Praktek Perbankan Di Zaman Rasulullah Saw

download Praktek Perbankan Di Zaman Rasulullah Saw

of 12

Transcript of Praktek Perbankan Di Zaman Rasulullah Saw

Praktek Perbankan di Zaman Rasulullah sawPosted by indah on 28 January 2010. Leave a comment. Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan jasa mengirimkan uang (transfer). Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, fungsi fungsi bank telah dikenal sejak zaman Rasulullah saw. Fungsi fungsi tersebut antara lain menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang. Rasululah yang dikenal dengan julukan Al-Amin dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta sehingga pada saat terakhir sebelum beliau berhijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra mengembalikan semua titipan kepada pemiliknya. Dalam konsep ini, Rasulullah tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al-Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dengan akad pinjaman. Tindakan Zubair tersebut menimbulkan implikasi berbeda. Pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya. Kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya utuh. Seorang sahabat lain bernama Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kuffah. Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Mushab bin Zubair yang tinggal di Irak. Inilah cikal bakal transfer. Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara Syam dan Yaman, paling tidak, berlangsung dua kali dalam setahuun. Di zaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dari beberapa contoh di atas, jelaslah bahwa ada individuindividu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah saw. Meskipun tidak ada yang melaksanakan fungsi penitipan harta, terdapat sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam meminjam uang (mudharobah), pengiriman uang (transfer), dan memberikan modal kerja (mudharobah). Beberapa istilah perbankan modern berasal dari khazanah ilmu Fiqh, seperti istilah kredit (English: credit; Romawi: credo) diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam Fiqh berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (English:check; france:Cheque) yang di ambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar. (tys/BSPS)

SEJARAH DAN PEKEMBANGAN WAQAF Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Saad bin Muad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Saad bin Muad berkata: Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon Araf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah SAW. bersabda: Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun Bairaha. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Muads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan Dar Al-Anshar. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan

dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan shadr al-Wuquuf yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanahtanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asySyafiiyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafiiy di samping kuburan Imam SyafiI dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syiah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat

diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain kabah (kiswatul kabah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Kabah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syariat Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya

Zubair Bin Awwam Kamis, 14 Januari 2010 14:02Masuk Islamnya Zubair bin Awwam

Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushai bin Kilab. Ibunya bernama Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Beliau termasuk salah seorang dari 7 orang yang pertama masuk Islam. Beliau memeluk agama Islam ketika dia masih berusia 8 tahun dan melakukan hijrah ketika berusia 18 tahun. Berperawakan tinggi dan berkulit putih. Namun ada juga yang mengatakan bahwa perawakan Zubair tidak termasuk sangat tinggi dan juga tidak tergolong pendek dan bukan termasuk orang yang berbadan gemuk. Ada yang mengatakan bahwa warna kulitnya sawo matang, memiliki banyak bulu badan, dan kedua pipinya tidak penuh terisi daging. Ketika pamannya Naufal bin Khuwailid mengetahui perihal Zubair telah masuk Islam, beliau sangat marah dan berusaha menyiksanya, pernah beliau dimasukkan dalam karung tikar, kemudian dibakar, dan dia berkata kepadanya,lepaskan dirimu dari Tuhan Muhammad, maka saya akan melepaskan dirimu dari api ini. Namun Az-Zubair menolaknya dan berkata kepadanya, Tidak, demi Allah saya tidak akan kembali kepada kekufuran selamanya. Suatu hari beliau mendengar isu yang mengabarkan bahwa Nabi Muhammad saw telah meninggal, maka dia keluar menuju jalan-jalan di Mekkah sambil menghunuskan pedangnya, dan memecah barisan manusia, lalu pergi mencari kepastian dari isu ini dan berjanji jika isu itu benar dia akan membunuh orang yang telah membunuh Rasulullah saw, akhirnya beliau bertemu dengan Rasulullah saw di utara Mekah, maka saat itu Rasulullah saw berkata kepadanya,ada apakah engkau gerangan ? dia berkata,Saya mendengar kabar bahwa engkau telah terbunuh, Nabi berkata kepadanya,Lalu apa yang akan engkau lakukan? dia berkata,Saya akan membunuh orang yang telah membunuhmu. Setelah mendengar hal tersebut beliaupun bergembira dan mendoakannya dengan kebaikan dan pedanganya dengan kemenangan. (Abu Nuaim), beliau juga merupakan orang yang pertama menghunuskan pedangnya di jalan Allah.

