PENATALAKSANAAN[1], primary survey, anestesiologi,terapi,intensif
-
Upload
anita-oktaviani -
Category
Documents
-
view
47 -
download
0
description
Transcript of PENATALAKSANAAN[1], primary survey, anestesiologi,terapi,intensif
Kurangnya pasokan oksigen yang dibawa oleh darah ke otak dan organ vital lainnya merupakan
penyebab kematian tercepat pada penderita gawat. Oleh sebab itu pencegahan kekurangan
oksigen jaringan (hipoksia) yang meliputi pembebasan jalan napas yang terjaga bebas dan stabil,
ventilasi yang adekuat, serta sirkulasi yang normal (tidak shock) menempati prioritas pertama
dalam penanganan kegawatdaruratan.
Sifat gangguan yang terjadi pada jalan napas bisa mendadak oleh karena sumbatan total,
atau bisa juga perlahan oleh karena sumbatan parsial (dengan berbagai sebab). Sumbatan
pada jalan napas dapat terjadi pada pasien tidak sadar atau pasien dengan kesadaran menurun
atau korban kecelakaan yang mengalami trauma daerah wajah dan leher.
Penanganan airway mendapat prioritas pertama karena jika tidak ditangani akan mengakibatkan
kematian yang cepat, dan penanganan segera perlu dilakukan. Pembebasan jalan napas dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu tanpa alat (manual) maupun dengan alat.
Alat bantu pembebasan jalan napas yang digunakan ada berbagai macam disesuaikan dengan
jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang pada intinya bertujuan mempertahankan
jalan napas agar tetap bebas.
Sumbatan Jalan Napas
Ada beberapa keadaan di mana adanya sumbatan jalan napas harus diwaspadai, yaitu:
a. Trauma pada wajah
b. Fraktur ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan
gangguan jalan napas pada posisi terlentang.
c. Perlukaan daerah leher mungkin menyebabkan gangguan jalan napas karena
rusaknya laring atau trakea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang
menekan jalan napas.
d. Adanya cairan berupa muntahan, darah, atau yang lain dapat menyebabkan aspirasi
e. Edema laring akut karena trauma, alergi, atau infeksi.
Pembebasan Jalan Napas
Pembebasan jalan napas adalah tindakan untuk menjamin pertukaran udara secara
normal dengan cara membuka jalan napas sehingga pasien tidak jatuh dalam kondisi
hipoksia dan atau hiperkarbia.
Prioritas utama dalam manajemen jalan napas adalah membebaskan jalan napas dan
mempertahankan agar jalan napas tetap bebas untuk menjamin jalan masuknya udara ke
paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan jalan
napas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan alat dan tanpa alat (cara manual). Cara manual
dapat dilakukan di mana saja, dan kapan saja, walaupun hasil lebih baik bila menggunakan alat
namun pertolongan cara manual yang cepat dan tepat dapat menghindarkan resiko kematian atau
kecacatan permanen. Pada kasus trauma, pengelolaan jalan napas tanpa alat dilakukan dengan
tetap memperhatikan kontrol tulang leher.
Langkah yang harus dikerjakan untuk pengelolaan jalan napas yaitu:
1. Pasien diajak berbicara. Jika pasien dapat menjawab dengan jelas itu berarti jalan napasnya
bebas. Pasien yang tidak sadar berpotensi terjadi sumbatan jalan napas sehingga memerlukan
tindakan pembebasan jalan napas. Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah
jatuhnya pangkal lidah ke belakang.
2. Berikan oksigen. Oksigen diberikan dengan sungkup muka (simple masker) atau masker
dengan reservoir (rebreathing/non rebreathing mask) atau nasal kateter atau nasal prong
walaupun belum sepenuhnya jalan napas dapat dikuasai dan dipertahankan bebas. Jika memang
dibutuhkan pemberian ventilasi bisa menggunakan jackson-reese atau BVM.
3. Nilai jalan napas. Sebelum melakukan tindakan untuk membebaskan jalan napas lanjut maka
yang harus dilakukan pertama kali yaitu memeriksa jalan napas sekaligus melakukan
pembebasan jalan napas secara manual apabila pasien tidak sadar atau kesadaran menurun berat
(coma). Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan, menilai jalan
napas sekaligus fungsi pernapasan:
L – Look (lihat) Lihat pengembangan dada, adakah retraksi sela iga otot-otot napas tambahan
lain, warna mukosa/kulit dan kesadaran. Lihat apakah korban mengalami kegelisahan (agitasi),
tidak dapat berbicara, penurunan kesadaran,sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang
menunjukkan hipoksemia. Sianosis dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan bibir.
