Primary Survey

28
BAB 1 PENDAHULUAN Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. Fraktur-fraktur rahang bawah telah ada disebutkan dalam tulisan-tulisan Mesir kuno. Hipokrates menyarankan penggunaan perban dan wiring (kawat) untuk perawatan fraktur mandibula. Pada salah satu artikel yang dipublikasikan selama Perang Sipil, Gunning menuliskan penggunaan splint gigi yang melekat pada peralatan luar di tahun 1981, Gilmer pertama kali menyebutkan penggunaan potongan batang (bars) pada kedua lengkung, yang diikat pada gigi dan satu sama lain dengan pengikat kawat yang halus. Plating (peletakan logam pada permukaan) tulang mandibular pertama kali dilakukan oleh Schede, yang disebutkan telah menggunakan sebuah lempeng baja yang disekrup masuk kedalam rahang pada akhir tahun 1980an. Pada tahun 1934, Vorschutz menemukan fiksasi eksternal dengan menggunakan sekrup-sekrup tulang transdermal dan plaster. Biphase Morris merupakan perbaikan dari tehnik tersebut. 1

description

primary survei

Transcript of Primary Survey

Page 1: Primary Survey

BAB 1PENDAHULUAN

Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan

tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat

mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak

terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan

fonetik.

Fraktur-fraktur rahang bawah telah ada disebutkan dalam tulisan-tulisan Mesir kuno.

Hipokrates menyarankan penggunaan perban dan wiring (kawat) untuk perawatan fraktur

mandibula. Pada salah satu artikel yang dipublikasikan selama Perang Sipil, Gunning

menuliskan penggunaan splint gigi yang melekat pada peralatan luar di tahun 1981, Gilmer

pertama kali menyebutkan penggunaan potongan batang (bars) pada kedua lengkung, yang

diikat pada gigi dan satu sama lain dengan pengikat kawat yang halus.

    Plating (peletakan logam pada permukaan) tulang mandibular pertama kali dilakukan

oleh Schede, yang disebutkan telah menggunakan sebuah lempeng baja yang disekrup masuk

kedalam rahang pada akhir tahun 1980an. Pada tahun 1934, Vorschutz menemukan fiksasi

eksternal dengan menggunakan sekrup-sekrup tulang transdermal dan plaster. Biphase

Morris merupakan perbaikan dari tehnik tersebut.   

Sejarah alat-alat fiksasi internal terus berlanjut, dengan sebuah teori baru dan

berbagai alat sesuai yang ditemukan setiap beberapa tahun.

BAB 21

Page 2: Primary Survey

PEMBAHASAN

Primary Survey

Primary survey merupakan suatu penilaian dan prioritas terapi berdasarkan jenis

perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Proses ini merupakan tahap awal

penanganan trauma dan usaha untuk mengenali keadaaan yang mengancam nyawa terlebih

dahulu, dengan ketentuan mengikuti urutan yang diawali oleh “A” (Airway) yaitu menjaga

airway dengan kontrol servikal, kemudian “B” (Breathing) yaitu menjaga pernapasan

dengan ventilasi, “C” (Circulation) yaitu dengan kontrol perdarahan, “D” (Dissability) yaitu

dengan menilai status neurologis pasien, dan “E” (Exposure/environmental control)

dilakukan dengan membuka pakaian penderita, tetapi cegah hipotermi.

a. Airway

Pada airway yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas yang meliputi

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing,

fraktur tulang wajah, fraktur maksila/mandibula, dan fraktur laring/trakea.

b. Breathing

Breathing yaitu menjaga pernafasan dengan ventilasi. Ventilasi yang baik meliputi

fungsi yang baik dari paru-paru, dinding dan diafragma. Dada penderita harus dibuka

untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya

udara ke dalam paru-paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara/darah dalam

rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang

mungkin mengganggu ventilasi

c. Circulation

Circulation yaitu suatu tindakan yang dilakukan untuk mengontrol perdarahan. Suatu

keadaan hipotensi pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh

hipovolemia, sampai dapat dipastikan bahwa pasien tidak mengalami hipovolemia.

Ada tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi

mengenai keadaan hemodinamik ini, yakni tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan

penurunan kesadaran. Namun, perlu diingat bahwa penderita yang sadar juga belum 2

Page 3: Primary Survey

tentu normo-volemik. Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemik. Wajah

pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemik.

