proposal hipertensi

download proposal hipertensi

of 31

description

jvnbffhv

Transcript of proposal hipertensi

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM

    Menurut Smeltzer (2002) dalam buku Brunner dan Suddarth (2002), teknik

    relaksasi merupakan intervensi keperawatan secara mandiri untuk menurunkan

    intensitas nyeri, meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah.

    Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan

    tegangan otot yang menunjang nyeri, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa

    relaksasi efektif dalam meredakan nyeri. Sedangkan Latihan nafas dalam adalah

    bernapas dengan perlahan dan menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan

    abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Parsudi, dkk, 2002).

    Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

    keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana

    cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal)

    dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan

    intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi

    paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).

    2.1.1 Tujuan Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam

    Smeltzer dan Bare (2002), menyatakan bahwa tujuan relaksasi pernafasan

    adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas,

    mencegah atelektasi paru, merilekskan tegangan otot, meningkatkan efesiensi

    6

  • 7

    batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan

    intensitas nyeri (mengontrol atau mengurangi nyeri) dan menurunkan kecemasan.

    Selain itu menurut Suddarth dan Brunner (2002), tujuan nafas dalam adalah untuk

    mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja

    bernafas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot,

    menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernafasan yang

    tidak berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan,

    mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja bernafas.

    2.1.2 Patofisiologi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap nyeri

    Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan

    meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Relaksasi

    melibatkan otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah

    dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu. Prinsip yang mendasari penurunan oleh

    teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem saraf otonom yang merupakan

    bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan

    internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin,

    prostaglandin dan substansi p yang akan merangsang saraf simpatis sehingga

    menyebabkan saraf simpatis mengalami vasokonstriksi yang akhirnya

    meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek spasme otot yang

    akhirnya menekan pembuluh darah. Mengurangi aliran darah dan meningkatkan

    kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari

    medulla spinalis ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri (Brunner,

    Suddarth.2002).

  • 8

    2.1.3 Penatalaksanaan Teknik Relaksasi Nafas Dalam

    Ada beberapa posisi relaksasi nafas dalam yang dapat dilakukan menurut

    (Smeltzer & Bare,2002) :

    a. Posisi relaksasi dengan terlentang

    Berbaring terlentang, kedua tungkai kaki lurus dan terbuka sedikit, kedua

    tangan rileks disamping bawah lutut dan kepala diberi bantal.

    b. Posisi relaksasi dengan berbaring miring

    Berbaring miring, kedua lutut ditekuk, dibawah kepala diberi bantal dan

    dibawah perut sebaiknya diberi bantal juga, agar perut tidak menggantung.

    c. Posisi relaksasi dalam keadaan berbaring terlentang

    Kedua lutut ditekuk, berbaring terlentang, kedua lutut ditekuk, kedua

    lengan disamping telinga.

    d. Posisi relaksasi dengan duduk

    Duduk membungkuk, kedua lengan diatas sandaran kursi atau diatas

    tempat tidur, kedua kaki tidak boleh menggantung.

    2.1.4 Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam

    Prosedur teknik relaksasi nafas dalam menurut Priharjo (2003), yakni

    dengan bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan

    diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi

    yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan

    udara masuk selama inspirasi.

  • 9

    Adapun langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut :

    1. Ciptakan lingkungan yang tenang

    2. Usahakan tetap rileks dan tenang

    3. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan

    udara melalui hitungan 1,2,3

    4. Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan

    ekstrimitas atas dan bawah rileks

    5. Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali

    6. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui

    mulut

    7. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang

    8. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.

    2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi napas dalam

    terhadap penurunan nyeri

    Menurut Smeltzer dan Bare (2002), teknik relaksasi nafas dalam

    dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu :

    a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang

    disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi

    vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke

    daerah yang mengalami spasme dan iskemic.

    b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh

    untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin.

  • 10

    c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat

    Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan

    alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu.

    2.2. NYERI

    Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan.

    Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam

    hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan

    atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Musrifatul dan Hidayat, 2011).

    Menurut Mc, Coffery (1979) yang dikutip oleh Aziz Alimul Hidayat,

    (2011), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi

    seseorang, yang keberadaan nyeri dapat diketahui hanya jika orang tersebut

    pernah mengalaminya. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang

    tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan aktual atau potensial sehingga

    menjadikan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan

    (Smletzer & Bare, 2002).

