Presentasi Kasus Saraf Fix
-
Upload
melinda-veronica -
Category
Documents
-
view
272 -
download
0
description
Transcript of Presentasi Kasus Saraf Fix
BAB I
LAPORAN KASUS
II.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. FS
Umur : 8 tahun
Status : belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Magelang
Tanggal MRS : 28 September 2015
II.2. SUBJEKTIF
Keluhan utama
Pasien datang post jatuh dari pohon
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RST dr. Soedjono Magelang, merupakan rujukan dari RSJ
Magelang dengan diagnosa CKB. Pasien datang ke RSJ Magelang pukul 14.00 siang karena
post terjatuh dari pohon setinggi 4 meter, dengan tanah dibawahnya pada pukul 13.00. Tidak
ada yang tahu kejadiannya termasuk ibu dan ayahnya. Tiba-tiba pasien datang menghadap
ibunya dengan menangis dan kepala berdarah mengalir banyak terutama dari bagian dahi
kanan pasien. setelah kejadian tersebut pasien sadar, menangis, berjalan sendiri, terdapat
bengkak dan kemerahan pada bagian kelopak mata atas dan kelopak mata bawah mata kanan
pasien, terdapat bercak merah muda di bagian belakang telinga pasien, tidak keluar cairan
dari hidung maupun dari telinga. kemudian pasien langsung dibawa ke RSJ setelah kejadian
itu.
Di RSJ Magelang, telah dilakukan pembersihan pada sumber luka yaitu di dahi pasien
sebelah kanan terdapat luka terbuka, krepitasi os frontal, jaringan dalam terlihat, terdapat
serpihan pasir, kemudian dibersihkan pasir tersebut, dan juga jahit situasi 4 jahitan pada luka
terbuka di dahi kanan pasien. Pada jam 14.30 juga diberikan obat injek piracetam 1gr,
1
ketorolac ½ amp, kalnax 250mg, manitol 325cc, oksigen 4L, nAcL 15tpm. Dilakukan
pemeriksaan tanda vital; kesadaran somnolen, tekanan darah 107/66 mmHg, Nadi 78x/menit,
suhu 36,6, Sp. O2 100%.
Setelah mendapat penanganan awal di RSJ, pasien dirujuk ke RST dr. Soedjono
Magelang karena pasien membutuhkan penanganan dokter spesialis bedah saraf namun tidak
ada dokter spesialis bedah saraf di RSJ Magelang. Pada saat datang ke IGD RST dr.
Soedjono Magelang pukul 17.00, sebelumnya pasien muntah selama perjalanan ke IGD RST
dr. Soedjono Magelang. Di IGD RST keadaan pasien seperti mengantuk, masih dapat diajak
komunikasi
Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan. Riwayat kejang, asma, alergi, trauma,
gangguan pembekuan darah disangkal. Tidak terdapat keterlambatan motorik ataupun status
mentalis pasien. Lahir secara normal per vaginam, cukup bulan, tumbuh kembang baik.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat gangguan pembekuan darah, kejang, disangkal.
II.3. OBJEKTIF
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit berat Kesadaran : Somnolen
Tanda Vital
TD: 108/66 mmHg RR: 24 x/menit
N: 146 x/menit S: 36,2 ºC
GCS (Glaw Coma Scale)
Eyes : 3
Motorik : 6
Verbal : 4
2
GCS : 13
BMI (Body Mass Index)
Berat Badan : 23 Kg
Tinggi Badan : cm
Status Gizi : normoweight
Kepala
Bentuk : Normocephal
VL ukuran 5cm a/ regio frontalis dekstra
Mata
Palpebra : Edema
Pupil : isokor +/+ rctl +/+
Konjungtiva : Anemis +/+
Telinga
Bentuk : Normal/Normal
Liang : Lapang
Mukosa : Tidak hiperemis
Serumen : –/–
Battle sign (+)
Hidung
Bentuk : Normal
Deviasi Septum : –
Sekret : –/–
Concha : Hipertrofi –/–, hperemis –/–, oedem –/–
3
Mulut
Bibir : mukosa basah
Lidah : lidah kotor (-)
Tonsil : T1–T1 tenang
Mukosa Faring: Hiperemis (–)
Leher
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Kel. Thyroid : Tidak terdapat pembesaran
Thoraks
Paru
Inspeksi : Hemithorax kanan-kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/- , wheezing –/–
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I–BJ II reguler, murmur (–), gallop (–)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar lien ttb
4
Perkusi : Timpani
Ekstremitas Atas
Akral : hangat
Sianosis : (–)
Edema :(-)
Ekstremitas Bawah
Akral : hangat
Sianosis : (-)
Edema : (-)
Pergerakan kurang aktif pada ekstremitas sebelah kiri daripada ekstremitas sebelah
kanan
I1.8 DIAGNOSIS KLINIK
- CKS
- Susp fraktur os frontal dekstra
- Susp Fraktur bassis kranii
I1.9 PLAN
- konsultasi dr. Aditya, Sp. BS
- manitol 4x125
- inj ceftriaxone 2x1 gr
- inj ketorolac 3x1/2 amp
- rawat ICU
- inf NaCl lanjut 15tpm
5
Hasil laboratorium pada tanggal 28/9/15 18:24
6
Parameter hasil Normal range
WBC 33.2 K/L 3.50 – 10.0
HGB 9.1 gr/dl 11.5-16.5
HCT 37,6% 35.0 – 55.0
PLT 270 K/L 100 - 400
MCV 75.7 fl 75.0 – 100.0
MCH 27,7 pg 25.0 - 35.0
RDW 15.2% 11.0 – 16.0
MPV 6.9 fl 8.0 – 11.0
LYM 2.7 0.5 – 5.0
GRAN 29.3 1.2 – 8.0
MCHC 36.6 gr/dL 31.0 – 38.0
RBC 3.30 3.50 – 5.50
LYM 8,3 % 15.0 – 50.0
CT BT 4’ 30’’ / 2’
GRA 88.1 % 25.0 – 80.0
MID 3.6 % 2.0 - 15.0
CT Scan kepala potongan axial, 28/9/2015 17:27
CT Scan kepala potongan axial, tanpa kontras, //OML, IS 10mm, asimetris, dx klinis: CKS
Kesan:
7
- intracerebral hemorrhage lobus frontalis dekstra (sl 4-9, ukuran L.K 50x59mm) dan
frontalis sinistra (counter coup, ukuran minimal)
- subdural hemorrhage region frontotemporoparietalis dekstra (SL 4-9, ukuran L.K.
