Prioritas Masalah Program Kesehatan Indonesia

download Prioritas Masalah Program Kesehatan Indonesia

of 7

description

Mengapa Program nasional Kesehatan kita yang hebat2 gagal di lapangan? Ada dua faktor utama, Tidak adanya sinergi antara Pusat dan 500 Kabupaten/ Kota, dan Kecilnya alokasi pembiayaan kesehatan di Kab/Kota

Transcript of Prioritas Masalah Program Kesehatan Indonesia

1

PRIORITAS MASALAH PROGRAM KESEHATAN NASIONALSuprijanto Rijadi [footnoteRef:1] [1: Dosen Dep Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI Mantan Direktur Utama 2 RS BUMN/BUMD, dan 1 RS Swasta.]

Dihari Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke 69 saya merenung mengapa cita cita luhur para Pendiri Bangsa yang dituangkan pada Pembukaan UUD 1945 banyak yang belum tercapai.Pada Pembukaan UUD 1945 ditetapkan bahwa tujuan pendirian Republik Indonesia adalah: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesehatan adalah hak dasar setiap rakyat Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 45. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.Bahasa Konstitusi ini dalam UU Kesehatan no 36 tahun 2009 dijabarkan bahwa kesehatan menjadi hak seluruh warganegara Indonesia. Secara khusus dalam UU Kesehatan pasal 5 menyatakan bahwa: Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Pembangunan Program Kesehatan Nasional telah dilakukan dengan berbagai model, seperti Primary Health Care, Health for All by the year of 2000, Indonesia Sehat 2010, dan yang terakhir adalah Millenium Development Goals ditahun 2015. Kesemua program itu dinilai TIDAK berhasil mencapai apa yang ditargetkan.

Apakah yang Salah dalam Program Pembangunan Kesehatan Nasional kita? Faktor faktor apa yang membuat Program Nasional diatas tidak bisa berjalan dengan baik? Dari telaah data di perpustakaan dan studi kasus mendalam selama 4 (empat) pada satu Kabupaten di Jawa Tengah saya melihat ada beberapa Masalah Prioritas Program kesehatan yang penting untuk dipecahkan.

1. Sentralisasi Program Kesehatan

Pola Program kesehatan Nasional masih beorientasi seolah Pusat menjadi komando dan daerah sebagai pelaksana (pola sentralisasi UU no 5/1974), seperti era ditahun 1980 an. Padahal sejak lahirnya UU no 22/1999 dan lalu dirubah menjadi UU 32/2004 maka sistem pemerintahan kita telah berubah menjadi desentralisasi, dimana 503 Kabupaten/ Kota dan 34 Provinsi adalah Daerah Otonom, walaupun Daerah Provinsi juga merangkap sebagai Wakil pemerintah pusat di daerah.

UU 32/2004 juga mengatur bahwa kesehatan adalah Urusan Wajib Daerah Otonom, dimana pada urusan wajib ini peran pusat adalah sebagai regulator dengan menetapkan Standar pelayanan minimal untuk urusan wajib tersebut. Pada pasal 10 ditegaskan bahwa Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuanPada pasal 12 ditekankan bahwa penyerahan Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Pembagian kewenangan untuk mengatur 31 jenis urusan pemerintahan (termasuk kesehatan) dijabarkan lebih rinci pada Peraturan Pemerintah no 38/2007 tentang Pembagian Urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota.

Pada pola desentralisasi seperti ini seharusnya aktor utama Program Kesehatan adalah 503 Pemda Kabupaten/Kota dan 34 Pemda Provinsi. Peran Pemerintah Pusat berubah dari Operator menjadi Regulator dengan menetapkan Standar pelayanan minimal Kesehatan, dan pengaturan hak dan kewenangan urusan kesehatan pada setiap jenjang pemerintahan. Kelemahan Kementrian Kesehatan adalah jabatan rangkapnya sebagai Regulator dan Operator dari 30 Rumah Sakit miliknya. Juga terlihat kecenderungan untuk menjalankankan sendiri semua program kesehatan dari Pusat(Operator dan bukan Regulator) , tanpa keterlibatan peran Pemda Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Dampaknya substansi Program Kesehatan Nasional menjadi berbeda dengan substansi Program Kesehatan Daerah, contohnya Program Nasional sibuk dengan MDG yang mempunyai 3 (tiga) komponen kesehatan dari total 8 komponen MDG, yaitu: Turunnya Angka Kematian bayi, Turunnya angka kematian ibu, dan pengendalian penyakit menular HIV, malaria, TBC dll. Apakah Ketiga Substansi MDG ini diterjemahkan menjadi Prioritas program di 503 Kabupaten/Kota dan 34 Provinsi? Jawabannya jelas TIDAK. Padahal ujung tombak pelayanan program tersebut ada di Kabupaten/Kota, bagaimana Program Nasional akan berhasil kalau arahan kebijakan Nasional berbeda dengan pelaksanaan kebijakan di lapangan?

