Pres-T Memperkuat Sistem Presidensialgelora45.com/news/SP_2017060802.pdfproses parpol dan capres...

1
[JAKARTA] Syarat ambang batas perolehan suara atau kursi bagi partai politik (parpol) atau gabungan partai untuk bisa mengusung calon presiden (presidential threshold/Pres-T) dipandang tetap diperlukan pada Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019. Syarat Pres-T akan mela- hirkan pemimpin bangsa yang berkualitas. Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto mengatakan, syarat Pres-T juga akan memperkuat sistem pre- sidensial yang dianut Indonesia. Tanpa dukungan parpol yang kuat di parlemen, presi- den terpilih tidak bisa bekerja dengan tenang selama 5 tahun masa kepemimpinannya. Saat ini, sudah 5 partai yang men- dukung adanya syarat Pres-T. Setya Novanto mengemu- kakan, partainya tidak meng- hendaki penghapusan syarat Pres-T. Partai Golkar akan terus berjuang agar syarat tersebut tetap ada. “Kami maunya tetap ada, seperti Pemilu 2014,” kata Novanto kepada SP seusai buka puasa bersama Partai Golkar di rumahnya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Rabu (7/6) malam. Novanto menjelaskan, aturan Pres-T sangat penting agar sejalan dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia. Pres-T akan mem- perkuat sistem presidensial. Kalau semua partai mengajukan calon presiden, maka hal tersebut tidak mendukung penguatan sistem presidensial, melainkan memperkuat sistem parlementer. “Parlemen kita saat ini sudah cukup kuat. Kita tidak ingin malah parlemen yang menguasai, karena kita menganut sistem presidensial,” ujar Ketua DPR itu. Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham memperkuat pandangan Novanto. Menurutnya, kehadiran Pres-T dalam rangka memperkuat sistem presidensial. Jika aturan itu dihapus, wibawa dan keku- atan presiden sangat lemah, karena partai-partai memiliki calon sendiri. Hal yang berbeda jika masih ada Pres-T, maka parpol mendukung penguatan sistem presidensial dengan koalisi di antara mereka. “Kita tidak ingin melihat ke belakang. Kita ke depan, yaitu memperkuat sistem presidensial. Kita sudah meli- hat, bagaimana pengalaman selama ini ketika parlemen sangat kuat. Presiden cukup sulit menjalankan program, karena sistem presidensial tidak kuat,” tuturnya. Politisi Partai Golkar Robert Kadinal menambahkan, syarat Pres-T harus tetap ada supaya tidak muncul banyak calon. Idealnya, kata dia, jumlah capres sekitar 3 atau 4 pasang. Alasan lainnya, capres tidak mengandalkan popularitas semata, tetapi juga harus memiliki kemampuan. Capres juga tidak hanya pintar kam- panye, tetapi juga bisa bekerja. Basis Konstitusi Sementara, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memiliki alasan yang kuat untuk bersa- ma pemerintah mendorong adanya syarat Pres-T. Angka yang diajukan adalah 20% jumlah kursi di parlemen dan atau 25% perolehan suara sah nasional di pemilu legislatif. Sekjen DPP PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, dukungan partainya terhadap syarat Pres-T berbasis konsti- tusi. Pada konstitusi, ujarnya, sistem ketatanegaraan adalah presidensial. Dengan sistem itu, posisi presiden dipilih langsung oleh rakyat dan harus ada kepastian bagi presiden dalam menjalankan pemerin- tahan selama lima tahun. Presiden hanya bisa digoyang bila melanggar konstitusi. Masalahnya, kata Hasto, pada praktiknya legitimasi pemerintahan bukan sekadar didapat dari suara rakyat saat pilpres. Berdasarkan penga- laman pemerintahan Jokowi, pemerintahan presidensial tidak efektif bila suara mayoritas di parlemen tidak didapatkan. “Maka itu, syarat dukung- an Pres-T itu sangat penting sebagai syarat minimum. Dengan dukungan 20% saja, dari pengalaman Presiden Jokowi, itu tidak berjalan mudah,” kata Hasto. Faktanya, kata dia, basis dukungan mayoritas rakyat di pilpres bisa direduksi oleh kekuatan politik di parlemen. Padahal, hal demikian tidak seharusnya terjadi. Dengan Pres-T, minimal 20% suara di parlemen dan atau 25% pero- lehan suara sah nasional, diharapkan stabilitas pemerin- tahan presidensial itu bisa terjadi, karena mendapatkan basis dukungan minimum. “Syarat Pres-T itu agar suara rakyat di pilpres bisa diimbangi dengan dukungan di DPR. Bagi kami, pasal ini jangan sampai ini dihapus. Kami khawatir, presiden yang didukung 50% lebih oleh rakyat, justru tidak