Proposal TA Jadi

101
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustiviani, 2006:1857-1859). Jumlah penduduk dunia yang sakit diabetes melitus cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi meningkat, pola hidup, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang (Smeltzer & Bare, 2002).

description

uye

Transcript of Proposal TA Jadi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ

tubuh, terutama mata, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustiviani,

2006:1857-1859).

Jumlah penduduk dunia yang sakit diabetes melitus cenderung meningkat

dari tahun ke tahun. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi meningkat, pola

hidup, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang (Smeltzer &

Bare, 2002).

Laporan dari WHO (World Health Organization) mengenai studi populasi

diabetes melitus di berbagai negara, memberikan informasi bahwa jumlah

penderita diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2000 adalah 8,4 juta orang,

jumlah tersebut menempati urutan ke empat setelah India (31,7 juta), Cina (20,8

juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Diperkirakan prevalensi tersebut akan

terus meningkat pada tahun 2030, India (79,4 juta), Cina (42,3 juta), Amerika

Serikat (30,3 juta) dan Indonesia (21,3 juta) (Darmono, 2007:15-29).

2

Berbagai penelitian epidemiologi yang dilakukan di Indonesia menujukkan

prevalensi diabetes melitus berkisar antara 1,5–2,3% pada penduduk usia > 15

tahun, di Manado justru mencapai 6,1%. Di daerah urban Jakarta jumlah tersebut

meningkat dari 1,7% (1982) menjadi 5,7% (1993), demikian pula di Makasar

meningkat dari 1,5% (1981) menjadi 2,9% (1998), namun di daerah rural

ternyata masih rendah seperti di Tasikmalaya prevalensi 1,2% , di Tanah Toraja

0,8%. Hasil penelitian di Semarang tahun 1975 mendapatkan prevalensi 1,46%

(Saputro & Setiawan, 2007).

Menurut data rekam medis RSU. Prof. Dr Margono Soekardjo, penyakit DM

menempati peringkat 6 dari 10 besar urutan penyakit terbanyak rawat jalan yaitu

periode Januari sampai Desember tahun2009 mencapai 6596 orang jumlah

tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2008,jumlah rawat jalan mencapai

5370 pasian baik DM yang tergantung insulin maupun yang tidak tergantung

insulin. Dan untuk pasien DM rawat inap pada periode Januari sampai dengan

Desember mencapai 1654 pasien. Populasi pasien DM rawat jalan tahun 2009

RSMS berjumlah 2320 penderita baik DM tipe I maupun DM tipe II. Prevalensi

tahun 2010 untuk bulan Januari sampai Februari mencapai frekuensi kunjungan

1791 orang untuk populasi penderita 943 yaitu untuk DM tergantung insulin 234

orang dan DM yang tidak tergantung insulin mencapai 709 orang (Data Rekam

Medis RSU Prof. Dr. Margono Soekardjo, 2009).

3

Selama ini modalitas yang digunakan pada penatalaksanaan diabetes melitus

terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya

hidup dengan pengaturan pola makan, meningkatkan aktivitas jasmani, dan

edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes; kedua terapi

farmakologis, yang meliputi pemberian obat antidiabetik oral dan injeksi insulin.

Terapi farmakologis baru ditambahkan apabila dengan terapi nonfarmakologis

selama tiga bulan belum berhasil menurunkan kadar glukosa darah ke kadar

glukosa darah optimal (Yunir & Soebardi, 2006; Suhartono, 2002)

Jika terapi tersebut tidak dilakukan secara rasional dan terkontrol maka dapat

menimbulkan efek samping hipoglikemi. Beberapa obat hipoglikemik oral juga

dapat menimbulkan efek samping yang paling ditakuti yaitu asidosis asam laktat

(Suhartono, 2002).

Pemberian preparat insulin, disamping harganya yang masih mahal, pada

kasus-kasus tertentu dapat menimbulkan reaksi alergi dan lipodistropi (Mycek,

2001).

Banyak penelitian yang mengemukaan bahwa makanan berserat tinggi

mampu menurunkan kolesterol darah dan juga gula darah. Salah satu makanan

yang mempunyai serat yang tinggi adalah rumput laut Eucheuma cottonii. Kadar

serat makanan dari rumput laut Eucheuma Cottonii kering mencapai 65.07 %

yang terdiri dari 39.47 % serat makanan tidak larut air dan 25.57 % serat

makanan larut air sehingga termasuk dalam kelompok bahan berserat makanan

4

tinggi. Berdasarkan tingginya kadar serat makanan tersebut Eucheuma Cottonii,

maka berpotensi untuk dijadikan sebagai makanan fungsional atau makanan

kesehatan (Anderson et al. 1992).

Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam golongan alga merah

(Rhodophyceae) yang banyak detemukan di Indonesia terutama di Jawa Timur,

Sulawesi (Tengah, Tenggara, Selatan), Bali, NTT, Maluku, dan Irian (Winarno,

1996). Rumput laut ini dikenal sebagai salah satu penghasil karagenan yang

kadarnya dapat mencapai 61,59% (Suryaningrum, 1988).

Rumput laut Eucheuma cottonii mudah untuk didapatkan dan harganya pun

juga murah apabila dibandingkan dengan terapi farmakologis untuk menurunkan

kadar glukosa darah. Seperti yang kita ketahui, tanaman herbal mempunyai efek

samping lebih sedikit dibandingkan dengan obat-obatan.

Berdasarkan permasalah di atas, maka dilakukan penelitian pemberian

ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar gula darah tikus putih

(Ratuus norvegicus strain wistar) dengan diabetes yang diharapkan dapat

memberikan informasi dan bukti ilmiah untuk mengembangkan obat baru dari

bahan alam bahari.

5

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah adalah :

a. Bagaimana pengaruh pemberian per oral ekstrak rumput laut Eucheuma cottoni

terhadap kadar gula darah tikus diabetik yang di induksi dengan streptozotosin?

b. Berapa kadar efektif pemberian per oral ekstrak rumput laut Eucheuma

cottonii untuk dapat menurunkan kadar gula darah tikus diabetik?

1.3.TUJUAN PENELITIAN

(1). Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian per oral rumput laut Eucheuma cottoni

terhadap kadar gula darah tikus diabetik yang di induksi streptozotosin.

(2). Tujuan Khusus

a. Membuktikan bahan rumput laut Eucheuma cottonii yang dapat menurunkan

kadar gula darah tikus diabetik yang di induksi streptootosin.

6

b. Mengetahui kadar efektif pemberian per oral ekstrak rumput laut Eucheuma

cottonii untuk dapat menurunkan kadar gula darah tikus diabetik yang di

induksi streptozotosin

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan wawasan dalam perkembangan ilmu

pengetahuan dari pengaruh pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma

cottonii terhadap kadar gula darah.

1.4.2 Manfaat Praktis

(1). Masyarakat

a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat pemberian

per oral ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar gula

darah.

b. Dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan motivasi

kepada masyarakat guna pengobatan dalam menurunkan kadar gula

darah dengan pemberian per oral ekstrak rumput laut Eucheuma

cottonii.

7

(2). Peneliti

a. Menambah pengalaman dalam bidang penelitian terkait dengan

pemanfaatan rumput laut Eucheuma cottonii.

b. Menambah referensi di bidang pengetahuan kesehatan masyarakat,

khususnya bidang kedokteran.

(3). Instansi Terkait

a. Sebagai bahan referensi tugas akhir bagi Fakultas Kedoktean

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

b. Sebagai point untuk meningkatkan akreditasi Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya melalui penelitian eksperimental

murni.

c. Sebagai tambahan data dasar untuk penelitian lebih lanjut, khususnya

yang berkaitan dengan pengaruh pemberian per oral ekstrak rumput

laut Eucheuma cottonii terhadap kadar gula darah.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIABETES MELITUS

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus adalah suatu sindrom gangguan metabolisme

dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu

difisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologidari insulin

atau keduanya (Greenspa dan Baxter, 2000).