Pemeriksaan nadi dilakukan pada pembuluh nadi yang besar seperti arteri femoralis

atau arteri karotis kiri dan kanan untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang

tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normo-volemik, sedangkan

nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemik, biasanya terjadi pada

penderita trauma

d. Disability

dissability yaitu dengan menilai status neurologis pasien. Menjelang akhir dari tahap

primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Glasgow

Coma Scale (GCS) yaitu sistem skoring sederhana untuk menaksir tingkat kesadaran

(table 2.1). Exposure (kontrol lingkungan) dilakukan dengan cara membuka semua

pakaian penderita, biasanya dengan cara digunting, yang bertujuan untuk memeriksa

dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian pasien dibuka, pasien diselimuti agar

tidak terjadi hipotermi pada pasien.

Secondary Survey

Secondary survey dilakukan setelah primary surivey selesai, resusitasi telah dilakukan

dan airway, breathing, circulation penderita telah membaik. Secondary survey adalah

pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan anamnesis, termasuk re-evaluasi tanda vital.

Anamnesis meliputi riwayat AMPLE. AMPLE yaitu Allergy, Medication, Past Illness

(penyakit penyerta)/kehamilan, Last Meal dan Event/environment (lingkungan) yang

berhubungan dengan kejadian perlukaan. Anamnesis allergy meliputi riwayat alergi yang

dimiliki pasien. Medication meliputi riwayat obat yang sedang dikonsumsi saat ini. Past

illness merupakan riwayat penyakit yang sedang diderita dan kehamilan. Anamnesa last

meal meliputi riwayat makanan yang terakhir di konsumsi. Event/environtment yaitu

anamnesa mengenai lingkungan yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan kepala, pemeriksaan rongga mulut dan

maksilofasial, pemeriksaan vertebra servikalis, pemeriksaan torak, pemeriksaan abdomen,

3

Page 4: Primary Survey

pemeriksaaan perineum/rektum/vagina, pemeriksaan muskuloskeletal dan pemeriksaan

neurologis. Pemeriksaan kepala meliputi seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa

akan adanya luka, kontusio, dan fraktur. Pemeriksaan rongga mulut meliputi pemeriksaan

jaringan lunak, saraf, tulang dan gigi geligi. Sedangkan pemeriksaan maksilofasial hanya

dilakukan pada jaringan lunak, saraf dan tulang saja. Pemeriksaan rongga mulut dilakukan

dilakukan setelah penanganan airway, breathing dan circulation. Pada tahap ini,

pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan jaringan lunak, pemeriksaan neurologi,

pemeriksaan skeletal, pemeriksaan dental, dan pemeriksaan radiograf.

Pemeriksaan jaringan lunak rongga mulut meliputi pemeriksaan lidah, faringeal, duktus

Stenson’s dan duktus Wharton’s, laserasi anteroposterior pada palatum keras yang berkaitan

dengan fraktur paramedian pada palatum, fraktur vertikal pada alveolar gingival berkaitan

dengan fraktur lengkung alveolar. Pemeriksaan lain yang dilakukan dalam rongga mulut

adalah pemeriksaan neurologi. Pemeriksaan neurologi ini perlu dilakukan karena biasanya

cedera pada nervus alveolaris inferior dapat menyebabkan anestesi pada sisi yang terkena

trauma. Cedera pada nervus lingualis dapat menyebabkan anestesi atau parastesi pada 2/3

anterior lidah dan perubahan pengecapan.

Pemeriksaan ekstraoral dilakukan untuk memeriksa keadaan nervus fasialis, nervus

infraorbital, nervus olfaktorius, nervus okulomotorius, dan nervus abdusen. Pada

pemeriksaan nervus fasialis, jika pasien sadar instruksikan pasien untuk menggunakan otot

ekspresi wajah, jika pasien tidak sadar digunakan nerve stimulator. Pada kasus fraktur

kompleks zigomatikus-maksilaris atau Le Fort II, nervus infraorbital sering rusak. Cedera

pada nervus olfaktorius biasanya diakibatkan oleh fraktur midface yang melibatkan

cribriform plate pada etmoid. Cedera pada nervus okulomotorius ditandai dengan adanya

dilatasi pupil. Cedera pada nervus optikus biasanya diakibatkan oleh fraktur disekitar

foramen optik yang merupakan akibat kompresi tulang, disfungsi dari muskulus rektus

lateralis menandakan adanya cedera pada nervus abdusen.

