Napak Tilas Harta Bersama -...

15
Napak Tilas Harta Bersama Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 1 Jan. 2013 Napak Tilas Hukum Harta Bersama (Kajian Ringan tentang Eksistensi Harta Bersama dalam Hukum Islam Kontemporer) Oleh Erfani el Islamiy PROLOG Ada sebentuk cita rasa hukum Islam kekinian yang hambar. Sajian produk hukum yang kemudian disuguhkan kepada masyarakat, lebih merupakan olahan instan. Penyaji hukum itu agaknya menyuguhkan apa adanya, sebagaimana yang ditemuinya dalam buku sakral warisan leluhur. Seperti ada keogahan menelusuri racikan-racikan apa yang menjadi unsur olahan instan. Atau bisa jadi bukan keogahan, tapi merupakan wujud ketakutan ‘ketiban’ kualat karena menyimpangi buku sakral, lalu menyebabkannya terpojok di batas nusantara meski dijanjikan tunjangan belipat. Harta bersama, terbilang jarang mencuri perhatian akademisi hukum Islam lalu memenjarakannya dalam lembar-lembar ilmiah. Kondisi itu bisa jadi menyebabkan stagnansi berpikir para praktisi terhadap sajian-sajian instan, lalu bersikap sangat praktis dengan hanya membuka lembaran yang telah ada, kemudian secara yakin mencatutnya. Tak penting rasanya mengutak-atik, belum lagi ancaman mengabdi di rimba-rimba minim berpenghuni, sering menunggu pelanggaran sakralitas leluhur. Padahal apapun bangunannya, jika ia adalah bangunan, tentu banyak unsur yang membuatnya tegak, dan unsur itu meniscayakan penghuninya untuk tahu, agar sanggup berbuat saat ada kerusakan terhadap bangunan. Penyelesaian perkara harta bersama, sering kali kehilangan tolok ukur yang memadai, kecuali dasar-dasar normatif-temporer. Mengandalkan rumusan sangat aman ala Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (masing-masing seperdua), lalu menutup mata tentang objektifitas perkara. Bukan sekadar siapa yang memperoleh harta itu, tetapi yang prinsip pula adalah bagaimana bisa sebuah harta itu kemudian disebut harta milik bersama, yang meniscayakan pembagiannya secara seimbang. Atau benarkah perkawinan disepakati menjadi piranti akad selevel bai’ yang diadakan guna mengais hasil ekonomis. Tentu sebait kalimat teramat kurang untuk memberikan jawaban yang utuh. Belum lagi jika ditilik dari tradisi hukum Islam (fikih) yang tidak begitu konsen memberikan kajian tentang pranata harta bersama. Hal ini karena, pada dasarnya mana yang merupakan hak dan mana yang tanggung jawab telah menjadi garis yang jelas dalam hukum Islam, yang tidak meniscayakan munculnya permasalahan harta bersama antara suami dan istri. Harta bersama kemudian mencuat di era

Transcript of Napak Tilas Harta Bersama -...

Page 1: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 1

Jan. 2013

Napak Tilas Hukum Harta Bersama

(Kajian Ringan tentang Eksistensi Harta Bersama dalam Hukum Islam Kontemporer)

Oleh Erfani el Islamiy

PROLOG

Ada sebentuk cita rasa hukum Islam kekinian yang hambar. Sajian produk

hukum yang kemudian disuguhkan kepada masyarakat, lebih merupakan olahan

instan. Penyaji hukum itu agaknya menyuguhkan apa adanya, sebagaimana yang

ditemuinya dalam buku sakral warisan leluhur. Seperti ada keogahan menelusuri

racikan-racikan apa yang menjadi unsur olahan instan. Atau bisa jadi bukan

keogahan, tapi merupakan wujud ketakutan ‘ketiban’ kualat karena menyimpangi

buku sakral, lalu menyebabkannya terpojok di batas nusantara meski dijanjikan

tunjangan belipat.

Harta bersama, terbilang jarang mencuri perhatian akademisi hukum Islam

lalu memenjarakannya dalam lembar-lembar ilmiah. Kondisi itu bisa jadi

menyebabkan stagnansi berpikir para praktisi terhadap sajian-sajian instan, lalu

bersikap sangat praktis dengan hanya membuka lembaran yang telah ada, kemudian

secara yakin mencatutnya. Tak penting rasanya mengutak-atik, belum lagi ancaman

mengabdi di rimba-rimba minim berpenghuni, sering menunggu pelanggaran

sakralitas leluhur. Padahal apapun bangunannya, jika ia adalah bangunan, tentu

banyak unsur yang membuatnya tegak, dan unsur itu meniscayakan penghuninya

untuk tahu, agar sanggup berbuat saat ada kerusakan terhadap bangunan.

Penyelesaian perkara harta bersama, sering kali kehilangan tolok ukur yang

memadai, kecuali dasar-dasar normatif-temporer. Mengandalkan rumusan sangat

aman ala Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (masing-masing

seperdua), lalu menutup mata tentang objektifitas perkara. Bukan sekadar siapa

yang memperoleh harta itu, tetapi yang prinsip pula adalah bagaimana bisa sebuah

harta itu kemudian disebut harta milik bersama, yang meniscayakan pembagiannya

secara seimbang. Atau benarkah perkawinan disepakati menjadi piranti akad selevel

bai’ yang diadakan guna mengais hasil ekonomis.