mendapat- kan legitimasi di DPR,” tutur- nya. Hasto juga mengatakan, asumsi bahwa dengan banyak bacapres maka demokrasi meningkat, tidak sepenuhnya benar. Sebab, kata dia justru dengan banyak calon juga menimbulkan risiko serta biaya politik yang lebih besar. Bagi PDI-P, kontestasi sebenarnya bukan memberikan peluang kepada siapa saja bisa menjadi capres dengan meng- hapuskan Pres-T. Kontestasi sebenarnya terjadi dalam proses parpol dan capres bisa berproses dan menunjukkan prestasi kerja. Dia memberi contoh, seorang wali kota atau bupati menunjukkan kinerja terbaik sehingga dipilih untuk maju sebagai calon gubernur. Di tingkat provinsi, dia bisa menunjukkan prestasi baik juga, sehingga bisa didorong untuk ke tingkat nasional menjadi calon presiden. “"Ukuran demokrasi bukan banyak atau tidak calon, teta- pi bagaimana mekanisme demokrasi dalam menyiapkan pemimpin secara berjenjang. Pres-T memastikan suara dukungan rakyat ke presiden di pemilu harus sejalan dengan dukungan di DPR. Angka 20-25% itu saja minimum. Artinya, minimum seorang presiden menjalankan kenega- raan,” kata Hasto. Hal senada dikatakan Wakil Sekjen Partai Nasdem Willy Aditya. Menurutnya, syarat ambang batas pencalonan presiden atau Pres-T harus tetap dipertahankan agar Indonesia dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas. Dengan syarat Pres-T, presiden terpilih tidak hanya mendapat- kan dukungan dari rakyat, tetapi juga mayoritas partai di parlemen. Dia menegaskan, ada sejumlah pertimbangan yang dapat dijadikan alasan meng- apa ambang batas Pres-T harus tetap dipertahankan. “Beberapa hal yang menjadi pertimbang- an Partai Nasdem mendukung adanya Pres-T adalah untuk melahirkan calon presiden yang berkualitas dan memahami persoalan serta tantangan Indonesia ke depan,” ujarnya. Selain itu, diingatkan, untuk menjadi calon kepala daerah saja ada syarat suara dan kursi DPRD. Oleh karena itu, dalam pemilihan presiden seharusnya memiliki syarat yang lebih kompleks ketimbang kepala daerah, bukan malah sebalik- nya. “Untuk menjadi kepala daerah saja ada syarat suara dan kursi DPRD. Ini menja- di calon presiden, kok, tidak memakai syarat. Seharusnya, syarat menjadi capres tidak dipermudah, karena ini pemimpin bangsa,” ungkap Willy. Selain itu, pertimbangan lain Pres-T tetap dibutuhkan, karena juga untuk mendorong adanya koalisi partai politik. Sehingga, saat pemilu tidak menjadi “semua lawan semua” yang bisa membuat situasi sosial menjadi rawan. “Alasan lainnya, Presiden tidak hanya selaku kepala pemerintahan, tetapi juga kepala negara. Dalam konteks ini, presiden harus lahir dari proses yang benar-benar selek- tif. Ini yang kami pertimbang- an, sehingga mendukung syarat Pres-t 20% dan 25%,” ujarnya. [MJS/R-14/Y-7] Utama 2 Suara Pembaruan Kamis, 8 Juni 2017 S uhu politik di Jawa Timur memanas men- jelang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) 2018. Suara warga nahdliyin dika- barkan terpecah setelah sejumlah kader Nahdlatul Ulama (NU) santer dikabar- kan bakal maju dalam Pilgub Jatim mendatang. Kader NU yang diga- dang-gadang akan maju Pilgub Jatim, antara lain Menteri Sosial yang juga Ketua Umum PP Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa. Lalu, ada Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, yang juga salah satu ketua PBNU. “Kami seperti terbelah,” kata sumber SP yang juga salah satu petinggi NU di kom- pleks parlemen, Rabu (8/6) malam. Sumber itu meng- ungkapkan, semua kandidat yang bakal maju di Pilgub Jatim hampir semua warga NU. “Ya, ini kalau mau dibilang repotnya jika satu provinsi NU kabeh,” kata- nya. Akibatnya, kata dia, para sesepuh dan kiai NU mengi- rim surat terbuka. “Mereka meminta Pilgub Jatim jangan sampai membawa perpecahan di NU,” katanya. Selain itu, para sesepuh NU juga meminta dilibatkan dalam pembahasan calon gubernur yang akan diusung nanti. Hal itu sesuai dengan tradisi pendiri NU yang mendengarkan para kiai dan pengasuh pondok pesantren sebagai rujukan utama dalam proses pengambilan keputusan. “Ada kegelisahan (dari para kiai). Kok, tidak jadi siji (satu) saja,” katanya. Ditanyakan soal dugaan adanya kucuran dana ke sejumlah pesantren, sumber itu tersenyum. “Isu itu selalu berembus menjelang pemilu, termasuk pilkada,” tuturnya. [W-12] Ormas Terbelah di Pilgub Jatim? Pres-T Memperkuat Sistem Presidensial

