proposal nurul juni09
-
Upload
api-19966426 -
Category
Documents
-
view
1.441 -
download
8
Transcript of proposal nurul juni09
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.508 pulau
dengan panjang garis pantai 81.000 km sehingga potensi sumberdaya pesisir dan
lautannya sangat besar. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara
yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam, baik sumber daya
alam yang dapat diperbaharui (perikanan, pertanian, peternakan, kehutanan dan
lainnya) maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi, gas,
mineral dan bahan tambang lainnya ). (Bengen 2001)
Keanekaragaman (biodiversity) sumberdaya perikanan di Indonesia mengalami
penurunan baik dalam jumlah maupun jenisnya, termasuk sumberdaya perikanan.
Sedangkan kawasan Asia-Pasifik yang saat ini menjadi penyumbang terbesar
produksi ikan dunia juga sudah mulai overfishing. Dalam 25 tahun terakhir,
penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik sekitar 6-33% (FAO, 2004). Penurunan
jumlah maupun jenis sumberdaya perikanan diiringi dengan peningkatan kebutuhan,
tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat dunia yang didorong oleh kesadaran
masyarakat yang memandang ikan sebagai salah satu produk makanan yang sehat dan
aman, sehingga perlu dikembangkan perikanan budidaya.
Dalam pengembangan perikanan budidaya, salah satunya adalah usaha budidaya
udang di tambak. Meskipun hasil budidaya udang di Indonesia pada dekade tahun
1980 sampai dengan awal tahun 1990 mampu bersaing pada peringkat lima besar
sebagai sumber devisa di luar migas, namun lambat laun terjadi penurunan hasil
produksi udang nasional dan kualitas produk seafood yang ditandai dengan adanya
pengembalian produk seafood dari pembeli, terutama pembeli dari luar negeri.
Sebagai contoh kasus adalah: (1) Uni Eropa sejak bulan Maret 2006 menerapkan
Rapid Alert System (RAS). Hal ini dikarenakan mereka tidak percaya terhadap
kualitas produk perikanan dari negara Indonesia. Peraturan bernama Commission
Decision 236 itu diterapkan menyusul ditemukannya residu antibiotik dan logam
berat merkuri pada sejumlah produk perikanan (termasuk udang) yang dikirim dari
Indonesia. Pada tahun 2007, UE menemukan 12 kasus, yang salah satunya adalah
kandungan merkuri pada produk udang windu beku. (2) Pada bulan Agustus 2007,
1
China mengeluarkan kebijakan larangan sementara selama enam bulan terhadap
impor produk perikanan dari Indonesia. Padahal selama kurun waktu lima tahun
sebelumnya, ekspor produk perikanan ke China meningkat rata-rata 52%. Pada tahun
2006, volume ekspor produk seafood Indonesia ke China sebesar 109.337,7 ton. (3)
Jepang begitu ketat menerapkan standar mutu terhadap produk udang impor.
Sepanjang tahun 2007, sekitar 50 kontainer produk perikanan asal Indonesia ditolak,
terutama udang, karena terdeteksi mengandung residu antibiotik dan terdeteksi
adanya bakteri Vibrio parahaemolyticus pada udang (DKP 2008).
Munculnya berbagai penyakit udang, salah satunya adalah vibriosis, yaitu
penyakit udang yang disebabkan karena serangan bakteri Vibrio spp. yang
mengindikasikan terjadinya penurunan kualitas lingkungan budidaya. Penyakit
karena bakteri Vibrio spp. telah terdeteksi di Indonesia sejak tahun 2006, karena
menginfeksi udang jenis L. vannamae and P. monodon di Sulawesi Selatan. Jenis
bakteri ini akan berkembang melimpah jika didukung oleh faktor pendukung utama
seperti bahan organik dalam air melimpah (Agung 2007).
Pemberian pakan (kering) dengan jumlah 2 kali lipat produk biomassa (basah),
jika dihitung konversinya maka hanya 10 – 12% yang dapat dipanen menjadi
biomassa, sedangkan 90% lainnya terbuang ke lingkungannya. Bahan organik yang
mengandung protein ini akan diuraikan menjadi polipeptida, asam amino dan amonia
sebagai hasil akhir yang menumpuk di dasar tambak (Nurdjana 1997). Bahan organik
yang ada dalam air limbah terdiri atas 3 bentuk yaitu: terlarut (dissolved), koloid dan
partikulat, yang mempunyai sifat mudah didegradasi secara biologi (biodegradable)
dan sulit atau tidak dapat didegradasi secara biologis (Suryadiputra 1995).
Bakteri pathogen opportunistik terhadap udang adalah Vibrio spp. yang sering
menimbulkan kematian udang baik di panti pembenihan maupun tambak. Bakteri ini
akan berkembang dan menjadi pathogen jika terjadi penurunan mutu air akibat
penumpukan bahan organik yang berasal dari sisa pakan dan kotoran udang (Madeali
et al., 1998). Bakteri Vibrio Harveyi akan bersifat pathogen bagi udang apabila
kepadatannya dalam air mencapai 8.35x104 CFU/ml (Roza et al. 1997). Pada
konsentrasi bakteri Vibrio spp. 104 CFU/ml dapat menyebabkan kematian udang
dalam waktu 72 jam (Rokhmani 1994).
2
Namun sejauh ini belum dipelajari secara lebih mendalam mengenai hubungan
antara peningkatan populasi Vibrio spp. dengan peningkatan bahan organik sebagai
dampak dari kegiatan budidaya. Sebagai salah satu upaya untuk mencegah
berkembangnya bakteri Vibrio spp. lebih lanjut, diperlukan Analisis Keterkaitan
Kandungan Bahan Organik di Wilayah Pesisir terhadap Kelimpahan Vibrio spp. pada
Kawasan Tambak Udang.
3
1.2. Kerangka Pemikiran
Secara ringkas kerangka pemikiran dari “Analisis Keterkaitan Kandungan Bahan
Organik di Wilayah Pesisir terhadap Kelimpahan Vibrio spp. pada Kawasan Tambak
Udang” disajikan pada table di bawah ini:
Gambar 1. Kerangka pemikiran dalam penelitian
4
Analisis Keterkaitan Kandungan Bahan Organik di Wilayah Pesisir terhadap Kelimpahan Vibrio spp. pada Kawasan Tambak Udang
Skenario pengelolaan tambak udang yang sehat
Penurunan kualitas produk seafood Input
Proses
Output
Pemanfaatan kawasan pesisir
Penurunan kualitas lingkungan di kawasan pesisir
Munculnya bakteri Vibrio spp. sebagai penyebab penyakit vibriosis pada udang hasil budidaya di tambak
Salah satu pemanfaatan kawasan pesisir adalah pengembangan budidaya udang
Peningkatan kandungan bahan organik di wilayah pesisir
1.3. Perumusan Masalah
Gambar 2. Permasalahan umum di kawasan tambak udang
5
Peningkatan kandungan bahan organik dan bakteri Vibrio spp. di kawasan tambak udang
Kurangnya aplikasi teknologi pengelolaan limbah di kawasan tambak udang
Penurunan pengawasan mutu lingkungan di kawasan tambak udang
Penurunan kualitas air di kawasan tambak udang
Kurangnya teknik pengawasan yang efektif dan efisien
Lemahnya peraturan dan pelaksanaannya
Kurangnya perhatian stakehol-ders terkait
Meningkatnya kandungan limbah di wilayah pesisir
Sebab
Problem inti
Akibat
Penurunan devisa negara
Penurunan nilai ekspor udang nasional
Penurunan kepercayaan konsumen akan kualitas produk seafood nasional
Penurunan keuntungan produsen
Menurunnya kesadaran stakeholders dalam mencegah meningkatnya kandungan limbah di pesisir/laut
Kurangnya dana untuk aplikasi teknologi modern
Meningkatnya aktivitas di kawasan pesisir
Penurunan kualitas produk seafood
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:
- Mengetahui perubahan konsentrasi bahan organik (yang terkandung dalam
bahan tersuspensi total, TSS) diwilayah pesisir akibat adanya limbah buangan dari
kegiatan tambak udang.
