Praktikum Ventilasi & TBT
-
Upload
jumardi-darwis -
Category
Documents
-
view
32 -
download
6
description
Transcript of Praktikum Ventilasi & TBT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Genesa Batu Bara
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses
fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara
termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang mengubah
tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification).
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi
dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi
pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi
serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan
terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu,
karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field)
dan lapisannya (coal seam).
Merupakan proses transformasi dari sisa tanaman menjadi gambut,
batubara muda, batubara tua dalam 2 tahap, yaitu :
1. Tahap Biokimia
Merupakan tahap awal dari proses pembatubaraan disebut “syngenetic
coalification”. Pada tahap ini terjadi proses pembusukkan sisa-sisa tanaman yang
disebabkan oleh kerja bakteri Anareob, jamur. Karena produk utama dalam proses
ini adalah gambut maka sering disebut sebagai proses penggambutan
(peatification). Dalam proses penggambutan, proses yang penting adalah
pembentukan humic yang disebut Humifikasi.
2. Tahap Geokimia
Dengan naiknya kedalaman timbunan sisa tanaman, maka aktifitas bakteri
aerobik digantikan oleh bakteri anaerobik pada kedalaman ± 40 cm. Pada
kedalaman 10 m, aktifitas bakteri anaerobik berkurang dan bahkan hilang sama
sekali. Proses yang terjadi kemudian bersifat Geokimia. Proses ini disebut juga
proses pembatubaraan (coalification). Karena terjadi perubahan (pematangan) dari
gambut menjadi lignit – sub-bituminus – bituminous – coal-antrasit. Maka proses
pada tahap ke 2 ini disebut juga “Epygenetic Coalification”.
Adapun tingkat pembatubaraan (pematangan) bahan organik adalah
disebabkan oleh :
1. Temperatur
2. Lamanya waktu pemanasan
3. Tekanan
Secara normal, makin cepat naiknya kedalaman deposit makin tinggi
“geothermal gradient”, maka makin cepat pematangan terjadi. Disamping itu
terdapat sumber-sumber panas lain dari luar, yaitu :
- Igneous Intrusion
- Sirkulasi larutan hidrotermal
- Panas gesekan (frictional heating)
- Komplikasi tektonik
Pengaruh temperatur terhadap pembatubaraan tidak bisa dipisahkan dari
lamanya pemanasan. Untuk waktu pemanasan yang lebih lama (pada temperatur
yang sama), tingkat pembatubaraan yang dihasilkan akan lebih tinggi. Oleh
karena itu batubara yang umurnya (geologi) lebih tua, mempunyai tingkat
pembatubaraan yang lebih tinggi.
1.2. Teori Pembentukan Batubara
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon
(Carboniferous Period) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang
berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap
endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik’.
Gambar 1.1. Proses Terbentuknya Batubara
(Sumber : Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, 2004)
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama
jutaan tahun, maka batubara muda akan mengalami perubahan yang secara
bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi
batubara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus
berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam
sehingga membentuk bituminus (bituminous). Dalam kondisi yang tepat,
peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit. Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya
menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk
batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari masing-masing unsur yang
terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan.
1.2.1. Teori Rawa Peat (Gambut) - Autocthon
Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batubara berasal dari akumulasi
sisa-sisa tanaman yang kemudian tertutup oleh sedimen diatasnya dalam suatu
area yang sama. Dan dalam pembentukannya harus mempunyai waktu geologi
yang cukup, yang kemudian teralterasi menjadi tahapan batubara yang dimulai
dengan terbentuknya peat yang kemudian berlanjut dengan berbagai macam
kualitas antrasit. Kelemahan dari teori ini adalah tidak mengakomodasi adanya
transportasi yang bisa menyebabkan banyaknya kandungan mineral dalam
batubara.
1.2.2. Teori Transportasi - Allotocton
Teori ini mengungkapkan bahwa pembentukan batubara bukan berasal dari
degradasi/peluruhan sisa-sisa tanaman yang insitu dalam sebuah lingkungan rawa
peat, melainkan akumulasi dari transportasi material yang terkumpul didalam
lingkungan aqueous seperti danau, laut, delta, hutan bakau. Teori ini menjelaskan
bahwa terjadi proses yang berbeda untuk setiap jenis batubara yang berbeda pula.
