PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

241
i Prosiding The 1 st Nasional Seminar on Nursing 2017 Tema : Trend and Current Issues In Nursing Practice Reviewers: Arief Bachtiar.S.Ke.Ns.M.Kep Ns.Supono.S.Kep.M.Kep.Sp.MB Lelik Adiyanto.S.Kep.Ns PROGRAM STUDI KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES MALANG 2017

Transcript of PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Page 1: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

i

Prosiding

The 1st Nasional Seminar on Nursing 2017

Tema :

“ Trend and Current Issues In Nursing Practice ”

Reviewers:

Arief Bachtiar.S.Ke.Ns.M.Kep

Ns.Supono.S.Kep.M.Kep.Sp.MB

Lelik Adiyanto.S.Kep.Ns

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES MALANG

2017

Page 2: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

ii

Prosiding

The 1st Nasional Seminar on Nursing 2017

Trend and Current Issues In Nursing Practice

ISBN : 978-602-50150-0-7

Editor:

Marsaid S.Kp.Ns.M.Kep

Nurl Hidayah.S.Kep.Ns.M.Kep

Agus Setyo Utomo A.M.Kes

Pembantu editor:

Kasiati. S.Kp.Ns.M.kep

Hurun Ain S.Kp.Ns.M.kep

Desain sampul:

Alif Galih

Prima Dio

Kiki A

Penerbit dan redaksi:

Program Studi Keperawatan Poltekkes Kemenkes Malang

Cetakan pertama, Agustus 2017

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian

atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk

fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal

72, Ayat (1), (2), dan (6)

Page 3: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

iii

COMMITTEE

Pelindung : Direktur Poltekkes Kemenkes Malang

Pembina :1. Pudir I2. Ketua Jurusan Keperawatan3.

Penanggung Jawab : Ketua Program Studi D-III Keperawatan LawangKetua Program Studi D-IV Keperawatan Lawang

Ketua : 1. Alif Galih Pratama2. Nurul Hidayah, SKep Ns.M.Kep

Sekretaris : 1. Hanna Puspita Wangi2. Agus Setyo Utomo.A.M.Kes

Bendahara : 1. Dwi Andika Mulia Sari2. Sulastyawati, Skep Ns M.Kep

Seksi Ilmiah &Acara

: 1. Khoylila Ayu Aristi2. Vicky Wahyu Putra Wiguna3. Yekti Indhar Bekti4. Kulsum Febri Dwi Safitri5. Ririn Anantasari, SKep Ns MKep SpMat6. Marsaid, SKep Ns MKep7. Tri Nataliswati, SKep Ns MKep8. Kasiati, SKep Ns MKep9. Hurun Ain, SKep Ns M.Kep10. Dra Mustayah M.Kes

Seksi Akomodasi,Perlengkapan danTransportasi

: 1. Mohammad Ali Ridho2. M. Salman Alfarisi3. Budiono, S.Kp M.Kes4. Ni Wayan, APP , MKes5. Darwanto,6. Hendra7. Suntar8. Muhammad Solihin9. Satugi

Seksi Dekorasi dandokumentasi

: 1. Prima Dio Prasojo2. 2. Kiki Agustin Vergiliasari

Page 4: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

iv

Seksi Humas dan

Publikasi

: 1. Mukhammad Sudrajat P

2. Revi Maulana Aziz

3. Lucia Retnowati, SST, MKes

4. Faizul Hasan, SST

5. Handy lala

Seksi Konsumsi : 1. Sumirah BP, SKp MKep

2. Yusi Idah Safitri

3. Agistiya Cahya Kirnawati

4. Dra. Mustayah, MKes

5. Tantri Swandayani, SPd

6. Dhewi Society

7. Sri Sulistyawati

8. Nanik Soewaryuningsih

9. Sri Hartini

10. Paini Astuti

11. Dini Suryani

Seksi Keamanan : 1. Muhammad Sahri

2. Abdul Hanan

Page 5: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas limbahan kasih dan

karunianya sehingga proceeding “The 1st Nasional Seminar on Nursing 2017

dengan tema “Trend and Current Issues In Nursing Practice” dapat terselesaikan

dengan baik.. Prosiding ini merupakan kumpulan hasil penelitian yang diharapkan

mampu mengkonstribusi dalam meningkatkan derajat kesehatan dalam masyarakat.

Hasil penelitian dapat menjadi acuan untuk mengembangkan penelitian lain untuk

kesejahteraan masyarakat Indonesia. Prosiding ini juga dibuat dengan tujuan

memberikan pengetahuan bagi masyarakat luas terkait penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan terbaru sehingga diharapkan dapat menambah

pengetahuan, komunikasi dan motivasi selanjutnya untuk pengajuan Hak Kekayaan

Intelektual (HAKI).

Kami sebagai penyusun menyadari bahwa prosiding ini tentu tidak luput

dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik kami harapkan demi kebaikan prosiding

pada terbitan yang akan datang.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu terlaksananya kegiatan ini, dan kami berharap prosiding ini dapat

bermanfaat bagi para peneliti akademisi dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Lawang, Agustus 2017

Page 6: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

vi

DAFTAR ISI

Comittee .................................................................................................................. iii

Kata Pengantar .......................................................................................................... v

HUBUNGAN EFIKASI DIRI ( SELF EFFICACY ) DENGAN

PENURUNAN KEJENUHAN KERJA ATAU ( BORNOUT )

PERAWAT

Yunis Veronika Purba, Suhartono, Sarah Ulliya ....................................................... 1

TINGKAT KECEMESAN PASIEN YANG AKAN

DILAKUKAN KATETERISASI JANTUNG DI RSUP DR.

KARYADI SEMARANG

Kristiana Prasetia Handayani, Andrew Johan, Candra Bagus R ............................. 11

HUBUNGAN SIKAP NORMA SUBYEKTIF DENGAN KE

IKUT SERTAAN PUS DALAM DETEKSI DINI KANKER

SERVIK DI PUSKESMAS SINGOSARI MALANG

Tutik Herawati, Jokowiyono, GM Sindarti .............................................................. 19

EFEKTIFITAS PENYULUHAN KESEHATAN GIGI

BERBASIS MULTIMEDIA TERHADAP PENGETAHUAN

SISWA KELAS VI DI SD NEGERI 01 ABELI KELURUHAN

TOBIMEITA KECAMATAN ABELI

Sahmad, Reni Devianti Usman, Endang Sukamti Sastrawati .................................. 28

KEJADIAN KECACINGAN PADA BALITA DI PULAU

BINONGKO KABUPATEN WAKATOBI

Dian Yuniar, Nirwana, La Irman ............................................................................. 36

Page 7: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

vii

PENGARUH EDUKASI TERHADAP TINGKAT

KEMANDIRIAN ACTIVITY DAILY LIVING LANSIA

HIPERTENSI

Siti Juwariyah, Fery Agusman MM, Rita Hadi Widyastuti ..................................... 43

FAKTOR RESIKO KEJADIAN KANKER SERVIKS DI

IRNA III RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Kasiati ...................................................................................................................... 48

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFIKASI

DIRI PENDERITA TUBERKOLOSIS DI PUSKESMAS

TIKUNG LAMONGAN

Abdul Muhith, M.H.Saputra, Sandu Siyoto ............................................................. 55

FAKTOR BUDAYA, PENDIDIKAN DAN KARAKTERISTIK

SOSIAL EKONOMI TERHADAP POLA MAKAN IBU POST

PARTUM DI WILAYAH PUSKESMAS SUKOREJO

KABUPATEN PASURUAN

Marsaid .................................................................................................................... 64

PENGARUH MOBILISASI TEMPAT TIDUR TERHADAP

PERISTALTIK USUS PADA PASIEN STROKE DI RUANG

INTERNE 1 RSUD Dr. R.SOEDARSONO PASURUAN

Sumirah Budi Pertami, Budiono, Oktaviani Defi .................................................... 75

HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH DENGAN

KECERDASAN EMOSI MAHASISWA KEPERAWATAN

KAMPUS II POLTEKKES KEMENKES MALANG

Mustayah .................................................................................................................. 88

PENGARUH PEMBERIAN RANGE OF MOTION ( ROM )

EXERCISE TERHADAP POLA TIDUR DAN SELF CARE

Page 8: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

viii

PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA

MINAULA KENDARI TAHUN 2016

Budiono, Muslimin L, Reni Devianti Usman ........................................................ 101

TINGKAT KESEPIAN PADA LANSIA DI PANTI WERDHA

Ni Wayan Rosmalawati, Abdul Hanan, Arivando Yoga Papangdika ................... 113

TINGKAT RISIKO DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE

YANG SEDANG MENJALANI RAWAT INAP

Novi Susanti, Arief Bachtiar, Supono.................................................................... 120

PERAN ORANG TUA DALAM MENCEGAH

PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA ANAK REMAJA

Lucia Retnowati, Ririn Anantasari, Anisah Safirah............................................... 128

SOSIAL SUPPORT DENGAN SELF CARE PADA

PENDERITA DIABETES MELITUS ( DM )

Nurul Hidayah........................................................................................................ 142

PENGARUH PEMBERIAN LATIHAN SLOW DEEP

BREATHING TERHADAP TEKANAN DARAH PADA

PASIEN STROKE

Rini Widya Ningsih, Tri nataliswati, Supono........................................................ 153

PERBEDAN PEMAKAIAN SELIMUT TERHADAP

PERUBAHAN HEMODINAMIK PASIEN POST OP SEKSIO

SESAREA DENGAN ANASTESI SPINAL SUB ARACHNOID

DI RUANG RECOVERY ROOM RSUD MARDI WALUYO

BLITAR

Susi Milwati ........................................................................................................... 168

Page 9: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

ix

HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG

PEMBERIAN POSISI BEDAH DENGAN KETEPATAN

PELAKSANAAN STANDAR OPERATING PROSEDUR

(SOP) PEMEBERIAN POSISI BEDAH DI KAMAR OPERASI

RUMAH SAKIT LAVALETTE MALANG

Susi Milwati ........................................................................................................... 179

PELAYANAN KERABAT DALAM PEMBERDAYAAN

LANSIA POTENSIAL SEBAGAI UPAYA PEMENUHAN

KEBUTUHAN KESEHATAN

Agus Setyo Utomo, Rafika Khusnul Khoimah, Tri Nataliswati ............................ 192

HUBUNGAN ASUPAN NUTRISI DINI DENGAN

PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI BBLR

Hurun Ain .............................................................................................................. 197

PELAKSANAAN DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN

STROKE DI IGD

Sulastyawati ........................................................................................................... 208

HUBUNGAN KEMAMPUAN SOSIAL DAN PERAWATAN

DIRI PASIEN SKIZOFRENIA

Suprianto ................................................................................................................ 219

PEMBERIAN DOT DENGAN PERTUMBUHAN GUSI DAN GIGI PADA

BAYI

Dwi Harini, Sulisdiana, Nurul Hidayah ................................................................. 224

Page 10: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

x

Page 11: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 1 | 231

HUBUNGAN EFIKASI DIRI (SELF EFFICACY) DENGAN

PENURUNAN KEJENUHAN KERJA (BURNOUT) PERAWAT

Yunis Veronika Purba1, Suhartono2, Sarah Ulliya3 1Mahasiswa Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Jurusan Kesehatan Lingkungan Masyarakat Universitas

Diponegoro Semarang, 3 Fakultas Kedokteran, Jurusan Ilmu Keperawatan Universitas

Diponegoro Semarang

Magister of Nursing Student, Faculty of Medicine, Diponegoro University, Jl. Dr.Soetomo

18 Semarang, Jawa Tengah, Indonesia, 5023, phone +6244-8454063

Email: [email protected]

Abstrak

Kejenuhan kerja (burnout) yang dialami perawat dapat menimbulkan turunnya kualitas pelayanan

yang prima dan berdampak pada klien, akibat tuntutan dari peran dan fungsi perawat yang tinggi

dalam memberikan pelayanan yang bermutu dan sesuai standar yang ditetapkan. Salah satu upaya

yang dapat dilakukan untuk menurunkan kejenuhan kerja (burnout) melalui peningkatan efikasi diri

(self efficacy). Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya hubungan efikasi diri (self efficacy)

dengan penurunan kejenuhan kerja (burnout) perawat. Metode yang digunakan cross sectional.

Sampel sebanyak 66 perawat dengan total sampling. Variabel yang di teliti adalah efikasi diri (self

efficacy), kejenuhan kerja (burnout), Hasil penelitian ada hubungan antara efikasi diri/ self efficacy

(p=0,000), Kesimpulan efikasi diri (self efficacy) berhubungan dengan penurunan kejenuhan kerja

(burnout) perawat.

Kata Kunci : Self efficacy, Burnout, Perawat

1. PENDAHULUAN

Rumah sakit menyadari pentingnya pelayanan terhadap pasien yang

bertumpu pada perkembangan teknologi dan sumber daya manusia. Pelayanan

terhadap pasien membutuhkan pelayan profesional agar pelayanan yang diberikan

lebih bermutu. Menurut Gillies 1 sumber daya manusia yaitu perawat merupakan

jumlah terbesar di rumah sakit sekitar 75%. Di Indonesia tenaga keperawatan

menempati urutan jumlah terbanyak, yaitu 40 % dari tenaga yang ada dan mereka

memberikan waktu perawatan terhadap pasien paling lama selama 24 jam. 2 Apabila

perawat tidak mampu menghadapi tuntutan-tuntutan dilingkungan kerjanya, maka

akan muncul kelelahan fisik dan emosional yang pada akhirnya akan muncul

kejenuhan kerja (burnout) pada perawat.

Harrison 3 bibliografi terbaru yang memuat 2496 publikasi tentang

kejenuhan kerja (burnout) di Eropa menunjukkan 43% kejenuhan kerja (burnout)

dialami pekerja kesehatan dan sosial (perawat), 32% dialami guru (pendidik), 9%

dialami pekerja administrasi dan manajemen, 4% pekerja di bidang hukum dan

kepolisian dan 2% dialami pekerja lainnya. Dari persentase di atas dapat dilihat

bahwa profesi perawat menempati urutan tertinggi sebagai profesi yang paling

banyak mengalami kejenuhan kerja (burnout). Hampir setengah dari jumlah

Page 12: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 2 | 231

keseluruhan pekerja yang mengalami kejenuhan kerja (burnout) adalah perawat.

Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian dari berbagai pihak terhadap profesi

perawat, apabila semakin banyak perawat yang mengalami kejenuhan kerja

(burnout) maka semakin rendah kualitas pelayanan yang diberikan. Hal ini tentu

berdampak buruk bagi masyarakat karena akan memperoleh kualitas pelayanan

yang kurang maksimal. Kejenuhan kerja (burnout) dapat disebabkan oleh dua faktor

yaitu: 1. faktor internal demografi terdiri dari: usia, jenis kelamin, status

pernikahan, masa kerja, tingkat pendidikan, sedangkan 2. faktor eksternal terdiri

dari ambiguitas peran, konflik peran, beban kerja dan dukungan sosial.

Rachmawati 4 menyebutkan hasil survei yang dilakukan Persatuan Perawat

Nasional Indonesia (PPNI) tahun 2006, menunjukkan sekitar 50, 9 persen perawat

yang bekerja di empat provinsi di Indonesia mengalami stres kerja, perawat sering

mengalami pusing, lelah, tidak bisa istirahat karena beban kerja yang tinggi dan

menyita waktu dan bahkan perawat juga mendapatkan gaji yang rendah dengan

insentif yang tidak memadai. Hasil data yang di himpun PPNI pada Mei 2009 di

Makassar menunjukkan 51 persen perawat mengalami stres kerja, pusing, lelah,

kurang istirahat karena beban kerja terlalu tinggi, bahkan beberapa rumah sakit di

Makassar menempatkan perawat tidak sesuai dengan profesi/ keahlian. 5 Penelitian

Ramdan (2016) menyebutkan bahwa lebih dari setengahnya (56%) perawat di RS

AHM Samarinda mengalami kejenuhan kerja (burnout). 6

Penelitian yang dilakukan di Eropa pada tahun 2011 menunjukkan bahwa

sekitar 30% dari perawat yang disurvei melaporkan jenuh atau lelah untuk bekerja. 7

Penelitian di Inggris menemukan bahwa sekitar 42% dari perawat di Inggris

dilaporkan menderita burnout, sedangkan di Yunani sekitar 44% dari perawat

melaporkan perasaan tidak puas terhadap hasil kerjanya dan memiliki keinginan

untuk meninggalkan pekerjaan. Lebih rendah prevalensi dilaporkan dalam survei di

Jerman, yang diperkirakan 4,2% dari populasi pekerja terkena kejenuhan kerja

(burnout). 8

Kejenuhan kerja (burnout) yang dialami perawat dapat menimbulkan

dampak negatif yang dirasakan oleh penerima layanan baik itu pasien maupun

keluarga pasien. Menurut Musanif, 9 perawat rumah sakit pemerintah dan

puskesmas di Padang dilaporkan bersikap judes dan membentak-bentak pasien dan

keluarganya. Perawat rumah sakit umum Mataram juga dilaporkan telah bersikap

tidak menyenangkan, di mana pasien bangsal kelas tiga yang kebanyakan dihuni

pasien dari program jaringan pengaman sosial (JPS) yang mendapat pembebasan

biaya perawatan, merasa sering tidak dipedulikan dan mendapat perlakuan sinis

oleh perawat. 10

Efikasi diri (self efficacy) menjadi salah satu faktor penting yang harus

dimiliki oleh perawat dalam menjalani tugasnya artinya perawat mampu

menghadapi tekanan tekanan yang timbul pada saat pemberian asuhan keperawatan

berlangsung sehingga mencegah terjadinya kejenuhan kerja (burnout). Hasil

penelitian Priyatin 11 terhadap 100 responden perawat rawat inap RSUD Prof. Dr

Page 13: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 3 | 231

Margono Soekarjo Purwokerto menunjukan bahwa efikasi diri (self efficacy)

memiliki signifikansi terhadap kejenuhan kerja (burnout). Koefisien yang negatif

menunjukkan bahwa semakin tinggi efikasi diri (self efficacy) perawat, maka

semakin rendah tingkat burnout yang dialami perawat.

Bandura 12 mengungkapkan bahwa individu yang memiliki efikasi diri (self

efficacy) tinggi, pada saat menghadapi situasi yang menekan akan berusaha lebih

keras dan bertahan lama serta akan lebih aktif dalam berusaha daripada orang yang

mempunyai efikasi diri (self efficacy) rendah dan akan lebih berani menetapkan

target atau tujuan yang akan dicapai. Perawat yang memiliki efikasi diri (self

efficacy) tinggi akan mampu mengatasi kejenuhan kerja (burnout) yang dialami

dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dalam pekerjaan mereka.

Penelitian tentang pengaruh efikasi diri (self efficacy) terhadap kejenuhan

kerja (burnout) dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti Skaalvik & Skaalvik,

Schaufeli & Salanova 13, 14 menunjukkan bahwa efikasi diri (self efficacy)

berpengaruh signifikan positip terhadap kejenuhan kerja (burnout) dan menganggap

kelelahan emosional dan depersonalisasi sebagai unsur sentral dari kejenuhan kerja

(burnout). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maharani 15

menunjukkan bahwa efikasi diri (self efficacy) berpengaruh signifikan negatip

terhadap kejenuhan kerja (burnout) atau setidaknya dapat memperkecil tingkat

kejenuhan kerja (burnout) yang dialami.

Hasil penelitian Lailani 16 terhadap 94 perawat di RS “Xyz” di Surakarta di

dapati hasil terdapat korelasi yang signifikan antara efikasi diri (self efficacy) dan

dukungan sosial dengan kejenuhan kerja (burnout). Hasil penelitian Novita 17

terhadap 37 perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi dari hasil analisa data

menunjukkan bahwa hubungan antara efikasi diri (self efficacy) dengan kejenuhan

kerja (burnout) menunjukkan hasil semakin tinggi tingkat efikasi diri (self efficacy)

perawat maka semakin rendah kejenuhan kerja (burnout) nya.

Penelitian Lailani 18 menunjukkan 66,7 perawat memiliki efikasi diri (self

efficacy) yang rendah berdasarkan dari kuesioner yang di isi oleh pasien. Penelitian

yang dilakukan Marini, 19 bahwa 23,1% perawat di Rumah Sakit Kota Makasar

memiliki efikasi diri (self efficacy) rendah. Selanjutnya Studi yang di lakukan

Parijiyana 20 di RSJD Dr. RM. Soedjawardi Propinsi Jawa Tengah bahwa 42.9%

perawat memiliki kepercayaan diri termasuk dalam kategori kurang baik.

Studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Taman Harapan Baru

Bekasi bulan Desember 2016 - Januari 2017 berdasarkan data yang peneliti

dapatkan jumlah BOR pada bulan September 2016 yaitu 30,44% standar (60-85%)

pada bulan Oktober yaitu 34,36% standar (60-85%) jumlah BOR diambil dari 70

Tempat Tidur, sedangkan jumlah pasien terbagi dari jumlah pasien rawat jalan yaitu

2676 orang, unit gawat darurat 952 orang, pasien rawat inap 563 orang total jumlah

pasien 4191 orang, sedangkan jumlah perawat yaitu 66 orang perawat. melalui

wawancara dan observasi yang dilakukan terhadap 5 orang perawat diantaranya 4

di ruang rawat inap dan 1 orang perawat di ruang poli jalan di dapatkan hasil bahwa

Page 14: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 4 | 231

4 orang (75%) perawat mengatakan sering merasa lelah dalam melakukan rutinitas

selama jam dinas, 3 orang (50%) perawat mengatakan badan terasa pegal dan

kepala pusing dan 2 orang (30%) mengatakan kurang dapat berkonsentrasi pada

saat dinas, beberapa kasus di atas berikut gejala-gejala yang menyertainya,

kemungkinan sindrom kejenuhan kerja (burnout) sudah melanda sebagian perawat

di rumah sakit, dimana gejala-gejala yang mengarah pada munculnya kelelahan

emosi ketika perawat tidak mampu melakukan tugasnya yang sulit (magnitude self

efficacy), (strength self efficacy) perawat lebih mudah frustasi ketika menghadapi

hambatan atau masalah dalam menyelesaikan tugasnya, serta menurunnya

pencapaian prestasi diri tampak ditunjukkan perawat ketika menjalani rutinitas di

tempat kerja. (Generally self efficacy) yang mengacu pada tingkat kesempurnaan

efikasi diri (self efficacy) dalam situasi tertentu. Perawat seharusnya mampu

beradaptasi dengan berbagai kondisi, tetapi terlihat perawat kurang dapat beradptasi

dengan lingkungan pekerjaannya.

Berdasarkan fenomena uraian di atas peneliti ingin meneliti tentang

hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan penurunan kejenuhan kerja (burnout)

perawat di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasi dengan pendekatan

crosssectional. Dalam penelitian crosssectional peneliti melakukan observasi atau

pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Metode penelitian cross sectional

mempelajari hubungan antara faktor resiko dengan efek, observasi atau pengukuran

terhadap variabel bebas dan variabel tergantung dilakukan sekali dan dalam waktu

bersamaan. Penelitian ini menganalisis pengaruh variabel bebas yaitu efikasi diri

(self efficacy) terhadap variabel terikat yaitu kejenuhan kerja (burnout) perawat.

Populasi dan Sampel Penelitian sebagai berikut: Populasi adalah keseluruhan objek

penelitian atau objek yang diteliti dan setiap subjek yang memenuhi kriteria yang

telah ditetapkan. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang berada di

Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi. Pengambilan sampel adalah

menggunakan Total Sampling yaitu seluruh populasi perawat pada Rumah Sakit

Taman Harapan Baru Bekasi yang berjumlah 66 orang perawat. Penelitian ini

dilaksanakan di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi pada bulan Mei 2017.

Variabel Penelitian sebagai berikut:

1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini yaitu efikasi diri (self efficacy).

Pada penelitian ini efikasi diri (self efficacy) yang digunakan yaitu kuesioner yang

sudah baku terdiri dari tiga dimensi efikasi diri (self efficacy) yaitu: 1. Strengh self

efficacy, 2. Magnitude self efficacy, 3. Generality self efficacy. Hasil KMO dan Uji

Validitas dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Nilai KMO Bartlett’s Test

Of Sphecify dikatakan layak apabila lebih besar dari 0,05 sedangkan hasil KMO

Bartlett’s Test Of Sphecify sebesar 0,764 dengan Sig.0,000 yang berarti nilai Sig

<0,05 dan dinyatakan valid untuk kuesioner efikasi diri (self efficacy). Uji reabilitas

Page 15: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 5 | 231

untuk kuesioner efikasi diri (self efficacy) hasil α Cronbach’s Cronbach's Alpha

0,855 dengan jumlah 9 pernyataan. Berdasarkan nilai α Cronbach maka kuesioner

tersebut dinyatakan reliabel. 21

2. Variabel terikat (dependent) merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel

bebas. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini yaitu kejenuhan kerja

(burnout) perawat. Pada penelitian ini yang digunakan yaitu kejenuhan kerja

(burnout) perawat yang dikembangkan oleh Maslach Burnout Inventory - Human

Service Survey (MBI- HSS) yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan fisik dan

emosional, depersonalisasi dan penurunan personal accomplishment. MBI–HSS

dengan JDS (Job Diagnostic Scale) dengan nilai korelasi r=0,38, p<0,001 pada

dimensi kelelahan emosional dan dimensi depersonalisasi, dan r=0,29, p<0,01 pada

dimensi penurunan personal accomplishment. Berdasarkan ketiga hasil korelasi di

atas, memperlihatkan bahwa MBI - HSS benar mengukur burnout yang terdapat

dalam 22 pernyataan. Uji validitas untuk kuesioner kejenuhan kerja (burnout) yang

sudah baku menurut hasilnya adalah uji reliabilitas untuk kelelahan emosional yaitu

didapatkan nilai α 0,90, untuk depersonalisasi adalah α 0,79 dan untuk penurunan

personal accomplishment adalah 0,71. 22

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Karakteristik reponden dalam penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin,

masa kerja, status pernikahan, dan status pendidikan dapat di lihat pada tabel 1

bawah ini:

Tabel 1 : Karakteristik Responden di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi

(n=66) No Karakteristik frekuensi (f) Persentase(%)

1 Usia

Dewasa Awal (18-40 Tahun)

Dewasa Madya (41-60 Tahun)

65

1

98,5%

1,5%

2 Jenis Kelamin

Pria

Wanita

8

58

12,1%

87,9%

3 Status Pernikahan

Menikah

Belum menikah

39

27

59,1%

40,9%

4 Masa Kerja

1 Tahun

2 Tahun

3 Tahun

4 Tahun

27

16

16

7

40,9%

24,2%

24,2%

10,6%

5 Pendidikan

D III Keperawatan

S1 Keperawatan

S1+ Ners

62

1

3

93,9%

1,5%

4,5%

Page 16: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 6 | 231

Pada Tabel 1 di atas menggambarkan bahwa distribusi responden

berdasarkan usia yang paling banayak adalah dewasa awal yaitu 65 orang (98,5%).

Berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah wanita yaitu 58 orang

(87,9%). Berdasarkan masa kerja yang paling banyak adalah 1 tahun yaitu 27 orang

(40,9%). Berdasarkan status pernikahan yang paling banyak yaitu menikah 39 orang

(59,1%). Berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak yaitu D3

Keperawatan yaitu 62 orang (93,9%).

1. Gambaran efikasi diri (self efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan

Baru Bekasi

Gambaran efikasi diri (self efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman

Harapan Baru Bekasi dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 2 : Gambaran Efikasi Diri (Self Efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman

Harapan Baru Bekasi (n=66) Variabel Mean SD Maksimum- Minimum 95%CI

Efikasi Diri (Self

efficacy)

36,37 3,36 45-28 35,55-37,20

Tabel 2 menggambarkan efikasi diri (self efficacy) perawat di Rumah Sakit

Taman Harapan Baru Bekasi memiliki nilai mean 36,37. Nilai efikasi diri (self

efficacy) tertinggi 45 dan terendah 28. Hasil estimasi didapatkan bahwa 95%

diyakini efikasi diri (self efficacy) dengan interval 35,55 sampai 37,20.

2. Distribusi Efikasi Diri (Self Efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan

Baru Bekasi

Distribusi efikasi diri (self efficacy) perawat di Rumah Sakit Taman

Harapan Baru Bekasi dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3 : Distribusi Efikasi Diri (Self Efficacy) Perawat di Rumah Sakit Taman

Harapan Baru Bekasi (n=66) Efikasi Diri (Self Efficacy) N %

Tinggi 37 56,1%

Rendah 29 43,9%

Total 66 100%

Berdasarkan tabel 3 di atas didapatkan responden dengan efikasi diri (self

efficacy) tinggi sebanyak 56,1% (37 responden), sedangkan efikasi diri (self

efficacy) rendah sebanyak 43,9% (29 responden).

3. Gambaran Kejenuhan Kerja (Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan

Baru Bekasi

Gambaran kejenuhan kerja (burnout) perawat di Rumah Sakit Taman

Harapan Baru Bekasi dapat di lihat pada tabel 4 di bawah ini:

Tabel 4 : Gambaran Kejenuhan Kerja (Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman

Harapan Baru Bekasi (n=66)

Page 17: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 7 | 231

Variabel Median SD Maksimum- Minimum 95%CI

Kejenuhan Kerja

(Burnout)

56 7,95 67-34 52,45-56,36

Tabel 4 menggambarkan kejenuhan kerja (burnout) perawat di Rumah Sakit

Taman Harapan Baru Bekasi memiliki nilai median 56. Nilai kejenuhan kerja

(burnout) tertinggi 67 dan terendah 34. Hasil estimasi didapatkan bahwa 95%

diyakini kejenuhan kerja (burnout) dengan interval 52,45 sampai 56,36.

4. Distribusi Kejenuhan Kerja (Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan

Baru Bekasi

Distribusi kejenuhan kerja (burnout) perawat di Rumah Sakit Taman

Harapan Baru Bekasi dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini:

Tabel 5 : Distribusi Kejenuhan Kerja (Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman

Harapan Baru Bekasi (n=66)

Kejenuhan Kerja (Burnout) N %

Tinggi 36 54,5%

Rendah 30 45,5%

Total 66 100%

Berdasarkan tabel 5 di atas didapatkan responden dengan kejenuhan kerja

(burnout) tinggi sebanyak 54,5% (36 responden), sedangkan kejenuhan kerja

(burnout) rendah sebanyak 45,5% (30 responden).

5. Analisis Hubungan Efikasi Diri (Self Efficacy) dengan Kejenuhan Kerja

(Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi Analisis

hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan kejenuhan kerja (burnout) perawat di

Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi dapat dilihat pada tabel 6 di bawah

ini:

Tabel 6 : Analisis Hubungan Efikasi Diri (Self Efficacy) dengan Kejenuhan Kerja

(Burnout) Perawat di Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi (n=66)

Variabel N R Pvalue

Efikasi Diri (Self Efficacy) 66 -0,440 0,000

Tabel 6 menjelaskan hasil analisis dari uji spearman rank pada variabel

efikasi diri (self efficacy) dengan nilai P value sebesar 0,00 yang memiliki nilai sig

< 0,05 sehingga disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri

(self efficacy) dengan penurunan kejenuhan kerja (burnout) perawat. Nilai koefisien

korelasi -0,440 menunjukan bahwa korelasi antara efikasi diri (self efficacy) dan

penurunan kejenuhan kerja (burnout) perawat sedang, dan arti tanda negatif

menunjukkan bahwa setiap penambahan efikasi diri (self efficacy) akan

menurunkan kejenuhan kerja (burnout) perawat.

Page 18: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 8 | 231

Hasil penelitian didapatkan hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan

penurunan kejenuhan kerja (burnout) nilai p value sebesar 0,000 (p value < 0,05).

Hal ini berarti ada hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan penurunan kejenuhan

kerja (burnout) perawat. Berdasarkan uji statistik di dapatkan nilai mean efikasi

diri (self efficacy) yaitu 36,37. Penelitian ini relevan dengan hasil penelitian

Priyatin bahwa efikasi diri (self efficacy) memiliki signifikansi terhadap kejenuhan

kerja (burnout). 11

Efikasi diri (self efficacy) pertama kali diperkenalkan oleh Albert Bandura,

yaitu salah seorang psikolog yang berpengaruh dalam sejarah ilmu psikologi.

Bandura menggunakan teori pembelajaran sosial (Social learning theory), yang

selanjutkan diberi label atau dicap sebagai teori kognitif sosial (Social cognitive

theory) sebagai dasar untuk menganalisis konstruksi efikasi diri (self efficacy). 12

Premis dasar yang menggaris bawahi teori efikasi diri (self efficacy)

menurut Bandura adalah harapan penguasaan pribadi (Self efficacy) dan kesuksesan

(Expectacy outcomes) yang menentukan seorang individu terlibat dalam perilaku

tertentu. 12

Penelitian ini juga relevan dengan penelitian tentang pengaruh efikasi diri

(self efficacy) terhadap kejenuhan kerja (burnout) dilakukan oleh peneliti

sebelumnya seperti Skaalvik & Skaalvik, Schaufeli & Salanova 13, 14 menunjukkan

bahwa efikasi diri (self efficacy) berpengaruh signifikan positip terhadap kejenuhan

kerja (burnout) dan menganggap kelelahan emosional dan depersonalisasi sebagai

unsur sentral dari kejenuhan kerja (burnout). Sedangkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Maharani 15 menunjukkan bahwa efikasi diri (self efficacy)

berpengaruh signifikan negatip terhadap kejenuhan kerja (burnout) atau setidaknya

dapat memperkecil tingkat kejenuhan kerja (burnout) yang dialami. Hasil penelitian

Novita dari hasil analisa data menunjukkan bahwa hubungan antara efikasi diri (self

efficacy) dengan kejenuhan kerja (burnout) menunjukkan hasil semakin tinggi

tingkat efikasi diri (self efficacy) perawat maka semakin rendah kejenuhan kerja

(burnout) nya. Demikian pula, efikasi diri (self efficacy) akan dapat mempengaruhi

usaha dan ketahanan seseorang atau individu dalam menghadapi kesulitan. Individu

dengan efikasi diri (self efficacy) tinggi melihat suatu tugas yang sulit sebagai suatu

tantangan untuk dihadapi. 12

4. KESIMPULAN

Terdapat hubungan antara efikasi diri (self efficacy) dengan penurunan

kejenuhan kerja (burnout) perawat. Hal ini dikarenakan jika perawat memiliki

efikasi diri (self efficacy) yang tinggi maka perawat dapat mengatasi tekanan-

tekanan dari dalam maupun dari luar di lingkungan pekerjaan mereka dengan bijak

sehingga terhindar dari kejenuhan kerja (burnout).

Page 19: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 9 | 231

5. DAFTAR PUSTAKA

Gillies, DA, 1994. Nursing management, a system approach. Third

Edition.Philadelphia: WB Saunders;

Depkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2001 Menuju Indonesia sehat 2010. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI. 2002:40; 2001.

Harrison, DF. 1998. Role stressors, burnout, mediators and job satisfaction:

Astressstrain-outcome model and anempirical test. SocialWork Research,

22, 100-115.

Rachmawati. 12 Mei 2007. 50,9 Persen Perawat Alami Stres Kerja. [Online].

Diunduh:http://www2.kompas.com/Ver1/kesehatan/143801.html.

Hadi, 31 Mei 2009. 51 Persen Perawat Mengalami Stres. [Online]. Diunduh:

http://www.makassar-community.com/kota/824-51-persen-perawat-

mengalami-stres.html.

Iwan M. Ramdan, Oktavian Nursan Fadly. Agustus 2016. Analisis Faktor yang

Berhubungan dengan Burnout pada Perawat Kesehatan Jiwa Volume 4

Nomor 2.

Galindo RH, KVO, F & Ras, L. 2012. Burnout syndrome among nurses in a general

hospital in the city of Recife. Rev Esc Enferm.

Ribeiro, V F, Filho, C., Valenti, V E, Ferreira M., de Abreu L, de Carvalho T.

Ferreira, C. 2014. Prevalence of burnout syndrome in clinical nurses at a

hospital of excellence. International Archives of Medicine, 7(1), 22.

http://doi.org/10.1186/1755-7682-7-22

Musanif. 28 Mei 2007. Perawat Gemar Main Bentak. [Online]. Diunduh:

http://musriadi.multiply.com/journal/item/25/perawat-gemar-main-bentak;

2007.

Ntb. 28 Juni 2007. Oknum Perawat RSU Mataram, Remehkan Pasien Klas

3.[Online]: Diunduh: http://www.nusatenggaranews.com/old/mod.php.

mod=publisher&op=viewarticle&cid=7&artid=1953; 2007.

Priyatin, S. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),

Volume 2, No.3, November 2007.

Bandura, A. Self Efficacy: The Exercise Of Control. New York: Freeman and

Company; 1997.

Skaalvik, E. M., & Skaalvik, S.“Teacher self-efficacy and teacher burnout : Astudy

of relations”. Teaching and Teacher Education. Vol. 26. No. 1. Pp. 1059-

1069; 2010.

Schaufeli, W. B., Salanova, M., Gonzalez-Roma, V., & Bakker, A. The

measurement of burnout and engagement: A confirmatory factor analytic

approach. Journal of Happiness Studies , 3 , 71_92; 2002a.

Maharani D. R. "Pengaruh Self Efficacy terhadap Burnout pada Guru di Kota

Bogor". Jurnal Psikologi Universitas Gajahmada. Vol.1, pp.1-10; 2011.

Lailani F., Hastuti R. & Metta P. Talenta Psikologi Vol. Iii, No. 1, Februari 2014

Page 20: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 10 | 231

Novita D. I. P. dan Dewanti P. D. D. Hubungan Antara Efikasi Diri (Self Efficacy)

dan Stres Kerja Dengan Kejenuhan Kerja (Burnout) Pada Perawat IGD Dan

ICU RSUD Kota Bekasi, 2012. [Online]. Diakses dari

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=94965&val=1228

Lailani. Burnout Pada Perawat Ditinjau dari Efikasi Diri dan Dukungan Sosial.

Talent Psikologi. 2012;1 (1): 66-68

Supriyadi. 2016. Pengaruh Efikasi Diri dan Hubungan Interpersonal Terhadap

Kepuasan Kerja Karyawan. Program Studi Manajemen-Jurusan Manajemen

Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta.

Fatmawati R. 2012. Burnout Staf Perpustakaan Bagian Layanan di Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta. Depok:

Thesis Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia

Page 21: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 11 | 231

TINGKAT KECEMASAN PASIEN YANG AKAN DILAKUKAN

KETETERISASI JANTUNG DI RSUP DR KARIADI

SEMARANG

Kristiana Prasetia Handayani 1 Andrew Johan 2, Chandra Bagus Ropyanto 3 1Mahasiswa Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro, 2,3Staf Pengajar Departemen Keperawatan Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro

email: [email protected]

Abstrak

Kateterisasi jantung merupakan tindakan invasif yang beresiko menimbulkan kecemasan.

Kecemasan pada pasien kateterisasi jantung apabila tidak mendapatkan pengobatan memadai

dapat menyebabkan ketegangan, gelisah, dan membahayakan keberhasilan prosedur berupa

memperpanjang waktu kateterisasi jantung, meningkatkan penggunaan obat penenang, obat nyeri,

dan meningkatkan risiko komplikasi. Tingkat kecemasan pada pasien kateterisasi jantung belum

terdeskripsi dengan baik. Tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan tingkat kecemasan pada pasien

yang akan dilakukan kateterisasi jantung . Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif.

Pengambilan sample menggunakan tehnik simple consecutive sampling, dengan sampel berjumlah

56 pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung di salah satu rumah sakit Semarang. Tingkat

kecemasan diukur dengan instrumen hamilton anxiety rating scale (HARS). Data dianalisis secara

distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan mean 29,21 (kecemasan berat), standart deviasi

8,91, nilai minimal 13 dan nilai maksimal 43. Sebagian besar responden mengalami kecemasan

berat. Deteksi dini tingkat kecemasan dapat mengurangi resiko komplikasi pada pasien yang akan

dilakukan kateterisasi jantung, serta mempercepat waktu rawat inap.

Kata Kunci: Tingkat kecemasan, kateterisasi jantung

Referensi: 76 (2000-2016)

1. PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 melaporkan non

comunicable disease (NCDs) sebesar 36 juta atau hampir dua pertiga dari 57 juta

mengalami kematian karena gangguan kardiovaskuler. Sensus nasional tahun 2011

menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit

jantung koroner (PJK) adalah sebesar 26,4 %. 1,2

Tindakan untuk mengatasi PJK yaitu kateterisasi jantung. Kateterisasi

jantung adalah prosedur pencitraan untuk memasukkan kateter ke dalam bilik atau

pembuluh darah jantung. Terapi Kateterisasi dapat juga dilaksanakan untuk

mengembalikan aliran ke pembuluh darah yang terhambat dengan menggunakan

balon, cincin metal (stent) atau pembuluh darah pintas (graft), untuk membuka

katup jantung stenotik (sempit) dan untuk memperbaiki kerusakan bawaan tanpa

harus menjalani operasi jantung yang besar.1,2,4

Data yang diperoleh dari Centers For Disease Control And Prevention

(CDC) pada tahun 2010 tercatat sebanyak 1 juta orang melakukan kateterisasi

jantung dan ballon angoplasty of coronary artery sebanyak 500.000 orang di

Amerika Serikat. Pada tahun 2006 sebanyak 650 orang yang melakukan kateterisasi

jantung dan meningkat menjadi 1125 orang pada tahun 2007 di Rumah sakit Cipto

Page 22: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 12 | 231

Mangunkusumo, Jakarta. Data yang didapatkan pada tahun 2011 di Rumah Sakit

Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan kita rata-rata sebanyak 15-20

pasien yang dirawat inap setiap harinya, sekitar 350-400 pasien yang berobat ke

poliklinik dan sebanyak 25-30 pasien per hari yang melakukan kateterisasi jantung.5

Data yang diperoleh dari Instalasi jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Umum

Provinsi Dr. Kariadi Semarang pada bulan September dan Oktober tahun 2011

terdapat 133 tindakan kateterisasi jantung. Data pada bulan Desember 2016 terdapat

70 pasien dilakukan tindakan kateterisasi jantung dan 50 pasien mengalami

kecemasan. Hal ini sudah dilakukan studi pendahuluan oleh peneliti dengan melihat

catatan perawatan pasien, asesmen keperawatan rekam medis rawat inap di bagian

psikologis.

Tindakan kateterisasi jantung merupakan tindakan invasif yang bagi

beberapa orang bisa mempunyai dampak. Tindakan ini bisa menimbulkan reaksi

stres baik psikologis maupun secara fisiologis. 2,4

Reaksi psikologis dapat berupa reaksi stres yang ditemukan pada pasien pre

kateterisasi jantung. Berdasarkan Bima pasien pre kateterisasi jantung di RSUP H.

Adam Malik, Medan, 15 % menyatakan secara lisan pasien menyatakan depresi

atau ketakutan, 30% mengalami kesedihan yang mendalam dan 65 % mengalami

kecemasan.4 Data yang diperoleh dari The Official Journal of the British

Association of Critical Care Nurse (2011) didapatkan data 50 pasien mengalami

kecemasan dari 101 pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung. Sementara itu,

European Journal of Nursing Cardiovascular (2012) terdapat 45 pasien mengalami

kecemasan saat akan dilakukan keteterisasi jantung.8 Data Unit laboratorium

kateterisasi jantung rumah sakit Baqiyatallah Teheran Iran 2015 terdapat 32 pasien

mengalami kecemasan dari 64 pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darsih (2012) yang berjudul efektifitas

psikoedukasi dan guided imaginery terhadap kecemasan pasien pre kateterisasi

jantung Di RSUP RD.Sardjito Yogyakarta menggunakan kuesioner Hamilton

Anxety Rating Scale (HARS) didapatkan 35 pasien dari 45 pasien mengalami cemas

saat akan dilakukan kateterisasi jantung, terdiri dari 8 pasien dengan cemas berat,

17 pasien dengan cemas sedang, dan 10 pasien dengan cemas ringan. 9

Kecemasan pada pasien pre kateterisasi jantung disebabkan karena tidak

adanya teman atau sahabat yang mendampingi, penyampaian prosedur pertama kali,

kurangnya informasi yang memuaskan dan lamanya waktu menunggu. Kecemasan

pada pasien kateterisasi jantung apabila tidak mendapatkan pengobatan memadai

dapat menyebabkan ketegangan, gelisah, dan mungkin membahayakan keberhasilan

prosedur.4,6

Dampak buruk yang ditimbulkan pada pasien yang mengalami kecemasan

pada pasien yang akan operasi kateterisasi jantung dapat memperpanjang waktu

kateterisasi jantung, meningkatkan penggunaan obat penenang dan obat nyeri, dan

meningkatkan risiko komplikasi. Ketika seseorang mengalami kecemasan akan

mempengaruhi peningkatan katekolamin sehingga mempengaruhi saraf simpatik

Page 23: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 13 | 231

yang dapat memvasokontrikasi pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan

aktivitas jantung serta perfusi organ vital berkurang sehingga dapat semakin

meningkatkan frekuensi jantung dan pernafasan serta tekanan darah. Hal tersebut

akan memperburuk kondisi jantung.6,7 Tingkat kecemasan pasien yang terdeteksi

secara dini dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi akibat kateterisasi

jantung, sehingga mempercepat waktu rawat inap.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif, pengambilan sample

menggunakan simple consecutive sampling dengan kriteria inklusi partisipan yaitu

pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung, berusia 40-60 tahun, mampu

berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi yaitu pasien tidak mendapatkan anti

depresan, dan pasien tidak mengalami gangguan pendengaran. Penelitian ini diikuti

56 pasien yang akan menjalani kateterisasi jantung. Tingkat kecemasan diukur

dengan instrumen hamilton anxiety rating scale (HARS). Langkah pengambilan data yang pertama yaitu peneliti mengajukan ethical

clearence di KEPK FK UNDIP, mengajukan ijin di RSUP Kariadi, setelah ijin

didapatkan, maka peneliti memilih pasien sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.

Peneliti meminta inform consent pada pasien, dan jika pasien menyetujui maka

peneliti memberikan kuisioner HARS. Pada pasien yang tidak bisa atau tidak

mampu menulis dan membaca maka peneliti membantu menuliskan data pasien.

Data dianalisis secara deskriptif melalui distribusi frekuensi. Penelitian dilakukan di

salah satu tumah sakit kota Semarang.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian didapatkan karakteristik pasien yaitu sebagian besar pasien

berjenis kelamin laki-laki (76%) dan sebagian kecil (24%) perempuan. Usia

responden sebagian besar 53-65 tahun (68%) dan sebagian kecil 40-52 tahun (32%).

Sebagian besar pasien berpendidikan dibawah sekolah menengah yaitu 62%,

sedangkan 38% berpendidikan diatas sekolah menengah atas. Dukungan sosial

pasien berupa motivasi keluarga, perawatan kepada pasien, dan perhatian oleh

keluarga pada responden sebagian besar (55%) baik, dan 45% kurang baik.

Hasil penelitian menunjukkan mean 29,21 (kecemasan berat), standart

deviasi 8,91, nilai minimal 13 dan nilai maksimal 43. Sebagian besar responden

mengalami kecemasan berat

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 56 responden yang

dilakukan pengukuran kecemasan pre kateterisasi jantung menggunakan HARS

mengalami kecemasan yang berbeda. Kecemasan yang terjadi disebabkan adanya

Page 24: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 14 | 231

ketakutan terhadap prosedur kateterisasi, kurangnya dukungan keluarga, kurangnya

informasi kepada pasien, dan rendahnya tingkat pendidikan pasien.

Dampak dari kecemasan kecemasan berat antara lain dapat memperpanjang

waktu kateterisasi jantung, meningkatkan resiko komplikasi, memperburuk kondisi

jantung. Upaya untuk mengatasi masalah kecemasan selain diberikan terapi

komplementer juga dari individu sendiri, berupa koping dari individu tersebut.

Koping individu tersebut pada akhirnya menerima dan pasrah dengan sendirinya.

Kecemasan bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : lama dirawat di

rumah sakit, takut akan dilakukan kateterisasi, baru pertama kali dilakukan

kateterisasi, penyampaian prosedur yang pertama kali, tidak ada teman atau sahabat

yang mendampingi, kurangnya informasi yang memuaskan, dan lamanya waktu

menunggu. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Bima yaitu

kecemasan dan kepuasan yang dialami pasien pre kateterisasi jantung. Pada

penelitian Taylor Pilliae menjelaskan bahwa kategori kecemasan tidak hanya

kecemasan berat dan pada pasien pre kateterisasi mengalami kecemasan lebih

tinggi.4,17 Teori kecemasan juga menyatakan hal yang sama tentang penyebab dari

munculnya kecemasan.6 Pada penelitian Ghetty Claire menyatakan bahwa status

afektif seseorang menurun menyebabkan cemas saat menunggu proses pre

kateterisasi. Pada dasarnya pasien pre kateterisasi jantung mengalami kecemasan

baik kecemasan ringan, sedang, berat pada kelompok intervensi maupun kelompok

kontrol.

Implikasi dari penelitian ini yaitu diketahuinya tingkat kecemasan pada

pasien kateterisasi jantung sehingga terdapat upaya deteksi dini, pencegahan dan

peningkatan edukasi kepada pasien dan keluarga untuk pencegahan komplikasi

akibat kecemasan yang dialami pasien.

Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu peneliti belum menghomogenkan

karakteristik responden secara ketat. Seabagai contoh usia responden berada pada

rentang 40-65 tahun dimana responden akan memiliki kematangan berfikir pada

usia lebih tua. Responden laki-laki dan responden wanita akan memiliki tingkat

kecemasan yang berbeda.

4. KESIMPULAN

Sebagian besar responden mengalami kecemasan berat. Deteksi dini tingkat

kecemasan dapat mengurangi resiko komplikasi pada pasien yang akan dilakukan

kateterisasi jantung, serta mempercepat waktu rawat inap.

Saran yaitu perlu dibentuk tim pengendali kecemasan pasien yang bertugas

untuk mendeteksi tingkat kecemasan pasien, serta tim tersebut memiliki keahlian

khusus untuk mengatasi kecemasan seperti bersertifikasi mindfullness, hipnoterapi,

terapi musik dan terapi komplementer lainnya.

Rekomendasi yaitu perlu di buat instrumen pengukur kecemasan yang

mudah digunakan dengan indikator baik berupa kajian fisik dan psikologis sehingga

lebih valid dan reliable.

Page 25: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 15 | 231

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis kepada tim publikasi dan tim klinik tesis

beserta dosen jurusan keperwatan Universitas Diponegoro yang telah memotivasi

dan memberikan arahan solutif untuk kami. Ucapan teriamaksih kepada perawat di

rumah sakit umum pusat Dr Kariadi, serta pihak yang turut membantu kelancaran

penelitian ini.

5. DAFTAR PUSTAKA

Lilly LS, Braunwald E. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular

Medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Health Sciences, 2014.

Douglas L. Mann, Zipes DP, Libby P, et al. Cardiac Catheterization. In:

Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine.

Philadelphia: Elsevier Health Sciences, 2014, pp. 383–404.

Aaronson PI, Ward JPT, Connolly MJ. The Cardiovascular System at a Glance. 4th

ed. Malden: Wiley-Blackwell, 2012.

Bima I. Tingkat Kepuasan Pasien dilakukan Tindakan Kateterisasi Jantung RSUP

H. Adam Malik Medan. Humas RSUP H. Adam Malik.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset

Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta, 2013.

Andri, P. YD. Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan Berbagai

Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Maj Kedokt Indones 2007; 57:

233–238.

Safaria T, Nofrans SE. Manajemen Emosi : Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana

Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Jakarta: Sinar Grafika Offset,

2009.

Weeks BP, Nilsson U. Music interventions in patients during coronary angiographic

procedures: A randomized controlled study of the effect on patients’ anxiety

and well-being. Eur J Cardiovasc Nurs 2011; 10: 88–93.

Darsih. Efektifitas Psikoedukasi dan Guided Imagery terhadap kecemasan pasien

PRE Kateterisasi Jantung Di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Muhamadyah

Yogyakarta, 2013.

Gemilang J. Buku Pintar Manajemen Stres & Emosi. Yogyakarta: Mantra Books,

2014.

Asrin, Mulidah S, Triyanto E. Upaya Pengendalian Respon Emosional Paseien

Hipertensi dengan Terapi Musik Dominan Frekuensi Sedang. J

Keperawatan Soedirman (The Soedirman J Nursing) 2009; 4: 17–23.

Karanci AN, Dirik G. Predictors of pre- and postoperative anxiety in emergency

surgery patients. 2003; 55: 363–369.

Supriadi D, Hutabarat E, Vera M. Pengaruh terapi musik tradisional kecapi suling

sunda terhadap tekanan darah pada lansia dengan hipertensi. Sk

Keperawatan 2015; 1: 29–36.

Page 26: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 16 | 231

Syaifuddin. Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:

Salemba Medika, 2011.

Djohan. Terapi Musik : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galang Press Group, 2009.

Yustiana. Pengaruh Terapi Musik Jawa Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia

Dengan Hipertensi di Posyandu Lansia Kusumasari Blimbingsari

Yogyakarta. Gadjah Mada, 2009.

Lestari R, Setyohadi, Kumboyono, et al. Pengaruh Musik Tradisional Jawa

Terhadap Penurunan Skor Depresi Pada Lanjut Usia. J Ilmu Keperawatan

2009; 4: 141–145.

Lee KC, Chao YH, Yiin JJ, et al. Effectiveness of different music-playing devices

for reducing preoperative anxiety: A clinical control study. Int J Nurs Stud

2011; 48: 1180–1187.

Taylor-Piliae RE. The effect of nursing intervention utilizing music therapy or

sensory information on Chinese patients anxiety prior to cardiac

catheterization. Eur J Cardiovasc Nurs 2002; 1: 203–211.

Zengin S, Kabul S, Al B, et al. Effects of music therapy on pain and anxiety in

patients undergoing port catheter placement procedure. Complement Ther

Med 2013; 21: 689–696.

Ghetti CM. Effect of music therapy with emotional-approach coping on

preprocedural anxiety in cardiac catheterization: A randomized controlled

trial. J Musik Ther 2013; 50: 93–122.

Bauer B a, Cutshall S a, Anderson PG, et al. Effect of the combination of music and

nature sounds on pain and anxiety in cardiac surgical patients: a randomized

study. Altern Ther Heal Med 2011; 17: 16–23.

Hati FNAN. Pengaruh Musik Klasik dan Musik Jawa Terhadap Fungsi Kognitif

Pada Penderita Stroke Iskemik Akut. Gadjah Mada, 2010.

Price SA. Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. 2nd ed. Jakarta:

EGC, 1984.

Carpenitto LJ. Diagnosis Keperawatan. 6th ed. Jakarta: EGC, 2000.

Heather T. Herdman SK. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 –

2017. 10th ed. Jakarta: EGC, 2014.

Pritchard MJ. Managing anxiety in the elective surgical patient. Br J Nurs 2009; 18:

416–420.

Suherman A. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Ahmad Yani, 2009.

Hamel WJ. The effects of music intervention on anxiety in the patient waiting for

cardiac catheterization. Intensive Crit Care Nurs 2001; 17: 279–85.

Donzuso G, Cerasa A, Gioia MC, et al. The neuroanatomical correlates of anxiety

in a healthy population: Differences between the state-trait anxiety inventory

and the Hamilton anxiety rating scale. Brain Behav 2014; 4: 504–514.

Butcher HK, Bulechek GM, Dochterman JMMC, et al. Nursing Interventions

Classification (NIC). 6th ed. St. Louis Missouri: Elsevier Health Sciences,

2013.

Page 27: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 17 | 231

Aitken LM, Marshall AP, Elliott R, et al. Critical care nurses’ decision making:

Sedation assessment and management in intensive care. J Clin Nurs 2009;

18: 36–45.

Aung SKH, Lee MHM. Music, Sounds, Medicine, and Meditation: An Integrative

Approach to the Healing Arts. Altern Complement Ther 2004; 10: 266–270.

Anonymous. Music Therapy and Music-Based Interventions in the Treatment and

Management of Pain: Selected References and Key Findings. 2001; 22: 1–4.

Suryana D. Terapi Musik. Jakarta: Createspace, 2012.

Talwar N, Crawford MJ, Maratos A, et al. Music therapy for in-patients with

schizophrenia : Exploratory randomised controlled trial. Br J Psychiatry

2012; 189: 405–409.

Haque A. Psychology from Islamic perspective: Contributions of early Muslim

scholars and challenges to contemporary Muslim psychologists. J Relig

Health 2004; 43: 357–377.

Murrock CJ, Higgins PA. The theory of music, mood and movement to improve

health outcomes: Discussion paper. J Adv Nurs 2009; 65: 2249–2257.

Gallagher LM. The role of music therapy in palliative medicine and supportive care.

Semin Oncol 2011; 38: 403–406.

Bauer-Wu SM. Psychoneuroimmunology. Part II: Mind-body interventions. Clin J

Oncol Nurs 2002; 6: 243–246.

Hart J. Music Therapy for Children and Adults with Cancer. Altern Complement

Ther 2009; 15: 221–225.

Cooke M, Chaboyer W, Hiratos MA. Music and its effect on anxiety in short

waiting periods: A critical appraisal. J Clin Nurs 2005; 14: 145–155.

Evans D. Music as an Intervention in Hospitals. Manag Heal; 2009; 11.

Staum MJ, Brotons M. The Effect of Music Volume on the Relaxation Response.

Journal of Music Therapy 2000; 37: 22–39.

Practice B, Sheet I. The Joanna Briggs Institute Best Practice Information Sheet:

Music as an intervention in hospitals. Nurs Heal Sci 2011; 13: 99–102.

Comeaux T, Steele-Moses S. The effect of complementary music therapy on the

patient’s postoperative state anxiety, pain control, and environmental noise

satisfaction. Medsurg Nurs 2013; 22: 313.

Lindau B. Symposium report: Music & amp; Science: Practice &amp;

Convergence—An Organic Symposium. Psychomusikology Music Mind,

Brain 2013; 23: 123–126.

Ebneshahidi A, Mohseni M. The Effect of Patient-Selected Music on Early

Postoperative Pain, Anxiety, and Hemodynamic Profile in Cesarean Section

Surgery. J Altern Complement Med 2008; 14: 827–831.

Nilsson U, Unosson M, Rawal N. Stress reduction and analgesia in patients exposed

to calming music postoperatively: a randomized controlled trial. Eur J

Anaesthesiol 2005; 22: 96–102.

Twiss E, Seaver J, McCaffrey R. The effect of music listening on older adults

Page 28: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 18 | 231

undergoing cardiovascular surgery. Nurs Crit Care 2006; 11: 224–231.

Wilson L, Kolcaba K. Practical application of comfort theory in the perianesthesia

setting. J Perianesthesia Nurs 2004; 19: 164–173.

Alligood MR. Nursing theorists and their work. 8th ed. Nort Carolina: Elsevier

Health Sciences, 2014.

Arikunto S. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. 6th ed. Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2006.

Hidayat AAA. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. 2nd ed. Jakarta:

Salemba Medika, 2007.

Evans D. The effectiveness of music as an intervention for hospital patients: A

systematic review. J Adv Nurs 2002; 37: 8–18.

Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. 3rd ed. Jakarta:

CV. Sagung Seto, 2008.

Dahlan MS. Statistik Untuk Kedokteran. 5th ed. Jakarta: Salemba Medika, 2011.

Castillo MI, Aitken LM, Cooke ML. Study protocol: Intensive care anxiety and

emotional recovery (Icare) - A prospective study. Aust Crit Care 2013; 26:

142–147.

Frazier SK, Moser DK, Riegel B, et al. Critical care nurses’ assesment of patients’

anxiety: Reliance on physiological and behavioral parameters. Am J Crit

Care 2002; 11: 57–64.

Ottaviani S, Jean-Luc B, Thomas B, et al. Effect of music on anxiety and pain

during joint lavage for knee osteoarthritis. Clin Rheumatol 2012; 31: 531–

534.

Suhartini. Effectiveness of Music Therapy Toward Reducing Patient ’ S Anxiety in

Intensive Care Unit. Media Ners 2008; 2: 31–36.

Green CW, Setyowati H. Terapi Alternatif. Jakarta: Yayasan Spiritia, 2005.

Setyawan D, Susilaningsih FS, Emaliyawati E. Intervensi Terapi Musik Relaksasi

dan Suara Alam (Nature Sound) Terhadap Tingkat Nyeri dan Kecemasan. J

Keperawatan dan Kebidanan 2013; 1: 448–462.

Chlan LL. Relationship between two anxiety instruments in patients receiving

mechanical ventilatory support. J Adv Nurs 2004; 48: 493–499.

Page 29: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 19 | 231

HUBUNGAN SIKAP, NORMA SUBYEKTIF DENGAN

KEIKUTSERTAAN PUS DALAM DETEKSI DINI KANKER

SERVIKS DI PUSKESMAS SINGOSARI MALANG.

Tutik Herawati 1 Joko Wiyono 2, GM Sindarti 3 1, 2, 3

Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Malang

Jl. Besar Ijen 77 Malang

email: [email protected]

Abstrak

Tingginya kasus kanker servik menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita

kanker serviks terbanyak di dunia. Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang mempunyai

jumla kasus kanker serviks yang cukup tinggi, sebanyak 11,25% dan kota Malang merupakan

penyumbang terbesar jumlah kasus kanker servik (Yeni S:2013). Penelitian ini bertujuan

mengetahui hubungan sikap, norma subyektif dengan keikutsertaan pasangan usia subur dalam

deteksi dini kanker servik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi dengan

pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah PUS yang berkunjung di

Puskesmas Singosari, pengambilan sampel dilakukan dengan metode pursosive sampling. Uji

statistik menggunakan Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for windows 17.

Hasil penelitian menunjukan sikap yang mendukung deteksi dini kanker serviks sebanyak

92%.Norma subyektif positip dalam deteksi dini kanker serviks sebanyak 69,5%. Keikutsertaan PUS

dalam deteksi dini kanker serviks sebanyak 78%. Hasil uji statistik menggunakan rumus non

parametric Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for windows 17 pada tingkat signifikasi

0,05. Untuk sikap dengan deteksi dini kanker serviks menunjukan terlihat nilai Koefisien korelasi

rho’ adalah 0,279 menunjukkan arah korelasi yang positif artinya sikap semakin meningkat maka

keikutsertaan deteksi dini kanker serviks semakin baik. Sedangkan nilai p-value 0,033 (p < 0,05),

yang berarti menolak H0, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara sikap dengan

keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS di Puskesmas Singosari Malang. Untuk norma

subyektif dengan deteksi dini kanker serviks menunjukan terlihat nilai Koefisien korelasi rho’ adalah

0,305 menunjukkan arah korelasi yang positif artinya norma subyektif semakin meningkat maka

keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS semakin baik. Sedangkan nilai p-value 0,019 (p <

0,05), yang berarti menolak H0, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara norma subyektif

dengan keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS di Puskesmas Singosari Malang.

Rekomendasi penelitian ini : Perencanaan program khususnya untuk meningkatkan keikutsertaan

deteksi dini kanker serviks perlu melibatkan keluarga dan teman sebagai pemberi dukungan sosial

pertama pada ibu yang bisa dilakukan berupa memberikan informasi dan merupakan komponen

yang banyak memberi pengaruh terhadap norma subyektif dalam deteksi dini kanker serviks.

Kata Kunci : Sikap, Norma Subyektif, Pus, Deteksi Dini, Kanker Servik

1. PENDAHULUAN

Tingginya kasus kanker servik di Indonesia membuat WHO menempatkan

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita kanker serviks terbanyak di

dunia. Di tingkat propinsi, Jawa Timur penderita kanker servik meningkat dari

tahun ke tahun dan menduduki urutan kedua setelah kanker payudara, dalam dua

terakhir dari 800 menjadi 1000 penderita. Jawa Timur merupakan salah satu

propinsi yang mempunyai jumla kasus kanker serviks yang cukup tinggi, sebanyak

11,25% dan kota Malang merupakan penyumbang terbesar jumlah kasus kanker

servik ( Yeni S, 2013 ). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kanker

servik diantaranya kawin muda, pendidikan, pekerjaan dan tingginya sering

Page 30: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 20 | 231

melahirkan ( FKUI Jakarta,2000 dalam kumpulan KTI Kebidanan, 2011). Ketua

Yayasan Kanker Indonesia Ny. Umar Wira hadi Kusuma mengatakan, deteksi

kanker sesgera mungkin merupakan solusi terbaik untuk mencegah penyakit kanker

menjalar dan meluas dalam tubuh. Banyak metode yang bisa digunakan untuk

deteksi dini kanker servik yaitu Metode Pap Smear. Metode ini merupakan salah

satu tindakan awal untuk mencegah servik. Selain itu dapat dilakukan dengan cara

Pap Net, Thin prep dan IV ( Inspeksi Visiual Asam Asetat ) yaitu pemeriksaan

dengan asam asetat 4%. Di Indonesia factor keterlambatan diagnosis karena

mahalnya obat dan biaya perawatan merupakan kendala utama penanganan

penyakit kanker (Kusumaningsih, 2009). Meskipun jumlah penderitanya tinggi

namun kesadaran untuk melakukan upaya pemeriksaan sebagai deteksi dini masih

rendah. Untuk mengetahui factor penyebabnya akan di telaah dengan teori intense

sebagaimana telah dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Teori intense

mengungkapkan bahwa prilaku individu termasuk dalam kaitan ini adalah

fenomena kesadaran individu wanita untuk melakukan pemeriksaan /deteksi dini

kanker servik.

2. METODE PENELITIAN

Untuk mengetahui hubungan sikap, norma subyektif dengan keikutsertaan

PUS dalam pemeriksaan deteksi dini kanker servik. Desain penelitian yg digunakan

adalah korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini

adalah PUS yang berkunjung di Puskesmas Singosari, pengambilan sampel

dilakukan dengan metode pursosive sampling dengan jumlah 59 responden. Uji

statistik menggunakan Spearman Rho’ dgn bantuan program SPSS for windows 17

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik responden berdasarkan usia

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia PUS di

Puskesmas Singosari Malang.

No Usia (tahun) Frekuensi Prosentase

1 < 30 tahun 21 35,6%

2 30 – 40 tahun 28 47,5%

3 > 40 tahun 11 16,9%

Jumlah 59 100

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di

Puskesmas Singosari Malang.

No Pendidikan Frekuensi Prosentase

1 SD 5 8,5%

2 SMP 14 24%

Page 31: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 21 | 231

3 SMA 33 56%

4 PT 7 11,5%

Jumlah 59 100 %

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa responden dengan pendidikan

SMA sebanyak 33 orang (56 %).

Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di

Puskesmas Singosari Malang.

No Pekerjaan Frekuensi Prosentase

1 IRT 26 44%

2 Karyawan 25 42%

3 PNS 5 14%

Jumlah 59 100 %

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui responden yang sebagai ibu rumah

tangga sebanyak 26 orang (44%).

Karakteristik responden berdasarkan cara mendapatkan informasi

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan cara mendapatkan

informasi PUS di Puskesmas Singosari Malang.

No Cara mendapatkan informasi Frekuensi Prosentase

1 Keluarga/teman 30 50,8%

2 Media cetak/elektronik 13 22%

3 Petugas 16 27,2%

Jumlah 59 100%

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui cara responden mendapatkan

informasi tentang kesehatan sebanyak 30 orang (50,8%) melalui

keluarga/teman dan sebanyak 16 (27,2%) melalui petugas kesehatan.

Karakteristik responden berdasarkan orang yang paling mempengaruhi niat

melakukan deteksi dini kanker serviks

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan orang yang paling

mempengaruhi niat melakukan deteksi dini kanker serviks.

No Orang yang paling mempengaruhi keikut sertaan

deteksi Frekuensi Prosentase

1 Keluarga 46 78%

2 Petugas 9 15,3%

3 Teman 4 6,7%

Jumlah 59 100%

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui keluarga sebagai orang yang paling

mempengaruhi niat melakukan deteksi dini kanker serviks sebanyak 46

orang (78%).

Page 32: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 22 | 231

4.1.1 Data Khusus

Data khusus merupakan data yang berhubungan langsung dengan variabel

yang diteliti, antara lain sikap, norma subyektif dan keikutsertaan pasangan usia

subur (PUS) dalam pemeriksaan deteksi dini kanker servik di Puskesmas Singosari

Malang.

Distribusi frekuensi sikap, norma subyektif PUS dalam pencegahan dan

deteksi dini kanker serviks

Distribusi frekuensi sikap PUS dalam pencegahan dan deteksi dini

kanker serviks

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan sikap PUS dalam

pencegahan dan keikutsertaan dalam deteksi dini kanker serviks di

Puskesmas Singosari Malang

No Sikap Frekuensi (%)

1 Mendukung 54 92%

2 Tidak mendukung 5 8%

Jumlah 59 100%

Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa sikap responden yang mendukung

dalam pencegahan dan keikutsertaan deteksi dini kanker serviks sebanyak

55 orang (93%)

Distribusi frekuensi norma subyektif PUS dalam pencegahan dan

deteksi dini kanker serviks

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Norma subyektif PUS

dalam pencegahan dan keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker

serviks di Puskesmas Singosari Malang

No Norma subyektif Frekuensi (%)

1 Positip 49 69,5%

2 Negatif 10 30.5%

Jumlah 59 100%

Dari tabel 4.7 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai norma

subyektif positip dalam pencegahan dan deteksi dini kanker serviks

sebanyak 41 orang (69,5%)

Distribusi frekuensi keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker

serviks

Page 33: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 23 | 231

Tabel 4.8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Keikutsertaan PUS

dalam deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Singosari Malang

No Keikutsertaan PUS dlm deteksi dini kanker serviks Frekuensi (%)

1 Pernah 46 78%

2 Tidak pernah 13 22%

Jumlah 59 100%

Dari tabel 4.8 dapat diketahui frekuensi PUS yang pernah melakukan

pemeriksaan deteksi dini kanker serviks sebanyak 46 orang (78%)

2. Analisa Hubungan Sikap, norma subyektif dengan keikutsertaan PUS

dalam deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Singosari Malang

a. Sikap dengan keikutsertaan deteksi dini kanker serviks

Tabel 4.9 Hasil Analisa Uji Statistik sikap dengan keikutsertaan deteksi dini

statistik PUS di Puskesmas Singosari Malang

Variabel R Ρv Keputusan

• Sikap

• Keikutsertaan deteksi dini

kanker serviks

0,279

0,033 Ρv < α(0,05)

Ho ditolak

Berdasarkan tabel 4.9 didapatkan hasil dari pengolahan data menggunakan

rumus non parametric Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for

windows 17 pada tingkat signifikasi 0,05. Hal ini dapat terlihat nilai

Koefisien korelasi rho’ adalah 0,279 menunjukkan arah korelasi yang positif

artinya sikap semakin meningkat maka keikutsertaan deteksi dini kanker

serviks semakin baik. Sedangkan nilai p-value 0,033 (p < 0,05), yang berarti

menolak H0, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara sikap dengan

keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS di Puskesmas Singosari

Malang.

b. Norma subyektif dengan keikutsertaan kanker serviks

Tabel 4.10 Hasil Analisa Uji Statistik norma subyektif dengan keikutsertaan

deteksi dini kanker serviks PUS di Puskesmas Singosari Malang.

variabel R Ρv Keputusan

• Norma subyektif

• Keikutsertaan deteksi dini

kanker serviks

0,305

0,019 Ρv < α(0,05)

Ho ditolak

Berdasarkan tabel 4.10 didapatkan hasil dari pengolahan data menggunakan

rumus non parametric Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for

Page 34: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 24 | 231

windows 17 pada tingkat signifikasi 0,05. Hal ini dapat terlihat nilai

Koefisien korelasi rho’ adalah 0,305 menunjukkan arah korelasi yang positif

artinya norma subyektif semakin meningkat maka keikutsertaan deteksi dini

kanker serviks PUS semakin baik. Sedangkan nilai p-value 0,019 (p < 0,05),

yang berarti menolak H0, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara

norma subyektif dengan keikutsertaan deteksi dini kanker serviks PUS di

Puskesmas Singosari Malang.

4. Pembahasan

a. Sikap, norma subyektif

Setelah dilakukan penelitian terhadap 59 responden didapatkan sebanyak 92

% memberikan dukungan terhadap keikutsertaan dalam pencegahan dan

keikutsertaan deteksi dini kanker serviks. Menurut Azwar (2007) Fenomena sikap

yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi

juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di

saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Tingginya

sikap mendukung yaitu 92 % dimungkinkan disebabkan pendidikan yang tinggi

karena semakin tinggi pendidikan maka akan meningkatkan pula wawasan.

Peningkatan wawasan ini menumbuhkan harapan-harapan untuk masa yang akan

datang. Wawasan yang luas mengakibatkan pandangan ke depan semakin jauh dan

luas serta terencana dengan baik.

Usia juga mempengaruhi hasil dari sikap mendukung yang tinggi. Usia 30

sampai 40 tahun memungkinkan orang sudah mempunyai pergaulan dan jaringan

yang luas sehingga akan berdampak pada pengetahuan tentang kanker servik

menjadi lebih mendalam. Pengetahuan tentang kanker serviks yang tinggi ini akan

mengakibatkan seseorang akan berusaha untuk mengantisipasinya.

Mudahnya memperoleh informasi baik melalui teman, media cetak atau

elektronik serta jangkauan serta kemudahan petugas bertemu dengan masyarakat

juga mempengaruhi kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan kanker

serviks yang melandasi terbangunnya sikap mendukung pencegahan kanker serviks.

Hal ini dapat ditunjukan semua responden mempunyai cara memperoleh informasi

yang berbeda-beda tetapi semua dapat terfasilitasi dengan baik. Kemudahan

mobilisasi masyarakat dan kebutuhan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

mengharuskan untuk keluar dari rumah dan berjumpa satu dengan yang lain

sehingga pertukaran informasi yang berdampak pada wawasan dalam pencegahan

kankser serviks menjadi meningkat.

Norma subyektif dalam keikutsertaan pencegahan dan deteksi dini kanker

serviks didapatkan sebanyak 69,5 % mempunyai norma subyektif positip. Fishbein

dan Ajzen (1975) menerangkan norma subyektif merupakan persepsi individu

berhubungan dengan kebanyakan dari orang-orang yang penting bagi dirinya

mengaharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan tingkah laku

tertentu, orang – orang yang penting bagi dirinya itu kemudian dijadikan acuan atau

Page 35: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 25 | 231

patokan untuk mengarahkan tingkah laku. Norma Subyektif masih terkait dengan

beliefs (keyakinan-keyakinan). Belief dalam norma subyektif merupakan

representasi persepsi dari significant others (tokoh panutan) baik perorangan

maupun berkelompok yang kemudian mempengaruhi individu apakah akan

menampilkan perilaku atau tidak. Pendapat lain norma subyektif menurut Eagly dan

Chaiken (1993) ditentukan oleh dua hal yaitu : pertama normative beliefe,

merupakan keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain

baik perorangan maupun kelompok yang penting dan berpengaruh bagi individu

yang biasa disebut dengan significant others (tokoh panutan) yang menjadi acuan

untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu. Maka individu termotivasi

untuk melakukan tingkah laku tersebut. Kedua motivation to comply, yaitu seberapa

jauh motivasi individu untuk mengikuti pendapat tokoh panutan tersebut. Tingginya

norma subyektif dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : Usia dan keluarga. Usia

pertengahan merupakan usia pencarian dan pemantapan dalam siklus kehidupan

manusia. Pada periode usia ini berusahan mencari tokoh panutan yang dapat

dijadikan pedoman dalam melakukan tindakan tertentu, hal ini ditunjukan hasil

penelitian usia antara 30 sampai 40 tahun sebanyak 47,5%.