Perjuangan Zubair bin Awwam dalam Islam

Zubair bin Awwam pernah ikut berhijrah ke Habsyah bersama orang-orang hijrah dari kaum muslimin, dan beliau tetap tinggal disana hingga Rasulullah saw mengijinkannya untuk kembali ke Madinah. Beliau selalu mengikuti peperangan bersama Rasulullah saw, setelah perang Uhud dan orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, Rasulullah saw mengirim 70 orang sahabat untuk mendampingi dirinya, termasuk di dalamnya Abu Bakar As Siddiq dan Zubair bin Awwam. (AlBukhari). Pada perang Yarmuk, Zubair bertarung dengan pasukan Romawi, namun pada saat tentara muslim bercerai berai, beliau berteriak : Allahu Akbar kemudian beliau menerobos ke tengah pasukan musuh sambil mengibaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan, anaknya Urwah pernah berkata tentangnya,Zubair memiliki tiga kali pukulan dengan pedangnya, saya pernah memasukkan jari saya didalamnya, dua diantaranya saat perang badar, dan satunya lagi saat

perang Yarmuk. Salah seorang sahabatnya pernah bercerita,Saya pernah bersama Zubair bin Awwam dalam hidupnya dan saya melihat dalam tubuhnya ada sesuatu, saya berkata kepadanya,"demi Allah saya tidak pernah melihat badan seorangpun seperti tubuhmu," dia berkata kepada saya,"demi Allah tidak ada luka dalam tubuh ini kecuali ikut berperang bersama Rasulullah saw dan dijalan Allah." Dan diceritakan tentangnya,"Sesungguhnya tidak ada gubernur/pemimpin, penjaga dan keluar sesuatu apapun kecuali dalam mengikuti perang bersama Nabi saw, atau Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khattab atau Utsman bin Affan." Saat terjadi pengepungan atas Bani Quraidzah dan mereka tidak mau menyerah, Rasulullah saw mengutus beliau bersama Ali bin Abu Thalib, lalu keduanya berdiri di depan benteng dan mengulangi kata-katanya,Demi Allah kalian akan merasakan seperti yang telah dirasakan oleh Hamzah, atau kami akan menaklukkan benteng ini. Nabi saw pernah berkata tentangnya,Setiap Nabi punya pendamping dan penolong, dan pendamping saya adalah Zubair. (Muttafaqun alaih). Beliau juga sangat bangga dengan ucapan Rasulullah saw saat terjadi perang Uhud dan perang Bani Quraidzah,lemparkanlah panahmu yang taruhannya adalah bapakku dan ibuku. Sayyidah Aisyah pernah berkata kepada Urwah bin Az-Zubar,sesungguhnya kedua orang tuamu merupakan orang yang mengikuti seruan Allah dan Rasul-Nya setelah tertimpa kepada keduanya luka," (maksudnya adalah Abu Bakar dan Az-Zubair). (Ibnu Majah).

Sifat Zubair bin Awwam

Zubair bin Awwam juga merupakan seorang yang terhormat dan mulia, selalu menginfakkan hartanya di jalan Allah, Kaab berkata tentangnya,Az-Zubair memiliki 1000 macam kekayaan yang dikeluarkan untuk berperang, dan tidak ada uang satu dirhampun yang masuk kerumahnya," (maksudnya hartanya disedekahkan seluruhnya), beliau mensedekahkan seluruh hartanya sampai ia mati dalam keadaan berhutang, dan mewasiatkan kepada anaknya untuk membayarkan hutangnya, dan beliau berkata kepadanya,jika engkau tidak sanggup membayar hutang saya, maka mintalah tolong kepada Tuanku, Abdullahpun bertanya,Siapakah yang engkau maksud dengan Tuan?" beliau menjawab,"Allah, Dialah sebaik-baik pemimpin dan penolong. Lalu setelah itu Abdullah berkata,Demi Allah saya tidak pernah mengalami kesusahan dalam membayar hutangnya, kecuali saya berkata,'Wahai Pemimpin/pemilik Zubair bayarlah hutang Zubair,' maka Diapun menggantinya." (Al-Bukhari). Walaupun beliau selama hidupnya selalu bersama Rasulullah saw namun beliau tidak banyak meriwayatkan haditsnya kecuali sedikit, anaknya Abdullah pernah bertanya akan sebab tersebut, maka diapun berkata,Walaupun antara saya dan Rasulullah saw memiliki hubungan keluarga dan kerabat namun saya pernah mendengar beliau pernah bersabda,'Barangsiapa yang berkata dusta atasku dengan sengaja, maka akan ditempatkan di neraka.' (Al-Bukhari). Karena itu dia sangat takut meriwayatkan hadits yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah saw sehingga tergelincir ke dalam neraka.