Diabetes melitus adalah suatu penyakit yang kompleks melibatkan

kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta

berkembangnya komplikasi kronik pada mata, syaraf dan pembuluh darah

(Long, 1996).

2.1.2 Klasifikasi dan Etiologi

9

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009,

klasifikasi diabetes melitus adalah sebagai berikut :

A. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile

onset” atau “Insulin dependent” atau “Ketosis prone”, karena tanpa

insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan

ketoasidosis. Istilah “juvenile onset” sendiri diberikan karena onset

diabetes melitus tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan

memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada

akhir usia 30 atau menjelang 40.

Karakteristik dari diabetes melitus tipe 1 adalah insulin yang

beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang

meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus

yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.

Diabetes melitus tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai

penyakit autoimun. Pemeriksaan histopatologi pankreas menunjukkan

adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel langerhans. Pada 85% pasien

ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerangglutamic-acid

decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi diabetes

10

melitus tipe 1 meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lain,

seperti penyakit grave, tiroiditis hashimoto atau myasthenia gravis.

Sekitar 95% pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA) DR3

atau HLA DR4.

Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen

infeksius/lingkungan, di mana sistem imun pada orang dengan

kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul sel beta pankreas

yang menyerupai protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan

defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu

serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella,

coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa

bayi.

Selain akibat autoimun, sebagaian kecil diabetes melitus tipe 1

terjadi akibat proses yang idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta

atau aktivitas HLA. Diabetes mellitus tipe 1 yang bersifat idiopatik ini,

sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika

dan Asia.

B. Diabetes Melitus Tipe 2

11

Tidak seperti pada diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2

tidak memiliki hubungan dengan aktivitas HLA, virus atau

autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang masih

berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak

bergantung seumur hidup). Diabetes melitus tipe 2  ini bervariasi mulai

dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin

relatif, sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama

resistensi insulin. Pada diabetes melitus tipe 2 resistensi insulin terjadi

pada otot, lemak dan hati serta terdapat respons yang inadekuat pada

sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di

plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan produksi

glukosa hati dan peningkatan lipolisis.

Defek yang terjadi pada diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh

gaya hidup  yang diabetogenik (asupan kalori  yang berlebihan,

aktivitas fisik yang rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara

genetik.  Nilai BMI (Body Mass Indeks) yang dapat memicu

terjadinya diabetes melitus tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap

ras.

C. Diabetes Melitus Tipe Lain

12

- Defek genetik fungsi sel beta

Beberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen

pada fungsi sel beta, dicirikan dengan onset hiperglikemia pada usia

yang relatif muda (<25 tahun) atau disebut maturity-onset diabetes

of the young (MODY). Terjadi gangguan sekresi insulin namun kerja

insulin di jaringan tetap normal. Saat ini telah diketahui abnormalitas

pada 6 lokus di beberapa kromosom, yang paling sering adalah

mutasi kromosom 12, juga mutasi di kromosom 7p yang mengkode

glukokinase. Selain itu juga telah diidentifikasi kelaian genetik  yang

mengakibatkan ketidakmampuan mengubah proinsulin menjadi

insulin.

-   Defek genetik kerja insulin

Terdapat mutasi pada reseptor insulin, yang mengakibatkan

hiperinsulinemia, hiperglikemia dan diabetes. Beberapa individu

dengan kelainan ini juga dapat mengalami akantosis nigricans, pada

wanita mengalami virilisasi dan pembesaran ovarium.

-   Penyakit eksokrin pankreas

Meliputi pankreasitis, trauma, pankreatektomi, dan carcinoma

pankreas.

13

- Endokrinopati

Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol,

glukagon dan epinefrin bekerja mengantagonis aktivitas insulin.

Kelebihan hormon-hormon ini, seperti  pada sindroma cushing,

glukagonoma, feokromositoma dapat menyebabkan diabetes.

Umumnya terjadi pada orang yang sebelumnya mengalami defek

sekresi insulin, dan hiperglikemia dapat diperbaiki bila kelebihan

hormon-hormon tersebut dikurangi.

-    Karena obat/zat kimia

Beberapa obat dapat mengganggu sekresi dan kerja insulin.

Vacor (racun tikus) dan pentamidin dapat merusak sel beta. Asam

nikotinat dan glukokortikoid mengganggu kerja insulin.

-   Infeksi

Virus tertentu dihubungkan dengan kerusakan sel beta, seperti

rubella, coxsackievirus B, CMV, adenovirus, dan mumps.

-   Imunologi

14

Ada dua kelainan imunologi yang diketahui, yaitu sindrom

stiffman dan antibodi antiinsulin reseptor. Pada sindrom stiffman

terjadi peninggian kadar autoantibodi GAD di sel beta pankreas.

-    Sindroma genetik lain

Down’s syndrome, Klinefelter syndrome, Turner syndrome, dan

lain-lain.

D.  Diabetes Kehamilan / Gestasional

Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa

dengan onset pada waktu kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan

komplikasi pada sekitar 1-14% kehamilan. Biasanya toleransi glukosa

akan kembali normal pada trimester ketiga.

2.1.3 Patofisiologi

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan

secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses

bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin

(Schteingart, 2005).

Patogenesis diabetes tipe 1 meliputi lima tahap.

Pertama, penderita DM tipe 1 memiliki kerentanan genetik terhadap

penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan biasanya memulai proses ini

pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini

15

merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat

terlibat. Tahap ketiga dalam rangkaian proses peradangan pankreas

disebut insulitis. Monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi

menginfiltrasi sel beta pankreas. Tahap keempat adalah perubahan atau

transformasi sel beta sehingga tidak lagi dikenali sel “sendiri” tetapi

dilihat oleh sistem imun sebagai “sel asing”. Tahap kelima adalah

perkembangan respon imun. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan

penampakan diabetes (Foster, 2000).

Manifestasi klinis diabetes mellitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel

beta mengalami kerusakan (Schteingart, 2005). Patogenesis terjadinya

disfungsi sel beta pada diabetes melitus tipe 2 pada dasarnya adalah

peningkatan resistensi insulin di jaringan. Resistensi insulin adalah adalah

turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa

oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh sel

hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya,

artinya terjadi defisiensi insulin relatif insulin. Banyak proses yang dapat

menimbulkan resistensi insulin, diantaranya faktor genetik, berbagai

faktor lingkungan seperti kegemukan, inaktivitas fisik, asupan makanan

yang berlebihan, beberapa macam obat dan juga proses menua (Waspadji,

2002 & Saputro dan Setiawan, 2007).

16

Pada keadaan normal, apabila didapatkan resistensi insulin, maka tubuh

akan merespons dengan meningkatkan produksi insulin untuk

mengembalikan kadar glukosa darah pada keadaan normal. Kalau proses

kompensasi ini menurun, maka kapasitas menyeimbangkan tersebut

kurang sehingga tubuh tidak dapat mengembalikan keseimbangan dan

terjadilah diabetes mellitus (Waspadji, 2002; Saputro & Setiawan, 2007)..

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar

glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria

saja. Dalam menegakkan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan

asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk

diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan yang dianjurkan adalah 

pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah

plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan

glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang

terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan

darah kapiler.  Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa

darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai.

Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat

dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan

sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala , hasil

17

pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara

konvensional (Perkeni, 2006).

A. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk diabetes

melitus pada penduduk umumnya (mass-screening = pemeriksaan

penyaring) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal,

rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada.  Bagi

mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring

bersama penyakit lain (general check up), adanya pemeriksaan

penyaring untuk diabetes melitus dalam rangkaian pemeriksaan

tersebut sangat dianjurkan (Perkeni, 2006)

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok  dengan

salah satu faktor risiko untuk diabetes melitus, yaitu :

-         kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )

-         kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27

(kg/m2)}

-         tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)

-         riwayat keluarga diabetes melitus

-         riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram

-         riwayat diabetes melitus pada kehamilan

18

-         dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250

mg/dl

-         pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau  GDPT

(Glukosa Darah Puasa Terganggu)

Tabel II. 1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

penyaring dan diagnosis diabetes melitus (mg/dl)

 Bukan diabetes

melitus   Belum pasti  diabetes

mellitus Diabetes melitus   

Kadar glukosa darah sewaktu

     

plasma vena       < 110    110 – 199      ³ 200darah kapiler       <   90           90  - 199          ³ 200       Kadar glukosa darah puasa

     

plasma vena        < 110    110 – 125 ³ 126darah  kapiler                           

<   90    90  - 109    ³ 110  

       

Sumber : Perkeni, 2006

B. Langkah-Langkah untuk  Menegakkan Diagnosis Diabetes

Melitus

Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan dipikirkan bila

ada keluhan khas diabetes melitus berupa poliuria, polidipsia,

polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan

pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada

19

pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan

khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu lebih dari atau sama

dengan  200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis

diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

puasa  lebih dari atau sama dengan 126 mg/dl juga digunakan untuk

patokan diagnosis diabetes melitus.  Untuk kelompok tanpa keluhan

khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru

satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk  menegakkan

diagnosis klinis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut

dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar

glukosa darah puasa lebih dari atau sama dengan 126 mg/dl, kadar

glukosa darah sewaktu lebih dari atau sama dengan 200 mg/dl pada

hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang

abnormal (Perkeni, 2006)

2.1.5 Komplikasi

Menurut Hikmat Permana, divisi endokrinologi dan metabolisme

departemen penyakit dalam Universitas Padjajaran (2009), hiperglikemia

merupakan peran penting terjadi komplikasi pada diabetes melitus. Pada

keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan

pembentukan protein glikasi non enzimatik serta peningkatanm proses

glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan

20

pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati,

neuropati ataupun nefropati diabetika. Komplikasi kronis ini berkaitan

dengan gangguan vaskular, yaitu:

A. Komplikasi mikrovaskular

1. Neuropati diabetika

Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil

khususnya kapiler. Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.

2. Retinopati diabetika

Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala

berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata

yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi

dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan

Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal

dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan

retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh

darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.

3. Nefropati diabetika

Diabetes melitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling

banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal.

Kerusakan ginjal yang spesifik pada diabetes melitus

mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-

21

molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kandung kemih.

Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang

progresif. Nefropati diabetika ditandai dengan adanya proteinuri

persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi.

Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol

metabolisme dan kontrol tekanan darah.

B. Komplikasi makrovaskular

Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah

besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati

tidak spesifik pada diabetes, namun pada diabetes melitus timbul lebih

cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi

epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat

penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali

dibandingkan orang normal (Permana H, 2009).

Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya

dengan kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti

secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor

resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin

menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin

puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner

sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor

22

aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi

makrovaskular (Permana H, 2009).

1. Penyakit Jantung Koroner

Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan

suatu faktor risiko penyakit jantung koroner. Ateroskierosis

koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat

gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina

pektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat

dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga

pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan

akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.

Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri

menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian

nitrat. Namun gejala-gejala mi dapat tidak timbul pada pendenita

diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.

2. Stroke

Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua

tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita

stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan

dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.

23

Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri

vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:

- Pusing, sinkop

- Hemiplegia: parsial atau total

- Afasia sensorik dan motorik

- Keadaan pseudo-dementia

3. Penyakit pembuluh darah

Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya

aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah.

Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan

meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya

terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar

pada diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan

meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti

dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh

darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada

penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah

lutut).

Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya

terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor

neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi

24

merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada

penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau

sebagai faktor pencetus koma, ataupun kematian (Permana H,

2009).

C. Neuropati

Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering

terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM.

Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan

otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi

degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau

bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai

atau lengan (Permana H, 2009).

Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada

struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan

pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga

menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau

atrofi axonal (Permana H, 2009).

2.1.6 Pengelolaan 

Pengelolaan diabetes mellitus bertujuan untuk :

1.  Jangka pendek : menghilangkan keluhan atau gejala diabetes melitus

dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

25

2.  Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati,

mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan

morbiditas dan mortilitas diabetes melitus.

3.  Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.

Mengingat mekanisme dasar kelainan diabetes melitus tipe-2 adalah

terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan

insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk

memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi  harus tercermin

pada langkah pengelolaan.

3. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri

dan melakukan promosi perubahan perilaku.

 Pilar utama pengelolaan diabetes melitus :

1. Edukasi

2. Perencanaan makan 

3. Latihan jasmani

4. Obat-obatan

Pada dasarnya, pengelolaan diabetes melitus dimulai dengan

pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama

beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih

belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru

dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes  oral

26

atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan

dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, diabetes melitus

dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat

segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat

digunakan  sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter.

Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan

sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu (Perkeni,

2006).

2.1.7 Bahan untuk Induksi Tikus Diabetik

Aloksan

Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil) merupakan

senyawa hidrofilik dan tidak stabil (Gambar 1). Waktu paro pada suhu

37°C dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang

lebih rendah. Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara

intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan

biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3

kalinya (Szkudelski, 2001; Rees dan Alcolado, 2005).

Aloksan secara cepat dapat mencapat pankreas, aksinya diawali oleh

pengambilan yang cepat oleh sel β Langerhans. Pembentukan oksigen

reaktif merupakan faktor utama pada kerusakan sel tersebut. Pembentukan

oksigen reaktif diawali dengan proses reduksi aloksan dalam sel β

27

Langerhans. Aloksan mempunyai aktivitas tinggi terhadap senyawa

seluler yang mengandung gugus SH, glutation tereduksi (GSH), sistein

dan senyawa sulfhidril terikat protein (misalnya SH-containing enzyme).

Hasil dari proses reduksi aloksan adalah asam dialurat, yang kemudian

mengalami reoksidasi menjadi aloksan, menentukan siklus redoks untuk

membangkitkan radikal superoksida. Reaksi antara aloksan dengan asam

dialurat merupakan proses yang diperantarai oleh radikal aloksan

intermediet (HA˙) dan pembentukan “compound 305”. Radikal

superoksida dapat membebaskan ion ferri dari ferinitin, dan mereduksi

menjadi ion ferro. Selain itu, ion ferri juga dapat direduksi oleh radikal

aloksan. Radikal superoksida mengalami dismutasi menjadi hidrogen

peroksida, berjalan spontan dan kemungkinan dikatalisis oleh superoksida

dismutase. Salah satu target dari oksigen reaktif adalah DNA pulau

Langerhans pankreas. Kerusakan DNA tersebut menstimulasi poly ADP-

ribosylation, proses yang terlibat pada DNA repair. Adanya ion ferro dan

hidrogen peroksida membentuk radikal hidroksi yang sangat reaktif

melalui reaksi fenton (Wilson et al., 1984; Szkudelski, 2001; Walde et al.,

2002).

Faktor lain selain pembentukan oksigen reaktif adalah gangguan pada

homeostatis kalsium intraseluler. Aloksan dapat meningkatkan konsentrasi

ion kalsium bebas sitosolik pada sel β Langerhans pankreas. Efek tersebut

28

diikuti oleh beberapa kejadian : influks kalsium dari cairan ekstraseluler,

mobilisasi kalsium dari simpanannya secara berlebihan, dan eliminasinya

yang terbatas dari sitoplasma. Influks kalsium akibat aloksan tersebut

mengkaibatkan depolarisasi sel β Langerhans, lebih lanjut membuka kanal

kalsium tergantung voltase dan semakin menambah masuknya ion kalsium

ke sel. Pada kondisi tersebut, konsentrasi insulin meningkat sangat cepat,

dan secara signifikan mengakibatkan gangguan pada sensitivitas insulin

perifer dalam waktu singkat. Selain kedua faktor tersebut di atas, aloksan

juga diduga berperan dalam penghambatan glukokinase dalam proses

metabolisme energi (Szkudelski, 2001; Walde et al., 2002).

