Potensi Penggunaan Acepromazine sebagai Bahan Alternatif ... · membantu penulis dalam...

43
POTENSI PENGGUNAAN ACEPROMAZINE SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF ANESTESI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Oleh: Rudi Setiawan C34061179 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Transcript of Potensi Penggunaan Acepromazine sebagai Bahan Alternatif ... · membantu penulis dalam...

POTENSI PENGGUNAAN ACEPROMAZINE SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF ANESTESI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Oleh: Rudi Setiawan

C34061179

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skirpsi yang berjudul “POTENSI PENGGUNAAN ACEPROMAZINE SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF ANESTESI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)” ini belum pernah diajukan pada Perguruan Tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk memperoleh gelar akademik tertentu. Saya juga menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah.

Bogor, Mei 2012

Rudi Setiawan C34061179

POTENSI PENGGUNAAN ACEPROMAZINE SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF ANESTESI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Oleh: Rudi Setiawan

C34061179

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2012

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Potensi Penggunaan Acepromazine sebagai Bahan Alternatif Anestesi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Nama Mahasiswa : Rudi Setiawan

NIM : C34061179

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl,- Biol. NIP: 195805111985031002 NIP : 195911271986011005

Mengetahui

Ketua Departemen

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP: 195805111985031002

Tanggal Kelulusan :

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahNya

penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul ”Potensi

Penggunaan Acepromazine sebagai Bahan Alternatif Anestesi Ikan Nila

(Oreochromis niloticus)” dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan laporan praktek lapang ini, terutama

kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil, selaku dosen pembimbing saya dan

selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

2. Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl,- Biol. selaku dosen pembimbing saya.

3. Ayah Rusman Effendi, Almarhumah Ibu Syahdati, kakak Budi Pratidinasari

dan Andi serta adik Rangga Wijaya yang telah memberikan kasih sayang dan

semangat yang luar biasa.

4. Arie Yuanitasari yang telah memberi dukungan, perhatian, kasih sayang dan

semangat yang luar biasa.

5. Seluruh jajaran staf pegawai Departemen Teknonologi Hasil Perairan yang

telah banyak membantu dengan ikhlas.

6. Sahabat-sahabat (Vickar, Rio, Hendra, Alvin, Idris, Ozy dan sahabat yang

lain) terimakasih atas kebersamaan yang telah tejalin selama ini, akan

menjadi kenangan yang indah di hati.

7. Teman-teman THP 43 yang selama ini telah memberi warna-warni dalam

menjalani hidup.

8. Adik-adik kelas THP (Afif, Mprit, Helmi dan adik kelas yang lain) yang

selama ini telah membantu dan bekerjasama sehingga memberikan kenangan

yang indah selama saya kuliah.

iii

Penulis menyadari bahwa Laporan Tugas Akhir ini masih banyak

kekurangannya. Tak ada gading yang tak retak, begitupula dengan Laporan Tugas

Akhir ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

membangun untuk perbaikan rencana kerja ini. Semoga tulisan ini bermanfaat

bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Mei 2012

Rudi Setiawan

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 30 Juli 1988 dari

pasangan Bapak Rusman Effendi dan Ibu Syahdati sebagai anak

kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai di TK

An-Nuriyah Depok dan lulus pada tahun 1994. Penulis menyelesaikan

pendidikan sekolah dasar pada tahun 2000 di SDN Beji Timur 1

Depok. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan

menengah pertama di SMP Negeri 2 Depok. Pada tahun 2006, penulis

menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 3 Depok. Pada tahun yang sama,

penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (IPB) di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan.

Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis masuk anggota tim futsal IPB dan

Himpunan Profesi HIMASILKAN divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia periode 2007-

2008. Penulis pernah mendapat juara 2 Poster dan juara 3 Presentasi pada Pekan Ilmiah

Nasional ke XXI di Semarang dan Juara 2 Presentasi pada Pekan Ilmiah Nasional ke XXII di

Malang.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor, penulis melakukan kegiatan penelitian pada tahun 2011 dengan judul

Potensi Acepromazine sebagai Bahan Alternatif Anestesi Ikan Nila (Oreochromis

niloticus) dengan dosen pembimbing yaitu Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil dan

Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl,- Biol.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii

RIWAYAT HIDUP .................................................................................................................. iv

DAFTAR TABEL .................................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................vii

1 PENDAHULUAN ................................................................................................................ 11.1 Latar Belakang............................................................................................................... 11.2 Tujuan............................................................................................................................ 11.3 Manfaat.......................................................................................................................... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 32.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ....................................... 32.2 Kegunaan Anestesi dalam Menanggulangi Stres pada Ikan.......................................... 42.3 Anestesi ......................................................................................................................... 52.4 Acepromazine ................................................................................................................ 8

3 METODOLOGI.................................................................................................................. 103.1 Waktu dan Tempat....................................................................................................... 103.2 Bahan dan Alat ............................................................................................................ 103.3 Rancangan Percobaan.................................................................................................. 103.4 Parameter yang Diamati .............................................................................................. 133.5 Analisis Data................................................................................................................ 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 144.1 Onset Acepromazine (ACP) ........................................................................................ 144.2 Durasi Acepromazine (ACP) ....................................................................................... 174.3 Kematian Ikan Nila...................................................................................................... 184.4 Kualitas Air.................................................................................................................. 204.5 Pemingsanan Ikan Nila Besar...................................................................................... 21

5 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................... 235.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 235.2 Saran ............................................................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 24

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Tahapan Anestesi Ikan......................................................................................................... 6

2 Pengaruh perubahan pH terhadap ikan.............................................................................. 11

3 Kisaran nilai konsentrasi DO dan pengaruhnya pada ikan................................................ 12

4 Hasil rataan onset ACP...................................................................................................... 14

5 Tingkah laku ikan nila pada proses perendaman ACP...................................................... 16

6 Hasil rataan durasi ACP .................................................................................................... 17

7 Hasil rataan persentase kematian ACP.............................................................................. 18

8 Pengujian kualitas air pada pemingsanan ikan nila dengan ACP...................................... 20

9 Hasil pemingsanan nila besar dengan ACP....................................................................... 21

10 Perbandingan waktu onset dan durasi ACP ikan kecil dengan ikan besar yang direndam

dengan larutan ACP 40 ppm.............................................................................................. 22

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Ikan nila (Oreochromis niloticus)........................................................................................... 3

2 Grafik rataan onset ikan nila yang teranestesi setelah pemberian ACP secara dipping ...... 14

3 Ikan nila mulai teranestesi .................................................................................................... 15

4. Grafik rataan durasi ikan nila setelah peberian ACP secara dipping .................................. 17

5 Ikan nila recovery ................................................................................................................. 18

6 Ikan nila mati ........................................................................................................................ 19

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Data Bobot Ikan Nila Kecil dan Besar ................................................................................. 27

2 Analisi Nilai Waktu Onset Acepromazine............................................................................ 28

3 Analisis Nilai Durasi Acepromazine..................................................................................... 29

4 Analisis Nilai Tingkat Kelangsungan Hidup Acepromazine ................................................ 30

5 DO Meter.............................................................................................................................. 31

6 pH Meter............................................................................................................................... 32

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan nila merupakan ikan yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik

dengan lingkungan sekitarnya. Ikan ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan

hidupnya, sehingga bisa dipelihara di dataran rendah yang berair payau maupun dataran yang

tinggi dengan suhu yang rendah (Trewavas 1986). Nila mampu hidup pada suhu 14-38 oC

dengan suhu terbaik adalah 25-30 oC. Nilai pH air tempat hidup ikan nila antara 6-8,5; oleh

karena itu, ikan nila cocok dipelihara di dataran rendah sampai agak tinggi (Suyanto 2003).

