Presus Gabungan

download Presus Gabungan

If you can't read please download the document

description

nkllkjkl

Transcript of Presus Gabungan

HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Sindroma Steven Johnson

Disusun oleh : Rizkha Adistyatama Meiga Asrining Fitri Florinda Shella Vina P Dian Riska G1A210034 G1A210035 G1A210036 G1A210037 G1A210038

Telah disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal : April 2011

Pembimbing :

Dr. MM Rudi Prihatno, Sp.An

1

ABSTRAK Penatalaksanaan anestesi pada penderita Sindroma Steven Johnson (SJS) yang di lakukan operasi Debridement pada seorang wanita berusia 15 tahun dengan anestesi umum dengan status fisik ASA III. Medikasi induksi dengan Ketalar, sedatif dengan diazepam 10mg, rumatan dengan inhalasi oksigen menggunakan nasal kanul. Selama operasi dilakukan monitoring melalui tensi dan nadi, operasi berlangsung selama 35 menit. Durante operasi tidak ada penyulit anestesi atau

pembedahan. Post operasi pasien tetap kembali ke bangsal dimana ia berada sebelum di operasi. Keadaan pasien selama perawatan post operasi compos mentis.

2

I.

PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua orang dokter anak dari Amerika, Albert Mason Stevens dan Frank Chambliss Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya. Insidensi SSJ dan NET adalah sekitar 2-3 kasus per juta populasi per tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Wanita dua kali lebih banyak terserang sindrom ini dibanding laki-laki. Angka kejadian lebih tinggi pada pasien dengan Sindrom Lupus Eritematosa (SLE) dan infeksi HIV (Adithan,2006). Hampir semua kasus SSJ dan NET disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik, antikejang dan analgetik. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat-obatan, makanan, faktor fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), dan lain-lain (keganasan, kehamilan) (Siregar, 2004).

3

II. LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Berat Badan Jenis kelamin Alamat Agama Pendidikan : Nn R : 15 tahun : 50 kg : Perempuan : Sokanegara, Banyumas : Islam : SMP

Tanggal masuk RSMS: 9 April 2011 No. CM : 846416

II ANAMNESIS (alloanamnesis) a. Keluhan utama : Kemerahan seluruh tubuh

b. Keluhan tambahan : Sakit pada saluran kencing c. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Margono Soekardjo dengan keluhan kemerahan seluruh tubuh, keluhan dirasakan timbul sejak lebih kurang 20 hari yang lalu. Pasien mengatakan riwayat meminum obat-obatan dari puskesmas, kemudian muncul keluhan yang dirasakan. Pasien juga mengeluhkan kulit bersisik, napas terasa sesak. Selain itu juga pasien mengeluhkan rasa panas yang dirasakan hilang timbul.

4

d. Riwayat penyakit dahulu : - Riwayat penyakit darah tinggi - Riwayat penyakit DM - Riwayat penyakit alergi - Riwayat penyakit asma - Riwayat operasi sebelumnya e. Riwayat penyakit keluarga : - Riwayat penyakit darah tinggi - Riwayat penyakit DM - Riwayat penyakit alergi - Riwayat penyakit asma III. PEMERIKSAAN FISIK a. Status generalis Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Sedang : Compos mentis (GCS= E4M6V5) : Tekanan darah = 100/70 mmHg Respirasi = 20 kali/menit Nadi = 84 /menit, isi dan tekanan penuh Suhu = 36,5 0C Kepala Mata : Normocephal : Konjungtiva anemis -/: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

5

Sklera tidak ikterik Reflek cahaya +/+ Pupil isokor, (-/-) 3 mm Hidung Mulut Telinga Leher : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-) : tidak bisa membuka mulut : Discharge (-) tidak ada kelainan bentuk : Simestris, trakea ditengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (-) Thorax : Pulmo : Simetris kanan kiri Tidak ada retraksi SD : vesikuler (+/+) normal ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Cor Abdomen b. Status Lokalis Ujud Kelainan Kulit: makula eritema, skuama, krusta Regio: Universalis : BJ I-II reguler, S1>S2, , bising (-)

: Dinding perut datar

Terapi dari Bagian Kulit Kelamin 1. IVFD 2. Gentamycin 3. Dexamethason 4. Sanmol 6

5. Keralog 6. Difenhidramin IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tanggal 09-04-2011 1. Pemeriksaan darah lengkap : - Hb - Leukosit - Ht - Eritrosit - Trombosit : 16,2 g/dl : 4850 ul : 43 % : 6,4 jt/ul : 103000/ul (11,5-13,5 g/dl) (4500-14500 ul) (W 35 45 %) (W 4,0-5.2 jt) (150000 450000/ul) ( 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.

