NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL...

17
Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal napak tilas penghunian awal gunungsewu 1 NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWU (upload: geoarkeologi.blog.ugm.ac.id, tanggal 23 Maret 2014) Oleh: J. Susetyo Edy Yuwono Jurusan Arkeologi Fak. Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Kawasan Karst Gunungsewu memegang peran penting dalam pembentukan budaya masyarakatnya sejak Prasejarah hingga peradaban sekarang. Kapan mereka muncul, kemana mereka menyebar, dan bagaimana budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak yang akhirnya membentuk kehidupan saat ini. Kekayaan tradisi serta semangat dan kegigihan hidup yang dimiliki masyarakat Gunungsewu adalah buah dari pengalaman historis nenek moyang mereka, yang begitu sabar mengelola alam. Bentanglahan yang sekarang tampak gersang ini sebenarnya adalah lahan pengetahuan yang sangat subur, yang tidak pernah habis dipelajari lewat fisik alamnya yang unik serta budaya dan kehidupan masyarakatnya yang tangguh. Rona fisik kawasan karst tropis Gunungsewu Salah satu bentanglahan karst terpenting di Jawa adalah Gunungsewu yang terletak di zona paling selatan dari jajaran Pegunungan Selatan Jawa bagian timur. Wilayahnya membentang dari Pantai Parangtritis di ujung barat hingga Teluk Pacitan di ujung timur, di bagian paling selatan dari tiga wilayah kabupaten sekaligus -- Kabupaten Gunungkidul (Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Kabupaten Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah), dan Kabupaten Pacitan (Propinsi Jawa Timur). Morfologi perbukitan karst masif ini menyimpan rekaman pembentukan yang panjang, sejak paparan terumbu karang dan sedimen karbonat di dasar Samudera Hindia terangkat tahap demi tahap menjadi daratan, melewati hitungan waktu geologis. Pada stadia berikutnya bekerjalah kekuatan-kekuatan eksogen melalui beragam proses geomorfologis dan klimatologis, mengukir rona permukaan (eksokarst) dan bawah permukaan (endokarst) hingga menghasilkan bentukan-bentukan eksotik. Ribuan bukit kerucut berpuncak membulat Dimuat dalam Ekspedisi Geografi Indonesia Karst Gunungsewu 2011, Pusat Survei Sumberdaya Alam Darat (PSSDAD), Bakosurtanal, hlm. 60-73.

Transcript of NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL...

Page 1: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 1

NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWU

(upload: geoarkeologi.blog.ugm.ac.id, tanggal 23 Maret 2014)

Oleh:

J. Susetyo Edy Yuwono Jurusan Arkeologi Fak. Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

Kawasan Karst Gunungsewu memegang peran penting

dalam pembentukan budaya masyarakatnya sejak

Prasejarah hingga peradaban sekarang. Kapan mereka

muncul, kemana mereka menyebar, dan bagaimana

budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak

yang akhirnya membentuk kehidupan saat ini. Kekayaan

tradisi serta semangat dan kegigihan hidup yang dimiliki masyarakat

Gunungsewu adalah buah dari pengalaman historis nenek moyang

mereka, yang begitu sabar mengelola alam. Bentanglahan yang sekarang

tampak gersang ini sebenarnya adalah lahan pengetahuan yang sangat

subur, yang tidak pernah habis dipelajari lewat fisik alamnya yang unik

serta budaya dan kehidupan masyarakatnya yang tangguh.

Rona fisik kawasan karst tropis Gunungsewu

Salah satu bentanglahan karst terpenting di Jawa adalah Gunungsewu yang

terletak di zona paling selatan dari jajaran Pegunungan Selatan Jawa bagian timur.

Wilayahnya membentang dari Pantai Parangtritis di ujung barat hingga Teluk

Pacitan di ujung timur, di bagian paling selatan dari tiga wilayah kabupaten

sekaligus -- Kabupaten Gunungkidul (Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta),

Kabupaten Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah), dan Kabupaten Pacitan (Propinsi

Jawa Timur).

Morfologi perbukitan karst masif ini menyimpan rekaman pembentukan

yang panjang, sejak paparan terumbu karang dan sedimen karbonat di dasar

Samudera Hindia terangkat tahap demi tahap menjadi daratan, melewati hitungan

waktu geologis. Pada stadia berikutnya bekerjalah kekuatan-kekuatan eksogen

melalui beragam proses geomorfologis dan klimatologis, mengukir rona

permukaan (eksokarst) dan bawah permukaan (endokarst) hingga menghasilkan

bentukan-bentukan eksotik. Ribuan bukit kerucut berpuncak membulat

Dimuat dalam Ekspedisi Geografi Indonesia Karst Gunungsewu 2011, Pusat Survei Sumberdaya Alam

Darat (PSSDAD), Bakosurtanal, hlm. 60-73.

Page 2: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 2

(sinusoida) atau lancip (connical) membentuk konfigurasi unik dengan dataran

korosi, alur-alur lembah purba berpola labirin, dan beragam cekungan,

menciptakan kesan dan ekspresi topografi karstik yang berbeda dari bentanglahan

sekitarnya.

