Proposal Penelitian 2

download Proposal Penelitian 2

of 41

Transcript of Proposal Penelitian 2

PROPOSAL PENELITIAN.

I.JUDUL PENELITIAN :

INTERFERON DAN ASAM URAT SEBAGAI FAKTOR RESIKO HIPERTENSIII.PENDAHULUAN LATAR BELAKANG PENELITIAN Interferon-gamma (IFN-) merupakan salah satu sitokin yang dihasilkan terutama oleh sel Th. Dibentuk oleh CD4+sel T, CD8+sel T, makrofag teraktivasi, sel Natural Killer (NK), sel B, dan sel otot polos (Rose. 2007). Dari penelitian terdahulu, IFN- merupakan mediator inflamasi yang berperan terhadap terjadinya aterosklerosis. Menurut Tedgui dan Mallat, 2004, hipertensi kemungkinan merupakan suatu ketidakseimbangan antara imunitas seluler yang diperantarai sel Th 1 dan imunitas humoral yang diperantarai sel Th 2. Sel Th1 yang lebih dominan ditandai dengan aktivitas sitokinnya yang meningkat, antara lain IFN-. Mozzalai, et al, 2004, juga mengungkapkan bahwa splenosit dari apoE-/- yang mengalami hipertensi dengan Ang II yang tinggi memproduksi IFN- lebih banyak dibandingkan tikus hipertensi dengan Ang II normal atau tikus yang normotensi. Studi immunohistochemical dan hibridisasi in situ menunjukkan

bahwa IFN- ada dalam plak aterosklerosis. Ablasi genetik IFN- atau reseptor IFN- pada tikus secara signifikan mengurangi aterosklerosis. Sedangkan pemberian IFN- dari luar meningkatkan kejadian aterosklerosis (Gotsman dan Lichtman. 2007). Dan blokir langsung IFN- dengan pengrusakan reseptornya menyebabkan penghambatan aterosklerosis sebesar 60% pada tikus knockout (Baydia dan Zeng. 2005). IFN- terekspresi dalam jumlah besar di lesi aterosklerosis oleh berbagi macam sel, termasuk monosit/makrofag, sel Th 1, dan sel NKT(Harvey et al, 2005). NKT teraktivasi dapat memproduksi IFN- dalam jumlah yang signifikan, dan yang telah diketahui aterogenik pada tikus. IFN- berpengaruh terhadap terjadinya proses aterosklerosis melalui efek langsung (Gupta, et al. 1997, Buono, et al. 2003, Whitman et al. 2002, Whitman et al. 2000) maupun tidak langsung melalui IL-12 dan IL-18. (Davenport and Tipping. 2003, Elhage et al. 2003, Whitman et al. 2002). Efek aterogenik dari IFN- antara lain adalah: peningkatan rekrutmen sel T dan makrofag ke dalam plak, meningkatkan ambilan lipid oleh makrofag yang menyebabkan pembentukan foam cell, peningkatan aktivasi Antigen Presenting Cell (APC), dan meningkatkan sekresi sitokin penghasil Th1. Sebagai tambahan, destabilisasi efek IFN- dapat menyebabkan penipisan atau penghambatan pembentukan sumbat fibrous sehingga mengakibatkan plak yang tidak stabil dan kemudian jadi ruptur. IFN- juga berperan dalam proliferasi sel otot polos vaskuler (Hanson, et al. 2005). Asam urat merupakan metabolit akhir dari hasil nukleotida purin baik endogen maupun dari diet. Asam urat merupakan hasil konversi xantin dan hipoxantin

yang dikatalisasi oleh xantin oksidase. Purin yang terdiri atas adenin dan guanin beserta dengan pirimidin, berperan penting dalam replikasi material genetika, transkripsi gen, sintesis protein, dan metabolisme seluler. Purin dipecah dan disintesis di semua jaringan tubuh, tetapi asam urat hanya diproduksi di jaringan yang mengandug enzim xantin oksidase, terutama usus kecil dan hati (Wortman, 2005). Kadar asam urat serum ditentukan oleh keseimbangan produksi dan ekskresi. Produksi asam urat tergantung dari diet serta proses internal tubuh berupa biosintesis, degradasi, dan pembentukan cadangan (salvage) asam urat. Ekskresi asam urat sebagian lewat ginjal, dengan proses glomerulofiltrasi, reabsorbsi, sekresi dan reabsorbsi pasca sekresi. Secara umum, laki-laki memiliki rerata kadar asam urat lebih tinggi daripada wanita pramenopause (Johnson et al., 2003; Wortman, 2005). Pada penderita hipertensi, kenaikan kadar asam urat serum dihubungkan dengan disfungsi endotel dan jejas pada ginjal. Peningkatan kadar asam urat serum ditemukan pada 25% penderita hipertensi yang tidak diterapi, pada 50% penderita dalam terapi diuretika, serta lebih dari 75% penderita dengan hipertensi maligna, gagal jantung kongestif dan preeklamsia. Penelitian lain menunjukkan bahwa kadar asam urat serum meningkat pada penderita dengan kondisi klinis hipoksia, iskemia, reperfusi, dan kondisi-kondisi lain seperti pada penderita dengan penyakit paru obstruktif, hipoksia pada neonatus, penyakit jantung sianosis, dan gagal jantung akut. Mekanisme yang menerangkan kenaikan kadar asam urat pada kondisi hipoksia dan iskemia tersebut diperkirakan berhubungan

dengan peningkatan degradasi adenosin trifosfat dan aktivasi jalur xantin oksidase (Doehner & Anker, 2005; Fields, 2003). Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa peningkatan kadar asam urat dihubungkan dengan terjadinya hipertensi dan kerusakan ginjal melalui mekanisme pembentukan kristal dan stimulasi sistem Renin-Angiotensin. Pada ginjal, kadar asam urat yang tinggi menyebabkan kerusakan melalui proses hipertrofi, glomerulosklerosis serta fibrosis interstitial ginjal yang dilihat secara histologis (Kang et al., 2002). Hal ini didukung pada suatu review mengenai mekanisme yang bertanggung jawab terhadap kerusakan ginjal pada penderita hipertensi, didapatkan bahwa peningkatan kadar asam urat akan meningkatkan progresifitas kerusakan ginjal yang diukur dengan Urea nitrogen darah (BUN) dan kreatinin serum, terutama pada subyek dengan derajat hipertensi yang lebih tinggi (Johnson et al., 2005; Mazzali et al., 2001; Ouppatham et al., 2008). Pada penelitian mengenai hubungan kadar asam urat dengan Cystatin C pada penderita diabetes tipe 1, didapatkan hasil bahwa peningkatan kadar asam urat secara bermakna berhubungan dengan peningkatan kadar Cystatin C yang menggambarkan kerusakan ginjal (Rosolowsky et al., 2008). Hipertensi esensial merupakan penyebab terbanyak kejadian hipertensi dan terhitung sebanyak 95% dari kasus hipertensi. Hipertensi esensial menunjukkan adanya kecenderungan hubungan keluarga dan merupakan gambaran penyakit atau sindrom dengan kelainan biokimiawi (Carretero & Oparil, 2000). Beberapa faktor berperan dalam terjadinya hipertensi esensial. Faktor tersebut meliputi peningkatan aktivitas simpatis oleh berbagai sebab, diet tinggi

natrium, peningkatan produksi Angiotensin II (Ang II) dan aldosteron, berkurangnya faktor penyebab vasodilatasi, peningkatan ekspresi kallikrein-kinin, resistensi vaskuler yang abnormal, diabetes melitus, obesitas, resistensi insulin, peningkatan aktivitas vascular growth factor (VGF), peningkatan stimulasi reseptor adrenergik, dan peningkatan transpor ion seluler (Oparil et al., 2003). Faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi tampak dalam gambar di bawah ini.

Gambar 1. Beberapa faktor yang berperan pada patofisiologi hipertensi (Sumber: Oparil et al., 2003) Tekanan diperlukan untuk mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah dihasilkan dari aksi pemompaan oleh jantung yang menghasilkan cardiac output (CO) dan resistensi perifer (RP). Peningkatan CO dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu lewat peningkatan volume (preload) atau lewat peningkatan kontraktilitas akibat stimulasi neural pada jantung. Peningkatan CO akan memicu proses autoregulasi dimana peningkatan CO akan diikuti dengan peningkatan

tekanan darah, kemudian akan terjadi peningkatan resistensi perifer dan CO akan kembali ke normal lagi (Kaplan, 2006).

