Proposal Revisi 25 Mei10

66
A. Judul Jurnalisme Lingkungan Hidup Surat Kabar Harian Jogja dan Kompas Jogja (Studi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough Mengenai Rencana Pembangunan Penambangan Pasir Besi Kulonprogo dalam Berita dan Tajuk Rencana di Surat Kabar Harian Jogja dan Kompas Jogja periode November 2008- 2009) B. Latar Belakang Potret persoalan lingkungan hidup di Indonesia: realitas pertambangan. Indonesia memiliki catatan buruk seputar penyelesaian berbagai persoalan lingkungan hidup. Persoalan tata ruang, pertumbuhan penduduk, polusi, sampah, pembalakan hutan, bencana alam dan limbah hanyalah sedikit contoh dari banyaknya kasus lingkungan hidup yang belum terurai atau terselesaikan. Dari sekian persoalan lingkungan hidup tersebut, persoalan pertambangan adalah salah satu yang paling dilematis. 1

description

Proposal Revisi 25 Mei10

Transcript of Proposal Revisi 25 Mei10

Page 1: Proposal Revisi 25 Mei10

A. Judul

Jurnalisme Lingkungan Hidup Surat Kabar Harian Jogja dan Kompas Jogja

(Studi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough Mengenai Rencana

Pembangunan Penambangan Pasir Besi Kulonprogo dalam Berita dan Tajuk

Rencana di Surat Kabar Harian Jogja dan Kompas Jogja periode November

2008-2009)

B. Latar Belakang

Potret persoalan lingkungan hidup di Indonesia: realitas pertambangan.

Indonesia memiliki catatan buruk seputar penyelesaian berbagai persoalan

lingkungan hidup. Persoalan tata ruang, pertumbuhan penduduk, polusi, sampah,

pembalakan hutan, bencana alam dan limbah hanyalah sedikit contoh dari

banyaknya kasus lingkungan hidup yang belum terurai atau terselesaikan. Dari

sekian persoalan lingkungan hidup tersebut, persoalan pertambangan adalah salah

satu yang paling dilematis.

Dalam catatan studi yang dilakukan Direktorat Sumber Daya Mineral Dan

Pertambangan (2008:1), industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor

pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan

memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).

Namun dari sisi dampak lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling merusak

dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Direktorat

Sumber Daya Mineral Dan Pertambangan menyebut beberapa dampak yang dapat

diakibatkan sektor pertambangan yaitu: dapat mengubah bentuk bentang alam,

merusak dan atau menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun

1

Page 2: Proposal Revisi 25 Mei10

batuan limbah, serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak

direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan

raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam (2008:1).

Tak hanya itu, Siti Maimunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang

(JATAM) menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan (baik tambang skala besar

maupun kecil) pada dasarnya memiliki daya rusak bagi lingkungan yang sulit

dipulihkan (Maimunah,2007). Pemiskinan adalah salah satu dampak sosial yang

disebut sebagai akibat kegiatan pertambangan. Maimunah menyatakan bahwa

proses pemiskinan terjadi bahkan sejak awal pertambangan masuk. Sejak hak

penguasaan dan kelola rakyat atas tanah diingkari. Pemiskinan disekitar

pertambangan terjadi karena pengurus negara dan perusahaan mengingkari daya

rusak sektor pertambangan. Perizinan pertambangan seringkali dikeluarkan secara

sepihak. Terbukti tak ada satu pun Kontrak Karya (KK) Pertambangan dan Kuasa

Pertambangan yang mendapatkan persetujuan rakyat sebelum diberikan

(Maimunah, 2007).

Jika ditinjau dari aspek kebijakan, arah pengelolaan pertambangan

Indonesia dengan gamblang diarahkan oleh UU No. 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing. Tak lama setelah disahkannya UU PMA tersebut,

pemerintah melakukan penandatanganan Kontrak Karya generasi pertama dengan

PT. Freeport Indonesia (Maimunah, 2007). Kemudian setelahnya pemerintah

menerbitkan UU No. 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan Umum.

Sejak itu, pemerintah seolah membuka lebar ijin pendirian usaha pertambangan

bagi perusahaan-perusahaan asing. Sonny Keraf dalam bukunya Etika Lingkungan

2

Page 3: Proposal Revisi 25 Mei10

mengartikan sikap pemerintah ini terkait erat dengan pola developmentalisme

yang mengutamakan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi (Keraf, 2006:169).

Pertumbuhan ekonomi yang pesat dijadikan patokan majunya sebuah

Negara. Namun kenyataannya, kemajuan ekonomi yang dicapai selama ini telah

membawa kerugian yang sangat mahal di sisi sosial-budaya dan lingkungan

hidup. Jika diukur secara kuantitatif, apa yang terlihat sebagai pertumbuhan

ekonomi positif 7 persen, misalnya, sesungguhnya pertumbuhan negatif (Keraf,

2006:171). Sebab biaya untuk kerugian sosial-budaya dan lingkungan ternyata

sangat mahal.1

Namun hingga saat ini, pemerintah tak melakukan apapun untuk mengkaji

ulang Kontrak Karya (KK) kesepakatan pertambangan antara pemerintah dengan

korporasi asing. Amien Rais menunjukkan bahwa keseluruhan kontrak karya antara

pemerintah Indonesia dengan korporasi asing lebih menguntungkan pihak asing dan

merugikan bangsa sendiri (2008:46). Hal tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa

pemerintah memegang teguh doktrin pacta sunt survanda, perjanjian yang sudah

disetujui tak boleh diotak-atik (Rais, 2008:46). Alasannya karena Indonesia bisa

dikucilkan oleh para investor internasional. "Pernyataan itu sungguh tidak beralasan,

kecuali karena kekurangpahaman terhadap masalah, kepicikan informasi internasional

mutakhir atau ketakutan yang sulit diterangkan" (Rais, 2008: 47). UU No. 77 Tahun 1967

Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan memiliki kelemahan antara lain:

tidak memuat ketentuan yang menyebutkan bahwa Kontrak Karya sewaktu-waktu dapat

diubah jika bertentangan dengan UU itu sendiri (Rais, 2008:196). Karena itu dapat

1 PT. Freeport adalah contoh perusahaan pertambangan asing yang paling berkonflik sepanjang sejarah pertambangan Indonesia. Selain memicu konflik dengan warga asli, pembuangan limbah tailing PT. Freeport ke sungai telah terbukti merusak lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar. Lihat Maimunah (2007) Bahkan Walhi sudah menuntut agar Freeport ditutup dan dilakukan audit total. Lihat Rais (2008:161)

3

Page 4: Proposal Revisi 25 Mei10

ditafsirkan, sekali Kontrak Karya ditandatangani, kontrak itu berjalan terus sekalipun

bertentangan dengan UU maupun kepentingan Nasional.2

Kasus Penambangan Pasir Besi Kulonprogo

Kasus ini berawal dari kesepakatan pengadaan kontrak kerjasama yang

dilakukan pemerintah Kabupaten Kulonprogo dengan sebuah perusahaan

pertambangan, PT. Jogja Magasa Iron untuk menambang kandungan biji besi di

kawasan pasir pantai selatan daerah Kulonprogo sekaligus mendirikan pabrik baja

disana.3 Penandatanganan kesepakatan dalam sebuah Kontrak Karya itu sendiri

telah dilakukan pada tanggal 4 November 2008 antar pemerintah pusat dan PT.

Jogja Magasa Iron (PT. JMI). Melalui situs resmi milik pemerintah kabupaten

Kulonprogo

(

http://www.kulonprogokab.go.id/main.php?what=berita/berita_lengkap&id_berita

=051120080800051. Akses: 25 November 2009 jam 22.45 WIB), dijelaskan

bahwa naskah Kontrak Karya tersebut telah mendapat rekomendasi dari Badan

Koordinasi Penanaman Modal dan telah dikonsultasikan dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. PT. JMI rencananya akan memulai

kegiatan penambangan pada tahun 2011 dan mulai memproduksi pig iron pada

2 Siti Maimunah seperti yang dikutip oleh Tempointeraktif menyebut Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang baru disahkan pemerintah sebagai “ular yang berganti kulit”, ada delapan pokok permasalahan utama dalam UU tersebut. Salah satunya adalah tidak ada peluang untuk melakukan kaji ulang dan renegosiasi terhadap Kontrak Karya. Lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/18/brk,20081218-151668,id.html Akses 2 Juni 2010 jam 20.08 WIB3 Jumlah pasti kandungan bijih besi di kawasan tersebut masih simpang siur. Dalam rilis resmi pemerintah kabupaten Kulonprogo, disebutkan jumlah kandungan bijih besi sebesar 33,6 juta ton Fe dengan rencana produksi sekitar 1 juta ton per tahun. Sementara sumber dari Walhi menyebutkan ada kandungan 605 juta ton biji besi. Lihat Laporan Publik Walhi 2005-2006 dan http://www.kulonprogokab.go.id/main.php?what=berita/berita_lengkap&id_berita=051120080800202 (akses: 25 November 20109. 22.45 WIB)

