Prinsip CTL
-
Upload
indrakurniawansir -
Category
Documents
-
view
58 -
download
1
description
Transcript of Prinsip CTL
Prinsip CTL- Mengaitkan (Relating ) Guru menghubungkan konsep yang akan dipelajari
dengan materi pengetahuan yang telah dimiliki siswa- Mengalami (Experiencing) Siswa menerapkan pengetahuan yang
dipelajari dalam kehidupan sehari-hari- Menerapkan (Applying) Siswa melakukan diskusi kelompok untuk
memecahkan permasalahan dan mengembangkan kemampuan berkolaborasi dengan teman
- Bekerja sama (Cooperating) Siswa melakukan diskusi kelompok untuk memecahkan permasalahan dan mengembangkan kemampuan berkolaborasi dengan teman
- Mentransfer (Transferring) Siswa menunjukkan kemampuan terhadap pengetahuan yang dipelajarinya dan menerapkannya dalam situasi dan konteks baru....
Contextual Teaching and Learning with REACT Strategy Posted by rayhan_amy88 on Jumat, 10 Juni 2011 at 05.48
1. Pengertian CTL dan Pengembangannya
Apakah Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual? Pengajaran dan
Pembelajaran Kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru
mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Selain itu juga
memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan pengetahuan yang
diperoleh dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga,
sebagai warga masyarakat dan sebagai tenaga kerja nantinya (US Department of
Education and the National School-to-Work Office, 2001).
Saat ini banyak sekolah di Amerika Serikat yang mengadopsi prinsip-
prinsip CTL. Sebenarnya konsep pembelajaran kontekstual bukan konsep baru.
Konsep ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey, yang
mengetengahkan kurikulum dan metodologi pengajaran sangat erat
hubungannya dengan minat dan pengalaman siswa. Proses belajar akan sangat
efektif bila pengetahuan baru diberikan berdasarkan pengalaman atau
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya dan ada hubungan yang erat
dengan pengalaman sesungguhnya (pengalaman nyata). Selanjutnya diikuti oleh
Katz (1981) dan Howey & Zipher (1989). Ketiga pakar terakhir ini menyatakan
bahwa program pembelajaran bukanlah sekedar deretan satuan pelajaran. Agar
pembelajaran menjadi efektif, guru harus menjelaskan dan mempunyai
pandangan yang sama tentang beberapa konsep dasar seperti peran guru,
hakikat pengajaran dan pembelajaran, serta misi sekolah dalam masyarakat.
Apabila guru menyepakati bahwa ketiga konsep tersebut bermuara pada
Contextual Teaching and Learning, barulah Contextual Teaching and Learning
akan berhasil baik.
Tujuh Komponen CTL
1) KONSTRUKTIVISME (CONSTRUKTIVISM)
Konstruktivisme (constructivisvism) merupakan landasan berfikir
(filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas
(sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. manusia
harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru
berdasarkan pengetahuan awal.
Pembelelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan
menerima pengetahuan.
2) MENEMUKAN (INQUIRY)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan
hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,
apapun materi yang diajarkannya.
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman
Siswa belajar menggunakan ketrampilan berpikir kritis
Siklus inkuiri :
a. Obsevasi (Observation)
b. Bertanya (questioning)
c. Mengajukan dugaan (Hyphotesis)
d. Pengumpulan data (Data gathering)
e. Penyimpulan (Conclussion)
3) BERTANYA (QUESTIONING)
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
berpikir siswa
Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang
berbasis inquiry
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna
untuk :
a) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
b) mengecek pemahaman siswa
c) membangkitkan respon kepada siswa
d) mengetahui sejauh mana keinginantahuan siswa
e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
f) menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
g) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
h) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa
4) MASYARAKAT BELAJAR (LEARNING COMMUNITY)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar
meraut pensil dengan peraut elektronik, ia bertanya kepada temannya
“Bagaimana caranya? tolong bantu aku!” Lalu temannya yang sudah biasa,
menunjukkan cara mengoperasikan alat itu. Maka, dua orang anak itu sudah
membentuk masyarakat belajar (learning community).
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar
Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri
Tukar pengalaman dan berbagai ide
5) PEMODELAN (MODELLING)
Komponen CTL selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam
sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang
bisa ditiru. model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru
memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi
model tentang “bagaimana cara belajar”
Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk
memberikan contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada
siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes
berbahasa Inggris, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan
keahliannya. Siswa “contoh” tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat
menggunakan model tersebut sebagai “standar” kompetensi yang harus
dicapainya.