Tentu sebait kalimat teramat kurang untuk memberikan jawaban yang utuh.

Belum lagi jika ditilik dari tradisi hukum Islam (fikih) yang tidak begitu konsen

memberikan kajian tentang pranata harta bersama. Hal ini karena, pada dasarnya

mana yang merupakan hak dan mana yang tanggung jawab telah menjadi garis yang

jelas dalam hukum Islam, yang tidak meniscayakan munculnya permasalahan harta

bersama antara suami dan istri. Harta bersama kemudian mencuat di era

Page 2: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 2

Jan. 2013

kontemporer ini, sebagai gejala dari telah bergesernya haluan-haluan dasar dalam

hukum Islam yang kebetulan berbungkus peradaban. Bahwa masalah kepemilikan

harta dalam perkawinan harus menjadi perkara, karena karakteristik kehidupan

kaum suami dan kaum istri, harus dikatakan telah terlanjur memiliki bargaining

position sendiri- sendiri.

Seiring desakan terhadap persamaan hak itu diamini dalam paksaan iklim

kehidupan yang bimbang ini, maka lembaga perkawinan pun mau tidak mau

(terkesan/seakan) menjelma menjadi lapak kaki lima, yang digelar guna meraup

keuntungan lalu kemudian dibagi secara seimbang, dan bila rugi yang menghadang

tak segan-segan lapak ditelingkupkan. Sangat jauh meninggalkan apa yang disebut

suci. Bahkan yang naif, istri hanya menganggap suaminya berharga sebab selalu ada

uang, sementara suami menganggap istri berharga hanya pada batas pelayanan

hubungan seksual semata.

Seiring hak dan kewajiban tiap individu yang hidup, dipaksa terselubung

dalam bungkus hasrat dan ego, lalu menipu siapa saja yang memandang, selama itu

pula sesungguhnya keadilan sedang digerogoti oleh kepalsuan.

Adilkah jika keadilan itu dikendalikan oleh satu suara yang dimuliakan di

puncak lembaga? Lalu menghukum pengingkarnya dalam sepi berteman desiran

pantai. Banyak yang tidak disadari dari bagaimana kita menegakkan hukum Islam ini.

Ruh syariat yang kita punggawai, lebih sering mati suri, kehilangan jasadnya yang

asli. Atau sebaliknya raga Syariat, lebih sering dirasuki hantu bernama takut dan ego

sesaat. Membuatnya jauh dari maksud punggawa.

Tulisan ini tidak berangkat dari kajian kasus, tapi lahir dari lamunan asri

berbaur sepoi, dalam sendawa sore, sesaat setelah melepas dahaga, menyantap

hidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan nasi dan segelas air

putih untuk suaminya, sebagai keutuhan rumah tangga. Istri yang katanya bertasbih

bukan melulu dalam hamparan sajadah, tetapi juga berteman bawang dan garam,

lalu ditahlilkan dalam wajan bertikar api.

Pada penutup prolog ini, harus dikatakan, bahwa tulisan ini tak sebagus judul

yang mengepalainya. Banyak kesan fiksi yang menjiwai prolog, tapi sesungguhnya

ada nyata dan fakta yang ingin diutarakan. Apapun itu, tekad menghadirkan bacaan

yang nyaman dan lugas, adalah motifasi awal, yang dibalut dengan sentuhan

idealisme secara wajar, mengirim objektifitas yang santun agar sampai di benak para

pembaca.

Page 3: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 3

Jan. 2013

PEMBAHASAN

A. Harta Bersama dalam Hukum Islam

1. Fase Klasik

Jalinan suci pernikahan (dalam istilah kekerabatan disebut mushaharah)

memiliki posisi yang strategis sekaligus menentukan banyak dampak hukum

keluarga. Ia bukan sekadar instrumen resmi dan suci penghalalan yang

haram, namun lembaga besar yang darinya dibangun banyak implikasi

hukum keluarga. Implikasi itu antara lain:

a. Munculnya kewajiban nafkah oleh suami kepada istri

b. Munculnya kewajiban nafkah suami kepada istri dan anak-anak

c. Dasar dari lembaga talak

d. Salah satu sebab keberhakan dalam waris

e. Lahirnya hubungan nasab

f. dll.

Pada prinsipnya, pernikahan dicanangkan bukan sebagai piranti ekonomi

bahwa rumah tangga didominasi oleh kegiatan berkaitan dengan atau

menghasilkan sesuatu yang bernilai harta benda, melainkan terbentuknya

rumah tangga dalam balutan energi-energi positif psikologis, berupa

ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Bahwa

kemudian suami berkewajiban menghidupi (memenuhi kebutuhan pangan

sandang dan papan bagi istri dan anak), bukan merupakan muatan utama,

namun merupakan konsekuensi logis yang harus dilakukan oleh kaum suami.

Sehingga harta yang diperoleh selama perkawinan bersifat assesoir guna

membangun kebahagiaan rumah tangga, bukan sebaliknya membangun

rumah tangga untuk meraup harta benda sebanyak-banyaknya.