Streptozotosin

Streptozotosin (STZ) atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3-nitrosoureido)-D-

gluko piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat

digunakan untuk menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan

uji. Struktur kimia streptozotosin dapat dilihat pada gambar 2. Dosis yang

digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 untuk intravena adalah 40-60

mg/kg, sedangkan dosis intraperitoneal adalah lebih dari 40 mg/kg BB.

STZ juga dapat diberikan secara berulang, untuk menginduksi DM tipe 1

yang diperantarai aktivasi sistem imun. Untuk menginduksi DM tipe 2,

STZ diberikan intravena atau intraperitoneal dengan dosis 100 mg/kg BB

pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran, pada 8-10 minggu tikus tersebut

29

mengalami gangguan respon terhadap glukosa dan sensitivitas sel β

terhadap glukosa. Di lain pihak, sel α dan δ tidak dipengaruhi secara

signifikan oleh pemberian streptozotosin pada neonatal tersebut sehingga

tidak membawa dampak pada perubahan glukagon dan somatostatin.

Patofisiologis tersebut identik pada DM tipe II (Bonner-Weir et al., 1981;

Szkudelski, 2001; Jackerott et al., 2006; Tormo et al., 2006).

Gambar 1. Struktur kimia streptozotosin

STZ menembus sel β Langerhans melalui tansporter glukosa GLUT 2.

Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas.

Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan

kerusakan pada sel β pankreas. STZ merupakan donor NO (nitric oxide)

yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut melalui

peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan cGMP. NO

30

dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu,

STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai peran

tinggi dalam kerusakan sel β pankreas. Pembentukan anion superoksida

karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas xantin

oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan

konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas

selanjutnya mengakibatkan pengurangan secarea drastis nukleotida sel β

pankreas (Akpan et al., 1987; Szkudelski, 2001).

Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan substrat

untuk enzim xantin oksidase (sel β pankreas mempunyai aktivitas tinggi

terhadap enzim ini), lebih lanjut meningkatkan produksi asam urat. Xantin

oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion superoksida aktif. Dari

pembangkitan anion superoksida, terbentuk hidrogen peroksida dan

radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab

utama kerusakan sel β pankreas. Kerusakan DNA akibat STZ dapat

mengaktivasi poli ADP-ribosilasi yang kemudian mengakibatkan

penekanan NAD+ seluler, selanjutnya penurunan jumlah ATP, dan

akhirnya terjadi penghambatan sekresi dan sintesis insulin. Selain itu,

kalsium berlebih yang kemungkinan dapat menginduksi nekrosis, tidak

mempunyai peran yang signifikan pada nekrosis yang diinduksi STZ.

(Akpan et al., 1987; Szkudelski, 2001).

31

2.2 Rumput Laut Eucheuma Cottonii

2.2.1 Deskripsi

Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu

jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi

Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk

fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut

Kappaphycus alvarezii. Rumput laut Eucheuma Cottonii merupakan

salah satu jenis rumput laut dari golongan alga merah (Rhodophyceae)

penghasil metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut

karaginan.

2.2.2 Klasifikasi

Gambar 2. Rumput laut Eucheuma cottonii

Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai

berikut :

32

Kingdom         : Plantae

Divisi              : Rhodophyta

Kelas               : Rhodophyceae

Ordo                : Gigartinales

Famili              : Solieracea

Genus              : Eucheuma

Species            : Eucheuma alvarezii 

2.2.3 Ciri fisik

Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris,

permukaan licin, cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap,

kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah.

Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan.

Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu

penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas

pencahayaan (Aslan, 1998).

Penampakan thalli bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai

kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-

jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai

arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah

basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat

berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan

membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah

datangnya sinar matahari (Atmadja, 1996).

33

2.2.4 Habitat

Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai

terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran

air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu

karang mati (Aslan, 1998). Eucheuma cottonii diketahui sebagai alga

merah (Rhodophyceae) yang ditemukan di bawah air surut rata-rata

(Romimohtarto dan Juwana, 1999).

2.2.5 Komposisi Nutrisi Rumput Laut

Dari hasil uji laboratorium dari rumput laut yang dikeringkan

dengan proses berbeda yaitu kering asin, kering tawar, dan kering

alkali diperoleh data sebagai berikut :

Tabel II.2 Hasil Uji Laboratorium Kandungan Nutrisi Rumput Laut Kering

No.

Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji

Asin Tawar Alkali

1. Air % 26,77 18,62 21,75 SNI. 01-2891-1992 Butir 5.1

2. Abu % 34,38 15,13 15,77 SNI. 01-2891-1992 Butir 6.1

3. Lemak % 0,51 0,58 0,55 SNI. 01-2891-1992 Butir 8.2

4. Protein % 1,87 2,09 1,71 Kjeldahl

5. Serat Kasar % 0,90 5,29 19,64 SNI. 01-2891-1992 Butir 11

6. Karbohidrat % 35,57 58,29 40,58 Perhitungan

34

7. Energi Kkal/100gr 154,4 246,7 174,1 Perhitungan

8. Karagenan % 23,68 20,97 18,23

Rumput laut kering tawar mempunyai nilai nutrisi pokok

(karbohidrat, lemak, dan, protein) lebih tinggi dari rumput laut kering

asin dan rumput laut kering alkali, yaitu sebesar 58,29 % karbohidrat,

0,58 % lemak, dan 2,09 % protein dan mempunyai kadar air (18,62 %)

dan abu (15,13 %) paling rendah dibandingkan dua produk yang lain.

Selain itu rumput laut kering tawar juga mempunyai nilai energi paling

tinggi (246,7 %) dibanding rumput laut kering asin dan kering alkali.

Hal tersebut dikarenakan dalam proses pengeringannya rumput laut

basah terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan air tawar hingga

bau spesifik rumput laut berkurang. Air tawar menyebabkan

kandungan garam dan kotoran yang menyelimuti rumput laut menjadi

hilang. Air tawar mengikat cairan yang terkandung dalam air laut

sehingga selama proses penjemuran kadar air dalam rumput laut cepat

berkurang. Air tawar juga berfungsi sebagai pelapis yang melindungi

rumput laut dalam proses pengeringan berikutnya sehingga rumput laut

basah tersebut menjadi kering tanpa kehilangan nilai nutrisi penting

dari dalam tubuhnya. Oleh karena kandungan nutrisi penting dalam

rumput laut kering tawar paling tinggi sehingga nilai energi yang

terkandung didalamnya juga tinggi. Rumput laut kering tawar ini

35

merupakan hasil olahan rumput laut yang paling sesuai untuk

dikonsumsi sebagai bahan makanan. Rumput laut kering asin

mempunyai kadar abu dan kadar air yang paling tinggi yaitu 34,38 %

kadar abu dan 26,77 % kadar air, sedang kandungan karbohidrat, serat

kasar, lemak, dan energi yang paling rendah dibanding dengan rumput

laut kering tawar dan kering alkali, yaitu 35,57 % karbohidrat, 0,90 %

serat kasar, dan 1, 87 % lemak. Oleh karena kandungan karbohidrat

rumput laut kering asin paling rendah dibanding dengan dua produk

lainnya maka kandungan energi dalam rumput laut kering asin juga

yang paling rendah yaitu 154,4 Kkal/100gr rumput laut. Akan tetapi

rumput laut kering asin ini mempunyai kandungan karagenan yang

paling tinggi, yaitu mencapai sebesar 23,68%. Rumput laut kering asin

lebih cocok digunakan sebagai bahan baku industri tepung karagenan

(Wisnu AR dan Rachmawati Diana).