Pemeriksaan skeletal dilakukan setelah pemeriksaan terhadap jaringan lunak dan

pemeriksaan neurologi. Le Fort I dapat didiagnosis dengan manipulasi buccal fold

menggunakan jempol dan jari telunjuk. Palpasi pada sutura frontonasal membantu diagnosis

area fraktur, yang mengindikasikan fraktur maksila Le Fort II atau Le Fort III. Fraktur

4

Page 5: Primary Survey

subcondilar bilateral dikarakteristikkan dengan terbatasnya membuka mulut, anterior open

bite, dan nyeri periaurikular. Pada anak-anak, perdarahan pada external auditory canal

mengindikasikan adanya fraktur kondil yang dapat mengakibatkan ankilosis dan terbatasnya

pertumbuhan. Evaluasi oklusi pasien dengan bimanual palpasi bermanfaat dalam mendeteksi

fraktur korpus mandibula, simpisis, dan angulus mandibula. Dalam pemeriksaan gigi yang

harus dievaluasi adalah fraktur yang terjadi pada gigi geligi. Pasien diperiksa agar dapat

diketahui fraktur yang terjadi pada gigi termasuk fraktur horizontal atau vertikal. Mobilitas

gigi dan perdarahan krevis gingival juga diperiksa dengan melihat apakah disebabkan oleh

fraktur atau karena penyakit periodontal, serta gigi yang hilang. Hal ini sangat berguna untuk

menegakkan diagnosis dan rencana perawatan.

Pemeriksaan vertebra servikalis meliputi pemeriksaan leher melalui inspeksi, palpasi

dan auskultasi. Pemeriksaan torak dilakukan melalui inspeksi, palpasi, disusul dengan foto

torak. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), dan

USG (Ultrasonography) abdomen. Pada peritoneum, rektum dan vagina diperiksa adanya

kontusio, hematoma, laserasi dan perdarahan uretra. Pemeriksaan neurologis meliputi

kesadaran umum, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.

Klasifikasi fraktur

Fraktur Maksila

1. Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan

fraktur – fraktur Le Fort II dan III.

5

Page 6: Primary Survey

Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas

melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke

posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum

durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah

tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.

2. Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur

hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur

piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan

sutura yang sering terkena.

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan

suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar

dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

3. Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah

benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.

Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang

terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan

tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.

Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III ( www.emedicine.com ) ( 20 September 2010 ).

6

Page 7: Primary Survey

Fraktur Komplek Nasal

Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi yang lebih

umum adalah bahwa fraktur – fraktur itu meluas dan melibatkan proses frontal maksila serta

bagian bawah dinding medial orbital.

Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang – kadang tulang

rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat

kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.

Gambar 1. Fraktur Kompleks Nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa tulang: (1) tulang frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5) tulang ethmoid, dan (6) tulang sphenoid ( www.emedicine.com ) ( 20 September 2010 ).

Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada arah gaya fraktur. Gaya yang

dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan tulang hidung dan bagian-bagian yang

ada hubungannya dengan proses frontal maksila berpindah tempat ke satu sisi.4 Dalam

penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005, insidensi fraktur komplek

nasal sebesar 12,66%.

Fraktur Komplek Zigoma

Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang dahi serta

tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang zigomatik 7

Page 8: Primary Survey

mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut “fraktur kompleks

zigomatik

Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta suturanya,

yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar.

Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi

merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa terjadinya

perpindahan tempat dari tulang zigomatik.

Gambar 2. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks (www.emedicine.com) (20 September 2010).

Gambar 3. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks www.emedicine.com) (20 September 2010).

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”, namun fraktur

kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang berlainan. Keempat bagian fraktur ini

adalah arkus zigomatik, tepi orbita, penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-

rahang atas.

Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur zigoma

kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat

dengan menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa gangguan kosmetik

pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat perawatan yang kurang baik.14 Insidensi

fraktur komplek zigoma sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad

Ebrahim Al Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%.8

Sedangkan hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma

sebesar 42% dan 7,9%.