Keluarga dalam budaya Indonesia masih menjunjung tinggi adat ketimuran

yaitu menghormati orang-orang yang lebih tua dan mempunyai sifat gotong royong

yang tinggi serta mempunyai ikatan yang tinggi bahkan seringkali anggota keluarga

tinggal bersama keluarga sepanjang hidupnya sampai akhir hayatnya. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang ditunjukan dengan keluarga menjadi factor yang paling

mempengaruhi keikutsertaan deteksi dini kanker serviks sebanyak 78 %.

b. Keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker serviks

Menurut hasil penelitian tingkat keikutsertaan PUS dalam deteksi dini

kanker serviks sebanyak 78 % pernah melakukan pemeriksaan kanker serviks.

Teori Lawrence Green menggambarkan perilaku sesorang atau masyrakat

tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan

sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu,

ketersediaan fasilitas, sikap, yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan

fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan

mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Tingginya tingkat keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker serviks

dipengaruhi oleh pendidikan yaitu sebanyak 56 % mempunyai pendidikan SMA,

kemudahan dalam memperoleh informasi yang meningkatkan pengetahuan yaitu

keluarga/teman sebanyak 50,8%, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas

kesehatan dimana setiap pelayanan kesehatan sudah mampu melakukan deteksi dini

kanker serviks dan dorongan dari orang-orang yang menjadi panutan yang

ditunjukan hasil penelitian keluarga merupakan faktor yang paling mempengaruhi

keikutsertaan deteksi dini kanker serviks sebanyak 78%.

Page 36: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 26 | 231

c. Hubungan Sikap, norma subyektif dengan keikutsertaan PUS dalam deteksi

dini kanker serviks

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa hubungan sikap dengan keikutsertaan

PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan uji statistik non parametric

Spearman Rho’ dengan bantuan program SPSS for windows 17 pada tingkat

signifikasi 0,05, menunjukan bahwa nilai Koefisien korelasi rho’ adalah 0,279 yang

berarti menunjukkan arah korelasi yang positif, yaitu sikap semakin meningkat

maka keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker serviks semakin baik.

Sedangkan nilai p-value 0,033 (p < 0,05), yang berarti menolak H0, sehingga dapat

disimpulkan ada hubungan antara sikap dengan keikutsertaan PUS dalam deteksi

dini kanker serviks di Puskesmas Singosari Malang.

Sedangkan hubungan norma subyektif dengan keikutsertaan PUS dalam

deteksi dini kanker serviks dengan uji statistik non parametric Spearman Rho’

dengan bantuan program SPSS for windows 17 pada tingkat signifikasi 0,05,

menunjukan bahwa nilai Koefisien korelasi rho’ adalah 0,305 yang berarti

menunjukkan arah korelasi yang positif, yaitu norma subyektif semakin meningkat

maka keikutsertaan PUS dalam deteksi dini kanker serviks semakin baik.

Sedangkan nilai p-value 0,019 (p < 0,05), yang berarti menolak H0, sehingga dapat

disimpulkan ada hubungan antara norma subyektif dengan keikutsertaan PUS dalam

deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Singosari Malang.

Sikap mempunyai hubungan dengan keikutsertaan deteksi dini kanker

serviks sesuai dengan pendapat Fishben & Ajzen bahwa sikap sebagai predisposisi

yang dipelajari untuk

merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek

tertentu. Pendapat lain disampaikan Sherif & Sherif yaitu sikap menentukan

keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus

manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang

memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni &

Hudaniah, 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap yang mendukung

terhadap pencegahan kanker serviks akan berdampak pada peningkatan

keikutsertaan dalam deteksi dini kanker serviks sebagai salah satu tindakan

pencegahan kanker serviks.

Menurut Fishbein & Ajzen (1975) terlahirnya sikap merupakan hasil dari

pemikiran tentang konsekwensi berperilaku dengan dua komponen pembentuk

sikap yang pertama yaitu behavioral belief (keyakinan individu untuk melakukan

sesuatu, dalam penelitian ini behevioral belief yang dimaksud adalah keyakinan

untuk melakukan pencegahan kanker serviks dengan melakukan deteksi dini kanker

serviks) dan evaluation of behavioral belief (evaluasi perilaku apakah positif atau

negatif berdasarkan keyakinan yang dimilikinya, dalam penelitian ini yang

dimaksud dengan evaluation of behavioral belief adalah nilai positif terhadap

keikutsertaan deteksi dini kanker serviks atau nilai negatif terhadap keikutsertaan

deteksi dini kanker serviks sebagai pertimbangan sebaiknya dimunculkan atau tidak

Page 37: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 27 | 231

dimunculkan dalam bentuk perilaku). Sedangkan norma subyektif dipengaruhi oleh

tokoh panutan (significant other) sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan

atau tidak keikutsertaan deteksi dini kanker serviks tersebut.

5. DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, Icek., 1988. Attitudes, Personality & Behaviour. Open University Press :

Buckingham.

Azjen, Icek & Fishbein, M.,1975. Understanding Attitudes and Predicting Social

Behavior. Eng-lewood Cliffs. Prentice-Hall.

Ajzen, Icek.,1988. Attitudes, Personality and Behavior. Milton Keynes: OUP.

Ajzen, Icek. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and

Human Decision Processes. Englewood Cliffs.Prentice- Hall.

Ajzen, Icek 2006. Changing the behavior of people. Explanation of Theory of

Planned Behavior. Journal 12 Manage The Executive Fast Track.

www.12manage.com.

Baron, Robert A & Byrne, Donn. 2001. Social Psychology. A Pearson Education

Company .Massachusetts.

Gochman, David S, 1997.Handbook of Health Behavior Research: Personal and

Social Determinants.Plenum Press .New York and London.

Moedjiono, Atika Walujani, 2010.”Perlu Kemauan Politik untuk Atasi Epidemi”

Dalam Harian KOMPAS. 15 Januari 2010. Hal. 45.

Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan . Rineka Cipta. Jakarta

Rakhmat, Jalaludddin. 1991. Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi contoh

analisis statistik.Remaja Rosdakarya. Bandung

Susanti, Ni Nengah 2002 Analisis keterlambatan pasien kanker serviks dalam

memeriksakan diridi rumah sakit umum pusat nasional Dr. Cipto

Mangunkusumo, Jakarta. Thesis. Dalam http:// digilib.ui.ac.id

/opac/themes/libri2/ (26 September 2011) Tinggi, Penderita Kanker Leher

Rahim di Banyumas,Radar Banyumas 17/02/2009

Taufiqurahman, M A. ,2009. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu

Kesehatan. UNS Press.Surakarta.

Yamane, Taro, 1967. Elementary Sampling Theory. Englewood Cliffs. Prentice

Hall.

Page 38: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 28 | 231

EFEKTIFITAS PENYULUHAN KESEHATAN GIGI BERBASIS

MULTIMEDIA TERHADAP PENGETAHUAN SISWA KELAS

VI DI SD NEGERI 01 ABELI KELURAHAN TOBIMEITA

KECAMATAN ABELI

Sahmad1, Reni Devianti Usman 2, Endang Sastrawati3

1Dosen Pengajar Poltekkes Kendari, 2Dosen Pengajar Poltekkes Kendari, 3Stikes Karya

Kesehatan Kendari

Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia

terhadap pengetahuan siswa kelas VI SD Negeri 01 Abeli Kelurahan Tobimeita Kota Kendari tahun

2016. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi Eksperiment.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VI yang tercatat bersekolah di Sekolah

Dasar Negeri 01 Abeli yaitu sebanyak 33 siswa dan cara pengambilan sampel menggunakan total

sampling yaitu seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh menggunakan kuesioner dan uji

menggunakan uji wilcoxson.

Hasil uji Wilcoxson diperoleh ada pengaruh penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia

terhadap pengetahuan siswa mengenai cara menyikat gigi dengan nilai (α=0,05) dan nilai p=0,001

dimana nilai p 0,001<α=0,05, untuk makanan yang menyebabkan karies gigi memiliki nilai

(α=0,05) dan nilai p=0.001 dimana nilai p0,001<α=0,05, untuk cara pencegahan karies gigi

memiliki nilai (α=0,05) dan nilai p-value 0,001 dimana p0,001<p0,05 dan untuk pengaruh

penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia terhadap pengetahuan siswa memiliki nilai (α=0,05)

dan nilai p=0,001 dimana nilai p0,001<0,05. Disarankan bagi pihak sekolah agar membentuk

UKGS untuk melaksanakan berbagai upaya untuk peningkatan kesehatan gigi, bagi siswa agar rajin

menyikat gigi pada pagi dan malam hari sebelum tidur sehingga terhindar dari penyakit akibat

kerusakan gigi.

Kata kunci: Penyuluhan, Multimedia(video), pengetahuan,Gigi.

1. PENDAHULUAN

Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari kesehatan manusia

seutuhnya, dengan demikian upaya-upaya dalam bidang kesehatan gigi dan mulut

pada akhirnya akan turut berperan dalam peningkatan kualitas dan produktivitas

sumber daya manusia (Fitria,2012).

Masalah kesehatan gigi menjadi perhatian yang penting dalam

pembangunan kesehatan, yang salah satunya disebabkan oleh rentangnya kelompok

anak usia sekolah dari gangguan kesehatan gigi (Machfoedz,2010).

Menurut World Health Organitation (WHO), pemeliharaan kesehatan gigi

dan mulut adalah suatu upaya meningkatkan kesehatan karena dapat mencegah

terjadinyan penyakit-penyakit rongga mulut (WHO, 2013).

Secara nasional di indonesia sendiri, angka penyakit gigi terutama karies

gigi masih banyak diderita, baik oleh anak-anak maupun dewasa. Data kemetrian

kesehatan 2010 menunjukan, bahwa orefelensi karies gigi di indonesia mencapai

Page 39: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 29 | 231

60% dari populasi, serta menempati peringkat ke-6 sebagai penyakit yang paling

banyak diderita (Kemenkes, 2011). Kemudian pada tahun 2011 terdapat 62%

anak-anak mengalami karies gigi, dan pada tahun 2012 sebanyak 65% dan

semakin meningkat pada tahun 2013 mencapai 67,8% dari populasi (Kemenkes,

2013).

Prevelensi penyakit gigi untuk tingkat Nasional pada tahun 2012 adalah

sebanyak 23,2% , pada tahun 2013 meningkat menjadi 25,9%. Sedangkan untuk

perilaku benar dalam menyikat gigi ditemukan sebagian besar penduduk indonesia

menyikat gigi dengan baik dan benar adalah setelah makan pagi dan sebelum tidur

malam sebanyak 2,3%, dan untuk perilaku menyikat gigi tidak baik dan benar

ditemukan sebanyak76,6% (Riskesdas, 2013).

Prevelensi penduduk yang bermasalah tentang kesehatan gigi pada Propinsi

Sulawesi Tenggara pada tahun 2011 sebanyak 21,82%, kemudian meningkat

pada tahun 2012 sebanyak 33,8% dan pada tahun 2013 menurut Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) adalah 42,1%, yang mendapat perawatan adalah 17,2%. Secara

umum, lebih seperempat penduduk di Sulawesi tenggara mempunyai masalah gigi

dan hanya seperlimanya yang menerima perawatan gigi. (Riskesdas Provinsi

Sultra, 2013). Propinsi Sulawesi tenggara juga memiliki angka karies gigi yang

besar yakni mencapai 80%, yaitu dari 145 anak terdapat 116 orang yang

mengalami karies. Hasil survei tahun 2013 oleh Dinas Kesehatan Propinsi

Sulawesi Tenggara tentang kebersihan gigi siswa sekolah dasar menunjukan

bahwa tingkat OHI-S (Oral Hygiene Index-Simplified) 1.5-2.5 (sedang). Hal ini

didukungan oleh rendahnya tingkat pengetahuan anak terhadap kesehatan gigi,

dan kegiatan UKGS (Usaha Kesehatan gigi sekolah), (Dinkes propinsi sulawesi

tenggara, 2013). Demikian pula data survei dasar karies gigi (SDKG) oleh tim

peneliti sub dinas bina program dinas kesehatan kota kendari pada siswa sekolah

dasar umur 12 tahun di kota kendari tahun 2013 diketahui bahwa prevelensi karies

pada murid sekolah dasar umur 12 tahun di kota kendari adalah sebesar 93,33%.

Pada anak laki-laki sebesar 91,97%, dan anak perempuan sebesar 94,48% .

Menurut Dinas Kota Kendari angka kejadian karies gigi dan pada tahun 2009

sebanyak 4,710 kasus (2,41%), pada tahun 2010 sebanyak 4,557 kasus (1,74%),

pada tahun 2011 sebanyak 3,152 kasus (1,5%), pada tahun 2012 meningkat

kembali sebanyak 3,337 kasus (1,70%), dan pada tahun 2013 meningkat menjadi

3,821 (1,75%) (Dinkes Kota Kendari, 2013).

Sekolah Dasar Negeri 01 Abeli terletak di Kelurahan Tobimeita Kecamatan

Abeli. Pada saat dilakukan wawancara kepada Kepala Sekolah SD 01 Abeli

bahwa penyuluhan tentang kesehatan gigi dengan menggunakan Multimedia (video)

belum pernah dilakukan oleh pihak Puskesmas, tetapi informasi tentang kesehatan

gigi dan mulut didapatkan langsung oleh pihak Puskesmas yang sering berkunjung

di Sekolah Dasar 01 Abeli dengan melakukan penyuluhan. Studi pendahuluan yang

dilakukan melalui observasi dan wawancara pada tanggal 06 Januari 2016 di

Sekolah Dasar Negeri 01 Abeli diperoleh data bahwa kelas VI berjumlah 33 siswa,

Page 40: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 30 | 231

dan didapatkan 17 siswa memiliki gigi berlubang dan 16 siswa tidak mengetahui

cara menyikat gigi yang baik dan benar.

2. METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi

Eksperimental tanpa adanya kelompok kontrol.

Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 01 Abeli Kelurahan Tobimeita

Kecamatan Abeli , mulai tanggal 13 s/d 20 April 2016.

Populasi, Sampel dan Sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa yang tercatat bersekolah

di Sekolah Dasar Negeri 01 Abeli. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas

VI di SD Negeri 01 Abeli yang berjumlah 33 siswa. Dalam penelitian ini cara

pengambilan sampel menggunakan total sampling yaitu seluruh populasi dijadikan

sampel.

Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner

dengan melakukan pretest, dan posttest, siswa diberikan pretest dengan

membagikan kuesioner, setelah itu dilakukan intervensi dengan menonton video

tentang cara menyikat gigi, makanan yang menyebabkan karies gigi dan

pencegahan karies gigi.

Dimana kelompok siswa sebelum dilakukan intervensi atau perlakuan

terlebih dahulu dilakukan pretest, kemudian setelah perlakuan diberikan, maka

dilakukan potstest untuk mengetahui akibat dari perlakuan. Pengujian sebab-akibat

dengan cara membandingkan hasil pretest dengan posttest.

Maka dilakukan intervesi dengan menonton video setelah itu dilakukan

kembali pembagian kuesioner untuk mengetahuan tingkat perbedaan pengetahuan

siswa sebelum menonton video dan sesudah menonton video.

Analisa Data

Dalam penelitian ini data diolah dengan menggunakan SPSS, adapun uji

yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji wilcoxson dan tingkat

kebermaknaan data yang dipilih adalah p<0,05.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Karasteristik Subjek Peneltian

Menunjukan karasteristik responden berdasrkan umur, jenis kelamin dan

kelas. Berdasarkan Tabel 5.2 menunjukan bahwa lebih dari sebagian responden

berada pada kelompok umur (11-15 tahun) yaitu terdapat 5 orang (15,2%) pada

kategori umur 11 tahun, 19 orang (57,6%) pada ketegori umur 12 tahun, 6 orang

Page 41: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 31 | 231

(18,2%) pada ketegori umur 13 tahun, 2 orang (6,1%) pada kategori umur 14 tahun

dan 1 orang (3,0%) pada kategori umur 15 tahun, lebih dara sebagian responden

berjenis kelamin laki-laki Tabel 5.3 menunjukan bahwa terdapat 17 siswa (51,5%)

berjenis kelamin laki-laki dan 16 orang (48,5%) berjenis kelamin perempuan, dan

tabel 5.4 menunjunakan 33 siswa (100%) dikelas VI

Gambaran Skor Pengetahuan Respondent Sebelum Dsn Sesudah Intervesi

Tentang Cara Menyikat Gigi Dengan Baik Dan Benar, makanan yang

Menyebabkan Karie Gigi dan Pencegahan Ksrei Gigi di SD Negeri 01 Abeli

Kelurahan Tobimeita Kecamatan Abeli Kota Kendari Tahun 2016

Berdasarkan tabel 5.5 diatas diketahui bahwa terdapat pengaruh

penyuluhan sebelum dan sesudah penyuluhan dimana nilai median sebelum

penyuluhan adalah 25 dan meningkat setelah dialakukan penyuluhan menjadi 100.

Demikian halnya dengan hasil wilcoxson di peroleh nilai p=<0,001 dan nilai

α=0,05 dimana nilai (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan

dengan menggunakan multimdedia lebih efektif secara signifikan dalam merubah

perilaku dan pengetahuan siswa tentang cara menyikat gigi dengan baik dan benar.

Berdasarkan tabel 5.6 diatas diketahui bahwa terdapat pengaruh

penyuluhan sebelum dan sesudah penyuluhan dimana nilai median sebelum

penyuluhan adalah 50 dan meningkat setelah dialakukan penyuluhan menjadi 100.

Demikian halnya dengan hasil wilcoxson di peroleh nilai p=<0,001 dan nilai

α=0,05 dimana nilai (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan

dengan menggunakan multimedia lebih efektif secara signifikan dalam merubah

perilaku dan pengetahuan siswa tentang makanan yang menyebabkan karies gigi.

Berdasarkan tabel 5.7 diatas diketahui bahwa terdapat pengaruh

penyuluhan sebelum dan sesudah penyuluhan dimana nilai median sebelum

penyuluhan adalah 33 dan meningkat setelah dialakukan penyuluhan menjadi 100.

Demikian halnya dengan hasil wilcoxson di peroleh nilai p=<0,001 dan nilai

α=0,05 dimana nilai (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan

dengan menggunakan multimedia lebih efektif secara signifikan dalam merubah

perilaku dan pengetahuan siswa pencegahan karies gigi.

Pengaruh Penyuluhan Kesehatan gigi Berbasis Multimedia Terhadap

Pengetahuan Siswa di SD Negeri 01 Abeli Kelurahan Tobimeita Kecamatan

Abeli Kota Kendari Tahun 2016

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa terdapat pengaruh penyuluhan

sebelum dan sesudah penyuluhan dimana nilai median sebelum penyuluhan adalah

35 dan meningkat setelah dialakukan penyuluhan menjadi 100. Demikian halnya

dengan hasil uji wilcoxson di peroleh nilai p=<0,001 dan nilai α=0,05 dimana nilai

(p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan dengan menggunakan

multimedia lebih efektif secara signifikan dalam merubah perilaku dan

pengetahuan siswa tentang kesehatan gigi.

Page 42: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 32 | 231

Pembahasan

1. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Gigi Berbasis Multimedia terhadap

Pengetahuan Siwa Tentang Cara Menyikat Gigi, Makanan Yang Menyebabkan

Karies gigi dan Pencegahan Karies Gigi.

a. Hasil penelitian di SD Negeri 01 Abeli dengan 33 sampel ditemukan

perbedaan rara-rata nilai pengetahuan siswa sebelum penyuluhan 28,4 point

dan sesudah penyuluhan adalah100 tentang cara menyikat gigi denagn baik

dan benar. Hasil uji wilcoxson didaptakan nilai standar deviasi sebelum

penyuluhan adalah 8,98 dan sesudah penyuluhan adalah 0,000, niali

(α=0,05) dan nilai p <0,001, dimana nilai p0,001<α0,05, Maka dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan

sebelum dan sesudah penyuluhan tentang cara menyikat gigi dengan baik

dan benar.

Hasil penelitian di SD Negeri 01 Abeli dengan 33 sampel ditemukan

perbedaan rara-rata nilai pengetahuan siswa sebelum penyuluhan 50,5 point

dan sesudah penyuluhan adalah 100,0 point tentang makanan yang

menyebabkan karies gigi. Hasil uji wilcoxson didaptakan nilai standar

deviasi sebelum penyuluhan adalah 14,13 dan sesudah penyuluhan adalah

0,000, nilai (α=0,05) dan nilai p<0,001, dimana nilai p0,001<α0,05, Maka

dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan

sebelum dan sesudah penyuluhan tentang makanan yang menyebabkan

karies gigi.

Hasil penelitian di SD Negeri 01 Abeli dengan 33 sampel ditemukan

perbedaan rara-rata nilai pengetahuan siswa sebelum penyuluhan 31,2 point

dan sesudah penyuluhan adalah 98,4 point tentang pencegahan karies gigi.

Hasil uji wilcoxson didaptakan nilai standar deviasi sebelum penyuluhan

adalah 6,932 dan nilai standar deviasi sesudah penyuluhan adalah 4,875,

niali (α=0,05) dan nilai p0,001, dimana nilai p0,001<α0,05, Maka dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan

sebelum dan sesudah penyuluhan tentang pencegahan karies gigi.

2. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Gigi Berbasis Multimedia Terhadap

Pengethuan Siswa.

a. Secara statistik penyuluhan dengan menggunakan multimedia dibuktikan

lebih efektif dan signifikan karena dapat dilihat perubahan tingkat

pengetahuan siswa sebelum penyuluhan adalah 35,6 dan sesudah

penyuluhan adalah 99,0. Hal ini di perkuat dari hasil uji wilcoxson test

didaptkan nilai p 0,001 dan nila α=0,05 dimana (p0,001<0,05). Dengan kata

lain H0 tolak atau ada pengaruh penyuluhan kesehatan gigi berbasis

multimedia terhadap pengetahuan siswa.

Wood (1926, dan join kommisioan On Health Education, 1973 dalam

fitriani, 2011) menjelaskan bahwa penyuluhan kesehatan merupakan

kegiatan yang di tunjukan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dan

Page 43: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 33 | 231

membuat keputusan yang tepat sehubungan dengan pemeliharaan kesehatan,

sehingga berdasarkan pengalaman yang diperoleh dapat bermanfaat dalam

mempengaruhi kebiasaan sikap dan pengetahuan siswa.

Menurut Chandra (2009), penyuluhan kesehatan adalah suatu rangkaian

proses pendidikan yang diharapkan akan membawa efek perubahan pada

pola kehidupan seseorang dalam bidang pengetahuan dan perilaku yang

berhubungan dengan kesehatan dan selalu memperhatikan dan berusaha

mempertahankan perubahan serta kesadaran tentang pentingnya kesehatan

gigi.

Menurut Fitriani (2011) dimana pendidikan kesehatan bagi anak bertujuan

untuk memberikan pengetahuan tentang prinsip dasar hidup sehat, dan

menambah kebiasaan hidup sehat dimana siswa bisa bertanggung jawab

terhadap kesehatan diri sendiri serta lingkungannya dan ikut aktif dalam

penyuluhan tentang kesehatan.

Hasil penelitian tentang pengaruh penyikatan gigi dengan tingkat

kebersihan gigi dan mulut siswa-siswi dasar islam terpadu imambukhari

Oleh Eriska Riyanti dkk (2005) yang hasilnya menunjukan terjadi perubahan

tingkat kesebersihan gigi dan mulut yang diukur dengan penurunan indeks

plak pada siswa-siswi yang sebelumnya mendapatkan penyuluhan penyikat

gigi yang baik dan benar dengan menggunakan video. Hal ini menunjukan

penyuluhan kesehatan gigi yang diberikan dengan mengunakan video lebih

menunjang peningkatan pengetahuan siswatentang kebersihan gigi dan

mulut pada anak sekolah dasar.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Silvia Anitasari (2005), tentang

kesehatan gigi dan mulut pada siswa kelas VI SDN Kecamatan Palaran

Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur yang menunjukan

bahwa siswa-siswi yang perna mendapat penyuluhan dan pelatihan tentang

kesehatan gigi tingkat kebersihan mulut mereka termaksud sedang. Hal ini

berarti proses belanjar mereka dapat melalui program penyuluhan dan

pelatihan yang diberikan dan dapat dimengerti dan dipraktekan dalam

keseharian.

Hasil penelitian ini juga didukungan dengan keuntungan multimedia yang

dikemukakan oleh Munir (2013), yang menyatakan bahwa sala satu

keuntungan multimedia dalam pembelajran adalah menambah motivasi

peserta didik selama peroses belajar hingga didapatkan tujuan pembelajaran

yang diinginkan.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Candra Dewi pada tahun 2014, tentang pengembangan multimedia

pembelajaran ilmu pengetahuan alam berbasisi flash untuk siswa SD. Hasil

dari penelitian menunjukan bahwa prestasi belajar siswa yang

menggunakan multimedia lebih baik dibandingakan siswa yang tidak

menggunakan multimedia.

Page 44: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 34 | 231

Penelitian ini dikemukakan oleh mubarak (2011) bahwa perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi membawa perubahan yang signifikan terhadap

kehidupan manusia . karena dengan adanya media pembelajaran akan lebih

memudahkan para pelajar dalam memahami apa yang telah diterapkan.

Hasil belajar juga akan berbeda antara adanya bantuan dari media dan tanpa

menggunakan media

Jadi dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyuluhan yang lebih

efektif dan signifikan adalah dengan menggunakan multimedia (video)

dimana video dapat meningakatkan pengetahun siswa tentang upaya

menjaga kesehatan gigi dan mulut. Dalam melakukan penyebarluasan dan

peningkatan pengetahuan, perlu adanya ketersediaan media kesehatan di

sekolah sehingga siswa dapat melihat dan membaca informasi-informasi

kesehatan, yang tujunanya untuk pencegahan berbagai penyakit pada siwa.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan

bahwa terdapat pengaruh penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia terhadap

pengetahuan siswa tentang cara menyikat gigi dengan baik dan benar, makanan

yang menyebabkan karies gigi da pencegahan karies gigi dan terdapat pengaruh

penyuluhan kesehatan gigi berbasis multimedia terhadap pengetahuan siswa di SD

Negeri 01 Abel Kelurahan Tobimeita Kecamatan Abeli Kota Kendari tahun 2016.

Bagi pihak sekolah agar membentuk UKGS untuk melaksanakan berbagai

upaya untuk peningkatan pengetahuan siswa tentang kesehatan gigi agar siswa agar

rajin menyikat gigi pada pagi hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur

agar terhindar dari penyakit akibat kerusakan pada gigi dan untik peneliti

selanjutnya agar lebih mengawasi siswa saat melakukan penelitian agar siswa lebih

fokus pada penyuluhan yang dilakukan sehingga penyuluhan yang dilakukan lebih

membuka wawasan siswa agar menjaga kebersihan diri terutama untuk kesehatan

gigi dan mulut.

5. DAFTAR PUSTAKA

Anitasari, S, 2005. Penagruh Frekuensi Menyikat gigi Terhadap Tingkat

Kebersihan Gigi dan Mulut siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri di

Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.

Dentika.

Dinkes Kota Kendari, 2013. Profil Kesehatan Sultra. Provinsi Sulawesi

Tenggara

Fitriani, S. (2011), Promosi Kesehatan. Graha Ilmu : Yogyakarta.

Fitria,2012.KegiatanPenyuluhanKesehatanGigidanMulut.http://unpad.ac.id/kknmba

tukaras2010/09/20. (Di Akses 4 Desember,2015).

Page 45: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 35 | 231

Machfoez, I., 2010, Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut Anak- anak . asmar Yeti

Zein , cetakan ke-1 Fitramaya. Yogyakarta.

Machfoez, I., 2010, penyuluhan kesehatan gigi. Cetakan ke-1 Yokyakarta.

Mubarak, 2011. Promosi Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Munir, 2013. MULTIMEDIA konsep dan aplikasi dalam pendidikan.Bandung:

Penerbit Alfabeta.

Riyanti S, dkk (2005). Upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut melalui

perubahan perilaku anak. Fakultas Kedokteran gigi Universitas

padjadjaran.Hal1-22.http://journal.unair.ac.id/filerPDF/DENTJ-38-

2.(Askes 23 mei 2016).

Riskesdas, 2013.,Laporan Hasil Riset Kesehatan dasar (RISKESDAS) Provinsi

Sulawesi Tenggara tahun 2013.

WHO, 2013, Kesehatan Gigi dan Mulut. Http://health.co.id. (diaskes 14 januari,

2016)

Page 46: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 36 | 231

KEJADIAN KECACINGAN PADA BALITA DI PULAU

BINONGKO KABUPATEN WAKATOBI

Dian Yuniar 1, Nirwana2, La Irman3

1 Departement Of Nursing, Polytechnic of Health Kendari, 2 Balai Pelatihan Kesehatan

Prov.Sultra, 3 STIK Avicenna Kendari

email: [email protected]

Abstrak

Penyakit kecacingan dapat berakibat buruk terhadap anak seperti pada perkembangan tubuh,

kecerdasan dan kognitif. Banyak faktor yang bisa menimbulkan penyakit kecacingan. Wilayah

kepulauan terutama pesisir pantai dengan sanitasi lingkungan yang kurang mempunyai faktor resiko

yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh antara pengetahuan ibu, sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan

terhadap kejadian penyakit kecacingan pada balita. Jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian analitik observasional pendekatan Case Control Study. Sampel penelitian ini adalah

balita dengan menggunakan teknik purposive sampling. jumlah sampel dalam penelitian ini adalah

100 orang dengan 2 kriteria yaitu 50 kasus dan 50 kontrol yang diambil dari populasi yang ada.

Data diolah secara univariat dan bivariat yang meliputi tabulasi silang dengan uji odds ratio. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan nilai

OR = 4,571, sanitasi lingkungan OR = 3,857,dan higiene perorangan OR = 3,778 terhadap

kejadian penyakit kecacingan. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pengetahuan, sanitasi

lingkungan dan higiene perorangan berpengaruh terhadap kejadian kecacingan pada balita. dapat

disarankan pada keluarga balita untuk lebih memperhatikan pada upaya pencegahan dan deteksi

dini terhadap penyakit kecacingan.

Kata Kunci: Penyakit Kecacingan, Pengetahuan, Sanitasi Lingkungan, Hygiene Perorangan.

1. PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) tahun 2010, mengatakan bahwa

penyakit akibat infeksi kecacingan masih sangat tinggi dengan jumlah 1 miliar

orang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi cacing

Trichuris trichiura dan 740 juta orang terinfeksi cacing tambang (Ancylostoma

duodenale dan Necator americanus). Infeksi kecacingan yang tertinggi terjadi di

Afrika, Amerika, China, dan Asia Timur. Bank Data Global WHO tahun 2010

mengatakan bahwa jumlah kecacingan tertinggi pada anak usia Balita yaitu 75%.

Penyakit kecacingan dapat berakibat buruk terhadap anak-anak seperti

perkembangan tubuh, kecerdasan dan kognitif. Infeksi oleh Soil Transmitted

Helminths (STH) sering dijumpai pada anak Balita karena anak paling sering

kontak dengan tanah (WHO, 2010). Beberapa spesies dari Soil Transmitted

Helminths (STH) yang sering dijumpai adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris

trichiura, Strongyloides stercoralis, Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus. Telur/larva cacing-cacing ini menjadi infektif saat di tanah dalam

kurun waktu sesuai dengan spesies masing-masing (Zulkoni, 2011). Jumlah

penyakit kecacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, yaitu 60% -

80%. Hal ini terjadi dikarenakan Indonesia berada dalam posisi geografis dengan

temperatur dan kelembaban yang sesuai, pengaruh kehidupan yang kurang bersih

Page 47: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 37 | 231

dan sanitasi lingkungan yang buruk, aspek sosial ekonomi dan tingkat pengetahuan

seseorang mengenai pentingnya kesehatan yang masih rendah merupakan faktor

yang mempunyai peranan besar terhadap penularan parasit cacing (Depkes, 2010).

Dari hasil penelitian lain diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia

menderita suatu infeksi cacing (Zulkoni, 2011). Faktor-faktor yang menyebabkan

masih tingginya infeksi cacing adalah rendahnya tingkat hygiene pribadi (perilaku

hidup bersih sehat) seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan setelah buang

air besar (BAB), kebersihan kuku, perilaku jajan di sembarang tempat yang

kebersihannya tidak dapat dikontrol, perilaku buang air besar (BAB) tidak di WC

yang menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung

telur cacing serta ketersediaan sumber air bersih (Winita, 2012). Perilaku hidup

yang bersih dan sehat merupakan faktor kedua terbesar setelah faktor lingkungan

yang berhubungan dengan kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Perilaku

ini menyangkut pengetahuan akan pentingnya higiene perorangan, sikap dalam

menanggapi penyakit serta tindakan yang dilakukan dalam menghadapi suatu

penyakit atau permasalahan kesehatan lainnya (Notoatmodjo, 2012).

Berdasarkan data yang di peroleh penulis dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Wakatobi menunjukan terjadi kenaikan jumlah penderita penyakit Kecacingan

dimana wilayah kerja Puskesmas Binongko merupakan wilayah yang memiliki

jumlah kecacingan terbanyak dan menunjukan peningkatan yang signifikan

terhadap penyakit kecacingan setiap bulannya. wilayah kerja Puskesmas Binongko

berada di daerah sekitar area pesisir pantai dan dengan sanitasi lingkungan yang

masih belum bersih. dari hasil wawancara penulis Penyakit kecacingan atau biasa

disebut cacingan masih dianggap sebagai hal sepele oleh sebagian besar

masyarakat, keluarga menganggap biasa jika balita terkena penyakit cacingan.

Padahal jika dilihat dampak jangka panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian

yang cukup besar bagi penderita dan keluarganya. Tingkat kecacingan pada balita

lebih tinggi dari pada orang dewasa karena mereka belum mengerti tentang

kesehatan. Dalam jangka panjang, infeksi yang berulang-ulang mengakibatkan

kekurangan gizi sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan anak kurang energi

protein yang berakibat menurunnya sumber daya anak tersebut

Dari permasalahan diatas, maka penulis tertarik ingin melihat pengaruh

sanitasi lingkungan, pengetahuan dan hygiene perorangan terhadap penyakit

kecacingan pada balita.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah analitik dengan menggunakan metode

pendekatan case control study. Teknik pengambilan sampel adalah

purvosive sampling dengan jumlah sampel adalah 100 orang dengan 2

kriteria yaitu 50 kasus dan 50 kontrol yang diambil dari populasi yang ada.

Data Primer yang dikumpulkan mengunakan kuesioner dan lembar observasi

yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada kerangka

konsep penelitian berdasarkan tinjauan pustaka. analisis data yang dilakukan

Page 48: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 38 | 231

adalah analisis univariat dan bivariat dengan uji Odd ratio sesuai variabel

penelitian.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil penelitian berdasarkan Distribusi frekuensi jenis kelamin yang paling

banyak adalah yang berjenis kelamin perempuan yaitu 60 Balita (60,0%) dan yang

paling sedikit adalah yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 40 Balita (40,0%).

kelompok umur 1 tahun sebanyak 24 (24,0%) yang terdiri atas 12 kasus dan 12

kontrol, kelompok umur 2 tahun sebanyak 28 (28,0%) yang terdiri atas 14 kasus

dan 14 kontrol, kelompok umur 3 tahun sebanyak 36 (36,0%) yang terdiri dari 18

kasus dan 18 kontrol dan kelompok umur 4 tahun sebanyak 12 (12,0%) yang terdiri

atas 6 kasus dan 6 kontrol.

Distribusi Frekuensi responden menurut tingkat pengetahuan ibunya dalam

kategori kurang sebanyak 54 Balita (54,0%) sedangkan dalam kategori cukup

sebanyak 46 Balita (46,0%). untuk sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat

sebanyak 56 Balita (56,0%) sedangkan yang memiliki sanitasi lingkungan yang

memenuhi syarat sebanyak 44 Balita (44,0%). Hasil observasi terhadap Balita yang

melakukan higiene perorangan dengan kategori kurang sebanyak 52 Balita (52,0%)

sedangkan higiene perorangan dengan kategori baik sebanyak 48 Balita (48,0%).

Analisis bivariat meliputi pengaruh pengetahuan, sanitasi lingkungan dan

hygiene perorangan terhadap penyakit kecacingan pada balita. analisis hubungan

tersebut disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Pengaruh Faktor Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Penyakit

Kecacingan Pada Balita

Pengetahuan

Ibu

Responden

Jumlah OR

CI

Kasus

((+)

cacingan)

Kontrol

((-) tidak

cacingan)

N % n % N %

3,778

Lower Upper

Kurang 36 72,0% 18 36,0% 54 54,0%

1,650 8,651 Cukup 14 28,0% 32 64,0% 46 46,0%

Total 50 100% 50 100% 100 100%

Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa dari 100 orang responden dengan

kategori kurang yakni berjumlah 36 orang (72,0%) dan yang pengetahuan ibunya

dengan kategori cukup berjumlah 14 orang (28,0%). Sedangkan responden dengan

status kontrol yang pengetahuan ibunya dengan kategori kurang yakni berjumlah 18

orang (36,0%) dan yang pengetahuan ibunya dengan kategori cukup beerjumlah 32

orang (64,0%). Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji odds ratio diperoleh nilai

Page 49: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 39 | 231

OR = 3,778 lebih besar dari 1. Hal ini menunjukan pengetahuan ibu merupakan faktor

yang mempengaruhi kejadian kecacingan.

Tabel 2 Pengaruh Faktor Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Penyakit

Kecacingan Pada Balita

Sanitasi

Lingkung

an

Responden

Jumlah OR

CI

Kasus

(+)

cacingan)

Kontrol

(-) tidak

cacingan)

N % N % N %

3,857

Lower Upper

TMS 36 72,0% 20 40,0% 56 56,0%

1,670 8.911 MS 14 28,0% 30 60,0% 44 44,0%

Total 50 100% 50 100% 100 100%

Berdasarkan tabel 2 sanitasi lingkungan dengan kategori tidak memenuhi

syarat yakni berjumlah 36 orang (72,0%) dan yang sanitasi lingkungan dengan

kategori memenuhi syarat berjumlah 14 orang (28,0%). Sedangkan responden

dengan status kontrol yang sanitasi lingkungan dengan kategori tidak memenuhi

syarat yakni berjumlah 20 orang (40,0%) dan yang sanitasi lingkungan dengan

kategori memenuhi syarat beerjumlah 30 orang (60,0%). Berdasarkan hasil analisis

bivariat dengan uji odds ratio diperoleh nilai OR = 3,857 lebih besar dari 1. Hal ini

menunjukan sanitasi lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian

kecacingan.

Tabel. 3 Pengaruh Faktor Higiene Perorangan Dengan Kejadian Penyakit

Kecacingan Pada Balita

Higiene

Perorangan

Responden

Jumlah OR

CI

Kasus

((+)

cacingan)

Kontrol

((-) tidak

cacingan)

N % n % N %

3,778

Lower Upper

Kurang 34 68,0% 18 36,0% 52 52,0%

1,650 8.651 Baik 16 32,0% 32 64,0% 48 48,0%

Total 50 100% 50 100% 100 100%

Berdasarkan tabel 3 higiene perorangan dengan kategori kurang yakni

berjumlah 34 orang (68,0%) dan yang higiene perorangan dengan kategori baik

berjumlah 16 orang (32,0%). Sedangkan responden dengan status kontrol yang

higiene perorangan dengan kategori kurang yakni berjumlah 18 orang (36,0%) dan

yang higiene perorangan dengan kategori baik berjumlah 32 orang (64,0%). Hasil

analisis bivariat dengan uji odds ratio diperoleh nilai OR = 3,778 lebih besar dari 1.

Hal ini menunjukan sanitasi lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi

kejadian kecacingan

Page 50: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 40 | 231

PEMBAHASAN

Hasil analisis univariat menunjukan responden berjenis kelamin perempuan

yaitu 60 Balita (60,0%) dan yang paling sedikit adalah laki-laki yaitu 40 Balita

(40,0%). Umur merupakan variabel yang senantiasa diperhatikan dalam berbagai

penelitian-penelitian epidemiologi sebab termasuk dalam karakteristik orang.

kelompok umur 3 tahun dalam penelitian ini adalah yang terbanyak 36 (36,0%)

orang.

Pengetahuan merupakan unsur pengisi akal dan jiwa seseorang yang sadar

dan secara nyata terkandung dalam otaknya. Dalam kamus Bahasa Indonesia

dijelaskan bahwa pengetahuan atau tahu adalah mengerti setelah melihat,

menyaksikan, mengalami atau diajar (Azwar, 2012). dan dalam penelitian ini

pengetahuan ibunya yang termasuk dalam kategori kurang sebanyak 54 Balita

(54,0%) hal ini tentu bisa berakibat menurunnya derajat kesehatan pada anaknya

karena ketidak tahuan ibu dalam mencegah penyakit kecacingan.

Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 56 (56,0%) Dari

hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, kebanyakan responden

yang ditemui yang kebersihan lingkungannya kurang dan dapat berisiko terkena

penyakit kecacingan. Sanitasi lingkungan adalah bagian dari ilmu kesehatan

lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk

mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi

kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra,

2009). Higiene adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari

pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah

timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat

kondisi lingkungan hidup yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan

kesehatan.( Hildya, 2015). Dalam pengertian ini termasuk pula upaya melindungi,

memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia (perorangan ataupun

masyarakat), sedemikian rupa sehingga bagai faktor lingkungan yang tidak

menguntungkan tersebut, tidak sampai menimbulkan gangguan terhadap kesehatan

(Purnawijayanti, 2010). higiene perorangan dengan kategori kurang sebanyak 52

Balita (52,0%) Orang tua adalah sosok pendamping saat anak melakukan aktifitas

kehidupannya setiap hari. Peranan mereka sangat dominan dan sangat menentukan

kualitas hidup anak dikemudian hari. Sehingga sangatlah penting bagi mereka untuk

mengetahui dan memahami permasalahan dan gangguan kesehatan pada anak Balita

(Ichmaster,2007).

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, keadaan lingkungan

yang tidak memenuhi syarat pada sekitar rumah tempat tinggal. Keadaan sekitar

rumah yang kotor , sampah berserakan , tanah yang becek pada saat musim hujan

menjadi salah satu faktor yang memicu berkembang serta tersebarnya larva dan

telur cacing tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian ini yang telah dilakukan

sebelumnya oleh Tumanggor, (2012) Melalui factor lingkungan, keadaan fisik, atau

daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit. Hasil

Page 51: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 41 | 231

penelitian ini menunjukkan bahwa sampel rata-rata memiliki personal hygiene yang

masih kurang hal ini salah satu dapat disebabkan karena kurangnya menjaga

kebersihan diri seperti mandi hanya satu kali dalam sehari sesudah bermain, selain

itu pula kurangnya kesadaran dalam memelihara kebersihan tangan yakni jarang

cuci tangan menggunakan sabun sebelum dan setelah makan maupun setelah buang

air besar terkadang tangan tidak dicuci menggunakan sabun. Dimana hal ini

merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kecacingan.

4. KESIMPULAN

Pengetahuan ibu, sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan memberikan

pengaruh yang bermakna terhadap kejadian penyakit kecacingan pada anak Balita

di wilayah kerja Puskesmas binongko Kabupaten Wakatobi. dan sebaiknya pihak

Puskesmas perlu melakukan tindakan preventif dalam upaya pencegahan dini

terhadap penyakit kecacingan dengan cara meningkatkan seluruh petugas kesehatan

agar lebih meningkatkan penyuluhan kesehatan tentang kejadian kecacingan pada

masyarakat.

5. DAFTAR PUSTAKA

Anies, 2011. Mewaspadai penyakit lingkungan, Elex. Media Komputindo, Jakarta

Arikunto, S .2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta.

Yogyakarta

Azwar, A. 2012. Penyusun Skala Psikologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Chandra B. 2009. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC. Jakarta

Hildya Kusmi, dkk, 2015. Hubungan sanitasi Lingkungan rumah dengan kejadian

askaris dan trikuriasis pada siswa SDN 29 Purus Padang, Jurnal Kesehatan

Andalas Vol.4 no 3 available at:jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/

view/353

Kusnoputro, Haryoto. 2011. Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia, Depok

Mentri Kesehatan RI, 2006. Surat Keputusan Pedoman Penanggulangan Cacingan.

Depkes RI. Jakarta

Mubarak, dkk. 2007. Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar

Mengajar Dalam Pendidikan: Graha Ilmu. Jakart

Ngatiman. 2012. Pengetahuan. http://id.wikipedia.org/wiki. Diakses 25 Maret 2015

Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Nursalam, 2012. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Medika

Salemba: Jakarta

Purnawijayanti, H. 2010. Sanitasi lingkungan, Higiene dan Keselamatan Kerja

dalam Pengolahan Makanan.Kanisius.Yogyakarta

Page 52: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 42 | 231

Priyono, S., 2011. Pengaruh Perilaku Defekasi dan Cuci Tangan Terhadap Kejadian

Ascariacis pada Anak Balita Lempeji Kecamatan Mumbulsari Kabupaten

Jamber. Skripsi Kedokteran Unej. Jember Raharja, 2010.,Cuci Tangan

Pakai(On-line)http://imadatainstiper.files.wordpress .com /2008

/cacingan.pdf, diakses 29 Maret 2015

Proverawati, Atikah dan Eni Rahmawati, 2012, Perilaku Hidup Bersih & Sehat

(PHBS). Nuha Medika. Yogyakarta

Setiadi, 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan Edisi 2. Graha

Ilmu. Ygyakarta

Slamet, 2010. Sosiologi Kesehatan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Tumanggor, Anita, 2012. Hubungan Perilaku dan Higiene Anak Balita dengan

Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu

Kabupaten Dairi.Skripsi USU Digital Library

Widoyono, 2010. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,&

Pemberantasannya. Erlangga. Jakarta

Winita. R, Mulyanti, dan Astuti. H, 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan Di

Sekolah Dasar, Makara, Kesehatan, vol. 16, no. 2, 25 maret 2015 (online)

journal.ui.ac.id/index. php/health/article/download/1631/1361

WHO, 2010. Soil Transmitted Helminths. http://www.who.int/intestinal_worms/en/.

Di Akses 25 maret 2015

Page 53: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 43 | 231

PENGARUH EDUKASI SUPORTIF TERHADAP TINGKAT

KEMANDIRIAN ACTIVITY DAILY LIVING LANSIA

HIPERTENSI

Siti Juwariyah1, Fery Agusman MM2, Rita Hadi Widyastuti3

¹ Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Semarang 2 Staf Pengajar STIKES Karya Husada Semarang

3 Staf Pengajar Departemen Keperawatan Universitas Diponegoro Semarang

email: [email protected]

Abstrak

Pendahuluan: Hipertensi pada lansia merupakan peningkatan tekanan darah sistolik diatas

140mmHg dan tekanan diastolik 90mmHg. Penyakit hipertensi pada lansia yang tidak diobati

terbukti mengalami pemendekan masa sekitar 10-20 tahun yang akan berpengaruh pada

ketidakmampuan fisik lansia dengan hipertensi. Penyakit hipertensi akibat proses penuaan

menimbulkan disabilitas sehingga akan berpengaruh pada lansia dalam melakukan aktifitas sehai-

hari. Dampak lansia hipertensi yang mempunyai tingkat kemandirian Activity Daily Living (ADL)

rendah akan meningkatkan beban keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pemberian edukasi

suportif kemandirian ADL berguna untuk memandirikan lansia dengan hipertensi dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari. Tujuan : Mengetahui pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat

kemandirian ADL lansia hipertensi. Metode : Desain penelitian yang digunakan adalah quasi

experiment dengan desain pre and post-test with control group. Populasi penelitian adalah lansia

hipertensi di wilayah Puskesmas Krobokan Kota Semarang. Sampel diambil dengan teknik

purposive sampling sejumlah 60 yang terbagi dalam kelompok intervensi (n=30) dan kelompok

kontrol (n=30). Intervensi berupa edukasi suportif tentang kemandirian ADL diberikan pada

kelompok intervensi. Data diambil melalui kuesioner dan dianalisa melalui uji sampel (paired t-test

dan independentt-test). Hasil : Hasil penelitian menunjukan setelah diberikan edukasi suportif,

kemandirian ADL lansia hipertensi pada kelompok intervensi adalah 60,97 (SD 2,30), dan

mengalami peningkatan sebesar 34% dari sebelum intervensi. Sementara pada kelompok kontrol,

kemampuan tugas perawatan menunjukan nilai 46,14 (SD 2,94). Hasil analisis mendapatkan nilai

p-value = 0,002 α=0,05, yang mengindikasikan adanya pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat

kemandirian ADL lansia hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian, direkomendasikan bagi tenaga

kesehatan untuk memberikan edukasi suportif tentang kemandirian ADL pada lansia hipertensi.

Kata kunci: edukasi suportif, lansia hipertensi, kemandirian ADL

1. PENDAHULUAN

Salah satu keberhasilan pemerintah dalam pembangunan kesehatan

memberikan dampak pada peningkatan usia harapan hidup (UHH). Peningkatan

usia harapan hidup berdampak pada peningkatan jumlah lanjut usia (lansia) yaitu

usia 60 tahun ke atas (Infodatin,2016). Pada tahun 2004–2015 memperlihatkan

adanya peningkatan usia harapan hidup di Indonesia dari 68,6 tahun menjadi 70,8

tahun dan proyeksi 2030-2035 mencapai 72,2 tahun.1 Nilai rasio ketergantungan

lansia sebesar 12,71 menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif

harus menanggung sekitar 13 orang lansia (RISKESDAS,2013).

Survey WHO pada tahun 2012 jumlah penduduk lansia di dunia yang

menderita hipertensi untuk pria sekitar 26,6% dan wanita sekitar 26,1%. Hasil

Page 54: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 44 | 231

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 prevalensi lansia yang menderita

hipertensi meningkat sebesar 37% (Permatasari dkk,2014). Profil kesehatan Jawa

Tengah tahun 2015, prevalensi lanjut usia di Jawa tengah yang menderita

hipertensi sebesar 11,72%. Data yang di peroleh dari profil kesehatan Kota

Semarang tahun 2015 menunjukkan prevalensi lanjut usia dengan hipertensi sebesar

58,73 % dan merupakan kasus penyakit tidak menular (PTM) tertinggi pada lansia

(Profil Kesehatan Jawa Tengah,2015).

Meningkatnya jumlah lansia dengan hipertensi akan berpotensi

menimbulkan berbagai macam permasalahan baik aspek sosial, ekonomi dan

kesehatan fisik. Masalah sosial yang di hadapi lansia dengan hipertensi yang kurang

berinteraksi dengan orang lain karena aktifitas fisik menurun, masalah ekonomi

yang dihadapi karena bertambahnya usia sudah masuk dalam usia pensiun

sehingga lansia sudah tidak bisa aktif bekerja dan berpengaruh pada pendapatan

lansia dan masalah kesehatan fisik lansia dengan hipertensi yaitu rentannya

terhadap berbagai penyakit karena menurunnya daya tahan tubuh hal ini

berpengaruh pada kemandirian fisik lansia dengan hipertensi (maryam dkk, 2011).

Kemandirian pada lansia dengan hipertensi mengalami ketergantungan

dalam memenuhi ADL nya di dapatkan bahwa tingkat kemandirian dengan alat

ukur ADL menurut “Katz index” (Darmojo,2003). Lansia mengalami perubahan

berupa penurunan fungsi organ tubuh sehingga lansia mengalami kesulitan dalam

memenuhi aktivitas sehari-hari ( Hajjar, 2007). Lansia dengan hipertensi yang

mengalami gangguan ADL di dapatkan sebanyak 33% (Sugiharti, 2007). Dampak

lansia hipertensi yang mempunyai tingkat kemandirian ADL rendah akan

meningkatkan beban keluarga, masyarakat dan pemerintah. Peningkatan terutama

berhubungan dengan kebutuhan layanan khusus, yang juga akan menimbulkan

beban sosial. Terutama keluarga sering menganggap bahwa lansia hipertensi

sebagai beban keluarga sehingga membuat lansia hipertensi menjadi lebih

menyendiri dan merasa tidak berguna (Sugiharti, 2007).

Hasil penelitian diperoleh bahwa sebelum dilakukan penyuluhan sebagian

besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, hal itu mungkin

disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan ketrampilan responden tentang

masalah lansia denga hipertensi (Buford, 2016). Hal ini adalah peranan perawat

yang didefinisikan sebagai tindakan edukasi suportif dalam meningkatkan

kemandirian ADL lansia hipertensi. Manfaat edukatif suportif pada lansia hipertensi

adalah lansia hipertensi dapat memahami pentingnya kemandirian ADL dalam

meningkatkan pengetahuan, dan kemampuan melakukan kemandirian ADL.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif quasy eksperimen dengan desain pre

and post test with control group. Sampel penelitian sebanyak 30 responden

kelompok intervensi dan 30 responden kelompok kontrol penelitian menggunakan

Page 55: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 45 | 231

purposive sampling. Responden yang memenuhi kriteria inklusi (usia 65-80 tahun,

tidak minum obat hipertensi, lansia dengan derajat hipertensi ringan dan sedang,

belum mendapatkan pengetahuan tentang kemandirian ADL, bersedia diberikan

intervensi edukasi suportif) dan eksklusi (lansia dengan hipertensi berat, menderita

penyakit selain hipertensi, tidak berada di tempat saat pengambilan data, tidak

bersedia menjadi responden, lansia yang bed rest).

Instrumen yang digunakan untuk pengukuran kemandirian ADL adalah

Indeks KATZ. Rancangan ini menggunakan dua kelompok yaitu kelompok

intervensi (kelompok yang diberi perlakuan) dan kelompok kontrol tanda

perlakuan, dilakukan pengukuran awal (pre test) pada kedua kelompok, kemudian

diberikan perlakuan pada kelompok intervensi dengan edukasi suportif kemandirian

ADL, sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan intervensi setelah pre test,

kelompok kontrol diberikan intervensi setelah post test yaitu 3 minggu setelah

kelompok intervensi diberikan edukasi suportif kemandirian ADL.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat kemandirian ADL lansia

hipertensi pada kelompok intervensi dan kontrol . (n= 30) Kemandirian ADL Mean SD SE P-Value

Kelompok intervensi Pre Test 45,41 0,60 0,10

0,002 Post Test 60,97 2,30 0,39

Kelompok

Kontrol

Pre Test 44,82 3,38 0,58

0,160 Post Test 46,14 2,94 0,50

Tabel 1 menunjukkan hasil bahwa kelompok intervensi terjadi peningkatan

sebesar 34,26 (34%) adapun nilai p value 0,002 yang menyatakan bahwa ada

pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat kemandirian ADL lansia hipertensi.

Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan sebesar 2,3 (2%) dengan

nilai p value 0,160.

Pemberian edukasi suportif terhadap tingkat kemandirian ADL lansia

hipertensi terjadi peningkatan secara sigifikan dibandingkan yang hanya diberikan

buku panduan saja.

Table 2. Perbedaan tingkat kemandirian ADL lansia hipertensi pada kelompok

intervensi dan kontrol sesudah edukasi suportif

Variabel Kelompok N Mean SD SE MD p-value

Kemandirian

ADL lansia

hipertensi

Intervensi 30 60,97 2,30 0,39 0,45 0,002

Kontrol 30 46,14 2,94 0,50 0,45

Tabel 1 menunjukkan hasil bahwa kelompok intervensi dengan nilai mean 60,97

(SD 2,30) sedangkan pada kelompok kontrol nilai akhir nya yaitu denagn mean

46,14 (SD 2,94) dengan nilai mean difference 0,45 dan di dapatkan nilai p = 0,002.

Page 56: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 46 | 231

Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara tingkat kemandirian ADL

lansia hipertensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Pembahasan

Pemberian edukasi suportif terhadap tingkat kemandirian ADL lansia

hipertensi pada kelompok intervensi terjadi peningkatan sebesar 34,26(34%)

adapun nilai p value 0,002 yang menyatakan bahwa ada pengaruh edukasi suportif

terhadap tingkat kemandirian ADL lansia hipertensi. Sedangkan pada kelompok

kontrol terjadi peningkatam sebesar 2.3(2%) dengan nilai p value 0,160 pada

kelompok kontrol ini berarti tidak ada pengaruh edukasi suportif terhadap tingkat

kemandirian ADL lansia hipertensi hal ini dikarenakan suasana yang kurang

nyaman di masing-masing rumah lansia hipertensi sehingga sulit untuk lebih fokus

pada intervensi yang peneliti berikan responden kurang memperhatikan saat

penyuluhan berlangsung.

Edukasi suportif merupakan suatu cara usaha atau kegiatan untuk

membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya

untuk mencapai kesehatan secara optimal. Pemberian edukasi suportif terkait

dengan kemandirian ADL hipertensi hipertensi yang telah peneliti lakukan

merupakan salah satu upaya guna meningkatkan kemampuan lansia hipertensi

dalam meningkatkan kemandirian ADL. Salah satu bentuk Implementasi kegiatan

asuhan keperawatan komunitas bertujuan melakukan perubahan masyarakat baik

pengetahuan, sikap maupun perilaku sehat. Salah satunya edukasi suportif.

Tingkat kemandirian ADL lansia hipertensi intervensi dengan hasil nilai

mean 60,97(SD 2,30) sedangkan pada kelompok kontrol nilai ahkhirnya yaitu

dengan mean 46,14(SD 2,94) dengan nilai mean difference 0,45 dan didapatkan

nilai p=0,002 yang menunjukan bahwa ada perbedaan antara tingkat kemandirian

ADL lansia hipertensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

4. KESIMPULAN

Pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol terdapat perbedaan

terhadap tingkat kemandirian ADL setelah diberikan edukasi suportif pada lansia

hipertensi di wilayah Puskesmas Krobokan Kota Semarang dengan p < 0,002.

Saran

Bagi institusi pendidikan diharapkan dapat di jadikan sebagai bahan

referensi untuk kepentingan pendidikan dalam meningkatkan kualitas asuhan

keperawatan keluarga terkait dengan kemampuan pelaksanaan tugas kesehatan

keperawatan keluarga pada lansia dengan hipertensi.

Bagi tenaga kesehatan mampu mengembangkan diri secara aktif dalam

meningkatkan kualitas asuhan keperawatan secara komprehensif untuk kemandirian

Page 57: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 47 | 231

ADL lansia dengan masalah penyakit kronis khususnya hipertensi. Peran perawat

komunitas sebagai perawat ,berwenang meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

hendaknya mampu memberikan dukungan pengetahuan dan keterampilan kepada

lansia hipertensi dalam meningkatkan kemandirian melalui intervensi keperawatan.

5. DAFTAR PUSTAKA

Infodatin. 2016. Situasi lanjut Usia (LANSIA) di Indonesia.

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Penduduk Lanjut Usia.

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Riskesdas. 2013.

Permatasari leya, Mamat Lukman, Supriyadi. 2014. Hubungan Antara Dukungan

Keluarga Dan Efikasi Diri Dengan Perawatan Diri Lansia Hipertensi Di

Wilayah Kerja Puskesmas Ujung Berung Indah Kota Bandung.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia Statistical Yearbook of Indonesia.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil Kesehatan Jawa Tengah 2015.

Semarang.

Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2016. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun

2016. Semarang.

Maryam, R. Siti, dkk. 2011. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:

Salemba Medika.

Nugroho. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta : EGC.

Ratnasari Nita Y, Susana N dan Staf Pengajar. 2015. Hubungan Dukungan

Keluarga Dengan Kemandirian Lansia Dalam Pemenuhan Aktifitas Sehari-

hari Di Wilayah Kerja Puskesmas Selogiri Kabupaten Wonogiri.

Darmojo, B. 2003. Konsep Menua Sehat Dalam Geriatri, Jurnal Kedokteran dan

Farmasi Medika, Jakarta : Grafiti Medika Pers.

M Fery Agusman, Chatarina UW, Nursalam, et al. 2015. Independent Models of

Nursing Self Care for Ischemic Stroke Patient. Vol.4, No.2, June 2015, pp.

88-93.

Wahyudi Yudisfi dan Widaryati. 2016. Studi Komparasi Activity Of Daily Living

Pada pasien Jantung Berdasarkan Jenis Penyakit Di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta.

Hajjar Ihab, Diniel, Ardienno and Leais. 2007. Association Betwen Concurrent and

Remote Blood Pressure and DisabilityIn Order Aduls.

Laras Haryono. 2008. Studi Deskriptif Pada Penyakit Kronis, Faktor Perilaku Dan

Lingkungan Pada Disabilitas dan Kualitas Hidup Lansia Peserta Posbindu

Puskesmas Pancoran Masyarakat Kota Depok.

WHO (2005). Guidelines For Thr Management of Hypertension In Patients With

Diabetes Mellitus. Maret, 18, 2010.

Buford Thomas W. 2016. Hypertension and Aging.

Page 58: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 48 | 231

FAKTOR RESIKO KEJADIAN KANKER SERVIKS

DI IRNA III RSUD DR.SAIFUL ANWAR MALANG

Kasiati Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang

Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Kanker serviks penyebab angka kematian di dunia menempati urutan kedua setelah kanker

payudara. Diperkirakan setiap tahun sekitar 15,000 kasus kanker serviks ditemukan di Indonesia,

tingginya kasus kanker serviks membuat WHO menempatkan Indonesia sebagai negara dengan

jumlah kasus kanker serviks terbanyak di dunia. Karakteristik penderita kanker servik belum banyak

teridentifikasi dengan faktor resiko. Penelitian ini mennggunakan desaian penelitian deskriptif cross

sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita kanker servik yang mendapatkan

kemoterapi pada bulan Agustus sampai September 2016 di IRNA III RSUD Dr. Saiful Anwal Malang

, sedangkan pengambilan sampel penelitian dengan teknik Consecutive sampling dengan jumlah

36 sampel. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa ibu terdiagnosa kanker serviks

mayoritas sudah pada stadium III yaitu 27 orang (75%), sedangkan stadium II sebanyak 9 orang

(25%), kejadian terbanyak rentang umur 56- 55 tahun (55.6%), tertua 65 tahun dan umur

termuda 35 tahun, Paritas ibu melahirkan 3-6 kali 20 orang (61,1 %), sedangkan orang 2 orang

melahirkan lebih dari 7 kali, kontrasepsi yang digunakan IUD, suntik dan pil masing-masing

sebanyak 9 orang (25%) , sedangkan lama penggunaan IUD rerata 6,6 tahun, suntik rerata 4,5

tahun dan rerata 8,6 tahun. Diharapkan kepada pelayanan kesehatan melakukan program

skrining gratis atau wanita secara mandiri perlu melakukan secara rutin bagi seorang wanita yang

sudah menikah.

Kata Kunci : Faktor Resiko, Kejadian, Kanker serviks

1. PENDAHULUAN

Kanker serviks adalah tumor ganas yang timbul di leher rahim Angka

kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim di dunia menempati urutan

kedua setelah kanker payudara dan menjadi penyebab lebih dari 250.000 kematian

pada tahun 2005, dan kurang dari 80% kematian tersebut terjadi di negara

berkembang. Profil kesehatan 2010 menyebutkan bahwa indikator penyakit kanker

leher rahim adalah 19,70% per 10.000 penduduk. Setiap harinya diperkirakan

terdeteksi 41 kasus baru kanker servik dan 20 penderita meninggal dunia. Wanita

beresiko menderita kanker servik mencapai 48 juta orang. Oleh sebab itu WHO

menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan insiden kanker serviks

tertinggi di dunia, dengan 66% meninggal dunia (Soebachman,2011).

Sampai saat ini kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan

perempuan di Indonesia, dan menduduki peringkat pertama serta merupakan salah

satu penyakit yang menimbulkan dampak psikososial yang luas, terutama bagi

pasien dan keluarganya (Rasjidi, 2010).

Page 59: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 49 | 231

Masih tingginya angka kematian penderita kanker servik dikarenakan bahwa

pada wanita di Indonesia pada umumnya kanker servik diketahui setelah memasuki

stadium lanjut ( Rasjidi, 2010)

Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) telah terbukti secara biologi dan

epidemiologi dalam penyebab kanker serviks. Sebanyak 70% dari kanker serviks

disebabkan jenis HPV-16 dan HPV-18.

Meskipun HPV merupakan penyebab penting, namun ada faktor lain

timbulnya kanker, seperti, umur, nikah diusia muda, paritas tinggi, genetik,

merokok dan penggunaan kontrasepsi hormonal lama, dll

Kanker serviks pada seorang wanita tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi hal

ini merupakan akumulasi dari berbagai faktor dan resiko. Seandainya faktor

penyebab dan resiko ini dipahami dengan benar, maka dipastikan seseorang akan

terhindar dari penyakit kanker serviks.

Makin banyaknya penderita kanker serviks serta belum ada data identifikasi

karakteristik di IRNA III RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, maka di perlukan

penelitian ini untuk menjelaskan faktor resiko kanker serviks. Dengan harapan

hasil penelitian dapat sebagai data awal untuk evaluasi dan peningkatan pelayanan

perawatan dan upaya pencegahan kanker serviks.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan cross

sectional. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara

Consecutive sampling dan randomisasi alokasi subyek yaitu pemilihan sampel

dengan menentukan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dalam kurun waktu

tertentu. Jumlah sampel 36 klien kanker serviks yang mendapatkan program

kemoterapi pada bulan Agustus sampai September 2016 di IRNA III RSUD Dr.

Saiful Anwal Malang.

Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah lembar

wawancara dan penelusuran rekam medis.

Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan editing, pemberian kode

(coding) , skor (scoring) dan tabulasi analisis variabel karakteristik demografi

sampel yang berkaitan dengan tujuan penelitian disajikan dalam distribusi

frekuensi. Software yang digunakan untuk uji statistik adalah komputer.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

A. Stadium Kanker Serviks

Kanker adalah sel yang telah kehilangan pengendalian dan

mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak

teratur. Kanker bisa terjdi dari berbagai jaringan dalam berbagai organ.

Page 60: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 50 | 231

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangbiakannya, sel-sel kanker

membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di

dekatnya dan bisa menyebar (metastasis) ke seluruh tubuh. Sel-sel kanker dibentuk

dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi, yang terdiri

dari tahap inisiasi dan promosi.

Tabel 1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan stadium kanker serviks

Stadium kanker

serviks

Keterangan

Frekwensi Persentase

Stadium I 0 0

O Stadium II 9 25

Stadium III 27 75

Stadium IV 0 0

Total 36 100

Hasil penelitian diketahui bahwa ibu terdiagnosa kanker serviks yang paling

banyak sudah pada kategori stadium III yaitu 27 orang (75%), sedangkan stadium

II sebanyak 9 orang (25%).

Stadium kanker serviks berdasarkan FIGO yang di kutip oleh Rasjidi 2007

terdiri Stadium 1,II, III dan IV. Stadium II. Kanker meluas keluar dari leher rahim

namun tidak mencapai dinding panggul. Penyebaran melibatkan vagina 2/3 bagian

atas. Stadium III. Kanker meluas sampai ke dinding samping panggul dan

melibatkan 1/3 vagina bagian bawah, sehingga menghambat proses berkemih

sehingga menyebabkan timbunan air seni di ginjal dan berakibat gangguan ginjal

Masih tingginya angka kematian penderita kanker servik dikarenakan bahwa

pada wanita di Indonesia pada umumnya kanker servik diketahui setelah memasuki

stadium lanjut ( Rasjidi, 2010).

Banyak dari pasien kanker yang berada di stadium lanjut terkejut saat

mengetahui hasil pemeriksaan. Oleh karena itu, disarankan bagi para wanita untuk

tanggap dengan segala gejala yang mungkin terjadi di usia muda. Deteksi dini

sangat diperlukan untuk prognosis kanker lebih memberi harapan hidup bagi

penderitanya

Kanker serviks stadium 3 pasti sudah membutuhkan penanganan yang lebih

serius. Tahap stadium 3 adalah masa-masa yang berat bagi penderitanya. Hal

tersebut dikarenakan pada stadium ini sel kanker sudah dipastikan tersebar ke

daerah sekitar vagina bagian bawah. Pada kasus tertentu, bahkan ditemukan sel

kanker yang sudah menempel pada kelenjar getah bening (sekitar organ leher

rahim).

Deteksi dan pemeriksaan hanya dilakukan sebagai langkah untuk melihat

penyebaran kanker agar tenaga medis dapat menentukan pengobatan yang sesuai

dengan kondisi pasien serta penyebaran kanker.

Pengobatan kanker lebih difokuskan untuk memberikan kesempatan kepada

pasien agar menjalani hidup lebih baik sampai pasien berhasil disembuhkan.

Page 61: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 51 | 231

Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan radioterapi, kemoterapi atau tindakan

operasi pengangkatan rahim. Jika ternyata kanker sudah menyebar ke kantung

indung telur, maka kemungkinan dokter juga akan mengangkat bagian tersebut.

Hal yang dibutuhkan pasien dalam tahap ini adalahh dukungan moril dari

kerabat untuk melewati tahap demi tahap pemeriksaan dan menjalani pengobatan

tanpa harus merasa minder karena efek samping yang kemungkinan akan diterima

melalui metode pengobatan kanker tersebut.

B. Usia Saat Terdiagnosa Kanker Serviks

Usia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usia ibu terdiagnosa secara

medis menderita kanker serviks. Resiko faktor kanker serviks sangat berhubungan

dengan usia.

Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia saat terdiagnosa kanker

serviks Umur Keterangan

Frekwensi Persentase

> 35 1 2.8

O 36 – 55 20 55.6

> 56 15 41.6

Total 36 100

Mean 53.8

Berdasarkan tabel 2 di atas hasil penelitian diketahui bahwa umur responden

waktu terdiagnosa kanker serviks sebagian besar 20 orang pada rentang umur 56-

55 tahun (55.6%), sedangkan rerata umurnya penderita kanker serviks 53.8 tahun

dan umur tertua 65 tahun dan umur termudah 35 tahun. Faktor resiko kanker serviks

sangat berhubungan dengan usia.

Menurut Setyarini (2009) umur menjadi faktor resiko penting dalam

perkembangan serviks. Usia rata-rata wanita yang terjangkit kanker serviks sekitar

48 tahun.

Wanita umur > 35 tahun dikarenakan banyak mengalami perubahan secara

fisik, mental, terutama kesehatan reproduksi karena perubahan hormonal yang

semakin menurun sehingga memudahkan timbulnya lesi atau perlukaan yang

menyebabkan virus HPV penyebab kanker serviks mudah masuk. Infeksi HPV

sampai menjadi kanker invasif membutuhkan waktu rata-rata 10-20 tahun . Pada

umumnya displasia derajat tinggi dapat terdeteksi 5-10 tahun sebelum terjadinya

kanker ( WHO.2013. Nubia M et al, 2003)

Kanker serviks invasive biasanya didahului oleh riwayat perubahan sel

prainvasif yang bervariasi antara dysplasia dan karsinoma in situ. Jika tidak

diterapi, sebagian kecil wanita yang mengalami dysplasia ringan akan mendirita

kanker invasive (Otto,2005)

Selain itu skrining secara dini kurang dilakukan atau malu melakukan

pemeriksaan awal adanya keluhan, sehingga kanker servik lama terdeteksi. ( Heru

Priantoro,2011)

Page 62: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 52 | 231

Hasil penelitian selaras dengan hasil penelitian tahun 2002 menunjukkan

puncak usia penderita kanker serviks di Indonesia ialah 45 – 54 tahun. Penelitian

sejenis oleh Siti H, 2016 bahwa rentang usia penderita kanker serviks >35 tahun

(85,9%) maupun hasil penelitian Ivanna, 2014 yang diketahuai ada hubungan

paritas dengan kejadian kanker serviks

Terlepas dari faktor resiko, skrining kanker serviks dapat mencegah sebesar

75% kasus kanker pada wanita yang melakukan skrining secara rutin. Skrining

merupakan salah satu pertahanan terbaik terhadap kanker serviks.

C. Paritas

Paritas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah kali wanita melahirkan

anak.

Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan paritas Paritas Keterangan

Frekwensi Persentase

Primipara 1-2 12 33.3

O Multipara 3-6 22 61.1

Grandemulti >7 2 5.6

Total 36 100

Berdasarkan tabel 3 di atas hasil penelitian diketahui sebanyak 22 orang

(61,1%) ibu melahirkan 3-6 kali, sedangkan orang 2 orang melahirkan lebih dari 7

kali , dengan rerata ibu melahirkan 3.3 kali

Wanita yang pernah melahirkan tiga kali atau lebih beresiko terkena kanker

serviks lebih tinggi. Penyebab secara pasti belum banyak diketahui. Tetapi ada

beberapa dugaan kondisi ini dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang

mempengaruhi epitel mukosa serviks ditambah trauma epitel pada saat persalinan

pervaginam yang berpotensi wanita rentan terhadap infeksi HPV.

Hasil penelitian ini selaras dengan Munoz et al 2002) dan Sukarya dan

Irvianty (2011) dimana didapatkan bahwa paritas yang banyak akan meningkatkan

sel karsinoma pada serviks yang positive terkena HPV yang dilakukan pemantauan

selama 13 tahun dengan jumlah sampel 400 kasus dan terkontrol.

D. Jenis Kontrasepsi

Jenis kontrasepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah riwayat jenis

kontrasepsi yang pernah digunakan ibu selama ini.

Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kontrasepsi Jenis

Kontrasepsi

Keterangan Lama/

Th

Frekwensi Persentase Mean

MOW 3 8,3 15

O IUD 9 25,0 6.6

Suntik 9 25,0 4.3

Susuk 1 3.6 5.0

Pil 9 25,0 8.6

Alami 5 13,8

Total 36 100

Page 63: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 53 | 231

Berdasarkan tabel 4 di atas hasil penelitian diketahui kontrasepsi yang

digunakan sebanyak 9 orang (25%) dengan IUD dan lama pengunaan rerata 6,6,

kemudian suntik 9 orang ( 25%0 ) dengan kontrasepsi suntik dengan lama rerata

4,5 tahun dan kontrasepsi pil sebanyak 9 orang ( 25%) dengan rerata lama

penggunaan 8,6 tahun.

Hasil penelitian selaras dengan teori dan hasil penelitian bahwa kontrasepsi

hormon dan IUD yang digunakan dalam jangka panjang yaitu 4 tahun keatas dapat

meningkatkan resiko 1,5 – 2,5 kali. Beberapa penelitian pemakai kontrasepsi

hormon dan IUD sering didapatkan pertumbuhan kandida,bakteri dan tricomonas di

vagina karena adanya peningkatan kadar hormon estrogen menyebabkan

permukaan epitel vagina menebal dan permukaan dilapisi oleh glikoprotein

sehingga jamur, bakteri, dan tricomonas dapat tumbuh subur ( Sarwono,2010). Data

WHO resiko relatif pemakai kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan trus meningkat

seiring dengan lamanya pemakaian kontrasepsi tersebut.

Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian sejenis oleh Siti H

bahwa kejadian kanker servik terbanyak pada pengguna alat kontrasepsi hormonal

dan IUD yaitu suntik 68,8 %, selanjutnya pil 17,2 %, implant dan IUD masing-

masing 6,2 %

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disimpulkan sebegai berikut:

1) Ibu terdiagnosa kanker serviks yang paling banyak sudah pada kategori

stadium III dan II

2) Kejadian kanker serviks sebagian besar rentang umur 56- 55 tahun tertua 65

tahun dan umur termuda 35 tahun.

3) Kejadian kanker serviks dengan riwayat ibu melahirkan mayoritas 3-6 kali

dan disusul lebih dari 7 kali

4) Kejadian kanker serviks dengan riwayat penggunaan kontrasepsi terbanyak

hormonal dan IUD, dengan lama penggunaan lebih dari 4 tahun

Berdasarkan hasil, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut:

1) Skrining merupakan salah satu pertahanan terbaik terhadap kanker serviks

maka perlu dilakukan secara rutin oleh seorang wanita yang sudah menikah.

2) Jangan malu melakukan pemeriksaan awal adanya keluhan, sehingga kanker

servik muda terdeteksi

3) Membatasi jumlah anak dengan 2-3 anak cukup dengan menggunakan

kontrasepsi sederhana, bila harus memakai kontrasepsi hormonal selalu

berkonsultasi

Page 64: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 54 | 231

5. DAFTAR PUSTAKA

Heru, Priyanto S. 2011. Cegah kanker pada wanita, EGC: Jakarta

Irvianty, A dan Sukarya W. 2011. Hubungan karakteriktik pasien serviks yang

dirawat inap di bagian obstetric ginekologi RS Hasan Sadikin Badung.

Available: Http://prosiding Ippm.

Unisba.ac.id/index.php/Sains/article/View/32#.VNf9L0CBCS9U

Ivanna, J.M. 2014. Hubungan paritas dan usia ibu dengan kanker kanker serviks di

RSU Prof.Kandu Manado. Jurnal Skolastik Keperawatan/Vol.1 No.1Jan-Jun

2016, ISSN:2443-0935, E-ISSN:2443-1699

Nubia M, et al. 2003. Internasional Agency for research on cancer multicenter

cervical cancer study group. Epidemiologie classification of HPV types

associated with cervical cancer, N Engl 3 Med 2003,Feb 6; 348;518-27

Munoz.,et al 2002. Role of parity and human papilomavirus ini cervical cancer: The

IARC multicentric case-control study.The Lancet,Vol 359: 1093-1101,10

e08,234-28,243-239

Otto,S.E. 2005. Buku Saku Keperawatan Onkologi, Jakarta:EGC

Sarwono,P. 2010. Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Setyarini,E. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kanker serviks

leher rahim di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Available :

http://eprints.ums.ac.id/3942/J410040010.pdf

Siti. H. 2016. Faktor-faktor resiko kejadian kanker serviks di RSUD Propinsi NTB,

Jurnal Media Bina Ilmiah. Vol 10,No.1 Januari 2016, ISSN No. 1978-3787.

Available : http://www.Ipsdimataram.com

Rasjidi. 2010. Imaging Ginekologi Onkologi, Jakarta: Sagung seto.

Rasjidi. 2007. Panduan Penatalaksanaan Kanker: Berdasarkan Evidence based.

Jakarta : EGC.

Rasjidi. 2007.Vaksin Human Papilloma VIRUS dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim,

Jakarta: Sagung Seto.

Soebachman, Agustina. 2011. Awas 7 Kanker Paling Mematikan, Yokyakarta:

Syura Media Utama.

Page 65: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 55 | 231

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFIKASI DIRI

PENDERITA TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS TIKUNG

LAMONGAN

Abdul Muhith1 M.H.Saputra

2, Sandu Siyoto

3 1Program Studi S-1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto 2Program Studi S-1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit

3Program Studi S-1 Ilmu Keperawatan STIKES Surya Mitra Husada Kediri

email: [email protected]

Abstrak

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Pasien ketika didiagnosis Tuberkulosis paru timbul ketakutan dalam dirinya, ketakutan

itu dapat berupa ketakutan akan pengobatan, kematian, efek samping obat, menularkan penyakit ke

orang lain, kehilangan pekerjaan, ditolak, perasaan rendah diri, selalu mengisolasi diri karena

malu dengan keadaan penyakitnya dan didiskriminasikan sehingga kualitas hidup pasien menurun.

Oleh karenanya penting bagi penderita Tuberkulosos untuk memiliki keyakinan untuk sembuh atau

efikasi diri. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi

diri pada penderita Tuberkulosis di Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan.

Jenis penelitian ini adalah Observasional analitik, dengan rancang bangun penelitian cross

sectional. Jumlah sampel 52 orang penderita tuberkolosis di Puskemas Tikung Lamongan pada

bulan Januari – Maret 2017.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita memiliki efikasi diri yang positif.

Berdasarkan uji statitik memperlihatkan bahwa pengalaman keberhasilan responden, pengalaman

keberhasilan orang lain, social persuasion, dan kondisi fisiologis mempengaruhi efikasi penderita

tuberkolosis di Puskesmas Tikung Lamongan.

Peran seorang perawat sangat penting dalam mengoptimalkan faktor-faktor yang mempengaruhi

keyakinan orang yang menderita penyakit tuberkulosis di Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan,

misalnya dengan memberikan konsultasi terkait dengan penyakit yang dideritanya, sehingga mampu

meningkatkan keyakinannya untuk dapat sembuh dan hidup secara normal di lingkungan

masyarakat.

Kata Kunci : Efikasi, Penderita, Tuberkulosis.

1. PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis (Murwani, 2011). Mycobacterium tuberculosis ini

ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita tuberkulosis

merupakan sumber penyebab penularan tuberkulosis pada populasi di sekitarnya.

Sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan yang

utama, baik di dunia maupun di Indonesia Fenomena di masyarakat sekarang ini

adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang

yang disangka menderita Tuberkulosis paru, sehingga muncul sikap berhati-hati

secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajak berbicara,

kalau dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya. Hal

tersebut akan sangat menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan dan

merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan

Page 66: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 56 | 231

akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan, keluhan psikis ini akan

mempengaruhi kualitas hidupnya (Ratnasari, 2012).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, diketahui

prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan

tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007. Lima provinsi dengan

TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%),

Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%). Angka prevalensi di

Jawa Timur adalah 0,2%. Angka kejadian penyakit Tuberkulosis paru di Puskesmas

Tikung Kabupaten Lamongan perolehan data rekam medis, pada tahun 2015

mencapai 84 pasien sedangkan tahun 2014 mencapai 98 pasien. Perolehan data

dari periode Januari sampai Desember 2016 telah didapatkan 60 pasien

Tuberkulosis paru yang dirawat di Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan.

Berdasarkan studi pendahuluan peneliti pada bulan Desember 2016 pada 6 orang

penderita terkait dengan keyakinan untuk sembuh, diperoleh hasil bahwa 3 orang

(50%) merasa ragu-ragu, 2 orang (33%) tidak yakin bahwa dirinya dapat sembuh

dan 1 orang (17%) merasa yakin. Berdasarkan data teresebut tampak bahwa

prosentase antara yang yakin dengan tidak yakin lebih banyak yang merasa tidak

yakin, hal ini perlu dikaji faktor apa saja yang menyebabkan mereka tidak yakin

untuk sembuh.

Salah satu faktor yang mempengaruhi manajemen perawatan diri pasien

adalah efikasi diri. Efikasi diri merupakan keyakinan individu akan kemampuannya

dalam mengatur dan melakukan suatu tugas tertentu demi tercapainya tujuan.

Menurut Feist & Feist (2016) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi efikasi diri

yaitu keberhasilan seseorang menguatkan keyakinan akan kemampuannya, sosok

model yang ideal dapat membangun keyakinan diri akan kemampuan dengan

meyakini pengamatan strategi yang efektif untuk mengatur situasi yang berbeda,

dan social persuasions berhubungan dengan dorongan. Informasi tentang

kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh

biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu

melakukan suatu tugas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa faktor-

faktor yang mempengaruhi efikasi diri pada penderita Tuberkulosis di Puskesmas

Tikung Kabupaten Lamongan.

2. METODE PENELITIAN

Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan disain cross-sectional

dengan sifat penelitian yakni penelitian penjelasan (explanatory research),

berdasarkan persepsi dari responden, yaitu menjelaskan hubungan kausal antara

variabel berdasarkan jawaban responden melalui pengujian hipotesis (Muhith,

2014).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB yang terekam di

Puskesmas Tikung Kabupaten Lamongan dari bulan Januari sampai dengan

Page 67: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 57 | 231

Desember 2016 sejumlah 60 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Simple

Random Sampling yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan

secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi, dengan jumlah

sampel sebanyak 52 orang.

Tempat penelitian ditetapkan di Wilayah Kerja Puskesmas Tikung

Kabupaten Lamongan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni

2017. Analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik Chi square dengan tingkat

signifikansi 95% atau p = 0,05.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tikung pada bulan April – Mei 2017.

Puskesmas ini terletak di Jalan Mantup No. 44 Tikung Kecamatan Tikung

Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden

No Umur Frekuensi Prosentase (%)

1

2

3

31 – 40 tahun

41 – 50 tahun

> 50 tahun

10

31

11

19.2

59.6

21.2

Jumlah 52 100

Distribusi frekuensi umur responden menunjukkan bahwa dari 52 responden

lebih dari separuh responden berusia 41 – 50 tahun yaitu sebanyak 31 responden

(59.6%).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden

No Pendidikan Frekuensi Prosentase (%)

1

2

Laki – laki

Perempuan

27

25

51.9

48.1

Jumlah 52 100

Distribusi frekuensi pendidikan responden menunjukkan bahwa dari 52

responden lebih dari separuh responden berjenis kelamin laki – laki (51.9%) yaitu

sebanyak 27 orang.

Tabel 3 Tabulasi silang antara Pengalaman Keberhasilan Responden dengan

Efikasi Diri

No Pengalaman Keberhasilan

Responden

Efikasi Diri Total

Positif Negatif

f % f % f %

1 Positif 29 55,8 2 3.8 31 59,6

2 Negatif 3 5,8 18 34,6 21 40,4

Total 32 61,5 20 38,5 52 100

p Value: 0,000. Nilai α : 0,05. jadi p < α

Tabel 3 diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar dari 52 responden

yang memiliki pengalaman keberhasilan positif serta memiliki efikasi diri positif

Page 68: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 58 | 231

yakni sebesar 29 responden (55,8%). Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa

pengalaman keberhasilan responden berhubungan positif dan signifikan dengan

efikasi diri penderita tuberkulosis (p Value: 0,000. Nilai α : 0,05).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2014) pada

sekelompok lansia penderita penyakit degeneratif di sebuah Puskesmas Kota

Bandung, menunjukkan bahwa sebagian besar Lansia memiliki pengalaman

keberhasilan positif memiliki hubungan dengan timbulnya efikasi dalam dirinya (p

value: 0,02). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Uzuntiryaki (

2010) menunjukkan hasil diantara empat faktor yang berperan dalam

perkembangan efikasi diri, faktor “pengalaman berhasil” merupakan faktor yang

paling berperan dalam meningkatkan efikasi diri.

Efikasi diri terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat terjadi pada

lingkungan sosial yang dialami. Efikasi diri terbentuk sebagai proses adaptasi dan

pembelajaran yang ada dalam tema tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka

semakin tinggi efikasi diri yang dimilikinya dalam bidang pekerjaan tertentu. Akan

tetapi tidak menutup kemungkinan efikasi diri orang tersebut justru cenderung tetap

atau menurun. Hal ini tergantung bagaimana keberhasilan dan kegagalan

mempengaruhinya. Kesuksesan membangun keyakinan yang kuat dan kegagalan

yang dialami akan menjatuhkannya, terutama jika kegagalan terjadi sebelum efikasi

diri terbentuk. Kesulitan atau kegagalan merupakan bagian dari mastery experience

yang akan menjadi dasar melatih kemampuan mengontrol setiap keadaan (Bandura

dalam Ghufron & Risnawita, 2016).

Efikasi diri sangat berkaitan dengan pengalaman berhasil, orang yang

berhasil menyelesaikan suatu masalah efikasi dirinya akan meningkat,

sebaliknya orang yang gagal menyelesaikan suatu masalah efikasi dirinya akan

turun (terutama pada waktu efkasi diri belum terbentuk secara mantap dalam diri

seseorang). Permasalahan yang menantang akan memberikan kesempatan kepada

orang untuk mengarahkan kegagalan menjadi kesuksesan. Beberapa faktor

yangberperan dalam mengembangkan efikasi diri adalah : pra-konsepsi terhadap

kemampuan diri, kesimpulan diri tentang sulitnya tugas yang telah diselesaikan,

seberapa banyak bantuan yang diterima dari orang lain, pada lingkungan yang

bagaimana permasalahan dapat diselesaikan, pola kesuksesan dan kegagalan, cara

mengelola dan merekonstruksi pengalaman dalam ingatan. Orang yang memiliki

taraf efikasi diri rendah cenderung memandang keberhasilan yang dicapai sebagai

hasil dari usaha-usaha yang melelahkan, bukan sebagai bukti dari kemampuan

yang dimiliki. Sebaliknya orang yang memiliki taraf efikasi diri tinggi cenderung

memandang kegagalan disebabkan oleh kurangnya usaha dan kurangnya strategi.

Perkembangan efikasi diri disamping ditentukan oleh keberhasilan dan kegagalan

yang telah dilakukan, juga ditentukan oleh kesalahan dalam memonitor diri.

Apabila yang diingat hanya penampilan-penampilan yang kurang baik, maka

kesimpulan tentang efikasi diri cenderung rendah (underestimate). Apabila

kegagalan sering dialami tapi secara terus menerus selalu berusaha

Page 69: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 59 | 231

meningkatkan penampilan maka efikasi diri akan meningkat. Sebaliknya, meskipun

keberhasilan sering dialami tapi yang dilihat selalu penampilan kurang baik maka

efikasi diri tidak meningkat. Kumpulan pengalaman akan menjadi penentu

efikasi diri melalui representasi kognitif, meliputi : ingatan terhadap frekuensi

keberhasilan dan kegagalan, pola temporernya, serta dalam situasi bagaimana

terjadinya keberhasilan dan kegagalan

Tabel 4 Tabulasi silang antara Pengalaman Keberhasilan Orang Lain oleh

Responden dengan Efikasi Diri

No Pengalaman Keberhasilan

Orang Lain oleh Responden

Efikasi Diri Total

Positif Negatif

f % f % f %

1 Positif 30 57,7 3 5.8 33 63,5

2 Negatif 2 3,8 17 32,7 19 36,5

Total 32 61.5 20 38,5 52 100

p Value: 0,000. Nilai α : 0,05. jadi p < α

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel di atas menunjukan bahwa sebagian

besar dari 52 responden yang mendapatkan pengalaman keberhasilan orang lain

positif juga memiliki efikasi diri positif yakni sebesar 30 responden (57,7%). Nilai

P sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai α sebesar 0,05, maka dengan ini H1 diterima

yang artinya ada hubungan antara pengalaman keberhasilan orang lain oleh

responden dengan efikasi diri penderita tuberkulosis.

Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2013) bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan vicarious experience terhadap efikasi diri dengan melibatkan Subyek

penelitian sebanyak 20 siswa kelas XII SMK Negeri 2 Salatiga. Hasil menunjukkan

kenaikan yang signifikan antara tingkat efikasi diri berwirausaha sebelum (pre test)

dan sesudah (post test) diperlihatkan video vicarious experience. Hasil berbeda dari

pendapat Klassen (2012) bahwa Vicarious experience sering terjadi melalui

pemodelan, baik oleh guru atau teman sebaya, dan telah dinyatakan menjadi factor

yang tidak berpengaruh terhadap pengalaman seseorang.

Perbandingan sosial adalah komponen penting dari Vicarious experience,

dan mungkin sangat penting bagi seseorang yang rentan berkembang karena mereka

belum menyadari kemampuan relatif untuk berkembang. Penyataan tersebut

didukung Penelitian Muretta (2004) yang melibatkan 146 guru menyatakan bahwa

tidak ada korelasi antara efikasi diri dan Vicarious Experience. Pendapat lain yang

mendukung menyatakan bahwa Meskipun subjek dalam kondisi eksperimental

model peran (meniru), tidak ada bukti statistik untuk mendukung perubahan dalam

kinerja tugas.

Pengalaman dalam mengamati orang lain yang memiliki keberhasilan dalam

mengerjakan suatu tugas akan dapat meningkatkan keyakinan individu bahwa

mereka dapat mengerjakan tugas dan memiliki kemampuan yang sama seperti role-

model-nya. Besar atau kecilnya pengaruh role-mode terhadap efikasi diri seseorang

sangat bergantung dari bagaimana seseorang tersebut merasa mirip dengan model

Page 70: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 60 | 231

yang ditirunya untuk kemudian membandingkan dengan dirinya (seberapa banyak

kesamaan yang ada). Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri

tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber self-efficacynya. Efikasi diri juga

dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. (Bandura dalam Ghufron & Risnawita,

2016).

Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu

akan meningkatkan efikasi diri individu tersebut pada bidang yang sama. Individu

melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat

melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan

untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang

dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan

penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu

untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan efikasi diri

individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya

pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman

individu akan kemampuannya sendiri.

Tabel 5 Tabulasi silang antara Social Persuasions dengan Efikasi Diri

No Social Persuasuions

Efikasi Diri Total

Positif Negatif

f % F % f %

1 Positif 29 55,8 2 3,8 31 59,6

2 Negatif 3 5,8 18 34,6 21 40,4

Total 32 61,5 20 38,5 52 100

p Value: 0,000. Nilai α : 0,05. jadi p < α

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel di atas menunjukan bahwa sebagian

besar dari 52 responden yang memiliki social persuasuions positif juga memiliki

efikasi diri positif yakni sebesar 29 responden (55,8%). Nilai P sebesar 0,000 lebih

kecil dari nilai α sebesar 0,05, maka dengan ini H1 diterima yang artinya ada

hubungan antara social persuasions dengan efikasi diri penderita tuberkulosis.

Berdasarkan penelitian sudhir (2013) menunjukkan bahwa iklim akademik

persepsi memiliki pengaruh signifikan terhadap efikasi diri kinerja akademik

mahasiswa. Menurut Chan dan Lam (2010) verbal persuasi kepada mahasiswa yang

akan mempengaruhi efikasi diri adalah memberikan respon dan feedback dari

pekerjannya. Verbal persuasi juga dapat meningkatkan proses pembelajaran dan

menjamin standart kualitas keterampilan, kualitas moral, memperkuat kerja tim,

serta merangsang peningkatan pelayanan kesehatan (Parikh, 2002). Hal tersebut

didukung oleh Bobo (2012) bahwa efikasi diri dan keterampilan klinik meningkat

setelah diperlihatkan video evaluasi dan feedback dari tindakan keterampilan

mahasiswa.

Menurut Bandura dalam dalam Ghufron & Risnawita (2016), pengaruh

persuasi verbal tidaklah terlalu besar karena tidak memberikan suatu pengalaman

Page 71: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 61 | 231

yang dapat langsung dialami atau diamati individu. Dalam kondisi yang menekan

dan kegagalan terus-menerus, pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami

pengalaman yang tidak menyenangkan.

Pada dasarnya Vebal persuasi merupakan kemampuan komunikasi yang

dapat membujuk atau mengarahkan orang lain. Dalam komunikasi persuasi terdapat

komponen atau elemen sehingga dapat disebut sebagai komunikasi persuasi.

Komponen tersebut antaranya; mempunyai tujuan persuasi baik , perintah yang

dibungkus dengan ajakan atau bujukan sehingga terkesan tidak memaksa dan

berdasarkan data-data atau fakta yang digunakan untuk memperkuat argumentasi.

Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan

bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan -

kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan.

Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk

mencapai suatu keberhasilan

Tabel 6 Tabulasi silang antara Kondisi fisiologis dengan Efikasi Diri

No Kondisi Fisiologis

Efikasi Diri Total

Positif Negatif

f % f % f %

1 Positif 29 55,8 2 3,8 31 59,6

2 Negatif 3 5,8 18 34,6 21 40,4

Total 32 61,5 20 38,5 52 100

p Value: 0,000. Nilai α : 0,05. jadi p < α

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.11 di atas menunjukan bahwa

sebagian besar dari 52 responden yang memiliki kondisi fisiologis positif juga

memiliki efikasi diri positif yakni sebesar 29 responden (55,8%). Nilai P sebesar

0,000 lebih kecil dari nilai α sebesar 0,05, maka dengan ini H1 diterima yang

artinya ada hubungan antara kondisi fisiologis dengan efikasi diri penderita

tuberkulosis.

Perubahan kondisi tubuh dan suasana hati dapat mempengaruhi efikasi diri,

orang akan cepat menyimpulkan kelelahan, rasa sakit, dan perubahan suasana hati

sebagai petunjuk tentang efikasi diri.

Sama halnya penelitian Rustika (2015) pada para pekerja yang mengalami

stress, kondisi fisiologis berhubungan dengan efikasi diri pada pekerja (p value :

0,02) dan sebagian besar pekerja memiliki pandangan tentang postitif akan kondisi

fisiologis memiliki efikasi diri yang positif. Hasil penelitian diatas sejalan dengan

penelitian Dill (2010) menunjukkan efikasi diri berhenti minum-minuman keras

menurun pada waktu suasana hati sedang sedih. Para alcoholic yang semula merasa

yakin mampu berhenti minum minuman keras (taraf efikasi diri berhenti minum

minuman keras tinggi) pada waktu suasana hatinya sedih keyakinannya untuk

mampu berhenti minum minuman keras menurun (taraf efikasi diri berhenti

minum minuman keras rendah).

Page 72: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 62 | 231

Dalam kaitannya dengan keadaan fisiologis dan suasana hati, efikasi diri

dapat meningkat apabila: kondisi tubuh meningkat, stres menurun, emosi-emosi

negatif berkurang, ada koreksi terhadap kesalahan interpretasi terhadap keadaan

tubuh. Pada waktu sedih penilaian terhadap diri cenderung rendah (tidak berarti).

Penilaian diri akan positif (taraf efikasi diri tinggi) pada waktu suasana hati

gembira, penilaian diri akan negatif (taraf efikasi diri rendah) pada waktu suasana

hati sedih. (Banduram dalam Ghufron & Risnawita , 2016)

Perubahan kondisi tubuh dan suasana hati dapat mempengaruhi efikasi diri,

orang akan cepat menyimpulkan kelelahan, rasa sakit, dan perubahan suasana

hati sebagai petunjuk tentang efikasi diri. Dalam kaitannya dengan keadaan

fisiologis dan suasana hati, efikasi diri dapat meningkat apabila: kondisi tubuh

meningkat, stres menurun, emosi-emosi negatif berkurang, ada koreksi terhadap

kesalahan interpretasi terhadap keadaan tubuh. Pada waktu sedih penilaian terhadap

diri cenderung rendah (tidak berarti). Penilaian diri akan positif (taraf efikasi diri

tinggi) pada waktu suasana hati gembira, penilaian diri akan negatif (taraf efikasi

diri rendah) pada waktu suasana hati sedih. Mengalami keberhasilan pada waktu

suasana hati gembira akan menimbulkan efikasi diri tinggi, sedangkan mengalami

kegagalan pada waktu suasana hati sedih akan menimbulkan efikasi diri rendah.

Orang yang gagal dalam suasan hati gembira cenderung overestimate terhadap

kemampuannya, sedangkan orang yang sukses dalam suasana hati sedih cenderung

underestimate terhadap kemampuannya.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengalaman

keberhasilan responden, pengalaman keberhasilan orang lain, social persuasion, dan

kondisi fisiologis mempengaruhi efikasi penderita tuberkolosis di Puskesmas

Tikung Lamongan.

5. DAFTAR PUSTAKA

Bararah, Taqiyyah & Jauhar, Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan: Panduan

Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jilid 1. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Feist, J & Feist, G. J., 2016. Teori Kepribadian, edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika

Ghufron, M. N. & Risnawati, S. R., 2016. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-

Ruzz Media

Kholid, Ahmad. 2014. Promosi Kesehatan: Dengan Pendekatan Teori Perilaku,

Media, dan Aplikasinya untuk Mahasiswa dan Praktisi Kesehatan. Jakarta:

Rajawali Pers

Muhith, dkk. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan.Muha Medika, Jogjakarta

Muhith, A., 2016. Hubungan Kondisi Rumah Sehat Dengan Frekuensi Sesak Pada

Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah

Kabupaten Gresik. Medica Majapahit, 8(2), 59-73. Available at :

Page 73: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 63 | 231

http://ejurnalp2m.stikesmajapahitmojokerto.ac.id/index.php/MM/article/vie

wFile/115/97

Murwani, A., 2011. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta : Goshyen

Publishing.

Muttaqin, A. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Ratnasari, N.Y. 2012. Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada

penderita Tuberkulosis paru dibalai pengobatan penyakit paru (BP4)

Yogyakarta. Jurnal tuberkulosis Indonesia vol 8. Hal 7 – 11.

Somantri, Irman. (2013). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan

Sistem Pernafasan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Wahid, Abd. Dan Suprapto, Imam. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Gangguan

Sistem Respirasi. Jakarta : Trans Info Media.

Page 74: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 64 | 231

FAKTOR BUDAYA, PENDIDIKAN DAN KARAKTERISTIK

SOSIAL EKONOMI TERHADAP POLA MAKAN IBU POST

PARTUM DI WILAYAH PUSKESMAS SUKOREJO

KABUPATEN PASURUAN

Marsaid Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang

Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Kebiasaan masyarakat tentang pantang makan pada ibu hamil dan post partum merupakan suatu

fenomena tersendiri di masyarakat kita, kebutuhan akan asupan gizi seringkali bertentangan dengan

budaya masyarakat khususnya pada ibu post partum, dimana ibu dalam keadaan yang lemah setelah

proses persalinan dan harus menyusui bayinya. Pembatasan budaya terhadap kecukupan gizi terjadi

di masyarakat karena belum mengetahui hubungan antara makanan dengan kesehatan maupun

kebutuhan makanan setelah melahirkan (Anderson Foster, 2005:324). Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi pengaruh faktor budaya, pendidikan dan karakteristik sosial ekonomi terhadap

pola makan ibu post partum di wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan.. Jenis penelitian

ini adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel Independennya adalah faktor

budaya, pendidikan dan karakteristik sosial ekonomi sedangkan Variabel Dependennya adalah pola

makan ibu post partum. Populasi penelitian adalah semua ibu post partum di wilayah Puskesmas

Sukorejo Kabupaten Pasuruan, menggunakan teknik Purposive Sampling dan besar sampel adalah

100 responden. Pengumpulan data dengan kuesioner. Berdasarkan hasil uji analisis statistik

Spearman didapatkan untuk variabel budaya nilai p=0,000<0,05 sedangkan untuk variabel

pendidikan nilai p=0,000<0,05 serta untuk variabel karakteristik sosial ekonomi nilai P=

0,002<0,05 yang artinya ada pengaruh yang signifikan antara faktor budaya, pendidikan dan

karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan pada ibu Post Partum. Dari hasil penelitian

diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam memberikan perawatan pada ibu Post partum

khususya informasi mengenai pentingnya pola makan yang baik yaitu dengan cara membaca leaflet

maupun bertanya kepada petugas kesehatan.

Kata Kunci : Budaya, Pendidikan, Sosial ekonomi, Pola makan

1. PENDAHULUAN

Pembangunan generasi yang cerdas serta berkualitas merupakan tanggung

jawab seluruh komponen masyarakat. Ibu mempunyai peran dan tanggung jawab

melahirkan generasi yang cerdas dan berkualitas. Peningkatan kualitas manusia

harus dipersiapkan sejak dalam kandungan sampai saat persalinan hingga masa

tumbuh kembangnya, oleh karena itu kesejahteraan ibu dan anak perlu mendapat

perhatian khusus. Kwalitas hidup, produktifitas tenaga kerja, angka kesakitan dan

kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak, menurunnya daya kerja fisik serta

terganggunya perkembangan mental adalah akibat langsung atau tidak langsung dari

masalah gizi kurang.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu masalah gizi yang paling utama

pada saat ini di Indonesia adalah kurang kalori, protein hal ini banyak ditemukan

bayi dan anak yang masih kecil dan sudah mendapat adik lagi yang sering disebut

Page 75: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 65 | 231

“kesundulan” artinya terdorong lagi oleh kepala adiknya yang telah muncul

dilahirkan. Keadaan ini karena anak dan bayi merupakan golongan rentan.

Kasus gizi buruk terjadi terutama pada penduduk miskin dengan golongan

yang rawan seperti ibu hamil, ibu post partum, bayi dan balita. Masalah kekurangan

gizi ini karena pengaruh faktor ekonomi yang rendah, perilaku dan pengetahuan

masyarakat yang kurang tentang gizi. Kepercayaan bahwa ibu hamil dan post

partum pantang mengkonsumsi makanan tertentu menyebabkan kondisi ibu post

partum kehilangan zat gizi yang berkualitas. Kemiskinan masyarakat akan

berdampak pada penurunan pengetahuan dan informasi, dengan kondisi ini

keluarga, khususnya ibu akan mengalami resiko kekurangan gizi, menderita anemia

dan akan melahirkan bayi berat badan lahir rendah (Rahman, 2003).

Pemenuhan gizi ibu setelah melahirkan erat kaitanya dengan tingkat

pengetahuan serta cara ibu menilai makanan yang sering dianggap tabu oleh karena

adanya budaya yang berkembang di masyarakat.

Pembatasan budaya terhadap kecukupan gizi sering kali terjadi di

masyarakat karena belum mengetahui hubungan antara makanan dengan kesehatan

maupun kebutuhan makanan setelah melahirkan. Di Indonesia pantangan makanan

ketika melahirkan dan hamil ada yang mengakibatkan kurang gizi. Sedangkan di

pantai timur Malaysia seorang yang post melahirkan tidak boleh makan makanan

yang dingin selama 40 hari, semua makanan dipanaskan termasuk buah-buahan

kecuali durian karena sudah panas, karena adanya pembatasan itu makanan kurang

mencukupi dari yang seharusnya (Anderson foster.2005)

Dalam konteks perilaku dan budaya tradisi pantang makanan tertentu masih

harus dijalani ibu hamil dan melahirkan yang mengakibatkan banyak ibu hamil dan

nifas tidak dapat mengkonsumsi makanan tinggi protein.

Mengingat banyak kebiasaan yang berhubungan dengan makanan yaitu

adanya beberapa makanan tabu setelah melahirkan yang tidak memberikan efek

positif terhadap kesehatan dan kondisi gizi Ibu. Pada beberapa daerah, larangan

konsumsi telur, daging dan makanan yang mengandung protein tinggi lainnya dapat

mengurangi asupan gizi yang penting. Banyak buah-buahan dan sayuran yang juga

dilarang untuk dikonsumsi padahal sangat dibutuhkan oleh Ibu yang baru

melahirkan. Oleh karena itu Ibu harus mendapat nasehat gizi dan petunjuk makanan

dari bagian gizi Rumah Sakit/Puskesmas. (Hellen Forrer.1999)

Perilaku makan pada dasarnya merupakan bentuk penerapan kebiasaan

makan. Kebiasaan makan merupakan sebagai cara-cara individu atau kelompok

masyarakat dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang

tersedia, yang didasari pada latar belakang sosial budaya tempat mereka hidup.(den

Hertog dan van Staveren, 1983). Dari sudut pandang ilmu antropologi dan ilmu

sosiologi mengenai perilaku konsumsi makan individu dan sistem sosial keluarga

menunjukkan, bahwa faktor umum yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah

karena adanya perubahan sosial (Sanjur, 1982)

Page 76: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 66 | 231

Menurut Sanjur (1982), terdapat dua dasar pemikiran mengenai kebiasaan

makan yang terdapat pada diri seseorang yaitu: 1) kebiasaan makan yang terbentuk

pada seseorang sebagai faktor budaya karena dipelajari dan 2) kebiasaan makan

yang sengaja dipelajari.

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 13

Maret 2010 didapatkan data jumlah ibu melahirkan di wilayah Puskesmas Sukorejo

Kabupaten Pasuruan pada bulan Januari 2010 sebanyak 96 orang, dengan perincian

91 orang lahir di tenaga kesehatan dan sisanya 5 orang lahir di dukun. Sedangkan

pada bulan Pebruari 2010 jumlah ibu melahirkan di wilayah Puskesmas Sukorejo

sebanyak 97 orang, dengan perincian persalinan ditolong tenaga kesehatan

sebanyak 90 orang dan 7 orang ditolong oleh dukun.

Kebiasaan masyarakat tentang pantang makan pada ibu hamil dan post

partum merupakan suatu fenomena tersendiri di masyarakat kita, kebutuhan akan

asupan gizi seringkali bertentangan dengan budaya masyarakat khususnya pada ibu

post partum, dimana ibu dalam keadaan yang lemah setelah proses persalinan dan

harus menyusui bayinya. Ibu post partum harus berpantang makanan daging, telur

dan sebagainya yang justru sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan gizi

pada ibu post partum. Fakta yang ada dimasyarakat selain budaya yang

mempengaruhi pola makan ada pula faktor karakteristik keluarga diantaranya

kondisi sosial ekonomi yang akan berpengaruh pada pola makan. Semakin rendah

kondisi sosial ekonomi seseorang semakin banyak dalam menjalankan berpantang

terhadap makanan. Notoatmojo (1997) mengartikan kondisi sosial ekonomi

berpengaruh terhadap budaya pantang makan, dimana status sosial ekonomi

ditentukan oleh pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lingkungan tempat tinggal, dan

jumlah anggota keluarga. Berdasarkan uraian diatas maka penting untuk dibuktikan

melalui penelitian adakah pengaruh faktor budaya, pendidikan dan karakteristik

sosial ekonomi terhadap pola makan ibu post partum di wilayah Puskesmas

Sukorejo Kabupaten Pasuruan.

Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:

pengaruh faktor pendidikan terhadap pola makan ibu post partum di wilayah

Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan. Menganalisis pengaruh faktor

karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan ibu post partum di wilayah

Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain observasional analitic dengan

pendekatan cross sectional. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti pengaruh

faktor budaya, pendidikan dan karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan

pada ibu post partum di wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan.

Page 77: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 67 | 231

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah para ibu post partum di wilayah

Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan. Sampel diambil dari 100 ibu post partum

yang ada di wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan. Pengambilan

sampel dengan cara purposive sampling.

Teknik Pengumpulan Data.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan kuesioner

yang diberikan ke responden. Kuisoner yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuisoner dalam bentuk tertutup, dimana jawaban sudah di sediakan sehingga

responden tinggal memilih dengan memberikan tanda silang (X) dari pilihan

jawaban yang tersedia. Setiap jawaban dari masing-masing jawaban diberi nilai,

apabila benar nilai 1 dan nilai 0 apabila salah.

Teknik Pengolahan Data.

Data yang telah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan variabelnya.

Untuk variabel budaya dan pola makan pada lembar kuesioner dicantumkan 2

jawaban yaitu “Ya” dan “Tidak”. Dengan pembagian kelompok skor dimana

pertanyaan positif untuk jawaban “ya” diberi skor 1 dan jawaban “ tidak” diberi

skor 0. Sedangkan pada pertanyaan yang bersifat negatif jawaban “ya” diberi skor 0

dan jawaban “ tidak” diberi skor 1. Untuk variabel pendidikan yang lulusan

Perguruan Tinggi Skornya = 4, lulusan SMA skornya = 3, lulusan SMP skornya =

2, lulusan SD skornya = 1 dan tidak lulus SD skornya = 0. Untuk variabel keadaan

sosial ekonomi yang jumlah penghasilan keluarga per bulan kurang dari

Rp.500.000 skornya = 1, Rp.500.000 s/d 1.000.000 skornya = 2, dan lebih dari

Rp.1.000.000 skornya = 3. Selanjutnya melakukan perhitungan prosentase dari skor

kuesioner yang didapatkan. Kemudian hasil perhitungan prosentase dimasukkan

dalam kriteria penilaian dan diinterprestasikan secara kualitatif. Untuk penilaian

mengenai budaya dikategorikan secara dikotomi dengan menggunakan kriteria

peneliti: Tidak sesuai budaya bila nilainya 50-100% dan Sesuai budaya bila nilainya

< 50 %. Untuk penilaian mengenai pendidikan dimasukkan dalam kriteria : SD

tidak lulus, Lulus SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Sedangkan untuk

variabel karakteristik sosial ekonomi dikelompokkan menjadi : Kurang dari

Rp.500.000, Rp.500.000 s/d 1.000.000 dan Lebih dari Rp.1.000.000. Untuk

penilaian mengenai pola makan dikategorikan dengan menggunakan kriteria

peneliti: Pola makan baik bila nilainya 50 – 100 % dan Pola makan tidak baik bila

nilainya < 50 %. Kemudian dianalisa dengan Spearman untuk mengetahui adakah

pengaruh variabel-variabel independent mempengaruhi dependent dengan derajad

kemaknaan p<0,05. Analisa data ini menggunakan piranti lunak SPSS for windows.

Page 78: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 68 | 231

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Karakteristik Responden

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Umur No. Umur f (%)

1.

2.

3.

< 20 tahun

20 – 40 tahun

41 – 60 tahun

3

94

3

3

94

3

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah responden yang berumur antara 20–

41tahun sebanyak 94 responden (94 %).

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi berdasarkan Pekerjaan No. Pekerjaan f (%)

1.

2.

3.

4.

5.

Swasta

TNI/Polri

PNS

Petani

Ibu Rumah Tangga

64

0

6

6

24

64

0

6

6

24

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa jumlah responden yang mempunyai

pekerjaan swasta sebanyak 64 responden (64 %).

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Pendidikan f %

1.

2.

3.

4.

5.

SD Tidak Lulus

SD Lulus

SLTP

SLTA

Diploma/Sarjana

0

23

20

47

10

0

23

20

47

10

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa jumlah responden yang pendidikannya

SLTA sebanyak 47 responden (47%).

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan keadaan sosial ekonomi

No Pendidikan F %

1.

2.

3.

Pendapatan kurang

Pendapatan sedang

Pendapatan lebih

5

75

20

5

75

20

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa jumlah responden yang keadaan sosial

ekonominya sedang sebanyak 75 responden (75%).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Budaya

No Budaya f %

1.

2.

Tidak Sesuai Budaya

Sesuai Budaya

44

56

44

56

Jumlah 100 100

Page 79: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 69 | 231

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa jumlah responden yang sesuai

budaya sebanyak 56 responden (56%).

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Makan No Pendidikan f %

1.

2.

Pola Makan Baik

Pola Makan Tidak Baik

77

23

77

23

Jumlah 100 100

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa jumlah responden yang pola

makannya baik sebanyak 77 responden (77%).

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan faktor budaya dan pola makan

No

Budaya

Pola Makan

Baik Tidak Baik Jumlah

f % f % f %

1. Tidak sesuai budaya 44 44 0 0 44 44

2. Sesuai budaya 33 33 23 23 56 56

Jumlah 77 77 23 23 100 100

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa jumlah responden yang tidak sesuai

budaya dan pola makannya baik sebanyak 44 responden (44 %).

Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan pendidikan dan pola makan

No

Pendidikan

Pola Makan

Baik Tidak Baik Jumlah

f % f % f %

1 SD Lulus 0 0 23 23 23 23

2 SLTP 20 20 0 0 20 20

3 SLTA 43 43 0 0 43 43

4 PT 14 14 0 0 14 14

Jumlah 77 77 23 23 100 100

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa jumlah responden yang

pendidikannya SLTA dan pola makannya baik sebanyak 43 responden (43 %).

Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi responden berdasarkan keadaan sosial ekonomi dan

pola makan

No Pendapatan

Pola Makan

Baik Tidak Baik Jumlah

f % f % f %

1. Pendapatan kurang 2 2 3 3 5 5

2. Pendapatan sedang 55 55 20 20 75 75

3. Pendapatan lebih 20 20 0 0 20 20

Jumlah 77 77 23 23 100 100

Berdasarkan tabel 4.9. diketahui bahwa jumlah responden yang pendapatan

keluarganya sedang dan pola makannya baik sebanyak 55 responden (55 %).

Page 80: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 70 | 231

Pengaruh faktor budaya, pendidikan dan sosial ekonomi dengan pola makan

pada ibu post Partum di Wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan

Dari hasil uji statistik Spearman dengan p = 0,05 variabel pengaruh budaya

terhadap pola makan didapatkan nilai Sig.(2 tailed) atau p = 0,000 < 0,05 sehingga

menunjukkan H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya ada pengaruh yang

signifikan antara faktor budaya dengan pola makan. Sedangkan hasil uji statistik

variabel pengaruh pendidikan terhadap pola makan didapatkan nilai p = 0,000 <

0,05 sehingga menunjukkan H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya ada pengaruh

yang signifikan antara faktor pendidikan dengan pola makan. Hasil Uji statistik

variabel pengaruh karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan didapatkan

nilai p = 0,002 < 0,05 sehingga menunjukkan H1 diterima dan H0 ditolak yang

artinya ada pengaruh yang signifikan antara faktor sosial ekonomi dengan pola

makan.

Pembahasan

Pengaruh Faktor Budaya Terhadap Pola Makan Pada Ibu Post Partum Di

Wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan

Berdasarkan hasil uji statistik Spearman pada tabel 5.0 menunjukkan ada

pengaruh yang signifikan antara faktor budaya terhadap pola makan pada ibu post

partum dengan tingkat kemaknaan p < 0,05. Hal ini dapat diketahui dari analisa

butir soal kuesioner nomor 8 sebanyak 47 responden (47%) menjawab kebiasaan

makan bukan merupakan hasil turun temurun.

Berdasarkan hasil penelitian diatas dari hasil uji statistik diatas, menurut

peneliti disebabkan sebagian responden tidak mempunyai suatu kepercayaan atau

pantangan dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini karena didukung oleh

kemampuan berfikir masyarakat dalam menyesuaikan diri pada pola perilaku yang

dirasa bermanfaat bagi mereka karena berkembangnya ilmu pengetahuan sehingga

memiliki pola makan yang sesuai yaitu menerima beberapa jenis makanan sesuai

dengan kebutuhan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Soerjono Soekamto (2003) kebudayaan

terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif artinya

mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak.

Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang

yang hidup bermasyarakat yang mengahsilkan filsafat serta ilmu pengetahuan

sedangkan menurut Suharjo (1986) mengembangkan kebiasaan makan mempelajari

cara yang berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak

bentuk atau jenis pangan tertentu mulai dari permulaan hidupnya dan menjadi

bagian perilaku yang berakal diantara kelompok penduduk tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 44% responden tidak

sesuai budaya, hal ini dapat diketahui dari jawaban respnden yang mengatakan

bahwa ibu-ibu post partum tidak mempunyai suatu kepercayaan atau pantangan

dalam mengkonsumsi makanan yang disajikan oleh bidan/puskesmas.

Page 81: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 71 | 231

Hal ini sangat memungkinkan responden mempunyai ilmu dan wawasan

dalam memberikan jawaban dengan alasan yang rasional pada suatu pertanyaan

yang diberikan. Mengingat tingkat pendidikan setingkat SLTA merupakan

kesinambungan dari pendidikan dasar (wajib belajar) sehingga pengetahuan yang

dimilikinya juga semakin luas dan dapat mengambil keputusan atas sikap yang

dianggap paling baik dan bermanfaat bagi mereka.

Menurut Muhibin Syah masa dewasa awal (early adulthood) ialah fase

perkembangan saat seseorang remaja mulai memasuki masa dewasa. Menurut

Hurlock masa dewasa dini adalah masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh

dengan ketegangan emosional, periode isolasi sosial dan masa ketergantungan,

perubahan nilai-nilai kreatifitas dan penyesuaian diri pada pola yang baru. Menurut

Foster dan Anderson bahwa pendidikan dan urbansasi yang meningkat telah

melemahkan adat istiadat pada generasi sekarang. Segi positifnya bahwa

penegtahuan mengenai kepercayaan disuatu tempat tersebut dapat dipakai dalam

perencanaan perbaikan gizi.

Sedangkan menurut Notoatmojo (2003) perilaku manusia dipengaruhi oleh

lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya. Dan untuk

melakukan pendekatan perilaku kesehatan petugas kesehatan juga harus menguasai

berbagai macam latar belakang sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.

Disamping itu tempat tinggal responden yang berada tidak jauh dari pusat

kegiatan masyarakat sehingga pemenuhan kebutuhan dan fasilitas sehari-hari

mudah didapatkan serta lebih mudah untuk menyesuaikan diri pada pola yang baru

yang berkembang seperti kepercayaan mengenai pola makan (pantangan makan).

Perilaku makan pada dasarnya merupakan bentuk penerapan kebiasaan

makan. Kebiasaan makan merupakan sebagai cara-cara individu atau kelompok

asyarakat dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang

tersedia, yang didasari pada latar belakang sosial budaya tempat mereka hidup.(den

Hertog dan van Staveren, 1983).

Dari sudut pandang ilmu antropologi dan ilmu sosiologi mengenai perilaku

konsumsi makan individu dan sistem sosial keluarga menunjukkan bahwa faktor

umum yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah karena adanya perubahan

sosial (Sanjur, 1982)

Pengaruh Faktor Pendidikan Terhadap Pola Makan Pada Ibu Post Partum Di

Wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan

Berdasarkan tabel 5.0 didapatkan ada pengaruh yang signifikan antara faktor

pendidikan terhadap pola makan pada ibu post partum dengan tingkat kemaknaan p

< 0,05. Hal ini disebabkan karena 43 responden (43%) dengan pendidikan terakhir

SLTA (menengah) mempunyai pola makan yang baik, sedangkan 23 responden

(23%) dengan pendidikan terakhir SD mempunyai pola makan tidak baik.

Dari hasil uji statistik diatas menurut peneliti disebabkan karena ibu post

partum dengan pendidikan yang lebih tinggi lebih mudah membawa perubahan

Page 82: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 72 | 231

karena lebih mudah menerima informasi dan memiliki pengetahuan luas sehingga

dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengkonsumsi makanan yang sesuai

dengan kebutuhan.

Hal ini dikaitkan dengan teori Notoatmodjo (2003) bahwa pendidikan

merupakan suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses

pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik,

dan lebih matang pada diri individu kelompok atau masyarakat, dari tidak tau

tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tau, dari tidak mampu mengatasi masalah-

masalah kesehatanya sendiri menjadi mampu, serta dapat menghasilkan perubahan

atau peningkatan pengetahuan masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 43% responden memiliki

pendidikan terakhir tingkat menengah. Menurut UU Sisdiknas pendidikan SLTA

yaitu pendidikan yang merupakan lanjutan dari pendidikan dasar dan menengah.

Hal ini dikaitkan dengan teori Notoadmojo (2003) bahwa pendidikan merupakan

suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses

pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik,

dan lebih matang pada diri individu kelompok atau masyarakat, dari tidak tahu

tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah-

masalah kesehatanya sendiri menjadi mampu, serta dapat mengahsilkan perubahan

atau peningkatan pengetahuan masyarakat.

Menurut Muhibbin Syah (2003) pendidikan berarti tahapan kegiatan yang

bersifat kelembagaan yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan

individu dalam mengetahui pengetahuan kebiasaan, sikap dan sebagainya.

Sedangkan menurut Solita Sarwono (2004) di Indonesia telah dikembangkan suatu

strategi perubahan perilaku dengan menggunakan metode pendidikan yang

bertujuan untuk mengembangkan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dan

memecahkan masalah kesehatan masyarakat setempat. Jelas bahwa untuk mencapai

tujuan ini anggota masyarakat perlu dilatih dan diberi kesempatan untuk

mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketarampilan mereka dalam memecahkan

maslah-masalah dengan menggunakan secara optimal sumber-sumber yang dapat

diperoleh di tempat itu. Pendekatan edukatif ini melibatkan secara aktif masyarakat

atau konsumen juga petugas kesehatan.

Perilaku konsumsi makan seperti halnya perilaku lainnya pada diri eseorang,

satu keluarga atau masayarakat dipengaruhi oleh wawasan dan cara pandang dan

faktor lain yang berkaitan dengan tindakan yang tepat. Jika ditelusuri lebih lanjut,

sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu berkaitan

dengan informasi tentang makanan dan gizi yang pernah diterimanya dari berbagai

sumber. Di sisi lain, perilaku konsumsi makan dipengaruhi pula oleh wawasan atau

cara pandang seseorang terhadap masalah gizi. Wawasan ini berkaitan erat dengan

pengetahuan dan sikap-sikap mental, baik berasal dari proses sosialisasi dalam

sistem sosial keluarga maupun melalui proses pendidikan.

Page 83: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 73 | 231

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Pola Makan Pada Ibu Post

Partum Di Wilayah Puskesmas Sukorejo Kabupaten Pasuruan.

Berdasarkan tabel 5.0 didapatkan ada pengaruh yang signifikan antara

karakteristik sosial ekonomi terhadap pola makan pada ibu post partum dengan

tingkat kemaknaan p < 0,05. Hal ini disebabkan karena dari 77 responden (77%)

yang mempunyai pola makan baik, 55 responden (55%) berpendapatan sedang

sedangkan 20 responden (20%) dengan pendapatan lebih.

Pola makan yang kurang baik dapat berdampak terhadap masalah gizi.

Kasus gizi buruk terjadi terutama pada penduduk miskin dengan golongan yang

rawan seperti ibu hamil, ibu post partum, bayi dan balita. Masalah kekurangan gizi

ini karena pengaruh faktor ekonomi yang rendah, perilaku dan pengetahuan

masyarakat yang kurang tentang gizi. Kepercayaan bahwa ibu hamil dan post

partum pantang mengkonsumsi makanan tertentu menyebabkan kondisi ibu post

partum kehilangan zat gizi yang berkualitas.

Kemiskinan masyarakat akan berdampak pada penurunan pengetahuan dan

informasi, dengan kondisi ini keluarga, khususnya ibu akan mengalami resiko

kekurangan gizi, menderita anemia dan akan melahirkan bayi berat badan lahir

rendah (Rahman, 2003).

Fakta yang ada dimasyarakat selain budaya yang mempengaruhi pantang

makan ada pula faktor karakteristik keluarga diantaranya kondisi sosial ekonomi

yang akan berpengaruh pada perilaku pantang makan. Semakin rendah kondisi

sosial ekonomi seseorang semakin banyak dalam menjalankan berpantang terhadap

makanan. Notoatmojo (1997) mengartikan kondisi sosial ekonomi berpengaruh

terhadap budaya pantang makan, dimana status sosial ekonomi ditentukan oleh

pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lingkungan tempat tinggal, dan jumlah anggota

keluarga.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uji analisis statistik Spearman ada pengaruh yang

signifikan antara faktor budaya terhadap pola makan pada ibu Post Partum. Ada

pengaruh yang signifikan antara faktor pendidikan terhadap pola makan pada ibu

Post Partum. Ada pengaruh yang signifikan antara karakteristik sosial ekonomi

terhadap pola makan pada ibu Post Partum

Saran

Bagi Ibu-ibu Post Partum diharapkan dapat mempertahankan pemahaman

tentang pola makan yang baik serta mempunyai pertimbangan dalam memperbaiki

pola makan agar sesuai dengan kebutuhan yaitu dengan cara membaca leaflet

tentang diet post Partum serta banyak bertanya kepada tenaga kesehatan/bidan

sewaktu dirawat di puskesmas/polindes serta tidak terpengaruh terhadap pantangan

makanan yang tidak benar.

Page 84: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 74 | 231

Bagi Puskesmas/Polindes diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam

memberikan perawatan pada ibu Post Partum khususnya dalam pemberian motivasi

dan informasi melalui penyuluhan tentang pentingnya pola makan yang baik, yang

dibutuhkan untuk proses penyembuhan atau pemulihan Post Partum selain itu

melalui media lain seperti flipchart, poster selain itu menyedikan tempat konsultasi

untuk diit post Partum.

Bagi Peneliti Selanjutnya diharapkan dapat dijadikan data dasar untuk

melakukan penelitian pengembangan selanjutnya sehingga diperoleh gambaran

tentang pola makan pada ibu Post Partum.

5. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Foster. 2005. Antropologi Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia

(UI. Perss).

Alwi, H.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pusataka.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

Almaitser, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Farrer, Helen. 1999. Perawatan Maternitas. Jakarta : EGC.

Gallasher, Chrissie. 2004. Pemulihan Pasca Operasi Caesar. Jakarta : Airlangga.

Hariningsih. 2004. Perawatan Ibu Nifas. Klaten : Sahabat Setia.

Mochtar, Rustam.1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.

Nursalam. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan .CV.

Indofomedia. Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo.2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rieneka

Cipta.

Sarwono, Solita.2004. Sosiologi Kesehatan. Jogyakarta : Gajah Mada University

Press.

Suhardjo.1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta : UI Perss.

Soekanto, Soerjono.2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada.

Syah Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Page 85: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 75 | 231

PENGARUH MOBILISASI TEMPAT TIDUR TERHADAP

PERISTALTIK USUS PADA PASIEN STROKE DI RUANG

INTERNE 1 RSUD DR. R. SOEDARSONO PASURUAN

Sumirah Budi Pertami1 Budiono

2, Oktaviani Defi

3 1, 2, 3

Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang

Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Stroke merupakan gangguan saraf yang disebabkan adanya penyumbatan saluran darah di otak.

Gejalanya berupa kelemahan pada anggota tubuh sehingga berdampak imobilisasi, yang

menghambat rangsangan pada saraf parasimpatis, sehingga menurunkan gelombang peristaltik

usus. Penanganan yang dilakukan perawat yaitu mobilisasi secara instruksional tanpa protab

tertulis, sehingga tindakan mobilisasi belum efektif di ruang rawat inap. Upaya keperawatan untuk

meningkatkan peristaltik usus dilakukan mobilisasi tempat tidur dengan posisi lateral yang dirubah

setiap 2 jam dan latihan rentang gerak di tempat tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh mobilisasi tempat tidur terhadap peristaltik usus pada pasie stroke di RSUD Dr. R.

Soedarsono Pasuruan. Desain penelitian yang digunakan adalah True Experimental dengan jenis

rancangan Pretest- Postest with Control Group Design. Menggunakan teknik accidental sampling,

sampel diperoleh sebanyak 30 responden. Analisis data uji statistik menggunakan Independent t -

Test dan Paired t – Test dengan α < 0,05. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh mobilisasi

tempat tidur terhadap peristaltik usus pada pasien stroke (ρ value = 0,001 < 0,05). Mobilisasi

tempat tidur dapat melancarkan sirkulasi darah dengan menghantarkan rangsang ke saraf

parasimpatis untuk merangsang motilitas usus sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus. Pasien

stroke dengan imobilisasi disarankan untuk melakukan mobilisasi tempat tidur agar tidak terjadi

komplikasi seperti konstipasi, ileus paralitik.

Kata Kunci: Mobilisasi Tempat Tidur, Peristaltik Usus, Stroke

1. PENDAHULUAN

Cedera Vaskular Serebral (CVS), yang sering disebut stroke atau serangan

otak, yaitu cedera otak yang berkaitan dengan penyumbatan aliran darah di otak

(Corwin, 2009). CVS atau Stroke terjadi karena adanya gangguan fungsi syaraf.

Gangguan syaraf tersebut menimbulkan beberapa gejala antara lain bicara pelo,

kemungkinan perubahan kesadaran, kelumpuhan wajah atau anggota badan,

disfungsi kandung kemih, gangguan eliminasi dan lain-lain (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kemenkes Republik Indonesia, 2013).

WHO (2005), menyatakan penyakit serebrovaskular termasuk stroke adalah

pembunuh nomor 2 di dunia. WHO memperkirakan 5,7 juta kematian terjadi akibat

stroke pada tahun 2005 dan itu sama dengan 9,9 % dari seluruh kematian. Lebih

dari 85% kematian ini terjadi pada orang yang hidup di negara yang berpenghasilan

rendah dan menengah dan sepertiga diantaranya terjadi pada usia <70 tahun.

Bardasarkan hasil Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes

Republik Indonesia (2013), Prevalensi penyakit stroke juga meningkat dari 8,3

per1000 (2007) menjadi 12,1 per1000 (2013) di Indonesia. Yayasan Stroke

Page 86: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 76 | 231

Indonesia (2009) dalam Mufattichah (2012), Indonesia menduduki peringkat

pertama di Asia pada kasus stroke. Setiap tahun diperkirakan 500 ribu orang

mengalami serangan stroke dan 28,5% dari 500 ribu orang yang menderita stroke di

Indonesia meninggal dunia. Selain itu, tahun 2020 diperkirakan penyakit jantung

dan stroke menjadi penyebab utama kematian di dunia.

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis, stroke termasuk dalam

10 besar penyakit yang dirawat di RSUD Dr. Soedarsono Pasuruan. Pasien stroke

mengalami peningkatan masuk ke ruang interne 1 mulai bulan Juni sampai bulan

Oktober didapatkan data 200 pasien stroke. Selain itu, dari hasil survei menunjukan

bahwa hampir 60% atau 120 pasien stroke dari 200 pasien stroke mengalami

penurunan peristaltik usus akibat imobilisasi (Data Rekam Medis RSUD Dr.

Soedarsono Pasuruan, 2016).

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi

lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral.

Salah satu masalah kesehatan yang timbul akibat stroke adalah kehilangan kontrol

volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan kontrol motorik volunter pada salah

satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang

berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada salah

satu sisi tubuh (hemiparesis). Hemiparesis membuat mudah lelah, mengakibatkan

ketidak mampuan bergerak secara aktif atau imobilisasi (Smeltzer & Bare, 2002).

Dampak imobilisasi pada sistem pencernaan dapat menurunkan peristaltik

usus (Perry & Potter, 2006) sehingga dapat menyebabkan gangguan eliminasi,

paralitik ileus dan peritonitis (Muttaqin, 2011). Penelitian Cooney & Reuler (1991)

dalam Manurung (2015), pasien stroke dengan imobilisasi hanya berbaring saja

tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut. Pasien dengan

immobilisasi akan mengakibatkan perubahan pada fungsi fisiologis. Bahaya

fisiologis akan menurunkan laju metabolisme dan menyebabkan gangguan

gastrointestinal seperti nafsu makan dan penurunan peristaltik. Berdasarkan

Penelitian Umah & Syafi’i (2014), sebanyak 10 responden dalam keadaan

imobilisasi dan 7 responden (80%) dari 10 responden memiliki masalah sistem

gastrointestinal yang mengakibatkan gerakan peristaltik menurun.

Penurunan peristaltik usus dapat diatasi dengan beberapa cara dengan tetap

menjaga aktivitas karena melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis dan

diafragma dapat dipertahankan sehingga proses gerakan peristaltik pada daerah

kolon dapat bertambah baik (Umah & Syafi’i, 2014). Mobilisasi tempat tidur

sebenarnya sudah dilakukan tapi secara instruksional sehingga belum efektif di

ruang rawat inap. Oleh karena itu penggantian posisi secara teratur dan sering

merupakan salah satu tindakan keperawatan yang perlu dilakukan karena dapat

mencegah komplikasi yang dapat timbul akibat berbaring. Posisi pasien sebaiknya

dirubah setiap 2 jam dan diberi latihan rentang gerak di tempat tidur bila tidak ada

kontra indikasi (Prasetya, 2013).

Page 87: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 77 | 231

Mobilisasi tempat tidur yaitu Mobilisasi posisi lateral setiap 2 jam dan

latihan rentang gerak merangsang gelombang peristaltik di gelombang usus besar

(Fibre & ageing, 2007). Menurut Priharjo (2007) dalam Prastya (2013) mobilisasi

secara teratur merupakan salah satu tindakan keperawatan yang perlu dilakukan

karena dapat mencegah komplikasi yang dapat timbul akibat tirah baring maka

posisi pasien sebaiknya dirubah setiap 2 jam dan latihan rentang gerak bila tidak

ada kontra indikasi.

Proses pergerakan peristaltik usus dengan adanya mobilisasi tempat tidur

yaitu terjadi gerakan reflek sebagai reseptor rangsangan sensorik yang peka

terhadap rangsangan dimana serat saraf aferen yang dapat menghantarkan

rangsangan tersebut ke susunan saraf pusat. Saraf pusat tempat integrasi masuknya

sensorik dan dianalisis kembali ke neuron eferen, lalu merangsang serabut saraf

pada otot rangka sehingga mempercepat metabolisme dalam tubuh disertai dengan

meningkatnya curah jantung, yang akan menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh

menjadi lebih cepat. Sirkulasi darah yang lancar akan menyebabkan inervasi saraf

parasimpatik ke saluran pencernaan (Hidayat & Uliyah, 2008) .

Saraf parasimpatis berjalan dalam saraf vagus (nervus 10) ke regio

abdomen tubuh mempersarafi kesetengah bagian proksimal kolon. Sedangkan serat

parasimpatis sakral berkumpul di saraf pelvik, meninggalkan pleksus sakralis pada

segmen S-2 dan S-3 dan menyebarkan serat-serat perifernya ke kolon desenden dan

rektum (Price & Wilson, 2006). Pada traktus gastrointestinal memiliki sistem

persarafan yang disebut sistem saraf enterik, yang terdiri dari pleksus mienterikus

dan pleksus submukosa. Di dalam kedua pleksus tersebut terdapat serat

preganglionik bersinaps dengan neuron postganglionik kemudian mendekati sel

efektor. Di dekat sel efektor terdapat varikositas yang didalamnya terdapat vesikel

transmitter asetilkolin. Di dalam varikositas ini juga terdapat banyak sekali

mitokondria untuk mensuplai adenosin trifosfat yang dibutuhkan untuk memberi

energi pada sintesis asetilkolin. Dengan dihasilkannya asetilkolin akan memicu

gerakan peristaltik usus (Guyton, 1995; Prastya, 2013).

Berdasarkan permasalahan di atas,. Peneliti ingin mengetahui pengaruh dari

pemberian mobilisasi tempat tidur terhadap peristaltik usus pada pasien stroke.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah True Experimental dengan jenis rancangan Pretest-

Postest with Control Group Design, Teknik pengambilan sampel adalah non

probability sampling yaitu teknik yang memberikan kesempatan yang sama bagi

anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel dan jumlah sampel adalah 30

responden yang terdiri dari 15 responden kelompok intervensi dan 15 responden

kelompok kontrol. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan lembar

observasi dan lembar SOP (Standart Operasioanl Prosedure) mobilisasi tempat

tidur yaitu latihan rentang gerak 2x pagi dan sore serta memberikan posisi lateral

Page 88: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 78 | 231

setiap 2 jam 3x sehari. Kemudian oleh peneliti 15 responden kelompok intervensi

diukur peristaltik usus pretest, mobilisasi tempat tidur yaitu memberikan latihan

rentang gerak 2x sehari pagi dan sore lalu memberikan posisi lateral tiap 2 jam 3x

sehari selama 3 hari, setelah itu diukur peristaltik usus postest setiap hari pada sore

hari selama 3 hari. Kelompok kontrol 15 responden diukur peristaltik usus pretest

waktu pengukuran disamakan waktu pengukuran pretest kelompok intervensi,

namun tidak diberi mobilisasi tempat tidur kemudian diukur peristaltik usus posttest

setiap hari pada sore hari selama 3 hari, lalu kelompok kontrol diberikan mobilisasi

tempat tidur pada hari ke 4 sampai ke 6, kelompok kontrol diukur peristaltik usus

pretest, mobilisasi tempat tidur yaitu memberikan latihan rentang gerak 2x sehari

pagi dan sore lalu memberikan posisi lateral tiap 2 jam 3x sehari selama 3 hari,

setelah itu diukur peristaltik usus postest setiap hari pada sore hari selama 3 hari.

Analisis bivariate Paired t-test digunakan untuk menguji data berpasangan (pre –

post test) peristaltik usus pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan

sesudah perlakuan mobilisasi tempat tidur apabila datanya berdistribusi normal,

skala ratio, jumlah responden terpenuhi 30 responden. Uji Independent t-test

digunakan untuk menguji data post peristaltik usus kelompok intervensi dan

kelompok kontrol apabila datanya berdistribusi normal, skala ratio, jumlah

responden terpenuhi 30 responden.Tingkat kemaknaan hasil uji statistik adalah

sebesar 95% dengan tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5% (α=0,05). Jika hasil

uji statistik didapatkan p < 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima artinya ada

perbedaan yang bermakna antara nilai peristaltik usus sebelum diberikan mobilisasi

tempat tidur dan sesudah mobilisasi tempat tidur dibandingkan dengan nilai

peristaltik usus sebelum dan sesudah yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur

pada pasien stroke. Jika p hitung ≥ 0,05 maka Ho diterima dan H1 ditolak, artinya

tidak ada perbedaan atau pengaruh. Software yang digunakan untuk uji statistik

adalah SPSS 17.0 for windows.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil penelitian berdasarkan Distribusi frekuensi umur responden bahwa

sebagian besar responden 20 orang (67%) berada pada umur 54-62 tahun (9

kelompok intervensi dan 11 kelompok kontrol).

Distribusi Frekuensi responden menurut jenis kelamin lebih dari setengah

responden 18 orang (60%) berjenis kelamin laki-laki yang banyak terkena stroke

(10 kelompok intervensi dan 8 kelompok kontrol).

Distribusi Frekuensi responden menurut serangan stroke didapatkan bahwa

sebagian besar responden 20 orang (67%) mengalami serangan stroke yang kedua

(11 kelompok intervensi dan 9 kelompok kontrol) dan sebagian besar responden

stroke pada lama perawatan sebanyak 21 orang (70%) berada pada kategori 4-6 hari

lama perawatannya (12 kelompok intervensi dan 9 kelompok kontrol).

Page 89: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 79 | 231

Analisis univariat yang meliputi Nilai Peristaltik Usus Pada Kelompok

Intervensi Dan Kelompok Kontrol Sebelum Dan Sesudah Mobilisasi Tempat Tidur,

disajikan pada tabel dibawah ini

Tabel 1. Nilai Peristaltik Usus Sebelum Intervensi Klien Stroke Di RSUD

Dr. R. Soedarsono Pasuruan Bulan Mei-Juni 2017

Peristaltik Usus Intervensi Kontrol Jumlah

F % f % F %

Rendah <5x/mnt 9 60 7 47 16 53

Normal 5-15x/mnt 6 40 8 53 14 47

Tinggi >15x/mnt 0 0 0 0 0 0

Jumlah 15 100% 15 100% 30 100%

Berdasarkan tabel 1. di atas, bahwa lebih dari setengah responden 16 orang

(53%) dalam rentang rendah (<5x/menit) nilai peristaltik ususnya (9 kelompok

intervensi dan 7 kelompok kontrol).

Tabel 2. Nilai Peristaltik Usus Sesudah Intervensi Klien Stroke Di RSUD

Dr. R. Soedarsono Pasuruan Bulan Mei-Juni 2017

Peristaltik Usus Intervensi Kontrol Jumlah

f % f % F %

Rendah <5x/mnt 0 0 8 53 8 27

Normal 5-15x/mnt 15 100 7 47 22 73

Tinggi >15x/mnt 0 0 0 0 0 0

Jumlah 15 100% 15 100% 30 100%

Berdasarkan tabel 2. di atas, bahwa sebagian besar responden 22 orang

(73%) dalam normal (5-15x/mnt) nilai peristaltik ususnya (15 kelompok

intervensi dan 7 kelompok kontrol).

Untuk Analisis Bivariat Hasil Uji Independent T- Test Dan Paired T- Test

Nilai Peristaltik Usus Pada Klien Stroke disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Hasil Uji Independent t- test Dan Paired t- test Nilai Peristaltik

Usus Sebelum Dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok Intervensi Serta Sebelum

Dan Sesudah Kelompok Kontrol Klien Stroke Di Rsud Dr. R. Soedarsono Pasuruan

Bulan Mei-Juni 2017

Variabel Mean Mean

Standart ρ N

Peristaltik usus Pre Post Deviasi Value

Intervensi 4,27 7,47 3,2 1,014 0,001 15

Kontrol 4,53 4,40 -0,13 0,351 0,164 15

Berdasarkan tabel 3. di atas, didapatkan bahwa nilai rata-rata peristaltik usus

sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi tempat tidur pada kelompok intervensi

mengalami perubahan dari nilai pre intervensi dengan rata-rata 4,27 mengalami

peningkatan post intervensi rata- rata 7,47, sehingga kenaikan rata- rata 3,2 pre dan

post intervensi dengan standart deviasi 1,014. Pada nilai rata- rata peristaltik usus

sebelum dan sesudah tidak dilakukan mobilisasi tempat tidur pada kelompok

Page 90: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 80 | 231

kontrol mengalami perubahan nilai pre kontrol dengan nilai rata- rata 4,53,

mengalami penurunan post kontrol rata- rata 4,40 sehingga penurunan nilai rata-

rata 0,13 pre dan post kontrol dengan standar deviasi 0,0351. Disimpulkan rata- rata

nilai peristaltik usus kelompok intervensi dalam rentang normal dibanding rata- rata

nilai peristaltik usus kelompok kontrol dalam rentang rendah.

Hasil uji analisis menggunakan paired- t test didapatkan data bahwa ada

perbedaan yang bermakna didapatkan ρ= 0,001 (ρ < 0,05), sehingga Ho ditolak dan

Ha diterima, berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada

pengaruh nilai peristaltik usus sebelum diberi mobilisasi tempat tidur dan sesudah

diberi mobilisasi tempat tidur. Selain itu didapatkan data bahwa tidak ada perbedaan

bermakna didapatkan ρ = 0,164 (ρ > 0,05), sehingga Ha ditolak dan Ho diterima,

berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan tidak ada pengaruh nilai

peristaltik usus sebelum dan sesudah yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur.

Hasil uji analisis menggunakan Independent t- test didapatkan data bahwa

ada perbedaan yang bermakna didapatkan ρ = 0,001 (ρ < 0,05), sehingga Ho ditolak

dan Ha diterima, Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada

pengaruh nilai peristaltik usus yang diberi mobilisasi tempat tidur pada kelompok

intervensi.

Pembahasan

Hasil penelitian menunujukkan bahwa sebagian besar umur responden 54-62

tahun dengan prosentase 67%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan

umur diatas 54 terbanyak terserang stroke dan mengalami penurunan peristaltik

usus. Menurut Nugroho (2000), umur lansia akan mengalami proses kehilangan

perlahan- lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya. Perubahan tersebut mempengaruhi proses

pencernaan menjadikan organ dalam pencernaan fungsi kerjanya akan menurun

sehingga peristaltik usus juga menurun. Jadi gerakan peristaltik menurun seiring

dengan peningkatan usia (Potter & Perry, 2006).

Hasil penelitian menunujukkan bahwa lebih dari setengah jenis kelamin

yang terkena stroke adalah laki-laki dengan prosentase 60%. Berdasarkan penelitian

tersebut disebabkan gaya hidup laki- laki yang tidak sehat merokok, minuman

beralkohol, dll yang berakibat kerusakan organ dalam terutama pencernaan

sehingga peristaltik usus kerjanya juga menurun. Menurut Kabi, Tumewah, &

Kembuan (2015) stroke lebih banyak dialami oleh laki-laki daripada perempuan,

Hal ini disebabkan oleh karena perempuan lebih terlindungi dari penyakit jantung

dan stroke sampai pertengahan hidupnya akibat hormon esterogen yang dimilikinya.

Selain itu stroke banyak terjadi pada kaum lelaki dari pada perempuan hal itu

disebabkan karena lelaki lebih banyak mengalami penebalan dinding arteri. Hal itu

dibabkan faktor hidup lelaki mendekati faktor pemicu stroke yaitu merokok, minum

alkohol, memakai obat-obatan terlarang dan banyak diantaranya lelaki sering

mengalami cedera kepala dan leher akibat kecelakaan (Wardhana, 2011). Selain itu

Page 91: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 81 | 231

hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami serangan

stroke yang kedua dengan prosentase 67%. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan

banyaknya serangan stroke berpengaruh terhadap pemulihan pada pasien stroke

yaitu program rehabilitasi untuk meningkatkan peristaltik usus pada saat penelitian

sehingga kita mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan mobilisasi tempat

tidur. Menurut Harsono (2003) dalam Prastya (2013), yaitu bahwa program

rehabilitasi penderita stroke diberikan setelah terjadi dan bermodalkan kesembuhan

anatomis, dengan tujuan agar tercapai kesembuhan fungsional melalui proses

belajar kembali (relearning). Caranya ialah dengan memberikan sensasi/stimulasi

sesering mungkin pada bagian penderita tentang pengaturan posisi dan gerak tubuh.

Pada penderita stroke karena trombosis atau emboli tanpa komplikasi, mobilisasi

dimulai 2 -3 hari setelah serangan.

Untuk Lama perawatan yang dialami oleh reponden sebagian besar lama

perawatan stroke 4-6 hari dengan prosentase 70%. Berdasarkan hasil penelitian

tersebut menunjukkan pasien stroke harus bed rest total karena defisit neurologi

sehingga klien mengalami imobilisasi yang berakibat penurunan peristaltik usus.

Menurut Smeltzer & Bare (2002) defisit neurologi berupa kelemahan pada salah

satu sisi tubuh merupakan gejala yang lain dari disfungsi motorik disebut

Hemiparesis. Hemiparesis membuat mudah lelah, mengakibatkan ketidak mampuan

bergerak secara aktif atau imobilisasi. Dampak imobilisasi pada sistem pencernaan

dapat menurunkan peristaltik usus (Perry & Potter, 2006). Penelitian Cooney &

Reuler (1991) dalam Manurung (2015), pasien stroke dengan imobilisasi hanya

berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut.

Pasien dengan immobilisasi akan mengakibatkan perubahan pada fungsi fisiologis.

Bahaya fisiologis akan mempengaruhi fungsi metabolisme normal, menurunkan

laju metabolisme dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan

dan penurunan peristaltik.

Hasil penelitian terlihat bahwa klien stroke di ruang interne 1 RSUD DR. R

Soedarsono Pasuruan berdasarkan frekuensi peristaltik usus sebelum melakukan

mobilisasi tempat tidur pada kelompok intervensi lebih dari setengah responden

nilai peristaltik usus tidak normal (<5x/menit) yaitu dengan prosentasi 60%.

Kelompok intervensi setelah melakukan mobilisasi tempat tidur yaitu latihan

rentang gerak 2 kali dan posisi lateral setiap 2 jam 3x sehari menunjukkan

peningkatan nilai peristaltik usus, dalam rentang normal (5-15 x/menit) dengan

prosentasi 100%. Hasil uji analisis menggunakan paired- t test nilai peristaltik usus

kelompok intervensi sebelum dan sesudah mobilisasi tempat tidur pada pasien

stroke ρ= 0,001 (ρ < 0,05), sehingga Ho ditolak dan Ha diterima, berdasarkan hasil

analisis tersebut dapat disimpulkan ada pengaruh nilai peristaltik usus yang

diberikan mobilisasi tempat tidur pada pasien stroke.