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan
belajar
Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya
6) REFLEKSI (REFLECTION)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang sudah kita lakukan di masa
lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari
pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian,
aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari
Mencatat apa yang telah dipelajari
Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
7) PENILAIAN YANG SEBENARNYA (AUTHENTIC ASSESSMENT)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan
belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa
mengalami proses pembelajaran dengan benar.
Mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa
Penilaian produk
Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
2. Pendekatan Belajar Kontekstual
Belajar kontekstual adalah suatu konsep yang telah terbuktikan yang
memasukkan banyak sekali penelitian terkini dalam sains kognitif. Konsep ini
juga merupakan suatu reaksi terhadap teori-teori yang mendasar bagi para
behavioris yang telah mendominasi dunia pendidikan di Amerika Serikat selama
beberapa dekade. Pendekatan kontekstual memandang belajar sebagai proses
yang bersifat kompleks dan multi-segi yang jauh melampaui metodologi-
metodologi stimulus-dan-respon yang berorientasi drill.
Berdasarkan teori belajar kontekstual, belajar terjadi hanya bila para
siswa (pelajar) memproses informasi baru atau pengetahuan dalam suatu cara
sedemikian hingga informasi baru atau pengetahuan itu bermakna (dipahami)
bagi mereka dalam kerangka-kerangka acuan mereka sendiri (alam-alam
"dalam" dari ingatan, pengalaman, dan respon mereka sendiri). Pendekatan
belajar mengajar ini berasumsi bahwa pikiran secara alamiah mencari makna
dalam konteks-maksudnya, sehubungan dengan lingkungan saat ini dari
seseorang dan bahwa pikiran melakukannya dengan mencari hubungan-
hubungan yang bermakna dan ternyata berguna.
Berlandaskan pemahaman itu, teori belajar kontekstual berfokus pada
aspek yang banyak dari sebarang lingkungan belajar, baik itu adalah sebuah
ruang kelas, Iaboratorium, lab komputer, situs kerja, maupun sebuah ladang
gandum. Teori ini mendorong para edukator untuk memilih dan/atau
merancang lingkungan-lingkungan belajar yang memasukkan sebanyak mungkin
bentuk pengalaman yang berbeda-sosial, kultural, fisik, dan psikologis dalam
bekerja menuju hasil-hasil belajar yang diinginkan.
A. Apakah Anda Mengajarkan Matematika secara Kontekstual?
Selesaikan uji-diri di bawah ini dan renungkan.
Standar-standar berikut hadir dalam kadar berlainan dalam hampir
semua teks. Disisi lain, pembelajaran kontekstual kaya akan kesepuluh standar
tersebut
1. Apakah konsep-konsep baru disajikan dalam situasi-situasi dan pengalaman-
pengalaman kehidupan nyata (di luar ruang kelas) yang tidak asing lagi bagi
para siswa?
2. Apakah konsep-konsep dalam contoh dan latihan siswa disajikan dalam
konteks guna dari konsep-konsep itu?
3. Apakah konsep-konsep baru disajikan dalam konteks apa yang telah diketahui
siswa?
4. Apakah contoh-contoh dan latihan-latihan siswa meliputi banyak situasi
pemecahan masalah yang nyata dan terpercaya, yang dapat dikenali siswa
sebagai penting untuk kehidupan mereka saat ini atau kehidupan yang
mungkin di masa depan?
5. Apakah contoh-contoh dan latihan-Iatihan siswa menanamkan sikap yang
mengatakan, "Aku perlu mempelajari ini"?
6. Apakah para siswa mengumpulkan dan menganalisis data mereka sendiri
ketika mereka dipandu dalam penemuan konsep-konsep penting?
7. Apakah kesempatan-kesempatan dihadirkan kepada para siswa untuk
mengumpulkan dan menganalisis data mereka sendiri untuk pengayaan dan
penugasan?
8. Apakah pertemuan pelajaran dan aktivitas-aktivitas mendorong siswa untuk
menerapkan konsep-konsep dan informasi dalam konteks-konteks yang
berguna. mengarahkan siswa ke masa depan yang dibayangkannya
(misalnya, karier-karier yang mungkin) serta lokasi-lokasi yang masih asing
baginya (misalnya, tempat kerja)?
9. Apakah para siswa diharapkan untuk rutin berpartisipasi dalam grup-grup
interaktif di mana mereka berbagi, berkomunikasi, dan memberikan respon
tentang konsep-konsep penting serta membuat keputusan?
