga mengunjungi RRC. Selama perode Demokrasi Terpimpin (1959-1965) ia bergabung ke dalam Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), organisasi yang berorientasi kiri dan salah satu mantel organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Masa Demokrasi Terpimpin adalah zaman ketika politik domestik dan politik internasional Indonesia condong ke kiri-kirian. Situasi ini diakibatkan oleh gagasan NASAKOM (Nasionalis. Agama dan Komunis) yang dilahirkan dari pikiran Sukarno. Gagasan NASAKOM tak berbeda banyak dengan strategi yang digunakan oleh Mao Zedong/PKC sebagai sebuah wadah front persatuan (united front) dalam menentang unsur-unsur dalam masyarakat Tiongkok yang diberi cap sebagai “kaum kontra revolusioner,” demi kemenangan akhir bagi Partai Komunis Tiongkok Di bawah slogan NASAKOM ini Sukarno berharap agar ketiga unsur dalam masyarakat Indonesia bersatu untuk “mengganyang imperialisme, kolonialisme, dan antek-anteknya di dalam negeri dan di luar negeri guna mencapai masyarakat adil dan makmur.” Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya: terjadilah persaingan tak sehat di antara ketiga golongan itu yang seringkali membawa ke pertikaian fisik. Pada masa itu Prof. Tjan juga menjadi penasihat koran Zhong Zheng Bao versi Bahasa Tionghoa dari koran kiri berbahasa Indonesia Warta Bhakti. Kegagalan Gerakan 30 September 1965 (lebih dikenal dengan nama G30S/PKI) dan masa

Page 52: 18@s nabil forum 2011

52Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

sesudahnya (dalam istilah populer pasca 1965 disebut Prolog dan Epilog G30S/PKI) ditandai oleh huru-hara anti kiri/anti PKI, kemudian disusul oleh pelarangan terhadap partai itu, dan munculnya kekuatan militer di bawah Suharto. Segera setelah militer berkuasa, maka dilakukanlah pembersihan massal atas semua anasir kiri dalam pemerintah dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Karena keanggotaannya dalam HSI itulah pada 1966 Tjan dicopot dari jabatannya sebagai Guru Besar di Universitas Indonesia. Surat keputusannya ditanda tangani oleh Dekan Fakultas Sastra dan kemudian diperkuat oleh Surat Keputusan (SK) lain yang ditandatangani Rektor UI dan kemudian lebih diperkuat lagi oleh SK lain tang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Pengajaran pada 1968. Semua SK tersebut memecatnya tanpa hormat dari semua posisinya di universitas dan dalam pemerintahan, tetapi dengan hak untuk menerima pensiun. Adik laki-lakinya, Prof. Dr Tjan Tjoe Siem, Guru Besar Studi Indonesia, juga di UI menerima perlakuan yang lebih “lunak.” Ia tidak dicopot dari jabatannya namun dipaksa untuk mengajukan surat permohonan mengundurkan diri. Kemudian ia diizinkan untuk mengajar di Universitas Nanyang, Singapura. Tjan Tjoe Som tidak diizinkan meninggalkan Indonesia, walaupun ia menerima beberapa tawaran dari beberapa universitas Eropa terkemuka untuk mengisi posisi sebagai guru besar. Ada keyakinan, perlakuan keras yang diterimanya adalah atas dasar alasan bahwa sebagai seorang Sinolog ia dianggap “elemen berbahaya” sedangkan Siem, adiknya, dikategorikan “tak berbahaya” karena posisinya sebagai Indonesianis dan Javanolog. Pada masa itu sentimen anti Cina dan anti etnik Tionghoa sangat tebal dan menjurus ke Sinophobia. Akan tetapi, penulis yakin, alasan utama dari pemecatan atas diri Tjan Tjoe Som lebih banyak karena keanggotaannya dalam HSI. Bersama dengan Prof. Tjan Tjoe Som, tujuh pengajar lain dari Jurusan Bahasa dan Sastra Tionghoa juga dipecat dari jabatan mereka. Sebagai akibatnya, ketakhadiran dari orang-orang itu telah menyebabkan Studi Sinologi di Indonesia berada dalam posisi macet. Keadaan makin menjadi buruk sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang menganggap segala hal yang berhubungan dengan Tionghoa sebagai “subversif.” Orang dilarang berbicara bahasa Tionghoa secara terbuka, aksara Tionghoa (Hanzi) dilarang diperlihatkan kepada umum, dan semua kegiatan kebudayaan yang mengacu ke Tionghoa dan Tiongkok dilarang sama sekali. Bahkan orang Tionghoa dianjurkan, walau bukan paksaan, untuk mengganti nama mereka dengan nama yang bernuansa Indonesia. Sebagai akibatnya, ketika membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada 1990, Indonesia mengalami

kekurangan sumber daya manusia yang mengerti tentang Tiongkok dan mampu berbahasa Tionghoa. Dekrit yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1968) menerangkan secara jelas bahwa keputusan untuk memecat Prof. Dr. Tjan Tjoe Som “diambil atas dasar fakta yang telah diselidiki dengan seksama bahwa Prof. Tjan telah terlibat secara langsung dan tidak langsung dengan Gerakan 30 September/PKI untuk menggulingkan pemerintah Indonesia.” Keputusan itu juga menuduh, sebagai pejabat pemerintah Tjan Tjoe Som telah melibatkan diri dalam kegiatan “melawan hukum” dan bertentangan dengan kepentingan nasional. Surat resmi pemecatannya terbit ketika ia berusia 64 tahun dan 10 bulan. Beberapa bulan sebelum meninggalkan dunia fana ini ia menulis di buku catatannya sebuah kalimat dalam Bahasa Inggris yang sangat menggetarkan hati: “After all I have had a curious life that my present experiences should not astonish me. Who knows that all this is good for me” (Bagaimananpun aku telah melalui suatu kehidupan yang aneh dan bahwa pengalaman yang tengah kuhadapi tak membuatku merasa heran. Siapa tahu bahwa ini semua akan baik bagiku). Prof. Tjan Tjoe Som meninggal pada 1969, enam minggu sebelum mencapai usia 66 tahun, disebabkan oleh gagal jantung. Ia dimakamkan di Solo, kota kelahirannya. Pada 1978, adiknya, Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem, juga meninggal dunia. Ia dimakamkan di samping kuburan abangnya.

