Proposal Tesis Ekonomi Regional

download Proposal Tesis Ekonomi Regional

of 25

description

Ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2004 sd 2014

Transcript of Proposal Tesis Ekonomi Regional

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2001-2013

Yoga Arad AtmajaFakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas LampungJl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, 35145e-mail : [email protected]

Abstrak : Tujuan penelitian ini untuk mengkaji disparitas pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Lampung periode tahun 2001-2013. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya keragaman potensi sumber daya alam dan kondisi demografi, perbedaan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang terdapat pada masing-masing kabupeten/kota di Provinsi Lampung. Metode analisis yang digunakan menliputi Indeks Williamson, Location Quotient (LQ), Shift Share dan Matriks Tipologi Klassen

Kata kunci : ketimpangan pembangunan, analisis ketimpangan, Provinsi Lampung.

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPenelitian terkait ketimpangan Pembangunan di berbagai kawasan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Herwin Mopanga tahun 2011, degan menggunakan variabel penelitian PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur; menyatakan bahwa terjadi ketimpangan antar kabupaten di Provinsi Gorontalo. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Hadi Sasana tahun 2009,penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki positif dan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan di kabupaten / kota tingkat di Provinsi Jawa. Penelitian ketimpangan pembangunan yang dilakukan oleh Zainal Arifin, Linda Tustiana Puspitawati dan Barika menunjukan hasil yang hampir sama yaitu ketimpangan antar daerah memiliki efek negatif dan signifikan terhadap kesejahteraan mansyarakat. Lampung sebagai salah satu provinsi yang terletak di ujung selatan pulau Sumatera juga tidak terlepas dari masalah ketimpangan distribusi pendapatan seperti yang dialami oleh daerah-daera lainnya di Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan BPS tahun 2013, secara administratif Provinsi Lampung terdiri dari 15 Kabupaten / Kota, 225 wilayah Kecamatan, dan 2.585 desa/kelurahan. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung sangat bervariasi akibat perbedaan potensi yang dimiliki. Kondisi ini mengindikasikan adanya tingkat ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota yang akan menyebabkan timbulnya disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di provinsi Lampung. Informasi terkait kondisi perekonomian suatu wilayah dapat diperoleh melalui kajian terhadap salah satu data dan indikator makro ekonoimi yang disebut sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kondisi yang dimaksud utamanya berkaitan dengan tingkat perekonomian wilayah, pertumbuhan ekonomi dan struktur ekonomi.Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata, seperti pada nilai PDRB Provinsi Lampung. Berdasarkan sumber data BPS tahun 2014 Dalam kurun waktu 2009-2013, PDRB atas dasar harga (adh), berlaku Provinsi Lampung mengalami kenaikan, dimana tahun 2009 tercatat Rp. 88.934,9 milyar dan tahun 2013 naik menjadi Rp. 164.393,4 milyar. Demikian halnya bila dilihat dari harga konstan 2000, nilai PDRB tersebut mengalami kenaikan dari Rp. 36.256,3 milyar (2009) menjadi Rp. 46.123,3 milyar (2013). Diantara 15 daerah otonom untuk tahun 2013, Kota Bandar Lampung merupakan daerah yang paling tinggi nilai PDRB-nya, sedangkan Pesisir Barat tercatat sebagai daerah dengan PDRB terendah.Dari besaran PDRB juga dapat diketahui nilai PDRB per kapita penduduk. PDRB per kapita Provinsi Lampung tahun 2009 sebesar Rp. 11,82 juta, naik menjadi Rp. 20,73 juta di tahun 2013. Bila dinilai adh konstan 2000, PDRB per kapita Lampung naik dari Rp. 4,82 juta (2009) menjadi Rp. 5,81 juta (2013). Diantara lima belas daerah otonom, maka penduduk Kota Bandar Lampung selama tahun 2009-2013 tercatat sebagai penerima rata-rata PDRB per kapita terbesar, sedangkan penduduk kabupaten Pesisir Barat sebagai penerima rata-rata PDRB per kapita terkecil.Selama kurun waktu 2009-2013 perekonomian Provinsi Lampung tumbuh, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,02 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi Lampung tahun 2013 sebesar 5,97 persen, menurun dibandingkan tahun 2012 (6,53 persen). Kondisi perekonomian Lampung di tahun-tahun sebelumnya juga cukup baik, yakni tumbuh sebesar 6,43 persen per tahun 2011; 5,88 persen tahun 2010 dan 5,26 persen di tahun 2009.Diantara lima belas daerah otonom untuk tahun 2013, Tanggamus tercatat sebagai daerah yang pertumbuhan ekonominya terbesar (8,08 persen). Sedangkan Kabupaten Pesisir Barat merupakan daerah dengan pertumbuhan terendah (4,35 persen). Perekonomian Lampung didominasi oleh empat sektor kegiatan ekonomi yakni sektor pertanian, perdagangan/Hotel/Restoran, Industri Pengolahan dan Pengangkutan/Komunikasi. Diantara daerah otonom yang ada untuk tahun 2013, penyumbang sektor pertanian terbesar adalah Kabupaten Lampung Tengah. Penyumbang sektor Industri Pengolahan, Perdagangan/Hotel/Restoran dan Jasa-jasa terbesar adalah Kota Bandar Lampung.Berdasarkan tinjaun ekonomi regional daerah otonom di Provinsi Lampung tahun 2013, yang diterbitkan oleh BPS Provinsi Lampung tahun 2013 menyatakan, hasil dari analisis kuadran untuk mengetahui keterbandingan capaian indikator pertumbuhan dan PDRB per kapita antara daerah otonom dan Provinsi tahun 2013 diketahui sebagai berikut; Kabupaten Mesuji dan Kota Bandar Lampung tercatat sebagai daerah otonom yang laju pertumbuhan dan PDRB perkapitanya lebih tinggi dari Provinsi. Kabupaten Tanggamus, Lampung selatan, Lampung Tengah, Pringsewu dan Metro tercatat sebagai daerah otonom yang laju pertumbuhanya lebih tinggi dari Provinsi, tetapi PDRB per kapitanya rendah. Kabupaten Lampung Barat, Lampung Timur, Way Kanan, Pesawaran dan Pesisir Barat tercatat sebagai daerah otonom yang laju pertumbuhan dan PDRB per kapitanya legih rendah dari Provinsi. Kabupaten Lampung Utara, Tulang Bawang dan Tulang Bawang Barat tercatat sebagai daerah otonom yang laju pertumbuhanya lebih rendah dari Provinsi, tetapi PDRB perkapitanya tinggi.Terjadinya ketimpangan antar Wilayah di Provinsi Lampung merupakan suatu hal yang perlu dicermati. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan yang berupa pemanfaatan berbagai sektor basis dari beberapa kabupaten/kota di Provinsi Lampung dalam rangka memajukan perekonomian daerah.Dari latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian dengan judul ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2001-2013.