Anak dan istri Zubair bin Awwam

Nama Putra dan putri Az-Zubair adalah Abdullah, Urwah, Al Mundzir, Ashim, Al Muhajir,

Khadijah Al Kubra, Ummul Hasan, dan Aisyah. Semua anak Az-Zubair ini berasal dari istrinya yang bernama Asma' binti Abu Bakar. Sedangkan anak-anaknya yeng bernama Khalid, Amru, Habibah, Saudah, dan Hindun berasal dari istrinya yang bernama Ummu Khalid. Nama asli wanita ini adalah Amah binti Sa'id bin Al Ash. Anak-anaknya yang bernama Mush'ab, Hamzah, dan Ramlah berasal dari istrinya yang bernama Ar-Rabab binti Anif bin Ubaid. Anaknya yang bernama Ubaidah dan Ja'far berasal dari istrinya, Zainab. Putrinya yang bernama Zainab berasal dari istrinya , Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith. Putrinya lagi yang bernama Khadijah Ash-Shugra berasal dari istrinya, Al Halal binti Qais.

Wafatnya Zubair bin Awwam

Saat Zubair bin Awwam keluar dalam perang Al-Jamal, seseorang dari kaum Tamim bernama Amru bin Jarmuz mengikuti beliau dan membunuhnya dari belakang di suatu tempat yang bernama lembah Siba. Lalu pergi ke Imam Ali bin Abu Thalib dengan menduga bahwa dia telah membawa kabar gembira, setelah mengetahui hal tersebut Imam Ali bin Abu Thalib berteriak dan berkata kepada pembantunya,Berikan kabar kepada pembunuh putra Sofiyyah dengan neraka, sungguh Rasulullah saw pernah bersabda kepada saya bahwa pembunuh Zubair adalah penghuni neraka. (Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan At-Thobroni). Zubair bin Awwam wafat pada hari Kamis bulan Jumadil Awwal tahun 36 Hijriyyah, sedangkan umurnya saat itu 66/67 tahun.

Praktik Perbankan di Zaman Nabi dan Sahabat Posted by ILham at 18:24 Labels: Aspek Hukum Perbankan Secara umum, bank adalah lembaga keuangan yang melaksanakan tiga fungsi, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian umat islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat islam sejak zaman rasulullah. Praktikpratik seperti menitipkan harta, meminjamkan harta untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman rasulullah saw. Dengan demikian. Fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat islam, bahkan sejak zaman Rasulullah.

Rasulullah yang dikenal dengan julukan Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan. Seorang sahabat Rasulullah saw, Zubair bin Awwam r.a., memilih tidak menerima harta titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkan, kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikan nya secara utuh. Dalam riwayat yang lain disebutkan, ibnu Abbas r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair melakukan pengiriman uang dari makkah ke adiknya Mis'ab bin Zubair r.a. yang tinggal di Irak. Pengunnan cek juga di kenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin al- Khatab r.a. menggunakan cek untuk membayar kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini,, mereka mengambil gandum di baitul mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Disamping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara'ah, musaqoh, telah dikenal sejak awal di antara kaum muhajirin dan kaum anshor. Dan Rasulullah saw pun mejalankan praktisi itu sebelumnya, yaitu ketika ia bertindak sebagai mudharib (pengelola investasi) untuk Khadijah. Dan Khalifah Umar bin Khatab menginvestasikan uang anak yatim kepada para saudagar yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak. Kemitraan bisnis berdasarkan system bagi hasil sederhana semacam ini terus dipraktekan selam berabad-abad tanpa perlu perubahan bentuk sama sekali. Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah melaksakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah saw, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pinjammeminjam, ada yang melaksankan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.