10. Apakah pertemuan pelajaran, latihan, dan aktifitas laboratorium
meningkatkan juga skill membaca dan skill-skill komunikasi lainnya dalam
diri siswa selain dari penalaran dan pencapaian matematis?
Di dalam lingkungan seperti demikian, para siswa menemukan
hubungan-hubungan yang bermakna di antara idea-idea abstrak dan aplikasi-
aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata; konsep-konsep diintemalisasi melalui
proses menemukan, memperkuat, dan menghubungkan. Misalnya. sebuah kelas
fisika yang sedang mempelajari konduktifitas panas dapat mengukur bagaimana
kualitas dan kuantitas bahan tembok sebuah bangunan mempengaruhi energi
yang dipenukan untuk memanaskan atau mendinginkan suhu udara di dalam
bangunan itu. Atau sebuah kelas biologi atau kimia dapat mempelajari konsep-
konsep sains dasar dengan mengkaji penyebaran AIDS atau bagainana para
petani menyebabkan kerusakan lingkungan dan dirugikan oleh kerusakan
lingkungan.
1. Teori yang Mendukung
Banyak teori yang berkaitan dengan pembelajaran matematika. Namun teori
belajar yang relevan dengan pembelajaran dengan strategi REACT adalah teori belajar
konstruktivisme. Menurut pandangan konstruktivisme, dalam pembelajaran siswa diberi
kesempatan untuk menggunakan strateginya sendiri, dalam belajar secara sadar, dan
guru membimbing ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Siswa harus membangun
sendiri informasi dan pengetahuan awal yang dimilikinya.
Clements&battista(2001) menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar pandangan
konstuktivisme adalah sebgai berikut:
a. Pengetahuan dibentuk dan ditemukan oleh siswa secara aktif, tidak sekedar
diterima secara pasif dari lingkungan. Ide ini dapat diilustrasikan bahwa ide-
ide matematika dibentuk oleh siswa, tidak sekedar ditemukan sebagai barang
jadi atau diterima dari orang lain sebagai hadiah.
b. Siswa mengkonstruk pengetahuan matematika dengan melakukan refleksi
mental, yaitu berbuat dan berfikir.ide-ide dikonstruksikan secara bermakna
dengan cara diintegrasikan ke dalam struktur pengetahuan yang telah ada.
c. Tidak ada realitas yang sebenarnya, siswa sendirilah yang membuat
interpretasi mengenai dunia. Interpretasi ini dibentuk dengan pengalaman
dan interaksi sosial. Jadi belajar matematika harus berupa proses bukan hasil.
d. Belajar adalah proses sosial. Ide-ide dan kebenaran matematika baik dalam
penggunaan dan makananya ditetapkan secara bersama oleh anggota suatu
kelompok masyarakat(budaya).
2. Strategi REACT
a. Pengertian strategi REACT
Pada dasarnya semua strategi yang searah dengan penciptaan Susana
pembelajaran yang konteks merupakan elemen pembelajaran kontekstual.
Ada lima strategi yang harus tampak yaitu (1) mengaitkan/menghubungkan
(relating); (2) mengalami (experiencing); (3) menerapkan (applying); (4)
strategi bekerjasama (cooperating); dan (5) mentransfer (transferring).
Strategi tersebut disingkat dengan REACT yang terfokus pada pembelajaran
konteks. Semua strategi tersebut harus digunakan selama proses
pembelajaran.
1) Relating (mengaitkan/menghubungkan)
Relating (mengaitkan/menghubungkan) merupakan strategi
pembelajaran kontekstual yang paling kuat, sekaligus inti
konstruktivis(Crawford, 2011). Dalam pembelajaran siswa melihat dan
memperhatikan keadaan lingkungan dan peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari, kemudian dikaitkan kedalam informasi baru atau persoalan
yang akan dipecahkan. Jadi mengaitkan adalah belajar dalam konteks
pengalaman kehidupan nyata seseorang atau pengetahuan yang ada
sebelumnya.
Guru menggunakan strategi relating ketika siswa mengaitkan
konsep bari dengan sesuatu yang benar-benar sudah tid k asing lagi bagi
siswa,dengan mengaitkan apa yang telah diketahui oleh siswa dengan
informasi yang baru. Dalam memulai pembelajaran, guru yang
menggunakan strategi relating harus selalu mengawali dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab oleh hamper
semua siswa dari pengalaman hidupnya diluar kelas (clawford, 2001).