Hal ini karena memang salah satu indikasi dari adanya ketenangan dan

kenyamanan dalam rumah tangga adalah adanya penopang kehidupan

secara wajar yang tercakup dalam nafkah itu. Sehingga tidak adanya nafkah

atau suami yang tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah, kemudian dapat

menjadi alasan bahwa rumah tangga dan pernikahan itu dapat diakhiri

(kecuali kalangan Hanafiyah). Dalam situasi yang sedemikian itulah, apalagi

dalam kuantitas kasus yang banyak di tengah-tengah kehidupan rumah

Page 4: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 4

Jan. 2013

tangga manapun, maka pernikahan dan rumah tangga cenderung dirasakan

sebagai wahana ekonomis, sementara cinta dan kasih sayang hanya sebagai

assesoir. Sehingga semakin ke sini, cita rasa perkawinan didominasi oleh

tuntutan-tuntutan hak ekonomis, lalu runtuhnya rumah tangga kemudian

berujung pada sengketa ekonomi.

Dalam gambaran klasik masyarakat muslim (klasik tidak berarti tidak laik

guna), sebagaimana yang dapat diraba dalam piranti hukumnya dalam fikih-

fikih tradisional, akan memunculkan gambaran bahwa seorang perempuan

yang dinikahi itu hanya perlu berbekal diri apa adanya. Ia tidak perlu

khawatir tentang bagaimana menjalani kehidupan terkait pemenuhan

kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal, karena saat ia dinikahi

seorang pria, maka kehidupan perempuan itu seutuhnya berada dalam

naungan tanggung jawab (ihtibas/dzimmah) pria yang menjadi suaminya itu.

Sehingga istri pada dasarnya menjadi raja dalam rumah tangga, bahwa ia

berhak menuntut hak-haknya sejauh dalam lingkup nafkah sebagai

kewajiban suaminya. Suami harus memastikan bahwa setiap hari ada

makanan untuk istrinya. Sebagaimana istri harus memastikan seluruh

sikapnya berada dalam naungan ketaatan yang utuh untuk suaminya.

Sehingga dengan demikian, kalaupun dalam perkawinan itu, istri lalu

mendapatkan harta benda, jalurnya hanyalah melalui nafkah. Setidak-

tidaknya, selama pernikahan hak-hak itu dapat ia kumpulkan. Kecuali tempat

tinggal yang memang berlakunya selama menjadi istri saja. Kalaupun

diperpanjang, hanya dalam situasi istri ditalak dalam keadaan hamil, sampai

kemudian ia melahirkan. Maka pemilahan terhadap harta benda dalam

perkawinan sesungguhnya telah teramat jelas. Bahwa selama pernikahan,

yang punya harta itu suami. Dan istri dapat memiliki harta lewat jalur nafkah,

mahar, pemberian suaminya/hibah, dll. Apalagi, dalam konteks klasik ini,

beban tanggung jawab nafkah (mas’ul) itu ada di pundak suami, dan istri

hanya bersifat menerima dan kehidupannya terjamin (makful) oleh

suaminya. Istri tak perlu ikut campur tentang hal itu. Dalam situasi

keterjaminan itu tidak ada, istri dapat menggunakan haknya meminta fasakh

(putusnya perkawinan oleh hakim).

Hanya saja, posibilitas harta bersama menjadi perkara dalam perkawinan,

dalam pandangan klasik ini dapat terjadi dalam kondisi istri dinikahi dalam

keadaan mapan secara ekonomi. Memiliki harta benda, lalu selama

perkawinan terjadi percampuran harta dengan suaminya (ikhtilathu

malizzaujaini). Sehingga bukan harta yang muncul dalam kapasitasnya

sebagai istri, tetapi harta yang muncul dalam kapasitas istri sebagai pribadi.

Tidak akan ada kajian yang memadai menuangkan harta bersama sebagai

Page 5: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 5

Jan. 2013

semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam situasi terjadi

percampuran harta antara suami dan istri, maka teknis penyelesaiannya jika

harta berada di kedua belah pihak lalu tidak diketahui siapa yang paling

banyak memiliki harta itu, dapat dilakukan dengan sumpah, lalu dibagi

maisng-masing separoh.

Sehingga pada prisnsipnya, tidak ada percampuran harta dalam perkawinan.

Kalaupun istri boleh bertindak terhadap harta suaminya tanpa

sepengetahuan suaminya, itu atas dasar haknya yang diabaikan suami, lalu

dibolehkan mengambil sewajarnya meskipun tanpa sepengetahuan suami.

Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Hindun dan Abu Sufyan. Kala itu

Hindun mengadu ke Rasulullah saw, bahwa Abu Sufyan amat pelit sehingga

tidak memberikan nafkah yang mencukupi kebutuhannya dan anaknya, lalu

Rasul mengizinkannya mengambil harta suaminya secara diam-diam dalam

ukuran yang ma’ruf/wajar.(lihat hadis dari Aisyah ra, diriwayatkan oleh

Jamaah kecuali Turmudzi, Nailul Author, Jilid 7 hal. 80)

Riwayat itu pun pada dasarnya, menegaskan bahwa dalam perkawinan,

harta yang diperoleh suami adalah merupakan hartanya secara sepihak, dan

tidak lantas menjadi harta bersama. Hak-hak istri yang pasti dari harta suami

itu, adalah apa yang menjadi nafkah untuknya (termasuk mahar, hibah dari

suami, mut’ah, dll.).