1.2.3. Proses Geokimia dan Metamorfosis
Setelah terbentuknya lapisan source, maka berlangsunglah berbagai macam
proses. Proses pertama adalah diagenesis, berlangsung pada kondisi temperatur
dan tekanan yang normal dan juga melibatkan proses biokimia. Hasilnya adalah
proses pembentukan batubara akan terjadi, dan bahkan akan terbentuk dalam
lapisan itu sendiri. Hasil dari proses awal ini adalah peat, atau material lignit yang
lunak. Dalam tahap ini proses biokimia mendominasi, yang mengakibatkan
kurangnya kandungan oksigen. Setelah tahap biokimia ini selesai maka berikutnya
prosesnya didominasi oleh proses fisik dan kimia yang ditentukan oleh kondisi
temperatur dan tekanan. Temperatur dan tekanan berperan penting karena
kenaikan temperatur akan mempercepat proses reaksi, dan tekanan
memungkinkan reaksi terjadi dan menghasilkan unsur-unsur gas. Proses
metamorfisme (temperatur dan tekanan) ini terjadi karena penimbunan material
pada suatu kedalaman tertentu atau karena pergerakan bumi secara terus-menerus
didalam waktu dalam skala waktu geologi.
Tabel 1.1. Contoh Analisis Batubara (daf based)
(Sumber: Sekitan no Kisou Chishiki)
Data-data di atas apabila ditampilkan dalam bentuk grafik hasilnya adalah
sebagai berikut:
Gambar 1.2. Hubungan Tingkat Pembatubaraan - Kadar Unsur Utama
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi tingkat
pembatubaraan, maka kadar karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan
oksigen akan berkurang. Karena tingkat pembatubaraan secara umum dapat
diasosiasikan dengan mutu atau kualitas batubara, maka batubara dengan tingkat
pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah seperti lignite dan
sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna
suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan
kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin
tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya
akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang
sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga
semakin besar.
1.3. Pemanfaatan Batubara
Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki
riwayat pemanfaatan yang sangat panjang. Beberapa ahli sejarah yakin bahwa
batubara pertama kali digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan yang
menyatakan bahwa suatu tambang di timur laut Cina menyediakan batubara untuk
mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang logam sekitar tahun 1000 SM.
Bahkan petunjuk paling awal tentang batubara ternyata berasal dari filsuf dan
ilmuwan Yunani yaitu Aristoteles, yang menyebutkan adanya arang seperti batu.
Abu batu bara yang ditemukan di reruntuhan bangunan bangsa Romawi di Inggris
juga menunjukkan bahwa batubara telah digunakan oleh bangsa Romawi pada
tahun 400 SM.
Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama
penambangan batu bara di Eropa, bahkan suatu perdagangan internasional batu
bara laut dari lapisan batu bara yang tersingkap di pantai Inggris dikumpulkan dan
diekspor ke Belgia. Selama Revolusi Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan
akan batubara amat mendesak. Penemuan revolusional mesin uap oleh James
Watt, yang dipatenkan pada tahun 1769, sangat berperan dalam pertumbuhan
penggunaan batu bara. Oleh karena itu, riwayat penambangan dan penggunaan
batu bara tidak dapat dilepaskan dari sejarah Revolusi Industri, terutama terkait
dengan produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.
Namun tingkat penggunaan batubara sebagai sumber energi primer mulai
berkurang seiring dengan semakin meningkatnya pemakaian minyak. Dan
akhirnya, sejak tahun 1960 minyak menempati posisi paling atas sebagai sumber
energi primer menggantikan batubara. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa
batubara akhirnya tidak berperan sama sekali sebagai salah satu sumber energi
primer.
Krisis minyak pada tahun 1973 menyadarkan banyak pihak bahwa
ketergantungan yang berlebihan pada salah satu sumber energi primer, dalam hal
ini minyak, akan menyulitkan upaya pemenuhan pasokan energi yang kontinyu.