1.2. Rumusan MasalahDisparitas pembangunan ekonomi terlihat dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak bersinergi dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan pedesaan (trickling down effects), justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan (backwash effects). Pemanfaatan berbagai sektor ekonomi sebagai basis pertumbuhan ekonomi kurang dapat dioptimalkan sebagai penggerak pendapatan per kapita masyarakat di wilayah tertinggal dikarenakan keuntungan sektor basis hanya di nikmati oleh pemegang modal. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi disparitas ekonomi antar wilayah di Provinsi Lampung. Dari pemaparan diatas dapat di diketahui rumusan masalah sebagai berikut :1. Pendapatan per kapita Provinsi Lampung memang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak menunjukkan bahwa pendapatan di nikmati kabupaten/kota lainya.2. Peran pemerintah meningkatkan sektor basis untuk dapat menyerap tenaga kerja sebagai strategi menambah pendapatan per kapita, namun hanya beberapa sektor saja yang dapat di andalkan.3. Keunggulan kompetitif daerah sebagai sektor unggulan dapat menggerakan perekonomi daerah namun keberadaan industri kompetitif terkonsentrasi pada daerah perkotaan.4. Pertumbuhan di berbagai sektor ekonomi daerah dan pendapatan perkapita seharusnya berada pada sumbu yang sama yaitu daerah cepat maju dan cepat tumbuh sehingga pembangunan dapat dirasakan untuk kesejahteraan masyarakat, namun terjadi ketidak merataan pembangunan daerah.

1.3 Tujuan PenelitianBerdasarkan konsep penelitian penulis ingin menganalisa disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah di Propinsi Lampung. Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk memberikan nilai lebih pada pelaksanaan perencanaan pembangunan di provinsi Lampung. Adapun rincian tujuan penelitian adalah sebagai berikut:1. Untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Lampung.2. Untuk mengetahui keunggulan komparatif yang dimiliki suatu sektor ekonomi di suatu wilayah di Provinsi Lampung.3. Untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran atau peranan perekonomian di suatu wilayah di Provinsi Lampung4. Untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah

1.4 Manfaat PenelitianAdapun manfaat penelitian yang dilakukan dalah sebagai berikut : 1. Bagi Pemerintah Daerah dapat digunakan sebagai pertimbangan alternatif untuk menyusun kebijakan ekonomi daerah dan sebagai sumber informasi tentang kinerja masing - masing sektor serta mengambil kebijakan atas terjadinya ketimpangan. 2. Bagi ilmu pengetahuan adalah untuk menambah bahan studi kepustakaan tentang pertumbuhan ekonomi sebagai dasar pertimbangan studi selanjutnya dimana penggabungan metodologi LQ dan Shift Share dapat digunakan guna menentukan prioritas sektor basis, sedangkan Indeks Williamson digunakan sebagai alat ukur atas terjadinya ketimpangan antar daerah serta korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan. Dan Tipologi Klassen untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah.3. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis yang di peroleh selama perkuliahan terutama yang berkaitan dengan penerapan aplikasi ilmu ekonomi.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pertumbuhan ekonomi, teori pertumbuhan ekonomi, dan hubungan antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi

2.1 Pengertian Pertumbuhan EkonomiSalah satu indikator yang sangat penting dalam menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya, pembangunan konomi dan pertumbuhan ekonomi mempunyai makna yang berbeda. Pembangunan ekonomi ada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh sistem kelembagaan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan gross domestic product (GDP) / gross national product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah pertumbuhan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999 : 147). Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan kenaikan output per kapita, yaitu sisi output totalnya (gross domestic product / GDP) dan jumlah penduduknya. Output per kapita ialah output total dibagi dengan jumlah penduduk. Proses kenaikan output per kapita dianalisis dengan cara melihat apa yang terjadi dengan output total di suatu pihak, dan jumlah penduduk di lain pihak. Menurut pandangan para ekonom klasik (Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus, dan John Stuart Mill), maupun pandangan ekonom neoklasik (Robert Solow dan Trevor Swan), pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi yang digunakan (Suryana, 2000 : 53-57). Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang telah dicapai pada masa sebelumnya. Proses pembangunan ekonomi di pengaruhi oleh suatu kombinasi yang kompleks dari sejumlah faktor ekonomi, sosial termasuk pendidikan dan ketrampilan, demografi, geografi, politik, kebijakan ekonomi, dan faktor lainnya. Di dalam teorti pertumbuhan ekonomi, faktor faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah bisa dikelompokkan menjadi faktor dari sisi penawaran, seperti kemajuan teknologi, peningkatan sumber daya manusia, penemuan material baru, dan dari sisi permintaan, seperti peningkatan pendapatan dan perubahan selera konsumen.