Hal tersebut membuat permintaan benih ikan nila meningkat di Indonesia.

Transportasi benih merupakan proses yang mempunyai arti penting. Transportasi

terlalu lama dengan penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan stres yang berakhir

pada kematian ikan. Oleh karena itu, untuk meminimalkan stres dan kematian ikan nila maka

ikan nila dibuat setengah tidur dengan menggunakan anestetikum. Salah satu anesthetikum

yang digunakan untuk ikan adalah acepromazine (ACP). Selain itu masalah yang dihadapi

oleh para peneliti dan praktisi ikan adalah pengambilan sampel yang memerlukan sediaan

anestetikum.

Anestetikum dapat mengurangi stres pada saat ikan dibiopsi. Selain itu, harga

anestetikum yang biasa digunakan pada ikan nila (tricaine atau MS-222) yang harganya

relatif mahal dan susah didapat menjadi masalah yang perlu dicarikan alternatif solusinya.

Solusi untuk memecahkan masalah tersebut salah satunya adalah penggunaan ACP sebagai

sediaan anestetikum pada ikan nila.

Acepromazine digunakan sebagai tranquilizer pada anjing dan kucing. Termasuk

golongan phenotiazine, cara kerjanya dengan mendepres dopamin, dimetabolisme di hati dan

diekskresikan melalui urin (Forney 2004). Menurut Mckelvey dan Wayne (2003)

acepromazine dapat digunakan sebagai sedasi ketika transportasi hewan sehingga hewan

merasa nyaman dan seperti tertidur.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari gejala-gejala anestesi dan tahapan-

tahapan anestesi ACP pada ikan nila. Ikan mulai teranestesi (onset) dan lamanya ikan

teranestesi (durasi), tingkat keamanan (safety) penggunaan acepromazine pada ikan nila.

Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data dasar untuk penelitian selanjutnya.

2

1.3 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi penggunaan acepromazine

sebagai anestetikum ketika transportasi ikan sehingga ikan tidak stress. Manfaat lain untuk

praktisi, peneliti, dan breeder ikan adalah dapat melakukan pengambilan sampel dengan

mudah dan akurat. Selain itu dapat mendapatkan bahan anestesi kimia yang mudah

didapatkan, karena untuk bahan anestesi kimia yang biasa digunakan seperti MS-222 sulit

ditemukan di Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila berasal dari Afrika bagian timur. Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang pipih

ke arah vertikal (compress). Posisi mulutnya terletak di ujung hidung (terminal) dan dapat

disembulkan (Suyanto 2003). Morfologi ikan nila dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan nila (Oreochromis niloticus)

Sumber: Rahmat (2008)

Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai klasifikasi

sebagai berikut:

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Subkelas : Acanthopterygii

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Ikan nila memiliki ciri morfologi, yaitu berjari-jari keras, sirip perut torasik, letak

mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang dapat dilihat dari

ikan nila adalah warna tubuhnya hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang

berwarna putih, sedangkan pada nila lokal, putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning.

4

Sisik ikan nila besar, kasar dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian

depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateris yang terputus antara bagian atas dan bawahnya.

Line lateralis bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung

sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepalanya relative kecil dengan mulut berada di ujung

kepala serta mempunyai mata yang besar (Kottelat et al. 1993). Ikan nila memiliki

kemampuan menyesuaikan diri yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Ikan ini memiliki

toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya, sehingga bisa dipelihara di dataran

rendah yang berair payau maupun dataran yang tinggi dengan suhu yang rendah (Trewavas

1986).

2.2 Kegunaan Anestesi dalam Menanggulangi Stres pada Ikan

Stres adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lingkungan atau faktor-

faktor lainnya yang mempengaruhi daya penyesuaian diri dari seekor hewan melebihi batas-

batas daya normalnya, atau mengganggu fungsi-fungsi normal hewan hingga ke batas

harapan untuk dapat bertahan secara jelas-jelas berkurang. Lingkungan perairan dan

ketidakmampuan ikan sebagai hewan poikilothermik (yang suhunya bergantung pada suhu

lingkungan, ini sedikit diatas atau dibawah) untuk mengatur suhu badannya, telah merubah

dan menyesuaikan anatomi dan fisiologi dari ikan. Rantai kejadian sebagai akibat dari setiap

perubahan patologis, misal infeksi oleh mikroba, kerusakan-kerusakan oleh trauma atau

defisiensi nutrisipun sangat dipengaruhi oleh kedua faktor di atas. Pengaruh faktor-faktor

stres lebih jelas terlihat pada penyakit ikan dari pada penyakit-penyakit pada spesies hewan

lainnya. Tanda-tanda penyesuaian umum (General Adaptation Syndrome = GAS) adalah

perubahan-perubahan ini tidaklah spesifik secara fisiologik dan biokemik, serta umumnya

berjalan dalam tiga fase yaitu reaksi permulaan (alarm reaction), masa bertahan (stage of

resistance), dimana hewan berusaha menyesuaikan diri untuk tetap mempertahankan

keseimbangan fisiologis (homeostatis) di dalam keadaan-keadaan lingkungan yang berubah,

dan masa kehabisan daya (exhaution), dimana usaha-usaha adaptasi terhenti dan

homeostatispun tidak tercapai (Nabib dan Pasaribu 1989).

Kejadian-kejadian yang timbul pada GAS dikendalikan oleh sistem hormonal dan

syaraf. Pengeluaran dari hormon-hormon adenocorticotropic (ACTH) dan corticostreroid

menyebabkan retensi ion Na+ dan Cl– sedang ion K+ dikeluarkan, maka ada penambahan

dalam kadar glukosa darah dan metabolisme nitrogen, sedang kelenjar thyroid distimulasi dan

pengeluaran thyroxinnya bertambah, dalam darah terjadi lymphocitemia dan neurophilia.

Kemudian sistem syaraf simpatik bereaksi secara berlebihan, yang menyebabkan kontraksi

5

limpa, meningkatkan pernafasan dan kenaikan tekanan darah. Sebagian besar dari efek-efek

ini telah dilaporkan juga pada ikan, meskipun mekanisme pengaturannya belum diketahui

benar (Nabib dan Pasaribu 1989).

Tingkat stress yang terjadi pada ikan juga berbeda-beda. Kajian yang lebih mendalam

menunjukkan tingkatan stress yang terjadi dapat ditelusuri dengan kandungan kortisol. Banyak

hal berkenaan dengan kortisol selama proses metabolisme, misalnya saat starvasi (puasa),

osmoregulasi, pengerahan simpanan energi untuk migrasi, proses pematangan gonad, pemijahan

dan selama stress yang dialami oleh ikan itu sendiri (Van Ginneken et al. 1997).

Pada saat ditransportasikan, ikan harus dikondisikan dalam keadaan aktivitas biologis

rendah sehingga konsumsi energi dan oksigen juga rendah sehingga kemungkinan terjadinya

stress pada ikan dapat dicegah. Penggunaan transportasi sistem kering merupakan salah satu

cara yang efektif untuk untuk mengkondisikan ikan dalam keadaan aktivitas biologis yang

rendah. Untuk menurunkan aktivitas biologis ikan dapat dilakukan dengan menggunakan

suhu rendah dan menggunakan bahan metabolik atau anestetikum (Wibowo 2001).