RUMUSAN MASALAH Bagaimana peran interferon terhadap hipertensi? Bagaimana peran asam urat terhadap hipertensi?

HIPOTESIS H0: tidak ada perbedaan kadar interferon gama dan atau asam urat antara penderita hipertensi dan normotensi. H1: Kadar Interferon gamma pada orang hipertensi berbeda dibanding orang yang normal H2: Kadar asam urat pada orang hipertensi berbeda dibanding dengan kadar

asam urat orang normal. H3: pada penderita hipertensi kadar asam urat dan atau interferon gama lebih

tinggi dibanding orang normal.

TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui kadar asam urat pada populasi normal dan hipertensi. Untuk mengetahui kadar interferon gama pada populasi normal dan hipertensi.

MANFAAT PENELITIAN

III.TINJAUAN PUSTAKA / KERANGKA KONSEP HIPOTESIS (UJI HIPOTESIS) I. A. HIPERTENSI Definisi Pasien hipertensi di Amerika Serikat saat ini mencapai kurang lebih 50 juta orang dan di seluruh dunia jumlahnya mencapai hampir 1 miliar orang. Data dari Framingham Heart Study menunjukkan pada individu dengan normotensi, saat berusia 55 tahun sembilan puluh persen (90%) diantaranya mempunyai risiko terjadi hipertensi (Chobanian et al., 2003). Hipertensi merupakan masalah kesehatan di dunia karena menjadi faktor risiko utama dari penyakit kardiovaskuler dan stroke. Insidensi hipertensi di Amerika Serikat mencapai 29-31% atau sama dengan 58 sampai 65 juta pada populasi di atas 18 tahun (Fields et al., 2004). Diperkirakan bahwa jumlah pasien hipertensi akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya populasi geriatri dan peningkatan insidensi obesitas (Kaplan, 2006). Hipertensi primer (esensial) merupakan terminologi yang digunakan pada 95% kasus hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui. Kejadian ini timbul sebesar 10-15% pada dewasa kulit putih dan 20-30% pada dewasa kulit hitam di Amerika Serikat. Onset hipertensi ini biasanya antara usia 25-55 tahun, dan jarang terjadi sebelum usia 20 tahun (Sutters, 2008). Adanya kriteria prehipertensi menunjukkan adanya hubungan risiko kejadian kardiovaskuler fatal dan tingginya tekanan darah, dimana insidensi

kejadian kardiovaskuler fatal meningkat seiring dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi sekunder adalah keadaan hipertensi yang diakibatkan oleh keadaan atau penyakit lain antara lain: primary renal disease, koarktasio aorta, gangguan endokrin lain yaitu hipotiroidisme, hipertiroidisme dan

hiperparatiroidisme, kejadiannya sekitar 5% (Kaplan, 2006; Sutters, 2008). Definisi hipertensi saat ini adalah menggunakan definisi yang dikemukakan dalam laporan Joint National Committee ke-7 (JNC 7). Dengan pengukuran tekanan darah dilakukan 2 kali atau lebih pada 2 kunjungan atau lebih yang berbeda, maka tekanan darah diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Tekanan darah normal adalah tekanan sistolik kurang dari 120 mmHg dan diastolik kurang dari 80 mmHg; 2) Prehypertension adalah tekanan sistolik 120-139 mmHg atau diastolik 80-89 mmHg; 3) Hipertensi stage 1 adalah tekanan darah sistolik 140159 mmHg atau diastolik 90-99 mmHg; 4) Hipertensi stage 2 adalah tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 160 mmHg atau diastolik lebih dari atau sama dengan 100 mmHg (Chobanian et al., 2003). Hipertensi bersama-sama diabetes melitus, resistensi insulin, dislipidemia, dan obesitas, diketahui merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Penelitian tentang hipertensi menunjukkan pengobatan terhadap hipertensi yang intensif akan mengurangi insidensi stroke hingga 50%; infark miokard 20-25%; gagal jantung hingga lebih dari 50% (Kaplan, 2006). B. Patofisiologi Hipertensi esensial merupakan penyebab terbanyak kejadian hipertensi dan terhitung sebanyak 95% dari kasus hipertensi. Hipertensi esensial menunjukkan

adanya kecenderungan hubungan keluarga dan merupakan gambaran penyakit atau sindrom dengan kelainan biokimiawi (Carretero & Oparil, 2000). Beberapa faktor berperan dalam terjadinya hipertensi esensial. Faktor tersebut meliputi peningkatan aktivitas simpatis oleh berbagai sebab, diet tinggi natrium, peningkatan produksi Angiotensin II (Ang II) dan aldosteron, berkurangnya faktor penyebab vasodilatasi, peningkatan ekspresi kallikrein-kinin, resistensi vaskuler yang abnormal, diabetes melitus, obesitas, resistensi insulin, peningkatan aktivitas vascular growth factor (VGF), peningkatan stimulasi reseptor adrenergik, dan peningkatan transpor ion seluler (Oparil et al., 2003). Faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi tampak dalam gambar di bawah ini.

Gambar 1. Beberapa faktor yang berperan pada patofisiologi hipertensi (Sumber: Oparil et al., 2003) Tekanan diperlukan untuk mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah dihasilkan dari aksi pemompaan oleh jantung yang menghasilkan cardiac output (CO) dan resistensi perifer (RP). Peningkatan CO dapat terjadi melalui 2

jalur, yaitu lewat peningkatan volume (preload) atau lewat peningkatan kontraktilitas akibat stimulasi neural pada jantung. Peningkatan CO akan memicu proses autoregulasi dimana peningkatan CO akan diikuti dengan peningkatan tekanan darah, kemudian akan terjadi peningkatan resistensi perifer dan CO akan kembali ke normal lagi (Kaplan, 2006).

C.

Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA) Sistem RAA memiliki peranan penting dalam pengaturan tekanan darah

dengan menjaga keadaan vaskuler serta keseimbangan air dan sodium (Jiang et al., 2007). SRAA meliputi angiotensinogen, enzim pengubah angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme ACE), angiotensin dan reseptor Ang II

(AGTR) (Baudin, 2004). Angiotensinogen, yang utamanya dihasilkan oleh hepar, diubah oleh renin menjadi angiotensin I, yang selanjutnya didegradasi oleh angiotensin-converting enzymes (ACEs) atau chymases (yang ada pada jantung manusia) menjadi Ang II. Umumnya aksi dari Ang II dimediasi oleh reseptor AT1 dan menyebabkan stimulasi kontraksi dan hipertrofi otot polos pembuluh darah, peningkatan kontraktilitas jantung, stimulasi sistem saraf sentral dan perifer, peningkatan rasa haus dan pelepasan vasopresin, dan stimulasi sintesis aldosteron. Stimulasi reseptor AT-1 oleh Ang II menyebabkan vasokonstriksi renal, penurunan aliran darah renal, dan peningkatan resistensi pembuluh darah renal. Ang II meningkatkan reabsorpsi natrium, tidak hanya melalui aldosteron tetapi juga melalui efek langsung pada tubulus proksimal dan peningkatan sensitifitas dari tubuloglomerular feedback response . Sebagai tambahan terhadap SRAA,

SRAA lokal ada di pembuluh darah, jantung, dan ginjal yang menyebabkan efek lokal (seperti remodeling jaringan) yang tidak tergantung dari level renin atau angiotensinogen yang ada di sirkulasi (Klabunde, 2007). Reseptor Ang II tipe I (AT-1) merupakan reseptor yang memediasi terjadinya proses proses seperti peningkatan tekanan arteri, absorpsi natrium, vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen, kontraksi mesangial pada ginjal, aktivasi sitokin dan faktor pertumbuhan proinflamasi (ICAM, MCP 1, IL-6, TGF-, PAI1, NFkB), aktivasi simpatis, kontraksi otot jantung (Navar, 2004). Protein Ang II menyebabkan penyempitan pembuluh darah kecil dan meningkatkan tekanan darah juga menyebabkan penumpukan lipid di arteri orang dengan kadar kolesterol yang tinggi (Salem, W. 1999). Pada kondisi patologi peningkatan sinyal menyebabkan perubahan faktor pertumbuhan, fibrosis dan proses-proses inflamasi, yang memberikan kontribusi remodeling struktural terhadap kejadian hipertensi. Aktivasi SRAA mempercepat perkembangan aterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Ang II berfungsi sebagai stimulus proinflamator yang poten dan meningkatkan ekspresi banyak sitokin, kemokin, dan GF (Bruemmer et al. 2003). Ang II secara primer terlibat dalam proses inflamasi dengan mengontrol pelepasan sitokin dan faktor-faktor proinflamasi yang kemudian akan mengatur ekspresi molekul-molekul adhesi. Semua ini akan menginduksi inflamasi di dalam dinding pembuluh darah, deposisi matriks ekstraseluler dan hipertrofi dan/atau hiperplasi sel otot polos pembuluh darah (Savoia et al. 2006). Peningkatan konsentrasi plasma Ang II memacu perkembangan dan keparahan aterosklerosis, terutama bila

digabung dengan hiperlipidemia. Ang II memegang peran penting dalam modulasi proliferasi sel otot polos dan produksi matriks ekstraseluler (Rackley, C.E. 2008). Dibawah ini adalah gambar Ang II dalam mengatur perubahan fungsi dan struktur vaskuler terhadap kejadian hipertensi.