4

Page 5: Proposal Revisi 25 Mei10

tahun 2012. Selain itu pihak JMI juga telah memiliki kesepakatan untuk menyerap

tenaga kerja lokal.4

Namun rencana tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra terutama

dari kalangan masyarakat sekitar pantai yang bekerja sebagai petani. Didukung

oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), para petani tersebut

membentuk kelompok Paguyuban Petani Lahan Pantai (PLPP) dan menentang

pelaksanaan rencana pendirian industri berat di kawasan tersebut. Pasalnya, lahan

sekitar pantai tersebut sudah bertahun-tahun diubah menjadi lahan pertanian

seperti cabai, semangka, atau melon dan hasilnya cukup sukses. Jika pasir

diambil, air di lahan pertanian menjadi asin, merusak tanaman dan mencemari

sumur dengan air laut.5 Sementara alasan lain yang dikhawatirkan warga sekitar

adalah penggusuran.6 Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBH-Yogya) selaku

pihak advokasi hukum PLPP, mengatakan ada potensi pelanggaran atas Hak Asasi

manusia salah satunya adalah persoalan hak atas tanah.7 Pada persoalan ini,

Pakualaman mengklaim tanah yang akan dijadikan lahan penambangan pasir

tersebut sebagai miliknya berdasarkan tinjauan sejarah (PA ground) sementara

menurut LBH-Yogya, klaim tersebut gugur berdasarkan UU Pokok Agraria Tahun

1960 tanah tersebut sudah beralih menjadi milik negara dan menurut Peraturan

4 Direktur PT. JMI, Lutfi Heyder mengklaim proyek yang menelan dana US$ 600-700 juta ini akan memberi pemasukan devisa sebesar 6 persen per tahun dari royalti sebesar US$ 425 juta. Selain keuntungan pendapatan pemerintah, lapangan kerja yang terserap pada proyek ini sebanyak 3.000-4.000 karyawan--70 persen penduduk Kulonprogo. Lihat berita UGM Terima Dana Riset Penambangan Pasir Kulonprogo. Koran Tempo, 27 Mei 2008. 5 Hal ini diungkapkan Widodo, aktivis PLPP. Lihat berita Petani Pantai Kulon Progo Protes UGM. Koran Tempo, 3 Juni 20086 Lihat berita Sejumlah Petani Lahan Pantai di Kulon Progo Gelisah. Kompas, Rabu, 22 Oktober 2008, Penambangan Pasir Besi Ancam Eksistensi Petani Kulonprog. Tempointeraktif, Selasa, 24 Maret 2009 | 15:24 WIB (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html) 7 Wawancara penulis dengan Kepala Divisi Ekonomi Sosial dan Budaya LBH Yogyakarta, Samsudin Nurseha. Rabu, 19 Mei 2010

5

Page 6: Proposal Revisi 25 Mei10

Pemerintah No.224, dapat digunakan oleh rakyat.8 Sementara itu, juga ada

kekhawatiran proyek penambangan tersebut akan berdampak buruk terhadap

keberlanjutan ekologi dan sosial budaya jika dilaksanakan. Seperti yang dikutip

situs Tempointeraktif, Walhi mengkhawatirkan kualitas lahan pertanian terancam

dan habitat fauna pesisir di Kecamatan Galur yakni burung migran akan terancam

hilang (Puluhan Kasus Lingkungan Hidup di Yogyakarta Terbengkalai.

Tempointeraktif:http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/06/05/

brk,20090605-180313,id.html. Tanggal akses: 30 Oktober 2009 jam 16.00 WIB).

Pendapat ini didukung oleh Dja’far Shiddieq MSc, dosen Jurusan Ilmu Tanah

Fakultas Pertanian UGM. Menurutnya, para petani telah menemukan sistem

pertanian terpadu yang mampu menyulap gumuk pasir menjadi ladang pertanian

yang subur (Kompas Jogja, Jumat, 11 April 2008). Selain itu gumuk pasir yang

terdapat di kawasan pesisir selatan Kulonprogo merupakan salah satu dari tiga

gumuk pasir yang bergerak di seluruh dunia. “Kombinasi penanaman cemara

udang dan gumuk-gumuk pasir bentukan alam itu merupakan penahan tsunami

alamiah yang paling efektif”, kata Shiddieq9

Sikap pemerintah pusat menanggapi persoalan ini juga terkesan cuci tangan,

seperti yang termuat dalam berita Tempointeraktif, 8 Juni 2009 (Diserahkan

Daerah. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/08/brk,20090608-

180670,id.html. Akses: 11 Mei 2010 jam 14.20 WIB), Purnomo Yusgiantoro,

8 Untuk referensi lihat berita Pendataan Tak Terkait Penambangan, Kompas Jogja, Rabu 13Mei 2009 dan boks berita Menimbang Akar konflik Tanah Pakualaman, Kompas Yogyakarta, 13 Mei 2009 Hal.1dan Belanda Wariskan Sengketa Tanah Sultan dan Pakualam, Tempointeraktif.: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/20/brk,20090520-177248,id.html Rabu, 20 Mei 2009 | 05:49 WIB9 Lihat juga berita di Harian Pikiran Rakyat, Jumat, 11 April 2008 seperti dikutip dalam http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=329. Akses: 19 Mei 2010 jam 15.30 WIB

6

Page 7: Proposal Revisi 25 Mei10

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menyatakan bahwa Pemerintah pusat

menyerahkan pro-kontra rencana penambangan pasir besi di pantai selatan Kulon

Progo, Yogyakarta, kepada pemerintah daerah. "Kuasa Pertambangan diserahkan

kepada pemerintah daerah. Pusat tidak memiliki otoritas lagi,"

Sementara menyikapi kasus pro-kontra ini, Sultan Hamengku Buwono X

selaku Gubernur Provinsi DIY mengharapkan proyek ini diteruskan. Alasannya

proyek jangka panjang semacam ini yang bisa meningkatkan pertumbuhan

ekonomi Yogyakarta.10 Beberapa pihak menilai, sikap Sultan semacam ini

memiliki kaitan kepentingan politis dan ekonomis sebab dikabarkan salah satu

komisaris PT JMM ternyata adalah GBPH Joyokusumo (adik Sultan Hamengku

Buwono X) dan GKR Pembayun (putri sulung Sultan), sedangkan direktur utama

perusahaan tersebut adalah BRMH Haryo Seno.11

Proyek ini juga sempat memicu terjadinya bentrokan antara warga yang

berdemonstrasi dengan aparat keamanan pada 20 Oktober 2009.12

Jurnalisme Lingkungan Hidup dan Peran Media Lokal

10 Lihat berita Sultan: Penambangan Pasir Besi dan Bandara Adisutjipto Harus Terealisasi. Tempointeraktif, Senin, 30 Maret 2009 | 17:49 WIB (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/30/brk,20090330-167337,id.html Akses 10 Mei 2010 jam 12.40 WIB), Sultan: Beri Kesempatan Pada Investor Pasir Besi. Republik, Rabu, 05 Agustus 2009 (http://koran.republika.co.id/berita/67225/Sultan_Beri_Kesempatan_Pada_Investor_Pasir_Besi. Akses 11 Mei 2010 jam 14.25 WIB) dan Sultan: Proyek Penambangan Pasir Besi Ditentukan Amdal. Kompas.com, Selasa, 28 Juli 2009 | 20:13 WIB (http://regional.kompas.com/read/2009/07/28/20133357/Sultan:.Proyek.Penambangan.Pasir.Besi.Ditentukan.Amdal. Akses 11 Mei 2010 jam 16.45 WIB)11 Lihat artikel Cahyadi, Firdaus. Ganjalan Pertama Sultan X. Opini dalam Koran TEMPO, 12 Nopember 2008. Firdaus Cahyadi adalah Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia(http://www.satudunia.net/content/ganjalan-pertama-sultan-x. Akses 11 Mei 2010 jam 13.10 WIB), Lihat juga Aditjondro, George Junus. 2009. Jejak Rekam Para Capres Di Bidang Lingkungan & Pilihan Bagi Gerakan Lingkungan di Indonesia. Jatam12 Lihat laporan Kronologis Demonstrasi Menolak Tambang Pasir Besi Kulon Progo. 2009. Jatam, lihat juga Korban Luka Minta Polisi Tanggung Jawab. Kompas Jogja, Jumat, 23 Oktober 2009 Hal. 1

7

Page 8: Proposal Revisi 25 Mei10

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat menyebutkan salah

satu fungsi pertama pers yang bertanggung jawab adalah fungsi informatif, yaitu

memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak ramai dengan cara yang

teratur (Kusumaningrat, 2005:27). Informasi atau berita tersebut diangkat

berdasarkan realitas sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Persoalan

lingkungan hidup adalah bagian dari realitas tersebut, maka media massa memiliki

kewajiban pula untuk mengangkat persoalan lingkungan hidup dalam

pemberitaannya. Namun, ada permasalahan bahwa tak semua berita yang

menyangkut persoalan lingkungan hidup dapat dimuat di media massa. Hal ini,

menurut Ana Nadya Abrar (1993:8), disebabkan karena berita semacam itu

biasanya mengundang konflik kepentingan berbagai pihak. Adanya berbagai

macam benturan kepentingan itulah yang membuat berita lingkungan hidup tak

pernah bisa memuaskan semua pihak, “Selalu saja ada yang diuntungkan. Sayang

pengalaman menunjukkan yang sering diuntungkan adalah pihak yang berkuasa

atau yang kaya” (Abrar, 1993:8-9). Berangkat dari kenyataan inilah, lanjut Abrar,

timbul gagasan dari para ahli untuk memperkenalkan jurnalisme lingkungan hidup

yang berpihak pada kesinambungan lingkungan hidup. Artinya, penelitian

beritanya diorientasikan kepada pemeliharaan lingkungan hidup sekarang agar

bisa diwarisi oleh generasi berikutnya dalam keadaan yang sama, bahkan kalau

bisa lebih baik lagi (Abrar, 1993:9).