10x88mm)
- oedem cerebri
- belum tampak lateralisasi
- fracture os frontalis dextra dan alla magna ossis sphenoidalis bilateral (slice 4)
- extracranial hemorrhage region temporalis dan frontalis dekstra
8
II.7. DIAGNOSIS KERJA
- SDH lobus frontotemporoparietalis dekstra
- ICH lobus frontalis dekstra dan ICH minimal di lobus frontalis sinistra
- Edema serebri
- Fraktur os frontalis dekstra
- Fraktur os sphenoid bilateral
- Anemia
II.8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
1.9 FOLLOW UP
Hari/Tanggal/
Jam
Hasil Pemeriksaan Instruksi Dokter
28/9/15
18:30
S : riwayat jatuh dari pohon ketinggian 3-4 m.
Tidak ada pingsan. Muntah. Luka di dahi kanan
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E3M6V4
VS : TD : 90/57 mmHg
N : 179 x/menit
R : 34 x/menit
S : 36o C
Sp. O2 : 100%
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
Therapy:
- terindikasi untuk
craniotomy
- transfuse PRC
50cc
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
- cukur gundul
- pasang oksigen
- posisi head up
9
21:00
22.15
00.00
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral dindin
edem
ekstremitas kiri kurang aktif
A : ICH dan SDH
KU/kes: lemah/apatis
TD: 105/57mmHg
HR: 194 x/menit
O2 +
Transfusi PRC kolf I
KU/kes: lemah/apatis
TD: 90/54mmHg
HR: 169 x/menit
Sp O2 : 100%
O2 (+)
29/9/15
07.00
S : kepala sakit. Muntah (-) tampak lemas
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E4M6V4
VS : TD : 102/63 mmHg
N : 155 x/menit
Therapy:
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
10
+ +
+ +– –
– –
08.00
14.00
R : 28 x/menit
S : 36.5o C
Sp. O2 : 100%
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral dindin
edem
ekstremitas kiri kurang aktif
A : ICH dan SDH
KU/kes: lemah/apatis
TD: 99/57mmHg
HR: 150 x/menit
O2 +DC +
KU/kes: lemah/apatis
TD: 90/54mmHg
HR: 169 x/menit
Sp O2 : 98%
O2 (+) dc (+)
amp
- posisi head up
- observasi
kesedaran
- acc pindah
ruangan
11
+ +
+ +– –
– –
15.05
GCS E4M6V5
Hasil laboratorium tanggal 29 September 2015
Hb: 8.6, ;lapor dr. Aditya, Sp.BS transfusi PRC
50cc
- diet bebas
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
12
Parameter hasil Normal range
WBC 15.3 K/L 3.50 – 10.0
HGB 8.6 gr/dl 11.5-16.5
HCT 24,7% 35.0 – 55.0
PLT 198 K/L 100 - 400
MCV 80.1 fl 80.0 – 100.0
MCH 27,7 pg 25.0 - 35.0
RDW 11.9% 10.0 – 16.0
MPV 7.8 fl 7.0 – 11.0
LYM 2.4 K/uL 0.5 – 5.0
GRAN 11.6 K/uL 25.0 – 50.0
MCHC 34.8 gr/dL 31.0 – 38.0
RBC 3.30 3.50 – 5.50
LYM 15,7 % 25.0 – 50.0
MID 1.3 K/uL 0.1 – 1.0
GRA 75.8 % 50.0 -80.0
MID 8.5 % 2.0 -10.0
PCT 0.15% 10.0 – 18.0
30/9/15
13.00
S : kepala sakit. Muntah (-) tampak lemas
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E3M6V5
VS : N : 98 x/menit
R : 28 x/menit
S : 36.3o C
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra.
edem
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral hangat
edem
ekstremitas kiri kurang aktif
A : ICH dan SDH
Hasil laboratorium tanggal 30 September 2015
Therapy:
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
- nokflam 3x1/2
13
– –
– –
+ +
+ +
14.30
Perdarahan di kepala, lapor ke dr. Aditya, Sp. BS
instruksi ganti verban + dep kasa
0110/15 S : kepala sakit. Muntah (-) tampak lemas. Cenderung
tidur
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E3M6V5
VS : N : 98 x/menit
R : 28 x/menit
S : 36.3o C
Therapy:
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
- nokflam 3x1/2
14
MID 0.9 K/uL 0.1 – 1.0
GRA 80.6 % 35.0 -80.0
Parameter hasil Normal range
WBC 15.9 K/L 3.50 – 10.0
HGB 8.2 gr/dl 11.5-16.5
HCT 23.6% 35.0 – 55.0
PLT 162 K/L 100 - 400
MCV 80.1 fl 80.0 – 100.0
MCH 27,8 pg 25.0 - 35.0
RDW 15.3% 10.0 – 16.0
MPV 7.3 fl 8.0 – 11.0
LYM 2.2 K/uL 0.5 – 5.0
GRAN 12.8 K/uL 25.0 – 50.0
MCHC 34.8 gr/dL 31.0 – 38.0
RBC 2.94 3.50 – 5.50
LYM 14.2 % 25.0 – 50.0
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra.