Anestesi diperlukan ikan dalam sistem transportasi, kegiatan penelitian, diagnosa

penyakit, penandaan ikan pada bagian kulit atau insang, pengambilan sampel darah dan

proses pembedahan. Pada kegiatan penelitian, anestesi bertujuan untuk menurunkan seluruh

aktivitas ikan untuk menghindari stress. Ikan dapat menyerap bahan anestesi melalui jaringan

otot, saluran pencernaan dengan cara injeksi atau melalui insang. Anestesi melalui insang

adalah cara yang ideal karena konsentrasi bahan anestesi yang digunakan dapat dikontrol dan

stress dapat diminimalisir. Salinitas, suhu, pH, dan oksigen harus diperhitungkan dalam

penggunaan bahan anestesi karena faktor-faktor ini dapat mempengaruhi aktivitas bahan

anestesi, kecepatan metabolisme ikan, dan kemampuan ikan untuk menyerap bahan anestesi

(Gunn 2001).

2.3 Anestesi

Anestesi berarti pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan

aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa", secara umum berarti suatu tindakan

menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang

menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver

Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi dalam 2

kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai

hilangnya perasaan secara total. Seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam

keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu

6

meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran,

sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan

pemakainya tetap sadar (Suryanto 1998).

Anestesi menurut Mckelvey dan Wayne (2003) ada 4 tahapan, tahap pertama atau

sering disebut stadium analgesia, hewan masih sadar tetapi disorientasi dan menunjukkan

sensitivitas terhadap rasa sakit berkurang, respirasi dan denyut jantung normal atau

meningkat, semua reflek masih ada, hewan masih bangun dan dapat juga urinasi, defekasi.

Tahap kedua yaitu kesadaran mulai hilang namun refleks masih ada, pupil membesar

(dilatasi) tetapi akan menyempit (konstriksi) ketika ada cahaya masuk. Tahap kedua atau

stadium eksitasi berakhir ketika hewan menunjukkan tanda-tanda otot relaksasi, respirasi

menurun dan refleks juga menurun. Tahap ketiga atau stadium anestesi, pada stadium ini

biasanya dilakukan operasi. Hewan kehilangan kesadaran, pupil mengalami konstriksi dan

tidak merespon cahaya yang masuk, refleks hilang (refleks palpebrae). Tahapan keempat

adalah pernafasan dan jantung terhenti, dan hewan mati. Indikator tahapan anestesi antara

lain aktivitas refleks (refleks palpebrae, pedal refleks, kornea refleks, refleks laring, refleks

menelan), relaksasi otot, posisi mata dan ukuran pupil, sekresi saliva dan air mata, respirasi

dan denyut jantung.

Stadium anestesi dan gejalanya pada ikan menurut Scott et al. (2009) yaitu stadium

eksitasi ditandai dengan peningkatan gerakan opercular atau aktivitas. Setelah beberapa menit

gerakan ikan melambat, menjadi ataksia, berenang tidak seimbang dan mulai memutar ke

samping. Kadang-kadang posisi ikan menjadi dorsal recumbency, depresi, ikan menjadi

berada di dasar kolam dan respirasi meningkat. Menurut Bowser (2001), tahapan anestesi

dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1 Tahapan Anestesi Ikan Tahapan Deskripsi Gejala

0 Normal Kesadaran ada; opercular rate dan otot normal 1 Awal Sedasi Mulai kehilangan kesadaran; opercular rate sedikit

menurun; keseimbangan normal 2 Sedasi total Kehilangan kesadaran total; penurunan opercular rate;

keseimbangan menurun 3 Kehilangan sebagian

keseimbangan Sebagian Otot mulai relaksasi; berenang tidak teratur; peningkatan opercular rate; Bereaksi hanya ketika ada tactile yang kuat dan rangsangan getaran

4 Kehilangan keseimbangan total

Kehilangan keseimbangan dan otot secara total; lambat tetapi teratur opercular rate; kehilangan refleks spinal

5 Kehilangan reflex Kehilangan kesadaran total; opercular lambat dan tidak teratur; denyut jantung sangat lambat; kehilangan refleks

6 Medulla kolaps (stadium asphyxia)

Opercular berhenti bergerak; jantung menahan biasanya diikuti dengan gerakan cepat.

7

Menurut Harms (1998), anestesi pada ikan dilakukan untuk pemeriksaan, transportasi,

diagnostik dan operasi. Prosedurnya yaitu menyiapkan air, memeriksa kondisi ikan,

mengistirahatkan ikan. Penggunaan anestesi yang berlebihan atau overdosis digunakan untuk

euthanasia. Anestesi untuk ikan biasanya penggunaannya melalui air (perendaman), dan bisa

juga dengan cara anestesi inhalasi (seperti anestesi gas pada mamalia). Anestesi melalui

injeksi efektif digunakan pada mamalia dan tidak efektif pada ikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi respon penggunaan anestetikum antara lain spesies,

kualitas air dan status kesehatan ikan. Berbeda spesies berbeda juga responnya, spesies

dengan berat badan yang berbeda akan menimbulkan respon yang berbeda pula. Ikan dengan

berat badan yang lebih besar akan menimbulkan respon yang lebih efektif. Ikan dengan

lapisan lemak yang tinggi, ikan yang berumur tua, dan ikan betina gravid (berproduksi) akan

memperpanjang durasi dan recovery akan semakin lama apabila menggunakan anestetikum

yang mudah larut misal MS-222 atau benzocaine. Kualitas air berupa temperatur sangat

mempengaruhi tetapi polanya tidak dapat dipercaya, misalnya MS-222 dan benzocaine

memerlukan suhu tinggi untuk dosis yang tinggi. Keasaman juga mempunyai efek terhadap

respon anestetikum, contohnya sebagian besar anestetikum bekerja pada air laut tetapi

barbiturat bersifat antagonis terhadap ion Ca2+. Nilai pH juga mempengaruhi ionisasi obat

sehingga efek obat menjadi meningkat. Ikan yang sakit akan menjadi subjek yang jelek pada

proses anestesi (Ferguson 1988).

Ferguson (1988) menyatakan bahwa tipe anestesi dan anestetikum yang biasa

digunakan antara lain anestesi irigasi atau perendaman, jenis anestetikumnya yaitu MS-222,

2-phenoxyethanol dan benzocaine. Anestesi parenteral contoh sediaan anestetikumnya adalah

alphaxolone (saffan), propanidid (epontol), sodium pentobarbitone (nembutal), ketamin

hydrochloride (ketalar). Carbon dioxide, halothan, hypothermia menggunakan metode yang

lainnya. Tipe anestesi yang lainnya yaitu dengan elektrik anestesi.

Anestetikum yang digunakan pada ikan banyak jenisnya, misalnya ethanol, diethyl

ether, halothane, lidocaine, tricaine methanesulfonate (MS-222), eugenol, ketamine,

metomidate, propofol, and carbon dioxide. Dua diantaranya yang sering digunakan sekarang

adalah tricaine methanesulfonate (MS-222) dan eugenol. Isofluran digunakan sebagai

anestesi inhalasi pada mamalia dan burung, dapat juga untuk ikan dengan cara dicampurkan

ke dalam air meskipun ada juga efek sampingnya (Harms 1998).

Tricaine nama kimianya yaitu 3-aminobenzoic acid ethyl ester methanesulfonate, ethyl

m-aminobenzoate methadesulfonate, methadesulfonate salt of alkyl aminobenzoate, and

8

methandesulfonate salt of ethyl meta-aminobenzoate. Nama dagangnya adalah tricaine

methanesulfonate (MS-222), Tricaine-Stm and Meta-caine. Finqueltm and Tricaine-Stm yang

biasa digunakan pada ikan. Ikan yang telah diberi anestesikum Finqueltm and Tricaine-Stm

tidak boleh dimakan sebelum 21 hari setelah pemberian. Komposisinya larut air dan juga

larut dalam lemak. Konsentrasi tricaine 15-330 mg/L. Dosis yang digunakan disesuaikan

dengan jenis anestesi, ukuran, spesies, temperatur air dan tekanan air. Tricaine lebih baik

digunakan dalam air hangat dan tekanan air yang rendah (Bowser 2001). Cara kerja tricain

menurut Lewbart (2001) adalah dengan cara memblokir saluran sodium dan penggunaanya

melalui pakan ikan.