IGG Maha Adi13 menyebut jurnalisme lingkungan hidup di Indonesia mulai

berkembang bersamaan dengan institusionalisasi masalah-masalah lingkungan

13 IGG Maha Adi adalah ketua Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Pernyataan ini didapat dalam wawancara penulis melalui surat elektronik tanggal 4 Juni 2010

8

Page 9: Proposal Revisi 25 Mei10

hidup melalui penetapan Kementrian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan

Hidup (PPLH) tahun 1978 yang kemudian menjadi Kementrian Kependudukan

dan Lingkungan HIdup dan sekarang menjadi Kementrian Lingkungan HIdup

(KLH). Karena perkembangan yang cukup lama—sekitar 28 tahun—hingga para

wartawan lingkungan menyadari pentingnya berkumpul dan berorganisasi untuk

meningkatkan kualitas peliputan berita Lingkungan Hidup (LH), maka menurut

Adi ada beberapa gambaran ideal yang seharusnya bisa dicapai oleh praktik

Jurnalisme Lingkungan Hidup (JLH) di Indonesia. Yang pertama, dari faktor

pelaksana yaitu para Jurnalis. Ia menyebutkan bahwa jurnalis LH sebaiknya

memahami dasar-dasar ilmu lingkungan (kredibel), independen, spesialis

sehingga menghasilkan liputan berkualitas tinggi. Kedua, faktor Pengelola Media

yaitu para redaktur, pemimpin redaksi atau pemilik media. Pengelola media yang

ideal adalah mereka yang memahami dan mengerti bahwa masalah lingkungan

hidup merupakan masalah yang berdampak sirkuler (dapat berbalik) yang akan

mempengaruhi peri kehidupan manusia. Sehingga bagi media massa, isu-isu

lingkungan menjadi isu arus utama (mainstream issue) seperti juga politik dan

ekonomi. Sedangkan yang terakhir, faktor Kultur Partisipasi Publik. Faktor ini

merupakan pendukung yang penting ketika wartawan lingkungan bekerja di

lapangan. Partisipasi masyarakat juga telah diatur dengan UU No.32 tahun 2009

tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.  Partisipasi ini bisa

membantu wartawan bila masyarakat ikut mengawasi pelaksanaan berbagai

kebijakan lingkungan hidup, pengawasan kegiatan berdampak lingkungan, serta

membantu memberikan informasi kepada wartawan.

9

Page 10: Proposal Revisi 25 Mei10

Salah satu unsur nilai berita adalah proximity atau faktor kedekatan wilayah.

Maka, dalam memberitakan sebuah persoalan lingkungan hidup, media lokal

memiliki potensi dari segi kedekatan untuk memberikan informasi yang lebih

memadai bagi khalayak lokal. Proporsi berita lokal pada surat kabar lokal

biasanya memiliki bagian yang lebih besar dibandingkan dengan pemuatan isu

nasional.14 Sehingga, ada kesempatan bagi persoalan lingkungan hidup diangkat

lebih sering terutama yang memiliki kaitan langsung dengan masyarakat setempat

dimana surat kabar tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Selain itu, surat kabar

sebagai salah satu bentuk media massa memiliki jangkauan khalayak yang lebih

luas dan menyeluruh dibandingkan dengan media khusus seperti film. Dengan

kelebihan itu, surat kabar memiliki potensi untuk lebih banyak dikonsumsi

sehingga memungkinkan informasi mengenai lingkungan hidup juga lebih

menjangkau khalayak yang lebih luas.

Sebagai salah satu surat kabar harian lokal yang terbit di wilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta, Harian Jogja memang masih tergolong sangat muda. Ia

terbit perdana pada Mei 2008 silam dan terjun dalam persaingan industri pers

daerah Yogyakarta yang sudah terbilang cukup ramai. Menurut data oplah koran

lokal tahun 2009, Harian Jogja memiliki tiras sebanyak 11.000 eksemplar untuk

distribusi DIY dan sekitarnya.15 Dari segi usia, Harian Jogja belum dapat

14 George Junus Aditjondro menggambarkan bahwa pemberitaan masalah lingkungan di Indonesia sangat diwarnai tingginya oplah dan luasnya daya jangkau tiga kelompok pers terbesar Indonesia, yakni Kelompok Kompas Gramedia, Kelompok Grafiti Pers (Tempo dan 12 Koran Daerah), serta Kelompok Sinar Kasih. Hal ini menjelaskan mengapa permasalahan lingkungan di daerah lebih kecil kemungkinannya diberitakan dengan gencar sehingga menjadi isu nasional (Aditjondro, 2003:64). Penulis menarik kesimpulan bahwa pemberitaan masalah lingkungan yang sifatnya lokal, haruslah menjadi perhatian utama media lokal sebab jika tidak, maka akan kecil kemungkinan isu tersebut diketahui masyarakat.15 data diambil dari skripsi Lidwina Chometa Halley Eprilianty “Framing Opini Masyarakat tentang Polemik Jabatan Gubernur DIY dalam Koran Lokal DIY (Analisis Framing Media atas

10

Page 11: Proposal Revisi 25 Mei10

dikatakan “berpengalaman”, namun justru sebagai sebuah media baru, tentunya ia

memiliki kelebihan yang ditawarkan baik dari segi tampilan maupun isi sehingga

berani berhadapan langsung dengan pemain lama seperti Kedaulatan Rakyat atau

Bernas. Selain itu, peneliti tertarik untuk menganalisis harian ini sebab masih

belum banyak pihak yang mengupasnya sebagai sebuah media lokal. Sementara

Kompas Jogja merupakan harian suplemen dari surat kabar nasional Kompas yang

sudah memiliki nama di kancah media nasional. Tentunya faktor kedekatan

wilayah juga turut menjadi bahan pertimbangan media nasional agar dapat

menjangkau lebih banyak audiens di wilayah tertentu. Dari segi historis, Kompas

juga dikenal sebagai media yang humanis atau mengedepankan unsur-unsur

kepedulian sosial dalam pemberitaannya. Maka, asumsi peneliti adalah Kompas

Jogja setidaknya juga memiliki standar kinerja seperti induknya di level nasional

namun bergerak pada isu-isu lokal.

Dengan melihat persoalan rencana penambangan pasir besi yang merupakan

isu lingkungan hidup, khususnya pertambangan, maka penulis tertarik untuk

mengetahui bagaimana wacana persoalan kasus tersebut direpresentasikan dalam

media lokal, khususnya surat kabar harian lokal. Penulis ingin tahu bagaimana

wacana dominan persoalan lingkungan hidup--dalam contoh kasus ini rencana

penambangan pasir besi Kulonprogo—direpresentasikan oleh Harian Jogja dan

Kompas Jogja. Representasi atau reproduksi atas wacana tersebut akan

diasumsikan sebagai ideologi media melihat persoalan lingkungan hidup yang

akan menunjukkan pada kita, bagaimana jurnalisme lingkungan hidup

Opini Narasumber sebagai Representasi Masyarakat tentang Polemik Pengisian Jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 2008 – 2013 dalam SKH Kedaulatan Rakyat dan SKH Bernas Jogja”) (2009: 41)

11

Page 12: Proposal Revisi 25 Mei10

direpresentasikan oleh media lokal.

Studi mengenai pemberitaan lingkungan hidup

Studi mengenai peliputan atau pemberitaan persoalan lingkungan hidup

memang bukanlah hal yang baru. Penulis setidaknya menemukan lebih dari dua

studi yang memiliki ketertarikan yang sama dalam melihat sikap dan

profesionalitas media dalam mengangkat persoalan lingkungan hidup. Namun,

sejauh yang peneliti amati, analisis yang dilakukan lebih sering berkaitan dengan

analisis isi dan dengan metode kuantitatif. Salah satunya Yunie Henoek tahun

2008 dalam skripsi berjudul ”Pemberitaan Pemanasan Global Pada Surat Kabar

Kompas Tahun 2007”. Konsep jurnalisme lingkungan disoroti sebagai tugas

media massa dalam melaksanakan tugasnya sebagai kontrol sosial terhadap isu-isu

pemanasan global. Penelitian tersebut menganalisis performa media (media

performance) Surat Kabar Harian Kompas sepanjang tahun 2007.

Penelitian lain dilakukan oleh, Eusebius D. Hariyadi, 2005, berjudul

“Kerusakan Lingkungan Hidup dalam Surat Kabar: Studi Analisis

Isi Berita Kerusakan Lingkungan Hidup pada Surat kabar Harian Kedaulatan

Rakyat dan Harian Bernas periode 1 November - 30 November 2004”. Penelitian

tersebut juga menggunakan metode analisis isi. Kesimpulan dari penelitian

tersebut, kedua media masih belum memenuhi syarat jurnalisme lingkungan hidup

yang baik. Penelitian ini memiliki kelemahan karena hanya menganalisa dari segi

kuantitas pemberitaan yang muncul.

Penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana kritis, peneliti

temukan pada disertasi master karya Njord V. Svendsen berjudul “Reporting Air

12

Page 13: Proposal Revisi 25 Mei10

Pollution In South Durban: A Case Study Of Environmental Journalism In

Durban Newspapers From 1985 – 2000”. Penelitian tersebut sangat kompleks

sebab menganalisis pemberitaan mengenai polusi udara dalam rentang waktu yang

cukup lama dan memadukan dua jenis pendekatan penelitian yakni kuantitatif dan

kualitatif. Dalam penelitian ini, penulis memilih untuk melakukan pendekatan

metode kualitatif namun menggunakan analisis wacana kritis yang dikemukakan

oleh Norman Fairclough, sementara Svendsen lebih menggunakan pendekatan

Van Dijk pada level analisis teks.

