Prosedur Pemeriksaan Virus Pada Ikan Karantina

49
PROSEDUR PEMERIKSAAN VIRUS IKAN KARANTINA 1 Agus Sunarto 2 PENDAHULUAN Indonesia sebagai bagian dari komunitas international harus mematuhi peraturan dan kesepakatan-kesepakatan regional maupun international. Ditingkat regional, ada pasar bebas ASEAN (AFTA) yang sudah dimulai tahun lalu. Di tingkat internasional ada kesepakatan GATT-WTO, SPS Agreement dan OIE yang menuntut diberlakukannya berbagai standar, termasuk standar pemeriksaan penyakit ikan karantina. Seiring dengan pasar bebas adalah meningkatkan volume perdagangan termasuk di dalamnya lalu-lintas ikan hidup lintas batas. Peningkatan lalu-lintas ikan berarti peningkatan ancaman pemasukan penyakit ke dalam wilayah negara Indonesia. Peran karantina sebagai penjaga pintu gerbang pemasukan dan pengeluaran ikan menjadi sangat penting. Salah satu usaha yang perlu digalakkan oleh karantina dalam menghadapi tantangan tersebut adalah peningkatan kemampuan dalam bidang diagnosa penyakit ikan dengan standar internasional, baik dengan menggunakan metode berbasis histologi, imunologi maupun biologi molekuler. Teknik diagnosa berbasis imunologi yang biasa dipakai untuk pemeriksaan penyakit virus ikan karantina antara lain tes netralisasi (neutralisation test), imunohistokimia (immunohistochemistry), FAT (Fluorescent Antobody Test), IFAT (Indirect Fluorescent Antobody Test) dan ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) . Beberapa teknik diagnosa berbasis biologi molekuler yang telah dipakai untuk pemeriksaan penyakit virus ikan karantina antara lain

Transcript of Prosedur Pemeriksaan Virus Pada Ikan Karantina

PROSEDUR PEMERIKSAAN VIRUS

PAGE 2

PROSEDUR PEMERIKSAAN VIRUS IKAN KARANTINA1Agus Sunarto2PENDAHULUAN

Indonesia sebagai bagian dari komunitas international harus mematuhi peraturan dan kesepakatan-kesepakatan regional maupun international. Ditingkat regional, ada pasar bebas ASEAN (AFTA) yang sudah dimulai tahun lalu. Di tingkat internasional ada kesepakatan GATT-WTO, SPS Agreement dan OIE yang menuntut diberlakukannya berbagai standar, termasuk standar pemeriksaan penyakit ikan karantina.

Seiring dengan pasar bebas adalah meningkatkan volume perdagangan termasuk di dalamnya lalu-lintas ikan hidup lintas batas. Peningkatan lalu-lintas ikan berarti peningkatan ancaman pemasukan penyakit ke dalam wilayah negara Indonesia. Peran karantina sebagai penjaga pintu gerbang pemasukan dan pengeluaran ikan menjadi sangat penting. Salah satu usaha yang perlu digalakkan oleh karantina dalam menghadapi tantangan tersebut adalah peningkatan kemampuan dalam bidang diagnosa penyakit ikan dengan standar internasional, baik dengan menggunakan metode berbasis histologi, imunologi maupun biologi molekuler.

Teknik diagnosa berbasis imunologi yang biasa dipakai untuk pemeriksaan penyakit virus ikan karantina antara lain tes netralisasi (neutralisation test), imunohistokimia (immunohistochemistry), FAT (Fluorescent Antobody Test), IFAT (Indirect Fluorescent Antobody Test) dan ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Beberapa teknik diagnosa berbasis biologi molekuler yang telah dipakai untuk pemeriksaan penyakit virus ikan karantina antara lain PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk pemeriksaan virus DNA, RT-PCR (Reverse Transcriptation Polymerase Chain Reaction) dan in situ hybridisation. Makalah ini menjelaskan prosedur pemeriksaan virus pada ikan dengan berbagai teknik diagnosa diatas, termasuk teknik pembuatan preparat histologi yang merupakan ilmu dasar untuk diagnosa penyakit ikan. Prosedur ini sedapat mungkin dibuat dalam bentuk tahap demi tahap (step by step), sehingga mudah dipahami dan secara teknis mudah dikerjakan.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Materi disampaikan pada Pelatihan Tenaga Terampil Petugas Karantina Ikan, Ciawi 29 Maret 20052. Peneliti di Laboratorium Riset Kesehatan Ikan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, JakartaJenis Pemeriksaan Penyakit Virus dan Cara Penyiapan Sampel Ikan

Salah satu kunci keberhasilan pemeriksaan virus dan patogen lain pada ikan adalah penanganan sampel secara benar. Tabel di bawah ini memeperlihatkan secara ringkas jenis pemeriksaan dan cara penanganan/pengawetan sampel.

NoJenis PemeriksaanJenis sampel & Media PengawetKeterangan

1Makroskopis Sampel hidupPemeriksaan berdasarkan perubahan tingkah laku dan gejala klinis.

1Mikroskopis (preparat basah/wet mount) Sampel hidupPemeriksaan langsung dengan mikroskop cahaya (gejala klinis)

2Konvensional (isolasi dan identifikasi virus)Sampel hidupVirus diisolasi dan di kultur dengan kultur sel (cell culture)

3HistopatologiIkan: Formalin10%

Udang: DavidsonIdentifikasi patogen melalui analisa kerusakan jaringan

4Serologi

(misalnya tes aglutinasi, ELISA, dll.)Sampel hidupPemeriksaan berbasis reaksi antigen-antibodi,

5Polymerase chain reaction (PCR) Alkohol 95% atau

alkohol 70% Deteksi virus DNA

6Reverse Transcriptation Polymerase chain reaction (RT-PCR)Alkohol 80% + Glycerin 20%Deteksi virus RNA

7Mikroskop elektronGlutaraldehydeMelihat ultrastruktur sel dan virus

I. PROSEDUR HISTOLOGI

1. Skema prosedur pembuatan preparat histologi

Sampel

Pengawetan (fixation)

Pemrosesan jaringan (tissue processing)

Penanaman dalam parafin (embedding)

Pemotongan (sectioning)

Pewarnaan (staining)

Penempelan (mounting)

Pengamatan dengan mikroskop

2. Sampel

a. Untuk keperluan studi prevalensi penyakit, pengumpulan sampel (sampling) dilakukan secara acak (random) dengan jumlah sampel tergantung dari tingkat serangan penyakit. Semakin tinggi tingkat serangan suatu penyakit, semakin sedikit sampel yang dibutuhkan, sebaliknya semakin rendah tingkat serangannya, semakin banyak sampel yang perlu diambil.

b. Untuk keperluan diagnosa penyakit, sampel dipilih dari ikan/udang sakit atau yang menunjukkan kelainan.

c. Sampel untuk keperluan pemeriksaan histologi adalah sampel yang masih hidup, sekarat atau baru saja mati. Ikan/udang yang telah lama mati tidak dapat digunakan sebagai sampel.

d. Semua organ/jaringan ikan dan udang dapat dibuat preparat histologi. Pada udang, biasanya digunakan kepala (cephalothorax) dan perut (abdomen segmen terakhir). Pada ikan, diambil bagian yang luka, mata, insang dan organ internal (ginjal, hati, limpa, jantung, gelembung renang, otak, usus dan saluran reproduksi).

e. Sampel diberi label:

3. Pengawetan (fixation)

a. Ikan/udang kecil dapat langsung dimasukkan dalam larutan pengawet. Ikan/udang besar harus disuntik dengan pengawet terlebih dahulu atau dipotong kecil-kecil ((1 cm3) sebelum diawetkan. Perbandingan antara pengawet dan sampel adalah 1:10. Udang diawetkan dalam pengawet Davidson (Davidsons fixative) selama 24 jam kemudian dipindahkan ke dalam alkohol 50%. Ikan dan orgasnisme akuatik lainnya (kepiting, teripang, dll) diawetkan dalam Neutral Buffered Formalin 10%.

b. Formula neutral buffered formalin 10%:

Formalin

100,0 ml

Sodium phosphate monobasic 4,0 g

Sodium phosphate dibasic anhydrous 6,5 g

Aquades

900,0 ml

1000,0 ml

Disimpan pada suhu kamar.

c. Formula Davidsons fixative:

Alkohol 95%

330 ml

Formalin

220 ml

Glacial acetic acid

115 ml

Aquades

335 ml

1000 ml

Disimpan pada suhu kamar.