Karya Prof. Tjan Tjoe Som dan Program Sinologi Tahun 1948 dapat dikatakan sebagai tahun awal Studi Sinologi di Indonesia, dengan titik tolak dua hal. Pertama, pada saat itu Universiteit van Indonesië (yang dibentuk Belanda sebelum pendudukan Jepang) menjadi Universiteit Indonesia (UI). Kedua, di tahun itu pula Sinologische Instituut diintegrasikan ke dalam UI dan berubah namanya menjadi Lembaga Sinologi. Dan pada tahun itu pula Lembaga Sinologi sebagai bagian dari UI mulai mendidik para mahasiswa. Jadi, tahun 2010 merupakan ulang tahun yang ke-62, baik dari Studi Sinologi di Indonesia, maupun keterlibatan dan pengabdian Tjan Tjoe Som dalam mengembangkan Studi Sinologi di Indonesia dan sekaligus juga permulaan munculnya Studi Sinologi Modern di negeri ini. Para kolega dan mantan muridnya di Universitas Indonesia mengenangnya sebagai seorang sarjana ulung yang sangat tahu tentang Syariat Islam dan Sinologi, yang telah menunjukkan dirinya di mimbar internasional. Sayangnya karya tulisnya dalam Hukum Islam tidak didapatkan. Apa yang kita temui dewasa ini terbatas pada publikasi mengenai Tiongkok

Page 53: 18@s nabil forum 2011

53Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

pada masa klasik. Maha karyanya adalah buku yang diterbitkan berdasarkan pada disertasinya, Po Hu T’ung, terbitan Universitas Leiden. Karya-karya lainnya antara lain De Plaats van de Studie der Kanonieke Boeken in de Chinese Filosofie (Leiden: Brill, 1950, 1952); “On the rendering of the word ‘Ti’ as ‘emperor’” (Journal of American Oriental Society, Vol. 71 No. 2/April-June 1951); Sardjana Sastra dan Pembangunan Kebudayaan Nasional: Sebuah Prasaran (makalah, Jakarta 1961), Tao Te Tjing (Jakarta, 1962); dan “Chinese Historical Sources and Historiography” dalam Soedjatmoko et al., ed. An Introduction to Indonesian Historiography (Ithaca: Cornell University Press, 1965). Tentunya masih ada tulisan-tulisan lain yang keberadaannya, sayang, masih belum terlacak. Prof. Tjan memang seorang pakar dalam filosofi Tionghoa dan Tiongkok pada masa klasik. Beliau telah menghabiskan hampir sebagian masa hidupnya membaca di perpustakaan, menulis, dan menerjemahkan karya-karya klasik kuno Tiongkok ke dalam Bahasa Inggris, Belanda atau Indonesia. Akan tetapi, sebagai Guru Besar Sinologi di Universitas Indonesia, ia juga telah mengembangkan pendekatan multi-disiplin dalam Sinologi. Ini tercermin dari begitu bervariasinya fokus dari skripsi yang ditulis para mahasiswa sebagai karya akhir untuk mencapai kelulusan program studi. Tema skripsi-skripsi itu meliputi sejarah, politik, linguistik, dan sastra. Sejak 1955 sampai 1960-an Program berkonsentrasi pada kemahiran berbahasa ditambah dengan pengetahuan mengenai budaya. Pada masa Prof. Tjan berada di Universitas Indonesia, program studi itu telah menghasilkan nama-nama terkenal di bidangnya. Sebut saja Lie Chuan Siu (dikenal juga dengan nama Lie Tjwan Sioe, yang pernah mengajar di Universitas Nanyang Singapura dan kemudian pindah ke Universitas Sydney, Australia), mendiang Dr. Sie Ing Djiang (linguis), sosiolog terkemuka Tan Giok Lan (Mely G. Tan) Ph.D, Gondomono, PhD (ahli antropologi), Tan Lan Hiang (pustakawan, kini di University of Hawaii at Manoa), almarhum Brigjen (Pur) Drs. T. W. Slamet, Brigjen (Pur) Drs. W.D Sukisman, almarhum Bastomi Ervan dan lain-lain lagi. Mendiang Oey Soan Nio, mendiang Lie Swan Nio, dan Dra. Oey Ertie Nio (sekarang di Amerika) adalah guru-guru bahasa Tionghoa yang sangat mahir. Ketiga orang itulah yang memperkenalkan penggunaan sistem pinyin dan dialek Beijing dalam metode modern pengajaran bahasa Tionghoa. Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Budaya UI telah menggunakan sistem pinyin sejak 1960 dan pada waktu itu belum umum digunakan di dunia. Dengan demikian, Universitas Indonesia merupakan salah satu universitas pertama di dunia yang menggunakan sistem pinyin. Tjan Tjoe Som menggunakan metode Eropa

dan metode yang digunakan Dr. M.J Meier, pendahulunya sebagai Direktur Lembaga Sinologi, dalam mendidik dan menelorkan sinolog atau para ahli Tiongkok. Ketika lembaga itu baru saja dibentuk, ia mengajarkan berbagai subyek seperti Bahasa Tionghoa Modern dan Dokumenter, Teks Tionghoa Klasik, dan Sejarah Kebudayaan Tionghoa. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa secara historis Sinologi di Indonesia pada dasarnya mengadopsi sistem yang dipakai di Eropa. Ini bukan sesuatu yang mengherankan mengingat universitas-universitas Eropa-lah yang pertama kali mengajarkan subyek Studi Tionghoa atau Sinologi. Sebagai seorang sarjana Tjan memasukkan Sosiologi dan Antropologi ke dalam lingkungan Sinologi. Oleh karena itu pula studi mengenai aspek-aspek budaya dan sosiologi dari masyarakat etnik Tionghoa di Indonesia dimasukkan ke dalam kurikulum program.