Sediaan sedatif tertentu dalam dosis tinggi akan mendepres sistem saraf pusat hingga

tingkat tertentu yang dikenal sebagai tahap III dari anestesi umum. Akan tetapi kecocokan

suatu senyawa tertentu sebagai senyawa pembantu dalam anestesi sangat bergantung pada

sifat fisikokimia yang menentukan kecepatan mulai kerja dan lama kerja dari efek obat.

Redistribusi dalam jaringan yang sangat cepat menentukan lama kerja yang singkat dari obat-

obat tersebut, yang sangat berguna di dalam praktik anestesi (Katzung 2001).

2.4 Acepromazine

Acepromazine tergolong phenothiazine yang berwarna kuning, tidak berbau, rasanya

pahit dan berbentuk bubuk dan cair (Plumb 2008). Menurut Mckelvey dan Wayne (2003) ada

tiga macam kelas sedasi (tranquilizer) yang digunakan dalam kedokteran hewan yaitu

phenothiazine, benzodiazepine dan alpha-2 agonist. Golongan ini bekerja pada susunan

syaraf pusat dan menghasilkan efek penenang pada hewan. Obat-obat ini dapat juga

menyebabkan ataksia, dan prolapsus membran niktitan. Hanya alpha-2 agonist yang

mempunyai efek analgesik, sedangkan yang lainnya tidak punya. Efektif pada berbagai

spesies hewan dan dapat dikombinasikan dengan obat lainnya, yakni atropin, opoid dan

ketamin. Pemberian phenothiazine dapat melalui per oral, intra muscular, intra vena dan sub

kutan. Efek yang ditimbulkan golongan phenothiazine antara lain sedasi, antiemetik,

antiaritmia, antihistamin, vasodilatasi pembuluh darah, perubahan perilaku dan prolapsus

penis pada kuda. Efek samping acepromazine yaitu hipotensi, anemia dan dehidrasi. Pada

kuda dan anjing ras boxer penggunaan acepromazine sebaiknya dihindari.

Acepromazine digunakan sebagai transquilizer pada anjing, kucing dan kuda.

Acepromazine bersifat anti-kholinergik, anti-emetik, antispasmodik, antihistamin, dan

memblok alpha-adrenergik. Acepromazine menyebabkan hipotensi dan menurunkan

9

vasomotorik. Dapat juga berpengaruh terhadap respirasi, denyut jantung dan suhu tubuh

(Forney 2004).

Acepromazine adalah golongan phenothiazine neuroleptik yang mempunyai potensi

untuk memblok postsinapsis reseptor dopamin. Dopamin terutama berfungsi sebagai

penghambat aktivitas otak (Adams 2008). Acepromazine mendepres susunan syaraf pusat

(CNS) sehingga menghasilkan efek sedasi, relaksasi otot, dan menurunkan aktifitas refleks.

Selain itu efek lainnya adalah anti kholinergik, antihistamin dan memblok alpha-adrenergik.

Acepromazine seperti golongan phenothiazine lainnya dimetabolisme di hati dan ekresinya

melalui urin. Acepromazine digunakan sebagai agen preanestesi, sebagai pengontrol satwa

liar, antiemetik pada anjing dan kucing dan sebagai tranquilizer pada kuda. Acepromazine

akan lebih efektif apabila dikombinasikan dengan tranquilizer lainnya dan dengan senyawa

yang mempunyai potensi sebagai anestesi general. Tranquilizer harus diberikan dalam dosis

yang kecil selama anestesi general dan hewan yang lemah, hewan dengan penyakit jantung,

hypovolemik atau shock. Acepromazine jangan digunakan pada hewan yang lemah, betina

bunting, breed giant, greyhound, dan boxer. Hasil penelitian menyatakan pada pengerat

acepromazine menyebabkan embryotoxycity. Phenothiazine tidak boleh digunakan pada

hewan yang mempunyai depresi tulang belakang (Crowell-Davis dan Murray 2005).

Crowell-Davis dan Murray (2005) menyatakan bahwa phenothiazine mendepres sistem

reticular aktif dan bagian otak yang mengontrol pergerakan tonus otot, tingkat metabolisme

basal, dan keseimbangan hormonal. Efek samping pada cardiovascular adalah hipotensi,

bradicardia, pembuluh darah kolaps, dan tachicardya. Acepromazine onsetnya 15 sampai

dengan 60 menit setelah pemberian dan durasinya antara 3 sampai dengan 7 jam pada anjing

dan kucing.

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Karekteristik Bahan Baku, Teknologi Hasil

Perairan dan Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Juli 2010 sampai Desember

2011.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain, ikan nila sebanyak 90 ekor yang berumur 1 bulan,

memiliki bobot sekitar 40 gram dan ikan nila sebanyak 15 ekor berumur 4 bulan dengan

bobot 200 gram serta bahan anestesi kimia acepromazine. Alat yang digunakan antara lain,

pipet volumetrik, gelas ukur, toples, akuarium, DO meter dan pH meter.

3.3 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) yang terdiri atas 6 perlakuan. Selanjutnya, setiap perlakuan tersebut diulang

sebanyak 3 kali. Masing-masing ulangan terdiri atas 5 ekor ikan. Selain itu, untuk

meminimalisir galat penelitian ini menggunakan replikasi sebanyak 3 kali pada waktu yang

berbeda. Selanjutnya, perlakuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Perlakuan 0 (P0) : Kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine

(kontrol)

Perlakuan 1 (P1) : Kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine

dengan dosis 10 ppm

Perlakuan 2 (P2) : kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine

dengan dosis 20 ppm

Perlakuan 3 (P3) : Kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine

dengan dosis 30 ppm

Perlakuan 4 (P4) : Kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine

dengan dosis 40 ppm

Perlakuan 5 (P5) : Kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine

dengan dosis 50 ppm

11

Perlakuan nila besar : Kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine

dengan dosis terbaik

Parameter kualitas air yang diamati meliputi derajat keasaman (pH), oksigen terlarut

(DO), dan kadar total amoniak nitrogen (TAN).

a) Derajat keasaman (pH) (Rand et al. 1975)

Perubahan pH menyebabkan stress pada ikan. Kemampuan air menahan

perubahan pH sangatlah penting bagi kelangsungan hidup ikan. Kemampuan kapasitas

buffer perairan ini berhubungan dengan adanya karbonat, bikarbonat, dan hidroksida.

Air dengan kesadahan rendah memiliki kemampuan yang rendah dalam menahan

keasaman (Shepherd 1992). Pengaruh pH terhadap ikan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Pengaruh perubahan pH terhadap ikan Kisaran pH Pengaruh terhadap ikan

< 4,0 Titik mati asam

4,0 – 5,0 Tidak ada reproduksi

5,0 – 6,5 Pertumbuhan lambat

6,5 – 9,0 Kisaran yang layak untuk reproduksi

> 9,0 Titik mati basa Sumber: Swingle (1969) dalam Boyd (1982)

Derajat keasaman (pH) air diukur dengan melakukan pembacaan skala

mengunakan pH meter.

b) Oksigen terlarut (DO) (Rand et al. 1975)

Konsentrasi DO merupakan salah satu parameter kualitas air yang penting bagi

kelangsungan hidup lobster air tawar. Deplesi oksigen merupakan penyebab kematian

kematian ikan secara mendadak dalam jumlah besar. Rust (2000) menyatakan bahwa

oksigen dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan ikan dan sebagai fasilitator

proses oksidatif kimiawi. Jika konsentrasi DO yang sesuai tidak dipertahankan, ikan

akan mengalami stres dan mati. Kisaran nilai konsentrasi DO dan pengaruhnya

terhadap kehidupan ikan disajikan dalam Tabel 3.

