POSTER -...

129
POSTER

Transcript of POSTER -...

Page 1: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

POSTERStrategi Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Page 2: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

538

SISTEM PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT NELAYAN SUKU BAJO KABUPATEN BONE TERHADAP KONSERVASI EKOSISTEM PESISIR

DALAM PERSPEKTIF ETNOGRAFI

Muhammad Ansarullah S. Tabbu

Pascasarjana Universitas Negeri Malang

*email: [email protected]

ABSTRAK Komunitas Bajo yang mendiami pesisir pantai Teluk Bone merupakan masyarakat berkebudayaan maritim yang mempunyai sistem pengetahuan lokal berkaitan dengan kemaritiman. Dalam hal pemanfaatan sumber daya hayati laut, masyarakat Bajo sangat adaptif dengan lingkungannya. Seperti menjaga terumbu karang sebagai tempat tinggal ikan, bertelur, dan tempat makan ikan. Masyarakat Bajo pun memiliki kesadaran konservasi cukup baik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem pengetahuan lokal masyarakat nelayan suku Bajo dalam konservasi ekosistem pesisir. Tujuan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam fokus penelitian. Fokus penelitian ini di antaranya: 1) bagaimana karakteristik dan pandangan suku Bajo tentang laut; dan 2) bagaimana sistem pengetahuan lokal masyarakat nelayan suku Bajo. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan masyarakat suku Bajo memiliki karakteristik yang sama walaupun mereka menyebar dan menetap di berbagai daerah di Indonesia, nelayan suku Bajo memahami laut dengan berbagai sudut pandang, yaitu: (1) laut sebagai sehe (sahabat); (2) laut sebagai tabar (obat); (3) laut sebagai anudinta' (makanan); (4) laut sebagai lalang (prasarana tranportasi); (5) laut sebagai patambangang (tempat tinggal); (6) laut sebagai pamtmang ala' baka raha' (sumber kebaikan dan keburukan); dan (7) laut sebagai patambangan umbo ma'dllao (tempat leluhur orang Bajo yang menguasai laut). Adapun pengetahuan lokal masyarakat nelayan Bajo terbagi menjadi; 1) pengetahuan lokal yang berkenaan dengan ruang/tempat (lokasi); 2) pengetahuan lokal yang berkenaan dengan biota laut; dan 3) pengetahuan lokal yang berkenaan alat tangkap ramah lingkungan. Sistem pengetahuan lokal masyarakat nelayan Bajo yakni mengelolah, memelihara, dan memanfaatkan sumber daya hayati laut yang berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang telah melembaga, dipatuhi, serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (soda/controt) oleh setiap komunitasnya dalam kelestarian ekosistem laut dan pesisir. KATA KUNCI: Sistem pengetahuan lokal, nelayan suku bajo PENDAHULUAN

Laut dan orang Bajo merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kultur orang Bajo. Karena itu, ada dua konsep utama yang dikemukakan oleh Mamar (2005) yaitu: (1) Laut, adalah wilayah perairan yang luas dan airnya asin yang memiliki berbagai fungsi. Laut bagi orang Bajo mutlak adanya, karena selain sebagai tempat tinggal, juga sebagai tempat mencari nafkah hidupnya, (2) Orang Bajo, adalah sekelompok orang pengembara lautan yang berdomisili bersama keluarganya di laut atau pesisir pantai.

Komunitas Bajo yang bermukim di Kelurahan Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang

Timur, Kabupaten Bone, merupakan salah satu komunitas terbesar di Sulawesi Selatan. Menurut Faisal (2011), mereka mendiami pesisir pantai Teluk Bone yang merupakan masyarakat berkebudayaan maritim, dan mempunyai kearifan lokal yang berkaitan dengan kemaritiman. Hal ini diwujudkan dalam sikap dan perilaku suatu masyarakat sebagai hubungan timbal balik terhadap lingkungannya.

Page 3: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

539

Komunitas Bajo ini merupakan satu dari sekian komunitas yang mengelolah, memelihara, dan memanfaatkan sumber daya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang telah melembaga dan dipatuhi serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (soda/control) oleh setiap komunitasnya berdasarkan kearifan lokal yang bersumber dari indigenous knowledge yang diwarisi dari generasi ke generasi.