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral hangat
edem
ekstremitas kiri kurang aktif
A : ICH dan SDH
Hasil laboratorium tanggal 1 oktober 2015
- transfuse PRC
100cc
15
+ +
+ +– –
– –
Parameter hasil Normal range
WBC 8.7 K/L 3.50 – 10.0
HGB 8.6 gr/dl 11.5-16.5
HCT 23.1% 35.0 – 55.0
PLT 170 K/L 100 - 400
MCV 80.7 fl 80.0 – 100.0
MCH 30.1 pg 25.0 - 35.0
RDW 11.7% 10.0 – 16.0
MPV 7.1 fl 8.0 – 11.0
LYM 2.2 K/uL 0.5 – 5.0
GRAN 5.3 K/uL 2.0 – 8.0
MCHC 37.2 gr/dL 31.0 – 35.5
RBC 2.86 M/uL 3.50 – 5.50
LYM 25.3 % 25.0 – 50.0
02/10/15 S : hari ini kraniotomi. kepala sakit. Muntah (-) tampak
lemas. pusing
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E3M6V5
VS : N : 98 x/menit
R : 28 x/menit
S : 36.5o C
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra.
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral hangat
edem
A : ICH dan SDH
Therapy:
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
- nokflam 3x1/2
16
MID 1.2 K/uL 0.1 – 1.0
GRA 60.6 % 50.0 -80.0
+ +
+ +– –
– –
3/10/15 S : post craniotomy. belum BAB. ngantuk
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E3M6V5
VS : N : 98 x/menit
R : 28 x/menit
S : 36.3o C
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra.
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral hangat
edem
ekstremitas kiri kurang aktif
A : ICH dan SDH
Therapy:
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
- nokflam 3x1/2
17
+ +
+ +– –
– –
4/10/15
5/10/15
03.00
S : post craniotomy h+1. Pusing. Tampak tenang
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E3M6V5
VS : N : 90 x/menit
R : 28 x/menit
S : 37.4o C
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra.
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral hangat
edem
A : post craniotomi ICH dan SDH
S: kejang 5 menit, suhu tubuh mecapai 40. Setelah
kejang sadar. Kejang tangan dan kaki kaku
O:
A: obervasi kejang
Post craniotomy
Therapy:
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
- nokflam 3x1/2
Konsul dr. Aditya, Sp.
BS:
Dumin supp
Inj pheniotin 3x1/2 amp
18
– –
– –
+ +
+ +
5/10/15 S : post craniotomy H+3 sakit kepala berkruang
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E3M6V5
VS : N : 98 x/menit
R : 28 x/menit
S : 36.3o C
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra.
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral hangat
edem
A : ICH dan SDH
Post craniotomy H+3
Therapy:
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
- aff DC
19
+ +
+ +– –
– –
6/10/15 S : post craniotomy. belum BAB. ngantuk
O: KU/KS : tampak sakit berat/ apatis
GCS : E3M6V5
VS : N : 82 x/menit
TD: 110/70mmHg
R : 28 x/menit
S : 36.o C
Kepala : luka jahit + perban regio frontal dekstra.
Mata : CA +/+, SI –/– isokor +/+
Leher : KGB (–) membesar
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : BJ I–II regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), supel,
hepar lien tidak teraba, nyeri lepas (-)
Ekstremitas : akral hangat
edem
ekstremitas kiri kurang aktif
A : ICH dan SDH
Post op craniotomy h-4
Therapy:
- manitol 4x75cc
- ceftriaxone
2x500mg
- ketorolac 3x1/2
amp
- aff DC
-
BLPL
-cephalosporin
2x500mg
depakon 2x75
20
– –
– –
+ +
+ +
LAPORAN OPERASI
Craniotomi 2 oktober 2015 pukul 11.15 - 12.30
1. pasien telentang dalam GA
2. kepala mengahadap ke kiri
3. A dan antisepsis daerah operasi
4. insisi kulit pterial dengan flap kulit
5. insisi otot
6. terdapat fraktur di frontal dekstra meluas ke dasar kranial
21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan
pembangunan, frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada
hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan
bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Kasus cedera kepala
terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun dan lebih didominasi
oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu
lintas dan disusul dengan kasus jatuh terutama pada kelompok usia anak-anak.
Trauma capitis adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur
lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling “ringan”, tulang tengkorak,
duramater, vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik berupa luka yang tertutup,
maupun trauma tembus.
Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting seperti:
umur penderita, waktu, mekanisme cedera, status respiratorik dan kardiovaskuler,
pemeriksaan minineurologis (GCS) terutama nilai respon motorik dan reaksi cahaya pupil,
adanya cedera penyerta, dan hasil CT Scan.