Fraktur mandibula 8

Page 9: Primary Survey

fraktur alveolar

Dapat terjadi dengan atau tampa tampa hubungan dengan cedera pada gigi. Titik dapat

menutup rahang Krepitasi pada palpasi Posterior open bite dapat terjadi pada fraktur

prosesus alveolar anterior fraktur parasymphisyisis dan symphysis sering berhubungan

dengan fraktur dari suatu atau kedua condyle, pada fraktur parasymphysis terjadi posterior

open bite atau unilateral open bite pada fratur midline syhimphisis terjadi posterior cros bite

pada fraktur symphisi teraba crepitasi pada saat palpasi tidak dapat menutup rahang karna

prematur kontak gigi dagu retruded terjadi karna fraktur bilateral parasymphysisi fraktur

angulus mandibula fraktur angulus bilateral terlihat anterior open bite pada fraktur angulus

unilateral terlihat lepsilateral open bite oclusi rethrogenathi, bagian lateral wajah terlihat rata

tidak dapat menutup rahang karna prematur Kontak dari gigi bengkak pada bagian external

angulus terjadi step pada molar terahir pada daerah fraktur dapat/mungkin terjadi anastesia

atau parastesia pada bibir bawah nyeri pada saat mengerakkan mandibula, trismus fraktur

condyle fraktur condyle bilateral menyebabkan anterior open bite dan prematur contak pada

posterior oklusi prognati fraktur corpus mandibula bengkak echymosis pada dasar mulut

tidak dapat/sulit menebus atau menutup rahang eripitasi pada palpasi

fraktur coronoid

nyeri, terbatasnya gerak mandibula protusif mandibula susah untuk di diagnosa secara klisis

tingkat kesadaran glasgow coma scale penilayan yang sistematik dari ketidak sadaran pasien 9

Page 10: Primary Survey

dengan mengunakan glasgow coma memberikan derajat dari coma dengan skala angka.

Penilayan dari tingkat kesadaran sangat penting untuk informasi prognosis, pada traumatik

coma.

Glasgow Coma Scale

Table 2.1 Glasgow Coma ScaleGlasgow Coma Scale Skor

Membuka mata (E)

Spontan

Dengan perintah

Dengan rangsang nyeri

Tidak ada reaksi

4

3

2

1

Respon motorik terbaik (M)

Mengikuti perintah

Melokalisasi nyeri

Menghindar nyeri

Fleksi abnormal

Ekstensi abnormal

Tidak ada gerakan

6

5

4

3

2

1

Respon verbal terbaik (V)

Orientasi baik dan sesuai

Disorientasi tempat dan waktu

Bicara kacau

Mengerang

Tidak ada suara

5

4

3

2

1

Coma Score = E + M + V

10

Page 11: Primary Survey

Minimum

Maksimum

3

15

Intermaxillary fixation,technic closed reduction,technic open reduction

Closed Technique (Teknik Tertutup) / Closed Reduction

Pada teknik ini, penyembuhan tulang terjadi melalui pembentukan kalus. Saat segmen

fraktur tidak banyak, dapat digunakan alat untuk mengambil segmen tersebut, biasanya

disebut alat reduksi eksterna. Contohnya adalah Rowe’s disimpaction forceps yang

digunakan untuk memperbaiki letak segmen fraktur maksila agar menyatu dan Walsham’s

forceps dapat digunakan pada fraktur nasal. Alat-alat tersebut diperlihatkan pada gambar

2.12 dan 2.13.

Ketika terjadi trismus pada otot-otot yang dapat menghambat reduksi fragmen fraktur,

maka dapat digunakan traksi intraoral atau ekstraoral. Traksi intraoral terdiri dari fiksasi arch

bar prefabricated untuk lengkung maksila dan mandibula dan traksi elastis yang digunakan

pada bagian tertentu untuk mendapatkan oklusi yang normal. Traksi ekstraoral dilakukan

dengan menggunakan anchorage pada tengkorak untuk traksi. Proses ini sangat lambat dan

pasien diminta untuk membuka dan menutup mulut untuk menfasilitasi traksi elastis. Ketika

oklusi telah sesuai, elastis digantikan dengan intermaxillary fixation atau maxillomandibular

fixation (IMF/MMF).

Intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF) merupakan

imobilisasi rahang dengan aplikasi wire pada posisi tertutup yang terdiri dari wires, arch

bars, dan splints. Adapun keuntungan dari intermaxillary fixation atau maxillomandibular

fixation (IMF/MMF) adalah relatif sederhana, harganya murah, pemasangannya memerlukan

waktu yang singkat, skill operator yang dibutuhkan tidak banyak, dapat menjembatani

kerusakan kecil pada tulang yang memungkinkan terjadinya penyembuhan dengan

pembentukan kalus. Kekurangan dari intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation

(IMF/MMF) adalah kebersihan mulut, tidak memungkinkan pencapaian stabilitas absolute,

tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak kooperatif, dapat menyebabkan atrofi otot

11

Page 12: Primary Survey

rahang dan hilangnya kekuatan menggigit karena tidak difungsikan, sendi

temporomandibular dapat terpengaruh. Intermaxillary fixation terlihat pada gambar 2.14.

Indikasi dari pemasangan intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation

(IMF/MMF) dilakukan pada fraktur sederhana, pada pasien yang tidak mampu untuk metode

yang lebih moderen karena masalah harga, dan pada saat pasien tidak mampu menjalani

prosedur yang membutuhkan banyak waktu yang melibatkan anestesi umum. Kontraindikasi

dari pemasangan intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation (IMF/MMF) adalah

pada pasien yang menderita asma yang parah, penyakit paru obstruksi kronik, kelainan

gastrointestinal, masalah psikiatrik atau neurological, dan seizures (kejang). Seizures

merupakan penyakit yang dapat kambuh secara tiba-tiba, seperti epilepsi.

Ada dua teknik dalam pemasangan intermaxillary fixation yaitu dengan dental wiring

dan dengan arch bar. Dental wiring digunakan saat pasien memiliki gigi yang masih

lengkap. Wire yang digunakan berukuran 0,45 mm jenis soft stainless wire. Dental wiring

dapat dilakukan dengan cara direct interdental, eyelet, continous atau multiple loop wiring

dan Risdon’s wiring. Arch bar dapat digunakan pada pasien yang memiliki gigi lengkap

maupun yang telah kehilangan gigi dimana jumlah gigi yang tersisa tidak memungkinkan

untuk menggunakan interdental eyelet. Macam-macam arch bar yaitu arch bar Erich,

German silver, Jelenko.

Open Technique/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

Open technique pada penanganan fraktur terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yaitu

reduksi terbuka (open reduction) dan tahap kedua yaitu fiksasi internal/fiksasi langsung

(internal fixation/direct fixation). Reduksi terbuka merupakan suatu intervensi bedah untuk

mereduksi segmen fraktur. Penyembuhannya melalui penyembuhan primer, dimana selama

penyembuhan tidak terjadi pembentukan kalus. Fiksasi internal/fiksasi langsung sendiri

terdiri dari dua macam yaitu alat intraoral dan alat ekstraoral. Alat intraoral berupa plate dan

screw (gambar 2.15) serta transosseous wiring. Alat ekstraoral adalah fiksasi pin eksternal.

Indikasi dari fiksasi internal/fiksasi langsung adalah untuk memindahkan segmen

fraktur yang tidak stabil, ketika intermaxillary fixation atau maxillomandibular fixation

(IMF/MMF) dikontraindikasikan dan tidak memungkinkan, pada kasus fraktur dengan

kerusakan tulang, pada kasus fraktur multiple dan comminuted, demi kenyamanan pasien 12

Page 13: Primary Survey

yang sebenarnya masih dapat menggunakan intermaxillary fixation atau maxillomandibular

fixation (IMF/MMF). Pasien yang tidak dapat menjalani prosedur yang melibatkan anestesi

umum, pasien yang menolak prosedur kompleks, serta adanya infeksi di lokasi fraktur

merupakan kontraindikasi dari fiksasi internal/fiksasi langsung.

Keuntungan dari fiksasi internal/fiksasi langsung adalah pemeliharaan kebersihan mulut

baik, atropi otot minimal karena otot pengunyahan tetap difungsikan, nutrisi baik dan tidak

kehilangan berat badan, dapat digunakan oleh pasien yang mengalami gangguan jalur nafas,

pencapaian stabilitas fragmen tulang lebih baik karena penyatuan fragmen dilihat secara

langsung. Kekurangan dari fiksasi internal/fiksasi langsung adalah perawatan dilakukan di

bawah anestesi umum, mahalnya plate dan screw, ketrampilan operator harus tinggi,

frekuensi maloklusi dan cedera saraf tinggi, kerusakan tulang kecil tidak dapat dijembatani

karena penyembuhan pada teknik ini tidak terjadi pembentukan kalus, serta membutuhkan

operasi kedua untuk memindahkan plate dan srew.