Di kedalaman buminya, sistem hidrologi batuan karbonat membentuk

lorong-lorong gua dengan variasi ornamennya yang unik. Sebagian sudah menjadi

lorong-lorong fosil bertingkat di perut-perut bukit, sementara lorong termuda di

level terbawah masih memainkan peran aktifnya sebagai sungai dan telaga

bawahtanah. Lorong-lorong aktif tersebut menjadi semacam “lumbung”

penyimpan air yang sebagian besar airnya masih terbuang percuma ke laut dalam

luahan debit yang tinggi, kendati di puncak kemarau. Perpaduan antara karakter

geologis dan proses-proses eksogen secara bertahap sejak awal Pleistosen (± 2

juta tahun lalu) terekam jelas melalui sistem perguaan bertingkat dengan jeram-

jeram sungai bawahtanah di dalam matriks batuan karbonat penyusunnya, yang

ketebalannya mencapai ratusan meter. Ketinggian bukit-bukit di permukaan kira-

kira hanya setengah hingga sepertiga bagian dari tebal keseluruhan sedimen

karbonat Formasi Wonosari penyusun Gunungsewu.

Rekaman proses alami yang masih dapat “dibaca” dan dicermati hingga

sekarang, hanyalah satu keunikan Gunungsewu pada ranah fisik kebumian. Bukan

itu saja, bentukan-bentukan major seperti aliran sungai purba, lorong gua (cave),

dan ceruk (rockshelter), ternyata juga menyimpan jejak-jejak budaya dan

kehidupan purba yang pernah berlangsung. Menjadi bukti awal kontak antara

manusia dan lingkungan fisik karst Gunungsewu. Lingkungan karst pada

umumnya memang memiliki andil besar dalam mempreservasi kandungan situs

arkeologis. Sisa-sisa budaya mulai tataran tertua (Prasejarah) sebagian besar tetap

terawetkan di dalam strata tanah gua yang relatif lebih aman dari gangguan dan

perubahan secara alami dibandingkan situs-situs terbuka (Straus, 1990; Yuwono,

2006). Hanya gangguan ekstrim lah yang mampu memporak-porandakan bahkan

menghapus bukti-bukti tersebut, misalnya melalui penambangan tanah dan batuan

gua.

Page 3: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 3

Tapak Prasejarah Gunungsewu

Morfologi Gunungsewu mulai fenomenal di kalangan peneliti dan

pemerhati kebumian sejak Lehmann mempublikasikannya sebagai salah satu

tropic connical-kars type, TIPE GUNUNGSEWU (Lehmann, 1936). Sejak itulah

Gunungsewu tidak pernah sepi dari aktivitas penelitian dan penjelajahan.

Beberapa dekade terakhir Gunungsewu juga menjadi lahan yang menantang para

petualang gua, sekaligus menjanjikan bagi usaha penambangan batugamping,

kalsit, dan guano – fosfat.

Riset arkeologis Gunungsewu sebenarnya sudah dirintis setahun sebelum

Lehmann mempublikasikan hasil studinya tentang morfologi Jawa, di mana

Gunungsewu menjadi salah satu masterpiece bahasannya. Di tahun 1935, jejak

kehidupan manusia tertua di Pegunungan Selatan berhasil diungkap oleh G.H.R.

von Koenigswald dan M.W.F. Tweede di K. Baksoka, salah satu sungai purba di

Pacitan, wilayah timur Gunungsewu. Meski tujuan mereka sebenarnya adalah

mencari sumber bahan artefak batu situs manusia purba Sangiran di utara

Surakarta, namun penemuan artefak batu Baksoka justru mengawali wacana

ilmiah tentang okupasi kawasan karst Gunungsewu.

Temuan artefak batu K. Baksoka mewakili rentang panjang kehidupan

Prasejarah, sejak tradisi batu tua (Paleolitik) hingga muda (Neolitik). F. Semah

(1998), menyimpulkan bahwa sebelum 180.000 tahun lalu Pacitan sudah dihuni

manusia (dalam Simanjuntak, 2002). Sisa-sisa pengerjaan artefak batu Pacitanian

yang ditemukan ribuan jumlahnya di sepanjang K. Baksoka dan sekitarnya, adalah

gambaran tak tersangkal dari besarnya populasi pemukim Prasejarah dan

sekaligus melimpahnya sumber kehidupan yang disediakan bumi karst Pacitan.

Bayangkan….! untuk apa mereka membuat peralatan berburu sebanyak

itu, jika lingkungan mereka tidak menyediakan hewan buruan dan sumber

makanan yang melimpah? Apakah daya dukung Pacitan mampu

menampung sejumlah besar pemukim selama ribuan generasi secara

menerus, jika lingkungannya miskin sumber pangan?

Seberapa besar daya jelajah pemukim Prasejarah Baksoka? belum satu ahli

pun mengetahuinya. Tetapi seberapa luas persebaran kelompok pemukim

Prasejarah di Gunungsewu sudah tergambar jelas. Hampir setiap titik di

Gunungsewu, mulai Parangtritis di sebelah barat hingga Teluk Pacitan di ujung

Page 4: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 4

timur (sepanjang ± 90 km); mulai pesisir selatan hingga pedalaman karst paling

utara di wilayah Ponjong (sejauh ± 30 km), adalah titik-titik penghubung benang

merah penghunian awal Gunungsewu. Kawasan seluas lebih dari 126.000 hektar

ini menjadi kawasan arkeologis terluas dan terlengkap di Jawa untuk kurun waktu

Prasejarah. Morfoasosiasinya dengan bentanglahan sekitar, khususnya dengan dua

cekungan bekas danau purba yang mengapit wilayah pedalaman karst

Gunungsewu, yaitu Ledok Wonosari di barat dan Ledok Baturetno di timur, kian

memperpanjang skenario hunian hingga ke masa-masa sejarah.