Jadi pertanyaan yangdiajukan selalu dalam fenomena-fenomena
yang menarik dan tidak asing lagi bagi siswa, bukan menyampaikan
sesuatu yang abstrak atau fenomena yang berada diluar jangkauan
persepsi, pemehaman dan pengetahuan para siswa.
Ada tiga sumber utama untuk mengetahui pengetahuan dan
keyakinan yang dimiliki oleh siswa sebelumnya(clawford, 2001) yaitu:
- Pengalaman, yaitu pengalaman guru sendiri dengan siswa yang
memiliki latar belakang serupa atau dari pengalaman kolektif guru
dan para koleganya.
- Peneliti, yaitu bukti yang didokumentasi tentang gagasan-gagasan yang
dipegang siswa secara umum
- Penyelidikan, yaitu siuatu bentuk pertanyaan-pertanyaan atau tugas-
tugas yang dirancang secara cermat yang mengungkapkan
pengetahuan dan keyakinan siswa
Relating (menurut CORD).
Belajar dalam konteks pengalaman hidup, atau menghubungkan,
adalah jenis belajar kontekstual yang biasanya terjadi pada anak-anak
kecil. Bagi mereka, sumber-sumber belajar telah tersedia dalam bentuk
mainan, permainan, dan peristiwa sehari-hari seperti waktu makan,
perjalanan ke pusat perbelanjaan, dan berjalan-jalan di lingkungan
sekitar rumah.
Namun demikian, saat anak-anak tumbuh semakin besar,
memberikan konteks yang sedemikian bermakna untuk belajar kepada
mereka menjadi lebih sulit. Kita adalah suatu masyarakat di mana dunia
kerja sangat terpisah dari kehidupan rumah tangga, di mana anggota-
anggota dari keluarga besar terpisahkan jarak yang jauh, serta di mana
para remaja tidak memiliki peran atau tanggung jawab kemasyarakatan
yang jelas yang sesuai dengan kemampuan-kemampuan mereka.
Pada kondisi-kondlsi ideal, para guru sekedar mengarahkan para
siswa dari satu aktilitas berbasis masyarakat ke satu aktifitas lainnya,
mendorong mereka untuk menghubungkan apa yang sedang mereka
pelajari dengan pengalaman kehidupan nyata. Namun demikian, pada
sebagian besar kasus, sebagai akibat dari rentang dan kompleksitas
konsep-konsep yang diajarkan dan keterbatasan sumber daya,
pengalaman-pengalaman hidup akan harus dijabarkan melalui teks,
video, ceramah, dan aktivitas ruang kelas.
Kurikulum yang berupaya menempatkan belajar dalam konteks
pengalaman-pengalaman hidup hendaknya, terlebih dulu, menggugah
perhatian siswa ke arah Pemandangan, peristiwa, dan kondisi
keseharian.Kurikulum itu hendaknya kemudian Menghubungkan situasi-
situasi keseharian pada informasi baru yang akan diserap atau
permasalahan yang akan dipecahkan.
2) Experiencing (mengalami)
Dalam mempelajari suatu konsep, siswa mempunyai
pengalaman terutama langkah-langkah dalam mempelajari konsep
tersebut. Hal ini bisa diperoleh pada saat siswa mengerjakan LKS, latihan
penugasan, dan kegiatan lain yang melibatkan keaktifan siswa dalam
belajar. Sehingga dengan mengalami siswa akan lebih mudah
memahami suatu konsep.
Relating dan experiencing merupakan dua strategi untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari berbagai konsep
baru. Tetapi guru harus tau kapan dan bagaimana caranya
mengintegrasikan strateg i-srategi dalam pembelajaran dan hal tersebut
tidaklah sederhana (clawford, 2001).disini guru memerlukan ketelitian,
kolaborasi, cermat dlam menyajikan materi-materi pembelajaran yang
sangat tepat untuk mengetahui kapan saatnya mengaktifkan
pengelaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, sehingga dapat
membantu menyusun pengetahuan baru bagi siswa.
Experiencing (Menurut CORD).
Mengalami-belajar dalam konteks eksplorasi, penemuan, dan
penciptaan-penciptaan merupakan jantung dari belajar kontekstual.
Betapapun para siswa menjadi termotivasi atau terlibatkan sebagai hasil
dari strategi-strategi pembelajaran lainnya seperti video, naratif, atau
aktifitas-aktifitas berbasis teks, semua itu relatif masih merupakan
bentuk-bentuk belajar yang pasif. Dan belajar tampak "terjadi" jauh
lebih cepat bila para siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan
serta melakukan bentuk-bentuk penelitian aktif lainnya.
