Program Pengendalian Ppok

26
PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DI INDONESIA Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Program Pengendalian Penyakit Tidak Menular Oleh: Ana Erviana Fajriatin Wahyuningsih Karlina Sulistiani Kartika Andriani Tribayu Purnama PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

description

PPOK

Transcript of Program Pengendalian Ppok

Page 1: Program Pengendalian Ppok

PROGRAM PENGENDALIAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK

DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas KelompokMata Kuliah Program Pengendalian Penyakit Tidak Menular

Oleh:

Ana Erviana

Fajriatin Wahyuningsih

Karlina Sulistiani

Kartika Andriani

Tribayu Purnama

PEMINATAN EPIDEMIOLOGIPROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013

Page 2: Program Pengendalian Ppok

A. Patofisiologi PenyakitPenyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang

sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama

dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran

patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang

dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma

bronchiale. Sering juga penyakit ini disebut dengan “Chronic Airflow Limitation

(CAL)” dan “Chronic Obstructive Lung Diseases (COLD).”

Penyakit Obstruksi Kronik (PPOK ) merupakan suatu penyakit dimana

merupakan suatu kondisi dimana aliran udara pada paru tersumbat secara terus

menerus. Proses penyakit ini adalah seringkali kombinasi dari 2 atau 3 kondisi

berikut ini (Bronkhitis Obstruktif Kronis, Emphysema dan Asthma Bronkiale)

dengan suatu penyebab primer dan yang lain adalah komplikasi dari penyakit

primer (Enggram, B. 2006).

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang

menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor

risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor

lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan

pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin,

yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi

akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa

kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru

akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan

PPOK (Helmersen, 2002).

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

Asap rokok merusak silia yang terdapat di sepanjang saluran udara dan

menekan pembentukan AAT (alpa antitripsin)

Pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54

tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an

Page 3: Program Pengendalian Ppok

Industrialisasi, polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan

di pertambangan

Faktor lingkungan, pekerjaan, polusi udara  dan alergen sangat

berpengaruh terhadap terjadinya COPD. Paparan trehadap udara dingin,

jamur, serbuk bunga, nitrogen atau gas sulfur, asbestos, bulu binatang,

hairspray dan polutan yang terdapat disekitar rumah dapat menstimulasi

bronkokonstriksi. Pada serangan akut kontraksi spastik menyebabkan

penderita kesulitan bernafas karena produksi sel goblet meningkat, saluran

nafas mengalami hipertropi dan penebalan, serta adanya sekresi mukus

yang kental dan sangat banyak → gejala khas asmatik bronkitis.

Faktor keturunan, faktor keturunan dan kebiasaan dirumah tangga  di

wariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Oleh sebab itu sangat

penting untuk mengkaji riwayat keluarga pada pasien COPD. Walaupun

penyebab utama empisema adalah merokok tetapi bisa juga karena

defisiensi AAT yang bersifat keturunan. AAT adalah enzim proteolitik

yang berfungsi menekan kerja protease. Protease di produksi oleh leukosit,

makropag dan bakteri sebagai respon terhadap proses inflamasi. Bila tidak

terkontrol protease dapat mengakibatkan kerusakan struktur elastin pada

jaringan paru sehingga mengkibatkan saluran nafas berukuran kecil tidak

elastik sama sekali. Hal ini mengakibatkan paru-paru akan kolaps saat

ekspirasi. Udara yang terperangkap dalam alveoli akan mengakibatkan

alveoli membesar dan akhirnya ruptur.

Terdapat beberapa klasifikasi PPOK dengan melihat dari gejala klinis,

klasifikasi ini berkaitan dengan tingkat keparahan, berikut adalah tabel

klasifikasinya:

Klasifikasi Penyakit Gejala Klinis Spirometri

PPOK Ringan -Dengan atau tanpa

batuk

-Dengan atau tanpa

produksi sputum

-VEP1 ≥ 80% prediksi

(nilai normal spirometri)

-VEP1/KVP < 70%

Page 4: Program Pengendalian Ppok

-Sesak napas derajat

sesak 1 sampai derajat

sesak 2

PPOK Sedang

-Dengan atau tanpa

batuk

-Dengan atau tanpa

produksi sputum

-Sesak napas derajat 3

-VEP1/KVP < 70%

-50% ≤ VEP1 < 80%

prediksi

PPOK Berat

-Sesak napas derajat

sesak 4 dan 5

-Eksaserbasi lebih

sering terjadi

-VEP1/KVP < 70%

-30% ≤ VEP1 < 50%

prediksi

PPOK Sangat Berat

-Sesak napas derajat

sesak 4 dan 5 dengan

gagal napas kronik

-Eksaserbasi lebih

sering terjadi

-Disertai komplikasi kor

pulmonale atau gagal

jantung kanan

-VEP1/KVP <70%

-VEP1 < 30% prediksi,

atau

-VEP1 < 50% dengan

gagal napas kronik

Untuk mengurangi kasus PPOK dapat dilakukan dengan melaksanakan

penanggulangan penderita PPOK dengan penatalaksanaan kasus. Tujuan

penatalaksanaan kasus antara lain :