4. Pemrosesan jaringan dengan alat pemroses jaringan otomatis (automatic tissue processor). Jenis bahan kimia yang digunakan, urutan dan lamanya pemrosesan adalah seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis bahan kimia dan lama pemrosesan sampel

NoBahan kimiaLama proses (jam)

1Alkohol 70%1

2Alkohol 70%1

3Alkohol 80%1

4Alkohol 80%1

5Alkohol 90%1

6Alkohol 90%1

7Alkohol 100%2

8Alkohol 100%2

9Xylene2

10Xylene2

11Parafin2

12Parafin3

Jumlah19

5. Penanaman dalam parafin (embedding)

Penanaman sampel dalam paraffin dilakukan dengan Tissue Embedding Centre. Alat ini harus dinyalakan 2 jam sebelum pemrosesan sampel selesai, untuk mencairkan paraffin yang ada di kontainer. Sehingga ketika pemrosesan sampel selesai, sampel dapat langsung ditanam dalam paraffin.

6. Pemotongan (sectioning)Setelah paraffin dingin, sampel (blok) dipotong dengan alat microtome sbb:

a. Blok diletakkan pada pemegang blok (block holder)

b. Blok ditrimming sampai mengenai organ/jaringan yang dimaksud.

c. Ketebalan pemotongan diatur pada 4-5 (m

d. Potongan jaringan (ribbon) diletakkan di atas penangas air (water bath) suhu 40oC

e. Slideglass diletakkan dibawah potongan jaringan, ketika slideglass diangkat, potongan jaringan akan menempel pada slideglass.

f. Slideglass diletakkan di atas alat pemanas (hot plates) suhu 60(C selama 15 menit.

g. Slideglass yang sudah kering siap diwarnai.

7. Pewarnaan (staining) Hematoksilin Eosin/Phloxin (H&E).

Sebelum pewarnaan, paraffin yang menempel pada slideglass dibersihkan dengan xylene dan alkohol. Prosedur pewarnaan H&E terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis bahan kimia dan lama pemrosesan sampel

NoBahan kimiaLama proses (menit)

1Xylene5

2Xylene5

3Alkohol 100%10 celupan

4Alkohol 100%10 celupan

5Alkohol 95%10 celupan

6Alkohol 95%10 celupan

7Alkohol 80%10 celupan

8Alkohol 80%10 celupan

9Alkohol 50%10 celupan

10Aquades10 celupan

11Aquades10 celupan

12Aquades10 celupan

13Aquades10 celupan

14Aquades10 celupan

15Aquades10 celupan

16Hematoksilin5 menit

17Air mengalir5 menit

18Eosin/Phloxin2 menit

19Alkohol 95%10 celupan

20Alkohol 95%10 celupan

21Alkohol 100%10 celupan

22Alkohol 100%10 celupan

23Xylene10 celupan

24Xylene10 celupan

25Xylene10 celupan

26Xylene10 celupan

27Slideglass ditutup dengan coverglass memakai DPX atau kanada balsam sebagai perekat.

Formula pewarna Mayers Hematoksilin dan Eosin adalah sebagai berikut:

a. Formula pewarna Mayers Hematoksilin:

Hematoxylin crystals

1,0 g

Sodium Iodate

0,2 g

Potassium Alum

50,0 g

Citric Acid

1,0 g

Chloral Hidrate

50,0 g

Aquades

1000,0 ml

Alum dilarutkan dengan aquades kemudian hematoxylin dilarutkan dengan larutan alum.

Sodium iodate, citric acid dan chloral hidrate ditambahkan ke dalam alrutan hematoksilin.

Larutan dipanaskan hingga berubah warna menjadi purple.

Larutan disaring dengan filter (kertas Whatman No. 1).

b. Formula pewarna Eosin:

Stock Eosin

Eosin Y

1 g

Aquades

100 ml

Stock Phloxine

Phloxine

1 g

Aquades

100 ml

Larutan Eosin-Phloxine:

Stock Eosin

100 ml

Stock Phloxine

10 ml

95% Ethanol

780 ml

Glacial Acetic Acid

4 ml

Setelah DPX atau balsam kanada mengering, slideglass siap diamati dengan mikroskop.

II. IMUNOHISTOKIMIA (IMMUNOHISTOCHEMISTRY)1. Sampel ikan yang telah difiksasi dalam formalin 10%, dilakukan de-parafinasi dan re-hidrasi jaringan.

2. Prosedur berikutnya dilakukan di dalam ruang lembab (humid chamber).

3. Endogenous peroxidase diblok dengan aquades teroksigen (oxygenated water) 3%.

4. Preparat sayatan dicuci dalam PBS selama 5menit.

5. Dicuci 2x dalam PBS-Tween 20 masing-masing selama 3 menit

6. Dicuci 1x dalam PBS selama 3 menit

7. Diinkubasi selama 20 menit, agar anti-rabbit Ig goat antibody berikatan dengan biotin.

8. Dicuci dalam PBS.

9. Ditambahkan peroksidase reaktif (konjugat avidin - peroksidase) dan diinkubasikan selama 20menit.

10. Dicuci dalam PBS.

11. Ditambahkan khromogen selama 10 menit, yang disiapkan sebagai berikut: aquades (4ml); buffer asetat (2 tetes); khromogen AEC (1 tetes); oxygenated water 3% (1tetes)

12. Dibilas dengan aquades selama 5 menit.

13. Diwarnai dengan haematoksilin selama 2 menit.

14. Dibilas dengan air.

15. Dimounting dengan air misalnya glycerined gelatin, setelah kering siap diamati di bawah mikroskop.

III. FAT (FLUORESCENT ANTIBODY TECHNIQUE)

1. Sampel ikan yang telah difiksasi dalam buffer formalin 10%, didehidrasi lalu ditanam dalam parafin.

2. Preparat direndam tripsin 0,1% dalam 0,01 M PBS pada suhu 37C selama 30 menit.

3. Setelah dicuci dengan PBS dingin, sampel diinkubasi dengan serum kelinci anti-nodavirus pada 37C selama 30 menit,

4. Dicuci dengan PBS

5. Direaksikan dengan FITC (fluorescein isothiocyanate) yang telah dilabel anti-rabbit Ig goat antibody pada 37C selama 30menit.

6. Siap diamati dengan mikroskop.

IV. IFAT (INDIRECT FLUORESCENT ANTIBODY TEST).

1. Sel monolayer pada cawan kultur plastik ukuran 2 cm2 atau kaca penutup (cover-slip) disiapkan agar mencapai konfluensi 80%, yang biasanya dapat tercapai dalam selang waktu 4 jam setelah inkubasi pada 30oC. Setiap virus yang akan diidentifikasi, diinokulasi ke 6 sel monolayer ditambah 2 untuk kontrol positif dan 2 untuk kontrol negatif (untuk satu sampel virus perlu 10 sel monolayer).

2. Suspensi virus diinokulasikan dengan membuat pengenceran 10x secara langsung di dalam cawan kultur (serial tenfold dilution).3. Suspensi virus kontrol diencerkan dengan cara yang sama, agar diperoleh titer virus sekitar 5000-10000 plaque-forming units (PFU)/ml dalam medium kultur sel.4. Diinkubasi pada 25oC selama 18 jam5. Medium kultur dibuang, kemudian dicuci sekali dengan PBS 0,01 M, pH 7,2; kemudian dicuci 3x dengan aseton dingin (suhu 20oC) untuk kaca penutup atau campuran aseton 30% + ethanol 70% (suhu 20oC) untuk cawan plastik.6. Fiksatif dibiarkan beraksi selama 15 menit. Fiksatif sebanyak 0,5 ml cukup untuk sel monolayer seluas 2 cm27. Sel monolayer dibiarkan mengering selama 30 menit dan segera proses atau bekukan pada 20oC8. Persiapkan larutan antibodi atau serum di dalam 0,01 M PBS pH 7,2 yang mengandung 0,05% Tween 80 (PBST). 9. Sel monolayer yang telah kering direhidrasi dengan cara dicuci dengan larutan PBST sebanyak 4x. Setelah pencucian terakhir, buffer ini dibuang.10. Ditambahkan larutan antibodi sebanyak 0,25 ml/2 cm2 sel monolayer selama 1 jam pada 37oC11. Dicuci 4x dengan PBST seperti diatas.12. Ditambahkan larutan antibodi terkonjugat FITC terhadap imunoglobulin selama 1 jam pada 37oC (sesuai dengan manual produk FITC).13. Dicuci 4x dengan PBST14. Sel monolayer pada cawan plastik dapat langsung diamati, sedangkan kaca penutup dimounting dengan gliserol saline pH 8,5 sebelum diamati dibawah miroskop.15. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop sinar UV dengan pembesaran okuler 10x dan obyektif 20-40x dengan angka aperture tinggi. Uji ini valid bila kontrol negatif dan kontrol positif harus memberikan hasil yang benar.V. ELISA (ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY)1. Sumur mikroplat untuk uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dilapisi dengan imunoglobulin (Ig) murni atau serum spesifik untuk virus dalam 0,01 M PBS; pH 7,2 sebanyak 200 l/sumur. Ig dapat berupa polyklonal atau monoklonal yang masing-masing berasal dari kelinci atau tikus.