Komplikasi Penyembuhan Fraktur

Setelah perawatan dan selama penyembuhan fraktur, dapat terjadi berbagai komplikasi,

seperti delayed union, non union, infeksi, malunion, ankilosis, cedera saraf, dan kebocoran

cerebrospinal fluid.

1. Delayed Union dan Non Union

Insidensi komplikasi ini sekitar 3% dari seluruh kasus fraktur. Delayed union

merupakan kondisi sementara yang mana adanya reduksi dan immobilisasi saat penyatuan

tulang. Hal ini dapat terjadi karena faktor lokal seperti infeksi dan faktor-faktor umum

seperti osteoporosis dan kekurangan nutrisi. Adapun non union merupakan suatu keadaan

yang mengindikasikan kegagalan penyatuan tulang di antara segmen yang terus-menerus

tanpa bukti penyembuhan tulang kecuali jika perawatan bedah dilakukan untuk memperbaiki

fraktur. Komplikasi fraktur non union dikarakteristikkan dengan nyeri dan mobilisasi

abnormal yang mengikuti perawatan. Penyebab utama non union adalah ketidakcukupan

reduksi dan immobilisasi, infeksi pada area fraktur, penurunan vaskularisasi, dan faktor

sistemik. Secara umum, penyebab delayed union dan non union adalah metabolik dan

kekurangan nutrisi, penggunaan intermaxillary fixation yang tidak baik, kualitas tulang yang

buruk, lemahnya pembuluh darah lokal atau kombinasi faktor-faktor tersebut.13

Page 14: Primary Survey

2. Infeksi

Dalam beberapa penelitian, infeksi dapat terjadi pada lebih dari 50% pasien, terutama

yang tidak menggunkaan antibiotik. Terjadinya komplikasi ini dipengaruhi oleh dua faktor

yaitu faktor sistemik dan faktor lokal. Faktor sistemik seperti pasien pengguna alkohol

(alcoholism), pasien immunocompromise dan pasien yang menggunakan antibiotik yang

tidak cukup atau tidak sempurna. Faktor lokal seperti reduksi dan fiksasi yang buruk dan

adanya gigi yang fraktur pada garis fraktur.

3. Malunion

Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh, namun dalam

keadaan yang tidak seharusnya. Jika hal ini terjadi pada lengkung gigi, maka akan terjadi

maloklusi yang dapat mengakibatkan asimetris wajah, enoftalmos dan okular distopia.

Enoftalmos adalah suatu keadaan terdorongnya bola mata ke dalam rongga orbita. Hal ini

dapat dirawat dengan ortodontik atau osteotomi setelah penyatuan tulang selesai.

4. Ankilosis

Ankilosis merupakan suatu keadaan mobilitas dan konsolidasi sebuah sendi yang

disebabkan oleh penyakit, cedera atau tindakan bedah. Ini merupakan salah satu komplikasi

yang jarang terjadi pada fraktur mandibula. Biasanya lebih sering terjadi pada anak-anak,

berhubungan dengan fraktur intrakapsular dan imobilisasi dari mandibula.

5. Cedera Saraf

Saraf yang paling sering cedera adalah nervus alveolaris inferior dan cabangnya. Tanda

yang terjadi yaitu mati rasa atau perubahan sensori lainnya pada bibir bawah atau dagu.

Cedera pada cabang nervus fasialis biasanya disebabkan oleh trauma pada kondil mandibula,

ramus mandibula, angulus mandibula dan laserasi (sobekan) di sepanjang daerah ini. Namun,

cedera pada saraf ini jarang terjadi. Fungsi sensorik dan motorik dari saraf-saraf ini dapat

kembali normal seiring waktu.