Pada teks-teks keilmuan akademik yang kontekstual,
laboratorium seringkali didasarkan pada tugas-tugas dunia kerja yang
sebenarnya. Tujuannya bukanlah melatih para siswa untuk pekerjaan
tertentu, tetapi untuk memberi mereka kesempatan untuk mengalami
aktifitas-aktifitas yang langsung berkaitan dengan kerja dunia nyata.
Banyak dari aktifitas dan skill yang dipilih untuk laboratorium bersifat
lintas-pekerjaan; maksudnya, yang digunakan dalam spektrum luas dari
pekerjaan-pekerjaan.
3) Applying (menerapkan)
Pembelajaran yang dilakukan dengan menerapkan adalah
belajar ubtuk menerapkan konsep-konsep ketika melaksanakan aktivitas
pemecahan soal-soal, baik melalui LKS, latihan penugasan, maupun
kegiatan lain yang melibatkan keaktifan siswa dalam belajar.
Untuk lebih memotivasi dalam memahami konsep-konsep, guru
dapat memberikan latihan-latihan yang realistik, relevan, dan
menunjukkan manfaat dalam suatu bidang kehidupan. Agar proses
pembelajaran dapat menunjukkan motivasi siswa dalam mempelajari
konsep-konsep serta pemahaman yang lebih mendalam, Crawford
(2001) merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
- Fokuskan pada aspek-aspek aktivitas pembelajaran yang bermakna
- Rancanglah tugas-tugas untuk sesuatu yang baru, variasi keragaman
dan menarik
- Rancanglah tugas-tugas yang menantang tetapi masuk akal dalam
kaitannya dengan kemampuan siswa.
Applying (Menurut CORD).
Menerapkan konsep-korsep dan informasi dalam konteks yang
berguna seringkali mengarahkan siswa ke suatu sosok masa depan yang
dibayangkannya (sebuah karier yang mungkin) dan/atau ke suatu lokasi
yang masih asing baginya (tempat kerja). Di dalam mata pelajaran-mata
pelajaran belajar kontekstual, aplikasi-aplikasi seringkali didasarkan pada
aktifitas-aktifitas dunia kerja.
Seperti dikemukakan lebih awal, para remaja masa kini pada
umumnya memiliki akses yang terbatas ke dunia kerja; tidak seperti
generasi-generasi sebelumnya, mereka tidak melihat padanan zaman
modem dari pandai besi di tempat penempatan atau petani-petani di
ladang pada masa lalu. Secara mendasar terisolasi di permukiman kota
atau di daerah pinggiran, banyak siswa memiliki pengetahuan lebih
banyak tentang bagaimana caranya menjadi seorang bintang musik rock
atau model daripada tentang bagaimana caranya menjadi seorang
dokter pemafasan atau operator pembangkit daya. Jika mereka
dikehendaki memperoleh pemahaman koneksi yang realistik di antara
persekolahan dan pekerjaan-pekerjaan di kehidupan nyata, maka
konteks dunia kerja hendaknya dihadirkan kepada mereka. Ini terjadi
paling lazim melalui teks, video, laboratorium, dan aktifitas, meski, di
banyak sekolah, pengalaman-pengalaman belajar kontekstual tersebut
akan diikuti dengan pengalaman langsung seperti studi wisata ke sebuah
pabrik atau semacamya, penyelengaraan mentoring, dan jalinan
keikutsertaan kerja di lapangan.
4) Cooperating (bekerja sama)
Belajar dengan bekerjasama, saling tukar pendapat (sharing),
merespon, dan berkomunikasi dengan pembelajar lainnya akan sangat
membantu siswa dalam mempelajari suatu konsep. Hal ini sesuai
dengan pendapat slavim(1995) yang member pengertian bahwa dalam
belajar kooperatif siswa belajar bersama, saling menyumbang pikiran
dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar. secara
individu maupun kelompok.
Untuk menghindari adanya siswa yng idak berpartisipasi dalam
aktivitas kelompok, menolak atau menerima tanggung jawab atas
pekerjaan kelompok, kelompok mungkin terlalu tergantung pada
bimbingan guru, atau kelompok dapat terlihat dalam konflik. Oleh
karena itu Johnson (dalam Crawford, 2001) memberikan beberapa
petunjuk untuk menghindari berbagai kondisi negative dan menciptakan
lingkungan pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman konsep
yang lebih mendalam. Adapun petunjuk tersebut:
- Menyusun kesalingtergantungan positif dalam kelompok belajar siswa.
