Preeklampsia, induksi, MOW

53
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai saat ini angka kematian ibu melahirkan tidak dapat turun seperti yang diharapkan. Menurut laporan BKKBN pada bulan Juli 2005, AKI masih berkisar 307 pe 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah sebenarnya telah bertekad untuk emnurunkan AKI dari 309 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 1994) menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1999 dan menurunkannya kembali menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Telah diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang obstetri adalah perdarahan (45%), infeksi (15%). Dan hipertensi dalam kehamilan (preeklampsi) sebanyak 13%. Sisanya terbagi atas penyebab partus macet, abortus yang tidak aman dan penyebab tidak langsung lainnya. Dalam perjalanannya berkat kemajuan dalam bidang anestesi, teknik operasi, pemberian cairan infus dan transfusi, dan peranan antibiotik yang semakin meningkat, amak penyebab kematian ibu karena perdarahan dan infeksi dapat diturunkan dengan nyata. Sebaliknya, pada penderita preeklampsia, karena ketidaktahuan dan sering terlambat mencari pertolongan setelah gejala 1

Transcript of Preeklampsia, induksi, MOW

Page 1: Preeklampsia, induksi, MOW

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sampai saat ini angka kematian ibu melahirkan tidak dapat turun seperti

yang diharapkan. Menurut laporan BKKBN pada bulan Juli 2005, AKI masih

berkisar 307 pe 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah sebenarnya telah

bertekad untuk emnurunkan AKI dari 309 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI

1994) menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1999 dan

menurunkannya kembali menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun

2010.

Telah diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang

obstetri adalah perdarahan (45%), infeksi (15%). Dan hipertensi dalam

kehamilan (preeklampsi) sebanyak 13%. Sisanya terbagi atas penyebab partus

macet, abortus yang tidak aman dan penyebab tidak langsung lainnya. Dalam

perjalanannya berkat kemajuan dalam bidang anestesi, teknik operasi,

pemberian cairan infus dan transfusi, dan peranan antibiotik yang semakin

meningkat, amak penyebab kematian ibu karena perdarahan dan infeksi dapat

diturunkan dengan nyata. Sebaliknya, pada penderita preeklampsia, karena

ketidaktahuan dan sering terlambat mencari pertolongan setelah gejala klinis

berkembang menjadi preeklampsia berat dengan segala komplikasinya, angka

kematian ibu bersalin belum dapat diturunkan.

Pada tahun 1996 di RSUP Dr. Kariadi Semarang preeklampsia dan

eklampsia masih merupakan penyebab utama kematian maternal (40%) diikuti

infeksi (26,6%) dan perdarahan (24,4%). Sedangkan pada tahun 1999-2000

preeklampsia dan eklampsia juga merupakan penyebab utama kematian

maternal (52,9%) diikuti perdarahan (26,5%) dan infeksi (14,7%).

Penyebab preeklampsia sampai saat ini belum diketahui secara pasti

sehingga penyakit ini oleh Zweifel (1916) disebut “the disease of theories”.

Oleh karena itu berbagai penelitian terus dilakukan untuk mengetahui

patogenesis preeklampsia, dengan hasil berbagai temuan baru yang terungkap.

1

Page 2: Preeklampsia, induksi, MOW

Penelitian membuktikan bahwa plasenta penderita preeklampsia ternyata

mengalami iskemia akibat menurunnya aliran darah ke plasenta yang

disebabkan karena perubahan pada arteria spiralis.

B. TUJUAN

Tujuan dari penyusunan presentasi kasus ini adalah:

a. Sebagai sarana pembelajaran bagi para mahasiswa, sehingga

diharapkan memiliki kompetensi yang bisa diandalkan ketika kelak

terjun di masyarakat.

b. Mengetahui penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan

preeklampsia berat.

c. Mengetahui penatalaksanaan induksi.

d. Mengetahui indikasi medis operatif wanita.

2

Page 3: Preeklampsia, induksi, MOW

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Preeklampsia

Menurut Report on The National High Blood Pressure Education

Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy,

hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Hipertensi Gestasional

Pada kehamilan dijumpai tekanan darah ≥140/90, tanpa disertai

proteinuria dan biasanya tekanan darah akan kembali normal sebelum

12 minggu pasca-persalinan

2. Preeklampsia

Apabila dijumpai tekanan darah ≥140/90, setelah kehamilan 20

minggu disertai proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan

dipstick ≥ 1+

3. Eklampsia

Ditemukan kejang-kejang pada penderita preeklampsia, dapat disertai

koma.

4. Hipertensi Kronis

Dari sebelum kehamilan atau sebelumkehamilan 20 minggu

ditemukan tekanan darah ≥140/90 dan tidak menghilang setelah 12

minggu pasca-persalinan

5. Hipertensi kronis dengan Super Imposed Preeklampsia

Pada wanita hamil dengan hipertensi kronis, muncul proteinuria ≥ 300

mg/24 jam setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai gejala dan

tanda preeklampsia lainnya.

Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik

preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan

sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita

yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan

sebagai › 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi

3

Page 4: Preeklampsia, induksi, MOW

traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa

konsensus terakhir dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai

kriteria diagnosis.

Faktor resiko terjadinya preeklampsia:

1. Primigravida

2. Hiperplasentosis : mola hidatidosa, kehamilan ganda, diabetes

mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.

3. Umur yang ekstrem

4. Riwayat preeklampsia-eklampsia pada kehamilan sebelumnya

5. Riwayat keluarga dengan preeklampsia-eklampsia

6. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan

7. Obesitas

8. Trombofilia, yakni sindrom antifosfolipid, mutasi faktor V Leiden,

resistensi protein C aktif, dan hiperhomosisteinemia.

9. Dislipidemia

Pada saat ini ada beberapa hipotesa yang mendasari patogenesa:

1. Iskemia plasenta

Peningkatan deportasi sel trofoblas yang akan menyebabkan

kegagalan invasi arteria spiralis menyebabkan iskemia plasenta. Pada

kehamilan normal, invasi trofoblas ke dalam sel desidua menghasilkan

perubahan fisiologis arteri spiralis. Hasil akhir dari perubahan tersebut

adalah arteri spiralis yang tadinya tebal dan muskularis menjadi lebih

lebar berupa pembuluh darah yang berdinding tipis, lemas, dan

berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadinya dilatasi

secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang

meningkat. Pada preeklampsia proses plasentasi tersebut tidak

berjalan sebagaimana mestinya oleh karena tidak semua arteri spiralis

mengalami invasi oleh trofoblas. Plasenta pada penderita preeklampsi

menunjukkan ekspresi abnormal dari molekul integrin yang mengatur

interaksi antar matriks sel sehingga perubahan hanya terjadi pada

4

Page 5: Preeklampsia, induksi, MOW

sebagian arteri spiralis segmen desidua, sementara arteri spiralis

segmen miometrium masih diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain

itu ditemukan juga adanya hiperplasia tunika media dan trombosis.