- Mengetahui kelimpahan total bakteri Vibrio spp. di kawasan tambak
udang.
- Mengetahui hubungan keberadaan Vibrio harveyi dan Vibrio
parahaemolyticus dengan perubahan kandungan bahan organik dalam TSS.
1.5. Hipotesis
Dari uraian latar belakang, permasalahan dan tujuan penelitian tersebut di atas,
maka hipotesis yang ingin dibuktikan adalah:
”Jika kandungan bahan organik (dalam TSS) di wilayah pesisir meningkat, maka
adanya kecenderungan peningkatan kelimpahan bakteri Vibrio spp. pada kawasan
tambak udang.”
6
II. Tinjauan Pustaka
2.1. Dinamika Bahan Organik dalam Perairan
Kandungan bahan organik di perairan meningkat karena disebabkan oleh
meningkatnya jumlah limbah dari rumah tangga, pertanian, industri maupun dari
sumber lainnya. Bahan organik tersebut akan mengalami fluktuasi karena pengaruh
perubahan musim, yaitu pada musim kemarau kandungan bahan organik akan
meningkat sehingga akan meningkatkan pula kandungan unsur hara perairan dan
sebaliknya pada musim hujan akan terjadi penurunan kandungan bahan organik
karena adanya proses pengenceran (Wardoyo 1995).
Padatan tersuspensi total (total suspended solid/TSS) adalah bahan-bahan
tersuspensi yang tertahan pada kertas saring ukuran pori-pori 0,45 μm. TSS terdiri
atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh
kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi 2003).
Padatan tersuspensi dapat mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air sehingga
mempengaruhi fotosintesis dalam perairan. Padatan tersuspensi dalam air pada
umumnya terdiri dari plankton, kotoran (manusia dan hewan), lumpur, sisa tanaman
dan hewan serta limbah industri. Untuk menjamin berhasilnya usaha perikanan, maka
harus dijaga agar konsentrasi kandungan padatan tersuspensi tidak lebih dari 1000
mg/l. Kandungan padatan tersuspensi maksimal adalah 400 mg/l. (Hamsiah, 2000)
TSS adalah materi padat seperti pasir, lumpur, tanah maupun logam berat yang
tersuspensi di perairan. TSS merupakan salah satu parameter biofisik perairan yang
dinamikanya mencerminkan dinamika perubahan yang terjadi di daratan dan perairan.
Tingginya TSS di badan air seringkali meningkatkan jumlah bakteri, nutrient,
pestisida dan bahan-bahan metal di perairan. Polutan akan terlepas dari sediment di
dasar kolam. Analisis spasial TSS di perairan diharapkan dapat berguna untuk
mengetahui keterkaitan antara ekologi daratan dan lautan. Perubahan yang terjadi
pada suatu ekosistem pesisir cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem
lainnya. TSS dapat dianggap sebagai indikator awal dalam mengevaluasi kondisi
lingkungan pesisir setempat berkaitan dengan keberlanjutan kegiatan yang sudah dan
7
akan dikembangkan. TSS merupakan agregat dari karbonat, bikarbonat, klorida,
sulfat, fosfat, nitrat dan garam-garam lainnya dari Ca, Mg, Na, K dan senyawa
lainnya. Tingginya kadar TSS dapat mengakibatkan menurunnya tingkat penetrasi
sinar matahari ke dalam air, sehingga fotosintesa berkurang. Menurunnya aktivitas
fotosintesa oleh phytoplankton dan mengakibatkan kadar oksigen terlarut menurun.
Sebagian tanaman kemudian akan mati dan mengalami terdekomposisi oleh bakteri,
sehingga akan semakin menurunkan kadar oksigen. Hal ini akan mengakibatkan
udang akan mengalami kematian. Tingginya TSS juga bisa mengakibatkan
meningkatnya suhu perairan, karena partikelnya menyerap panas dari sinar matahari,
sehingga juga akan menambah menurunnya kadar oksigen di perairan dan akan
mengakibatkan berkembangnya berbagai biota yang tidak diinginkan di perairan
tersebut (Murphy 2007).
Penurunan kecerahan perairan karena TSS dapat berdampak pada menurunnya
kemampuan udang dalam melihat dan menangkap makanan. Sedimen yang terlarut
juga dapat menurunkan tingkat pertumbuhan dan daya tahan udang terhadap
penyakit. Tingginya TSS di badan air seringkali meningkatkan jumlah bakteri,
nutrien, pestisida dan bahan-bahan metal di perairan. Polutan akan dilepas dari
sediment dari aliran air di dasar kolam.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan TSS adalah:
- Kecepatan arus air
Arus air merupakan faktor yang penting dalam konsentrasi TSS. Kecepatan arus
air dapat membawa partikel dan sediment yang berukuran besar. Hujan yang
lebat dapat mengangkat pasir, lumpur, tanah liat dan partikel organik lainnya dari
dasar perairan dan terbawa ke permukaan air. Perubahan aliran juga menimbulkan
dampak bagi TSS, jika kecepatan atau arah arus berubah, maka partikel dari
dasar (sediment) akan terlarut kembali.
- Erosi tanah
Erosi tanah disebabkan oleh adanya gangguan pada permukaan tanah, konstruksi
jalan, gedung, kebakaran, penebangan hutan dan penambangan. Partikel tanah
yang tererosi dapat terbawa oleh gerakan air ke permukaan. Hal ini akan
meningkatkan TSS di badan air.
8
- Banjir
Selama peristiwa banjir, partikel tanah dari jalan, industri, kawasan pemukiman
dapat tercuci oleh banjir. Dikarenakan perubahan kondisi tersebut maka
mengakibatkan sedimentasi meningkat dan kondisi alam berubah. Sedimen
biasanya terbawa oleh banjir secara langsung dari sungai.
- Limbah rumah tangga
Limbah rumah tangga dapat menambah padatan terlarut dalam air. Hal ini dapat
dicegah salah satunya dengan cara mengatur jarak septic tank ke perairan
(minimal 10 meter).
- Sisa ekskresi udang
Sisa ekskresi udang bila tidak rutin dibersihkan akan mengendap menjadi
sedimen.
- Sisa pakan udang
Sisa pakan udang dapat menjadi sedimen sehingga merupakan bagian dari TSS
(Murphy 2007).
2.2. Mikrobiologi Pengganggu Budidaya Udang
Laut dapat mengandung sejumlah bakteri yang sebagian besar bersifat patogen
pada manusia. Sumber dari patogen (bahan pencemar bersifat biologis) ini
disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari limbah industri, rumah tangga,
pertanian/perikanan/peternakan dan lainnya. Jenis-jenis bakteri yang termasuk bakteri
pencemar antara lain Vibrio spp., Salmonella dan Escherichia coli. Pencemaran yang
disebabkan oleh bakteri dapat menyebabkan menurunnya kualitas perairan.