Terlibat dalam politik Tragedi yang sangat memilukan telah dialami oleh almarhum Tjan Tjoe Som dan para sarjana lain yang terlibat dalam politik pada masa penuh guncangan menjelang tahun 1965. Lalu, kita bertanya faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka mengalami nasib seperti itu? Ada pendapat yang mengatakan bahwa para sarjana seperti Tjan pada dasarnya adalah orang-orang yang naïf tentang politik praktis. Yang mereka tahu sebenarnya hanya teori, karena mereka lebih banyak membaca di perpustakaan atau melakukan eksperimen di laboratorium. Mereka tertarik kepada politik sebagai jawaban mereka atas seruan Sukarno pada 1959 tak lama setelah ia mendeklarasikan Indonesia kembali ke UUD 1945, dan yang menyebabkan posisi presiden (baca: Sukarno) sangat kuat. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan faktor sebenarnya sederhana saja: mereka salah memilih fihak pada masa ketika politik Indonesia sangat terpolarisasi antara kiri dan kanan dan pada zaman ketika pengaruh dan kekuasaan Sukarno sangat kuat. Ada yang yakin bahwa ia sebenarnya sangat terpengaruh oleh perkembangan sosial dan politik RRC pada 1950an dan 1960an ketika Mao Zedong melancarkan program sosialis. Ada kecenderungan bahwa pada dasarnya Sukarno mengikuti jejak Mao setelah dua kunjungannya ke RRC. Tjan juga pernah berkunjung ke RRC dan secara pribadi mungkin telah menyaksikan bagaimana rekayasa sosial Mao dijalankan. Menurut suatu sumber ia hanya satu kali mengunjungi Tiongkok. Sumber lain mengatakan ada kemungkinan ia singgah beberapa kali di Tiongkok sebelum atau setelah menghadiri berbagai konferensi ilmiah di luar negeri. Namun, semua sumber tersebut tidak dapat dikonfirmasi. Sayangnya, pada masa itu tamu-tamu luar negeri ke Tiongkok, termasuk para pendidik dan peneliti, biasanya diajak

Page 54: 18@s nabil forum 2011

54Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

berkeliling dengan disertai pemandu negara. Di sana mereka diberi kesempatan untuk menyaksikan tentang bagaimana “model” pembangunan Maois dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya dijalankan demi merealisasikan ambisi Mao untuk mengubah Tiongkok menjadi sebuah negara sosialis yang modern. Dengan tur terpandu itu, para tamu asing tersebut tidak dapat menyaksikan bagaimana sebagian besar rakyat Tiongkok menderita di bawah rekayasa sosial Maois tersebut. Dengan kata lain, mereka hanya melihat “kemasan” tanpa dapat menyaksikan apa yang terkandung di dalamnya. Tjan dan para sarjana lain yang pernah mengunjungi Tiongkok sangat terkesan meyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang bagaimana “Tiongkok Baru” telah bangkit dari kenistaan dan penghinaan dan menjadi sebuah negara modern yang berjalan di lorong sosialis. Karenanya, ketika Sukarno mencoba menjalankan kebijakan serupa di Indonesia, para sarjana yang terkesan oleh perubahan di Tiongkok itulah yang mula-mula maju mendukung gagasan Sukarno. Tjan dan para sarjana lainnya itu telah hanyut oleh gelombang “progresif revolusioner” yang sebenarnya kosong melompong. Sebagai konsekuensinya, ketika gelombang politik berbalik menentang Sukarno setelah tragedi 1965, para pendukung Sukarno turut dilalap oleh gelombang anti kiri tersebut. Namun, perkiraan ini masih belum dapat dikonfirmasi karena tidak diketemukan tanda-tanda di dalam tulisan-tulisan Tjan yang mendukung perkiraan ini. Karya-karyanya, baik yang dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda kebanyakan mengenai filsafat dan sejarah kuno Tiongkok. Selama tahun-tahun akhir hidupnya Prof. Tjan Tjoe Som hidup dalam kekurangan. Ia hanya mampu bertahan hidup berkat uluran tangan teman-teman dekat dan anggota keluarganya. Hampir semua temannya, rekan sekerjanya, mantan mahasiswanya, menjauhinya karena dia dianggap “tidak bersih lingkungan.” Ia juga sangat sadar akan posisinya sebagai elemen yang tak diinginkan dan akibatnya ia menjadi seorang penyendiri. Penulis ingat betul saat bersama dengan seorang kawan mahasiswa yang sekarang sudah tiada, berusaha menemuinya ketika ia tinggal di kawasan pertokoan di bilangan Mangga Besar. Ketika datang, kami diterima oleh pelayan yang kemudian masuk ke dalam untuk memberitahu “Pak Som” (begitulah ia dikenal di kalangan mahasiswanya). Namun, tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan membawa secarik surat berisi catatan bahwa ia tak dapat menemui kami karena “tak enak badan”. Barangkali juga dia berpikir adalah lebih baik tak menemui kami demi keselamatan kami yang telah berani berhubungan dengan “elemen buruk.” Untuk bertahan hidup, Tjan juga sempat

