Presentasi Kasus Tumor Nasal

26

Click here to load reader

Transcript of Presentasi Kasus Tumor Nasal

Page 1: Presentasi Kasus Tumor Nasal

PRESENTASI KASUS

Anestesi Umum Pada Tumor Nasal Sinistra

Nama Mahasiswa : Arie Nofariyandi. 20060310055

Periode Stase : 25 Oktober- 13 November 2010

Tanda Tangan

.......................

Dosen Penguji : dr. Uud Saputro, Sp.AnTanda Tangan

……………….Total Nilai (Angka)

(………………………………)

Total Nilai (Angka)

I. Identitas Pasien

Nama pasien : Ny. Narwati

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 44 Tahun

Berat : ± 40 kg

Alamat : Kalipan, Kedu Temanggung

Agama : Islam

Tgl masuk RS : 6 November 2010

No RM : 88946

II. Anamnesis

Keluhan Utama: 

Terdapat benjolan di bawah hidung kiri

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan di

bawah hidung kiri. Benjolan tersebut muncul ± sudah 1 tahun

yang lalu. Awalnya benjolan seperti tahi lalat, tetapi lama

1

Page 2: Presentasi Kasus Tumor Nasal

kelamaan semakin besar. Terasa gatal, nyeri dan kadang-

kadang keluar darah.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak pernah mempunyai sakit seperti yang

dirasakan sekarang. Riwayat penyakit asma (-), riwayat

penyakit kencing manis (-), riwayat penyakit jantung (-),

riwayat hipertensi (-), riwayat alergi obat (-), riwayat operasi

sebelumnya (-).

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat penyakit yang sama (-), riwayat penyakit

kencing manis, jantung, kanker dan hipertensi dalam

keluarga disangkal pasien

III. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada tanggal 6 November 2010

Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 130 / 80 mmHg

Nadi : 80 x / menit

Suhu : 36,5 º C

Respirasi : 20 x / menit.

Kepala : Normocehapli

Mata : conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

Terdapat tahi lalat di fornix inferio occuli dextra

tetapi tidak membesar

Hidung : Di bawah nasal sinistra inferior terdapat benjolan

dengan Ф ± 3 cm. Sekret (-)

Telinga : Othorhe (-), othalghia (-), Nyeri tekan tragus (-)

Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)

2

Page 3: Presentasi Kasus Tumor Nasal

Leher : pembesaran lnn.leher (-)

Thorak : Inspeksi : tidak ada ketertinggalan gerak thorak

Palpasi : vocal fremitus normal,

nyeri tekan (-).

Perkusi : sonor

Auskultasi : Paru-paru wheezing (-)

Jantung bising (-)

Abdomen : Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding

dada.

Auskultasi : Bising usus normal.

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Perkusi : Tympani.

Ekstremitas : Akral hangat, Udema (-)

Status Lokalis

Inspeksi : Di bawah nasal sinistra inferior, tampak benjolan Ф ± 3 cm,

berwarna hitam, permukaan tidak nerata, ulserasi dangkal,

kadang berdarah, pus (-), eritem (-).

Palapsi : Lunak, berbenjol-benjol, terfiksir, permukaan tidak rata,

nyeri tekan (+)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium :

Hasil (7-11-2010)

Darah Lengkap Nilai Rujukan Normal

Hb : 9,4 gr/dl 12 - 16 gr/dl

Hematokrit : 32 % 35 - 50 %

Jumlah Leukosit : 8,5 x 103/µl 5 - 13 x 103/µl

Jumlah Eritrosit : 4,80 x 106/µl 4 - 5,3 x 103/µl

Jumlah Trombosit : 304 x 103/µl 150 - 400 x 103/µl

MCV : 66.5 fl 80 -97 fl

MCH : 19,6 fg 26 – 36 fg

MCHC : 29,5 gr/dl 31 – 37 gr/dl

3

Page 4: Presentasi Kasus Tumor Nasal

Hitung Jenis Lekosit

Limfosit : 30,1 % 20 – 60 %

MxD : 9,2

Netrofil : 60,7 % 50 – 70 %

Laju Endap Darah

LED 1 jam : 3 mm 0 – 15 mm

LED 2 jam : 12 mm 7 – 20 mm

CT – BT

CT : 6 ‘ 30 menit 5 – 8 menit

BT : 1’ 30 menit 1 – 3 menit

Kimia Klinik

GDS : 105 mg/dl 70 – 140 mg/dl

Ureum : 15 mg/dl 10 – 50 mg/dl

Kreatinin : 0,72 0,6 – 1,20

SGOT : 23,4 µl 0 – 37

SGPT : 21,3 µl 0 – 42

Golongan Darah : O

ECG : Normal sinus Rytme

Ro Foto Thoraks : Pulmo dan besar Cor Normal

V. Diagnosis Kerja

Tumor Nasal Sinistra

VI. Diagnosa Banding

Nevus pigmentosus

VII. Penatalaksanaan

Awasi tanda vital dan keadaan umum

Infus RL 24 tpm

Pembedahan : Eksirpasi ( 8 November 2010)