Kontaminan di laut yang prinsipal pada negara-negara berkembang adalah limbah
yang tidak diolah (Ginting 1995).
Menurut Bergey’s manual of determinative Bacteriology (Buchanan et al. 1974),
bakteri Vibrio sp. diklasifikasikan sebagai berikut:
Dunia : Procaryotae
Filum : Bacteria
Kelas : Schizomycetes
9
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Jenis : Vibrio sp.
Bakteri Vibrio spp. merupakan bakteri yang dominan pada lingkungan air payau
dan estuaria. Vibrio spp. menyerang lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Secara
umum bakteri Vibrio spp. menyebabkan penyakit pada organisme perairan laut dan
payau. Sejumlah spesies Vibrio spp. yang dikenal bersifat patogen adalah
V. alginolyticus, V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyi, V. ordalii dan
V. vulnificus.
Vibrio spp. mempunyai sifat gram negatif, sel tunggal berbentuk batang pendek
yang bengkok (koma) atau lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 –
1,3) µm, motil dan mempunyai flagella tunggal. Sifat biokimia Vibrio spp. adalah
oksidase positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129
(Gultom 2003). Bakteri Vibrio spp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada
salinitas yang relatif tinggi. Sebagian besar bakteri berpendar bersifat halofil yang
tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20 – 40 ‰. Bakteri Vibrio sp. yang
berpendar termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup baik dengan
atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio spp. tumbuh pada pH 4 - 9 dan tumbuh
optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Herawati, 1996).
Vibrio spp. merupakan patogen oportunistik yang dalam keadaan normal ada
dalam lingkungan pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik
menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Bakteri Vibrio spp.
dapat hidup di bagian tubuh organisme lain baik di luar tubuh dengan jalan
menempel, maupun pada organ tubuh bagian dalam seperti hati, usus dan sebagainya.
Beberapa jenis Vibrio spp. bersifat patogen karena mengeluarkan toksin ganas dan
seringkali mengakibatkan kematian pada manusia dan ikan (Austin 1988).
Di alam, bakteri Vibrio spp. mempunyai keragaman dan heterogenitas yang
tinggi. Keragaman bakteri Vibrio spp. diantaranya adalah keragaman serotype, sifat
biokimia dan patogenisitas (Harrell, et al. 1976). Bakteri Vibrio spp. yang
ditemukan menyerang udang hasil budidaya antara lain: Vibrio harveyi, Vibrio
parahaemolyticus , V. alginolyticus, V. fishery, V. ligei, V. splendidus, V. albensis, V.
10
vulvinicus, V. cambellii, V. anguillarum, V. costicola dan V. mimicus. Bakteri Vibrio
spp. juga sebagai penyebab penyakit kunang-kunang yang merupakan penyakit
berbahaya, yaitu V. harveyi, V. parahaemolyticus, V. alginolyticus, V. fishery, V.
logei, V. splendidus, V. Albensis. (Hastein et al. 1977).
Bakteri Vibrio spp. yang terdapat dalam udang hasil budidaya dapat
menyebabkan penyakit vibriosis (Penaeid bacterial septicemia atau Penaeid
vibriosis, Luminescent vibriosis, Red-leg disease, sien dun dan di Thailand disebut
black splint, Sea gull syndrome atau Sindrome gaviota dalam negara Amerika Latin),
yang menyebabkan kematian berkisar 90% dari hasil panen. Jenis penyakit yang
sering menyerang udang dan menimbulkan banyak kerugian adalah penyakit
vibriosis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri dari jenis Vibrio spp. yang dapat
menyebabkan kematian massal dalam waktu kurang dari satu minggu. Dampak yang
paling membahayakan adalah ketika bakteri ini menyerang udang ukuran post-larvae
dan juvenile. Vibrio harveyi adalah bakteri vibrio yang memiliki luminescent dan
seringkali bersifat “pathogenic outbreaks” pada tambak udang. Bakteri Vibrio spp.
akan menyebabkan stress pada udang jika berjumlah 103 CFU/ml, sedangkan pada
kisaran 104 CFU/ml akan menyebabkan kematian massal pada udang di dalam
tambak.(Madeali et al. 1998).
Jumlah total bakteri vibrio spp. dinyatakan sebagai TVC (total viable count).
Dilihat kenampakan pada media TCBSA (Thiosulfate Citrate Bile Salts Sucrose
Agar) maka bisa terlihat koloni hijau, tidak berpendar dan berpendar. Kelompok
Vibrio harveyi berpendar dicirikan dengan membentuk koloni hijau pada media
TCBSA yang diinkubasi pada suhu 28oC, oksidase positif, menghasilkan protease
pada media LA+skim, menghasilkan kitinase pada media kitin, mereduksi nitrat,
namun berpendar (luminous). Vibrio harveyi yang tidak berpendar, dicirikan dengan
membentuk koloni hijau pada media TCBSA yang diinkubasi pada suhu 28oC,
oksidase positif, menghasilkan protease pada media LA+skim, menghasilkan kitinase
pada media kitin, mereduksi nitrat. (Baumann et al. 1994).
Pada media TCBSA, penampakan koloni berukuran lebih kecil dengan pusat
koloni berwarna kebiruan adalah jenis bakteri Vibrio parahaemolyticus. Vibrio ini
merupakan bakteri yang mengakibatkan acute gastroenteritis (pada manusia) dan
11
bersifat pathogen bagi organisme yang hidup di lingkungan pesisir (Bacteriol 1998).
Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri yang bisa beradaptasi di permukaan perairan,
biasanya berupa system gen yang besar, dapat berpindah, membentuk koloni dan
tidak berpendar. Vibrio ini mempunyai ciri-ciri: berwarna hijau kebiruan, diameter
3-5 mm, pusat koloni berwarna hijau tua. Karakteristik fisika-biokimia adalah
pewarnaan gram negatif dan mempunyai sifat fermentatif, katalase, oksidase,
glukosa, laktosa, galaktosa dan manitol positif. Sedangkan sellobiosa, fruktosa,
methyl red dan H2S bersifat negatif. Tingginya konsentrasi bakteri ini dapat
mengakibatkan sel pecah dan kematian. Vibriosis dapat berbahaya menyerang
budidaya udang L. vannamei., jika mencapai jumlah 105 CFU/ml dan 104 CFU/ml,
karena menyerang hepatopancreas dari hemolymph. (Thompson 2004)
Vibriosis adalah penyakit pada ikan atau hewan akuatik yang disebabkan oleh
serangan bakteri Vibrio spp. Penyakit vibriosis adalah penyakit bakterial yang paling
utama dalam budidaya udang, yang disebabkan oleh bakteri Vibrio spp. khususnya
bakteri Vibrio harveyi (Rukyani 1999).
Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri berpendar bersifat sangat akut
dan ganas. Munculnya penyakit vibriosis karena perubahan keseimbangan antara
lingkungan, inang dan bakteri. Penyakit udang di tambak terjadi karena terjadi
penurunan kualitas air yang diikuti dengan menurunnya kondisi kesehatan udang
akibat stress. Dalam keadaan demikian bakteri vibrio sp. dapat berkembang dan
menyebabkan penyakit pada udang. Penyakit vibriosis pada udang dewasa di tambak
mengakibatkan terjadinya bercak coklat putih pada cangkangnya (Taslihan 1991).