2. Inkubasi satu malam pada suhu 4oC.3. Dicuci 4x dengan 0,01 M PBS yang mengandung 0,05% Tween 20 (PBST).4. Diblok dengan skim milk (5% dalam PBST) atau larutan bloking lainnya selama 1 jam pada 37oC (200 l/sumur).5. Dicuci 4 kali dengan PBST6. Ditambahkan Triton X-100 2% pada suspensi virus yang akan diidentifikasi7. Ditambahkan 100 l/sumur dari pengenceran dua atau empat tahap dari virus yang akan diidentifikasi dan dari virus kontrol, dan dibiarkan bereaksi dengan antibodi anti virus selama 1 jam pada suhu 20oC.8. Dicuci 4 kali dengan PBST9. Ditambahkan antibody poliklonal virus kedalam sumur10. Inkubasi selama 1 jam pada 37oC11. Dicuci 4 kali dengan PBST12. Ditambahkan streptavidin-conjugated horseradish peroxidase pada sumur-sumur yang telah diberi biotin-conjugated antibody dan inkubasikan selama 1 jam pada 20oC13. Dicuci 4 kali dengan PBST14. Ditambahkan substrat dan zat pewarna (chromogen). Tes dihentikan jika telah terlihat reaksi pada kontrol positif.VI. TES NETRALISASI

1. Media kultur dari sel monolayer yang menghasilkan CPE dikumpulkan dan disentrifugasi pada 2000 g selama 15 menit pada suhu 4oC untuk memisahkan massa sel.

2. Supernatan yang mengandung virus diencerkan dari 10-2 sampai 10-43. Dibuat aliquot, misalnya 200 l, dari masing-masing pengenceran. Aliquot ini digunakan untuk tes antibodi spesifik dan inokulasi ke kultur sel baru. Titer antibodi dari tes netralisasi (neutralising antibody, NAb) harus sekitar 1/2000 dalam plaque reduction assay 50%.

4. Secara bersamaan, tes netralisasi juga harus dilakukan terhadap:

virus yang homolog (tes netralisasi positif)

virus yang heterolog (tes netralisasi negatif)5. Semua tes diinkubasi pada 25oC selama 1 jam.6. Masing-masing campuran tersebut diinokulasi ke dalam cawan berisi kultur sel monolayer (masing-masing 2 sel kultur per pengenceran) dan dibiarkan terserap selama 0,5-1 jam pada suhu 25oC. Pada cawan kultur 24 atau 12-well digunakan inokulum sebanyak 50 l.7. Setelah proses penyerapan selesai, ke dalam setiap sumur ditambahkan medium kultur sel yang mengandung FCS 2% (buffer pH 7,3-7,6) dan diinkubasi pada suhu 25-30oC.8. Waktu terjadinya CPE dicatat. CPE bisa diamati dengan mikroskop (lebih baik dengan mikroskop fase-kontras) atau setelah pewarnaan kultur sel dengan larutan crystal violet 1% di dalam etanol 20%.9. Pembacaan hasil: hasil dinyatakan positif bila CPE terjadi pada semua kultur sel, dan tidak terjadi atau terjadi penundaan munculnya CPE dalam kultur sel yang diinokulasi dengan virus yang telah dicampur dengan antibodi spesifik CCV.VII. PROSEDUR ISOLASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS DENGAN KULTUR SEL

1. Pembedahan ikan:

a. Ikan dibunuh dengan cara langsung atau melalui pembiusan dengan MS22.

b. Air dan lendir pada kulit ikan dilap bersih dengan kertas tisu.

c. Perut ikan dibuka dengan cara mengunting dari anus ke arah depan dan dari anus ke arah punggung.2. Pengambilan sampel:

a. Sebanyak 1 gram sampel diambil dari organ target (organ yang menunjukkan kelainan karena serangan penyakit viral) dan dari organ internal seperti: ginjal, limpa, hati, pancreas, usus, dll.

b. Bila ikan sangat kecil, seluruh organ internal dapat langsung diambil.

c. Sampel dari 1-5 ekor ikan (tergantung besarnya) dapat dipool sebagai 1 sampel.

3. Pengawetan sampel: sampel dapat disimpan selama 48 jam di dalam media transfer (transport media) yang terdiri dari: HBSS (Hanks Balance Salt Solution) suhu 4oC, Foetal Calf Serum (FCS) 2% dan antibiotika: Penicillin 500 IU/ml dan Amphotericidin B (Fungizone) 10 (g/ml. Selanjutnya sampel dikirim ke lab virologi pada suhu 4oC.

4. Pemrosesan sampel:

a. Homogenisasi: sampel dikeluarkan dari larutan pengawet dan diletakkan di dalam mortar steril yang telah didinginkan pada suhu 4oC.

b. Dengan bantuan pasir steril, sampel digerus halus membentuk semacam pasta.

c. Sampel diencerkan 1:10 dengan cara menambahkan 9 ml HBSS yang mengandung FCS 2%.

d. Sampel dipindahkan ke dalam tabung steril dan disentrifuse pada 1000xg 4oC selama 15 menit.

e. Supernatan diambil dengan alat suntik (syringe) steril sebanyak 1 ml dan diencerkan 1:5 dengan cara menambahkan 4 ml HBSS yang mengandung FCS 2%.

f. Larutan sampel yang telah diencerkan 1:50 ini disaring dengan filter 0,45 (m.

g. Filtrate atau ekstrak jaringan ini siap diinokulasikan ke kultur sel (fish cell lines).

5. Isolasi Virus dilakukan dengan kultur sel (SSN-1, BF-2, ECP, dll):

1. Persiapan kultur sel lapis tunggal (monolayer) pada plate 24 lubang.

a. Setiap lubang diinokulasi dengan 1,5 ml kultur sel. Kultur sel biasanya tumbuh di dalam media L-15 yang mengandung FCS 2% dan antibiotika (Penicillin 100 IU/ml dan Streptomycin 10 (g/ml).

b. Setelah 1 hari, biasanya kepadatan sel telah mencapai konfluensi 80-90%. Sehingga kultur sel siap diinokluasi dengan ekstrak jaringan yang telah disiapkan.

2. Inokulasi kultur sel dengan ekstrak jaringan:

a. Dua lubang kultur sel masing-masing diinokulasi dengan 200 (l ekstrak jaringan

b. Kultur sel diinkubasi pada suhu 23-27oC.

c. Pengamatan Cytopathic Effect (CPE) dilakukan setiap hari selama 14 hari. CPE atau kerusakan kultur sel dapat berupa disintegrasi sel, sel terlepas dari dasar plate, sel lysis.

3. Pasase: bila terlihat CPE, 200 (l supernatan kultur sel dipindahkan ke dalam kultur sel yang baru dan diamati adanya CPE selama 14 hari. Pasase dilakukan sebanyak 3 kali. Bila pada pasase ke-3, masih terjadi CPE seperti pada pasase-pasase sebelumnya, berarti sampel positif virus.