Tantangan Menteri Kesehatan yang baru kedepan ialah bagaimana menyelaraskan antara Program Kesehatan Nasional dengan Program Kesehatan 503 Pemda Kabupaten/Kota dan 34 Pemda Provinsi. Peran Kementrian Kesehatan adalah Sebagai Regulator dan Pengawas, dan lebih mendorong peran aktif dari Pemerintah Daerah dalam Program Kesehatan. Kemkes akan menjadi konduktor Orkestra Kesehatan Indonesia, dimana setiap Pemda Kabupaten/Kota akan bernyanyi dengan nada yang berbeda satu sama lain tetapi melahirkan sebuah simfoni yang indah dalam Pembangunan Kesehatan Bangsa Indonesia.

.2. Alokasi Pembiayaan Kesehatan 90% Untuk UKP dan Hanya 10% Untuk UKM

Undang Undang Kesehatan membagi dua jenis upaya kesehatan, pertama adalah UKP (upaya kesehatan perorangan) dan kedua UKM (upaya kesehatan masyarakat). Upaya kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Sedangkan upaya kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat misal Program gizi, imunisasi, kesehatan ibu dan anak, pengendalian penyakit menular, dll.

Salah satu faktor yang diduga turut menjadi penyebab kegagalan Program Kesehatan adalah KETIDAKBERPIHAKAN operasional kebijakan dari tingkat pusat hingga daerah terhadap upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan lebih mementingkan upaya kesehatan perorangan (UKP). Strategi-strategi kebijakan pembangunan kesehatan yang mengedepankan UKM seperti Primary Health Care (PHC), Health for All by 2000, Indonesia Sehat 2010, gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan, atau program MDGs menjadi tidak bermakna karena kecilnya alokasi pembiayaan UKM dan dukungan manajemen dalam pelaksanaannya.

Apakah situasi Lima Tahun kedepan akan berubah? Tampaknya TIDAK. Pemberlakuan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 1 Januari 2014 lalu merupakan salah satu indikatornya. Program JKN/BPJS HANYA untuk membiayai UKP dan TIDAK membiayai UKM sama sekali. Program tersebut dirancang untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi peserta yang bersifat perorangan, baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun di fasilitas kesehatan tingkat kedua (FKTK). Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2014 yang mengatur tentang penggunaan dana kapitasi JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik Pemerintah Daerah dan Permenkes Nomor 27 Tahun 2014 yang mengatur tentang tarif pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan lanjutan memperkuat sinyalemen tersebut. Dana kapitasi yang diterima oleh puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional upaya kesehatan perorangan. Sementara pelayanan di rumah sakit selaku fasilitas kesehatan tingkat kedua dibayar dengan sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) yang merupakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi out put pelayanan secara perorangan.Indikator lainnya tampak dari minimnya proporsi anggaran kesehatan untuk membiayai kegiatan UKM, baik dari sumber APBN maupun APBD. Sumber-sumber pembiayaan kesehatan dari Pemerintah Pusat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) seluruhnya diarahkan untuk mendukung UKP. Permenkes Nomor 84 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2014 menyatakan bahwa DAK Bidang Kesehatan diarahkan untuk kegiatan subbidang pelayanan kesehatan dasar, subbidang pelayanan kesehatan rujukan, dan subbidang pelayanan kefarmasian (seluruhnya UKP). Untuk kegiatan subbidang Pelayanan Kesehatan Dasar digunakan untuk pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan bagi Poskesdes, Puskesmas dan jaringannya. Untuk kegiatan subbidang pelayanan kesehatan rujukan digunakan untuk pemenuhan/pengadaan sarana, prasarana dan peralatan bagi rumah sakit provinsi/kabupaten/kota. Sedangkan untuk kegiatan subbidang pelayanan kefarmasian digunakan untuk penyediaan obat dan perbekalan kesehatan untuk fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi kabupaten/kota.

Cakupan program BPJS pada 2014 terbatas pada peserta Askes, Astek, Jamkesmas, Jamkeskin yang ada, yang diperkirakan sekitar 120 juta penduduk. Ditargetkan bahwa pada 2019 cakupan ini akan meluas menjadi seluruh penduduk Indonesia, atau jumlah peserta sebesar 250 juta jiwa. Kalau Jokowi-JK menjadi Presiden Oktober 2014 besok, maka salahsatu program unggulannya ialah Kartu Indonesia Sehat untuk seluruh penduduk Indonesia, dengan kata lain target BPJS 250 juta pendududuk di tahun 2019 akan dipercepat menjadi 2015. Praktis semua pembiayaan kesehatan akan mengalir untuk pembiayaan program Kartu Indonesia Sehat, yang notabene adalah Program UKP, dan program UKM yang isinya adalah promosi, pencegahan dan pengendalian penyakit untuk 20 program kesehatan masyarakat akan semakin terpinggirkan.