Garis tengah arteri spiralis 40% lebih kecil dibandingkan denga

kehamilan normal, hal ini menyebabkan insufisiensi dan iskemia.

Teori tentang bagaimana sel-sel trofoblas gagal mengadakan invasi

arteri spiralis sampai saat ini belum jelas.

2. Mal Adaptasi imun

Terjadinya maladaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi

sel trofoblas pada arteri spiralis. Dan terjadinya disfungsi endotel

dipicu oleh pembentukan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.

Para ahli mengemukakan pendapat bahwa preeklampsi urni adalah

terjadi pada kehamilan pertama kali. Ini didasarkan pada data bahwa

angka kejadian preeklampsia lebih rendah pada wanita yang

sebelumnya telah pernah mengalami kehamilan normal. Tetapi resiko

akan meningkat bila wanita tersebut berganti pasangan seksual.

Paparan berulang terhadap sperma dari individu yang sama juga

merupakan faktor pencegah terjadinya preeklampsia. Walaupun belum

jelas dipahami, hipotesis yang mendasari efek protektif dari sperma

yaitu bahwa sel T dalam traktus genitalis dapat mengenali antigen

tanpa adanya human leucocyt antigen (HLA) kelas 1 pada antigen

precenting cell (APC), sehingga trofoblas yang mengandung sedikit

HLA klasik dapat dikenali. Selain itu, limfosit T kurang respon

terhadap HLA kelas I paternal, yang mungkin berpengaruh terhadap

reaksi imun. Maladaptasi imun diduga mengakibatkan terjadinya

kegagalan invasi trofoblas ke desidua, tetapi mekanisme yang

mendasari belum diketahui dengan jelas.

3. Genetic Inprenting

Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen

resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak

sempurna. Penetrasi mungkin tergantung pada genotip janin.

5

Page 6: Preeklampsia, induksi, MOW

4. Perbandingan VLDL ( Very Low Density Lipoprotein) dan TxPa

(Toxicity Preventing Activity)

Sebagai kompensasi untuk peningkatan ebergi selama kehamilan,

asam lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil

dengan kadar albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam

lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak ke dalam hepar akan

menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai pada titik di mana

VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek

toksik dari VLDL akan muncul.

5. Disfungsi endotel

Salah satu teori mengenai patogenesis preeklampsi yang saat ini

dianggap penting yaitu teori mengenai disfungsi endotel. Disfungsi

endotel diduga menjadi dasar dari timbulnya manifestasi klinis pada

preeklampsia. Teori ini tidak bisa lepas dari teori patogenesis

preeklampsi yang lain, salah satunya yaitu teori iskemia plasenta.

Pada saat plasenta mengalami iskemia maka plasenta menghasilkan

peroksida lipid yang selanjutnya akan masuk dalam sirkulasi darah

dan terikat dengan lipoprotein, khususnya low density lipoprotein

(LDL). Dalam kadar yang rendah peroksidasi lipid merupakan

peristiwa normal dalam kehidupan sel maupun jaringan. Pada

preeklampsia berat dijumpai perubahan ultrastruktur mitokondria pada

pembuluh darah uterina dan jaringan plasenta. Mitokondria adalah

sumber oksigen radikal dan diperkaya oleh asam lemak tak jenuh.

Maka plasenta dapat merupakan sumber terbesar dari produksi

peroksida lipid pada kehamilan. Proses peroksidasi lipid meningkat

sesuai dengan meningkatnya umur kehamilan, bahkan pada akhir

kehamilan aktivitas menjadi dua kali lipat. Dalam keadaan normal

peroksida lipid selalu dijaga dalam keadaan seimbang melalui peran

antioksidan. Bila kadar antioksidan rendah maka peroksida lipid

menjadi tidak terkendali dan timbulah stres oksidatif.

6

Page 7: Preeklampsia, induksi, MOW

Sekali terjadi peroksidasi lipid yang tidak terkendali, maka proses

akan berlangsung terus. Karena lapisan sel endotel merupakan lapisan

yang terpapar langsung darah arterial, maka sel endotel menjadi

sangat rentan terhadap proses peroksidasi lipid. Kontak sel endotel

dengan peroksida lipid akan menimbulkan kerusakan peroksidatif

membran sel endotel. Endotel diketahui berfungsi memelihara

integritas dan patensi kompartemen vaskular, mengatur fluiditas

darah, mengatur trombosis dan koagulasi intravaskuler, regulasi

inflamasi, regulasi pertumbuhan sel, oksidasi LDL, dan menjaga tonus

vaskuler serta mengatur permeabilitas dinding pembuluh darah

terhadap berbagai sel dan molekul, kerusakan sel endotel

menimbulkan diskontinuitas lapisan pembuluh darah sebelah dalam.

Kerusakan sel endotel ini bila dibiarkan akan menimbulkan

kebocoran, khususnya pada sistem vaskuler ikro. Secara alamiah,

tubuh akan meutup tempat kerusakan endotel tersenut dengan agregasi

trombosit. Dalam keadaan normal, sel endotel memproduksi PGI2

yang relatif tinggi. Sedang trombosis akan memproduksi TXA. PGI2

adalah bahan vasodilator kuat sedang TXA adalah vasokonstriktor

kuat. Akibat rasio PGI2/TXA yang menurun maka vasokonstriksi akan

meningkat dan menyebabkan hipertensi menyeluruh. Selain itu terjadi

penurunan NO dan EDRF, sehingga menimbulkan peningkatan

tahanan perifer dan peningkatan kepekaan terhadap agonis vasopresor

sehingga terjadi hipertensi. Inilah yang disebut disfungsi endotel suatu

keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara vasodilator dan

vasokonstriktyor. Disfungsi endotel mengakibatkan keluarnya zat-zat

mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, dan

fibronektin, serta mikropartikel endotel yang terbukti meningkat pada

preeklampsia. Membran sel lain yang juga peka terjadi peroksidasi

lipid yaitu mebran eritrosit, sehingga akan menyebabkan hemolisis

yang akan meningkatkan kadar zat besi serum pada preeklampsia

sampai dua kali lipat. Zat besi bersama hematin merupakan katalis

7

Page 8: Preeklampsia, induksi, MOW

untuk proses peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid yang dipicu oleh zat

besi serum, dipermudah oleh keadaan hiperlipidemia dalam

kehamilan.

Peroksidasi lipid yang merusak sel endotel kapiler glomerulus

meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein sehingga

menyebabkan proteinuria, sedangkan peningkatan permeabilitas sel

endotel menyebabkan edema.