Sebelum menetap seperti sekarang ini, orang-orang Bajo dalam mempertahankan dan

menyambung hidupnya selalu di atas laut dan berpindah-pindah. Sejalan yang dikemukakan oleh Francois Robeft Zacot, seorang Antropolog Perancis, bahwa orang Bajo membawa jejak-jejak perpindahan penduduk yang menghuni Asia Tenggara sekitar dua ribuan tahun lalu (lihat buku Orang Bajo; Suku Pengembara Laut, 2008).

Pemanfaatan sumber daya hayati laut oleh nelayan Bajo sangat adaptif dengan

lingkungannya. Sebagaimana yang diungkap oleh Armini (2012) seperti menjaga terumbu karang sebagai tempat tinggal ikan, bertelur, dan tempat makan ikan. Nelayan Bajo pun memiliki kesadaran konservasi cukup baik. Kearifan lokal nelayan Bajo dalam pengelolaan sumber daya laut juga terlihat pada kegiatan penangkapan ikan. Seperti pengetahuan nelayan Bajo tentang lokasi penangkapan ikan, pengetahuan biota laut, pengetahuan berkenaan dengan sistem pelayaran, dan pengetahuan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Nelayan Bajo memahami keberadaan laut dengan menilainya dari berbagai sudut

pandang. Hafid (2014) menjelaskan mereka menilai bahwa laut itu sebagai sehe (sahabat); laut sebagai tabar (obat); laut sebagai anudinta (makanan); laut sebagai lalang (prasarana transportasi); laut sebagai patambagang (tempat tinggal); laut sebagai pamunang ala 'bakaa raha' (sumber kebaikan dan keburukan); dan laut sebagai patambangan umbo ma' dilao (tempat leluhur orang Bajo yang menguasai laut).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kajian tentang pengetahuan lokal masyarakat

nelayan suku Bajo menjadi penting untuk diteliti, dengan harapan sebagai upaya konservasi perairan pesisir berbasis kearifan lokal setempat. Dalam kondisi yang demikian, maka fokus dalam penelitian ini, yakni: 1) Bagaimana karakteristik suku Bajo dan pandangannya tentang laut. 2) Bagaimana pula sistem pengetahuan lokal nelayan Bajo dalam pengelolaan lingkungan sumber daya laut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi untuk mendeskripsikan dan

memberikan eksplanasi secara detail mengenai kearifan lokal nelayan Bajo di Kabupaten Bone secara alamiah. Fatchan (2015) menjelaskan bahwa pendekatan etnografi merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian kualitatif yang berupaya menggambarkan secara rinci bagaimana pengaruh atau tindakan manusia dalam lingkup “etniknya” yang senantiasa terkait dengan historis yang melatarbelakangi tindakannya. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.

Sumber data dalam penelitian ini berupa hasil observasi dan wawancara yang

mendalam dengan informan yang terpilih. Observasi memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data (Guba dan Lincoln, 1981; dalam Moleong, 2007). Wawancara mendalam dilakukan secara terstruktur dan terbuka yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan (Creswell, 2014).

Analisis data dalam riset ini menggunakan teori yang dikemukakan Creswel (2015)

terdiri dari enam komponen, yaitu mempersiapkan dan mengorganisasikan data, mengeksplorasi dan mengode basis-data, mendeskripsikan temuan dan membentuk tema,

Page 4: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

540

mempresentasikan dan melaporkan temuan, menginterpretasikan makna temuan dan memvalidasi keakuratan temuan. Pengecekan keabsahan temuan menggunakan menggunakan trianggulasi, member check, dan audit trail. Adapun tahap penelitian ini menggunakan model 3 (tiga) tahap 12 (dua belas) langkah sebagaimana menurut Fatchan (2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Nelayan Bajo dan Pandangan Orang Bajo Tentang Laut

Bagi nelayan Bajo, laut dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya

merupakan sumber kehidupan mereka. Saleh (2004) mengatakan ketergantungan mereka terhadap laut pun tercermin dalam pembagian hierarki kelompok sosial masyarakatnya. Dalam kehidupannya, mereka mengenal empat kelompok masyarakat yang dibagi menurut kebiasaannya mencari ikan di laut. Kelompok-kelompok tersebut antara lain Lilibu (yang melaut satu hingga dua hari), Papongka (melaut satu hingga dua minggu), Sakai (melaut satu hingga dua bulan), dan Lame (yang melaut hingga berbulan-bulan).