Kesalingtergantungan positif berarti bahwa masing-masing siswa
merasa bahwa dia tidak dapat sukses jika para anggota kelompok
semuanya tidak sukses. Dengan demikian siswa akan merasa bahwa
dirinya merupakan bagian dari kelompok dan juga mempunyai andil
suksesnya kelompok.
- Meminta siswa berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
memastikan bahwa interaksi-interaksi tersebut berkaitan dengan
tugas.interaksi mencakup pemberian bantuan dan dorongan dari
siswa ke siswa, penjelasan gagasan-gagasan dan berbagai strategi
pemecahan soal, dan pembahasan terhadap gagasan-gagasan lain
yang berkaitan dengan tugas.
- Memastikan semua kelompok belajar membahas seberapa efektif
kelompok berfungsi.
Cooperating (Menurut CORD).
Bekerja sama-belajar dalam konteks berbagi, merespon, dan
berkomunikasi dengan pelajar-pelajar lain adalah sebuah strategi
pembelajaran utama dalam pembelajaran kontekstual. Pengalaman
bekerja sama tidak saja membantu mayoritas siswa mempelajari materi,
tetapi pengalaman seperti itu juga sejalan dengan fokus dunia nyata dari
pembelajaran kontekstual.
Wawancara penelitian bersama para pengusaha mengungkap
bahwa pekerja-pekerja yang dapat berkomunikasi secara efektif, yang
dapat berbagi informasi secara bebas, dan yang dapat bekerja dengan
nyaman dalam sebuah latar tim sangatlah dihargai di lapangan kerja.
Dengan demikian, kita memiliki cukup alasan untuk mendorong para
siswa membangun skill-skill kooperatif ini saat mereka masih di ruang
kelas.
Metode laboratorium, salah satu metode pembelajaran utama
dalam akademika terapan, pada dasarnya bersilat kooperatif. Lazimnya,
para siswa bekerja secara berpasangan untuk melakukan latihan
Laboratorium; pada beberapa kasus, mereka bekerja dalam kelompok
tiga atau empat orang. Menuntaskan kerja laboratorium secara berhasil
menuntutkan delegasi, observasi, saran, dan diskusi. Di banyak
laboratorium kualitas data yang dikumpulkan oleh sebuah tim sebagai
kesatuan tergantung pada kinerja individual dari tiap anggota tim.
Para siswa juga harus bekerja sama untuk menyelesaikan banyak
aktifitas kelompok kecil yang tercakup di dalam mata pelajaran-mata
pelajaran akademik terapan. Bekerja secara berpasangan (partnering)
dapat menjadi sebuah strategi yang efektif untuk mendorong para siswa
bekerja sama.
5) Transferring (mentransfer)
Pembelajar sebagai pengguna pengetahuan dalam konteks baru
atau situasi baru. Pembelajaran diarahkan untuk menganalisis dan
memecahkan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan dengan menrapkan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Selain hal di atas, guru tampaknya memiliki kemampuan
alamiah untuk memperkenalkan gagasan-gagasan baru yang dapat
memberikan motivasi terhadap siswa secara intrinsic dengan
memancing rasa penasaran atau emosi. Oleh karena itu, guru secara
selektif menggunakan latihan-latihan untuk memancing rasa penasaran
dan emosi sebagai motivator dalam mentransfer gagasan-gagasan
matematika dari satu konteks ke konteks lain. Dengan demikian rasa
bermakna yang timbul dalam pembelajaran dengan strategi ini dapat
melibatkan emosi siswa.
Transfering (Menurut CORD).
Belajar dalam konteks pengetahuan yang telah ada, atau
mentransfer, menggunakan dan membangun pada apa yang telah
diketahui siswa. Metode semacam ini serupa dengan relating, dalam hal
bahwa metode ini melibatkan apa yang telah akrab bagi siswa.
Sebagai orang dewasa, banyak dari kita pandai menghidari
situasi-situasi yang asing-bagian kota yang kita tidak ketahui, makanan
aneh yang tidak pernah kita makan, toko yang tidak pernah kita
kunjungi, dan sebagainya. Kadang-kadang kita pun menghindari situasi-
situasi di mana kita harus mendapatkan informasi baru atau
membangun skill baru (terutama jika kemungkinan terdapat orang-
orang menyaksikan) memanfaatkan sebuah jenis perangkat lunak
computer yang baru atau berurusan disebuah Negara lain dengan skill
bahasa asing kita yang belum memadai.