6. Stres oksidatif

Stres oksidatif yaitu ketidakseimbangan antara jumlah oksidan dan

antioksidan. Dalam keadaan normal tubuh manusia dilengkapi dengan

berbagai mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan antara

oksidan dan antioksidan. Jika jumlah radikal bebas yang terbentuk

melampaui batas kemampuan mekanisme pertahanan antioksidan

yang dimiliki tubuh maka rangkaian reaksi yang terjadi akan bersifat

destruktif dan menyebabkan kerusakan sel. Ketidak seimbangan

antara oksidan dan antioksidan ini dijumpai pada preeklampsia dan

eklampsia dan diduga merupakan awal dari berbagai reaksi yang

kompleks yang menimbulkan sindrom klinis dari preeklampsia.

Dalam pengelolaan klinis, preeklampsia dibagi sebagai berikut:

1. Preeklampsia ringan jika ditemukan:

a) Tekanan darah ≥140/90 mmHg, tetapi kurang dari 160/110

mmHg.

b) Proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam, atau pemeriksaan dipstick ≥1 +

2. Preeklamsia berat jika ditemkan tanda dan gejala

a) Tekanan darah dalam keadaan istirahat: sistolik ≥ 160 mmHg

dan diastolik ≥110 mmHg

b) Proteinuria ≥ 5 gr/ 24 jam atau dipstick ≥ 2 +

c) Oliguria < 500 ml/ 24 jam

d) Serum kreatinin meningkat

e) Oedema paru atau sianosis

8

Page 9: Preeklampsia, induksi, MOW

3. Impending Eklampsia apabila ditemukan keluhan:

a) Nyeri epigastrium

b) Nyeri kepala frontal, scotoma, dan pandangan kabur

(gangguan syaraf pusat)

c) Gangguan fungsi hepar dengan meningkatnya alanine atau

asparttate aminitransferase

d) Tanda-tanda hemolisis dan mikroangiopatik

e) Trombositopenia < 100.000/ mm3

f) Munculnya komplikasi sindrom HELLP

4. Eklampsia jika pada penderita preeklampsia berat dijumpai kejang

klonik dan tonik dapat disetai adanya koma.

Penatalaksanaan

Pada dasarnya penanganan penderita preeklampsia dan eklampsia yang

definitif adalah segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi

dalam penatalaksanaannya kita harus mempertimbangkan keadaan ibu dan

janinnya, antara lain umur kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan

seberapa jauh keterlibatan organ.

Tujuan penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia adalah:

a) Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, disamping itu

mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.

b) Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan

ibu hamil.

Pada dasarnya pada pengelolaan preeklampsia berat, kita sedapat mungkin

harus berusaha mempertahankan kehamilan sampai aterm. Pada kehamilan

aterm persalinan pervaginam adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan

seksio sesarea. Jika perjalanan penyakitnya memburuk dan dijumpai tanda-

tanda impending eklampsi, kehamilan harus diakhiri tanpa memandang

umur kehamilan. Di samping itu pemeriksaan terhadap kesejahteraan janin

harus dilakukan secara ketat, bila keadaan janin memburuk terminasi

kehamilan harus segera dilakukan. Pada kehamilan preterm yang akan

9

Page 10: Preeklampsia, induksi, MOW

dilakukan terminasi keamilan kortikosteroid seperti dexametason atau

betametason diberikan untuk pematangan paru.

Pada preeklampsia berat obat-obat yang dapat diberi untuk memperbaiki

keadaan ibu dan janin adalah:

1. Magnesium Sulfat

Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk mencegah dan

mengurangi terjadinya kejang. Di samping itu, juga untuk mengurangi

komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Cara kerja magnesium sulfat

sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui, diduga bekerja sebagai N-

methyl D Aspartate (NDMA) reseptor inhibitor, untuk menghambat

masuknya ion kalsium ke dalam neuron pada sambungan neuro muskuler

(Neuromuscular junction) ataupun pada susunana syaraf pusat. Dengan

menurunnya kalsium yang masuk maka penghantaran impuls akan

menurun dan kontraksi otot berupa kejang dapat dicegah.

Magnesim sulfat dapat diberikan sebagai berikut:

a) Awalnya diberikan 4 gram secara intravena selama 4-5 menit dan

10 gram secara intramuskuler. Selanjutnya diberikan 5 gram setiap

4 jam secara intramuskuler. Atau

b) Awalnya diberikan 6 gram secara intavena selama 5-10 menit,

kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 gram/ jam

melalui infus.

Pada pemberian magnesium sulfat harus berhati-hati akan terjadinya

keracunan yang ditandai dengan munculnya:

a) Reflek patella yang menurun atau menghilang

b) Pernafasan < 16 kali per menit

c) Rasa panas dimuka, bicara sulit, kesadaran menurun

d) Cardiac arrest

Antidotum pada keracunan magnesium sulfat adalah kalsium glukonas

10% dalam 10 cc diberikan secara intravena.

2. Antihipertensi

10

Page 11: Preeklampsia, induksi, MOW

Pada preeklampsia berat antihipertensi diberikan jika tekanan darah

180/110 mmHg. Tujuan pemberian anti hipertensi adalah untuk mencegah

terjadinya cardiovaskuler dan cerebrovaskuler accident.

Banyak pilihan antihipertensi yang dapat diberikan, tetrapi pilihan

pertama adalah hydralazine. Mekanisme kerjanya adalah dengan

merelaksasi otot pada arteriol sehingga terjadi penurunan tahanan perifer.

Hydralazine dapat diberikan peroral atau parenteral. Kerjanya cepat, bila

diberikan intravena efeknya dicapai 5-15 menit. Efek samping hydralazine

adalah sakit kepala, takikardia, dan gelisah.

Obat antihipertensi yang banyak digunan adalah labetalol, termasuk beta

bloker yang dapat diberikan per oral atau intravena

3. Kortikosteroid.

Pada preeklampsia berat kortikosteroid hanya diberikan pada kehamilan

preterm < 34 minggu dengan tujuan untuk mematangkan paru janin.

Semua kehamilan preterm yang akan diakhiri diberikan kortikosteroid

dalam bentuk dexamethason atau betamethason.

National Institute of health (NIH) menganjurkan pemberian kortikosteroid

pada semua wanita dengan usia kehamilan 24-34 minggu yang beresiko

melahirkan preterm, termasuk penderita preeklampsi berat. Pemberian

betamethason 12 mg intramuskuler dua dosis dengan interval 24 jam atau

pemberian dexamethason 6 mg intravena empat dosis dengan interval 12

jam.

Komplikasi

1. Eklampsia

Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma

pada preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu,

eklampsia dikatakan sebagai hasil akhir dari preeklampsia, sesuai

dengan asal katanya. Penyebab pasti dari kejang pada wanita dengan

eklampsia tidak diketahui. Penyebab yang dikemukakan meliputi

vasospasme serebral dengan iskemia lokal, hipertensi ensefalopati

11

Page 12: Preeklampsia, induksi, MOW

dengan hiperperfusi, edema vasogenik dan kerusakan endotelial.

Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam deteksi dan penatalaksanaan,

preeklampsia/eklampsia tetap menjadi penyebab umum kematian ibu

yang kedua di Amerika Serikat ( sesudah penyakit tromboemboli),

sekitar 15 % dari seluruh kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000

kematian maternal di seluruh dunia disebabkan oleh eklampsia.

Manifestasi klinis dan diagnosis

Diagnosis klinis eklampsia didasarkan pada timbulnya kejang umum

dan atau koma pada wanita dengan preeklampsia tanpa adanya kondisi

neurologis lainnya. Kejang eklampsia hampir selalu hilang sendiri dan

jarang terjadi lebih dari 3-4 menit. Kejang eklamptik secara klinis dan

elektroensefalografik tidak dapat dibedakan dari kejang tonik klonik

umum lainnya. Secara umum, wanita dengan kejang eklamptik tipikal

tanpa defisit neurologik fokal atau koma yang berlangsung lama, tidak

dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan elektroensefalografik atau

pencitraan serebral.

Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm,

lebih dari 20% terjadi sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat

dari kasus terjadi pada kehamilan aterm, berkembang saat intrapartum

atau selama 48 jam postpartum. Kejang karena eklampsia dapat

muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa jam

sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini

sebagai indikator klinis yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia

atau eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin tidak berulangnya

kejang. Dapat pula terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang

eklamptik yang berkembang > 48 jam postpartum, namun < 4 minggu

postpartum) pada 25% kasus postpartum dan > 16% dari seluruh kasus

eklampsia.

Penatalaksanaan

Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk

mencegah komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin selama

12

Page 13: Preeklampsia, induksi, MOW

periode peripartum. Cara terbaru pada penatalaksanaan wanita dengan

eklampsia meliputi beberapa aspek, yaitu mempertahankan fungsi

vital ibu, mencegah kejang dan mengontrol tekanan darah, mencegah

kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan. Bila terjadi kejang,

langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas

tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring

ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya.

A. Mengontrol Kejang

Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam

3-4 menit, obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang.

Obat-obat terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah

magnesium sulfat (MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat

pengobatan MgSO4 profilaksis, kadar magnesium plasma harus

dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4 1-2 gram secara cepat.

Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan profilaksis

tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4 secara cepat, diulang

setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan pada

ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja

MgSO4 dalam mereduksi kejang belum diketahui secara pasti.

Beberapa mekanisme kerja MgSO4 adalah memberikan efek

vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak juga memberikan

perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas,

mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau

memiliki efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-

metil-D–aspartat (yang merupakan fokus epileptogenik).

Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk

pengobatan kejang eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf

pusat secara cepat dimana efek anti konvulsan akan tercapai dalam

13

Page 14: Preeklampsia, induksi, MOW

waktu 1 menit dan efek diazepam ini akan mengontrol kejang >80%

pasien dalam waktu 5 menit. Akan tetapi saat ini banyak peneliti

menganjurkan untuk tidak menggunakan benzodiazepin karena sangat

berpotensi untuk menyebabkan depresi pada janin. Secara klinis, efek

ini menjadi bermakna ketika dosis total benzodiazepin pada ibu > 30

mg.

B. Penatalaksanaan hipertensi

Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian

pada eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki

hubungan secara langsung dengan derajat peningkatan tekanan darah

sistolik dan sedikit berhubungan dengan tekanan darah diastolik.

Terapi emergensi pada keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah

tersebut masih belum jelas. Sebagian besar peneliti menganjurkan

untuk menggunakan anti hipertensi yang poten untuk mengatasi

tekanan darah diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan tekanan darah

sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara prospektif.

Pada wanita yang telah mengalami hipertensi kronik, pembuluh darah

otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah sistolik yang lebih tinggi

tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh darahnya, sedangkan pada

orang dewasa dengan tekanan darah yang normal atau rendah

mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada kadar tekanan

darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan

persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan

serebrovaskular. Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin

(5 mg IV, diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus sesuai kebutuhan

dalam waktu 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-

20 menit dengan dosis ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada

dosis tunggal, dengan dosis kumulatif total 300 mg). Pada keadaan

yang tidak menunjukkan perbaikan dengan segera setelah mendapat

terapi untuk kejang dan hipertensinya atau mereka yang memiliki

kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.

14

Page 15: Preeklampsia, induksi, MOW

C. Pencegahan kejang berulang

Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang

walaupun telah ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan

umum bahwa wanita dengan eklampsia membutuhkan terapi anti

konvulsan untuk mencegah kejang dan komplikasi dari berulangnya

aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis, pnemonitis aspirasi, edema

pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi. Namun, pemilihan jenis

obat untuk keadaan ini masih kontroversial. Ahli obstetrik telah lama

menggunakan MgSO4 sebagai obat pilihan untuk mencegah

berulangnya eklampsia, sementara ahli neurologi memilih anti

konvulsan tradisional yang digunakan pada wanita yang tidak hamil

seperti fenitoin atau diazepam. Permasalahan ini telah disepakati oleh

sejumlah penelitian klinis terakhir dengan hasil seperti dibawah ini:

• The Eclampsia Trial Collaborative Group melakukan penelitian

prospektif terhadap 905 wanita eklampsia yang secara random dipilih

untuk mendapat Magnesium atau Diazepam dan 775 wanita eklampsia

yang dipilh secara random menerima Magnesium atau Fenitoin.

Pengukuran keluaran primer adalah kejang rekuren dan kematian

maternal. Wanita dengan terapi Magnesium mendapatkan separuh

angka kejang rekuren dibandingkan dengan diazepam (13% dan 28%).

Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kematian maternal atau

perinatal atau angka komplikasi diantara kedua kelompok. Wanita

yang diberi magnesium memiliki sepertiga angka kejang rekuren

dibandingakan dengan fenitoin (6% dan 17%). Dalam rangkaian

penelitian ini wanita yang menerima magnesium <8% yang menerima

perawatan intensif, <8% mendapat bantuan ventilator dan <5%

menjadi pneumonia, dibandingkan dengan wanita yang diberikan

fenitoin. Tidak ada perbedaan signifikan pada angka kematian

maternal dan perinatal.

15

Page 16: Preeklampsia, induksi, MOW

• Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik

daripada litik koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid,

klorpromazin dan meperidin hidroklorid) untuk mencegah

pengulangan kejang pada wanita eklampsia.

Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah,

cara pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung)

dan lebih sedikit efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin.