Kapan mereka menyebar ke suluruh pelosok Gunungsewu, dan

bagaimanakah keragaman corak arkeologis di seluruh kawasan ini?

Baksoka adalah episode awal penghunian Gunungsewu. Ketika ekskavasi

arkeologis mulai merambah situs-situs gua di Pacitan dan Gunungkidul tahun

1990an, disusul situs-situs gua di Wonogiri tahun 2000an, gambaran corak

permukiman awal di Gunungsewu tampak kian beragam. Bukan situs terbuka

sepanjang sungai purba saja yang pernah diokupasi penduduk purba Gunungsewu,

melainkan juga gua-gua fosil dan ceruk-ceruk tebing. Namun sejauh ini belum

dijumpai pertanggalan hunian gua yang melebihi kepurbaan situs K. Basoka.

Corak budaya materinya pun berbeda. Bukan batu yang dominan, melainkan

perkakas dari tulang hewan, tanduk rusa, dan cangkang kerang. Ada pergeseran

tegas dari budaya batu ke budaya organik. Tulang hewan bukan merupakan

limbah perburuan atau sisa konsumsi semata, melainkan juga dimanfaatkan

sebagai sumber bahan pembuatan sarana adaptasi. Semakin intensif mereka

melalukan perburuan hewan, semakin melimpah pula sumber bahan pembuatan

alat.

Keberhasilan perburuan hewan pada masa itu juga didukung oleh

ketersediaan telaga-telaga alam yang tentunya juga diakses oleh koloni-koloni

hewan untuk minum dan berendam. Tlogo Guyangwarak di Punung, Tlogo Joho

dan Tlogo Digal di Pracimantoro, Tlogo Tritis dan Tlogo Gupakwarak di

Tanjungsari, Tlogo Beton di Ponjong, hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak

telaga perennial yang memberi kemudahan dalam berburu. Pemilihan gua-gua di

sekitar telaga-telaga untuk bermukim adalah strategi adaptasi yang pas dan dapat

menjamin durasi hunian sekian ribu tahun lamanya.

Page 5: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 5

Kesiapan sebuah gua untuk dihuni sangat dipengaruhi tingkat karstifikasi

batuan dan perubahan lingkungan global yang pernah terjadi, khususnya

perubahan iklim dari kala Pleistosen ke Holosen, dari 2 juta ke 10 ribu tahun lalu.

Dari pemahaman karstifikasi, gua arkeologis adalah gua fosil dengan dimensi

ruang yang memadai untuk dihuni. Pengertian gua fosil adalah lorong-lorong gua

kering yang sudah tidak lagi dialiri sungai bawahtanah setelah terbentuknya

lorong baru pada posisi lebih rendah. Ini berarti bahwa tahap karstifikasi dan

pengangkatan daratan sudah berjalan lanjut, menghasilkan lorong-lorong aktif

berikutnya pada level muka airtanah. Penurunan muka airtanah akibat

pengangkatan daratan akan diikuti pembentukan lorong aktif baru di bawah

lorong-lorong yang sudah ada. Begitu seterusnya, hingga jumlah tingkatan lorong

gua dapat mengindikasikan berapa kali pengangkatan daratan pernah terjadi.

Proses denudasi permukaan akibat pelarutan, erosi, hingga runtuhan yang

menyisakan bukit-bukit kerucut, berdampak pula pada pemotongan lorong-lorong

fosil. Mulut-mulut gua pun menganga di lereng-lereng bukit, beberapa di

antaranya bertingkat, dan menyediakan akses serta ruang untuk dihuni. Di

Gunungsewu, sudah terindikasi lebih dari seratus gua dari level pembentukan

yang bervariasi, yang berpotensi sebagai situs arkeologi.

Selama ini diyakini bahwa trend penghunian gua-gua masa Prasejarah

mulai berlangsung pada kisaran 12.000 hingga 10.000 tahun lalu, yang secara

kultural memasuki tahapan evolusi Mesolitik/Epipaleolitik/Preneolitik, sebagai

tahap peralihan di pertengahan jaman batu. Menurut kalender geologis, kisaran

angka tahun tersebut menandai awal kala Holosen, suatu episode pembuka dari

jaman yang masih kita alami hingga kini. Berbeda dengan kala Pleistosen

sebelumnya, kondisi Holosen relatif lebih tenang dan stabil. Jaman Es pun sudah

berlalu sekitar 8.000 tahun sebelumnya (Puncak Jaman Es terakhir atau Last

Glacial Maximum diidentifikasi berlangsung sekitar 20.000 tahun lalu (periksa:

Oppenheimer, 1998).