2.2 Ketimpangan Pembangunan Antar WilayahProses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan (Riadi, 2007 : 2). Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, kesenjangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.Menurut Raksaka Mahi (2001 : 30), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999 dalam Pakpahan, 2009 : 26). Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah (Mudrajat Kuncoro, 2004 : 43) seperti dijelaskan dibawah ini :Terdapatnya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya alam pada masing-masing daerah akan mendorong timbulnya ketimpangan antar daerah. Kandungan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, atau kesuburan lahan tentunya mempengaruhi proses pembangunan di masing-masing daerah. Ada daerah yang memiliki minyak dan gas alam, tetapi daerah lain tidak memilikinya. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang cukup besar, tetapi daerah tidak ada. Demikian pula halnya dengan tingkat kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah. Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya yang relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam yang lebih rendah. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain. Faktor utama lain yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan antar daerah adalah jika terdapat perbedaan kondisi demografi yang cukup besar antar daerah. Kondisi demografi meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan tingkah laku masyarakat daerah tersebut. Perbedaan kondisi demografi ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan antar daerah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografi yang baik akan cenderung memiliki produktivias kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografinya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah.Mobilitas barang dan jasa (perdagangan) antar daerah jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Sebagaimana kita ketahui bahwa bila kegiatan perdagangan (baik internasional maupun antar wilayah) kurang lancar maka proses penyamaan harga faktor produksi (Factor Price Equilization) akan terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Bila mobilitas barang tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja di suatu daerah yang tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkan. Akibatnya, ketimpangan antar daerah akan cenderung tinggi. Mobilitas barang dan jasa ini mengacu pada penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas di dalam suatu daerah, seperti : jalan, jembatan, alat transportasi baik darat, laut maupun udara dan lain-lain.Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar daerah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendahPertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula, apabila konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadinya pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat menarik lebih banyak investasi pemerintah dan swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan tenaga kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Demikian juga sebaliknya terjadi bila investasi pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah ternyatalebih rendah.Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan antardaerah cenderung tinggi. Akan tetapi sebaliknya bilamana sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar daerah akan cenderung lebih rendah. Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam hal ini kekuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah, sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan pula oleh ongkos transportasi baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsenstrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk ke dalam keuntungan lokasi ini adalah keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana investasi cenderung lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kondisi ini menyebabkan perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah pedesaan.

2.3 Dampak Ketimpangan Pembangunan Ekonomi DaerahKetimpangan pembangunan telah memberikan berbagai dampak terhadap daerah dan masyarakat. Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut sumber bappenas 2013 adalah : Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain : Terbatasnya akses trasnportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif maju. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia. Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah secara langsung. Belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini. Banyak wilayah-wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, antara lain: adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasaan di daerah. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah. Masih lemahnya koordinasi, sinergi dan kerja sama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah dan masyarakat serta antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan.Serta masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah. Serta belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan. Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat, karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang, wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang.Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wiayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan illegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan sosial. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan daerah. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah. Sementara itu daerah-daerah pedalaman yang ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar pemerintah. Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh : (a) investasi ekonomicenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan; (b) kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi di pedesaan; (c) peran kota yang diharapakan dapat mendorong perkembangan pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan. Dampak utama dari ketimpangan pembangunan adalah pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dampak ini merupakan dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan kurangnya investasi baik dari pemerintah maupun swasta, dan mengakibatkan terjadinya pengangguran. Jika pengangguran terjadi maka biasanya disusul terjadinya kemiskinan. Kemiskinan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (generasi berikutnya) cenderung rendah, karena terbatasnya kemampuan untuk menikmati pendidikan akibat rendahnya pendapatan masyarakat bahkan cenderung tidak ada sama sekali, sehingga masyarakat lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan yang paling krusial yaitu makanan dan minuman.