Perbandingan kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Nilai peristaltik

usus pada kelompok kontrol yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur rendah

(<5x/menit) yaitu dengan prosentasi 53%. Nilai peristaltik usus pada kelompok

Page 92: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 82 | 231

intervensi yang diberikan mobilisasi tempat tidur yaitu normal (5-15 x/menit)

dengan prosentasi 100%. Hasil prosentasi tersebut, menunjukkan kelompok

intervensi bahwa nilai peristaltiknya normal dibandinkan kelompok kontrol. Hasil

uji analisis menggunakan Independent t- test didapatkan perbandingan kelompok

intervensi dan kelompok kontrol ρ= 0,001 (ρ < 0,05), sehingga Ho ditolak dan Ha

diterima, Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

nilai peristaltik usus yang diberi mobilisasi tempat tidur pada kelompok intervensi.

Nilai rata-rata peristaltik usus sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi

tempat tidur pada kelompok intervensi mengalami perubahan dari nilai pre

intervensi dengan rata-rata 4,27 mengalami peningkatan post intervensi rata- rata

7,47, sehingga kenaikan rata- rata 3,2 pre dan post intervensi. Hasil rata- rata

peristaltik usus yang diberikan mobilisasi tempat tidur menunjukkan bahwa

mobilisasi tempat tidur merupakan tindakan non farmakologi yang bermanfaat

meningkatkan peristaltik usus selain tindakan farmakologi. Mobilisasi tempat tidur

yang dilakukan teratur merupakan pergerakan yang dapat merangsang sistem

parasimpatis untuk melancarkan peredaran darah serta memperlancar kerja sistem

pencernaan terutama meningkatkan peristaltik usus.

Peristaltik usus adalah gerakan yang terjadi pada otot-otot saluran

pencernaan yang menimbulkan gerakan semacam gelombang sehingga

menimbulkan efek menyedot/menelan makanan yang masuk ke dalam saluran

pencernaan. Peristaltik dan motilitas usus merupakan fungsi normal usus halus dan

usus besar (Smeltzer & Bare, 2002). Peristaltik usus dipersarafi oleh saraf

parasimpatis yaitu saraf yang berpangkal pada sumsum lanjutan (medula

oblongata) dan dari sakrum yang berupa saraf pre-ganglion dan post-ganglion.

Sistem saraf parasimpatik disebut juga dengan sistem saraf kraniosakral, karena

saraf preganglion keluar dari daerah otak dan daerah sakral (Price & Wilson, 2006).

Proses pergerakan peristaltik usus ketika saraf parasimpatis berjalan dalam saraf

vagus (nervus 10) ke regio abdomen tubuh mempersarafi kesetengah bagian

proksimal kolon. Sedangkan serat parasimpatis sakral berkumpul di saraf pelvik,

meninggalkan pleksus sakralis pada segmen S-2 dan S-3 (Price & Wilson, 2006)

menyebarkan serat-serat perifernya ke kolon desenden dan rektum. Pada traktus

gastrointestinal memiliki sistem persarafan yang disebut sistem saraf enterik, yang

terdiri dari pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Di dalam kedua pleksus

tersebut terdapat serat preganglionik bersinaps dengan neuron postganglionik

kemudian mendekati sel efektor. Di dekat sel efektor terdapat varikositas yang

didalamnya terdapat vesikel transmitter asetilkolin. Di dalam varikositas ini juga

terdapat banyak sekali mitokondria untuk mensuplai adenosin trifosfat yang

dibutuhkan untuk memberi energi pada sintesis asetilkolin. Saraf parasimpatis

mengeluarkan asetilkolin dan merangsang pelepasan muatan pleksus mienterikus.

Hal ini mempercepat pergerakan peristaltik usus (Guyton, 1995).

Proses pergerakan peristaltik usus dengan adanya mobilisasi tempat tidur

dimana gerakan reflek sebagai reseptor rangsangan sensorik yang peka terhadap

Page 93: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 83 | 231

rangsangan dimana serat saraf aferen yang dapat menghantarkan rangsangan

tersebut ke susunan saraf pusat. Saraf pusat tempat integrasi masuknya sensorik

dan dianalisis kembali ke neuron eferen, lalu merangsang serabut saraf pada otot

rangka sehingga mempercepat metabolisme dalam tubuh disertai dengan

meningkatnya curah jantung, yang akan menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh

menjadi lebih cepat. Sirkulasi darah yang lancar akan menyebabkan inervasi saraf

parasimpatik ke saluran pencernaan (Hidayat & Uliyah, 2008).

Saraf parasimpatis berjalan dalam saraf vagus (nervus 10) ke regio

abdomen tubuh mempersarafi kesetengah bagian proksimal kolon. Sedangkan serat

parasimpatis sakral berkumpul di saraf pelvik, meninggalkan pleksus sakralis pada

segmen S-2 dan S-3 dan menyebarkan serat-serat perifernya ke kolon desenden dan

rektum (Price & Wilson, 2006). Pada traktus gastrointestinal memiliki sistem

persarafan yang disebut sistem saraf enterik, yang terdiri dari pleksus mienterikus

dan pleksus submukosa. Di dalam kedua pleksus tersebut terdapat serat

preganglionik bersinaps dengan neuron postganglionik kemudian mendekati sel

efektor. Di dekat sel efektor terdapat varikositas yang didalamnya terdapat vesikel

transmitter asetilkolin. Di dalam varikositas ini juga terdapat banyak sekali

mitokondria untuk mensuplai adenosin trifosfat yang dibutuhkan untuk memberi

energi pada sintesis asetilkolin. Dengan dihasilkannya asetilkolin akan memicu

gerakan peristaltik usus (Guyton, 1995; Prastya, 2013).

Kelompok kontrol yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur, nilai

peristaltik usus responden sebelum yaitu normal (5-15 x/menit) dengan presentasi

53%, namun nilai peristaltik usus responden menurun pada nilai sesudah yaitu tidak

normal (< 5 x/menit) dengan prosentase 53%. Hasil uji analisis menggunakan

paired- t test Nilai peristaltik usus sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol

yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur pada pasien stroke ρ = 0,164 (ρ >

0,05). Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan tidak ada pengaruh

nilai peristaltik usus yang tidak diberikan mobilisasi tempat tidur pada pasien

stroke.

Pada nilai rata- rata peristaltik usus sebelum dan sesudah tidak dilakukan

mobilisasi tempat tidur pada kelompok kontrol mengalami perubahan nilai pre

kontrol dengan nilai rata- rata 4,53, mengalami penurunan post kontrol rata- rata

4,40 sehingga penurunan nilai rata- rata 0,13 pre dan post kelompok kontrol. Hasil

rata-rata nilai peristaltik menunjukkan beberapa pasien stroke mengalami

penurunan peristaltik usus karena tidak dilakukan mobilisasi tempat tidur dan

faktor- faktor yang menghambat pergerakan peristaltik usus seperti terapi, umur,

jenis kelamin, lama perawatan, serta serangan stroke dengan tirah baring lama.

Peneliti juga tidak bisa mengendalikan faktor- faktor yang menghambat peristaltik

usus karena keterbatasan waktu yang tidak bisa selalu memantau responden, namun

dapat diatasi dengan pemberian mobilisasi tempat tidur yaitu rehabilitasi non

farmakologi untuk meningkatkan peristaltik pada kelompok kontrol setelah

Page 94: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 84 | 231

mendapatkan data peristaltik usus pada kelompok kontrol yang tidak diberikan

mobilisasi tempat tidur.

Penelitian Cooney & Reuler (1991) dalam Manurung (2015), pasien stroke

dengan immobilisasi akan mengakibatkan perubahan pada fungsi fisiologis. Bahaya

fisiologis akan mempengaruhi fungsi metabolisme normal, menurunkan laju

metabolisme dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan

penurunan peristaltik (Perry & Potter, 2006; Hamilton, 1995). Pasien stroke yang

mengalami penurunan peristaltik usus ketika trauma serebral akan menyebabkan

fungsi otak terganggu, salah satunya pada kerusakan nervus 10 yang berfungsi

mengatur organ gastrointestinal (guyton, 1995). Pasien stroke yang mengalami

kerusakan pada nervus 10 maka terjadi penurunan fungsi pada gastrointestinal yang

akan mengakibatkan penurunan peristaltik usus.

Reflek peristaltik merupakan penyebab umum peristaltik pada usus halus

adalah perenggangan. Regangan sirkumferensial usus merangsang reseptor-

reseptor pada dinding usus, dan hal ini menimbulkan reflek mienterikus lokal yang

mulai dengan kontraksi dari otot longitudinal atas jarak beberapa sentimeter diikuti

oleh kontraksi otot sirkular. Secara serentak, proses kontraksi menyabar kearah anus

dengan proses peristalsis. Namun pergerakan kontraksi peristaltik menurun diatur

oleh pleksus mienterikus; pergerakan ini tidak terjadi bila pleksus ini dihambat oleh

obat-obatan atau bila pleksus telah berdegenerasi (guyton, 1995: 581). Selain itu

dihambat juga dengan tirah baring yang lama atau imobilisasi, pembedahan dan

anestesi, diet, asupan cairan, kehamilan, stres psikologi, dan adanya nyeri tekan

pada keempat kuadran karena penyakit pencernaan sehingga terjadi penurunan

peristaltik usus (Perry & Potter, 2006; Hamilton, 1995). Indikasi yang muncul

ketika tidak segera diberi tindakan pada seorang yang mengalami penurunan

peristaltik usus, yaitu mengakibatkan komplikasi peritonitis, ileus paralitik,

konstipasi (Muttaqin, 2011).

Priharjo (2007) dalam Prastya (2013) Penurunan peristaltik usus dapat

dicegah dengan mobilisasi yaitu melakukan aktivitas secara bebas dari satu tempat

ke tempat lain (Suratun dkk, 2008: 195). Mobilisasi tempat tidur merupakan latihan

rentang gerak di tempat tidur dan menberikan posisi tidur lateral selama 2 jam. Hal

tersebut dapat merangsang sirkulasi darah dan memperlancar metabolisme dalam

tubuh sehingga dapat merangsang peristalrik usus (Suratun, 2008; Asmadi, 2009).

Penelitian ini didukung oleh Renggonowati & Machmudah (2014) hasil

penelitiannya menunjukkan pemberian mobilisasi dini berpengaruh terhadap

peristaltik usus pasca operasi sesar dengan anestesi spinal. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Sriharyanti, Ismonah, & Arif (2016) hasil

penelitiannya menunjukkan pemberian mobilisasi range of motion berpengaruh

terhadap pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan dengan anestesi

umum.

Penelitian yang dilakukan Umah & Syafi’ i (2014) hasil penelitiannya

menunjukkan pemberian mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian konstipasi pasien

Page 95: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 85 | 231

stroke. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Prastya (2013) hasil

penelitiannya menunjukkan pemberian mobilisasi miring kanan miring kiri terhadap

pencegahan konstipasi pada pasien stroke infark dengan tirah baring lama.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Haryanto (2011) hasil penelitiannya

menunjukkan efektivitas pemberian range of motion aktif terhadap pemulihan

peristaltik usus pasca operasi sectio caesaria dengan anastesi spinal.

4. KESIMPULAN

Mobilisasi tempat tidur berpengaruh terhadap peristaltik usus pada pasien

stroke di ruang interne 1 RSUD Dr. R. Soedarsono Pasuruan dengan (ρ = 0,001, α <

0,05). Hasil tersebut menunjukkan ada pengaruh pada kelompok intervensi yang

diberikan mobilisasi tempat tidur. Hasil observasi nilai peristaltik usus pada

kelompok intervensi sebelum mobilisasi tempat tidur dan sesudah mobilisasi tempat

tidur mengalami peningkatan peristaltik usus.

5. DAFTAR PUSTAKA

Ariani, T. A. 2012. Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medika.

Asmadi. 2009. Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.

Jakarta: Salemba Medika.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.

Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS 2013. (Online),

(www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf. diakses

25 September 2016)

Batticaca, F. B. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Ed. 3. Jakarta: EGC.

Fatkhurrohman, M. 2011. Pengaruh Latihan Motor Imagery Terhadap Kekuatan

Otot Ekstremitas pada Pasien Stroke dengan Hemiparesis di Rumah Sakit

Umum Daerah Kota Bekasi. Thesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Fibre, D & Agieng, F. 2007. Stroke: Bowel Care. Journal Nursing & Resiential Care, (Online),

Volume 9, No. 6, (https://www.quaybooks.co.uk, diakses 27 September 2016)

Ganong, W. F & McPhee, S. J. 2010. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju

Kedokteran Klinis. Ed. 5. Jakarta: EGC.

Guyton, A. C. 1995. Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC.

Hamilton, P. M. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta: ECG.

Haryanto, W. C. 2011. Efektifitas Pemberian ROM aktif terhadap Pemulihan Peristaltik Usus Pasca

Operasi Sectio Caesaria Dengan Anestesi Spinal di Bangsal An-Nisaa’ RSU PKU

Muhammadiyah Bantul. Penelitian. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah

Yogyakarta.

Hidayat, A.A., Uliyah. M. (2008). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan. Edisi 2.

Jakarta: Salemba Medika.

Kabi, G. Y. C. R., Tumewah, R., & Kembuan, M. A. H. N. Gambaran Faktor Risiko

Pada Penderita Stroke Iskemik Yang Dirawat Inap Neurologi RSUP PROF.

Page 96: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 86 | 231

DR. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), (Online), Volume 3, No.

1, (https://ejournal. unsrat. ac. id/index. php/ eclinic/

article/download/7404/6947, diakses 03 juli 2017)

Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:

EGC.

Manurung, P. S. A. 2015. Gambaran Perubahan Fisiologi Sistem Gastrointestinal:

Konstipasi pada Pasien Stroke yang Immobilisasi di RSUP H. Adam Malik

Medan. Skripsi. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

Morton, P. G. 2005. Panduan Pemeriksaan Kesehatan Dengan Dokumentasi

SOAPIE. Jakarta: EGC.

Mufattichah, F. U. 2012. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien Ny. G

dengan Stroke Hemoragik di Instalasi Gawat Darurat Rsud Sragen. Skripsi.

Surakarta: Universitas Muhammadiyah.

Muttaqin, A. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nugroho, W. 2000. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC.

Pinzon, R & Asanti L. 2010. Awas Stroke! Pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan, dan

Pencegahan.Yokyakarta: ANDI.

Potter, P. A. & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan

Praktik. Jakarta: EGC.

Prastya, A. 2013. Pengaruh Mobilisasi Miring Kanan Miring Kiri Terhadap

Pencegahan Konstipasi Pada Pasien Stroke Infark Dengan Tirah Baring

Lama Di Ruang Icu RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojokerto. Penelitian.

Mojokerto: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit.

Price, S.A., & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses – proses penyakit. Jakarta:

EGC.

Renggonowati, A. & Machmudah. 2014. Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap

Peristaltik Usus Pasca Operasi Sesar dengan Anestesi Spinal di RSUD

Tugurejo Semarang. Journal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK),

(Online), Volume 2, No 1, (https://download.portalgaruda.org/article.php,

diakses 03 juli 2017)

Sabiston, D. C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.

Setiadi. 2013. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.

Jakarta: EGC.

Somantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien

dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sugiono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Supranto, J. 2000. Teknik Sampling untuk Survei Dan Eksperimen. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

Suratun, dkk. 2008. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Seri Asuhan

Keperawatan. Jakarta: EGC.

Page 97: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 87 | 231

Tambunan, E. S & Kasim, D. 2012. Panduan Pemeriksaan Fisik bagi Mahasiswa Keperawatan.

Jakarta: Medika Salemba.

Umah, K. & Syafi’i, A. 2014. Mobilisasi Tiap 2 Jam Terhadap Kejadian Konstipasi

Pasien Stroke di RSUD Ibnu Sina Gresik. Journals Of Ners Community,

(Online), Volume 5, No. 2, (https://journal.unigres.ac.id, diakses 25

September 2016)

Sriharyanti, D. E., Ismonah, & Arif, S. 2016. Pengaruh Mobilisasi Dini ROM Pasif

Terhadap Pemulihan Peristaltik Usus Pada Pasien Paska Pembedahan

Dengan Anestesi Umum di SMC RS Telogorejo. Journal ilmu keperawatan

dan kebidanan (JIKK), (Online), Volume 2, No. 5,

(pmb.stikestelogorejo.ac.id/ejournal/index.php/jikk/article/download/367/38

8, diakses 11 Juni 2017)

Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC.

Wardhana, W. A. 2011. Strategi Mengatasi dan Bangkit Dari Stroke. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

World Health Organization. 2005. The Who Stepwise Approach To Stroke

Surveillance. (Online), (http://www.whoint/chp/steps/stroke/en.pdf. diakses

25 September 2016)

Page 98: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 88 | 231

HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH DENGAN

KECERDASAN EMOSI MAHASISWA KEPERAWATAN

KAMPUS 2 POLTEKKES KEMENKES MALANG

Mustayah Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang

Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Setiap individu memiliki jenis golongan darahnya masing-masing.Golongan darah tidak hanya

menjelaskan jenis darah yang dimiliki oleh individu, tetapi juga dapat menjelaskan kepribadiannya.

Pada setiap jenis golongan darah O, A, B, dan AB memiliki ciri khas kepribadiannnya masing-

masing (Nomi, 2007). Kecerdasan emosi individu merupakan salah satu factor internal individu

yang mungkin ada kaitannya dengan kepribadian individu. Para ahli mengatakan bahwa seorang

yang cerdas secara intelektual belum tentu mampu untuk menjalankan kepemimpinan. Hal ini

berkaitan dengan apa yang disebut dengan kecerdasan emosi. Kecerdasan Emosional adalah

kemampuan individu dalam menglola kesadaran diri, (Daniel Goleman, 1997). Penelitian ini

adalah penelitian analitik korelatif deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui Hubungan antara

golongan Darah dengan Kecerdasan Emosi Mahasiswa Jurusan Keperawatan Kampus 2 Poltekes

kemenkes Malang. Penelitian ini di lakukan pada bulan Desember 2016 di Kampus 2 Poltekes

Kemenkes Malang. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa di Kampus 2 Poltekes

Malang. Penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu mengambil semua populasi

untuk dijadikan sampel. Instrumen dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner tertutup.

Hasil penelitian Berdasarkan hasil perhitungan dengan Paired Samples Statistic two tailed

didapatkan hasil tingkat signifikansi 1.000 (α = 0.05) antara golongan darah dengan kecerdasan

emosi, berarti H1 diterima yang bermakna bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan

antara golongan darah dengan kecerdasan emosi. Dari hasil penelitian tersebut, diharapkan

institusi terkait dapat memberikan pelajaran tambahan tentang mengelola kecerdasan emosi

misalnya dalam bidang pengembangan kepribadian dengan demikian diharapkan agar mahasiswa

dapat lebih mengembangkan dan belajar lebih dalam tentang kecerdasan emosi.

Kata kunci : Kecerdasan, Emosi, Organisasi

1. PENDAHULUAN

Setiap individu memiliki golongan darahnya masing-masing.Golongan

darah tidak hanya menjelaskan jenis darah yang dimiliki oleh individu, tetapi juga

dapat menjelaskan kepribadiannya. Pada setiap jenis golongan darah O, A, B, dan

AB memiliki ciri khas kepribadiannnya masing-masing (Nomi, 2007). Menurut

Dermawan (2006) golongan darah merupakan informasi yang penting untuk

mengungkapkan identitas individu secara spesifik. Dilihat dari sisi psikologis,

masing-masing golongan darah memiliki perbedaan pada pembentukan perilaku dan

karakteristik kepribadiannya. Sejak 100 tahun yang lalu sampai sekarang masih

banyak individu berpikir bahwa golongan darah hanya merupakan bentuk identitas

cairan darah saja.Ada 6,2 milyar penduduk dunia, golongan darah terbagi menjadi

empat, yaitu O sebanyak 46%, A sebanyak 40%, B sebanyak 10%, dan AB

sebanyak 4%. Kepribadian individu Jepang berdasarkan golongan darah yang ada

bahwa golongan darah O berkarakter kuat, berjiwa pemimpin, berjiwa besar, supel,

tidak mau kalah dan percaya diri, serta mempunyai sifat persaingan yang kuat. Hasil

Page 99: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 89 | 231

penelitian menunjukkan bahwa individu yang bergolongan darah O memiliki

potensi untuk menjadi pemimpin besar 2 sehingga dapat dibuktikan bahwa para

perdana mentri Jepang rata-rata adalah individu bergolongan darah O. Toshitaka

Nomi kemudian menyatakan bahwa individu bergolongan darah A adalah tipe

kepribadian yang penuh dedikasi, bertanggung jawab, teliti, perfeksionis, kreatif

dan paling artistik diantara golongan darah lainnya. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa orang yang bergolongan darah A sangat berpotesi untuk mengukir prestasi

dalam bidang yang dikerjakannya. Hasil penelitian ini tercermin dari para karyawan

Jepang dari perusahaan kecil maupun besar, rata-rata bergolongan darah A atau O

(Nomi, 2007). Nomi menyatakan bahwa golongan darah B memiliki karakter

individualis, kurang suka mengikuti aturan yang berlaku, optimis, fokus, berpikiran

tajam, dan mempunyai jiwa yang bebas.Hasil penelitian menunjukkan bahwa

individu bergolongan darah B berpotensi mengembangkan seluruh kemampuannya

dengan optimal secara individualistis. Hasil penelitian ini tercermin dari gambaran

separuh lebih dari seluruh atlet berprestasi dibidang individu seperti renang, judo,

dan gulat rata-rata bergolongan darah B. Pada golongan darah yang terakhir yaitu

AB, Toshitaka Nomi menyatakan bahwa individu dengan golongan darah ini

kurang dapat bertanggung jawab dan pribadi yang sangat sulit ditebak. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa beberapa perusahaan di Jepang membagi karyawan-

karyawannya ke dalam kelompok kerja berdasarkan golongan darah, dan ironisnya,

tidak seorangpun yang mau 3 bekerjasama dengan kelompok golongan darah AB

karena dianggap tipe darah terburuk (Dermawan, 2006). Berdasarkan uraian di atas

dapat diketahui, masing-masing golongan darah memiliki karakteristik kepribadian

yang berbeda.

Disamping kepribadian yang khas, golongan darah yang siafatnya individu,

manusia juga memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda.Demikian juga

dengan tingkat kecerdasan emosional setiap individu.

Kecerdasan emosi individu merupakan salah satu factor internal individu

yang mungkin ada kaitannya dengan kepribadian individu. Para ahli mengatakan

bahwa seorang yang cerdas secara intelektual belum tentu mampu untuk

menjalankan kepemimpinan. Seorang yang secara cerdas intelektualnya ternyata

kurang berhasil dalam kehidupan sosialnya. Hal ini berkaitan dengan apa yang

disebut dengan kecerdasan emosi. Kecerdasan Emosional adalah kemampuan

individu dalam menglola kesadaran diri, (Daniel Goleman, 1997).

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan

ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan

menghadapi frustasi kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi,

tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban

stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, untuk membaca perasaan orang lain

(empati) dan berdo’a, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya,

menyelesaikan konfli, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya.

Page 100: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 90 | 231

Menurut Goleman (1997) bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari

hubungan social yang baik, apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan

suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki

tingkat emosionalitas yang naik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam

pergaulan social serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman, mengemukakan

bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimliki seseorang

dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan

emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.Dengan kecerdasan

emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada posisi yang tepat

memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.Pertanyaannya adakah hubungan

antara golongan darah, dengan kecerdasan emosi?

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap mahasiswa dilingkungan

Kampus 2 Poltekes Kemenkes Malang diperolah data, bahwa mahasiswa memiliki

golongan darah yang sama, namun yang memiliki kecerdasan emosi yang

bervariatif dengan yang golongan darah yang sama.

Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:

hubungan golongan darah dengan kecerdasan emosi mahasiswa Jurusan

Keperawatan Kampus 2 Poltekkes Kemenkes Malang

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik deskriptif. Pada penelitian

ini peneliti akan menganalisa hubungan Antara Golongan Darah dengan

Kecerdasan Emosi mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Poltekes Kemenkes Malang.

Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Keperawatan Kampus 2

Poltekes Kemenkes Malang Program Studi D III dan D IV

Adapun kriteria sampel adalah sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi :

1). Mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Poltekes Kemenkes Malang Program

Studi D III dan D IV. 2) Bersedia jadi responden. 3). Laki – laki atau perempuan

b. Kriteria eksklusi :

Mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Polteks Kemenkes Malang yang sedang

menjalani kegiatan praktek di luar kampus/lapangan

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Purposive sampling dengan Random sampling yaitu cara pengambilan sampel

dengan mengambil sebagian anggota populasi menjadi sampel. Penarikan sampel

sesuai dengan kehendak peneliti dengan jumlah sampel 38 orang.

Variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Independent

Golongan Darah mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Poltekes Kemenkes Malang

Program Studi D III dan D IV

Page 101: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 91 | 231

2. Varibel Dependent

Kecerdasan Emosi mahasiswa Keperawatan Kampus 2 Poltekes Kemenkes

Malang. Program Studi D III dan DIV

Definisi operasional

1. Golongan Darah adalah pengklasifikasian darah dari suatu kelompok

berdasarkan ada atau tidak adanya zat antigen warisan pada permukaan

membran sel darah merah yg diketahui dengan golongan darah A, B, O atau

AB

2. Kecerdasan emosi adalah gambaran kemampuan mengenal dan mengendalikan

diri sendiri, ketrampilan bergaul serta berinteraksi dengan orang lain,

kemampuan penyesuaian berinteraksi dengan orang lain, kemampuan dalam

penanganan stress, dan kemampuan mengelola suasana hati secara umum

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuisioner tertutup

Penelitian ini dilaksanakan Kampus2 Keperawatan Poltekes Kemenkes

Malang.Program Studi D III dan D IV pada bulan Desember 2016.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karateristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Kampus 2

Jurusan Keperawatan Malang bulan Desember 2016

No Jenis kelamin Frekuensi Prosentase

1

2

Laki-laki

Perempuan

13

25

34.21

65.79

Jumlah 38 100

Berdasarkan tabel di atas didapatkan 25 mahasiswa (52%) atau lebih dari

setengahnya adalah perempuan.

Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Kampus 2 Jurusan

Keperawatan Malang Bulan Desember 2016

No Umur Frekuensi Prosentase %

1

2

3

4

17 tahun

18 Tahun

19 Tahun

20 Tahun

1

15

13

9

2.63

38.48

34.21

23.68

Jumlah 38 100

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat di ketahui bahwa kurang dari

setengahnya responden yaitu sebanyak 15 mahasiswa (38,48%) berumur 18 tahun.

Page 102: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 92 | 231

Data Khusus

Golongan Darah

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Golongan Darah di

Kampus 2 Jurusan Keperawatan Malang Bulan Desember 2016

No Kategori Frekuensi Prosentase %

1

2

3

4

Golongan A

Golongan B

Golongan AB

Golongan O

8

9

3

18

21.05

23.68

7.89

47.38

Jumlah 38 100

Berdasarkan tabel 4.2 di atas distribusi responden menurut golongan darah

menunjukkan sebagian besar responden memiliki golongan darah O, yaitu

sebanyak 18 responden (39%), selanjutnya golongan darah B sebanyak 9 responden

(33%), golongan darah A sebanyak 8 responden (18%), dan AB sebanyak 3

responden (9%). Distribusi golongan darah responden menunjukkan sebagian besar

merupakan golongan darah O. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Chieko dan Holy

(2002) yang mengemukakan bahwa golongan darah A banyak dimiliki oleh orang-

orang yang berada di daerah dataran tinggi atau beriklim dingin, sedangkan

golongan darah O menyebar hampir di seluruh Negara di seluruh dunia. Distribusi

golongan darah responden terendah menunjukkan adalah golongan darah AB (9%),

hal tersebut sesuai dengan pendapat Chieko dan Holy (2002) yang mengungkapkan

bahwa golongan darah AB hanya tersebar kepada sekitar 6% penduduk dunia.

Kecerdasan Emosi

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kecerdasan Emosi di

Kampus 2 Jurusan Keperawatan Malang Bulan Desember 2016

No Kategori Frekuensi Prosentase %

1

2

3

4

Sangat Tinggi

Tinggi

Sedang

Rendah

0

8

29

1

0

21.05

76.32

2.63

Jumlah 38 100

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat di ketahui bahwa lebih dari setengahnya

responden yaitu sebanyak 28 mahasiswa (59%) memiliki kecerdasan emosi tingkat

sedang.

Page 103: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 93 | 231

Hubungan Antara Golongan Darah dengan Kecerdasan Emosi

Tabel 4.5 Hubungan Golongan darah dengan kecerdasan Emosi mahsiswa Kampus

2 Jurusan Keperawatan Malang Bulan Desember 2016

Paired Samples Statistics

Mean N

Std.

Deviation

Std. Error

Mean

Pair 1 GOLDAR 2.8158 38 1.24890 .20260

KECEMOSI 2.8158 38 .45650 .07405

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 GOLDAR & KECEMOSI 38 -.014 .935

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-

tailed)

Mean Std. Deviation

Std.

Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 GOLDAR -

KECEMOSI

.00000 1.33558 .21666 -.43900 .43900 .000 37 1.000

Dari hasil perhitungan diatas dengan Paired Samples Statistic two tails

didapatkan hasil tingkat signifikansi 1.000 (α = 0.05) antara golongan darah dengan

kecerdasan emosi, berarti H1 diterima yang bermakna bahwa terdapat hubungan

yang sangat signifikan antara golongan darah dengan kecerdasan emosi

Pembahasan

Berdasarkan hasil perhitungan dengan Paired Samples Statistic two tailed

didapatkan hasil tingkat signifikansi 1.000 (α = 0.05) antara golongan darah dengan

kecerdasan emosi, berarti H1 diterima yang bermakna bahwa terdapat hubungan

yang sangat signifikan antara golongan darah dengan kecerdasan emosi.

Menurut Dr D’Adamo, dokter naturopathic Kanada, ada banyak faktor lain

yang mempengaruhi kepribadian seseorang. Tapi setidaknya golongan darah dapat

menjadi petunjuk yang berharga untuk memahami keunikan seseorang. Dr

D’Adamo dalam bukunya ‘Eat/Live Right 4 Your Type’ menjelaskan hubungan

antara jenis darah A,B,O dan AB dengan pola makan, kesehatan dan

kepribadian.Bahkan menurut beliau “Golongan darah bisa memberikan kunci

Page 104: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 94 | 231

kesehatan dan bahkan mempengaruhi kepribadian kita,” kata Dr Peter J. D’Adamo,

dokter naturopathic Kanada, (Bodyecology,2010).

Para ahli di Jepang juga telah melakukan penelitian tentang golongan darah

dan kepribadian sejak 60 tahun yang lalu.Bagi sebagian besar orang Jepang, faktor

biologi dan genetika memiliki peran dalam menentukan kepribadian.

1. Orang-orang dari golongan darah yang berbeda juga bereaksi berbeda terhadap stres.

Orang dengan golongan darah A secara alami memiliki tingkat yang lebih tinggi

kortisol (hormon stres) dalam tubuh mereka, sehingga lebih banyak terpengaruh

oleh situasi stres. Di sisi lain, orang dengan golongan darah O, memiliki reaksi

pilihan “melawan atau lari” terhadap stres, yang menyebabkan kelebihan

produksi hormon adrenalin. Golongan darah O membutuhkan waktu lebih lama

untuk pulih dari stres, karena mereka lebih sulit untuk membersihkan adrenalin

dari dalam tubuh mereka.

Kita juga dengan mudahnya menemukan orang dengan golongan darah yang

sama, tapi memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Sudah banyak studi ilmiah

yang mempertegas kontradiksi ini Misalnya, KunherWu dkk.(2005) melakukan

survei terhadap 2.681 siswa SMA di Taiwan untuk melihat hubungan antara

golongan darah dan kepribadian. Studi ini juga memperhatikan faktor lain yang bisa

menimbulkan bias pada jawaban survei, seperti prestasi akademik, indeks massa

tubuh, hingga kepercayaan seseorang terhadap konsep golongan darah.

Menurut Tosshitaka Nomi seorang berkebangsaan Jepang, dari bukunya

yang berjudul "Touch My Heart" yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

di jelaskan bahwa ternyata golongan darah itu sangat mempengaruhi karateristik

seseorang, dan menurut dokter ahli psikologi, mengemukakan bahwa golongan

darah itu di tentukan dari protein protein yang membangun semua sel tubuh kita

dan oleh karenanya menentukan psikologi kita.

Banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat

kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang

untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada

kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat

kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan

emosionalnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak

menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.

Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan

bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang.

Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat

emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.

Kepribadian orang dapat berubah, entah itu karena pengalaman hidup atau

perubahan budaya.Katakanlah, Seto udah terbiasa dengan budaya Indonesia yang

agak laidback (santai kemalas-malasan) berubah jadi super disiplin ketika

sekolah/kerja di negara yang disiplinnya oke, seperti Singapur, Jerman, atau

Page 105: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 95 | 231

Jepang.Sistem kepribadian berdasarkan golongan darah gagal menjelaskan

kepribadian manusia yang dinamis dan fleksible. Hal tersebut dimungkinkan

karenasetiap individu akan mengalami perubahan dalam kepribadiannya yang mana

pengalaman, kematangan dan lingkungan ikut berperan dalam membentuk

kepribadian seseorang.

Demikain juga dengan kecerdasan dalam artian IQ dan kecerdasan emosi (

EQ). Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang, jika seseorang terlahir

dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun

berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang

cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang

superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat

dikembangkan seumur hidup dengan belajar.

Berdasarkan hasil penelitian, bebrapa factor yang mempengaruhi

perkembangan Kecerdasan Emosi adalah faktor internal dan eksternal yaitu usia

dan lingkungan. Dengan usia dewasa seseorang mempunyai kematangan dalam

berfikir, seperti yang diungkapakan B. Hurlock (1995), semakin cukup umur tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang untuk berfikir dan bekerja

Menurut Martin (2003), mahasiswa yang notabeni identik dengan kata muda

dalam kematangan berfikir selain harus berfikir positif dan optimis juga harus

memiliki kecerdasan emosi dalam membina hubungan dengan orang lain. Sesuai

dengan teori Walgito (2004) yang menyatakan bahwa lingkungan/ situasi

khususnya yang melatarbelekangi proses kecerdasan emosi, adalah suatu obyek

lingkungan yang melatarbelakangi, merupakan kebutuhan yang sangat sulit

dipisahkan.

Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak

lahir hingga meninggal dunia.Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan,

keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya.

Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi

kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Jika seseorang

memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan

lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang. Sesuai dengan hasil

penelitian dapat kita lihat bahwa kecerdasan emosi responden meliputi, Intrapribadi

terkait dengan kemampuan untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari setengah responden

yaitu sebanyak 20 mahasiswa (52,63%) memiliki kemampuan untuk mengenal dan

mengendalikan diri sendiri sedang.

Menurut peneliti hal ini disebabkan karena keinginan untuk memotivasi diri

sendiri, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi sangat tinggi.

Dalam hal ini lingkungan juga sangat berpengaruh, seperti lingkungan kampus yang

kerap sekali dengan sikap kemandirian dan aktualisasi diri, dimana mahasiswa

dapat mengenali perasaan dan pengaruh perilaku kita terhadap orang lain. Dalam

kegiatan pembelajaran di kampus mahasiswa belajar menyampaikan secara jelas

Page 106: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 96 | 231

pikiran dan perasaan membela diri dan mempertahankan pendapat, mampu untuk

mengenal kekuatan dan kelemahan, dan menyenangkan diri sendiri meskipun

memiliki kelemahan serta mahasiswa juga belajar untuk mampu untuk mewujudkan

potensi yang dimiliki dan merasa senang dan puas dengan prestasi yang diraih

dalam kehidupan sehari – hari, melawati organisasi maupun kehidupan dikampus.

Sesuai dengan teori Goleman (1997), Kecerdasan emosi mencakup pengendalian

diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan

bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati

dan emosi. Tidak melebih – lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan

menjaga agar bebas stress,tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, untuk

membaca perasaan orang lain (empati) dan berdo’a, untuk memelihara hubungan

dengan sebaik – baiknya, menyelesaikan konflik serta untuk memimpin diri dan

lingkungan sekitarnya.

Selain hal tersebut kemampuan antarpribadi terkait dengan ketrampilan

bergaul kemampuan berinteraksi denganorang lain juga menunjukan hal yang

positif.

Hasil penelitian antar pribadi terkait dengan ketrampilan bergaul

kemampuan berinteraksi dengan orang lain responden, diperoleh hasil bahwa lebih

dari setengahnya responden yaitu sebanyak 23 mahasiswa (60.52%) memiliki

keterampilan bergaul, kemampuan berinteraksi dengaan orang lain dengan kategori

tinggi.

Menurut peneliti, hal ini dimungkinkan karena adanya interaksi di dalam

kegiiatan kampus sehingga melatih mahasiswa untuk terampil bergaul. Dalam hal

ini membuktikan bahwa mahasiswa yang aktif di kampus mampu mempunyai

kesadaran diri dan bisa memposisikan diri, sehingga mampu untuk membaca

perasaan orang lain. Dalam kehidupan di kampus mahasiswa juga dituntut untuk

mampu bertanggung jawab atas beban yang diberikan sehingga dalam hasil

penelitian ini mahasiswa memiliki nilai tanggung jawab yang tinggi dan memiliki

pikiran berani menanggung resiko terhadap pilihan yang telah diambil atau atas

perbuatannya, serta mahasiswa yang aktif di kampus juga mampu mempertahankan

hubungan yang baik dan menguntungkan bagi dirinya dan orang lain

Menurut Rakmat ( 2001 ), ketrampilan bergaul merupakan keterampilan

yang dapat dipelajari seseorang semenjak kecil mengenai pola-pola hubungan

dengan orang lain. Sedangkan menurut Peter Salovei (2003), perilaku antar pribadi

berkaitan dengan ketrampilan bergaul kemampuan berinteraksi dengan orang lain,

pertama mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain, mampu melihat dunia

dari sudut pandang orang lain. Kedua masyarakat dapat bekerja sama dan

bermanfaat bagi kelompok masyarakat. Dan yang ketiga mampu untuk menciptakan

serta mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan, ditandai oleh saling

memberi dan menerima dan rasa kedekatan sosial. Dalam hal ini diwujudkan dalam

kehidupan yang aktif dengan berorganisasi, misalnya, dapat mendorong

tercapainya tujuan bersama dengan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab.

Page 107: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 97 | 231

Demikian juga Penyesuaian diri berkaitan dengan kemampuan untuk

berinteraksi dengan orang lain, juga menunjukan hasil yang baik

Hasil penelitian penyesuaian diri berkait dengan kemampuan untuk

berinteraksi dengan orang lain responden diperoleh hasil bahwa, lebih dari

setengahnya responden yaitu sebanyak 20 mahasiswa ( 52% ) memiliki kamampuan

penyesuaian dalam berinteraksi dengan orang lain dengan kategori tinggi.

Menurut peneliti hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain uji

realitas, pemecahan masalah dan sikap fleksibel. Dalam kehidupan bermasyarakat

sering diselimuti dengan konflik pemecahan masalah yang diselesaikan secara

bersama-sama sehingga mahasiswa yang aktif di kampus terbiasa dengan adanya

konflik serta penyelesaiannya, mahasiswa mampu melihat sesuatu dengan

kenyataan bukan seperti yang diinginkan atau diikutinya, mahasiswa juga mampu

mengenali masalah dan menemukan pemecahannya , serta mampu menyesuaikan

emosi, pikiran dan perilaku dengan perubahan situasi dan kondisi atau mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak biasa, tidak terduga, dinamis.

Kecerdasan emosi dalam bersikap juga menentukan penyesuaian diri berinteraksi

dengan orang lain. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa mahasiswa yang

aktif di kampus tidak sulit dalam memulai percakapan dengan orang yang baru

dikenal maupun tidak canggung untuk berbicara di depan umum.

Menurut Patton ( 1998 ), individu yang menguasai kecerdasan emosi tinggi

akan menang karena keefektifan mereka dalam hubungan interpersonal berhadapan

dengan ketidakpastian dan mempertahankan motivasi. Hal ini akan menentukan

keberhasilan mereka dan akhirnya juga keselamatan bersama kemajuan organisasi.

Selain itu Patton ( 1998 ) juga berpendapat bahwa penyesuaian diri dalam

berinterasksi dengan orang lain yang tinggi dapat memperdayakan diri dan orang

lain untuk menciptakan hubungan dan kerja sama sampai mencapai hasil bersama,

serata bisa lebih memahami orang lain dan meningkatkan hubungan yang positif

dan produktif yang dapat menanggapi kebutuhan orang lain secara pribadi akan

lebih dari pada seseorang teknokrat yang hanya menggunakan teknologi menurut

pandangan yang tidak mengacu pada pribadi.

Selain itu Kemampuan dalam penanganan stress mahasiswa di Jurusan

Keperawatan Malang Kampus II Lawang adalah baik.

Hasil penelitian kemampuan dalam pananganan stress reponden diperoleh

hasil, yaitu lebih dari setengahnya responden yaitu sebanyak 20 mahasiswa ( 52% )

memiliki kemampuan dalam penangangan stress dengan kategori tinggi.

Menurut peneliti ada 2 faktor yang mempegaruhi yaitu ketahanan

menanggung stress , dan pengendalian impuls. Ketahanan menanggung stress yaitu

mahasiswa mampu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi

yang penuh tekanan secara aktif dan positif misalnya mahasiswa melupakan

kejadian yang bisa membuat dia trauma dan memulai kehidupan yang baru.

Kemudian yang kedua adalah pegendalian impuls yaitu mahasiswa mampu untuk

menolak dan menunda impuls atau dorongan atau godaan untuk bertindak.

Page 108: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 98 | 231

Menurut peneliti dalam hal ini mahasiswa mempunyai pertimbangan dan

mampu berkonsentrasi dengan baik sehingga hsil pekerjaan selalu baik serta sangat

yakin diri, tidak takut, tidak bimbang, apalagi panik. Dengan memiliki penanganan

stress yang dimulai yang kuat mahasiswa juga mampu mengerjakan berbagai

pekerjaan yang berat yang dapat diselesaikan dengan baik . Orang-orang seperti ini

yang cocok untuk menjadi seorang pemimpin.

Menurut Suryaputra orang-orang yang memiliki tingkat stress akan bekerja

dengan ketegangan yang hebat, karena dia takut menderita, dia sering murung,

bimbang, dan tidurnya akan terrganggu.Goleman(1997), menyatakan bahwa orang

yang dapat menjaga beban stress tidak akan melumpuhkan kemampuan berpikir dan

menyelesaikan konflik dengan baik, dan tidak tergesa-gesa. Ditambahkan lagi

dengan pendapat Flowes dan Herald ( 1999 ), mengatakan pada intinnya kecerdasan

emosi merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar

menggunakan emosinya, atau dalam menangani stress yang dialaminya.Diperkuat

oleh pendapat Cooper ( 1999 ) bahwa kecerdasan emosi juga memungkinkan

individu untuk dapat menggunakan daya kepekaan emosinya dalam penanganan

stress.

Terakhir kemampuan mengendalikan suasana hati mahasiswa.

Hasil Penelitian kemampuan untuk mengendalikan suasana hati umum

responden diperoleh hasil, yaitu kurang dari setengah responden yaitu sebanyak 24

mahasiswa (63,15%) memiliki kemapuan mengendalikan suasana hati umum

dengan kategori tinggi.

Menurut peneliti kemampuan mengendalikan suasana hati umum

dipengaruhi oleh bagaimana dia bersikap optomis dan selalu mempertahankan

kebahagiaan. Berarti mahasiswa yang aktif di kampus memiliki sikap optimisme

yaitu mempunyai kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistis

terutama dalam menghadapi masa sulit yaitu dengan mempunya cara pandang yang

positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinnya, selain itu juga

mempunyai harapan yang realistic terhadap diri sendiri sehingga ketika harapan itu

tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.

Kemudian mempertahankan kebahagiaan, yaitu mahasiswa mampu untuk

mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain serta bersemangat dan

bergairah dalam melakukan setiap kegiatan. Sangat antusias apabila mendapatkan

dukungan dan motivasi dari orang sekitarnya serta dapat memanfaatkan keadaan

dan situasi dengan semaksimal mungkin.

Menurut Goleman ( 1997 ) bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari

hubungan sosial yang baik, apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan

suasana hati individu yang lain atau dapat berempat, orang tersebut akan memiliki

tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah me nyesuaikan diri dalam

pergaulan sosial serta lingkungan. Lebih lanjut Goleman ( 1997 ) mengemukakan

bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam

memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi,

Page 109: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 99 | 231

dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa, dengan kecerdasan emosi

tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada posisi yang dapat memilih

kepuasan dan mengatur suasana hati. Gloria Cyber ( 2004 ) mengatakan bahwa

kecerdasan emosi juga mencakup kehendak dorongan hati dalam mengatur suasana

hati secara positif dan diisi dengan kebahagiaan yang di motivasi oleh diri

seseorang.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “ Hubungan antara Golongan

Darah dengan Kecerdasan Emosi Mahasiswa Kampus II Keperawatan Lawang “

dengan hasil dari hasil perhitungan diatas dengan Paired Samples Statistic two tails

didapatkan hasil tingkat signifikansi 1.000 (α = 0.05) antara golongan darah dengan

kecerdasan emosi, hal ini berarti H1 diterima yang bermakna bahwa terdapat

hubungan yang sangat signifikan antara golongan darah dengan kecerdasan emosi

5. DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.Jakarta :

Salemba Medika

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT

Rineka Cipta

Alder, Harry. 2001. Boost Your Intelligence. Jakarta : Erlangga

Atkinson, R.L, dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Erlangga

Cooper, Robert K & Ayman Sawaf. 2002. Executive EQ. Kecerdasan Emosional

dalam Kepemimpinan & Organisasi.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Cooper Cary & Makin Petter. 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta : Arcan

Dermawan, 2006,

Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama

Nomi, 2007,

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan MAsyarakat. Prinsip-Prinsip

Dasar.Jakarta : PT Rineka Cipta

Nggermanto, Agus. 2005. Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum. Bandung :

Nuansa

Nursalam. 2003. Kosnep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,

Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawtaan. Jakarta :

Salemba

Patton, Patricia. 2000 EQ (Kecerdasan emosional). Mitra Media Publisher

Patton, Patricia. 2002. EQ-Pengembangan Sukses Lebih Bermakna. PT Mitra Media

Publisher

Robbins, Stephen P. 1997. Sosiologi Organisasi.Bandung : PT Citra Adiytya Bakti

Page 110: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 100 | 231

Sukidi. 2004. Rahasia Sukses Hidup Bahagia “ Kecerdasan Spiritual “.Jakarta : PT

Gramedia Pustaka Utama

Wijaya, Diana. 2007. Peluang Meningkatkan Karier dengan Intelegensi

(Kecerdasan) Jakarta. Restu Agung

-, 2003, ledakan EQ lima belas prinsip dasar kecerdasan emosional meraih sukses

Page 111: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 101 | 231

PENGARUH PEMBERIAN RANGE OF MOTION (ROM)

EXERCISE TERHADAP POLA TIDUR DAN SELF CARE PADA

LANSIA DI PANTI SOSIAL TRISNA WERDHA MINAULA

KENDARI TAHUN 2016

Budiono1 Muslimin L

2, Reni Devianti Usman

3 1

Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang 2, 3

Poltekkes Kendari/Jurusan Keperawatan

email: [email protected]

Abstrak

Perubahan fungsi motorik dan biokimia yang terjadi pada Lanjut Usia (Lansia) seringkali

menimbulkan masalah fisiologis dan psikologis pada lansia. Perubahan ini berdampak pada

gangguan pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari seperti adanya masalah istirahat tidur dan rasa

nyaman aman. Latihan fisik merupakan usaha untuk mempertahankan dan atau meningkatkan

fungsi fisik, psikososial dan spiritual. Latihan fisik yang dilakukan berupa ROM pasif dan aktif yang

rutin membantu menjaga fungsi motorik yang normal dan membantu meningkatkan kebutuhan tidur

seseorang dan keterbatasan fungsi yang lain secara maksimal, kualitas hidup klien akan meningkat

terutama dalam pemenuhan tidurnya, lebih jauh mencegah terjadinya dampak negatif immobilisasi

serta lebih meningkatkan kemandirian bagi lansia. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh

ROM exercise terhadap pola tidur dan self care lansia. Desain penelitian menggunakan Quasy

experiment (pra test - post test group desin). Sampel penelitian sebanyak 60 responden, dengan

teknik pengambilan non-probability sampling jenis purposive sampling, untuk 30 kelompok kontrol

dan 30 kelompok intervesi. Analisis data dengan menggunakan uji statistic t – test Hasil penelitian

menunjukkan adanya pengaruh ROM exercise pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu

sebesar 1,56. Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata pola

tidur pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,000 ; α = 0,05).

Sedangkan nilai rata-rata self care setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan

kontrol sebesar 8,99. Uji analisis menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata self

care pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,007 ; α = 0,05).

Rekomendasi hasil penelitian ini adalah ROM exercise dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi

untuk menangani gangguan pola tidur serta meningkatkan kemampuan dalam perawatan diri pada

lansia.

Kata kunci : ROM exercise, pola tidur, self care, lansia

1. PENDAHULUAN

Menurut UU RI No.13 tahun 1998 pasal 1 ayat 2 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia menyatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai

usia diatas 60 tahun.1 Menurut World Health organization (WHO) batas usia untuk

kategori lanjut usia berdasarkan tingkatan usia yaitu : usia pertengahan (middle age)

65 tahun, usia lanjut (elderly) >65-75 tahun, usia lanjut usia (old age) 75-90 tahun

dan sangat tua (very old) lebih dari 90 tahun.

Proses menua adalah proses yang alami berjalan secara terus-menerus dan

berkesinambungan diikuti terjadi perubahan fisik, psikososial dan spiritual.

Perubahan fisik seperti kekakuan pada sendi dan otot, perubahan rentang gerak,

nyeri pada sendi merupakan hal yang sering dilaporkan oleh lansia.

Page 112: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 102 | 231

Populasi lansia di Asia Tenggara sebesar 8% dari 142 juta jiwa, dan

diperkirakan pada tahun 2050 populasi lansia akan meningkat 3 kali lipat (WHO).

Persentase usia lanjut pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 11.4%

dibandingkan tahun 2000 sebesar 7.4%. Peningkatan jumlah penduduk berusia

lanjut akan mengubah peta masalah sosial dan kesehatan. Hal tersebut dikarenakan

lansia mengalami penurunan produktivitas dan mulai munculnya berbagai masalah

kesehatan. Keluhan yang sering diungkapkan oleh lansia adalah adanya gangguan

atau perubahan pola tidur. Apabila gangguan tidur tersebut terjadi dalam kurun

waktu yang lama berdampak timbulnya penyakit fisik seperti nyeri, stres emosional,

kelelahan, serta gangguan asupan makanan dan kalori (Perry & Potter, 2005).

Latihan fisik merupakan usaha untuk mempertahankan dan atau

meningkatkan fungsi fisik, psikososial dan spiritual. Latihan fisik yang dilakukan

berupa ROM pasif dan aktif yang rutin membantu menjaga fungsi motorik yang

normal dan membantu meningkatkan kebutuhan tidur seseorang dan keterbatasan

fungsi yang lain secara maksimal, kualitas hidup klien akan meningkat terutama

dalam pemenuhan tidurnya, lebih jauh mencegah terjadinya dampak negatif

immobilisasi serta lebih meningkatkan kemandirian bagi pasien (Sofwan, 2010).

Data yang diperoleh di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

terdapat 95 jiwa lansia. Hasil wawancara peneliti pada 20 orang lansia di Panti

Tresna Werdha Minaula Kendari terdapat 7 orang lansia yang memiliki jumlah jam

tidur per hari sebanyak 2–5 jam/hari. Sebanyak 7 orang yang mengalami gangguan

tidur karena kondisi kesehatan/fisik seperti nyeri sendi, batuk dan tekanan darah

tinggi dan 5 orang lansia yang mengalami sering terbangun karena sering BAK

pada malam hari.

Panti Werda Minaula Kendari telah melakukan program kegiatan olah raga

bagi lansia yang dilaksanakan sekali dalam seminggu, namun belum ada program

khusus untuk melatih rentang gerak untuk pencegahan disabilitas pada lansia. Hal

ini mendasari peneliti untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai “Pengaruh

pemberian ROM exercise Terhadap Pola Tidur dan Self Care Lansia di PSTW

Minaula Kendari.”

2. METODE PENELITIAN

Desain penelitian menggunakan Quasy experiment (pra test - post test

group desin), populasi dalam penelitian ini sebanyak 92 lansia yang tinggal dipanti,

sampel penelitian sebanyak 60 sampel. Mennggunakan metode pengambilan sampel

non-probability sampling jenis purposive sampling. 30 sampel kelompok kontrol

dan 30 sampel kelompok perlakuan, pada kedua kelompok diawali dengan pra tes

dan setelah pemberian perlakuan selesai diadakan pengukuran kembali (post- test).

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Desember 2015 dan bertempat

di PSTW Minaula Kendari.

Page 113: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 103 | 231

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa: (1)Instrumen untuk

menilai pola tidur adalah The Pittsburgh Quality Sleep Indekx (PSQI) yang terdiri

serangkaian pertanyaan untuk mengidentifikasi kualitas tidur subjektif, sleep

latensi, durasi tidur, gangguan tidur, efisiensi kebiasaan tidur, penggunaan obat

tidur, dan disfungsi tidur pada siang hari. (2). Intrumen untuk menilai kemandirian

dalam melakukan self care adalah quesioner modifikasi Barthel Indeks dan Skala

Kemandirian KATZ yang terdiri dari 13 item pertanyaan

Data dicatat pada lembar observasi pre-test dan post-test, pada kelompok

intervensi, dilakukan ROM exercise selama 14 hari dan dilaksanakan setiap hari.

Setelah 7 hari menjalani latihan, dilakukan pegukuran pemeriksaan fisik pada

responden meliputi identifikasi keluhan, pengukuran tekanan darah, frekwensi nadi

dan pernapasan pola tidur dan self care pada lansia. lalu pengukuran dilaksanakan

kembali setelah 14 hari menjalankan latihan. Pada hari 15, dilakukan pengukuran

kembali pola tidur dan self care pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Pengolahan data menggunakan teknik : editing, coding, entry data, cleaning

dan tabulating. Analisis data menggunakan program komputer untuk analisa

univariat dan analisa bivariat menggunakan uji statistis Uji t – test. Etika dalam

penelitian ini adalah anonymity, comfidentiality, justice.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Karakteristik dasar responden akan disajikan data demografi responden

antara lain: jenis kelamin, umur, dan riwayat penyakit dahulu.

A. Karakteristik Responden

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Panti Sosial

Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2016

Jenis Kelamin Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol

n % N %

Laki- laki 14 46,67 12 40

Perempuan 16 53,33 18 60

30 100 30 100

Tabel 1.1 Menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi dan kontorl lebih

banyak responden yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 16

orang (53,33%) pada kelompok intervensi dan 18 orang (60%) pada

kelompok kontrol

Page 114: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 104 | 231

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Tabel 1.2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Panti Sosial Tresna

Werdha Minaula Kendari Tahun 2016

Variabel N Min Max Mean Sd Confident Interval

Kel Kontrol

30

56

70

63,09

10,01

60,01- 64,32

Kel Intervensi 30 54 70 60,09 09,04 61,41- 65,02

Berdasarkan data dari tabel 1.2 tentang umur responden diketahui diatas

bahwa jumlah responden ada 30 orang, pada kelmpok kontrol dan intervensi

dengan umur termuda 54 tahun, umur tertua 70 tahun, rata- rata umur

responden 60,09 – 63,09 dengan standar deviasi 09,04 – 10.01

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Keluhan Fisik

Tabel 1.3 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Fisik di Panti Sosial

Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2016

Keluhan Fisik

Kelompok Intervensi Kelompok kontrol

n % N %

Nyeri 17 56,7 13 43,3

Batuk dan sesak 6 20,0 8 26,7

Gatal-gatal 2 6,6 5 16,7

Penglihatan kabur 5 16,7 4 13,3

Jumlah 30 100 30 100

Berdasarkan tabel 1.3 di atas menunjukkan bahwa keluhan fisik terbanyak

adalah keluhan nyeri yaitu pada kelompok intervensi (56,7%) dan kelompok

kontrol (43,3%).

B. Variabel Penelitian

1. Distribusi Responden Berdasarkan Pola Tidur Sebelum Dilakukan

ROM Exercise

Data distribusi frekuensi responden berdasarkan pola tidur sebelum

dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan kontrol dijelaskan

pada tabel 1.4 berikut:

Tabel 1.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pola Tidur Lansia Sebelum

dan Sesudah dilakukan ROM Exercise di Panti Sosial Tresna

Werdha Minaula Kendari Tahun 2016

Variabel

Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol

Mean Sd Min-Mak Mean Sd Min-Mak

Sebelum 8,90 4,71 2,00-18,00 9,10 4,85 1,00-18,00

Sesudah 7,36 4,67 2,00-15,00 8,93 4,77 1,00-18,00

Hasil penelitian pada tabel 1.4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata pola tidur

sebelum dilakukan intervensi ROM exercise pada kelompok intervensi adalah 8,90

dengan standar deviasi adalah 4,71. Nilai minimun pada kelompok intervensi adalah

2,00 sedangkan pada kelompok kontrol adalah 18,00. Sedangkan pada kelompok

Page 115: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 105 | 231

kontrol nilai rata-rata pola tidur adalah 9,10 dengan standar deviasi adalah 4,85.

Nilai minimun pada kelompok kontrol adalah 1,00 sedangkan tertinggi adalah

18,00.

Rata-rata nilai pola tidur setalah dilakukan intervensi ROM exercise pada

kelompok intervensi adalah 7,36 dengan standar deviasi 4,67. Nilai minimum pada

kelompok intervensi adalah 2,15 dan nilai tertinggi adalah 15,00. Sedangkan pada

kelompok kontrol nilai rata-ratanya adalah 8,93 dengan standar deviasi 4,77. Nilai

terendah pada kelompok kontrol adalah 1,00 dan nilai tertinggi adalah 18,00.

2. Distribusi Responden Berdasarkan Self Care Sebelum Dilakukan ROM

ExerciseData distribusi frekuensi responden berdasarkan self care setelah

dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan kontrol.

Tabel 1.5 Distribusi Responden Berdasarkan Self Care Lansia Sebelum dan

Sesudah dilakukan ROM Exercise di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

Tahun 2015

Hasil penelitian pada tabel 1.5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata self care

sebelum dilakukan intervensi pada kelompok intervensi adalah 10,46 dengan

standar deviasi 1,73. Nilai terendah pada kelompok intervensi adalah 8,00 dan

tertinggi adalah 13,00. Sedangkan pada kelompok kontrol nilai rata-rata self care

adalah 10,40 dengan standar deviasi adalah 1,92. Nilai terendah pada kelompok

kontrol adalah 7,00 sedangkan nilai tertinggi adalah 13,00.

Rata-rata kemandirian dalam self care setelah dilakukan intervensi pada

kelompok intervensi setelah dilakukan ROM exercise adalah 10,90 dengan nilai

standar deviasi adalah 1,44. Nilai terendah pada kelompok intervensi adalah 9,00

dan tertinggi adalah 13,00. Sedangkan pada kelompok kontrol nilai rata-rata

kemandirian dalam self care adalah 10,43 dengan standar deviasi 1,90. Nilai

Teredah pada kelompok kontrol adalah 7,00 dan tertinggi adalah 13,00.

C. Analisi Bivariat

1. Pola Tidur Pada Lansia

Analisis bivariat dilakukan untuk menilai perbedaan rata-rata (mean) pola

tidur dan self care pada lansia sebelum dan setelah dilakukan ROM exercise.

Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik paired T test.

Variabel

Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol

Mean Sd Min-Mak Mean Sd Min-Mak

Sebelum 10,46 1,73 8,00-13,00 10,40 1,92 7,00-13,00

Sesudah 10,90 1,44 9,00-13,00 10,43 1,90 7,00-13,00

Page 116: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 106 | 231

Tabel 1.6 Perbedaan Rata-Rata Responden Berdasarkan Pola Tidur Sebelum dan

Setelah dilakukan ROM Exercise di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

Tahun 2016

Variabel

Sebelum Intervensi

Setelah Intervensi

Mean Sd P value t n Mean Sd P

value

t n

Kelompok

Intervensi

8,90 4,70

0,030

2,28

30

7,36 4,67

0,00

3,97

30 Kelompok

Kontrol

9,10 4,85 8,92 4,77

Pada tabel 1.6 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi ROM

exercise pada kelompok intervensi nilai rata-rata pola tidur adalah 8,90 dan pada

kelompok kontrol adalah 9,10. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan

yang signifikan nilai rata-rata pola tidur pada kelompok intervensi dan kontrol

sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,030 ; α = 0,05).

Setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi adalah 7,36 dan

pada kelompok kontrol 8,92. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan yang

signifikan nilai rata-rata pola tidur pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum

dilakukan ROM exercise (p=0,000 ; α = 0,05). Hal ini menunjukan bahwa ada

pengaruh ROM exercise terhadap pola tidur lansia

1. Kemampuan Dalam Self Care pada Lansia

Tabel 1.7 Perbedaan Rata-Rata Responden Berdasarkan Self Care Sebelum dan

Setelah dilakukan ROM Exercise di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

Tahun 2016

Variabel

Sebelum Intervensi

Setelah Intervensi

Mean Sd P

value

t n Mean Sd P value t n

Kelompok

Intervensi

10,46 1,73

0,326

1,00

30

10,90 1,44

0,007

2,9

0

3

0

Kelompok

Kontrol

10,40 1,92 10,43 1,90

Pada tabel 1.7 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi ROM

exercise pada kelompok intervensi nilai rata-rata self care adalah 10,46 dan pada

kelompok kontrol adalah 10,40. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan

yang signifikan nilai rata-rata self care pada kelompok intervensi dan kontrol

sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,326 ; α = 0,05).

Setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi nilai rata-rata

self care adalah 10,90 dan pada kelompok kontrol 10,43. Hasil analisis

menunjukkan ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata self care pada kelompok

Page 117: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 107 | 231

intervensi dan kontrol sebelum dilakukan ROM exercise (p=0,007 ; α = 0,05). Hal

ini menunjukan bahwa ada pengaruh ROM exercise terhadap self care lansia

Pembahasan

1. Pola Tidur Pada Lansia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai pola tidur pada

lansia adalah 8,90 pada kelompok intervensi dan 9,10 pada kelompok kontrol.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur pola tidur adalah The Pittsburgh

Quality Sleep Indekx (PSQI), dengan menilai kualitas tidur, sleep latency, durasi

tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur dan penggunaan obat tidur. Nilai skor diatas

5 mengindikasikan pola tidur yang buruk sedangkan skor dibawah nilai 5

menunjukkan pola tidur yang baik. Nilai skor 8 dan 9 menunjukkan bahwa pada

lansia mengalami kualitas pola tidur yang buruk.

Berbagai masalah yang berkaitan dengan lanjut usia telah dicatat pada

banyak referensi. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan oleh lansia adalah

gangguan pola tidur. Gangguan tersebut meliputi kurangnya jumlah waktu tidur,

sulit untuk memulai tidur, mudah terbangun saat tidur dan tidur yang tidak

nyenyak.

Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi, yaitu sekitar 67%, dan

lansia yang memiliki gangguan fisik serta psikologis melaporkan kualitas tidur

yang buruk dan durasi tidurnya kurang (Amir N., 2007). Pendapat tersebut juga

didukung oleh data yang menyebutkan bahwa sekitar 50% lansia yang berusia 65

tahun dan tinggal di rumah mengalami gangguan tidur, dan angka tersebut

meningkat menjadi dua pertiga pada lansia yang tinggal di tempat perawatan usia

lanjut (Prayitno., A. 2002).

Penelitian lain yang melibatkan 9000 responden lansia berusia diatas 65

tahun mencatat bahwa 42% dari populasi tersebut mengalami kesulitan memulai

dan mempertahankan tidur. Penelitian tersebut juga mengidentifikasi bahwa

lansia tersebut bangun lebih awal, jumlah waktu berada ditempat tidur lebih lama

saat memulai tidur dan terbangun di malam hari (Roepke & Israel, 2008).

Dampak dari gangguan tidur dapat secara langsung mempengaruhi kualitas

hidup. Keluhan seperti sering tertidur pada siang hari, perasaan yang tidak bugar,

lebih mudah terjatuh, penurunan kemampuan bekerja atau melakukan aktivitas

sehari-hari, kelelahan, gangguan kognitif, gangguan fisik, depresi dan cemas

adalah hal yang sering diungkapkan pada lansia dengan gangguan tidur.

(Roccichelli T, dkk, 2010).

Perubahan pada fisiologis tubuh berperan pada kualitas hidup lansia.

Penurunan fungsi normal pada berbagai organ tubuh, atropi pada sel, perubahan

pada pembuluh darah serta penyakit degeneratif berkontribusi pada keluhan fisik

yang dialami oleh lansia. Beberapa gangguan kesehatan secara secara langsung

memberikan dampak pada pola tidur lansia, misalnya keluhan nyeri pada otot

Page 118: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 108 | 231

dan sendi, sesak nafas, batuk dan peningkatan frekwensi berkemih pada malam

hari.

Faktor yang mempengaruhi istirahat tidur antara lain lingkungan, respon

terhadap penyakit, gaya hidup, dan depresi, stres emosi, pengaruh makanan dan

obat-obatan (Perry & Potter, 2005).

Hasil penelitian ini menunjukkan sebagaian besar lansia mengalami

keluhan fisik yang berpotensi menghambat fungsi tubuh. Keluhan terbanyak

adalah nyeri yang meliputi nyeri sendi, nyeri tulang, nyeri epigastrium. Terdapat

keluhan lain yang diungkapkan oleh sejumlah responden seperti sesak, batuk dan

gatal-gatal. Hal ini dilaporkan lansia sebagai masalah yang menyebabkan

penurunan kualitas tidur.

Pendapat tersebut di atas didukung oleh hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh Tel pada tahun 2013 yang melibatkan 187 lansia. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kualitas tidur pada lansia menurun, serta ditemukan

hubungan antara penurunan kualitas tidur dan kualitas hidup seiring dengan

bertambahnya usia pada populasi lansia. Pada penelitian tersebut juga dijelaskan

bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tidur lansia tersebut adalah

penyakit fisik yang dialaminya (Tel., H., 2013).

2. Pengaruh ROM exercise terhadap pola tidur lansia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan

pemberian ROM exercise dengan pola tidur pada lansia dengan nilai p=0,000 ;

α=0,05.

Siklus bangun dan tidur merupakan proses yang kompleks. Pengaturan

tidur dipengaruhi oleh mekanisme kerja nukleus suprakhiasma yang berlokasi di

hipothalamus, daerah ini bertanggung jawab pada pelepasan melatonin yang

berperan pada proses tidur. Selain itu serotonin yang diproduksi di nukleus

dorsal rape, norepinefrin yang diproduksi di lokus ceruleus serta asetilkolin dari

pontin retikular formasi merupakan neurotransmitter yang juga berperan pada

proses tidur dan terjaga. Responden yang terlibat dalam penelitian ini sebagian

besar mengalami ketidaknyamanan nyeri yaitu berjumlah 43,3% - 56,7% dengan

keluhan lainnya adalah sesak yang berpengaruh terhadap pola tidur lansia.

Faktor ketidaknyamanan seperti nyeri dan sesak meningkatkan masukan

impuls pada daerah ini sehingga mengeksitasi sistem yang bersangkutan

sehingga berdampak pada pola tidur (Lubit R.H, 2015).

ROM exercise merupakan salah satu jenis latihan fisik untuk meningkatkan

kemampuan rentang gerak sendi sehingga dapat meningkatkan fleksibilitas,

kekuatan dan mobilitas sendi. Selain meningkatkan vitalitas sendi, latihan ini

juga dapat mempengaruhi kekuatan otot. Saat seseorang melakukan ROM

exercise, maka sekumpulan otot dan tendon yang mempengaruhi sendi tersebut

akan melakukan aktivitas peregangan dan relaksasi (american college). Aktivitas

latihan ini akan meningkatkan sirkulasi ke otot sehingga akan mempengaruhi

Page 119: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 109 | 231

pasokan nutrisi sel serta eliminasi zat sisa metabolik, dampak dari hal tersebut

adalah menurunkan ketegangan otot, meningkatkan vitalitas dan metabolisme

tubuh (Gamaldo., C, 2013).

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara ROM exercise dengan

pola tidur. Suatu penelitian telah dilakukan oleh Yang., P.Y, dkk pada tahun

2012, dengan 305 partisipan yang mengalami gangguan tidur. Pada partisipan

tersebut, dilakukan exercise selama 10 sampai 16 minggu. Pengukuran pola tidur

dilakukan dengan instrumen Pittsburgh Sleep Quality Index. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi yang melakukan exercise

terdapat perbaikan pola tidur yaitu penurunan sleep latency dan penggunaan

obat tidur.

Suatu penelitian yang melibatkan 2600 responden pria dan wanita dengan

rentang usia 18 hingga 85 tahun yang melakukan exercise 150 menit dalam

seminggu menunjukkan bahwa 65% dari responden melaporkan peningkatan

kualitas tidur. Youngstedt mencatat bahwa terdapat sekitar 38 penelitian telah

dilakukan untuk menilai exercise dengan pola tidur. Hasil peneelitian tersebut

menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara exercise dengan pola tidur

yang ditunjukkan dengan parameter peningkatan waktu tidur (Hirshkowitz, H.

2013).

ROM Exercise dapat meningkatkan asupan oksigen sebagai respon

terhadap kardiorespirasi akibat aktivitas fisik yang dilakukan. Dampak ini tidak

hanya terjadi pada otot yang bersangkutan tetapi juga pada organ tubuh lainnya

misalnya otak. Jumlah oksigen yang sampai pada otak akan meningkat sehingga

dapat memaksimalkan fungsinya.

Saat seorang melakukan exercise diinduksi pengeluaran protein yang

bernama Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF), protein ini bersifat

protektif terhadap sel otak. Pada saat yang sama, otak akan memproduksi

endorpin yaitu suatu zat kimia yang berfungsi untuk mengatasi stres dan

menimbulkan efek rasa nyaman (Widrich.,N, 2012). Endorfin ini mengandung

banyak asam amino dan efek analgesiknya dua kali lebih besar dibandingkan

morfin. Zat ini tampaknya mempunyai tropisme utama untuk reseptor rasa nyeri

yang ada di mesensefalon, nuklei medio thalamik, dalam substansia nigra. Lebih

lanjut, endorpin dapat menurunkan hormon stres seperti aderenalin, kortisol, dan

norephinefrin (Tjahyati & Ismail, 2007).

Peningkatan konsentrasi serum beta-endorpin yang diinduksi dari exercise

dapat memberikan efek secara bermakna pada kondisi psikologis dan fisiologis,

misalnya memperbaiki mood atau perasaan dan mengurangi rasa nyeri sehingga

akan meningkatkan kenyamanan (Herber & Sutton, 2012). Mekanisme relaksasi

dan peningkatan kenyamanan tersebut akan mempengaruhi pola tidur seperti

peningkatan kualitas tidur, peningkatan jam tidur dan kemampuan memulai

tidur.

Page 120: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 110 | 231

3. Kemandirian Self Care pada lansia

Penelitian ini, mengidentifikasi kemampuan lansia dalam pelaksanaan self

care yang terdiri dari kemampuan melaksanakan aktivitas mandi, kebersihan mulut,

berpakaian, eliminasi, makan, hubungan sosial dan aktivitas diwaktu senggang.

Sebagian besar responden penelitian mengalami keluhan fisik. Keluhan yang

diidentifikasi terbanyak dikeluhkan adalah nyeri. Nyeri yang dialami oleh

responden sebagian besar adalah nyeri pada sendi, nyeri pada tulang dan otot.

Masalah ini menyebabkan penurunan kemampuan lansia dalam melakukan self

care.

Lansia yang mengalami penurunan kemampuan dalam mandi, tidak dapat

menyeka anggota tubuh tertentu, keterbatasan dalam membilas setelah eliminasi,

keterbatasan dalam mengontrol defekasi dan berkemih disebabkan ketidakmampuan

mencapai toilet, memilih dan menggani pakaian. Akibat lain yang ditimbulkan dari

keterbatasan tersebut, fungsi sosial lansia menjadi terhambat. Dampak secara luas

adalah lansia memiliki ketergantungan pada orang lain untuk menyelesaikan

aktivitas self care. Hambatan dalam self care seperti kemampuan menggganti

pakaian dapat berisiko terhadap infeksi kulit, saluran kemih dan saluran cerna.

Gangguan konsep diri dan gambaran diri juga dapat dialami oleh lansia disebabkan

penampilan yang tidak rapi, menimbulkan bau sehingga lansia mengurangi aktivitas

sosial.

Self care merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang telah

terbentuk sepanjang rentang kehidupan manusia sehingga, membentuk diri mereka

sendiri untuk memelihara hidup, kesehatan, pengembangan, dan kesejahteraan/

kesehatan (Tomey, 2006 ). Berbagai faktor dapat berperan pada kamandirian

pelaksanaan self care, adalah kondisi fisik, motivasi, pengetahuan, kondisi

lingkungan dan psikologis. Nyeri pada sendi, otot dan tulang dapat menyebabkan

lambatnya respon lansia pada pergerakan, berisiko cedera, berkurangnya

kemampuan rentang gerak, fleksibilitas dan mobilitas sendi sehingga lansia

membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan self care, dapat

melaksanakan self care tetapi urutan kegiatannya tidak lengkap, atau bahkan hal ini

menyebabkan berkurangya minat lansia pada pelaksanaan self care (James, et al,

2012).

Perubahan pada jaringan ikat sendi yaitu pada tendon, kartilago dan ligamen

mengakibatkan penurunan rentang gerak dan elastisitas sendi (Pudjiastuti & Utomo,

2003). Selain itu akibat proses penuaan dan penurunan aktivitas, akan

mempengaruhi ukuran serat otot dan massa otot yang berkontribusi pada kekuatan

otot (Potter & Perry, 2019). Selanjutnya, kondisi tersebut akan mempengaruhi

seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari termasuk kemampuan dalam

melaksanakan self care.

ROM exercise, merupakan suatu latihan yang salah satunya berfungsi untuk

meningkatkan fleksibilitas tendon melalui mekanisme yang memediasi refleks

inhibisi dan tegangan viskoelastis. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Girourad &

Page 121: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 111 | 231

Hurley menunjukkan bahwa dengan melakukan latihan fleksibilitas pada sendi,

dapat meningkatkan rentang gerak sendi. Penelitian lain yang berhubungan dengan

ROM exercise dan rentang gerak sendi dilakukan oleh Ulliya dkk. Penelitian

tersebut dilakukan selama enam minggu dan fleksibilitas sendi diukur setelah tiga

dan enam minggu latihan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terjadi

peningkatan yang signifikan fleksibilitas lutut kanan dan kiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Mudrikhah dkk, juga menilai ROM exercise

terhadap rentang gerak sendi lutut dan kekuatan otot pada 24 orang lansia. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rentang gerak sendi dan

kekuatan otot setelah melakukan latihan selama enam minggu dengan frekwensi

latihan lima kali seminggu. ROM exercise dapat mempengaruhi kemampuan rentak

gerak sendi, fleksibilitas dan mobilitas sendi melalui mekanisme peningkatan

tegangan pada muskulus dan tendon akan dideteksi oleh proprioseptor daerah yang

dilatih yang selanjutnya akan menghambat kontraksi otot agonis dan menginduksi

relaksasi dari otot yang bersifat antagonis. Makanisme ini bertujuan untuk

menghindari injuri pada otot dan tendon yang disebabkan oleh ketegangan yang

berlebihan pada daerah tersebut, dan memberikan efek jangka pendek berupa

peningkatkan fleksibilitas segera setelah peregangan dilakukan.