Perubahan iklim dan lingkungan ke babak awal Holosen ditengarai telah

menggeser beberapa spesies primata, khususnya orang-utan (Pongo pygmaeus)

dan siamang (Hylobates syndactylus) yang menjadi penciri hutan belantara

Tropis, tergantikan oleh kera (Macaca sp.) sebagai spesies khas penghuni hutan

Page 6: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 6

terbuka (Vos, 1983; Forestier, 2007). Kondisi hutan terbuka memudahkan

masyarakat Prasejarah Baksoka, yang sudah mulai padat jumlahnya, menemukan

jalur-jalur persebaran ke arah barat dan mengakses gua-gua karst yang sudah siap

huni. Artinya, apa yang sudah dihasilkan oleh tahapan karstifikasi di Gunungsewu

saat itu, terutama jaringan lembah kering (labirin) dan mulut-mulut gua fosil di

lereng-lereng bukit kerucut, direspon oleh masyarakat Prasejarah untuk dijelajahi

dan ditempati. Sekali lagi, lingkungan hutan terbuka meningkatkan mobilitas

mereka sehingga dalam waktu relatif serentak berlangsunglah penghunian gua di

seluruh Gunungsewu.

Kera dan kelompok fauna yang oleh Bergh dkk. (1996) dikategorikan

sebagai Fauna Wajak atau Holocene Caves Composite, seperti gajah (Elephas

maximus), macan (Panthera tigris), kucing hutan (Felis bengalensis), badak Jawa

(Rhinoceros sondaicus), tapir (Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muntjak), babi

hutan (Sus vittatus), landak (Acanthion brachyurnus), rusa Cervidae (Cervus

timorensis), dan banteng (Bibos sondaicus), adalah menu konsumsi manusia

Prasejarah selama ribuan tahun. Lingkungan hutan terbuka juga memudahkan

penghuni wilayah pedalaman mengakses sumber makanan laut. Tidak

mengherankan jika sisa-sisa cangkang kerang laut juga ditemukan di gua-gua

arkeologis daerah Ponjong Utara, yang 30-an km jauhnya dari pantai. Bukan

sebagai limbah makanan semata, melainkan juga sebagai perkakas hidup sehari-

hari.

Semakin ke arah pedalaman ragam jenis kerang laut semakin berkurang,

namun kualitasnya semakin bagus. Ini berarti bahwa tidak semua jenis kerang laut

yang dikonsumsi komunitas pesisir juga ditemukan sisa-sisanya di pedalaman.

Hanya jenis-jenis kerang bercangkang besar dan tebal saja yang ditemukan di

situs-situs pedalaman, misalnya kerang Veneridae. Cangkang kerang jenis ini

selain berukuran besar juga tebal dan kuat untuk dijadikan alat serut. Garis-garis

pertumbuhan (growth lines) pada cangkangnya yang berpola oval-konsentris,

memungkinkan untuk menghasilkan pecahan-pecahan tertentu menyerupai

penggaruk. Bagi masyarakat pedalaman, jenis-jenis cangkang kerang laut tertentu

lebih difungsikan sebagai benda seni, perkakas hidup, dan kemungkinan juga alat

tukar. Sebaliknya, sisa-sisa pengkonsumsian kerang laut di gua-gua pesisir tidak

Page 7: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 7

menunjukkan pola tertentu. Semua jenis yang dapat dikonsumsi ditemukan sisa-

sisanya di gua-gua pesisir (Yuwono, 2008).

Salah satu tapak purba paling menarik di bagian tengah Gunungsewu,

yang menjadi koridor bagi para pemukim awal untuk bergerak keluar dari

Pacitan, dan menjamin relasi antara kelompok pedalaman dan pesisir,

adalah lembah kering yang dikenal sebagai Lembah Bengawan Solo

Purba.

Lembah kering ini diyakini sebagai bekas alur Bengawan Solo ketika

alirannya masih ke selatan dan bermuara di Teluk Sadeng, Samudera Hindia.

Bagian hulunya berada di tinggian-tinggian pegunungan di wilayah Giriwoyo,

Wonogiri, sama dengan hulu Bengawan Solo sekarang. Lembah Bengawan Solo

Purba sepanjang 31 km ini dibentuk oleh tiga segmen, yaitu: (1) Segmen

Giribelah sebagai segmen hulu, terletak di antara Giriwoyo dan Giribelah,

sepanjang 10,4 km; (2) Segmen Giritontro, terletak di tengah, mulai Giribelah

hingga Desa Melikan, sepanjang 12,5 km; dan (3) Segmen Sadeng sebagai

segmen hilir, terletak di antara Desa Melikan dan Teluk Sadeng, sepanjang 8 km

(Yuwono, 2008).

Sebagian Segmen Giribelah mulai Desa Bayemharjo ke bawah

memberikan akses untuk menembus wilayah pedalaman karst dari Pacitan ke

Wonogiri. Jalur alternatif lain dari Baksoka ke barat adalah melewati lembah-

lembah terdekat dengan pantai yang sebagian terhubung pula dengan Segmen

Giritontro dan Segmen Sadeng. Kedua segmen terakhir ini merupakan jalur utama

yang menghubungkan wilayah pedalaman karst Wonogiri di sekitar Ledok

Baturetno dengan pesisir Gunungkidul di sekitar Teluk Sadeng. Percabangan

lembah di utara Segmen Giritontro, di Desa Sumberagung, juga menjamin

tersedianya akses ke pedalaman karst Ponjong yang menjadi wilayah karst paling

utara di Gunungsewu bagian barat (Gunungkidul).