2.4 Penelitian TerdahuluDikutip berdasarkan jurnal penelitian yang berhubungan dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah di berbagai kawasan di Indonesia. Penelitian oleh Paidi Hidayat, SE, Msi dan DRA. Raina Linda Sari, tentang Analisis Ketimpangan Antar Kabupaten/Kota Pemekaran Di Sumatera Utara, menggunakan data time series yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara untuk kurun waktu 2001-2006. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat analisis tipologi daerah (Klassen Typology) dan Indeks Williamson. Berdasarkan hasil analisis, maka disimpulkan bahwa: (1) Daerah pemekaran di Sumatera Utara yang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi adalah Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Samosir dan Kota Padang Sidimpuan memiliki pertumbuhan yang rendah dan masih dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. (2) Struktur ekonomi kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara masih didominasi oleh sektor primer (sektor pertanian dan sektor pertambangan/penggalian) kecuali Kabupaten Toba Samosir (sektor industri) dan Kota Padang Sidimpuan (sektor jasa-jasa). (3) Berdasarkan pola pembangunan ekonominya, daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Samosir merupakan daerah maju tapi tertekan. Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Mandailing Natal adalah daerah berkembang cepat. Sementara Kabupaten Nias Selatan dan Kota Padang Sidimpuan merupakan daerah pemekaran yang relatif tertinggal. (4) Bahwa ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara relative kecil atau lebih merata dengan angka Indeks Williamson sebesar 0,031. Penelitian yang dilakukan RM. Riadi melakukan penelitian tentang Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau menggunakan data time series dari tahun 2003-2005. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, Sistem Kuadran dan Hipotesi Kuznets. Dari hasil penelitian disimpukan bahwa hanya Kota Pekanbaru yang temasuk dalam Kuadran I (high growth and high income). Daerah yang dikategorikan ke dalam tumbuh cepat tetapi rendah pendapatan adalah Kabupaten Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Siak. Indragiri Hilir, Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar dapat dikategorikan ke dalah tinggi pendapatan tetapi tumbuh lambat, sementara daerah yang dikategorikan ke dalam rendah pendapatan dan tumbuh lambat adalah Rokan Hilir, Dumai dan Bengkalis. Selama periode pengamatan 2003-2005, terjadi ketimpangan pembangunan yang tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson, sedangkan berdasarkan Indeks Entropi Theil, ketimpangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadi pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan. Sebagai akibatnya tidak terbuktinya hipotesis Kuznets di Provinsi Riau yang mengatakan adanya kurva U terbalik. Menurut jurnal penelitian yang dilakukan Herwin Mopangga pada tahun 2011 tentang Analisis ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo menggunakan data time series dari tahun 2001 sampai dengan 2008. Bersumber dari Paper Refleksi Sewindu Pembangunan Gorontalo, Wakil Gubernur Gorontalo, 2008. Variabel yang digunakan ketidakseimbangan pembangunan yang dihasilkan dari ketidakseimbangan proporsional dalam PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur. Alat analisis menggunakan Shift Share dan matriks Tipologi Klassen untuk menjelaskan struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo. Pendekatan kuantitatif menggunakan teknik ekonometrik dengan model regresi berganda unbalanced panel. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa Kabupaten Pohuwato dan Gorontalo Kota memiliki ekonomi yang kompetitif, termasuk di Kuadran I pada matriks tipologi Klassen (pertumbuhan yang tinggi dan berpenghasilan tinggi), sementara Boalemo, Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango di Kuadran III (pertumbuhan rendah dan berpenghasilan rendah). Secara simultan dan parsial, perbedaan semua variabel independen yang signifikan sebagai sumber utama ketidaksetaraan.Penelitian oleh Lisna Pakpahan pada tahun 2009, tentang Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten Tapanuli Utara dengan Kabupaten Deli Serdang, menggunakan data time series dari tahun 1993-2007 dan menggunakan alat analisis Indeks Williamson dan Location Quotient. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadi ketimpangan pembangunan antar Kabupaten Tapanuli utara dengan Kabupaten Deli Serdang. Ketimpangan di Tapanuli utara tergolong rendah (mendekati 0) yang artinya ketimpangan yang terjadi di kabupaten Tapanuli Utara tidak terlalu besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar 0,074766 dan terendah pada tahun 2002 sebesar 0,046222. Begitu juga ketimpangan di Deli Serdang tergolong relatif kecil menurut standard ketimpangan yaitu 0-1 karena nilai IW Deli Serdang hanya berkisar 0,167921 yang artinya masih cenderung mendekati 0, akan tetapi apabila dibandingkan dengan nilai IW Tapanuli Utara, nilai IW Deli Serdang relative besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 0,167921 sedangkan ketimpangan terendah terjadi pada tahun 1997 sebesar 0,096482. Selain itu berdasarkan analisis LQ terlihat bahwa sektor yang potensial di Kabupaten Tapanuli Utara adalah sektor pertanian, sedangkan di Kabupaten Deli Serdang sektor yang potensial adalah sektor industri/manufaktur. Penelitian oleh Lisna Pakpahan pada tahun 2009, tentang Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten Tapanuli Utara dengan Kabupaten Deli Serdang, menggunakan data time series dari tahun 1993-2007 dan menggunakan alat analisis Indeks Williamson dan Location Quotient. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadi ketimpangan pembangunan antar Kabupaten Tapanuli utara dengan Kabupaten Deli Serdang. Ketimpangan di Tapanuli utara tergolong rendah (mendekati 0) yang artinya ketimpangan yang terjadi di kabupaten Tapanuli Utara tidak terlalu besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar 0,074766 dan terendah pada tahun 2002 sebesar 0,046222. Begitu juga ketimpangan di Deli Serdang tergolong relatif kecil menurut standard ketimpangan yaitu 0-1 karena nilai IW Deli Serdang hanya berkisar 0,167921 yang artinya masih cenderung mendekati 0, akan tetapi apabila dibandingkan dengan nilai IW Tapanuli Utara, nilai IW Deli Serdang relative besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 0,167921 sedangkan ketimpangan terendah terjadi pada tahun 1997 sebesar 0,096482. Selain itu berdasarkan analisis LQ terlihat bahwa sektor yang potensial di Kabupaten Tapanuli Utara

2.5 Kerangka PemikiranPada dasarnya pembangunan merupakan perubahan variabel-variabel seperti penduduk, pendapatan perkapita, ouput selama kurun waktu tertentu dalam suatu daerah yang dibatasi secara jelas. Namun dalam proses pembangunan ekonomi masalah percepatan pertumbuhan ekonomi antar daerah adalah berbeda, sehingga mengakibatkan ketimpangan regional yang tidak dapat dihindari mengingat adanya perbedaan kekayaan sumber daya yang berbeda antar daerah dan dasar pelaksanaan pembangunan itu sendiri serta konsentrasi yang berbeda. Bagi daerah yang terlebih dulu membangun sudah barang tentu lebih banyak menyediakan sarana dan prasarana misalkan iklim usaha yang baik, jasa perbankan yang baik, sehingga menarik minat investor untuk mengadakan investasi. Proses tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan pembangunan antar daerah sebenarnya akibat dari proses pembangunan itu sendiri.Berdasarkan atas penyebab ketimpangan regional dan tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah dari tahun ke tahun cenderung melebar maka dapat diambil suatu kerangkan pemikiran penelitian yakni ketimpangan pembangunan ekonomi yang dipengaruhi oleh disparitas antar wilayah dilihat dari nilai PDRB, disparitas antar sektor ekonomi dan pendapatan per kapita masyarakat. Investasi swasta berupa penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing antar daerah dapat mempengaruhi secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Lampung. Artinya dengan adananya peningkatan insvestasi swasta akan mengakibatkan kegiatan ekonomi dan peningkatan kemakmuran penduduk sehingga ketimpangan akan menurun. Jumlah angkatan kerja yang ada dapat mempengaruhi tingkat ketimpangan. Dengan adanya angkatan kerja yang meningkat berarti ada kenaikan kegitan ekonomi dan tingkat kemakmuran, sehingga ketimpangan mengalami penurunan. Jumlah angkatan kerja mempunyai pengaruh secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi. Berarti semakin meningkat angkatan kerja akan menurunkan ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Lampung. Dengan dibukanya lapangan kerja baru tentu akan menyerap tenaga kerja baru sehingga jumlah angkatan kerja mengalami kenaikan. Sehingga ada penyerapan angkatan kerja ini yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga permintaan barang dan jasa lebih besar yang kemudian mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak lagi dan seterusnya, dengan demikian kegiatan ekonomi akan berjalan dengan baik dan ketimpangan ekonomi akan menurun. Keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Namun pada kenyataannya potensi dan pemanfaatan sumber daya tersebut bervariasi antar wilayah. Dengan demikian tidak mengherankan bila keberhasilan pembangunan antar daerah berbeda-beda. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah, misal dengan memberikan bantuan kepada daerah untuk mempercepat pembangunan daerah. Alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan pengeluaran pembangunan pemerintah pusat ke daerah kabupaten/kota. Berdasarkan uraian dari kerangkan pemikiran maka hubungan antara variabel idependen (bebas) dengan variabel dependen (terikat) dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Hubungan tiga variabel idependen terhadap Ketimpangan PembangunanEkonomi di Provinsi Lampung dan analisisnya.