Namun demikian, kebanyakan siswa di sekolah menengah yang
menerapkan pembelajaran tradisional jarang memiliki kesempatan
untuk menghindari situasi-situasi belajar yang baru; mereka dihadapkan
pada situasi-situasi demikian setiap hari. Kita dapat membantu mereka
mempertahankan rasa harga diri dan membangun kepercayaan diri jika
kita mengupayakan pembangunan pengalaman-pengalaman belajar
baru pada apa yang telah mereka ketahui.
b. Kelebihan dan kelemahan strategi REACT
1) Kelebihan strategi REACT
a) Memperdalam pemahaman siswa
Dalam pembelajaran siswa bukan hanya menerima informasi yang
disampaikan oleh guru, melainkan melakukan aktivitas mengerjakan LKS
sehingga bisa mengaitkan dan mengalami sendiri prosesnya.
b) Mengembangkan sikap menghargai diri siswa dan orang lain
Karena dalam pembelajaran, siswa bekerjasama, melakukan aktivitas
dan menemukan rumusnya sendiri, maka siswa memiliki rasa
menghargai diri atau percaya diri sekaligus menghargai orang lain
c) Mengembangkan sikap kebersamaan dan rasa saling memiliki
Belajar dengan bekerja sama akan melahirkan komunikasi sesama siswa
dalam aktivitas dan tanggung jawab, sehingga dapat menciptakan sikap
kebersamaan dan rasa memiliki
d) Mengembangkan keterampilan untuk masa depan
Belajar dengan mengalami dituntut suatu keterampilam dari siswa untuk
memanipulasi benda konkrit. Kegiatan tersebut merupakan bekal untuk
mengembangkan keterampilan masa depan.
e) Membentuk sikap mencintai lingkungan
Pembelajaran dengan memperhatikan keadaan lingkungan dan peristiwa
dalam kehidupan sehari-hari, dikaitkan dengan informasi baru. Oleh
karena itu, siswa dengan sendirinya membentuk sikap mencintai
lingkungannya.
f) Membuat belajar secara inklusif
Pembelajaran yang dilaksanakan secara menyeluruh, sempurna dan
menyenangkan
2) Kelemahan strategi REACT
a) Membutuhkan waktu yang lama untuk siswa
Pembelajaran dengan strategi REACT membutuhkan waktu yang
cukup lama bagi siswa dalam melakukan aktivitas belajar, sehingga
sulit mencapai target kurikulum. Untuk mengatasi hal tersebut perlu
pengaturan waktu selektif mungkin.
b) Membutuhkan waktu yang lama untuk guru
Pembelajaran dengan strategi REACT membutuhkan waktu yang
cukup lama bagi guru dalam melakukan aktivitas belajar, sehingga
kebanyakan guru tidak mau melakukannya
c) Membutuhkan kemampuan khusus guru
Kemampuan guru yang paling dibutuhlan adalah adanya keinginan
untuk melakukan kreatif, inovatif dan komunikasi dalam
pembelajaran sehingga tidak semua guru dapat melakukan atau
menggunakan strategi ini.
d) Menuntut sifat tertentu dari guru
Pembelajaran dengan strategi REACT tidaklah mudah, memerlukan
persiapan tambahan dan menuntut kerja keras serta bekerja sama
dengan guru lain dalam menghadapi kendala. Hal ini juga
menyebabkan guru harus rela bekerja keras.
16 Nov
Model pembelajaran REACT adalah model pembelajaran yang dapat membantu guru untuk menanamkan konsep pada siswa. Siswa diajak menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya, bekerja sama, menerapkan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan mentransfer dalam kondisi baru (Sri Rahayu dalam Yuliati, 2008:60).
Berdasarkan hasil penelitian, model REACT efektif meningkatkan kemampuan dan hasil belajar siswa. Hal didasarkan pada 5 kriteria yang menyatakan efektivitas model REACT. Kriteria efektivitas model REACT tersebut adalah:
Siswa dapat mentransfer pengetahuan yang diperoleh di sekolah dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja
Siswa tidak takut pada mata pelajaran matematika dan IPA (fisika, kimia, dan biologi)
Siswa lebih tertarik dan termotivasi serta memiliki pemahaman yang lebih baik pada materi yang diajarkan di sekolah karena pembelajaran dilaksanakan dengan mengaktifkan siswa secara fisik dan mental
Materi ajar yang diajarkan di sekolah memiliki koherensi dengan pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi)
Hasil belajar siswa yang diperoleh dengan REACT lebih baik daripada pembelajaran tradisional.