6. Perbanyakan Virus: virus yang telah berhasil diisolasi harus diperbanyak untuk keperluan identifikasi dan karakterisasi.

a. 200 (l supernatan kultur sel yang memperlihatkan CPE pada pasase ke3, diinokulasikan ke dalam flasks 25 cm2 yang telah ditumbuhi kultur sel lapis tunggal dengan konfluensi 80-90%.

b. Diinkubasi selama 1 jam untuk memberi kesempatan virus menginfeksi sel.

c. Sel dicuci dengan 5 ml PBS, kemudian ditambahkan 7 ml medium pemeliharaan berupa L-15 plus CFS 2%.

d. Flask diinkubasi pada suhu 23-27oC.

e. Bila sel menunjukkan CPE, sel dipindahkan ke tabung steril dan disentifuse pada 1000xg 4oC selama 15 menit.

f. Supernatan dikumpulkan dan dibagi ke dalam tabung kecil 1 ml.

g. Sebagian tabung disimpan pada 4oC untuk proses identifikasi dan sebagian lagi disimpan pada suhu -20oC dan -80oC sebagai stock virus untuk karakterisasi lanjut.

7. Identikasi Virus: Identifikasi awal terhadap virus yang telah berhasil diisolasi dapat dilakukan berdasarkan jenis CPE yang dihasilkan, suhu optimal pertumbuhan, dll. Identifikasi lanjut dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik identifikasi berbasis imunologi (antara lain tes netralisasi, imunohistokimia, FAT, IFAT, ELISA) dan berbasis molekuler (PCR, RT-PCR, in situ hybridisation).VIII. PROSEDUR POLYMERASE CHAIN REACTION

1. PENDAHULUAN

1.1. Dasar Pertimbangan PCR sangat cocok untuk digunakan sebagai alat diagnosa penyakit ikan karantina karena mempunyai beberapa keunggulan komparatif dibandingkan metode diagnosa yang lain, yaitu:

1. Spesifik. Metode PCR mampu mendeteksi suatu patogen penyebab penyakit (parasit, jamur, bakteri maupun virus) pada tingkat DNA-nya. Hal ini akan menghindari kesalahan diagnosa karena urutan DNA setiap makhluk hidup sangat spesifik dan berbeda satu sama lain.

2. Sensitif. PCR mampu mendeteksi suatu patogen walaupun patogen tersebut ada di dalam sel ikan dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga belum memperlihatkan gejala klinis. Dengan kata lain PCR mampu mendeteksi penyakit dalam tahap subklinis atau carrier. Hal ini dimungkinkan karena cara kerja PCR adalah dengan meningkatkan jumlah DNA target sampai milyaran kali, sebelum hasilnya dilihat dengan elektroforesis. Sensitifitas sangat penting dalam pemeriksaan ikan karantina karena ikan yang akan keluar atau masuk, biasanya ikan yang secara klinis terlihat sehat sehingga lolos dari uji klinis, padahal ikan tersebut mungkin merupakan carrier suatu penyakit berbahaya.

3. Cepat. Keseluruhan proses pemeriksaan penyakit dengan metode PCR dapat diselesaikan dalam waktu 5 jam. Diagnosa cepat sangat diperlukan untuk pemeriksaan ikan karantina, sehingga proses lalu-lintas ikan tidak terganggu.

4. Efisien. Dalam sekali jalan, PCR dapat melakukan pemeriksaan terhadap 48-96 sampel sekaligus, sehingga sangat efisien untuk digunakan di Balai Karantina Ikan dengan lalu-lintas ikan yang padat.

5. Praktis. Metode ini sangat praktis karena dengan satu alat saja (PCR), secara teoritis dapat memeriksa seluruh penyakit ikan dalam daftar Hama Penyakit Ikan Karantina, asalkan tersedia primer spesifik untuk setiap jenis penyakit ikan tersebut. Saat ini sudah tersedia kit PCR untuk pemeriksaan penyakit ikan utama di Indonesia (Tabel 1)Tabel 1. Daftar penyakit ikan utama di Indonesia dan ketersediaan kit PCR

NoJenis penyakit Jenis ikanPCR

1Koi herpesvirus (KHV)Ikan Mas dan koi (Cyprinus carpio)Single dan double step

2Viral nervous necrosis (VNN) & Sleepy grouper (Iridovirus)Ikan Kerapu (Epinephalus sp, Cromileptes altivelis)Single dan double step

4White spot syndrome virus (WSSV)Udang windu (Penaeus monodon)Single dan double step

5Taura syndrome virus (TSV)Udang putih (Penaeus vannamei)Single step

Pengembangan ke depan. Dari berbagai keunggulan tersebut di atas, maka diagnosa penyakit ikan karantina di masa depan sebaiknya dikembangkan ke arah diagnosa cepat dan tepat dengan menggunakan alat berbasis molekuler (molecular-based diagnostic tools) antara lain dengan teknik PCR.

Petunjuk teknis ini menjelaskan prinsip kerja PCR dalam mendeteksi penyakit ikan karantina secara terperinci dan sistematis. Lengkap dengan prosedur kerja tahap demi tahap, daftar kebutuhan ruang, alat dan bahan yang diperlukan serta estimasi biayanya. Diharapkan petunjuk teknis ini dapat digunakan sebagai pedoman operasional teknik pemeriksaan penyakit ikan karantina dengan metode PCR.

1.2. Prinsip dan Cara Kerja PCR

PCR adalah reaksi berantai suatu primer dari urutan (sequence) DNA dengan bantuan enzym polymerase sehingga terjadi amplifikasi DNA target secara in vitro. Dalam bahasa yang sederhana, prinsip kerja PCR adalah memperbanyak DNA suatu patogen sampai jumlah yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Teknik PCR ditemukan oleh Dr. Kary Mullis pada tahun 1985 dan mendapatkan hadiah Nobel atas temuannya pada tahun 1993. Teknik ini bekerja dalam siklus yang berulang-ulang sebanyak 20-30 kali. Setiap siklus terdiri atas 3 tahapan reaksi yang berlangsung dalam 1 sampai 2 menit, yaitu:

1. Denaturation: pemecahan DNA target (dalam hal agen penyebab penyakit ikan karantina, misanya WSSV) dari DNA untai ganda (double-stranded DNA) menjadi untai tunggal (single-stranded DNA). Proses ini dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu 94oC.

2. Annealing: penempelan primer kepada DNA untai tunggal. Pada suhu 56oC, primer akan menempel pada pangkal dan ujung dari masing-masing DNA untai tunggal yang komplementer sehingga mengapit suatu daerah tertentu dari sequence DNA target.

3. Extension: pemanjangan primer dengan bantuan enzym polymerase pada suhu 74oC. Sehingga pada akhir proses ini, akan terbentuk 2 buah DNA untai tunggal baru yang komplemen terhadap sequence DNA target (Gambar 1A).

Karena hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai cetakan (template) pada siklus berikutnya, maka jumlah DNA target menjadi berlipat dua pada setiap akhir siklus (Gambar 1B). Dengan kata lain DNA target meningkat secara eksponensial, sehingga setelah 30 siklus akan dihasilkan milyaran (230) amplifikasi DNA target. Selanjutnya, DNA target yang telah berlipat ganda jumlahnya dapat dideteksi dengan elektroforesis gel agarosa. Setelah diwarnai dengan Ethidum Bromida (EtBr), hasil elektroforesis yang berupa pita DNA dapat dilihat dengan alat UV trans-iluminator dan foto dengan kamera Polaroid atau sistem dokemnetasi gel yang lain.

Gambar 1. Prinsip Dasar dan Cara Kerja PCR

A. Tahapan Reaksi dalam Satu Siklus

B. Penggandaan DNA per Siklus

1. Denaturasi DNA:

2. Penempelan Primer ( ):

3. Pemanjangan oleh polymerase ( ):

Dari keterangan di atas terlihat bahwa amplifikasi DNA dengan mesin PCR hanya merupakan bagian kecil dari suatu proses panjang diagnosa penyakit ikan karantina dengan mendeteksi ada tidaknya suatu DNA patogen tertentu di dalam tubuh ikan tersebut. Proses ini bermula dari ekstraksi DNA sampel untuk penyediaan cetakan, amplifikasi DNA dengan bantuan mesin PCR (thermocycler) dan analisa hasil amplifikasi dengan elektroforesis, pewarnaan DNA dan dokumentasi dengan kamera polaroid.

2. SAMPEL UNTUK PEMERIKSAAN PCR

Jenis dan jumlah sampel serta cara pengambilan dan pengawetannya sangat penting dalam pemeriksaan PCR. Sampel yang telah rusak atau jumlah yang tidak mencukupi akan menyulitkan dalam interpretasi hasil pemeriksaan. Biasanya sampel rusak karena cara pengambilan dan pengawetan sampel yang salah. Jumlah sampel untuk pemeriksaan status kesehatan individu udang sangat berbeda dengan jumlah sampel untuk monitoring kesehatan suatu populasi.