Sektor lapangan kerja (X2 )Pertumbuhan Ekonomi kab/Kota (X1)Pendapatan per kapita (X3)Ketimpangan pembangunan ekonomi (Y)Matriks Tipologi kassenKlassenLQ & Shift ShareIndek Williamson (Iw)

2.10 HipotesisBerdasarkan teori dan hubungan antara tujuan penelitian, kerangka pemikiran terhadap rumusan masalah, maka hipotesis atau jawaban sementara dari penelitian ini adalah sebagai berikut :a) Diduga terdapat hubungan negatif antara nilai PDRB dengan ketimpangan wilayah di Provinsi Lampungb) Diduga terdapat hubungan positif antara ketersedian lapangan usaha terhadap kesejah teraan kabupaten/kotac) Diduga terdapat hubungan negatif antara pendapatan per kapita dengan ketimpangan wilayahd) Diduga terdapat perbedaan tingkat ketimpangan antar daerah di Provinsi Lampung

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1 Jenis PenelitianPenelitian ini di lakukan dengan pendekatan kuantitatif yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2012: 7).

3.2 Waktu dan Tempat PenelitianWaktu PenelitianPenelitian akan dilaksanakan pada Agustus sd November 2015Tempat PenelitianPenelitian dilakukan di Provinsi Lampung terdapat 10 Kabupaten/Kota sebagai objek penelitian. Data kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah dipublikasikan oleh BPS Provinsi Lampung, Bappenas dan Lokasi terkait kepentingan penelitian di Provinsi Lampung.