Mengurangi gejala Mencegah eksaserbasi berulang

Page 5: Program Pengendalian Ppok

Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru Meningkatkan kualiti hidup penderita

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,

sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan

stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut. Penatalaksanaan secara

umum PPOK meliputi :

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena

PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi

adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan

fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari

pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan

dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal3. Mencapai aktiviti optimal4. Meningkatkan kualiti hidup

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK2. Obat – obatan, manfaat dan efek sampingnya3. Cara pencegahan perburukan penyakit4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)5. Penyesuaian aktiviti

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan

hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah

kerusakan sel baik di otot maupun organ – organ lainnya.

2. Obat – obatan3. Terapi oksigen

Terapi oksigen memberikan manfaat sebagai berikut :

Page 6: Program Pengendalian Ppok

Mengurangi sesak Memperbaiki aktiviti Mengurangi hipertensi pulmonal Mengurangi vasokonstriksi Mengurangi hematokrit Memperbaiki fungsi neuropsikiatri Meningkatkan kualiti hidup

4. Ventilasi mekanik5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya

kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena

hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.

Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan

derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi dapat

dievaluasi dengan :

Penurunan berat badan Kadar albumin darah Antropometri Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot

pipi) Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan

mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat

mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan

keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu

nutrisi dapat diberikan secara terus menerus(nocturnal feedings) dengan pipa

nasogaster.

6. Rehabilitasi

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan

memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam

program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal

yang disertai :

Simptom pernapasan berat

Page 7: Program Pengendalian Ppok

Beberapa kali masuk ruang gawat darurat Kualiti hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim

multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.

Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan

latihan pernapasan.

Page 8: Program Pengendalian Ppok

B. Besaran Kasus POPK di IndonesiaBerdasarkan hasil penelitian dari Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ( P2PL) dari tahun 2009-2010 diketahui

bahwa proporsi kasus PPOK pada pasien dengan kasus rawat inap di Rumah Sakit

sebesar 0,95% pada tahun 2009 dan 0,93% pada tahun 2010.

Jika dilihat berdasarkan 10 besar peringkat peringkat 10 besar jumlah

kematian PTM rawat inap di rumah sakit tahun 2009 dan tahun 2010, PPOK

memiliki presentase sebesar 6,25% pada tahun 2009 dan 6,74% pada tahun 2010.

Kasus PPOK menyumbang persentase kematian di rumah sakit pada

pasien rawat inap sebesar 1,35% pada tahun 2009 dan 1,33% pada tahun 2010.

Page 9: Program Pengendalian Ppok

Sedangkan tingkat kefatalan (CFR) kasus PPOK pada rawat inap di rumah

sakit sebesar 5,1% pada tahun 2009 dan 4,88% pada tahun 2010.

Page 10: Program Pengendalian Ppok

C. Pengendalian Kasus POPKBerdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/Menkes/SK/XI/2008 tentang Pedoman

Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik diketahui bahwa pengendalian kasus PPOK dilaksanakan melalui kerangka kerja

bertahap dengan pendekatan praktis dan fleksibel, terdiri dari 3 (tiga) langkah perencanaan utama dan 3 (tiga) langkah implementasi

utama (WHO, 2005).

Langkah perencanaan pertama adalah menilai profil faktor risiko dan besaran masalah kasus PPOK di populasi. WHO

menganjurkan Surveilans Epidemiologi faktor risiko dengan pendekatan STEP wise. Langkah ini diikuti dengan advokasi kepada

penentu kebijakan melalui penyediaan informasi tentang

kecenderungan kasus PPOK dan faktor risiko serta ketersediaan intervensi yang

efisien dan efektif dalam pengendalian PPOK.

Langkah perencanaan kedua, menyusun dan mengadopsi kebijakan pengendalian penyakit tidak menular yang didasarkan

pada prinsip-prinsip: komprehensif, terintegrasi, sepanjang hayat dengan melibatkan sektor terkait .

Langkah perencanaan ketiga adalah identifikasi cara yang paling efektif untuk mengimplementasi kebijakan. Kombinasi

intervensi yang dipilih adalah yang mempunyai daya ungkit paling besar untuk menjadikan kebijakan secara praktis dapat

dilaksanakan. Langkah implementasi kebijakan ini meliputi langkah inti (core), langkah ekspansi (expanded) dan langkah yang

diinginkan (desirable).