Gerakan yang dilakukan pada sendi menyebabkan pembuluh darah yang

memfasilitasi komponen darah pada otot dan tendon pada daerah tersebut

mengalami peningkatan. Nutrisi dan oksigen dibutuhkan memaksimalkan

regenerasi sel, selain itu peningkatan sirkulasi pada daerah tersebut meningkatkan

eliminasi sisa produk metabolisme dari otot, tendo dan jaringan lain. Selain itu,

ROM exercise memberi dampak pada pengurangan rasa nyeri yang diakibatkan dari

degenaratif sendi ataupun keterbatasan gerak. Ini dimungkinkan oleh pengeluaran

endorpin pada otak yang secara langsung dapat mempengaruhi sensasi nyeri,

meningkatkan mood sehingga berperan pada kondisi psikologis. Selanjutnya, hal ini

akan berkontribusi pada peningkatan kemampuan self care lansia.

4. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan Ada pengaruh yang signifikan rata-rata nilai

pola tidur setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan kontrol

(p= 0,000 ; α = 0,05), dan ada pengaruh yang signifikan rata-rata nilai self care

setelah dilakukan ROM exercise pada kelompok intervensi dan kontrol (p= 0,007 ; α

= 0,05)

SARAN

Hasil penelitian ini dapat diterapkan oleh lansia untuk mencegah maupun

mengatasi gangguan tidur dan keterbatasan dalam melaksanakan self care. Untuk

pihak PSTW maupun yang terkait dalam menangani atau merawat lansia, dapat

Page 122: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 112 | 231

menerapkan intervensi ROM exercise untuk mempertahankan dan memaksimalkan

fungsi tubuh serta sekaligus untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur

5. DAFTAR PUSTAKA

Frost R. Sleep Disorder. 2001. Dalam: Introductory Textbook of Psychiatry,

Andreasen NC, Black DW. eds, 3rd ed. Am Psychiatric Publ. Inc,

Washington DC, London. hal. 643-66

Printz PN, Vittelo MV. 2000. Sleep disorders. Dalam: Comprehensive Textbook of

Psychiatry. Sadock BJ, Sadock VA, eds, 7th ed, Lippincott Williams &

Wilkins. A Wolters Kluwer Co. hal. 3053-59.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th

ed, Text Revision,

American Psychiatric Association, 2000. hal. 579-661.

Reynolds CF, Kufer DJ, Taska LS. EEG sleep in elderly depressed, demented, and

healthy subjects. Biol Psychiatry 1985; 20: 431-42.

5. Koskenvoo M, Kaprio J, Partinen M. Snoring as risk factor for hypertension and

angina pectoris. Lancet 1985;1: 893-96.

Salih AM, Gray RE, Mills KR. A clinical, serological, and neuropsychological

study of restless leg syndrome in rheumatoid and arthritis. Br J Rheumatol.

1994; 33: 60-3

Lamberg L. Illness, not age itself, most often the trigger of sleep problems in older

adults. JAMA;2003; 290(3): 319-24.

Wellsburg JE, Winkelman JW. Sleep disorders. Dalam: Textbook of consultation-

liaison psychiatry. Psychiatry in the medically ill. Wise MG, Rundell JR,

eds. 2nd ed, 2002: 495-513.

Nausieda P, Weiner W, Kaplan LR. Sleep disruption in the course of chronic

levodopa therapy: an early feature of levodopa-induces psychoses. Clin

Neuropharmacol. 1982:5:183-94

Thase ME. Depression, sleep, and antidepressants. J Clin. Psychiatry 1998; 59

(suppl 4) : 55-65.

Guelleminault C. Benzodiazepine, breathing, and sleep. Am J Med 1990, 88: 25-8.

Thase ME. Antidepressant treatment of the depressed patients with insomnia. J Clin

Psychiatry 1999; 60 (suppl 17): 28-31.

Dolberg T, Hirschman S, Grunhaus L. Melatonin for the treatment of sleep

disturbances in major depressive disorder. Am J Psychiatry 1998;155: 1119-

21.

Dahliz M, Alvarez B, Vignan J,Parles JP, Arendt J. Delayed sleep phase syndrome

response to melatonin. Lancet 1991;337:1121-4

Garfinkel D, Laidon M, Noff D. Improvement of sleep quality in elderly people by

controlled-release melatonin. Lancet 1995;346:541-4.

Page 123: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 113 | 231

TINGKAT KESEPIAN PADA LANSIA DI PANTI WERDHA

Ni Wayan Rosmalawati1 Abdul Hanan

2, Arivando Yoga Papangdika

3 1, 2, 3

Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang

Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected].

id

Abstrak

Penuaan dapat menyebabkan sejumlah kehilangan, termasuk hilangnya kesehatan, teman,

pasangan, transportasi, dan kemandirian. Kehilangan ini dapat berkontribusi terhadap kesepian.

Kesepian telah diidentifikasi sebagai masalah kesehatan mental yang utama mempengaruhi lansia.

Ada pun yang melatarbelakangi penelitian di Panti Pangesti Lawang adalah para lansia yang

cenderung suka menyendiri dan kurang mampu bersosialisasi. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi gambaran tingkat kesepian pada lansia, dengan desain penelitian menggunakan

metode deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 50 orang. Menggunakan teknik sampling jenuh. Hasil

penelitian didapatkan dari 50 responden sebanyak 31 responden (62%) mengalami kesepian ringan.

Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa lebih dari setengah jumlah lansia yang tinggal di

Panti Pangesti mengalami kesepian ringan. Disarankan kepada pengelola panti untuk tetap

menjaga lingkungan panti yang sudah kondusif, serta bagi tenaga keperawatan agar lebih

menerapkan komunikasi terapeutik dalam setiap pertemuan dengan lansia.

Kata Kunci : Kesepian, Lansia

1. PENDAHULUAN

Kesepian merupakan topik penting untuk memahami orang dewasa yang

lebih tua. Masa tua merupakan masa paling akhir dari siklus kehidupan manusia,

dalam masa ini akan terjadi proses penuaan atau aging yang merupakan suatu

proses yang dinamis sebagai akibat dari perubahan-perubahan sel, fisiologis, dan

psikologis. Pada masa ini manusia berpotensi mempunyai masalah-masalah

kesehatan secara umum mau pun kesehatan jiwa (Gollub & Weddle, 2014).

Kesepian telah dikaitkan dengan usia tua karena banyaknya perubahan dan

kehilangan yang berkaitan dengan usia yang terlibat dalam menjadi tua (Aebischer,

2008). Orang dewasa yang lebih tua berada pada risiko yang lebih besar dari

kesepian karena beberapa alasan, termasuk kehilangan pasangan, teman-teman,

pendapatan, dan kesehatan (Balandin, Berg, & Waller, 2006).

Kesepian dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan emosional pada orang

dewasa yang lebih tua. Ini telah dikaitkan dengan tekanan darah tinggi, gangguan

tidur, nyeri, depresi, dan kecemasan (Cacioppo & Patrick, 2008). Ini juga telah

baru-baru ini dipelajari dalam kaitannya dengan kesehatan kognitif. Penelitian

menunjukkan bahwa kesepian merupakan faktor risiko penurunan kognitif

(Cacioppo & Hawkley, 2009). Sebuah studi terbaru menunjukkan bagaimana

berbagai jenis kegiatan kelompok meningkatkan kognisi orang dewasa yang lebih

tua (Pitkala, Routasalo, Kautiainen, Sintonen, & Tilvis, 2011).

Jumlah lansia di Indonesia diperkirakan mencapai 30-40 juta pada tahun

2020 sehingga Indonesia menduduki peringkat ke 3 di seluruh dunia setelah China,

Page 124: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 114 | 231

India, dan Amerika dalam populasi lansia. Dengan seiring meningkatnya jumlah

lansia maka angka kesepian pun semakin semakin besar diperkirakan 50% lansia

kini menderita kesepian. Dalam empat dekade mendatang, proporsi jumlah

penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih dalam populasi dunia diperkirakan

meningkat dari 800 juta penduduk menjadi 2 milyar penduduk lansia atau

mengalami lonjakan dari 10% hingga 22% (Depkes, 2015).

Untuk mengatasi masalah yang terjadi pada lansia maka pemerintah

membentuk suatu wadah yang dinamakan panti werdha atau dulu lebih dikenal

dengan nama panti jompo. Pada awalnya panti jompo diperuntukkan bagi lansia

yang terlantar atau dalam keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan namun

seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan perawatan bagi lansia maka kini

berkembang panti-panti berbasis swasta yang umumnya untuk lansia dengan

keadaan ekonomi berkecukupan.

Dengan adanya panti ini diharapkan para lansia mendapatkan pelayanan

berupa pemenuhan kebutuhan dasar juga diberikan fungsi positif lainnya yaitu

program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan kesibukan untuk mereka

sebagai pengisian waktu luang, diantaranya pemberian bimbingan sosial,

bimbingan mental spiritual serta rekreasi, penyaluran bakat dan hobi, terapi

kelompok, senam dan banyak kegiatan lainnya.

Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:

gambaran Tingkat Kesepian Pada Lansia di Panti Werdha Pangesti Lawang

Kabupaten Malang.

2. METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

yang bertujuan untuk menggambarkan tingkat kesepian pada lansia di panti

pangesti Lawang Kabupaten Malang, dengan populasi seluruh lansia di Panti

Pangesti Kecamatan Lawang Kabupaten Malang sebanyak 50 orang, dan sampel

penelitian diambil dengan teknik total sampling. Variabel dalam penelitian ini

adalah tingkat kesepian pada lansia di Panti Pangesti Lawang Kabupaten Malang.

Definisi Operasional Gambaran Tingkat Kesepian Pada Lansia di Panti

Pangesti Lawang Kabupaten Malang.

Variabel : Tingkat Kesepian

Definisi Operasional : Rentang tinggi atau rendahnya perasaan subjektif individu

yang berupa perasaan terasing, tertolak, atau pun kegelisahan

Skala : Ordinal

Alat ukur : Kuisioner((UCLA Loneliness Scale)

Skor : Kesepian Ringan : Skor 20-39

: Kesepian Sedang : Skor 40-59

: Kesepian Berat : Skor 60-80

Page 125: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 115 | 231

Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 Mei 2017 –

15 Mei 2017, di Panti Werdha Pangesti Lawang Kabupaten Malang, dengan alat

ukur berupa kuesioner dari Revised UCLA Loneliness Scale yang telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia.

No Usia Frekuensi Prosentase

1

2

3

4

45 – 59 tahun (Middle Age)

60 – 74 tahun (Elderly)

75 – 90 tahun (Old)

90 < (Very Old)

2

25

20

3

4

50

40

6

Jumlah 50 100

Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase

1

2

Laki-laki

Perempuan

21

29

42

58

Jumlah 50 100

Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat Pendidikan

No Pendidikan Frekuensi Prosentase

1

2

3

4

Belum tamat SD

SD

SMP

SMA

6

24

8

12

12

48

16

24

Jumlah 50 100

Tabel 3. Tingkat Kesepian Lansia

No Tingkat Kesepian Frekuensi Prosentase

1

2

3

Ringan

Sedang

Berat

31

16

3

62

32

6

Jumlah 50 100

Page 126: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 116 | 231

Pembahasan

Dari 50 responden penelitian, dapat dilihat lebih dari setengahnya lansia

mengalami kesepian ringan yaitu 31 orang (62%), sedangkan kurang dari

setengahnya mengalami kesepian sedang yaitu 16 orang (32%), dan sebagian kecil

mengalami kesepian berat yaitu 3 orang (6%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih

dari setengahnya lansia mengalami kesepian ringan, ini dimungkinkan karena faktor

lingkungan panti sendiri yang lebih kondusif dari sebelumnya untuk menjalin ikatan

persaudaraan antara lansia terutama bagi lansia yang tinggal satu wisma. Hal yang

membuat suasana panti kondusif diantaranya ialah dengan terapi musik yang

dilakukan setiap pagi dan sering mengumpulkan lansia untuk saling berinteraksi

baik itu dengan sesama lansia maupun dengan para pekerja sosial. Selain itu

kegiatan-kegiatan yang dibimbing baik oleh perawat dan pekerja sosial terutama

oleh mahasiswa yang melakukan praktek lapangan membuat lansia tetap dapat

melakukan cukup aktifitas.

Faktor lingkungan panti akan secara tidak langsung mempengaruhi

terjadinya kesepian pada lansia, seperti sarana prasarana atau fasilitas yang

disediakan oleh panti, berbagai aktifitas dari mulai yang berhubungan dengan

kebutuhan dasar maupun bimbingan-bimbingan terapi dan perawat atau pekerja

sosial itu sendiri sebagai orang yang berperan memberikan perawatan selama lansia

tinggal di panti (Mariani dan Kadir, 2007).

Martin dan Osborn (Damayanti, 2008) mengatakan salah satu faktor yang

menjadi penyebab kesepian adalah faktor spiritual yaitu agama seseorang yang

dapat menghilangkan kecemasan seseorang dan kekosongan spiritual seringkali

berakibat kesepian. Di Panti Pangesti Lawang Kabupaten Malang diberlakukan

bimbingan rohani setiap minggunya, hal ini akan mempengaruhi lansia untuk

menghadapi masalah-masalah salah satunya adalah masalah kesepian. Lansia yang

orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan dengan kesehatan yang lebih baik

(Santrock, 2006).

Menurut Peters (2004), faktor-faktor yang menyebabkan kesepian adalah

kurangnya perhatian pada lansia ketika anak-anaknya sudah dewasa dan kehilangan

pasangan hidup. Fase kehilangan pada 5 tahun pertama biasanya akan mengalami

kesepian berat dibandingkan lansia yang telah bertahun-tahun ditinggalkan oleh

pasangan. Beberapa lansia yang tinggal di Panti Pangesti dirasa juga cukup

mendapat perhatian dari keluarga melalui kunjungan yang dilakukan keluarga

meski dalam rentang waktu yang tidak menentu.

Menurut Martin dan Osborn (Damayanti, 2008) salah satu faktor yang

mempengaruhi kesepian adalah kebudayaan dan situasional di mana dalam hal ini

bagi lansia adalah kebudayaan dan situasi yang ada di panti. Saat pertama

memasuki panti sebagian besar lansia kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan

dan lebih senang menyendiri. Hal ini dimungkinkan karena penyakit yang terjadi

bersamaan dengan penurunan hubungan sehingga lansia menjadi tidak komunikatif

Page 127: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 117 | 231

disebabkan kesulitan pendengaran dan keterbatasan bahasa. Namun dengan seiring

waktu akan timbul kepasrahan dan selanjutnya akan bisa menikmati hidup di panti.

Kesepian pada orang-orang yang sudah tua akan berdampak pada kesehatan

fisik yang komplek (Herbert, 2007). Oleh karena itu, meskipun lebih dari setengah

lansia hanya mengalami kesepian ringan namun hal ini tetap harus menjadi

perhatian karena penderita kesepian mungkin tenang dan tidak bisa ditandai sejak

dini akan tetapi hal tersebut akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu

Menurut Martin dan Osborn (Damayanti, 2008) motivasi akan sangat

membantu individu dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. Individu yang

tidak memiliki motivasi untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah akan

membentuk koping yang destruktif. Mengingat akibat kesepian sangat besar

diantaranya adalah depresi dan resiko melakukan bunuh diri, maka perlu menggali

faktor penyebab kesepian sejak dini dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan

dan penanggulangan agar masalah kesepian pada lansia tidak bertambah. Salah satu

solusi yang bisa dilakukan adalah dengan penambahan jumlah tenaga perawat

sebagai tenaga yang berperan dalam pendekatan psikis. Perawat diharapkan akan

memberikan motivasi terhadap segala sesuatu yang asing sekaligus memberikan

kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai keluhan agar

lansia merasa puas. Selain itu, peningkatan terapi aktivitas kelompok juga perlu

dilakukan guna mendorong lansia agar lebih sering berinteraksi sekaligus

mengurangi masalah emosional.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka disimpulkan bahwa tingkat kesepian

pada lansia di Panti Pangesti Lawang Kabupaten Malang didapatkan lebih dari

setengahnya mengalami kesepian ringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan para

lansia pada kuesioner yang lebih dari setengahnya menyatakan bahwa mereka

memiliki banyak kesamaan dengan orang-orang disekitarnya

5. DAFTAR PUSTAKA

A, Cheryl dan K. Parello. 2008. Loneliness in the School Setting, volume 24. The

Journal of School Nursing 2008. 24/2. 66-70. (Diakses 13 Desember 2016)

Aebischer, J. (2008). Loneliness among home¬bound older adults: Implications for

home healthcare clinicians. Home Health¬care Nurse, 26, 521-524.

(Diakses 07 Oktober 2016)

Alimul Hidayat, Aziz. 2012. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.

Jakarta: Salemba

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rinek Cipta

Azizah, L. M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Page 128: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 118 | 231

Balandin, S., Berg, N., & Waller, A. (2006). Assessing the loneliness of older

people with cerebral palsy. Disabil¬ity and Rehabilitation, 28, 469-479.

(Diakses 07 Oktober 2016)

Cacioppo, J.T., & Hawkley, L.C. (2009). Perceived social isolation and cognition.

Trends in Cognitive Sciences,13, 447-454. (Diakses 07 Oktober 2016)

Diana Hidayati, Savitri. 2015. Self Compassion dan Loneliness. Jurnal Ilmiah

Psikologi Terapan. (Diakses 04 Januari 2017)

Dykstra, P.A., van Tilburg, T.G., & de Jong Gierveld, J. (2005). Changes in older

adult loneliness: Results from a seven-year longi¬tudinal study. Research

on Aging, 27, 725- 747. (Diakses 07 Oktober 2016)

Fry, P. S., & Debats, D. L. (2002). Self-efficacy beliefs as predictors of loneliness

and psychological distress in older adults. International Journal of Aging

and Human Development, 55(3), 233-269. (Diakses 07 Oktober 2016)

Gollub, E., & Weddle, D. (2004). Improvements in nutritional intake and quality of

life among frail homebound older adults receiving home-delivered breakfast

and lunch. Journal of the American Dietetic Association, 104(8), 1227-35.

(Diakses 07 Oktober 2016)

Herbert, W. 2007. Loneliness is injurious to health, especially in old age

http://www.psychologicalscience.org (diakses 29 Mei 2017)

Hurlock, B. 2002. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Kadir dan Mariani. 2007. Panti Werdha Sebuah Pilihan

http://subhankadir.wordpress.com.(Diakses 07 Oktober 2016)

Juniarti, N. & Septi, R.E, & Damayanti, A. (2008). Gambaran Jenis dan Tingkat

Kesepian Pada Lansia di Balai Panti Sosial Tresna Werdha Pakutandang

Ciparay Bandung. (Diakses 07 Oktober 2016)

Masi, C. M., Hsi Y.C,. Louise, C.H dan Ohn T.C. 2011. A Meta-Analysis of

Intervensions to Reduce Loneliness, Volume 15, Personality and Social

Psychology Review.15/3.219-266. (Diakses 13 Desember 2016)

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta Selatan: salemba medika

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan .Jakarta: Rineka

Cipta

Peters, R. 2004. Social Isolation and Loneliness. http://web.uvic.ca (diakses 29 Mei

2017)

Pettigrew, S. Dan Michelle R. 2008. Addressing loneliness in later life. Journal of

Aging & Mental Health.. 12/3. 302-309. (Diakses 13 Desember 2016)

Pitkala, K., Routasalo, P., Kautiainen, H., Sintonen, H., & Tilvis, R. (2011). Effects

of socially stimulating group intervention on lonely, older people’s

cognition: A ran-domized, controlled trial. American Jour¬nal of Ge- riatric

Psychiatry, 19, 654-663. (Diakses 07 Oktober 2016)

Rahmi. 2015. Gambaran Tingkat Kesepian Pada Lansia di Panti Tresna Werdha

Pandaan. Seminar Psikologi & Kemanusiaan. (Diakses 27 September 2016)

Page 129: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 119 | 231

Russel, D., Peplau, L.A., & Cutrona,C.E. (1980). The Revised UCLA Loneliness

Scale:Concurrent and Discriminant validity evidence. Journal of Personality

and Social Psychology. 39. 472-480. (Diakses 04 Oktober 2016)

Santrock, J. W. 2006. Life-Span Development. Jakarta : Erlangga

Sears, D. O., Jonathan, L. F, dan L. Anne, P. 2006. Psikologi Sosial Jilid 1 Edisi

Kelima. Jakarta: Erlangga.

Schnittger, R. I. B., Joseph, W., David, P, dan Brian, A. L. 2011. Risk factors and

mediating pathway of loneliness and social support in community-dwelling

older adults. Journal of Aging & Mental Health. 16/3.335-346. (Diakses 13

Desember 2016)

Suardiman, S. P. 2011. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Tiikainen, P. Dan R. L. Heikkinen. 2010. Associations between loneliness

depressive symptoms and perceived togetherness in older people. Journal of

Aging & Mental Health. 9/6. 526-534. (Diakses 13 Desember 2016)

Page 130: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 120 | 131

TINGKAT RISIKO DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE YANG SEDANG

MENJALANI RAWAT INAP

Novi Susanti1, Arief Bachtiar2, Supono3

Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan LawangJl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan penurunan kemampuan fungsional sehinggapenderitanya dapat mengalami keterbatasan mobilitas. Kondisi imobilisasi mengakibatkan penderitatidak mampu melakukan perubahan posisi tubuh secara mandiri, sehingga akan menyebabkanrisikodekubitus. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan pembentukan dekubitus akan menyebabkanadanya perbedaan tingkat risiko dekubitus setiap individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuitingkat risiko dekubitus pasien stroke. Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yangmenggunakan 92 pasien stroke sebagai sampel penelitian dengan teknik pengambilan sampelpurposive sampling. Penelitian ini dilaksanakan pada 29 Maret – 3 April 2016 dan 24 Mei –16 Juni2016 di RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan dan menggunakan penilaian perkiraan risiko dekubitus(Skala Braden) sebagai instrumen penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah 19 responden (20,7 %)berisiko sangat tinggi dekubitus, 60 responden (65,2 %) berisiko tinggi dekubitus,13 responden (14,1%) berisiko sedang terjadi dekubitus. Besarnya tingkat risiko tinggi dekubitus disebabkan karenamayoritas responden dalam kondisi tirah baring, mengalami keterbatasan mobilitas, status nutrisiyang mungkin kurang, serta berpotensi terjadi friksi dan gesekan antara permukaan tubuh denganpermukaan tempat tidur. Sehingga perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi dekubitusolehperawat, misalnya dengan rutin melakukan perubahan posisi pasien miring kiri-kanan setiap 2 jamatau menyediakan kasur angin bagi penderita stroke yang bedrest.

Kata Kunci : Risiko Tinggi, Dekubitus, Stroke

1. PENDAHULUAN

Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredarandarah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehinggamengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2012:56). Pasien stroke akan mengalami penurunan kemampuan fungsional sehinggamengalami kondisi imobilisasi (Irfan, 2012: 194). Kondisi imobilisasi tersebutmengakibatkan pesien tidak mampu merubah posisi secara mandiri, sehinggaberisiko terjadi dekubitus (Potter & Perry, 2006: 1258).

Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar angkakejadiannya. Di Amerika Serikat prevalensi penyakit ini pada usia 20-39 tahunmencapai 0,6 %, sedangkan pada usia 60-79 tahun meningkat menjadi 6,9 % darijumlah populasi penduduk (American Heart Association, 2014: 8). Di Indonesia,jumlah penderita stroke pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan(nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan berdasarkandiagnosis nakes atau gejala diperkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰). DiPulau Jawa, berdasarkan diagnosis yang sama, jumlah penderita penyakit strokediperkirakan masing-masing sebanyak 728.523 orang dan 1.483.910 orang. Dan diProvinsi Jawa Timur memiliki estimasi jumlah penderita stroke sebanyak : 190.449

Page 131: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 121 | 231

orang (6,6 ‰) dan 302.987 orang (10,5 ‰) (Kemenkes RI, 2014: 3). Sedangkan

menurut hasil Riskesdas Provinsi Jawa Timur tahun 2013, jumlah penderita

penyakit stroke di Kabupaten Pasuruan mencapai 9,6‰ berdasarkan diagnosis

nakes dan 13,1‰ berdasarkan diagnosis nakes atau gejala (Riskesdas Jatim, 2013:

199).

Penderita stroke dapat mengalami kelemahan bahkan kelumpuhan,

demensia, kebutaan, atau berbagai gangguan otak serius lainnnya (Guyton, 2007:

231). Kelemahan tersebut dapat menimbulkan kesulitan bergerak, berjalan dan

beraktivitas, dan hal ini menyebabkan pasien mengalami kondisi imobilisasi.

Imobilisasi yang dialami pasien stroke dapat mengakibatkan adanya intervensi

pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring (Potter & Perry, 2006: 1193). Pasien

stroke yang mendapat intervensi tirah baring akibat imobilisasi, berisiko mengalami

gangguan integritas kulit berupa munculnya luka dekubitus (Potter & Perry, 2006:

1196). Hal itu terjadi terutama apabila imobilisasi berlangsung dalam jangka waktu

yang lama, sehingga mengakibatkan adanya tekanan antara tonjolan tulang dengan

permukaan luar tubuh yang semakin lama menyebabkan jaringan menjadi iskemik

dan timbul dekubitus (Suriadi, 2004: 17).

Menurut Batticaca (2012: 68), gejala lain pada pasien stroke selain

imobilisasi adalah kelemahan pada otot wajah yang menyebakan pasien kesulitan

menelan, membuka mulut dan kesulitan menggerakkan lidah. Hal itu akan

menurunkan asupan makanan sehingga mengalami penurunan status nutrisi.

Menurut William (2010) dalam Irawan (2013:19), status nutrisi yang buruk

menyebabkan pasien mengalami kekurangan gizi dan tidak memiliki lapisan lemak

sebagai pelindung atau bantalan antara kulit dan tulang, sehingga efek tekanan akan

meningkat pada jaringan tersebut dan berisiko terjadi dekubitus. Menurut Potter &

Perry (2010) dalam Irawan (2013: 20), pasien dengan status nutrisi yang buruk

biasanya juga akan mengalami hipoalbuminemia yang dihubungkan dengan

lembatnya penyembuhan luka. Kondisi tersebut juga akan mengakibatkan pasien

berisiko mengalami dekubitus.

Dekubitus merupakan kerusakan pada kulit yang terjadi akibat adanya

tekanan pada tonjolan tulang dengan permukaan eksternal seperti permukaan alat

tenun tempat tidur atau pakaian dalam jangka waktu yang lama (Potter & Perry,

2006: 1251). Secara umum, jangka waktu pasien masuk rumah sakit sampai

menunjukkan gejala atau tanda dekubitus setelah pasien 72 jam atau 3 hari berada

di rumah sakit (Depkes, 2005 dalam Irawan, 2013: 25). Dekubitus terjadi karena

adanya penekanan jaringan dalam jangka waktu yang lama. Dekubitus dapat pula

terjadi karena beberapa faktor, diantaranya gesekan antara kulit dengan permukaan

luar, keadaan kulit yang lembab, status nutrisi yang buruk, anemia, obesitas, infeksi

pada tubuh, demam, gangguan sirkulasi perifer misalnya pada keadaan syok,

kakeksia, dan karena usia lanjut (Potter & Perry, 2006: 1259). Gangguan pada kulit

ini selain berisiko terjadi pada individu yang mengalami imobilisasi di atas kursi

atau tempat tidur, berisiko pula pada pasien yang mengalami gangguan terhadap

Page 132: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 122 | 231

sensasi rasa nyeri, dan pasien dengan perubahan tingkat kesadaran seperti yang

terjadi pada pasien stroke (Potter & Perry, 2006: 1257).

Pasien stroke yang masuk ke rumah sakit, baik untuk menjalani perawatan

akut maupun rehabilitasi, maka harus dikaji mengenai risiko terjadinya dekubitus

(AHCPR (1992) dalam Potter & Perry (2006: 1263)). Pengkajian risiko dekubitus

merupakan identifikasi awal dalam mencegah terjadinya dekubitus (Potter & Perry,

2010) dalam Irawan, (2013: 28). Pengkajian ulang untuk risiko dekubitus yang

dilakukan setelah pasien mendapatkan perawatan juga harus dilakukan secara

teratur (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2006: 1263). Pasien yang

teridentifikasi beresiko terjadi dekubitus maka harus mendapatkan intervensi yang

tepat untuk mempertahankan integritas kulit (mencegah terjadinya dekubitus)

(Potter & Perry, 2006: 1263).

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 15

Januari 2016, pada tahun 2015 terdapat 1150 pasien stroke di RSUD Bangil

Kebupaten Pasuruan. Dengan rata-rata setiap bulan sebanyak 95 pasien. Dan dari

hasil survey yang dilakukan pada 6 pasien stroke, 2 pasien berisiko sangat tinggi

terjadi dekubitus, 2 pasien berisiko tinggi terjadi dekubitus, 1 pasien berisiko

sedang terjadi dekubitus, dan 1 pasien berisiko rendah terjadi dekubitus.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang berjudul “Tingkat risiko dekubitus pada pasien stroke di RSUD

Bangil Kebupaten Pasuruan”. Dengan rumusan masalah penelitian “Bagaimana

tingkat risiko dekubitus pada pasien stroke di RSUD Bangil Kebupaten Pasuruan?”.

Penelitian ini pun bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko dekubitus pasien stroke

di RSUD Bangil Kebupaten Pasuruan.

2. METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif, karena dalam penelitian ini peneliti menggambarkan tingkat risiko

dekubitus pada pasien stroke di RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan, dengan variabel

penelitian tingkat risiko dekubitus pada pasien stroke di RSUD Bangil Kabupaten

Pasuruan.

Penelitian ini dilakukan di RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan pada 29

Maret – 3 April 2016 dan 24 Mei – 16 Juni 2016. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien stroke di RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan, yang dalam

tahun 2015 terdapat 1150 pasien dengan rata-rata setiap bulan sebanyak 95 pasien.

Penetapan jumlah sampel menggunakan rumus yang ditentukan untuk penelitian

dengan jumlah populasi lebih kecil dari 10.000, sehingga didapatkan jumlah sampel

92 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sampel.

Adapun yang menjadi kriteria inklusi sampel adalah pasien stroke yang

menjalani rawat inap di RSUD Bangil pada hari ke-1 sampai hari ke-3, mengalami

imobilisasi, tidak mengalami dekubitus, dan pasien yang bersedia menjadi

Page 133: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 123 | 231

responden. Sedangkan kriteria ekslusi sampel adalah pasien yang memiliki riwayat

penyakit penyerta, seperti fraktur, kanker dan HIV/AIDS, dan pasien yang berusia

kurang dari 1 tahun.

Teknik sampling pada penelitian ini adalah purposive sampling, dengan

instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar observasi Skala Braden

untuk Perkiraan Risiko Dekubitus dengan metode observasi dan wawancara.

Penelitian ini dilaksanakan setelah proses perijinan dari Ketua Program Studi DIII

Keperawatan Lawang Poltekkes Kemenkes Malang, Badan Kesatuan Bangsa dan

Politik Kabupaten Pasuruan, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan dan tempat

penelitian yaitu RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan.

Data tentang tingkat risiko dekubitus responden diperoleh dari hasil

observasi dan wawancara. Hasil tersebut kemudian diisikan kedalam lembar

observasi dengan mengisi kolom skor. Data-data tersebut kemudian diolah dan

dianalisa dengan melalui beberapa tahap, yaitu Editing Data, Coding (Pengkodean),

Scoring, Tabulating dan penentuan kategori tingkat risiko dekubitus. Hasil data

dalam penelitian ini disajikan secara visual dalam bentuk table distribusi frekuensi

dan dalam bentuk narasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Tabel 1 Distibusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia di RSUD Bangil

Kabupaten Pasuruan

Variabel Mean Median Modus SD Min Max 95 % CI

Usia 59,89 60 60 8,096 45 77 58,21 – 61,57

Berdasarkan tabel 1, diketahui rata-rata usia responden adalah 59,89 tahun.

Dari hasil estimasi interval diyakini rata-rata umur responden adalah diantara 58,21

– 61,57 tahun. Penelitian lain pada 77 pasien stroke yang dilakukan oleh Sofyan dan

kawan-kawan di Ruang Teratai RSU Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012, juga

diperoleh hasil bahwa responden dengan usia diatas 55 tahun lebih banyak dari

responden berusia kurang dari 55 tahun. Hasil penelitian tersebut menyatakan

pasien stroke pada rentang usia 40-55 tahun sebanyak 25 orang, sedangkan pada

usia diatas 55 tahun sebanyak 52 orang.

Hal ini sesuai dengan teori Yulianto (2012: 73), yang menyatakan bahwa

pertambahan usia merupakan salah faktor risiko stroke yang tidak dapat diubah.

Kemunduran sistem pembuluh darah (penurunan elastisitas hingga mengerasnya

arteri) meningkat seiring bertambahnya usia. Sehingga makin bertambahnya usia

semakin tinggi kemungkinan terjadi stroke. Pada usia lanjut risiko terjadi luka

dekubitus juga lebih besar daripada orang-orang usia muda (Rendy & Margareth,

2012: 112). Karena pada usia lanjut terjadi perubahan kualitas kulit dimana kulit

mengalami penurunan elastisitas akibat perubahan kandungan kolagen pada kulit

Page 134: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 124 | 231

dan berkurangnya sirkulasi pada dermis akibat proses penuaan (Suriadi, 2004: 18).

Akibat proses tersebut kulit rentan mengalami deformitas dan kerusakan (Potter dan

Perry, 2005 dalam Aini, 2013: 8).

Tabel 2 Distibusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD

Bangil Kabupaten Pasuruan

No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase (%)

1. Laki-Laki 44 47,8

2. Perempuan 48 52,2

Jumlah 92 100

Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa dari 92 responden, 48 orang (52,2 %)

merupakan perempuan dan 44 orang (47,8 %) merupakan laki-laki. Penelitian yang

dilakukan oleh Dinata, dkk pada 2010-1012 di RSUD Kabupaten Solok Selatan,

juga didapatkan hasil bahwa angka kejadian stroke pada perempuan lebih tinggi

dibandingkan laki-laki dengan prosentase perempuan 54,17 % dan laki-laki 45,83

%. Pada kedua penelitian tersebut, banyaknya angka kejadian stroke pada

perempuan terjadi pada perempuan golongan usia diatas 45 tahun. Namun dalam

penelitian lain yang dilakukan oleh Sofyan, dkk tahun 2012 di Ruang Teratai RSU

Provinsi Sulawesi Tenggara pada 77 pasien stroke, didapatkan penderita laki-laki

lebih banyak daripada perempuan, yaitu 51,9 % laki-laki dan 48,1 % perempuan.

Price (2006) dalam Puspaningrum (2013) mengatakan bahwa risiko stroke

meningkat pada perempuan berusia di atas 30 tahun, hal ini disebabkan oleh

konsumsi kontrasepsi oral dengan kandungan esterogen yang tinggi, perempuan

memiliki angka harapan hidup lebih lama daripada laki-laki dan frekuensi

perempuan mengalami obesitas, riwayat penyakit hipertensi, lebih tinggi

dibandingkan laki-laki. Hedrix dkk (2006) dalam Bier (2011) juga menyatakan

bahwa esterogen merupakan hormon yang bertanggungjawab terhadap

meningkatnya risiko stroke pada wanita. Riwayat penyakit hipertensi juga menjadi

salah satu faktor penyebab stroke pada wanita, terutama setelah wanita memasuki

masa menopause (Depkes, 2006 dalam Kartikawati, 2008). Pada wanita menopause

terjadi penurunan hormon esterogen, yang mana esterogen dihubungkan dengan

tingkat HDL yang lebih tinggi dan LDL yang lebih rendah, sehingga apabila HDL

menurun akibat menurunnya hormon esterogen, maka risiko terjadi hipertensi

semakin besar (Soeharto, 2002 dalam Kartikawati, 2008).

Tabel 3 Distibusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Stroke yang Diderita di

RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan

No Jenis Stroke Frekuensi Prosentase (%)

1. Stroke Infark 56 60,9

2. Stroke Hemoragik 36 39,1

Jumlah 92 100

Page 135: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 125 | 231

Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa dari 92 responden, jenis stroke yang

banyak diderita adalah stroke infark, yaitu sebanyak 56 responden (60,9 %),

sedangkan stroke hemoragik diderita oleh 36 responden (39,1 %). Hasil ini serupa

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinata, dkk tahun 2010-2012 di RSUD

Kabupaten Solok Selatan, didapatkan kasus stroke infark lebih banyak

dibandingkan stroke hemoragik, dengan prosentase stroke infark/iskemik 61,46 %

dan stroke hemoragik 38,54 %.

Menurut Batticaca (2012: 58), serangan stroke iskemik/infark sering terjadi

pada usia lanjut. Pada usia lanjut terjadi penurunan elastisitas arteri dan dapat

terjadi aterosklerosis. Kondisi tersebut akan mengakibatkan penyumbatan atau

penyempitan arteri yang mengarah ke otak (Irfan, 2012: 61). Hal ini akan

menghambat aliran oksigen dan nutrisi ke otak sehinggga mengakibatkan kematian

jaringan otak dan terjadilah stroke (Kowalak, 2011: 334).

Stroke hemoragik juga dapat terjadi pada golongan usia lanjut.. Penyebab

paling sering stroke hemoragik pada usia lanjut adalah hipertensi dan pecahnya

pembuluh darah di otak akibat rapuhnya pembuluh darah (Junaidi, 2012: 70).

Tabel 4 Distribusi Tingkat Risiko Dekubitus pada Pasien Stroke di RSUD Bangil

Kabupaten Pasuruan

No Tingkat Risiko Frekuensi Prosentase (%)

1.

2.

Risiko Sangat Tinggi

Risiko Tinggi

19

60

20,7

65,2

3. Risiko Sedang 13 14,1

4. Risiko Rendah 0 0

Jumlah 92 100

Berdasarkan tabel 4, dari penelitian terhadap 92 responden diketahui pasien

dengan risiko tinggi terjadi dekubitus yaitu 60 responden (65,2 %). Penelitian

serupa dilakukan oleh Puspaningrum (2013) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

terhadap 80 pasien stroke, didapatkan hasil yaitu 58 pasien (72,5 %) berisiko tinggi

terjadi dekubitus. Besarnya tingkat risiko tinggi dekubitus disebabkan karena

mayoritas responden dalam kondisi tirah baring, mengalami keterbatasan mobilitas,

status nutrisi yang mungkin kurang, serta kondisi yang berpotensi terjadi friksi dan

gesekan antara permukaan tubuh dengan permukaan tempat tidur.

Dekubitus dapat disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adanya

penekanan jaringan dalam jangka waktu yang lama (tirah baring yang terlalu lama),

keterbatasan mobilitas, status nutrisi buruk atau malnutrisi, adanya friksi dan

gesekan antara permukaan kulit dengan permukaan tempat tidur, keadaan kulit yang

lembab, anemia, obesitas, infeksi pada tubuh, demam, gangguan sirkulasi perifer

misalnya pada keadaan syok dan kakeksia (Potter & Perry, 2006: 1259).

Page 136: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 126 | 231

4. KESIMPULAN

Dari penelitian terhadap 92 pasien stroke, didapatkan hasil 19 responden

(20,7 %) berisiko sangat tinggi, 60 responden (65,2 %) berisiko tinggi, 13

responden (14,1 %) berisiko sedang dan tidak ada pasien (0 %) yang berisiko

rendah terjadi dekubitus. Besarnya tingkat risiko tinggi dekubitus disebabkan

karena mayoritas responden dalam kondisi tirah baring, mengalami keterbatasan

mobilitas, status nutrisi yang mungkin kurang serta berpotensi terjadi friksi dan

gesekan antara permukaan tubuh dengan permukaan tempat tidur.

5. DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2014. Heart Disease and Stroke Statistics. (Online).

(www.heart.org/statistics, diakses 30 November 2015)

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka

Cipta

Batticaca, F. 2012. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persyarafan.

Jakarta : Salemba Medika

Bier, M. D. 2011. The Role of Hormones in Women’s Stroke Risk. The Einstein

Journal of Biology and Medicine. (Online). Volume 27 No 1.

(www.einstein.yu.edu, diakses 28 Juni 2016)

Black, J dan J. H. Hawks. 2005. Medical-Surgical Nursing: Clinical Management

for Positive Outcomes. United States of America: Elsevier’s Saunders

Bustami, M, dkk. 2007. Manajemen Stroke Komprehensif. Yogyakarta: Pustaka

Cedekia Press

DiGiulio, M, dkk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha

Publishing

Dinata, C. A, dkk. 2013. Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke pada Pasien

Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan

Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. Halaman

57

Farida, I dan Nila A. 2009. Mengantisipasi Stroke. Yogyakarta: Buku Biru

Guyton, A. C dan J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Hidayat, A. A. 2008. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:

Salemba Medika

Irawan, A. 2013. Hubungan Antara Lama Hari Rawat Dengan Terjadinya

Dekubitus Pada Pasien Yang Dirawat Di Ruang ICU RSUD Dr.

H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas. Skripsi. Banjarmasin: Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan

Irfan, M. 2012. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu

Muhammadiyah

Page 137: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 127 | 231

Junaidi, I. 2012. Panduan Praktis Pencegahan & Pengobatan Stroke. Jakarta: Bhuan

Ilmu Populer

Kartikawati, A. 2008. Prevalensi dan Determinasi Hipertensi Pada Pasien

Puskesmas di Jakarta Utara Tahun 2007. Skripsi. Jakarta: Universitas

Indonesia

Kemenkes RI. 2014. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: Pusat Data dan Informasi

Kowalak, J. P, dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Morison, M. J. 2004. Manajemen Luka. Jakarta: EGC

Muttaqin, A. 2011. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika

Potter, P. A dan A.G. Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta:

EGC

Price, S. A. dan L. M. Wilson. 2012. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit) Vol 2 Edisi 6. Jakarta: EGC

Puspaningrum, Y. V. 2013. Hubungan Antara Status Gizi Dan Mobilitas Dengan

Risiko Terjadinya Dekubitus Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Naskah Publikasi. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta

Rendy, M dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan

Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

Riskesdas Jatim. 2013. Riset Kesehatan Dasar Dalam Angka Provinsi Jawa Timur.

Jakarta: Badan Litbangkes

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sibagariang, E, dkk. 2010. Buku Saku Metodologi Penelitian untuk Mahasiswa

Diploma Kesehatan. Jakarta: Trans Info Media

Smeltzer, S. C dan Brenda G. B. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &

Suddarth. Jakarta: EGC

Sofyan, A. M. dkk. 2012. Hubungan Umur, Jenis Kelamin, dan Hipertensi dengan

Kejadian Stroke di Ruang Teratai RSU Provinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi.

Kendari: Universitas Haluoleo

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suriadi. 2004. Perawatan Luka. Jakarta: Sagung Seto

Tarihoran. D. 2010. Pengaruh Posisi Miring 30 Derajat Terhadap Kejadian Luka

Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) pada Pasien Sroke di Siloam

Hospitals. Tesis. Depok: Universitas Indonesia

Yulianto, A. 2012. Mengapa Stroke Menyerang Usia Muda. Jakarta: Java Litera

Page 138: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 128 | 231

PERAN ORANG TUA DALAM MENCEGAH

PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA ANAK REMAJA

Lucia Retnowati1 Ririn Anantasari

2, Anisah Sarifah

3 1, 2, 3

Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang

Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Peran orang tua amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan

oleh anak remajanya. Napza menyebabkan perkembangan mental-emosional, sosial remaja

terhambat, dan dapat mengalami kemunduran perkembangan. Tujuan penelitian ini yaitu untuk

mengetahui peran orang tua dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja di Desa

Sumberporong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif. Populasi penelitian adalah semua warga Desa Sumber porong yang memiliki anak remaja

yang sesuai dengan kriteria inklusi, dengan teknik pengambilan sampel adalah Purposive sampling

dengan sampel sebanyak 44 orang. Pengumpulan data menggunakan teknik kuesioner tertutup.

Berdasarkan penelitian di peroleh data bahwa 70% orang tua berperan baik sebagai pendidik, 66%

orang tua berperan baik sebagai panutan, 70% orang tua berperan baik sebagai pendamping, 43%

orang tua berperan cukup baik sebagai konselor, 48% orang tua berperan cukup baik sebagai

komunikator, 48% orang tua berperan cukup baik sebagai teman. Dari hasil penelitian di atas dapat

disimpulkan bahwa peran orang tua dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja adalah

baik. Orang tua hendaknya lebih mendekatkan diri kepada remaja dan lebih memperhatikan

keseharian remaja, agar pergaulan remaja diluar rumah dapat terkontrol dengan baik.

Kata Kunci : Peran Orang Tua, Bahaya Napza, Remaja

1. PENDAHULUAN

Jumlah remaja di dunia berusia 10-22 tahun sekitar 18% dari jumlah

penduduk atau sekitar 1,2 miliar dari populasi penduduk di dunia dan komposisi

penduduk di Indonesia berusia remaja mencapai 45 juta jiwa atau sekitar seperlima

dari estimasi total jumlah penduduk di Indonesia. Pengguna narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif pada usia remaja 12-22 tahun ditaksir sekitar 14 juta

jiwa dari jumlah remaja di Indonesia (Kompas.com. 2014).

Masalah penyalahgunaan napza sangat kompleks, baik latar belakang

maupun cara memperoleh serta tujuan penggunaannya. Pada umumnya napza

disalahgunakan oleh mereka yang kurang mengerti efek samping yang ditimbulkan

oleh pemakaiannya, hal tersebut disebabkan antara lain oleh tata budaya, tingkat

pendidikan dan karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, yaitu sangat

menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, namun kurang tanggap dan kurang bisa

membicarakan hal-hal yang dianggap negatif antara lain mengenai napza. Sehingga

napza dengan segala permasalahannya tetap menjadi sesuatu yang misterius bagi

kebanyakan masyarakat kita (Prasetyaningsih, 2003).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian besar penyalahgunaan

napza dilakukan pada usia remaja. Penelitian epidemiologi di Indonesia

menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna zat psikoaktif berusia kurang dari 25

Page 139: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 129 | 231

tahun dan masih berstatus sebagai pelajar. Dalam penelitian Joewana menunjukkan

84,1% penyalahgunaan NAPZA berusia 12-22 tahun (Joewana, 2005).

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain yang popular dengan istilah

narkoba, telah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat.

Penyalahgunaan napza telah masuk sampai kesekolah-sekolah dan menjadi lahan

empuk bagi pengedar, tanpa memikirkan akibat buruk yang di timbulkannya bagi

bangsa dan Negara. Penyalahgunaan narkoba biasanya diawali dengan pemakaian

pertama pada usia SD atau SMP, karena tawaran, bujukan kawan sebaya. Didorong

rasa ingin tahu atau ingin mencoba, mereka mau menerimanya. Selanjutnya, tidak

sulit untuk menerima tawaran berikutnya. Dari pemakaian sekali, kemudian

beberapa kali, akhirnya menjadi ketergantungan terhadap zat yang digunakan

(Lydia, dkk, 2006).

Seorang pakar pengamat masalah napza, Lina G. Padmohortojo,

menjelaskan hasil sebuah tes urine dari 1092 atau SMU dari 64 sekolah

menunjukkan bahwa 35% siswa ditemukan sebagai pecandu berat, juga menjadi

pengedar Narkoba. Banyaknya penyalahgunaan napza di usia remaja merupakan

masalah yang harus segera ditanggulangi oleh semua pihak, khususnya pemerintah

(Sudyarto, 2003)

Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Jawa Timur

khususnya remaja mencapai 15,43% dari total jumlah penduduk Jawa Timur yaitu

sebesar 29,58 juta jiwa. Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Timur melakukan

survey di tiap-tiap universitas dan sekolah pada tahun 2012 yaitu pengaruh

penyalahgunaan napza pada remaja sangat besar, lemahnya pengawasan orang tua

terhadap remaja membuat mereka mudah terjerumus menggunakan narkotika.

Jumlah penduduk Jawa Timur yang menyalahgunakan napza, 22% diantaranya

merupakan anak muda yang masih duduk di bangku sekolah dan universitas.

Sedangkan sensus penduduk di kota Malang tahun 2013 jumlah remaja sebesar

227,2 ribu jiwa atau sekitar 27,72%. Pada tahun 2010 sampai 2013 tercatat ada 513

tersangka narkotika. Sebagian besar pelajar dan mahasiswa yang terjerat UU

narkotika, merupakan konsumen atau pengguna.

Menilai ada banyak faktor yang membuat remaja rentan terkena narkotika,

selain psikologi remaja yang cenderung labil, faktor lain yakni lemahnya kontrol

dari pihak keluarga dan sekolah. Dari pengamatannya di lapangan, kerap ditemukan

kasus penyalahgunaan napza yang bersumber dari kurang harmonisnya keluarga

(Andreas, 2012).

Upaya pemberantasan narkoba pun sudah sering dilakukan namun masih

sedikit kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan remaja maupun

dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang terjerumus narkoba.

Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan narkoba

pada remaja yaitu dari pendidikan keluarga. Orang tua diharapkan dapat mengawasi

dan mendidik anak remajanya untuk selalu menjauhi narkoba.

Page 140: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 130 | 231

Keluarga sebagai matriks (unit) sosial terkecil dalam masyarakat

mempunyai peranan penting sebagai latarbelakang penyalahgunaan/

ketergantungan napza. Peran orang tua dan kondisi keluarga mempengaruhi

perkembangan kepribadian anak remajanya. Apakah kepribadian anak akan rentan

atau tidak terhadap penyalahgunaan/ketergantungan napza tergantung dari cara

pendidikan orang tua (ayah dan ibu) dan suasana rumah tangga kondusif atau tidak.

Keadaan keluarga yang tidak kondusif mempunyai resiko relatif bagi remaja

terlibat penyalahgunaan/ketergantungan napza dibandingkan dengan remaja yang

dididik dalam keluarga yang sehat dan harmonis (Hawari, 2001).

Peran orang tua dalam prevensi terhadap gangguan mental dan perilaku

akibat penggunaan zat psikoaktif sangat penting. Orang tua harus menjalin

hubungan yang efektif dengan anak remajanya, artinya orang tua dapat

berkomunikasi secara terbuka dan jujur. Usaha pencegahan yang dilakukan oleh

orang tua tidak 100% berhasil walaupun oleh keluarga sehat dan komunikasi antara

orang tua dan anaknya baik, berdasarkan kasih dan ikatan yang kuat. Orang tua

mempunyai wewenang dan bertanggung jawab untuk campur tangan ketika anak

remajanya menyalahgunakan zat psikoaktif (Hawari, 2001).

Peran orang tua tidak dapat dikesampingkan apabila menghendaki remaja

tidak menyalahgunakan napza/narkoba karena remaja menghendaki keluarga yang

harmonis dan selalu adanya komunikasi antar keluarga. Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa 25,64% pengaruh pendidikan dari orang tua, 30,15% remaja

meniru perilaku orang tua, 4,21% orang tua mengawasi anak remajanya, 15,53%

pengaruh komunikasi terhadap remaja, 2,42% remaja bercerita terhadap orang

tuanya, dan 9,89% menunjukkan bahwa faktor individu dan faktor lingkungan

masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan remaja dalam penyalahgunaan bahaya

narkoba. (Sri Handayani, 2011)

Dari pengamatan penulis didapatkan bahwa di desa Sumberporong

kecamatan Lawang kabupaten Malang, penulis menjumpai sekitar 7 anak remaja

usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan usia Sekolah Menengah Atas (SMA)

yang merokok. Serta wawancara dari 5 orang tua yang memiliki anak usia 12-22

tahun yang dilakukan peneliti di desa Sumberporong kecamatan Lawang kabupaten

Malang diperoleh data 3 orang tua menurutnya anak remajanya tidak merokok dan

tidak mabuk-mabukan, sehingga orang tua tersebut tidak pernah memberi arahan

untuk mencegah penyalahgunaan napza, 2 orang tua yang mengetahui anaknya

merokok tetapi tidak pernah mabuk-mabukan maupun pecandu narkoba, tidak

memberi penjelasan tentang bahaya rokok dan tidak melarang anaknya dalam

berperilaku merokok, karena ayah dari remaja tersebut juga sering merokok. Dan

wawancara terhadap sekretaris desa dan salah satu petugas didesa Sumberporong

diantaranya mengatakan sebagian besar atau sekitar 50% remaja di desa

sumberporong yang merokok dan diketahui 2 orang anak remaja yang pernah

minum-minuman beralkohol serta mengatakan sekitar 5 tahun yang lalu pernah ada

kejadian remaja yang menyalahgunakan narkoba.

Page 141: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 131 | 231

Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang:

peran orang tua dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja di Desa

Sumberporong kecamatan Lawang kabupaten Malang.

2. METODE PENELITIAN

Metode Penelitian Deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan

dengan tujuan untuk melihat gambaran fenomena yang terjadi di suatu populasi

tertentu. Penelitian ini menggambarkan peran orang tua dalam mencegah

penyalahgunaan napza pada remaja di desa Sumberporong kecamatan Lawang

kabupaten Malang.

Populasi dalam penelitian ini adalah sebagian orang tua yang mempunyai

anak remaja usia 12-22 tahun di desa Sumber Porong kecamatan Lawang kabupaten

Malang sebanyak 44 keluarga. Dengan rincian RW 01 sebanyak 13 keluarga, RW

02 sebanyak 10 keluarga, RW 03 sebanyak 13 keluarga, RW 04 sebanyak 8

keluarga

Sampel dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak remaja

usia 12-22 tahun di desa Sumberporong kecamatan Lawang Kabupaten Malang

sebanyak 44 keluarga. Dengan kreteria inklusi sebagai berikut: 1). Orang tua

kandung (ayah/ibu) yang mempunyai anak remaja usia 12-22 tahun dan belum

menikah. 2).Orang tua yang tinggal dalam satu rumah dengan anaknya. 3).Bersedia

menjadi responden

Sedangkan kreteria ekskusinya adalah sebagai berikut: 1). Orang tua yang

sedang merantau atau sakit parah. 2). Tidak kooperatif 3

Teknik sampling pada penelitian ini adalah purposive sampling, dengan

instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar kuesioner.

Data yang didapat dari kuesioner tersebut kemudian diolah dan dianalisa

dengan melalui beberapa tahap, yaitu Editing Data, Coding (Pengkodean), Scoring,

Tabulating . Hasil data dalam penelitian ini disajikan secara visual dalam bentuk

table distribusi frekuensi dan dalam bentuk narasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

4.1.2 Data Umum

4.1.2.1 Data Karakteristik Responden

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kelompok Usia Responden di Desa

Sumber Porong pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Dewasa Muda (18-40 tahun)

Dewasa Madya (41-60 tahun)

Dewasa Tua (>61 tahun)

11

33

-

25

75

-

Jumlah 44 100

Page 142: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 132 | 231

Pada tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar (75%)

responden berusia 41-60 tahun

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden di Desa

Sumber Porong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

Laki-laki

Perempuan

11

33

25

75

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar (75%)

berjenis kelamin perempuan.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden di

Desa Sumber Porong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

4.

SD

SMP

SMA

PT

5

11

26

2

11

25

59

5

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.3 dapat diketahui bahwa lebih dari

setengahnya (59%) responden berpendidikan SMA

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Pekerjaan Responden di Desa

Sumber Porong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

4.

5.

Swasta

PNS

Pedagang

IRT

Buruh Penjahit

8

1

9

25

1

18

2

21

57

2

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.4 dapat diketahui bahwa lebih dari setengahnya (57%)

responden jenis pekerjaannya Ibu Rumah Tangga

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Anak Remaja Responden di

Desa Sumber Porong Pada Maret 20115 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Remaja awal (12-15 tahun)

Remaja Madya (16-18 tahun)

Remaja akhir (19-22 tahun)

14

21

9

32

48

20

Jumlah 44 100

Page 143: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 133 | 231

Pada tabel 4.5 dapat diketahui bahwa hampir

setengahnya (48%) Usia Anak Remaja Responden berusia

16-18 tahun.

4.1.3 Data Khusus

4.1.3.1 Data Peran Orang Tua Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada

Remaja

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Dalam Mencegah

Penyalahgunaan Napza Pada Remaja di Desa Sumberporong

Kecamatan Lawang Kabupaten Malang Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

31

11

2

70

25

5

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.6 dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar (70%) orang tua berperan baik dalam mencegah

penyalahgunaan napza pada remaja.

4.1.3.2 Data Peran Orang tua Sebagai Pendidik

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Pendidik

Untuk Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja di Desa

Sumberporong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

31

9

4

70

20

10

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.7 dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar (70%) orang tua berperan baik sebagai pendidik

dalam memberikan informasi bahaya napza/narkoba guna

mencegah penyalahgunaan napza pada remaja.

4.1.3.3 Data Peran Orang Tua Sebagai Panutan

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Panutan

Dalam Upaya Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja di Desa

Sumberporong Pada Maret 2015

Page 144: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 134 | 231

No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

29

7

8

66

16

18

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.8 dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar (66%) orang tua berperan baik sebagai memberi

panutan yang baik dalam mencegah penyalahgunaan napza

pada remaja.

4.1.3.4 Data Peran Orang Tua Sebagai Pendamping

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai

Pendamping Dalam Upaya Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada

Remaja di Desa Sumberporong Pada maret 2015

No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

31

11

2

70

25

5

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.9 dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar (70%) orang tua berperan baik sebagai pendamping

dalam upaya pencegahan penyalahgunaan napza pada

remaja.

4.1.3.5 Data Peran Orang Tua Sebagai Konselor

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Konselor

Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja Di Desa

Sumberporong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

17

19

8

39

43

18

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.10 dapat disimpulkan bahwa kurang dari

setengahnya (43%) orang tua berperan cukup baik sebagai

konselor dalam mencegah penyalahgunaan napza pada

remaja.

Page 145: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 135 | 231

4.1.3.6 Data Peran Orang Tua Sebagai Komunikator

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai

Komunikator Dalam Upaya Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada

Remaja Di Desa Sumberporong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

17

19

8

34

48

18

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.11 dapat disimpulkan bahwa kurang dari

setengahnya (48%) orang tua berperan cukup baik sebagai

komunikator dalam mencegah penyalahgunaan napza pada

remaja.

4.1.3.7 Data Peran Orang Tua Sebagai Teman

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Teman

Dalam Upaya Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja DI

Desa Sumberporong Pada Maret 2015 No. Kelompok Usia Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

16

21

7

36

48

16

Jumlah 44 100

Pada tabel 4.12 dapat disimpulkan bahwa kurang dari

setengahnya (48%) orang tua berperan cukup baik sebagai

teman bertukar pendapat dalam mencegah penyalahgunaan

napza pada remaja.

Pembahasan

Gambaran Peran Orang Tua Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada

Remaja

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.6 diperoleh data sebanyak 31

(70%) responden yaitu orang tua berperan baik dalam upaya mencegah

penyalahgunaan napza pada remaja. Menurut peneliti peran orang tua dalam

mencegah penyalahgunaan napza pada remaja adalah baik, karena responden

sebagian besar adalah Ibu Rumah Tangga yang mempunyai waktu luang untuk

dapat mendidik anak remajanya. Dilihat dari pendidikan orang tua yaitu sebagian

besar adalah SMA, dimana dalam memberikan pemahaman dan informasi tentang

Page 146: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 136 | 231

penyalahgunaan napza terhadap anak remajanya dapat tersampaikan dengan

pemahaman yang mudah difahami.

Menurut Supartini (2004), peran merupakan serangkaian perilaku yang

diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara

formal maupun informal untuk mengontrol atau mempengaruhi atau mengubah

perilaku orang lain. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula

tingkat pengetahuan dan wawasannya.

4.2.2 Peran Orang Tua Sebagai Pendidik Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza

Pada Remaja

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.7 diperoleh data sebanyak 31

(70%) responden berperan baik sebagai pendidik dalam memberi informasi bahaya

napza guna mencegah penyalahgunaan napza pada remaja. Hal ini sesuai dengan

tingkat pendidikan responden yang lebih dari setengahnya (59%) responden tingkat

pendidikannya adalah Sekolah Menengah Atas (SMA)

Menurut peneliti, pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap

pengetahuan dan perubahan kehidupan remaja, semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka semakin luas wawasan yang diperoleh, sehingga semakin mudah

dalam memahami, menerima dan memberi informasi bagi dirinya maupun orang

lain. Meskipun orang tua lebih dari setengahnya berpendidikan SMA, tetapi orang

tua tersebut dinilai berperan baik sebagai pendidik dalam memberikan informasi

bahaya napza.

Menurut Wahid (2007), pendidikan berarti bimbingan yang diberikan

seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami.

Hal ini didukung oleh teori Santrock, JW (2003), orang tua wajib

memberikan bimbingan dan arahan kepada anak sejak dini sehingga menjadi bekal

dan benteng mereka menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, agar kelak

remaja dapat membentuk rencana hidup mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab,

orang tua perlu menanamkan arti penting dari pendidikan dan ilmu pengetahuan

yang mereka dapatkan di sekolah, di luar sekolah, serta didalam keluarga.

Peran Orang Tua Sebagai Panutan Dalam Mencegah Penyalahgunaan Napza

Pada Remaja

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.8 diperoleh data bahwa sebagian

besar 29 (66%) responden berperan baik sebagai panutan dalam upaya mencegah

penyalahgunaan napza pada remaja.

Menurut peneliti, tidak dapat dipungkiri yaitu perilaku dan tindakan orang

tua akan menjadi contoh yang secara sengaja atau tidak sengaja akan diserap oleh

remaja tersebut. Sehingga apa yang menjadi kebiasaan atau perilaku orang tua tidak

jauh dari apa yang dilakukan oleh anak remaja yang sedang labil dalam mengambil

keputusan dan akan menjalani kehidupan kedepannya. Orang tua berperan baik

Page 147: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 137 | 231

sebagai panutan sangat berpengaruh bagi remaja mengingat bahwa orang tua

sebagai model panutan bagi para remaja.

Menurut BKKBN (2009), remaja memerlukan model panutan di

lingkungannya. Orang tua merupakan model/panutan dalam kehidupannya. Orang

tua harus selalu memberi contoh dan keteladanan bagi anak remajanya, baik

perkataan, sikap, maupun perbuatannya.

Orang tua dapat memberikan contoh, baik dalam menjalankan nilai-nilai

agama maupun norma yang berlaku di masyarakat. Peran orang tua yang baik akan

mempengaruhi kepribadian remaja (Satgas Remaja IDAI, 2009).

Faktor terbesar dari penyalahgunaan napza/narkoba adalah faktor sosial atau

lingkungan. Biasanya, remaja memperhatikan tindakan orang lain dan kadang kala

mencoba untuk meniru perilakunya. Hal ini sebagai suatu proses yang terjadi pada

remaja untuk mencari jati diri dan belajar menjalani hidup. Namun sangat

disayangkan karena tidak hanya kebiasaan-kebiasaan yang baik saja yang ditiru,

melainkan juga kebiasaan-kebiasaan buruk (Rezki, 2010).

Peran Orang Tua Sebagai Pendamping Dalam Mencegah Penyalahgunaan

Napza Pada Remaja

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.9 diperoleh data bahwa sebagian

besar responden yaitu 31 (70%) orang tua berperan baik sebagai pendamping dalam

memberikan pengawasan dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja.

Sesuai dengan jenis pekerjaan responden sebanyak 25 (57%) yang lebih dari

setengahnya responden adalah Ibu Rumah Tangga.

Menurut peneliti dengan kondisi orang tua yang lebih dari setengahnya

orang tua sebagai ibu rumah tangga sehingga dalam hal mendampingi/pengawasan

untuk anak remajanya terpenuhi. Pengawasan orang tua sangat penting bagi remaja

untuk menghindari pengaruh negatif dari lingkungan sekitar terutama dari teman

bergaul

Menurut BKKBN (2009), orang tua wajib mendampingi remaja agar mereka

tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang membawanya ke dalam kenakalan remaja

dan tindakan yang merugikan diri sendiri.

Menjadi kewajiban orang tua untuk melihat serta mengawasi sikap dan

perilaku remaja agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang membawanya ke

dalam kenakalan remaja dan tindakan yang merugikan diri sendiri. Akan tetapi, hal

itu tentu harus dilakukan dengan bersahabat dan lemah lembut. Sikap penuh curiga,

justru akan menciptakan jarak diantara anak orang tua karena kelompok teman

sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang cukup

penting bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakin penting,

terutama pada saat terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa

decade terakhir ini yaitu (1) perubahan struktur keluarga, dari keluarga besar ke

keluarga kecil, (2) kesenjangan para generasi tua dan generasi muda, (3) ekspansi

Page 148: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 138 | 231

jaringan komunikasi diantara kawula muda dan (4) panjangnya masa atau

perbedaan memasuki masyarakat orang dewasa (Satgas Remaja IDAI, 2009).

Orang tua sebagai pelindung anak remaja, memiliki kekuatan yang besar

yaitu dalam mendisiplinkan dan memberikan motivasi serta dukungan terhadap

anak, karena pada usia remaja sudah masuk kedalam kelompok teman sebaya dalam

mencapai perkembangan otonominya (kemandiriannya) (Yusuf, 2010).

Peran Orang Tua Sebagai Konselor Dalam mencegah Penyalahgunaan Napza

Pada Remaja

Berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.10 diperoleh data

bahwa sebanyak 19 (43%) orang tua berperan cukup baik sebagai konselor dalam

memberi pertimbangan nilai negatif tentang napza/narkoba guna mencegah

penyalahgunaan napza pada remaja. Sesuai dengan faktor usia orang tua, yang

sebanyak 33 (75%) berusia 41-60 tahun yang termasuk dewasa madya.

Menurut peneliti, orang tua yang berusia matang, maka pola berpikir serta

tindakan yang dilakukannya akan lebih matang, termasuk dalam memberi

pertimbangan ketika remaja menghadapi masa-masa sulit dalam mengambil

keputusan. Dalam hal ini orang tua dinilai cukup baik dalam berperan memberikan

gambaran dan pertimbangan nilai yang positif sebagai konselor, sehingga remaja

mampu belajar mengambil keputusan terbaik.

Orang tua berusia madya mempunyai kemauan dan kemampuan yang kuat

untuk berhasil, mereka akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil

dari masa-masapersiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya (Rezki,

2010).

Menurut BKKBN (2009), sebagai konselor orang tua dituntut untuk tidak

menghakimi, tetapi dengan jiwa besar justru harus merangkul remaja bila sedang

mengalami masalah dan membantu menyelesaikan masalah tersebut.

Peran orang tua sangat penting dalam mendampingi remaja, ketika remaja

menghadapi masa-masa sulit dalam mengambil keputusan bagi dirinya. Orang tua

dapat memberikan gambaran pertimbangan nilai positif dan negatif, sehingga

mereka mampu belajar mengambil keputusan terbaik. Selain itu orang tua juga

perlu memiliki kesabaran tinggi serta kesiapan mental yang kuat menghadapi segala

tingkah laku remajanya. (Satgas Remaja IDAI, 2009).

Peran Orang Tua Sebagai Komunikator Dalam Mencegah Penyalahgunaan

Napza Pada Remaja

Berdasarkan hasil penelitian 4.11 diperoleh data bahwa sebanyak 19 (48%)

orang tua berperan cukup baik sebagai komunikator dalam upaya pencegahan

penyalahgunaan napza pada remaja. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan

pekerjaan orang tua 25 (57%) pekerjaannya adalah ibu rumah tangga.

Menurut peneliti, orang tua sebagian besar sebagai ibu rumah tangga akan

meluangkan waktu untuk anak remajanya. Sehingga dalam hal berkomunikasi

Page 149: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 139 | 231

dengan anak remajanya akan menjadi lebih baik karena orang tua akan meluangkan

waktunya untuk berkomunikasi dan bercerita dengan anak remajanya.

Orang tua yang telah mepunyai pengalaman sebelumnya, dalam merawat

anak remajanya akan lebih siap menjalankan perannya sebagai orang tua dan lebih

rileks (Supartini, 2004)

Suasana harmonis dan saling memahami antara orang tua dan remaja, dapat

menciptakan komunkasi yang baik. Orang tua perlu membicarakan topik secara

terbuka tetapi arif. Menciptakan rasa aman dan terlindumgi untuk memberanikan

anak dalam menerima uluran tangan orang tua secara terbuka dan membicarakan

masalahnya. Artinya tidak menghardik anak (Satgas Remaja IDAI, 2009)

Menurut BKKBN (2009), hubungan yang baik antara orang tua dengan anak

remajanya akan sangat membantu dalam pembinaan mereka. Apabila hubungan

antara orang tua dengan anak remajanya terjalin dengan baik, maka satu sama lain

akan terbuka dan saling mempercayai.

Peran Orang Tua Sebagai Teman Bertukar Pendapat Dalam Mencegah

Penyalahgunaan Napza Pada Remaja

Berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.12 diperoleh data

bahwa kurang dari setengahnya sebanyak 21 (48%) orang tua berperan cukup baik

sebagai teman bertukar pendapat dalam mencegah penyalahgunaan napza pada

remaja.

Menurut peneliti, orang tua berperan cukup baik sebagai teman bertukar

pendapat, dengan begitu remaja dapat menyeleksi baik buruknya dampak dari

napza/narkoba dengan bimbingan dari orang tua.

Remaja sebagai individu yang labil sedang berada dalam proses berkembang

atau menjadi (becoming), yaitu berkembang kearah kematangan atau kemandirian.

Untuk mencapai kematangan tersebut, remaja memerlukan bimbingan karena

mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan

lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya (Yusuf,

2011).

Menghadapi remaja yang memasuki masa akil baligh, orang tua perlu sabar

dan mau mengerti tentang perubahan pada remaja. Perlu menciptakan dialog yang

hangat dan akrab, jauh dari ketegangan atau ucapan yang disertai cercaan. Hanya

bila remaja merasa aman dan terlindungi, orang tua dapat menjadi sumber

informasi, serta teman yang dapat diajak bicara atau bertukar pendapat tentang

kesulitan atau masalah mereka (Satgas Remaja IDAI, 2009).

Salah satu cara yang ideal untuk membina hubungan dengan anak dan

remajanya adalah menjadi sahabat atau teman. Dengan peran orang tua sebagai

teman/sahabat anak remaja akan lebih terbuka dalam menyampaikan permasalahan

yang dihadapinya (BKKBN, 2009).

Page 150: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 140 | 231

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Peran Orang Tua Dalam

Mencegah Penyalahgunaan Napza Pada Remaja di Desa Sumber Porong

Kecamatan Lawang Kabupaten Malang pada tanggal 12-15 Maret 2015, maka

disimpulkan bahwa sebagian besar (70%) orang tua berperan baik dalam

menjalankan perannya mencegah penyalahgunaan napza pada remaja.

Untuk lebih jelas gambaran penelitian masing-masing tujuan khusus dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Peran orang tua sebagai pendidik dalam memberikan informasi bahaya

napza/narkoba dalam upaya mencegah penyalahgunaan napza pada remaja

sebanyak 70% adalah berperan baik

2. Peran orang tua sebagai panutan dalam upaya mencegah penyalahgunaan napza

pada remaja sebanyak 66% adalah berperan baik

3. Peran orang tua sebagai pendamping dalam mencegah penyalahgunaan napza

pada remaja sebanyak 70% adalah berperan baik

4. Peran orang tua sebagai konselor dalam memberikan pertimbangan nilai negative

tentang napza/narkoba dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja

sebanyak 43% adalah berperan cukup baik

5. Peran orang tua sebagai komunikator dalam menciptakan komunikasi yang baik

dalam mencegah penyalahgunaan napza pada remaja sebanyak 48% adalah

berperan cukup baik

6. Peran orang tua sebagai teman bertukar pendapat dalam mencegah

penyalahgunaan napza pada remaja adalah sebanyak 48% adalah berperan cukup

baik

5. DAFTAR PUSTAKA

Adreas, Permana, 2012. Psikologi remaja. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Alimul Hidayat, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.

Jakarta: Salemba Medika

Alwi, Hasan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta

Badan Narkotika Nasional provinsi Jawa Timur. 2010. Laporan Tahunan Badan

Narkotika provinsi Jawa Timur Tahun 2010, (online),

(www.detiknews.com, diakses tanggal 25/11/2014)

BKKBN. 2009. Pegangan Kader Tentang Pembinaan Anak Remaja. Jakarta

Effendi, Nasrul. 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Keluarga. Jakarta :

EGC

Friedman, E.Marilyn. 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik. Jakarta :

EGC

Page 151: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 141 | 231

Handayani, Sri. 2011. Pengaruh Peran Orang tua Terhadap Pencegahan Bahaya

Narkoba Dikalangan Remaja. Tesis. Jakarta : Universitas Indonesia

Hawari, Dadang. 2001. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika,

Alkohol, dan Zat Adiktif). Jakarta: FKUI.

Kompas.com. (2014). Pengguna Narkoba di Kalangan Remaja, (online), (diakses

tanggal 25/11/2014)

Martono, Lydia, Joewana, Satya. 2006. Pencegahan dan Penanggulangan

Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta : Balai Pustaka

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta

Novita, Fransiska. 2014. Bahaya Penyalahgunaan Narkoba serta Usaha

PencegahandanPenanggulangannya,(online),(http://journal.unissula.ac.id,

diakses tanggal 25/11/2014).

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan

edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Prasetyaningsih. 2003. Penyalahgunaan Napza. Jakarta: EGC

Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang Narkotika dan Psikotropika. Jakarta :

Sinar Grafika Offset

Rezki. 2010. Be A Smart Parent, Cara Kreatif Mengasuh Anak. Yogyakarta: Jogja

Bangkit Publisher.

Santrock, JW. 2003. Adolescence (Perkembangan Remaja). Jakarta: Erlangga

Satgas Remaja IDAI. 2009. Masalah Kesehatan Mental Emosional Remaja. Jakarta

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu

Joewana, Satya. 2004. Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat

Psikoaktif edisi 2. Jakarta: EGC

Sudyarto, sides. 2003. Jenis Jurus Ampuh Mencegah Bahaya Narkoba. Jakarta :

Restu Agung

Sumiati. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Penyalahgunaan dan

Ketergantungan Napza. Jakarta: Trans Info Media

Sumiati., Dinarti., Nurhaeni, Heni., Aryani, Ratna. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja

Dan Konseling. Jakarta: Trans Info Media.