Kendati demikian, standarisasi nafkah untuk istri itu tentu bukan melulu

batas minimal saja. Melainkan keluasan suami. Sehingga pada dasarnya,

dalam keluarga yang harmonis, tidak akan ada ketimpangan dalam hal

harta/penggunaan harta benda antara suami dan istri, meskipun sejatinya

harta itu milik suami. Pesan ini dapat dicermati dari Al Quran Surah al Thalaq

Ayat ( 7):

Ayat ini menjadi salah satu dasar kewajiban nafkah atas suami untuk istrinya.

Seberapa besar seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya,

dilakukan dengan tolok ukur sa’ah, keluasan dan keluasaan yang ada pada

suami itu dalam ukuran yang seimbang. Namun jika dalam situasi sempit,

kewajiban nafkah tentu tidak seukuran dengan saat mana suami itu leluasa.

Ia cukup menafkahkan seukuran dengan apa yang Allah anugerahkan, karena

sesungguhnya tanggungjawabnya hanyalah sebesar apa yang Allah

Page 6: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 6

Jan. 2013

karuniakan itu. Jika baik suami atau istri secara harmonis menyelami,

melewati masa sempit itu secara sempurna, maka kesempurnaan

kemudahan lah yang menjadi pamungkasnya.

Prinsip keseimbangan dalam hal harta dalam perkawinan (seimbang dalam

arti harta yang digunakan suami sebagai miliknya dan harta yang

digunakannya dalam hal menafkahi istrinya), telah menjadi pesan penting

dalam ajaran agama Islam. Sebuah prinsip yang menyokong terbentuknya

romantisme rumah tangga yang harmonis. Meletakkan tanggung jawab

setara dengan hak. Di saat yang sama memberikan pesan pula tentang

pentingnya bersabar mengarungi kesulitan kehidupan rumah tangga, karena

kesulitan yang utuh, merupakan kemudahan yang sempurna.

Tidak saja dalam hal jalinan pernikahan itu masih utuh, saat-saat sudah retak

sekalipun, dan istri dalam masa ‘iddah, kewajiban nafkah dalam konteks

yang seimbang pun tetap menjadi pesan dalam agama, termasuk tempat

tinggal untuk istri tersebut demikian pula nafkah lainnya secara relatif. (lihat

QS. AL Thalaq: (4-6)).

Hal senada juga dipesankan Rasulullah saw. Dalam banyak riwayat, pesan

keseimbangan penggunaan harta benda dalam perkawinan yang diperoleh

suami, antara menggunakan untuk dirinya dan untuk menafkahi istrinya,

terlihat sangat jelas. Sebagaimana yang tergambar dalam hadis riwayat Abu

Dawud dalam Sunannya berikut ini:

تع م ام ع تع ملن م ع اع - ا لم عل هلل صلى - الل و ع م اع ع تع ن م ع اع ان م ع ن و ى م ع او ع ع ن ع

اع ع ع ن و م وم ل اع ع ع ن عسم ع و ل اع نسم وم ل ع ن ملم ع و ل ع ن و م وم ل » ع اع نوسع ئونع وى

«. تم ع ى م وم ل

Artinya: “Muawiyah Al Qusyairiy berkata, aku pernah datang ke hadapan

Rasulullah saw, lalu aku bertanya, “Apa yang engkau pesankan kepada kami

tentang istri-istri kami? Rasulullah menjawab, “Beri mereka makan dari

apa/sebagaimana yang kalian makan, beri mereka pakaian dari

apa/sebagaimana kalian berpakaian, jangan kalian memukul mereka,

jangan pula menjelekkan””

Hadis ini begitu indah menghargai martabat kaum istri. Hak-hak mereka

seimbang dengan kaum suami, dan kaum suami tidak dibenarkan bersikap

kasar kepada mereka baik fisik maupun mental.

Prinsip keseimbangan dalam rumah tangga/pernikahan sedemikian ini, telah

menepis kesimpang-siuran tentang hak-hak terkait harta dalam perkawinan.

Page 7: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 7

Jan. 2013

Di saat yang sama, konteks klasik hukum Islam, dengan berbagai regulasinya,

sesungguhnya tidak mengenalkan, atau secara tidak langsung telah

mengeliminir adanya lembaga harta bersama dalam perkawinan. Hal ini

dapat dilakukan, karena sedari awal Islam telah mengenalkan prinsip

keseimbangan dalam harta dalam perkawinan dalam balutan hak dan

tanggung jawab yang luhur.

2. Fase Modern

Dalam perjalanannya, kehidupan rumah tangga dan perkawinan itu, tak

dapat dipungkiri, mengalami banyak pergeseran nilai. Pergeseran yang

merupakan bagian dari keniscayaan putaran roda kehidupan. Atas nama

peradaban, terkadang pergeseran itu secara sadar diterima. Perkawinan itu

sendiri, yang sejatinya landasan pacu rumah tangga dan hukum-hukum

keluarga yang dibangunnya, hampir kehilangan sakralitasnya sebagai

mitsaqan ghalizan. Pengabaian sekelompok besar masyarakat muslim

terhadap ketentuan pencatatan nikah, menjadi salah satu indikasi

tergerusnya nilai luhur pernikahan. Belum lagi, perkawinan-perkawinan yang

hanya diperankan sebagai solusi sosial atas runyamnya pergaulan muda-

mudi, kemudian berakhir teramat singkat di meja hijau, menjadi kabar bahwa

keberkahan perkawinan telah jauh meninggalkan pelaksananya.