Perkembangan Lembah Bengawan Solo Purba diawali oleh perkembangan

sungai permukaan pada saat Gunungsewu terangkat ke atas muka laut. Seiring

dengan pengangkatan yang terus berlangsung, aliran air mengikis dasar sungai

hingga membentuk lembah yang dalam dan lebar. Proses pengangkatan di bagian

selatan mengakibatkan aliran sungai terhenti beberapa saat. Sebagian air yang

menggenang kemudian menyusup ke dalam lapisan batuan melalui retakan-

Page 8: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 8

retakan dan terkonsentrasi di level airtanah, membentuk lorong-lorong sungai

bawahtanah baru. Sebagian air permukaan lainnya tetap terkonsentrasi di bekas

palung-palung sungai, membentuk telaga-telaga yang masih dapat dijumpai

hingga kini.

Cukup menarik bahwa permukiman di sepanjang Segmen Giritontro dan

Segmen Sadeng semuanya terkonsentrasi di dekat telaga, dan mengambil nama

yang sama dengan nama telaga. Permukiman-permukiman dimaksud adalah

Dusun Wotawati, Dusun Ngaluran, Dusun Mendak, Dusun Bakagung, Dusun

Tileng, dan Dusun Bakalan. Dusun-dusun sekitar telaga seperti itu sangat

mungkin merupakan dusun-dusun tua, sebelum permukiman semakin berkembang

ke masa selanjutnya. Di sepanjang Segmen Giribelah (segmen paling hulu), telaga

jarang dijumpai karena gradien lembahnya lebih tinggi dibanding kedua segmen

di bawahnya.

Dari masyarakat pemburu menuju masyarakat agraris

Potensi arkeologis Gunungsewu berada pada perpaduan unsur-unsur

bentanglahan seperti perbukitan karst, danau-danau purba di bagian utara (Ledok

Wonosari dan Ledok Baturetno), teluk-teluk di sepanjang pesisir selatan, telaga-

telaga dolin, dan jaringan lembah kering. Di antara unsur-unsur bentanglahan

tersebut, gua-gua horisontal dan ceruk-ceruk dangkal menyediakan ruang hunian

bagi komunitas pemukim awal Holosen selama 8.000 hingga 10.000 tahun.

Sementara pendahulu mereka di Pacitan sebagian masih mengokupasi wilayah

terbuka sepanjang Baksoka hingga ke Jaman Batu Baru (Neolitik). Ini dibuktikan

melalui temuan lokasi-lokasi perbengkelan alat-alat Neolitik yang mengandung

unsur-unsur beliung batu yang sudah diasah halus.

Sekilas tampak bahwa perkembangan budaya Prasejarah di Gunungsewu

bagian timur (Pacitan) relatif konstan. Budaya batu tetap dipertahankan secara

mantap hingga akhir Prasejarah. Perkembangannya hanya bersifat gradual, tanpa

menunjukkan loncatan budaya yang berarti. Sementara di Gunungsewu bagian

barat (Gunungkidul), budaya batu tidak lagi berkembang. Subsistensi perburuan

dan pengumpulan makanan lebih ditopang oleh perkembangan teknologi non-

batu, yaitu tulang hewan, tanduk rusa, dan cangkang kerang.

Page 9: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 9

Lingkungan pesisir di selatan dan lingkungan danau purba di pedalaman

utara Gunungsewu juga menghasilkan varian budaya gua yang berbeda – yang

satu mengembangkan “Budaya Gua Pesisiran”, yang lain mengembangkan

“Budaya Gua Perairan Darat”. Namun interaksi tetap terjalin dengan

memanfaatkan koridor-koridor lembah kering di bagian barat (wilayah

Tanjungsari dan Tepus) (Yuwono, 2009), yang menghubungkan wilayah teluk

dengan wilayah bibir danau purba Wonosari.

Kasus di Wonogiri pun tidak jauh berbeda. “Budaya Gua Perairan Darat”

yang terwakili oleh kompleks gua di sekitar Museum Karst Wonogiri (yaitu Gua

Tembus, Gua Mrico, Gua Potro/Bunder, Gua Gilap, dan Gua Tabuhan), ditopang

oleh keberadaan danau purba Baturetno, yang tetap terhubung dengan wilayah

pesisir melalui Lembah Giritontro dan Lembah Sadeng, bagian dari Lembah

Bengawan Solo Purba.

Mengeringnya danau purba Wonosari ketika hunian gua sudah lama

berlangsung, adalah kunci bagi perkembangan budaya di Gunungsewu bagian

barat. Di dataran aluvial bekas danau inilah masyarakat bermukim di

perkampungan dengan struktur sosial yang lebih kompleks. Dinamika budaya pun

semakin tampak pada perkembangan aspek religi dengan dibangunnya monumen-

monumen batu besar (Megalitik). Tradisi penguburan dengan wadah peti kubur

batu mulai dikenal. Benda-benda perhiasan dan ragam bekal kubur lainnya yang

ditemukan di dalam konteks kubur membuktikan bahwa teknologi logam,

gerabah, dan manik-manik berbagai bahan sudah dikuasai. Hewan piaraan,

khususnya sapi atau kerbau sudah menempati posisi penting dalam sistem budaya

masyarakat agraris di daerah ini sejak akhir Prasejarah. SELAMAT DATANG

MASYARAKAT AGRARIS DI GUNUNGKIDUL.