Bakteri Vibrio spp. sudah bersifat pathogen bagi udang jika kandungan bahan
organik total berada antara 20-59 mg/l dalam perairan, bahkan pada kandungan bahan
organik total 50 – 59 mg/l dapat menyebabkan terjadinya kematian massal. Sebaiknya
kandungan bahan organik total dalam media air tambak udang adalah lebih kecil dari
26 ppm. (Atmomarsono 1992).
Peningkatan bahan organik dalam tambak dapat menyebabkan meningkatnya
populasi bakteri Vibrio spp., karena bahan organik tersebut akan digunakan bakteri
sebagai sumber makanan yaitu untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri.
Bakteri Vibrio sp. pada kepadatan 104 CFU/ml sudah bersifat pathogen pada udang,
12
apalagi ditambah dengan kualitas air yang buruk. Vibriosis dapat bersifat sebagai
infeksi primer atau sekunder. Dalam suatu kondisi dimana kadar bahan organik pada
air sangat tinggi, akan banyak terdapat bakteri Vibrio spp. (Ginting 1995).
2.3. Pengelolaan Tambak Udang yang Sehat
Pengelolaan tambak udang yang sehat dilakukan untuk mengurangi resiko udang
terkena penyakit dan untuk meningkatkan pengamanan produk makanan (food
safety). Pelaksanaan dari pengelolaan kesehatan udang diantaranya adalah:
- Melakukan kajian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyebab
menurunnya kesehatan udang, yaitu diantaranya mencegah peningkatan bahan
organik dan mencegah munculnya bakteri Vibrio spp. ditambak.
- Melaksanakan strategi pengelolaan dalam mencegah penyebaran penyakit udang
selama proses budidaya.
- Melakukan praktek pengelolaan dengan cara menurunkan stress pada udang dan
lingkungan.
- Menerapkan biosecurity dan meminimumkan penyakit pada stok induk, system
hatchery dan pembesaran udang.
- Meminimumkan penggunaan obat dan antibiotik.
- Meyakinkan pengamanan dan kualitas produk udang dengan mengurangi resiko
penggunaan bahan-bahan kimia yang membahayakan kesehatan manusia.
- Peningkatan produk yang aman untuk dikonsumsi manusia sesuai tuntutan pasar
internasional (Poernomo 1979).
Beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya udang adalah
meliputi: kualitas air, induk, benur, pakan dan pencegahan serangan penyakit.
Produk udang yang higienis tidak lepas dari upaya pengamanan produk melalui
sistem kontrol yang berbentuk sertifikat mutu pada:
- Pembesaran udang di tambak. Pentingnya pengawasan pengamanan produk, yaitu
tindakan sertifikasi yang disebut sebagai kontrol pada level primer. Sertifikat
meliputi Good Agricultural Practice (GAP), Code of Conduct (CoC) dan sertifikasi
pakan udang.
13
- Pemrosesan udang primer. Kontrol pada produksi udang yang akan diekspor. Pada
pengawasan tahap awal adalah saat pemilihan dan pengepakan. Sertifikatnya
berdasarkan Good Hygienic Practice yang tercantum di Codex Guideline adalah
untuk meyakinkan kualitas dan keamanan produk.
- Pemrosesan udang sekunder. Sertifikasi fokus pada kualitas dan pengamanan
produk sesuai permintaan importir.
Kebijakan Dijen Perikanan Budidaya dan Dinas Perikanan di daerah telah
melakukan penyuluhan-penyuluhan terhadap petambak-petambak yang rentan dalam
masalah ini, karena kebanyakan petambak di Indonesia hanya mengelola tambak-
tambak dengan pengetahuan seadanya. Peran tenaga-tenaga ahli dalam melakukan
penyuluhan-penyuluhan di berbagai tempat harus ditingkatkan untuk menunjang
keberhasilan masyarakat petambak dalam meningkatkan hasil produksinya secara
berkelanjutan (DKP 2008).
14
III. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Tambak Pandu Karawang terletak di Desa Pusaka Jaya Utara, Kecamatan Cilebar,
Kabupaten Karawang, semula bernama Proyek Pandu Tambak Inti Rakyat (PP-TIR) yang
dibangun berdasarkan KEPPRES No. 18 tahun 1984, dengan tujuan mewujudkan kawasan
percontohan usaha budidaya udang yang maju, ramah lingkungan dan berkelanjutan, guna
memandu pengembangan usaha budidaya udang nasional.
Pada tanggal 15 Juni 2002 oleh Sekretariat Negara RI, PP-TIR diserah-terimakan kepada
Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai departemen teknis. Sejak tahun 2003
Departemen Kelautan dan Perikanan Cq. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya mulai
melakukan pendekatan dan identifikasi terhadap beberapa masalah di daerah. Pada tahun
2004-2005 dilakukan upaya pemulihan dengan program pemberdayaan masyarakat, namun
upaya ini masih belum maksimal. Tahun 2006 sejalan dengan pelaksanaan Program
Revitalisasi Perikanan Nasional, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya mengarahkan Eks.
PP-TIR menjadi etalase dan inkubator bisnis pengembangan usaha perikanan budidaya.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No. 11/DPB.0/I/2006
tentang penunjukan Kepala Unit Tambak Pandu Karawang (TPK) ditegaskan tugas utama
Tambak Pandu Karawang harus mampu menjadi trend center bagi kemajuan kegiatan usaha
perikanan budidaya.
Dalam kurun waktu kurang lebih 2 tahun, Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Tambak
Pandu Karawang telah memperlihatkan perkembangan yang sangat pesat dimulai dari
pelaksanaan konsolidasi sosial, integrasi asset dan pengembangan berbagai model usaha
budidaya.
Luas lahan sekitar 450 Ha, telah diintegrasikan sebanyak 300 Ha atau 66,3% ke dalam
pengelolaan pemerintah melalui Satuan Kerja Tambak Pandu Karawang, sementara 33,4%
atau 151 Ha lainnya masih dalam proses pemulihan di bawah pengelolaan plasma TIR. Dari
luas tersebut secara bertahap akan dikembangkan menjadi beberapa zona pengembangan
budidaya air tawar, payau dan laut.
15
Kegiatan pengembangan budidaya dilakukan sejak tahun 2007, yaitu budidaya udang
vannamae intensif, vannamae semi intensif, vannamae tradisional plus, windu organik,
bandeng gelondongan dan bandeng air tawar. Secara umum pelaksanaan budidaya di tambak
Pandu Karawang berjalan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan produksi yang dihasilkan
dan setoran PNBP yang melebihi target yang telah ditetapkan. Kegiatan budidaya Udang
Vannamae secara intensif dengan padat tebar 100 ekor/m2 tahun anggaran 2007 dilakukan di
blok D-III dan D-IV, sebanyak 12 petak yang terdiri dari 7 petak budidaya dan 5 petak
tandon. Tingkat keberhasilan diperoleh cukup memuaskan dengan produktivitas rata-rata
4.230,3 kg/0,5 Ha, umur panen 110 hari, ukuran panen 18,8 gram ukuran udang 55 ekor/kg
dengan FCR 1,6 : 1.