Paragraf tersebut ingin mengatakan bahwa, harmonisasi rumah tangga, telah

bermula dari bagaimana perkawinan itu dibangun. Motifasi, kesiapan mental,

kecukupan biaya, dll. Kendati demikian, tidak semua kesulitan dalam

membina rumah tangga itu merupakan indikasi hilangnya keberkahan.

Karena bangunan rumah tangga seolah menjadi satu kesatuan paket antara

ujian dan kebahagiaan. Banyak masalah rumah tangga muncul sebagai siasat

Tuhan menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga. Hanya saja, sikap

suami atau istri dalam menghadapi permasalahan itu, teramat sangat

bervariasi. Hal itu lah yang lambat-laun tanpa disadari, memberi citra

tertentu terhadap lembaga perkawinan.

Utamanya mengahadapi problem ekonomi. Kehidupan rumah tangga

modern saat ini, menayangkan fakta bahwa suami istri bekerja sebagai hal

biasa. Baik suami maupun istri, lalu memiliki peran dan partisipasi dalam

perolehan harta dalam perkawinan. Hubungan suami menafkahi istri sudah

usang dikampanyekan dalam rumah tangga. Era persamaan gender kemudian

mengamini situasi itu. Istri-istri karier menjamur, seiring tuntutan kehidupan

semakin besar, dan upaya memperolehnya semakin sulit.

Page 8: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 8

Jan. 2013

Kenyataan itu kemudian dijadikan tolok ukur, bahwa harus ada ketentuan

bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama,

yang masing-masing berhak atas seporohnya.

Undang-Undang Perkawinan yang lahir di tahun 1974, sangat terasa

mengandung pesan-pesan tertentu tentang persamaan hak kaum

perempuan. Lahirnya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, merupakan

puncak kulminasi dari tarik ulur kepentingan antara gerakan kaum

perempuan yang telah ada di era kemerdekaan dan idealisme umat Islam

yang diwakili Fraksi/Partai PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Lebih dari

tiga dasawarsa konflik positivisasi perkawinan terkatung-katung.

Penyebabnya bermuara seputar pasal-pasal mengenai hak-hak perempuan,

persamaan gender, termasuk di dalamnya poligami.

Dalam Pasal-Pasal 35 s.d. 37 Undang-Undang Perkawinan, ketentuan tentang

harta bersama diatur sedemikian rupa. Sebagaimana Bab XIII Pasal-Pasal 85

s.d. 97 Kompilasi Hukum Islam. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat

disampaikan beberapa poin:

- Yang disebut harta bersama adalah harta yang diperoleh terbatas hanya

selama perkawinan dalam konteks membangun rumah tangga, bukan

yang merupakan pemberian yang sifatnya pribadi (waris, hibah, hadiah

pribadi, dll), tidak peduli siapa yang memperolehnya.

- Dalam hal cerai hidup atau mati, harta bersama dibagi masing-masing

separoh.

- Besaran dan/atau keberadaan harta bersama dalam perkawinan bersifat

relatif, karena dapat ditentukan secara khusus dalam perjajian

perkawinan.

- Perkawinan tidak menjadi sebab bercampurnya harta suami-istri, namun

dapat bercampur atas dasar perjanjian perkawinan.

- Penyelesaian sengketa harta bersama dilakukan menurut ketentuan

hukum yang bersangkutan, baik agama, adat, dll.

Ada setidaknya dua hal yang cukup signifikan. 1) pengertian harta bersama,

2) penyelesaian sengketa harta bersama menurut hukumnya (Islam).

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, lembaga harta bersama itu

sendiri tidak merupakan tema sentral yang pernah dikenal dalam tradisi

hukum Islam. Maka baik pengertian maupun cara penyelesaiannya, harus

dibangun secara tersendiri dan terkini.

Pengertian harta bersama sedemikian itu, kemudian menempatkan peristiwa

perkawinan sebagai sebab munculnya harta bersama secara imperatif, atau

menjadi sebab dinyatakannya sebuah harta sebagai harta bersama.

Page 9: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 9

Jan. 2013

Pengertian ini dengan demikian sangat memihak kepada istri, atau enaknya

melindungi istri baik selama perkawinan maupun pasca perkawinan. Tetapi di

sisi lain, kalangan istri karier tentu merinci, bahwa yang disebut harta yang

diperoleh selama perkawinan itu adalah harta yang diperoleh suami untuk

keluarga, karena suami menanggung beban nafkah. Adapun istri yang

berkerja, maka hasil kerjanya menjadi miliknya secara pribadi, dan bukan

harta bersama karena istri tidak dibebankan menafkahi kekuarga, untung-

untung dia ikut bekerja. (tentang hal ini dapat dibaca dalam

http://www.badilag.net/artikel/9211-implikasi-nafkah-dalam-konstruksi-

hukum-keluarga-oleh-erfani-shi-1312.html).

Dalam kapasitasnya sebagai bagian dari kompetensi absolut pengadilan

agama, tentu mau tidak mau hukum Islam harus diracik sedemikian rupa lalu

menghasilkan aturan hukum paten yang dekat dengan nilai keadilan. Tentang

hal ini dicoba untuk diurai dalam sub berikutnya.