L – Listen (dengar). Dengar aliran udara pernapasan. Adanya suara napas tambahan adalah
tanda ada sumbatan parsial pada jalan napas. Suara mendengkur, berkumur, dan stridor mungkin
berhubungan dengan sumbatan parsial pada daerah faring sampai laring. Suara parau
(hoarseness, disfonia) menunjukkan sumbatan pada faring.
F – Feel (rasakan). Rasakan ada tidaknya udara yang hembusan ekspirasi dari hidung dan
mulut. Hal ini dapat dengan cepat menentukan apakah ada sumbatan pada jalan napas. Rasakan
adanya aliran udara pernapasan dengan menggunakan pipi penolong.
4. Obstruksi jalan napas
Obstruksi jalan napas dibagi macam, obtruksi parsial dan obstruksi total.
a. Obstruksi partial dapat dinilai dari ada tidaknya suara napas tambahan yaitu:
Mendengkur (snoring), disebabkan oleh pangkal lidah yang jatuh ke posterior. Cara
mengatasinya dengan head tilt, chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring,
pemasangan pipa endotrakeal, pemasangan Masker Laring (Laryngeal Mask Airway).
Suara berkumur (gargling), penyebabnya adalah adanya cairan di daerah hipofaring. Cara
mengatasi: finger sweep, suction atau pengisapan.
Crowing Stridor, oleh karena sumbatan di plika vokalis, biasanya karena edema. Cara
mengatasi: cricotirotomi, trakeostomi.
b. Obstruksi total, dapat dinilai dari adanya pernapasan “see saw” pada menitmenit
pertama terjadinya obstruksi total, yaitu adanya paradoksal breathing antara dada dan perut. Dan
jika sudah lama akan terjadi henti napas yang ketika diberi napas buatan tidak ada
pengembangan dada. Menjaga stabilitas tulang leher, ini jika ada dugaan trauma leher, yang
ditandai dengan adanya trauma wajah/maksilo-facial, ada jejas di atas clavicula, trauma
dengan riwayat kejadian ngebut (high velocity trauma), trauma dengan deficit neurologis dan
multiple trauma.
Pembebasan Jalan Napas Tanpa Alat.
Pada pasien yang tidak sadar, lidah akan terjatuh ke posterior, yang jika didengarkan seperti
suara orang ngorok (snoring). Hal ini mengakibatkan tertutupnya trakea sebagai jalan napas.
Untuk penanganannya ada tiga cara yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas,
yaitu head tilt, chin lift dan jaw thrust.
head-tilt (dorong kepala ke belakang).
chin-lift Maneuver (tindakan mengangkat dagu).
jaw-thrust Maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah ke atas).
Head Tilt
Dilakukan dengan cara meletakkan 1 telapak tangan pada dahi pasien, pelan-pelan
tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi ke arah belakang sehingga kepala
menjadi sedikit tengadah (slight Extention).
Chin Lift
Dilakukan dengan cara menggunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang tulang dagu
pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke depan. Jika korban anak-anak, gunakan hanya
jari telunjuk dan diletakkan di bawah dagu, jangan terlalu menengadahkan kepala.
Chin lift dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan. Tindakan ini sering
dilakukan bersamaan dengan tindakan head tilt. Tehnik ini bertujuan membuka jalan napas
secara maksimal.
Perhatian : Head Tilt dan Chin Lift sebaiknya tidak dilakukan pada pada pasien
dengan dugaan adanya patah tulang leher; dan sebagai gantinya bisa digunakan teknik
jaw thrust.
Jaw Thrust
Jika dengan head tilt dan chin lift pasien masih ngorok (jalan napas belum terbuka sempurna)
maka teknik jaw thrust ini harus dilakukan. Begitu juga pada dugaan patah tulang leher, yang
dilakukan adalah jaw thrust (tanpa menggerakkan leher). Walaupun tehnik ini menguras tenaga,
namun merupakan yang paling sesuai untuk pasien trauma dengan dugaan patah tulang leher.
Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah atas sehingga barisan
gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka,
bisa dibantu dengan ibu jari.