Gambar 3. Denah Lokasi Penelitian (Sumber: Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya 2007)
16
Gambar 4. Kawasan Lokasi Penelitian (Sumber: BAKOSURTANAL 2001)
17
IV. Bahan dan Metode
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan di Kawasan Tambak Pandu
Karawang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2009.
4.2 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional yaitu berusaha menggambarkan atau
mendeskripsikan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antar
fenomena yang diteliti. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat memperoleh
gambaran yang komprehensif dan mendalam mengenai obyek yang diteliti (Nazir
1983).
Pengumpulan data menggunakan metode survey dan pengamatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan data dari sejumlah data primer melalui pengamatan langsung di
laboratorium. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan data penunjang dari
instansi terkait.
4.3 Pengambilan Sampel
Sampel diambil (masing-masing 3 kali untuk ulangan, dengan menggunakan
botol sampel steril dan cool box) dari lokasi:
Laut lepas
Kawasan pesisir
Muara sungai
Saluran pemasukan air (inlet)
Kolam treatment
Kolam tandon air
Petak tambak budidaya intensif (di daerah pinggiran tambak (1-2 meter dari
tanggul), daerah 5 -10 mater dari pinggir tanggul dan daerah central drainage)
Saluran pengeluaran air (outlet)
18
4.4 Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan
4.4.1 TSS
Gambar 5. Prosedur pengukuran TSS (Sumber: APHA 2005)
Perhitungan:
TSS (mg/l) = (A-B) X 1.000.000
Vol. Sampel (ml)
A = bobot padatan + GF/C + aluminium foil cup
B = bobot GF/C + aluminium foil cup
19
GF/C + aluminium foil cup dikeringkan dengan oven pada temperature 105oC selama 1-2 jam
Mendinginkan dalam desikator sampai temperature ruangan
Menimbang GF/C + aluminium foil
100 ml sample disaring melalui GF/C dengan alat section pump
Mengeringkan dalam oven 105oC selama 1 jam, memasukkan dalam desikator sampai temperature ruangan
Menimbang sampai bobot tetap
4.4.2 Chlorophyl dan Phaeopytin
Prinsip analisa
Phytoplankton dalam kolam (seawater) disaring dengan filter. Endapannya yang
berisi phytoplankton diekstraksi dengan kloroform : metanol = 2 : 1 dan konsentrasi
klorofil ditentukan dengan spektrophotometer.
Gambar 6. Prosedur pengukuran Klorofil dan Phaeopytin (Sumber: APHA 2005)
20
Menyaring sample air(100 – 200 ml) tergantung pada kerapatan plankton dengan suction pump
Setelah sample disaring, melipat GF/C kertas dan masukkan dalam tabung reaksi tertutup
Mixer (1 – 2 menit) dan saring ekstraktan
Menambah chloroform : methanol = 2:1 (10 – 15 ml) ke dalam tabung dan tutup rapat
Membiarkan pada ruangan gelap selama semalam pada temperature ruangan
Mixer (1 – 2 menit)
Membaca absorbansi pada panjang gelombang 665 nm dan 750 nm dengan menggunakan kloroform : methanol sebagai blanko
Setelah pembacaan absorbansi, ditambah 1 tetes HCl 0,5 N
Mixer (1-2 menit)
Mengukur absorbansi pada panjang gelombang 665 nm dan 750 nm
4.4.3 Klorofil a
Prinsip analisa:
Phytoplankton dari sample disaring dengan kertas saring GF/C menggunakan
section pump. Phytoplankton yang terdapat di kertas saring diekstraksi dengan aseton
90%. Konsentrasi klorofil a diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 750, 664, 647, 630 nm.
Gambar 7. Prosedur pengukuran Chlorophyl a (Sumber: APHA 2005)
21
Menentukan ratio (A665 – A750) : (A665 – A750) dan merubah menjadi persen dari klorofil dan pheophytin
Menghitung nilai total dari klorofil a + pheophytin a (mg/l)
Mengalikan persen klorofil a dengan nilai total (diperoleh konsentrasi klorofil a, mg/l)
Menghitung konsentrasi pheophytin a yaitu konsentrasi total (klorofil a + pheopytin a) – konsentrasi klorofil a
Menyaring sample air 50 ml – 100 ml tergantung pada kerapatan plankton dengan section pump
Setelah disaring, melipat GF/C kertas dan masukkan dalam tabung rekasi tertutup
Menambahkan Aceton 90% 10 ml ke dalam tabung dan tutup rapat
Menggerus kertas saring dengan glass rod atau batang pengaduk sampai hancur.
Menutup dan membiarkan semalam dalam ruang gelap pada temperatur ruangan
Catatan:
E 664 artinya absorbansi 664 nm – absorbansi 750 nm
Jumlah klorofil di atas dengan satuan mg/ml ekstrak
Jumlah klorofil a dalam sampel = mg Klorofil / ml = Ca x v
V
Ca = Chlorophyl a
v = Volume aseton akhir
V = Volume sampel
Tabel 1. Pengukuran parameter kualitas air lainnya
No Parameter Satuan Alat /Bahan Pengamatan
Fisika
1. Suhu oC Thermometer Insitu
2. Salinitas ppt Refraktometer Insitu
Kimia
3. pH - pH- meter Insitu
4. Oksigen terlarut/DO mg/l Titrimetrik, modifikasi Winkler
Insitu
Sumber: APHA (2005)
22
Memisahkan kertas saring dari aseton dengan sentrifuge atau kapas
Mengukur absorbansi pada panjang gelombang 750 nm (absorbansi sampel di 750 harus < 0,050, jika > 0,050 ulangi sentrifuge untuk pencegahan turbidity
Melanjutkan cek absorbansi pada panjang gelombang 664, 647 dan 630 nm pipet aseton sisa dari tabung reaksi (V = aseton)
4.5 Pengamatan Bakteri Vibrio spp.
Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey. Identifikasi bakteri dilakukan
berdasarkan morfologi koloni, sifat gram, motilitas dan sel bakteri serta pengujian
sifat biokimia menurut Bergey’s Manual of determinative Bacteriology. Pengamatan
morfologi koloni dilakukan pada isolat yang telah murni dan terpisah. Koloni bakteri
yang dikultur pada media TCBSA pada suhu kamar selama 24 jam, diamati bentuk
koloni bakteri serta bentuk tepi pertumbuhan bakteri (Anonim, 1994) dengan
menggunakan mikroskop Binokuler NIKON pada perbesaran 10X.
Bakteri diinokulasi pada media TCBSA secara aseptik dengan biakan bakteri
secara goresan menggunakan jarum ose, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar
27oC selama 24 jam. Morfologi bakteri diamati dengan teknik pengecatan gram dan
pengecatan flagella, selanjutnya diamati bentuk morfologi bakteri apakah batang
(bacillus), bulat (coccus) atau bentuk spiral dengan menggunakan mikroskop
Binokuler NICON pada perbesaran 10X dan 40X.