B. Tolok Ukur Keberhakan Istri dalam Harta Bersama

Untuk mempersingkat basa-basi menuju uraian ini, akan disampaikan 3 sudut

pandang yang melandasi adanya keberkahan istri dalam harta bersama, sebagai

berikut:

1. Dasar Ilahiyah Filosofis-Transcendental

Tuhan menciptakan manusia itu dalam kesatuan paket kehidupan. Manusia

tidak lahir tanpa bekal. Karena Allah swt telah memberikan garis ukuran

(baca taqdir: ukuran bagian kehidupan yang manusia dikuasakan untuk

memperolehnya), beriringan dengan kelahirannya di muka bumi. Hanya saja

semua bersifat misteri agar ia senantiasa mencari, dan berjuang mengisi

kehidupan guna memperoleh arti yang berharga. Sebagaimana ia terlahir

dalam keadaan tidak tahu apapun, kemudian diperintah untuk belajar,

membaca, tadabbur, agar lambat laun ketidaktahuannya berkurang,

meskipun ia tak tahu seberapa banyak pengetahuan yang telah disediakan

untuknya.

Dalam hal memenuhi kebutuhan hidup seorang manusia, tentu bukan dari

bayi lantas mencari sendiri penghidupannya itu. Melainkan dibebankan

kepada siapa yang menjadi pelantara kelahirannya. Lalu rezekinya

diamanahkan lewat orangtuanya itu, meski kadang-kadang orangtua tak

pernah menyadari hasil yang ia peroleh sesungguhnya bertambah seiring

bertambahnya manusia yang ia pelantarai. Untuk sampai kepada hubungan

itu, Tuhan menghendaki terjadi secara resmi dan sakral, suci. Karena

kehendakNya secara fitrah akan terjadi di saat itu. Perkawinan melembaga

sebagai jawaban atas tuntutan sakralitas. Kemudian rentetan hukum pun

mulai menata posisi dimana seharusnya berpundak.

Page 10: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 10

Jan. 2013

Pesan-pesan wahyu menghendaki kaum laki-laki mukallaf menghibahkan

bahunya untuk menanggung pemenuhan kehidupan manusia lainnya. Di saat

yang sama, semakin besar beban itu, Tuhan sesungguhnya memberikan

bagian-bagiannya lewat karunia kepada pemegang amanat. Karunia bagi

seorang laki-laki kala sendiri, akan berbeda peruntukannya/jumlahnya

manakala ia kemudian beristri, lalu beranak-pinak dalam balutan keluarga.

Allah swt lah yang mengatur tatanan penghidupan itu, sehingga tidak akan

pernah kurang, kecuali merasa kurang.

Mari kita cermati Al Quran Surah Al Nuur Ayat (32):

32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian (orang-orang yang belum menikah) di

antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang

lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan

memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha

mengetahui.

Ayat ini sejatinya menandaskan bahwa kefaqiran (dalam arti jika menikah

khawatir tidak mampu menafkahi istri dan anak), bukanlah alasan bahwa

seseorang melajang selama hidupnya. Hal ini karena, pada hakikatnya, Tuhan

secara prerogatif lewat fadhalnya (fadhal artinya karunia yang diberikan

Tuhan menurut kehendakNya secara prerogatif, mandiri, azali, tanpa

intervensi, bukan dalam hubungan sebab-akibat/hubungan keniscayaan)

akan menjadikannya cukup untuk menanggung kehidupan rumah tangganya

kelak.

Hanya saja, terhadap perkawinan itu, hitung-hitungan matematis lebih

mendominasi rencana manusia. Kalau belum mapan, belum akan menikah.

Padahal jika kita merasukkan keyakinan yang utuh disertai amaliah yang

wajar dalam kehidupan yang menyokong keyakinan itu, maka kebenaran

tentang jaminan Tuhan itu akan dapat dirasakan secara nyata. Di sisi lain

jaminan itu pada dasarnya telah diamperahkan oleh Allah swt, hanya saja

pintu hati terlalu kotor sehingga tak pernah sensitif terhadap karunia yang

berharga dari Allah swt. Selalu berkata kurang. Selalu berkata belum, dan

sejenisnya.

Dalam kaitan harta bersama ini, sesungguhnya telah dapat dipahami, bahwa

keberhakan siapapun yang ditanggung oleh seorang laki-laki/suami, telah ada

bersamaan dengan adanya tanggungjawab itu. Maka secara fitrah ketuhanan

Page 11: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 11

Jan. 2013

yang transcendental, ikatan perkawinan telah cukup untuk menunjuk adanya

hak istri dalam perolehan harta oleh suami.

Maka salah satu yang juga meniscayakan pernikahan itu sakral, pada

hakikatnya adalah bahwa Allah swt akan menjadikan suami sebagai

pemegang amanat menyampaikan karunia/penghidupan bagi istri. Bahwa

tanpa disadari, kapanpun seseorang menjadi suami, maka sebagian dari

rezekinya itu tiada lain adalah milik istrinya yang harus disampaikan sebagai

titipan Allah swt untuknya.

Hanya saja, mengingat sudut pandang ini merupakan wilayah sarair, sehingga

untuk aplikasi praktis, memang tidak dicanangkan sebagai ukuran baku,

karena manusia dititahkan untuk mengukur kehidupannya dalam wilayah

zhawahir. Namun demikian, setidaknya, sudut pandang ini laik menjadi

pegangan moril-spiritual-transcendental penegak hukum untuk memandang

kasus harta bersama.

2. Dasar Psikologis/Dukungan Moril Istri

“Behind a great man there’s a great woman” di belakang laki-laki hebat, ada

wanita yang hebat pula. Demikian kata mutiara yang populer kita dengar.