Transcript of Pres-T Memperkuat Sistem Presidensialgelora45.com/news/SP_2017060802.pdfproses parpol dan capres...

[JAKARTA] Syarat ambang batas perolehan suara atau kursi bagi partai politik (parpol) atau gabungan partai untuk bisa mengusung calon presiden (presidential threshold/Pres-T) dipandang tetap diperlukan pada Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019.

Syarat Pres-T akan mela-hirkan pemimpin bangsa yang berkualitas. Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto mengatakan, syarat Pres-T juga akan memperkuat sistem pre-sidensial yang dianut Indonesia.

Tanpa dukungan parpol yang kuat di parlemen, presi-den terpilih tidak bisa bekerja dengan tenang selama 5 tahun masa kepemimpinannya. Saat ini, sudah 5 partai yang men-dukung adanya syarat Pres-T.

Setya Novanto mengemu-kakan, partainya tidak meng-hendaki penghapusan syarat Pres-T. Partai Golkar akan terus berjuang agar syarat tersebut tetap ada. “Kami maunya tetap ada, seperti Pemilu 2014,” kata Novanto kepada SP seusai buka puasa bersama Partai Golkar di rumahnya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Rabu (7/6) malam.

Novanto menjelaskan, aturan Pres-T sangat penting agar sejalan dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia. Pres-T akan mem-perkuat sistem presidensial. Kalau semua partai mengajukan calon presiden, maka hal tersebut tidak mendukung penguatan sistem presidensial, melainkan memperkuat sistem parlementer. “Parlemen kita saat ini sudah cukup kuat. Kita tidak ingin malah parlemen yang menguasai, karena kita menganut sistem presidensial,” ujar Ketua DPR itu.

Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham memperkuat p a n d a n g a n N o v a n t o . Menurutnya, kehadiran Pres-T dalam rangka memperkuat sistem presidensial. Jika aturan itu dihapus, wibawa dan keku-atan presiden sangat lemah, karena partai-partai memiliki calon sendiri. Hal yang berbeda jika masih ada Pres-T, maka

parpol mendukung penguatan sistem presidensial dengan koalisi di antara mereka.