12

Tabel 3 Kisaran nilai konsentrasi DO dan pengaruhnya pada ikan Kisaran DO (mg/l) Kondisi ikan

0,0 – 0,3 Ikan kecil hidup untuk beberapa saat

0,3 – 1,0 Mematikan dalam jangka waktu yang lama

1,0 – 5,0 Ikan hidup tapi pertumbuhan lambat bila terjadi

dalam jangka waktu yang lama

> 5,0 Baik untuk pertumbuhan

Sumber: Swingle (1969) dalam Boyd (1982)

Oksigen terlarut (DO) diukur menggunakan DO-meter. Nilai DO yang terukur

dapat diketahui melalui pembacaan skala. Metode penggunaan DO-meter adalah

sebagai berikut: DO-meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan air dari hasil analisis

metode Winkler, kemudian DO-meter nilainya dibuat nol. Air uji sebanyak 100 ml

dimasukkan ke dalam gelas piala 125 ml, ke dalam gelas piala ditambahkan stirer

magnetik, gelas piala tersebut selanjutnya diletakkan di atas stirer. Stik/batang DO-

meter dicelupkan ke dalam air uji tersebut. Stirer dan DO-meter dinyalakan secara

bersamaan untuk mengetahui DO pada air uji. Nilai DO yang terukur diketahui melalui

pembacaan skala pada alat.

c) Amonia (Rand et al. 1975)

Sumber utama amonia di lingkungan perairan adalah metabolisme ikan, eksresi

ikan, pemupukan dan dekomposisi mikrobial dari komponen nitrogen (Boyd 1982).

Ketika amonia memasuki perairan, ion hidrogen langsung bereaksi dan mengubah

amonia ke dalam suatu kondisi kesetimbangan antara ion amonium yang tidak beracun

(NH4+) dan amonia tidak terionisasi (NH3) yang beracun.

Total amoniak nitrogen (TAN) diukur menggunakan alat spektrofotometer dengan

metode sebagai berikut: air uji dipipet sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam gelas

beker 100 ml. Larutan standar NH4Cl sebanyak 25 ml disiapkan dari larutan standar

amoniak. Blanko dibuat dengan menggunakan 25 ml akuades. Satu tetes MnSO4, 0,5

ml chlorox, dan 0,6 ml reagen fenat ditambahkan ke dalam larutan standar, air uji, dan

blanko sampai warna biru kehijauan kemudian dibiarkan sampai 15 menit.

Spektrofotometer diatur pada absorbansi 0 dan panjang gelombang 630 nm

menggunakan larutan blanko. Konsentrasi amoniak (TAN) pada air uji dihitung

menggunakan rumus:

13

Mg NH3/L

Keterangan:

C : konsentrasi larutan standar (0,30 mg/L)

Abs sampel : nilai absorbance larutan sampel

Abs standar : nilai absorbance larutan standar

3.4 Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah onset dan durasi ACP pada ikan

nila dengan metode dipping serta kualitas air awal pemingsanan dan akhir pemingsanan.

Selain itu, ikan nila juga diamati tahapan anestesi dan tingkat kematiannya. Serta mengamati

perubahan kualitas air awal dan akhir pada proses anestesi.

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Varian (ANOVA) yang dilanjutkan

dengan uji Tukey untuk melihat perbedaan pada masing-masing perlakuan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk melihat onset, durasi, kematian dan tahapan anestesi

Acepromazine (ACP). Selanjutnya, hasil penelitian dengan menggunakan ACP yang

diberikan secara dipping terhadap ikan nila ini dapat disajikan sebagai berikut.

4.1 Onset Acepromazine (ACP)

Onset anestetikum adalah suatu keadaan dimana status hewan yang kesadarannya mulai

berkurang atau dengan kata lain dimulainya status kehilangan kesadaran (Mckelvey dan

Wayne 2003). Hasil rataan onset ACP disajikan pada Tabel 4 dan grafik pada Gambar 2.

Tabel 4 Hasil rataan onset ACP

Keterangan P0: kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine (kontrol); P1: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 10 ppm; P2: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 20 ppm; P3: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 30 ppm; P4: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 40 ppm; P5: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 50 ppm; R1: replikasi 1; R2: Replikasi 2; R3: replikasi 3.

Gambar 2 Grafik rataan onset ikan nila yang teranestesi setelah pemberian ACP secara dipping

40,33a

34,67ab

21,67bc19c

15,33c

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

10ppm 20ppm 30ppm 40ppm 50ppm

WaktuOnset(m

enit)

DosisAcepromazine

Perlakuan R1 (menit)

R2 (menit)

R3 (menit) rataan onset±sd (menit)

P0 0 0 0 0 P1 49 35 37 40,33±7,57

P2 33 39 32 34,67±3,79

P3 18 21 28 21,67±4,04

P4 16 18 23 19±3,61

P5 20 12 14 15,33±4,16

15

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada P0 memiliki waktu onset 0, karena ikan nila pada P0

tidak direndam (dipping) ACP sehingga ikan tidak teranestesi. Secara berurutan onset yang

terpendek adalah P5 (15,33 menit), P4 (19 menit), P3 (21,67 menit), P2 (34,67 menit), dan P1

(40,33 menit). Perendaman ikan pada P5 memiliki onset yang lebih baik dibandingkan

kelompok perlakuan lainnya. Sementara itu, P1 (10 ppm) memiliki onset terlama yaitu 40.33

menit. Terlihat perbedaan nyata antara P1 dan P5 serta P2 dengan P5. P5 lebih baik daripada

P1 dan P2 karena onset pada P5 lebih cepat. Terlihat dari Tabel 4 bahwa semakin besar dosis

maka semakin cepat onsetnya.

Kecepatan onset anestetikum berarti ikan semakin cepat teranestesi. Perlakuan dengan

dosis yang lebih tinggi akan lebih pendek onsetnya, karena pada perlakuan dengan dosis

tinggi, tubuh ikan lebih banyak menyerap ACP sehingga onset lebih cepat. Faktor lain yang

mempengaruhi kecepatan onset adalah kandungan lemak ikan. Ikan yang memiliki

kandungan lemak lebih besar akan memiliki waktu onset yang pendek (lebih cepat

teranestesi). Hal ini berkaitan dengan sifat dari acepromazine yang mudah terlarut atau

terabsorbsi pada lemak (Crowell-Davis dan Murray 2005), sehingga ikan yang mempunyai

kandungan lemak yang banyak akan lebih mudah teranestesi. Perubahan tingkah laku ikan

pada proses pemingsanan ikan nila dengan ACP dapat dilihat pada Tabel 5.

Salah satu parameter utama untuk mengetahui onset suatu sediaan anestetikum adalah

hilangnya beberapa refleks (Mckelvey dan Wayne 2003). Tahapan pingsan atau kehilangan

beberapa refleks ikan nila dapat dilihat pada Tabel 5. Menurut Bowser (2001) pada saat ikan

nila kehilangan refleks maka ikan nila masuk pada tahapan kehilangan refleks, dengan ciri-

ciri kehilangan kesadaran total, denyut jantung sangat lambat, dan kehilangan refleks.