Secara garis besar, suku Bajo lebih banyak menghabiskan hidupnya dengan

mendiami perahu-perahu yang mereka desain sebagai tempat bermukim. Menurut Sultan (2005), sebagai suku pelaut yang sering berpindah-pindah tempat, mereka juga dikenal sebagai kaum imigran. Karena itu, keberadaan masyarakat Bajo tersebar tidak hanya di Sulawesi tempat asalnya. Mereka bisa ditemui di Flores, Sumbawa, sebagian Papua, hingga Kepulauan Riau. Di tempat barunya, mereka akan mendiami tepian-tepian pantai dengan membangun rumah-rumah panggung dari bambu yang beratap rumbia.

Orang-orang suku Bajo memiliki karakteristik yang sama walaupun mereka menyebar

dan menetap di berbagai daerah di Indonesia seperti: 1) Suku Bajo adalah suku pengembara laut. 2) Suku Bajo memandang laut sebagai penghubung dan bukannya pemisah. 3) Suku Bajo tersebar di berbagai negara sesuai karakternya yang nomaden. 4) Alat transportasi yang lazim digunakan oleh suku Bajo adalah kapal dan sampan. 5) Sebelum dunia mengenal istilah The World Coral Triangle, Suku Bajo terlebih dulu menandai seluas wilayah di area tersebut sekaligus menjaganya sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam tak ternilai. 6) Suku Bajo memiliki banyak sekali ritual adat. Salah satunya adalah upacara Sangal yang dilakukan saat musim paceklik ikan dan spesies laut lainnya.

Pada upacara tersebut, mereka akan melepas spesies yang populasinya tengah

menurun di saat bersamaan. Misalnya melepas penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang, dan sebagainya. 7) Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut darI mengambil hasil laut. 8) Motto yang sering didengar di kalangan suku Bajo adalah " D i lao' denakangku,” yang berarti ‘Lautan adalah Saudaraku’. Oleh karenanya, lautan adalah tempatku hidup, mencari nafkah, serta mengadu dalam suka maupun duka yang selak menyediakan kebutuhan hajat hidupku.

Masyarakat nelayan suku Bajo memandang laut sebaga milik bersama. Dengan kata

lain, laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin mencari penghidupan. Menurut Hafid (2014), laut merupakan sebagai bagian integral dalam kehidupan nelayan orang Bajo, dari mereka lahir, hidup, dan mati di atas air laut. Oleh karena itu, laut dianggap segala-galanya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Faisal dalam Sukmawati Saleh (2004 : 92)

nelayan suku Bajo memahami laut dengan berbagai sudut pandang, yaitu : (1) laut sebagai sehe (sahabat), (2) laut sebagai tabar (obat), (3) laut sebagai anudinta' (makanan), (4) laut sebagai lalang (prasarana tranportasi), (5) laut sebagai patambangang (tempat tinggal), (6)

Page 5: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

541

laut sebagai pamtmang ala' baka raha' (sumber kebaikan dan keburukan), dan (7) laut sebagai patambangan umbo ma'dllao (tempat leluhur orang Bajo yang menguasai laut).

Pengetahuan Lokal Nelayan Bajo 1. Pengetahuan Lokal yang Berkenaan dengan Ruang/Tempat (Lokasi

Penangkapan)

Wilayah laut bagi nelayan Bajo dipandang sebagai kawasan terbuka dan bebas dikelola oleh semua orang. Menurut Saleh (2004), aktivitas penangkapan ikan dan biota laut lainnya dapat dilakukan setiap saat sepanjang air dalam keadaan pasang dan air tidak surut, yaitu pada waktu pagi, sore, dan malam hari.

Mereka mendatangi berbagai gugusan karang yang disebut dengan istilah sapa,

sebagai tempat penangkapan selama tiga sampai empat hari atau sampai bekal yang dibawa sudah menipis. Gugusan karang merupakan lahan potensial bagi spesies ikan dan biota laut lainnya untuk berkembang biak, terutama pada kedalaman antara 5 sampai 20 meter dengan jarak 3 sampai 5 mil dari pantai (Anggoro, 2004).