memberikan kursus Bahasa Inggris untuk beberapa orang bisnis dan cukong Tionghoa. Namun, karirnya sebagai guru pribadi hanya berlangsung pendek. Ini benar-benar sebuah tragedi. Teorinya, pemerintah Orde Baru mendasarkan genggamannya atas politik di Indonesia pada prinsip anti-komunis, anti-Cina untuk membalikkan kebijakan yang dianggap salah yang telah ditempuh Sukarno. Dalam praktek, kebijakan Orde Baru sama saja dengan apa yang dilakukan Mao Zedong, tanpa memperhitungkan apakah itu dilakukan atas dasar kesadaran atau atas dasar alasan lain. Di Tiongkok, khususnya semasa Revolusi Kebudayaan (1966-1969) dan tahun-tahun sesudahnya semua orang yang dianggap “berhaluan kanan” dan mereka yang memiliki jaringan internasional, termasuk kaum intelektual, dianggap sebagai “elemen buruk” yang harus “dimusnahkan”. Kebijakan yang dianut pemerintah Orde Baru (1966-1998) adalah kebalikan dari apa yang terjadi di Tiongkok. Yang menjadi musuh rezim adalah yang mendapat cap “elemen buruk”, dan itulah mereka-mereka yang dianggap sebagai “berhaluan kiri.” Sedemikian kuatnya sentimen anti-komunis dan anti-Cina pada masa itu, sehingga para mantan mahasiswa Prof. Tjan Tjoe Som yang menduduki posisi-posisi strategis dalam pengambilan keputusan di pemerintahan, tak mampu menolong profesor tua yang malang itu. Ini merupakan salah satu paradoks dari situasai politik di Indonesia pada 1960-1998. Prof. Tjan Tjoe Som adalah korban dari tragedi politik Indonesia semasa kurun waktu 1960an. Itulah masa ketika orang-orang terkemuka seperti dia dipaksa oleh keadaan untuk memilih pihak dalam konfrontasi politik kiri-kanan dan kemudian malahan menjadi korban dari polarisasi politik itu. Namun, pengabdiannya untuk mengembangkan Studi Sinologi di Indonesia, tanpa melihat apakah ia melakuan “kesalahan” atau memilih “jalan yang salah” haruslah dihargai setinggi-tingginya. Kita pantas memberinya gelar sebagai “Bapak Sinologi di Indonesia.”

A. Dahana adalah Guru Besar Studi Cina, Universitas Indonesia. Agni Malagina adalah pengajar Program Studi Cina U.I., kini calon doktor di Universitas Freiberg, Jerman. Versi Bahasa Inggris yang sedikit berbeda dari tulisan ini pernah dimuat oleh jurnal Asian Culture (Singapura).

Page 55: 18@s nabil forum 2011

55Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Kondisi Bangsa Indonesia yang masih terpuruk, telah mempertemukan Yayasan Jati Diri

Bangsa (YJDB) dengan Yayasan Nabil. Mereka sepakat untuk menjalin kerjasama dalam kegiatan-kegiatan tertentu sebagai upaya mewujudkan dan mencapai visi dan misi kedua organisasi. MoU kerjasama ini ditandatangani pada hari Rabu, 9 Desember 2010 di kantor Yayasan Jati Diri Bangsa Jl. Plaza Aminta Lt. 10, Jl. TB Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan. Yayasan Jati Diri Bangsa diwakili oleh Ketua Umumnya, H. Soemarno Soedarsono, sedangkan Nabil oleh Ketua Pendirinya, Drs Eddie Lembong. Dalam pertemuan tersebut ikut dibahas rencana pelaksanaan program jangka pendek dan jangka panjang. Hadir juga dari YJDB diantaranya adalah Ketua Dewan Pembina Surjadi Soedirdja, yang didampingi Syafii Maarif (yang sekaligus adalah Ketua Dewan Pakar Nabil), Suparman Natawikarta; Alwin Nurdin

dan Orie Andari Sutadji. Sedangkan dari Nabil hadir pula Mely G Tan; Asvi Warman Adam dan Yudi Latif. Yayasan Jati Diri Bangsa adalah sebuah lembaga sosial yang secara resmi telah berdiri sejak 11 Januari 2002. Para pendiri dan pengurusnya, diantaranya adalah Jend TNI Surjadi Soedirdja; Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo; Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri; Brigjen TNI (Purn) H. Soemarno Soedarsono, (alm) Ferry Sonneville, Prof Dr Syafii Maarif, Prof Dr Komaruddin Hidayat, dan Prof Dr Ermaya Suradinata. Adapun para pengurusnya terdiri dari kalangan sipil dan militer. YJDB berperan serta untuk mengembalikan dan membangun karakter serta jati diri bangsa Indonesia, yang tiada lain adalah Pancasila. Keprihatinan tersebut ditunjukkan oleh YJDB dalam berbagai kegiatan dan program kerja yang memiliki tujuan utama membangun dan membentuk

Penandatanganan MoUYayasan Jati Diri Bangsa dengan Yayasan Nation Building (Nabil)

Rabu, 9 Desember 2010

Ketua Pendiri Yayasan Nabil menandatangani MoU kerjasama disaksikan oleh Ketua Umum YJDB

Page 56: 18@s nabil forum 2011

56Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

karakter bangsa (Nation and Character Building). Di pihak lain, Yayasan Nation Building, yang lebih dikenal dengan sebutan NABIL adalah sebuah lembaga sosial yang didirikan bulan September 2006, dengan tujuan utama ikut berperan serta secara aktif dalam Pembangunan Bangsa (Nation Building). Partisipasi tersebut diwujudkan dalam pelbagai kegiatan diantaranya mengembangkan dan menyebarkan doktrin Penyerbukan Silang Antar Budaya (Cross Cultural Fertilization), meningkatkan dan meneguhkan pluralisme dan multikulturalisme, meningkatkan hubungan baik antar etnik serta kegiatan lainnya yang ditujukan untuk pembangunan Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Konsep tujuan YJDB dan Yayasan NABIL

saling memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan erat. Pembangunan karakter bangsa (Character Building) berhubungan secara langsung terhadap pembangunan bangsa (Nation Building) secara keseluruhan. Oleh karena adanya pertemuan dan keterkaitan tujuan dari organisasi tersebut, maka YJDB dan Yayasan NABIL dalam iklim dan suasana hubungan baik, kekeluargaan dan kesetaraan, setuju untuk melakukan kerjasama, yang hasilnya diharapkan akan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.