Supartini, Yupi. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC

Tjokronegoro, Arjatmo, Utama, Hendra. 2000. Opiat. Masalah Medis dan

Penatalaknaannya. Jakarta : FKUI

Wahid, Soenaryo. 2004. Konsep Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta:

Erlangga

Yusuf, Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT

Rineka Cipta

Page 152: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 142 | 231

SOSIAL SUPPORT DENGAN SELF CARE PADA PENDERITA

DIABETES MELLITUS (DM)

Nurul Hidayah Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang

Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Penderita DM memiliki peningkatan resiko terjadinya komplikasi dan dapat mengancam jiwa

apabila tidak segera ditangani dan dilakukan pengontrolan yang tepat. Masalah-masalah tersebut

dapat diminimalkan jika penderita memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk

melakukan pengelolaan terhadap penyakitnya dengan cara melakukan self care (Sulistria, 2013).

tetapi tidak semua penderita diabetes mellitus dapat melakukan hal tersebut. Sosial support juga

dapat mempengaruhi hal tersebut (Doni, 2008). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah

ada hubungan antara sosial support dengan selfcare pada penderita diabetes mellitus

Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian korelasional. Populasi dalam penelitian ini

adalah semua penderita Diabetes Mellitus di Wilayah kerja Puskesmas Lawang sebanyak 24 orang

dengan menggunakan tekhnik total sampling sehingga didapatkan sampel sejumlah 24 orang.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah sosial support dan variabel dependen selfcare ada

penderita Diabetes Mellitus di Wilayah kerja puskesmas Lawang Pengumpulan data menggunakan

kuesioner.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara sosial support

dengan selfcare pada penderita Diabetes Mellitus di Wilayah kerja puskesmas Lawang

Peneliti mendapatkan fakta bahwa sebagian besar responden memiliki sosial support dalam

kategori yang sangat baik sebanyak 15 orang (88,2%). Tetapi 13 (76,5%) responden memiliki

selfcare dalam kategori kurang.

Selfcare diabetes adalah tindakan mandiri yang dilakukan oleh klien diabetes dalam kehidupan

sehari-hari dengan tujuan untuk mengontrol gula darah. Tetapi tidak semua penderita diabetes

mellitus dapat melakukan selfcare diabetes. Sosial support juga dapat mempengaruhi hal tersebut.

Tetapi tidak hanya sosial support yang berhubungan dengan pelaksanaan selfcare diabetes, masih

ada hal lain yang berhubungan dengan pelaksanaan selfcare diabetes. Oleh karena itu, diharapkan

penderita diabetes dapat melaksanakan selfcare diabetes dengan sebaik-baiknya dan orang-orang

terdekat juga dapat memberikan dukungan yang positif untuk melaksanakan selfcare diabetes

tersebut.

Kata kunci : sosial support, selfcare, diabetes mellitus

1. PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan

penderitanya dan penderita DM memiliki peningkatan resiko terjadinya komplikasi

dan dapat mengancam jiwa apabila tidak segera ditangani dan dilakukan

pengontrolan yang tepat. Masalah-masalah tersebut dapat diminimalkan jika

penderita memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk melakukan

pengelolaan terhadap penyakitnya dengan cara melakukan self care (Sulistria,

2013). Tetapi tidak semua penderita diabetes mellitus dapat melakukan control gula

darah, terapi, latihan fisik, diet, dan perawatan kaki. Sosial support juga dapat

mempengaruhi hal tersebut (Doni, 2008).

Seperti dikutip dalam halaman website Departemen Kesehatan RI dan

Badan Kesehatan Dunia atau WHO memprediksikan kenaikan jumlah penderita

Page 153: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 143 | 231

diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 meningkat menjadi

sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Alisa dalam Sulistria, 2013). Organisasi yang

peduli terhadap permasalahan Diabetes, Diabetic Federation mengestimasi bahwa

jumlah penderita Diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2008, terdapat 5,6 juta

penderita Diabetes untuk usia diatas 20 tahun, akan meningkat menjadi 8,2 juta

pada tahun 2020, bila tidak dilakukan upaya perubahan pola hidup sehat pada

penderita (Tandra, 2008).

Pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa dukungan sosial terbukti

menjadi yang paling berpengaruh dalam mengendalikan tingkat kadar glukosa

darah pasien dengan dukungan sosial yang rendah cenderung tidak terkontrol

dibandingkan dengan pasien dengan dukungan sosial yang tinggi (Aditama, 2011).

Penelitian lainnya juga menegaskan bahwa terdapat konstribusi yang signifikan

antara social support terhadap kualitas hidup penderita diabetes mellitus (Antari

dkk, 2013). Selain itu disebutkan juga bahwa tingkat self care penderita diabetes

mellitus di Puskesmas Kalirungkut Surabaya sudah cukup baik yaitu pada aktivitas

self care mengenai pengaturan pola makan (diet), olahraga, dan dalam terapi obat.

Tetapi pada control kadar gula darah dan perawatan kaki tingkat self care penderita

DM masih kurang (Sulistria, 2013)

Ada berbagai permasalahan di Indonesia terkait dengan diabetes

mellitus. Misalnya, rendahnya pengetahuan penderita tentang diabetes mellitus itu

sendiri sehingga penderita tersebut kurang mampu melakukan self care yang baik.

Selain itu, kondisi fisik penderita juga dapat menyebabkan penderita tidak dapat

melakukan self care yang tepat. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, diabetes

mellitus dapat menyebabkan perubahan sensori, kejang-kejang, takikardi,

hemiparesis, keletihan, dan kelemahan. Pada penderita dengan DM terjadi ketidak

seimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan yang

dimiliki. Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang dialami oleh

klien dengan DM menurut Orem disebut dengan self-care deficit (Doni, 2008). Oleh

karena itu, tidak semua penderita DM dapat melakukan self care tanpa bantuan

orang lain baik itu berupa dukungan verbal ataupun bantuan fisik yang mana hal

tersebut merupakan bagian dari social support.

Menurut Badruddin et al, penderita Diabetes yang dberikan pendidikan dan

pedoman dalam perawatan diri akan meningkatkan pola hidup yang dapat

mengontrol gula darah dengan baik. Hal tersebut tidak hanya diberikan kepada

penderita saja, tetapi kepada orang-orang terdekat agar orang-orang tersebut dapat

memberikan social support terhadap penderita tersebut.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional dengan

identifikasi hubungan sosial support dengan self care pada penderita Diabetes

Mellitus di Wilayah kerja Puskesmas Lawang pada bulan Maret 2014. Populasi

dalam penelitian ini adalah semua penderita diabetes mellitus di Wilayah kerja

Page 154: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 144 | 231

puskesmas lawang yang berjumlah 24 orang. Teknik sampling yang digunakan

dalam penelitian ini adalah jenis non Probability sampling dengan tekhnik Total

Sampling. Tekhnik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data

primer, diperoleh melalui pengisian kuesioner yang berisi beberapa pernyataan

untuk diajukan kepada responden. Instrumen Untuk pengukuran sosial support,

peneliti mengunakan Sosial Support Questionaire (SSQ). Sedangkan untuk

pengukuran self care diabetes penderita diabetes mellitus dengan lembar

pengukuran aktifitas self care diabetes (The Summary of Diabetes Self-Care

Activities/SDSCA) . Untuk melihat hubungan sosial support dan self care pada

penderita diabetes mellitus menggunakan Uji Korelasi Spearman Rank (Rho).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

1. Social Support Pada Pasien diabetes mellitus

Berdasarkan tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruh responden

memiliki social support yang sangat baik sebanyak 15 orang (88,2%), 2 orang

memiliki social support baik (11,8%).

Ada beberapa definisi social support yang dikemukakan oleh para ahli.

Sarason (dalam Zainuddin, 2002) mengatakan bahwa social support adalah

keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan,

menghargai, dan menyayangi kita. Sarason, Sarason & Pierre (dalam Baron dan

Byrne, 2000) menjelaskan social support adalah kenyamanan baik fisik maupun

psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan anggota keluarga individu

tersebut. Hal ini sejalan dengan definisi social support yang dikemukakan oleh

Sarafino (2002) yang menjelaskan bahwa social support mengacu pada

kenyamanan yang diterima, diperhatikan, dihargai, atau membantu seseorang untuk

menerimanya dari orang lain atau kelompok-kelompok. Social support terdiri dari

beberapa bentuk, Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan bentuk-

bentuk social support, yaitu:

a) Emotional / esteem support

b) Tangible atau instrumental support

c) Informational support

d) Companionship support

Tingginya social support dapat mendorong seseorang untuk membangun

gaya hidup sehat. Seseorang dengan social support dapat merasakan, karena orang

lain memperhatikannya, mereka akan menjaga kesehatannya. Tetapi untuk

mendapatkan social support yang baik, seseorang memerlukan sumber dari social

support itu sendiri, yang mana sumber tersebut dapat berupa keluarga, teman, rekan

kerja, dan orang-orang terdekat lainnya. Dengan adanya sumber dari social support

tersebut, maka seseorang bisa mendapatkan social support, bsik itu berupa

dukungan emosional, materi, informasi, atau keanggotaan sehingga orang tersebut

Page 155: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 145 | 231

akan mendapat kenyamanan karena merasa diterima, diperhatikan, dihargai, dan

dicntai. Dengan banyaknya tingkat social support yang masuk dalam kategori

sangat baik pada responden seperti yang dijelaskan pada hasil penelitian ini, maka

berdasarkan teori yang ada, seharusnya responden mampu mengatur kadar gula

darah dalam batas normal dan mampu mencegah terjadinya komplikasi yang

mungkin terjadi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden memiliki

esteem support yang sangat baik sebanyak 14 orang (82,4%), 3 orang memiliki

esteem support baik (17,6%).

Emotional/esteem support adalah dukungan yang melibatkan rasa empati,

peduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan

penerimaan secara positif, dan memberikan semangat kepada orang yang ia hadapi.

Leavy (dalam Orford, 1992) yang termasuk ke dalam bentuk dukungan ini adalah

perhatian, kepercayaan, dan empati. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh

social support jenis ini akan merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau

kesan yang menyenangkan pada dirinya.

Masalah emosional yang biasanya dialami oleh klien diabetes yaitu stres,

sedih, rasa khawatir akan masa depan, memikirkan komplikasi jangka panjang yang

akan mungkin muncul, perasaan takut hidup dengan diabetes, merasa tidak

semangat dengan program pengobatan yang harus dijalani, khawatir terhadap

perubahan kadar gula darah dan bosan dengan perawatan rutin yang harus dijalani.

Tetapi dengan mendapatkan esteem support itu berarti telah mendapatkan dukungan

dari segi emosi atau perasaan seperti perhatian dan kasih sayang. Orang tersebut

akan mrasa dihargai, diakui, dan diterima sehingga orang tersebut akan merasa

bahwa telah dinilai positif oleh orang lain. Dengan begitu orang tersebut akan

merasa nyaman dan semangat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki

tangible support yang sangat baik, yaitu sebanyak 10 orang (58,8%), 6 orang

memiliki tangible support baik (35,3%), dan 1 orang (5,9%) dengan tangible

support tidak baik.

Tangible atau instrumental support adalah dukungan yang meliputi bantuan

yang diberikan secara langsung atau nyata, sebagaimana orang yang memberikan

atau meminjamkan uang atau langsung menolong teman sekerjanya yang sedang

mengalami stress. Menurut Taylor (2003) tangible assistance ini termasuk

dukungan berupa materi , seperti melayani, bantuan secara financial, atau benda-

benda yang dibutuhkan.

Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronik yang membutuhkan biaya

yang cukup mahal dalam perawatannya. Jika status ekonomi klien kurang memadai

akan menyebabkan klien mengalami kesulitan untuk melakukan kunjungan ke pusat

pelayanan kesehatan secara teratur. Oleh karena itu, tangible support merupakan hal

yang dibutuhkan oleh penderita DM, terutama oleh penderita dengan status social

ekonomi yang rendah. Tidak hanya berupa bantuan materi saja, tetapi penderita DM

Page 156: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 146 | 231

juga memerlukan pelayanan. Pelayanan yang dimaksud dapat berupa bantuan untuk

menemani atau mengantar penderita DM untuk memeriksakan diri ke tempat

pelayanan kesehatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden memiliki

informational support yang sangat baik sebanyak 12 orang (70,6%), 5 orang

memiliki informational support baik (29,8%).

Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti atau

feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat

dilakukan dengan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh seseorang.

Informasi yang berhubungan dengan pengelolaan diabetes merupakan hal

yang penting untuk meningkatkan efektifitas perawatan diri pendrita DM. Oleh

karena itu, pemberian informasi, saran, dan nasihat yang berkaitan dengan

bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh pederita DM dalam kehidupan

sehari-hari agar gula darah dapat terkontrol sangat dibutuhkan oleh penderita DM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki

companionship support yang sangat baik sebanyak 13 orang (76,5%), 4 orang

memiliki companionship support baik (23,5%).

Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan

orang lain, dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok orang

yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan social. Hal ini dapat mengurangi

stress dengan terpenuhi kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain,

dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran akan masalah yang

ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen & Wills Orford 1992.

Dari hasil penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

responden merasa perlu untuk terlibat dalam suatu kerja sama atau organisasi dan

kegiatan social sehingga penderita DM bisa mendapatkan teman untuk

menghabiskan waktu bersama dan dapt bercerita mengenai masalahnya.

2. Selfcare Pada Pasien diabetes mellitus

Berdasarkan tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa tidak ada responden yang

mengalami self care diabetes yang baik, self care cukup sebanyak 4 orang

(23,5%), self care diabetes kurang sebanyak 13 orang (76,5%).

Self care diabetes adalah tindakan yang dilakukan perorangan untuk

mengontrol diabetes yang meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan

komplikasi Menurut Kusniawati (2009). Sedangkan Sousa & Zauszniewski (2005)

mendefinisikan self care diabetes merupakan kemampuan seseorang dalam

melakukan self care dan penampilan tindakan self care diabetes untuk

meningkatkan peningkatan pengaturan gula darah (Kusniawati, 2013). Aktifitas

yang termasuk dalam selfcare diabetes tersebut meliputi pengaturan pola makan

(diet), latihan fisik/exercise, pemantauan gula darah, pengobatan dan perawatan

kaki.

Page 157: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 147 | 231

Perilaku self care diabetes merupakan tanggung jawab bagi setiap penderita

DM. Dengan mampunya penderita melakukan selfcare diabetes baik berupa

pengaturan pola makan, latihan fisik, pemantauan gula darah, pengobatan, dan

perawatan kaki maka akan tercapai pengontrolan gula darah secara optimal dan

meminimalkan terjadinya komplikasi akibat diabetes. Tetapi pada kenyataannya,

dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden melakukan

selfcare yang kurang. Jika ditinjau dari teori yang ada, tentu hal tersebut dapat

berpengaruh negatif terhadap pengaturan gula darah penderita DM dan pecegahan

terjadinya komplikasi yang mungkin terjadi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 orang responden (17,6%)

dengan diet yang baik, responden dengan diet yang cukup sebanyak 10 orang

(58,8%), responden dengan diet yang kurang sebanyak 4 orang (23,5%).

Menurut teori pengaturan pola makan sangat penting dalam merawat klien

diabetes. Tujuan pengaturan pola makan pada klien DM adalah membantu klien

memperbaiki kebiasaan makan untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih

baik, dengan cara : mempertahankan glukosa darah dalam batas normal, mencapai

dan mempertahankan kadar lipid serum dalam batas normal, memberi cukup energi,

mencapai atau mempertahankan berat badan normal, meningkatkan sensitifitas

reseptor insulin dan menghindari atau menangani komplikasi akut maupun kronik

(Almatsier, 2006).

Pengaturan pola makan pada klien diabetes mellitus membantu

meningkatkan sensitivitas reseptor insulin sehingga akhirnya dapat menurunkan

kadar glukosa darah. Oleh karena itu, dengan diet yang sesuai dengan yang

dianjurkan, maka penderita DM dapat meminimalkan terjadinya komplikasi pada

DM. Pengaturan makan yang dianjurkan bagi klien DM adalah makanan dengan

komposisi seimbang dalam karbohidrat, kalori, protein dan lemak sesuai dengan

standar. Dianjurkan juga bagi penderita DM untuk mengkonsumsi sayuran.

Sedangkan bahan makanan yang tidak dianjurkan, dibatasi atau dihindari yaitu

makanan yang banyak mengandung tinggi lemak (seperti daging, makanan yang

mengandung minyak atau mentega dan lain-lain) dan yang banyak mengandung

gula (seperti kue, biscuit,selai, dan lain-lain).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada responden yang melakukan

exercise yang baik, sebagian besar responden melakukan exercise yang kurang

sebanyak 11 orang (64,7%), dan responden yang melakukan exercise yang cukup

sebanyak 6 orang (35,3%).

Menurut teori latihan fisik bagi klien DM akan meningkatkan sensitivitas

reseptor insulin di dinding sel teraktivasi lebih baik, sehingga kerja atau fungsi

insulin meningkat. Efeknya adalah ambilan (uptake) glukosa ke dalam sel menjadi

lebih baik. Latihan fisik juga meningkatkan pemberian sinyal insulin dan integritas

sel sehingga sel menjadi sensitif terhadap insulin sebagai respon untuk mencapai

homesostasis (ADA, 2010). Latihan fisik pada klien DM dapat memperbaiki kontrol

glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi HbA1C yang

Page 158: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 148 | 231

cukup menjadi pedoman untuk menurunkan resiko komplikasi diabetes dan

kematian. Latihan fisik pada klien DM akan menimbulkan perubahan- perubahan

metabolik walaupun banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti lama

latihan, beratnya latihan dan tingkat kebugaran, kadar insulin plasma, kadar glukosa

darah, kadar benda keton dan keseimbangan cairan tubuh (Soebardi & Yunir dalam

Sudoyo, 2006).

Latihan fisik pada klien diabetes mellitus dapat memperbaiki kontrol

glukosa secara menyeluruh meningkatkan sensitivitas reseptor insulin di dinding sel

teraktivasi lebih baik, sehingga kerja atau fungsi insulin meningkat. Jenis latihan

fisik sederhana yang dapat dilakukan oleh penderita DM dirumah adalah olahraga

ringan sedikitnya dalam waktu 20-30 menit. Selain itu, penderita DM juga dapat

melakukan latihan fisik dengan cara berjalan kaki disekitar rumah. Dengan

melakukan latihan fisik, maka akan memperbaiki metabolisme glukosa serta

meningkatkan penghilangan lemak tubuh sehingga pada akhirnya toleransi glukosa

dapat kembali normal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada responden yang melakukan

control gula darah yang baik, hampir semua responden melakukan control gula

darah yang kurang sebanyak 15 orang (88,2%), responden dengan control gula

darah cukup sebanyak 2 orang (11,8%).

Menurut teori monitoring kadar gula darah secara teratur merupakan salah

satu bagian dari penatalaksanaan DM yang penting dilakukan oleh klien DM, oleh

karena itu klien DM harus memahami alasan dan tujuan dari pemantauan kadar gula

darah secara teratur tersebut sehingga akan meningkatkan keterlibatan klien secara

langsung dalam pengelolaan penyakitnya (Brunner & Suddarth, 2009).

Pemeriksaan kadar gula darah merupakan evaluasi dari penatalaksanaan DM

yang dilakukan oleh penderita DM. Oleh karena itu melakukan monitoring kadar

gula darah secara teratur akan membantu memonitor efektifitas latihan, diet dan

obat hipoglikemik oral. Penderita DM disarankan melakukan kontrol gula darah

jika dalam kondisi yang diduga dapat menyebabkan peningkatan gula garah

(misalkan saat sakit) atau penurunan gula darah (misalkan ketika terjadi

peningkatan aktivitas) dan ketika dosis pengobatan dirubah. Penderita DM dapat

melakukan kontrol gula darah di tempat-tempat pelayanan kesehatan atau secara

mandiri dirumah jika memilki alat untuk mengukur kadar gula darah sehingga

penderita akan mengetahui kadar glukosa darah dan bagaimana kondisi

kesehatannya saat ini. Klien DM diperbolehkan untuk mengukur kadar glukosa

darahnya secara mandiri minimal dua sampai tiga kali per minggu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 9

orang (53%) melakukan pengobatan yang kurang, responden yang melakukan

pengobatan yang cukup sebanyak 5 orang (29,4%), responden yang melakukan

pengobatan yang baik sebanyak 3 orang (17,6%).

Pada diabetes mellitus terdapat kekurangan insulin secara absolute atau

relative yang akan mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah dan

Page 159: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 149 | 231

menimbulkan komplikasi serius termasuk kelemahan dan penurunan berat badan

karena lipolisis dan proteolisis otot, ketoasidosis akibat penumpukan bendaketon

(Dr. Hans Tandra, 2013).

Pada penderita DM diabetes mellitus yang kekurangan insulin akan

mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah sehingga klien memerlukan obat

untuk menurunkan untuk kadar gula darah seperti obat anti diabet oral,

repaglinid yang berguna untuk menghasilkan kadar insulin yang tinggi. Oleh karena

itu, penderita DM dianjurkan untuk minum obat sesuai dengan petunjuk dokter.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 11

orang (64,7%) melakukan perawatan kaki yang kurang, 5 orang (29,4%) melakukan

perawatan kaki yang cukup, dan anya 1 orang yang melakukan perawatan kaki yang

baik.

Menurut teori perawatan kaki secara umum harus dilakukan setiap hari.

Kaki (telapak kaki) di cuci dengan sabun lembut, disiram air, di bilas. Proses

tersebut diulang sampai kaki benar-benar bersih. Lalu kaki dikeringkan, terutama

bagian sela-sela jari kaki, karena dalam keadaan basah, sela-sela tersebut rawan

infeksi. Lindungi kaki dengan selalu mengenakan kaus kaki. Dan jangan

bertelanjang kaki meskipun berada di dalam rumah. Hati-hati memotong kuku jari

kaki, jangan samapai terluka. Hindari panas seperti mencuci/merendam kaki dengan

air panas/hangat atau kompres panas, karena gangguan pada saraf perasa dapat

menimbulkan infeksi (Waluyo, 2009).

Dalam melakukan perawatan kaki pada pasien diabetes mellitus harus

dilakukan setiap hari agar tidak terjadi masalah pada kaki. Penderita DM hendaknya

memeriksa kakinya setiap hari. Membersihkan kaki terutama bagian sela-sela jari

kaki, karena dalam keadaan basah, sela-sela tersebut rawan infeksi. Pencegahan

biasa dilakukan seperti memakai sandal/sepatu yang baik karena ketika joging atau

jalan kaki berkemungkinan besar terjadi gesekan kaki dengan sandal/sepatu yang

dapat mengakibatkan lecet pada kaki. Tetapi dalam menggunakan sandal/sepatu,

perlu diperhatikan juga bagian dalam sandal/sepatu yang akan digunakan karena

dikhawatirkan terdapat benda yang dapat mengakibatkan perlukaan pada kaki.

Periksa kaki tiap hari terutama terhadap adanya perlukaan, infeksi, dll. Keringkan

dan bersihkan selalu kaki terutama pada sela-sela jari dengan menggunakan handuk

bersih.

3. Hubungan Social Support dengan Selfcare Pada Pasien diabetes mellitus

Dari hasil uji statistic Spearmen’s Rank (rho) dengan menggunakan SPSS

didapatkan hasil sig. (2-tailed) 0.379. dengan α 0,05 berarti sig. (2-tailed) > α.

Sehingga Hο diterima dan H1 ditolak. Jadi tidak ada hubungan antara social

support dengan selfcare pada penderita diabetes mellitus di Wilayah kerja

puskesmas Lawang

Page 160: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 150 | 231

Self care diabetes adalah tindakan mandiri yang dilakukan oleh klien

diabetes dalam kehidupansehari-hari dengan tujuan untuk mengontrol gula darah

yang meliputi aktifitas pengaturan pola makan (diet), latihan fisik (olahraga),

pemantauan kadar gula darah, minum obat dan perawatan kaki (Kusniawati, 2013).

Tetapi tidak semua penderita diabetes mellitus dapat melakukan control gula darah,

terapi, latihan fisik, diet, dan perawatan kaki. Sosial support juga dapat

mempengaruhi hal tersebut (Doni, 2008). Hal tersebut sejalan dengan penjelasan

Sigurdardottir (2005) bahwa Aspek emosional diketahui mempunyai hubungan

yang signifikan terhadap perilaku self care diabetes. Masalah emosional yang

biasanya dialami oleh klien diabetes yaitu stres, sedih, rasa khawatir akan masa

depan, memikirkan komplikasi jangka panjang yang akan mungkin muncul,

perasaan takut hidup dengan diabetes, merasa tidak semangat dengan program

pengobatan yang harus dijalani, khawatir terhadap perubahan kadar gula darah dan

bosan dengan perawatan rutin yang harus dijalani. Dunkle-Scheter, dkk, (dalam

sarafino, 2006) menjelaskan bahwa stres akan menurunkan kondisi kesehatan

seseorang, dan social support muncul sebagai pelindung dari stress yang ada.

Social support mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi seseorang untuk

melawan efek-efek negatif dari stress tingkat tinggi. Buffering effect bekerja dengan

dua cara , yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stressor yang kuat, dan

yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang

sesudah munculnya stressor. Pemberian social support ini akan berpengaruh besar

saat seseorang mengalami stress. Shigaki et al (2010) juga menjelaskan bahwa

motivasi diri merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi klien DM dalam

melakukan self care diabetes terutama dalam hal mempertahankan diet dan monitor

gula darah. Klien DM yang memiliki motivasi baik akan melakukan tindakan self

care diabetes dengan baik pula untuk mencapai tujuan yang diiginkan yaitu

pengontrolan gula darah sehingga pada akhirnya komplikasi DM dapat

diminimalkan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat social support dan selfe care diabetes

adalah dua hal yang secara teori adalah dua hal yang berhubungan satu sama lain.

Tetapi fakta yang didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentang

hubungan social support dengan selfcare pada penderita diabetes didapatkan hasil

yang bertolak belakang dengan teori tersebut. Hasil yang didapatkan bahwa social

support tidak berhubungan dengan self care pada penderita diabetes mellitus di

Wilayah kerja puskesmas Lawang Padahal pada penelitian sebelumnya dijelaskan

bahwa dukungan sosial terbukti menjadi yang paling berpengaruh dalam

mengendalikan tingkat kadar glukosa darah pasien dengan dukungan sosial yang

rendah cenderung tidak terkontrol dibandingkan dengan pasien dengan dukungan

sosial yang tinggi (Aditama, 2011). Penelitian lainnya juga menegaskan bahwa

terdapat konstribusi yang signifikan antara social support terhadap kualitas hidup

penderita diabetes mellitus (Antari dkk, 2013). Hasil yang bertolak belakang dengan

teori tersebut mungkin dikarenakan oleh terdapatnya factor lain yang lebih

Page 161: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 151 | 231

berhubungan dengan selfcare pada penderita diabetes mellitus karena dari hasil uji

statitik lainnya menggunakan metode cross tabulation yang menghubungkan antara

selfcare dengan umur, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, dan lamanya menderita

DM, didapatkan hasil bahwa sebagian besar dari responden melakukan selfcare

pada kategori kurang. Tetapi pada uji statistic menggunakan metode Spearmen’s

Rank (rho) yang menghubungkan antara selfcare dengan umur, pendidikan,

pekerjaan, jenis kelamin, dan lamanya menderita DM, didapatkan hasil bahwa

lamanya menderita DM dan jenis kelamin mempunyai hubungan yang erat dengan

selfcare pada penderita diabetes mellitus di Wilayah kerja puskesmas Lawang

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan hasil bahwa sebagian besar

responden memiliki social support yang sangat baik sebanyak 15 orang (88,2%),

tidak ada responden yang melakukan self care diabetes yang baik, sebagian besar

responden yaitu sebanyak 13 orang (76,5%) melakukan self care diabetes kurang,

dan berdasarkan hasil uji statistic menggunakan Spearmen’s Rank didapatkan hasil

bahwa idak ada hubungan antara social support dengan selfcare pada penderita

diabetes mellitus di Wilayah kerja puskesmas Lawang

5. DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo T & Hendra U (2001), Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ke – 3, Jilid 1, FKUI,

Jakarta.

Andryagreey, (2010), Pengertian Ulkus Diabetik. http://wordpress.com. Diakses

tanggal 8 November 2010 pukul 10.45 WIB.

Askandar Tjokoprawiro, (2001), Hidup Sehat Dan Bahagia Bersama Diabetes,

Gramedia Pustaka Utama, Jakar.

Aru W Sudoyo, (2006), Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ke-2, Jilid 1, FKUI, Jakarta.

Fox, Charles, (2010), Bersahabat Dengan Diabetes Tipe 2. Penebar Plus, Jakarta.

Guyton, Arthur C. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Hartono Andry, (2006). Terapi Gizi Dan Diet Rumah Sakit, Jakarta: EGC

Hidayat, A. A. H (2009). Metodologi Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa

Data. Jakarta: Salemba Medika.

Imron, R. (2013). “Self Care Diabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus di Poli

Penyakit Dalam RSUD Jombang”. Karya Tulis Ilmiah tidak dipublikasikan.

Poltekkes Majapahit Mojokerto.

IP. Siaraoka (2012). Penyakit Degeneratif. Nuha Medika: Yogyakarta.

Khairina W. (2008). “Hubungan Antara Sosial Support dengan Kepatuhan

Menjalani Terapi ARV”. FPSI Universitas Indonesia.

Kartini, (2001). Kepatuhan Diet, http://syopian.net/blog. Diakses pada tanggal 5

April 2010

Page 162: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 152 | 231

M.N. Bustan. (2007). Epidemologi Penyakit Tidak Menular, Edisi Tiga-Jakarta :

EGC.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan, Jakarta : PT Salemba Medika.

Rini Tri Hastuti (2008), Fakto-faktor Resiko Ulkus Diabetik

http://epirints.www.epirints.undip.ac.id. Diakses tanggal 1 November 2009

Robbin, (2007), Buku Ajar Patologi Vol 2. Jakarta : EGC.

Rahma Y. (2007). “Gambaran Sosial Support Pecandu Narkoba” Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Smalzzer Sussane C (2001), Buku Ajar Keperawatan, Medikal Bedah, Jakarta,

EGC.

Soekidjo, Notoatmodjo (2003).Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta

Sudartawan Soegondo. (2004). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Sugiono (2010), Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.

Suharsimi Arikunto (2010), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka

Cipta, Jakarta.

Sujathyo, (2007), Gejala Ulkus Diabetik. www.smallcrab.com diakses tanggal 12

November 2010.

Sunita Almatsier (2005), Penuntun Diet, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sylvia A Price, (2005), Patofisiologi Vol 2. Jakarta : EGC

Sulistria, Y. M. (2013). “Tingkat Self Care Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus

tipe 2 di Puskesmas Kalirungkut Surabaya”. Calyptra: Jurnal Ilmiah

Mahasiswa Universita Surabaya Vol 2 No 2 (2013).

Toobert, D. J., Hampson, S. E., & Glasgow, R. E (2000). The Summary of Diabetes

Self-Care Activities Measure. Results from 7 studies and a revised scale.

Diabetes Care, 23, 943-950.

Utama, Hendra, (2002). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Jakarta :

FKUI

Wardati. (2006). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit

Diabetes Mellitus Tipe II pada pasien di RSU Tidar Magelang.

www.pusatdatajurnaldanskripsi.com diakses tanggal 10 November 2010.

Wahid Iqbal Mubaraq, (2007), promosi kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

WHO, (2000), Pencegahan Diabetes Mellitus, Hipokrates, Jakarta.

Zaida, (2005), Ulkus Diabetik.http:www.smallcrab.com. diakses tanggal 2

November 2010.

2009, Askep Ulkus Diabetik, http://blogspot.com. Diakses pada tanggal 9

juni 2011

Regina: 2013 komplikasi Diabetes Melitus http://diabetesmelitus.org/komplikasi-

diabetes-melitus/#ixzz2vujWdqxV

Widasari, Sri Gitarja, SKP Etin, (2013) Perawatan Luka Diabetes

Page 163: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 153 | 231

PENGARUH PEMBERIAN LATIHAN SLOW DEEP BREATHING

TERHADAP TEKANAN DARAH PADA PASIEN STROKE

DI RUANG FLAMBOYAN - RSUD LAWANG

Rini Widya Ningsih 1, Tri Nataliswati 2, Supono 3

1, 2, 3 Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan LawangJl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi bernapas kurang dari 10 kalipermenit dengan fase ekshalasi yang panjang. Latihan Slow deep breathing dapat menurunkanaktivitas metabolik yang berdampak pada fungsi jantung dan tekanan darah. Tujuan dari penelitianini untuk mengetahui pengaruh latihan slow deep breathing terhadap tekanan darah pada pasien yangmengalami Stroke. Penelitian ini menggunakan desain pre eksperimen dengan bentuk time seriesdesign, yaitu peneliti melakukan penilaian terhadap tekanan darah pada pasien stroke denganhipertensi sebanyak 4 kali pengukuran, baik sebelum (pre test) latihan slow deep breathing dansesudah latihan slow deep breathing (post test). Dan masing-masing pengukuran berjarak 8 jam.Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 30 responden, pengambilan sampel menggunakan metodeNon Probability Sampling. Hasil dari nilai uji wilcoxon signed rangk test dari penelitian inimenunjukkan nilai p setelah latihan ke III dan Ke IV yaitu p < 0,05 yang berarti H0 ditolak. Berartiada perbedaan yang signifikan tekanan darah pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudahdiberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke III dan ke IV. Rekomendasi dari penelitian iniadalah latihan slow deep breathing dapat dilakukan untuk pasien stroke, sebagai upaya untukmenurunkan tekanan darahnya.

Kata Kunci: Slow deep breathing, stroke, tekanan darah

Abstract

Slow deep breathing is a breathing method whose breathing frequency is less than 10 times perminute with a long phase of exhalation. Slow deep breathing exercises can decrease metabolicactivity that affects heart function and blood pressure. The purpose of this study to determine theeffect of slow deep breathing exercise on blood pressure in patients with Stroke. This study uses preexperimental design with time series design form, that is, the researcher evaluates blood pressure instroke patients with hypertension as much as 4 times of measurement, either before (pre test) slowbreathing exercise and after slow breathing (post test) exercise. And each measurement is 8 hoursaway. The number of samples obtained by 30 respondents, sampling using the method of NonProbability Sampling. The result of test value of wilcoxon signed test result from this research showsp value after exercise to III and IV is p < 0.05 which means H0 is rejected. Means there is asignificant difference in blood pressure of stroke patients with hypertension before and after givenslow breathing exercise in exercise to III and IV. Recommendation of this study is a slow deepbreathing exercise can be done for stroke patients, in an attempt to lower blood pressure.

Keywords: Slow deep breathing, stroke, blood pressure

Page 164: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 154 | 231

1. PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyebab umum kematian urutan ketiga di negara maju

setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Setiap tahun, lebih dari 700.000 orang

Amerika mengalami stroke, 25% di antaranya berusia di bawah 65 tahun, dan

150.000 orang meninggal akibat stroke atau akibat komplikasi segera setelah stroke

(Goldszmidt & Caplan, 2011). WHO mengestimasi terdapat 20 juta orang yang

akan meninggal karena stroke. Proporsi kematian stroke adalah 15,4% pada tahun

2007. Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya disebabkan karena

stroke (Dinkes Jatim, 2012).

Faktor resiko utama penyebab penyakit stroke adalah hipertensi. Dan

didapatkan kasus stroke dengan hipertensi sejumlah 70 – 80% kasus. (Pinzon &

Asanti, 2010). Empat puluh sampai tujuh puluh persen penderita stroke di Indonesia

adalah penderita hipertensi (Nasution, 1989). Dan pria yang berumur 40 tahun

dengan hipertensi berisiko stroke sebesar 4% (Santoso, 1991) yang dikutip oleh

(Setiawan, 2006).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2013) di Sulawesi Selatan

proporsi individu hipertensi yang mengalami stroke mempunyai proporsi lebih

besar dibandingkan dengan tidak hipertensi. Hasil penelitian menujukkan bahwa

kejadian stroke terjadi pada penderita hipertensi (88,3%) lebih besar dibandingkan

kejadian stroke pada penderita tidak hipertensi (11,7%). Hasil penelitian ini

didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa sebagian besar individu hipertensi

mengalami stroke (Sofyan, 2015).

Hasil studi pendahuluan yang berbasis data rekam medis pasien di RSUD

Lawang prevalensi jumlah kunjungan pasien stroke dengan hipertensi sejumlah 198

kunjungan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir (Data Rekam Medis RSUD Lawang,

2016).

Standar pelayanan keperawatan pada pasien stroke dengan hipertensi di

RSUD Lawang relatif sama yaitu mengobservasi tanda vital, defisit neurologi, serta

penurunan tekanan darah. Pasien dianjurkan mengurangi aktivitas dan berkolaborasi

dengan tim medis dalam pemberian obat antihipertensi. Dan belum ada tindakan

non farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dalam hal pelayanan

keperawatan yang dilakukan.

Penurunan tekanan darah ke tingkat normal yang dapat dilakukan dengan

intervensi keperawatan secara nonfarmakologis, yaitu penurunan berat badan,

olahraga, berhenti merokok, diet pembatasan natrium, dan teknik relaksasi (Corwin,

2009). Salah satu teknik relaksasi yang dapat dilakukan pada penderita hipertensi

yaitu latihan slow deep breathing (Joseph, et al., 2006; Kaushik, Mahajan, &

Rajesh, 2006; Sepdianto, Nurachmah, & Gayatri, 2010 yang dikutip oleh Yanti,

Mahardika, & Prapti, 2016).

Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dr. Labiba Abd El-kader

Mohamed, Dr. Naglaa Fawzy Hanafy & Dr. Amel Gomaa Abd El-Naby (2013)

dengan judul “Effect Of Slow Deep Breathing Exercise On Blood Pressure And

Page 165: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 155 | 231

Heart Rate Among Newly Diagnosed Patients With Essential Hypertension”

didapatkan hasil bahwa p Value yaitu 0,000 yang berarti p Value < dari 0,05, yang

berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat efek dari slow deep breathing terhadap

tekanan darah dan denyut jantung (nadi) pada pasien yang baru terdiagnosa

hipertensi esensial.

Berdasarkan penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Tahan Adrianus

Manalu (2015) dengan judul “Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah

Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien Hipertensi

Primer Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam”

didapatkan hasil bahwa p Value yaitu 0.019 yang berarti p Value < dari 0.05, yang

berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah sebelum dan

sesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) pada pasien hipertensi

primer.

Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Tekanan Darah

Pada Penderita Stroke di Ruang Flamboyan RSUD Lawang”. Dimana peneliti ingin

mengetahui pengaruh dari pemberian latihan slow deep breathing terhadap tekanan

darah pada pasien yang mengalami Stroke.

2. METODE PENELITIAN

Rancangan yang digunakan dalam penelitin ini adalah bentuk rancangan

quasi eksperimen dengan bentuk time series design. Rancangan quasi eksperimen

ini tidak mempunyai pembatasan yang ketat terhadap randomisas, pada saat yang

sama dapat mengontrol ancaman validitas. Dalam time series design ini seperti

rancangan pretest-posttest, kecuali mempunyai keuntungan dengan perlakuan

observasi (pengukuran yang berulang) sebelum dan sesudah perlakuan (Setiadi,

2013: 90 – 91)

Dalam penelitian ini peneliti melakukan penilaian terhadap tekanan darah

pada pasien stroke dengan hipertensi sebanyak 4 kali pengukuran, baik sebelum

(pre test) latihan slow deep breathing dan sesudah latihan slow deep breathing (post

test). Dan masing-masing pengukuran berjarak 8 jam.

Penelitian ini dilakukan di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah

Lawang pada tanggal 26 Mei sampai dengan 24 Juni 2017.

Dalam penelitian ini populasi yang diteliti adalah seluruh pasien yang

mengalami stroke dengan hipertensi yang dirawat inap di Ruang Flamboyan RSUD

Lawang pada periode 26 Mei – 24 Juni 2017 yang berjumlah 34 orang.

Sampel penelitian yang diteliti adalah sebagian pasien yang mengalami

stroke dengan hipertensi yang dirawat inap di Ruang Flamboyan RSUD Lawang,

yang memenuhi kriteria inklusi pada periode 26 Mei – 24 Juni 2017 yang berjumlah

30 orang.

Page 166: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 156 | 231

Adapun yang menjadi kriteria inklusi sampel adalah Pasien bersedia menjadi

responden, Pasien dengan kesadaran composmentis yang terdiagnosis stroke dengan

hipertensi oleh dokter RSUD Lawang. Pasien yang mendapatkan terapi

antihipertensi yang sama yaitu amlodipin. Pasien berusia lebih dari 15 tahun ke atas

dengan pertimbangan sudah dapat membuat keputusan atas perlakuan medis.

Adapun Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pasien

yang tidak dapat mengikuti perintah/kurang kooperatif. Pasien yang saat proses

penelitian berlangsung tiba-tiba membatalkan karena suatu hal tertentu.

Tehnik sampling adalah teknik pengambilan sampel (Sugiyono, 2010:62).

Teknik sampling yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan

teknik Non Probability Sampling dengan cara pengambilan sampel secara

Consecutive sampling, yaitu setiap pasien stroke dengan hipertensi yang memenuhi

kriteria penelitian dimasukkan dalam subyek penelitian sampai kurun waktu

tertentu hingga jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. Kurun waktu

terpenuhinya sampel yaitu 26 Mei – 24 Juni 2017.

Data penelitian ini didapatkan dengan menggunakan Instrumen yang meliputi:

a. Pemberian Latihan Slow Deep Breathing

1) Standart Operasional Prosedur (SOP) latihan slow deep breathing

b. Pengukuran Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik menggunakan:

1) Spigmomanometer

2) Stetoskop

3) Standart Operasional Prosedur (SOP) pengukuran tekanan

Data tentang tekanan darah responden diperoleh dari hasil observasi dan

wawancara. Hasil tersebut kemudian diisikan kedalam lembar observasi dengan

mengisi kolom skor. Data-data tersebut kemudian diolah dan dianalisa dengan

melalui beberapa tahap, yaitu Editing Data, Coding (Pengkodean), Scoring,

Tabulating dan penentuan kategori tingkat tekanan darah. Hasil data dalam

penelitian ini disajikan secara visual dalam bentuk table distribusi frekuensi dan

dalam bentuk narasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik dasar pasien stroke dengan hipertensi yang akan disajikan data

demografinya antara lain: jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, riwayat stres,

riwayat merokok, dan riwayat latihan slow deep breathing.

1) Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Tabel Distribusi Jenis Kelamin Responden di Ruang Flamboyan RSUD

Lawang Kabupaten Malang

No Jenis Kelamin N Persentase %

1 Laki-laki 11 36,67

2 Perempuan 19 63,33

Total 30 100

Page 167: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 157 | 231

Berdasarkan data dari tabel 4.1 tentang jenis kelamin di atas diketahui

bahwa lebih dari setengah responden berjenis kelamin perempuan, yaitu sejumlah

19 responden (63,33%).

2) Umur

Tabel 4.2 Tabel Distribusi Umur Responden di Ruang Flamboyan RSUD Lawang

Malang

Variabel N Mean SD Min Max CI 95 %

Umur 30 57.53 7.305 45 68 54,81 – 60,26

Berdasarkan data dari tabel 4.2 tentang umur di atas diketahui bahwa rata-

rata umur responden adalah 57,53, standar deviasi 7,305 serta umur termuda adalah

45 tahun dan umur tertua adalah 68 tahun, dengan tingkat kepercayaan yang

diyakini 54,81 – 60,26.

3) Tingkat Pendidikan

Tabel 4.3 Tabel Distribusi Tingkat Pendidikan Responden di Ruang Flamboyan

RSUD Lawang Kabupaten Malang

No Tingkat Pendidikan N Presentase %

1 Tidak Sekolah 2 6,67

2 SD 5 16,67

3 SMP 9 30

4 SMA 13 43,33

5 Sarjana 1 3,33

Total 30 100

Berdasarkan data dari bagan 4.3 tentang tingkat pendidikan di atas diketahui

bahwa kurang dari setengah respondennya adalah lulusan SMA, yaitu sejumlah 13

responden (43,33%).

4) Riwayat Stres

Tabel 4.4 Tabel Distribusi Riwayat Stres Responden di Ruang Flamboyan RSUD

Lawang Kabupaten Malang

No Riwayat Stres N Presentase %

1 Stres 23 76,67

2 Tidak Stres 7 23,33

Total 30 100

Page 168: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 158 | 231

Berdasarkan data dari tabel 4.4 tentang riwayat stress di atas diketahui

bahwa sebagian besar responden yang mengalami stress, yaitu sejumlah 23

responden (76,67%).

5) Riwayat Merokok

Tabel 4.5 Tabel Distribusi Riwayat Merokok Responden di Ruang Flamboyan

RSUD Lawang Kabupaten Malang

No Riwayat Merokok N Presentase %

1 Merokok 11 36,67

2 Tidak Merokok 19 63,33

Total 30 100

Berdasarkan data dari tabel 4.5 tentang riwayat merokok di atas diketahui

bahwa lebih dari setengah responden tidak memiliki riwayat merokok, yaitu

sejumlah 19 responden (63,33%).

6) Riwayat Latihan Slow Deep Breathing

Tabel 4.6 Tabel Distribusi Riwayat Latihan Slow Deep Breathing Responden di

Ruang Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang

No Riwayat Latihan N Presentase %

1 Latihan 0 0

2 Tidak Latihan 30 100

Total 30 100

Berdasarkan data dari tabel 4.6 tentang riwayat merokok di atas diketahui

bahwa mayoritas responden tidak memiliki riwayat latihan slow deep breathing,

yaitu sejumlah 30 responden (100%).

Diskripsi Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik

1) Tekanan darah sistolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah

diberikan latihan slow deep breathing pada berbagai waktu pengukuran

Tabel 4.7 Tekanan Darah Sistolik Pada Berbagai Waktu Pengukuran Di Ruang

Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang.

No Waktu

Pengukuran N

Min Max Mean Penurunan

CI 95%

Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post

1 Latihan Ke

I 30

160 150 210 210 176,67 176 0,67 172,14 –

181.20

171,24 –

180,76

2 Latihan Ke

II 150 150 200 190 170 169 1

165,40 –

174,60

164,92 –

173,08

3 Latihan Ke 140 130 190 190 162,67 156,33 6,34 158,18 – 151,48 –

Page 169: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 159 | 231

III 167,15 161,19

4 Latihan Ke

IV 130 120 180 170 153 141,67 11,33

148,08 –

157,92

136,29 –

147,05

Berdasarkan tabel 4.7 di atas diketahui bahwa tekanan sistolik dari 30

responden pada berbagai waktu pengukuran setelah dilakukan latihan slow deep

breathing semua mengalami penurunan. Namun, rata-rata penurunan setelah latihan

ke I dan ke II masih belum terlalu besar, sedangkan rata-rata penurunan yang paling

nampak terlihat yaitu setelah latihan ke III dan ke IV. Rata-rata tekanan sistolik

sebelum latihan ke III adalah 162,67 mmHg, sesudah latihan menjadi 156,33

mmHg. Dan rata-rata tekanan sistolik sebelum latihan ke IV adalah 153 mmHg,

sesudah latihan menjadi 141,67 mmHg. Maka, didapatkan hasil penuranan rata-rata

setelah latihan ke III adalah 6,34 mmHg dan setelah latihan ke IV adalah 11,33

mmHg.

2) Tekanan darah diastolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah

diberikan latihan slow deep breathing pada berbagai waktu pengukuran

Tabel 4.8 Tekanan Darah Diastolik Pada Berbagai Waktu Pengukuran Di Ruang

Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang Mei – Juni 2017.

N

o

Waktu

Pengukuran N

Min Max Mean Penurunan

CI 95%

Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post

1 Latihan Ke

I

30

70 70 110 110 84,67 84 0,67

81,45 –

87,88

80,81 –

87,19

2 Latihan Ke

II

70 70 110 100 83,33 82,33 1

80,38 –

86,33

79,80 –

84,87

3 Latihan Ke

III

70 70 90 90 81,33 75,67 5,66

78,79 –

83,88

73,54 –

77,79

4 Latihan Ke

IV

70 60 80 70 75,33 67,33 8

73,44 –

77,23

65,65 –

69,01

Berdasarkan tabel 4.8 di atas diketahui bahwa tekanan diastolik dari 30

responden pada berbagai waktu pengukuran setelah dilakukan latihan slow deep

breathing semua mengalami penurunan. Namun, rata-rata penurunan setelah latihan

ke I dan ke II masih belum terlalu besar, sedangkan rata-rata penurunan yang paling

nampak terlihat yaitu setelah latihan ke III dan ke IV. Rata-rata tekanan diastolik

sebelum latihan ke III adalah 81,33 mmHg, sesudah latihan menjadi 75,67 mmHg.

Dan rata-rata tekanan diastolik sebelum latihan ke IV adalah 75,33 mmHg, sesudah

latihan menjadi 67,33 mmHg. Maka, didapatkan hasil penuranan rata-rata setelah

latihan ke III adalah 5,66 mmHg dan setelah latihan ke IV adalah 8 mmHg.

Uji Analisis Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik

1) Uji Analisis tekanan darah sistolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan

sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada berbagai waktu

pengukuran

Page 170: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 160 | 231

Tabel 4.9 Hasil Uji Statistik Wilcoxon Signed Rank Test. Perbedaan Tekanan

Darah Sistolik Pasien Stroke Dengan Hipertensi Sebelum Dan Sesudah

Diberikan Latihan Slow Deep Breathing Pada Berbagai Waktu

Pengukuran Di Ruang Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang

Mei – Juni 2017.

No. Perbedaan Tekanan Darah

Sistolik z Df

Sig. (2-tailed)

1. Latihan Ke I -1,414 29 .157

2. Latihan Ke II -1,732 29 .083

3. Latihan Ke III -4,359 29 .000

4. Latihan Ke IV -4,582 29 .000

Berdasarkan tabel 4.9 di atas diketahui bahwa perbedaan tekanan darah

sistolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan slow

deep breathing ke I dan II didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti H0 diterima artinya

tidak ada perbedaan yang signifikan tekanan sistolik pasien stroke dengan hipertensi

sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke I dan II,

sedangkan pada latihan ke III dan IV didapatkan nilai p keduanya < 0,05 yang

berarti H0 ditolak artinya ada perbedaan yang signifikan tekanan sistolik pasien

stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep

breathing pada latihan ke III dan IV.

2) Uji analisis tekanan darah diastolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum

dan sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada berbagai waktu

pengukuran

Tabel 4.10 Hasil Uji Statistik Wilcoxon Signed Rank Test. Perbedaan Tekanan

Darah Diastolik Pasien Stroke Dengan Hipertensi Sebelum Dan

Sesudah Diberikan Latihan Slow Deep Breathing Pada Berbagai Waktu

Pengukuran Di Ruang Flamboyan RSUD Lawang Kabupaten Malang

Mei – Juni 2017.

No. Perbedaan Tekanan Darah

Diastolik z Df

Sig. (2-tailed)

1. Latihan Ke I -1,414 29 .161

2. Latihan Ke II -1,732 29 .083

3. Latihan Ke III -3,900 29 .000

4. Latihan Ke IV -4,899 29 .000

Berdasarkan tabel 4.10 di atas diketahui bahwa perbedaan tekanan darah

diastolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan

slow deep breathing didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti H0 diterima artinya tidak

ada perbedaan yang signifikan tekanan dia/stolik pasien stroke dengan hipertensi

sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke I dan II,

Page 171: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 161 | 231

sedangkan pada latihan ke III dan IV didapatkan nilai p keduanya < 0,05 yang

berarti H0 ditolak artinya ada perbedaan yang signifikan tekanan diastolik pasien

stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep

breathing pada latihan ke III dan IV.

Pembahasan

Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik Pasien Stroke Sebelum Diberikan

Latihan Slow Deep Breathing

Berdasarkan hasil penelitian terhadap tekanan darah pada pasien stroke

dengan hipertensi sebelum diberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke I

dari 30 responden memiliki rata-rata tekanan darah sistolik 176,67 mmHg dan

diastoliknya adalah 84,67 mmHg, pada latihan ke II rata-rata tekanan darah

sistoliknya 170 mmHg dan diastoliknya adalah 83,33 mmHg, pada latihan ke III

rata-rata tekanan darah sistoliknya 162,67 mmHg dan diastoliknya adalah 81,33

mmHg, dan pada latihan ke IV rata-rata tekanan darah sistoliknya 153 mmHg dan

diastoliknya adalah 75,33 mmHg.

Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih tingginya tekanan

darah pada pasien stroke sebelum dilakukan latihan slow deep breathing. Serta hasil

penelitian mengenai karakteristik responden menunjukkan bahwa hasil rata-rata

umur responden adalah 57,53 tahun, lebih dari setengah responden berjenis kelamin

perempuan, yaitu sejumlah 19 responden (63,33%), sebagian besar responden

mengalami stress, yaitu sejumlah 23 responden (76,67%), dan setengah responden

tidak memiliki riwayat merokok, yaitu sejumlah 19 responden (63,33%).

Normalnya tekanan darah lansia (> 46 tahun) yaitu, 140 mmHg untuk

tekanan sistol dan 80 mmHg untuk tekanan diastol. Tekanan darah lansia meningkat

sehubungan dengan penurunan elastisitas pembuluh darah. Faktor resiko dapat

meningkat setelah menopause, wanita cenderung memiliki tekanan darah yang lebih

tinggi daripada pria pada usia tersebut. Selain itu, stres juga bisa mengakibatkan

stimulasi simpatik yang meningkatkan frekuensi darah, curah jantung dan tahanan

vaskuler perifer. Efek stimulasi simpatik tersebut dapat meningkatkan tekanan

darah (Perry & Potter, 2005:796 – 798).

Hal ini juga didukung oleh pendapat yang disampaikan Hamarno (2010:80 –

87) bahwa jenis kelamin mempengaruhi tekanan darah. Hal ini disebabkan karena

perempuan pada usia pertengahan sudah memasuki masa menopause, dimana

terjadi penurunan hormon estrogen. Penurunan hormon estrogen berdampak

terhadap peningkatan aktivitas dari sistem renin angiotensin dan sistem saraf

simpatik. Adanya aktivitas dari kedua hormon ini akan menyebabkan perubahan

dalam mengatur vasokontriksi dan dilatasi dari pembuluh darah sehingga tekanan

darah menjadi meningkat. Selain itu, stress juga dapat meningkatkan tekanan darah

karena ketika sedang mengalami kecemasan maka akan merangsang aktivasi sistem

saraf simpatik. Aktivasi ini menyebabkan frekuensi nadi, curah jantung dan tahanan

vaskuler perifer meningkat sehingga mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan

Page 172: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 162 | 231

darah yang dapat memicu terjadinya stroke dengan hipertensi. Namun, Merokok

tidak berhubungan terhadap perkembangan tekanan darah, namun nikotin dapat

meningkatkan jumlah nadi dan menghasilkan vasokonstriksi perifer yang mana

tekanan darah dapat meningkat dalam waktu pendek atau setelah merokok.

Tekanan darah tinggi pada umur > 46 tahun terjadi karena adanya perubahan

pada sistem pembuluh perifer yang bertanggung jawab pada perubahan tekanan

darah. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat

dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya

menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.

Konsekuensinya aorta dan arteri besar kurang kemampuannya dalam

mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan

penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer & Bare, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti berpendapat bahwa

kejadian stroke dengan darah tinggi bisa disebabkan oleh faktor umur, jenis

kelamin, stress, dan konsumsi rokok. Walaupun di atas dijelaskan bahwa rokok

dapat meningkatkan tekanan darah, namun dari hasil penelitian menunjukkan

bahwa setengah responden tidak memiliki riwayat merokok. Hal ini mungkin

disebabkan karena jenis kelamin responden sebagian besar adalah perempuan,

dimana budaya di masyarakat Indonesia perempuan tidak merokok.

Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik Pasien Stroke Sesudah Diberikan

Latihan Slow Deep Breathing

Berdasarkan hasil penelitian terhadap tekanan darah pada pasien stroke

dengan hipertensi sesudah diberikan latihan slow deep breathing pada latihan ke I

dari 30 responden memiliki rata-rata tekanan darah sistolik 176 mmHg dan

diastoliknya adalah 84 mmHg, pada latihan ke II tekanan darah sistoliknya 169

mmHg dan diastoliknya adalah 82,33 mmHg, pada latihan ke III tekanan darah

sistolik 156,33 mmHg dan diastoliknya adalah 75,67 mmHg, dan pada latihan ke IV

rata-rata tekanan darah sistoliknya 141,67 mmHg dan diastoliknya adalah 75,33

mmHg.

Selain itu, sesudah dilakukan latihan slow deep breathing juga menunjukkan

bahwa adanya penurunan rata-rata tekanan darah pada berbagai waktu pengukuran.

Sesudah latihan ke I rata-rata tekanan sistoliknya menurun 0,67 mmHg dan tekanan

diastoliknya menurun 0,67 mmHg, sesudah latihan ke II rata-rata tekanan

sistoliknya menurun 1 mmHg dan tekanan diastoliknya menurun 1 mmHg, sesudah

latihan ke III rata-rata tekanan sistoliknya menurun 6,34 mmHg dan tekanan

diastoliknya menurun 5,66 mmHg, dan sesudah latihan ke IV rata-rata tekanan

sistoliknya menurun 11,33 mmHg dan tekanan diastoliknya menurun 8 mmHg.

Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tekanan darah pada

pasien stroke sesudah dilakukan latihan slow deep breathing mengalami penurunan.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh (Izzo,

2008:138) dalam (Hartanti, 2016) bahwa terapi relaksasi nafas dalam dapat

Page 173: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 163 | 231

menurunkan tekanan darah baik itu tekanan sistolik maupun diastolik. Kerja dari

terapi ini dapat memberikan pereganggan kardiopulmonari. Hayens (2006) dikutip

oleh Tahu (2015) juga menyatakan bahwa tekanan sistolik salah satunya

dipengaruhi oleh psikologis. Sehingga dengan relaksasi akan mendapatkan

ketenangan dan tekanan sistolik bisa menurun. Selain itu, tekanan darah sistolik

juga dipengaruhi sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal sehingga dengan

relaksasi yang berfokus pada pengaturan pernapasan akan terjadi penurunan nadi

dan penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan tekanan diastolik berhubungan

dengan sirkulasi koroner. Jika sirkulasi koroner membaik maka tekanan diastolik

pun akan menurun.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaukan oleh Hartanti

(2016) menunjukkan bahwa terdapat penurunan tekanan darah responden setelah

diberikan terapi relaksasi nafas dalam yaitu tekanan darah sistolik sebesar 18,46

mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 6,54 mmHg. Hasil penelitian lain dari

(Dahlan & Hendari, 2011) pelaksanaan tehnik relaksasi bernapas dalam terbukti

efektif untuk menurunkan tekanan darah dengan penurunan rata-rata tekanan sistol

sebanyak 6,00 mmHg dan penurunan rata-rata tekanan diastol sebanyak 3,13

mmHg.

Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas, peneliti berpendapat bahwa

latihan slow deep breathing bisa menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik

secara bertahap dan berkesinambungan. Dikarenakan, apabila responden dapat

melakuka latihan slow deep breathing dengan benar, maka akan memberikan efek

yang baik dalam penurunan tekanan darah tinggi pada pasien stroke.

Analisis Perbedaan Tekanan Darah Sistolik Dan Diastolik Pasien Stroke

Sebelum Dan Sesudah Diberikan Latihan Slow Deep Breathing.

Hasil penelitian ini sebelumnya diuji menggunakan uji normalitas Shapiro-

Wilk pada SPSS, didapatkan nilai p < 0,05 yang menunjukkan distribusi data

penelitian adalah tidak normal. Maka, hasil penelitian sebelum dan sesudah

diberikan latihan slow deep breathing ini diuji statistik dengan uji wilcoxon signed

ranks test. Dari uji tersebut di dapatkan hasil bahwa setelah latihan ke I dan II

belum menunjukkan penurunan tekanan sistolik dan diastolik secara signifikan,

namun setelah latihan ke III dan IV menunjukkan ada penurunan tekanan sistolik

dan diastolik secara signifikan. Setelah latihan ke III dan ke IV, baik pada tekanan

sistolik maupun diastolik tersebut didapatkan nilai p-value semuanya yaitu 0,000

yang berarti p-value < 0,05, H0 ditolak artinya ada perbedaan yang signifikan pada

tekanan sistolik dan diastolik pasien stroke dengan hipertensi sebelum dan sesudah

diberikan latihan slow deep breathing.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa latihan slow

deep breathing tidak akan langsung menurunkan tekanan darah, karena hal itu akan

mempengaruhi homeostatis tubuh (Muttaqin, 2012) latihan relaksasi ini dapat

memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress

Page 174: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 164 | 231

fisik dan emosi, ketegangan otot, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain

(Potter & Perry, 2006:1528).

Latihan slow deep breathing ini dapat mengaktivkan sensitifitas impuls

aferen dari baroreseptor dan mengeluarkan neurotransmitter endorphin sehingga

mengstimulasi respons saraf otonom yang berpengaruh dalam menurunkan aktivitas

saraf simpatis melalui peningkatan central inhibitory rythms yang akan berdampak

pada penurunan output simpatis. Penurunan output simpatis akan menyebabkan

penurunan pelepasan epinefrin yang ditangkap oleh reseptor alfa sehingga

mempengaruhi otot polos pembuluh darah. Otot polos vaskular mengalami

vasodilatasi yang akan menurunkan tahanan perifer dan menyebabkan penurunan

tekanan darah. Selanjutnya meningkatkan aktivitas sistem nervus vagus

(parasimpatis) dan melepaskan hormon asetilkolin yang meningkatkan

permeabilitas ion kalium di SA node sehingga menurunkan denyutan SA Node,

penurunan transmisi impuls akan menurunkan denyut jantung, stroke volume, curah

jantung, dan menyebabkan penurunan tekanan darah dalam 24 jam pengukuran

(Tahu, 2015; Fatimah & Setiawan, 2009; Joseph et al., 2006 yang dikutip oleh

Yanti, Mahardika, & Prapti, 2016; Setyaningrum, 2015).

Dari hasil penelitian di atas maka peneliti berpendapat bahwa ketika

melakukan latihan slow deep breathing tidak langsung menurunkan tekanan darah

pada saat itu juga. Namun, apabila latihan slow deep breathing dilakukan dengan

keadaan tenang, rilek dan konsentrasi penuh selama 15 menit dan dilakukan secara

berkesinambungan dalam 24 jam akan memberikan dampak positif bagi penurunan

tekanan darah pasien stroke dengan hipertensi

4. KESIMPULAN

Berdasarkan data dan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil

simpulan sebagai berikut:

1. Terdapat penurunan tekanan darah sistolik sesudah diberikan latihan slow

deep breathing pada pasien stroke dengan hipertensi di Ruang Flamboyan

RSUD Lawang.

2. Terdapat penurunan tekanan darah diastolik sesudah diberikan latihan slow

deep breathing pada pasien stroke dengan hipertensi di Ruang Flamboyan

RSUD Lawang.

3. Ada perbedaan yang signifikan tekanan sistolik dan diastolik pasien stroke

dengan hipertensi sebelum dan sesudah diberikan latihan slow deep breathing

pada latihan ke III dan IV.

5. DAFTAR PUSTAKA

Anggara, F. H. D. & Prayitno, N. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Tekanan Darah Di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat

Tahun 2012. [Online]. Diunduh dari:

Page 175: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 165 | 231

http://lp3m.thamrin.ac.id./upload/artikel%204.%20vol%205%20no%201_fe

by.pdf [Diakses pada tanggal 5 Desember 2016].

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Ed. 3. Jakarta: EGC.

Dahlan, D. A & Hendari, R. 2011. Pengaruh Teknik Relaksasi Bernapas Dalam

Terhadap Penurunan Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi Di

Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Bima. [Online].

Diunduh dari:

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0ah

UKEwi8u9fo3lHVAhVBgl8KHZqXDnwQFggeMAA&url=http%3A%2F52Fpolte

kkes-mataram.ac.id%2Fcp%Dahlan-PENGARUH –TEKNIK-RELAKSASI-

BERNAPAS-DALAM.doc [Diakses pada tanggal 7 Juli 2017].

Goldszmidt, A. J. & Caplan, L. R. 2011. Esensial Stroke. Jakarta: EGC.

Hamarno, R. 2010. Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap

Penurunan Tekanan Darah Klien Hipertensi Primer Di Kota Malang.

[Online]. Diunduh dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20285357-

T%20Rudi%20Harmono.pdf [Diakses pada tanggal 5 Oktober 2016].

Hartanti, R. D. 2016. Terapi Relaksas Napas Dalam Menurunkan Tekanan

Darah Pasien Hipertensi. Diunduh dari: http:www.journal. stikesmuh-

pkj.ac.id/journal/index.php/jik/article/view/67[Diakses tanggal 7 Juli 2017].

Irfan, M. 2012. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jayanti, A, A. 2013.Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian stroke Di Sulawesi

Selatan Tahun 2013. [Online]. Diunduh dari: http://www .googlw

.co.id/url?q=http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitsream/123456789/28883

/1/ALFICA%2520AGUS%2520JAYANTI-FKIK.pdf&sa+U&ved

=oahUKEwj D44ewgK3SAhWlvl8KHcQjew QFggQM&usg= FQjCNEX

uuvGs4s TChj083yaAtlN0_NyrKg [Diakses pada tanggal 25 Februari 2017].

Kowalak,J.P.Welsh,W, & Mayer, B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Manalu, T. A. 2015. Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah

Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien

Hipertensi Primer Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli

Serdang Lubuk Pakam. [Online]. Diunduh dari: http://elearning.

medistra.ac.id/pluginfile.php/582/mod_resource/content/7/VOL%204%20N

O%203%20(Sep-nop%202015).pdf [Diakses pada tanggal 28 September

2016].

McPhee, S. J & Ganong, W. F. 2010. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju

Kedokteran Klinis. Ed. 5. Jakarta: EGC.

Mohamed, L. A. E., Hanafy, N. F., & El-Naby, A. G. A. 2013. Effect Of Slow Deep

Breathing Exercise On Blood Pressure And Heart Rate Among Newly

Diagnosed Patients With Essential Hypertension. [Online]. Diunduh dari:

www.iiste.org/Journals/index.php/JEP/article/download/10788/11065

[Diakses pada tanggal 28 September 2016].

Page 176: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 166 | 231

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. Revisi Cetakan

Kedua. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Oman, K. S., McLain, J. K., & Scheetz, L. J. 2008. Panduan Belajar

Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.

Pinzon, R. & Asanti, L. 2010. Awas Stroke! Pengertia, Tada, Gejala, Tindakan,

Peraatan, dan Pencegahan. [Online]. Dari: https://books.google

.co.id/books?hl=id&lr=&idTrFtdwJ8qwkc&oi=fnd&pg=Pa2&dq=prevalensi

+stroke+dengan+hipertensi&ots=yjohhlv5N&sig=4dZKHFIJ9GHwhWI3yu

b_H39DOqg&redir_esc=y#v=onepage&q=prevalensi20%stroke%20dengan

%20hipertensi&f=false [Diakses pada tanggal 25 Februari 2017].

Potter, P. A. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:

Konsep, Proses, dan Praktik. Ed. 4. Vol. 1. Jakarta: EGC.

Potter, P. A. & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:

Konsep, Proses, dan Praktik. Ed. 4. Vol. 2. Jakarta: EGC.

Price, S. A. & Wilson, L. M, 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Ed. 6. Jakarta: EGC.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Rl. 2014. Infodatin - Pusat Data

dan Informasi Kementerian Kesehatan Rl Hipertensi. Jakarta Selatan:

KEMENKES RI. [Online]. Diunduh dari:

www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin-

hipertensi.pdf [Diakses pada tanggal 25 September 2016].

Rendy, M. C. & Margareth, T. H. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah:

Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Setiadi. 2013. Konsep Dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Ed. 2.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiawan. 2006. Prevalensi Dan Determina Hipertensi Di Pulau Jawa Tahun

2004. [Online]. Diunduh dari:

http://jurnalkesmas.ui.ac.id/kesmas/article/view/312 [Diakses pada tanggal

23 Februari 2017].

Setyaningrum, N. 2015. Efektifitas Progressive Muscle Relaxation Dan Slow

Deep Breathing Terhadap Penurunan Tekanan Darah, Peningkatan

Kualitas Tidur Dan Penurunan Tingkat Stres Pada Penderita

Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Gamping 2 Yogyakarta.

[Online]. Didapatkan dari: http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t61303.pdf

[Diakses pada tanggal 22 September 2016].

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth. Ed. 8. Vol. 2. Jakarta: EGC.

Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.

Tahu, S. K. 2015. Efektifitas Kombinasi Terapi Musik Dan Slow Deep

Breathing Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien

Hipertensi [Online]. Diunduh dari:

Page 177: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 167 | 231

http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t43212.pdf [Diakses pada tanggal 22

September 2016].

Tarwoto. 2011. Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas

Nyeri Kepala Akut Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. [Online].

Diunduh dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20280088-

T%20%20TARWANRO.pdf [Diakses pada tanggal 22 September 2016].

Wylie, L. 2011. Esensial Anatomi Dan Fisiologi Dalam Asuhan Maternitas.

Jakarta: EGC.

Page 178: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 168 | 231

PERBEDAAN PEMAKAIAN SELIMUT TERHADAP

PERUBAHAN HEMODINAMIK PASIEN POST OP SEKSIO

SESAREA DENGAN ANESTESI SPINAL SUBARACHNOID DI

RUANG RECOVERY ROOM RSUD MARDI WALUYO BLITAR

Susi Milwati Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Malang

Jl. Jl. Besar Ijen No. 77 C Malang

email: [email protected]

Abstrak

Penggunaan selimut pada pasien yang menggunakan anestesi spinal dapat meningkatkan suhu

sehingga terjadinya peningkatan metabolisme karenanya dianjurkan pada pasien pasca operasi

dengan segala jenis anestesi agar status hemodinamik stabil. Tujuan dari penelitian ini memberikan

selimut tebal 1 lapis dan selimut tebal 2 lapis masing-masing selama 60 menit dan diidentifikasi ada

atau tidak perubahan hemodinamik serta menganalisis perubahan hemodinamik khususnya pada

nadi dan suhu. Desain penelitian ini adalah quasi eksperiment, metodenya posttest only design

dengan sampel 20 responden. Teknik sampling adalah quota sampling. Penelitian dilaksanakan

tanggal 1 – 18 Juni 2016 di recovery room. Hasil selimut tebal 1 lapis menunjukkan nadi stabil

setelah 50 menit dan suhu normal setelah 60 menit. Selimut tebal 2 lapis menunjukkan nadi stabil

setelah 20 menit dan suhu setelah 50 menit. Hasil uji statistik t-test dua sampel bebas ada perbedaan

signifikan dalam pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis pada subvariabel nadi sedangkan tidak ada

perbedaan signifikan dalam pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis pada subvariabel suhu.

Rekomendasi peneliti selanjutnya dapat melakukan tindakan pencegahan terjadinya kejadian

menggigil dengan memberikan selimut 2 lapis yang dihangatkan terlebih dahulu untuk diberikan

pada tubuh pasien.

Kata Kunci : Selimut, Hemodinamik Pasien Post Op Seksio Sesarea, Anestesi Spinal Subarachnoid

1. PENDAHULUAN

Proses persalinan dengan metode seksio sesarea memiliki resiko yang dapat

membahayakan ibu dan janin, salah satu resikonya adalah perubahan hemodinamik

dalam tubuh ibu sebagai pengaruh penggunaan anestesi dalam operasi seksio

sesarea (Puryana, M.D, 2013).

Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi

umum dan anestesi regional. Teknik anestesi yang lazim digunakan dalam seksio

sesarea adalah anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung

dengan sikap mental pasien. Anestesi spinal aman untuk janin, namun selalu

kemungkinan bahwa tekanan darah pasien menurun dan menimbulkan efek

samping yang berbahaya bagi ibu dan janin (Hardiyanto I.T, 2006). Anestesi spinal

merupakan teknik anestesi regional yaitu anestesi spinal subarachnoid dan anestesi

spinal epidural. Anestesi spinal adalah suatu cara untuk menghilangkan sensasi

motorik dengan jalan memasukkan obat anestesi ke ruang subarachnoid. Pada

tindakan anestesi spinal terjadi blok pada system simpatis sehingga terjadi

vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke

perifer, hal ini akan menyebabkan hipotermi (Fauzi, N.A dkk, 2015).

Page 179: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 169 | 231

Hipotermi diterapi dengan alat penghangat udara, lampu hangat atau selimut

dan obat-obatan untuk meningkatkan suhu tubuh ke normal. Pada pasien seksio

sesarea selama berada di RR biasanya perawat memberikan selimut dan mengukur

status hemodinamik. Penggunaan selimut sangat diajurkan pada pasien-pasien pasca

operasi dengan menggunakan segala jenis anestesi yang bertujuan menstabilkan

status hemodinamik pasien. Menurut Mary Frances D. Pate (2005) dalam Puryana

M.D, (2013), memberikan selimut pada pasien yang menggigil akan meningkatkan

suhu tubuh, sehingga menyebabkan peningkatan metabolisme dan peningkatan

fungsi sirkulasi serta pernapasan klien. Menggigil yang hebat dapat menyebabkan

kenaikan konsumsi oksigen, produksi CO2, dan curah jantung (Iswandi, A., 2014).

Dampak dari menggigil meliputi meningkatkan metabolise, peningkatan

aktivitas otot yang memproduksi panas sampai 600% diatas tingkat normal,

meningktakan 2-3 kali lipat konsumsi oksigen dan produksi CO2 (Brunner &

Sudarth, 2002). Menggigil juga dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea

(Dobson, 1994 dalam Sugianto, F.J. 2013) dan juga dapat menimbulkan

peningkatan curah jantung, denyut nadi dan tekanan darah, penurunan saturasi

oksigen darah, asidosis karena metabolisme anaerobic dari otot yang kekurangan

oksigen dan ketidaknyamanan pasien (Aitkenhead, 2001 dalam Sugianto, F.J.

2013).

Post Anesthetic Shivering (PAS) atau kejadian menggigil pasca anestesi

dilaporkan sekitar 33-56,7% pada pasien yang menjalani anestesi spinal. Menurut

Goodman (2006) anestesi spinal dapat mengganggu thermoregulatori kontrol

dengan menggigil terkait yang dilaporkan hingga 64% dari kasus. Pada proses

pemulihan fisiologis tubuh memerlukan suhu yang hangat untuk mengurangi

perubahan status hemodinamik. Menurut Potter (2005) suhu lingkungan yang teralu

dingin atau terlalu panas dapat mempengaruhi status hemodinamik, oleh karena itu

perawat memberikan selimut pada pasien pasca operasi dengan anestesi spinal dan

mengukur hemodinamiknya di ruang RR karena anestesi tersebut juga dapat

memperberat status hemodinamik pasien.

Monitoring hemodinamik merupakan suatu metode pengukuran terhadap

system kardiovaskuler secara invasive dan non invasive. Pemantauan dapat

memberikan informasi mengenai jumlah darah dalam tubuh, keadaan pembuluh

darah dan kemampuan jantung dalam memompa darah. Pemantauan hemodinamik

bertujuan untuk mengenali dan mengevaluasi perubahan-perubahan fisiologis

hemodinamik pada saat yang tepat, agar segera dilakukan terapi koreksi. Parameter

yang digunakan untuk menilai pemantauan hemodinamik yang ada di bed site

monitor dan berlangsung secara continue diantaranya adalah pengukuran tanda-

tanda vital seperti, monitoring suhu tubuh, tekanan darah, respirasi, saturasi oksigen

(Zakiyah S., 2013). Salah satu cara menstabilkan hemodinamik pasien pasca bedah

dengan menggunakan selimut tebal.