Gambar ikan yang teranestesi dapat ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Ikan nila mulai teranestesi

16

Tabel 5 Tingkah laku ikan nila pada proses perendaman ACP

Waktu Pengamatan (menit) Perlaku

an 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50

P1

Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, sesekali diam di dasar, respon terhadap rangsangan luar tinggi

Posisi tubuh tegak, sirip punggung meregang, gerakan operkulum mulai melemah

Ikan mulai kehilangan keseimbangan, mulut disembulkan ke permukaan, posisi tubuh rebah, respon terhadap rangsangan luar lambat

Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah

Pingsan

P2

Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, mulut sesekali disembulkan ke permukaan

Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, respon terhadap rangsangan luar lambat

Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah Pingsan

P3

Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan

Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah

Pingsan

P4

Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah

Ikan mulai hilang keseimbangan, Pingsan

P5

Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, ikan kehilangan keseimbangan

Pingsan

17

4.2 Durasi Acepromazine (ACP)

Durasi anestetikum adalah suatu keadaan lamanya hewan teranestesi sampai dengan

hewan pulih kembali (recovery). Recovery dimulai ketika stadium anestesi berakhir dan

konsentrasi anestetikum di otak mulai berkurang (Mckelvey dan Wayne 2003). Selanjutnya

hasil rataan durasi ACP disajikan pada Tabel 6 dan pada grafik Gambar 4.

Tabel 6 Hasil rataan durasi ACP

Perlakuan R1

(menit) R2

(menit) R3

(menit) rataan durasi±sd (menit) P0 0 0 0 0 P1 40 51 56 49±8,19

P2 54 55 66 58,33±6,66

P3 60 67 69 65,33±4,73

P4 75 79 95 83±10,58

P5 83 102 97 94±9,85

Keterangan P0: kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine (kontrol); P1: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 10 ppm; P2: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 20 ppm; P3: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 30 ppm; P4: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 40 ppm; P5: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 50 ppm; R1: replikasi 1; R2: Replikasi 2; R3: replikasi 3

Gambar 4. Grafik rataan durasi ikan nila setelah peberian ACP secara dipping

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa P0 tidak mempunyai durasi. Hal tersebut karena

ikan nila pada P0 tidak direndam (dipping) ACP sehingga durasinya 0. Perlakuan 1 (P1)

memiliki durasi 49 menit, P2 mempunyai durasi 58,33 menit, P3 memiliki durasi 65,33

menit, P4 memiliki durasi 83 menit dan P5 memilki durasi 94 menit. Tabel 2 menunjukkan

bahwa perlakuan yang cenderung mempunyai durasi paling lama adalah P5 yaitu 94 menit

dan durasi tercepat pada P1 yaitu 49 menit. Hal ini karena semakin besar dosis yang

digunakan, maka semakin lama durasinya.

49a58,33a

65,33ab

83bc

94c

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

10ppm 20ppm 30ppm 40ppm 50ppm

DurasiA

ceprom

azine(m

enit)

DosisAcepromazine

18

Tanda-tanda pulih kembali menurut Mckelvey dan Wayne (2003) antara lain refleks,

tonus otot dan rasa nyeri telah pulih kembali dan hewan mulai sadar. Hal ini terlihat jelas

pada ikan nila yang kembali sadar setelah beberapa menit dipindahkan ke dalam air tanpa

ACP. Tubuh ikan kembali seimbang, terlihat dari ikan berenang dengan aktif. Ikan merespon

ketika diberi rangsangan, hal ini berarti refleks ikan telah pulih kembali. Gambar ikan telah

recovery dapat ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Ikan nila recovery

4.3 Kematian Ikan Nila

Penggunaan anestetikum selalu mempunyai resiko. Pemberian anestetikum

mempengaruhi otak terutama otak pada bagian yang mengontrol kardiovaskular, respirasi dan

termoregulasi. Kematian terjadi apabila aktivitas pada pusat pengontrol tersebut di otak

terdepres dan berhenti (Mckelvey dan Wayne 2003). Hasil rataan kematian ACP disajikan

pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil rataan persentase kematian ACP Perlakuan R1 R2 R3

P0 0% 0% 0% P1 0% 0% 0% P2 0% 0% 20% P3 0% 0% 0% P4 0% 0% 0% P5 20% 40% 20%

Ketererangan P0: kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine (kontrol); P1: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 10 ppm; P2: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 20 ppm; P3: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 30 ppm; P4: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 40 ppm; P5: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 50 ppm; R1: replikasi 1; R2: Replikasi 2; R3: replikasi 3.

Berdasarkan Tabel 7 terlihat kematian ikan nila pada P0 adalah 0%, karena ikan nila

pada P0 tidak diberikan perlakuan ACP. Kematian ikan nila pada P0 ini menunjukkan air

yang digunakan aman terhadap ikan nila dan kepadatan ikan masih dalam kepadatan yang

normal. Sementara itu, kematian ikan nila pada P1 sampai P4 sebesar 0%. Meskipun pada P2

19

replikasi ke-3 terdapat kematian sebesar 20% namun kematian ini mungkin terjadi

dikarenakan kondisi ikan yang mati kurang baik. Sedangkan pada P5 menunjukkan tingkat

kematian 20% pada replikasi pertama, 40% pada replikasi ke-2, dan 20% pada replikasi ke-3.

Data ini sebanding dengan pemingsanan ikan menggunakan MS-222 40 ppm yaitu memiliki

tingkat kelangsungan hidup yang masih 100% (Daud et al. 1997). Hal ini menunjukkan

bahwa dosis 50 ppm dapat menyebabkan kematian pada pemingsanan ikan nila, sebagaimana

tampak pada Gambar 6.

Gambar 6 Ikan nila mati

Kematian pada dosis 50 ppm menurut Wiryoatmodjo (2000) disebabkan oleh kelebihan

dosis (overdosis, terlalu dalam, keracunan) sehingga terjadi kelumpuhan pada pusat

pernafasan dan sirkulasi yang letaknya di medulla oblongata. Berdasarkan Gambar 6 terlihat

bahwa kematian terbesar pada perlakuan 5, hal ini disebabkan perlakuan 5 mendapatkan

dosis yang terlalu tinggi (overdosis).

Menurut Crowell-Davis dan Murray (2005) senyawa acepromazine dapat mendepres

saluran respirasi. Ikan yang banyak mati adalah ikan dengan kandungan lemak yang besar.

Hal ini berkaitan dengan sifat dari acepromazine yang mudah terlarut atau terabsorbsi pada

lemak (Crowell-Davis dan Murray 2005). Ikan yang mempunyai lemak tinggi akan lebih

cepat teranestesi dan proses ekskresi ACP dari tubuh berlangsung lama, sehingga durasinya

menjadi lama dan ACP mendepres pusat respirasi lebih lama sehingga terjadi asphyxia.

Kematian oleh karena anestesi dalam waktu singkat (akut) terjadi karena yaitu anestesi terlalu

dalam (overdose, kelebihan dosis), gangguan pernapasan dan gangguan sirkulasi. Sementara

itu, kematian dalam waktu yang lama terjadi karena kegagalan fungsi hati dan fungsi ginjal

dalam mengeliminasi senyawa anestetikum (Wirjoatmodjo 2000).

20

4.4 Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh mendasar bagi

kelangsungan hidup ikan air tawar. Pengujian kualitas air pada penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui karakteristik kimia fisik air baik sebelum maupun setelah proses pemingsanan.