28

Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. a. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. b. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. c. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. d. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4 dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004). Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan : a. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata. b. Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006). Debridement adalah pengangkatan benda asing atau jaringan yang mati dan atau yang berdekatan dengan lesi akibat trauma atau infeksi sampai sekeliling 29

jaringan yang sehat tampak. Debridement merupakan pembersihan atau pembuangan jaringan nekrotik pada luka akan menghambat aliran bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi, sehingga pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat penyembuhan luka. Tindakan debridement bertujuan untuk membersihkan luka dari jaringan nekrosis atau bahan lain yang menempel pada luka. (Effendi, 1999 : 28) Tindakan debridement pada pasien SSJ dilakukan dengan general anestesi. Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Trias anestesi yaitu : hipnotik, analgesik, relaksasi. OBAT PREMEDIKASI a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama yang dapat mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. b. Midazolam Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien. Dosis

30

lazim adalah 5 mg. Efek sampingnya, umumnya sedikit, terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan.

c. Diazepam Untuk obat gol sedativa ini biasanya digunakan sebagai obat kombinasi karena obat ini hanya berkerja sebagian besar sebagai suatu transquilizer (obat penenang), obat ini juga dapat berkerja sebagai neuroleptik analgesia pada pemberian premedikasi. Obat ini mempunyai onset kerja yang lebih lambat dibanding dengan gol batbiturate dan daya pulih juga yang cukup lambat. d. Ondansentrone Suatu antagonis reseptor serotonin 5 HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Dosis dewasa 2-4 mg. Efek samping berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. OBAT INDUKSI a. Tracrium (Atracurium) : nondepolarisasi Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga

asetilkolin tidak dapat bekerja. b. Ketamine

31

Ketamine (Ketalar atau Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamine pertama kali disintesis tahun 1962. Ketamine dapat digunakan dalam tiga konsentrasi yang berbeda 10 mg/ml, 50 mg/ml, dan 100 mg/ml. 10 mg/ml adalah untuk penggunaan intravena; persiapan 50 ml dan 100 mg/ml adalah untuk penggunaan intramuskuler. Ketamine kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamine juga sering menyebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi, pada dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia,

dan sering disebut dengan emergence phenomena. Ketamine disebut sebagai dissosiasi anesthesia karena ketamine mempunyai efek yang mempengaruhi Reticular Activate System pada Hypothalamus. Dimana saat pasien disuntikan ketamine maka efek yang dihailkan akan berbeda dengan rangsangan yang diberikan. Ketamine dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi pada anestesi umum : 1. Prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misal pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher, disini untuk melakukan intubasi kadang-kadang sukar. 2. Pasien dengan resiko tinggi : Ketamine tidak mendepresi fungsi vital. Dapat dipakai untuk induksi pada shock. 32

3. Untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf/ radiology (arteriografi) 4. Tindakan otrhopedic (reposisi, biopsi) 5. Pasien asma

c. Recofol (Propofol) Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter pemulihan anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik. Dosis induksi propofol adalah 1-2 mg/kgBB, sedangkan dosis untuk rumatan 500ug/kgBB/menit diberikan secara infus. Dosis pemberian dengan tujuan sedasi yaitu 25-100ug/kgBB/menit infus. MAINTAINANCE a. N2O Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothorak,

pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.

33

Halothane Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen. Setelah pemberian halothane, sering menyebabkan pasien menggigil.

34

IV.

KESIMPULAN

1. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. 2. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dan dapat disertai purpura. 3. Pasien yang akan dioperasi diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis, pemeriksaaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA. 4. Obat anestesi yang digunakan adalah Ketamin. Diazepam ditambahkan sebagai obat sedatif. Maintenance digunakan O2 dan Sevoflurane, ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hipoksia sebagai komplikasi dari general anestesi. 5. Kebutuhan cairan total pasien ini selama durante operasi adalah 700 cc. 6. Keadaan pasien pada saat pasca operasi dalam keadaaan teranastesi, dan saat dipindahkan ke ruangan keadaan pasien baik dan compos mentis.

35

DAFTAR PUSTAKA Adithan, C. 2006. Stevens-Johnson Syndrome. Dalam : Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. Diakses tanggal : 16 April 2011. Diakses dari : www.jipmer.edu/charu/v2issue1.pdf Cohen PJed. A practice of Anaesthesia 6 edition. Boston: Edward Arnold,1995:12923. Hamzah, M. 2002. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 163-165 Lee, A. dan Thomson, J. 2006. Drug-induced skin. Dalam : Adverse Drug Reactions, Edisi Kedua. Pharmaceutical Press. Diakses tanggal : 16 April 2006. Diakses dari : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf Morgan GE ed. Clinical Anesthesiology 1st edition. Los Angles: Prentice Hall International,1992:622. Revus, J. dan Allanore, A.V. 2003. Drugs Reaction. Dalam : Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. p: 333-352 Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of Stevens- Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006 Siregar, R.S. 2004. Sindrom Stevens Johnson. Dalam : Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. EGC. Jakarta. Hal 141-142

36