Magnesium juga tampak secara selektif meningkatkan aliran darah

serebral dan konsumsi oksigen pada wanita dengan preeklampsia. Hal

ini tidak pada fenitoin. Dosis pemeliharaan MgSO4 adalah 2-3

gram/jam diberikan sebagai infus IV yang kontinyu. Fase

pemeliharaan hanya jika reflek patella ada (kehilangan reflek tendon

yang dalam adalah manifestasi pertama gejala hipermagnesemia),

respirasi >12X/menit, urine output > 100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar

serum magnesium tidak diperlukan jika status klinis wanita tersebut

dimonitor secara ketat untuk membuktikan toksisitas potensial

magnesium. Juga tidak tampak suatu konsentrasi ambang yang jelas

untuk meyakinkan pencegahan kejang, meskipun telah

direkomendasikan sekitar 4,8-8,4 mg/dL. Dosis harus disesuaikan

menurut respon klinis pasien.

16

Page 17: Preeklampsia, induksi, MOW

Evaluasi pada persalinan

Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa

memandang usia kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan

anak. Tetapi ini tidak perlu menghalangi dilakukannya induksi

persalinan. Setelah dilakukan stabilisasi terhadap ibu, terdapat

beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan

cara yang paling sesuai untuk persalinan. Diantaranya usia kehamilan,

nilai Bishop, keadaan dan posisi janin. Secara umum, kurang dari

sepertiga wanita dengan preeklampsia berat / eklampsia berada pada

kehamilan preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan serviks yang

belum matang untuk dapat melahirkan pervaginam. Pada keadaan ini,

obat-obat untuk mematangkan serviks dapat digunakan guna

meningkatkan nilai Bishop, namun induksi yang terlalu lama harus

dihindari.

Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai 5 menit

merupakan keadaan yang sering dijumpai selama dan segera setelah

kejang eklampsia, dan hal ini tidak memerlukan tindakan seksio sesar

emergensi. Tindakan stabilisasi ibu dapat membantu janin dalam

uterus pulih kembali dari efek hipoksia ibu, hiperkarbia dan

hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu sering berhubungan

dengan takikardi janin kompensata bahkan dengan deselerasi denyut

jantung janin sementara yang akan pulih kembali dalam waktu 20

sampai 30 menit.

2. Gagal ginjal

Karakteristik histologis pada lesi renal pada preeklampsia adalah

adanya endoteliasis glomerulus, dimana glomerulus besar dan

membengkak dengan sel-sel endotel bervakuola. Gambaran histologis

ini, berpasangan dengan vasokonstriksi umum yang menandai

preeklampsia, menyebabkan penurunan sebesar 25-30% dari aliran

plasma ginjal dan glomerular filtrasi dibandingkan dengan kehamilan

17

Page 18: Preeklampsia, induksi, MOW

normal. Bagaimanapun, kerusakan fungsional pada ginjal dibandingkan

dengan preeklampsia secara umum bersifat ringan dan mengalami

perbaikan sempurna setelah persalinan. Sebagai contoh, gagal ginjal

akut pada wanita preeklampsia yang secara klinis bermakna jarang

terjadi.

Penyebab dari terjadinya gagal ginjal akut dapat dibagi dalam 3

kategori besar; prerenal (yang dihubungkan dengan hipoperfusi ginjal

tanpa melibatkan parenkim), intraarenal (yang mengakibatkan

kerusakan instrinsik pada parenkim ginjal), dan postrenal (yang

berimplikasi pada obstruktif uropati). Keadaan patologis prerenal dan

intrarenal (akut tubular nekrosis) sekitar 83-90% dari semua kasus

gagal ginjal akut pada preeklampsia.

Kerusakan ginjal sekunder dengan perubahan patologi seperti ini

terlihat paling umum pada preeklampsia dan biasanya mengalami

perbaikan sempurna setelah persalinan. Sebaliknya, nekrosis korteks

renal bilateral, berkisar 10-29% dari kasus-kasus gagal ginjal akut pada

kehamilan, adalah kondisi yang jauh lebih serius dan dihubungkan

dengan angka kematian maternal dan angka kematian perinatal beserta

komplikasinya.Hal ini paling umum terlihat pada wanita dengan latar

belakang hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia, dikenal

sebagai penyakit parenkim ginjal, solusio plasenta atau DIC.

3. Hipertensi ensefalopati dan buta kortikal

Otak secara normal dilindungi dari tekanan darah yang ekstrim oleh

suatu sistim autoregulasi yang mengatur perfusi konstan pada tekanan

sistemik yang mempunyai rentang yang bervariasi. Untuk

penatalaksanaan hipertensi sistemik, arteriol-arteriol serebral perlu

dilebarkan untuk mempertahankan perfusi yang adekuat, dimana

pembuluh-pembuluh mengalami penyempitan sebagai respon dari

tingginya tekanan sistemik. Diatas dari batas tertinggi dari autoregulasi,

dapat terjadi ensefalopati hipertensi . Hipertensi ensefalopati merupakan

suatu sindroma neurologik subakut yang ditandai dengan sakit kepala,

18

Page 19: Preeklampsia, induksi, MOW

kejang, penurunan penglihatan dan gangguan-gangguan neurologik

lainnya (perubahan status mental, gejala-gejala fokal neurologik) pada

keadaan tekanan darah yang meningkat. Walaupun sindroma ini bersifat

reversibel jika hipertensi yang terjadi diobati secara dini, namun tetap

menjadi fatal jika gejala-gejala ini tidak dikenali atau jika pengobatan

ini tertunda. Penemuan klinis bersifat tidak spesifik dan diagnosisnya

mungkin sulit untuk ditegakkan terutama pada pasien-pasien yang

menderita penyakit lainnya. Kondisi-kondisi neurologi yang bervariasi

seperti CVA, trombosis vena, ensefalitis dapat menutupi gejala klinis

dari hipertensi ensefalopati. MRI berguna dalam menegakkan diagnosa

pada kasus-kasus klinik yang sesuai.

Studi –studi otopsi klasik dari Sheehan dan Lynch tahun 1960

menghasilkan suatu pendapat bahwa preeklampsia dan eklampsia lebih

sering dihubungkan dengan meluasnya edema serebral. Lesi yang

paling sering dijumpai adalah perdarahan petekie multipel pada daerah

kortek, subkortek, substansia alba dan otak bagian tengah. Karena

perdarahan petekie berkaitan dengan adanya trombus kapiler, maka

para ahli menyimpulkan bahwa lesi-lesi tersebut disebabkan oleh suatu

gangguan vaskuler yang menyebabkan lokal iskemik. Kadang-kadang

edema difus yang berat tampak pada eklampsia, namun semakin

spesifik lesi, maka edem otak semakin terlokalisir pada jaringan

penghubung substansia alba dan grisea pada lobus oksipital. Kerentanan

dari sirkulasi posterior pada lesi hipertensi ensefalopati sudah dikenal,

tapi fenomena terjadinya masih belum banyak dimengerti. Satu

penjelasan yang mungkin adalah terdapatnya hubungan dengan

heterogenitas regional dari penemuan simpatis vaskuler.