Pengujian sebelum proses pemingsanan bertujuan untuk melihat kelayakan kualitas air yang

akan digunakan sebagai media pada proses pemingsanan. Sedangkan, proses pengujian

kualitas air setelah proses pemingsanan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh

pemberian berbagai konsentrasi berbeda terhadap karakteristik fisik kimia air yang telah

digunakan setelah proses pemingsanan. Pengujian kualitas air pada proses pemingsanan ikan

nila dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Pengujian kualitas air pada pemingsanan ikan nila dengan ACP

Ketererangan P0: kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine (kontrol); P1: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 10 ppm; P2: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 20 ppm; P3: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 30 ppm; P4: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 40 ppm; P5: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 50 ppm;

Keasaman air menurut Pudjianto (1984) adalah kemampuan kuantitatif (banyaknya

asam) untuk menetralkan basa kuat sampai pH yang dikehendaki. Kandungan oksigen terlarut

dalam air merupakan faktor pembatas dalam mendukung optimalisasi organisme perairan.

Oksigen dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan ikan dan sebagai fasilitator proses

oksidatif kimiawi. Jika konsentrasi DO yang sesuai tidak dipertahankan, ikan akan stres yang

akhirnya menyebabkan kematian.

Berdasarkan Tabel 8 di atas, dapat dilihat perubahan kualitas air sebelum dan sesudah

dilakukan pemingsanan. Sebelum dilakukan pemingsanan, kadar DO air terukur pada kisaran

5,14-5,19; pH 6,98-7,20; dan kadar TAN 0,207-0,216. Sesudah dilakukan pemingsanan,

kadar air terukur pada kisaran 5,01-5,15; pH 6,96-7,19; dan TAN 0,232-0,263. Kisaran

Parameter Uji DO pH TAN

Perlakuan Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

P0 5,19±0,01 5,15±0,0265 7,20±0,02 7,19±0,265 0,212±0,01 0,232±0,0361 P1 5,17±0,0173 5,01±0,01 7,16±0,0361 7,07±0,01 0,215±0,02 0,263±0,0361 P2 5,16±0,02 5,03±0,0265 7,11±0,01 7,04±0,0265 0,209±0,0265 0,258±0,02 P3 5,16±0,0265 5,04±0,0436 7,08±0,361 7,04±0,361 0,216±0,02 0,254±0,02 P4 5,15±0,0361 5,07±0,02 7,03±0,0265 7,00±0,02 0,207±0,0265 0,243±0,01 P5 5,14±0,0265 5,07±0,0265 6,98±0,01 6,96±0,01 0,208±0,0361 0,241±0,0265

21

perubahan kualitas air tersebut masih dalam ambang batas yang layak untuk kelangsungan

hidup ikan nila. Menurut Arie (2000), kualitas perairan yang baik bagi ikan nila untuk dapat

hidup secara alami adalah kadar DO minimal 4 mg/L air, pH 4-11, dan kadar TAN 0,23-1,04

ppm. Perubahan kualitas air yang tidak signifikan ini juga menunjukkan bahwa penyebab

ikan nila pingsan adalah penambahan acepromazine sebagai zat anestesi, bukan diakibatkan

oleh perubahan kualitas air.

4.5 Pemingsanan Ikan Nila Besar

Dosis terbaik yang didapat dari data waktu onset, durasi acepromazine, dan tingkat

kematian ikan nila dari P1-P6 adalah P5 (perendaman ACP 40 ppm). Sehingga pada ikan

besar dilakukan perlakuan dengan perendaman ACP 40 ppm. Hasil waktu onset, durasi

acepromazine, tingkat kematian dan kualitas air untuk ikan besar dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil pemingsanan nila besar dengan ACP Pengujian

Nilai DO Nilai pH Nilai TAN Ulangan Waktu Onset

(menit) Durasi ACP

(menit) Tingkat

Kematian (%) A B A B A B

1 63 45 0 5,20 5,14 7,15 7,08 0,217 0,276

2 69 42 0 5,21 5,13 7,15 7,08 0,217 0,277

3 64 46 0 5,21 5,11 7,15 7,10 0,217 0,277 Ketererangan A: Awal; B: Akhir

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa waktu onset rata-rata ikan nila besar yang direndam

acepromazine 40 ppm selama 65,33 menit. Durasi acepromazine rata-rata untuk ikan besar

yang direndam dengan acepromazine 40 ppm selama 44,33 menit dan untuk tingkat

kematiannya sebesar 0%. Hal ini menunjukkan bahwa dosis 40 ppm aman untuk

kelangsungan hidup ikan nila pada proses pemingsanan. Sedangkan untuk hasil pengujian

kualitas air pada ikan nila besar juga tidak terjadi perubahan yang besar terlihat dari nilai DO

pada awal berkisar 5,20-5,21 dan pada akhir berkisar 5,11-5,14. Nilai pH pada awal

pemingsanan ikan besar dengan acepromazine sebesar 7,15 dan pada akhir berkisar 7,08-

7,10. Serta untuk nilai TAN pada awal pemingsanan ikan nila besar dengan acepromazine

sebesar 0,217 dan pada akhir berkisar 0,276-0,277.

Data hasil penelitian terhadap kedua kelompok ikan (besar/kecil) dengan perlakuan

perendaman acepromazine 40 ppm menunjukkan perbedaan yang sangat jelas pada waktu

onset dan durasi acepromazine, hal ini dapat terlihat pada Tabel 10.

22

Tabel 10 Perbandingan waktu onset dan durasi ACP ikan kecil dengan ikan besar yang direndam dengan larutan ACP 40 ppm

Jenis Ikan Berat Badan Ikan (gram) Waktu Onset (menit) Durasi Acepromazine (menit)

Nila Kecil 40 19 83

Nila Besar 200 65,33 44,33

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa waktu onset dan durasi acepromazine untuk

ikan besar yang memiliki berat badan 200 gram yaitu 65,33 menit dan 44,33 menit, nilai

tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan waktu onset dan durasi acepromazine

untuk ikan kecil yang memiliki berat badan 40 gram yaitu 19 menit dan 83 menit. Hal ini

menunjukkan ukuran ikan mempengaruhi waktu onset dan durasi acepromazine. Kemampuan

ikan untuk bertahan pada media yang berbeda tergantung pada kemampuan untuk mengatur

cairan tubuh sehingga mampu mempertahankan tingkat tekanan osmotik yang mendekati

normal. Ikan yang lebih besar mempunyai kemampuan mengatur cairan tubuh yang lebih

baik (Slembrouck et al. 2003).

Menurut Ferguson (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain spesies,

kualitas air dan status kesehatan ikan. Spesies termasuk di dalamnya adalah berat badan,

lapisan lemak, ikan yang berumur tua, dan ikan betina gravid (berproduksi). Kualitas air

meliputi temperatur, keasaman dan PH.

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan dosis acepromazine yang efektif adalah

dosis 40 ppm (P4). Perlakuan 5 (P4) memiliki onset 19 menit, durasi 83 menit dan kematian

0%, walaupun onsetnya lebih lama dibandingkan onset perlakuan 6 (P5) dan durasi

acepromazine juga lebih cepat dibandingkan perlakuan 6 (P5), tetapi tingkat kematian P5

tidak 0% bahkan lebih dari 20%. Tahapan anestesi terlihat jelas pada kelompok tersebut yaitu

posisi tubuh, keseimbangan yang berkurang, beberapa refleks dan respon terhadap

rangsangan hilang. Sedangkan untuk perubahan kualitas air pada penelitian ini tidak

memberikan pengaruh dan perubahan yang besar. Ikan besar memiliki waktu onset yang

lebih lama dibandingkan dengan ikan kecil, sedangkan untuk durasi acepromazine lebih cepat

dibandingkan ikan kecil.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut mengenai keamanan bahan terhadap daging ikan (residu dalam daging) dan perlunya

simulasi transportasi sisterm kering untuk mengetahui efektifitas acepromazine sebagai bahan

anestesi.