    Pendapat Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2007), nyeri adalah

    sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang

    diakibatkan persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Sementara

    Barbara (1996) mengungkapkan bahwa, nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman

    yang bersifat benar-benar subjektif dan hanya orang yang menderitanya yang

    dapat menceritakan dan mengevaluasi, masih menurut Barbara (1996), nyeri juga

    dapat diartikan sebagai bentuk pengalaman yang dapat dipelajari oleh pengaruh

    dari situasi hidup masing-masing orang.

  • 11

    2.2.1 Fisiologi Nyeri

    Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku (Mc. Nair,

    1990 dalam Potter dan Perry, 2005), munculnya nyeri sangat berkaitan erat

    dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri adalah nociceptor, yang

    merupakan ujuang-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang

    tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri,

    hati dan kantong empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya

    stimulasi atau rangsangan (Musrifatul dan Hidayat, 2011). Stimulus penghasil

    nyeri mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer. Menurut Jones dan Cory

    (1990), ada dua tipe serabut saraf perifer yang mengonduksi stimulus nyeri yaitu:

    a. Reseptor A-delta

    Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det).

    memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila penyebab

    nyeri dihilangkan (Tamsuri, 2007).

    b. Serabut C

    Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

    terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit

    dilokalisasi (Tamsuri. 2007). Serabut saraf memasuki medulla spinalis dan

    menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa

    berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi

    dengan sel-sel saraf inhibitor mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai

  • 12

    otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus

    mencapai korteks cerebral, maka otak menginterpretasikan kualitas nyeri dan

    memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta

    asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (Mc. Nair, 1990 dalam

    Potter dan Perry, 2005).

    2.2.2 Teori nyeri

    Menurut Long (1989) dalam Hidayat (2011), terdapat beberapa teori tentang

    terjadinya rangsangan nyeri, diantaranya :

    1. Teori pemisahan ( specificity theory ). menurut teori ini rangsangan sakit

    masuk ke medula spinalis ( spinal cord ) melalui kornu dorsalis yang

    bersinaps di daerah posterior. Kemudian naik ke tractus lissur dan

    menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks sensoris

    tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.

    2. Teori Pola, (pattern theory) rangsangan nyeri masuk mellaui akar ganglion

    dorsal ke medula spinalis dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini

    mengakibatkan suatu respon yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi,

    yaitu korteks cerebri, serta konstraksi menimbulkan persepsi dan otot

    berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh

    modalitas respon dari reaksi sel T.

    3. Teori Pengendalian Gerbang (gate control theory) menurut Melzack dan

    Wall (1965) yang dikutip oleh Qittum (2008), mengusulkan bahwa impuls

    nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang

  • 13

    sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan

    saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah

    pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar

    teori menghilangkan nyeri. Menurut Teori ini nyeri bergantung dari kerja

    saraf besar dan kecil. Keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis.

    Rangsangan pada serat besar akan meningkatkan aktivitas substansia

    gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga

    aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan

    terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang ke korteks

    cerebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medula spinalis

    melalui serat eferen dan reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T.

    Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas substansia

    gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas

    sel T yang selanjutnya akan mengahantarkan rangsangan nyeri.

    Sedangkan menurut Smelzer & Bare (2002), Prinsip yang

    mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi

    sistem saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang

    mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat

    terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan

    substansi p, akan merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan

    vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan

    berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh

    darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme

  • 14

    otot yang menimbulkan pengiriman implus nyeri dari medulla spinalis ke

    otak dan dipresepsikan sebagai nyeri.

    4. Menurut Long (1989) dalam Hidayat (2011), Teori Transmisi dan Inhibisi.

    Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls saraf,

    sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh neurotransmiter yang

    spesifik. Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-

    impuls pada serabut-serabut besar yang memblok impuls-impuls pada

    serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.

    2.2.3 Respon Tubuh terhadap Nyeri

    Terdapat beberapa respon tubuh terhadap nyeri, diantaranya respon

    fisiologis, respon psikologis dan respon perilaku.

    a. Respon Fisiologis

    Respon fisiologis yang ditunjukkan oleh tubuh terhadap nyeri terdiri

    atas respon Simpatis dan parasimpatis. Berikut ini perbedaan respon

    simpatis dan parasimpatis menurut Prasetyo (2010).