C. Rumusan Masalah

Bagaimana representasi wacana dominan persoalan lingkungan hidup yang

muncul dari rencana pembangunan tambang pasir besi Kulonprogo dalam berita

dan tajuk rencana Harian Jogja dan Kompas Jogja?

D. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui representasi wacana dominan persoalan lingkungan

hidup yang muncul dari rencana pembangunan tambang pasir besi Kulonprogo

dalam berita dan tajuk rencana Harian Jogja dan Kompas Jogja.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat akademis

Sebagai tambahan referensi studi analisis wacana kritis pemberitaan mengenai

persoalan lingkungan hidup pada Program Studi Ilmu Komunikasi.

2. Manfaat praktis

a. Menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana cara media

merepresentasikan wacana persoalan lingkungan hidup dalam pemberitaan.

13

Page 14: Proposal Revisi 25 Mei10

b. Menjadi tambahan referensi bagi peneliti lain yang akan menggunakan

metode analisis wacana kritis atau topik mengenai jurnalisme lingkungan

hidup.

F. Kerangka Teori

F.1 Konseptualisasi wacana persoalan lingkungan hidup

F.1.1 Wacana

Untuk memperjelas tema dan ruang lingkup penelitian, penulis mencoba

menggambarkan apa yang disebut sebagai wacana persoalan lingkungan hidup.

Pertama, yang terlebih dahulu harus dipahami adalah konseptualisasi wacana itu

sendiri.

Ada beragam konsep mengenai wacana. Dalam pengertian linguistik

misalnya, wacana dipahami sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat

(Eriyanto, 2001:3). Sedangkan konsep wacana yang diperkenalkan Michael

Foucault (dalam Eriyanto, 2001:63), wacana tak dipahami sebagai rangkaian kata

atau proposisi dalam teks melainkan sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah

gagasan, konsep atau efek). Norman Fairclough seperti dikutip oleh Marianne

Jorgensen dan Louise j. Phillips mengaplikasikan konsep wacana dalam tiga cara

berbeda:

In the most abstract sense, discourse refers to language use as social practice.16…Secondly, discourse is understood as the kind of language used within a specific field, such as political or scientific discourse. And thirdly, in the most concrete usage, discourse is used as a count noun (a discourse, the discourse, the discourses, discourses) referring to a way of speaking which gives meaning to experiences from a particular perspective. (2002: 66-67)

16 Kutipan aslinya sesuai tercantum dalam buku Media Discourse adalah “ A discourse is the language used in representing a given social practice from a particular point of view” (Fairclough, 1995:56). Penulis menerjemahkannya sebagai pemakaian bahasa dalam merepresentasikan sebuah praktik sosial (social practice) dari sudut pandang tertentu.

14

Page 15: Proposal Revisi 25 Mei10

Merujuk pada pemahaman ketiga, Jorgensen dan Phillips menyimpulkan

konsep discourse mengacu “to any discourse that can be distinguished from other

discourses such as, for example, a feminist discourse, a neoliberal discourse, a

Marxist discourse, a consumer discourse, or an environmentalist discourse”

(2002:67)17

F.1.2 Persoalan lingkungan hidup

Menurut pemahaman yang tercantum dalam UU No.23/1997 Tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang

dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan

perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

manusia serta makhluk hidup lain. Sementara Lynton Caldwell seperti dikutip

oleh Aditjondro mendefinisikan persoalan atau masalah lingkungan hidup

sebagai:

“Masalah lingkungan merupakan hasil dari perubahan yang terjadi dalam lingkungan, yang disebabkan atau dipengaruhi oleh aktivitas manusia, dengan konsekuensi menimbulkan keprihatinan sosial dn menciptakan problema yang mengarah kepada perlunya tindakan politik.” (2003:164)

F.2 Paradigma dan Gerakan Lingkungan Hidup

Setiap persoalan lingkungan hidup yang terjadi di suatu wilayah atau negara

tak dapat dilepaskan dari cara pandang (paradigma) yang mempengaruhi

pembuatan kebijakan, peraturan dan perundang-undangan negara tersebut.

Paradigma ini tercermin dari kebijakan dan undang-undang yang dikeluarkan dan

dijalankan oleh pemerintah. Pemahaman akan paradigma lingkungan hidup dan 17 Secara sederhana--berdasarkan keseluruhan pemahaman yang dikemukakan di atas--penulis mengasumsikan wacana sebagai sebuah percakapan atau pembicaraan mengenai suatu masalah dalam tema tertentu.

15

Page 16: Proposal Revisi 25 Mei10

gerakan lingkungan juga akan membantu menjelaskan bagaimana proses

terbentuknya wacana persoalan lingkungan hidup sehingga selanjutnya kita akan

lebih mudah memahami bagaimana terbentuknya wacana persoalan lingkungan

hidup yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Secara umum, akar dari keseluruhan gerakan lingkungan hidup (ecological

movement) dapat disebut sebagai bagian dari environmentalism atau ideologi

politik “that inform activity aimed at preventing damage to the natural

environment by working in consensual ways” (Sutton, 2007:166) yang

dilatarbelakangi kesadaran masyarakat akan kedudukan planet bumi, politik

lingkungan dan gerakan sosial.18 Dalam perkembangannya, muncul gerakan-

gerakan lingkungan yang dipengaruhi filosofi atau paradigma lingkungan hidup

yang memiliki orientasi masing-masing sebagai berikut:

a. Eco-developmentalism

18 Neil Carter dalam bukunya The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy (2007:xix) mendefinisikan environmentalisme modern (modern environmentalism) sebagai “the emergence, from the late 1960s, of growing public concern about the state of the planet, new political ideas about the environment and a mass political movement” disini dapat diasumsikan bahwa Carter mendefinisikan gerakan lingkungan juga sebagai gerakan politik yang berorientasi pada lingkungan.

16

Page 17: Proposal Revisi 25 Mei10

Fokus gerakan lingkungan ini adalah mengupayakan kelestarian lingkungan

demi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan pemupukan modal (Fakih

dalam Dietz, 1998: x). Alasan pelestarian lingkungan yang dipahami kelompok ini

adalah demi kontinyuitas pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan

ekonomi akan terus berlangsung.19 Mansour Fakih juga menjabarkan bagaimana

praktik kapitalisme ini berlangsung:

“Dalam praktik kapitalisme--sebagai ideologi yang bertujuan melakukan pemupukan modal (capital accumulation) melalui proses-proses penanaman modal (capital investment)-- mendorong dan mengharuskan adanya ekspansi keluar dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja semurah mungkin”. (Fakih dalam Dietz, 1998:vi)

Proses ini jugalah yang dianggap sebagai penyebab munculnya sejarah

imperialisme (penaklukan) dan kolonialisme (penjajahan) (Fakih dalam Dietz,

1998l: vi). Sebab dengan mengutamakan sumberdaya alam sebagai aset produksi,

kelestarian lingkungan hidup hanya diusahakan sepanjang memiliki manfaat bagi

pertambahan ekonomi atau modal.

Bisa dikatakan gerakan lingkungan yang merupakan perwujudan

kapitalisme ini lahir dari pandangan antroposentrisme, sebuah paradigma yang

diartikan Carter Neil sebagai paradigma “that regards humans as the source of all

value and its predominantly concerned with human interest” (Neil, 2007:14).

Paradigma ini mengukuhkan keberadaan manusia sebagai makhluk tertinggi

dalam hubungannya dengan alam, sehingga dengan demikian, memiliki hak untuk

mengelola dan mengeksploitasi alam ini.20

19 Manosur Fakih (dalam Dietz, 1998: v-x) dengan tegas menyatakan bahwa gerakan ini memiliki akar kapitalisme “…sumber daya alam telah menjadi faktor penting sejak awal perkembangan kapitalisme. Dalam teori ekonomi kapitalis, sumber daya alam dianggap salah satu dari tiga faktor produksi yang utama, selain sumber daya manusia dan sumber daya dana”20 Sonny Keraf, dalam bukunya Etika Lingkungan secara jelas menyebut antroposentrisme sebagai biang keladi sikap manusia saat ini, “…Krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris…menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya,tanpa cukup member perhatian pada kelestarian alam.” (2002: 33-35)

17

Page 18: Proposal Revisi 25 Mei10

Ide tentang pembengunan berkelanjutan atau sustainable development yang

saat ini merupakan pedoman utama arah pembangunan negara-negara

berkembang sesuai pedoman Bank Dunia (World Bank) disebut-sebut sebagai

produk turunan dari paradigma ini.21

b. Eco-Fascism

Paradigma ini justru berkebalikan dengan Eco-developmentalism. Pusat dari

paradigma ini adalah alam, sehingga tujuan utamanya adalah kelestarian alam

dengan mengabaikan keberadaan manusia yang juga bagian dari alam. Ton Dietz

mengatakan bahwa penganut ekofasisme cenderung melakukan cara-cara

kekerasan untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan. “Kaum ekofasis

menganggap konservasi lingkungan jauh lebih penting daripada kehidupan rakyat,

khususnya kehidupan rakyat miskin” (Dietz, 1993:22). George Junus Aditjondro

mencontohkan pelarangan yang dilakukan pemerintah pada warga yang digusur di

sekitar Kedungombo untuk menggarap “sabuk hijau” waduk itu dengan

menggunakan retorika hukum (legalistik) dan saintifik.22

c. Eco-Populism

Berbeda dengan kelompok dalam dua paradigm di atas, kelompok yang

21 Mansour Fakih adalah salah satu yang menyebut sustainable development sebagai kamuflase untuk melestarikan kapitalisme.“Semboyan seperti pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan untuk mengabsahkan (melegitimasi) pertumbuhan dan pembangunan kapitalis” (Fakih dalam Dietz, 1993;x)22 Dalam contoh kasus penggusuran warga pada proyek waduk Kedungombo, Aditjondro menyebutkan bahwa pemerintah menggunakan retorika (wacana) legalistik dan saintifik untuk mengabsahkan keputusannya. Dikatakan, pemerintah menggunakan UU Pokok Pengairan No. 11 th. 1974 untuk memutuskan bahwa keberadaan pemukiman rakyat di sekitar sabuk hijau waduk tersebut harus digusur. Selain itu pejabat PU dan pemerintah daerah mengatakan, keberadaan rakyat di kawasan periferi waduk tersebut akan menimbulkan erosi yang akan menimbulkan sedimentasi. Aditjondro sendiri sudah mengkaji ulang kedua wacana tersebut dan membuktikan sebaliknya. (Lihat Aditjondro, 2003:52-53) Meskipun dikatakan tindakan pemerintah itu adalah bukti dari ekofasisme “lunak” seperti yang dikatakan Aditjondro, penulis cenderung melihatnya sebagai salah satu dalih pemerintah yang mengkamuflasekan “penghijauan” sebagai alasan kepentingan yang sifatnya ekonomis.