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Definisi operasional pada penelitian adalah unsur penelitian yang terkait dengan variabel yang terdapat dalam judul penelitian atau yang tercakup dalam paradigma penelitian sesuai dengan hasil perumusan masalah. Teori ini dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab ( J.Supranto,hal 322,2003 ). Definisi operasional pada penelitian adalah unsur penelitian memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel ( Singarimbun, hal 25, 1995 ), adapun variabel penelitiannya sebagai berikut:3.3.1 Variabel Bebas ( X ) Variabel independent (bebas) atau Predictor (Peramal) adalah variabel yang dipergunakan untuk memperkirakan ( J.Supranto, hal 156, 2003 ). Variabel penelitian yang akan dibahas dalam penelitian ini diantaranya menyangkut dimensi kualitas, dimana kualitas adalah keseluruhan kesan yang diterima konsumen berdasarkan leaflet dan iklan-iklan promosi lainnya yang diberikan oleh pihak pengembang yang diukur berdasarkan hasil yang sesungguhnya diterima oleh konsumen dengan menggunakan indikator sebagai berikut : 3.3.1.1 Spesifikasi Ruko ( X1 ) Spesifikasi ruko ini merupakan wujud berupa fisik bangunan dari apa yang telah ditawarkan oleh pengembang kepada konsumen.3.1.1.2 Fasilitas Penunjang ( X 2 ) Fasilitas penunjang merupakan kelengkapan yang ada disekitar komplek ruko, yang ditawarkan berdasar promosi dari pengembang. 3.1.1.3 Lokasi Bangunan Ruko ( X3 ) Lokasi bangunan ruko merupakan salah satu faktor konsumen memilih sebuah ruko, tentunya dengan alasan masing-masing konsumen. 3.1.2 Variabel Terikat ( Y ) Variabel terikat ( dependent )/ Variabel tidak bebas adalah variabel yang nilainya akan diperkirakan/diramalkan ( J.Supranto, hal 156, 2003 ). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepuasan konsumen, dimana kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan hasil yang ia rasakan dengan harapannya. 3.1.2.1 Variabel Dengan Teknik ( Structure Equation Model ) Beberapa variabel operasional yang menggunakan teknik SEM adalah sebagai berikut : 3.1.2.2 Variabel Terukur ( Measurment Variable ) Adalah variabel yang sumber datanya diperoleh dari penelitian lapangan misalnya melalui instrument instrument survey Variabel ini digambarkan dalam bentuk segi empat atau bujur sangkar dan didalamnya terdapat variable bebas ( X ) seperti X1, X2, dan X3. 3.1.2.3 Faktor ( Constructs Variabel ) Adalah sebuah variable bentukan , yang dibentuk melalui indicator indicator yang diamati di lapangan. Variabel ini disebut juga dengan variabel latent atau constructs variables. Faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar atau oval dan didalamnya terdapat variable terikat ( Y )3.1.2.4 Hubungan Antar Variabel Hubungan ini dinyatakan melalui garis anak panah baik satu arah maupun dua arah. Apabila tidak ada garis berarti tidak hubungan langsung yang di hipotesakan 3.2 Populasi dan Sampel 3.2.2 Populasi Populasi diartikan sebagai kumpulan dari unit-unit elementer atau Populasi adalah kumpulan dari ukuran-ukuran tentang sesuatu yang ingin kita buat referensi ( Moh. Nazir, hal 327,1988 ). Populasi dalam penelitian ini adalah pemilik ruko atau penghuni yang menempati ruko tersebut. Populasi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan obyek penelitian apabila seseorang akan meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi ( Suharsini Arikunto, hal 108, 2002 ). Dari definisi uraian populasi diatas kita memakai referensi populasi Moh. Nazir hal 327, 1988. 3.2.2 Sampel Sampel diartikan sebagai metode pengumpulan data dengan jalan mencatat sebagian kecil dari populasi ( J.Supranto, hal 68, 2003 ). Sampel adalah kumpulan dari unit sampling ( Moh. Nasir, hal 328,1988 ). Adapun pengertian lain dari sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti ( Suharsini Arikunto, hal 108, 2002 ). Dari berbagai referensi diatas maka dalam penelitian ini menggunakan rumus dari Moh. Nazir dengan pengertian bahwa kita mempunyai sampel kurang dari 30 kuisioner, maka: 1. Sampel kecil Jika sampel kecil, dimana jumlah pengamatan dalam sampel kurang dari 30 ( Moh. Nasir, hal 457, 1988 ). Dengan estimasi terhadap mean populasi adalah sebagai berikut :Estimasi terhadap populasi u, adalh mean dari sampel : u = X Error estimasi pada suatu probabilitas adalah : E = n s tc . Dimana tc dapat dilihat pada table distribusi t pada lampiran 5 1)dengan degree or freedom (df) = n 1 Interval estimasi adalah : U < X + E atau u < X + t . n 1 s U > X - E atau u < X - t . n 1 s 3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data dibagi dalam dua macam data yaitu : 3.3.1. Data Primer Data primer yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan atau suatu organisasi langsung melalui obyeknya (J. Supranto, hal 120, 1997 ), metodenya dilakukan dengan cara : 3.3.1.1 Metode Wawancara ( Interview ) Wawancara atau interview adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan tanya jawab dengan responden. Dengan wawancara diharapkan mendapatkan informasi yang sebenarnya mengenai spesifikasi ruko, fasilitas penunjang ruko dan lokasi bangunan ruko yang dapat melengkapi penelitian ini. 3.3.1.2 Metode Observasi ( Pengamatan ) Observasi adalah pengamatan langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti. Dalam penyusunan laporan ini data yang didapat akan dijadikan perbandingan dari apa yang telah disampaikan oleh responden dan pengembang.3.3.1.3 Metode kuisioner Metode kuisioner berupa sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden. Dalam penelitian ini kuisioner di bagikan kepada pemilik ruko atau yang menempati ruko sebagai responden. Adapun alasan yang digunakan dalam metode kuisioner ini sebagai alat pengumpul data dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Interprestasi subyek terhadap pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah sesuai dengan maksud peneliti. 2. Dalam menjawab pertanyaan responden dapat lebih leluasa, karena tidak dipengaruhi oleh sikap mental hubungan antar responden dengan peneliti. 3. Data yang terkumpul dapat dengan mudah dianalisa, masing-masing jawaban akan diberi skala nilai sesuai dengan pilihan jawaban. Dalam penelitian ini menggunakan data primer yaitu metode kuisioner dengan menyebar kuisioner ke responden yang menempati ruko atau ke pemilik ruko. 3.3.2 Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari literatur, studi kepustakaan, jurnal-jurnal penelitian yang berhubungan dan mendukung penelitian, serta leaflet dari Ruko Peterongan Plasa atau ruko yang berada di wilayah Semarang Selatan. 3.4 Metode Analisis Setelah melakukan pengumpulan data, tahap berikutnya adalah menganalisis data tersebut dengan menggunakan SEM ( Structural Equation Modelling ) dengan aplikasi program AMOS ver 5. Dalam penelitian ini menggunakan analisis data yaitu 3.4.1 Analisis Kuantitatif Digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari angka-angka. Karena pengolahan data menggunakan statistik, maka data tersebut harus diklasifikasikan dalam kategori tertentu dengan menggunakan tabel-tabel tertentu, untuk mempermudah dalam menganalisis data maka digunakan Program Analisis Data dengan menggunakan SEM ( Sructural Equation Modelling ) dengan aplikasi program AMOS Ver 5.0 3.4.2. Langkah-langkah Analisis 3.4.2.1. Analisis Masing- masing Variabel Bebas Dengan menganalisis semua pertanyaan pada variabel bebas sehingga diperoleh hasil uji hipotesa. Apabila hasil uji hipoetsa tidakmemenuhi persyaratan Indeks Kelayakan. Maka perlu dianalisis dengan metode Confirmatory Factor Analisys ( CFA ). Caranya mengeliminasi pertanyaan pertanyaan yang hasilnya kurang mendukung variabel Bebas dengan memepertimbangkan besarnya regresi masing masing pertanyaan sehingga pertanyaan pertanyaan yang tidak dieliminasi mempunyai selisih besarnya regresi yang tidak mencolok. 