Gambar 2. Peran Ang II dalam mengatur perubahan fungsi dan struktur vaskuler dalam kejadian hipertensi. (Sumber: Touyz, 2003)

II. A.

ATEROSKLEROSIS Definisi dan epidemiologi Aterosklerosis adalah penyakit inflamasi kardiovaskuler yang menyerang

pembuluh darah sedang sampai besar, yang dikarakteristikkan dengan disfungsi endotel, inflamasi vaskuler, penumpukkan lemak, kolesterol, kalsium dan debris seluler di dalam intima dinding pembuluh darah. Hal ini menghasilkan formasi plak, vascular remodeling, obstruksi lumen akut dan kronik, gangguan aliran darah, dan berkurang suplai oksigen ke organ target (Boudi, et al. 2006). Aterosklerosis merupakan penyebab utama dari serangan jantung, stroke, dan Penyakit Arteri Perifer (PAP). Terjadinya inflamasi di dinding pembuluh darah oleh karena interaksi dari monosit dengan endotel dan otot polos pembuluh darah (Lester, C. et al. 2006). Kata aterosklerosis berasal dari bahasa asli Yunani, yang berarti akumulasi fokal dari lipid dan penebalan intima arteri. Distribusi lipid dan jaringan ikat pada lesi aterosklerosis menentukan apakah mereka stabil atau berisiko untuk ruptur , trombosis, dan cacat klinis (Singh, V.N, et al. 2005). Aterosklerosis menjadi sangat penting, oleh karena ia menjadi penyebab utama penyakit kardiovaskuler sehingga dikatakan sebagai pembunuh terbesar utama baik di negara maju maupun berkembang. Di Amerika Serikat (AS), aterosklerosis bertanggung jawab terhadap lebih dari setengah kematian per tahun, sekitar 1,5 juta kasus infark miokard dan lebih dari 500.000 orang meninggal dunia oleh karena itu. Angka kematian yang tinggi ini menyebabkan kerugian lebih dari 100 miliar dolar Amerika per tahun.

B.

Patofisiologi Sebelumnya, ada 4 tipe sel yang harus diketahui yaitu sel endotel, sel otot

polos, limfosit terutama limfosit T dan makrofag. Keempat jenis sel ini apakah akan berkembang menjadi rusak, teraktivasi atau termodifikasi sebagai respon terhadap sesuatu. Yang dimaksud sesuatu itu adalah cedera. Sehingga aterosklerosis dianggap sebagai proses respon terhadap cedera (Lundergan. 2006). Cedera endotel menyebabkan inflamasi vaskuler dan respon

fibroproliferatif. Penyebab cedera endotel yang mungkin termasuk low density lipoprotein (LDL) teroksidasi, agen infeksius yaitu toksin dan produk asap rokok, hiperglikemia, dan hiperhomosisteinemia. Monosit yang beredar menginfiltrasi ke dalam intima pembuluh darah dan makrofag jaringan berlaku sebagai pengangkut yang mengambil LDL dan membentuk foam cell pada tahap awal aterosklerosis. Plak aterosklerosis secara spesifik muncul di daerah percabangan dan lengkungan dinding pembuluh darah yang ireguler dan dimana aliran darah mengalami perubahan kecapatan dan arah aliran yang tiba-tiba (Boudi, et al. 2006). B.1. Teori-teori Terdapat beberapa teori tentang pembentukan anteroklesis, yaitu : 1. Teori penebalan. Teori ini disampaikan oleh Robitansky pada tahun 1851, yang menyatakan bahwa aterosklerosis bermula di dalam intima dimana terjadi deposisi thrombus, terjadi infiltrasi fibroblas, dan deposisi lipid sekunder. 2. Teori lipid. Pada tahun 1856 Virchow menyatakan bahwa aterosklerosis bermula saat lipid melakukan transudasi ke dalam dinding arteri kemudia

berinteraksi dengan elemen seluler dan ekstraseluler yang menyebabkan proiferasi intima. 3. Teori respon terhapat cedera endotel. Dikemukakan oleh Russel Ross sebagai teori yang menyatukan beberapa teori. Teori ini menyatakan bahwa aterosklerosis bermula dengan cedera endotel yang membuat endotel bisa menjadi tempat untuk akumulasi lemak dan deposisi trombus (Singh, V.N, et al. 2005). B.2. Aterosklerosis pada tingkat seluler. Apabila kita mengacu pada teori respon terhadap cedera, maka proses terjadinya aterosklerosis terdiri dari beberapa stadium, yaitu: 1. Stadium awal, dimana terjadi cedera sel endotel, pembentukan foam cell yang kita sebut sebagai fatty streaks. Hal ini dapat muncul pada usia yang sangat muda. 2. Stadium intermediat, dimana terbentuk formasi plak. Di saat inilah terjadi proliferasi sel otot polos, makrofag dan produksi matriks ekstraseluler. 3. Stadium akhir, atau lesi akhir dimana kolesterol menjadi bebas dan ini adalah stadium yang paling berbahaya. Secara umum, sejak dekade pertama dan kedua, terbentuk formasi fatty streaks. Pada decade ketiga kehidupan mulai terbentuk ateroma dan pada decade keempat sampai kelima terbentuklah plak yang matur (Lundergan. 2006). Ateroma atau lesi aterosklerosis adalah penebalan fokal yang asimetris dari lapisan terdalam arteri yaitu intima. Terdiri dari sel-sel, elemen jaringan ikat. Lipid dan debris (Hanson, G.K. 2005).

B.3. Aterosklerosis pada tingkat molekuler Pada tingkat ini, penanganan aterosklerosis adalah dengan mengatasi

penyebabnya. Yaitu: 1. Platelet derived growth factor (PDGF). Faktor ini berasal dari platelet, yang bertanggung jawab terhadap migrasi sel otot polos dari lapisan media ke intima. Ia juga bertanggung jawab terhadap proliferasi sel otot polos. 2. Fibroblast Growth Factor (FGF) dibentuk dari sel otot polos dan beberapa limfosit. Bertanggung jawab terhadap aktivitas migrasi platelet, tetapi fungsinya yang terpenting adalah stimulator utama proliferasi sel otot polos. 3. Interleukin-1 (IL-1), berasal dari limfosit yang membantu sel otot polos untuk mensekresi PDGF dan FGF 4. Ang II (AT II), yang meningkatkan proliferasi sel otot polos (Lundergen. 2006). B. 3. Faktor risiko aterosklerosis Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya aterosklerosis, yaitu: 1. Hipertensi. Hipertensi adalah faktor penyebab terjadinya aterosklerosis, stroke dan penyakit kardiovaskuler. Hipertensi berkaitan dengan perubahan morfologi dari intima arteri dan perubahan fungsi endotel yang serupa dengan perubahan yang terjadi pada hiperkolesterolemia dan aterosklerosis. Disfungsi endotel merupakan akibat dari hipertensi, dislipidemia dan aterosklerosis yang berpengaruh terhadap komponen prokoagulan,