18

Page 19: Proposal Revisi 25 Mei10

memiliki pandangan ini adalah aktivis gerakan lingkungan yang memihak kepada

kepentingan rakyat banyak (Fakih dalam Dietz, 1993:xi). Sehingga, kelompok ini

juga dapat dinamai sebagai kelompok lingkungan kerakyatan. Kepentingan utama

paradigm ini adalah memikirkan secara kritis siapa yang berhak atas lingkungan

atau sumber daya alam dalam kawasan tersebut, siapa yang mendapat manfaat

dari lestarinya alam di sana. Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut secara

perlahan kelompok paradigm ini mentransformasikan dirinya menjadi gerakan

politik (Fakih dalam Dietz, 1993: xi).

(MODEL) Segitiga hubungan antara ketiga paradigma :

Developmentalism (ekonomi), Ecocentrism (Nature), dan Environmentalism

(social)

F.3. Ideologi dan Kekuasaan

Implementasi paradigma lingkungan hidup bersinergi dengan ideologi dan

kekuasaan yang mempengaruhinya. Maka untuk memahami bagaimana ideologi

dan kekuasaan mempengaruhi terjadinya atau tindakan penyelesaian persoalan

lingkungan hidup, terlebih dulu kita perlu memahami bagaimana pihak penguasa,

dalam hal ini pemerintah, mengimplementasikan ideologi tersebut dalam

kebijakan-kebijakan dan undang-undang.

Jika bicara tentang kekuasaan, pasti ada ideologi yang menentukan

bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Norman Fairclough sendiri memahami

ideologi sebagai “meaning in the service of power” (Fairclough 1995b: 14 dalam

Jorgensen and Phillips, 2002:75). Lebih tepat lagi, Fairclough memahami ideologi

“as constructions of meaning that contribute to the production, reproduction and

19

Page 20: Proposal Revisi 25 Mei10

transformation of relations of domination” (Fairclough 1992b: 87; cf. Chouliaraki

and Fairclough 1999: 26f. dalam Jorgensen and Phillips, 2002:75)

Ada pasal dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang mengatur tentang

pengelolaan sumber daya lingkungan hidup yaitu pasal 33 ayat 3yang berbunyi:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ada makna

tertentu yang dapat ditafsirkan dari penggunaan kata “dikuasai” disitu. Sesuai apa

yang tercantum dalam undang-undang, negara dalam hal ini bisa disebut diwakili

oleh pemerintah berhak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang

terdapat di Indonesia.23 Berarti, arah pengelolaan sumber daya alam sangat

ditentukan oleh ideologi yang berkembang dan dijalankan. Misalnya dalam

ideologi kapitalisme, seperti yang sudah disebutkan di atas, sumber daya alam

dianggap sebagai salah satu unsur produksi. Dengan demikian, negara berhak

mengeruk sumber daya alam atau bekerja sama dengan pihak lain dalam

mengeksploitasi sumber daya alam bagi kepentingan ekonomi.

F.4 Ekonomi Politik Media

Konsep ideologi dan kekuasaan juga terjadi dalam media massa. Untuk

menggambarkan hal ini, penulis akan menggunakan konsep Ekonomi Politik

Media untuk dasar analisa dalam tahap analisis ideologi media.

Vincent Mosco menggambarkan pendekatan ekonomi politik media secara

umum dimulai dengan segi produksi proses komunikasi dengan

mempertimbangkan pertumbuhan bisnis dan hubungannya dengan ekonomi

23 Lihat pendapat Amien Rais (2008). Ia menilai terminologi tersebut lebih memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dalam mengelola sumber daya alam Indonesia (hutan, tambang, air, dan lain-lain)

20

Page 21: Proposal Revisi 25 Mei10

politik yang lebih luas (1996:74). Studi ekonomi politik mengambil pendekatan

Marxist (Shoemaker and Reese, 1996:230). “Using the Marxist

base/superstructure metaphor, ideology is regardes as part of the superstructure”

(hal.230). Mengacu pada pendapat Curran, Gurevitch dan Woolacott dalam

Shoemaker, media dikatakan memiliki peran “ that of legitimation through the

production of false consciousness, in the interest of the class which own and

control the media” (1996:230). Dengan demikian, media harus menyamarkan atau

mengaburkan “class antagonism that are the heart of a Marxist view of society”.

Faktor kepemilikan media, oleh Shoemaker, dipertimbangkan sebagai cara

utama yang digunakan oleh pihak yang memiliki kuasa untuk mengontrol melalui

institusi media. Pada akhirnya, pendekatan ekonomi politik mengantar kita pada

anggapan bahwa “capitalist-owned media decisions and content will tend to favor

those with economic power” (Shoemaker and Reese, 1996:230).

Vincent Mosco mengembangkan sebuah pemetaan substantive ekonomi

politik dengan tiga tahapan proses (1996:138-139) yaitu Komodifikasi (

commodification), Spasialisasi (spatialization) dan Strukturisasi (structurization).

Komodifikasi merupakan cara kapitalisme dalam mengakumulasikan modal atau

merealisasikan nilai melalui transformasi dari penggunaan nilai-nilai ke dalam

sistem pertukaran (Mosco, 1996:140). Komodifikasi mengacu pada proses

mengubah nilai guna ke dalam nilai tukar, mengubah produk yang memiliki nilai

yang ditentukan oleh kemampuannya memenuhi kebutuhan individu dan sosial ke

dalam produk yang memiliki nilai yang ditentukan oleh apa yang dapat

21

Page 22: Proposal Revisi 25 Mei10

dibawanya di pasar.24 Dalam kaitannya dengan media, komodifikasi bisa

dicontohkan dalam usaha media menarik iklan untuk menambah akumulasi

modal. Salah satu contohnya adalah dengan membuat rubrik khusus advertorial

pada harian Kompas. Rubrik ini tak hanya menyajikan iklan produk atau jasa

secara konvensional namun juga mengemasnya dalam susunan cerita feature

dengan satu tema tertentu. Misalnya, saat bicara mengenai kesehatan, Kompas

menyelipkan beberapa iklan produk kesehatan atau bahkan membahas kelebihan

produk tersebut tanpa terlihat terlalu beriklan sehingga pembaca lebih tertarik

untuk menyimaknya.

Spasialisasi merupakan suatu proses “of overcoming the constraints of space

and time in social life” (Lefebvre, 1979 dalam Mosco, 1996:173). Spasialisasi

lebih merujuk pada kepemilikan (ownership) atau konglomerasi media. Disini

sebagai gambaran, media melakukan diversifikasi usaha atau penggabungan usaha

lain sebagai bagian dari industri media. Contohnya Kelompok Kompas Gramedia

juga memiliki usaha di bidang event organizer (Dyandra), hotel dan resor

(Santika), radio (Sonora), pendidikan (Universitas Multimedia Nusantara)selain di

bidang surat kabar (harian Kompas dan media-media daerah lainnya).

Strukturisasi didefinisikan sebagai “a process to by which structures are

constituted out of human agency, even as they provide the very ‘medium’ of that

constitution” (Mosco, 1996:212). Teori strukturisasi dapat digabungkan dengan

proses komodifikasi dan spasialisasi untuk memajukan ekonomi politik

24 Penulis menerjemahkan dari kalimat “Commodifications refer to the process of turning use values into exchange values, of transforming products whose value is determined by their ability to meet individual and social need into products whose value is set by what they can bring in the marketplace” (Mosco, 1996: 143-144)

22

Page 23: Proposal Revisi 25 Mei10

5

4

3

2

1

komunikasi (Mosco, 1996:213). Strukturisasi adalah proses pembentukan struktur

organisasional yang menyertakan sejarah institusi, aktivitas birokratis secara

sosial, teknologi, dan pengaruhnya terhadap kebiasaan sosial, hukum dan kultur

pada konstruksi sosial. Sebagai contoh dalam media, terdapat level struktur yang

mempengaruhi wartawan dalam melakukan liputan dan pemilihan angle berita.

Lapisan struktur tersebut digambarkan oleh Pamela Shoemaker dan Stephen

Reese dalam bagan berikut:

Keterangan:

1. individual level

2. media routine level

3. organization level

4. extramedia level

5. ideological level

Pada tingkatan individual level, wartawan memiliki ideologi dan cara

pandang sendiri dalam melihat realitas dan peristiwa kemudian mengemas sebuah

berita. Namun ada level-level di luar dirinya yang mempengaruhi nilai-nilai dan

ideologi yang ia miliki yaitu media routine (rutinitas kinerja redaksi),

organization level (institusi media dimana wartawan tersebut bekerja), extramedia

level (faktor-faktor di luar institusi media) dan ideological level (level ideologi

yang lebih luas).

Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa proses produksi atas wacana media

23

Sumber: Shoemaker and Reese (1996:141)

Page 24: Proposal Revisi 25 Mei10

(berita) tak semata-mata ditentukan oleh faktor individu (wartawan) dan institusi

media saja namun juga banyak lapisan lain seperti pemerintah, masyarakat,

undng-undang dan lain-lain seperti yang diutarakan oleh Vincent Mosco dalam

konsep “decenter the media” (1996: 71). Ia menjelaskan, decentering the media

berarti melihat sistem komunikasi sebagai bagian yang melengkapi ekonomi

fundamental, politik, sosial, dan proses kebudayaan (cultural process) dalam

masyarakat. Dapat disederhanakan pula bahwa posisi media berada di tengah tiga

elemen yaitu negara, masyarakat dan pasar yang memiliki hubungan timbal balik

dan saling mempengaruhi.

Konsep ekonomi politik media akan dipakai dalam melihat bentuk struktur

kekuasaan yang terjadi di dalam dan luar media. Analisa ini akan dilakukan dalam

tahap discourse practice dan sociocultural practice.

F.5. Media Massa dan Konstruksi Realitas Lingkungan Hidup

F.5.1 Media Massa dan konstruksi realitas

Menurut Ibnu Hamad (2004:11), proses konstruksi realitas pada prinsipnya

adalah upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau

benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha

mengkonstruksikan realitas.25 Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media

massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media

massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas. “Pembuatan berita di media

pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah

cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004:11).

25 Hamad mencontohkan laporan mengenai kegiatan orang banyak berkumpul di lapangan terbuka mendengarkan pidato politik pemilu sebagai hasil konstruksi realitas atas apa yang lazim disebut sebagai kampanye pemilu. Lihat Hamad (2004:11)

24

Page 25: Proposal Revisi 25 Mei10

F. 5.2 Strategi Media Massa melakukan konstruksi realitas

Ibnu Hamad menyebutkan bahwa elemen dasar seluruh isi media massa

adalah bahasa (Hamad,2004:15). Isi media cetak adalah bahasa tertulis baik

berbentuk kata, angka, gambar ataupun grafis. Dengan bahasa, para pekerja media

mengkonstruksikan setiap realitas yang diliputnya (Hamad, 2003:15). Maka

dengan demikian, bahasa adalah nyawa kehidupan media massa.26

Lebih lanjut, Hamad mengutarakan bahwa dalam melakukan pembingkaian

(framing) peristiwa tertentu (lingkungan hidup misalnya,-penulis) media memiliki

beberapa batasan seperti keterbatasan ruang kolom dan halaman. Sehingga yang

terjadi, media massa kemudian menyederhanakan peristiwa yang panjang, lebar

dan rumit melalui mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk

berita sehingga layak terbit atau layak tayang.27

Untuk kepentingan tujuan penelitian, mengacu pada pendapat Ibnu Hamad

(2003:21), framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas

sedemikian rupa, sehingga dihasilkan sebuah wacana (discourse) yang di dalam

media massa wacana ini paling banyak mengambil bentuk dalam wujud berita.28

Teori framing juga bisa dipakai sebagai salah satu metode untuk memahami

"information strategy" dalam sebuah wacana. "Sebagai kebalikan dari "strategi

26 Dalam penelitiannya, Hamad mengkombinasikan metode semiotika sebagai alat analisis simbol-simbol politik yang muncul dalam pemakaian bahasa oleh media massa. Penelitian ini tidak memakai metode tersebut sebab konteks realitas lingkungan hidup sangat luas bahkan mencakup aspek sosial politik. Karena itu, analisa atas simbol-simbol bahasa kurang dapat diterapkan disini sebab tidak cukup komprehensif untuk menganalisa realitas lingkungan hidup27Disarikan dari pendapat Hamad (2003:21) sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dalam argumennya, Hamad mencurigai bahwa dengan proses seleksi fakta dan pembingkaian yang dilakukan oleh media massa ini, konstruksi realitas sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan. Kepentingan tersebut bisa dimiliki oleh media atau pihak yang memiliki relasi khusus dengan media tersebut. lihat juga Aditjondro (2003: 43-69)28 Seperti dikutip oleh Ibnu Hamad (2003:22), Van Dijk jelas-jelas menyatakan berita sebagai wacana lihat Van Dijk, Teun A "News as Disourse". Hillsdale, New Jersey:LEA Publisher

25

Page 26: Proposal Revisi 25 Mei10

penyusunan realitas" maka analisis framing berfungsi untuk "membongkar

muatan wacana" (Hamad, 2003:22). Hamad juga menyebutkan bahwa pembuatan

sebuah wacana tidak saja mengindikasikan adanya kepentingan-kepentingan

(teknis, ekonomis, politis maupun ideologis), tetapi juga bisa mengarahkan:

hendak dibawa kemana issue yang diangkat dalam wacana tersebut (Hamad,

2003:22)29

Maka, sasaran dari analisis framing,sebagai salah satu metode analisis

wacana, adalah menemukan "aturan dan norma" yang tersembunyi di balik sebuah

teks.

F.5.3 Representasi wacana dalam media sebagai hasil konstruksi realitas

Istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok,

gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001:

113-114). Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau

objek tersebut ditampilkan. John Fiske seperti yang dikutip oleh Eriyanto (2001

:114-115) ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan dalam menampilkan

objek, gagasan, kelompok atau seseorang yaitu:

1. Realitas

Wartawan mengkonstruksi sebuah peristiwa sebagai suatu realitas.

2. Representasi realitas secara teknis

Wartawan menggunakan kemampuan teknis untuk menggambarkan realitas

29 Hamad menjelaskan bahwa cara membentuk wacana di media massa adalah dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga sebuah issue mempunyai makna. Dalam struktur tersebut terhimpun sejumlah fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa--atas dasar frame tertentu--sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan bahkan bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makna. Setiap kemasan wacana memiliki struktur internalnya sendiri dengan sebuah gagasan inti atau frame di dalamnya. Lihat Hamad, (2003: 22-23)

26

Page 27: Proposal Revisi 25 Mei10

tersebut. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat, grafik dan

sebagainya.

3. Ideologi

Wartawan mengorganisir peristiwa ke dalam konvensi-konvensi yang

diterima secara ideologis seperti kelas sosial dan kepercayaan dominan dalam

masyarakat (patriarki, kapitalisme, dan sebagainya).

Misrepresentasi

Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi: ketidakbenaran

penggambaran, kesalahan penggambaran seseorang, suatu kelompok, suatu

pendapat, atau sebuah gagasan. Paling tidak ada empat hal misrepresentasi yang

mungkin terjadi dalam pemberitaan seperti uraian berikut (Eriyanto. 2001: 121-

129):

1. Ekskomunikasi (Excommunication)

Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu

kelompok atau gagasan dikeluarkan dari pembicaraan publik. Salah satu

strategi utama dalam pemberitaan dan bagaimana ekskomunikasi dilakukan

adalah dengan penghadiran dan penghilangan (presence and absence) suatu

kelompok dan berbagai identitasnya. Umumnya terjadi penggambaran yang

simplifistik dan menggambarkan pihak atau gagasan lain selalu dalam kerangka

kepentingan pihak kita.

2. Eksklusi (Exclusion)

Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam

pembicaraan. Pengucilan itu dapat dilakukan dengan melakukan pembatasan apa

27

Page 28: Proposal Revisi 25 Mei10

yang bisa dan tidak bisa didiskusikan. Contoh yang paling umum adalah dalam

hal praktek kedokteran, eksklusi dilakukan pada pengobatan tradisional dimana

praktik dukun direpresentasikan sebagai tidak ilmiah dan sebagainya.

3. Marjinalisasi

Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran buruk kepada pihak.kelompok

lain. Strategi marjinalisasi dapat dilakukan dengan praktik bahasa seperti

penghalusan makna (eufemisme), pengasaran (disfemisme), labelisasi dan

stereotipe.

4. Delegitimasi

Delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu

kelompok dianggap tidak absah. Legitimasi berhubungan dengan pertanyaan

apakah seseorang merasa absah, merasa benar, dan mempunyai dasar pembenar

tertentu ketika melakukan suatu tindakan. Umumnya, wacana yang dianggap

legitimate adalah pernyataan yang didukung oleh alasan formal, yuridis, atau

berbau ilmiah.

F.6. Koalisi Wacana

Maarten Hajer seperti dikutip oleh Heidi Wittmer and Regina Birner

(2005:3) menganalisa peran story-lines dan koalisi wacana (discourse coalitions)

dalam mempengaruhi kebijakan lingkungan (environmental policies). Ia

mendefinisikan sebuah story-line sebagai turunan naratif dalam realitas sosial

“through which elements from many different domains are combined and that

provide actors with a set of symbolic references that suggest a common

understanding” (Hajer, 1995: 62 dalam Wittmer and Birner,2005:3-4).

28

Page 29: Proposal Revisi 25 Mei10

Hajer menunjukkan bahwa sebuah story-line pada dasarnya bekerja sebagai

sebuah metafor, “because by uttering a specific element, the speaker can

effectively invoke the storyline as a whole” (dalam Wittmer and Birner 2005:5).