6. Kebocoran Cairan Serebrospinal (CSS)

14

Page 15: Primary Survey

Cairan serebrospinal (CSS) mengisi ventrikel dan ruang subarachnoid. CSS berfungsi

sebagai salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak terhadap trauma atau gangguan

dari luar. CSS dibentuk di pleksus koroideus dan di sepanjang dinding ventrikel. Pada

manusia, volume CSS adalah sekitar 150 mL dan kecepatan produksi CSS adalah sekitar 550

mL/hari. Kebocoran CSS dapat terjadi setelah perawatan fraktur midface yaitu fraktur naso-

etmoidal, Le fort II dan Le Fort III, namun kebocoran CSS ini jarang terjadi.

Penyembuhan Fraktur

1. Penyembuhan Tulang Primer

Penyembuhan tulang primer terbagi dalam dua tipe, yaitu gap healing dan contact

healing. Ketika terjadi celah kecil antara segmen tulang, dalam beberapa hari setelah fraktur

gap healing dimulai. Pembuluh darah dari periosteum, endosteum dan sistem havers masuk

ke dalam celah, untuk menjembatani prekursor osteoblastik mesenkimal. Deposit tulang

terjadi secara langsung pada permukaan fragmen fraktur tanpa resorpsi dan pembentukan

kartilago intermediet. Jika celah kurang dari 0,3 mm maka secara langsung akan terbentuk

lamellar bone. Namun, jika celah yang terbentuk sebesar 0,3 mm sampai 1,0 mm maka akan

terbentuk woven bone yang nantinya akan berubah menjadi lamellar bone. Pembentukan

lamellar bone terjadi selama 6 minggu. Ciri khas woven bone adalah memiliki serat kolagen

yang tidak beraturan, dan sifat mekanik yang lemah. Sedangkan ciri khas lamellar bone

adalah memiliki serat kolagen yang beraturan serta sifat mekanik yang kuat.

Tipe penyembuhan tulang primer yang kedua adalah contact healing. Pada contact

healing, lamellar bone akan langsung terbentuk sepanjang garis fraktur karena terdapat

kontak antara ujung fragmen tulang yang mengalami fraktur. Osteoklas akan memotong tiap

ujung fragmen fraktur, kemudian osteoblas akan mendeposisi tulang yang baru. Tulang

yang dihasilkan menyediakan suatu jalur pertumbuhan pembuluh darah. Kecepatan

pembentukan tulang sekitar 1-2 μm/hari. Matriks tulang yang baru terbentuk tersebut

menyelimuti osteosit dan pembuluh darah sehingga membentuk sistem havers. Adapun

perbedaan antara gap healing dan contact healing adalah pada gap healing dengan jarak

yang kecil, sel-sel akan membentuk lamellar bone secara tegak lurus pada sumbu tulang.

Sedangkan pada contact healing, lamellar bone akan terbentuk di sepanjang garis fraktur

yaitu sejajar dengan sumbu tulang.

15

Page 16: Primary Survey

2. Secondary Bone Healing

Penyembuhan spontan tanpa intervensi bedah dan setelah fiksasi semirigid. Dalam

proses penyembuhan sekunder terdapat 4 fase yaitu fase inisial (fase awal), fase

cartilaginous callus (pembentukan soft callus), fase bony callus (pembentukan hard callus),

dan fase remodeling.

3. Fase Awal

Gangguan pada pembuluh darah mengurangi suplai darah yang dapat mengakibatkan

kematian komponen seluler pada daerah fraktur sehingga terjadi nekrosis pada ujung

fragmen fraktur. Jika tulang yang nekrosis asepsis maka dapat menyebabkan oedema dan

inflamasi yang kemudian akibat adanya inflamasi ini dikeluarkan sejumlah vasoaktif

angiogenik pirogen yang dapat menyebabkan vasodilatasi. Perdarahan akibat dilatasi,

kerusakan pembuluh darah pada endosteum, periosteum, dan sistem heversian dapat

menyebabkan terbentuknya hematoma. Hematoma merupakan medium pertumbuhan

jaringan fibrosis dan vaskuler.

4. Pembentukan Soft Callus

Pembentukan kalus terjadi secara eksternal dan internal. Secara eksternal, nodul-nodul

kartilago dipisahkan oleh septa fibrosa, dimana pembuluh darah septa ini meningkat dengan

cepat. Diawali dengan terjadinya kalsifikasi kartilago dengan cara menjerat kondroblas dan

mengubahnya menjadi kondrosit. Kemudian osteoblas meningkat jumlahnya dan osteoklas

mulai muncul. Pada waktu yang bersamaan, kalus interna terbentuk di antara ujung tulang.