Ketua Yayasan Jati Diri Bangsa menandatangani MoU kerjasama Ketua Pendiri Yayasan Nabil dan Yayasan Jati Diri Bangsa bersalaman setelah menandatangani MoU kerjasama

Suasana diskusi setelah penandatanganan MoU

Foto-foto oleh: Harry Febrian (Volunteer di Nabil)

Page 57: 18@s nabil forum 2011

57Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Pengantar Redaksi Untuk lebih memperkenalkan kepada publik apa itu Nabil dan visi misinya, maka wawancara berikut ini dimuat ulang di sini (dengan penyuntingan dan perubahan seperlunya, tanpa mengubah isi), yang sudah seijin pewawancara, Ibu Septi Satriani dan Dr Asvi Warman Adam. Redaksi mengucapkan terimakasih kepada mereka berdua. Beberapa waktu yang lalu milis Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI

diwarnai oleh membanjirnya ucapan selamat kepada peneliti senior ASVI WARMAN ADAM atas penghargaan yang diterimanya. Mas Asvi-- panggilan akrabnya-- telah menerima Nabil Award, sebuah penghargaan bagi mereka-mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan pembentukan “nation building” Indonesia. Tulisan ini merupakan liputan khusus tim website P2P LIPI mengenai kiprah Mas Asvi di dunia sejarah dan penghargaan tersebut.

Lahir di Bukittinggi 8 Oktober 1954, Asvi Warman Adam menyelesaikan Sarjana Muda Sastra Perancis di UGM Yogyakarta

pada tahun 1977 dan Sarjana Sastra Perancis di UI pada tahun 1980. Gelar doktor diraih Mas Asvi di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) Paris pada tahun 1990. Beristrikan seorang perempuan Minang Nuzli Hayati, Mas Asvi dikaruniai seorang putri bernama Tessi Fathia Adam. Kecintaannya pada sejarah berakar dari kekagumannya pada seorang guru sejarah SMP Xaverius Bukittinggi yang mampu menyampaikan pelajaran tersebut secara menarik. Sebelum bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mas Asvi pernah bekerja sebagai wartawan di Majalah Sportif. Tenggat waktu yang begitu ketat dalam dunia seorang jurnalis membawa keuntungan tersendiri bagi Mas Asvi, hingga tidak mengherankan berbagai peristiwa yang ada cepat diresponnya ke dalam berbagai tulisan yang tersebar di media massa di dalam dan luar negeri. Berikut petikan wawancara dengan Mas Asvi di akhir November 2010 di Ruang 11.08, P2P LIPI.Mengapa Mas Asvi perlu untuk meluruskan sejarah?Sejak tahun 1965 sejarah itu hanya memiliki versi tunggal dan muncul kesempatan untuk melakukan revisi setelah tahun 1998. Ada gugatan dari korban 1965 untuk meluruskan sejarah. Berangkat dari keprihatinan saya terhadap para korban maka saya ikut bersama mereka untuk meluruskan sejarah melalui kurikulum pendidikan yang dahulu tidak pernah diajarkan atau bahkan haram diberikan di bangku sekolah. Dahulu ada hal-hal yang tidak boleh diketahui pada zaman Soeharto, menemukan kesempatan untuk direvisi pada setelah 1998. Maka saya berpikir pentingnya untuk meluruskan sejarah. Memang pelurusan ini bisa dibilang tidak terlalu ilmiah tetapi bagi para korban menimbulkan semacam harapan atau healing (obat) bagi para korban yang tidak bisa berbuat apa-apa atau tidak bisa menyuarakan pendapat mereka. Saat inilah mereka diberi kesempatan untuk bersuara dan menyampaikan penderitaan mereka.

Apa pentingnya meluruskan sejarah bagi Mas Asvi jika kita lihat Mas Asvi tidak memiliki latar belakang sebagai korban?Saya merasa trenyuh dengan satu kelompok yang pada tahun 1998 baru saya pelajari, yang sebetulnya tidak jelas bersalah dalam peristiwa tahun 1965. Seharusnya jika peristiwa 65 itu dianggap

kudeta, seyogyanya orang yang ikut makar itu yang diadili. Mengapa semua orang harus bertanggung jawab sedangkan mereka tidak ikut memberontak. Kita tahu bahwa pemberontakan di masa lampau tidak diberi sanksi sedemikian rupa seperti PRRI Permesta dan lain-lain. Tidak ada stigma bagi mereka yang ayahnya terlibat peristiwa tersebut, tidak ada larangan untuk sekolah maupun menjadi pegawai negeri. Stigma itu muncul baru kemudian ketika peristiwa G30S. Itu menurut saya sangat tidak adil dan sangat tidak manusiawi.

Apakah hal inilah yang membuat Mas Asvi merasa perlu meluruskan sejarah yang terkait persoalan peristiwa 65 karena memakan korban tidak saja dalam satu generasi padahal peristiwa sejarah yang mungkin membutuhkan pelurusan tidak hanya peristiwa ini?Sebenarnya fokus pelurusan sejarah tidak hanya pada peristiwa ini tetapi saya awali dari peristiwa ini karena bagi saya ini merupakan peristiwa yang sangat penting. Korbannya sangat banyak, setengah juta orang terbunuh dan kemudian jutaan orang kemudian ditangkap dan ditahan kemudian anaknya mendapat stigma. Korbannya sangat banyak karena dalam sejarah Indonesia Peristiwa ‘65 ini yang memakan korban paling banyak. Saya juga memperhatikan keluarga Tionghoa yang menurut hemat saya sejak tahun 1965 mengalami diskriminasi meskipun sebelumnya mereka sudah mengalami hal yang sama. Tetapi setelah 1965 lebih lagi karena mereka tidak boleh mempertunjukkan ritual mereka, kebudayaan mereka, serta disuruh dipaksa untuk mengganti nama yang berarti mengganti identitas mereka sendiri. Ini sangat berat. Belum lagi diskriminasi dalam bidang pendidikan ada semacam kuota bagi orang Tionghoa untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. Nah ini menurut hemat harus diselesaikan secara dini supaya persoalan bangsa ini bisa diatasi dengan baik karena saya beranggapan selama diskriminasi terhadap orang Tionghoa ini tidak dihentikan, kita tidak bisa juga meminta kepada mereka untuk berpartisipasi lebih besar untuk bangsa Indonesia. Berikanlah hak kepada orang Tionghoa sepenuhnya dan tagih kewajiban mereka untuk berbakti kepada Indonesia. Itu juga menurut hemat saya adalah salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan bangsa termasuk persoalan ‘65 maupun persoalan orang-orang Tionghoa. Saya tidak mengerti persoalan mengenai kesenjangan ekonomi, itu mungkin orang lain yang bisa bicara dan mengatasi tapi dari segi cultural, stigma terhadap orang-orang ‘65 dan orang-orang Tionghoa itu harus dihilangkan.