“Kita tidak ingin melihat ke belakang. Kita ke depan, yaitu memperkuat sistem presidensial. Kita sudah meli-hat, bagaimana pengalaman selama ini ketika parlemen sangat kuat. Presiden cukup sulit menjalankan program, karena sistem presidensial tidak kuat,” tuturnya.

Politisi Partai Golkar Robert Kadinal menambahkan, syarat Pres-T harus tetap ada supaya tidak muncul banyak calon. Idealnya, kata dia, jumlah capres sekitar 3 atau 4 pasang. Alasan lainnya, capres tidak mengandalkan popularitas semata, tetapi juga harus memiliki kemampuan. Capres juga tidak hanya pintar kam-panye, tetapi juga bisa bekerja.

Basis KonstitusiS e m e n t a r a , P a r t a i

D e m o k r a s i I n d o n e s i a Perjuangan (PDI-P) memiliki alasan yang kuat untuk bersa-ma pemerintah mendorong

adanya syarat Pres-T. Angka yang diajukan adalah 20% jumlah kursi di parlemen dan atau 25% perolehan suara sah nasional di pemilu legislatif.

Sekjen DPP PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, dukungan partainya terhadap syarat Pres-T berbasis konsti-tusi. Pada konstitusi, ujarnya, sistem ketatanegaraan adalah presidensial. Dengan sistem itu, posisi presiden dipilih langsung oleh rakyat dan harus ada kepastian bagi presiden dalam menjalankan pemerin-tahan selama lima tahun. Presiden hanya bisa digoyang bila melanggar konstitusi.

Masalahnya, kata Hasto, pada praktiknya legitimasi pemerintahan bukan sekadar didapat dari suara rakyat saat pilpres. Berdasarkan penga-laman pemerintahan Jokowi, pemerintahan presidensial tidak efektif bila suara mayoritas di parlemen tidak didapatkan.

“Maka itu, syarat dukung-an Pres-T itu sangat penting sebagai syarat minimum. Dengan dukungan 20% saja,

dari pengalaman Presiden Jokowi, itu tidak berjalan mudah,” kata Hasto.

Faktanya, kata dia, basis dukungan mayoritas rakyat di pilpres bisa direduksi oleh kekuatan politik di parlemen. Padahal, hal demikian tidak seharusnya terjadi. Dengan Pres-T, minimal 20% suara di parlemen dan atau 25% pero-lehan suara sah nasional, diharapkan stabilitas pemerin-tahan presidensial itu bisa terjadi, karena mendapatkan basis dukungan minimum.

“Syarat Pres-T itu agar suara rakyat di pilpres bisa diimbangi dengan dukungan di DPR. Bagi kami, pasal ini jangan sampai ini dihapus. Kami khawatir, presiden yang didukung 50% lebih oleh rakyat, justru tidak mendapat-kan legitimasi di DPR,” tutur-nya.

Hasto juga mengatakan, asumsi bahwa dengan banyak bacapres maka demokrasi meningkat, tidak sepenuhnya benar. Sebab, kata dia justru dengan banyak calon juga

menimbulkan risiko serta biaya politik yang lebih besar.

Bagi PDI-P, kontestasi sebenarnya bukan memberikan peluang kepada siapa saja bisa menjadi capres dengan meng-hapuskan Pres-T. Kontestasi sebenarnya terjadi dalam proses parpol dan capres bisa berproses dan menunjukkan prestasi kerja.

Dia memberi contoh, seorang wali kota atau bupati menunjukkan kinerja terbaik sehingga dipilih untuk maju sebagai calon gubernur. Di tingkat provinsi, dia bisa menunjukkan prestasi baik juga, sehingga bisa didorong untuk ke tingkat nasional menjadi calon presiden.

“"Ukuran demokrasi bukan banyak atau tidak calon, teta-pi bagaimana mekanisme demokrasi dalam menyiapkan pemimpin secara berjenjang. Pres-T memastikan suara dukungan rakyat ke presiden di pemilu harus sejalan dengan dukungan di DPR. Angka 20-25% itu saja minimum. Artinya, minimum seorang

presiden menjalankan kenega-raan,” kata Hasto.