Rumput laut kering alkali mempunyai kandungan serat kasar

paling tinggi dibandingkan dengan rumput laut kering tawar dan

kering asin, yaitu sebesar 19,64 %. Rumput laut kering alkali

mempunyai kadar protein dan karagenan yang paling rendah, yaitu

1,71 % protein dan 18,23 % karagenan. Meskipun diproses dengan

menggunakan bahan kimia rumput laut kering alkali masih mempunyai

kadar air, karbohidrat, dan energi yang cukup tinggi, yaitu sebesar

21,75 % air, 40,58 % karbohidrat, dan energi 174,1 Kkal/100gr rumput

laut. Rumput laut kering alkali ini biasanya digunakan sebagai bahan

36

baku industri ATC (alkali treated cottonii). ATC tersebut selanjutnya

dapat diproses lebih lanjut sebagai bahan pengikat dan penstabil dalam

industri pakan ternak bagi pasaran Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik

(DPK, 2002).

2.2.6 Karaginan

Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester

kalium,natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6

anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan adalah suatu bentuk

polisakarida linear dengan berat molekul di atas 100 kDa (Winarno,

1996).

Winarno (1996) menyatakan bahwa kappa karaginan dihasilkan

dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, iota karaginan dihasilkan

dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karaginandari Chondrus

crispus, selanjutmya membagi karaginan menjadi 3 fraksi berdasarkan

unit penyusunnya yaitu kappa, iota dan lambda karaginan.

37

Gambar 3. Struktur kimia kappa karaginan (cPKelco ApS 2004).

Karaginan sangat penting peranannya sebagai stabilizer

(penstabil), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, pengemulsi

dan lain-lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan,

obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya

(Winarno 1996). Selain itu juga berfungsi sebagai penstabil,

pensuspensi, pengikat, protective (melindungi kolid), film former

(mengikat suatu bahan), syneresis inhibitor (mencengah terjadinya

pelepasan air) dan flocculating agent (mengikat bahan-bahan

(Anggadireja et al. 1993).

2.2.7 Khasiat Rumput Laut

Dalam dunia kedokteran dan farmasi, Eucheuma sp. digunakan

sebagai bahan obat asma, bronkhitis, TBC, cacingan, sakit perut,

demam, rematik, antihiperkolesterol, sumber iodium, seng, selenium

dan vitamin seperti vitamin B1, B2, B6, B12 dan beta karoten, anti

kanker karena kandungan antioksidannya yang tinggi serta dapat

menurunkan kadar glukosa darah (Nugroho BA dan Purwaningsih E,

2006).

Menurut Kasim (2004) berdasarkan tingginya kadar serat makanan

tersebut maka rumput laut Eucheuma cottonii berpotensi untuk

dijadikan sebagai makanan fungsional atau makanan kesehatan. Hal ini

didasarkan pada banyak penelitian bahwa makanan berenergi tinggi

mampu menurunkan kolesterol darah dan juga gula darah, antara lain

38

psylium (Anderson et al.1992), guar gum , dedak oat (Kashtan, 1992)

dan lain-lain. Kasim (2004) menyatakan bahwa rumput laut Eucheuma

cottonii 5% mampu menurunkan kadar lipid darah tikus wistar yang

hiperkolesterolemik (hiperlipidemik) menjadi normal pada hari ke 18

dan bila konsentrasinya dinaikkan maka penurunannya lebih cepat.

Selain itu, Hardoko (2007) melapor bahwa rumput laut Eucheuma

cottonii juga mampu menurunkan kadar gula darah tikus wistar yang

hiperglicemic diabetic (Dependent Diabetes Mellitus) dengan cepat

yang tergantung pada konsentrasi yang diberikan.

Karagenan merupakan serat makanan pengikat kation (binding of

cations) hal ini akan mempengaruhi proses pemecahan karbohidrat

(disakarida) didalam intestinum yang akhirnya juga akan

mempengaruhi proses penyerapan monosakarida, sehingga dapat

menahan laju peningkatan kadar glukosa darah post-prandial (Nugroho

BA & Purwaningsih E, 2006).

2.2.8 Cara Pembuatan Ekstrak Rumput Laut Eucheuma cottonii

Ekstraksi rumput laut merah dilakukan dengan cara perebusan

dengan menggunakan larutan KOH pada pH 8-9 dengan volume air

perebus sebanyak 40-50 kali berat rumput laut kering. Rumput laut

tersebut dipanaskan pada suhu 90 - 95 °C selama 3-6 jam (Yunizal et

al, 2000). Guiseley et al (1980) melaporkan bahwa untuk mencapai

ekstraksi yang optimal diperlukan waktu sampai 1 hari, sedangkan

39

untuk mempercepat proses ekstraksi dilakukan dengan perebusan

bertekanan selama satu sampai beberapa jam.

Suasana alkalis dapat diperoleh dengan menambahkan larutan

basa misalnya larutan NaOH. Ca(OH)2 atau KOH sehingga pH larutan

mencapai 8-10. Penggunaan alkali mempunyai dua fungsi, yaitu

membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan

mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3.6-

anhidro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel dan

reaktivitas produk terhadap protein (Towle, 1973). Penelitian yang

dilakukan Zulfriady dan Sudjatmiko (1995), menunjukkan bahwa

ekstraksi karaginan menggunakan (KOH) berpengaruh terhadap

kenaikan mutu karaginan yang dihasilkan.

40

BAB III

KONSEP PEMIKIRAN

3.1 Uraian Kerangka Konsep

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ

tubuh, terutama mata, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustiviani,

2006:1857-1859).

Selama ini modalitas yang digunakan pada penatalaksanaan diabetes

melitus terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi

perubahan gaya hidup dengan pengaturan pola makan, meningkatkan

aktivitas jasmani, dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan

penyakit diabetes; kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat

antidiabetik oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis baru ditambahkan

apabila dengan terapi nonfarmakologis selama tiga bulan belum berhasil

menurunkan kadar glukosa darah ke kadar glukosa darah optimal (Yunir &

Soebardi, 2006)

Pemberian preparat insulin, disamping harganya yang masih mahal, pada

kasus-kasus tertentu dapat menimbulkan reaksi alergi dan lipodistropi

(Mycek, 2001).

41

Hardoko (2007) melapor bahwa rumput laut Eucheuma cottonii juga

mampu menurunkan kadar gula darah tikus wistar yang hiperglicemic

diabetic (Dependent Diabetes Mellitus) dengan cepat yang tergantung pada

konsentrasi yang diberikan.

Rumput laut jenis Eucheuma cottonii dikenal sebagai sebagai salah satu

penghasil karagenan yang kadarnya dapat mencapai 61, 59% (Suryaningrum

et al. 1988). Adapun jenis karagenan yang dihasilkan rumput laut Eucheuma

cottonii terutama adalah kappa karagenan (Aslan, 1991; Winarno, 1996).

Karagenan merupakan serat makanan pengikat kation (binding of cations)

hal ini akan mempengaruhi proses pemecahan karbohidrat (disakarida)

didalam intestinum yang akhirnya juga akan mempengaruhi proses

penyerapan monosakarida, sehingga dapat menahan laju peningkatan kadar

glukosa darah post-prandial dan mengurangi penurunan balik gula darah

yang akan merangsang selera makan (Nugroho BA dan Purwaningsih E,

2006).

42

3.2 Kerangka Konsep

Bagan 1. Kerangka Konsep

Destruksi sel beta pankreas

Sekresi insulin

Glikogenesis

Glikogenolisis

Glukoneogenesis

Absorbsi glukosa ke dalam sel

Kadar glukosa darah tikus wistar

Karagenan

Mempengaruhi proses penyerapan monosakarida, sehingga dapat menahan laju peningkatan kadar glukosa darah post-prandial dan mengurangi penurunan balik gula darah.

Tikus wistar sehat

Tikus wistar di induksi dengan streptozosin

Pengobatan dengan Eucheuma cottonii

Tikus wistar sembuh (kadar gula darah

turun)

Eucheuma cottonii dengan dosis I,

dosis II, dosis III

43

3.3 Hipotesis

Pemberian rumput laut Eucheuma cottonii. dapat menurunkan kadar

glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar) yang disuntik

Streptozotosin (STZ).