2.1. Jenis dan Jumlah Sampel

Pada dasarnya semua jenis ikan dari semua umur dapat diperiksa dengan metode PCR. Walaupun hampir semua bagian tubuh ikan/udang dapat digunakan sebagai sampel, tetapi akan lebih baik bila sampel diambil dari bagian tubuh yang merupakan organ target. Setiap penyakit mempunyai organ target yang berbeda, misalnya penyakit KHV (Koi herpesvirus) menyerang insang, penyakit VNN (Viral nervous necrosis) menyerang mata dan otak, sedangkan Iridovirus menyerang organ internal (ginjal & limpa). Oleh karena itu, jenis organ atau jaringan yang dipakai sebagai sampel tergantung dari organ target (organ yang terserang penyakit). Ada juga penyakit yang menyerang hampir semua organ tubuh, misalnya penyakit bercak putih (White spot syndrome virus) dan TSV (Taura syndrome virus), oleh karena itu pemeriksaan PCR dapat dilakukan dari semua bagian tubuh (biasanya digunakan insang). Bagian tubuh ikan/udang yang lain seperti sirip, ekor, karapas, cangkang, karapas dan rostrum udang jarang digunakan untuk pemeriksaan PCR karena bagian tersebut sangat keras sehingga sulit dalam proses ekstraksi DNA. Bagian lain yang kurang baik digunakan sebagai sampel untuk pemeriksaan PCR adalah hepatopankreas pada udang dan hati ikan karena organ ini kaya akan enzym yang dapat merusak DNA/RNA virus pada saat proses ekstraksi.

Jumlah sampel (ikan/udang), tergantung dari maksud pemeriksaan. Pemeriksaan PCR dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya suatu penyakit di dalam individu ikan/udang (sampling individu) dan untuk mengetahui status penyakit di suatu populasi (sampling populasi). Untuk sampling populasi, maka jumlah sampel yang diambil harus mewakili populasi yang akan diperiksa.

Tabel 2. Jenis dan jumlah sampel ikan dan udang untuk pemeriksaan PCR

NoStadia Ikan & UdangJenis sampel Jumlah sampel

1Benih/benurSeluruh tubuhTergantung jenis sampling:

individu: 1 ekor

populasi: 2-150 ekor (tergantung jumlah populasi dan prevalensi penyakit)

2Ikan/udang besar Sesuai dengan organ target

3IndukSesuai dengan organ target

2.1.1. Sampel benih/benur diambil dari setiap batch sebanyak 2-150 ekor (tergantung jumlah populasi dan prevalensi penyakit) secara acak dan ditempatkan dalam wadah terpisah serta diberi label. Kalau hal ini tidak memungkinkan, maka sampel dapat dipool dari semua batch.

2.1.2. Sampel sebaiknya dipilih yang menunjukkan gejala tidak normal. Untuk keperluan deteksi jenis penyakit (misalnya suatu individu ikan mas terserang penyakit KHV atau tidak), maka dilakuan sampling individu. Sedangkan untuk keperluan monitoring penyakit ditingkat populasi, maka sampel diambil secara acak dengan jumlah lebih banyak (2-150 ekor), tergantung prevalensi serangan penyakit di populasi tersebut.

2.2. Cara Pengambilan, Penyimpanan dan Pengiriman Sampel

Ikan yang masih hidup disimpan/diawetkan dalam alkohol 95% dengan perbandingan volume sampel dan alkohol adalah 1:10. Bila tidak ada alkohol 95%, sampel dapat disimpan dalam alkohol 70%. Ikan yang telah lama mati tidak dapat digunakan sebagai sampel. Setiap sampel diberi label dan keterangan secukupnya sebelum dikirim ke laboratorium karantina terdekat.

2.2.1. Sampel benih/benur dapat langsung dimasukkan ke dalam alkohol 95%.

2.2.2. Sampel benih ikan atau udang ukuran kecil (ukuran panjang kurang dari 3 cm) dapat langsung diawetkan dalam alkohol 95%.

2.2.3. Untuk sample induk besar, kepala udang disuntik dengan alkohol 95%, sisanya dipakai sebagai pengawet.

2.2.4. Cara pengambilan dan pengawetan sampel induk yang telah diafkir sama dengan sampel untuk udang dewasa. Sedangkan untuk induk yang baru akan dipijahkan, sampel cukup diambil dari insang atau kaki renangnya.

3. EKSTRAKSI DNA

Organisme patogen penyebab penyakit, terutama virus hidup di dalam sel inang. Agar proses amplifikasi dengan PCR dapat dilakukan, DNA atau RNA patogen ini terlebih dahulu harus dikeluarkan dari sel inangnya. Proses ini dikenal sebagai ekstraksi DNA atau RNA. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain metode phenol-chloroform yang dikenal sebagai metode dasar ekstraksi DNA. Saat ini ekstraksi DNA/RNA sangat mudah dikerjakan dengan menggunakan kit ekstraksi DNA/RNA yang telah tersedia di pasaran seperti ISOGEN (Nippon Gene, Jepang), DNAzol( dan TRIzol( (MRC, Amerika) atau dengan kit ekstraksi DNA/RNA yang sudah termasuk dalam satu paket kit PCR lengkap. Prosedur kerja kit ekstraksi DNA/RNA dari paket kit PCR ini dapat dilihat pada manual masing-masing kit.

Persiapan sampel. Sampel ikan sebanyak 50-100 mg dipotong kecil-kecil/halus dengan pisau bedah atau gunting steril. Untuk menghindari kontaminasi, setiap sampel harus diproses dengan mengunakan tempat dan alat yang berbeda. Selanjutnya sampel tersebut siap diekstrak DNA/RNA-nya.

3.1. Prosedur kerja ekstraksi DNA dengan metode phenol-chloroform:

1. Sampel yang telah disiapkan seperti tersebut di atas, dimasukkan ke dalam tabung eppendorf ukuran 1,5 atau 2 mL. Ditambahkan 300 mL aquades steril, 30 (L Proteinase-K (10 mg/ml) dan 30 (L RNAse (0,2 mg/ml), diaduk dengan pestel. Ditambahkan 30 (L SDS 1% (Sodium Dodecyl Sulphate), dicampur perlahan-lahan dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit.

2. Ditambahkan 400 (L TE-saturated phenol. Dicampur homogen selama 1 menit.

3. Disentrifugasi pada 12.000 g, suhu ruang ((27oC), selama 5 menit.

4. Supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 400 (L TE-saturated phenol, dicampur homogen selama 1 menit.

5. Disentrifugasi pada 12.000 g, suhu ruang, selama 5 menit.

6. Supernatan dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 400 (L Chloroform-Isoamyl alcohol (24:1), dicampur homogen selama 1 menit.

7. Disentrifugasi pada 12.000 g, suhu ruang, selama 5 menit.

8. Supernatan sebanyak 300 (L dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 30 (L Sodium Acetate 3M dan 750 (L alcohol 100%, kemudian dicampur homogen.

9. Diinkubasi pada suhu dingin selama 15 menit atau lebih.

10. Disentrifugasi pada 12.000 g, suhu ruang, selama 5 menit.

11. Supernatan dibuang, ditambahkan 1,5 mL ethanol 75%, dicampur homogen.

12. Disentrifugasi pada 12.000 g, suhu ruang, selama 2 menit.

13. Supernatan dibuang, pellet (DNA) dikeringkan di dalam desicator selama 5-10 menit. Bila tidak ada desicator dapat dikering-udarakan (air-dried) dengan cara diinkubasi pada suhu ruang selama 5-10 menit.

14. DNA dilarutkan dengan 50-200 (L aquades steril atau TE buffer (Apendiks 2). DNA terlarut dapat disimpan pada suhu 4oC atau langsung digunakan untuk amplifikasi DNA dengan thermalcycler (Bab 4).

3.2. Prosedur kerja ekstraksi DNA dengan ISOGEN:

1. Jenis dan jumlah sampel yang digunakan sama dengan metode phenol-chloroform. Ke dalam tabung eppendorf berisi sampel, ditambahkan 0,5 mL ISOGEN, dicampur homogen, ditambahkan 0,5 mL ISOGEN dan dicampur homogen.