Gambar 2.1 Manuver jaw thrust hanya dilakukan oleh orang terlatih
Pembebasan Jalan Napas Dengan Alat
Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat yaitu secara manual tidak berhasil sempurna atau
pasien memerlukan bantuan untuk mempertahankan jalan napas dalam jangka waktu lama
bahkan ada indikasi pasien memerlukan definitive airway. Alat yang digunakan bermacam-
macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang intinya bertujuan
mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka.
a. Oropharyngeal Tube (pipa orofaring)
Pipa orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan napas tetap terbuka dan menahan pangkal
lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas pada pasien tidak sadar. Yang
perlu diingat adalah bahwa pipa orofaring ini hanya boleh dipakai pada pasien yang tidak sadar
atau penurunan kesadaran yang berat (GCS ≤ 8).
Teknik Pemasangan Oropharyngeal Tube
Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya. Bersihkan dan basahi agar licin. Ukuran yang tepat
dapat diperoleh dengan cara mencari pipa orofaring yang panjangnya sama dengan jarak dari
sudut bibir sampai ke tragus atau dari tengah bibir sampai ke angulus mandibula pasien.
Buka mulut pasien (chin lift atau gunakan ibu jari dan telunjuk). Arahkan lengkungan
menghadap ke langit-langit (ke palatum). Masuk separoh, putar 180º (sehingga lengkungan
mengarah ke arah lidah). Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat. Pada anak-anak arah
lengkungan tidak perlu menghadap ke palatum tapi langsung menghadap bawah dan untuk
lidahnya ditekan dengan tongue spatle. Yakinkan lidah sudah tertopang pipa orofaring, lihat,
dengar, dan raba napasnya.
b. Nasopharyngeal Tube (pipa nasofaring)
Untuk pipa nasofaring kontra indikasi relatifnya adalah adanya fraktur basis crania yang ditandai
dengan adanya brill hematon, bloody rhinorea, bloody otorea, dan battle sign.
Teknik Pemasangan Nasopharyngeal Tube
1. Nilai lubang hidung, septum nasi, tentukan pilihan ukuran pipa.
2. Ukuran pipa yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa nasofaring yang panjangnya
sama dengan jarak dari ujung hidung sampai ke tragus dan diameternya sesuai dengan jari
kelingking tangan kanan pasien.
3. Pakai sarung tangan.
4. Beri jelly pada pipa dan kalau ada tetesi lubang hidung dengan obat tetes hidung atau larutan
vasokonstriktor (efedrin).
5. Hati-hati dengan kelengkungan tube yang menghadap ke arah depan, ujungnya diarahkan ke
arah telinga.
6. Masukkan pipa nasofaring ke lubang hidung dengan posisi ujung yang tajam menjauhi septum
nasi. Masukkan sekitar 2 cm.
7. Kemudian lihat arah lengkungan dari pipa nasofaring, jika sudah menghadap bawah maka
pipa nasofaring tinggal dimasukkan secara tegak lurus dengan dasar. Tapi jika arah lengkungan
pipa nasofaring menghadap atas maka putar pipa nasofaring tersebut 180º sehingga
lengkungannya menghadap ke bawah.
8. Kemudian dorong pelan-pelan hingga seluruhnya masuk, lalu pasang plester (kalau perlu).
Bila dengan pemasangan jalan napas buatan pipa orofaring atau pipa nasofaring ternyata masih
tetap ada obstruksi jalan napas, pernapasan belum juga baik atau karena indikasi cedera kepala
berat; maka dilakukan pemasangan definitive airway yaitu pipa endotrachea (ETT –
Endotracheal Tube). Pemasangan pipa endotrachea akan menjamin jalan napas tetap terbuka,
menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernapasan.
c. Endotracheal Tube
Pipa Endotracheal berbagai ukuran
Intubasi endotrachea adalah gold standard untuk pembebasan jalan napas. Sehingga Intubasi
endotrachea disebut juga definitive airway. Intubasi endotrakhea adalah proses memasukkan pipa
endotrakheal ke dalam trakhea, bila dimasukkan melalui mulut disebut intubasi orotrakhea, bila
melalui hidung disebut intubasi nasotrakhea. Intubasi endotrakhea hanya boleh dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang terlatih dan berpengalaman.
Peralatan Intubasi
1. Pipa oro/nasofaring.
2. Suction/alat pengisap.
3. Sumber Oksigen
4. Kanula dan masker oksigen.
5. BVM/Ambu bag, atau jackson reese.
6. Pipa endotrakheal sesuai ukuran dan stylet.
7. Pelumas (jelly).
8. Forcep magill.
9. Laringoscope (handle dan blade sesuai ukuran, selalu periksa baterai&lampu)
10. Obat-obatan sedatif i.v.
11. Sarung tangan.
12. Plester dan gunting.
13. Bantal kecil tebal 10 cm (bila tersedia)
Teknik Intubasi
1. Sebelum intubasi berikan oksigen, sebaiknya gunakan bantal dan pastikan jalan napas terbuka
(hati-hati pada cedera leher).