    Tabel 2.1 Respon Fisiologis Tubuh

    Respon Simpatis Respon Parasimpatis a) Dilatasi saluran bronkhial dan

    peningkatan respirasi rate

    b) Peningkatan heart rate

    c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan

    tekanan darah

    d) Peningkatan nilai gula darah

    e) Diaphoresis

    f) Peningkatan kekuatan otot

    g) Dilatasi pupil

    h) Penurunan motilitas Gastrointestinal

    a) Muka pucat

    b) Otot mengeras

    c) Penurunan denyut jantung dan

    tekanan darah

    d) Nafas cepat dan irreguler

    e) Nausea dan vomitus

    f) Kelelahan dan keletihan

  • 15

    b. Respon Psikologis

    Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap

    nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Menurut Qittun (2008), arti nyeri bagi

    setiap individu berbeda-beda antara lain : Bahaya atau merusak, komplikasi

    seperti infeksi, kehilangan mobilitas, hukuman untuk berdosa, Tantangan,

    Penghargaan terhadap penderitaan orang lain, sesuatu yang harus ditoleransi, dan

    bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki. Pemahaman tentang arti nyeri

    sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga

    faktor sosial budaya.

    c. Respon perilaku

    Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal

    (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur), perilaku vokal, ekspresi wajah

    (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir), gerakan tubuh (gelisah,

    imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan), kontak fisik

    dengan orang lain atau perubahan respon terhadap lingkungan (menghindari

    percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada

    aktivitas menghilangkan nyeri) (Brunner & Sudarth, 2002).

    2.2.4 Klasifikasi Nyeri

    menurut Aziz Alimul Hidayat (2011), klasifikasi nyeri secara umum

    dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan nyeri kronis.

  • 16

    a. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat

    menghilang, tidak melebihi enam bulan, serta ditandai dengan adanya

    peningkatan tegangan otot. Nyeri akut disebabkan oleh eksternal atau

    penyakit dalam, dan daerah nyeri tidak diketahui dengan pasti

    (Hidayat,2011).

    b. Menurut Long (1989) dalam Hidayat.A. (2011) Nyeri kronis merupakan

    nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam

    waktu cukup lama, yaitu lebih dari enam bulan. Nyeri kronis penyebabnya

    tidak diketahui atau karena pengobatan yang terlalu lama, dan daerah nyeri

    sulit dibedakan intensitasnya, sehingga sulit di evaluasi. Yang termasuk

    dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis

    dan nyeri psikomatis.

    Selain klasifikasi nyeri diatas, terdapat jenis nyeri yang spesifik,

    diantarnya nyeri somatis, nyeri viseral, nyeri alih (referent pain), nyeri

    psikogenik, nyeri phantom dan ekstremitas, nyeri neurologis dan lain-lain

    (Musrifatul,2011).

    Klasifikasi nyeri menurut lokasi serangan (Long B.C, 1996), adalah sebagai

    berikut :

    1) Nyeri Somatik

    Terbagi menjadi dua jenis yaitu nyeri superficial, yang merupakan nyeri

    akibat kerusakan jaringan kulit dan nyeri deep somatic merupakan nyeri yang

    ditimbulkan karena kerusakan di dalam ligamen dan tulang.

  • 17

    2) Nyeri Viceral

    Nyeri viceral merupakan nyeri yang timbul akibat adanya gangguan pada

    organ bagian dalam, misalnya pada abdomen, cranium dan thoraks.

    3) Nyeri Alih

    Merupakan nyeri yang menjalar dan terasa pada lokasi lain dari lokasi yang

    sebenarnya terkena serangan.

    4) Nyeri Psikogenik

    Nyeri psikogenik merupakan nyeri yang tidak diketahui penyebab

    fisiologisnya.

    5) Nyeri Phantom

    Nyeri phantom merupakan nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu

    ekstremitas yang telah di amputasi.

    6) Nyeri Neurologis

    Merupakan nyeri dalam sistem neurologis yang timbul dalam berbagai bentuk,

    seperti neuralgia.

    2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Respon Nyeri

    Dalam bukunya, Potter & Perry (2005) menyebutkan faktor-faktor yang

    mempengaruhi nyeri terdiri atas:

    1. Usia

    Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya

    pada anak-anak lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara

    kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia. Anak

    belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri

  • 18

    pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan

    mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang

    dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani

    dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri

    diperiksakan (Potter&Perry, 2005).