44

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Jenis rancangan penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan

pendekatan post test only control group design. Tikus putih (Rattus

norvegicus strain wistar) diabetes Streptozotosin (STZ).

R K (-) OK

K (+) OP

P1 OP1

P2 OP2

P3 OP3

Keterangan:

R : Randomisasi

K (-) : Kontrol (tidak diinduksi dengan STZ)

K (+) : Kontrol (diinduksi STZ tetapi tidak diberi diet rumput laut

Eucheuma cottonii)

P1 : Perlakuan STZ + Ekstrak Herbal dosis I

P2 : Perlakuan STZ + Ekstrak Herbal Dosis II

P3 : Perlakuan STZ + Ekstrak Herbal Dosis III

45

O K (-) : Kadar glukosa darah pada K (-)

OK (+) : Kadar glukosa darah pada K (+)

O P1 : Kadar glukosa darah pada P1

O P2 : Kadar glukosa darah pada P2

O P3 : Kadar glukosa darah pada P3

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus strain

wistar).

4.2.2 Sampel

Pada penelitian ini menggunakan 25 sampel

4.2.2.1 Cara Pengambilan Sampel

Sampel penelitian tikus tikus putih (Rattus norvegicus

strain wistar) diperoleh secara consecutive random sampling

dengan kriteria sebagai berikut:

Kriteria inklusi :

1. Tikus wistar jantan

2. Umur 3-4 bulan

3. Berat badan 100-150 gram

4. Kondisi sehat ( aktif dan tidak cacat )

46

Kriteria eksklusi :

1. Tikus mengalami sakit

2. Bobot tikus menurun ( kurang dari 150 gram )

3. Tikus mati dalam masa penelitian

4.2.2.2 Besar sampel

Besar sampel yang digunakan tiga tikus dalam lima

kelompok tikus, dua kelompok kontrol dan tiga kelompok

perlakuan dengan dosis berbeda setiap perlakuan. Dengan

rumus perhitungan sampel menurut Federe :

T (n-1) = 15

Keterangan : T : Jumlah perlakuan

n : Jumlah ulangan/sampel

4 (n-1) = 15

4n – 4 = 15

4n = 19

n = 4,75 / 5 ekor tikus

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di tempat yang akan dijadikan perawatan Hewan

Coba, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Penelitian

berlangsung pada tahun 2012 – 2013.

47

4.4 Variabel

Penelitian ini terdiri dari tiga variabel, yaitu variabel bebas, variabel

terikat, dan variabel kontrol.

4.4.1 Variabel Bebas

Pemberian diet ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii dengan

dosis yang berbeda.

4.4.2 Variabel Terikat

Kadar glukosa darah tikus (Rattus norvegicus strain wistar).

4.4.3 Variabel Kontrol

Kondisi tikus (Rattus norvegicus strain wistar) yang tidak diberi

perlakuan, jenis kelamin, makanan, tempat, berat badan.

4.5 Definisi Operasional

4.5.1 Rumput Laut Eucheuma cottonii

Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu

jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi

Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk

fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut

Kappaphycus alvarezii.Rumput laut Eucheuma Cottonii merupakan

salah satu jenis rumput laut dari golongan alga merah (Rhodophyceae)

penghasil metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut

karaginan. Pigmen merah dalam rumput laut ini disebabkan oleh

pigmen fikoeritrin dalam jumlah yang banyak dibandingkan pigmen

warna yang lain (Anonymous, 2010).

48

4.5.2 Diabetes Melitus

Diabetes melitus klinis adalah suatu sindroma gangguan

metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai

akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektivitas

biologis dari insulin (atau keduanya) (FK UI, 2006).

4.5.3 Tikus (Rattus norvegicus strain wistar)

Merupakan tikus albino spesies Rattus norvegicus. Jenis galur ini

dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk digunakan

dalam biologi dan penelitian medis. Jenis Tikus ini galur tikus pertama

yang dikembangkan sebagai model organisme.

Tikus Wistar saat ini menjadi salah satu yang strain tikus paling

populer yang digunakan untuk penelitian laboratorium. ciri tikus ini

adalah mempunyai  kepala lebar, telinga panjang, dan memiliki ekor

panjang (tidak melebihi panjang tubuhnya). Galur tikus Sprague

Dawley dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galus Wistar. Tikus

Wistar lebih aktif daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley

(Estina, 2010)

4.5.4 Induksi

(1) metode pemikiran yg bertolak dari kaidah (hal-hal atau

peristiwa) khusus untuk menentukan hukum (kaidah) yang umum;

penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yang khusus untuk

diperlakukan secara umum; penentuan kaidah umum berdasarkan

49

kaidah khusus; (2) proses pembangkitan tenaga listrik (elektrik) di

dalam sirkulasi tertutup oleh arus (gerak) magnetik melalui gerak putar

(kamus indonesia).

4.5.5 Streptozotocin (STZ)

Streptozotocin merupakan antibiotic antineoplastik dari

grupnitrosurea, berasal dari Streptomyces achromogenes

ataudihasilkan melalui sintesis. Terutama digunakan dalampengobatan

tumor sel pulau pancreas dan juga tumor endokrinlainnya termasuk

gastrinoma yang disertai dengan sindrom Zollinger-Ellison dan tumor

sel alfa penghasil glucagon daripancreas (Dorland). Injeksi

streptozotocin 60 mg/kg intra vena pada tikus wistardewasa

menyebabkan pancreas membengkak dan padaakhirnya menyebabkan

degenerasi sel B pulau langerhans danmendorong timbulnya diabetes

melitus dalam waktu 2-4 hari (Fatimah, 2010)

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data primer,

yaitu kadar glukosa darah tikus (Rattus norvegicus strain wistar)

dengan diabetes melitus.

4.6.2 Kualifikasi dan Jumlah Petugas

Dalam penilitian ini, semua mahasiswa yang meneliti dengan

menggunakan tikus (Rattus norvegicus strain wistar) sebagai obyek

penelitian.

50

4.6.3 Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus

norvegicus strain wistar), berjenis kelamin jantan, jumlah tikus (Rattus

norvegicus strain wistar) yang digunakan sebanyak 25 ekor.

4.6.4 Instrumen Penelitian

Bahan baku utama adalah rumput laut kering jenis Eucheuma

cottonii. Bahan yang digunakan untuk ekstraksi karaginan adalah

KOH.

Peralatan yang digunakan adalah kompor, panci, timbangan, filter

press, glucose test, hot plate, blender, pengaduk, thermometer, kertas

ph, ph meter, gelas ukur, dan kertas saring.

4.7 Cara membuat ekstrak rumput laut (Eucheuma Cottonii)

Langkah-langkah pembuatan ekstrak rumput laut (Eucheuma cottonii):

1. Pencucian dan pembersihan dilakukan pada rumput laut yang akan

diekstraksi untuk menghilangkan pasir, garam, kapur, karang, potongan

tali dan rumput laut jenis lainnya yang tidak diinginkan.

2. Ekstraksi pertama : pemasakan dilakukan pada rumput laut yang telah

bersih dalam larutan KOH 8% selama 2 jam pada suhu 80±5 OC.

3. Pencucian hingga pH netral

4. Ekstraksi kedua: pemasakan dalam air dengan perbandingan 40 kali

selama 2 jam pada suhu 90±5 oC.

5. Disaring untuk dipisahkan antara filtrat dengan ekstrak.

51

4.8 Cara Pengambilan Data

Penelitian menggunakan sampel sebanyak 25 ekor tikus wistar. Tikus

tersebut dibagi dalam lima kelompok, sehingga didapatkan jumlah sampel

untuk tiap-tiap kelompok sebanyak 5 ekor. Tikus wistar sebanyak 25 ekor

yang memenuhi kriteria inklusi, diaklimasi di dalam laboratorium. Masing-

masing dikandangkan secara individual, serta diberi makanan dan minuman

selama satu minggu secara ad libitum. Tikus wistar tersebut kemudian dibagi

dalam lima kelompok secara acak sehingga tiap-tiap kelompok terdiri dari 5

ekor tikus. Kemudian kelima kelompok tersebut disuntik STZ dengan dosis 9

mg/kg BB secara intraperitoneal. Perlakuan berbeda diberikan pada masing-

masing kelompok. Tikus wistar kemudian diterminasi pada hari ke – 38.