2. Siapkan endotracheal tube (ETT), periksa balon (cuff), siapkan stylet, beri jelly.
3. Siapkan laringoskop (pasang blade pada handle), lampu harus menyala terang.
4. Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan ujung blade ke sisi kanan mulut pasien,
geser lidah pasien ke kiri.
5. Tekan tulang rawan krikoid (untuk mencegah aspirasi = Sellick Maneuver).
6. Lakukan traksi sesuai sumbu panjang laringoskop (hati-hati cedera gigi, gusi, bibir).
7. Lihat adanya pita suara. Bila perlu isap lendir/cairan lebih dahulu.
8. Masukkan ETT sampai batas masukny di pita suara.
9. Keluarkan stylet dan laringoskop secara hati-hati.
10. Kembangkan balon (cuff) ETT.
11. Pasang pipa orofaring.
12. Periksa posisi ETT apakah masuk dengan benar (auskultasi suara pernapasan atau udara yang
ditiupkan). Hubungkan dengan pipa oksigen.
13. Amankan posisi (fiksasi) ETT dengan plester
d. Laringeal Mask Airway (LMA)
LMA adalah alat pembebasan jalan napas yang non-invasif yang dipasang di supraglotis. Secara
umum terdiri dari 3 bagian: airway tube, mask, dan Inflation line. LMA disebut juga sebagai
alternative airway, karena bagi tenaga yang belum berpengalaman melakukan intubasi
endotrachea maka LMA inilah yang menjadi alternatif pilihan yang paling baik untuk
membebaskan jalan napas.
Indikasi penggunaan LMA:
Keadaan di mana terjadi kesulitan menempatkan masker (BVM) secara tepat
Dipergunakan sebagai back up apabila terjadi kegagalan dalam intubasi endotracheal
Dapat dipergunakan sebagai “second-last-ditch airway“ apabila pilihan terakhir untuk secure airway adalah dengan pembedahan
Kontraindikasi pemasangan LMA:
Usia kehamilan lebih dari 14-16 minggu
Pasien dengan trauma masif atau multipel
Cedera dada masif
Trauma maksilofasial yang massif
Pasien dengan risiko aspirasi lebih besar dibandingkan keuntungan pemasangan LMA
Catatan : Tidak ada kontraindikasi yang bersifat absolut
Efek Samping Pemasangan LMA:
Nyeri tenggorokan
Rasa kering pada ternggorokan ataupun mukosa sekitarnya
Efek samping lebih banyak berhubungan dengan penempatan LMA yang tidak tepat
Peralatan yang diperlukan untuk pemasangan LMA:
LMA dengan ukuran yang sesuai
Syringe untuk mengembangkan cuff LMA
Water soluble lubricant
Perlengkapan ventilasi
Stetoskop
Tape
Persiapan untuk pemasangan LMA:
1. Pemilihan Ukuran sesuai dengan pasien
Ukuran yang direkomendasikan (disesuaikan dengan berat badan):
Size 1 : < 5 kg
Size 1.5 : 5 s.d 10 kg
Size 2 : 10 s.d 20 kg
Size 2.5 : 20 s.d 30 kg
Size 3 : 30 kg s.d Small adult
Size 4 : Adult/Dewasa
Size 5 : Large adult(dewasa besar)/poor seal with size 4
2. Pengecekan LMA
Sebelum digunakan, periksa dulu apakah ada kebocoran/tidak dengan cara mengembang kempiskan cuffnya
3. Pemberian jelly (water soluble) pada bagian belakang Mask LMA
4. Ekstensikan kepala dan fleksikan daerah leher
Teknik Pemasangan LMA:
1. Pegang tube LMA, seperti memegang pena sedekat mungkin dengan bagian
akhir masker LMA.