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran,
sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus
dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada
saat pasien tiba di Rumah Sakit.
22
I.1.ANATOMI
23
A.Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu:
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
5.
Perikarnium
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak
atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama
untuk mengeluarkannya.
B.Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio temporal
tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan
tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar
24
otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi
atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis,
fosa media tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah
dan serebelum.
25
C.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan yaitu:
duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater
tidak melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat ruang subdural.
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan
tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang.
Lapisan yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam ruang sub
araknoid.
D.Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater yang berada di
inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut
sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik
dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus
parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi sensorik. Lobus temporalis
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi
dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik
yang terus memanjang sampai medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan
dengan medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.
26
E.Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri,
mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga. Selanjutnya melalui akuaduktus
dari sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke
ruang subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan
diserap ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus
komunikans)
27
F.Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan infratentorial.
Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak berjalan melalui celah
lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus oculomotorius(N.III) berjalan
di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadan herniasi otak yang umumnya
dikibatkan oleh adanya massa supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering terjadi
herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus
unkus. Herniasi Unkus menyebabkan juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada
otak tengah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai
sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial tedapat pada sisi
yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun tidak selalu.
28
I.2.Fisiologi
A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan
intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk
terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan
konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan
penderita. Jadi, kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya
masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal
pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg
dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat.
Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
B. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep
utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada
dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti tidak
adanya lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi
penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-
volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar kurva berapa
banyak volume lesi masanya.
Berdasarkan doktrin Monro-Kellie, kunci utama untuk menentukan ICP adalah
tekanan dan volume. Doktrin ini menyatakan bahwa ruang kranium merupakan suatu struktur
yang tidak dapat berkembang dengan tiga komponen utama yakni darah, otak, dan CSF.
Apabila salah satu meningkat maka yang lain harus berkurang agar ada ruang bagi salah satu
29
komponen untuk berkembang, apabila mekanisme ini tidak terjadi maka otak pada ruang
kranial akan mengalami kompresi dan terjadi kerusakan yang ireversibel serta herniasi.
ICP normal adalah 0 hingga 15 mmHg, dan ICP ini dapat meningkat pada keadaan
normal tanpa adanya cedera kepala. Terapi untuk mengurangi ICP dilakukan apabila level
ICP mencapai 20-25 mmHg.
Hal yang lebih perlu diperhitungkan adalah CPP. Pada managemen TBI, CPP harus
mencapai 60 mmHg atau lebih. Pada TBI dapat terjadi adanya kerusakan dari jaringan otak
yang dapat menyebabkan timbulnya edema sehingga terjadi suatu lesi desak ruang sehingga
menekan perfusi dari otak. Apabila perfusi jatuh hingga titik kritis maka mulai terjadi iskemia
yang dapat berlanjut menjadi kerusakan neuron yang ireversibel. Peningkatan edema juga
menyebabkan peningkatan ICP yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya herniasi.
Manifestasi klinis adanya peningkatan ICP:
Sakit kepala (postural, terbangun pada malam hari)
Nausea dan vomitus
Somnolen
Edema papil dan pandangan kabur
Pada CT-scan ditemukan gambaran yang sesuai dengan peningkatan ICP yaitu midline
shift, hilangnya sulci, hilangnya gambaran ventrikel, dan adanya edema.
C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
Mempertahankan tekanan daerah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat
penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya TPO adalah indikator yang sama
pentingnya dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai berikut:
TPO = TAR – TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan yang buruk pada
penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi ternyata sangat penting untuk tetap
mempertahankan tekanan darah yang normal. Beberapa penderita tertentu bahkan
membutuhkan tekanan darah yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang adekuat.
Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam penatalaksanaan penderita
cedera kepala berat.
30
D. Aliran Darah ke Otak (ADO)
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit. Bila ADO
menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5
ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada
penderita non-trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang
konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata dibawah
50 mmHg, ADO menurun curam dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi
dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering
mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat hipotensi yang
tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK,
perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya
bila terdapat hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah
yang adekuat tetap harus dipertahankan.
E. hemodinamik otak
• CBF otak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain:
• SBP (Systemic Blood Pressure)
• ICP (Intracranial Pressure)
• Venous outflow
• Viskositas darah
• Autoregulasi pembuluh darah otak
• PaCO2
• PaO2
• Collateral flow
• Vasoreaktifitas pembuluh darah
CBF ditentukan Central Perfusion Pressure (CPP) yang merupakan perbedaan antara
MAP (Mean Arterial Pressure) dengan ICP (Intracranial Pressure).
Pengaturan resistensi pembuluh darah otak terletak pada arteriol dan segmen
prekapiler, dan selain itu faktor yang menentukan aliran darah regional otak adalah
metabolisme cerebral.
31
Pada pasien dengan iskemia pada otak dalam kurun waktu 12 jam didapatkan pada
30% pasien ditemukan adanya penurunan CBF secara global hingga mencapai kadar dibawah
ambang iskemia ( < 18 ml/100 g/menit)
II.MEKANISME DAN PATOLOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung
pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur
tulang tengkorak.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder . Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Farktur
tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini
mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara
makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
Cedera otak difusa berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak
secara makroskopis.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera
kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita .
Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi,
hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial
(tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift),
vasospasme, kejang, dan infeksi)
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang
terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi
antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater
dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam
32
ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang
mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya
cairan secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang
tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio,
laserasio, hemoragia dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder
pada cedera otak
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung
pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur
tulang tengkorak.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan
coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang
yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan
hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada
sisi yang berlawanan dengan daerah benturan .
III.KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi
III.1.Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul . Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat
menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada
protuberans tulang tengkorak
33
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan
III.2.Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
1. Fraktur kranium; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak .
Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa
fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur
tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak .
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara
bersamaan .
34
Fraktur basis cranii
• Anterior
Gejala dan tanda klinis
• Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorrea
• Perdarahan bilaterala periorbital ecchymosis/racoon eye
• Anosmia
• Media
Gejala dan tanda:
• Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
• Gangguan N.VII dan VIII
• Posterior
Gejala dan tanda klinis:
• Bilateral mastoid echymosis
Penunjang diagnostik:
• Memastikan cairan serebrospinal secara sederhana dengan tes hal
• Scanning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50%+)
•
KONTUSIO
Kontusio terjadi apabila adanya daya fokal yang merusak pembuluh darah
kecil dan komponen jaringan otak lainnya pada parenkim neuron. Kontusio
umumnya terletak pada lobus inferior frontal dan lobus inferolateral temporal dan
jarang terjadi pada lobus occipital dan cerebelum. Sehingga pasien pada umumnya
datang dengan suatu perubahan dari sikap dan kepribadian yang disertai adanya
defisit wicara dan motorik.
Kontusio dapat sembuh dengan sedikit sequale atau dapat berkembang
menjadi edema otak. Adanya expanding lesion dapat menyebabkan peningkatan ICP.
Penyebab utama dari kontusio adalah cedera coup-countrecuop karena adanya efek
akselerasi dan deselerasi yang menyebabkan tumbukan otak pada cavum kranii dan
tulang tengkorak kontra-lateral.
35
•
hematoma epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
(hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal
dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena,
36
karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada
region parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural
jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam
keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik
maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada
jaringan otak tidak terlalu lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan
langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
perdarahan epidural dapat menunjukkan interval lucid yang klasik atau keadaan dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die). Keputusan
perlunya suatu tindakan operatif memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari
seorang ahli bedah saraf.
Gambar: Perdarahan epidural
Gambar: Epidural Hematoma
37
Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30% dari
cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang
terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi bermuara, namun dapat
juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak di bawahnya lebih
berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural. Angka kematian
yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan tindakan pembedahan yang
cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif.
• Berdasarakan waktu maka SDH dibagi menjadi :
SDH akut (berisi bekuan darah yang terjadi segera atau beberapa hari),
SDH subakut (berisi campuran bekuan darah dan cairan yang terjadi beberapa hari hingga
3 minggu setelah trauma)
SDH kronik (konsistensi utama cairan dan terjadi 3 minggu atau lebih). Tipe kronik lebih
sering terjadi pada dewasa usia lanjut, peminum alkohol, atau pada orang yang
mengkonsumsi antikoagulan.
• Tanda dan gejalanya adalah kesadaran menurun dan ada sakit kepala.
Gambar :Perdarahan subdural
38
Gambar: Subdural Hematom
Hematoma Sub Arakhnoid
SAH sering dihubungkan dengan adanya ruptur dari aneurisma atau adanya
malformasi arteri-vena, namun dapat juga disebabkan oleh adanya trauma kapitis. SAH
dapat menganggu sirkulasi dan reabsorpsi dari CSF sehingga dapat menyebabkan
hidrosefalus dan adanya hipertensi intrakranial. SAH akibat trauma dihubungkan dengan
adanya kontusio dan laserasi pada korteks sehingga adanya akumulasi dari darah yang
masif dapat membentuk suatu Space-Occupying Lesion (SOL).
Perdarahan subarakhnoid merupakan perdarahan yang terjadi di rongga
subarachnoid. Perdarahan ini kebanyakan berasal dari perdarahan arterial akibat pecahnya
suatu aneurisma pembuluh darah serebral atau malformasi arterio-venosa yang rupture,
di samping juga ada sebab-sebab lainnya. Perdarahan subarachnoid diklasifikasikan
menjadi dua kategori yaitu :
• Traumatic Subarachnoid Hemorrhages
• Spontaneous Subarachnoid Hemorrhages
Gejala dan tanda klinis:
Kaku kuduk
Nyeri kepala
39
Bisa didapati gangguan kesadaran
Perdarahan intraserebral
ICH merupakan suatu area pendarahan yang terletak pada parenkim otak yang
berukuran 2 cm atau lebih namun tidak kontak dengan permukaan otak. ICH disebabkan oleh
adanya ruptur dari pembuluh darah parenkim saat cedera. ICH ditandai dengan area
hiperdens pada CT-scan. Sepertiga hingga setengah pasien dengan ICH datang dalam
keadaan tidak sadar dan sekitar 20% memiliki periode lucid antara periode post-trauma
hingga koma. Pembentukan ICH dapat terlambat dan dapat tidak muncul pada CT-scan
dalam waktu 24 jam. Pada fase seperti ini CT-scan ulang dilakukan apabila adanya defisit
neurologis yang bertambah dan adanya peningkatan ICP.
Konkusio
Konkusio merupakan suatu disfungsi neurologik yang singkat (transient) yang disebabkan
oleh faktor mekanik terhadap otak. Gambaran klinis:
hilangnya kesadaran (pingsan)
Kebingugan
Sefalgia
Disorientasi selama beberapa menit dan dapat juga disertai amnesia
Dapat pula disertai gangguan penglihatan.