    2. Jenis kelamin

    Gill (1990), mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara

    signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya dan

    faktor biokimia. Dari data diatas penulis menyimpulkan tidak pantas jika laki-laki

    mengeluh nyeri sedangkan wanita boleh mengeluh nyeri (Potter&Perry,2005).

    3. Kebudayaan

    Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang

    berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku

    dalam berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi

    persepsi nyeri (Zatzick & Dimsdale, 1990 dalam Brunner & Sudarrth, 2003).

    Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya

    jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan

    budaya lainnya. Akibatnya, individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka

    terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Akibatnya individu yakin bahwa

    persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Nilai-

    nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya

    lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari

    ekspresi nyeri yang berlebihan seperti meringis, dan menangis berlebihan

    (Brunner&Sudarrth, 2003).

  • 19

    4. Makna nyeri

    Individu akan mempersepsikan dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri

    tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.

    Derajat dan kualitas nyeri akibat cedera karena hukuman dan tantangan. Makna

    nyeri oleh seseorang akan berbeda jika pengalamannya tentang nyeri juga

    berbeda. Selain pengalaman, Makna nyeri juga dapat ditentukan dari cara

    seseorang beradaptasi terhadap nyeri yang dialami. Misalnya, seseorang wanita

    yang sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan seorang

    wanita yang mengalami nyeri akibat cedera pukulan pasangannya (Potter&Perry,

    2005).

    5. Perhatian

    Menurut Gill (1990) yang dikutip oleh Priyanto (2009), tingkat seorang

    klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.

    Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan

    upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini

    merupakan salah satu konsep yang digunakan dalam keperawatan.

    6. Ansietas

    Menurut Gil (1990) dalam Potter dan Perry (2005), hubungan antara nyeri

    dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri,

    tetapi juga seringkali menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan

    otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Sama hubungan cemas

    meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang

    cemas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi, stimulus nyeri mengaktifkan bagian

    sistem limbik yang diyakinkan.

  • 20

    7. Pengalaman masa lalu

    Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat

    ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.

    Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu

    dalam mengatasi nyeri (Priyanto,2009)

    2.2.6 Intensitas Nyeri

    Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

    oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan

    kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua

    orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

    pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik

    tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak

    dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

    Ada beberapa skala yang digunakan dalam pengukuran intensitas nyeri,

    diantaranya :

    a. Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy and

    Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical

    Prosedures and Trauma (1992), dalam Brunner dan Suddarth (2002 )

    terdiri atas tiga bentuk, yaitu.

  • 21

    1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

    Gambar 2.1 Skala intensitas nyeri Deskriptif

    2) Skala intensitas nyeri numerik

    Gambar 2.2 Skala intensitas nyeri numerik

    3) Skala analog visual

    Gambar 2.3 Skala analog visual

    b. Skala Nyeri Menurut Bourbanis

    Gambar 2.4 Skala Bourbanis

    0 10 Tidak Nyeri sangat Nyeri Hebat

  • 22

    Keterangan :

    0 : Tidak nyeri,

    1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik,

    4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

    menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

    perintah dengan baik,

    7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

    perintah tapi masih respon terhadap tindakan dapat menunjukkan lokasi

    nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih

    posisi nafas panjang dan distraksi,

    10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

    memukul.

    c. Skala Wajah

    Berikut ini adalah Skala nyeri menurut Hockenberry, MJ : Wongs nursing

    care of infants and children, ed 7, St. Louis 2003. Mosby (Jackson. M &

    Jackson. L, 2011)

    Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Sangat Nyeri Nyeri Hebat Nyeri Sedikit lebih Berat

    Gambar 2.5 Skala Wajah

  • 23

    2.3 SECTIO CAESARIA

    Sectio caesaria adalah tindakan yang digunakan untuk mengakhiri kehamilan

    atau persalinan bila tidak mungkin melakukan persalinan pervaginam. Sehingga

    tidak perlu mencari indikasi khusus untuk melakukan operasi ini (Martinus

    Gerhard, 1997).

    Menurut Prawirohardjo (1999), seksio sesarea adalah pembedahan untuk

    melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Sedangkan

    menurut Farrer (2001), Sectio caesaria (SC) adalah suatu tindakan untuk

    melahirkan bayi per abdominal dengan melalui insisi pada dinding abdomen dan

    dinding uterus interior, biasanya yang sering dilakukan insisi segmen bawah

    tranversal, dilanjutkan dengan pendapat Cunningham (2006), sectio caesaria

    adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparatomi) dan

    dinding uterus (histeretomi).