Hal senada dikatakan Wakil Sekjen Partai Nasdem Willy Aditya. Menurutnya, syarat ambang batas pencalonan presiden atau Pres-T harus tetap dipertahankan agar Indonesia dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas. Dengan syarat Pres-T, presiden terpilih tidak hanya mendapat-kan dukungan dari rakyat, tetapi juga mayoritas partai di parlemen.

Dia menegaskan, ada sejumlah pertimbangan yang dapat dijadikan alasan meng-apa ambang batas Pres-T harus tetap dipertahankan. “Beberapa hal yang menjadi pertimbang-an Partai Nasdem mendukung adanya Pres-T adalah untuk melahirkan calon presiden yang berkualitas dan memahami persoalan serta tantangan Indonesia ke depan,” ujarnya.

Selain itu, diingatkan, untuk menjadi calon kepala daerah saja ada syarat suara dan kursi DPRD. Oleh karena itu, dalam pemilihan presiden seharusnya memiliki syarat yang lebih kompleks ketimbang kepala daerah, bukan malah sebalik-nya.

“Untuk menjadi kepala daerah saja ada syarat suara dan kursi DPRD. Ini menja-di calon presiden, kok, tidak memakai syarat. Seharusnya, syarat menjadi capres tidak dipermudah, karena ini pemimpin bangsa,” ungkap Willy.

Selain itu, pertimbangan lain Pres-T tetap dibutuhkan, karena juga untuk mendorong adanya koalisi partai politik. Sehingga, saat pemilu tidak menjadi “semua lawan semua” yang bisa membuat situasi sosial menjadi rawan.

“Alasan lainnya, Presiden tidak hanya selaku kepala pemerintahan, tetapi juga kepala negara. Dalam konteks ini, presiden harus lahir dari proses yang benar-benar selek-tif. Ini yang kami pertimbang-an, sehingga mendukung syarat Pres-t 20% dan 25%,” ujarnya. [MJS/R-14/Y-7]

Utama2 Sua ra Pem ba ru an Kamis, 8 Juni 2017

Suhu politik di Jawa Timur memanas men-jelang Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) 2018. Suara warga nahdliyin dika-barkan terpecah setelah sejumlah kader Nahdlatul Ulama (NU) santer dikabar-kan bakal maju dalam Pilgub Jatim mendatang.

Kader NU yang diga-dang-gadang akan maju Pilgub Jatim, antara lain Menteri Sosial yang juga Ketua Umum PP Muslimat

NU, Khofifah Indar Parawansa. Lalu, ada Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, yang juga salah satu ketua PBNU.

“Kami seperti terbelah,” kata sumber SP yang juga salah satu petinggi NU di kom-pleks parlemen, Rabu (8/6) malam. Sumber itu meng-ungkapkan, semua kandidat yang bakal maju di Pilgub Jatim hampir semua warga

NU. “Ya, ini kalau mau dibilang repotnya jika satu provinsi NU kabeh,” kata-nya.

Akibatnya, kata dia, para sesepuh dan kiai NU mengi-rim surat terbuka.

“Mereka meminta Pilgub Jatim jangan sampai membawa perpecahan di NU,” katanya. Selain itu, para sesepuh NU juga meminta dilibatkan dalam pembahasan calon gubernur yang akan diusung nanti.

Hal itu sesuai dengan tradisi pendiri NU yang mendengarkan para kiai dan pengasuh pondok pesantren sebagai rujukan utama dalam proses pengambilan keputusan. “Ada kegelisahan (dari para kiai). Kok, tidak jadi siji (satu) saja,” katanya.

Ditanyakan soal dugaan adanya kucuran dana ke sejumlah pesantren, sumber itu tersenyum. “Isu itu selalu berembus menjelang pemilu, termasuk pilkada,” tuturnya. [W-12]

Ormas Terbelah di Pilgub Jatim?

Pres-T Memperkuat Sistem Presidensial