2. Letakkan ujung LMA pada bagian dalam mulut pasien, di atas gigi (hard palate)
3. Dengan sedapat mungkin melihat secara langsung Tekan ujung masker ke arah atas menyusuri
hard palate
4. Dengan jari telunjuk, tetap susuri searah dengan palatum sampai masker LMA masuk faring.
Pastikan ujung LMA tetap kempes dan hindari mengenai lidah
5. Jaga leher tetap dalam posisi fleksi dan kepala eksntensi, Tekan masker kearah dinding faring
posterior dengan menggunakan jari telunjuk
6. Lanjutkan mendorong LMA dengan jari telunjuk, arahkan mask LMA ke bawah sesuai posisi
yang diharapkan
7. Pegang tube LMA dengan tangan yang lain, Tarik jari telunjuk dari faring
8. Secara gentle tangan yang lain menekan LMA ke bawah sampai benar-benar mask LMA
sudah masuk sepenuhnya.
9. Kembangkan masker LMA sesuai dengan udara sesuai volume yang direkomendasikan.
Berikut volume maksimal dari pengembangan cuff:
Size 1 : 4 ml
Size 1.5 : 7 ml
Size 2 : 10 ml
Size 2.5 : 14 ml
Size 3 : 20 ml
Size 4 : 30 ml
Size 5 : 40 ml
10. Jangan sampai masker LMA over-inflate
11. Jangan menyentuh tube LMA selama dikembangkan, kecuali posisinya tidak stabil.
12. Secara normal Masker LMA akan naik ke hipofaring saat dikembangkan berada pada posisi yang tepat.
13. Hubungkan LMA dengan BVM atau low pressure ventilator
14. Ventilasi pasien sambil mendengarkan suara napas simetris atau tidak, pastikan tidak ada suara udara masuk ke lambung
15. Masukkan bite block atau kasa gulung untuk mencegah oklusi tube karena tergigit pasien
16. Fiksasi LMA
e. Krikotiroidotomy
Untuk sumbatan yang terjadi karena masalah di laring/plica vocalis, maka dapat dilakukan krikotiroidotomy.
Ada 2 jenis krikotiroidotomy:
- Krikotiroidotomy dengan jarum (Needle Cricothyroidotomy).
- Krikotiroidotomy dengan pembedahan, dengan pisau (Surgical Cricothyroidotomy).
Cara ini dipilih pada kasus pemasangan pipa endotracheal tidak mungkin dilakukan, dipilih
tindakan krikotiroidotomy dengan jarum. Untuk petugas medis yang terlatih dan terampil dapat
melakukan krikotiroidotomy dengan pisau.
Krikotiroidotomy Dengan Jarum
Alat
1. Jarum infus ukuran besar, no 14
2. Sput 10 cc
3. Aquades/PZ
4. Alkohol swab
5. Sumber Oksigen dan selang
Teknik
1. Cari titik tusuknya dengan cara: dari jakun (Thyroid Cartilage, Adam’s Apple) raba ke bawah
sampai ada cekungan yang disebut membrana cricothyroidea, inilah titik tusuknya. Di bawah
titik tusuk ini ada ring yang agak lebih besar dari ring tulang trakhea (Cricoid Cartilage).
2. Isi Spuit dengan Aquades/PZ
3. Desinfeksi daerah tusukan dengan alkohol swab
4. Tusuk di membrana cricothyroidea dengan arah ke bawah untuk menghindari
melukai pita suara. Menusuk sambil menaril piston dari spuit. Jika sudah keluar
gelembung berarti sudah masuk jalan napas.
5. Selanjutnya cabut jarum sisakan kanul infus yang di dalamnya.
6. Sambungkan kanul tersebut dengan selang oksigen untuk selanjutnya pasien diberi
oksigen aliran 10 lpm dengan sistem jet insuflasi (4:1).
7. Teknik ini hanya bertahan 10 menit karena jika terlalu lama akan terjadi
penumpukan karbondioksida.
8. Untuk itu tindakan ini perlu dilanjutkan dengan teknik Surgical Cricothyroidotomy, kemudian
disambungkan dengan selang yang lebih besar atau dipasang canul trakeostomi.
Kritotirotomi dengan Pisau (Surgical Crycothyrotomy)
Alat
Sarung tangan, pisau/skalpel no. 1, no. 20.
Obat anti septik/desinfektan.
Obat anestesi lokal.
Kasa.
Kanula trakheostomi no. 5 – 7.
Baju steril, masker.
Gunting.
Teknik
1. Jelaskan pada penderita bila pasien masih sadar (inform consent).
2. Pilih ukuran kanula trakheostomi yang sesuai.
3. Atur posisi pasien
a. Netral, pasang penyangga leher (collar splint) pada pasien dengan cedera leher.
b. Ekstensi pada kasus tanpa cedera leher.