Apakah ini yang membuat Mas Asvi begitu getol meluruskan sejarah ‘65?Korban peristiwa ‘65 tidak saja menimpa dua generasi tetapi generasi-generasi setelahnya yang hingga kini masih dilekati oleh stigma tersebut. Dan itu perlunya pelurusan sejarah menurut hemat saya. Barusan saya mendapat sebuah buku, ini seorang kapten kapal, Gita Ardjakusuma. Seorang lulusan Akademi Angkatan Laut tetapi karirnya hanya sampai kapten, karena bapak dia adalah seorang letnan kolonel yang pada tahun ‘65 tanggal 1 Oktober ditugaskan menjemput Soebandrio dari Medan ke Jakarta, Halim Perdana Kusuma. Hanya karena bapak dia yang membawa pesawat tersebut, anak yang secara akademis menjadi lulusan terbaik Angkatan Laut dan berprestasi serta kelak memimpin kapal Pinisi Nusantara, hanya berhenti sampai kapten. Dan kemudian disuruh keluar. Ini menggambarkan betapa dahsyatnya peristiwa ‘65 hanya karena dia kebetulan anak dari seorang ayah yang menerbangkan

Tentang Nabil dan Mas AsviWawancara Asvi Warman Adam dengan Septi Satriani***

*** Septi Satriani adalah Staf Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI)

Page 58: 18@s nabil forum 2011

58Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

pesawat menjemput Soebandrio, karirnya harus terhenti padahal dia seorang yang berprestasi, secara akademis merupakan lulusan terbaik.

Jalan yang Mas Asvi tempuh untuk meluruskan sejarah selain melalui tulisan juga melalui jalur apa?Selain membuat tulisan dan memoir, juga membuat semacam film dokumenter, pembuatan program di televisi tentang sejarah masa lalu seperti yang dilakukan oleh MetroTV dan TVOne serta TVRI. Ini menurut hemat saya perlu dilakukan terus menerus karena manipulasi sejarah itu dilakukan oleh Orde Baru selama sekian tahun (32 tahun) dan untuk meluruskan hal tersebut butuh waktu yang tidak sedikit.

Apa arti sejarah bagi Mas Asvi?Sejarah artinya sesuatu yang terjadi pada masa lampau dan bisa terulang lagi hari ini dan pada masa yang akan datang. Kita bisa belajar dari sana, kita bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa silam tersebut dan kita bisa memetik pelajaran dari sana dan berusaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama sekarang. Menurut saya itu yang sangat penting, belajar dari kesalahan masa lampau sehingga bisa kita perbaiki kesalahan itu sekarang. Dan yang kedua, berjalan ke depan tanpa beban sejarah, tanpa memikul stigma diskriminasi dan segalanya. Ini menurut saya baik bagi bangsa ini dalam melangkah ke depan, jika beban sejarah dihilangkan.

Jika mendasarkan sejarah seperti yang tadi Mas Asvi tuturkan, berarti di sini sejarah itu tidak berjalan pada ruang yang hampa dan bisa’dimaknai’ ataupun ‘dimanipuasi’ oleh penguasa?Iya jelas bahwa sejarah G30S dimanipulasi oleh rezim yang berkuasa untuk menjadi alat pemukul politik, terutama jika ada orang yang kritis terhadap pemerintah, Mereka dengan gampang dicap PKI. Kemudian yang kedua itu juga bisa digunakan untuk kepentingan praktis pembangunan seperti mengambil tanah dengan harga murah dan jika yang diambil tanahnya menolak, maka akan dicap sebagai PKI dan anti pembangunan, anti Pancasila dan segala macam. Sejarah dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai alat legitimasi politik orang yang berkuasa dan sebagai alat pukul kepada orang yang kritis dan terakhir untuk kebutuhan praktis seperti justifikasi untuk menggusur dan mengambil tanah orang dengan sejarah. Dan ini terjadi di mana-mana seperti di Bojong Gede Jawa Barat, penduduk yang tidak mau tanahnya dipakai dicap sebagai PKI. Padahal ini tidak ada hubungannya.

Dalam perjalanan melakukan pelurusan sejarah ini tentulah banyak resiko yang dihadapi oleh Mas Asvi. Bagaimana pandangan dan pendapat keluarga pada profesi Mas Asvi tersebut?Tentunya ada resiko yang harus diambil dan setiap keluarga, wajar tentunya merasa takut, merasa kuatir iya. Tapi mereka juga tetap mendukung saya karena upaya saya ini betul tidak untuk kepentingan tertentu, untuk lillahi ta’ala memang untuk mengungkapkan sesuatu dan dengan ini tidak punya kepentingan untuk partai atau tidak punya kepentingan untuk lain-lain. Dukungan dari keluarga tetap ada, sungguhpun mereka juga kuatir dan takut, seperti ketika saya didemo di kantor LIPI sendiri.

Apakah keluarga pernah mempertanyakan mengapa Mas Asvi memilih meluruskan salah satunya sejarah tentang peristiwa 65 yang lekat dengan komunis?Saya bilang saya juga membela orang-orang Islam yang dijadikan kambing hitam seperti kasus Talangsari, kasus Tanjungpriok, saya juga prihatin dan menulis juga tentang mereka. Tentang Talangsari bahkan saya di dalam beberapa kesempatan selalu mengusulkan pengusutan kembali kasus Talangsari itu walaupun itu menyangkut

nama Hendropriyono, misalnya. Bagi saya tidak persoalan karena ini kasus yang menimpa umat Islam yang dijadikan sasaran dengan catatan golongan Islam garis keras. Tapi bagi saya mereka dikorbankan pada saat itu. Jadi bukan hanya PKI dan Tionghoa tetapi juga kalangan Islam. Bahkan saya juga melihat kita anti terorisme, tetapi juga jangan menyamaratakan pesantren dengan teroris dan sebagainya.