Sampel dari masing-masing tikus diambil untuk dilakukan pemeriksaan

terhadap kadar glukosa darah dengan glucose test. Hasil tiap kelompok

dibandingkan setelah data semua sampel terkumpul.

52

4.9 Alur Penelitian

Hari Ke

KelompokK (-)

( 5 ekor)

KelompokK (+)

( 5 ekor)

KelompokP1

( 5 ekor)

KelompokP2

( 5 ekor)

KelompokP3

( 5 ekor)

1 s.d. 2

3

4 s.d.

26

27

Bagan 2. Alur penelitian

Keterangan :

: Pemeliharaan ( adaptasi ) diet standar 2 hari ad libitum

: Ditimbang, tidak disuntik STZ 9 mg/kg BB, diet sesui kelompok

: Ditimbang, disuntik STZ 9 mg/kg BB, diet sesuai kelompok

: Diet standar, tidak mendapatkan Eucheuma sp.

: Diet standar + diet Eucheuma cottonii 4 gr/kg BB/hari

: Diet standar + diet Eucheuma cottonii 8 gr/kg BB/hari

: Diet standar + diet Eucheuma cottonii 12 gr/kg BB/hari

25 ekor tikus wistar yang memenuhi kriteriainklusi

Randomisasi

53

: pemeriksaan kadar glukosa darah dan terminasi tikus wistar

4.10 Analisis data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.00 for windows.

Uji hipotesis menggunakan uji parametrik One Way Anova. Ditetapkan true

confidences uji ini adalah 95%, dan p<0,05 maka didapatkan perbedaan

bermakna.

54

BAB VHASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1 Gambaran Umum Derah Penelitian

Penelitian ini berlangsung diruang Laboratorium in Vivo Universitas

Wijaya Kusuma Surabaya yang beralamat di Jalan Dukuh Kupang XXV / 54

Surabaya Selatan.

Laboratorium In Vivo sendiri di bangun pada tahun 2013 berada

dibelakang tempat parkir dosen bangunan 1 lantai lebar 5 meter dan panjang 6

meter. Laboratorium ini dikelola oleh satu dosen sebagai kepala laboratorium

dan seorang asisten yang membantu para peneliti yang akan melakukan

penelitian tersebut, alat dan bahan di laboratorium tersebut masih kurang

memadai karena pendirian laboratorium belum cukup lama.

5.2 Karakteristik sampel

5.2.1 Sampel Tikus Wistar

Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus strain

wistar) dengan jumlah sampel 25 tikus.

Beberapa kriteria inklusi dan eksklusi sampel tikus yang peneliti gunakan

sebagai berikut:

Kriteria inklusi :

Tikus wistar jantan

Umur 2-3 bulan

55

Berat badan 100-150 gram

Kondisi sehat ( aktif dan tidak cacat )

Kriteria eksklusi :

Tikus mengalami sakit

Bobot tikus menurun ( kurang dari 100 gram )

Tikus mati dalam masa penelitian

Setelah sampel diperoleh dengan menggunakan kriteria inklusi dan

kriteria eksklusi, dimana menggunakan 25 ekor tikus wistar jantan yang

diambil secara random sampling kemudian dibagi kembali menjadi lima

kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan 1

(dosis 1), perlakuan 2 (dosis 2), dan perlakuan 3 (dosis 3) masing-masing

kelompok terdiri lima tikus. Penelitian dilakukan selama 28 hari dan

diperoleh data primer (lampiran 1).

Sebelumnya untuk membuat kadar gula darah tikus tinggi, peneliti

menginduksi streptozotosin 50 mg/KgBB secara intraperitoneal terhadap

tikus kelompok kontrol positif, dosis 1, dosis 2, dan dosis 3.

5.2.2 Ekstrak Rumput Laut

Ekstrak rumput laut yang peneliti gunakan adalah ekstrak dengan dosis

terbagi 3 sesuai kelompok perlakuan 1, pelakuan 2, perlakuan 3. Peneliti

menentukan dosis dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Kelompok perlakuan 1 : 4 gr/kgBB/hari

Kelompok perlakuan 2 : 8 gr/kgBB/hari

56

Kelompok perlakuan 3 : 12 gr/kgBB/hari

5.3 Analisi Data

Pengaruh pemberian ektrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar

gula darah tikus wistar (rattus novergicus strain wistar) dengan diabetes

melitus dihitung dengan menggunakan uji one way Anova dengan terlebih

dahulu ditabulasi sebagai berikut:

Tabel 5.1 : Kadar Glukosa Darah Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan

Glukosa darah (mg/dl)

Pre Post

Kontrol negative 102,4 85,6

Kontrol positif 438,2 383,6

P1 402 161,2

P2 467,8 173,8

P3 458 114,4

57

Gambar 5.1 : Grafik Rerata Kadar Glukosa Darah Sebelum dan Sesudah Perlakuan

Hasil uji statistik one way anova dengan menggunakan SPSS versi 16

didapat hasil:

Tabel 5.2 : Anova

Hipotesis :

58

Ho = Tidak ada Pengaruh ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap

kadar gula darah tikus putih (rattus novergicus strain wistar) dengan

diabetes melitus.

H1 = Ada Pengaruh ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar

gula darah tikus putih (rattus novergicus strain wistar) dengan

diabetes melitus

Dari tabel diatas menunjukan bahwa F hitung (16,932) > F tabel (4,22)

atau p (0,001) < α (0,001), jadi Ho di tolak dan Hi diterima. Hal ini

menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma

cottonii terhadap kadar gula darah tikus wistar (rattus novergicus strain

wistar) dengan diabetes melitus. Untuk mengetahui dosis mana yang

berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah dilakukan uji

statistik lanjut menggunakan uji LSD. Berikut hasil uji LSD :

Tabel 5.3 : Hasil Uji LSD

59

Dari hasil Uji LSD disimpulkan, sebagai berikut:

1. Kontrol negatif mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol positif

dan dosis 2 (taraf signifikansi 0,05).

2. Kontrol positif mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol

negatif, dosis 1, dosis 2, dan dosis 3 (taraf signifikansi 0,05).

3. Dosis 1 mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol positif (taraf

signifikansi 0,05).

4. Dosis 2 mempunyai perbedaan nyata dengan kontrol positif dan kontrol

negative (taraf signifikansi 0,05)

5. Dosis 3 mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol positif.

60

BAB VIPEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Rumput Laut Eucheuma Cottonii

Rumput laut Eucheuma Cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut

dari golongan alga merah (Rhodophyceae) penghasil metabolit primer

senyawa hidrokoloid yang disebut karagenan (Doty, 1985).

Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai

terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air

laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati

(Aslan 1998).

Tabel6.1 : Kandungan nutrisi rumput laut tiap 100 gram porsi makanan

Secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein

(5,4%),karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%) serat kasar (3%) dan abu

61

(22,25%). Selain karbohidrat, protein, lemak dan serat, rumput laut juga

mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A,B,C,D, E dan K)

dan makro mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan selenium serta

mikro mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam

amino, vitamin dan mineral rumput laut mencapai 10 -20 kali lipat

dibandingkan dengan tanaman darat. Selain itu, mempunyai kandungan

karagenan yang merupakan serat larut air dalam konsentrasi yang cukup

tinggi yaitu sekitar 65,75%. Karagenan adalah senyawa polisakarida yang

tersusun dari unit ȕ-D-galaktosa dan Į-L-galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa

yang dihubungkan oleh ikatan 1,4 glikosiklik dimana setiap unit galaktosa

mengikat gugusan sulfat. Karagenan dapat menurunkan keterdapatan

(availability) glukosa di sirkulasi dengan cara mengahambat penyerapan

glukosa di proksimal usus halus sehingga dapat mengurangi kadar glukosa

post prandial. Dengan demikian, efek hipoglikemik dari karagenan rumput

laut sangat berguna untuk mencegah dan mengelola kondisi metabolik pada

pasien diabetes melitus (Sulistyowati D, 2009).