Proporsi penggunaan anggaran kesehatan bersumber APBD pun tidak jauh berbeda, mayoritas dialokasikan bagi belanja modal sarana pendukung kegiatan UKP. Satu-satunya sumber pembiayaan APBN yang diandalkan untuk membiayai kegiatan UKM di puskesmas adalah Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang jumlahnya relatif sangat kecil, hanya sekitar 75-100 juta rupiah per Puskesmas per tahun. Penggunaan dana tersebut difokuskan pada berbagai kegiatan berdaya ungkit tinggi dan merupakan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif yang dilakukan dalam rangka pencapaian target MDGs di Puskesmas dan jaringannya.[footnoteRef:2] [2: Lihat Permenkes No. 1 Tahun 2014 tentang Petunjuk Tenis Bantuan Operasional Kesehatan.]

Ilustrasi timpangnya proporsi pembiayaan untuk kegiatan UKM dan UKP dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Proporsi Alokasi Anggaran Kesehatan Kabupaten X di Jateng Tahun 2014

INSTITUSITOTALGAJI/JASA PELAYANANUKPUKM

RUPIAH%RUPIAH%RUPIAH%

DINKES54.000.000.00032.000.000.00059,2621.000.000.00038,891.000.000.0001,85

RSUD47.000.000.00011.200.000.00023.8335.800.000.00076,17--

PUSKESMAS29.811.972.00012.202.425.00040,9315.729.847.00052,761.879.700.0006,31

JUMLAH130.811.972.00055.402.425.00042,3572.529.847.00055,452.879.700.0002,20

Sumber: Dinas Kesehatan Kab. X tahun 2014 (diolah)

Pada tabel 1 terlihat bahwa dari total anggaran Kesehatan Kabupaten X sebesar 130,8 milyar dibagi menjadi 54 M (41,2%) untuk Dinas Kesehatan, 47 M (35,9%) untuk RSUD, dan 29,8 M (22,8%) untuk Puskesmas. Anggaran RSUD jelas 100% untuk UKP (Gaji 24% dan Kegiatan 76%). Ironisnya, anggaran Dinas Kesehatan yang seharusnya untuk membiayai 20 Program2 Kesehatan UKM ternyata hampir 2/3 untuk gaji/jasa layanan (59%), kegiatan layanan UKP (39%) dan HANYA 2% untuk UKM. Anggaran Puskesmas juga 41% utk Jasa layanan, 53% untuk UKP dan hanya 6,3% untuk UKM. Jadi dari 131 M total anggaran kesehatan Kabupaten, maka 42,4% untuk Jasa Pelayanan, 55,4% untuk UKP, dan hanya 2,2% (2,9 Milyar) untuk UKM.Kalau program UKM ada 15 program utama misalnya (dalam Sistem Kesehatan Nasional dirumuskan ada 23 program kesehatan), maka dana 2,9 Milyar dibagi untuk 15 program adalah 193 juta per program per tahun. Bila satu kecamatan mempunyai 30.000 penduduk, maka dana program UKM adalah Rp 6.400 per program per kapita per tahun (harga secangkir kopi?). Bandingkan dengan kapitasi BPJS untuk Puskesmas yang besarnya Rp 6.000 per bulan atau Rp 72.000 per tahun (Permenkes no 69 thn 2013 ttg standar tarif pelayanan program BPJS). Bagaimana Program Pembangunan Nasional Kesehatan atau MDGS 2015 dengan targetnya yang hebat hebat diatas bisa berjalan kalau biaya program kesehatan masyarakatnya HANYA harga secangkir kopi atau Rp 6.400 per tahun?Padahal Undang Undang Kesehatan no 36 tahun 2009 pasal 171 mengamanatkan bahwa:a. Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.

b. Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.c. Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Kalau anggaran BPJS dikhususkan hanya untuk UKP, maka dapat disimpulkan bahwa 2/3 anggaran kesehatan Pemerintah/Pemda kedepan harus diprioritaskan alokasinya untuk UKM. Sanggupkan Menteri Kesehatan baru nanti merubah alokasi pembiayaan kesehatan dari model 90% UKP saat ini menjadi model 2/3 total anggaran khusus UKM untuk 5 (lima) tahun kedepan?

Kalau kita memang menginginkan Indonesia Sehat 2020 tercapai maka orientasi Program Kesehatan Nasional harus berubah 180 derajat, dari Pola Sentralisasi yang semua diatur Pusat menjadi Pola Desentralisasi yang mengadopsi keterlibatan 503 Pemda Kabupaten/Kota dan 34 Pemda Provinsi. Juga merubah Alokasi pembiayaan dari 90% untuk UKP menjadi 2/3 pembiayaan kesehatan untuk UKM. Semoga.

FKMUI Depok 17 Agustus 2014.