Pada studi eksperimental, persarafan-persarafan simpatis dari arteriol-

arteriol intrakranial telah terbukti untuk melindungi otak dari

peningkatan tekanan darah yang bermakna. Kemudian , studi-studi

ultrastruktural telah menunjukkan bahwa sistim karotis interna

mendapat suplai yang lebih baik dengan inervasi simpatis jika

19

Page 20: Preeklampsia, induksi, MOW

dibandingkan dengan sistim vertebrobasiler. Hipertensi akut menurut

hipotesa ini dapat menstimulasi saraf-saraf simpatis perivaskuler, yang

dapat melindungi bagian anterior tapi tidak inervasi bagian posterior

yang sirkulasinya lebih sedikit. Hipotesa tersebut dapat menghasilkan

suatu hipotesa baru dengan edema yang sebagian besar terdapat pada

lobus oksipital yang bermanifestasi klinis pada mata.

Dua teori yang telah diajukan untuk menghitung kelainan-kelainan

klinis dan radiologis pada hipertensi ensefalopati dan buta kortikal.

Postulat I menyatakan bahwa hipertensi ensefalopati disebabkan karena

adanya spasme dari vaskular serebral sebagai respon dari hipertensi

akut, yang juga dapat menyebabkan kerusakan iskemik, nekrosis

arteriol, dan edema sitotoksik. Hipotesis alternatif yang terbaru adalah

sindrom-sindrom yang berasal dari rusaknya autoregulasi dengan

overdistensi pasif dari arteriol-arteriol serebral, yang mengacu pada

peningkatan permeabilitas kapiler dengan kebocoran cairan dan protein

sampai disekeliling jaringan, menghasilakan edema vasogenik

( hidrostatik). Pada kedua contoh diatas hasil akhir dari progresifitas

penyakit adalah edema serebral fokal. Terdapatnya edema serebral pada

hasil CTscan dan MRI kepala, tidak membantu dalam mendefinisikan

mekanisme yang melatarbelakangi terjadinya hipertensi ensefalopati.

Peningkatan neuroimaging mungkin dilakukan, termasuk SPECT

(single photon emission computed tomography), yang dapat

membedakan baik area hiper/hipoperfusi, yang telah memungkinkan

dilakukannya penyelidikan secara lebih terperinci dari respon vaskuler

serebral pada hipertensi.

B. Induksi

Induksi persalinan adalah suatu upaya stimulasi mulainya proses

persalinan (dari tidak ada tanda-tanda persalinan, kemudian distimulasi

menjadi ada). Cara ini dilakukan sebagai upaya medis untuk

mempermudah keluarnya bayi dari rahim secara normal.

20

Page 21: Preeklampsia, induksi, MOW

Kondisi harus dilakukan induksi:

1. Ibu hamil tidak merasakan adanya kontraksi atau his. Padahal

kehamilannya sudah memasuki tanggal perkiraan lahir bahkan lebih

(sembilan bulan lewat)

2. Induksi juga dapat dilakukan dengan alasan kesehatan ibu, misalnya si

ibu menderita tekanan darah tinggi, terkena infeksi serius, atau

mengidap diabetes.

3. Ukuran janin terlalu kecil, bila dibiarkan terlalu lama dalam

kandungan di duga akan beresiko/membahayakan hidup janin.

4. Membran ketuban pecah sebelum ada tanda-tanda awal persalinan.

5. Plasenta keluar lebih dahulu sebelum bayi.

Induksi persalinan akan berhasil bila memperhatikan beberapa persyaratan

sebagai berikut:

a) Kehamilan aterm

a) Ukuran panggul normal

b) Tak ada CPD

c) Janin dalam presentasi kepala

d) Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan sudah mulai

membuka) (Israr, 2009)

Induksi partus menurut Mochtar (1998) ada berbagai cara antara lain :

a) Cara Kimiawi

(1) Oksitosin drip: kemasan yang dipakai adalah pitosin dan sintosinon,

pemberiannya dapat dapat secara suntikan intra muskuler, intravena

dan infus tetes. Yang paling baik dan aman adalah pemberian infus

tetes (drip) karena dapat diatur dan diawasi.

Efek kerjanya :

(a) Kandung kemih dan rektum terlebih dahulu dikosongkan

(b) Ke dalam 500 cc dektrosa 5% dimasukkan 5 satuan oksitosin dan

diberikan per infus dengan kecepatan pertama 10 tetes per menit.

(c) Kecepatan dapat dinaikkan 5 tetes setiap 15 menit sampai tetes

maksimal 40-60 tetes per menit.

21

Page 22: Preeklampsia, induksi, MOW

(d) Oksitosin drip akan lebih berhasil bila nilai pelviks di atas 5 dan

dilakukan amniotomi.

(2) Injeksi larutan hipertonik intra-amnial. Cara ini biasanya dilakukan

pada kehamilan di atas 16 minggu di mana rahim sudah cukup besar.

Secara transuterin atau amniosentesis, ke dalam kantong amnion (yang

sebelumnya cairan amnionnya telah dikeluarkan dahulu) kemudian

dimasukkan larutan garam hipertonik dan larutan gula hipertonik

(larutan garam 20% atau larutan glukosa 50%) sebagai iritan pada

amnion dengan harapan akan terjadi his. Sebaiknya diberikan oksitosin

drip yaitu: 10-20 satuan oksitosin dalam 500 cc dektrosa 5% dengan

tetesan 15 sampai 25 tetes per menit. Penderita diobservasi baik-baik.

(3)Pemberian prostaglandin. Prostaglandin dapat merangsang otot-otot

polos termasuk juga otot-otot rahim. Prostaglandin yang spesifik untuk

merangsang otot rahim ialah PGE2 dan PGS2 alpha. Untuk induksi

persalinan prostaglandin dapat diberikan secara intravena, oral,

vaginal, rektal dan intra amnion. Pada kehamilan aterm, induksi

persalinan dengan prostaglandin cukup efektif. Pengaruh sampingan

dari pemberian prostaglandin ialah mual, muntah, diare (Wiknjosastro,

2006).

b) Cara Mekanis

Menurut Mochtar (1998) induksi secara mekanis adalah sebagai

berikut :

(1) Melepas selaput ketuban stripping of the membrane jari yang dapat

masuk ke dalam kanalis servikalis selaput ketuban yang melekat

dilepaskan dari dinding uterus sekitar ostium uteri internum. Cara ini

akan lebih berhasil bila serviks sudah terbuka dan kepala dan lepasnya

ketuban maka selaput ini akan lebih menonjol yang akan merangsang

timbulnya his dan terbukanya serviks.

(2) Memecahkan ketuban (amniotiomi). Hendaknya ketuban baru

dipecahkan kalau memenuhi syarat sebagai berikut :

(a) Serviks sudah matang atau skor pelviks di atas 5.