proinflamasi dan proliferasi. Hipertensi secara epidemiologi dan studi

eksperimental mempercepat kejadian aterosklerosis dan meningkatkan insiden komplikasi klinis (Boudi, et al. 2006). 2. Hiperlipidemia. Baik kolesterol. LDL dan trigliserida berperan dalam terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Menurunkan kadar lipid akan menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler dan angka kematian. 3. Diabetes. Pada diabetes, peningkatan kadar gula darah menyebabkan terjadinya glikosilasi terhadap banyak protein yang beredar dalam darah, dan akhirnya menghasilkan apa yang dinamakan advanced glycosylation end products yang toksik terhadap dinding pembuluh darah dan merupakan stimulus terjadinya aterosklerosis coroner dan perifer (Lundergan. 2006). Diabetes juga berhubungan dengan hipertensi, kelainan koagulasi, adhesi dan agregasi platelet, peningkatan stress oksidatif, kelainan fungsional dan anatomi endotelium dan vasomosion endotel (Boudi, et al. 2006). 4. Inflamasi. Adanya inflamasi telah diketahui sejak awal observasi histologis dan merupakan landasan perkembangan aterosklerosis, dimana baik jalur seluler dan humoral terlibat dalam proses ini. Makrofag yang telah

dimodifikasi oleh LDL teroksidasi melepaskan faktor-faktor inflamasi, sitokin, dan GH. Bukti-bukti yang menunjang pentingnya inflamasi dalam patogenesis ateroslerosis adalah dengan melihat marker inflamasi. Sitokin memegang peran penting dalam patogenesis ateroskleosis. Pelepasan sitokinsitokin proinflamasi distimulasi oleh modifikasi LDL, radikal bebas, stress hemodinamik, hipertensi dan infeksi. Sitokin proinflamasi juga dapat menginduksi proliferasi sel, produksi Reactive Oxygen Species (ROS),

menstimulasi matriks metalloproteinase, dan memicu ekspresi faktor jaringan (Rackley, C.E. 2008). 5. Infeksi. Infeksi kronik berperan dalam patogenesis aterosklerosis. Organisme penyebab utama yang telah diteliti adalah Chlamydophila pneumonie, cytomegalovirus (CMV), dan Helicobacter pylori (HP). Infeksi kronik menyebabkan cedera vaskuler langsung dan menginduksi inflamasi sistemik (Rackley, C.E. 2008). 6. Merokok. Mekanisnya kompleks dan multifaktorial yang menyebabkan disfungsi endotel dan hiperkoagulobilitas relatif. 7. Usia. Proses aterosklerosis bisa mulai dari masa anak-anak dan lesi awal dapat muncul awal pada usia 30an terutama pada mereka yang memiliki abnormalitas congenital dalam metabolisme kolesterol seperti

hiperkolesterolemia. Secara keseluruhan ini adalah proses yang memakan waktu 30-40 tahun sebelum muncul sebagai bukti klinis dan sayangnya tidak ada cara klinis untuk mengetahui jalannya proses ini selain mempelajari faktor-faktor risiko pada seseorang. Usia akhir 50an adalah usia rata-rata munculnya kejadian infark miokard pada pria dan satu dekade lebih lambat pada wanita. Penyakit vaskuler aterosklerosis secara klinis muncul rata-rata pada usia 40-70 tahun (Lundergan. 2006). 8. Jenis kelamin. Aterosklerosis dua kali lebih sering muncul pada pria dibanding wanita. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek protektif hormon sex wanita, tetapi efek ini akan hilang pada saat wanita mengalami menopause. Insiden penyakit jantung koroner adalah sama pada wanita dan

pria, tetapi onset manisfetasi klinisnya lebih lambat 10 tahun pada wanita (Boudi, et al. 2006 dan Lundergan. 2006).

gambar 3. patologi aterosklerosis sumber: Lester, C. et al. Eukaryon. 2006

III. SITOKIN

PADA

ATEROSKLEROSIS

FOKUS

PADA

INTERFERON GAMMA A. Peran sitokin Proses inflamasi pada aterosklerosis arteri menyebabkan peningkatan kadar sitokin inflamasi dalam darah dan reaktan fase akut yang lain (Hanson. 2005). Tingginya kadar sitokin dalam sirkulasi darah berperan dalam pembentukan plak. Suatu analisis dari plak aterosklerosis menunjukkan keberadaan sel-sel efektor dari sistem imun seperti limfosit T teraktivasi, sel B dan sel dendritik (George. 2008).

Saat ini, sitokin-sitokin yang ada dikelompokkan menjadi beberapa kelas, yaitu: Interleukin (IL), Tumor Necrosis Factor (TNF), Interferon (IFN), Colony Stimulating Factor (CSF), Transforming Growth Factor (TGF) dan Kemokin. Mereka penting dalam pengaturan respon inflamasi dan imun dan memiliki fungsi penting dalam mengontrol imunitas innate dan adatif (Tedgui dan Mallat. 2006). Keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan antiinflamasi sangat krusial dalam perkembangan lesi aterosklerotik dan ketidakseimbangannya akan menyebabkan eksaserbasi plak (Kleemann, et al. 2008). Di bawah ini adalah gambar pengelompokkan sitokin dan perannya dalam proses aterosklerosis.

gambar 4. A. Keseimbangan sitokin pro dan anti inflamasi dalam perkembangan aterosklerosis. B. Kelompok sitokin-sitokin. Sumber: Kleemann, et al. 2008.

Fatty streak, sebagai menifestasi awal aterosklerosis adalah suati lesi inflamasi yang mengandung makrofag dan limfosit T. memegang peranan penting dalam pengaturan Sel T helper (Th) imun. Sel Th

respon

diklasifikasikan secara fungsional menjadi Th1 dan Th2 berdasarkan perbedaan jenis sitokin yang dihasilkan. Kelompok Th1 menghasilkan IFN-, IL-2, dan TNF- yang memainkan peran penting dalam imunitas seluler. Kelompok Th2 menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-10 yang berperan dalam imunitas humoral (Baidya dan Zeng. 2005). Respon Th1 mengaktifkan makrofag yang menginisiasi respon inflamasi yang serupa dengan hypersensitifitas tipe lambat dan secara khusus berfungsi sebagai pertahanan terhadap patogen intraseluler. Makrofag memfagosit lipid dan merubahnya menjadi foam cell, yang menyebabkan deposisi lipoprotein di subendotelial dan regenerasi plak. inflamasi alergik. Lesi aterosklerosis Respon Th2 menyebabkan sitokin yang lebih

mengandung

meningkatkan respon Th1 daripada Th2. Karena itu, Th1 adalah suatu respon proinflamasi yang menunjang proses aterosklerosis dan Th2 adaah suatu respon antiinflamasi yang menghambat perkembangan proses aterosklerosis (Hanson. 2005). Hubungan sitokin-sitokin dalam proses aterosklerosis dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

gambar 5 . Sitokin-sitokin utama,sumber dan perannya dalam aterosklerosis. Sumber: Baidya dan Zeng. 2005. B. Interferon Gamma Interferon-gamma (IFN-) merupakan salah satu sitokin yang dihasilkan terutama oleh sel Th. Dibentuk oleh CD4+sel T, CD8+sel T, makrofag teraktivasi, sel Natural Killer (NK), sel B, dan sel otot polos (Rose. 2007). Dari penelitian terdahulu, IFN- merupakan mediator inflamasi yang berperan terhadap terjadinya aterosklerosis. Menurut Tedgui dan Mallat, 2004, hipertensi kemungkinan merupakan suatu ketidakseimbangan antara imunitas seluler yang diperantarai sel Th 1 dan imunitas humoral yang diperantarai sel Th 2. Sel Th1 yang lebih dominan ditandai dengan aktivitas sitokinnya yang meningkat, antara lain IFN-. Mozzalai, et al, 2004, juga mengungkapkan bahwa splenosit dari apoE-/- yang mengalami hipertensi dengan Ang II yang tinggi memproduksi IFN-

lebih banyak dibandingkan tikus hipertensi dengan Ang II normal atau tikus yang normotensi. Studi immunohistochemical dan hibridisasi in situ menunjukkan bahwa IFN- ada dalam plak aterosklerosis. Ablasi genetik IFN- atau reseptor IFN- pada tikus secara signifikan mengurangi aterosklerosis. Sedangkan pemberian IFN- dari luar meningkatkan kejadian aterosklerosis (Gotsman dan Lichtman. 2007). Dan blokir langsung IFN- dengan pengrusakan reseptornya menyebabkan penghambatan aterosklerosis sebesar 60% pada tikus knockout (Baydia dan Zeng. 2005). IFN- terekspresi dalam jumlah besar di lesi aterosklerosis oleh berbagi macam sel, termasuk monosit/makrofag, sel Th 1, dan sel NKT(Harvey et al, 2005). NKT teraktivasi dapat memproduksi IFN- dalam jumlah yang signifikan, dan yang telah diketahui aterogenik pada tikus. IFN- berpengaruh terhadap terjadinya proses aterosklerosis melalui efek langsung (Gupta, et al. 1997, Buono, et al. 2003, Whitman et al. 2002, Whitman et al. 2000) maupun tidak langsung melalui IL-12 dan IL-18. (Davenport and Tipping. 2003, Elhage et al. 2003, Whitman et al. 2002). Efek aterogenik dari IFN- antara lain adalah: peningkatan rekrutmen sel T dan makrofag ke dalam plak, meningkatkan ambilan lipid oleh makrofag yang menyebabkan pembentukan foam cell, peningkatan aktivasi Antigen Presenting Cell (APC), dan meningkatkan sekresi sitokin penghasil Th1. Sebagai tambahan, destabilisasi efek IFN- dapat menyebabkan penipisan atau penghambatan pembentukan sumbat fibrous sehingga mengakibatkan plak yang tidak stabil dan kemudian jadi ruptur. IFN- juga berperan dalam proliferasi sel