    Jadi operasi Seksio Sesaria ( sectio caesarea ) adalah suatu pembedahan

    guna melahirkan janin ( persalinan buatan ), melalui insisi pada dinding abdomen

    dan uterus bagian depan sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut

    dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat (Alsatrio,2012)

    2.3.1 Indikasi

    Indikasi seksio sesarea antara lain : disproporsi janin-panggul, gawat janin,

    plasenta previa, pernah seksio sesarea, kelainan letak, partus tak maju, kehamilan

    dengan resiko tinggi, pre-eklampsia dan hipertensi (Prawirohardjo, 2005).

  • 24

    Sedangkan menurut Mochtar R (2002), indikasi sectio caesaria terbagi atas :

    1. Indikasi Ibu

    a) Plasenta previa sentralis dan lateralis (posterior).

    b) Panggul sempit.

    c) Disproporsi sefalo-pelvik: yaitu ketidakseimbangan antara ukuran

    kepala dengan panggul.

    d) Partus lama (prolonged labor)

    e) Ruptur uteri mengancam

    f) Partus tak maju (obstructed labor)

    g) Distosia serviks

    h) Pre-eklampsia dan hipertensi

    i) Disfungsi uterus

    j) Distosia jaringan lunak.

    2. Indikasi janin dengan sectio caesarea:

    a) Letak lintang

    b) Letak bokong

    c) Presentasi rangkap bila reposisi tidak berhasil.

    d) Presentasi dahi dan muka (letak defleksi) bila reposisi dengan cara-

    cara lain tidak berhasil.

    e) Gemelli menurut Eastman, sectio caesarea di anjurkan:

    1. Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu (shoulder

    presentation)

    2. Bila terjadi interlok (locking of the twins)

  • 25

    3. Distosia oleh karena tumor.

    4. Gawat janin

    f) Kelainan Uterus :

    Terdapat tumor di pelvis minor yang mengganggu masuk kepala

    janin ke pintu atas panggul.

    2.3.2 Klasifikasi Sectio Caesaria

    Menurut Mochtar R (2002), tindakan sectio caesarea dapat dibagi menjadi 3

    (tiga) jeniS:

    1. Sectio Caesaria Klasik

    Insisi di buat pada korpus uteri, pembedahan ini yang lebih mudah

    dilakukan, hanya diselenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan

    sectio caesaria transperitonialis profunda. Sectio Caesaria Klasik dilakukan

    dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang

    10 cm.

    2. Sectio Caesaria iskemia rafunda

    Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen

    bawah rahim (Low servikal Transversal) kira-kira 10 cm.

    Segmen bawah insisi melintang

    Pada bagian segmen bawah uterus dibuat insisi melintang yang kecil,

    luka ini dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan berhenti di dekat

    daerah pembuluh-pembuluh darah uterus. Kepala janin yang pada sebagian

    besar kasus terletak dibalik insisi di ekstraksi atau di dorong, diikuti oleh

    bagian tubuh lainnya dan kemudian plasenta serta selaput ketuban.

  • 26

    Segmen Bawah : Insisi membujur

    Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus seperti pada

    insisi melintang. Insisi membujur dibuta dengan skapel dan dilebarkan

    dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi.

    3. Sectio Caesaria Extraperitoenal (SCEP)

    Pembedahan ekstraperitoneal dikerjakan untuk menghindari perlunya

    histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan

    mencegah peritonitis generalisasi yang bersifat fatal (Farrer,2001).

    2.3.3 Manifestasi Klinis

    Menurut Prawirohardjo (1999), manifestasi klinis pada klien dengan post

    sectio caesarea, antara lain :

    a) Kehilangan darah selama prosedur pembedahan 600-800 ml,

    b) Terpasang kateter : urine jernih dan pucat,

    c) Abdomen lunak dan tidak ada distensi,

    d) Bising usus tidak ada,

    e) Ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru,

    f) Balutan abdomen tampak sedikit noda,

    g) Aliran lokhia sedang dan bebas bekuan, berlebihan dan banyak.