4.5.1 Penyiapan Media
Gambar 8. Media TCBSA 0,85% (Bacteriological Analytical Manual, 1998)
23
Menimbang 68 gr TCBS pure dan 8,5 gr NaCl ke dalam erlenmeyer steril
Melarutkan ke dalam 1000 ml aquades yang sudah disterilkan, aduk hingga homogen dengan menggunakan MS
Mengukur pH media dengan pH meter, dan tepatkan 8,6 + 0,2
Memanaskan dan didihkan media + 1 menit (untuk 1000 ml larutan aquades + media) dengan hotplate, hindarkan panas berlebihan (media diangkap menjelang mendidih) yang akan meninggalkan kerak di dasar erlenmeyer dan media menjadi rusak
Memasukkan media ke dalam waterbath bersuhu 45oC
Menuang media ke petri steril sebanyak 10 -15 ml dan biarkan membeku
4.5.2 Menumbuhkan Bakteri
Gambar 8. Tahapan Menumbuhkan bakteri Vibrio sp. (Bacteriological Analytical Manual, 1998)4.5.3 Isolasi dan Identifikasi Bakteri secara Biokimia
Pengujian sifat biokimia untuk mengetahui sifat bakteri dalam melakukan
perombakan terhadap bahan-bahan tertentu dan untuk melihat respon bakteri terhadap
substratnya. Untuk pengujian biokimia bakteri, digunakan kultur bakteri yang
berumur tidak lebih dari 48 jam. Semua media yang dipergunakan mengandung 1,5%
NaCl. Jenis pengujian biokimia bakteri yang dilakukan menurut Bacteriological
Analytical Manual (1998), meliputi:
- Uji oxidase, dengan prossedur kerja: kertas filter dibasahi dengan reagan oksidase
(1% tetramethyl-p-phenylenediamine dihydro-chlorideaquose), kemudian bakteri
yang diambil dengan lidi steril dioleskan pada kertas filter tersebut. Apabila pada
kertas filter timbul warna biru pada daerah yang diolesi biakan bakteri
menunjukkan bahwa bakteri tersebut dapat mengkonsumsi oksigen, berarti hasil
test positif (+).
- Uji katalase, dengan prosedur kerja: bakteri dioleskan pada obyek gelas (slide)
dengan menggunakan ose (loop), kemudian diteteskan larutan Hydrogen Peroxide
30% pada daerah yang telah diolesi bakteri. Apabila setelah tetesan Hydrogen
Peroxide timbul gelembung gas menunjukkan terjadi pelepasan oksigen (+).
- Uji Hugh-Leifson (O/F), dengan prosedur kerja: dipersiapkan medium Hugh-
Leifson (O/F) dengan komposisi (Pepton 2 gr, NaCl 5 gr, Bromothymol Blue 2 ml
dalam larutan stock 15%, agar 3 gr dilarutkan dalam aquades 1 liter), kemudian
dipersiapkan larutan glukose (10%) yang disterilkan dengan filter sterilization.
Setelah semua bahan dilarutkan, ditambahkan 10 cc larutan glukose 10%
sehingga konsentrasi akhir glukose menjadi 1%. Selanjutnya medium dituangkan
ke dalam tabung reaksi setinggi 4 cm, kemudian diinokulasikan secara tusukan
pada dua tabung reaksi untuk setiap jenis bakteri dan dua tabung lainnya untuk
kontrol. Ditambahkan minyak paraffin steril pada satu tabung reaksi yang
24
diinokulasi dan satu tabung kontrol dengan kedalaman 1 cm dan diinkubasikan
selama 24 jam. Hasil uji fermentatif (F) apabila kedua tabung, baik yang terbuka
(tanpa minyak paraffin) maupun tertutup (dengan minyak paraffin) berwarna
kuning. Oksidatif, apabila tabung terbuka berwarna kuning dan tabung tertutup
berwarna hijau atau biru. Alkaline (Alk), apabila tabung terbuka bagian atas
berwarna biru dan tabung tertutup berwarna hijau. Tanpa reaksi (NR), apabila
kedua tabung berwarna hijau dan perkembangan lambat. Tidak tumbuh (NG)
apabila tidak terdapat pertumbuhan.
- Uji sulfida, dengan prosedur kerja: suspensi bakteri diinokulasikan secara tusukan
pada medium tegak yang mengandung Sulfide Indol Motility (SIM) atau Triple
Sugar Iron Agar (TSIA) dengan komposisi (Pepton 20 gr, NaCl 5 gr, Lactose 10
gr, Sucrose 10 gr, Glucose 1 gr, Ferrous Ammonium Sulphate 0,2 gr, Sodium
Thio Sulphate 0,2 gr, Phenol Red 0,025 gr dan agar 13 gr), bahan kemudian
dilarutkan menjadi 1 liter dengan penambahan aquades, kemudian secara goresan
pada medium miring, diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27oC. Hasil uji
positif jika terlihat warna kehitaman sepanjang goresan pada medium.
- Uji indole, dengan prosedur kerja: suspensi bakteri diinokulasi dengan cara
tusukan pada medium SIM atau dicelupkan menggunakan ose ke dalam larutan
broth, diinkubasikan selama 1-2 hari pada suhu 27oC, kemudian ditambahkan
reagan Kovacs (P-Dymethyle Aminobenzaldehyde 5 gr, Amyl Alkohol 75 gr,
HCl pekat 25 ml) yang berwarna kuning cerah sampai coklat cerah sebanyak 0,4
ml. Hasil uji setelah 20 menit menunjukkan reaksi positif (+) jika terbentuk warna
merah muda sampai tua pada lapisan reagan.
- Uji reduksi nitrat, dengan prosedur kerja: suspensi bakteri diinokulasikan pada
medium Nitrat Broth (Nitrat Broth 8 gr dan KNO3 1 gr yang dilarutkan dalam
aquades menjadi 1 liter) dengan menggunakan ose, diinkubasikan selama 24 jam
pada suhu 27oC, kemudian ditambahkan 5 tetes Sulphanilic Acid dan 5 tetes α-
Naphtylamine. Dipersiapkan Reagan A dengan komposisi ( 0,8% Sulfanilic Acid
dalam 5 N Acetic Acid, 0,6 % α-naphtylamine dalam 5 N Acetic Acid, serbuk
zink). Hasil uji terjadi reaksi positif (+) jika terbentuk warna merah setelah 1-2
menit penambahan reagen A. Apabila tidak terbentuk warna merah, kemudian
25
ditambahkan sedikit serbuk zink, terbentuknya warna merah menunjukkan bahwa
reaksi negatif (nitrat tidak tereduksi).
- Uji citrate, dengan prosedur kerja: suspensi bakteri di inokulasikan secara goresan
dengan menggunakan jarum steril pada medium Simmon’s Citrate Agar
(Ammonium Dihydrogen Phosphate 1 gr, Dipottasium phosphate 1 gr, NaCl 5 gr,
Sodium Citrate 2 gr, Magnesium Sulfat 2 gr, Agar 15 gr, Bromothymol Blue
0,007 gr), bahan kemudian dilarutkan menjadi 1 ltr dengan penambahan aquades,
pH akhir adalah 6,9 kemudian diinkubasikan selama 1-4 hari. Hasil uji positif (+)
jika terbentuk warna biru dan negatif (-) jika terbentuk warna kuning.
- Uji penggunaan gula, dengan prosedur kerja: dipersiapkan medium TSIA.