Namun dari sekian usaha yang dilakukan oleh Mas Asvi dalam persoalan pelurusan sejarah kesan yang ditangkap Mas Asvi sangat getol memperjuangkan pelurusan sejarah yang terkait dengan peristiwa G30S?Ya saya pikir itu peristiwa yang sangat penting menurut hemat saya. Tahun ‘65 merupakan watershed, batas zaman pembeda antara masa sebelum ‘65 dan setelah ‘65 yang menjadi berubah seketika baik ekonomi, politik dalam negeri, luar negeri, kebudayaan dan lain-lain. Masa ini merupakan tonggak sejarah yang sangat penting sama pentingnya dengan tahun ‘45 ketika kita memutuskan untuk merdeka dari kaum penjajah. Tahun ini juga menandai terjadinya perubahan secara serentak dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Jadi itu masa-masa yang menurut hemat kami perlu diperhatikan oleh sejarawan. Bukan hanya masa kolonial saja. Pada masa Orde Baru sebagian sejarawan kita karena faktor takut mengkritik pemerintah memilih mengkaji masa penjajahan Belanda dan kurang mempedulikan sejarah yang kontemporer atau setelah Indonesia merdeka.

Dalam beberapa referensi yang saya baca memang ada beberapa kejadian yang mempengaruhi hidup Mas Asvi untuk terjun sebagai sejarahwan. Namun kapan titik awal dalam hidup Mas Asvi hingga Mas Asvi merasa inilah hidup saya, sejarah adalah pilihan hidup saya?Bagi saya pengalaman sebagai wartawan Sportif yang membuat saya suka menulis artikel. Keharusan menulis secara singkat tetapi cepat ini sangat compatible dengan penulisan tentang sejarah. Pelurusan sejarah menjadi lebih bermakna ketika ditulis di koran atau di majalah, ketimbang pelurusan sejarah itu dilakukan terbatas di dalam kelas saja. Dengan disebarkan melalui media massa di koran, di majalah, di televisi ini akan menjadi pelurusan sejarah yang menurut hemat saya itu lebih luas jangkauannya. Selain itu hal yang saya kerjakan dengan senang hati, kecintaan saya menulis artikel dan menyampaikannya ke kalangan luas sesuatu yang menurut saya relatif baru tentang masa lampau, tentang persoalan-persoalan yang mungkin bisa merubah perspektif orang tentang, misalnya ketika terjadi konflik tentang Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Maka saya menulis, bahwa pendiri Ahmadiyah di Yogyakarta itu salah satunya adalah anak dari Kyai Ahmad Dahlan. Saya sengaja menulis tentang itu karena sebenarnya pendiri organisasi keagamaan tersebut bersaudara: Ahmadiyah, Muhammadiyah dan NU. Kalau pendiri ajaran tersebut bersaudara meskipun mereka berbeda pendapat tetapi tidak saling membunuh, mengapa sekarang kita seperti ini. Beda pendapat boleh, tetapi mengapa harus diselesaikan dengan kekerasan.

Menurut pendapat Mas Asvi mengapa Nabil memilih Mas Asvi sebagai salah satu orang yang berhak menerima penghargaan?Karena saya secara berkala, secara teratur saya menulis di media massa tentang sejarah. Itu satu poin tersendiri. Tidak semua sejarawan menulis di media massa. Banyak sejarawan lain, tetapi yang menulis di media massa sangat terbatas. Saya termasuk diantaranya. Saya dianggap ikut mempopulerkan sejarah yang intinya macam-macam seperti pengajaran masa lampau, nilai-nilai yang baik pada masa lampau, contoh kepribadian yang bagus dan patut atau harus kita contoh pada masa lalu yang saya sampaikan melalui tulisan. Itu yang mereka hargai. Disamping itu juga saya juga berusaha mengusulkan John Lie (dikenal juga sebagai alm.

Page 59: 18@s nabil forum 2011

59Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011

Laksamana Muda (Purn) Jahja Daniel Dharma-tambahan Editor Nabil). meskipun saya tidak berlatar belakang keluarga Tionghoa, sebagai Pahlawan Nasional. Saya berpandangan sejak tahun 1959 hingga tahun 2009 tidak ada orang Tionghoa yang menjadi Pahlawan Nasional. Padahal seharusnya ini merupakan representasi segenap komponen bangsa sebagai etnis yang ikut berjuang. John Lie pasca tahun 1945 berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. [Pencalonan pahlawan nasional] ini berhasil tahun lalu. Penghargaan Nabil ini barangkali terkait pula dengan penghargaan atas upaya saya dalam mengusulkan John Lie sebagai pahlawan nasional yang sudah saya rintis bertahun-tahun sebelumnya. Di samping itu saya terus berupaya agar di dalam kurikulum tentang sejarah itu diajarkan di bangku sekolah tentang pentingnya kebudayaan atau sumbangan kebudayaan Tionghoa. Selama ini yang diajarkan di bangku sekolah hanyalah sumbangan kebudayaan Islam, Hindu, Budha dan kebudayaan Barat. Padahal sangat besar sumbangan kebudayaan Tionghoa dalam perkembangan teknologi yang sederhana pada saat itu seperti bagaimana cara membuat kuali, cara membuat kebutuhan dapur, tambak, budidaya berbagai tanaman, pembuatan garam dsb.