Pemakaian dari instrument politik yang ditunjukkan oleh story-line tertentu dan

kebutuhan para aktor (pelibat wacana) untuk, berdasarkan story-line tersebut,

melegitimasi argument mereka dilihat sebagai indikasi hegemoni diskursif.30

Sebagaimana yang dikemukakan Hajer (1995: 59 dalam Wittmer and Birner

2005:5-6) pertarungan untuk hegemoni diskursif, dimana para actor (pelibat

wacana) mencoba untuk melindungi interpretasi mereka atas realitas, ditentukan

oleh tiga faktor: (1) kredibilitas (credibility), (2) penerimaan (acceptability), dan

(3) kepercayaan (trust). Kredibilitas tak hanya tergantung pada hal-hal masuk akal

dalam argument, tapi juga otoritas sang pelantun wacana.31 Penerimaan

(acceptability) menunjukkan secara tak langsung bahwa posisi dipertimbangkan

sebagai hal yang menarik atau diperlukan. Kepercayaan (trust) “the suppression

of doubts and can be derived, for example, by referring to the procedure by which

a definition of reality was reached”.

Konsep koalisi wacana ini akan membantu peneliti saat menganalisa

wacana-wacana yang muncul pada teks berita untuk mengelompokkannya ke

dalam koalisi-koalisi wacana yang memiliki kesatuan idea tau proses.

F.6 Jurnalisme lingkungan hidup

30 Penulis menerjemahkan dari pernyataan Hajer “The adoption of policy instruments implied by a certain story-line and the need of actors to refer to this story-line to legitimize their arguments are seen as indications of discursive hegemony” Lihat Wittmer and Birner (2005:5)31 kutipan aslinya adalah “…but also on the authority of the authors”, disini penulis mengasumsikan “author” bukan merujuk pada pengarang atau penulis namun pihak yang mengeluarkan statemen atau wacana, dengan kata lain pelantun/pelibat wacana.

29

Page 30: Proposal Revisi 25 Mei10

M. Frome seperti yang dikutip oleh Lisa Rademakers dalam tesisnya,

mendefinisikan jurnalisme lingkungan hidup sebagai “writing with a purpose,

designed to present the public with sound, accurate data as the basis of informed

participation in the process of decision making on environmental issues” (Frome,

1998:ix, dalam Rademakers,2004:6) 32. Bagi Frome, jurnalisme lingkungan hidup

berbeda dengan jurnalisme tradisional. Jurnalisme lingkungan hidup lebih dari

sekedar meliput dan menulis, namun juga mewakili sebuah cara hidup, cara

memandang dunia dan diri sendiri. Jurnalisme lingkungan hidup diawali dengan

konsep pelayanan publik, memberikan dukungan pada perjuangan dan kebutuhan

dan didasari dengan kejujuran, kredibilitas dan tujuan.33

G. Metodologi Penelitian

G.1. Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis berakar dari paradigma kritis dimana terminologi

“kritis” menjadi fokus utamanya. Paradigma kritis melihat pesan sebagai

pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi

dan hegemoni satu kelompok pada kelompok yang lain (Eriyanto, 2001:18). Dalam

kajian paradigma kritis seperti yang dikatakan Eriyanto, realitas sosial tak hanya

dipahami sebagai seperangkat fakta, tetapi hasil dari pandangan tertentu dari

pembentukan realitas (Eriyanto, 2001:290). Dalam hal tersebut, media dinilai

memiliki peranan penting. Stuart Hall menyebutkan bahwa media tidaklah secara

sederhana dipandang refleksi dari konsensus, tetapi media mereproduksi dan

32 Frome, M. (1998). Green ink: An introduction to environmental journalism. Salt Lake City: University of Utah Press., p.ix dalam Rademakers, Lisa. 2004. Thesis. "Examining the Handbooks on Environmental Journalism: A Qualitative Document Analysis and Response to the Literature” . USA: University of South Florida p.1633 “Environmental journalism differs from traditional journalism. It plays by a set of rules based on a consciousness different from the dominant in modern American society. It is more than a way of reporting and writing, but a way of living, of looking at the world, and at oneself. It starts with a concept of social service, gives voice to struggle and demand, and comes across with honesty, credibility, and purpose. It almost always involves somehow, somewhere, risk and sacrifice” (Frome, 1998: 21 dalam Rademakers, 2004:16)

30

Page 31: Proposal Revisi 25 Mei10

memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan melegitimasi suatu

struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi tindakan lain (Eriyanto,

2001:28).

Konstruksi realitas lewat media, menurut Eriyanto, menempatkan masalah

representasi sebagai isu utama dalam penilaian kritis.

Salah satu kriteria yang berlaku bagi sebuah studi kritis, seperti yang

diungkapkan Dedy N. Hidayat adalah sifat holistik dan kontekstual (dalam

Eriyanto. 2001: xi). Kualitas sebuah analisis wacana kritis akan selalu dinilai dari

segi kemampuan untuk menempatkan teks dengan analisis terhadap konteks pada

jenjang-jenjang yang lebih tinggi. Karena itu menurut Hidayat, metode analisis

wacana kritis menekankan multilevel analysis.

G.1.1. Karakteristik Analisis Wacana Kritis

Berikut adalah karakteristik penting dari analisis wacana kritis seperti yang

dirangkum Eriyanto dari tulisan Teun A. van Dijk, Norman Fairclough, dan Ruth

Wodak (Eriyanto, 2001:8-14):

1. Tindakan

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Orang melakukan

segala sesuatu dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan orang lain.

Karena itu, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk

mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi dan sebagainya.

Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan

terkontrol.

2. Konteks

31

Page 32: Proposal Revisi 25 Mei10

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti

latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana disini dipandang diproduksi,

dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Guy Cook, dalam Eriyanto,

menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan

wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak

di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik,

gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan

hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti

partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang

dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks

dan konteks bersama-sama.

3. Historis

Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa

memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Saat melakukan analisis

perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau

dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan

seterusnya.

4. Kekuasaan

Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power)

dalam analisisnya. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara

wacana dengan masyarakat. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana,

penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah

harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental

32

Page 33: Proposal Revisi 25 Mei10

atau psikis. Seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan bukan hanya

menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak tetapi juga

bagaimana ia harus ditampilkan. Misalnya dapat dilihat dari penonjolan atau

pemakaian kata-kata tertentu.

5. Ideologi

Teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau

pencerminan dari ideologi tertentu. Wacana dalam pendekatan semacam ini

dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi

dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang

mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi mempunyai beberapa

implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal

atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi

atau kolektivitas dengan orang lainnya. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial,

ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas.

G.1.2. Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kerangka analisis Norman

Fairclough. Ia membagi analisis wacana kritis dalam tiga tahap analisis: teks,

discourse practice, dan sociocultural practice.

Berikut adalah gambar model dari konsep tersebut:

33

Page 34: Proposal Revisi 25 Mei10

produksi teks

konsumsi teks

Dari model tersebut terlihat bahwa pembentukan teks dipengaruhi oleh

praktik diskursus (discourse practice) yakni saat proses produksi berita

(pencarian, pengolahan dan pencetakan) sampai pada pendistribusian pada

masyarakat/konsumsi. Selain itu, discourse practice juga dipengaruhi praktik

sosiokultural (situational, institutional, dan sosial).

Secara keseluruhan, model analisis Norman Fairclough menuntut

pemahaman teks secara utuh dengan melibatkan level praktik diskursus dan

praktik sosiokultural, maka intertekstualitas akan digunakan untuk

menghubungkan teks-teks pada level mikro (teks berita yang dikaji) dengan meso

(discourse practice, produksi yang dilakukan oleh media), dan level meso dengan

level makro (sosiokultural)

Maka jika digambarkan secara keseluruhan, model tersebut akan menjadi

seperti ini:

34

Sociocultural Practice

Discourse practice

Teks

sumber: Eriyanto, 2001:288

Page 35: Proposal Revisi 25 Mei10

produksi teks

konsumsi teks

Sumber: Ibnu Hamad, 2004:47

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menggambarkan kerangka analisis

yang dipakai dalam penelitian sebagai berikut:

Level Masalah Level Analisis Metode

teksmikro

Analisis framing Gamson dan

Modigliani

discourse practice meso

Wawancara mendalam dengan

pengelola media dibantu literatur

sociocultural practice

makro

Studi pustaka, penelusuran data

pendukung dan wawancara dengan

sejumlah pakar lingkungan hidup

dan sosial.

Sumber: Ibnu Hamad, 2004: 48

G.2. Kerangka Analisis Teks dengan Metode Framing Gamson dan

Modigliani

Bagi Gamson, frame tidaklah sama dengan sekedar sikap setuju atau tidak

setuju. Framing tidak berhubungan dengan apakah suatu berita setuju atau tidak

35

Sociocultural Practice

Discourse practice

Teks

Description (text analysis)

Interpretation (processing analysis)

Explanation (social analysis)

DIMENSI-DIMENSI DISCOURSE DIMENSI-DIMENSI ANALISIS DISCOURSE

Page 36: Proposal Revisi 25 Mei10

setuju dengan suatu hal tertentu. Yang dipersoalkan dan menjadi titik perhatian

dari framing adalah bagaimana suatu peristiwa tersebut dibingkai atau disajikan

kepada khalayal (catatan kaki dalam Eriyanto, 2002:223).

Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame

dipandang sebagai cara bercerita (story-line) atau gugusan ide-ide yang tersusun

sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang

berkaitan dengan suatu wacana (dalam Eriyanto, 2002:223). Gamson melihat

wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui

mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan itu merupakan skema

atau struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika mengkonstruksi

pesan-pesan yang dia sampaikan, dan menafsirkan pesan yang dia terima

(Eriyanto, 2002:223-224).