otot polos vaskuler (Hanson, et al. 2005). Kemungkinan efek proaterogenik IFN- disimpulkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Efek IFN- dalam pembentukan aterosklerosis

sumber: Baidya dan Zeng. 2005. Injeksi harian rekombinan IFN- di tikus dengan ApoE -/- secara signifikan meningkatkan ukuran lesi dua kali lipat, walaupun terjadi penurunan kadar kolesterol serum sebesar 15% (Whitman et al. 2000). Pemberian IFN- juga secara signifikan meningkatkan jumlah sel T pada lesi. Peranan pro-inflamasi dari IFN- juga digarisbawahi lebih lanjut pada penelitian menggunakan tikus IFN- 2/2/ApoE 2/2 (Whitman et al. 2002). Defisiensi IFN- endogen dapa menurunkan

proses terjadinya aterosklerosis pada tikus jantan ApoE 2/2 yang diberi diet normal atau diet HF. Penurunan ini berhubungan dengan penurunan aktivitas dan jumlah sel T, tanpa perubahan kolesterol serum. Defisiensi IFN- juga telah diperlihatkan dapat mengurangi perluasan dan pengaruh fenotipe aterosklerosis secara substansial pada tikus LDLR 2/2 jantan dan betina tanpa perubahan konkomitan pada profil lipoprotein (Buono et al. 2003). Sejalan dengan ini, tikus betina dengan IFN-gR 2/2/ApoE 2/2 yang diberi diet tipe barat menunjukkan pengurangan substansial ukuran lesi, pengurangan 60% akumulasi lipid pada lesi, pengurangan selularitas lesi, dan peningkatan bermakna kandungan kolagen lesi. Tikus dengan IFN- R 2/2/ApoE 2/2 memperlihatkan peningkatan signifikan partikel yang kaya akan

phospholipid/apdA-IV yang secara potensial ateroprotektif (Gupta et al. 1997). Koga, et al. 2007, meneliti penghambatan fungsi interfeson gamma dengan ekspresi berlebihan reseptor IFN- mutan soluble (sIFNgT) pada tikus ApoE2/2 dan menemukan pengurangan area plak lumen. Hal ini juga merupakan bukti tak lengsung peranan IFN- pada atherogenesis. Salah satu faktor primer yang mengatur sekresi IFN- adalah IL18. Whitman et al. 2002, memperlihatkan bahwa ketiadaan IFN- pada IFN- 2/2/ApoE tikus dapat menghilangkan efek permberian rekombinan IL-18 pada aterosklerosis. Elhage, et al. 2003, juga melaporkan bahwa tikus

IL182/2/ApoE2/2 memperlihatkan pengurangan ukuran lesi sebanyak 35% secara substansial bila dibandingkan dengan tikus dengan IL-18 kompeten, sedangkan komponen tikus knockout memperlihatkan pengurangan ekspresi gen I-A, yang

mengimplikasikan pengurangan stimulasi IFN-

lokal. Fungsi IL-18 secara

sinergis dengan kostimulator lain, yaitu IL-12 menginduksi sekresi IFN- oleh makrofag dan sel T.

IV.

INFLAMASI SEBAGAI JEMBATAN PENGHUBUNG HIPERTENSI DAN ATEROSKLEROSIS Patogenesis dari proses aterosklerosis adalah suatu proses yang

multifaktorial dan dikarakteristikan dengan respon inflamasi kronis. Walaupun hipertensi diketahui merupakan faktor risiko yang paling penting dalam terjadinya aterosklerosis, tetapi kontribusinya terhadap aterosklerosis awal masih menjadi penelitian. Didapatkan bukti yang mengindikasikan bahwa hipertensi melalui peptida vasoaktif seperti Angiotensin dan endothelin-1 (ET-1), menyebabkan dan meningkatkan proses aterosklerosis melalui mekanisme inflamasi. Pada studi hewan dan manusia efek proinflamasi dari Ang II telah ditunjukan terdapat pada arteri kecil dan besar, di ginjal dan jantung. Aktivasi stres oksidatif oleh Ang II adalah komponen kunci dalam proses ini. Ang II menstimulasi nicotinamide adenin dinucleotide phosphate/ nicotinamide adenin dinucleotide oxidase di endotel, otot polos, dan tunika adventisia pembuluh darah untuk menghasilkan reactive oxygen species (ROS), yang mengakibatkan disfungsi endotel, pertumbuhan dan inflamasi, pengaturan ET-1, molekul adhesi, nuclear factorkappa B (NF-B) dan mediator-mediator inflamasi yang lain. Juga meningkatkan penghancuran nitric oxide(NO) yang beperan dalam perkembangan penyakit vaskuler dan aterogenesis (Li dan Chen. 2005).

Inflamasi pada dinding vaskuler memainkan peran penting dalam patogenesis dan perkembangan aterosklerosis, penyakit kardiovaskuler dan hipertensi. Vasokonstriksi kronik pembuluh darah akan menyebabkan perubahan bentuk dari matiks ekstraseluler dan kemudian terjadi hipertensi sistolik sebagai akibat dari kekakuan vaskuler terkait umur. Peningkatan tekanan darah dapat menginduksi respon proinflamasi (Savoia, et al. 2006). Hipertensi diketahui berpengaruh pada dinding arteri dalam hal remodeling vaskuler dan aterosklerosis, menyebabkan menghilangnya kelenturan dinding arteri dan meningkatkan kekakuan. Perlengketan monosit dalam proses awal aterosklerosis diperkuat oleh adanya hipertensi. Baik mekanisme imun innate dan adaptif terlibat dalam proses aterosklerosis. Yang berperan adalah Th1 yang ditunjukkan oleh meningkatnya IFN- sebagai proinflamasi. Penelitian Mazzolai, et al melaporkan bahwa splenosit dari tikus hipertensi apoE-/- dengan Ang II tinggi menghasilkan lebih banyak IFN- dibanding dengan yang normal, yang berarti bahwa Ang II menyebabkan pergeseran imun ke respon Th1. Hipertensi terlihat sebagai faktor permisif yang menunjang perkembangan aterosklerosis tetapi faktor humoral yang sering menyertai hipertensi terutama Ang II menentukan jenis plak yang kemudian menentukan dalam kemunculan kejadian klinik (Tedgui dan Mallat. 2004). Berdasarkan teori-teori ini, dapat dihipotesiskan bahwa inflamasi dapat menjadi jembatan yang menghubungkan hipertensi dengan aterosklerosis.