QS 4: 65 :Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. . SEBAB TURUNNYA AYAT: Imam yang enam mengetengahkan dari Abdullah bin Zubair, katanya, Zubair berselisih dengan seorang laki-laki Ansar mengenai aliran air di sebidang tanah, maka sabda Nabi saw., Alirilah tanahmu hai Zubair, kemudian teruskanlah aliran itu ke tanah tetanggamu! Kata orang Ansar, Wahai Rasulullah! Mentang-mentang ia saudara sepupumu. Wajah Rasulullah pun berubah merah, lalu sabdanya, Alirilah tanahmu, hai Zubair! Kemudian tahanlah air sampai kembali ke dinding, setelah itu barulah kamu kirimkan pada tetanggamu. Demikian Zubair mendapatkan haknya secara penuh, padahal pada mulanya Nabi telah mengusulkan pada mereka berdua cara yang lebih mudah . Kata Zubair, Saya kira ayat-ayat ini, Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga menjadikan kamu sebagai hakim mengenai perkara yang mereka perselisihkan, hanya diturunkan berkenaan dengan peristiwa itu! Thabrani mengetengahkan dalam Al-Kabir dan oleh Humaidi dalam Musnadnya dari Umu Salamah, katanya, Zubair mengadukan seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. maka beliau menetapkan keputusan buat kemenangan Zubair. Maka kata laki-laki itu, Ia dimenangkannya tidak lain hanyalah karena ia saudara sepupunya. Maka turunlah ayat, Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga menjadikan kamu sebagai hakim sampai akhir ayat. (Q.S. An-Nisa 65) Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Said bin Musayab mengenai firman-Nya, Maka demi Tuhanmusampai akhir ayat. (Q.S. An-Nisa 65) diturunkan mengenai Zubair bin Awwam dan Hathib bin Abu Baltaah yang bersengketa tentang air . Nabi saw. memutuskan agar yang ketinggian dialiri lebih dulu, kemudian baru yang kerendahan. Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih mengetengahkan dari Abul Aswad, katanya, Dua orang laki-laki yang bersengketa mengadu kepada Rasulullah saw. lalu diadili oleh Rasulullah. Maka orang yang merasa dirinya dikalahkan, berkata, Kembalikan kami kepada Umar bin Khattab. Lalu mereka datang kepadanya, dan kata laki-laki yang seorang lagi, Tadi Rasulullah saw. telah memberikan putusan terhadap perkara ini, tetapi kawan ini meminta agar kami dikirim kepada Anda? Begitukah? tanya Umar. Benar, ujar orang itu. Maka kata Umar, Tinggallah kalian di sini, menunggu saya kembali dan memberikan keputusan saya! Tidak lama antaranya Umar kembali dengan membawa pedangnya, lalu ditebasnya orang yang meminta kembali kepadanya itu. Maka Allah pun menurunkan, Maka demi Tuhanmu, mereka tidak berimansampai akhir ayat. (Q.S. An-Nisa 65) Tetapi hadis ini garib karena dalam isnadnya ada Ibnu Luhaiah. Tetapi ada pula saksi yang memperkuatnya yang dikeluarkan oleh Rahim dalam tafsirnya dari jalur Atabah bin Dhamrah dari bapaknya.

Apakah Semua Sahabat itu Adil & Jujur? . Syiah mengabdikan diri pada semua sahabat Nabi Muhammad saw yang setia kepada ajaran nabi