Menurut pemahaman para nelayan setempat, terumbu karang merupakan tempat

tinggal, tempat mencari makan, tempat bertelur, juga tempat berlindung bagi ikan, seperti "rumah" bagi manusia. Di sekitar karang tersebut, hidup berbagai jenis ikan yang dalam bahasa lokal disebut bale bati atau ikan karang. Salah satu ruang atau tempat yang dimanfaatkan nelayan dalam penangkapan ikan adalah lokasi terumbu karang, dimana nelayan orang Bajo menyebutnya daerah itu sapa.

Istilah sapa tersebut, dimana dalam pandangan nelayan Bajo merupakan sebagai

suatu ruang/tempat atau suatu kawasan terumbu karang yang di dalamnya terdapat rumah ikan yang dijadikan sebagai lokasi penangkapan (fishing spots) yang harus dipelihara dan dijaga. Istilah sapa ini terdapat banyak di sekitar perairan Teluk Bone dan masing- masing sapa itu memiliki nama, bentuk, dan luas yang berbeda- beda. Di dalam sapa, biasanya terdapat beberapa rumah ikan.

Adapun gugusan karang (sapa) yang biasa didatangi oleh orang Bajo untuk mencari

ikan yang terletak di kawasan perairan Teluk Bone yaitu:

1. Gugusan karang (sapa) yang jauh; Tangkulara, Bone tellu, Jeppongge, Lampe'e, Matella, Ciboro,Ciwanning, Babala- kang, Alosie, Sasage, Lakarangeng, Limpoge, Lakapu-apu, L agenda, Penyampi, Tapasa/u, Parampose, Bonemalimpo, Taka/oang, Larekko, Tonrommo, Lassengge, Kareliae, Limpare'e, Taninting dan gugusan karang Marempung.

2. Gugusan karang (sapa) yang dekat; Tapasalu, Parampose, Bone ma/impu, Taka

Loang, Latekko, Tonrommo, Lassengge, Karallae, Linpare'e, Taninting, Marempung, Barebbo, Tappele, dan gugusan karang Batubbu. (Sukmawati Saleh, 2004 : 65) Dari berbagai gugusan karang (sapa) yang ada pada kawasan perairan Teluk Bone

itu, bahwa gugusan karang (sapa) yang kaya akan keanekaragaman hayati laut dan selalu didatangi para nelayan orang Bajo adalah gugusan karang Limpoge, Lakarangan, dan Lagenda. Sedangkan gugusan karang (sapa) yang sama sekali tidak diizinkan oleh para nelayan mendatangi untuk menangkap ikan, karena lokasi/ wilayah tersebut dianggap keramat atau angker atau bahasa lokalnya makerre adalah gugusan karang (sapa); Alosie, Sasage, dan Lakapu-apu.

Page 6: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

542

Masyarakat nelayan suku Bajo telah pula memiliki pengetahuan tentang keberadaan adanya ikan pada suatu tempat tertentu (gugusan karang) dengan cara melihat tanda-tanda yang ada, antara lain: 1) adanya cahaya ikan seperti memutih yang kelihatan dari kejauhan terutama pada malam hari; 2) terlihat pula dari jauh adanya bayangan batu karang (garas) yang merupakan tempat berlindungnya ikan dari ombak; 3) keadaan air kelihatannya tenang dan jernih dan keadaan pasir pada waktu itu berlumpur; 4) terlihat dari kejauhan terutama pada siang hari, dengan adanya burung pemangsa ikan yang berbentuk paruh bebek yang berjumlah ratusan burung, baik yang berwarnah putih (burung titirat) maupun berwarna hitam (burung belle); 5) adanya arus (abang, dalam bahasa lokal) yang merupakan tempat makan ikan atau bermain. Pada saat itu ikan- ikan bermunculan dan berlompat-lompat ketika mendapatkan makanan terutama pada pagi hingga sore hari. Jenis ikan yang muncul pda saat itu adalah jenis ikan lure, penajang, dan ruma-ruma. 6) Kedalaman perairan dalam antara bebatuan dan pasir berjarak sekitar 17-30 depa di bawah permukaan air laut. 7) Adanya gelembung-gelembung yang muncul ke permukaan dan terjadi pula perubahan warna air laut.

Dengan melihat tanda-tanda seperti itu, nelayan Bajo akan segera memasang alat

tangkapnya yang disebut alat tangkap tabere ataupun alat tangkap lainnya. Di samping itu, orang-orang Bajo juga mengenal adanya tanda-tanda akan berkurangnya ikan, yaitu dengan melihat sebuah pohon radda yang banyak tumbuh pada daerah pesisir terutama kawasan Teluk Bone, dimana daun dan buahnya berubah menjadi merah.