Suspensi bakteri diinokulasikan secara tusukan pada medium tegak (SIM) dan
goresan pada medium miring (TSIA), kemudian diinkubasikan selama 18-24 jam
pada suhu 27oC. Hasil uji K/A apabila hanya glukose yang terfermentasi, A/A
apabila glukose dan laktose atau sukrose terfermentasi, A/K apabila laktose atau
sukrose terfermentasi, K/K apabila gula tidak terfermentasi, H2S apabila terbentuk
wana kehitaman pada bekas goresan, terbentuk gas apabila terjadi retakan pada
medium. Cara pembacaan K=basa (merah), A=asam (kuning) dibaca sebagai
medium tegak/kuning.
- Uji lipase, dengan prosedur kerja: dipersiapkan medium (pepton 1 gr, NaCl 1 gr,
CaCl2 0,01 gr dan agar 2 gr), kemudian dilarutkan menjadi 100 ml aquades.
Suspensi dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih, disterilkan dengan
autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah suhu medium menjadi 50oC
dilarutkan tween 40 (ester asam palmitat) atau tween 60 (ester asam stearat) atau
tween 80 (ester asam oleat) sebanyak 1 ml. Selanjutnya kultur bakeri
diinokulasikan secara spot inokulating, diinkubasi selama 24 – 48 jam sampai
terlihat penumbuhan yang nyata. Hasil uji positif (+) jika terbentuk daerah yang
kusam (seperti awan) di sekitar pertumbuhan bakteri.
- Uji sensitivitas 0/129 disk, untuk identifikasi jenis bakteri Vibrio spp. dengan
prosedur: dipersiapkan Vibriostatic Agent yang mengandung senyawa (2,4
Diamino – 6,7 Diisopropyl pteridine (0/129) yang dimasukkan ke dalam 0/129
Sensitivity Disc, kemudian dengan menggunakan table identifikasi dapat
26
ditentukan jenis bakteri yang diisolasi apakah termasuk jenis Vibrio spp.
(sensitive) atau bakteri lainnya (resisten).
- Uji swarming, untuk menguji apakah pertumbuhan bakteri memiliki sifat
pertumbuhan melebar (swarming) pada permukaan media padat seperti NA.
- Uji pertumbuhan bakteri dengan media selektif Vibrio (TCBSA), maka dapat
dilihat kenampakan koloni besar-kuning maka jenis bakteri V. alginolyticus,
kenampakan koloni datar dengan diameter 2-3 mm dan berwarna kuning adalah
jenis bakteri V. cholerae, kenampakan koloni berukuran lebih kecil dengan pusat
berwarna hijau kebiruan, diameter 3- 5 mm, pusat koloni berwarna hijau tua
adalah V. Parahaemolyticus, kenampakan koloni hijau berpendar adalah V.
harveyi
V. Analisis Data
5.1 Analisis Deskriptif
Analisa deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi perairan secara
umum, kandungan bahan organik (TSS) dan kelimpahan bakteri Vibrio spp. di
perairan kawasan tambak udang.
5.2 Persentase Fase Tingkat Perubahan
Perubahan konsentrasi bahan organik, parameter fisika kimia dan jumlah Vibrio
spp. untuk mengetahui persentase perubahan yang terjadi terhadap beberapa
parameter – parameter pada awal pengamatan dan akhir pengamatan.
Rumus persentase perubahan yang diacu dari Apriadi (2008) adalah sebagai berikut:
% perubahan = a-b/a X 100%
Keterangan:
a = nilai awal parameter, b= nilai akhir pengamatan
5.3 Analisis PCA (Principal Component Analysis)
27
Untuk melihat hubungan faktor-faktor yang berpengaruh dalam perbedaan
kelimpahan bakteri Vibrio spp. dengan kandungan bahan organik di kawasan tambak
udang deilakukan dengan analisis komponen utama (Principal Component
Analysis/PCA). Analisa komponen utama (PCA merupakan metode statistic
deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi
maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud
terdiri dari variable sebagai kolom dan hasil observasi sebagai baris.
Analisis ini digunakan untuk mereduksi dimensi dari segugus data peubah ganda
yang besar. Hal ini seringkali dilakukan dengan cara mereduksi gugus peubah
tersebut menjadi gugus peubah yang lebih kecil atau gugus peubah baru yang lebih
sedikit. Peubah-peubah baru tersebut merupakan fungsi dari peubah asal atau peubah
asal itu sendiri yang memiliki proporsi informasi yang dignifikan mengenai gugus
data tersebut. Pereduksian dimensi ini sangat diperlukan pada saat melakukan
eksplorasi data menggunakan plot-plot untuk memberikan informasi secara visual.
Penggunaan komponen utama yang merupakan fungsi linear tertentu dari peubah asal
sering disarankan untuk digunakan dalam proses mereduksi banyaknya peubah.
(FMIPA-IPB 2003)
Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan
antara individual/baris dan variable/kolom yang berkoresponden) pada data, yaitu:
p
D2(l,l’) = Σ (Xij – Xi’j)2
J=i
Dimana I dan I’ adalah baris dan j adalah indeks kolom. Semakin kecil jarak
Euclidean antara variabel, maka makin mirip karakteristiknya. Demikian pula
sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara variabel, maka semakin berbeda
karakteristiknya/kedekatannya. Pengolahan data melalui analisis komponen utama
menggunakan program komputer STAT-ITCF. Tahap pengolahan data dengan
analisis ini yaitu:
1) Input data, berupa data matriks XsxN
28
2) Standarisasi data, dengan mentransformasikan matriks XsxN menjadi matriks
AsxN, dimana:
Aij = Xij - Xi
Si
3) Menghitung korelasi antara matriks AsxN, RsxN – AsxN. A’sxN
4) Menghitung ragam dari matriks RsxS, [R - א] = 0
5) Menentukan koordinat dari matriks AsxN berdasarkan א (Bengen, 2000).
5.4 Cluster Analysis
Menurut Romesburg (1990), Cluster analysis adalah merupakan metode
matematika untuk menganalisa data yang jumlahnya ratusan dan dapat digunakan
untuk mendapatkan kesamaan suatu obyek. Obyek yang sama akan dikelompokkan
secara matematika sehingga menjadi 1 kelompok.
Tujuan dari analysis ini adalah untuk mendapatkan kelompok-kelompok obyek
yang sama maupun yang tidak sama, sehingga bisa diklasifikasikan. Jika kita
memiliki segugus pengamatan (obyek) dan kita ingin membuat kelompok-kelompok
(sehingga menjadi lebih sedikit kelompok) dari pengamatan-pengamatan yang mirip
sehingga pada sebiah kelompok, obyek yang ada lebih mirip satu sama lain,
dibandingkan dengan antar obyek di kelompok yang lain.
Hal yang penting dalam cluster anaysis adalah bagaimana mengkuantifikasi
ukuran kemiripan antar obyek. Dengan memiliki sebuah ukuran kuantitatif, maka
untuk mengetahui bahwa dua obyek tertentu lebih mirip dibandingkan dengan obyek
lain akan menghilangkan kebingungan dan mempermudah proses formal dalam
penggerombolan. Ukuran yang dimiliki cukup satu indeks saja, indeks kemiripan atau
indeks ketidakmiripan, dan dengan menggunakan transformasi satu-ke-satu maka
indeks kemiripan bisa dikonversi menjadi indeks ketidakmiripan, demikian pula
sebaliknya.
Dalam analysis ini menggunakan dialog, BRS dan SDC secara komputerisasi.
Tahapan dalam analysis ini adalah:
29
- Mengumpulkan data matrik untuk kolomnya yaitu obyek yang akan
dikelompokkan, sedangkan pada baris adalah atribut yang menggambarkan
obyek.