V.Cystatin C Pasien-pasien dengan penyakit ginjal mempunyai bermacam macam presentasi-presentasi klinis yang berbeda. Beberapa mempunyai gejala yang

secara langsung dapat dijadikan acuan bagi penyakit ginjal (hematuria, nyeri pinggang) atau kepada gejala-gejala extra renal (edema, hipertensi, tanda-tanda dari uremia), akan tetapi banyak juga yang tidak mempunyai gejala, hal ini terlihat pada saat pemeriksaan rutin dimana hasil kreatinin serum telah meningkat atau ketidaknormalan hasil analisa urin sehingga saat terdiagnosa penyakit ginjal telah terjadi kelainan fungsi ginjal yang berat. Meskipun anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat menolong penegakan diagnose penyakit ginjal, tetapi informasi paling bermanfaat diperoleh dari pengukuran laju filtrasi glomerulus dan pemeriksaan analisa urin. Penilaian laju filtrasi glomerulus digunakan secara klinis untuk menilai derajat dari penurunan fungsi ginjal serta untuk memantau perkembangan penyakit ginjal. (Stevens & Perrone., 2007). Laju filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR), didefinisikan sebagai jumlah volume plasma yang secara sempurna difiltrasi oleh ginjal berdasarkan waktu. Pemeriksaan GFR biasanya dilakukan dengan mengukur konsentrasi nitrogen urea darah dan serum kreatinin. Cara lain untuk mengukur GFR adalah dengan mengukur zat penanda dari luar seperti inulin, iohexol, 51cr-EDTA, 99mTC, labeled diethylene triamine penta acetic acid (DTPA), atau 125-I labeled iothalamate. Beberapa pemeriksaan ini memakan waktu yang lama, mahal dan membutuhkan pengawasan yang ketat. Untuk itu dibutuhkan suatu penanda baru yang dihasilkan dari dalam tubuh, yang bersifat

konstan, serta difiltrasi secara bebas di dalam glomerolus ginjal (Sarkar et.al., 2005). Pada saat ini, serum cystatin C telah dibuktikan sebagai penanda baru untuk laju filtrasi ginjal (GFR). Cystatin C merupakan inhibitor protease dengan berat molekul kecil (13kDa) yang diproduksi secara tetap oleh semua inti sel. Cystatin C difiltrasi secara bebas melalui membran glomerulus dan diserap kembali serta dimetabolis di tubulus proksimal. Serum cystatin C tidak dipengaruhi oleh massa otot, jenis kelamin, maupun usia. Penggunaan serum cystatin C untuk mengukur GFR didasarkan atas dasar yang sama dengan penggunaan nitrogen urea darah dan konsentrasi kreatinin, tetapi karena cystatin C tidak kembali masuk ke dalam darah maka ini dapat merupakan penanda yang ideal untuk GFR (Randers, 1999; Coll et.al., 2000; Sarkar et.al., 2005). Cystatin C terbentuk dari 122 asam amino, dengan ukuran 13 kDa yang merupakan kelompok cysteine proteinase inhibitor. Cystatin C disebut juga sebagai Cystatin 3 (biasa disebut juga Gamma trace, post-gamma-globulin atau neuroendocrine basic polypeptide) memiliki bentuk seperti dibawah ini (Janoswki, 2004).

Gambar 1 : Bentuk Molekul Cystatin C (Sumber : Janowski, 2004)

Pada penderita hipotiroid didapatkan adanya peningkatan serum kreatinin, dan pada hipertiroid serum kreatinin akan turun. Ini terbalik dengan kadar Cystatin C, dimana pada hipotiroid akan turun, dan pada hipertiroid kadar Cystatin C akan meningkat. Sehingga ada kemungkinan Cystatin C dipengaruhi oleh hormon tiroid (Berghout et al., 2005). Disfungsi tiroid mempunyai pengaruh yang besar pada level serum cystatin C. Sehingga pada pemeriksaan kadar serum cystatin C fungsi tiroid harus diperhatikan (Fricker, 2003). Perhitungan GFR dengan cystatin C dilaporkan lebih sensitif sebagai penanda penurunan GFR khususnya pada stadium awal dari gagal ginjal. Tabel berikut perbandingan GFR pada gangguan fungsi ginjal (Hoek et.al., 2003).

Tabel

2.

Hubungan

GFR

dengan

Plasma

Marker

(Sumber : Hoek et al., 2003)

Serum cystatin C merupakan penanda yang dapat dipercaya untuk menilai kerusakan ginjal ringan hingga sedang, serta memiliki ketepatan yang tinggi dibandingkan serum kreatinin. Serum cystatin C juga tidak dipengaruhi oleh inflamasi, demam, dan atau pengaruh dari luar tubuh. Keganasan pada beberapa penelitian juga tidak mempengaruhi kadar serum cystatin C. Cystatin C juga merupakan penanda yang baik untuk laju filtrasi glomerolus dibandingkan dengan konsentrasi kreatinin pada penderita spinal injury, sirosis hati, diabetes, dan usia lanjut. Pada gagal ginjal ringan dan sedang cystatin C lebih baik daripada konsentrasi serum kreatinin sebagai penanda laju filtrasi glomerulus. Tabel dibawah menunjukkan sensivitas dan spesifitas serum cystatin C dibandingkan dengan kreatinin (Hojs et.al., 2006; Behring, 2007).

Tabel 3. Sensitifitas dan Spesifitas Cystatin C Dibandingkan Kreatinin

(Sumber : Behring, 2007)

Kadar serum Cystatin normal adalah dibawah 0,9 mg/L yang menggambarkan laju filtrasi glomerulus normal seperti ditunjukkan gambar 2. Nilai ini telah disesuaikan untuk orang Asia (Behring, 2007).

Gambar 2. Nilai Normal Cystatin C (Sumber: Behring, 2007)

VI.Asam Urat Asam urat merupakan metabolit akhir dari hasil nukleotida purin baik endogen maupun dari diet. Asam urat merupakan hasil konversi xantin dan hipoxantin yang dikatalisasi oleh xantin oksidase. Purin yang terdiri atas adenin dan guanin beserta dengan pirimidin, berperan penting dalam replikasi material genetika, transkripsi gen, sintesis protein, dan metabolisme seluler. Purin dipecah dan disintesis di semua jaringan tubuh, tetapi asam urat hanya diproduksi di jaringan yang mengandug enzim xantin oksidase, terutama usus kecil dan hati (Wortman, 2005). Kadar asam urat serum ditentukan oleh keseimbangan produksi dan ekskresi. Produksi asam urat tergantung dari diet serta proses internal tubuh berupa biosintesis, degradasi, dan pembentukan cadangan (salvage) asam urat. Ekskresi asam urat sebagian lewat ginjal, dengan proses glomerulofiltrasi, reabsorbsi, sekresi dan reabsorbsi pasca sekresi. Secara umum, laki-laki memiliki rerata kadar asam urat lebih tinggi daripada wanita pramenopause (Johnson et al., 2003; Wortman, 2005). Pada penderita hipertensi, kenaikan kadar asam urat serum dihubungkan dengan disfungsi endotel dan jejas pada ginjal. Peningkatan kadar asam urat serum ditemukan pada 25% penderita hipertensi yang tidak diterapi, pada 50% penderita dalam terapi diuretika, serta lebih dari 75% penderita dengan hipertensi maligna, gagal jantung kongestif dan preeklamsia. Penelitian lain menunjukkan bahwa kadar asam urat serum meningkat pada penderita dengan kondisi klinis hipoksia, iskemia, reperfusi, dan kondisi-kondisi lain seperti pada penderita

dengan penyakit paru obstruktif, hipoksia pada neonatus, penyakit jantung sianosis, dan gagal jantung akut. Mekanisme yang menerangkan kenaikan kadar asam urat pada kondisi hipoksia dan iskemia tersebut diperkirakan berhubungan dengan peningkatan degradasi adenosin trifosfat dan aktivasi jalur xantin oksidase (Doehner & Anker, 2005; Fields, 2003). Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa peningkatan kadar asam urat dihubungkan dengan terjadinya hipertensi dan kerusakan ginjal melalui mekanisme pembentukan kristal dan stimulasi sistem Renin-Angiotensin. Pada ginjal, kadar asam urat yang tinggi menyebabkan kerusakan melalui proses hipertrofi, glomerulosklerosis serta fibrosis interstitial ginjal yang dilihat secara histologis (Kang et al., 2002). Hal ini didukung pada suatu review mengenai mekanisme yang bertanggung jawab terhadap kerusakan ginjal pada penderita hipertensi, didapatkan bahwa peningkatan kadar asam urat akan meningkatkan progresifitas kerusakan ginjal yang diukur dengan Urea nitrogen darah (BUN) dan kreatinin serum, terutama pada subyek dengan derajat hipertensi yang lebih tinggi (Johnson et al., 2005; Mazzali et al., 2001; Ouppatham et al., 2008). Pada penelitian mengenai hubungan kadar asam urat dengan Cystatin C pada penderita diabetes tipe 1, didapatkan hasil bahwa peningkatan kadar asam urat secara bermakna berhubungan dengan peningkatan kadar Cystatin C yang menggambarkan kerusakan ginjal (Rosolowsky et al., 2008).