Model pembelajaran REACT merupakan pengembangan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan terjemahan dari Contextual Teaching and Learning (CTL). Pembelajaran kontekstual secara resmi diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 2001. Pada tahun 2002 dilakukan uji coba di 31 SLTP/MTs yang tersebar di enam provinsi. Dari hasil uji coba terindikasi pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan interaksi belajar di kelas, membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar dan siswa lebih bisa berpikir kritis. Oleh karena itu telah diambil kebijakan untuk meluaskan penerapan pembelajaran kontekstual di seluruh Indonesia.
Langkah-langkah model pembelajaran REACT tercermin dari akronimnya. Langkah-langkah tersebut adalah Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, dan Transferring. Sintaks Pelaksanaan Model REACT ditunjukkan pada Tabel berikut
Tabel Sintaks Pelaksanaan Model REACT
Fase-Fase Kegiatan
Relating Guru menghubungkan konsep yang dipelajari dengan materi pengetahuan yang dimiliki siswa
Experiencing
Siswa melakukan kegiatan eksperimen (hands-on activity) dan guru memberikan penjelasan untuk mengarahkan siswa menemukan pengetahuan baru
Applying Siswa menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari
CooperatingSiswa melakukan diskusi kelompok untuk memecahkan permasalahan dan mengembangkan kemampuan berkolaborasi dengan teman
Transfering Siswa menunjukkan kemampuan terhadap pengetahuan yang dipelajarinya dan menerapkannya dalam situasi dan konteks baru
Relating
Belajar berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari dan menghubungkannya dengan pembelajaran di sekolah merupakan salah satu karakteristik pembelajaran kontekstual. Sebagai pengembang REACT, CORD menyatakan bahwa relating adalah bentuk belajar yang menghubungkan konsep yang dipelajarai dengan materi pengetahuan yang dimiliki siswa dalam konteks kehidupan nyata atau pengalaman nyata. Pembelajaran menjadi sarana untuk menghubungkan situasi sehari-hari dengan informasi baru yang dipelajari.
Experiencing
Experiencing, yaitu belajar melalui kegiatan exploration, discovery, dan invention, merupakan hal yang utama dalam pembelajaran kontekstual. Siswa dimotivasi dengan menggunakan berbagai metode dan media pembelajaran. Proses belajar akan terjadi jika siswa dapat menggunakan alat dan bahan serta bentuk media lainnya dalam pembelajaran aktif (active learning)
Applying
Penerapan konsep dan informasi dalam konteks bermakna diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja. Pada pembelajaran kontekstual, penerapan konsep dilakukan pada kegiatan yang bersifat skill. Siswa tidak sekedar mempelajari suatu teori-teori tertentu saja, melainkan siswa juga dituntun untuk dapat menerapkan konsep-konsep yang sudah dipelajarinya ke dalam konteks pemanfaatannya dalam kehidupan nyata.
Cooperating
Cooperating, yaitu belajar untuk berbagi pengalaman, memberikan tanggapan dan berkomunikasi dengan siswa lain, merupakan strategi pembelajaran dasar dalam pembelajaran kontekstual. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa belajar materi ajar, tetapi juga membantu siswa untuk selalu konsisten dengan kehidupan nyata. Kegiatan praktikum merupakan kegiatan yang esensial yang mengembangkan kemampuan bekerjasama. Siswa bekerja dengan siswa lain untuk melakukan kegiatan praktikum. Jumlah siswa yang tergabung dalam kelompok tersebut biasanya terdiri dari 3-4 siswa. Keberhasilan kegiatan praktikum dengan berkelompok membutuhkan pembagian tugas, observasi, kesempatan mengemukakan pendapat, dan diskuis. Oleh karena itu, kualitas kerja praktikum yang dilaksanakan secara berkelompok bergantung pada aktivitas dan performansi anggota kelompok. Siswa harus dapat bekerja sama baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar. Bekerja berpasangan atau kelompok kecil (3-4 orang) merupakan strategi yang efektif untuk mendorong siswa bekerja sama dalam tim.
Transferring
Transferring pengetahuan dilakukan siswa berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Guru dapat mengembangkan rasa percaya diri siswa dengan membangun pengalaman belajar baru berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa. Transferring bisa diwujudkan dalam bentuk pemecahan masalah dalam konteks dan situasi baru tetapi masih terkait dengan materi yang dibahas.
SUMBER:
Yuliati, Lia.2008. Model-model Pembelajaran Fisika. Universitas Negeri Malang: Lembaga Pengembangan Pembelajaran.