Berbagi Air dengan Ternak:

Sepasang kakek-nenek Suwito (bukan nama sebenarnya) yang

ditemui di sebuah tegalan di Desa Kenteng, Ponjong,

Gunungkidul, saat Ekspedisi Geografi ini berlangsung,

mengisahkan kesuksesan ketiga anak mereka. Semuanya sudah

berkeluarga, sudah mempunyai pekerjaan tetap di Jakarta,

Solo, dan Gunungkidul. Kini mereka tinggal berdua di rumah,

jauh dari anak-anak. Meski setiap bulan mendapat kiriman

Page 10: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 10

uang dari ketiga anaknya, namun rutinitas musim kemarau,

membuat gaplek, tetap mereka lakukan.

Sambil mengupas dan membelah ketela di tegalan sore itu,

Mbah Wito bercerita. ”Kulo mboten nyuwun werni-werni

sangking lare-lare. Kulo namung nyuwun ditumbaske sapi

setunggal mawon. Kangge konco wonten nggriyo“ (Saya tidak

minta apapun dari anak-anak. Saya hanya minta dibelikan sapi

satu saja. Untuk teman di rumah).

Sepasang kakek-nenek ini adalah prototipe orang Gunungsewu

asli, yang menganggap ternak, khususnya sapi, sebagai bagian

dari keluarga. Sapi harus selalu hadir di dalam kehidupan

mereka setiap saat. Meski itu berarti mereka harus rela

berbagi air dengannya saat kemarau tiba, saat air menjadi

barang paling langka dan paling mahal dalam daftar

belanjaan mereka.

Sejak Danau Purba Wonosari mengering, dan komunitas

manusia gua turun ke dataran aluvial bekas danau yang subur

itu, kehidupan agraris mulai dikembangkan. Perkakas

pertanian dari besi mulai dibuat, menggeser peran perkakas

tulang dan batu. Di Ledok Wonosari inilah rumah-rumah

sederhana sudah dibangun di perkampungan-perkampungan,

menggeser tradisi hunian gua yang sudah berlangsung

puluhan ribu tahun. Jejak-jejak perkampungan awal

barangkali masih dapat dilacak di lokasi-lokasi keramat

seperti resan (petilasan), bekas-bekas sendhang (mataair),

kompleks-kompleks kubur batu Megalitik, dan situs-situs candi

yang tersebar di lima wilayah kecamatan di Ledok Wonosari.

Hingga kini, beberapa lokasi tersebut tetap dimuliakan saat

ritual Rasulan berlangsung.

Pada tahap peradaban inilah, relasi fungsional - emosional

antara manusia dengan ternak (sapi) mulai menguat. Temuan

konsentrasi gigi sapi sebagai bekal kubur di salah satu peti

kubur batu Megalitik Gunungbang, Karangmojo, membuktikan

hal itu (Tim PTKA UGM, 1999). Sapi dipercaya sebagai

penyerta perjalanan arwah ke alam baka.......

Hingga sekarang, masyarakat karstik Gunungkidul masih

menempatkan ternak pada posisi yang sangat vital dalam

kehidupannya. Tercatat sejumlah ritual di banyak desa di

Gunungkidul yang khusus diperuntukkan bagi hewan ternak

dan alat-alat pertanian. Ritual GUMBREGAN misalnya

(berasal dari kata “Gumbreg”, salah satu nama wuku dari 30

wuku yang ada dalam satu tahun kalender Jawa), adalah ritual

adat yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya, di samping

sejumlah ritual lainnya, di antaranya Rasulan, Bersih Dusun,

Bersih Sumber, dan Ruwatan.

Page 11: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 11

Jika hari Gumbregan tiba, Sapi, kerbau, kambing, milik warga

dikumpulkan di tanah lapang, diberi penghormatan dengan

serangkaian doa, kemudian disusul pesta pora warga

menyantap sesajian berupa tumpeng, ingkung, dan sejumlah

makanan umbi-umbian hasil kebun. Ritual yang biasanya

diselenggarakan sore hari menjelang maghrib ini, adalah

bentuk permohonan kepada Nabi Sulaiman agar beliau

memberkahi ternak-ternak mereka. Sekaligus sebagai

ungkapan terima kasih kepada ternak dan peralatan pertanian

yang sudah membantu para petani dalam mengolah lahan

pertanian (PTKA UGM, 2002 & Puji Lestari, 2010).

Dusun-dusun yang tidak melaksanakan ritual Gumbregan,

tetap saja memberi porsi bagi ternak untuk ikut menikmati

berkah perhelatan adat. Di Gunungbang,

Karangmojo,misalnya, seusai ritual Bersih Sumber di

Sendhang Sejati (salah satu mataair di dusun tersebut),

rombongan kesenian berkeliling ke rumah-rumah warga

hingga malam hari. Tujuannya adalah untuk memberkahi

ternak dan sumur masing-masing warga.

................. Dan seperti yang terkesan dari penuturan kakek-

nenek Suwito sore itu, ikatan emosional mereka dengan ternak

tetap kuat hingga sekarang, meski mereka harus rela berbagi,

khususnya berbagi air yang semakin langka didapat.