VIII. Komplikasi

Menekan dan destruksi organ sekitar

4

Page 5: Presentasi Kasus Tumor Nasal

IX. Anjuran / Usulan

Cek PA

X. Prognosis

Ad vitam : ad bonam

Ad sanationam : ad bonam

Ad functionam : ad bonam

Status Anestesi

1. Diagnose pasien

Pre/post operasi : Tumor Nasal Sinistra

2. Status Fisik

ASA I ( pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia)

3. Keadaan Pre Operasi ( 7 November 2010)

Subyektif

Keluhan : tidak ada keluhan tambahan, riwayat alergi (-), asma (-),

jantung (-), DM (-), HT (-), Riwayat OP sebelumya (-)

Obyektif

Tanda Vital :

TD :130/70 mmHg

Nadi : 70 x/menit

Suhu : 35,80 c

Respirasi : 24 x/menit

Kepala : Normochepali

Mata : Kanjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

Hidung : secret (-), tampak benjolan dg Ф ± 3 cm

Telinga : Normotia, secret (-/-), hiperemis (-/-),

Nyeri tekan tragus (-/-)

Mulut : Sianosis (-), gigi palsu (+)

Leher : nnll tidak teraba

Thoraks : C/P dalam batas normal

Abdomen : datar, benjolan (-), nyeri tekan (-), timpani, bising usus (+)

5

Page 6: Presentasi Kasus Tumor Nasal

Ektremitas : akral dingin (-), fracture (-)

4. Anestesi yang diberikan

Pre medikasi : Sulfas Atropin 25 mg iv, Sedacum 2 mg iv

Induksi : Trivam 50 mg iv, Ketamine H 60 mg iv

Pemeliharaan : O2 3-4 l/menit

Teknik : TIVA

5. Obat tambahan yang diberikan Durante Operasi

Injeksi Ondansentron 4 mg iv

Injeksi Antrain 1000 mg iv

6. Terapi yang diberikan

Pre Opersai :

Infus RL 24 tpm

Puasa 8 jam Pre OP

Durante Operasi :

Input : Infus RL 1 x 500 ml

Output : Perdarahan ± 10 ml

Post Operasi

Awasi Vital sign

Infus RL 24 tpm

Injeksi antrain 1000 mg/8 jam

7. Keadaan Post Operasi ( 9 November 2010 )

Keluhan : Nyeri pada luka bekas operasi

Keadaan Umum : Baik, compos mentis

Tanda Vital :

TD : 90/60 mmHg

Nadi : 72 x/menit

Suhu : 36o C

Respirasi : 24 x/menit

6

Page 7: Presentasi Kasus Tumor Nasal

PEMBAHASAN

Pada kasus ini Ny Narwati, usia 44 tahun, dilakukan operasi

Ekstirpasi dengan diagnosis pre-operatif tumor Nasal Sinistra. Teknik

anestesi yang dilakukan adalah general anastesi (TIVA) dengan nafas

spontan.

Premedikasi pasien menggunakan Sedacum 2 mg untuk mengurangi

kecemasan, memberikan ketenangan pada pasien dan mengurangi efek

samping dari ketamine serta Sulfas Atropin 0,25 mg untuk mengurangi

sekresi kelenjar saluran nafas dan mengurangi efek samping dari ketamine

Pada induksi digunakan Trivam 50 mg dan Ketamin H 60 mg karena

mempunyai keuntungan induksi mudah dan cepat, tidak ada delirium, cepat

pulih sadar, dan depresi respirasi nya ringan pada Ketamine. Selain itu

kombinasi Trivam dan Ketamin dapat menjaga status hemodinamik pasien.

Trivam menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat

menurunkan tekanan darah, sedangakan ketamin menyebabkan

vasokonstriksi.sehingga dapat meningkatkan tekanan darah pasien pada saat

operasi berlangsung.

Terapi Cairan

Maintenance 2 cc/kgBB/jam, BB = 40 kg

40 x 2 cc = 80 cc/jam

1. Puasa 8 jam

Kebutuhan cairan selama puasa 8 jam adalah

2x40x8 = 640 ml

Jumlah cairan yang sudah diberikan 250 ml

Sisa yang belum diberikan 390 ml

2. Durante operasi (20 menit)

Kebutuhan cairan selama 20 menit 27 ml

Kehilangan cairan akibat stress operasi 40 ml

Kekurangan cairan yang belum diberikan 390 ml

Estimasi perdarahan 20 ml (pengganti perdarahan 3 x 20 ml)

= 60 ml

Total yang harus diberikan 517 ml

7

Page 8: Presentasi Kasus Tumor Nasal

Sudah diberikan 250 ml

Kekurangan pemberian 267 ml

3. Post operasi

Perdarahan post operasi 20 ml

Kekurangan pemberian 267 ml

Total yang harus diberikan 287 ml

terbagi menjadi 2 jam pemberian:

Satu jam pertama 287/2= 143 ml (35 tpm)

Dua jam kedua 287/2+80= 223 ml (56 tpm)

EBV pada dewasa 70 ml/kgBB sehingga dengan BB = 40 kg

maka EBV = 2800 ml

% EBV : 20 ml/2800 ml x 100% = 0,0071 %

Karena perdarahan yang terjadi kurang dari 10 % EBV maka pemberian

cairan cukup dengan cairan kristaloid.