Hasil dari penelitian Sugianto, F.J. 2013 Pengaruh Pemberian Selimut

Elektrik Suhu 380C Selama TUR-P dengan SAB terhadap Kejadian Menggigil

Page 180: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 170 | 231

Pasca Bedah di RS Aisyiyah Bojonegoro bahwa proses kehilangan panas tubuh

terjadi pada jam pertama saat operasi, hal tersebut bisa menyebabkan penderita

hipotermi. Menghangatkan penderita selama pembedahan dapat meningkatkan suhu

>96,80F (360C) sehingga dapat membantu pemulihan dengan mengurangi faktor

resiko dan menurunkan angka komplikasi.

Hasil penelitian oleh Minarsih R., (2013) menunjukkan bahwa pada saat

sebelum menggunakan selimut hingga 30 menit pasca perlakuan (pemakaian

selimut) semua responden (100%) mengalami gejala hipotermi. Pada 60 menit

pasca intervensi hampir seluruh responden (92,3%) tetapi mengalami hipotermia,

dan hanya 7,7% responden yang suhu tubuhnya menjadi normal. Gejala hipotermi

pada pasien pasca bedah memang lazim terjadi, karena pengaruh suhu lingkungan

kamar operasi yang dingin, atau efek dari insisi operasi yang luas sehingga kulit

tidak dapat mempertahankan keluarnya panas tubuh.

Setelah dilakukan studi pendahuluan diketahui jumlah pasien operasi SCTP

(seksio sesarea transperitoneal) di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar

selama 3 bulan terakhir adalah 60 pasien dengan suhu Hipotermi 35-360C. Peneliti

mengambil sampel penelitian 20 orang pasien dengan pembagian 10 pasien untuk

kelompok selimut I dan 10 pasien untuk kelompok selimut II. Jadi jumlah

keseluruhan sampel dalam penelitian ini adalah 20 pasien.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti ingin mengetahui apakah

ada perbedaan pemakaian selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien post op.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang perbedaan pemakaian

selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien post op seksio sesarea dengan

anestesi spinal subarachnoid di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar.

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan pemakaian selimut terhadap

perubahan hemodinamik pasien post op seksio sesarea dengan anestesi spinal

subarachnoid di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar.

2. METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah Pre Eksperimental Design atau

disebut juga Quasi Eksperiment. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah

posttest only design. Dalam rancangan ini perlakuan atau intervensi telah dilakukan

(X), kemudian dilakukan pengukuran (observasi) atau posttest (Y). Rancangan ini

sering disebut The One Shot Case Study.

Tabel Desain Penelitian :

Subjek Perlakuan Post test

X1 10 responden Y1

X2 10 responden Y2

Penelitian ini meneliti tentang Perbedaan Pemakaian 1 Lapis Selimut dan 2

Lapis Selimut terhadap Perubahan Hemodinamik Pasien Post Op Seksio Sesarea

Page 181: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 171 | 231

dengan Anestesi Spinal Subarachnoid di Ruang Recovery Room RSUD Mardi

Waluyo Blitar.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien pasca operasi seksio

sesarea dengan anestesi spinal di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar

selama 3 bulan terakhir adalah 60 pasien dengan suhu Hipotermi 35-360C. Peneliti

mengambil sampel penelitian 20 orang pasien dengan pembagian 10 pasien untuk

kelompok selimut I dan 10 pasien untuk kelompok selimut II. Dengan kriteria

inklusi yaitu pasien pasca operasi seksio sesarea setelah berada di ruang recovery

room, pasien dengan anestesi SAB jenis obat Bupivakain, dan bersedia menjadi

responden, sedangkan untuk kriteria eksklusinya yaitu pasien seksio sesarea dengan

gangguan jantung/kelaianan darah dan pasien dengan anestesi General Anestesi.

Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah Quota Sampling.

Setelah dilakukan studi pendahuluan diketahui jumlah sampel dalam penelitian ini

adalah 20 pasien post operasi SCTP (seksio sesarea transperitoneal) di ruang

recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar.

Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian selimut tebal, sedangkan

variabel terikat dalam penelitian ini adalah hemodinamik (frekuensi nadi dan suhu

Lokasi dan waktu penelitian dilaksanakan di ruang recovery room RSUD

Mardi Waluyo Blitar pada bulan 1 – 18 Juni 2016.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan desain perlakuan berbeda yaitu

pada kelompok selimut I perlakuan akan diberi intervensi berupa penggunaan 1

selimut tebal dengan cara diselimutkan mulai leher sampai kaki tertutup selama 60

menit, sedangkan pada kelompok selimut II perlakuan akan diberi intervensi berupa

penggunaan 2 selimut tebal dengan cara diselimutkan mulai leher sampai kaki

tertutup selama 60 menit akan sama-sama dilakukan pengukuran frekuensi nadi dan

suhu tubuh lalu kedua hasil akhirnya dibandingkan. Pengumpulan data adalah

dengan menggunakan teknik observasi, dengan menggunakan instrumen lembar

observasi dan SOP (Standart Operasional Prosedur).

Data yang terkumpul akan diolah & dianalisis secara deskriptif dan analitik

Analisis deskriptif : dilakukan setelah data terkumpul pd kelompok selimut 1 lapis

dan selimut 2 lapis setelah dilakukan pemberian selimut tebal dari hasil pengukuran

nadi dan suhu lalu hasilnya dibandingkan, selanjutnya kedua data dianalisa.

Analisis Analitik :Sebelum dilakukan analisa, data akan diperiksa kelengkapannya,

dan selanjutnya dilakukan koding serta tabulasi. Uji yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah T-Test untuk 2 Sampel Bebas. T-Test untuk 2 Sampel Bebas

yaitu uji statistic parametric yang digunakan untuk menguji perbedaan dari data

independen (sampel bebas). Uji statistic T-Test untuk 2 Sampel Bebas ini akan

digunakan untuk menganalisa perbandingan data post-test pada kelompok selimut 1

lapis dan kelompok selimut 2 lapis.

Kedua uji parametric tersebut akan diolah dengan menggunakan program SPSS

for Windows dengan tingkat siginifikansi α = 0,05. Pada T-Test untuk 2 Sampel

Bebas (Independent Sample Test) jika nilai signifikansi < α maka Ho ditolak yang

Page 182: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 172 | 231

dalam hal ini ada perbedaan pemberian selimut tebal terhadap perubahan

hemodinamik..

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Data Umum Responden

1. Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosa Medis

Distribusi frekuensi responden berdasarkan diagnosa medis di RSUD Mardi

Waluyo Blitar tahun 2016. paling banyak diagnosa medis responden pada penelitian

ini G1 P0000 Ab000 sebanyak 35% (7 orang).

2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di RSUD Mardi Waluyo

Blitar tahun 2016 didapatkan bahwa responden dalam penelitian paling berumur 35

tahun sebanyak 3 orang.

3. Distribusi Responden Berdasarkan Indikasi SC

Distribusi frekuensi responden berdasarkan Indikasi SC di RSUD Mardi

Waluyo Blitar tahun 2016. didapatkan bahwa Indikasi SC responden paling banyak

dalam penelitian ini KPD sebanyak 30% (6 orang) & letak sungsang 30% (6 orang).

4. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat SC

Distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat SC di RSUD Mardi

Waluyo Blitar tahun 2016 didapatkan riwayat SC dalam penelitian ini sebanyak

70% (14 orang) responden tidak mempunyai riwayat SC

5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di RSUD Mardi

Waluyo Blitar tahun 2016. responden terbanyak dalam penelitian ini mempunyai

riwayat pendidikan SMA sebanyak 65% (13 orang).

6. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di RSUD Mardi

Waluyo Blitar tahun 2016. didapatkan bahwa paling banyak pekerjaan responden

dalam penelitian ini sebagai IRT sebanyak 50% (10 orang).

7. Distribusi Responden Berdasarkan Tekanan Darah

Distribusi frekuensi responden berdasarkan rata-rata perubahan tekanan darah

pada selimut 1 lapis dan 2 lapis selama 60 menit tekanan darah di RSUD Mardi

Waluyo Blitar tahun 2016 diperoleh rata-rata perubahan tekanan darah responden

dengan perlakuan selimut 1 lapis mencapai normal mulai 10 menit ke-5 yaitu

114/71 mmHg, untuk selimut 2 lapis menunjukkan perubahan yang stabil mulai 10

menit ke-2 yaitu 102/66 mmHg.

8. Distribusi Responden Berdasarkan MAP

Distribusi frekuensi responden berdasarkan rata-rata perubahan MAP pada

selimut 1 lapis dan 2 lapis selama 60 menit tekanan darah di RSUD Mardi Waluyo

Blitar tahun 2016 diketahui bahwa rata-rata perubahan MAP pada selimut 1 lapis

selama 60 menit termasuk kategori normal mulai 10 menit ke-4 yaitu 82.97 mmHg,

Page 183: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 173 | 231

untuk selimut 2 lapis menunjukkan mencapai perubahan yang stabil mulai 10 menit

ke-2 yaitu 77.97 mmHg.

b. Data Khusus

Data khusus menyajikan tentang perubahan hemodinamik (Nadi dan

Suhu) pasien post op seksio sesarea dengan selimut 1 lapis selama 60 menit dan

selimut 2 lapis selama 60 menit di ruang recovery room RSUD Mardi Waluyo

Blitar.

1. Nadi pada selimut 1 lapis dan selimut 2 lapis selama 60 menit

Berdasarkan hasil identifikasi perubahan nadi pada selimut 1 lapis dan

selimut 2 lapis selama 60 menit pada pasien post op seksio sesarea di ruang

recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar didapatkan hasil berikut:

Diketahui bahwa rata-rata perubahan nadi pada selimut 1 lapis selama 60

menit termasuk kategori normal

pada 10 menit ke-1 yaitu 69x/menit,

pada 10 menit ke-2 yaitu 71x/menit,

pada 10 menit ke-3 yaitu 74x/menit,

pada 10 menit ke-4 yaitu 74x/menit,

pada 10 menit ke-5 yaitu 75x/menit,

pada 10 menit ke-6 yaitu 76x/menit.

Sedangkan rata-rata perubahan nadi pada selimut 2 lapis selama 60 menit

termasuk kategori normal

pada 10 menit ke-1 yaitu 76x/menit,

pada 10 menit ke-2 yaitu 78x/menit,

pada 10 menit ke-3 yaitu 79x/menit,

pada 10 menit ke-4 yaitu 82x/menit,

pada 10 menit ke-5 yaitu 83x/menit,

pada 10 menit ke-6 yaitu 83x/menit.

2. Suhu pada selimut 1 lapis dan selimut 2 lapis selama 60 menit

Berdasarkan hasil identifikasi perubahan suhu pada selimut 1 lapisdan

selimut 2 lapis selama 60 menit pada pasien post op seksio sesarea di ruang

recovery room RSUD Mardi Waluyo Blitar sebagai berikut:

Diketahui bahwa rata-rata perubahan suhu pada selimut 1 lapis selama 60

menit yaitu

Pada 10 menit ke-1 yaitu 35.80C,

pada 10 menit ke-2 yaitu 35.90C,

pada 10 menit ke-3 yaitu 360C,

pada 10 menit ke-4 yaitu 36.20C,

pada 10 menit ke-5 yaitu 36.40C,

pada 10 menit ke-6 yaitu 36.50C.

Page 184: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 174 | 231

Suhu pada selimut 1 lapis mencapai normal pada 10 menit ke-6 yaitu

36.50C.

Sedangkan rata-rata perubahan suhu pada selimut 2 lapis selama 60 menit

yaitu

Pada 10 menit ke-1 yaitu 35.70C,

pada 10 menit ke-2 yaitu 35.90C,

pada 10 menit ke-3 yaitu 36.20C,

pada 10 menit ke-4 yaitu 36.30C,

pada 10 menit ke-5 yaitu 36.50C,

pada 10 menit ke-6 yaitu 36.70C.

Suhu pada selimut 2 lapis mencapai normal pada 10 menit ke-5 yaitu 36.50C.

3. Nilai uji beda pemakaian selimut 1 lapis dan selimut 2 lapis selama 60 menit

pada nadi dan suhu

Berdasarkan hasil dari uji statistik T-Test Independent Samples Test, nilai

Sig. (2-tailed) untuk sub variabel nadi (0.001). Karena Sig. (2-tailed) p <0,05 maka

H1 diterima. Hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan dalam pemakaian selimut

1 lapis dan 2 lapis terhadap perubahan hemodinamik untuk sub variabel nadi.

Sedangkan nilai Sig. (2-tailed) untuk sub variabel suhu (0.670). Karena Sig. (2-

tailed) p >0,05 maka H1 ditolak tidak ada perbedaan yang signifikan dalam

pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis terhadap perubahan hemodinamik untuk sub

variabel suhu.

Pembahasan

1. Perubahan nadi dan suhu dengan selimut tebal 1 lapis selama 60 menit

Berdasarkan hasil penelitian rata-rata perubahan nadi selimut 1 lapis

mencapai perubahan yang stabil mulai 10 menit ke-5. Menurut Tanjung M.I, (2014)

bahwa Denyut nadi normal untuk orang dewasa adalah 60-100x/menit. Hal ini

sesuai dengan perubahan nadi pada 10 menit ke-5 yaitu 75x/menit untuk selimut 1

lapis. Tekanan nadi merupakan perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik.

Berkurangnya kelenturan seperti terjadi pada proses penuaan, menyebabkan

peningkatan nadi (Aninda R. 2014). Hal ini sesuai dengan data umum pasien yaitu

sebanyak 3 orang berumur 35 tahun.

Menurut Said dkk, (2009) bahwa menggigil dapat berdampak pada

perubahan hemodinamik yaitu terjadinya peningkatan denyut jantung dan

peningkatan tekanan darah. Dengan meningkatkan denyut jantung diharapkan dapat

meningkatkan laju metabolisme tubuh sehingga dapat meningkatkan panas tubuh

yang pada akhirnya akan berdampak pada kestabilan hemodinamik.

Berdasarkan hasil penelitian rata-rata perubahan suhu pada selimut 1 lapis

selama 60 menit yaitu Suhu pada selimut 1 lapis mencapai normal pada 10 menit

ke-6 yaitu 36.50C.

Page 185: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 175 | 231

Pada anestesi spinal terjadi blok system syaraf simpatis sehingga terjadi

vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke

perifer, hal ini yang menyebabkan hipotermia. Penyebab terjadinya hipotermia pada

anestesi spinal yaitu redistribusi panas inti dari kompartemen sentral ke perifer,

hilangnya termoregulasi vasokonstriksi dibawah blok serta berubahnya nilai

ambang vasokonstriksi dan nilai ambang menggigil. Menurut Mary Frances D. Pate

(2005) dalam Puryana M.D, (2013), memberikan selimut pada pasien yang

menggigil akan meningkatkan suhu tubuh, sehingga menyebabkan peningkatan

metabolisme dan peningkatan fungsi sirkulasi serta pernapasan klien

Pendapat penulis yaitu dengan pemberian selimut 1 lapis, panas didalam

tubuh diharapkan tidak hilang serta tubuh tidak terpapar udara dingin dari luar,

tubuh menggigil saat pengaruh anestesi tersebut akan menghilang dan dengan

menggigil tersebut akan meningkatkan suhu tubuh. Karena adanya redistribusi

panas inti dari kompartemen sentral ke perifer maka akan terjadi hipotermia untuk

meningkatkan temperature inti tubuh berupa menggigil.

2. Perubahan nadi dan suhu dengan selimut tebal 2 lapis selama 60 menit

Berdasarkan hasil penelitian rata-rata perubahan nadi untuk selimut 2 lapis

menunjukkan perubahan yang stabil mulai 10 menit ke-2 yaitu 78x/menit. Pendapat

penulis yaitu dengan pemberian selimut akan terjadi peningkatan laju metabolisme

tubuh dan denyut jantung juga meningkat sehingga nadi akan berubah sebagai

defent mekanisme dari jantung. Hal ini terlihat pada perbedaan kedua selimut yaitu

selimut 2 lapis lebih cepat mencapai nilai stabil.

Menggigil juga dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea (Dobson,

1994 dalam Sugianto, F.J. 2013) dan juga dapat menimbulkan peningkatan curah

jantung, denyut nadi dan tekanan darah, penurunan saturasi oksigen darah, asidosis

karena metabolisme anaerobic dari otot yang kekurangan oksigen dan

ketidaknyamanan pasien (Aitkenhead, 2001 dalam Sugianto, F.J. 2013).

Suhu pada selimut 2 lapis mencapai normal pada 10 menit ke-5 yaitu

36.50C. Hal ini sesuai dengan teori Tanjung M.I, (2014) bahwa suhu dewasa normal

antara 36,5°C dan 37,5°C dan teori Martha & Patricia, (2001), yaitu selimut dengan

ketebalan 0,3 – 0,5 inchi dapat memberikan kehangatan pada permukaan kulit 36 0C

– 36,5 0C.

Tindakan penghangatan akan meningkatkan suhu tubuh rata-rata dengan

meningkatkan kandungan energi pada kompartemen suhu perifer tubuh. Untuk

mencegah hipotermia, maka keseimbangan bobot panas tubuh harus terjaga melalui

keseimbangan antara pengeluaran panas dan produksi, baik melalui proses

metabolisme tubuh sendiri atau sumber panas yang berasal dari lingkungan

eksternal (HarahapA M,, dkk , 2014).

Pendapat penulis yaitu dengan pemberian selimut, panas dalam tubuh

diharapkan tidak hilang dan tidak terpapar udara dingin dari luar, tubuh menggigil

saat pengaruh anestesi tersebut akan menghilang dan dengan menggigil tersebut

Page 186: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 176 | 231

akan meningkatkan suhu tubuh. Hal ini terlihat pada perbedaan kedua selimut yaitu

selimut 2 lapis lebih cepat mencapai nilai normal.

3. Menganalisis uji beda pemakaian selimut terhadap perubahan nadi dan

suhu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di recovery room di RSUD

Mardi Waluyo Blitar dengan menggunakan uji statistik T-Test Independent Samples

Test menunjukkan bahwa nilai p = 0.670 (p >0,05) pada suhu artinya tidak ada

perbedaan signifikan pemakaian selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien

post op seksio sesarea dengan anestesi spinal subarachnoid. Sedangkan pada nadi

menunjukkan bahwa nilai p = 0.001 (p <0,05) hal ini berarti ada perbedaan

signifikan pemakaian selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien post op

seksio sesarea dengan anestesi spinal subarachnoid.

Hasil dari uji statistik T-Test Independent Samples Test menunjukkan tidak ada

perbedaan signifikan pemakaian selimut terhadap perubahan hemodinamik pasien

post op seksio sesarea dengan anestesi spinal subarachnoid pada sub variabel suhu

dan nadi namun saat observasi terlihat perbedaan yang terjadi pada perubahan suhu

dan nadi. Hal ini dikarenakan perubahan nilai yang kecil tidak begitu berpengaruh

pada uji statistik sehingga hasilnya tidak ada perbedaan pemakaian selimut terhadap

perubahan hemodinamik pasien post op seksio sesarea dengan anestesi spinal

subarachnoid.

4. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian “Perbedaan Pemakaian Selimut Terhadap Perubahan

Hemodinamik Pasien Post Op Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal

Subarachnoid Di Ruang Recovery Room RSUD Mardi Waluyo Blitar” yang telah

dilaksanakan pada tanggal 1 – 18 Juni 2016 didapatkan kesimpulan :

1. Hemodinamik pada pasien post op seksio yang diberikan selimut tebal 1 lapis

menunjukkan Nadi stabil setelah 50 menit dan Suhu normal setelah 60 menit

2. Hemodinamik pada pasien post op seksio yang diberikan selimut tebal 2 lapis

menunjukkan Nadi stabil setelah 20 menit dan Suhu setelah 50 menit.

3. Ada perbedaan yang signifikan dalam pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis

terhadap perubahan hemodinamik pada sub variabel nadi (0.001) sedangkan

tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pemakaian selimut 1 lapis dan 2 lapis

terhadap perubahan hemodinamik pada sub variabel suhu (0.670).

Page 187: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 177 | 231

5. DAFTAR PUSTAKA

Andriani, D. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Seksio Sesarea di

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Dompu Tahun 2010. Universitas

Indonesia. Skripsi

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka

Cipta.

Bhattacharya. 2003 (http://wisuda.unud.ac.id/pdf1114108103-3-BAB%20II.pdf)

diakses tanggal 10 Desember 2015.

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Ed8, Vol 1,2,3.

Jakarta : EGC

Butterworth. 2004. (http://wisuda.unud.ac.id/pdf1114108103-3-BAB%20II.pdf)

diakses tanggal 10 Desember 2015.

Covino et al. 1994. (http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile80868potonganS2-

2015-322170-chapter1.pdf) diakses tanggal 3 Nopember 2015

Cunningham & Gant. 2011. Dasar-dasar Ginekologi & Obstetri. Alih bahasa dr.

Brahm U. Pendit. Jakarta : EGC

Fauzi, N.A dkk, 2015. Gambaran Kejadian Menggigil (Shivering) pada Pasien

dengan Tindakan Operasi yang Menggunakan Anestesi Spinal di RSUD

Karawang Periode Juni 2014. Prosiding Pendidikan Dokter Universitas

Islam Bandung. Journal

Gilman & Goodman. 2006. Dasar Farmakologi Terapi. Volume 1. Jakarta: EGC

Hardiyanto, I.T. 2006. Pengaruh Anestesi Spinal terhadap

Hemodinamik pada Penderita dengan Seksio Sesarea. Journal

Ibnu Fajar, dkk. 2009. Statistika untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu

Iswandi, A. 2014. Perawatan Pasca Anestesi. Diakses tanggal 21 Nopember 2015

Martha & Patricia. 2001. Critical Care Nursing Of Infants and Children Second

Edition. W.B. Saunders Company : New York

Minarsih, R. 2013. Efektifitas Pemberian Elemen Penghangat Cairan Intravena

dalam Menurunkan Gejala Hipotermi Pasca Bedah. Perawat Rumah Sakit

Umum Daerah Kepanjen Kabupaten Malang. Journal

Morgan. 2006. (http://wisuda.unud.ac.id/pdf1114108103-3-BAB%20II.pdf) diakses

tanggal 10 Desember 2015.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Novara, Tendi. 2009. Perbandingan Antara Laktat Hipertonik dan NaCl 0,9%

sebagai Cairan Pengganti Perdarahan pada Bedah Caesar: Kajian

terhadap Hemodinamik, dan Strong Ions Difference. Universitas

Diponegoro Semarang. Tesis.

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika.

Puryana, M.D. 2013. Bab II Tinjaun Pustaka Seksio Sesarea. diakses tanggal 21

Nopember 2015. Journal

Page 188: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 178 | 231

Riezky, D.E. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat dengan Tindakan

Keperawatan pada Pasien Pasca Operasi dengan “General Aenesthesia” di

Ruang Pemulihan IBS RSD dr. Soebandi Jember. Universitas Jember.

Skripsi.

Setiadi. 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:

Graha Ilmu

Sugianto, Farida Juanita. 2013. Pengaruh Pemberian Selimut Elektrik Suhu 380C

Selama TUR-P dengan SAB Terhadap Kejadian Menggigil Pasca Bedah di

RS Aisyiyah Bojonegoro. Journal

Syifa, Z. 2013. Pengaruh Mobilisasi Progresif Level I Terhadap Resiko dekubitus

dan perubahan saturasi oksigen Pada pasien Kritis terpasang Ventilator

Diruang ICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Peneltian keperawatan. Tesis.

Tampubolon, T.R.A. 2015. Profil Nyeri dan Perubahan Hemodinamik pada Pasien

Pasca Bedah Seksio Sesarea dengan Analgetik Petidin. Fakultas Kedokteran

Universitas Sam Ratulangi Manado. Skripsi

Tanjung, MI. 2014. Bab II Tinjaun Pustaka Hemodinamik. Universitas Sumatera

Utara diakses tanggal 21 Nopember 2015. Journal

Page 189: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 179 | 231

HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PEMBERIAN

POSISI BEDAH DENGAN KETEPATAN PELAKSANAAN

STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) PEMBERIAN POSISI

BEDAH DI KAMAR OPERASI RUMAH SAKIT LAVALETTE

MALANG

Susi Milwati Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Malang

Jl. Jl. Besar Ijen No. 77 C Malang

email: [email protected]

Abstrak

Pemberian posisi bedah secara tepat merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam pembedahan

sehingga diperlukan pengetahuan dan ketrampilan perawat perioperatif tentang pemberian posisi

bedah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat dengan

ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette

Malang. Desain penelitian mengunakan metode korelasi dengan jumlah responden penelitian 17

orang. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk data pengetahuan dan observasi

chek-list untuk data ketepatan pelaksanaan SOP. Analisa bivariate menggunakan uji

spearmen.Penyajian hasil data dalam bentuk diagram, tabel dan narasi. Hasil pengetahuan

didapatkan 11 responden pengetahuan cukup. Hasil observasi didapatkan 15 reponden tidak tepat

untuk posisi bedah supine, 8 responden tidak tepat untuk posisi bedah litotomi,2 responden tepat

untuk posisi bedah lateral,2 responden tidak tepat untuk posisi bedah prone. Hasil uji stastistik

didapatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat dengan ketepatan

pelaksanaan SOP pemberian posisi bedahsupine dengan nilai P=0,270,tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi

bedahlitotomi dengan nilai P=-0,386,tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan

perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi bedah Prone dengan nilai P=0,577.

Rekomendasi penelitian untuk Rumah Sakit Lavalette adalah agar mensosialisasikan, mengevaluasi

pelaksanaan SOPdan diadakan pelatihan pemberian posisi bedah bagi perawat kamar operasi.

Rekomendasi riset selanjutnya adalah dapat melakukan penelitian Hubungan Pengetahuan Perawat

Tentang Pemberian Posisi Bedah Dengan Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure

(SOP) Pemberian Posisi Bedah Di Rumah Sakit yang lain.

Kata Kunci: Pengetahuan, PelaksanaanStandard Operating Procedure (SOP)

1. PENDAHULUAN

Bedah merupakan salah satu bentuk terapi medis. Tindakan bedahadalah

ancaman potensial atau aktual kepada integritas orang, dapat membangkitkan reaksi

stres baik fisiologi maupun psikologis (Barbara C Long, 1996). Pembedahan

dilakukan terhadap berbagai bagian tubuh manusia. Hal ini mengharuskan tubuh

diletakkan dalam berbagai konfigurasi sehingga prosedur yang diperlukan dapat

dilakukan dengan akurat dan efisien. Pemberian posisi pada pasien operasi secara

tepat merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam usatu pembedahan.

Menurut AORN (Assosiacion of Operating Room Nurse), bebas cidera yang

berkaitan dengan posisi adalah bagian dari hasil pembedahan yang diharapkan.

AORN Standard and Recommended Practicis (1994) menetapkan pemberian posisi

klien sebagai aktifitas keperawatan perioperatif dalam praktek keperawatan

Page 190: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 180 | 231

perioperatif. Adapun tujuan diberikan posisi bedah pada pasien adalah agar pasien

terbebas dari tekanan, gesekan dan geseran. ketiga hal tersebut merupakan gaya

eksternal yang dapat menimbulkan efek samping (Barbara J,2006).

Pada dasarnya prosedur operasi dilakukan lima posisi dasar dan

modifkasinya yaitu posisi supine, duduk, lateral, litotomi, prone. Kesalahan serius

pada saat pemberian posisi dapat menimbulkan masalah yang berkepanjangan atau

bahkan permanen . Posisi terlentang (supine), yang mungkin merupakan posisi

tersering bagi klien bedah, diperkirakan lebih sering menimbulkan ulkus

dibandingkan posisi lain (Foster et al., 1979).

Komplikasi dari posisi prone salah satunya pada mata. Pada beberapa tahun

terakhir, penyebab kehilangan penglihatan postoperatif yang paling sering

dilaporkan adalah ischemic Optik Neuropaty (ION). Selain mata komplikasi lain

posisi prone yaitu cidera syaraf pada pasien pediatri terjadi pada 1% dari semua

klaim pasien pediatrik. Cidera saraf berjumlah 16% dari seluruh klaim anestesi.

(http://rezaanestesi.blogspot.com/2013/04/anestesi) tanggal 1 april 2010. Diakses

tanggal 15 0ktober 2015.

Beberapa komlikasi posisi litotomi telah dilaporkan , termasuk rasa terbakar

pada jari, low back pain (14%) pada pasien postoperasi , rhabdomiolisis, dan

peningkatan kreatinin kinase akibat kompresi otot betis dan iskemia. Neuropati

persisten dilaporkan terjadi pada 1 populasi pada pasien-pasien bedah yang

teranastesi. Prosedur yang lama (lebih dari 4 jam) menunjukkan hubungan yang

definitif. Setiap jam posisi litotomi meningkatkan resiko neuropati motorik 100 kali.

40% neuropati sciatik yang diisolasi berhubungan dengan operasi yang

menggunakan posisi litotomi, selain itu juga neuropati femoral dilaporkan dan

diduga merupakan hasil dari abduksi berlebihan dari paha dengan rotasi eksternal

pada panggul sehingga menyebabkan iskemik pada nervus femoralis karena terlipat

pada ligamentum inguinal.(http://rezaanestesi.blogspot.com/2013/04/anestesi)

tanggal, 1 april 2010. Diakses tgl,15 oktober 2015.

Perawat perioperatif adalah manajer utama dalam pemberian posisi klien.

Diperlukan waktu dan pemikirian sebelum melakukan pemberian posisi, perawat

perioperatif harus mengetahui kemungkinan adanya masalah, sekalipun posisi klien

sederhana. Persoalan kunci dalam pemberian posisi klien bedah adalah pencegahan

cedera, terutama yang disebabkan oleh tekanan. Pencegahan mencakup pengenalan

potensi masalah dan kemudian perencanaan serta intervensi untuk memastikan

bahwa situasi masalah tidak terjadi (Barbara J,2006).

Dari studi pendahulan yang dilakukan pada bulan Desember 2015 di kamar

operasi Rumah Sakit lavalette, didapatkan data rata-rata jumlah operasi 210 per

bulan kasus tindakan pembedahan yang menggunakan posisi bedah terlentang

(supine) 187 pasien, posisi telungkup (prone) 2 pasien, posisi litotomi 15 pasien,

posisi menyamping (lateral) 6 pasien, posisi duduk tidak ada. Dari hasil wawancara

pada beberapa pasien postoperasi, pasien A herniotomy (posisi supine) 2 jam post

operasi pasien mengeluhkan tengkuknya terasa nyeri hal ini kemungkinan bantal

Page 191: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 181 | 231

yang digunakan terlalu tinggi saat operasi sehingga kepala dan leher tidak ditopang

dalam satu garis. Pasien B haemorhoidectomy (posisi litotomi) post operasi 1 hari

mengatakan nyeri pada selakangan, karena kemungkinan juga ini dapat disebabkan

karena postur yang tidak alami atau abduksi yang berlebihan saat operasi. Pasien C

pyelolithotomy (posisi lateral) post operasi 1 hari mengatakan lengannya terasa

nyeri ini kemungkinan juga disebabkan karena lengan pada posisi tidak fisiologis

dan tidak mendapat topangan yang adekuat saat pembedahan. Demikian juga dari

hasil kuesioner 10 pertanyaan yang dibagikan pada 8 perawat kamar operasi

lavalette, didapatkan pada 5 dari 8 perawat dapat menjawab 6 pertanyaan benar

tentang posisi bedah ini kemungkinan karena kurangnya pengetahuan perawat

tentang pemberian posisi bedah dan hanya 3 dari 8 perawat dapat menjawab 9

pertanyaan dengan baik, dan tidak ada satupun perawat yang dapat menjawab benar

semua dari pertanyaan tentang pemberian posisi bedah.

Perawat perioperatif harus memiliki pengetahuan tentang ketrampilan

pemberian posisi, cara pencegahan cidera dan perlu mengkaji serta memikirkan

kembali berbagai prinsip, prosedur, dan dampak pemberian posisi klien bedah

dengan menggunakan proses keperawatan dalam perencanaan asuhan klien bedah.

Posisi bedah merupakan seni dan ilmu khusus dalam keperawatan perioperatif.

Dalam pemberian posisi bedah harus melakukan pemikiran rasional karena

pemberian posisi bedah merupakan suatu ilmu khusus dalam keperawatan

perioperatif ( Barbara J,2006).

Berdasarkan masalah tersebut diatas maka penting untuk dilakukan

penelitian tentang hubungan pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah

dengan ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) pemberian

posisi bedah di kamar operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat

tentang pemberian posisi bedahdengan ketepatan pelaksanaanStandard Operating

Procedure (SOP) pemberian posisi bedah di kamar operasi Rumah Sakit lavalette

Malang

2. METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah metode korelasi dengan

menggunakan pendekatanCross Sectional Study dimana peneliti mempelajari

hubungan antara variable pengetahuan dengan ketepatan pelaksanaan Standard

OperatingProcedure (SOP) pemberian posisi bedah pada waktu yang sama dengan

satu kali pengukuran.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat dikamar operasi Rumah

Sakit Lavalette Malang yang melakukan pemberian posisi bedah sebanyak 17

orang.

Page 192: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 182 | 231

Sampel dalam penelitian ini adalah semua perawat dikamar operasi Rumah

Sakit Lavalette Malang yang melakukan tindakan pemberian posisi bedah kecuali

kepala ruang kamar operasi Rumah Sakit Lavalette Malang sebanyak 17 orang.

Sampling

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan total sampling yaitu semua

perawat dikamar operasi Rumah Sakit lavalette Malang yang melakukan tindakan

pemberian posisi bedah sebanyak 17 orang.

Variabel Independen adalah pengetahuan perawat tentang pemberian posisi

bedah.

Variabel Dependent

Variabel Dependent adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2011). Variabel dependent adalah

ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi

bedah

Penelitian ini dilakukan dikamar operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.

Pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2016.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner

untuk variabel pengetahuan dan lembar observasi chek-list untuk variabel ketepatan

pelaksanaan pemberian posisi bedah.

Pengumpulan data penelitian ini adalah dengan cara memberikan kuesioner

Multiple choice kepada responden untuk mengetahui tingkat pengetahuan perawat.

Data ketepatan pelaksanaan Standard OperasionalProsedure (SOP) pemberian

posisi bedah dikumpulkan dengan cara melakukan observasi chek-list berpartisipan

dengan bantuan enumerator yang sebelumnya dilatih terlebih dahulu dan melakukan

persamaan persepsi tentang pemberian posisi bedah dimana responden tersebut

tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diobservasi.Jumlah SOP pemberian posisi

bedah ada 4 yaitu SOP pemberian posisi bedah posisi bedah menyamping (Lateral),

dan SOP pemberian posisi bedah telungkup (Prone). Dari 4 SOP terdiri dari 16 poin

pelaksanaan yang dinilai. Namun peneliti hanya meneliti 2 ketepatan pelaksanan

SOP posisi bedah yaitu yang pertama ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi

bedah terlentang (Supine) dan yang kedua yaitu satu dari tiga SOP posisi bedah

yang lain. Satu responden akan diobservasi 2 kali selama penelitian yg pertama

peneliti mengobservasi ketepatan pelaksanaan SOP posisi bedah terlentang (supine)

dan yg kedua peneliti mengobservasi salah satu dari tiga ketepatan pelaksanan SOP

posisi bedah yang lain.

Page 193: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 183 | 231

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.2 Data Umum

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Gambar 4.1 Diagram karakteristik responden berdasarkan usia perawat di

Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang bulan Mei 2016

Berdasarkan gambar 4.1 diatas didapatkan responden terbanyak berusia 30-

36 tahun yaitu 8 orang (47%).

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Gambar 4.2 Diagram karakteristik responden berdasarkan pendidikan di

Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang bulan Mei 2016.

Berdasarkan gambar 4.2 diatas diketahui bahwa pendidikan responden

terbanyak adalah D III Keperawatan yaitu 12 orang (70%).

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja

Didapatkan karakteristik masa kerja responden terbanyak lebih dari 10 tahun

yaitu 9 orang (53%)

4. Karakteristik Responden Pernah Mengikuti Pelatihan Perioperatif

Didapatkan responden yang pernah mengikuti pelatihan perioperatif yaitu 11

orang (65%) mengikuti seminar perioperatif yaitu semua responden 17

orang (100%)

4.1.3 Data Khusus

1. Distribusi Pengetahuan Responden

Didapatkan tingkat pengetahuan responden tentang pengetahuan pemberian

posisi bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette baik 6 responden (35%)

dan pengetahuan cukup 11 responden (65%)

Page 194: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 184 | 231

2. Distribusi Ketepatan Pelaksanaan

Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi bedah

a. Observasi ke 1 Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)

pemberian posisi bedah Supine

Didapatkan ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)

pemberian posisi bedah Supine di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette tepat

2 responden (12%) dan tidak tepat 15 responden (88%).

b. Observasi ke 2 Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)

pemberian posisi bedah litotomi, lateral, prone.

Pada observasi ke 2 ini tiap responden di observasi ketepatan pelaksanaan

Standard Operating Procedure (SOP) dari salah satu 3 posisi bedah yang lain

yaitu posisi bedah litotomi, lateral, prone

1) Ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) pemberian

posisi bedah litotomi

Didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan Standard Operating

Procedure (SOP) pemberian posisi bedah litotomi bahwa sebanyak 3

responden (27%) tepat dan 8 responden (73%) tidak tepat dari 11

responden yang melakukan pemberian posisi bedah supine.

2) Ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) posisi

bedah lateral

Didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan Standard Operating

Procedure (SOP) pemberian posisi bedah lateral bahwa sebanyak 2

responden (100%) tepat, dari 2 responden yang melakukan pemberian

posisi bedah lateral.

3) Ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) posisi

bedah prone

Didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan Standard Operating

Procedure (SOP) pemberian posisi bedah prone bahwa sebanyak 2

responden (50%) tepat dan 2 responden (50%) tidak tepat dari 4

responden.

3. Distribusi Silang Antara Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi

Bedah Dengan Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)

Pemberian Posisi Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.

Didapatkan responden pengetahuan baik tetapi ketepatan pelaksaan SOP tidak

tepat 6 responden dan pengetahuan cukup tetapi ketepatan pelaksanaan SOP

tidak tepat 9 responden.

a. Tabulasi Silang Pengetahuan Perawat Dengan Ketepatan Pelaksanaan SOP

Pemberian Posisi Bedah litotomi

Didapatkan responden pengetahuan baik tetapi ketepatan pelaksaan SOP tidak

tepat 1 responden dan pengetahuan cukup tetapi ketepatan pelaksanaan SOP

tidak tepat 7 responden.

Page 195: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 185 | 231

4.1.3.7 Pengetahuan Perawat Dengan Ketepatan Pelaksanaan SOP Pemberian Posisi

Bedah lateral

Didapatkan responden pengetahuan cukup dengan ketepatan pelaksanaan

SOP tepat 2 responden.

4.1.3.7 Pengetahuan Perawat Dengan Ketepatan Pelaksanaan SOP Pemberian Posisi

Bedah Prone

Didapatkan responden pengetahuan baik tetapi ketepatan pelaksaan SOP

tidak tepat 2 responden dan pengetahuan cukup tetapi ketepatan pelaksanaan

SOP tepat 1 responden.

4. Uji Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah

Dengan Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)

Pemberian Posisi Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.

a) Uji Hubungan Pengetahuan Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian

Posisi Bedah Supine Pada Observasi ke 1

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman, didapatkan

koefisiensi korelasi sebesar 0,270 dengan signifikansi sebesar 0,295. Nilai

signifikansi lebih besar dari α = 0,05, sehingga dari pengujian ini dapat

disimpulkan bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak ada Hubungan antara

pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah dengan ketepatan

pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah Supine

b) Uji Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah

Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian Posisi Bedah lainya

(litotomi, lateral, prone) Pada Observasi ke 2

1. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah

Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian Posisi Bedah litotomi.

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman,

didapatkan koefisiensi korelasi sebesar -0,386 dengan signifikansi

sebesar 0,241. Nilai signifikansi lebih besar dari α = 0,05, sehingga dari

pengujian ini dapat disimpulkan bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak

ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi

bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah

litotomi.

2. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah

Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian Posisi Bedah lateral.

Berdasarkan hasil analisis uji Spearman, tidak dapat diterapkan karena

jumlah responden yang melakukan pemberian posisi bedah lateral

hanya 2 orang disebabkan saat dilakukan penelitian hanya ada 2 kasus

bedah yang menggunakan posisi bedah lateral.

3. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah

Dengan Ketepatan Pelaksanaan SPO Pemberian Posisi Bedah prone.

Page 196: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 186 | 231

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman,

didapatkan koefisiensi korelasi sebesar 0,577 dengan signifikansi

sebesar 0,423. Nilai signifikansi lebih besar dari α = 0,05, sehingga dari

pengujian ini dapat disimpulkan bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak

ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi

bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah

prone.

Pembahasan

Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah di Kamar Operasi Rumah

Sakit Lavalette Malang.

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa pengetahuan perawat

pemberian posisi bedah dikategorikan baik 6 responden dan cukup 11 responden,

hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain masa kerja, pendidikan,

pelatihan dan seminar-seminar yang pernah diikuti.

Masa kerja responden yang mayoritas lebih dari 10 tahun dapat

mempengaruhi pengetahuan seseorang menjadi lebih baik, hal ini dikarenakan

seringnya responden melakukan tindakan yang berulang-ulang selama masa kerja.

Masa kerja yang lama memungkinkan juga responden belajar memperbaiki

pengetahuanya dari pengalamanya di masa lalu. Hal ini sangat sesuai dengan teori

Notoatmodjo (2010) yang mengungkapkan bahwa pengalaman merupakan sumber

pengetahuan, dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang

diperoleh dalam pemecahan masalah yang dihadapi pada masa lalu.

Mayoritas responden berpendidika D-III Keperawatan, hal ini dapat

berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang dimana pada saat duduk dibangku

pendidikan keperawatan responden telah mendapat ilmu mengenei pemberian posisi

bedah. Pendidikan formal merupakan wadah dalam menerima ilmu atau menerima

pengetahuan dimana pembelajaran di pendidikan tinggi di dapatkan pengetahuan

secara terperinci dan aplikatif. Menurut teori Nursalam (2003) mengungkapkan

bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang itu, maka semakin mudah ia

untuk memperoleh informasi.

Hampir semua responden telah mengikuti pelatihan perioperatif dan semua

responden telah mengikuti seminar-seminar perioperatif sehingga hal ini

menjadikan pengetahuan responden tentang pemberian posisi bedah menjadi baik.

Dengan mengikuti pelatihan dan seminar-seminar merupakan sarana untuk

menambah pengetahuan dan ketrampilan. Karena dalam pelatiahan tidak hanya

diberikan pengetahuan secara kognitif akan tetapi akan dibekali dengan

pengetahuan secara aplikatif. Sehingga responden yang telah mendapatkan

pelatihan dan mengikuti seminar-seminar akan mempunyai pengetahuan yang baik.

Dari kuesioner yang dikerjakan oleh 17 responden dengan 20 soal tentang

pengetahuan pemberian posisi bedah supine, litotomi, prone,lateral didapatkan

hanya 2 responden yang dapat menjawab benar soal materi tentang titik-titik

Page 197: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 187 | 231

tonjolan tulang yang harus diperhatikan, 4 responden yang dapat menjawab benar

soal materi tentang tiga gaya penyebab utama masalah dan cedera akibat kesalahan

pemberian posisi bedah, 5 responden yang dapat menjawab benar soal materi

modifikasi dari posisi bedah terlentang (supine), 6 responden yang dapat menjawab

benar soal materi standart bantalan yang digunakan dalam pemberian posisi bedah,

9 responden yang dapat menjawab benar soal materi factor-faktor yang

dipertimbangkan dalam pemberian posisi bedah, dan tidak ada satupun responden

yang dapat menjawab semua soal dengan benar.

Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure(SOP) Pemberian Posisi

Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang

1. Observasi ke 1 Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)

pemberian posisi bedah Supine

Berdasarkan data penelitian didapatkan hasil pada observasi yang ke 1

ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah Supine 2 responden tepat dan

15 responden tidak tepat. Hal ini disebabkan oleh banyak factor diantaranya belum

adanya sosialisasi dan evaluasi dari pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah

sebagai panduan dalam melakukan tindakan. Factor kebiasaan yang menganggap

bahwa posisi bedah supine posisi bedah yang mudah dilakukan tanpa mengikuti

SOP selama ini tidak menimbulkan komplikasi. Pendidikan, pelatiahan dan seminar

yang sudah lama membuat responden dalam melakukan tindakan hanya

berdasarkan paradigma responden, sehingga membentuk suatu keyakinan yang kuat

bahwa suatu tahapan yang dilakukan suatu kebenaran. Pada ketepatan pelaksanaan

pemberian posisi bedah supine banyak responden tidak melakukan secara berurutan

dengan benar, persiapan alat yang tidak lengkap, penggunaan sarana dan prasarana

yang tidak tepat dan kurangnya prasarana yang mendukung pelaksanaan pemberian

posisi bedah membuat hasil ketepatan pelaksanaan SOP pemberian posisi bedah

supnie tidak tepat. Hal ini sesuai dengan teori Nursalam (2003) yang

mengemukakan bahwa lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar

manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan prilaku

orang atau kelompok.

2. Observasi ke 2 Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)

pemberian posisi bedah Litotomi, Lateral, Prone

a) a). Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) Pemberian

Posisi Bedah Litotomi.

Dari ketiga posisi bedah litotomi, lateral, prone, posisi bedah litotomi lebih

sering dilakukan oleh responden dikarenakan jumlah operasi yang menggunakan

posisi bedah litotomi lebih banyak setelah posisi bedah supine di Kamar Operasi

Rumah Sakit Lavalette Malang. Berdasarkan penelitian didapatkan hasil penelitian

ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi

Page 198: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 188 | 231

bedah litotomi didapatkan sebanyak 3 responden tepat dan 8 responden tidak tepat

dari 11 responden yang melakukan pemberian posisi bedah litotomi. Hal ini dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya sosialisasi SOP sehingga dalam

melakukan pemberian posisi bedah berdasarkan kebiasaan sehari-hari. Penggunaan

sarana dan prasarana yang tidak tepat juga salah satu factor tidak tepatnya

pemberian posisi bedah litotomi. Faktor kebiasaan yang menganggap bahwa posisi

bedah litotomi merupaka posisi bedah yang mudah dilakukan tanpa mengikuti SOP

selama ini tidak menimbulkan komplikasi. Hal ini sesuai dengan teori Nursalam

(2003) yang mengemukakan bahwa lingkungan merupakan seluruh kondisi yang

ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan

dan prilaku orang atau kelompok.

b) Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) Pemberian

Posisi Bedah Lateral.

Berdasarkan penelitian didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan

Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi bedah lateral didapatkan

sebanyak 2 responden tepat dari 2 responden yang melakukan posisi bedah lateral.

Hal ini disebabkan karena responden menganggap operasi yang menggunakan

posisi bedah lateral waktunya cukup lama sehingga pasien harus ditempatkan posisi

yang senyaman mungkin. Sarana dan prasarana posisi bedah lateral yang digunakan

sudah sesuai dengan SOP. Namun untuk penelitian ketepatan pasisi bedah Lateral

ini tidak dapat dianalisis dengan menggunakan uji spearman dikarenakan jumlah

responden yang melakukan posisi bedah lateral terlalu sedikit yaitu hanya 2

responden.

c) Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP) Pemberian

Posisi Bedah Prone.

Berdasarkan penelitian didapatkan hasil penelitian ketepatan pelaksanaan

Standard Operating Procedure (SOP) pemberian posisi bedah prone didapatkan

sebanyak 2 responden tepat dan 2 responden tidak tepat dari 4 responden yang

melakukan pemberian posisi bedah prone. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu kurangnya sosialisasi SOP sehingga dalam melakukan pemberian

posisi bedah berdasarkan kebiasaan sehari-hari. Penggunaan sarana dan prasarana

yang tidak sesuai dengan yang diperlukan pemberian posisi bedah prone. Faktor

kebiasaan yang dilakukan tanpa mengikuti SOP selama ini tidak menimbulkan

komplikasi. Hal ini sesuai dengan teori Nursalam (2003) yang mengemukakan

bahwa lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan

pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan prilaku orang atau

kelompok.

Hubungan Antara Pengetahuan Perawat Dengan Ketepatan Pelaksanaan

SOP Pemberian Posisi Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.

Page 199: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 189 | 231

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Spearman didapatkan:

1) Hubungan pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian

posisi bedah Supine bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak ada Hubungan antara

pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah dengan ketepatan

pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah Supine.

2) Hubungan pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian

posisi bedah litotomi bahwa H1 = ditolak yang artinya tidak ada hubungan antara

pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah dengan ketepatan

pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah litotomi.

3) Hubungan pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian

posisi bedah lateral uji Spearman tidak dapat diterapkan karena jumlah

responden yang melakukan pemberian posisi bedah lateral hanya 2 orang

disebabkan saat dilakukan penelitian hanya ada 2 kasus bedah yang

menggunakan posisi bedah lateral.

Hubungan pengetahuan perawat dengan ketepatan pelaksanaan SOP pemberian

posisi bedah prone bahwa H1 = ditolak,yang artinya tidak ada hubungan antara

pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah dengan ketepatan

pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah prone.

4. KESIMPULAN

1. Pengetahuan perawat tentang pemberian posisi bedah yang mempunyai kreteria

baik sejumlah 6 responden (35%) dan yang cukup sejumlah 11responden (65%)

2. Dari hasil observasi didapatkan:

a. Hasil observasi pertama ketepatan pelaksanaan Standard Operating

Procedure (SOP)pemberian posisi bedah Supine yang tepat 2 responden

(12%) dan yang tidak tepat 15 responden (88%)

b. Hasil observasi kedua ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure

(SOP)pemberian posisi bedah lainya (litotomi, lateral, prone)

1) Pada observasi ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure

(SOP)pemberian posisi bedah litotomi didapatkan sebanyak 3 responden

(27%) tepatdan 8 responden (73%) tidak tepat dari 11 responden

2) Pada observasi ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure

(SOP)pemberian posisi bedah lateral dari 2 responden didapatkan sebanyak 2

responden (100%) tepat.

3) Pada observasi ketepatan pelaksanaan Standard Operating Procedure

(SOP)pemberian posisi bedah prone dari 4 responden didapatkan sebanyak 2

responden (50%) tepat dan 2 responden (50%) tidak tepat

3. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Pemberian Posisi Bedah Dengan

Ketepatan Pelaksanaan Standard Operating Procedure (SOP)Pemberian Posisi

Bedah di Kamar Operasi Rumah Sakit Lavalette Malang.

Page 200: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 190 | 231

a) Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi

bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah Supine

dengan nilaiP= 0,271.

b) Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi

bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah litotomi

dengan nilai P=-0,386

c) Tidak dapat diterapkan ujiSpearmen karena jumlah responden yang

melakukan pemberian posisi bedah lateral hanya 2 orang disebabkan saat

dilakukan penelitian hanya ada 2 kasus bedah yang menggunakan posisi

bedah lateral.

d) Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemberian posisi

bedah dengan ketepatan pelaksanaan SPO pemberian posisi bedah prone

dengan nilai P=0,577

5. DAFTAR PUSTAKA

Ali, Z. 2001. Dasar-dasar Keperawatan Profesionali. Jakarta: Widya Medika.

Andisa, Reza.2010. Anestesi dan Posisi Pasien.

(http://rezaanestesi.blog.spot.co.id/2013/04/anestesi) diakses tanggal 15

Oktober 2015

Alimul, Azis. 2008. Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:

Salemba

Medika.

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi

Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi

Jakarta: Rineka Cipta.

DepKes RI.2002. Standart dan Standar Operating Procedure (SOP). 6b-STADAR

dan SOP(revby Was Feb 02).doc,diakses 20 november 2015.

Gruendemann, Barbara J. 2006. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif. Jakarta:

EGC.

KARS, 2000. Panduan Penyusunan Dokumen Akreditasi. DepKes RI.

Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta:

EGC.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan.

Jakarta: Salemba medika.

Potter et al. 2006.Fundamental keperawatan Konsep,Proses dan Praktik Volume 1.

Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzane C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC

Sugiono.2011. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.Sugianto, Farida

Juanita. 2013. Pengaruh Pemberian Selimut Elektrik Suhu 380C Selama

Page 201: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 191 | 231

TUR-P dengan SAB Terhadap Kejadian Menggigil Pasca Bedah di RS

Aisyiyah Bojonegoro. Journal

Syifa, Z. 2013. Pengaruh Mobilisasi Progresif Level I Terhadap Resiko dekubitus

dan perubahan saturasi oksigen Pada pasien Kritis terpasang Ventilator

Diruang ICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Peneltian keperawatan. Tesis.

Tampubolon, T.R.A. 2015. Profil Nyeri dan Perubahan Hemodinamik pada Pasien

Pasca Bedah Seksio Sesarea dengan Analgetik Petidin. Fakultas Kedokteran

Universitas Sam Ratulangi Manado. Skripsi

Tanjung, MI. 2014. Bab II Tinjaun Pustaka Hemodinamik. Universitas Sumatera

Utara diakses tanggal 21 Nopember 2015. Journal

Page 202: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 192 | 231

PELAYANAN KERABAT DALAM PEMBERDAYAAN

LANSIA POTENSIAL SEBAGAI UPAYA PEMENUHAN

KEBUTUHAN KESEHATAN

Agus Setyo Utomo1, Rafika Husnul Khotimah2

, Tri Nataliswati3

1, 2, 3 Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawang

Jl. Ahmad Yani No. 1 Lawang Kab. Malang

email: [email protected]

Abstrak

Proyeksi jumlah penduduk dunia dan lansia dari tahun ketahun nampak adanya kecenderungan

peningkatan jumlah penduduk. Seringkali masyarakat menganggap kondisi seperti ini sebagai

beban keluarga. Maka pendayagunaan lansia perlu dilakukan dengan upaya meningkatkan

kemandirian dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga. Tujuan penelitian ini yaitu

untuk mengidentifikasi pelayanan kerabat dalam pemberdayaan lansia potensial dalam pemenuhan

kebutuhan kesehatan di RW X Desa Sumber Porong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah kerabat yang

memiliki lansia umur 60 tahun ke atas, Besar sampel yang memenuhi kriteria sebesar 31

responden, dengan teknik pengambilan sampling purposive. Berdasarkan penelitian diperoleh data

bahwa 39% pelayanan kerabat dalam pemberdayaan lansia potensial dalam pemenuhan kebutuhan

kesehatan cukup baik dimana terdapat responnden tidak mengingatkan jadwal kegiatan olah raga

(52%), tidak aktif memperhatikan perkembangan kesehatan lansia (71%) dan tidak memperhatikan

kecukupan antara aktivitas dan istirahat lansia (55%). Dengan hasil yang demikian di harapkan

kerabat memberikan dukungan kepada lansia berupa pemenuhan kebutuhan kesehatan dengan

lebih baik lagi khususnya keaktifan pengaturan jadwal olah raga, perhatian progres kesehatan

lansia dan kesiembangan istirahat dan aktifitas.

Kata Kunci: pemberdayaan, lansia, potensial

1. PENDAHULUAN

Proyeksi jumlah penduduk dunia dan lansia tahun 2013, 2050 dan 2100

nampak adanya kecenderungan peningkatan jumlah penduduk dunia dan lansia dari

tahun ketahun yakni jumlah penduduk dunia pada tahun 2013 sebanyak 7,2%, tahun

2050 sebanyak 9,6% dan pada tahun 2100 sebanyak 10,9%. Sedangkan untuk

jumlah lansia di negara berkembang pada tahun 2013 sebanyak 0,554%, tahun 2050

sebanyak 1,6%, dan pada tahun 2100 sebanyak 2,5% (InfoDatin, 2014). Sedangkan

lanjut usia di Indonesia, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 diperkirakan

sekitar 15,3 juta (7,4%) dari jumlah penduduk, dan pada tahun 2005 jumlah ini di

perkirakan meningkat menjadi ± 18,3 juta (8,5%). Pada tahun 2005-2010 jumlah

lanjut usia akan sama dengan jumlah anak balita yaitu sekitar 19,3 juta jiwa (± 9%)

dari jumlah penduduk. Bahkan pada tahun 2020-2025 Indonesia akan menduduki

peringkat negara dengan struktur dan jumlah penduduk lanjut usia setelah RRC,

India, dan Amerika Serikat dengan umur harapan hidup di atas 70 tahun (Nugroho,

2008: 2).

Page 203: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 193 | 231

Seiring dengan peningkatan jumlah lansia maka akan diikuti pula dengan

peningkatan masalah-masalah akibat penuaan khususnya masalah kesehatan.

Keluhan kesehatan yang menyertai lansia seringkali dianggap oleh masyarakat

sebagai beban keluarga. Maka pendayagunaan lansia perlu dilakukan dengan upaya

meningkatkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sendiri. Peran

kerabat dalam pemberdayaan lansia berupa pemberian dukungan sosial, moral dan

material sangat di perlukan.

Berdasarkan hasil survey pendahuluan pada 10 kerabat lansia di RW X Desa

Sumber Porong Kecamatan Lawang pada tanggal 15 dan 16 Desember 2015

didapatkan (60%) responden mengatakan tidak mempunyai waktu dalam

menanyakan keluhan atau kondisi kesehatan lansia, 70% responden membiarkan

lansia datang ke posyandu lansia secara sendirian, dan 60% responden tidak

mengingatkan lansia dalam melakukan olah raga. Permasalahan tersebut dapat

berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan kesehatan bagi lansia sehingga akan diikuti

dengan peningkatan masalah-masalah kesehatan lansia.

Peran kerabat merupakan bagian penting dan perlu diberikan motivasi dalam

membangun pemberdaayaan lansia, dengan melibatkan kerabat secara penuh mulai

dari identitas masalah kesehatan dan menyusun rencana penanggulangannya

sehingga kerabat dapat menjadi subjek dalam upaya mewujudkan lansia yang

mandiri. Penelitian ini dapat memberi kontribusi sebagai dasar bagi masyarakat

dalam meningkatkan kesehatan lansia melalui upaya pemberdayaan lansia.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan

mendiskripsikan peran kerabat dalam pemberdayaan lansia potensial di RW X

Desa Sumber Porong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh kerabat yang memiliki lansia potensial sejumlah 41

responden. Sampel dalam penilitan ini adalah sebagian kerabat yang memiliki

lansia yang memberdayakan potensi lansia yang telah memenuhi kriteria inklusi

sejumlah 31 orang dengan teknik purposive sampling. Variabel dalam penelitian ini

adalah peran kerabat dalam pemberdayaan lansia potensial. Pengambilan data

penelitian dilakukan pada tanggal 21-26 Maret 2016 dengan menggunakan

angket/kuesioner sebagai instrumen. Melalui intrumen tersebut diperoleh data

kemudian dilakukan perhitungan skor dimana pertanyaan positif (+), pemberian

skor 1, jika responden menjawab “ya” dan skor 0 jika responden menjawab “tidak”.

Sedangkan pertanyaan negatif (-), pemberian skor 0, jika responden menjawab

“ya” dan skor 1, jika responden menjawab “tidak”. Penelitian ini dilakukan dengan

mempertimbangkan etika penelitian meliputi informed consent, anomity dan

confidentiality.

Page 204: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 194 | 231

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

a. Pelayanan kerabat dalam pemberdayaan lansia dalam pemenuhan kebutuhan

kesehatan.

Tabel 1 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan pelayanan berupa dukungan

pemenuhan kebutuhan kesehatan di RW X Desa Sumber Porong

Kecamatan Lawang Kabupaten Malang tahun 2016

NO Kategori Frekuensi Prosentase

1 Baik 8 26

2 Cukup baik 12 39

3 Kurang baik 8 26

4 Tidak baik 3 9

Jumlah 31 100

Berdasarkan Tabel 1 diketahui responden berdasarkan pelayanan berupa

dukungan pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagian besar cukup sebesar 39%.

Tabel 2 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan kegiatan pemenuhan

kebutuhan kesehatan di RW X Desa Sumber Porong Kecamatan

Lawang Kabupaten Malang tahun 2016.

No Pernyataan Ya Tidak

1 Memenuhi kebutuhan makan, minum dan

memastikan lansia mengkonsumsi makanan yang

tersedia.

23

(74%)

8

(26%)

2 Mengingatkan jadwal kegiatan olah raga. 15

(48%)

16

(52%)

3 Secara aktif memperhatikan perkembangan

kesehatan lansia.

9

(29%)

22

(71%)

4 Melakukan tindak lanjut bila diperlukan dalam

penanganan masalah kesehatan yang dialami lansia.

27

(87%)

4

(13%)

5 Keluarga memperhatikan kecukupan antara

aktivitas dan istirahat lansia.

14

(45%)

17

(55%)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa terdapat kegiatan responden yang

dirasakan kurang dalam memenuhi kebutuhan kesehatan lansia diantaranya tidak

mengingatkan jadwal kegiatan olah raga (52%), tidak aktif memperhatikan

perkembangan kesehatan lansia (71%) dan tidak memperhatikan kecukupan antara

aktivitas dan istirahat lansia (55%).

Page 205: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 195 | 231

Pembahasan

Pelayanan kerabat dalam pemberdayaan lansia sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelayanan responden dalam

pemberdayaan lansia sebagai upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagian

besar cukup baik (39%). Dengan kata lain masih terdapat kekurangan diantaranya

tidak mengingatkan jadwal kegiatan olah raga (52%), tidak aktif memperhatikan

perkembangan kesehatan lansia (71%) dan tidak memperhatikan kecukupan antara

aktivitas dan istirahat lansia (55%).

Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan, adanya gangguan saraf

panca-indra, timbul kebutaan dan ketulian, gangguan gizi akibat kehilangan jabatan,

rangkaian kehilangan yaitu hilangnya hubungan dengan teman dan famili dan

hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik merupakan perubahan terhadap gambaran

diri, perubahan konsep diri (Nugroho, 2008). Hal ini menimbulkan masalah

kesehatan yang tentunya memerlukan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan

bagi orang perlu, apalagi bagi orang-orang yang mempunyai kebutuhan pelayanan

kesehatan secara mendesak seperti lanjut usia. Pelayanan kesehatan terhadap lansia

dalam rumah seperti menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan rumah,

khususnya kamar tempat istirahat lansia, mengatur menu sehari-hari sesuai yang

dibutuhkan dan segera mengambil tindakan apabila lanjut usia mengalami

gangguan kesehatan (Argyo Demartoto, 2007).

Dengan meluangkan waktu dalam menciptakan kebersamaan dan mengatur

pola makan serta mempertahankan aktivitas untuk kesehatan dan terlebih kegiatan

yang menjadi hobinya, seperti berkebun dan jalan-jalan pagi. Departemen

Kesehatan mencanangkan tujuan Program Kesehatan Lanjut Usia adalah

meningkatkan derajad kesehatan usia lanjut agar tetap sehat, mandiri dan berdaya

guna sehingga tidak menjadi beban bagi dirinya sendiri, keluarga maupun

masyarakat (Partini S.Siti, 2011:14). Pekerjaan atau pendapatan juga berpengaruh

terhadap tingkat kesehatan seseorang, karena biaya yang terlalu mahal, maka

banyak masyarakat yang tidak menerima pelayanan ini. Selain itu juga bergantung

pada lokasi tempat tinggal (pedesaan, daerah pinggiran dan kota), status asuransi

dan individu yang mapan (Sumijatun, 2006 : 24).

Menurut peneliti dukungan kesehatan tidak hanya memperhatikan keaadaan

fisik lansia, tidak hanya memeriksakan kesehatan lansia ketika lansia sakit, tetapi

bisa juga memperhatikan kesehatan lansia dengan memperhatikan kesehatan lansia

dengan memperhatikan atau sering menanyakan keadaan lansia sebelum lansia

sakit, mengatur pola makan lansia, memberikan perhatian dengan memantau

ketepatan waktu lansia untuk makan, jangan membiarkan lansia telat makan,

memperhatikan pola istirahat lansia. Sebagian besar keluarga melakukan tindak

lanjut penanganan kebutuhan kesehatan yang di alami lansia dengan memeriksakan

ke puskesmas atau pelayanan kesehatan terdekat tetapi dalam memberikan

dukungan dengan memperhatikan perkembangan kesehatan lansia dengan sering

Page 206: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 196 | 231

menanyakan keluhan atau kondisi lansia (keluarga aktif bertanya sebelum lansia

sakit) dukungan yang diberikan masih kurang baik. Itu berarti kegiatan dalam

pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi

kesehatan (promotif) dan kegiatan yang mencegah terhadap suatu masalah

kesehatan atau mencegah (preventif) masih kurang.

4. KESIMPULAN

Pelayanan kerabat berupa pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagian besar

cukup baik 39% dimana responden tidak mengingatkan jadwal kegiatan olah raga

(52%), tidak aktif memperhatikan perkembangan kesehatan lansia (71%) dan tidak

memperhatikan kecukupan antara aktivitas dan istirahat lansia (55%).

5. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

PT RINEKA CIPTA.

Demartotp, Argyo. 2007. Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia. Jawa Tengah.

Fatimah, SKp. 2010. Merawat Manusia Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses

Keperawatan Gerontik. Jakarta : Trans Info Media

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.

Jakarta : Salemba Medika.

Hurlock, B.Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga

Jurnal Universitas Sumatra Utara. 2009

Lisdianti, Linda. 2015. Lansia Potensial Berdayaguna

Maryam, R.Siti. 2010. Asuhan Keperwatan Lansia. Jakarta: TIM.

Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nugroho, Wahjudi. 2004. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Jakarta : EGC

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika.

Partini S.Siti. 2011. Psikologi Usia Lanjut. Gadjah Mada University Press : IKAPI

RI, Kementrian Kesehatan. 2014. Pusat Data dan Informasi. Jakarta Selatan.

Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sumijatun, dkk. 2006. Konsep Dasar Keperawatan Komunitas. Jakarta : EGC

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2013. Kamus

Besar Bahasa Indonesia . Cetakan ke-5 Jakarta: Balai Pustaka

Page 207: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 197 | 231

HUBUNGAN ASUPAN NUTRISI DINI DENGAN

PENINGKATAN BERAT BADAN PADA BAYI BBLR

Hurun Ain

Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang /Prodi Sarjana Terapan Keperawatan Lawang

Jl. A. Yani Lawang Malang

email: [email protected]

Abstrak

Asupan nutrisi adalah jumlah nutriens yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa kebutuhan

sebagian besar kelompok (95%) terpenuhi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh

pemberian asupan nutrisi dini terhadap peningkatan berat badan pada bayi BBLR di RSUD

“Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang. Desain penelitian menggunakan post test only control

design, disini terdapat dua kelompok yaitu kelompok perlakuan asupan nutrisi dini dan kelompok

kontrol asupan nutrisi parenteral partial. Responden adalah BBLR yang lahir di RSUD

“Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten sesuai kriteria inklusi. Jumlah sampel adalah 15 responden

kelompok kontrol dan 15 responden kelompok perlakuan.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pada kelompok kontrol, terdapat 3 responden tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat

badan, 2 responden mengalami penurunan sebesar 50 gram, 7 responden mengalami penurunan

sebesar 100 gram, 2 responden mengalami penurunan sebanyak 150 gram, dan 1 responden

mengalami penurunan sebanyak 500 gram, sedangkan pada kelompok perlakuan, terdapat 5

responden tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat badan, 6 responden mengalami

peningkatan sebesar 50 gram, 2 responden mengalami penurunan sebesar 50 gram, 1 responden

mengalami penurunan sebanyak 100 gram, dan 1 responden mengalami penurunan 200 gram. Hasil

uji statistik Independent T’test didapatkan p hitung = 0,009, karena p < 0,05 hal ini berarti terdapat

pengaruh pemberian asupan nutrisi dini dengan peningkatan berat badan bayi BBLR. Peneliti

menyarankan kepada orang tua dan peneliti selanjutnya untuk memberikan ASI sesegera mungkin

pada bayi terutama pada bayi BBLR.

Kata Kunci : Asupan Nutrisi, Berat Badan, BBLR

1. PENDAHULUAN

Pertumbuhan, perkembangan dan maturasi tubuh manusia terjadi paling

cepat pada awal masa bayi. Sebagai konsekuensi, selama masa ini terutama pada

bayi prematur mengalami defisiensi nutrisi apabila jumlah dan kualitas nutrisi yang

diberikan tidak adekuat. Morbiditas dan mortalitas bayi berat lahir rendah (BBLR)

sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi. Semakin muda umur kehamilan,

semakin tinggi resiko bayi untuk meninggal maupun mengalami berbagai

komplikasi akibat prematuritasnya maupun gangguan perkembangan neurologisnya

(Indarso, 2007)

Kebutuhan bayi untuk pertumbuhan yang cepat dan pemeliharaan harian

harus disesuaikan dengan tingkat kematangan anatomi dan fisiologi. Koordinasi

mekanisme mengisap dan menelan belum sepenuhnya baik pada usia kehamilan 36

minggu atau 37 minggu. Reflek mengisap dan menelan pada bayi matur sudah

berkembang tetapi masih lambat dan tidak efektif (Surasmi, A., Handayani, S &

Kusuma, HN. 2003).

Page 208: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 198 | 231

Bayi prematur dilahirkan dengan cadangan glikogen hati yang terbatas,

sehingga sangat rentan terhadap terjadinya hipoglikemia dibanding bayi cukup

bulan. Pengenalan minum secara dini pada bayi prematur dan BBLR telah terbukti

mencegah malnutrisi, hipoglikemia, meningkatkan angka kemampuan hidup, dan

menurunkan morbiditas jangka panjang. Pemberian nutrisi yang optimal merupakan

hal penting pada manajemen bayi prematur dan berat lahir sangat rendah. Bayi

prematur mempunyai resiko mendapat dehidrasi dan hipoglikemia (Indarso F,2007).

Menurut data survei demografi dan kesehatan indonesia thn 2007 (SDKI

2007), angka kematian neonatal di indonesia sebesar 19 kematian/1000 kelahiran

hidup. Angka kematian bayi sebesar 34 kematian/1000 kelahiran hidup dan angka

kematian balita sebesar 44 kematian/1000 kelahiran hidup. Proporsi penyebab

kematian bayi baru lahir umur 0-6 hari menurut Riskesdas 2007 adalah 37% karena

gangguan pernafasan, 34% prematuritas, 12% karena sepsis, 7% hipotermi, 6%

kelainan darah/ikterus, 3% postmatur dan 1% karena kelainan kongenital (Awi

Muliadi,www.infodokterku.com diakses tanggal 7/11/2011).

AKBA (Angka Kematian Balita) di Jawa Timur 35,09/1000 KH (BPS

2007), angka ini lebih tinggi dari angka nasional yaitu 34 per 1000 KH, berdasarkan

data BPS angka kematian bayi di Jawa Timur tahun 2009 adalah 28,2 per 1000

kelahiran hidup, dibandingkan dengan angka nasional masih lebih tinggi yaitu 25,7

per 1000 kelahiran hidup dan masih jauh dari target MDG’s yaitu 19 per 1000

kelahiran hidup pada tahun 2015, di Mojokerto jumlah kematian bayi pada tahun

2009 adalah 15 bayi dengan penyebab kematian bayi BBLR 41,39%, Asfiksia

19%, Tetanus Neonatorum 0,70%, infeksi 4,92%, trauma lahir 4,59%, kelainan

bawaan 12, 79% dan penyebab lainnya 16,61% (Dinkes Jatim,

http//dinkesjatim.go.id diakses tanggal 1/11/2011).

Tujuan perawatan bayi baru lahir setelah proses persalinan selesai adalah

mencukupi makanan postnatal demi menjamin kelangsungan pertumbuhan dan

mengganti jaringan yang hilang untuk percepatan tumbuh. Masalah yang timbul

adalah pada hari pertama dimana gangguan seperti distress nafas,

hiperbilirubinemia atau yang lain, membutuhkan nutrisi yang maksimal, padahal

sebaliknya bayi kecil tersebut masih mengalami intoleransi makanan karena

imaturitas fungsi pencernaan, sehingga kebutuhan nutrisi masih kurang (Indarso

F,2007).

Penanganan bayi berat lahir rendah salah satunya adalah dengan

pengawasan nutrisi dan ASI. Refleks menelan pada bayi dengan berat lahir rendah

belum sempurna. Oleh karena itu, pemberian nutrisi harus dilakukan dengan hati-

hati. Penimbangan berat badan harus dilakukan secara ketat. Karena peningkatan

berat badan merupakan salah satu status gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan

daya tahan tubuh (Syafrudin., & Hamidah. 2009).

Memberikan dukungan nutrisi yang cukup untuk bayi dengan masalah

kesehatan merupakan suatu tantangan. Dukungan nutrisi dapat dicapai secara

enteral, parenteral atau kombinasi keduanya. Jika aman dan dapat ditoleransi,

Page 209: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 199 | 231

pemberian asupan secara enteral merupakan cara pemberian nutrisi yang alami dan

dipilih (R.I., Depkes. 2008).

Bayi prematur memerlukan nutrisi selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari juga untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan perkembangan. Menurut Yu.

Victor YH dan Hans Monintja 91997 : hlm.187-193) pemberian nutrisi yang

dianjurkan adalah kalori 140-150 kal/kg BB/hari, karbohidrat 8-22 g/kg Bb/hari,

protein 3-4 g/kg Bb/hari, lemak 4-9 g/kg Bb/hari, air untuk bayi kurang bulan yang

sehat dapat menerima cairan 150-200 cc/kg Bb/hari. Selain nutrien tersebut, bayi

juga membutuhkan nutrien lain dan vitamin.

Prinsip utama pemberian makan bayi adalah sedikit demi sedikit secara

perlahan dan hati-hati. Saat pemberian minum harus dicegah terjadinya kelelahan,

regurgitasi dan aspirasi (Surasmi, A., Handayani, S & Kusuma, HN. 2003).

Beberapa tahun terakhir, penelitian klinis yang mengevalusi efek pemberian

nutrisi enteral jumlah kecil untuk bayi prematur yang menerima nutrisi parenteral

dibandingkan bayi-bayi kontrol yang menerima hanya nutrisi parenteral. Bayi-bayi

yang menerima nutrisi enteral dini dalam jumlah kecil memiliki kadar hormone

intestinal (gastrin, gastric inhibitory peptide) dalam plasma yang lebih tinggi dan

menunjukkan toleransi minum yang baik, kenaikan berat badan yang lebih cepat,

waktu rawat inap yang lebih singkat, insiden kolestasis yang lebih rendah, serum

bilirubin yang lebih rendah, risiko untuk terjadinya penyakit metabolisme tulang

lebih rendah, dapat mempertahankan integritas mukosa gastrointestinal,

merangsang maturasi aktivitas motorik intestinal. Pada bayi prematur yang

mengalami asfiksia, minum secara enteral ditunda pemberiannya sampai 3 hari

setelah onset asfiksia, untuk menurunkan terjadinya NEC (Indarso F,2007).

Menurut Johnson,1994 Selama hari-hari pertama setelah lahir, bayi prematur

akan berhadapan dengan berbagai situasi sulit. Oleh karena itu asupan nutrisi perlu

mencukupi untuk mengganti kerusakan dan regenerasi jaringan. Selanjutnya karena

fungsi saluran cerna dan ginjal yang belum matang serta kebutuhan adaptasi

metabolik untuk menghadapi kehidupan ekstra uterin akan menyebabkan

terbatasnya penyedian nutrien untuk pemeliharaan jaringan dan pertumbuhan.