Selain itu, labilnya kondisi keamanan di Timur Tengah yang merupakan produsen
minyak terbesar juga sangat berpengaruh pada fluktuasi harga maupun stabilitas
pasokan. Keadaan inilah yang kemudian mengembalikan pamor batubara sebagai
alternatif sumber energi primer, disamping faktor-faktor berikut ini:
1. Bahan Bakar Langsung
Penyerapan gas SO2 dari hasil pembakaran briket bio batubara dengan
unggulan zeolit.
Pengembangan model fisik tungku pembakaran briket biocoal untuk
industri rumah tangga, pembakaran bata/genteng, boiler rotan dan
pengering bawang.
Tungku hemat energi untuk industri rumah tangga dengan bahan bakar
batubara/briket bio batubara.
Pembakaran kapur dalam tungku tegak system terus menerus skala
komersial dengan batubara halus menggunakan pembakar siklon.
Tungku pembuatan gula merah dengan bahan bakar batubara.
Pembakaran kapur dalam tungku system berkala dengan kombinasi bahan
bakar batubara - kayu.
Pembakaran bata-genteng dengan batubara.
2. Non Bahan Bakar
Pengkajian pemanfaatan batubara Kalimantan Selatan untuk pembuatan
karbon aktif.
Daur ulang minyak pelumas bekas dengan menggunakan batubara
peringkat rendah sebagai penyerap.
Abu hasil pembakaran dari batubara digunakan sebagai bahan baku
pembuatan batako.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Tahapan Penambangan
Metode penambangan yang digunakan adalah Block-Cut Countur Mining.
Pada metode ini daerah penambangan dibagi-bagi menjadi blok-blok
penambangan yang bertujuan untuk mengurangi timbunan tanah buang pada saat
pengupasan tanah penutup di sekitar lereng. Pada tahap awal blok 1 digali hingga
sampai pada batas tebing (highwall) yang diijinkan tingginya. Tanah penutup
tersebut ditimbun sementara. Batubara dari blok 1 kemudian digali setelah itu
lapisan tanah penutup blok 2 yang tergali sebanyak setengahnya dipindahkan ke
blok 1. Ketika itu batubara di blok 2 sudah tersingkap dan siap digali seperti cara
di atas. Begitu pula selanjutnya pada blok 3. Lapisan tanah penutup pada blok 3
yang tergali sebanyak setengahnya dipindahkan ke blok 2. Batubara di blok 3
sudah tersingkap dan siap digali.
2.2. Peralatan Penambangan
Dalam praktikum simulasi penambangan batubara dengan metode
tambang bawah tanah alat yang digunakan adalah (computer / leptop, infokus, dan
beberap kaset VCD).
Sedangakan dalam penambangannya sediri alat yang digunakan adalah
Dram scraper
Continues mine
Jumbo drilling
Belt conveyor
2.3. Sistem Penambangan
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan sistem penambangan
adalah :
a. Geografi dan Geologi
i. Lokasi : penetuan pemakaian alat pertambangan
ii. Curah hujan, temperatur, iklim dan ketinggian akan berpengaruh
terhadap produktivitas alat, apabila curah hujan tinggi:
- lapangan becek, tanah penutup basah sehingga susah dimuat
dan diangkut
- kemiringan lereng dan timbunan menjadi sukar dipelihara
- perlu pemompa air tambang
- harus dibuat jalan tambang dan diperlukan pemeliharaan yang
serius
Faktor geologi yang berpengaruh :
- keadaan permukaan
- jumlah lapisan baubara
- kemiringan batubara
- ketebalan tanah penutup
b. Ukuran dan distribusi lapisan batubara
c. Ketersedian peralatan dan kesesuaian dengan peralatan lain
d. Geoteknik
e. Umur tambang
f. Produksi
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas dan disesuaikan dengan
kenampakkan topografinya maka metode penambangan yang digunakan adalah
metode Block-Cut Countur Mining. Sistem ini diterapkan untuk endapan batubara
yang tersingkap (outcrop) di lereng pegunungan atau bukit.
Metode penambangan yang digunakan dalam tambang bawah tanah ini
yaitu metode room and pillar. Cara penambangan ini mengandalkan endapan
batubara yang tidak diambil sebagai room. Pada metode ini penambangan
batubara sudah dilakukan sejak pada saat pembuatan lubang maju. Selanjutnya
lubang maju tersebut dibesarkan menjadi ruangan–ruangan dengan meninggalkan
batubara sebagai tiang penyangga.