DAFTAR PUSTAKA

Adams HR. 2008. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. United Kingdom: Blackwell Publishing.

Arie U. 2000. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Penebar Swadaya. Jakarta.

Bowser PR. 2001. Anesthetic Options for Fish. http://www.ivis.org/advances/Anesthesia_Gl [16 Juli 2009].

Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. Hlm: 318.

Crowell-Davis, SL, Murray T. 2005. Veterinary Psychopharmacology. United Kingdom: Blackwell Publishing.

Daud R, Suwardi, Jacob MJ, Utojo . 1997. Penggunaan MS-222 (Tricaine) untuk pembiusan Bandeng Umpan. Jurnal Penelitian Indonesia. Vol: 3(3) : 47 - 51

Ferguson H. 1988. Anesthesia and treatment. Proceeding Fish Disease 106 23-27 May 1988. The university of Sydney: Post Gradute Committee in Veterinary Science University Of Sydney.

Forney B. 2004. Acepromazine Maleate For Veterinary Use. http://www.wedgewoodpharmacy.com/monographs/AcepromazineMaleate.asp/ [16 Juli 2009].

Gunn E. 2001. Floundering in the Foibes of Fish Anestesia. Hlm: 211.

Harms CA. 1998. Anesthesia in fish. In Fowler ME and Miller RE: Zoo & Wild Animal Medicine Current Therapy 4. W.B. Philadelphia: Saunders Company, Hlm: 158-163.

Katzung BG. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi ke 8. Jakarta: Salemba Medika.

Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmojo S. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Hong Kong: Periplus Editions. Hlm: 344.

Lewbart, Greg MS. 2001. Anesthesia, Analgesia, and Surgery in Pet Fish. http://www.vin.com/VINDBPub/SearchPB/Proceedings/PR05000/PR00342.htm/ [16 Juli 2009].

Mckelvey D, Wayne K. 2003. Veterinary anesthesia and analgesia. Amerika: Occation the veterinarian.

Nabib R, Pasaribu F. 1989. Patologi dan penyakit ikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.

Plumb DC. 2008. Veterinary Drug Handbook. United Kingdom: Blackwell Publishing.

Pudjianto WE. 1984. Analisis Kualitas Air. Surabaya: Bina Indra Karya.

Rahmat H. 2008. Gambar ikan nila. http://google.com/search/gambar ikan nila/[16 Juli 2009].

Rand MC, Greenberg AE, Taras MJ. 1975. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 14th Ed. Washington, DC: APHA, 1015 Eighteenth Street NW.

Rust MB. 2000. Recirculation System: Procces Enginering. Dalam Encyclopedia of Aquaculture. Jhon Wiley and sons, Inc. New York. Hlm: 731-736.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Jakarta: Bina Cipta.

25

Scott W, Chick W, Tobias S, Charles I, Alan MK. 2009. Anesthesia, Diagnostic Imaging, and Surgery of Fish. http://www.vetlearn.com/ME2/Audiences/dirmod.asp? [16 Juli 2009].

Shepherd J, Bromage N. 1992. Insentive Fish Farming.Blackwell Scintivic, Inc. London. Hlm: 404 .

Slembrouck J, Pamungkas W, Subagja J, Hadle W, Legendre M. Larval Biology. In Slembrouck, J,. Komarudin, O., Maskur, and Legendre, M. (eds). Technical Manual for Artificial Propagation of the Indonesian Catfish, Pangasius djambal. Karya Pratama, Jakarta, Hlm:87-93.

Suryanto. 1998. Anestesi. http://id.wikipedia.org/wiki/Anestesi/ [16 Juli 2009].

Suyanto R. 2003. Nila. Jakarta: Penebar Swadaya

Trewavas F. 1986. Tilapias: Taxonomi and Speciation . In R.S.V. Dullin and R.H Low Mc. Connell ( Eds ). The Biology and Culture of Tilapias . ICLARM Converence , Mamalia.

van Ginneken VJ T, Addink ADF, van den Thillart, GEEJM., Korner F, Noldus L, Buma, M. (1997). Metabolic rate and level of activity determined in tilapia (Oreochromis mossambicus Peters) by direct and indirect calorimetry and videomonitoring. Thermochim. Acta 291. Hlm: 1-13.

Wibowo S. 2001. Transportasi udang hidup sistem kering. Info Budidaya. BPPL Slipi. Jakarta.

Wirjoatmodjo K. 2000. Anestesiologi Dan Reaminasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

26

LAMPIRAN

27

Lampiran 1 Data Bobot Ikan Nila Kecil dan Besar

Bobot K (gr) Bobot K (gr) Bobot K (gr) Bobot B (gr) 41 38 39 201 42 39 44 199 39 42 45 201 44 35 44 200 45 35 36 200 35 44 37 198 39 42 38 200 38 42 43 199 37 42 43 198 36 43 43 200 43 44 43 202 45 40 36 198 40 40 39 200 41 40 38 199 43 40 38 200 44 39 39 42 41 40 35 35 35 36 35 37 38 45 39 37 42 39 42 35 35 42 40 42 43 43 36 41 38 36

Bobot rata-rata ikan kecil = 39,88 gram

Bobot rata-rata ikan besar = 199,67 gram

28

Lampiran 2 Analisi Nilai Waktu Onset Acepromazine

A. Tabel ANOVA waktu onset Acepromazine ANOVA waktuonset

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 1385,733 4 346,433 14,638 ,000 Within Groups 236,667 10 23,667 Total 1622,400 14

B. Tabel uji Tukey waktu onset Acepromazine waktuonset Tukey HSD

Subset for alpha = .05 Dosis N 1 2 3 50 ppm 3 15,3333 40 ppm 3 19,0000 30 ppm 3 21,6667 21,6667 20 ppm 3 34,6667 34,6667 10 ppm 3 40,3333 Sig. ,532 ,051 ,626

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

29

Lampiran 3 Analisis Nilai Durasi Acepromazine

A. Tabel ANOVA waktu onset Acepromazine ANOVA durasiacepromazine

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 4031,600 4 1007,900 14,707 ,000 Within Groups 685,333 10 68,533 Total 4716,933 14

B. Tabel uji Tukey waktu onset Acepromazine durasiacepromazine Tukey HSD

Subset for alpha = .05 dosis N 1 2 3 10 ppm 3 49,0000 20 ppm 3 58,3333 30 ppm 3 65,3333 65,3333 40 ppm 3 83,0000 83,0000 50 ppm 3 94,0000 Sig. ,188 ,141 ,514

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

30

Lampiran 4 Analisis Nilai Tingkat Kelangsungan Hidup Acepromazine

A. Tabel ANOVA tingkat kelangsungan hidup Acepromazine ANOVA tingkatkelangsunganhidup

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 1706,667 4 426,667 16,000 ,000 Within Groups 266,667 10 26,667 Total 1973,333 14

B. Tabel uji Tukey tingkat kelangsungan hidup Acepromazine tingkatkelangsunganhidup Tukey HSD

Subset for alpha = .05 Dosis N 1 2 50 ppm 3 73,3333 10 ppm 3 100,0000 20 ppm 3 100,0000 30 ppm 3 100,0000 40 ppm 3 100,0000 Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

31

Lampiran 5 DO Meter

32

Lampiran 6 pH Meter