Diagnosis utama melalui pemeriksaan klinis dan jarang didapatkan lesi pada CT-scan.
Konkusio tidak menyebabkan kerusakan neuron namun menyebabkan disfungsi neuron
sementara karena adanya perubahan metabolisme, fungsi neurotransmiter, dan ionic shift dan
biasanya sembuh dengan sendirinya.
Cedera difus
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi
masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita-penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
40
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara
klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
III.3.Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi
Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio
Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
IV.GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
41
Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
Kemampuan menurut perintah 6
Reaksi setempat 5
Menghindar 4
Fleksi abnormal/Decorticate 3
Ekstensi/Decerebrate 2
Tidak bereaksi 1
Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan
neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun
pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di
unit gawat darurat, yaitu:
1. tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
VI.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari
saat terjadinya trauma
42
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
VII.PENATALAKSANAAN
A. PENATALAKSANAAN TRAUMA KAPITIS
Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status
fungsi vital dan status kesadaran. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan
mendahului anamnesis. Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal
terpenting yang dinilai adalah:
- Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikal
Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan segera
identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing, serpihan fraktur, gangguan
trakea-laring, cedera tulang servikal). Jika penderita dapat berbicara maka jalan
napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Jika terdapat tanda-tanda
obstruksi jalan nafas yang umumnya sering terjadi pada penderita yang tidak
sadar yang dapat terjadi karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera
dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada
riwayat/dugaan trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang
berlebihan dari leher. Kontrol servikal harus dipertahankan karena pasien
dengan multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher hingga
pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw thrust adalah
metode awal menyokong patensi jalan napas yang secara otomatis melindungi
vertebra servikal.
- Pernapasan (breathing) dan ventilasi
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien bernapas segera
dinilai. Fungsi normal paru, dinding dada, dan diafragma dibutuhkan untuk
43
ventilasi dan pertukaran gas. Auskultasi, inspeksi, dan palpasi akan membantu
menentukan adanya tension pneumothorax, open pneumothorax, massive
hemothorax, atau flail chest karena kontusio pulmo. Kompresi dengan jarum,
penempatan chest tube, atau intubasi endotracheal mungkin diperlukan untuk
memastikan ventilasi yang adekuat. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera
kepala berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun
secara progresif atau terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-
35 mmHg.
- Nadi dan tekanan darah (circulation) dan kontrol perdarahan
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock,
terutama bila terdapat trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma
abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai
dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian
tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma
epidural. Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Hipotensi memiliki
efek berbahaya bagi pasien cedera kepala karena membahayakan tekanan
perfusi otak dan berperan dalam timbulnya edema dan iskemia otak. Hipotensi
sekunder karena perdarahan bisa terjadi karena trauma tajam maupun tumpul.
Perdarahan luar bisa diidentifikasi dengan cepat dan diatasi dengan penekanan
langsung secara manual. Tourniquet harus dihindari karena bisa menyebabkan
iskemi distal. Hipotensi tanpa perdarahan luar harus diasumsikan sebagai
perdarahan interna karena cedera intraabdomen, intratorakal, fraktur pelvis atau
tulang panjang. Pasien hipotensi hipovolemik biasanya menunjukkan penurunan
kesadaran karena aliran darah ke otak berkurang, nadi cepat, kulit pucat dan
lembab.
- Dissabilitas dan penilaian status neurologi
Seperti halnya semua pasien trauma, prioritas pertama pada pasien trauma
kapitis adalah ABC. Dilanjutkan dengan survey primer dan sekunder. Penilaian
44
fungsi neurologi diindikasikan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan reaksi
pupil dilakukan setelah kardiopulmoner stabil.
Cara penilaian status kesadaran dengan melakukan pemeriksaan GCS dan
fungsi pupil (lateralisasi dan refleks pupil). Pupil adalah barometer penting pada
pasien koma. Bila cahaya mengenai retina, terjadi impuls yang berjalan ke
nervus optikus, kemudian ke nucleus pretectalis, lalu ke nucleus edinger-
westphal dan kembali ke saraf parasimpatis yang akan mengkonstriksikan pupil.
Batas normal pupil adalah 3-5 mm. Pupil midriasis yang tidak berespon
terhadap rangsang cahaya mengindikasikan herniasi transtentorial pada uncus
ipsilateral di lobus temporal media yang menekan dan menginaktivasi serat
pupillokonstriktor pada perifer n.III. CT scan dibutuhkan untuk
mengidentifikasi lesi massa yang mungkin bisa diatasi pada pasien. Tetapi, tetap
harus diingat, pupil yang terfiksir dan melebar juga bisa terjadi karena trauma
langsung orbita dan isinya.
- Eksposure
Penting untuk memeriksa pasien secara menyeluruh sehingga bisa seluruh
bagian tubuh bisa dinilai dan diagnosa cedera bisa ditegakkan.
G. TERAPI MEDIKAMENTOSA
a. Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi serebral
yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah. Cairan
intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau
ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah
terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular
normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa
digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.
b. Hiperventilasi
45
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau
menunda herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Goal tindakan
ini adalah menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi akan
menurunkan ICP dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan onset efek
dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada rata-rata pasien;
jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini, prognosisnya secara umum adalah
buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak dianjurkan karena bisa menyebabkan
vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis juga tidak dianjurkan.
Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis parah yang mengalami
penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi. Selain itu, hiperventilasi
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya asidosis.
c. Manitol
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika osmotik,
seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan agen osmotik
adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi pupil, pupil
anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi.
Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai alternatif. Manitol
digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia biasanya
berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1 g/kgBB. Manitol
mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient osmotis yang akan menarik
cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis
Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan mencapai puncak sekitar 60 menit
setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP bolus tunggal manitol bertahan sekitar
6-8 jam. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita yang hipotensi
karena manitol adalah diuretik osmotik yang poten dan akan memperberat
hipovolemia. HTS pada konsentrasi 3,1%-23% digunakan untuk merawat pasien yang
menderita trauma kapitis dan kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume
plasma, mengurangi vasospasme, dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma.
HTS bermanfaat pada trauma kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri.
d. Furosemid (Lasix)
46
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa
diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena. Furosemid tidak boleh
diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.
e. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara “membius" pasien sehingga
metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga
akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Oleh karena itu, obat ini tidak
diindikasikan pada fase akut resusitasi.
f. Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala tumpul
dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi epilepsi tetapi
kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan hipoksia,
hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan ICP. Terdapat 3 faktor yang
berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma, yaitu kejang awal yang terjadi pada
minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresif. Penelitan
menunjukkan, pemberian antikonvulsan bermanfaat mengurangi kejang dalam
minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah itu. Namun penelitian lain
menyebutkan, penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi risiko serangan kejang
secara bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma kapitis akut
dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau profilaksis kejang dini tidak
mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi antiepilepsi adalah untuk mencegah
akibat tambahan yang disebabkan trauma. Kejang harus dihentikan dengan segera
karena kejang yang berlangsung lama (30-60 menit) dapat menyebabkan cedera otak
sekunder. Benzodiazepine dipilih sebagai first-line antikonvulsan. Lorazepam (0.05-
0.15 mg/kg IV, tiap 5 menit hingga total 4 mg) sangat efektif menggagalkan serangan
epilepsy. Pillihan lain adalah diazepam. Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin
atau fosfenitoin bisa diberikan.
H. TERAPI OPERATIF
47
Operasi di lakukan bila terdapat:
- Volume hematoma > 25 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr
hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di
bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk
keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya
keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- > 25 cc desak ruang supra tentorial
- > 10 cc desak ruang infratentorial
- > 5 cc desak ruang thalamus
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
- Penurunan klinis
- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif
- Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
KOMPLIKASI
a. Koagulopati
Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala sudah
diketahui dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami trauma
kepala, menunjukkan hasil bahwa 71% nya memiliki clotting test yang abnormal
dan 32% nya mengalami sindrom disseminated intravascular coagulation and
fibrinolysis (DICF).
b. Tromboemboli
Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous
thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE). Berdasarka penelitian,
didapatkan 4.3% pasien dengan trauma kepala didiagnosa DVT.
48
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada:
- Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
- Besarnya
- Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-
15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.
Pada hematoma intraserebral, dapat terjadi mortalitas 20%-30% , bisa sembuh
tanpa defisit neurologis, atau sembuh dengan defisit neurologis. Menentukan keluaran
dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit. Terlambatnya penanganan
awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit
yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera
multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita
cedera kepala.
BAB III
AFTER CARE PATIENT
49
3.1. Definisi After Care Patient (ACP)
After Care Patient (ACP) adalah pelayanan yang terintegritas dengan meninjau ke
lingkungan demi menjamin kesembuhan pasien dengan melihat permasalahan yang ada pada
pasien dan mengidentifikasi fungsi dalam anggota keluarga serta memberikan edukasi kepada
pasien mengenai hidup sehat.
3.2. Tujuan After Care Patient (ACP)
Tujuan untuk dilakukan after care patient selain untuk melihat perkembangan pasien
dalam pengelolaan pengobatan pasien dan kesembuhan pasien.
3.3. Permasalahan Pasien
3.3.1. Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga
a. Fungsi Biologis dan Reproduksi
Dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa saat ini semua anggota
keluarga kecuali pasien dalam keadaan sehat. Anggota keluarga lain tidak
memiliki riwayat penyakit khusus. Pasien adalah seorang anak berusia 8 tahun
masih bersekolah SD. Saat ini pasien tinggal bersama kedua orangtuanya.
b. Fungsi Psikologis
Hubungan pasien dengan anggota keluarganya baik.
c. Fungsi Pendidikan
Sekarang pasien masih bersekolah di SD dekat dengan rumanya. Pasien
sekarang sudah kelas 3 SD
d. Fungsi Sosial
Pasien tinggal di kawasan perkampung. Pergaulan umumnya berasal dari
teman-teman semasa SD-nya dan tetangga di sekitar rumah, pasien merupakan
anak yang aktif dan suka bermain dengan tetangganya.
e. Fungsi Religius
Agama yang dianut pasien adalah Islam.
50
3.3.2. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
a. Faktor Perilaku
Jika ada anggota keluarga yang sakit, pasien dan keluarga biasanya tidak
langsung berobat ke Rumah Sakit melainkan mencari cara-cara alternatif yang
mungkin bisa didapatkan dengan mudah di lingkungan sekitar rumah. Terlebih
jika keluhan yang dirasakan tidak begitu membahayakan dan bisa diabaikan,
maka pasien tidak akan emminta pertolongan segera ke Rumah Sakit atau
pelayanan kesehatan terdekat.