  • 27

    2.3.4 Komplikasi Sectio Caesaria

    Komplikasi sectio caesaria menurut Farrer (2001), yakni :

    a. Nyeri pada insisi

    b. Perdarahan primer sebagai akibat kegagalan mencapai homeostatis

    karena insisi rahim atau akibat atonia uteri yang dapat terjadi setelah

    pemanjangan masa persalinan.

    c. Sepsis setelah pembedahan, frekuensi dari komplikasi ini lebih besar bila

    sectio caesaria dilaksanakan selama persalinan atau bila terdapat infeksi

    dalam rahim.

    d. Cidera pada sekeliling struktur usus besar, kandung kemih yang lebar

    e. Infeksi akibat luka pasaca operasi

    f. Bengkak pada ekstremitas bawah

    g. Gangguan laktasi

    h. Penurunan elastisitas otot perut dan otot dasar panggul, dan

    i. Potensi terjadinya penurunan kemampuan fungsional.

    2.3.5 Penatalaksanaan Nyeri Pada Pasien Post operasi Sectio Caesaria

    Menurut Cunningham (2006) penatalaksanaan nyeri untuk klien post sectio

    caesarea meliputi :

    1. Pentalaksanaan Farmakologi

    a. Meperidine/Petidine

    Terdapat berbagai macam analgesik opioid yang digunakan

    untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri (Sulistia, 2007).

    Salah satunya yakni Meperidine atau biasa dikenal dengan petidine.

  • 28

    Meperidin mempunyai efek farmakodinamik pada susunan saraf

    pusat. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah

    pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgetik

    timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau IM yaitu dalam 10

    menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5

    jam. Pada saluran nafas, meperidine dalam dosis ekuianalgetik

    menimbulkan depresi nafas sama kuat dengan morfin dan mencapai

    puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. (Sulistia, 2007).

    Farmakoinetik dari meperidin, yakni jalur pemberian meperidin

    sama seperti dengan morfin. Pada pemberian secara intramuskuler,

    meperidin diabsorbsi secara cepat dan komplit, dimana kadar puncak

    dalam plasma dicapai dalam waktu 20 60 menit. Bioavailabilitas

    secara oral mencapai 45% - 75%. Meperidin 64% terikat pada protein

    plasma, dengan lama kerja 2 4 jam dan waktu paruh eliminasinya

    adalah 3 4 jam. Rata rata metabolisme meperidin adalah 17% per

    jam. Meperidin 80% dimetabolisir di hati melalui proses hidrolisis dan

    dimetilasi menjadi normeperidin dan asam meperidinat. Setelah

    mengalami konjugasi akan dikeluarkan melalui ginjal. Sebanyak 5% -

    10% meperidin diekskresi melalui ginjal tanpa mengalami perubahan,

    sedangkan kurang dari 10% diekskresi melalui sistem bilier

    (Sasongko,2005). Metabolisme meperidine terutama berlangsung

    dihati (Sulistia,2007).

  • 29

    b. Asam Mafenamat

    Menurut Purnamasari (2012), Asam Mefenamat merupakan

    kelompok antiinflamasi nonsteroid bekerja dengan cara menghambat

    sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat

    enzim siklo oksiginase sehingga mempunyai efek analgesik,

    antiinflamasi dan antipiretik. Karena Asam Mefenamat termasuk ke

    dalam golongan (NSAIDS), maka kerja utama (Farmakodinamik) dari

    obat ini kebanyakan nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAIDS)

    adalah sebagai penghambat sintesis prostaglandin, sedangkan kerja

    utama obat antiradang glukortikoid menghambat pembebasan asam

    arakidonat.

    Sedangkan farmakokinetik asam mafenamat, yakni Asam

    Mefenamat diabsorbsi dengan cepat dari saluran gastrointestinal

    apabila diberikan secara oral. Kadar plasma puncak dapat dicapai 1

    sampai 2 jam setelah pemberian 2 x 250 mg kapsul asam mefenamat.

    Pemberian dosis tunggal secara oral sebesar 1000 mg memberikan

    kadar plasma puncak selama 2 sampai 4 jam dengan t dalam plasma

    sekitar 2 jam (Purnamasari, 2012).

    c. Kaltrofen

    Kaltrofen adalah obat yang mengandung ketoprofen dan

    termasuk dalam golongan obat anti inflamasi non steroid (AINS),

    derivat asam propionat. Obat anti inflamasi non steroid merupakan

  • 30

    obat yang mempunyai efek analgesik (penghilang rasa sakit),

    antipiretik (penurun panas) dan antiinflamasi (menghilangkan

    pembengkakan). Farmakodinamik dari Kaltrofen yakni dengan cara

    menghambat sintesa prostaglandin, yang merupakan suatu zat yang

    dapat menyebabkan inflamasi (Chandra, 2010).