saw. ketika beliau saw. masih hidup dan tetap setia setelah beliau saw wafat. Menurut pandangan suni, bahkan mereka yang pernah melihat nabi saw. walau hanya beberapa detik dinamakan sahabat dan mereka dianggap imun terhadap berbagai kritikan. Pendapat seperti ini tidak didukung oleh Alquran atau fakta sejarah, dan ini yang membawa banyak perbedaan diantara kedua mazhab tersebut. . Tetapi mengapa tidak membiarkan yang telah berlalu? Jika kita menutup kesalahan sahabat seperti al-Walid, bukan karena ingin melindungi untuk menggunjing. Tetapi, karena Muslim perlu berhati-hati, dimana mereka mendapatkan informasi tentang prinsip agama Islam dan sunah Rasul saw. Ini hanya akan dapat di tentukan dengan memperhatikan dengan sangat hati-hati akan kehidupan para sahabat Nabi saw, dan membiarkan perlakuan mereka berbicara untuk masing-masing karakter mereka dan sifat dapat dipercaya nya. Adapun, Rasul saw sudah memperingatkan kita : Saya akan datang di Telaga sebelum kamu, dan dia yang telah diberikan olehku, akan meminumnya, dan barangsiapa yang minum darinya tidak akan pernah haus. Akan datang padaku orang-orang yang saya kenal dan mereka mengenal saya, tetapi kami akan dipisahkan, sehingga saya akan katakan, Para sahabatku. Dan datanglah sebuah jawaban , Engkau tidak tahu apa yang mereka telah kerjakan setelahmu. Kemudian saya akan katakan, Pergilah kalian yang telah berubah setelah ku.[Sahih al-Bukhari (terjemahan bahasa Inggris), volume 8, buku 76, nomor 585] Pandangan Mazhab Syiah tentang Para Sahabat Kaum Syiah mencintai para sahabat Nabi saw yang jujur yang di sanjung oleh Alquran. Sanjungan ini tidak meliputi para individual seperti al-Walid bin Uqbah yang mana meskipun dikategorikan sahabat oleh Suni, tidak dapat di pertimbangkan sebagai contoh teladan atau seorang yang dipercaya telah menjalankan sunahnya. Kaum Syiah oleh karenanya tidak percaya pada integritas yang universal pada semua sahabat tetapi ujian dalam sejarah pada setiap para sahabat untuk menemukan jatidirinya pada pesan Risalah kenabian . Tentu saja banyak dari para sahabat termasuk dan tidak dibatasi pada Ammar, Miqdad, Abu Dharr, Salman, Jabir, dan Ibn Abbas . Kami simpulkan dengan sebuah cuplikan dari munajat Imam keempat Syiah Imam Ali ZainalAbidin as dalam pujian pada para sahabat yang agung tersebut, semoga Allah senang pada mereka : Ya Allah, dan sebagai para sahabat Nabi Muhammad saw terutama , bagi mereka yang telah

berhasil lulus berdiri menolong Nabi, menjawab panggilan Nabi ketika beliau saw membuat mereka mendengar pesan argumentasinya, dipisahkan dari teman & anak-anaknya dalam memanifestasikan kalimatnya, berperang melawan ayah-ayah dan anak-anak lelaki mereka dalam memperkuat kenabiannya, dan melalui beliau saw kemenangan akan di raih; mereka yang membungkus diri mereka dengan hasrat kecintaan pada nya; mereka yang ditinggalkan oleh kerabatnya ketika mereka mempertahankan dan di tolak oleh kaum kerabatnya sendiri ketika mereka menyandarkan di bawah bayangan kaum kerabatnya . Ya Allah, apa mereka ditinggalkan untuk-Mu dan Engkau dan membuat mereka senang dengan kebaikan-Mu demi makhluk makhluk yang mendorong mereka pada-Mu ketika mereka bersama NabiMu, Perintah-perintah dari-Mu dan untuk-Mu [Imam Zain al-'Abidin , Sahifa al-Kamilah, (Terjemahan Inggris, London, 1988), h. 27]

Definisi Seorang sahabat : Ibn Hajar al-Asqalani, seorang ulama suni terkenal, mendefinisikan seorang sahabat Rasulullah saw. sebagai orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad saw, setelah masuk Islam, dan meninggal masih dalam keadaan muslim. Dia memasukan yang di bawah ini sebagai definisi : Semua orang yang pernah bertermu Rasul saw, tidak terkecuali apakah itu untuk waktu yang telah lama ataupun dalam waktu yang sangat singkat, Mereka yang telah terdidik dengan sunah dari Rasul saw maupun yang tidak, Mereka yang ikut berperang bersama Rasul saw maupun yang tidak , Mereka yang sering melihat Rasul saw tetapi tidak duduk bersama dengan beliau saw, juga Mereka yang tidak melihat beliau saw karena alasan tertentu seperti seorang buta. [Ibn Hajar al'Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahaba, (Beirut), vol. 1, hal. 10] Apakah Semua Sahabat Adil dan Terpercaya?

Ahlusunah sepakat bahwa semua sahabat adalah adil dan terpercaya dan mereka adalah umat terbaik. Banyak dari ulama suni yang berpendapat demikian, termasuk: Ibn Hajar al-Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahaba, (Cairo), vol. 1, hal. 17-22 Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Jarh wa al-Tadil, (Hyderabad), vol. 1, hal. 7-9 Ibn al-Atsir, Usd al-Ghaba fi Marifat al-Sahaba, vol.1, hal. 2-3