4. Pakai baju, masker, kaca mata, sarung tangan.
5. Desinfeksi leher, tutup leher dengan kain steril berlubang.
6. Berikan anestesi lokal.
7. Tentukan letak membran krikoid.
Insisi pada membran 2 – 3 cm menembus sampai rongga trakhea dengan sudut 30 – 40 derajat ke
bawah untuk menghindari cedera pita suara.
8. Perlebar dengan pangkal scalpel putar tegak lurus atau pergunakan klem atau spekulum
(dilatator).
9. Pasang kanula trakheostomi/kembangkan balon (cuff).
10. Berikan ventilasi dengan 100% O2.
11. Cek segera patensi jalan napas.
12. Pasang pita pengikat kanula.
13. Cek foto X-ray (bila fasilitas memungkinkan).
2.1.3 Membersihkan Jalan Napas
Untuk memeriksa jalan napas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger
yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan
bawah. Bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan
pembersihan manual dengan sapuan jari(finger sweep). Kegagalan membuka napas dengan cara
ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan napas di daerah faring atau adanya henti
napas (apnea). Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui
mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan total pada jalan napas
dan dilakukan pijat jantung.
a. Membersihkan Jalan Napas karena Cairan
Membersihkan Jalan Napas Secara Manual (Finger Sweep)
Membersihkan jalan napas secara manual dapat dilakukan dengan sapuan jari (finger
sweep). Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut
belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga
hembusan napas hilang (tersumbat).
Cara melakukannya :
Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut
dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi)
Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung
tangan/kassa/kain (jangan tisu atau kertas karena mudah hancur dan malah akan
memperburuk sumbatan jalan napas) untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan
menyapu.
Membersihkan benda asing cair dalam jalan napas menggunakan alat pengisap
(suction)
Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair yang ditandai dengan
terdengar suara tambahan berupa “gargling”, maka harus dilakukan pengisapan
(suctioning). Digunakan alat pengisap yang lebih populer dengan nama “suction”
(pengisap/ manual portable, pengisap dengan sumber listrik). Masukkan kanula pengisap
tidak boleh lebih dari lima sampai sepuluh detik.
Teknik Suctioning
1. Pengisap dihubungkan dengan pipa kecil/ suction catheter (dapat digunakan
Naso Gastric Tube - NGT atau pipa lainnya) yang bersih.
2. Gunakan sarung tangan bila memungkinkan.
3. Buka mulut pasien kalau perlu tengadahkan kepala agar jalan napas terbuka.
4. Lakukan pengisapan (tidak boleh lebih dari 5 detik)
5. Cuci pipa pengisap dengan memasukkannya pada air bersih/ cairan infus untuk
membilas selang suction, ulangi lagi bila diperlukan.
b. Mengatasi Sumbatan Jalan Napas Karena Benda Padat (Sumbatan Total)
Dapat digunakan tehnik manual thrust
Abdominal thrust.
Chest thrust.
Back blow.
Back Blow dan Abdominal Thrust/Heimlich Maneuver pada Pasien Dewasa
Untuk penderita sadar dengan sumbatan jalan napas parsial/total karena benda padat
boleh dilakukan tindakan Back Blow dan abdominal thrust (pada pasien dewasa).
Bantu / tahan penderita tetap berdiri atau condong ke depan dengan merangkul dari
belakang.
PENATALAKSANAAN
Setelah diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan, langkah selanjutnya yang terpenting adalah
melakukan observasi yang cermat. Oleh karena itu penderita sebaiknya dirawa di rumah sakit,
mengingat sifat fistula pneumotoraks dapat berubah sewaktu-waktu yaitu dari pneumotoraks
terbuka menjadi tertutup ataupun ventil. Sehingga tidak jarang penderita yang tampaknya tidak
apa-apa tiba-tiba menjadi gawat karena terjadi pneumotoraks ventil atau perdarahan yang hebat.
Kalau kita mempunyai alat pneumotoraks, dengan mudah kita dapat menentukan jenis
pneumotoraks apakah terbuka, tertutup, atau ventil.
Apabila penderita datang dengan sesak nafas, apalagi kalau sesak nafas makin lama makin
bertambah kita harus segera mengambil tindakan. Tindakan yang lazim dikerjakan ialah
pemasangan WSD (Water Seal Drainage). Apabila penderita sesak sekali sebelum WSD dapat
dipasang, kita harus segera menusukkan jarum ke dalam rongga pleura. Tindakan sederhana ini
akan dapat menolong dan menyelamatkan jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat
kita gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura ditempat yang
paling sonor waktu diperkusi. Sedangkan ujung selang infus yang lainnya dimasukkan ke dalam
botol yang berisi air.
Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (Kurang dari 20% paru yang kolaps) dapat dirawat
secara konservatif, tetapi pada umumnya untuk mempercepat pengembangan pPneumotoraks
terbuka dapat dirawat secara konservatif dengan mengusahakan penutupan fistula dengan cara
memasukkan darah atau glukosa hipertonis kedalam rongga pleura sebagai pleurodesi. Ada juga
para ahli yang mengobati pneumotoraks terbuka dengan memasang WSD disertai penghisap
terus menerus.
WAKTU PENCABUTAN KAPAN WSD
WSD dicabut apabila paru telah mengembang sempurna. Untuk mengetahui paru sudah
mengembang ialah dengan jalan penderita disuruh batukbatuk, apabila diselang WSD tidak
tampak lagi fluktuasi permukaan cairan, kemungkinan besar paru telah mengembang dan juga
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan fisik. Untuk mengetahui secara pasti paru telah
mengembang dilakukan Rontgen foto toraks.
Setelah dipastikan bahwa paru telah mengembang sempurna, sebaiknya WSD jangan langsung
dicabut tapi diklem dulu selama 3 hari. Setelah 3 hari klem dibuka. Apabila paru masih tetap
mengembang dengan baik baru selang WSD dicabut. Selang WSD dicabut pada waktu penderita
Ekspirasi maksimal.
TEKNIK PEMASANGAN WSD
Tempat pemasangan drain sebaiknya ialah :
a. Linea aksilaris media pada sela iga 6 atau sela iga ke 7.
b. Linea media klavikularis pada sela iga ke dua.
Setelah dilakukan desinfeksi kulit, maka dilakukan anestesi setempat dengan cara infiltrasi pada
daerah kulit sampai pleura. Kemudian dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan di
bawah kulit. Pleura parietalis ditembus dengan jarum pungsi yang pakai trokar dan mandrin.
Setelah tertem- bus, mandarin dicabut akan terasa keluar udara. Kemudian mandrin diganti
dengan kateter yang terlebih dahulu telah diberi lobang secukupnya pada ujungnya. Setelah
kateter masuk rongga pleura trokar dicabut dan pangkal kateter disambung dengan selang yang
dihubungkan dengan botol yang berisi air, di mana ujungnya terbenam ± 2 cm. Kateter diikat
dengan benang yang dijahitkan kepada kulit sambil menutuparu lebih baik dipasang WSD.
Tujuan utama penatalaksaan
pneumotoraks spontan adalah
evakuasi udara di dalam rongga
pleura, memfasilitasi
penyembuhan pleura dan
mencegah terjadinya rekurensi secara efektif.
Pilihan terapi meliputi, yaitu terapi oksigen, observasi, aspirasi sederhana dengan kateter vena,
pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi single port, VAST dan torakotomi. 11,13,14
Pemilihan penatalaksanaan tergantung pada :
- tipe pneumotoraks spontan primer atau sekunder
- luas pneumotoraks
- gejala klinis, terjadinya kebocoran udara yang menetap (persistent air leak)
- faktor risiko lain : jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan merokok, dll
Terapi oksigen
Suplemen oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga toraks sebanyak 4 x
dibandingkan dengan tanpa suplementasi oksigen. 17
Oksigen akan mengurangi tekanan parsial nitrogen di dalam kapiler darah sekitar rongga pleura
dan akan meningkatkan gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini akan menyebabkan nitrogen ke
dalam kapiler pembuluh darah di sekitar rongga pleura dan diikuti oleh gas lain. Suplementasi
oksigen pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh kasus pneumotoraks.
Observasi (tanpa tindakan invasif)
Bila hubungan antara alveoli dan rongga pleura dihilangkan, maka udara di dalam rongga pleura
akan diabsorbsi secara betahap. Kecepatan absorpsi antara berkisar 1,25 % dari volume
hemitoraks setiap 24 jam. 18
ACCP membagi klinispenderita atas penderita dalam kondisi stabil, jika :
- laju napas < 24 x/menit
- denyut jantung 60-120 x/menit
- tekanan darah normal
- saturasi oksigen > 90 % (tanpa asupan oksigen)
setelah observasi penderita dapa dipulangkan dan datang kembali ke rumah sakit bila terdapat
gejala klinik yang memberat. Observasi tidak dilakukan pada penderita denagan pekerjaan atau
kondisi yang mengandungresio tinggi terjadinya rekurensi.