22

Page 23: Preeklampsia, induksi, MOW

(b) Pembukaan kira-kira 4-5 cm

(c) Kepala sudah memasuki pintu atas panggul. Biasanya setelah 1-2

jam pemecahan ketuban diharapkan his akan timbul dan menjadi

lebih kuat.

(3) Dilatasi serviks uteri. Dilatasi serviks uteri dapat dikerjakan dengan

memakai gagang laminaria, atau dilatator (busi) hegar.

(4) Accauchement farce.

(a) Kalau bagian terbawah janin adalah kaki, mata kaki ini di ikat

dengan kain kasa steril yang melalui kontrol dan di beri beban.

(b) Bila bagian terbawah janin adalah kepala, maka kulit kepala di jepit

dengan cunzim. Muzeuk yang dikemudian di ikat dengan kain kasa

melalui katrol di beri beban.

c) Cara kombinasi kimiawi dan mekanis

Adalah memakai cara kombinasi antara cara kimiawi diikuti dengan

pemberian oksitosin drip atau pemecahan ketuban dengan pemberian

prostaglandin per oral dan sebagainya.

Pada umumnya cara kombinasi akan berhasil kalau induksi partus

gagal sedangkan ketuban sudah pecah pembukaan serviks tidak memenuhi

syarat untuk pertolongan operatif pervaginam, satu-satunya jalan adalah

mengakhiri kehamilan dengan seksio caesarea.

Skor Pelvis Menurut Bishop

Skor Bishop 0 1 2 3

Dilatasi serviks

Pembukaan

konsistensi

Posisi janin

Posisi serviks

<1

>4

Keras

-3

Posterior

1-2

2-4

sedang

-2

Central

2-4

1-2

lunak

-1

Anterior

>4

<1

+1, +2

Sumber : Magowan, 2005

Menurut Rustam (1998), komplikasi induksi persalinan adalah :

a) Terhadap Ibu

(1) Kegagalan induksi.

23

Page 24: Preeklampsia, induksi, MOW

(2) Kelelahan ibu dan krisis emosional.

(3) Inersia uteri partus lama.

(4) Tetania uteri (tamultous lebar) yang dapat menyebabkan

solusio plasenta, ruptura uteri dan laserasi jalan lahir

lainnya.

(5) Infeksi intra uterin.

b) Terhadap janin

(1) Trauma pada janin oleh tindakan.

(2) Prolapsus tali pusat.

(3) Infeksi intrapartal pada janin

C. MEDIS OPERATIF WANITA (MOW)

a. Pengertian

MOW (medis operatif wanita) atau kontrasepsi mantap (kontap)

atau sterilisasi atau tubektomi. (Manuaba, 1999).

Kontrasepsi mantap ialah setiap tindakan pada kedua saluran bibit

wanita atau bibit pria yang mengakibatkan pasangan yang

bersangkutan tidak akan mendapat keturunan lagi, atas permintaan

suami atau istri yang bersangkutan. (Winkjosastro, 2007).

Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan

fertilitas (kesuburan) seorang perempuan. (Depkes, 2006)

Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan

fertilitas (kesuburan) seorang perempuan secara permanen. Dengan

mengoklusi tuba falopii (mengikat dan memotong atau memasang

cincin), sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum.

(Saifuddin, 2003).

b. Manfaat

Kontrasepsi

a. Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun

pertama penggunaan).

b. Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding)

24

Page 25: Preeklampsia, induksi, MOW

c. Tidak bergantung pada faktor sanggama

d. Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi faktor resiko

kesehatan yang serius

e. Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal

f. Tidak ada efek samping dalam jangka panjang

g. Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada

produksi hormon ovarium)

Non kontrasepsi

Berkurangnya resiko kanker ovarium

c. Cara Tubektomi

1) Cara mencapai tuba

a) Abdominal/Transabdominal

(1) Laparotomi

Laparotomi yang dilakukan untuk MOW ini ada 2

macam, yaitu laparotomi dan laparotomi post partum.

(Winkjosastro, 2005).

(2) Minilaparotomi

Laparotomi mini dilakukan dalam masa interval.

Sayatan dibuat di garis tengah di atas simfisis, daerah

perut bawah (suprapubik) maupun pada lingkar pusat

bawah (subumbilikal) sepanjang 3 cm sampai

menembus peritoneum. Setelah tuba didapat, kemudian

dikeluarkan, diikat dan dipotong sebagian. Setelah itu

dinding itu ditutup kembali, luka sayatan ditutup

dengan kasa yang kering dan steril dan apabila tidak

ditemukan masalah yang berarti, klien dapat

dikeluarkan dalam 2-4 jam. (Saiffudin, 2006).

25

Page 26: Preeklampsia, induksi, MOW

Gambar 2.1: Sayatan Mini Laparatomi

Sumber : Wiknjosastro, 2005

(3) Laparoskopi

Tindakan operasi dengan bantuan kamera/laparoskop

yang dimasukkan melalui sayatan kecil abdomen untuk

mengertahui letak tuba.

b) Vaginal/ Transvaginal

(1) Kuldoskopi

Kuldoskop dimasukkan transvaginal untuk mengetahui

letak tuba yang akan dilakukan oklusi.

(2) Kolpotomi posterior

MOW yang dilakukan melalui sayatan kecil di dinding

belakang vagina, kemudian tuba ditampakkan

menggunakan spekulum Soonawalla sehingga bisa

dilakukan oklusi. (Wiknjosastro, 2007).

c) Transervical / Transuterine

Merupakan metode kontrasepsi non chirurgis (non

incisional) dimana oklusi tuba falopi dilakukan melalui

serviks uteri. Untuk mencapai ostium tuba (utero tubal

junction), dapat dilakukan dengan:

(1) Histeroskopi

Prinsipnya seperti laparoskopi, hanya pada

histeroskopi tidak dipakai trochar, tetapi suatu vakum

26

Page 27: Preeklampsia, induksi, MOW

cervical adaptor untuk mencegah keluarnya gas saat

dilatasi cervik/ cavum uteri.

(2) Blind delivery

Pada cara ini operator tidak melihat langsung ke

dalam cavum uteri untuk melokalisir orificium tuba. Zat

kimia yang digunakan untuk mengoklusi tuba falopii

dalam bentuk cair, pasta, atau padat, dimasukkan ke

dalam kateter, kanula atau pipa/ tube lalu didorong

dengan alat pendorong atau dengan pompa yang khusus

dibuat untuk prosedur ini. (Hartanto, 2004).

2) Cara penutupan tuba

a) Cara Madlener

Bagian tengah tuba diangkat dengan cunam Pean,

sehingga terbentuk suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar

dari lipatan tersebut dijepit dengan cunam kuat-kuat, dan

selanjutnya dasar itu diikat dengan benang yang tidak dapat

diserap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan tuba.

