Pph 21-26

download Pph 21-26

of 13

description

calk

Transcript of Pph 21-26

PPh pasal 21, 22, 23, 24, 25, dan 26

PPh pasal 21PPh pasal 21 adalah pasal yang mengatur pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima dari pekerjaan / jasa baik dalam hubungan kerja maupun dari pekerjaan bebas oleh WP perorangan dalam negeri.Subjek pajak PPh pasal 21 adalah :1.Pegawai2.Penerima pensiun3.Penerima honorarium4.Penerima upah5.Orang pribadi lainnya yang menerima / memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari pemotong pajak.Pengecualian subjek pajak :1.Pejabat perwakilan diplomatik beserta staf2.Pejabat perwakilan organisasi internasional beserta staf.Pengecualian objek pajak PPh pasal 21 :1.Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa2.Penerimaan dalam bentuk natura dan atau keenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh WP atau pemerintah3.Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendirian telah disyahkan oleh menkeu atau iuran THT kepada badan penyelenggra jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja4.Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:Gaji3.000.000,00

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 15.000,00

Premi Jaminan Kematian9.000,00

Penghasilan bruto3.024.000,00

Pengurangan

1. Biaya jabatan

5%x3.024.000,00151.200,00

2. Iuran Pensiun50.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua60.000,00

261.200,00

Penghasilan neto sebulan2.762.800,00

Penghasilan neto setahun

12x2.762.800,0033.153.600,00

PTKP

- untuk WP sendiri24.300.000,00

- tambahan WP kawin2.025.000,00

26.325.000,00

Penghasilan Kena Pajak setahun6.828.600,00

Pembulatan6.828.000,00

PPh terutang

5%x6.828.000,00341.400,00

PPh Pasal 21 bulan Juli

341.400,00 : 1228.452,00

PPh pasal 22PPh pasal 22 membahas tentang penghasilan yang berasal dari penjualan pada instansi pemerintah, impor, dan industri tertentu (industri rokok, industri kertas, industri otomotif, industri semen, industri baja, Pertamina Bulog untuk tepung terigu dan gula pasir).Tarif PPh pasal 22 atas penjualan instansi pemerintah :PPh pasal 22 bendaharawan = 1,5% x nilai penjualanTarif PPh pasal 22 atas impor :1.Bila importir memiliki API (Angka Pengenal Impor)PPh pasal 22 impor = 2,5% x nilai impor2.Bila importir tidak memiliki APIPPh pasal 22 impor = 7,5% x nilai impor

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.Pemungut dan Objek PPh Pasal 221. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.Tarif PPh Pasal 221. Atas impor :a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;b. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;c. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final.3. Atas penjualan hasil produksi (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:Catatan:Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) ditetapkan sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor.7. Atas Penjualana. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.8. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 221. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.8. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 221. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);2. Atas pembelian barang (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;3. Atas penjualan hasil produksi (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;4. Atas penjualan hasil produksi (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);5. Atas pembelian bahan-bahan (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 221. PPh Pasal 22 atas impor barang (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :a. lembar pertama untuk pembeli;b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 4) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5, dan 7) dan hasil penjualan barang sangat mewah (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (LihatPemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:a. lembar pertama untuk pembeli;b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

PPh pasal 23PPh pasal 23 membahas tentang penghasilan yang diperoleh dari penggunaan harta atau modal (deviden, bunga, royalti, hadiah penghargaan, sewa, dan jasa).1.Deviden, royalti, bunga, hadiah penghargaanPPh pasal 23 = 15% x penghasilan bruto2.Sewa dan jasaPPh pasal 23 = 2% x penghasilan bruto

PPh pasal 24

PPh pasal 24 membahas tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri. Pada prinsinya dalam PPh pasal 24 adalah mencari besarnya pajak yang bisa dikreditkan dengan jalan membandingkan antara pajak yang dipungut di luar negeri dengan batas maksimum kredit pajak dipilih yang terkecil.

Batas maksimum kredit pajak = penghasilan dari luar negeri/ PKP x PPh terutangPengertian PPh Pasal 24

Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh :1. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.2. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.Penghasilan yang boleh diperhitungkan/ dikreditkan tersebut antara lain penghasilan dari luar negeri berupa :1. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya;2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak;3. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak;4. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;5. Penghasilan BUT luar negeri;6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;7. keuntungan karena pengalihan harta tetap;8. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap.Hal yang paling mendasar PPh Pasal 24 ini adalah adanyabatas maksimumyang boleh dikreditkan seperti yang tercantum dalam ayat 2 Pasal 24 UU PPH seperti tersebut di atas.Contoh kasus PPh Pasal 24

PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut :1. di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 100.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp. 40.000.000,00);2. di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 750.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 10% (Rp. 75.000.000,00);3. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 400.000.000,00.Penghitungan PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :

PPh pasal 25

PPh pasal 25 membahas tentang angsuran pajak yang menggunakan stelsel anggapan.

Ansuran pajak/ bulan = PPh terutang kredit pajak /12

Pengertian PPh Pasal 25Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.Cara Mengitung PPh Pasal 25Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :Pajak Penghasilan terutang 50.000.000Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :Pajak Penghasilan terutang 50.000.000Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000Selisih15.000.000PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 = 1.250.000PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPTPajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang LaluApabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKPPPh Pasal 25 Dalam Hal-hal TertentuDirektur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan;5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalahKeputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak TertentuPenghitungan besarnya angsuran pajak bagiWajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

PPh pasal 26Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/ dipotongatas penghasilan yang bersumberdari Indonesia yang diterima /diperolehWajib Pajak(WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) diIndonesia.

Tarif dan Objek PPh Pasal 26 1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yangditerima / diperoleh Wajib Pajak Luar Negeriberupa : a. dividen; b. bunga, premium, diskonto, premi swap,dan imbalan sehubungandengan jaminan pengembalian hutang; c. royalti, sewa,& penghasilan lain sehubungan dgn penggunaan harta; d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. hadiah dan penghargaan f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya. 2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa : a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia; b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung / melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri. 3. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. 4. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antaraIndonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

Barang Kena Pajakadalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN. Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak kecuali yang diatur lain oleh Undang-Undang Nomor PPN itu sendiri. Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (hak cipta, merek dagang, paten, dll.

SedangkanJasa Kena Pajakadalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN, Contohnya: jasa konstruksi, jasa sewa ruangan, jasa konsultan, jasa perantara, dll.