Page 12: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 12

Ilustrasi Foto:

Gua Lawa, Ponjong, Gunungkidul

Situs gua terbesar di Gunungkidul yang tidak terelakkan dari

kerusakan akibat penambangan guano-fosfat. Lebih dari 20

m ketebalan sedimen gua berikut kandungan arkeologisnya

lenyap. Sebuah kerugian besar yang TIDAK kita harapkan

terjadi di gua-gua lainnya (jse yuwono 2011).

Gua Lawa, Ponjong, Gunungkidul

Bagi simbah ini Gua Lawa adalah berkah, meskipun harus

mengangkat berkarung-karung guano-fosfat setiap harinya,

untuk memperoleh 80 ribu rupiah/hari. Itupun harus dibagi

bertiga atau berempat. Tetapi itulah kenyataan hidup

saudara-saudara kita di Gunungkidul (jse yuwono 2011).

Page 13: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 13

Tlogo Beton, Ponjong, Gunungkidul

Ketika citra kekeringan di Gunungkidul kian menguat,

sebagian wilayah Ponjong membuktikan lain. Kekeringan

yang sudah memasuki pertengahan musimnya tidak terasa di

sini. Air ada di mana-mana. Sumber air ini pulalah yang

pernah dimanfaatkan para penghuni Gua Lawa yang hanya

berjarak 250-an meter ke arah tenggara untuk menjalani

kehidupannya sebagai para pemburu, meninggalkan jejak-

jejak kehidupannya di dalam ketebalan tanah Gua Lawa.

Sangat disayangkan, aktivitas penambangan telah

melenyapkannya (jse yuwono 2011).

Ekskavasi Song Blendrong, Ponjong, Gunungkidul

Situasi ekskavasi Song Blendrong, salah satu situs gua

hunian Prasejarah di wilayah pedalaman karst Gunungsewu.

Gambar inzet menunjukkan beberapa perkakas tulang

berbentuk lancipan yang pernah dimanfaatkan para penghuni

gua untuk menangani hasil buruan (Dok. PTKA UGM).

Hewan tidak hanya mengontrol pola diet komunitas manusia

Prasejarah di kawasan karst, tetapi sekaligus menyediakan

bahan bagi pembuatan artefak perburuan dan subsistensi

lainnya. Sejak kapan teknologi tulang ini menggeser budaya

Page 14: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 14

litik Pacitanian di bagian timur Gunungsewu (situs-situs

terbuka sepanjang Kali Baksoka)? Jawabannya terletak pada

pola pergeseran hunian (migrasi lokal) dari kawasan timur

Gunungsewu ke barat – dari bentangalam terbuka memasuki

zona inti karst dengan gua-guanya - yang miskin bebatuan

selain kalsit dan karbonat, tetapi kaya akan fauna besar.

Dimensi waktu yang sering dijadikan patokan

berlangsungnya proses budaya ini adalah kala Holosen

(sekitar 10.000 tahun lalu), ketika proses karstifikasi di

Gunungsewu, khususnya wilayah pedalaman, sudah

menjelang stadia dewasa dengan gua-gua kering yang siap

dihuni.

Artefak Perburuan

Tanduk rusa pun dimanfaatkan sebagai sarana adaptasi

terhadap lingkungan karst sekitar gua. Ciri-ciri pengerjaan

tampak jelas di bagian ujung, berupa bekas penggosokan

untuk memperoleh tajaman tertentu (Gambar Kiri); Jenis

senjata lain yang mereka buat adalah mata panah berbahan

batu (Gambar Kanan). Meskipun artefak batu sudah menjadi

unsur minor di gua-gua arkeologis Gunungsewu bagian barat

(Gunungkidul), namun kehadirannya ikut memperkuat

dugaan bahwa subsistensi para penghuni gua di Gunungsewu

adalah sebagai pemburu binatang, memanfaatkan

sumberdaya fauna yang melimpah di sekitar gua hunian

(Dok. PTKA UGM).

Page 15: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 15

Penghuni Situs Song Bentar, Ponjong, Gunungkidul

Fragmen tengkorak (kiri) dan sepasang rahang (kanan), hasil

ekskavasi tim PTKA UGM di Song Bentar, Ponjong, tahun

2002 (Dok. PTKA UGM).

Hasil analisis menunjukkan bagian tengkorak ini berasal dari

individu perempuan | umur 30-40 tahun | spesies: Homo

sapiens, tetapi masih memiliki ciri-ciri primirif (archaic) |

ras Mongolid tetapi masih terdapat unsur Australomelanesid

| tinggi badan sekitar 155 cm | pertanggalan relatif: 12.000 –

8.000 tahun lalu

(Analisis: dr. S. Boedhisampoerna – Bioantropologi dan

Paleoantropologi UGM).

Penutup

Proses penghunian awal Gunungsewu dari Wilayah Baksoka di Pacitan

hingga Ledok Wonosari di Gunungkidul, tidak terlepas dari dinamika karstifikasi

dan perubahan iklim global yang pernah berlangsung selama Pleistosen hingga

Holosen. Dalam skenario penghunian tersebut, maraknya pemanfaatan gua

menempati episode peralihan yang panjang. Secara keilmuan, fenomena ini

mampu menyanggah teori Prasejarah yang selama ini dianut. Apa yang hingga

kini diyakini bahwa masyarakat pemburu hidup berpinda-pindah, sama sekali

tidak terbukti di Gunungsewu. Durasi hunian gua selama ribuan tahun tanpa jeda

membuktikan bahwa mereka sudah hidup menetap di lingkungan karst yang tidak

pernah kehabisan sumber pangan.