2. Disentrifugasi pada 12,000 g, suhu ruang, selama 10 menit.

3. Supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 200 (L chloroform, diinkubasi pada suhu ruang sealam 3 menit.

4. Disentrifugasi pada 12,000 g, suhu ruang, selama 5 menit.

5. Supernatan dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 0,5 mL Isopropanol, diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit.

6. Disentrifugasi pada 12,000 rpm, suhu ruang, selama 10 menit.

7. Ditambahkan 1 mL alkohol 75%, dicampur homogen.

8. Disentrifugasi pada 12,000 rpm, suhu ruang, selama 10 menit.

9. Supernatan dibuang, pellet (DNA) dikeringkan, dilarutkan dan disimpan seperti pada metode phenol-chloroform.

3.3. Prosedur kerja ekstraksi DNA dengan DNAzol( atau TRIzol(:

1. Jenis dan jumlah sampel yang digunakan sama dengan metode phenol-chloroform. Ke dalam tabung eppendorf berisi sampel, ditambahkan 1 mL DNAzol( atau TRIzol(, dicampur homogen dan diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit.

2. Disentrifugasi pada 14,000 rpm, suhu ruang, selama 10 menit.

3. Supernatan dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 0,5 mL alkohol 100%, dicampur homogen.

4. Disentrifugasi pada 10,000 rpm, suhu ruang, selama 5 menit.

5. Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan cara ditambahkan 1 ml alkohol 90%.

6. Disentrifugasi pada 10,000 rpm, suhu ruang, selama 5 menit.

7. Pencucian dengan 1 ml alkohol 90% ini dilakukan sebanyak 3 kali atau sampai warna pigmen kekuningan hilang.

8. Supernatan dibuang, pellet DNA dikeringkan, dilarutkan dan disimpan seperti diatas.

4. AMPLIFIKASI DNA

Amplifikasi atau perbanyakan DNA target dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah DNA target yang ada, sehingga dapat dideteksi dengan elektroforesis. Amplifikasi DNA dilakukan dengan bantuan thermocycler atau yang lebih dikenal dengan alat PCR. Pada prinsipnya, alat ini hanya semacam inkubator yang mampu mengatur/mengubah suhu dengan sangat cepat sesuai dengan setting atau program yang dimasukkan. Alat PCR sendiri tidak mampu melakukan amplifikasi DNA, tetapi setting suhu didalamnya merupakan prasyarat bagi berlangsungnya reaksi amplifikasi. Amplifikasi DNA akan terjadi bila ada komponen:

1. Deoxyribonucleotide triphosphate (dNTP) yang memberikan energi dan nukleosida untuk sintesis DNA.

2. Enzym DNA polymerase yang akan memanjangkan primer yang telah menempel pada catakan. Biasanya digunakan enzym Taq Polymerase yang tahan terhadap suhu tinggi.

3. Magnesium Chlorida (MgCl2) yang merupakan sumber trace element

4. PCR Buffer (Apendiks 3).

5. Sepasang primer yang terdiri dari primer F (forward) dan R (reverse) yang akan menentukan urutan (sequence) DNA yang akan disintesa. Primer yang digunakan bisa satu pasang ( 2 buah) atau 2 pasang (4 buah).

6. Template yaitu DNA target yang diekstraksi dari sampel udang sakit dan berfungsi sebagai bahan cetakan DNA yang diperbanyak (amplifikasi).

Standar setiap komponen dalam volume reaksi 25 (L adalah dNTP 200 (M, Taq polymerase 2 unit, MgCl2 2 mM, PCR buffer 1x, primer 1 (M dan cetakan DNA 10 ng. Kelima komponen (No.1-5) dapat dicampur bersama menjadi master mix yang telah dijual komersial, sehingga tidak perlu membeli setiap komponen tersebut secara terpisah. Sehingga ketika ada sampel datang, tinggal mempersiapkan DNA template. Strategi ini selain efisien dalam penggunaan reagen juga terbukti efektif dalam menghindari kontaminasi akibat banyaknya reagen yang harus dicampur.

4.1. Penyiapan Primer

Primer adalah sequence DNA yang menentukan dimana reaksi amplifikasi dimulai dan kapan harus berhenti. Primer yang panjangnya sekitar 20 basa inilah yang akan menentukan hasil amplifikasi DNA. Contoh primer untuk penyakit WSSV tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Contoh jenis primer, sequence dan amplicon-nya.

Kode PrimerSequence Primer Amplicon (bp)Reference

WSSV F1

WSSV R1

WSSV F2

WSSV R25ACTACTAACTTCAGCCTATCTAG-3

5TAATGCGGGTGTAATGTTCTTACGA-3

5GTAACTGCCCCTTCCATCTCCA-3

5TACGGCAGCTGCTGCACCTTGT-3F1R1: 1447

F2R2: 942

Lo et al., 1996

Primer tersebut di atas dapat dipesan (order) melalui supplier lokal dengan menyertakan sequence primernya. Primer yang telah dipesan tersedia/dikirim dalam bentuk serbuk sehingga harus dilarutkan terlebih dahulu dengan TE buffer atau aquadest bebas RNA RNase free water atau aquades steril. Karena primer dibuat dalam konsentrasi sangat tinggi, pelarut ini juga berfungsi sebagai pengencer. Kandungan primer dalam setiap kemasan berbeda-beda, tetapi rata-rata dari 1 kemasan primer dapat digunakan untuk 2000 sampel.

Misalkan jumlah suatu primer 50 nM (( 50x10-3 (M per Liter) dan akan dibuat stock primer 100 (M maka diperlukan pengenceran sebagai berikut:

Konsentrasi awal (C1): 50x10-3 (MVolume awal (V1): 1 L = 106 (L

Konsentrasi akhir (C2): 100 (MVolume akhir (V2): ?

Volume pelarut atau volume akhir (V2) adalah: V1 x C1/C2= 106 x 50x10-3 / 100

= 500 (L

Jadi dengan menambahkan 500 (L TE buffer ke dalam kemasan primer, didapat primer stock 100 (M sebanyak 500 (L.

Untuk membuat primer working solution 10 (M:

10 (L primer F + 10 (L primer R + 80 (L TE buffer.

Primer working solution 10 (M sebanyak 100 (L ini siap digunakan. Karena untuk setiap sampel dibutuhkan 2,5 (L primer, maka working solution ini dapat digunakan untuk 40 sampel. Sehingga seluruh stock primer dapat digunakan untuk 2000 sampel.

4.2. Master Mix

Saat ini telah tersedia Master Mix komersial yang siap pakai, baik dalam bentuk cair maupun padat/butiran (bead). Sehingga proses pengerjaan sampel akan lebih mudah. Yang perlu dilakukan tinggal mengambil 1 butir (untuk master mix padat) atau 10 (L (untuk master mix cair), kemudian ditambahkan primer, template DNA dan aquades secukupnya (Tabel 4). Volume master mix cair yang harus digunakan untuk setiap sampel berbeda untuk setiap produk, lihat manual setiap masing-masing produk. Prosedur pencampuran reagen PCR adalah sebagai berikut:

1. Ke dalam tabung eppendorf 0,2 mL dimasukkan master mix, cetakan DNA dan aquades dengan komposisi seperti Tabel 4.

2. Larutan dicampur homogen dengan cara dipipet keluar masuk.

3. Tabung disentrifugasi sebentar agar larutan mengumpul di dasar tabung.

4. Tabung dimasukkan ke dalam thermocycler dan dijalankan sesuai dengan setting suhu dan siklusnya.

Tabel 4. Komposisi reagen untuk setiap sampel dengan master mix komersial

NoReagenVolume

(untuk MM padat) Volume

(untuk MM cair)

1Master mix 1 butir10 (L

2Primer 2 (L 2 (L

3Template DNA 1 (L 1 (L

4Aquades22 (L12 (L

Total25 (L25 (L

4.3. Kits PCR untuk deteksi penyakit ikan.

Bila tidak mau repot-repot membeli master mix dan mempersiapkan primer, bisa juga menggunakan kits PCR untuk deteksi berbagai penyakit ikan karantina yang sudah siap pakai, antara lain WSSV, TSV, VNN, MBV, IHHNV, dll. Kits biasanya untuk 100-200 sampel, berisi master mix (yang merupakan campuran dNTP, Taq polymerase, MgCl2, PCR-buffer), primer dan kontrol positif serta kontrol negatif. Pada dasarnya, pengerjaan selanjutnya sama seperti pada Table 4 atau mengikuti petunjuk seperti yang tertera pada manual setiap kits.