IV.METODOLOGI DESAIN PENELITIAN

TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Tempat penelitian di desa Mlati, kecamatan....., kabupaten Sleman. Waktu penelitian bulan Agustus sampai dengan November 2009. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI

BESAR SAMPEL Besar sampel yang diteliti adalah CARA KERJA

PENGUKURAN VARIABEL

ANALISIS STATISTIK / DATA

DEFINISI OPERASIONAL

V.DAFTAR PUSTAKA Baudin, B. 2004. Polymorphism in angiotensin II receptor genes and hypertension. Physiol. 90.3 pp 277-82. Baydia, S.G., Zeng, Q.T. 2005. Helper T cells and atherosclerosis: the cytokine web. Postgrad Med J. 1: 74652. Braunwauld. E, Libby, P, & Zipes P.D., 2001. Hypertension and inflammation. Heart Disease. vol.1, 6th ed. Brewster & Perazella, 2004. The renin-angiotensin-aldosterone system and the kidney: effects on kidney disease. Am J Med . 116.4: 263-72. Buono C, Come CE, Stavrakis G, Maguire GF, Connelly PW, Lichtman, AH. 2003. Influence of interferon-gamma on the extent and phenotype of diet-induced atherosclerosis in the LDLR-deficient mouse. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 23: 45460. Behring, D. 2007. N Latex Cystatin C. When Assessing Renal Function. www.Dadebehring.com Berghout, A., Wulkan, R.W., den Hollander, J.G. 2005. Cystatin C and the Risk of Death. N Engl J Med. 353; 8. Braunwald, E., Libby, P., Zipes, D. 2001. Heart Disease, vol 1, 6th edition, WB Saunders Co., Philadelphia, USA. Chonchol, M., Shlipak, M.G., Katz, R., Sarnak, M.J., Newman, A.B., Siscovick, D.S., Kestenbaum, B., Carney, J.K., Fried, L.F. 2007. Relationship of Uric Acid with Progression of Kidney Disease. Am J Kidney Dis, 50(2): 23947. Coll E., Botey A., Alvarez L. 2000. Serum cystatin C as a new marker for noninvasive estimation of glomerular filtration rate and as a marker for early renal impairment. Am J Kidney Dis. 36:29-34. Chobanian A.V., Bakris., Black., Cushman., Green., Izzo., Jones., Materson., Oparil S., Wright., Roccella. 2003. Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, National Heart, Lung, and Blood Institute, National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 42:1206 1252. Carretero OA & Oparil S. 2000. Essential hypertension. Part I: definition and etiology. Circulation. 101: 329-35. Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, J.L. Jr., Jones, D.W., Materson, B.J., Oparil, S., Wright, J.T. Jr., & Roccella EJ. 2003. Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, National Heart, Lung, and Blood Institute, National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 42: 1206 52.

Davenport P, Tipping PG. 2003. The role of interleukin-4 and interleukin-12 in the progression of atherosclerosis in apolipoprotein E-deficient mice. Am J Pathol . 163: 111725. Departemen Kesehatan RI. 2006. Profil kesehatan Indonesia tahun 2006. Depkes RI. 45. Dahlan, M.S. 2006. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Arkans, Jakarta. Doehner, W. and Anker, S.D. 2005. Uric Acid in Chronic Heart Failure. Seminars in Nephrology 24: 61-66. Effendi, I., Markum. 2006. Pemeriksaan Penunjang Pada Penyakit Ginjal dalam A.W. Sudoyo., Setiyohadi., Alwi., Simadibrata K., Setiati (eds.). Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi Empat-Jilid I: 507 9. Elhage R, Jawien J, Rudling M, Ljunggren HG, Takeda K, Akira S. 2003. Reduced atherosclerosis in interleukin-18 deficient apolipoprotein Eknockout mice. Cardiovasc Res . 59:23440. Fields, L.E., Burt, V.L., & Cutle JA. 2004. The burden of adult hypertension in the United States 1999 to 2000. A rising tide. Hypertension. 44: 398 404. Freitas, S.R.S., Cabello, R.S., Dolinsky, A,B., Barros M, Bittencourt, J., Cordova. 2007. Analysis Renin Angiotensin Aldosteron System Gene Polymorphisms in Resistant Hypertension. Braz J Med Biol Res: 40(3): 309-36. Fields, T.R. 2003. Uric Acid and Cardiovascular Disease, Chicken or the Egg? New Animal, Data Suggest Possible Pathogenic Role of Urate. Fields L.E., Burt V.L., Cutler J.A. 2004. The burden of adult hypertension in the United States 1999 to 2000. A rising tide. Hypertension. 44: 398 404. Fricker, M., P. Wiesli, M. Brandle, B. Schwegler, C. Schmid. 2003. Impact of Thyroid Dysfunction on Serum Cystatin C. Kidney International. 63: 1944-1947. Froissart M., Rossert., Jacquot C. 2005. Predictive performance of the MDRD and Cockcroft-Gault equations for estimating renal function. J Am Soc Nephrol. 16:763. George, J. 2008. Mechanisms of Disease: the evolving role of regulatory T cells in atherosclerosis. NATURE CLINICAL PRACTICE CARDIOVASCULAR MEDICINE. Vol 5. No.9. Gupta S, Pablo AM, Jiang X, Wang N, Tall AR, Schindler C. 1997. IFN-gamma potentiates atherosclerosis in ApoE knock-out mice. J Clin Invest . 99: 275261. Han, Y. 1999. Angiotensin II Induces Interleukin-6 Transcription in Vascular Smooth Muscle Cells Trough Pleiotropic Activation of Nuclear Factor-B transcription Factors. Circ Res. 84: 695-703. Hansson, G. 2005. Inflammation, Atherosclerosis, and Coronary Artery Disease. N Engl J Med. 352: 1685-95. Hansson, G.K., Robertson, A.K., Naucler, C.S. 2005. Inflammation and atherosclerosis. Annual Review of Pathology: Mechanism of Disease. Vol.1: 297-329. Harvey EJ, Ramji DP. 2005. Interferon-gamma and atherosclerosis: pro- or

antiatherogenic? Cardiovasc Res. 67: 1120. Hoek, F.J., F.A.W. Kemperman, R.T. Krediet. 2003. A Comparison Between Cystatin C, Plasma Creatinine and the Cockcroft and Gault Formula for the Estimation of Glomerular Filtration Rate. Nephrol Dial Transplant. 18:2024-2031. Hojs, R., S. Bevc, R. Ekart, M. Gorenjak, L. Puklavec. 2006. Serum Cystatin C as an Endogenous Marker of Renal Function in Patient With Mild to Moderate Impairment of Kidney Function. Nephrol Dial Transplant. 21:1855-1862. Janoswki, R., Abrahamson M., Grubb A., Jaskolki M., 2004. Domain swapping in N-truncated Human Cystatin C. J Mol Biol. 341 : 151-160. Johnson, R.J., Kang, D., Feig, D., Kivlighn, S., Kanellis, J., Watanabe, S., Tuttle, K.R., Rodriguez-Iturbe, B., Herrera-Acosta, J., Mazzali, M. 2003. Is There A Pathogenetic Role for Uric Acid in Hypertension and Cardiovascular and Renal Disease? Hypertension, 41: 1183-1190. Johnson, R. J., Segal, M. S., Srinivas, T., Ejaz, A., Mu, W., Roncal, C., SanchezLozada, L. G., Gersch, M., Rodriguez-Iturbe, B., Kang, D., Acosta, J. H. 2005. Essential Hypertension, Progressive Renal Disease, and Uric Acid: A Pathogenetic Link? J Am Soc Nephrol 16: 1909-1919. Jiang X, Sheng HH, Lin G, Li J, Lu XZ, Cheng YL, Huang J, Xiao HS, Zhan YY. 2007. Effect of renin-angiotensin-aldosterone system gene polymorphisms on blood pressure response to antihypertensive treatment. Chin Med J (Engl).120(9): 782-6. Kaplan, N.M. 2006. Primary hypertension: Pathogenesis. Kaplans clinical hypertension. 9th ed. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelpia: 50 121. Kearney, P.M. 2005. Global burden of hypertension: analysis of worldwide data. Lancet. 365: 217-23. Klabunde, RE. 2007. Renin-Angiotensin-Aldosterone System: Cardiovascular Physiology Concepts. Retrieved from http://www.cvphysiology.com Kleeman R, Zadelaar S, Kooistra T. 2008. Cytokines and atherosclerosis: a comprehensive review of studies in mice. Cardiovascular Research. 79: 360-76. Koga M, Kai H, Yasukawa H, Kato S, Yamamoto T, Kawai Y . 2007. Postnatal blocking of interferon-gamma function prevented atherosclerotic plaque formation in apolipoprotein E-knockout mice. Hypertens Res. 30: 25967. Koga M, Kai H, Yasukawa H, Yamamoto T, Kawai Y, Kato S . 2007. Inhibition of progression and stabilization of plaques by postnatal interferongamma function blocking in ApoE-knockout mice. Circ Res . 101: 34856. Kanellis, J., Nakagawa, T., Herrera-Acosta, J., Schreiner, G. F., Rodriguez-Iturbe, B., Johnson, R.J. 2003. A Single Pathway for the Development of Essential Hypertension. Cardiol Rev. 11: 180-96. Kang, D., Nakagawa, T., Feng, L., Watanabe, S., Han, L., Mazzali, M., Truong, L., Harris, R., Johnson, R.J. 2002. A Role for Uric Acid in the Progression of Renal Disease. J Am Soc Nephrol, 13: 2888-2897.