Page 11: Program Pengendalian Ppok
Page 12: Program Pengendalian Ppok

D. Strategi Program Pengendalian POPKUntuk mengimplementasikan langkah perencanaan yang telah disusun,

maka disusunlah Kebijakan dan Strategi Pengendalian PPOK dengan mengacu

pada pendekatan WHO dalam pengendalian penyakit tidak menular, Visi dan Misi

Departemen Kesehatan. Kebijakan dan strategi pengendalian PPOK antara lain:

A. Visi

Masyarakat yang mandiri dalam menghindari penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK)

B. Misi

Membuat masyarakat terhindar dari PPOK dengan melaksnakan KIE

(Komunikasi, Informasi dan Edukasi), kemitraan, perlindungan khusus, penemuan

dan tatalaksana kasus (termasuk deteksi dini PPOK), surveilans epidemiologi

(kasus termasuk kematian dan faktor risiko), upaya peningkatan peran serta

masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan PPOK melalui kajian aspek

sosial budaya dan perilaku masyarakat, serta pemantauan dan penilaian.

C. Kebijakan

1. Pengendalian PPOK didasari pada pendekatan pelayanan komprehensif,

terintegrasi, sepajang hayat yang didukung partisipasi dan pemberdayaan

masyarakat dalam pencegahan PPOK serta sesuai dengan kondisi masing-

masing daerah (local area spesific)

2. Pengendalian PPOK dilaksanakan melalui pengembangan kemitraan dan

jejaring kerja secara multidisiplin dan lintas sektor.

3. Pengendalian PPOK dikelola secara profesional, berkualitas dan terjangkau

oleh masyarakat serta didukung oleh sumber daya yang memadai.

4. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengendalian PPOK

6. Pengembangan sentra rujukan, surveilans epidemiologi dan sentinel penyakit

tidak menular khususnya PPOK.

Page 13: Program Pengendalian Ppok

D. Strategi

1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat dalam pencegahan PPOK.

2. Memfasilitasi dan mendorong tumbuhnya gerakan dalam pencegahan PPOK

di masyarakat.

3. Memfasilitasi kebijakan publik dalam pengendalian PPOK.

4. Meningkatkan kemampuan SDM (Sumber Daya Manusia) dalam

pengendalian PPOK.

5. Meningkatkan sistem surveilans epidemiologi (kasus termasuk kematian dan

faktor risiko) PPOK.

6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan (penemuan/deteksi dini,

dan tatalaksana) PPOK yang berkualitas.

7. Melaksanakan sosialisasi dan advokasi pada Pemerintah Daerah, legislatif

dan stakeholder dalam memberikan dukungan pendanaan dan operasional.

E. Tujuan

Tujuan umum pengendalian PPOK adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan partisipasi (kemandirian) masyarakat dalam upaya pencegahan

PPOK

2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko PPOK

3. Menurunkan angka rumah Hunian Bebas asap Rokok (HBR) dan prevalensi

perokok

4. Terpetakannya faktor risiko PPOK menurut kabupaten/kota di Indonesia

Kebijakan dan strategi tersebut diterapkan dalam sebuah pelaksanaan

program pengendalian, pelaksanaan program tersebut antara lain:

1. Penyuluhan (KIE), bertujuan untuk meningkatnya partisipasi

(kemandirian) masyarakat dalam pencegahan PPOK

2.  Kemitraan, memiliki tujuan yaitu:

Page 14: Program Pengendalian Ppok

Umum     : Meningkatnya ketersediaan informasi dan kerjasama aktif seluruh

potensi di lingkungan pemerintah dan masyarakat untuk menekan kecenderungan

peningkatan kejadian PPOK dan pajanan faktor risiko.

Khusus   :

Meningkatnya komitmen pemerintah dan berbagai mitra potensial di

masyarakat dalam upaya pengendalian PPOK

Adanya sinergi dan keterpaduan dalam berbagai kegiatan pengendalian PPOK

Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam pencegahan PPOK.

3. Perlindungan Khusus, bertujuan untuk memberikan perlindungan dan

menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko PPOK.