Kalimat itu kemudian sesekali dikukuhkan pula dalam memberikan dasar

keberhakan istri dalam harta selama perkawinan. Bahwa baik disadari

ataupun tidak, keberadaan istri sebagai pendamping suami, telah berperan

secara tidak langsung dalam perolehan harta benda oleh suami.

Penulis tidak mendapati adanya penelitian ilmiah yang signifikan mendukung

hal itu. Tetapi rasanya, secara umum hal itu dapat diterima secara nalar dan

logis. Pikiran suami yang tenang dalam rumah tangganya, dibalut dalam

ketaatan istri secara wajar, penampilan yang selalu menarik, mampu menjaga

diri dan hartanya, tentu membuat konsentrasi kerja dan kinerjanya semakin

baik. Atau dalam situasi kerja yang serba sulit, istri hadir memberikan

sokongan motifasi, lalu larut dalam indahnya hubungan rumah tangga dalam

suka dan duka. Semua itu menjadi dasar yang relevan bahwa istri sejatinya

berhak atas bagian harta yang diperoleh suami selama perkawinan.

Khususnya dalam hal, salah satu pihak meninggal lebih dahulu, maka

keharmonisan sedemikian itu semakin mengukuhkan adanya hak dalam harta

bersama.

Hanya saja, rumah tangga yang harmonis sebagaimana yang disampaikan itu

cenderung tidak akan berakhir dengan petaka perceraian lalu ribut harta

bersama. Karena harta bersama menjadi masalah, telah dimulai dari

dishamonisnya rumah tangga antara suami dan istri. Apalagi disharmonis

terjadi dalam jangka yang lama, lalu jangka yang lama itu diperoleh harta,

sementara istri dalam kondisi itu tidaklah berperan menjadi penyokong,

Page 12: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 12

Jan. 2013

justru menjadi beban pikiran bagi suaminya. Maka dasar psikologis sangat

relatif berperan dalam hal penentuan harta bersama dalam perkawinan,

utamanya dalam perkara perceraian yang dikuti gugatan harta bersama.

Apalagi jika ditelaah, bahwa harta bersama itu sifatnya ekonomis, sementara

peran psikologis bisakah dinilai secara ekonomis pula lalu berpengaruh dalam

keberhakan harta bersama?

3. Pelakasanaan Aktifitas/Tugas Kerumahtanggaan

Kajian yang Penulis rasa paling berharga dari tulisan ini, agaknya berada pada

sub terakhir ini. Mari kita simak bersama!

Telah disinggung di muka, bahwa keberhakan istri dalam harta bersama, lebih

sering tertuju pada tolok ukur peran istri menghasilkan harta karena ikut

bekerja. Dalam situasi ini dapat muncul dua apriori:

1. Versi suami, silahkan istri bekerja kemudian menghasilkan harta dan

harta itu kemudian menjadi harta bersama karena diperoleh selama

perkawinan.

2. Versi istri, karena beban menafkahi kehidupan rumah tangga ada pada

suami, maka kendati istri bekerja, suami jangan beranggapan hasil kerja

istri sebagai harta bersama.

Penulis telah mencoba mendamaikan dua apriori itu dalam tulisan terkait

implikasi nafkah dalam harta bersama. Sehingga rasanya tak lagi perlu

mengulangnya.

Dalam bagian ini, menarik untuk diulas bahwa bekerja yang bagaimana lalu

seorang istri berhak atas harta bersama?

Jika ditelusuri lagi nilai awal hukum Islam tentang perkawinan, maka akan

tampak betapa tingginya seorang perempuan/istri dimuliakan dalam rumah

tangga. Ia diberi hak jaminan makan, jaminan pakaian, dan tempat tinggal,

sebagaimana suaminya makan, berpakaian dan bertempat tinggal. Berhak

atas perlindungan secara fisik dan mental dari perilaku sewenang-wenang.

Tugasnya hanya satu. Menaati suaminya dalam konteks yang ma’ruf, tentu

termasuk di dalamnya makna nikah itu sendiri (al wathu). Suami diembankan

tugas mengayomi (qawwamun) istrinya baik dalam hal ibadah kepada Allah

swt dalam lingkup mahdhah, maupun kebajikan-kebajikan lainnya secara

wajar dan ma’ruf. Perintah suami dalam hal-hal sedemikian itu, menjadi

kewajiban istri menaatinya.

Sehingga dengan demikian, sejatinya dalam perkawinan itu, istri tidak

dominan bertugas mengurus suaminya, tetapi suamilah yang dominan

mengurus istrinya. Suami harus memastikan bahwa istrinya hari ini mendapat

makan darinya, berpakaian sewajarnya, dan bertempat tinggal selayaknya.

Page 13: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 13

Jan. 2013

Sehingga pada dasarnya, tidak ada keharusan aktifitas masak-memasak, cuci

mencuci, sapu-menyapu, dilakukan istri. Namun oleh karena konteks

ketaatan kepada suami itu terlanjur mengeneral, maka yang terjadi hingga

saat ini adalah tugas kerumahtanggaan sedemikian itu telah galib dan

maklum dilakoni oleh istri sebagai bagian dari ketaatan kepada suami.

Bahkan ia menjadi sistim dalam rumah tangga. Meskipun pada

kenyataannnya tugas-tugas berat itu dilaksanakan oleh pembantu, namun

beban manejerial dan administrasi rumah tangga, tetap ada pada istri.