4.4. Setting Suhu dan Siklus Mesin PCR

Setting suhu untuk pemeriksaan tiap jenis penyakit mungkin berbeda. Tetapi pada prinsipnya terdiri dari 5 tahap yaitu pre-denaturation, denaturation, annealing, extension dan final elongation (Tabel 5).

Tabel 5. Contoh setting suhu dan siklus amplifikasi pada mesin PCR

NoReaksiSuhu (oC)LamaJumlah Siklus

1Pre-denaturation944 menit1

2Denaturation9430 detik30

3Annealing5630 detik30

4Extension7430 detik30

5Final Elongation743 menit1

Sebelum memasuki reaksi utama yaitu amplifikasi DNA (DNA diperbanyak), perlu dilakukan reaksi pre-denaturation untuk memecah protein. Setelah siklus yang terakhir, perlu dilakukan reaksi tambahan berupa final elongation pada suhu 74oC selama 3 menit untuk memberi kesempatan kepada enzym polymerase yang belum menyelesaikan reaksinya, sehingga tidak ada sintesa DNA baru yang belum selesai. Tabel 5 diatas merupakan contoh setting suhu dan siklus standar yang dapat dipakai pada hampir semua jenis primer (jenis pemeriksaan penyakit). Namun demikian setting suhu tersebut perlu dimodifikasi untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimal untuk masing-masing jenis penyakit ikan karantina. Kit PCR komersiil sudah dilengkapi manual untuk setting suhu dan siklus amplifikasi untuk masing-masing jenis penyakit.

5. ANALISA HASIL PCR

Hasil amplifikasi (produk PCR = amplikon) mengandung potongan DNA yang panjangnya tergantung jenis primer yang dipakai, misalnya primer KHV menghasilkan potongan DNA yang panjangnya 290 bp. Namun demikian DNA hasil diamplifikasi ini belum bias dilihat dengan mata telanjang. Untuk melihatnya, produk PCR ini perlu dianalisa lebih lanjut dengan elektroforesis dan diwarnai dengan EtBr. Bila perlu dapat diabadikan dengan kamera Polaroid.

5.1. Elektroforesis Gel Agarosa

Molekul DNA, seperti protein dan senyawa biologik yang lain, mempunyai muatan listrik negatif. Akibatnya bila molekul DNA ditempatkan pada medan listrik dalam tangki elektroforesis, maka DNA akan bergerak ke kutub positif. Kecepatan migrasi (perjalanan DNA melewati pori-pori gel) tergantung dari ukuran DNA. Makin kecil molekul DNA makin cepat migrasinya melewati gel. Perbedaan kecepatan melewati gel inilah yang menghasilkan profil potongan DNA yang berbeda-beda, sehingga berat molekul setiap fragmen dapat diketahui dengan membandingkannya dengan penanda berat molekuler standar (standard moleculer weight marker).

Penyiapan gel agarosa 2% dan prosedur elektroforesis:

1. Di dalam botol Scott ukuran 100 ml: 400 mg serbuk agarosa dilarutkan dalam 20 ml TBE buffer (Apendiks 4) dengan cara dididihkan di atas hotplate magnetic stirrer.

2. Larutan didinginkan pada selama 20 menit di dalam waterbath suhu 60oC.

3. Agarosa dituangkan ke dalam tangki elektroforesis yang telah dipisang comb. Setelah 20 menit, larutan agarose akan mengeras (membentuk gel).

4. TBE buffer dituangkan ke dalam tangki, selanjutnya comb diambil sehingga terbentuk sumur (well) sebanyak 8 atau 12 buah, tergantung jenis comb yang dipakai. Lubang inilah nanti yang akan diisi dengan produk PCR.

5. Di atas parafilm: 10 (L produk PCR dicampur dengan 2,5 (L loading buffer (Apendiks 5). Selanjutnya 10 (L larutan tersebut dimasukkan ke masing-masing sumur pada gel agarose.

6. Sumur terakhir diisi dengan 10 (L penanda molekuler (marker).

7. Elektroforesis dijalankan pada voltase 120 volts selama 30 menit.

5.2. Pengamatan dan Dokumentasi

Cara paling mudah untuk melihat hasil elektroforesis adalah melalui pewarnaan gel dengan senyawa Ethidium bromida (EtBr). Molekul DNA yang berikatan dengan EtBr akan berpendar (fluorescence) bila dilihat dengan lampu ultraviolet (UV trans-illuminator). Panjang atau berat molekul pita DNA yang tampak berpendar dapat dihitung dengan cara membandingkan dengan penanda (marker) yang telah diketahui berat molekulnya. Penanda ini dirun bersama-sama dengan sampel. Biasanya marker diletakkan di sumur pertama atau terakhir dari suatu gel. Pita DNA yang terbentuk kemudian diabadikan dengan kamera Polaroid.

Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut:

1. Gel diangkat dari tangki eletroforesis. Kedua karet pembatas gel dilepas.

2. Gel direndam dalam larutan EtBr 0,05% selama 4 menit. EtBr adalah zat karsinogenik, selalu gunakan sarung tangan.

3. Gel diamati di atas UV trans-illuminator. Sinar UV dapat merusak mata, gunakan pelindung mata.

4. Dokumentasi dengan kamera Polaroid.

6. KEBUTUHAN RUANG, ALAT DAN BAHAN

Untuk proses pemeriksaan sampel dengan PCR, idealnya diperlukan 4 ruangan terpisah sebagaimana terlihat pada Gambar 2, yaitu:

1. Ruang administrasi. Ruang ini berfungsi untuk penerimaan sampel, recording (pencatatan dan pengarsipan data sampel) dan pembuatan sertifikat hasil pemeriksaan yang selanjutnya dapat dikirim melalui fax. Diruang ini tersedia meja resepsionis dan meja komputer lengkap dengan printer untuk membuat sertifikat hasil, mesin fax untuk mengirimkan hasil pemeriksaan dan lemari arsip untuk penyimpanan file. Ruang ini dapat dilengkapi sepasang meja tamu sederhana.

2. Ruang Ekstraksi DNA. Selain untuk ekstraksi DNA, ruang ini juga berfungsi untuk sterilisasi alat, penyiapan media dan penyimpanan bahan kimia & buffer. Di ruang ini tersedia lemari media, autoclave, timbangan dengan tingkat ketelitian 0,1 mg (analytical balance), pH meter, hotplate dengan magnetic stirrer, sentrifuse dan tempat ekstraksi DNA lengkap dengan sarung tangannya. Ruang ini lengkapi dengan saluran air untuk mencuci dan membersihkan alat.

3. Ruang Amplifikasi DNA. Fungsi utama ruang ini adalah untuk penyiapan reagen PCR dan pencampuran reagen tersebut dengan DNA template dari sample sehingga siap diamplifiaksi (perbanyak) dalam mesin PCR (thermocycler). Di ruang ini tersedia satu set miropipet dan area sebagai tempat kerja pencampuran reagen PCR dan DNA sampel, mini spin (sentrifuse kecil dengan kecepatan rendah), vortex, mesin PCR, refrigerator pintu ganda untuk penyimpanan reagen PCR dan lemari untuk penyimpanan alat gelas dan plastik.

4. Ruang Analisa Hasil PCR. Ruang ini berfungsi untuk analisa produk PCR, melihat hasil dan dokumentasi. Di ruang ada unit elektroforesis, waterbath, timer, zat warna EtBr, UV trans-illuminator dan kamera Polaroid. Sebaiknya ruang ini dilengkapi dengan sinar UV untuk merusak (degradasi) cemaran DNA yang mengambang di udara. Cemaran DNA dalam bentuk aerosol biasanya terjadi saat kita membuka tabung PCR yang berisi DNA hasil amplifikasi dengan mesin PCR. Untuk menghindari terbentuknya cemaran DNA di ruang 3 (ruang reagen dan amplifikasi DNA), dilarang keras membuka tabung PCR hasil amplifikasi di ruang 3. Jadi, setelah proses amplifikasi dengan mesin PCR di ruang 3 selesai, tabung PCR dikeluarkan dari mesin dan langsung di bawa ke ruang 4. Tabung PCR yang berisi DNA teramplifikasi yang jumlahnya milyaran ini hanya boleh dibuka di ruang 4 (ruang analisa hasil). Setelah proses analisa hasil PCR selesai, lampu UV di ruang 4 dinyalakan sekitar 30 menit agar sinar mendegradai cemaran DNA yang beterbangan di udara.