    Sedangkan Farmakokinetik dari Kaltrofen yakni Kaltrofen

    diabsorbsi dilambung dan waktu paruh plasma untuk mengabsorbsi

    yakni selama 2 jam (Chandra, 2010).

    Menurut Neeza (2010), Pemberian dosis dari kaltrofen yakni :

    - Kaltrofen 50 mg tablet : 1 tablet 3-4 kali sehari

    - Kaltrofen 100 mg tablet : 1 tablet 2-3 kali sehari atau menurut

    petunjuk dokter,sebaiknya diberikan bersamaan dengan makanan

    atau susu.

    - Kaltrofen OD 200 mg kapsul : 1 kapsul 1 kali sehari Bentuk sediaan

    pelepasan lambat sebaiknya tak digunakan untuk nyeri akut.

    - Kaltrofen 10 mg suppositoria : Jika dikombinasikan dengan preparat

    oral, maka pada umumnya dosis perhari adalah 1 supositoria yang

    dimasukkan ke dalam rektum. Jika tidak dikombinasikan, dosis

    lazim adalah 1 supositoria 2 kali sehari. Menurut Sunardi (2012)

    pemberian analgetik ketoprofen. suppositoria biasanya diberikan 2

    kali/12 jam.

    - Injeksi Intra Muscular : 50 -100 mg tiap 4 jam, dapat diulangi hingga

    maksimum 200 mg dalam 24 jam. Diberikan secara injeksi intra

  • 31

    muskular dalam pada kuadran lateral atas bokong. Penggunaan

    secara injeksi sebaiknya tidak lebih dari 3 hari. Bila responnya baik,

    maka dapat dialihkan ke terapi oral dalam bentuk tabiet/kapsul.

    Penatalaksanaan medis pasien sectio lainnya yakni dengan pemberian

    oksitosin. Oksitosin merangsang otot polos uterus dan kelenjar mamae. Adapun

    efek farmakodinamik dan farmakokinetik Oksitosin Menurut Sulistia (2007) yang

    dikutip oleh Martin (2011) yakni :

    Farmakodinamik

    - Efek pada mamae:

    Menyebabkan kontraksi otot polos mioepitel bersifat selektif dan

    cukup kuat pada pasca persalinan.

    Sediaan oksitosin berguna untuk memperlancar ejeksi susu, serta

    mengurangi pembengkakan payudara pasca persalinan.

    - Efek Kardiovaskuler:

    Relaksasi otot polos pembuluh darah (dosis besar)

    Penurunan tekanan sistolik, warna kulit merah, aliran darah ke

    ekstremitas menurun, takikardi dan curah jantung menurun

    Farmakokinetik

    Hasil baik pada pemakaian parenteral

    Cepat diabsorbsi oleh mukosa mulut Efektif untuk pemberian

    tablet isap

  • 32

    Selama hamil ada peningkatkan enzim Oksitosinase atau sistil

    aminopeptidase berfungsi mengaktifkan oksitoksin enzim

    tersebut berkurang setelah melahirkan, diduga dibuat oleh plasenta.

    Waktu paruh oksitosin sangat singkat, antara 3-5 menit. Oksitosin

    tidak terikat oleh protein plasma dan dieliminasi oleh ginjal dan hati

    (sulistia,2007)

    2. Pentalaksanaan Non Farmakologi

    Menurut Cuningham (2006), pentalaksanaan non farmakologi

    nyeri dari pasien post sectio caesaria, adalah :

    a. Tanda-tanda vital

    Setelah dipindahkan ke ruang rawat, maka tanda-tanda vital pasien harus

    di evaluasi setiap 4 jam sekali. Jumlah urin dan jumlah darah yang hilang serta

    keadaan fundus uteri harus diperiksa, adanya abnormalitas harus

    dilaporkan.Selain itu suhu juga perlu diukur.

    b. Terapi cairan dan diet

    Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan, termasuk Ringer Laktat,

    terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya.

    Meskipun demikian, jika output urin di bawah 30 ml perjam, pasien harus

    dievaluasi kembali. Bila tidak ada manipulasi intra abdomen yang ekstensif atau

    sepsis, pasien seharusnya sudah dapat menerima cairan per oral satu hati setelah

    pembedahan.Jika tidak, pemberian infus boleh diteruskan.Paling lambat pada hari

    kedua setelah operasi, sebagian besar pasien sudah dapat menerima makanan

    biasa.