Sebagai tapak penting untuk merunut proses penghunian Gunungsewu,

situs-situs gua mendesak untuk dilindungi. Tingkat preservasi situs-situs gua

sebenarnya mampu menampilkan gambaran proses deposisi data secara utuh

selama penghunian gua berlangsung. Tersaji dalam kronosekuen endapan gua dari

bawah ke atas -- dari tua ke muda. Beberapa gua bahkan menyimpan lapisan

budaya (deposit arkeologis) hingga puluhan meter tebalnya, dengan durasi hunian

Page 16: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 16

mencapai ribuan tahun. Namun kenyataannya, banyak gua yang rusak akibat

penambangan.

Di penghujung akhir Prasejarah, lingkungan danau yang sudah mengering

di wilayah Wonosari menjamin berkembangnya budaya agraris. Modal sosial bagi

perkembangan peradaban selanjutnya terbentuk di wilayah ledok ini.

Ditemukannya situs-situs candi di Wonosari, Playen, Semanu, Ponjong, dan

Karangmojo, memposisikan Ledok Wonosari sebagai tempat berlangsungnya

sintesis budaya Gunungkidul. Banyak tradisi yang berakar pada sinkretisme antara

konsep Megalitik, Hindu, dan Islam, tetap dipertahankan hingga sekarang sebagai

budaya KARSTIK Gunungkidul yang khas.

Eksistensi tradisi seperti itu dapat menjadi modal untuk merunut sejarah

lokal Gunungkidul khususnya dan Gunungsewu umumnya. Apalagi sejumlah

toponimi yang merekam kemurahan lingkungan masa lalu, sejarah perdusunan,

tokoh-tokoh legenda, dan kejadian-kejadian bermakna historis lainnya masih

banyak dijumpai. Pelacakan mendalam semua tradisi dan toponimi di masa

mendatang memiliki prospek untuk membangkitkan kembali semangat kearifan

lingkungan, dan membantu napak tilas penghunian Gunungsewu, di samping

upaya arkeologis yang sudah dilakukan selama ini.

Page 17: NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWUgeoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf · budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak ... Dari pemahaman karstifikasi,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

napak tilas penghunian awal gunungsewu 17

Daftar Rujukan

Bergh, G. D. van den, J. de Vos, P. Y. Sondaar, F. Aziz, 1996, “Pleistocene

Zoogeographic Evolution of Java (Indonesia) and Glacio-Eustatic Sea

Level Fluctuations: A Background for the Presence of Homo”, IPPA

Bulletin 14, Chiang Mai Pappers, vol.1, p.7-21.

Forestier, H., 2007, Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek

Gunungsewu, Jawa Timur, terj. G. Sirait, D. Perret, I. Budipranoto,

Kepustakaan Populer Gramedia, Institut de Recherche pour le

Developpement, Puslitarkenas, dan Forum Jakarta – Paris, Jakarta.

Lehmann, H., 1936, Morphologische Studien auf Java: Geographische

Abhandlungen, Series 3, no. 9, p. 1–114.

Lestari, P., 2010, “Gumbregan”. Seri Pendidikan Pusaka untuk Anak Daerah

Istimewa Yogyakarta, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan

Erfgoed Nederland (EN).

Oppenheimer, S., 1998, Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast

Asia, Phoenix, London.

Pradnyawan, D., H. Priswanto & I.S. Bimas, 2002, Laporan Survei Eksplorasi

Potensi Budaya, Historis, dan Arkeologis Kecamatan Ponjong 2002,

PTKA UGM – The Toyota Foundation, Yogyakarta.

Simanjuntak, T., 2002, Gunungsewu in Prehistoric Times, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Straus, L. G., 1990. “Underground Archaeology: Perspectives on Caves and

Rockshelter”, dalam M.B. Schiffer (ed.). Archaeological Method and

Theory, vol.2, The University of Arizona Press, Tucson, p.255-304.

Vos, J. de, 1983, “The Pongo Faunas from Java and Sumatra and their

Significance for Biostratigraphical and Paleo-ecological Interpretations”,

Paleontology Proceeding B 86 (4), p.417-425.

Yuwono, J. S. E., 2006, “Perspektif Geo-Arkeologi Kawasan Karst: Kasus

Gunungsewu”, dalam I. Maryanto, M. Noerdjito, R. Ubaidillah (ed.),

Manajemen Bioregional: Karst, Masalah dan Pemecahannya, Puslit

Biologi LIPI, hlm. 181-203.

Yuwono, J. S. E., 2008, “Lembah Giribelah – Sadeng di Kawasan Karst

Gunungsewu: Karakter Lansekap dan Kandungan Informasinya”

Proceeding PIA XI, IAAI, Solo, 13-16 Juni 2008, hlm. 698-707.

Yuwono, J. S. E., 2009, “Late Pleistocene to Mid-holocene Coastal and Inland

Interaction in the Gunungsewu Karst, Yogyakarta”, Bulletin of the Indo-

Pacific Prehistory Association (IPPA Bulletin) vol.29 (2009), p. 33-44.

http://ejournal.anu.edu.au/index.php/bippa/

Beberapa hasil penelitian Tim Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA)

Jurusan Arkeologi UGM di Gunungkidul, 1998 – 2002.