Sekarang cara ini sudah tidak dilakukan lagi karena angka

kegagalannya relatif tinggi yaitu 1% sampai 3%.

Gambar 2.2: Penutupan tuba menurut Madlener

Sumber: Wiknjosastro, 2005

b) Cara Pomeroy

Cara Pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan

dengan mengangkat bagian tengah dari tuba sehingga

membentuk suatu lipatan terbuka, kemudian dasarnya

diikat dengan benang yang dapat diserap, tuba di atas dasar

27

Page 28: Preeklampsia, induksi, MOW

itu dipotong. Setelah benang pengikat diserap, maka ujung-

ujung tuba akhirnya terpisah satu sama lain.

Gambar 2.3: Tubektomi menurut Pomeroy

Sumber: Wiknjosastro, 2005

c) Cara Irving

Pada cara ini tuba dipotong antara dua ikatan benang

yang dapat diserap; ujung proksimal dari tuba ditanam ke

dalam miometrium, sedangkan ujung distal ditanam ke

dalam ligamentum latum.

Gambar 2.4: Tubektomi menurut Irving

Sumber: Wiknjosastro, 2005

28

Page 29: Preeklampsia, induksi, MOW

d) Cara Aldridge

Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan

kemudian tuba bagian distal bersama-sama dengan fimbria

ditanam ke dalam ligamentum latum.

e) Cara Uchida

Pada cara ini, tuba ditarik ke luar abdomen melalui

suatu insisi kecil (minilaparotomi) di atas simfisis pubis.

Kemudian di daerah ampula tuba dilakukan suntikan

dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa

tuba. Akibat suntikan ini, mesosalping di daerah tersebut

menggembung. Lalu, dibuat sayatan kecil di daerah yang

kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari tuba sepanjang

kira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan dijepit,

diikat lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan

tertanam dengan sendirinya di bawah serosa, sedangkan

ujung tuba yang distal dibiarkan berada di luar serosa. Luka

jahitan dijahit secara kantong tembakau. Angka kegagalan

cara ini adalah 0.

29

Page 30: Preeklampsia, induksi, MOW

Gambar 2.5: Tubektomi meurut Uchida

Sumber: Wiknjosastro, 2005

f) Cara Kroener

Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang

operasi. Dibuat suatu ikatan dengan benang sutra melalui

bagian mesosalping di bawah fimbria. Seluruh fimbria

dipotong, setelah pasti tidak ada perdarahan, maka tuba

dikembalikan ke dalam rongga perut.

Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara

lain ialah sangat kecilnya kemungkinan kesalahan mengikat

ligamentum rotundum. Angka kegagalan 0,19% (Wiknjosastro,

2005).

30

Page 31: Preeklampsia, induksi, MOW

Gambar 2.6: Tubektomi menurut Kroener

Sumber: Wiknjosastro, 2005

g) Pemasangan cincing Falope/ cincin Yoon/ Silastic band

Sesudah terpasang, lipatan tuba tampak keputih-putihan

oleh karena tidak mendapat suplai darah lagi dan akan

menjadi Jibrotik. Cincin Falope dapat dipasang pada

laparotomi mini, laparoskopi atau dengan laprokator.

Gambar 2.7. Tubektomi dengan Pemasangan Cincin Falope

Sumber: Glasier, 2006

h) Pemasangan Klip

Dikenal beberapa tubal klip, yaitu:

a. Klip Filshie = Nottingham Clip

Dikembangkan pada tahun 1973 oleh G.M Filshie,

terbuat dari titanium dengan permukaan dalam klip

dialpisi silicone. (Hartanto, 2004). Mempunyai

keuntungan dapat digunakan pada tuba yang edema.

(Glasier, 2006).

31

Page 32: Preeklampsia, induksi, MOW

(b) Klip Filshie

Sumber: Glasier, 2006

b. Klip Hulka-Clemens = Spring loaded clips

(a) Klip Hulka-Clemens

Sumber: Glasier, 2006

c. Tantulum hemo-clips

Terbuat dari tantalum, suatu logam yang tidak bereaksi

dengan jaringan (non- tissue reactive), mempunyai alur

bagian dalamnya agar lebih kuat menjepit tuba fallopii.

Gambar 2.8: Tubektomi dengan pemasangan klip

Sumber: Glasier, 2006

i) Elektro koagulasi/ diatermi dan pemutusan tuba

Cara ini dulu banyak digunakan pada tubektomi

laparoskopik. Dengan memasukkan Grasping Foerceps

melalui laparoskop tuba dijepit kurang lebih 2 cm dari

32

Page 33: Preeklampsia, induksi, MOW

koruna, diangkat menjauhi uterus dan alat-alat panggul

lainnya, kemudian dilakukan kauterisasi. Tuba terbakar

kurang lebih 1 cm ke proksimal, dan distal serta

mesosalping terbakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi

tuba tampak menjadi putih, menggembung, lalu putus. Cara

ini sekarang banyak ditinggalkan.

(Wiknjosastro, 2007)

Gambar 2.10: Koagulasi diatermi pada tuba falopii

Sumber: Glasier, 2006

33

Page 34: Preeklampsia, induksi, MOW

DAFTAR PUSTAKA

Roeshadi, Haryono. 2006. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka

Kematian Ibu pada Penderita Preeklamsi dan Eklamsi. USU Repository:

Medan.

Belfort, Michael., Anthony, John., Saade, George R., and Allen, C John. 2003. A

Comparison of Magnesium Sulfate and Nimodipine for the Prevention of

Eclampsia. In New England Journal of Medicine. Massachusetts Medical

Society.

Mutter, Walter and Karumanchi, Ananth. 2008. Molecular Mechanism of

Preeclampsia. Microvasc Res. 2008 January ; 75(1): 1–8.

Hladunewich, Michelle., Karumanchi, Ananth and Lafayette, Richard. 2007.

Pathophysiology of the Clinical Manifestations of Preeclampsia. Clinical

Journal of the American Society of Nephrology.

Samantha, Deasy. 2005. Efek Pemberian Kombinasi Vitamin E dan Vitamin C

Terhadap Kadar Nitric Oxide (NO) pada Preeklamsia. Program

Pascasarjana Ilmu Biomedis FK UNDIP.

Sean, Esplin., Bardett, Fausett., Alison, Fraser., Rich, Kerber. 2001. Paternal

and Maternal Components of The Predisposition to Preeclampsia. The

New England Journal of Medicine. Volume 344. Massachusetts Medical

Society.

Cunningham, Gary., et al. 2005. Induksi dan Augmentasi Persalinan. Obstetri

Williams, ed 21. EGC: Jakarta. Volume 1, 515-27.

Cunningham, Gary., et al. 2005. Sterilisasi. Obstetri Williams, ed 21. EGC:

Jakarta. Volume 2, 1740-7.

34