3.4.2.2.Analisis Kepuasan Variabel Bebas Terhadap Kepuasan Konsumen Analisis ini memasukkan satu variabel bebas yang didukung oleh pertanyaan pertanyaan yang sudah dieliminasi kemudian dianalisis terhadap variabel independen yang didukung oleh pertanyaan pertanyaan yang sudah dieliminasi. Kemudian didapat hasil analisis tersebut. Metode ini maksudnya memperoleh hasil yang berasal dari satu variabel bebas. 3.4.2.3 Analisis Full Struktural Analisis ini memasukkan semua variabel bebas yang didukung oleh pertanyaan pertanyaan yang sudah dieliminasi kemudian dianalisis terhadap variabel independen yang didukung oleh pertanyaan pertanyaan yang sudah dieliminasi. Kemudian didapat hasil analisis tersebut. Metode ini maksudnya memperoleh hasil yang berasal dari semua variabel bebas. Dan dengan metode ini bisa dilihat dari hasil analisis variabel bebas mana yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap variabel independen.. Menurut J. Supranto ( hal 151, 2003 ) pengolahan data dengan analisis kuantitatif ini melalui kegiatan-kegiatan yang meliputi :1. Editing Terhadap Questionnaire yang telah diisi Yaitu mencari kesalahan-kesalahan di dalam questionnaire tersebut misalnya adanya ketidak serasian (in-consistency) di dalam pengisian questionnaire. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan yaitu : 1. Kesesuaian jawaban dengan pertanyaan yang diajukan. 2. Kelengkapan pengisian daftar pertanyaan. 3. Konsistensi jawaban responden 2. Coding Yaitu Pemberian angka-angka tertentu terhadap kolom-kolom tertentu yang menyangkut keterangan tertentu pula atau Proses pemberian kode tertentu terhadap aneka ragam jawaban dari kuisioner untuk dikelompokan dalam kategori yang sama. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan jawaban. 3. Scoring Yaitu pemberian nilai berupa angka pada jawaban pertanyaan untuk memperoleh data kuantitatif. Dalam penelitian ini urutan pemberian skor berdasarkan tingkatan jawaban yang diterima dari responden ( J. Supranto, hal 402, 2003 ), yaitu : 1. Untuk jawaban sangat setuju mendapat skor 5 2. Untuk jawaban setuju mendapat skor 4 3. Untuk jawaban ragu-ragu mendapat skor 3 4. Untuk jawaban tidak setuju mendapat skor 2 5. Untuk jawaban sangat tidak setuju mendapat skor 1 4. Tabulating Yaitu pengelompokan data atas jawaban-jawaban dengan teratur dan teliti, kemudian dihitung dan dijumlahkan dan disajikan dalam bentuk tabel. Berdasar tabel tersebut akan dipakai untuk membuat data agar didapat hubungan atau pengaruh antara variabel-variabel yang telah ada. Dari berbagai analisa kuantitatif diatas peneliti mengolah data dengan menggunakan teknik Scoring untuk memberi nilai pada jawaban kuisioner. 3.4.3 Uji Kesesuaian dan Uji Statistik Dalam analisis SEM tidak ada alat uji statistik tunggal untuk mengukur atau menguji hipotesis mengenai model ( Hair et al, 1995, Joreskog & Sorbom, 1989, Long, 1983, Tabachnick & Fidell, 1996 ). Umumnya terhadap berbagai jenis fit index yang digunakan untuk mengukur derajat kesesuaian antara model yang dihipotesakan dengan data yang disajikan. Peneliti diharapkan untuk melakukan pengujian dengan menggunakan beberapa fit indeks untuk mengukur kebenaran model yang diajukan. Berikut ini disajikan beberapa indeks kesesuaian dan out-off valuenya untuk digunakan dalam menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak ( Augusty Ferdinand, hal 51, 2000 ). 3.4.3.1 2 - CHI -SQUARE STATISTIC Alat uji paling fundamental untuk mengukur overall fit adalah likehood ratio Chi-square statistic. Model yang diuji akan dipandang baik atau memuaskan bila chi-squareny rendah. Semakin kecil nilai 2 semakin baik model itu ( karena dalam uji beda chi-square, 2 =0,berarti benarbenar tidak ada perbedaan, H0 diterima ) dan diterima berdasarkan probabilitas dengan out-off value sebesar 0.05 atau 0.10 ( Hulland et al, 1996 ). Karena tujuan analisis adalah mengembangkan dan menguji sebuah model yang sesuai dengan data atau yang fit terhadap data, maka yang dibutuhkan justru sebuah nilai 2 yang tidak signifikan, menguji hipotesa nol bahwa estimated population covariance tidak sama dengan sampel covariance. 3.4.3.2 RMSEA ( The Root Mean Square Error of Approximation ) RMSEA adalah sebuah indeks yang dapat digunakan untuk mengkompensasi chi-square statistic dalam sample yang besar ( Baumgartner & Homburg, 1996 ). Nilai RMSEA menunjukan goodness-of-fit yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam populasi ( Hair et al. 1995 ). Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0.08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu berdasarkan degrees of freedom ( Browne & Cudeck, 1993 ). 3.4.3.3 GFI ( Goodness of Fit Index ) Indeks kesesuaian ( fit index ) ini akan menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sample yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan ( Bentler, 1983, Tanaka & Huba, 1989 ). Indeks ini dihasilkan melalui rumus sebagai berikut : GFI = ( ) tr( ) s Ws tr W 1 1 Dimana penyebut ( numerator ) adalah jumlah varians tertimbang kuadrat dari matriks kovarians model yang diestimasi, sementara pembilang ( denumerator ) adalah jumlah varians tertimbang kuadrat dari matriks kovarians sample. W adalah matriks bobot yang dipilih sesuai dengan metode estimasi yang dipilih. GFI adalah sebuah ukuran non-statistikal yang mempunyai rentang nilai antara 0 ( poor fit ) sampai dengan 1.0 ( perfect fit ). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah better fit . 3.4.3.4 AGFI ( Adjusted Goodness of Fit Index ) Tanaka & Huba ( 1989 ) menyatakan bahwa GFI adalah analog dari R2 dalam regresi berganda. Fit Index ini dapat diadjust terhadap degress of freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model ( Arbuckle, 1999 ). Indeks ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut : AGFI = ( ) d d GFI b 1 1 Dimana db = = G g g P 1 0( ) = jumlah-sampel-moments d = degress-of-freedom Tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila AGFI mempunyai nilai sama dengan atau lebih besar dari 0.09 ( Hair et al., 1995; Hullard et al., 1996 ). Perlu diketahui bahwa baik GFI maupun AGFI adalah kriteria yang memperhitungkan proporsi tertimbang dari varians dalam sebuah matriks kovarians sample. Nilai sebesar 0.95 dapat diintepretasikan sebagai tingkatan yang baik-good overall model fit ( baik ) sedangkan besaran nilai antara 0.09 0.95 menunjukan tingkatan cukup adequate fit ( Hulland et al., 1996 ). 3.4.3.5 CMIN / DF The minimum sample discrepancy function ( CMIN ) dibagi dengan degree of freedom akan menghasilkan indeks CMIN / DF, yang umumnya dilaporkan oleh para peneliti sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat fitnya sebuah model. Dalam hal ini CMIN / DF tidak lain adalah statistic chi-square, 2 dibagi DFnya sehingga disebut 2 -relatif . Nilai 2 -relatif kurang dari 2.0 atau bahkan kadang kurang dari 3.0 indikasi dari acceptable fit antara model dan data ( Arbuckle, 1997 ). 3.4.3.6 Analisa Regresi Berganda Analisis ini dimaksudkan untuk menguji pengaruh variabel-variabel bebas yang dipilih dalam penelitian ini terhadap dua atau lebih variabel terikat. Dalam penelitian ini pengujian regresi linear berganda dilakukan dengan bantuan program SEM ( Structural Equation Modelling ). Bentuk model regresi linear berganda ditulis dalam persamaan ( Burhan Nurgiyantoro, Gunawan, Marzuki, hal 253, 2002 ): Y = + 1X1 + 2 X 2 + 3X3 Dimana : Y : Kepuasan konsumen X3 : Variabel lokasi ruko : Konstanta : koefisien X1 : Variabel spesifikasi ruko X 2 : Variabel fasilitas penunjang