6.2 Pengaruh Penyuntikan STZ Terhadap Kadar Glukosa Darah

Streptozotosin (STZ) atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3-nitrosoureido)-D-gluko

piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat digunakan untuk

menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji. STZ menembus

sel β Langerhans melalui tansporter glukosa GLUT 2 (Bonner-Weir et al.,

1981; Szkudelski, 2001; Jackerott et al., 2006; Tormo et al., 2006).

62

Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas.

Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan

pada sel β pancreas. Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu

peningkatan substrat untuk enzim xantin oksidase (sel β pankreas mempunyai

aktivitas tinggi terhadap enzim ini), lebih lanjut meningkatkan produksi asam

urat. Xantin oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion superoksida

aktif. Dari pembangkitan anion superoksida, terbentuk hidrogen peroksida

dan radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab

utama kerusakan sel β pancreas (Akpan et al., 1987; Szkudelski, 2001).

Pembuktian tikus yang sudah menderita diabetes mellitus dengan adanya

kenaikan kadar glukosa darah di atas batas normal yaitu > 200 mg/dl pasca

induksi STZ. Pasca induksi STZ, hewan coba diduga mengalami diabetes

mellitus tipe 2, karena STZ tidak merusak pankreas secara total darah vena

tikus wistar selama 28 hari dan diduga pankreas masih menghasilkan insulin,

tetapi sel reseptor mengalami resistensi insulin (Sulistyowati D, 2009).

Tabel 6.1 : Kadar Gula Darah Setelah Induksi Insulin Buat Batang

63

Kontrol (+) P1 P2 P30

100

200

300

400

500

600

tikus 1tikus 2tikus 3tikus 4tikus 5

Pada penelitian didapatkan kadar gula darah tikus sebagian besar lebih dari

200 mg/dl. Hal ini menunjukkan bahwa induksi STZ dosis 50 mg/KgBB

mampu untuk menaikkan kadar gula darah tikus putih (rattus novergicus

strain wistar).

5.6 Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Laut Eucheuma cottonii Terhadap

Kadar Glukosa Darah

Pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii dengan dosis

4gr/kgBB/hari, 8 gr/kgBB/hari, dan 12 gr/kgBB/hari memiliki rerata kadar

glukosa darah lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.

Berdasarkan uji One Way Anova, hasil analisis yang telah diolah dengan

Program Statistical Product dan Service Solution ( SPSS ) versi 16.0

didapatkan F hitung sebesar16,932, sementara diketahui bahwa nilai F tabel

untuk α = 1%, db=1 sebesar 4,22. Karena F hitung (16,932) > F tabel (4,22)

atau p (0,001) < α (0,001) maka Ho ditolak dan H1 diterima. Hasil uji statistik

64

ini menunjukkan adanya pengaruh ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii

terhadap kadar gula darah tikus putih (rattus novergicus strain wistar) dengan

diabetes melitus yang diinduksi STZ.

Rumput laut Eucheuma Cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut

dari golongan alga merah (Rhodophyceae) penghasil metabolit primer

senyawa hidrokoloid yang disebut karagenan (Doty, 1985)

Karaginan adalah salah satu jenis serat larut air yang sukar dicerna oleh

enzim manusia dan bersifat sebagai pengikat kation (binding of cations) yang

akan mengubah pH intestinum dengan cara mempengaruhi sekresi asam dan

basa lewat pengaruh hormon dan enzim. Hal ini akan mempengaruhi proses

pemecahan karbohidrat (disakarida) di dalam intestinum yang akhirnya akan

mempengaruhi proses penyerapan monosakarida, sehingga dapat menahan

laju peningkatan kadar glukosa darah setelah makan (post prandial) dan

mengurangi penurunan balik gula darah yang akan merangsang selera makan

(Wirjatmadi B, Adriani M, Purwanti S: 2002).

Selain itu, efek karagenan dalam menurunkan kadar glukosa juga

disebabkan karena kemampuan karagenan dalam menyerap air yang sangat

besar dengan membentuk gel atau larutan kental. Dengan demikian,

penyerapan glukosa ke dalam usus menjadi terhambat. Semua mekanisme ini

sangat berguna bagi pengaturan kadar glukosa darah agar tetap dalam batas

normal setelah mengkonsumsi makanan / minuman yang mengandung glukosa

atau mengandung senyawa yang nantinya dapat dipecah menjadi glukosa.

Ekstrak rumput laut mengandung senyawa karaginan yang mampu

65

mempengaruhi proses pemecahan karbohidrat dan proses penyerapan

monosakarida di dalam intestinum karena bersifat sebagai serat makanan

pengikat kation serta memiliki kemampuan menyerap air dalam jumlah besar

dengan membentuk gel atau larutan kental. Mekanisme ini dapat menahan

laju peningkatan kadar glukosa darah setelah makan sehingga glukosa yang

masuk ke dalam tubuh dapat dikontrol pada kondisi mendekati normal (Windy

Oliviany W, W Catharina Endah, Pratama Gilang Bagus. 2009).

BAB VIIPENUTUP

7.1 Kesimpulan

1). Pemberian ektrak rumput laut Eucheuma cottonii peroral dengan dosis 4

gr/KgBB/hari, 8gr/KgBB/hari, dan 12 gr/KgBB/hari dapat menurunkan

kadar gula darah tikus diabetik yang diinduksi streptozotosin.

2). Kadar efektif ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii untuk menurunkan

gula darah adalah pada dosis 12 gr/kgBB/hari. Pada dosis tersebut terjadi

penurunan kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dosis

8gr/KgBB/hari dan 12 gr/KgBB/hari.

66

. 7.2 Saran

1). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian

ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar gula darah tikus

diabetik, dengan variasi dosis dan jumlah sampel yang lebih banyak.

2). Adanya pemanfaatan ekstrak rumput laut secara luas oleh masyarakat

sebagai terapi obat herbal efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah,

khususnya pada penderita diabetes melitus.

5.2 Persiapan dan Perlakuan Hewan Coba

Pada penelitian ini digunakan 25 ekor tikus jantan tikus (Rattus norvegicus

strain wistar). Tikus percobaan dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu

kelompok kontrol negatif yang tidak diinduksi STZ dan tidak diberi diet

ektrak rumput laut, kontrol positif yang diinduksi STZ dan tidak diberi diet

rumput laut, perlakuan satu yang diinduksi STZ dan diberi diet ektrak rumput

laut dosis 4 gr/kg BB/hari, perlakuan dua yang diinduksi STZ dan diberi diet

ektrak rumput laut dosis 8 gr/kg BB/hari, perlakuan tiga yang diinduksi STZ

dan diberi diet ekstrak rumput laut dosis 12 gr/kg BB/hari. Masing-masing

kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Setiap kelompok dipisahkan dalam

kandang yang berbeda. Tahap percobaan meliputi masa adaptasi, injeksi STZ,

pengukuran glukosa dan pemberian terapi ektrak rumput laut Eucheuma

cottonii serta pengukuran kadar glukosa dalam darah. Selanjutnya, tikus

dibunuh dengan cara dislokalisasi.

67

5.3 Pengukuran Kadar Glukosa Darah dan Berat

Pengukuran kadar glukosa darah semua tikus wistar dilakukan pada hari

ke 0 dan 7 dengan glukometer yaitu dengan mengambil 1 tetes darah dari ekor

tikus. Selain pengukuran kadar glukosa darah, penimbangan berat badan juga

dilakukan pada hari ke 0 dan 7 untuk memantau berat badan selama perlakuan

berlangsung.