Siapa itu Eddie Lembong?Eddie Lembong adalah pemilik sebuah perusahaan obat. Dia bergerak dalam bidang farmasi tetapi dia sejak dari era reformasi ini dia memang mulai berpikiran untuk mempertemukan etnis yang berbeda. Hal ini didasari pada proses reformasi tahun 1998 yang memakan korban banyak dari etnis Tionghoa, termasuk kasus perkosaan, meskipun disangkal, tetapi dalam kenyataannya itu terjadi. Eddie Lembong ini kemudian berpikir tidak ada jalan lain untuk mempertemukan kedua etnis dari Tionghoa dan non Tionghoa untuk saling berkomunikasi. Kemudian dia mendirikan Perhimpuan INTI (Indonesia Tionghoa) yang setelah dua kali menjabat dalam organisasi tersebut dia merasa tidak enak jika harus menduduki jabatan tersebut. Kemudian Eddie Lembong mendirikan Yayasan Nabil (Nation Building) antara lain memberikan award disamping penerbitan buku pada orang-orang yang berjasa mengembangkan komunikasi atau hubungan timbal balik antara Tionghoa dan Non-Tionghoa. Orang-orang seperti Ibu Mely Tan itu tahun lalu mendapat penghargaan ini, Leo Suryadinata tahun sebelumnya, Claudine Salmon juga. Mereka adalah orang-orang yang menulis tentang sejarah dan kebudayaan Tionghoa dan peranannya di dalam kebudayaan Nusantara ini.

Penyandang dana dari yayasan ini siapa?Penyandang dana adalah Eddie Lembong dan keluarga.

Seberapa penting Nabil bagi Mas Asvi?Penting, karena ini lembaga yang memberi perhatian pada hal-hal yang telah saya ceritakan tadi. Dari namanya saja Nation Building, terlepas dari dia didukung oleh seorang pengusaha tetapi tujuan dari yayasan ini adalah penguatan Nation Building yang menurut saya sangat penting. Kalau boleh ditambah character building selain nation building yang dahulu pada masa Soekarno selalu dipidatokan, bagaimana kita meningkatkan nation and character building yang akhir-akhir ini semakin lemah. Maka perlu bagaimana meningkatkan pembangunan karakter bangsa dan yayasan ini menyumbang sedikit untuk itu, melalui penerbitan buku dan sebagainya. Selain juga memberikan hadiah setiap tahun kepada orang-orang di bidang ilmu social, termasuk mereka yang mencoba menjembatani hubungan antara Tionghoa dan orang non Tionghoa.

Siapa saja yang terlibat dalam yayasan tersebut?Yang jelas ini organisasi non profit tetapi dana utamanya dari keluarga Eddie Lembong. Kiprah yayasan ini selain memberikan

penghargaan, penerbitan dan mengadakan seminar-seminar, juga membeli buku-buku bermutu karya Syafii Ma’arif, Siti Musdah Mulia yang dianggap bisa memperkuat pemahaman orang tentang Indonesia dan Islam, untuk kemudian disebarkan ke berbagai pihak.

Kontribusi Nabil terhadap karir Mas Asvi ke depannya apa?Ini semacam penghargaan yang harus disyukuri. Sekali lagi penghargaan ini justru mendorong saya untuk meneruskan upaya yang belum selesai ini. Seperti misalnya bagaimana menerbitkan buku-buku tentang sumbangan budaya Tionghoa terhadap perkembangan Indonesia, kemudian menerbitkan buku-buku yang lain tentang korban sejarah sehingga bagi saya ini merupakan momentum awal untuk meneruskan upaya yang sudah dilakuan selama ini. Penghargaan ini memperlihatkan bahwa upaya atau jerih payah itu tidak sia-sia. Paling tidak ada sedikit orang yang menghargai dan itu cukup bagi saya untuk meneruskan gerakan-gerakan atau apa saja yang lakukan selama ini. Saya sendiri juga melihat bahwa pendekatan yang saya lakukan mungkin berbeda dengan teman-teman di sini yang mungkin mereka masih membedakan politik yang seperti diterima dalam bangku perkuliahan. Saya sangat setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Muridan Widjojo waktu seminar akhir tempo dulu bahwa politik tidak serta merta apa yang ada di dalam lembaga-lembaga seperti DPR. Politik itu banyak dan cakupannya sangat luas. Sejarah itu menurut saya adalah politik pada masa lampau yang sebetulnya kita pelajari untuk mengambil hikmahnya.

Berapa bersaudara dalam keluarga?Empat bersaudara dan saya anak ketiga. Kakak saya seorang profesor di UNRI (Universitas Riau) tetapi sudah pensiun. Kakak saya yang paling tua kerja di swasta. Sementara adik saya kerja di Caltex, lulusan arsitek UGM lalu kemudian pindah ke swasta.

Jika melihat latar belakang keluarga Mas Asvi sangat kental dengan pendidikan?Mereka (orang tua) adalah orang-orang yang dididik dalam lingkungan Belanda. Meski sebagai pedagang kecil tetapi sangat menganggap penting pendidikan. Kakak tertua saya tidak sampai selesai pendidikan karena ikut PRRI. Dia dahulu di Fakultas Kedokteran di Bukittinggi tetapi ikut PRRI dan pulang tidak lagi bisa sekolah. Hanya dia yang tidak selesai pendidikan sarjana sementara adik-adiknya bisa menyelesaikan pendidikan hingga sarjana.

Apakah istri di LIPI juga?Istri saya di PDII tetapi sekarang sudah tidak lagi bekerja di sana. Dahulu ketika saya mau sekolah ke luar negeri, istri saya baru dua tahun kerja di sana dan belum boleh cuti di luar tanggungan negara. Sementara di Perancis saya sekolah selama enam tahun dan ketika kembali ke Indonesia, istri saya tidak bisa kembali lagi ke LIPI. Kebijakan di LIPI pada tahun 1990, setelah enam tahun saya tinggalkan sekolah di Perancis, telah mengalami perubahan, dalam arti pegawai LIPI minimal berpendidikan sarjana, sementara istri saya baru sarjana muda.

Apa benar latar belakangnya sebagai pustakawati?Tidak, background pendidikannya dari sarjana muda ekonomi. Memang dahulu keberadaan istri di PDII sangat mendukung pekerjaan saya terutama dalam me-support dalam mencari data tetapi sekarang sudah tidak lagi.

Sumber: http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-nasional/365-tentang-nabil-dan-mas-asvi-

Page 60: 18@s nabil forum 2011

60Nabil Forum | Edisi ke-2, 2011