Besar dan bentuk ruangan sebagai akibat pengambilan batubaranya harus
diusahakan agar penyangga yang dipakai cukup memadai kuat mempertahankan
ruangan tersebut tetapi aman sampai soalnya dilakukan pengambilan penyangga
yang sebenarnya yaitu tiang penyangga batubara (coal pillars). Metode ini
mempunyai keterbatasan – keterbatasan dalam besar jumlah batubara yang dapat
diambil secara ekonomis maupun secara teknis.
Dari seluruh total cadangan terukur batubara yang dapat diambil dengan cara
penambangan metode room and pillar ini paling besar lebih kurang 30 - 40 %
saja. Hal ini disebabkan banyak batubara tetinggal sehingga tiang – tiang
pengaman yang tidak dapat diambil.
BAB III
POKOK BAHASAN
3.1. Penyanggaan
Penyanggaan diperlukan apabila berdasarkan perhitungan massa batuan
(country rock maupun bijihnya) tidak mampu menyangga dirinya sendiri, agar
lubang bukaan tidak runtuh.
Maksud pembuatan dan pemasangan penyanggan adalah :
1. Untuk menjaga stabilitas lubang bukaan
2. Untuk melindungi batuan yang tidak ditambang
seperti ”overburden” dan semua batuan yang ada di atas tempat
penggalian
3. Untuk melindungi tempat kerja penambangan
4. Untuk melindungi para pekerja dari runtuhan –
runtuhan batuan yang ada di atas atau di sampingnya
5. Untuk melindungi para pekerja bila terjadi banjir atau
hal lain
6. Untuk tempat berpijak/lantai para pekerja
7. Untuk melindungi broken ore sebelum diangkut ke
luar tambang
8. Untuk memisahkan antara ”broken ore” dan ”ore
insitu” untuk endapan yang biasa terkonsolidasi (kompaksasi) kembali,
misalnya bijih sulfida.
Bahan – bahan untuk penyanggan adalah :
a. Pillar
Terdiri dari batuan atau bijih, biasanya yang berkadar rendah (barren rock)
b. Kayu (timbering)
c. Semen atau beton
d. Besi (steel)
e. Batubata
f. Filling material
g. Broken ore
Dasar pemilihan material yang digunakan adalah :
1 Faktor Ekonomi
Dalam hal ini diusahakan biaya penyanggaan sekecil mungkin.
2 Pertimbangan Teknis
Dalam hal ini yang terpenting bagaimana supaya tujuan penyanggaan
tersebut tercapai, yaitu kekuatan umur yang diinginkan, ketersediaan,
kemudahan pemasangan, interaksi batuan penyangga.
Jika antara faktor ekonomi dan pertimbangan teknis terdapat saling tolak
belakang, maka perlu kompromi yaitu dalam hal :
a. Ongkos pembuatan dan pemeliharaan
b. Umur atau lama penyanggaan itu diperlukan
c. Beban yang harus disangga
d. Dimana lubang bukaan yang harus disangga
Pada tambang bawah tanah dengan bahan galian batubara ini
menggunakan penyangga alamiah. Penyangga ini dibuat dari batuan atau badan
bijih berkadar rendah dan dibentuk menjadi senacam pilar yang disebut Ore Pillar
atau Rock Pillar.
Berdasarkan bentuk dan letak/posisinya pillar dapat dibagi menjadi tiga
yaitu :
a) Random Pillar, yaitu pillar yang bentuk letak satu sama lain tak beraturan.
Banyak dijumpai pada tambang – tambang rakyat perusahaan kecil atau
pada Desseminated Ore.
b) Regular Pillar, yaitu pilar yang bentuk dan letak satu sama lain saling
teratur bentuknya. Bentuknya ada yang bulat, segi empat dan persegi
panjang. Rib pillar merupakan penyanggaan pillar dimana di sisi
panjangnya jauh lebih besar dari pada dimensi lebarnya.
c) Barrier Pillar, yaitu pilar besar yang bentuknya tidak teratur, melintang,
dan jalan masuk utama pada long wall.