Berdasarkan pemahaman tersebut, penulis memilih metode framing Gamson

dan Modigliani sebagai alat analisa teks. Ibnu Hamad juga menggunakan metode

ini dalam analisis wacana kritis terhadap pemberitaan partai politik sekaligus

menggabungkannya dengan metode semiotika visual sebab ia juga menganalisa

berita foto (Hamad, 2004:49).

Berikut adalah kerangka analisis framing Gamson dan Modigliani:

Frame

Central organizing idea for making sense of relevant events, suggesting what is at

issues

Framing Devices

(Perangkat framing)

Reasoning Devices

(Perangkat penalaran)

Metaphors

Perumpamaan atau pengandaian

Roots

Analisis kausal atau sebab akibat

Catchphrases Appeals to principle

36

Page 37: Proposal Revisi 25 Mei10

Frase yang mnarik, kontras, menonjol

dalam suatu wacana. umumnya berupa

jargon atau slogan

Premis dasar, klaim-klaim moral

Exemplaar

Mengaitkan bingkai dengan contoh

uraian yang memperjelas bingkai

Consequences

Efek atau konsekuensi yang didapat dari

bingkai.

Depiction

Penggambaran atau pelukisan suatu isu

yang bersifat konotatif.

Visual images

Gambar, grafik, citra yang mendukung

bingkai secara keseluruhan.

Sumber: Eriyanto, 2002:225

G.3. Jenis dan sifat penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Rachmat

Kriyantono (2006:69), jenis riset deskriptif ”...bertujuan membuat deskripsi

secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi

atau objek tertentu”. Sementara sifat penelitian kualitatif menekankan pada

persoalan kedalaman atau kualitas data bukan pada banyaknya atau kuantitas data.

Maka hasil penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk membuat generalisasi dan

juga lebih bersifat fleksibel (Kriyantono, 2006:86).

G.4. Objek penelitian

Fokus penelitian utama dalam penelitian ini wacana rencana penambangan

pasir besi Kulonprogo yang direpresentasikan dalam pemberitaan Harian Jogja

dan Kompas Jogja. Maka, objek penelitian ini adalah teks berita dan tajuk rencana

di media Harian Jogja dan Kompas Jogja yang memuat tentang pemberitaan

37

Page 38: Proposal Revisi 25 Mei10

rencana pembangunan pasir besi Kulonprogo selama periode waktu 1 November

2008 – 30 November 2009. Periode ini dipilih peneliti karena bulan November

2008 adalah bulan dimana Kontrak Karya (KK) kesepakatan antara Pemerintah

Kabupaten Kulonprogo dan PT. Jogja Magasa Iron ditandatangani. Dengan

demikian, reaksi berbagai pihak antara yang pro dan kontra pun semakin

memuncak setelah periode tersebut. Periode setahun dipilih peneliti agar dapat

memaparkan wacana persoalan rencana penambangan pasir besi secara lebih

komperehensif.

G.5. Jenis dan metode pengumpulan data

Berdasarkan sumbernya, Kriyantono (2006: 43-44) membagi jenis data

menjadi dua, yaitu:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti di

lapangan. Dalam penelitian ini, data primer adalah dokumentasi berita-berita SKH

Harian Jogja dan Kompas Jogja dalam rentang waktu 1 November 2008 – 30

November 2009 mengenai masalah rencana penambangan pasir besi Kulonprogo

serta hasil wawancara (pada level discourse practice) dengan pekerja media

Harian Jogja dan Kompas Jogja serta pendapat dari pihak-pihak di luar media

tersebut.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain yang

dapat digunakan sebagai data atau informasi tambahan oleh peneliti dalam

melakukan penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini berupa profil

38

Page 39: Proposal Revisi 25 Mei10

perusahaan, penelitian lain, berbagai artikel, jurnal dan publikasi terkait persoalan

penambangan pasir Kulonprogo, serta studi literatur yang berkaitan dengan

wacana jurnalisme lingkungan hidup.

Sementara itu, proses pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi

tiga, yaitu pada level teks, praktik wacana (discourse practice), dan level wacana

sosiokultural (sociocultural practice). Dalam penelitian ini metode pengumpulan

data untuk level teks adalah kliping artikel berita dari Harian Jogja dan Kompas

Jogja sesuai periode dan pembagian tema yang telah ditentukan. Sementara pada

level praktik wacana yakni proses produksi teks, peneliti juga akan menggunakan

metode wawancara mendalam dan untuk level praktik wacana sosiokultural

peneliti akan menggunakan studi literatur dan wawancara dengan pihak lain di

luar media.

39

Page 40: Proposal Revisi 25 Mei10

Lampiran 1: Alur kerja Penelitian

40

Tahap 1Pra Penelitian

Pengumpulan data: Berita dan Tajuk Rencana pemberitaan pasir besi KP di Harjo dan Kompas Jogja periode November 2008 – 2009

Pemilahan Tema: Analisa tema-tema utama yang muncul sepanjang time frame pemberitaan

Pemilihan teks: Pengkategorian teks-teks berita ke dalam tema-tema yang sudah ditentukan lalu memilih satu dari masing-masing tema yang dianggap paling mewakili tema untuk kemudian dianalisis.

Interview Guide: Menyiapkan daftar interview guide untuk persiapan wawancara dengan pihak media terkait dan pihak-pihak lain yang terkait.

Tahap 2Penelitian

Analisis Realitas Sosiologis: Melakukan analisa realitas sosiologis pasir besi KP dengan melakukan studi literatur dari media lain, wawancara pihak-pihak di lapangan dan pendapat masyarakat.Mendapatkan wacana dominan yang tampak dari kasus pasir besi KP dari realitas sosiologis yang ada

Analisis Teks: Analisis teks berita-berita yang sudah dipilih dengan metode framing.

Analisis Discourse Practice: Melakukan wawancara dengan pihak media terkait proses produksi berita yang telah dianalisis.

Analisis Sociocultural Practice: Melakukan studi literatur dan wawancara dengan pakar atau pihak-pihak masyarakat.

Tahap 3Pasca penelitian

Menganalisa hubungan dari setiap level: teks, discourse practice dan sociocultural practice.

Melakukan kesimpulan atas representasi wacana dominan yang muncul dari pemberitaan pasir besi KP yang dilakukan oleh Harjo dan Kompas Jogja

Melakukan perbandingan dari wacana dominan pemberitaan pasir besi KP di Harjo dan Kompas Jogja dengan wacana dominan yang muncul dari realitas sosiologis persoalan pasir besi KP.

Page 41: Proposal Revisi 25 Mei10

Daftar Pustaka

Buku

Abrar, Ana Nadya. 1993. Mengenal Jurnalisme Lingkungan Hidup. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press

Aditjondro, George Junus. 2003. Kebohongan-kebohongan Negara Perihal

Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Carter, Neil. 2007. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy. 2nd

Edition. USA: Cambridge University Press

Dietz, Ton. 1998. Hak Atas Sumber Daya Alam Kontur Geografi Lingkungan

Politik. Edisi 1: terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Eriyanto. 2001. Analisis wacana: Pengantar analisis teks media. Yogyakarta:

LKiS

_______. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, ideologi, dan Politik Media.

Yogyakarta: LKiS

Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Edward Arnold

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi realitas politik dalam Media Massa: Sebuah Studi

Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Edisi 1. Jakarta:

Granit

Jorgensen, Marianne and Louise j. Phillips. 2002. Discourse Analysis as Theory

and Method. London: Sage Publications

Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh

41

Page 42: Proposal Revisi 25 Mei10

Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi,

Komunikasi Pemasaran. Edisi 1. Jakarta: Kencana

Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication, Rethinking and

Renewal. London: Sage Publication

Rais, M. Amien. 2008. Agenda-Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia.

Yogyakarta: Penerbit PPSK Press

Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese. 1996. Mediating the Message:

Theories of Influences on Mass Media Content. 2nd Edition. USA: Longman

Publihers

Sutton, Philip W. 2007. The Environment: A Sociological Introduction. USA:

Polity Press

Jurnal

Maimunah, Siti. 2007. Empat Dekade Industri Pertambangan Indonesia. Jurnal

Pembaruan Pedesaan dan Agraria, Edisi 1 Tahun 2007, KARSA

Paper

Wittmer, Heidi and Regina Birner. January 2005. Between

Conservationism, Eco-Populism and Developmentalism:

Discourses in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia.

International Food Policy Research Institute

Sumber tidak dipublikasikan

Hariyadi , Eusebius D. 2005.Kerusakan Lingkungan Hidup dalam Surat Kabar:

Studi Analisis Isi Berita Kerusakan Lingkungan Hidup pada Surat kabar

Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Bernas periode 1 November - 30

42

Page 43: Proposal Revisi 25 Mei10

November 2004. Skripsi Sarjana. Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Henoek, Yunie. 2008. Pemberitaan Pemanasan Global Pada Surat Kabar

Kompas Tahun 2007. Skripsi Sarjana. Universitas Kristen Petra Surabaya

Rademakers, Lisa. 2004. "Examining the Handbooks on Environmental Journalism: A

Qualitative Document Analysis and Response to the Literature”. Master thesis.

University of South Florida

Svendsen, Njord V. 2001. “Reporting Air Pollution In South Durban: A Case

Study of Environmental Journalism in Durban Newspapers From 1985 –

2000”. Master Dissertation. University of Natal Durban

Lain-lain

Direktorat Sumber Daya Mineral Dan Pertambangan. 2008. Mengatasi Tumpang

Tindih antara Lahan Pertambangan dan Kehutanan. Hasil Penelitian.

43