4.  Penemuan dan Tatalaksana Kasus (termasuk deteksi dini PPOK),

memiliki tujuan yaitu:

Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko PPOK

Terlaksananya penegakkan diagnosis dan tatalaksana pasien PPOK sesuai

standar

Menurunnya angka kesakitan dan kematian PPOK

5.  Surveilans Epidemiologi (kasus termasuk kematian dan faktor risiko),

 a. Surveilans Kasus, tujuannya yaitu:

Terselengaranya pengumpulan data kasus (termasuk kematian) PPOK

Terselenggaranya pengolahan data dan analisis data kasus PPOK

Terselenggaranya diseminasi informasi hasil kajian/analisis kasus PPOK

Terselenggaranya rencana tindak lanjut.

 b. Surveilans Faktor Risiko, tujuannya yaitu:

Terselengaranya pengumpulan data (survei secara berkala) mengenai faktor

risiko PPOK

Terselenggaranya pengolahan dan analisis data faktor risiko perilaku dan

lingkungan yang berhubungan dengan PPOK

Terselengaranya pemetaan faktor risiko menurut kabupaten/kota

Page 15: Program Pengendalian Ppok

Terselengaranya diseminasi informasi hasil kajian/analisis faktor risiko

perilaku dan lingkungan yang berhubungan dengan PPOK

Terselengaranya rencana tindak lanjut.

6.  Upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan PPOK

melalui kajian aspek sosial budaya dan perilaku masyarakat, dan tujuannya antara

lain:

Diketahuinya gambaran sosial-budaya dan partisipasi masyarakat dalam

pencegahan PPOK serta faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi

masyarakat tersebut di masing-masing kabupaten/kota.

Meningkatnya pemberdayaan atau partisipasi masyarakat dalam pencegahan

PPOK

7.       Pemantauan dan penilaian, tujuannya antara lain:

Terlaksananya kegiatan fasilitasi upaya peningkatan pengetahuan, motivasi dan

partisipasi pengelola program, dokter dan paramedis, mitra kerja

dan stakeholder lainnya dalam pengendalian PPOK

Terlaksananya kegiatan fasilitasi upaya peningkatan keinginan untuk kemajuan

diantara pengelola program dan petugas kesehatan dalam pengendalian PPOK

Terlaksananya pemantauan, penilaian, supervisi/bimbingan teknis dan

monitoring pelaksanaan dan pencapaian program

Terlaksananya upaya untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi program.

Page 16: Program Pengendalian Ppok

E. Indikator dan Progress ProgramBerikut adalah indikator yang dapat dipakai dalam pelaksanaan program

pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia yang disusun dalam Rencana

Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2010 - 2014:

Sasaran utama yang akan dicapai pada akhir tahun 2014:

1. Surveilans epidemiologi faktor risiko penyakit tidak menular

Seluruh (100%) dinas kesehatan provinsi melaksanakan kegiatan

surveilans epidemiologi faktor risiko penyakit tidak menular

Sebanyak 30% dinas kesehatan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan

surveilans epidemiologi faktor risiko penyakit tidak menular

Sebanyak 30% puskemas di kabupaten/kota melaksanakan surveilans

epidemiologi faktor risiko penyakit tidak menular

2. Deteksi dini faktor risko penyakit tidak menular

Seluruh (100%) dinas kesehatan provinsi melaksanakan kegiatan deteksi

dini faktor risiko penyakit tidak menular.

Sebanyak 30% dinas kesehatan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan

deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular.

Page 17: Program Pengendalian Ppok

Sebanyak 30% puskemas di kabupaten/kota melaksanakan kegiatan

deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular.

3. Penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular

Seluruh (100%) dinas kesehatan provinsi melaksanakan kegiatan

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) faktor risiko penyakit tidak

menular.

Sebanyak 30% dinas kesehatan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan

KIE faktor risiko penyakit tidak menular.

Sebanyak 30% puskemas di kabupaten/kota tertentu melaksanakan

kegiatan KIE faktor risiko penyakit tidak menular.

4. Pencegahan dan penaggulangan faktor risiko penyakit tidak menular berbasis

masyarakat

Sebanyak 30% poskesdes/posyandu/posbind/pos PTM di masing-masing

wilayah kerja puskesmas di kabupaten/kota tertentu.

Page 18: Program Pengendalian Ppok

DAFTAR PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

1022/MENKES/SK/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK MENTERI KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA

Pusat dan Informasi Kesehatan RI. Gambaran Penyakit Tidak Menular Di Rumah

Sakit Di Indonesia Tahun 2009 dan 2010. Buletin dan Jendela Data

Informasi Kesehatan Penyakit Tidak Menular, Vol. 2 Semester 2, 2012.

ISSN 2088 – 270x.

Rahajeng, Ekowati. Upaya Pengendalian PTM Di Indonesia. Buletin dan Jendela

Data Informasi Kesehatan Penyakit Tidak Menular, Vol. 2 Semester 2,

2012. ISSN 2088 – 270x.

Suriyana. PENGENDALIAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

DI INDONESIA diakses dari

http://healthcare-pharmacist.blogspot.com/2011/11/pengendalian-

penyakit-paru-obstruktif.html pada 9 Mei 2013.