3.2. Peledakan
Peledakan bawah tanah mempunyai beberapa tujuan, yaitu :
1. Meledakan batuan dengan tujuan menghasilkan ruangan untuk gudang,
jalan, saluran, terowongan pipa, dan lain sebagainya.
2. Meledakan batuan dengan tujuan mengambil material: operasi
penambangan.
Dari kedua jenis kegiatan di atas terowongan adalah merupakan bagian
yang terpenting dari keseluruhan kegiatan. Terowongan umunya dibuat dengan
arah mendatar, miring, dan vertikal ke bawah maupun ke atas.
Perbedaan utama antara peledakan bawah tanah dengan peledakan di
permukaan tanah adalah :
a. Peledakan bawah tanah dilakukan ke arah satu bidang bebas (free face),
sedangkan peledakan di permukaan dilakukan ke arah dua atau lebih
bidang bebas.
b. Tempat peledakan atau ruangan di bawah tanah lebih terbatas, oleh karena
itu batuan akan lebih sukar untuk diledakan dan perlu dibuat bidang bebas
kedua yang akan merupakan arah peledakan selanjutnya.
Dalam pembuatan terowongan bidang bebas kedua diperoleh dengan
membuat ”cut” dalam permukaan terowongan. Macam-macam ”cut” yang
dipergunakan untuk membuat terowongan adalah : pararel hole cut, V-cut, fan-
cut, dan lain-lain. Setelah bukaan “cut” terbentuk maka “stoping” kearah “cut”
dimulai.
Lubang kontur (Contour holes) dibuat pada lubang atap (roof holes).
Lubang dinding (wall holes) dan lubang lantai (floor holes) dibuat agak
diserongkan keluar dari kontur (look out), sehingga terowongan yang dihasilkan
mempunyai bentuk seperti yang direncanakan.
Konsumsi bahan peledak dalam peledakan terowongan lebih tinggi dari
pada peledakan jenjang. Spesific charge adalah 3 cm sampai 10 kali lebih tinggi
dari pada untuk peledakan jenjang.
Cut yang biasa dipergunakan dalam pembuatan terowongan adalah
“circular cut” atau “large hole cut” atau “parallel hole cut” adalah pemboran
horizontal tegak lurus pada permukaan batuan. Semua lubang dalam cut dibor
parallel satu terhadap yang lain dan peledakan dilaksanakan kearah lubang kosong
yang bertindak sebagai bukaan. Parallel hole cut ini adalah merupakan
pengembangan dari burn cut.
Cut dapat diledakkan disembarang tempat pada permukaan terowongan,
tetapi harus diperhatikan bahwa letak cut mempengaruhi lemparan konsumsi
bahan peledak dan jumlah lubang ledak dalam “round”.
Apabila letak cut dekat dengan dinding mungkin dapat mengurangi
jumlah lubang tembak dalam round, tetapi ada kelemahan – kelemahan lainnya.
Untuk mendapatkan arah peledakan kedepan dan tumpukan ditengah, cut
diletakkan ditengah – tengah penampang dan agak kebawah. Posisi ini akan
menghasilkan lemparan bahan peledak lebih sedikit karena semua stoping kearah
bawah.
Posisi cut yang tinggi akan memberikan kemudahan pemuatan hasil
peledakan, tetapi konsumsi bahan peledak lebih tinggi karena banyak “stoping”
kearah atas, umumnya letak cut adalah pada deretan lubang tembak pertama diatas
lantai terowongan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang bisa diperoleh dari simulasi ini adalah :
1) Sistim tambang bawah tanah yang digunakan yaitu tambang batubara
dengan metode room and pillar.
2) Metode penyanggan yang digunakan yaitu metode penyangga alamiah,
yaitu dengan menggunakan batuan samping dan badan bijih yang berkadar
rendah.
3) Metode peledakan yang digunakan berbentuk nomenclature, yaitu dengan
membuat lubang ledak pada bagian “roof holes”, “stoping holes”, “wall
holes”, “cut” dan “floor holes”.
4.2. Saran
Diharapkan agar dalam praktikum selanjutnya, tidak hanya dilakukan
simulasi tetapi langsung mengadakan praktikum di lokasi penambangan