- Menstandarisasikan data matriks
- Menggunakan data matriks yang telah distandarisasikan dalam bentuk nilai
kesamaan kelompok obyek.
- Menggunakan metode cluster untuk memproses nilai yang dihasilkan dalam
bentuk diagram yang biasa disebut tree atau dendrogram yang menunjukkan
hierarki kesamaan kelompok obyek. (FMIPA-IPB 2003)
VI. Daftar Pustaka
Agung, M.U.K. 2007. Penelusuran Efektifitas Beberapa Bahan Alam Sebagai Kandidat Antibakteri dalam Mengetasi Penyakit Vibriosis pada Udang Windu. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Jatinangor.
AOAC International, 1998. Bacteriological Analytical Manual. 8th Edition Revision A. USA.
Aoki, T., T., Kitao, T. Habashi, Y. Wada, and M. Sakai.1981. Protein and lipopolysaccharides in the membran of Vibrio anguillarum. Dev. Biol. Standard.
Apriadi, T. 2008. Kombinasi Bakteri dan Tumbuhan Air sebagai Bioremediator dalam Mereduksi Kandungan Bahan Organik Limbah Kantin. Skripsi. MSP. FPIK. IPB. Bogor.
American Public Health Association (APHA), 2005. Standard Methods for the examination of water and waste water. APHA, AWWA (American Water Works Association) dan WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington.
Atmomarsono, M. 1992. Faktor Penduga Kesuburan Tambak Tradisional. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai.
Austin, B., 1988. Bacterial fish pathogens: Disease in farmed and wild fish. Ellis Horwood. Chichester.
Austin, B., E. Baudet., M. Stobie. 1992. Inhibition of Bacteria Fish Patogens by Tetraselmis suecica. J. Fish of Disease.
Badan korrdinasi Survey dan pemetaan nasional (BAKOSURTANAL), 2001. Peta Rupabumi Digital Indonesia. Cibinong. Bogor
30
Balai Layanan Usaha, 2007. Naskah Akademis. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Baumann, P., A. L. Furniss and J.V. Lee. 1994. Facultative anaerobic gram negative rods. P. in J.G. Holt, N.R. Krieg. P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Wilkins (Eds.). Bergey’s manual of determinative bacteriology. Ninth edition. The Williams and Wilkins. Baltimore. Maryland USA.
Bengen, D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB-Bogor.
Bengen, D.G., 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Bifisik Sumberdaya Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.
Buchanan, R. E., and Gibbons, N. E., 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Eight edition. Williams and Wilkins. Baltimore.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), 2008. Laporan Bulanan. Jakarta. Efendi, I., 1999. Pengantar mikrobiologi Laut. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau. Pekanbaru. Effendi, H., 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
pesisir. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta : Kanisius. Faddin, M. J. F., 1980. Biochemical tests for Identification of Medical Bacteria.
William and Wilkiins. Baltimore. USA. FAO, 2004. Ovefishing on the increase in Asia-Pacific seas.
http://www.fao.org/newsroom/en/news/2004/49367/index.htmlFMIPA-IPB, 2003. Modul teori Analisi Peubah Ganda. Institut Pertanian Bogor.Ginting, E.L. 1995. Hubungan Habitat Tambak Udang Windu (Penaeus monodon.)
dengan Populasi Bakteri Vibrio spp. Institut Pertanian Bogor. Gultom, D.M. 2003. Patogenisitas Bakteri Vibrio harveyi pada Larva Udang Windu
(Penaeus monodon). Institut Pertanian Bogor.Hamsiah, 2000. Peranan Keong Bakau (Telescopium telescopium L.) sebagai Biofilter
dalam Pengelolaan Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Institut Pertanian Bogor.
Harrell, L.W., H.M. Etlinger and H.O. Hodgins, 1976. Humoral factors important in resistance of salmonid fish to bacterial disease. II Anti-Vibrio anguillarum activity in mucus and observation on complement. Aquaculture.
Hastein, T., and J.E. Smith, 1977. A study of Vibrio anguillarum from farmed and wild fish using principal components analysis.J.of Fish Biology.
Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai Penyebab Penyakit Udang Windu. Institut Pertanian Bogor.
Madeali, M.I. dan Muliani, M. A., 1998. Pengaruh Penggunaan Kekerangan sebagai Biofilter terhadap Kelimpahan dan Komposisi Jenis Bakteri pada Budidaya Udang Windu dengan sistem resirkulasi air. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Maros. Ujungpandang.
Murphy, S. 2007. General Information on Solids. City of Boulder/USGS Water Quality Monitoring.
Nazir, M. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
31
Nurdjana, M. L. 1997. Tujuh jurus menuju sukses dalam budidaya udang. Media budidaya air payau. Direktorat Jenderal Perikanan. .
Parwati, E., Tatik K, Joko I, Fanny D A.K., Mawardi N dan Mahdi K., 2007. Kajian hubungan antara laju perubahan TSS dengan penutup/penggunaan lahan di wilayah Pesisir Kabupaten Berau. Kalimantan Timur. Proceeding Geo-Marine Research Forum.
Poernomo. 1979. Budidaya udang, sejarah, jenis udang tambak, pembenihan, pembesaran, penyakit-parasit-hama, petunjuk adanya gejala kurang baik pada tambak. Dalam udang, biologi, potensi, budidaya, produksi udang sebagai bahan makann di indonesia. LON-LIPI. Jakarta.
Romesburg, C. H., 1990. Cluster Analisis for Researchers, Robert E. Krieger Publishing Company. Malabar. Florida. 1990.
Rokhmani, 1994., Pengaruh Manipulasi Suhu dan Tingkat Aerasi Terhadap Infeksi Bakteri Vibrio harveyi pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon F.). Institut Pertanian Bogor.
Roza, D., Zafran., I. Taufik dan M.A. Girsang. 1997. Pengendalian Vibrio harveyi secara biologis pada larva Udang Windu: Isolasi bakteri penghambat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia III.
Rukyani, A. 1999. Beberapa Jenis Penyakit Sebagai Kendala Utama Budidaya Udang dan Cara Pengendaliannya. Badan Litbang Pertanian.
Suryadiputra, I.N.N. 1995. Pengolahan Air Limbah dengan Metode Biologi. Pelatihan Sistem Operasi Pengendalian dan Pemeliharaan Air Laut. Proyek Pengembangan Pendidikan Ilmu Kelautan. Bogor.
Taslihan, A. 1991. Jenis Penyakit yang menyerang Udang Windu. Makalah yang disampaikan pada Workshop Penetapan Hama dan Penyakit Ikan Karantina. Bogor.
Thompson, F. L., Tetsuya, I., and Jean, S., 2004. Biodiversity of Vibrios, Laboratory of Microbiology and,1 BCCM/LMG Bacteria Collection Ghent University, Ghent, Belgium,2 Department of Bacterial Infections, Research Institute for Microbial Diseases. Osaka University. Japan..
Wardoyo, S. T.H. 1995. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.
32
USULAN PENELITIAN
ANALISIS KETERKAITAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK
DI WILAYAH PESISIR TERHADAP KELIMPAHAN BAKTERI Vibrio spp.
DI KAWASAN INDUSTRI TAMBAK INTENSIF.
Oleh :
Nurul Istiqomah
NRP. C262070021
33
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
34