3.4.4 Skema Kegiatan Penelitian Skema bagan alir dalam penyusunan penelitian kepuasan konsumen dapat dilihat dalam gambar dibawah ini :

3.4 Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian3.4.1 Variabel PenelitianVariabel penelitian menurut Sugiyono (2006, p.31), Sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulanya.Dalam penulisan ini penulis menggunakan penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Penelitian ini mempunyai hubungan casual (sebab-akibat) yaitu pengaruh nilai PDRB kabupaten/kota (X1), sektor pembangunan ekonomi (X2) dan pendapatan per kapita (X3) terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi (Y) di Provinsi Lampung.

3.4.2 Variabel DependenDalam bahasa Indonesia sering disebut variable terikat. Variabel terikat disimbolkan dengan Y. Variabel terikat adalah variable yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variable bebas. Pada penulisan ini variable terikat adalah ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Lampung.

3.4.3 Variabel IndependenDalam bahasa Indonesia sering disebut variable bebas. Variabel bebas disimbolkan dengan X. Variabel bebas adalah variable yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahanya. Dalam skripsi ini variable bebas adalah nilai PDRB kabupaten/kota , sektor pembangunan ekonomi dan pendapatan per kapita.

Definisi Operasional VariabelOperasional variabel menurut Hasan Mustafa (2011 : Definisi Operasional dan Variabel Penelitian,Online), Proses penentuan ukuran suatu variabel. Variabeldapat didefinisikan dengan dua cara. Adadefinisi konsepdan adadefinisi opersional. Definisi koseptual adalah definisi yang telah menjadi teori, sedangkan definisi operasional adalah pengertian secara praktik, secara nyata dalam lingkup obyek penelitian/obyek yang diteliti.

REFERENSI

Arsyad, Lincolin. 2009. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Pertama, BPFE, YogyakartaBadan Pusat Statistik, 2014. Tinjauan Ekonomi Regional Daerah Otonom di Provinsi Lampung 2013. Bandar Lampung : BPS Provinsi Lampung.________________, 2014. Lampung Dalam Angka 2014. Bandar Lampung : BPS Provinsi Lampung.________________, 2014. PDRB Lampung 2014. Bandar Lampung : BPS Provinsi Lampung.________________, http://lampung.bps.go.id/index.php. Pkl. 23.30 Tanggal 30 Juni 2015Bappenas, 2013. Dampak Ketimpangan Pembangunan Daerah 2013. Bandar lampung : Bapenas Provinsi Lampung.Kuncoro, Mudrajat, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah (Reformasi,Perencanaan, Strategi, dan Peluang). Erlangga: JakartaHasanudin, Rahmat, http://bingkaisuara.com/otonomi-daerah/. Pkl. 21.00 Tanggal 30 Juni 2015Hidayat, Paidi. SE. Msi. & Sari, R. L. DRA. 2007. Analisis Ketimpangan Antar Kabupaten/Kota Pemekaran Di Sumatera Utara. Jurnal Emprisma, Volume 54 No. 3, Universitas Sumatera Utara.Mahi, Raksaka, 2001. Prospek Desentralisasi di Indonesia Ditinjau dari Segi Pemerataan Antar Daerah dan Peningkatan Efisiensi. Analisa CSIS XXIX, Hal. 54-66, Jakarta. Indonesia Project: Jakarta.Mopangga, Herwin. 2011. Analisis ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Jurnal Trikonomika, Volume 10, No. 1, Juni 2011, Hal.40-51Republik Indonesia, 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014TentangPemerintahan Daerah. Jakarta: Sekertariat NegaraRiadi, RM. 2009. Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 17, No. 13, 2009, 127-145

5