  • 33

    c. Vesika urinaria dan usus

    Kateter sudah dapat dilepas dari vesika urinaria setelah 12 sampai 24 jam

    post operasi. Kemampuan mengosongkan urinaria harus dipantau sebelum terjadi

    distensi. Gejala kembung dan nyeri akibat inkoordinasi gerak usus dapat menjadi

    gangguan pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi. Pemberian supositoria rectal akan

    diikuti dengan defekasi atau jika gagal, pemberian enema dapat meringankan

    keluhan pasien.

    d. Ambulasi

    Pada hari pertama post operasi, pasien dengan bantuan perawat dapat

    bangun dari tempat tidur sebentar sekurang-kurangnya sebanyak 2 kali. Ambulasi

    dapat ditentukan waktunya sedemikian rupa sehingga preparat analgesik yang

    baru saja diberikan akan mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua, pasien dapat

    berjalan ke kamar mandi dengan pertolongan.Dengan ambulasi dini, trombosit

    vena dan emboli pulmoner jarang terjadi.

    e. Perawatan luka

    Luka insisi diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang relative

    ringan tampak banyak plester sangat menguntungkan.Secara normal jahitan kulit

    diangkat pada hari ke empat setelah pembedahan.Paling lambat pada hari ke tiga

    post partum, pasien sudah dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.

    f. Laboratorium

    Secara rutin Ht diukur pada pagi hari setelah operasi, Ht harus segera

    dicek kembali bila terdapat kehilangan darah atau bila terdapat oliguri atau

    keadaan lain yang menunjukan hipovolemia. Jika Ht stabil, pasien dapat

    melakukan ambulasi tanpa kesulitan apapun dan kemungkinan kecil jika terjadi

    kehilangan darah lebih lanjut.

  • 34

    2.3.6 Nyeri pada ibu Post Operasi Sectio Caesaria

    Pada Proses operasi digunakan anastesi agar pasien tidak merasakan nyeri

    pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar dan efek

    anastesi habis bereaksi, pasien akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang

    mengalami pembedahan. Pada operasi Sectio Caesaria ada 7 lapisan perut yang

    harus disayat. Sementara saat proses penutupan luka, 7 lapisan tersebut dijahit

    satu demi satu menggunakan beberapa macam benang jahit. Rasa nyeri didaerah

    sayatan yang membuat terganggu dan pasien merasa tidak nyaman (Walley,

    2008).

    Nyeri post operasi akan meningkatkan stress post operasi dan memiliki

    pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri sangat penting

    dilakukan sesudah pembedahan. Nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi

    kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang

    cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik harus digunakan untuk

    memastikan bahwa nyeri pasien post operasi dapat dibebaskan. (Potter dan Perry,

    2006).

  • 35

    2.4 KERANGKA TEORI

    Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam

    Gambar 2.6 Kerangka Teori

    Faktor-Faktor yang mempengaruhi Teknik Relaksasi Nafas Dalam

    a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin

    b. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh

    c. Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain

    Nyeri Respon tubuh :

    1. Respon Fisiologis 2. Respon Psikologis 3. Respon Perilaku

    Faktor-Faktor yang mempengaruhi Nyeri :

    1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Kebudayaan 4. Makna nyeri 5. Perhatian 6. Ansietas 7. Pengalaman masa lalu

    Intensitas Nyeri :

    0 = Tidak Nyeri 1 = Nyeri sedikit 2 = Nyeri 3 = Nyeri lebih berat 4 = Sangat Nyeri 5 = Nyeri Hebat

    Skala Wajah

    Pasien Sectio Caesaria

  • 36

    2.5 KERANGKA KONSEP

    Secara garis besar mengenai sistem keterkaitan antara konsep penelitian

    adalah sebagai berikut :

    Variabel Independen Variabel Dependen

    Gambar 2.7 Kerangka konsep

    Ket : = Variabel yang diteliti

    2.6 HIPOTESIS PENELITIAN

    Ha : Terdapat pengaruh antara teknik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas

    nyeri pada pasien post operasi sectio caesaria di Rumah Sakit Umum Prof.

    Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

    Teknik relaksasi nafas dalam

    Nyeri Post-Operasi Sectio Caesaria