Designed by Agus Sunarto

Gambar 2. Tata ruang ideal untuk laboratorium PCR

alur pengerjaan sampel

alur penyampaian hasil tes PCR

Bila tidak tersedia 4 ruangan, pemeriksaan PCR dapat juga dikerjakan di laboratorium yang hanya mempunyai 3 ruang terpisah. Ruang pertama merupakan ruang administrasi. Ruang kedua merupakan gabungan ruang ekstraksi DNA, ruang reagen & amplifikasi DNA. Ruang ketiga adalah ruang analisa hasil. Bila hanya tersedia 2 ruang, maka prinsipnya ruang amplifikasi DNA dipisah dengan ruang analisa hasil untuk menghindari kontaminasi (Gambar 3). Keseluruhan proses PCR dapat juga dilakukan dalam 1 ruang. Tetapi penanganan produk pasca PCR (setelah amplifikasi dengan mesin PCR) harus dilakukan secara esktra hati-hati, sehingga DNA hasil amplifikasi tidak mencemari DNA sample dan reagen PCR (kit, master mix, dll).

Designed by Agus Sunarto

Gambar 3. Tata ruang minimal untuk laboratorium PCR

alur pengerjaan sampel

alur penyampaian hasil tes PCR

Untuk mencegah kontaminasi, mikropipet dan boks microtip yang digunakan untuk kerja pre-PCR harus terpisah dengan yang dipakai untuk kerja post-PCR. Pekerjaan pre-PCR adalah seluruh proses kerja sebelum amplifikasi dengan mesin PCR yang meliputi ekstraksi DNA, proses penyiapan master mix, primer dan pencampurannya dalam tabung PCR. Sedangkan kerja post-PCR adalah seluruh rangkaian pekerjaan setelah amplikasi DNA dengan mesin PCR.

Pada prinsipnya, alat-alat untuk pemeriksaan PCR dibagi menjadi 3 bagian (Tabel 6.), yaitu:1. Alat utama terdiri dari thermalcycler untuk amplifikasi DNA, unit electroforesis untuk memisahkan produk PCR dalam bentuk band DNA, UV trans-illuminator untuk melihat band DNA dan kamera Polaroid untuk dokumentasi.2. Alat pendukung berupa alat sterilisasi (autoklave), alat untuk penyiapan media, buffer & gel, alat bedah, mikropipet & laminar flow untuk kerja DNA, dan freezer.3. Alat habis pakai seperti mata pisau, tabung eppendorf, tips mikropipet, parafilm, film dan sarung tangan.Bahan utama yang diperlukan untuk pemeriksaan PCR adalah dNTP, Taq polymerase, MgCl2, PCR-buffer dan primer. Reagen PCR tersebut tersedia dalam bentuk terpisah-pisah maupun paket (kits). Kits, biasanya untuk 100-200 sampel, berisi master mix yang merupakan campuran dNTP, Taq polymerase, MgCl2, PCR-buffer dan primer. Bahan pendukung yang diperlukan mulai dari pengawetan sampel, ekstraksi DNA, pembuatan buffer, gel serta pewarna DNA sampai untuk dokumentasi, tercantum lengkap di Tabel 7.

Tabel 6. Daftar Alat, Bahan dan Estimasi Harga PCR Satu Set Lengkap

NoNama Alat dan BahanKegunaan Keterangan

A. Alat Utama:

1ThermocyclerAmplifikasi DNA

2Unit electroforesisPemisahan produk PCR

3UV Trans-illuminatorPengamatan hasil PCR

4Kamera Polaroid atau Gel Doc SystemDokumentasi hasil PCR

B. Alat Pendukung:

5Autoclave (Hirayama 40 L)Sterilisasi alat & bahan

6Dissecting kits (2 set) Bedah sample

7Analytical Balance (timbangan 1 mg)Pembuatan media

8Sentrifuse untuk tabung eppendorf 2 mlProses ekstraksi DNA

9Hot plate magnetic stirrerPembuatan buffer, gel, dll

10VortexPengocok

11Micropipette ukuran 1-10 (LPencampuran reagen PCR

12Micropipette ukuran 2- 20 (LPencampuran reagen PCR

13Micropipette ukuran 20-100 (LPencampuran reagen PCR

14Micropipette ukuran 200-1000 (LPencampuran reagen PCR

15Refrigerator dua pintuPenyimpanan reagen PCR

16pH meterMengukur pH buffer, dll

17TimerAlarm

18Glasswares (Erlenmeyer, botol, dll)Penyiapan buffer, gel, dll

19Plasticwares (rak 2 & 0,2ml, pestle, cooler)Tempat tabung PCR

C. Alat Habis Pakai:

20Botol sampel (100 buah)Pengambilan sampel

21Tabung microtube 2mL (1000 buah)Ekstraksi DNA

22Tabung PCR microtube 0,2mL (1000 buah)Amplifikasi DNA

22Micropipette tip 10(L (putih, 1000 buah)Pencampuran reagen PCR

23Micropipette tip 100 (L (kuning, 1000 buah)Pencampuran reagen PCR

24Micropipette tip 1000 (L (biru, 1000 buah)Ekstraksi DNA

25Parafilm (1 pak)Tempat loading buffer

26Film Polaroid (untuk 100 lembar)Untuk dokumentasi

27Sarung tangan (4 pak)Menghindari kontaminasi

D. Bahan Habis Pakai:

28Alkohol 100% (PA 2,5 liter)Sampling & ekstraksi DNA

29DNA Extraction kits (100 sample)Ekstraksi DNA

30PCR detection kit (WSSV, TSV & KHV)Reagen amplifikasi DNA

31DNA marker 100 bp ladderPenanda berat molekul

32Agarose (100 g)Bahan pembuat gel

33Ethidium bromide (10 ml)Pewarna DNA

34Buffer TBE 10x (premix powder 12 L)Buffer elektroforesis

35Loading buffer (5 ml)Larutan pemberat ke well

36RNAse free water (10 mL)Pelarut bebas RNA

37Double distilled water (ddH2O 15 L)Pelarut dan pengencer

Formula dan Cara Pembuatan Buffer:

1. TE Buffer

Tris HCl 10 mM pH 8,0

EDTA 1 mM

Dibuat dalam dH2O, disimpan pada suhu 4oC

2. PCR Buffer 10x

100 mM Tris-HCl pH 8,3

500 mM KCl

10 mM MgCl2

0,01% gelatin (w/v)

Disimpan pada suhu -20oC

3. TBE Buffer 1x

Tris base

108 gram

Boric Acid 55 gram

EDTA 20 ml

dH2O 980 ml

pH 8,0

Dapat disimpan pada suhu ruang, tetapi harus dibuang bila terjadi presipitasi.

4. Loading Buffer

Glycerol

30%

Bromophenol Blue0,25%

Xylene Cyanol FF 0,25%

Dibuat dalam dH2O, disimpan pada suhu 4oC

No. sampel:

Tanggal :

Spesies :

Organ :

Pemilik :

Siklus I

94oC 30

Siklus II

56oC 30

74oC 30

Siklus III

3m

3m

Sentrifuse

Tempat Ekstraksi DNA Extraction Kits

Lemari Glassware

& Plasticware

Hotplate

Vortex

Autoclave

Pipet Vortex

pH meter

Ruang Amplifikasi DNA

(dilengkapi dengan sinar UV)

3m

Ruang Ekstraksi DNA

Mini spin

Analitical Balance

Mesin PCR

Lemari Media

Refrigerator

Waterbath

Lemari Arsip

Komputer & Printer

Ruang Analisa Hasil

(dilengkapi dengan sinar UV)

Elektroforesis

Fax

Meja

3m

Timer

Ruang Administrasi

Zat warna Et-Br

Kamera

Kursi tamu

UV trans

2m

3m

Pipet, Vortex & Minispin

PCR

waterbath

Alat glass

Elektroforesis

Hotplate

Kulkas

Ruang Analisa Hasil

(dilengkapi dengan sinar UV)

Lemari

pH meter

UV

Ruang Ekstraksi & Amplifikasi DNA

3,5m

Autoclave

Kamera

Analitical Balance

Et-Br

Sentrifus

Ekstraksi DNA