% EBV : 10 ml/2800 ml x 100% = 0,0035 %

Karena perdarahan yang terjadi kurang dari 10 % EBV maka pemberian

cairan cukup dengan cairan kristaloid.

8

Page 9: Presentasi Kasus Tumor Nasal

Tinjauan Pustaka

ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTESI)

Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara

sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau

reversible.

Trias anestesi

1. hipnotik

2. analgesik

3. relaksasi

4. stabilisasi otonom

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya

kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan

kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah

pasien dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan pra anestesi adalah untuk

mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan

premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi

diantranya :

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

3. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah

4. Mengurangi isi cairan lambung

5. Membuat amnesia

6. Memperlancar induksi anestesi

7. Meminimalkan jumlah obat anestesi

8. Mengurangi reflek yang membahayakan

9

Page 10: Presentasi Kasus Tumor Nasal

OBAT PREMEDIKASI

a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik

Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama

untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari

perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun

tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan

tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Perlu

diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya laringospame yang

berkaitan dengan anestesi umum.

Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis

terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur.

Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi regional atau

lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan suhu diatas

normal dan pada penderita dengan penyakit jantung khususnya fibrilasi

aurikuler.

Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg

dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau

intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk

anak-anak.

b. Sedacum 2 mg (Midazolam) : obat penenang(transquilaizer)

Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk

premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan

diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya cepat

dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik

otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus ditentukan

secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan.

Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan

umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan

pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB.

Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi

dan pernafasan, umumnya hanya sedikit

10

Page 11: Presentasi Kasus Tumor Nasal

c. Ondansentrone 4 mg

Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk

pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping

berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewasa 2-

4 mg.

OBAT INDUKSI

a. Atracurium 20 mg : nondepolarisasi

Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare)

berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan

depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga

asetilkolin tidak dapat bekerja.

Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya

selama 20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250

C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit.

Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada

sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga

asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sring digunakan

ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat

antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik

menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,

hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus

disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau

glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.

b. Trivam (Profofol)

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan

karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.

Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang

bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam

lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA.

11

Page 12: Presentasi Kasus Tumor Nasal

Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya

dicapai dalam waktu 30 detik.

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit

infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur

diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi itu lebih

kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun.

Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau secara kontinu

melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara

pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan

ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat

MAINTAINANCE

a. N2O

N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)

diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C (NH4 NO3

à 2H2O + N2O)

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak

iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi

dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik

lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk

mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang

digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain

seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O

dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi

pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari

terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O

: O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik

digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan

pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada

pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan

timpanoplasti.

12

Page 13: Presentasi Kasus Tumor Nasal

b. Halothane (Fluothane)

Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak

berwarana yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane

sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan

sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane

agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada

nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali

sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus

simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi

vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska

pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigil.

INTUBASI

Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat

pasien dari sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya

anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intrvena,

intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya

disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan. Untuk

persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:

S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-

Scope

T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon

(cuffed)

A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring

(nasofaring) yang digunakan

untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak

menymbat jalan napas

T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah

dimasukkan

13

Page 14: Presentasi Kasus Tumor Nasal

C = Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction Penyedot lendir dan ludah

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar

tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan

oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal:

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan

tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

g. Obat.

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain :

a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan

oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan

pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.

b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan

karbondioksida di arteri.

c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau

sebagai bronchial toilet.

d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat

atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

Ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi

endotrakheal antara lain :

a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak

memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus

dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.

b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra

servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

14

Page 15: Presentasi Kasus Tumor Nasal

Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya

dijumpai pada pasien-pasien dengan :

a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.

b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara

mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar

memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.

c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.

Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).

d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang

sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.

e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi

kepala pada leher di sendi atlantooccipital.

f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan

fleksi leher.

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur

yang telah ditetapkan antara lain :

a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,

oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan

bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam

keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis

lurus.

b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot,

lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan

selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon

dengan tangan kanan.

c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang

laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan

dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop

didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri

dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala

dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak

aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

15

Page 16: Presentasi Kasus Tumor Nasal

d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan

melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara.

Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan

laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas.

Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi

diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri

memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop

dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan

ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan

stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada

ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi

endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan

berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing,

sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada

ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi

kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus

maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara

saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung,

dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal

tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan

oksigenasi yang cukup.

f. Ventilasi.

Pemberian ventilasi sesuai dengan kebutuhan pasien.

16

Page 17: Presentasi Kasus Tumor Nasal

Daftar Pustaka

1. Arlina dan Evaria, dr. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Volume 9. BIP Gramedia : Jakarta

2. Latief, SA., suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi

intensif. FKUI : Jakarta

3. Mansjoer, Arif. dkk. 2000. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261- 264.. Jakarta.

4. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03- 5233, December 2003.

Varon J and Marik PE. 2008. Perioperative hypertension management. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2515421/

5. Pramono, Ardi, sp.An, dr. 2009. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta : FK UMY.

Temanggung, 9 November 2010

Arie Nofariyandi

17