Area ini memiliki suplai darah yang lebih baik, sehingga daerah nekrosis berkurang. Ketika

tulang mulai sembuh setelah fraktur, pembentukan kalus disekitar tempat fraktur bertujuan

untuk menstabilkan area yang terlibat, meningkatkan kekuatan dan kekerasan tulang selama

proses penyembuhan.

16

Page 17: Primary Survey

5. Pembentukan Hard Callus

Selama proses mineralisasi, ujung-ujung tulang secara berangsur-angsur diselimuti oleh

massa kalus yang berisi woven bone yang terus meningkat. Semakin banyak mineral yang

telah dideposisi, semakin keras pula kalus yang terbentuk. Stabilitas fragmen fraktur

meningkat dan penyatuan klinis terjadi. Penyatuan klinis adalah suatu keadaan dimana

bagian fraktur tidak nyeri lagi dan secara radiograf telah terlihat banyangan radioopak,

namun banyangan garis patah tulang masih terlihat. Meskipun demikian, proses

penyembuhan belum selesai karena bagian ini masih lemah dibandingkan tulang yang

normal. Kekuatan yang sama dengan tulang normal akan dicapai setelah proses remodeling

berlangsung.

6. Fase Remodeling

Pada fase ini, woven bone mengalami remodeling menjadi lempeng-lempeng tulang

yang dikenal dengan lamellar bone. Proses ini berjalan lambat. Kemudian, faktor BMP

(Bone Morphogenetic Protein) dilepaskan sehingga membantu membawa dan mengatur

proses remodeling. BMP juga berperan sebagai mitogenik dan TGF (Transforming Growth

Factor) yang berfungsi untuk memacu diferensiasi sel mesenkim dalam pembentukan tulang.

Faktor BMP (Bone Morphogenetic Protein) merupakan sekelompok protein yang dapat

menginduksi pertumbuhan tulang dan tulang rawan serta perbaikan pada tulang. Terdapat

beberapa jenis BMP, salah satunya adalah BMP-1 yang merupakan metaloprotease.

Metaloprotease dikenal juga dengan nama metaloproteinase, metalopepsidase,

metalokarboksipepsidase. Metaloprotease merupakan salah satu jenis enzim golongan

hidrolase yang mampu memotong ikatan peptida dengan bantuan ion logam bivalen sebagai

aktivatornya. Faktor BMP yang lain diberi nomor mulai dari BMP-2. BMP-2 hingga BMP-7

merupakan anggota TGF-β (Transforming Growth Factor beta). TGF-β (Transforming

Growth Factor beta) berperan dalam menstimulasi pertumbuhan pembuluh darah dan

bersama faktor osteoinduksi menstimulasi pembentukan tulang.

17

Page 18: Primary Survey

DAFTAR PUSTKA

1. Balajhi SM. Teks Book of Oral and Maxillofacial Surgery. Delhi India: Elsevier, 2007. Hal: 545-58, 562-5.

2. American Collage of Surgeon Committee on Trauma. Advance Trauma Life Support for Doctors (ATLS). 7th Ed. Student Course Manual. United State of America. 2004. Hal: 14-29

3. Peterson LJ, Edward E, James RH, Myron RT. Oral and Maxillofacial Surgery. 3nd ed. Phyladelphia: Mosby, 1998. Hal: 560, 594-5.

4. The Free Dictionary by Farlex. Fracture. Access on: http://www.thefreedictionary.com/fracture (diunduh tanggal 21 November 2010)

5. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC. 2002. Hal: 877-8.6. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2003. Hal: 586-7.7. Anonymous. “Basic bone biology.” International Osteoporosis Foundation. 2010. Access

on: http://www.iofbonehealth.org/health-professionals/about-osteoporosis/basic-bone-biology.html (diunduh tanggal 20 Desember 2010)

8. Lukman K. Penyembuhan patah tulang ditinjau dari sudut ilmu biologi molekuler. 4:1 (1997): 29-46

9. Anonymous. “Definition of bone morphogenetic protein.” MedicineNet.com. 2003.Access on:http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=16238 (diunduh tanggal 20 Desember 2010)

10. Acces on: http://en.wikipedia.org/wiki/Transforming_growth_factor_beta (diunduh tanggal 20 Desember 2010)

18