Dan terhadap pelaksanaan tugas itu, tidak pernah terdengar adanya upah

mengupah dari suami untuk istrinya. Bahkan hal ini tergolong tabu. Padahal,

apa yang dilakukan istri itu bukanlah menjadi kewajibannya secara normatif.

Meski demikian, tidak lantas istri kehilangan haknya terkait pelaksaan tugas

rumah tangga itu, karena semuanya kemudian dapat dikompensasi secara

implisit dalam bentuk hak terhadap harta bersama selama perkawinan secara

seimbang.

Tolok ukur keberhakan terhadap harta bersama dari sudut ini, jauh lebih

mengena secara adat (al ‘adah muhakkamah) karena harta bersama itu

sendiri bersifat mutamawwil atau merupakan hasil ekonomis yang untuk

sampai pada hak terhadapnya, tentu dengan jalan kegiatan ekonomi pula.

Sehingga pelaksanaan jasa pengurusan dan administrasi rumah tangga yang

dilakoni istri itu, sangat patut dihargai sebagai kegiatan ekonomis dimaksud.

Saat dikatakan bahwa seorang istri sebagai ibu rumah tangga, maka peran ibu

rumah tangga itu dengan demikian bukan peranan kosong, lalu istri disebut

tidak bekerja. Ibu rumah tangga secara tidak langsung harus dinyatakan

sebagai pekerjaan, karena peran itu dapat memiliki hasil berupa hak

terhadap harta bersama selama perkawinannya dengan suami. Apalagi

mengurus tugas kerumahtanggaan itu bukan perkara mudah, memang

terlihat monoton sebagai rutinitas harian, namun efeknya bagi kelangsungan

rumah tangga sangat besar.

Bila tolok ukur ini yang digunakan sebagai acuan, agaknya dapat diterapkan

secara menyeluruh, karena sistim rumah tangga masyarakat kita yang ada

saat ini (al ‘adah muhakkamah), menempatkan istri sebagai lakon tugas

kerumahtanggaan, meskipun secara teknis operasional dapat dilakukan

dengan cara tertentu.

Wallahu a’lam.

EPILOG

Page 14: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 14

Jan. 2013

Meski dengan bahasa yang rancu antara fiksi dan ilmiah, tulisan ini akhirnya

rampung bi’aunillah. Dalam penutup ini, perlu ditekankan beberapa poin penting

yang tersebar dalam tulisan:

1. Secara eksplisit-normatif, lembaga harta bersama tidak dikenal dalam tradisi

hukum Islam. Hal ini berangkat dari tekad agama itu sendiri dalam perkawinan

yang memang dicanangkan bukan untuk memperoleh harta benda sebanyak-

banyaknya, tetapi harta benda yang ada selama perkawinan itu digunakan

seluas-luasnya untuk merajut kebahagiaan rumah tangga, baik dunia maupun

akhirat.

2. Meski tak disebut secara definitif sebagai harta bersama, namun ikatan

perkawinan itu telah merupakan cikal bakal dari tumbuhnya hak hakiki seorang

istri terkait harta suaminya dalam ukuran yang seimbang. Keseimbangan dalam

hal harta seorang suami yang digunakan untuk dirinya dan yang digunakan

untuk menafkahi istrinya, merupakan pesan yang tersirat baik dalam al Quran

maupun Al Sunnah. Berangkat dari ini, ketentuan hukum positif tentang hak

suami-istri dalam harta bersama masing-masing separoh, secara implisit

memiliki legitimasi yang syar’i.

3. Peran istri menjalankan tugas kerumahtanggaan yang notabene bukan

kewajibannya secara normatif tetapi timbul sebagai adat (al ‘adah

muhakkamah) dalam sistim kehidupan yang berkembang di masyarakat, dengan

demikian patut dinobatkan sebagai peran yang laik dikompensasi dalam bentuk

hak terhadap harta bersama. Dalam kapasitas harta bersama sebagai

hasil/barang ekonomis, maka dasar dan tolok ukur keberhakan terhadapnya pun

dengan demikian harus pula/selaiknya berupa kegiatan ekonomi. Maka peran

istri sedemikian itu secara tidak langsung sangat relevan menjadi kegiatan

ekonomi dimaksud. Apalagi saat Undang-Undang Perkawinan menyamarkan

penunjukan hukum apa yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa harta

bersama, sementara hukum Islam secara normatif-eksplisit tidak memiliki

aturan yang tertentu, maka dalil hukum al ‘adah muhakkamah tersebut kiranya

patut dipertimbangkan lebih lanjut.

Demikian tulisan ini dirampungkan di Tangerang, Rabu 9 Januari 2013, pukul

00.10.WIB. walhamdulillahi rabbil’alamin.

Semoga bermanfaat.

Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam

Penulis, Calon Hakim pada Pengadilan Agama Tangerang.

Alumnus Pesantren Al ‘Aqobah Jombang.

Page 15: Napak Tilas Harta Bersama - pa-tangerangkota.go.idpa-tangerangkota.go.id/adil/5.INFO_UMUM/Artikel/Napak Tilas Harta Bersama.pdfhidangan seorang istri yang mengira menyuguhkan sepinggan

Napak Tilas Harta Bersama

Erfani el Islamiy. All Copy Rights Shared 15

Jan. 2013

All Copy Rights Shared, 2013