Tindakan fisioterapi denagn pemberian penyinaran gelombang pendek pada pneumotoraks
spontan kurang dari 30 %, secara bemakna meningkatkan absorbsi udara dibandingkan dengan
hanya observasi saja. 19
Aspirasi sederhana dengan kateter vena
Aspirasi sederhana terutama direkomendasiksan pada terapi awal penderita PSP pertama, karena
memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi (70 %) dibandingkan bila dilakukan pada penderita
PSS. Prosedur ini memiliki keuntungan antara lain morbidity yang minimal dan dapat dilakukan
pada pasien rawat jalan sehingga penderita dapat bekerja kembali serta relatif mudah dan murah.
Kelemahan prosedur ini apabila gagal maka perlu dilakukan pemasngan tube thoracostomy dan
tidak mungkin mengurangi rekurensi.
Pemasangan WSD
Pemasangan WSD atau tube thoracostomy masih merupakan tindakan pertama sebelum
penderita diajukan untuk tindakan yang lebih invasif seperti torakoskopi atau torakotomi.
Pemasangan tube thoracostomy pada pneumotoraks teutama ditujukan pada penderita PSP yang
gagal dengan tindakan aspirasi dan penderita PSS, sebelum menjalani tindakan torakoskopi atau
torakotomi. Pada penderita PSP angka keberhasilan pemasangan tube thoracostomy lebih tinggi
dibandingkan dengan PSS.
Penggunaan suction pada sistem drinase tidak banyak memberikan keuntunagn dalam
mempercepat pengemabnagan paru, sehingga pada awal pemasangan biasanya dihubungkan
dengan katup satu arah atau dengan perangkat WSD tanpa suction, namun bila terjadi kebocoran
udara tube thoracostomy dihubungkan dengan suction.
Komplikasi pemasangan tube thoracostomy:
- malposisi ke fisura interlobar, organ lain seperti esophagus, pembuluh darah sentral dan
jaringan subkutis
- pneomototaks berulang atau pembentukan cairan
- pneumotoraks kontralateral
- shok kardigenik karena kompresi ventrikel kanan
- kerusakan saraf seperti saraf interkostal, saraf diafragma
- edema paru reekspansi unilateral
- fistula bronkopleura
- perlengketan pleura dengan paru yang tidak mengembang
- perdarahan
- infeksi
Pleurodesis
Dilakukan terutama untuk mencegah rekurensi terutama penderita dengan risiko tinggi untuk
terjadinya rekurensi. Zat sklerosan yang ideal harus memenuhi beberapa kriteria :
- murah
- mudah didapat
- mudah dimanipulasi
- mudah disterilisasi
- mudah dipakai (pada saat tindakan torakosentesis)
- aman
Bahan yang biasanya digunakan adalah tetrasiklin, minosklin, doksisklin, atau talk. Bahan
terbaik dalam mengurangi rekurensi adalah talk.
Torakoskopi
Tindakan torakoskopi untuk episode petama PSPmyang masih tertanagni denagn aspirasi masih
menjadi perdebatan, karena pada dasarnya sekitar 64 % PSP tidak terjadi rekurensi pada
pemasangan. Tindakan yang dilakukan adalah reseksi bula dan pleurodesis. Torakoskopi pada
PSS harus dilakukan bila paru tidak mengembang setelah 48-72 jam. Pada PSS komplikasi
VATS lebih tinggi dibandingkan pada PSP.
Torakotomi
Merupakan tindakan akhir apabila tindakan yang lain gagal. Tindakan ini memiliki angka
rekurensi terendah yaitu kurang dari 1 % bila dilakukan pleurektomi dan 2-5 % bila dilakukan
pleurodesis dengan abrasi mekanik.
KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder sehingga dapat menimbulkan pleuritis, empiema , hidropneumotoraks.
2. Gangguan hemodinamika.
Pada pneumotoraks yang hebat, seluruh mediastinum dan jantung dapat tergeser ke arah yang
sehat dan mengakibatkan penurunan kardiak "output", sehingga dengan demikian dapat
menimbulkan syok kardiogenik.
3. Emfisema; dapat berupa emfisema kutis atau emfisema mediastinalis4,5
DIAGNOSIS BANDING
1. Emfisema pulmonum
2. Kavitas raksasa
3. Kista paru
4. Infarkjantung
5. Infark paru
6. Pleuritis
7. Abses paru dengan kavitas4,5