Kaplan N.M. 2006. Primary hypertension: Pathogenesis. In: Kaplans clinical hypertension. 9th ed. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelpia.: 50 121. Kestenbaum, B., Rudser, K. D., de Boer, I. H., Peralta, C. A., Fried, L. F., Shlipak, M. G., Palmas, W., Stehman-Breen, C., Siscovick, D. S. 2008. Differences in Kidney Function and Incident Hypertension: The MultiEthnic Study of Atherosclerosis. Ann Intern Med 148: 501-508. Lele, RD. 2004. Hypertension : Molecular Approach. JAPI .Vol. 52 Leon, M.L.A., Zuckerman, S.H. 2005. Gamma interferon: a central mediator in atherosclerosis. Inamm. res. 54: 395411. Lester, C., Nikogosian, K., Shrestha, R., Tucker, C. 2006. Atherosclerotic assault. Eukaryon. Vol.2. 40-6. Li, J.J., Chen, J.L. 2005. Inflammation may be a bridge connecting hypertension and atherosclerosis. Medical hypotheses. Vol. 64. 5: 925-9. Libby, P. 2001. Risk Factors for Atherosclerotic Disease. WB Saunders Co. USA. Mahmud & Feely, 2005. Arterial Stiffness Is Related to Systemic Inflammation in Essential Hypertension. Hypertension. 46: 1118-22. Mazzolai L, Duchosal M, Korber M, Bouzourene K, Aubert J, Hao H, Vallet V, Vrunner HR, Nussberger,J., Gabbiani ..G, Daniel Hayoz. 2005. Endogenous Angiotensin II Induces Atherosclerotic Plaque Vulnerability and Elicits a Th1 Response in ApoE-/- Mice. Hypertension. 44: 277-82. Mazzali, M., Hughes, J., Kim, Y. G., Jefferson, A., Kang, D. H., Gordon, K. L., Lan, H. Y., Kivlighn, S., Johnson, R. J. 2001. Elevated Uric Acid Increases Blood Pressure in the Rat by a Novel Crystal-Independent Mechanism. Hypertension 38:1101-1106. Navar, LG. 2004. The intrarenal renin-angiotensin system in hypertension. Kidney Int. 65(4): 1522-32. Naya, M., Tsukamoto, T., Morita, K., Katoh, C., Furumoto, T., Fujii, S., Tamaki, N., & Tsutsui, H. 2007. Plasma Interleukin-6 and Tumor Necrosis Factor- Can Predict Coronary Endothelial Dysfunction in Hypertensive Patients. Hypertens Res. 30: 5418. Nussberger J, Gabbiani G, Hayoz D. 2004. Endogenous angiotensin II induces atherosclerotic plaque vulnerability and elicits a Th1 response in apoE -/mice. Hypertension. 44: 277-82. Obermayr, R.P., Temml, C., Gutjahr, G., Knechtelsdorfer, M., Oberbauer, R., Klauser-Braun, R. 2008. Elevated Uric Acid Increases the Risk for Kidney Disease. J Am Soc Nephrol. Ouppatham, S., Bancha, S., Choovichian, P., 2008. The Relationship of Hyperuricemia and Blood Pressure in the Thai Army Population. J Postgrad Med 54:259-62. Oparil, S., Amin, Z.M., & Calhoun, D.A. 2003. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med. 139: 761-76. Pastor-Barriuso R, Banegas J.R., Damian J. 2003. Systolic blood pressure, diastolic blood pressure, and pulse pressure: an evaluation of their joint effect on mortality. Ann Intern Med. 139: 731 739.

Randers E., Erlandsen E.J. 1999. Serum cystatin C as an endogenous marker of renal function : a review. Clin Chem Lab Med. 27: 389-395. Rosolowsky, E.T., Ficociello, L.H., Maselli, N.J., Niewczas, M.A., Binns, A.L., Roshan, B., Warram, J.H., Krolewski, A.S. 2008. High-Normal Serum Uric Acid Is Associated with Impaired Glomerular Filtration Rate in Nonproteinuric Patients with Type 1 Diabetes. Clin J Am Soc Nephrol, 3: 706-713. Ranjbaran, H. Sokol, S.I. Gallo, A. Eid, R.E. Iakimov, A.O. DAlessio, A. Kapoor, J.R. Akhtar, S. Howes,C.J. Aslan, M. Pfau, S. Pober, J.S. and Tellides, G. 2007. An Inammatory Pathway of IFN-Production in Coronary Atherosclerosis. The Journal of Immunology. 178: 592 604. Robertson, A.K., Hanson, G.K. 2006. T cells in atherogenesis: For Better or Worst. Arterioscler. Thromb. Vasc. Biol. 26: 2421-32. Rose, M. 2007. Interferon- and Intimal Hyperplasia. Circ Res . 01: 542-4. Savoia, C., Schiffrin, E.L. 2006. Inflammation in hypertension. Current opinion in Nephrology and Hypertension. Vol 15.2. Shao, J. Nangaku, M. Miyata, T. Inagi, R. Yamada, K. kurokawa, K. Fujita, T. 2003. Hypertensive Rats With Kidney Injury. Hypertension. 42: 31-8. Singh, V.N., Deedwania, P., Sharma, R.K. 2005. Coronary artery atherosclerosis. eMedicine. Sutters, M. 2008. Systemic Hypertension in Stephen J McPhee., Maxine A. Papadakis., Lawrence M. Tierney. Curr Med Diag&Treat 47th edition. Mc GrawHill. 429-59. Stevens L., Perrone R.D. 2007. Assessment of kidney function: Serum creatinine, BUN, and GFR. UpToDate. Vol. 15.1. Stevens L.A., Coresh J., Schmid C.H., Feldman H.I., Froissart M., Kusek J ., Rossert J., Lente F.V ., Bruce R.D ., Zhang., Greene T., Levey A.S. 2008. Estimating GFR using Serum Cystatin C Alone and in Combination with Serum Creatinine: A Pooled Analysis of 3418 Individuals with CKD. Am J Kidney Dis. 51(3): 395406 Tedgui A, Mallat Z. 2004. Hypertension: A Novel Regulator of Adaptive Immunity in Atherosclerosis? . Hypertension . 44: 257-8. Vasan R.S, Larson M.G, Leip E.P. 2001. Impact of high normal blood pressure on the risk of cardiovascular disease. N Engl J Med. 345 : 1291 1297. Widiana, I. G. R. 2007. Penanganan Terkini Gagal Ginjal Akut. The 7th Jakarta Nephrology & Hypertension Course. 53- 8. Wortman, R.L. 2005. Disorders of Purin and Pyrimidine Metabolism. In: Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L. (eds). Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th edition, McGrawHill Medical Publishing Division, New York, p:2308. Ward R. 1990. Familial aggregation and genetic epidemiology of blood pressure in Laragh JH and Brenner BM (eds) Hypertension Pathophysiology. Diagnosis and Management. Vol.i Raven. New York. 81: 100. Whitman SC, Ravisankar P, Daugherty A. 2002. IFN-gamma deficiency exerts gender-specific effects on atherogenesis in apolipoprotein E-/- mice. J Interferon Cytokine Res .22: 661 70.

Whitman SC, Ravisankar P, Daugherty A. 2002. Interleukin-18 enhances atherosclerosis in apolipoprotein E(-/-) mice through release of interferongamma. Circ Res . 90: E348. Whitman, S.C., Ravisankar ,P., Elam, H., Daugherty, A. 2000. Exogenous interferon gamma enhances atherosclerosis in apolipoprotein E-/mice. Am J Pathol . 157: 181924. Yogiantoro, M. 2006. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K., Setiati, S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 4 jilid I: 610-4.

VI.LAMPIRAN