Selama beberapa hari setelah lahir bayi akan kehilangan berat badan terutama

terjadi karena sedikitnya asupan kalori dan kehilangan cairan ekstra selular.

Kebutuhan energi juga bertambah karena adanya pemecahan protein endogen di

otot skeletal dan sedikitnya cadangan lemak. Oleh karena itu asupan protein dan

kalori eksogen yang tidak adekuat dapat mengancam jiwa bayi kurang bulan yang

sakit (kuliahbidan.files.wordpress.com,akses tanggal 7/11/2011).

Cara pemberian minum melalui mulut atau oral mendorong bayi melakukan

aktifitas menghisap dan menelan atau menjalani siklus lapar dan kenyang. Bayi

yang mendapat minuman non oral untuk jangka waktu yang lama mungkin

menunjukkan penolakan terhadap pemberian makanan melalui oral dengan cara

menghindari putting, menggigit, tersedak, atau bahkan muntah. Bayi yang

diidentifikasi berisiko menunjukkan perilaku menolak harus diberi rangsangan

Page 210: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 200 | 231

mulut secara teratur untuk mengatasi masalah dan mencapai kemampuan untuk

menelan makanan lewat mulut. Keberhasilan kegiatan tersebut memerlukan waktu

dan perhatian dari perawat serta keterlibatan orang tua (Surasmi, A., Handayani, S

& Kusuma, HN. 2003).

2. METODE PENELITIAN

Desain penelitian ini post-test only control design dimana dalam penelitian

ini terdapat dua kelompok sampel yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Kelompok perlakuan diberi intervensi berupa asupan nutrisi dini selama 5 hari

berturut-turut sedangkan kelompok kontrol tidak diberi intervensi. Selama dan

setelah diberi asupan nutrisi dini masing-masing kelompok diidentifikasi kenaikan

berat badannya dan hasilnya dibandingkan antara kedua kelompok tersebu

Sampel diambil dari populasi dengan teknik Purposive sampling

berdasarkan kriteria inklusi yaitu: 1) Bayi baru lahir hari pertama; 2) Lahir spontan

maupun seksio sesarea; 3) Berat badan awal antar 2500-1500 gram, 4) bayi dalam

keadaan sehat. Kriteria eksklusi 1) Gawat nafas dengan frekuensi nafas > 60 x/mnt

atau retraksi dada, 2) Hipotensi, perfusi buruk dan sepsis

Variabel independen dalam penelitian ini pemberian asupan nutrisi dini.

Variabel dependennya adalah peningkatan berat badan

Untuk analisis data independen pada variabel berat badan digunakan uji

Independent t-test test. Tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5% (α=0,05)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

1) Karakteristik Subyek Penelitian

Tabel 3.1 Karakteristik subyek penelitian kelompok perlakuan berdasarkan usia dan

cara kelahiran

Karakteristik

subyek

penelitian

Banyaknya

Jumlah

(n=10)

Persentase

(%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 5 33

perempuan 10 67

Cara kelahiran

Spontan 7 47

SC 8 53

Tabel 3.1 menunjukkan sebagian besar sampel kelompok perlakuan (67%) berjenis

kelamin perempuan dan cara kelahiran sebagian besar (53%) secara sectio caesarea.

Page 211: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 201 | 231

Tabel 3.2 Karakteristik subyek penelitian kelompok Perlakuan berdasarkan jenis

asupan dan kategori BBLR Karakteristik

subyek

penelitian

Banyaknya

Jumlah

(n=10)

Persentase

(%)

Jenis asupan

ASI 15 100

Usia gestasi

KMK 15 100

Tabel 3.2 menunjukkan semua sampel kelompok perlakuan mendapatkan asupan

ASI saja (100%), sedangkan berdasarkan kategori BBLR semuanya termasuk KMK

(Kecil Masa Kehamilan)

Tabel 3.3 Karakteristik subyek penelitian kelompok kontrol berdasarkan usia dan

cara kelahiran Karakteristik

subyek

penelitian

Banyaknya

Jumlah

(n=10)

Persentase

(%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 7 47

perempuan 8 53

Cara kelahiran

Spontan 5 33

SC 10 67

Tabel 3.3 menunjukkan sebagian besar sampel kelompok kontrol (53%) berjenis

kelamis perempuan dan cara kelahiran sebagian besar (67%) secara sectio caesarea

Tabel 3.4 Karakteristik subyek penelitian kelompok Kontrol berdasarkan jenis

asupan dan kategori BBLR Karakteristik

subyek

penelitian

Banyaknya

Jumlah

(n=10)

Persentase

(%)

Jenis asupan

Parenteral 6 40

ASI + parenteral 9 60

Usia gestasi

KMK 1 6,6

BMK 4 26,6

SMK 10 66,6

Tabel 3.4 menunjukkan semua sampel kelompok koontrol sebagian besar (60%)

mendapatkan asupan ASI dan nutrisi parenteral, sedangkan berdasarkan kategori

BBLR sebagian besar termasuk SMK (Sesuai Masa Kehamilan)

Page 212: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 202 | 231

2) Jumlah peningkatan berat badan bayi pada kelompok Perlakuan

Tabel 3.5 Tabel distribusi peningkatan berat badan bayi kelompok perlakuan

No

Responden X1 X2 X2 – X1

1 2400 2450 50

2 2000 1800 -200

3 2450 2350 -100

4 2000 2000 0

5 2350 2400 50

6 1750 1750 0

7 2000 2000 0

8 2000 1950 -5

9 2100 2150 50

10 1750 1800 50

11 2300 2300 0

12 2200 2150 -50

13 2450 2500 50

14 2050 2050 0

15 1750 1800 50

Berdasarkan tabel 3.5 diatas diketahui bahwa sebagian besar peningkatan berat

badan bayi pada kelompok perlakuan adalah lebih dari 50 gram yaitu sebanyak 6

orang, dan sebagian kecil mengalami penurunan berat badan 200 gram sebanyak 1

orang

Tabel 3.6 Tabel distribusi peningkatan berat badan bayi kelompok kontrol No

Responden X1 X2 X2 – X1

1 1550 1550 0

2 2100 2050 -50

3 1900 1900 0

4 2000 1900 -100

5 2200 2100 -100

6 1800 1700 -100

7 1800 1700 -100

8 2450 2300 -150

9 2000 2000 0

10 2150 2000 -150

11 2200 2150 -50

12 2400 1900 -500

13 2400 2300 -100

14 2400 2300 -100

15 2250 2150 -100

Berdasarkan tabel 3.6 diatas diketahui bahwa tidak ada responden yang mengalami

peningkatan berat badan bahkan terdapat penurunan berat badan responden

mencapai 500 gram sebanyak 1 responden.

Page 213: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 203 | 231

Analisis Data

Analisis data menggunaka Independent Sample Test didapatkan nilai p

hitung = 0,009 < p=0,05 maka Ho ditolak atau H1 diterima, yang artinya terdapat

hubungan yang signifikan atas pemberian asupan nutrisi dini dengan peningkatan

berat badan bayi BBLR

4. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan data bahwa terdapat 3

responden tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat badan, 2 responden

mengalami penurunan berat badan sebesar 50 gram, 7 responden mengalami

penurunan berat badan sebesar 100 gram, 2 responden mengalami penurunan berat

badan sebanyak 150 gram, dan 1 responden mengalami penurunan berat badan

sebanyak 500 gram. Menurut peneliti hal ini bisa terjadi karena bayi BBLR

menunjukkan belum sempurnanya fungsi organ tubuh terutama pada sistem

pencernaan, serta nutrisi yang baik bagi bayi BBLR adalah ASI dengan pemberian

sesaat setelah lahir atau asupan nutrisi dini sedangkan pada hasil penelitian diatas

didapatkan hasil 60% (9 responden) mendapatkan nutrisi berupa parenteral dan

ASI, 40% (7 responden) mendapatkan nutrisi parenteral serta tidak terdapat

responden yang hanya mendapatkan asupan ASI segera setelah lahir, asupan nutrisi

dini juga berpengaruh terhadap peningkatan berat badan, masukan makanan selama

6 minggu pertama kehidupan akan berdampak sangat jelas dalam perkembangan 18

bulan kedepan. Oleh karena itu pemberian makanan pada awal kehidupan sangat

penting untuk mempertahankan hidup pada bayi yang sakit dan dampak jangka

panjang yang baik. Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Fatimah Indarso (2007) Bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai

komposisi yang khusus yaitu 83-89% berupa Air, 9-10% Protein, dan 0,1-5%

Lemak, terutama lemak yang bukan lemak subkutan, sehingga bayi tersebut mudah

mengalami Hipotermi. Selama beberapa hari pertama kehidupan, bayi akan

mengalami penurunan berat badan akibat hilangnya jaringan karena kalori yang

masuk sedikit, dan hilangnya cairan ekstraselular. Oleh karena itu pemberian

makanan pada awal kehidupan sangat penting untuk mempertahankan kehidupan

bayi BBLR. Pemberian ASI dapat dimulai di ruang bersalin segera setelah lahir.

ASI dari ibu sehat yang menerima cukup kalori sebenarnya sudah cukup adekuat

untuk 6 bulan pertama. Masalah timbul apabila ASI tidak dapat diberikan karena

berbagai alasan, sehingga susu formula untuk bayi prematur harus disediakan.

BBLR yang sakit sering mendapat Nutrisi Parenteral Parsial, bahkan kadang

diberikan Total, hal itu menimbulkan berkurangnya sistem enzim pencernaan dan

peristaltic usus. Pada puasa yang lama karena TPN, ternyata tidak menurunkan

angka kejadian Enterokolitis Nekrotikans. Ternyata pemberian minum/enteral sdini

dapat merangsang peristaltic dan pelepasan hormone usus, serta proliferasi sel usus.

Page 214: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 204 | 231

4.3.2 Berat Badan Bayi Kelompok Perlakuan

Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan data bahwa terdapat 5

responden tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat badan, 6 responden

mengalami peningkatan berat badan sebesar 50 gram, 2 responden mengalami

penurunan berat badan sebesar 50 gram, 1 responden mengalami penurunan berat

badan sebanyak 100 gram, dan 1 responden mengalami penurunan berat badan

sebanyak 200 gram. Menurut peneliti hal ini bisa terjadi karena penurunan berat

badan sebesar 10% pada 10 hari pertama kehidupan merupakan penurunan berat

badan yang fisiologis hal ini karena pada bayi baru lahir terjadi masa transisi, pada

saat didalam kandungan bayi mendapatkan suplai nutrisi yang adekuat dari

plasenta, sedangkan pada saat lahir plasenta harus diputus serta bayi BBLR yang

menunjukkan belum sempurnanya fungsi organ tubuh. Faktor lain yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan adalah nutrisi berdasarkan data diatas juga didapatkan

hasil tentang asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh bayi BBLR yang menunjukkan

bahwa 100% (15 responden) mendapat asupan nutrisi berupa ASI segera setelah

lahir tanpa diberikan nutrisi parenteral terlebih dulu. Hal ini sesuai teori yang

dikemukakan oleh Fatimah Indarso (2007) Minum yang diberikan sedini mungkin

dapat menurunkan intolerans, pencapaian nutrisi yang dibutuhkan dapat lebih dini,

waktu yang dibutuhkan tinggal di tempat perawatan lebih dini, prevalensi terjadinya

kolestasis maupun enterokolitis nekrotikan dapat diturunkan. Setiap ibu

memproduksi ASI yang khusus untuk bayinya, tapi ibu dari bayi kurang bulan

menghasilkan ASI rendah laktosa yang penting untuk pencernaan karena bayi

kurang bulan tidak mempunyai laktosa – enzim yang menguraikan gula tertentu.

Bayi yang sangat kurang bulan atau sakit dan tidak bisa menyusui akan

mendapatkan manfaat dari sedikit ASI yang diberikan segera setelah lahir.

Pemiihan metode feeding yang tepat sebaiknya mempertimbangkan umur

kehamilan, ketrampilan oromotorik, perkembangan normal bayi, ada tidaknya

penyakit dan toleransi individu. Menurut penelitian La Gamma yang dikemukakan

oleh Fatimah Indarso (2007) telah meneliti insiden Enterokolitis Nekrotikan dalam

hubungannya dengan waktu dimulainya nutrisi enteral, dan menemukan bahwa

insiden penyakit ini lebih rendah pada bayi-bayi premature yang diminumi secara

dini baik dengan ASI maupun formula yang tidak diencerkan dibandingkan dengan

mereka yang mendapatkan nutrisi parenteral selama 2 minggu pertama usia bayi.

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Soetjiningsih (1998)

dalam Supariasa (2002 : 28) yang mengungkapkan faktor genetik merupakan modal

dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel

telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal

ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas

jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang.

Faktor internal (genetik) antara lain termasuk berbagai faktor bawaan yang normal

dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan rasa atau suku bangsa. Apabila potensi

genetik ini dapat berinteraksi dalam lingkungan yang baik dan optimal maka maka

Page 215: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 205 | 231

akan menghasilkan pertumbuhan yang optimal pula. Gangguan pertumbuhan di

negara maju lebih sering diakibatkan oleh faktor genetik ini. Di negara yang sedang

berkembang, gangguan pertumbuhan selain disebabkan oleh faktor genetik juga

dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang tidak memungkinkan seseorang tumbuh

secara optimal, Faktor lingkungan sangat menentukan tercapainya potensi genetik

yang optimal. Apabila kondisi lingkungan kurang mendukung atau jelek, maka

potensi genetik yang optimal tidak akan tercapai. Lingkungan ini meliputi

lingkungan “bio-fisiko-psikososial” yang akan mempengaruhi setiap individu mulai

dari masa konsepsi sampai akhir hayat. Faktor lingkungan dibagi menjadi dua

faktor yaitu faktor prenatal dan lingkungan pascanatal. Faktor lingkungan prenatal

adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih dalam

kandungan. Faktor lingkungan pascanatal adalah faktor lingkungan yang

mempengaruhi pertumbuhan anak setelah lahir, lingkungan pranatal yang

mempengaruhi pertumbuhan janin mulai konsepsi sampai lahir antara lain : gizi ibu

pada saat hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stress, anoksia

embrio. Faktor lingkungan pascanatal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan

anak yaitu : lingkungan biologis, lingkungan fisik, faktor psikososial dan faktor

keluarga dan adat istiadat.

4.3.3 Pengaruh pemberian asupan nutrisi dini dengan peningkatan berat badan bayi

BBLR

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian asupan nutrisi

dini dengan peningkatan berat badan bayi BBLR dapat dilihat dari hasil penelitian

dengan jumlah 15 responden bayi BBLR dengan pemberian asupan nutrisi dini

berupa ASI sebanyak 100% (15 responden) dengan 5 responden tidak mengalami

penurunan ataupun peningkatan berat badan, 6 responden mengalami peningkatan

berat badan sebanyak 50 gram, 2 responden mengalami penurunan berat badan 50

gram, 1 responden mengalami penurunan berat badan 100 gram, serta 1 responden

mengalami penurunan berat badan 200 gram. Hal ini diperkuat dengan adanya uji

statistic Independent T’test menggunakan SPSS 11.00 for Window didapatkan nilai

p hitung = 0,009. Karena p = 0,009 kurang dari 0,05 maka Ho ditolak atau H1

diterima, yang artinya terdapat Pengaruh pemberian asupan nutrisi dini dengan

peningkatan berat badan bayi BBLR. Menurut peneliti hal ini bisa terjadi karena

minum yang diberikan sedini mungkin dapat menurunkan intolerans, pencapaian

nutrisi yang dibutuhkan dapat lebih dini, waktu yang dibutuhkan tinggal di tempat

perawatan lebih dini, prevalensi terjadinya kolestasis maupun enterokolitis

nekrotikan dapat diturunkan dan ASI merupakan nutrisi rendah laktosa yang

penting untuk pencernaan karena bayi kurang bulan tidak mempunyai laktosa –

enzim yang menguraikan gula tertentu, dan penurunan berat badan sebesar 10%

pada 10 hari pertama kehidupan merupakan penurunan berat badan yang fisiologis

hal ini karena pada bayi baru lahir terjadi masa transisi, pada saat didalam

kandungan bayi mendapatkan suplai nutrisi yang adekuat dari plasenta, sedangkan

Page 216: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 206 | 231

pada saat lahir plasenta harus diputus serta bayi BBLR. Hal ini sesuai dengan teori

yang dikemukakan Fatimah Indarso (2007) bahwa bayi BBLR mempunyai

komposisi yang khusus yaitu 83-89% berupa Air, 9-10% Protein, dan 0,1-5%

Lemak, terutama lemak yang bukan lemak subkutan, sehingga bayi tersebut mudah

mengalami Hipotermi. Selama beberapa hari pertama kehidupan, bayi akan

mengalami penurunan berat badan akibat hilangnya jaringan karena kalori yang

masuk sedikit, dan hilangnya cairan ekstraselular. Oleh karena itu pemberian

makanan pada awal kehidupan sangat penting untuk mempertahankan kehidupan

bayi BBLR. Pemberian minum secara dini pada bayi premature telah terbukti dapat

mencegah malnutrisi, hipoglikemia meningkatkan angka kemampuan hidup dan

menurunkan morbiditas jangka panjang.

5. Daftar Pustaka

Awi Muliadi. 2009. Kondisi Angka Kematian Neonatal, Angka Kematian bayi,

Angka Kematian Balita, Angka Kematian Ibu, dan Penyebabnya di

Indonesia, (www.infodokterku.com, diakses tanggal 7 Nopember 2011).

Aprilia., Y. 2010. Hipnosetri; Rileks, Nyaman dan Aman Saat Hamil dan

melahirkan. Jakarta, Gagas Media.

Brooker., C. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta, EGC.

Cadwell., K & Maffei., CD. 2011. Manajemen Laktasi. Jakarta, EGC.

Cunningham., FG. 2005. Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta, EGC.

Fraser., DM. Cooper., MA. 2009. Buku Ajar Bidan. Jakarta, EGC

Hull,D., Johnston. 2008. Dasar-dasar Pediatrik Ed 3. Jakarta, Buku Kedokteran

EGC.

Hidayat., AAA. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknis Analisis Data.

Jakarta, Salemba Medika.

Hasselquist., MB. 2006. Tata Laksana Ibu dan Bayi Pasca Kelahiran. Prestasi

Pustakarya, Jakarta.

Indarso, F. 2007. Nutrisi Enteral untuk Bayi Berat Lahir Rendah. Makalah disajikan

dalam Workshop BBLR Level 2, IDAI, Banjarmasin, 6 Agustus 2007.

Proverawati.,A & Sulistyorini., CA. 2010. BBLR. Yogyakarta, Nuha Medika.

Perinasia. 2011. Pemberian Nutrisi Pada BBLR. Makalah disajikan dalam Pelatihan

Penatalaksanaan BBLR. Malang 2011.

R.I., Depkes. 2008. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif

(PONEK). Jakarta: Dirjen Kesmas dan Dirjen Pelayanan Medik.

Surasmi, A., Handayani, S & Kusuma, HN. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi.

Jakarta, Buku Kedokteran EGC.

Syafrudin & Hamidah. 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta. Buku Kedokteran

EGC.

Subekti., NB. Karyuni., PE. & Meilya.,E. 2007. Buku Saku Manajemen Masalah

Bayi Baru Lahir. Jakarta, EGC.

Page 217: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 207 | 231

Suparyanto. 2010. Konsep Berat Badan Bayi, (dr-suparyanto.blogspot.com. diakses

tanggal 20 Nopember 2011)

Supariasa., IDN. Bakri., B & Fajar., I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta, EGC.

Page 218: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 208 | 231

PELAKSANAAN DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN

STROKE DI IGD

Sulastyawati

Poltekkes Kemenkes Malang

Jl. Ijen 77C, Malang

Email: [email protected]

Abstrak

Discharge planning merupakan bagian penting dalam proses pemindahan dan pemulangan pada

pasien stroke yang mendapatkan perawatan jangka panjang. Discharge planning sebaiknya

dilakukan oleh perawat sejak awal pasien masuk rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk

mengeksplorasi pelaksanaan discharge planning pada pasien stroke di IGD. Desain penelitian yang

digunakan adalah kualitatif fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan pada 5 partisipan dengan

wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini

mendapatkan 2 tema yaitu (1) persepsi perawat tentang discharge planning adalah sebagai suatu

proses pemindahan dan (2) kesesuaian penerapan prosedur discharge planning dengan SOP yang

ada.

Kata Kunci: Stroke, Discharge Planning

1. PENDAHULUAN

Proses pemulangan dari rumah sakit ataupun pemindahan bukanlah hal yang

mudah bagi pasien dan keluarga, terutama pada pasien yang menjalani perawatan

jangka panjang (Clark et al., 2005; Crawford, 2004). Beberapa permasalahan

seringkali terjadi pada tahap penyembuhan (Putri, 2012). (1) Kecemasan yang

berhubungan dengan perbedaan situasi yang akan dihadapi setelah pemulangan/

pemindahan, (2) adanya pikiran negatif terhadap diri, dan (3) kurangnya rasa

percaya diri karena adanya perubahan kemampuan akibat sakitnya merupakan

masalah-masalah yang sering dihadapi oleh pasien. Pada pasien stroke, kondisi-

kondisi ini menimbulkan kendala tersendiri dalam perawatan penyembuhan.

Dampak akhirnya adalah akan semakin memperburuk kualitas hidup pada pasien

stroke tersebut (Johnson et al., 2004).

Persiapan yang matang bagi pasien dan keluarga sangat dibutuhkan sebelum

mereka dipindahkan atau dipulangkan. Hal itu bertujuan supaya mereka bisa

beradaptasi dengan penyakitnya dan bisa melalui proses transisi dengan nyaman,

tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Proses persiapan itu disebut

dengan discharge planning (Boyd et al., 2009; Hager, 2010). Felong (2008)

menyatakan bahwa discharge planning sudah diakui sebagai bagian penting dalam

keperawatan, bahkan dianggap sebagai salah satu hak pasien yang harus terpenuhi.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa discharge planning idealnya dimulai segera setelah

pasien masuk ke unit gawat darurat.

Page 219: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 209 | 231

Discharge planning merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan

tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, dimana pemberian

pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga sebagai salah satu aspek utama

dalam tahap pelaksanaan (Yam et al., 2010). Pemberian pendidikan kesehatan ini

bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta dukungan

terhadap kondisi pasien dan tindak lanjut yang harus dilakukan saat dirumah. Hasil

akhir yang diharapkan adalah mencegah stroke berulang, timbulnya komplikasi dan

kematian serta meminimalkan kecacatan.

Kenyataannya pelaksanaan discharge planning belum terlaksana dengan

baik, terutama di IGD. Han et al. (2009) dan Kihlgren (2005) mengatakan bahwa

discharge planning menempati prioritas terbawah untuk dilakukan di IGD. Ada

beberapa alasan yang mendasari. Alasan pertama adalah karakteristik IGD, dimana

segala tindakan difokuskan untuk mengatasi kondisi-kondisi yang megancam

nyawa. Alasan kedua adalah adanya anggapan bahwa perawat IGD yang baik itu

adalah mereka yang tahu apa yang harus dilakukan pada saat situasi gawat. Alasan

yang lain adalah waktu tinggal pasien yang singkat, beban kerja yang kompleks,

kurangnya waktu untuk memberikan asuhan keperawatan individu dalam jam-jam

sibuk, tingkat stress dan kecemasan yang lebih tinggi pada pasien dan keluarga.

Han et al. (2009) mengeksplorasi adanya kebingungan peran yang

dirasakan perawat selaku coordinator discharge planning yang mempengaruhi

pandangan mereka terhadap pelaksanaan discharge planning. Ini terbukti dari hasil

penelitiannya tentang pemahaman dan pengalaman perawat di unit gawat darurat

dalam pelaksanaan discharge planning. Hasilnya, teridentifikasi 6 pandangan yang

berbeda tentang discharge planning yaitu (1) discharge planning dianggap sebagai

suatu proses untuk membuang pasien, (2) discharge planning sebagai kegiatan

untuk melengkapi rutinitas, (3) melibatkan pendidikan pasien, (4) praktik

profesional yang dapat dipertanggungjawabkan, (5) menunjukkan adanya otonomi

dalam keperawatan dan (6) menunjukkan praktik keperawatan gawat darurat yang

profesional.

Pengalaman peneliti selama melaksanakan praktek klinik menjumpai format

discharge planning yang dikembangkan hanya dalam bentuk pendokumentasian

resume pasien pulang yang isinya mencakup kondisi pasien saat masuk dan pulang,

intervensi medis dan non medis yang sudah diberikan, jadwal kontrol, gizi yang

harus dipenuhi selama di rumah, dan bahkan terkadang untuk pendokumentasiannya

dilakukan setelah pasien tersebut sudah dipindahkan ke unit perawatan lainnya atau

sudah pulang.

Melihat fenomena yang ada maka peneliti merasa perlu untuk

mengeksplorasi pelaksanaan discharge planning pada pasien stroke di IGD. Peneliti

memilih menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi untuk lebih bisa

mengungkap fenomena yang berkaitan dengan pelaksanaan discharge planning

pada pasien stroke di IGD.

Page 220: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 210 | 231

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada penelitian ini, peneliti

mengungkap beberapa fenomena yang tekait dengan pengalaman perawat dalam

melaksanakan discharge planning pada pasien stroke di IGD dengan pendekatan

fenomenologi interpretif. Penelitian dilakukan pada 5 orang perawat IGD yang

pernah melaksanakan proses discharge planning pada pasien stroke, yang

ditentukan dengan teknik purposive sampling dengan kriteria (1) bertugas di IGD

minimal 2 tahun, (2) pendidikan minimal D-III, (3) komunikatif, dan (4) bersedia

menjadi partisipan.

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang bertindak

sebagai pewawancara, handphone yang dilengkapi dengan program perekam suara,

dan alat tulis untuk mencatat kejadian-kejadian saat wawancara. Selanjutnya, data

yang terkumpul akan diterjemahkan dalam bentuk transkrip wawancara. Data

dianalisa dengan pendekatan 7 langkah analisa data Collaizi, 1)Membaca semua

traskrip wawancara untuk memperoleh gambaran tentangpelaksanaan discharge

planning pada pasien stroke, 2) membaca kembali setiap transkrip wawancara dan

mencari pernyataan partisipan yang signifikan dengan tujuan penelitian yang sudah

dirumuskan, 3) menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan dari

partisipan dengan membuat kata kunci-kata kunci yang sesuai dan merumuskan

makna yang sesuai dengan kata kunci tersebut, 4) menyusun makna yang sudah

dirumuskan dalam kelompok-kelompok tema yang sebelumnya sudah divalidasi

dengan membaca kembali transkrip wawancara yang ada, 5) mengintegrasikan

tema-tema yang dihasilkan kedalam deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti,

6) merumuskan deskripsi secara lengkap mengenai fenomena yang diteliti kedalam

suatu pernyataan identifikasi yang jelas sehingga bisa dipahami oleh orang lain.

Tema-tema yang telah ada disusun membentuk sebuah deskripsi terkait pengalaman

partisipan dalam melaksanakan discharge planning pada pasien stroke di IGD dan

7) menanyakan kembali kepada para partisipan untuk validasi hasil analisis tema

yang sudah ditemukan, terkait kesesuaiannya dengan pengalaman partisipan yang

sesungguhnya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tema penelitian yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini adalah 1)

persepsi perawat tentang discharge planning dan 2) kesesuaian penerapan prosedur

discharge planning.

3.1 Persepsi Perawat tentang Discharge Planning

Persepsi perawat tentang discharge planning diartikan sebagai pengetahuan

atau pemberian makna oleh perawat berdasarkan informasi yang diterima terkait

pelaksanaan discharge planning. Persepsi perawat yang dimaksudkan dalam

konteks ini adalah pandangan/ pemahaman perawat IGD terkait discharge planning

Page 221: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 211 | 231

di IGD, termasuk disini adalah komponen-komponen discharge planning. Persepsi

yang tepat diharapkan bisa berdampak terhadap keefektifan pelaksanaan discharge

planning pada pasien stroke di IGD.

Gbr. 1 Skema Persepsi Perawat tentang Discharge Planning

Persepsi perawat tentang discharge planning; dalam penelitian ini, semua

partisipan merasa bahwa discharge planning merupakan tanggungjawab mutlak dari

dokter, meskipun pada kenyataannya perawat yang memutuskan secara mandiri

kapan discharge planning akan dilakukan. Discharge planning di IGD tidak

mungkin dilakukan, karena di IGD hanya pemindahan dan discharge planning

sebagai upaya untuk mengurangi penumpukan pasien. Jika melihat fenomena

diatas, bisa diartikan bahwa perawat tidak memahami tentang discharge planning

dan peran mereka dalam discharge planning. Hal ini sesuai dengan yang

diungkapkan oleh Han (2008), yang menyatakan bahwa dari beberapa studi di

Taiwan diketahui seringkali perawat mengalami kesulitan dalam memahami posisi

mereka dalam proses discharge planning, kebingungan mengenai proses discharge

planning itu sendiri dan perasaan bahwa mereka berada dalam posisi yang tidak

memungkinkan untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan discharge planning.

Penelitian William (1991) tentang persepsi perawat terhadap discharge planning

juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa keputusan untuk melakukan discharge

planning pada pasien itu merupakan tanggung jawab dokter.

Padahal secara jelas Boyd et al. (2009) menguraikan bagaimana peran

perawat dalam pelaksanaan discharge planning, meliputi (1) kolaborasi dalam

menentukan perkiraan lama rawat pasien, (2) kolaborasi dalam penyusunan rencana

pulang, (3) monitoring perkembangan rencana pulang terkait dengan perkiraan lama

rawat inap, (4) terlibat dalam discharge planning dalam setiap pemindahan pasien

dan (5) melengkapi pendokumentasian discharge planning yang relevan. Di dalam

AHA (2003) juga disebutkan bahwa meningkatkan keamanan dan kelanjutan dari

proses perawatan yang diterima pasien yang merupakan tujuan utama discharge

planning adalah tanggung jawab perawat. Hal ini terkait dengan pelaksanaan peran

perawat sebagai advokat bagi pasien.

Tema persepsi perawat tentang discharge planning dibangun dari 3 sub tema

yaitu 1) mengurangi penumpukan pasien, 2) kesesuaian penanggungjawab, dan 3)

pemindahan.

Mengurangi penumpukan

pasien

Kesesuaian

penanggungjawab

Pemindahan

Persepsi

perawat tentang

discharge

planning

Page 222: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 212 | 231

3.1.1 Sub Tema Mengurangi Penumpukan Pasien

Sub tema mengurangi penumpukan pasien dalam konteks ini dimaknai

sebagai salah satu upaya yang dilakukan perawat untuk menghindari penumpukan

pasien di IGD. Di sini perawat mempunyai anggapan bahwa kalau memang pasien

itu sudah bisa dipindah, harapannya segera dipindahkan ke ruangan. Alasannya

kapasitas IGD yang terbatas. Terutama pada pasien stroke, karena kemajuan pasien

tidak mungkin terjadi cepat. Jadi setelah dilakukan tindakan resusitasi atau

pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, maka pasien segera disiapkan untuk

segera dilakukan pemindahan.

3.1.2 Sub Tema Kesesuaian Penanggungjawab

Kesesuaian penanggungjawab adalah orang/ petugas yang mempunyai

wewenang dalam memutuskan pelaksanaan discharge planning. Hasil penelitian ini,

menunjukkan bahwa perawat beranggapan tanggungjawab memutuskan discharge

planning itu ada pada dokter. Hal itu diwujudkan dengan adanya suatu format

pemindahan yang harus ditandatangani oleh dokter, meskipun pada kenyataannya

keputusan pemindahan itu dilakukan oleh perawat secara mandiri. Kecuali pada

kondisi khusus, perawat baru mengkonsultasikannya pada dokter.

3.1.3 Sub Tema Pemindahan

Sub tema pemindahan adalah proses transfer pasien dari satu ruangan ke

ruangan yang lain, yang sekaligus merupakan rangkaian dari pelaksanaan discharge

planning. Pendekatan yang dilakukan menggunakan 5 tahapan yaitu pengkajian,

diagnose, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Pada konteks ini pemindahan

yang dimaksud adalah proses transfer pasien dari IGD ke ruang rawat atau ICU.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat beranggapan bahwa kalau di

IGD, tidak dilakukan discharge planning. Discharge planning hanya dilakukan di

ruang rawat inap, dimana pasien nantinya akan pulang ke rumah. Di IGD, hanya

dilakukan pemindahan saja. Berbeda dengan discharge planning, pada pemindahan/

transfer pasien ini tidak dilakukan suatu pengkajian dan perencanaan. Pada

pemindahan pasien, perawat hanya melakukan persiapan yang terkait persiapan

pasien, alat dan keluarga.

Persepsi perawat tentang discharge planning; dalam penelitian ini, semua

partisipan merasa bahwa discharge planning merupakan tanggungjawab mutlak dari

dokter, meskipun pada kenyataannya perawat yang memutuskan secara mandiri

kapan discharge planning akan dilakukan. Discharge planning di IGD tidak

mungkin dilakukan, karena di IGD hanya pemindahan dan discharge planning

sebagai upaya untuk mengurangi penumpukan pasien. Jika melihat fenomena

diatas, bisa diartikan bahwa perawat tidak memahami tentang discharge planning

dan peran mereka dalam discharge planning. Hal ini sesuai dengan yang

diungkapkan oleh Han (2008), yang menyatakan bahwa dari beberapa studi di

Page 223: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 213 | 231

Taiwan diketahui seringkali perawat mengalami kesulitan dalam memahami posisi

mereka dalam proses discharge planning, kebingungan mengenai proses discharge

planning itu sendiri dan perasaan bahwa mereka berada dalam posisi yang tidak

memungkinkan untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan discharge planning.

Penelitian William (1991) tentang persepsi perawat terhadap discharge planning

juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa keputusan untuk melakukan discharge

planning pada pasien itu merupakan tanggung jawab dokter.

Padahal secara jelas Boyd et al. (2009) menguraikan bagaimana peran

perawat dalam pelaksanaan discharge planning, meliputi (1) kolaborasi dalam

menentukan perkiraan lama rawat pasien, (2) kolaborasi dalam penyusunan rencana

pulang, (3) monitoring perkembangan rencana pulang terkait dengan perkiraan lama

rawat inap, (4) terlibat dalam discharge planning dalam setiap pemindahan pasien

dan (5) melengkapi pendokumentasian discharge planning yang relevan. Di dalam

AHA (2003) juga disebutkan bahwa meningkatkan keamanan dan kelanjutan dari

proses perawatan yang diterima pasien yang merupakan tujuan utama discharge

planning adalah tanggung jawab perawat. Hal ini terkait dengan pelaksanaan peran

perawat sebagai advokat bagi pasien.

3.2. Kesesuaian Penerapan Prosedur Discharge Planning

Pelaksanaan discharge planning sebagai bagian dari asuhan keperawatan

merupakan pengembangan dari persepsi perawat tentang discharge planning. Hasil

penelitian mengungkapkan bahwa semua partisipan sudah menerapkan discharge

planning pada pasien stroke yang datang ke IGD.

Gbr. 2. Skema kesesuaian penerapan prosedur discharge planning

Tema kesesuaian penerapan prosedur discharge planning dibangun dari 4 sub

tema, yaitu 1) alur pelaksanaan discharge planning, 2) kondisi fisik, 3) ketersediaan

SOP dan 4) pendokumentasian discharge planning.

Alur Pelaksanaan Discharge

Planning

Kondisi Fisik

Ketersediaan SOP

Pendokumentasian Discharge

Planning

Kesesuaian Penerapan Prosedur

Discharge Planning

Page 224: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 214 | 231

3.2.1 Sub Tema Alur Pelaksanaan Discharge Planning

Alur pelaksanaan discharge planning adalah suatu tata urutan dalam

melaksanakan discharge planning. Pada konteks ini, alur pelaksanaan discharge

planning yang dimaksud adalah suatu urutan tindakan yang dilakukan oleh perawat

dalam rangka memindahkan pasien dari IGD ke ruang perawatan atau ICU.

Ketepatan alur pelaksanaan ini, harapannya akan berdampak positif terhadap

efektifitas discharge planning yang dilakukan.

Alur pelaksanaan yang didapatkan dari hasil wawancara pada partisipan

meliputi persiapan pasien, persiapan alat, persiapan keluarga dan pelaksanaan

pemindahan. Persiapan pasien yang dilakukan oleh perawat meliputi ruangan yang

dituju, kebutuhan pasien dan tindakan yang harus dilakukan pada pasien setelah di

ruangan. Pada persiapan alat, perawat menganalisa kebutuhan pasien terkait

penggunaan alat-alat medis yang dibutuhkan selama proses pemindahan, misal

infuse pump, tabung oksigen atau mungkin pasien hanya butuh selimut saja. Disini

terlihat jelas bahwa perawat IGD melakukan koordinasi dengan perawat ruangan

yang dituju, entah ICU ataupun ruang rawat inap.

Alur pelaksanaan yang ketiga adalah persiapan keluarga. Pada tahap ini,

perawat memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi pasien,

perawatan yang dibutuhkan dan kemungkinan tindakan-tindakan yang mungkin

dilakukan pada saat pasien di ruangan. Istilah yang digunakan di IGD adalah

edukasi keluarga. Penjelasan mengenai ketersediaan ruangan yang tersedia, juga

diinformasikan kepada keluarga.

Alur pelaksanaan yang berikutnya adalah proses pemindahannya itu sendiri.

Pada tahap ini, petugas yang melakukannya tergantung dari hasil penilaian derajat

pasien oleh dokter. Derajat 0, untuk kategori yang paling ringan. Pada pasien ini,

petugas yang mengantar pasien pindah ke ruang perawatan berikutnya adalah

petugas helper. Begitu juga untuk pasien derajat ½. Sedangkan pasien dengan

derajat 3, nantinya akan diantar oleh dokter. Meskipun pada kenyataannya jarang

atau mungkin tidak ada.

3.2.2 Sub Tema Kondisi Fisik

Discharge planning ditentukan juga berdasarkan kondisi fisik pasien.

Kondisi fisik pasien yang dijadikan pedoman adalah stabilnya airway dan

hemodinamik pasien stroke. Stabil yang dimaksud disini sedikit berbeda dengan

stabil menurut ruang rawat inap, lebih mengarah pada selesainya tindakan resusitasi

dan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Satu contohnya adalah

selesainya pemasangan mayo, infuse dan pemeriksaan penunjang.

4.2.2.3 Sub Tema Ketersediaan SOP

Hasil wawancara diketahui bahwa di IGD sudah memiliki suatu prosedur

pemindahan pasien dari IGD ke Ruang Rawat ataupun ke ICU. Prosedur baku

Page 225: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 215 | 231

tersebut sudah menjelaskan secara detail tahap-tahap tindakan yang harus dilakukan

oleh perawat dalam proses pemindahan, termasuk contoh ungkapan verbal perawat

pada pasien dan keluarga. Hal ini juga diakui oleh perawat, bahwa dalam

pelaksanaannya mereka hanya tinggal mengikuti dari prosedur yang sudah

ditetapkan.

4.2.2.4 Sub Tema Kesesuaian Dokumentasi Discharge Planning

Istilah dokumentasi diartikan sebagai pengumpulan, pemilihan, pengolahan

dan penyimpanan informasi. Pada konteks keperawatan, dokumentasi diartikan

sebagai informasi tertulis tentang status dan perkembangan kondisi pasien dan

semua kegiatan asuhan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat.

Dokumentasi memegang peranan penting dalam proses asuhan keperawatan karena

sebagai bukti tanggungjjawab dan tanggunggugat perawat. Pada penelitian ini,

dokumentasi yang dimaksud adalah penulisan dan penyimpanan informasi yang

terkait dengan discharge planning yang sudah dilakukan oleh perawat. Oleh karena

discharge planning merupakan bagian dari pelaksanaan asuhan keperawatan yang

dilakukan pada pasien, maka seharusnya hasil pendokumentasian disertakan dalam

berkas rekam medik pasien.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendokumentasian sudah dilakukan

dan disertakan dalam berkas rekam medis pasien. Tetapi dalam lembar

pendokumentasian yang berbeda. Untuk proses pemindahannya, ada lembar

informed consent yang harus ditandatangani oleh dokter selaku penanggunjawab

keputusan pemindahan dan keluarga pasien sebagai bukti bahwa keluarga setuju

pindah ke ruangan yang sudah dijelaskan dengan segala konsekuensi keuangannya.

Sedangkan untuk proses penjelasan pada keluarga dalam rangka persiapan keluarga

sebelum pemindahan, terdokumentasi dalam lembar edukasi. Meskipun di berkas

rekam medic tersebut dilampirkan format discharge planning, tetapi tidak untuk

diisi oleh perawat IGD, melainkan oleh perawat ruangan.

Tema kesesuaian penerapan prosedur discharge planning disusun dari 4

subtema yaitu alur pelaksanaan, ketersediaan SOP, kondisi fisik dan dokumentasi

discharge planning.

Alur Pelaksanaan; pada penelitian ini diidentifikasi bahwa ada beberapa tahapan

yang harus dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan discharge planning yaitu

persiapan pasien, persiapan alat dan persiapan keluarga serta yang terakhir adalah

pemindahan. Pada tahapan-tahapan ini, tampak bahwa sangat dibutuhkan adanya

ketrampilan komunikasi dari perawat IGD karena ada koordinasi dan kerjasama

yang harus dilakukan oleh perawat IGD dengan perawat ruang yang dituju dan

dengan pasien/ keluarga. Perawat IGD hendaknya mampu menjalankan perannya

sebagai educator dan advokat bagi pasien secara optimal. Hal ini seperti yang

dijelaskan Tingle (2002) bahwa mendidik pasien dan memberikan discharge

Page 226: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 216 | 231

planning yang memadai merupakan bagian dari ruang lingkup praktek keperawatan

kegawatdaruratan. Bahkan dijelaskan pula perawat IGD yang tidak menyiapkan

rencana tindak lanjut bagi pasien setelah pulang/ pindah beresiko melakukan

“negligence”.

Di IGD, alur pelaksanaan discharge planning ini sudah tertata dengan baik.

Hal ini dikarenakan sudah adanya prosedur baku tindakan tersebut. Namun

demikian, perawat tetap harus mengembangkan kemampuannya karena jika semata-

mata berpatokan pada prosedur baku yang ada ditakutkan pada akhirnya akan

sebagai kegiatan untuk rutinitas saja. Hal ini identik dengan hasil penelitian Han

(2008) tentang pengetahuan dan pengalaman perawat tentang discharge planning,

dimana salah satu tema yang didapatkan adalah pelaksanaan discharge planning

merupakan kegiatan untuk memenuhi rutinitas.

Kondisi fisik; Kondisi fisik pasien yang dijadikan pedoman dalam pemindahan

pada penelitian ini adalah stabilnya airway dan hemodinamik pasien stroke dan

lebih mengarah pada selesainya tindakan resusitasi dan pemeriksaan-pemeriksaan

penunjang yang dibutuhkan. hasil studi Watts et al. (2005) yang menggunakan tiga

kondisi sebagai pertimbangan untuk memindahkan/ memulangkan pasien meliputi

1) pasien siap untuk dipindahkan/ dipulangkan, 2) memastikan terlebih dahulu

bahwa pemindahan/ pemulangan tidak akan menimbulkan masalah dan 3) jika

tempat tidur yang akan digunakan untuk pasien lain.

Pemindahan/ pemulangan pasien hendaknya dilakukan dengan pertimbangan

yang matang. Hal ini untuk mengantisipasi timbulnya masalah-masalah yang lebih

kompleks yang biasanya muncul pada fase ini. Sesuai dengan pernyataan McCusker

(2008) bahwa pemindahan/ pemulangan yang terlalu dini seringkali mengakibatkan

kegagalan dalam mendeteksi masalah pasien dan ini akan merugikan keamanan

pasien.

Dokumentasi discharge planning; pada penelitian ini dokumentasi sudah

terintegrasi dalam status rekam medis pasien, meskipun terpisah-pisah menjadi

lembar edukasi, informed consent pemindahan dan lembar discharge planning untuk

ruangan. Hal ini sesuai dengan JCAHO Guidelines menyebutkan bahwa semua

aktifitas yang terkait discharge planning, instruksi dan konseling yang dilakukan

oleh perawat untuk memenuhi kebutuhan perawatan pasien harus didokumentasikan

seperti dokumentasi keperawatan dan terintegrasi dalam status rekam medis pasien.

Dokumentasi ini juga untuk memenuhi aspek legal perawatan dan sebagai

media komunikasi antar petugas kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien.

Hal ini untuk menjamin kesinambungan perawatan pasien selanjutnya. Yam et al.

(2012) dan Guerin et al. (2011) menyebutkan bahwa dokumentasi laporan

discharge planning merupakan bentuk komunikasi non verbal yang juga

mempengaruhi efektifitas discharge planning.

Page 227: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 217 | 231

4. KESIMPULAN

Discharge planning yang sudah dilakukan oleh perawat IGD dilandasi

persepsi yang tepat dan adanya SOP sebagai pedoman tindakan. Makna ini

dibangun dari tema-tema yang didapatkan berikut ini:

1. Persepsi perawat tentang discharge planning

2. Kesesuaian penerapan pelaksanaan discharge planning

5. DAFTAR PUSTAKA

Backer, T. E., Howard, E. A., & Moran, G. E. (2007). The role of effective

discharge planning in preventing homelessness. J Primary Prevent, 28:

229-243

Boyd, M., Byrne, E., Donovan, A., Gallagher, J., Phelan, J., Keating, A., et al.

(2009). Guidelines for Nurse/ Midwifes Fascilitated Discharge Planning.

Irlandia: Nursing Services Directors.

Felong, B. (2008, agustus). Guide to Discharge Planning. Retrieved Desember 12,

2013, from www.unm.edu.

Hager, J. S. (2010). Effects of a Discharge Planning Intervention on Perceived

Readiness for Discharge. Minnesota: St. Catherine University.

Han, C., Barnard, A., & Chapman, H. (2009). Emergency department nurses’

understanding and experiences of implementing discharge planning. Journal

of Advanced Nursing, 65(6): 1283-1292

Han, C. (2008). Emergency Department Nurses’ experience of implementing

discharge planning for Emergency Department patients in Taiwan: a

phenomenographic study. Queensland University of Technology.

Heath, H., Sturdy, D., & Cheesley, A. (2010). Discharge planning: A summary of

the Department of Health’s guidance Ready to go? Planning the discharge

and the transfer of patient from hospital and intermediate care. Harrow-

Middlesex: RCN Publishing Company.

Hofflander, M., Nilsson, L., & Eriksen, S. (2013). Discharge planning: Narrated by

nursing staff in primary healthcare and their concerns about using video

conferencing in the planning session – An interview study. Journal of

Nursing Education and Practice, 3(1) , 88-98.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2010). Fundamental Keperawatan;

Konsep, Proses dan Praktek. Jakarta: EGC.

McMurray, A., Johnson, P., Wallis, M., Patterson, E., & Griffiths, S. (2007).

General surgical patients’ perspectives of the adequacy and appropriateness

of discharge planning to facilitate health decision-making at home. Journal

of Clinical Nursing , 1602-1609.

Page 228: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 218 | 231

Moleong, J.L. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja

Rosdakarya.

Morris, J., Winfield, L., & Young, K. (2012). Registered nurses’ perceptions of the

discharge planning process for adult patients in an acute hospital. Journal of

Nursing Education and Practice. 2(1). 28-38.

Polit, D. & Beck, T. (2010). Essential Nursing Research, Apraising evidence

of Nursing practice. Seventh Edition. Philadelphia : Lippincott Walker &

Willkin.

Shepperd, S., Parkes, J., McClaran, J., & Phillips, C. (2008). Discharge planning

from hospital to home (Review). London: John Wiley & Sons, Ltd.

Speziale, H.J.S and Carpenter, D.R. (2007). Qualitative Research in Nursing:

Advancing the Humanistic Imperative 4th Ed. Philadelphia : Lippincott

Williams & Wilkins.

Watts, R., Pierson, J., & Gardner, H. (2005). How do critical care nurses define the

discharge planning process? Intensive and Critical Care Nursing. 21

Wong, E. L., Yam, C. H., Cheung, A. W., Leung, M. Y., Chan, F. W., & Wong, F.

Y. (2011). Barriers to effective discharge planning: a qualitative study

investigating the perspectives of frontline healthcare professionals. BMC

Health Services Research

Page 229: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 219 | 231

HUBUNGAN KEMAMPUAN SOSIAL DAN PERAWATAN DIRI

PASIEN SKIZOFRENIA

Suprianto

Poltekkes Kemenkes Surabaya/ Prodi Keperawatan Sidoarjo

Jl Pahlawan No 173A Sidoarjo

Email: [email protected]

Abstrak

Perawatan diri merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu serta dilaksanakan oleh individu itu

sendiri untuk memenuhi serta mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai

dengan kondisi kesehatan individu. Kemampuan perawatan diri dipengaruhi oleh perkembangan,

biologis, status mental dan sosial.

Penelitian ini bertujuan menguji hubungan kemampuan sosial dengan perawatan diri pada pasien

skizofrenia. Analisis uji parsial untuk mengetahui hubungan kemampuan sosial dengan kemampuan

perawatan diri diperoleh nilai t = 0,155 dengan taraf signifikansi 0,878 (p > 0,01), temuan ini

menunjukkan tidak ada hubungan antara kemampuan sosial dengan kemampuan perawatan diri.

Pasien skizofrenia yang mengalami gangguan perawatan diri, diperlukan pembiasaan agar pasien

selalu melakukan aktivitas perawatan diri. Pasien perlu dibiasakan untuk mau dan mampu

melakukan aktivitas perawatan diri, apabila hal tersebut tidak dilakukan maka pemberian hukuman

dalam batas yang diterima bisa diberikan agar perilaku pasien bisa berubah.

Kata kunci : Perawatan Diri, Kemampuan Sosial, Skizofrenia

1. PENDAHULUAN

Dewasa ini himpitan dan masalah sosial yang dihadapi masyarakat kian

banyak dan berat. Dalam menyikapi situasi dan kondisi ini, berbagai pola dan

perilaku ditunjukkan oleh masyarakat yang terkadang tidak dapat menyelesaikan

masalahnya dan justru terjerembab dalam kondisi stres sampai terjadi gangguan

kejiwaan. Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan

manifestasi-manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang

nyata dan kinerja yang buruk dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial,

psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi. Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan

tidak beres yang berhakikatkan penyimpangan dari suatu konsep normatif. Setiap

jenis ketidakberesan kesehatan itu memiliki tanda-tanda dan gejala-gejala yang khas

(Pratiwi, 2012).

Jenis gangguan kesehatan jiwa tersebut beragam. Mulai yang ringan hingga

yang berat. Penyakit jiwa paling akut dan tergolong ganggun jiwa berat adalah

skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental yang ditandai dengan gangguan

proses berpikir dan tanggapan emosi yang lemah. Keadaan ini pada umumnya

dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi, paranoid, keyakinan atau pikiran yang

salah yang tidak sesuai dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak

berdasarkan logika, dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang

signifikan. Gejala awal biasanya muncul pada saat dewasa muda, dengan prevalensi

semasa hidup secara global sekitar 0,3% – 0,7% (Townsen, 2011).

Page 230: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 220 | 231

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan

menunjukkan adanya disorganisasi(kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga

menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani, 2004).

Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental

berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas seperti, kemunduran

fungsisosial, fungsi kerja,dan perawatan diri. Perawatandiri merupakan aktivitas dan

inisiatif dari individu serta dilaksananakan oleh individu itu sendiri dalam

memenuhi serta mempertahankan kehidupan, kesehatan serta kesejahteraansesuai

dengan kondisi kesehatannya.Individudinyatakan terganggu keperawatan dirinya

jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Depkes 2000). Kemampuan perawatan

diri dipengaruhi oleh perkembangan, biologis, kemampuan realitas dan sosial

budaya, termasuk hubungan antar pribadi.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara

kemampuan sosial dengan kemampuan perawatan diri pasien skizofrenia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan kemampuan

sosial dengan kemampuan perawatan diri pasien skizofrenia.

2. METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah analitik deskriptif dengan

pendekatan cross sectional, dimana pengumpulan data dari variabel independen dan

dependen dilakukan secara bersamaan (point time approach) (Notoadmojo, 2005).

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan status mental dan kemampuan

sosial dengan kemampuan perawatan diri pada pasien skizofrenia

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 76,688 26,387 2,906 ,006

KARAKTERISTI

K STATUS

MENTAL

-,017 ,390 -,006 -,044 ,965

KEMAMPUAN

SOSIAL

,029 ,187 ,023 ,155 ,878

Page 231: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 221 | 231

Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah pasien skizofrenia yang dirawat di ruang

perawatan intermediate Rumah Sakit Jiwa dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.

Sampel diambil sebanyak 50 orang. Penentuan sampel dilakukan secara insidental.

Pelaksanaan penelitian melibatkan perawat rumah sakit sebagai pelaksana.

Intrumen penelitian yang digunakan adalah observasi, terdiri dari kemampuan sosial

dan kemampuan perawatan diri. Pengumpulan data dilakukan setelah pasien

mendapatkan perawatan minimal 3 hari.

Analisis dan Penyimpulan Hasil Penelitian

Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis korelasi parsial

untuk melihat hubungan antara kemampuan sosial dan kemampuan perawatan diri

pasien skizofrenia.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hubungan Kemampuan Sosial dan Kemampuan Perawatan Diri

Pasien Skizofrenia

a Dependent Variable: KEMAMPUAN PERAWATAN DIRI

Dari tabel diatas diperoleh nilai t = 0,155 dan taraf signifikansi 0,878 (p >

0,01). Hal ini menunjukkan bahwa secara parsial kemampuan sosial tidak

berkorelasi dengan kemampuan perawatan diri. Dengan demikian hipotesis yang

menyatakan ada hubungan antara kemampuan sosial dengan kemampuan perawatan

diri ditolak.

Menurut Orem (Kozier, 2004), kemampuan pera watan diri adalah

kemampuan individu untuk melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri

untuk mempertahankan dan memperbaiki kesehatan pribadi. Hasil penelitian

menunjukkan tidak ada hubungan antara karakteristik status mental dan

kemampuan sosial dengan kemampuan perawatan diri.Tidak ada hubungan dapat

diartikan pula bahwa kemampuan perawatan diri pasien tidak dipengaruhi oleh

status mental dan kemampuan sosial pasien.

Aktivitas perawatan diri yang dilakukan pasien tidak didasarkan atas

pemikiran pasien akan arti penting aktivitas itu bagi kesehatan, tetapi lebih kepada

pembiasaan yang telah dilakukan selama dirawat di rumah sakit. Kondisi ini dapat

dijelaskan dengan pendekatan teori belajar behaviorisme, dimana perilaku

merupakan hasil adaptasi terhadap stimuli lingkungan. Organisme mempelajari

adaptasi perilaku dan pembelajaran tersebut dikendalikan oleh prinsip-prinsip

asosiasi (Watson dalam Corey, Gerald. 2009). Skinner (Rana, 2009) dalam

kondisioning operan, dengan konsep penguatan yang didefinisikan sebagai prosess

dimana stimulus atau peristiwa memperkuat atau meningkatkan kemungkinan

respon yang mengikuti itu.

Page 232: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 222 | 231

Ada dua jenis penguatan : negatif dan positif yang sama-sama

meningkatkan perilaku atau respon dari individu, tetapi dengan cara yang berbeda.

Penguatan positif adalah di mana konsekuensi yang menyenangkan membuat

tanggapan lebih mungkin terjadi lagi. Pada penguatan negatif melibatkan

penghapusan, keterlambatan atau penurunan intensitas stimulus yang tidak

menyenangkan, yang menghasilkan respon menjadi lebih kuat atau lebih mungkin

terjadi.Apabila pasien tidak mandi dan akibat dari itu ia digiring ke kamar mandi

atau mendapat pukulan sampai ia mandi dan berulang-ulang seperti itu maka pasien

akan mandi agar tidak mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan. Demikian juga

dengan aktivitas perawatan diri lainnya.

4. KESIMPULAN

Kemampuan perawatan diri adalah kemampuan seseorang untuk melakukan

aktivitas perawatan diri yang meliputi mandi, berpakaian, berhias, makan dan

toileting. Aktivitas perawatan diri merupakan kebutuhan setiap orang termasuk pada

pasien skizofrenia.

Kemampuan perawatan diri tidak dipengaruhi oleh status mental dan

kemampuan sosial. Seorang individu karena kebiasaan dan didukung adanya

kebutuhan, maka ia akan melakukan aktivitas tersebut sesuai dengan kebutuhannya.

5. DAFTAR PUSTAKA

Atkinson (2009). Pengantar Psikologi, jilid I. Alih bahasa Nurdjanah Taufik dan

Rukmini B. Erlangga. Jakarta

Depkes (2000). Standar Pedoman Keperawatan Jiwa.

Gimpel &Merrell (2002). Social Skill of Children and Adolescents;

conceptualization, assessment, treatment. Journal of Psychoeducation

asessment.

Kaplan (2000). Sinopsis Psikiatri. EGC. Jakarta

Kartono ( 2002).PatologiSosial 3, Gangguan-Ganguan Kejiwaan. Jakarta Raja

Grafindo Persada.

Malhotra, Naresh, 2007. Marketing Research : an applied orientation, Pearson

Education, Inc., fifth edition. New Jearsey : USA

Maramis (1999), Catatan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University

Press. Surabaya

Maslim, Rusdi. (2004). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta

: FK Jiwa Unika Atmajaya

Nurjannah (2004). Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta:

Mocomedi

Pratiwi (2012) Skizofrenia. Jurnal Online Kajian Psikologihttp://psikologi.or.id,

Page 233: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 223 | 231

Potter (2005), Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik.

Jakarta EGC.

Rana (2009). Psychology for Nurse.Pearson Education

Shea, Shawn C.1996. Warancara Psikiatri, seri pemahaman. EGC. Jakarta

Sukrata (2013). Gangguan Jiwa Masyarakat Bali Meningkat. Bali Post, 20

September 2013.

Suryani. (2004). Jurnal Kesehatan Halusinasi: Karateristik dan Upaya Mangatasi

Gejala pada Penderita Skizofrenia di RSJ X. Volume 5 No. X maret 2004-

september 2004 Hal 125-133

Townsen (2011). Nursing Diagnoses in Psychiatric Nursing, Care Plans and

Psychotropic Medication. Eigth edition. F.A. Davis Company. Philadelphia

Videnbeck (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. EGC. Jakarta

Wartonah, Tarwoto ( 2006 ). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan,

Edisi 3. Jakarta. Salemba Medika

Zan Pieter, et.all (2011). Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan. Kencana

Prenada Media Group. Jakarta

Page 234: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 224 | 231

PEMBERIAN DOT DENGAN PERTUMBUHAN GUSI DANGIGI PADA BAYI

Dwi Harini1 Sulisdiana2, Nurul Hidayah31Poltekkes Majapahit Mojokerto/Prodi Keperawatan2Poltekkes Majapahit Mojokerto / Prodi Kebidanan

3Poltekkes Kemenkes Malang/Keperawatan Lawangemail: [email protected]

Abstrak

Pemberian dot pada bayi merupakan salah satu faktor resiko terganggunyapertumbuhan gusi dan gigi pada bayi. Pemberian dot memang efektif membantu orang tuadalam menenangkan bayi. Namun hal ini dipercaya justru menjadi faktor penghambatperkembangan bicara anak, selain itu dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan danperkembangan gusi dan gigi bayi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui HubunganPemberian Dot Dengan Pertumbuhan Gusi Dan Gigi Pada Bayi Usia 6 Bulan Sampai 2tahun di Puri Mojokerto.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitiananalitik cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi yang berusia 6bulan sampai 2 tahun yang berjumlah 53 bayi dan, Sampel menggunakan teknik totalsampling. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner dan checlist. Pengolahan datadilakukan dengan proses editing, coding, scoring, tabulating, dan penyajian data. Teknikanalisa data menggunakan analisis Univariate menggunakan distribusi frekuensi, dan analisisBivariat menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 5 3 bayi yang berusia 6 bulan sampai 2tahun di Puri Mojokerto yang diberi dot yaitu 3 1 bayi (69.86%). 73 bayi yang memiliki polapertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai yaitu 32 bayi (71.33%).

Uji Chi-Square didapatkan nilai p value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,05. Hal inimenunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pemberian dot dengan pertumbuhan gusidan gigi bayi. Dot merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gusi dan gigi bayi.Dot dapat menimbulkan ketergantungan hal ini karena setelah usia 6 bulan empeng atau dot bayiberubah fungsi dari suatu alat yang sekedar memberikan kenyamanan menjadi alat yangdapat memberikan rasa nyaman. Diharapkan perawat memberikan penyuluhan pentingnya ASIdan dampak pemberian dot. Sehingga para ibu lebih mengutamakan pemberian asi Eksklusifdemi kebaikan perkembangan bayi.

Kata Kunci : Dot, Pertumbuhan, Gusi, Gigi

1. PENDAHULUAN

Dot dikenal sebagai dummy, soother/pacifier, adalah pengganti puting

susu (ibu) yang biasanya terbuat dari karet/plastik. Penggunaan dot dianggap

bermanfaat karena menenangkan bayi serta memberikan rasa nyaman pada

keadaan tertentu seperti keinginan untuk mulai tidur, rasa nyeri waktu gigi

tumbuh, dipisahkan dari ibunya, menurunkan frekuensi menghisap jari, serta

Page 235: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 225 | 231

menurunnya kejadian SIDS (sudden infant death syndrome). Dot memang

efektif membantu orang tua dalam menenangkan bayi saat menangis. Namun

hal ini dipercaya justru menjadi faktor penghambat perkembangan bicara

anak. Selain itu membiasakan memberikan susu/ minuman lain

menggunakan botol susu pada anak kita ternyata dapat menimbulkan

kerusakan pada gigi atau biasa di sebut dengan karies (Pacifier, 2010).

Beberapa penelitian tentang penggunaan dot, dilaporkan bahwa 75 – 85%

anak-anak di Negara – Negara barat menggunakan dot (Niemela et al. 1994),

sedangkan Howard et al. (1994) melaporkan bayi di Amerika Serikat telah

diberikan dot sejak umur 6 minggu atau lebih muda. (Victoria et al. 1997)

dari penelitiannya melaporkan bahwa bayi-bayi sudah mulai menggunakan

dot sejak umur 1 bulan. Pansy dkk melaporkan bahwa prevalensi

penggunaan dot tinggi pada minggu ke tujuh (82%) dan bulan ke lima

kelahiran (78%) (Trianke Nur Aini, 2012).

Masalah gigi berlubang dialami oleh sekitar 85% anak kurang 5 th di

Indonesia salah satu penyebabnya adalah kebiasaan minum susu botol ada usia

akhir balita. Kurang dari 15% anak kota maupun pedesaan yang tidak

mendapat pelayanan medis sebagaimana mestinya, dan 50% atau lebih pada

beberapa suku asli (Kompas, 2009).

Penggunaan dot yang berkepanjangan mempunyai korelasi kuat

dengan timbulnya masalah gigi, seperti karies dan maloklusi. Dari beberapa

penelitian, terbukti ada korelasi antara penggunaan dot yang berkepanjangan

(2 tahun atau lebih) dengan timbulnya karies. Keadaan ini diperberat bila

penggunaan dot dilakukan sambil tidur (night feeding). Penelitian terhadap 150

anak usia 18 – 36 bulan oleh Peressini (2003), menyimpulkan bahwa terdapat

korelasi yang signifikan antara kebiasaan minum dot botol sambil tidur

dengan timbulnya karies serta kerusakan gigi (Yunanto, 2013 ).

Menggunakan botol dot dalam durasi dan frekuensi berlebih berperan besar

dalam memajukan gigi depan anak (Maloklusi). Kendati tidak sekeras

jari, makin sering menggunakan dot maka kemungkinan protrusi akan

semakin besar. Menurut Dr Sarworini Bagio Budiardjo drg SpGKGA, dari

Page 236: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 226 | 231

Departemen Ilmu Kesehatan Gigi Anak FKG- Universitas Indonesia,

karena saat menghisap menggunakan botol dot dapat mengakibatkan rahang atas

secara reflek akan maju ke depan. Sementara rahang bawah bergerak ke

arah sebaliknya. Perubahan posisi gigi besar kemungkinan tjd jika anak

menggunakan botol dot terlalu berlebihan(Aini, 2012).

Apabila bayi hanya sesekali mengempeng dan hanya sampai 1 th, maka

tidak ada masalah dengan perkembangan giginya. Tapi jika bayi adalah

pengempeng aktif dan meskipun umurnya sudah lebih dari 1 tahun ia masih

tidak bisa lepas dari dot, sebaiknya harus dilakukan usaha untuk segera

menyapih si kecil dari dotnya. Karena hal tersebut dapat membuat gigi-

geliginya tumbuh tidak sebagaimana mestinya, meskipun itu masih gigi susu,

tetapi perkembangannya akan menentukan pertumbuhan dan letak susunan

gigi permanen di kemudian hari. Makin lama penggunaan dot, akan makin

tinggi risiko kerusakan gigi (Yunanto, 2013 ).

Sedikit indikasi penggunaan empeng atau dot jika di bandingkan dengan

masalah yang bisa ditimbulkan. Oleh karena itu, sejak awal disarankan agar

sebaiknya anak tidak diperkenalkan pada empeng. Apabila balita aktif

menggunakan empeng maka orang tua dapat mencari alternatif selain empeng.

Misalnya pada balita yang masih kecil orang tua bisa memberikan jari ibu yang

telah di bersihkan untuk di hisap, memeluk, mengayun-ayun, menyanyikan,

memijat, dan menyetel musik yang lembut untuk memberi kenyamanan pada

balita. Pada balita yang lebih besar orang tua bisa mengalihkan perhatian si

kecil dengan aktiftas lain atau dengan mainan, atau bisa juga dengan

membubuhkan rasa yang tidak enak pada empeng atau dot bayi. Pada

balita/anak lebih besar, orang tua bisa menunjukkan pd anak lain yang lebih

tua yang tidak memakai empeng, mengadakan upacara pelepasan

empeng/dengan cara menukar empengnya dengan mainan atau buku yang di

sukai si kecil (Kurniawan, 2012 ).

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat analitik. Variabel Independen pada penelitian

ini adalah Pemberian dot, dan Variabel dependen pada penelitian ini adalah

Pertumbuhan gusi dan gigi bayi usia 6 bl - 2 th. Teknik sampling yang

Page 237: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 227 | 231

digunakan adalah total sampling dengan jumlah sampel 73 bayi. Instrumen

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah checlist dan kuesioner.

Teknik analisa data menggunakan analisis Unvariate menggunakan distribusi

frekuensi, dan analisis Bivariat menggunakan uji Chi- Square

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

A. Data Umum

a. Distribusi Frekuensi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun Berdasarkan Jenis KelaminTabel 4.1 Distribusi Frekwensi Bayi Usia 6 Bulan sampai 2 TahunBerdasarkan Umur di Puri Mojokerto p ada tanggal 5 Mei - 10 Juni2014.

No Jenis Kelamin Frekwensi (f) Prosentase (%)

1 Laki – Laki 32 57.52 Perempuan 2 1 42.5

Jumlah 53 100

Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa dari 73 bayiusia 6 bulan sampai 2 tahun Di Puri Mojokerto Mojokerto sebagian besarberjenis kelamin laki-laki yaitu sejumlah 42 bayi (57.5%).

b. Distribusi Frekuensi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun Berdasarkan UmurTabel 4.2 Distribusi Frekuensi Bayi 6 Bulan – 2 TahunBerdasarkan Umur di Puri Mojokerto p ada tanggal 5 Mei - 10Juni 2014

No Umur Frekwensi (f) Prosentase (%)1 6 - 9 Bulan 1 5.52 9 - 12 Bulan 9 17.83 12 - 15 Bulan 8 15.14 15 - 18 Bulan 4 9.65 18 – 21Bulan 3 6.86 21 – 24 Bulan 28 45.2

Jumlah 5 3 100

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa dari 73 bayiusia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto hampir setengah bayiberusia 21-24 bulan yaitu sejumlah 33 bayi (45.2%)

Page 238: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 228 | 231

B. Data

Khususa. Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun berdasarkan Pola Pemberian Dot Dan

Tidak Diberi Dot

Tabel 4.3 Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun BerdasarkanPola Pemberian Dot Dan Tidak Di Beri Dot di PuriMojokerto p ada tanggal 5 Mei - 10 Juni 2014

No Dot Frekuensi (f) Prosentase (%)1 Memakai 41 69.862 Tidak Memakai 12 30.14

Jumlah 53 100

Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat diketahui bahwa dari 53bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagianbesar telah mendapatkan pemberian dot yaitu sejumlah 41 bayi(69.89%).

b. Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun berdasarkan Pola Pertumbuhan Gusidan Gigi

Tabel 4.4 Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 Tahun Berdasarkan PolaPertumbuhan gusi dan gigi di Puri Mojokerto p ada tanggal 5 Mei -10 Juni 2014

No

PolapertumbuhanGusi dan gigi

Frekuensi (f) Prosentase(%)

1 Sesuai 11 28.77.862 Tidak Sesuai i 4212 71.3

3Jumlah 53 100

Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat diketahui bahwa dari 53 bayiusia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian besar memilikipola pertumbuhan gusi dan gigi yang tidak sesuai yaitu sejumlah 42bayi (71.33%)

c. Hubungan Pemberian Dot Dengan Pertumbuhan Gusi Dan Gigi Bayi

Tabel 4.5 Distribusi Bayi 6 Bulan – 2 TahunBerdasarkan Pola Pertumbuhan Gusi Dan Gigi Yang MemakaiDan Tidak Pemberian Dot di desa Puri Mojokerto pada tanggal 5Mei - 10 Juni 2014

Pola pertumbuhan Memakai Tidak Total Total

Gusi Dan Gigi DotMemakai

F %F % f %

1 Sesuai 3 10.96 8 17.81 11 28.772 Tidak Sesuai 38 58.90 4 12.33 42 71.23

Jumlah 41 69.86 12 30.14 53 100hasil uji Chi-Square p value = 0,001

Page 239: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 229 | 231

Berdasarkan tabel 4.5 diatas diketahui bahwa dari 53 bayi usia6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian besar bayi memilikipertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai yang di sebabkan olehpemberian dot pada bayi yaitu sebanyak 33 bayi (58.9%).

Pembahasan

A.Pola Pemberian Dot Dan Tidak Diberi Dot

Hasil penelitian berdasarkan tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa

dari 53 bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian besar

bayi mendapatkan pemberian dot yaitu 41 bayi (69.86%). Dari 53 bayi usia 6

bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto hampir setengah dari bayi

mendapatkan pemberian dot adalah laki-laki yaitu 30 bayi (41.1%), dan

sebagian kecil dari bayi yang mendapatkan pemberian dot adalah perempuan

yaitu 11 bayi (28.8%). Dari bayi 53 bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri

Mojokerto hampir setengah dari bayi yang mendapatkan pemberian dot

adalah bayi usia 21-24 bulan yaitu 14 bayi (32.88%).

B. Pola Pertumbuhan Gusi Dan Gigi

Hasil penelitian berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat diketahui

bahwa dari 53 bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto

sebagian besar memiliki pola pertumbuhan gusi dan gigi yang tidak

sesuai yaitu sejumlah 42 bayi (71.23%). Dari 53 bayi usia 6 bulan

sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian kecil dari bayi memiliki

pertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai adalah laki-laki yaitu 11 bayi

(15.1%), hampir setengah dari bayi yang memiliki pertumbuhan gusi

dan gigi tidak sesuai adalah perempuan yaitu 10 bayi (27.4%). Dari bayi

53 bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto hampir setengah dari

bayi yang memiliki pertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai adalah bayi usia

21-24 bulan yaitu 1 3 bayi (31.51%).

C. Hubungan Pemberian Dot Dengan Pertumbuhan Gusi dan Gigi

Berdasarkan tabel 4.5 diatas diketahui bahwa dari 5 3 bayi usia 6

bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto sebagian besar bayi memiliki

Page 240: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 230 | 231

pertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai yang di sebabkan oleh pemberian

dot pada bayi yaitu sebanyak 43 bayi (58.90%), sedangkan sebagian kecil

bayi tidak menggunakan dot yang mengalami gangguan pertumbuhan gusi

dan gigi yaitu sebanyak 9 bayi (12.33%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square

didapatkan niali p value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini

menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pemberian dot dengan

pertumbuhan gusi dan gigi bayi.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan pemberian dot dengan

pertumbuhan gusi dan gigi bayi usia 6 bulan sampai dengan 2 tahun di

Puri Mojokerto, maka disimpulkan:

1. Bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto, sebagian besar telah

mendapatkan pemberian dot yaitu seumlah 41 bayi (69.89%).

2. Bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di Puri Mojokerto, sebagian besar bayi

memiliki pola pertumbuhan gusi dan gigi tidak sesuai yaitu 42 bayi

(71.23%).

3. Ada hubungan antara pemberian dot dengan pertumbuhan gusi dan gigi

bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun di di Puri Mojokerto dengan p value

0,001< α = 0,05.

5. DAFTAR PUSTAKA

Administrator. (2013) . Urutan Pertumbuhan Gigi. Retrieved at 12 October, 2013fromhttp://www.rplusklinikgigi.com/index.php?p=read_articles&b=13&l=

Aini. (2012). Penggunaan botol dot sebagai penyebab maloklusidan terjadinyakaries pada anak. Retrieved at 09 October, 2012

Babycenter. Pertumbuhan gigi. Retrieved at 18 September 2013From http://www.babycenter.com.my/a1041389/detik-penting-dalam-perkembangan-bayi-pertumbuhan-gigi

drg. Ircham Machfoedz. (2013). Menjaga kesehatan gigi dan mulut anak-anakdan ibu hamil. Cetakan ke empat. Yogjakarta: Fitramaya

Hidayat, A.(2007). Metode penelitian kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Page 241: PROGRAM STUDI KEPERAWATAN - Repository Poltekkes Kendari

Proceding Nasional Poltekkes Kemenkes Malang 2017

H a l a m a n 231 | 231

Hubungan Pemberian Susu Botol Menjelang Tidur Dengan Kejadian Karies GigiPada Balita(2-4 tahun) Di PAUD. Jurnal Kesehatan AIPTINAKESJATIM

Iyaa. (2013). Bayi Ngempeng. Retrieved at 30 April 2013from http://www.iyaa.com/gayahidup/keluarga/bayi/_3371.html

Notoatmodjo, (2010). Metode penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Nursalam. (2008) . Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmukeperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Santrock, JW. (2007). Perkembangan anak, hal. 19-20. Edisi kesebelas, jilid 1.Jakarta: ErlanggaFrom http://www.scribd.com/doc/112880378/Kti-Pengaruh-Botol-Dot

Sylvia. (2013). Pertumbuhan Gigi. Retrieved at 15 September, 2009From http://keluargasehat.wordpress.com/2009/09/15/pertumbuhan-gigi-2/

Tanyadok. (2012). Manfaat dot. Retrieved at 09 October, 2012From http://ww.tanyadok.com/anak/dot-atau-empeng-bergunakah-untuk-bayi

Wikipedia. (2014). GIGI. Retrieved at April 9, 2014. fromhttp://id.wikipedia.org/wiki/Gigi

Yunanto. (2013). Masalah Penggunaan Dot pada Bayi. Retrieved at 26,August 2013 from http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/masalah-penggunaan-dot-pada- bayi.html