Pada riwayat trauma sebelumnya, pasien yang pernah jatuh karena ditabrak
oleh mobil saat berjualan, tidak segera memeriksakan dirinya ke Rumah Sakit
walaupun pasien terus merasakan nyeri kepala. Sampai pada saat jatuh untuk
kedua kalinya di kamar mandi, pasien sempat tidak sadarkan diri dan dibawa
ke Rumah Sakit Lestari Raharja.
Biaya pengobatan pasien saat dirawat adalah dengan jaminan kesehatan BPJS.
a. Faktor Non Perilaku
Sarana kesehatan di sekitar rumah cukup jauh dari rumah. Rumah sakit
ditempuh dengan angkutan umum atau dengan sepeda. Apabila pasien hendak
berobat ke RST dr. Soedjono, pasien akan naik angkutan umum atau
mengayuh sendiri sepeda dari rumahya.
3.3.3. Identifikasi Lingkungan Rumah
Pasien tinggal di kawasan pemukiman penduduk. Pasien tinggal bersama kedua
orangtuanya. Kawasan perumahan pasien merupakan kawasan pemukiman biasa. Rumah
pasien berdinding tembok dengan lantai hanya disemen dan atap seperti rumah pada
umumya. Memiliki 3 kamar tidur, satu ruang tamu, dapur, kamar mandi, gudang. Dapur
pasien masih dilengkapi kompor gas 2 ventilasi yang cukup ukuran 30x50 cm untuk
pertukaran udara.
51
3.3.4. Diagnosis Fungsi-Fungsi Keluarga
a. Fungsi Biologis
Pasien laki-laki usia 8 tahun dengan diagnosis SDH dan ICH
b. Fungsi Psikologis
Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga cukup baik.
c. Fungsi sosial dan budaya
Dapat bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar dengan baik.
d. Faktor perilaku
Apabila ada anggota keluarga yang sakit, pasien berobat ke sarana kesehatan
terdekat, contohnya adalah puskesmas
e. Faktor nonperilaku
Sarana pelayanan kesehatan cukup jauh dari rumah
3.4. Diagram Realita yang Ada Pada Keluarga
3.5. Risiko, Permasalahan dan Rencana Pembinaan Kesehatan Keluarga
52
PERILAKUApabila ada anggota keluarga yg sakit
yankes
YANKES
yankes terdekat -> puskesmas
GENETIK
(-)
DERAJAT KESEHATAN
Tn. YSDH dan ICH
LINGKUNGAN
Kebersihan dan kerapian rumah baik
Risiko dan Masalah
KesehatanRencana pembinaan Sasaran
SDH dan ICH Edukasi mengenai subdural hematoma
dan intraserebral hematoma itu sendiri
hingga angka kesembuhannya, edukasi
mengenai asupan nutrisi yang dibutuhkan
dalam masa perawatan serta memberitahu
cara meminum obat yang diresepkan
untuk pasien. Dan mengedukasi pasien
untuk berhati-hati ketika bermain
sehingga kejadian ini tidak terulang lagi
Pasien dan
keluarga
3.6. Hasil Kegiatan
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
09/10/15 - Pasien
mengeluhkan
bekas
operasinya
terkadang nyeri
dan
mengeluhkan
sakit kepala
- Nafsu makan
pasien masih
baik
- BAB dan BAK
lancar
- KU : baik
- Kes : CM
- TD : 110/80
mmHg
- N : 90 x/menit
- RR : 20 x/menit
- S : 37,5°C
- Luka OP masih
terpasang
perban
SDH dan
ICH
Edukasi
- Edukasi mengenai
subdural hematoma
dan intra serebral
hematom
penyebabnya hingga
angka kesembuhannya
- Nutrisi yang sesuai
dengan masa
penyembuhan,
- Mengurangi aktivitas
dan disesuaikan
dengan kondisi pasien
- Agar menjaga
kebersihan diri dan
53
lingkungan dengan
baik untuk
menghindari
terjadinya infeksi
ataupun penyakit
lainnya
- Mengedukasi untuk
perawatan luka
supaya jangan terkena
air terlebih dahulu
- Mengedukasi keluarga
untuk menjaga pasien
jika bermain bersama
teman-temannya agar
tidak terjadi kejadian
yang berulang
- Jika ada keluhan,
kontrol kembali ke
Rumah Sakit
3.7. Kesimpulan Pembinaan Keluarga
1. Tingkat pemahaman
Pemahaman terhadap edukasi yang dilakukan cukup baik.
2. Faktor penyulit
-
3. Indikator keberhasilan
a. Pasien mampu memahami kondisi klinisnya pada saat dirawat dan
bagaimana yang dapat dilakukan untuk sebisa mungkin menghindari
kekambuhan.
b. Pasien mampu mengenal kondisi diri sendiri serta dapat menentukan apa
yang terbaik buat dirinya sendiri, misalkan tidak bermain-main yang
membahayakan dirinya sendiri sehingga tidak terjadi kejadian yang
54
berulang, patuh untuk kontrol, patuh untuk melakukan perawatan luka, dan
makan-makanan yang bergizi.
DAFTAR PUSTAKA
55
1. Advance Trauma Life Support, hal 196-235
2. Greenberg Michael I.2008.text-atlas of emergency medicine.Penerbit
Erlangga.Jakarta, hal 44-51
3. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC, 2003
4. http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact
5. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
6. http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf
7. http://fhs.mcmaster.ca/surgery/documents/head_injury.pdf
8. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 1991
56
57