Tanda lainnya ketika air surut dan lokasinya berlumpur, maka nelayan kesulitan untuk

mendapatkan ikan. Dari berbagai pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan, dapat diperoleh dari pengalaman melaut dan cerita dari orang lua yang merupakan pengetahuan yang mereka peroleh secara turun-temurun (Faisal, 2011). 2. Pengetahuan Lokal yang Berkenaan dengan Biota Laut

Masyarakat nelayan orang Bajo, mempunyai pengetahuan lokal yang terkait dengan

laut dan isinya meliputi biota ikan dan non-ikan. Menurut Armini (2012), ikan dapat dibagi atas dua yaitu jenis ikan karang dan ikan laut dalam. Jenis ikan karang merupakan jenis ikan yang paling banyak dikenal oleh nelayan orang Bajo. Ikan karang merupakan jenis biota yang memiliki nilai jual tinggi yang berkualitas ekspor dan laku di pasar Internasional.

Jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi menurut nelayan orang Bajo, yakni

ikan hiu dengan harga 2 sampai 3 juta terutama ikan hiu yang berwarna abu-abu atau dikenal pula dengan nama ikan hiu taro bingkoh dalam bahasa Bajo.

Sedang jenis ikan hiu lainnya seperti ikan hiu mangali (kareo mangali) dan ikan hiu

antukang (kareo antukang) dengan memiliki harga yang sedang. Jenis ikan hiu ini terdapat pada gugusan karang Matella dan gugusan karang Limpoge, dimana pada waktu musir melimpahnya ikan hiu tersebut, yaitu tepatnya pada bulan Juni hingga bulan September.

Keberadaan ikan hiu di suatu tempat dapat diketahui oleh nelayan suku Bajo dengan

melihat tanda-tanda, yaitu antara lain: 1) banyaknya ikan yang bermunculan di tengah laut pada kedalaman 20 meter dari permukaan laut, 2) ikan muncul padi pertengahan karang (garas), 3) Ikan muncul pada pertemuan arus: (kekeang) yang merupakan tempat makan dan bermain ikan, 4) Adanya bau bangkai yang berasal baik dari manusia maupun dari hewan laut, 5) Ikan muncul pada saat musin angin timur 6) setiap ikan muncul keperrmukaan, sirip ikan tersebut tampak kelihatan dari jauh dan kepalanya selalu menghadap ke atas dan 7) terkadang ikan itu muncul pada saat ada nelayan bicara. sombong atau takabur.

Page 7: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

543

Selain ikan hiu seperti tersebut di atas, nelayan suku Bajo juga mengenal ikan pari yang nilai ekonominya kurang memiliki pasaran yang maksimal seperti halnya ikan hiu. Jenis ikan pari ini berada di dasar laut pada kedalaman dua depa dari gugusan karang. Menurut pemahaman nelayan Bajo, ikan pari berjumlah banyak serta tidak mengenal adanya musin ikan, setiap saat ikan pari tersebut selalu ada. Jenis ikan pari ini terdiri atas dua jenis di kawasan perairan Teluk Bone, yaitu ikan pari dan ikan kiyampong.

Sedangkan untuk jenis non-ikan yang bernilai ekonomi tinggi antara lain: kerang-

kerangan, udang/lobster, rumput laut, kepiting (karama), sumampara, dan teripang. Jenis biota non-ikan ini, terutama teripang, telah dieksploitasi oleh masyarakat nelayan sejak lama. Harga teripang bergantung kepada jenis dan beratnya.

Biota non-ikan lainnya yaitu lobster juga memiliki harga yang cukup tinggi dan

bervariasi tergantung pula beratnya, sedangkan yang ukuran lebih kecil tidak adi harganya. Jenis bintang lainnya yang dikenal oleh nelayan orang Bajo adalah bintang tallu-tallue yakni bintang yang terdiri dari tiga buah, yang berjejer lurus dari arah utara ke selatan.

Pengetahuan lainnya yang dimiliki oleh nelayan suku Bajo yakni tidak bolehnya

melakukan penangkapan (pamali) atar mengambil sesuatu yang berwujud ikan besar, karena hal tersebut merupakan pantangan bagi nelayan suku Bajo, yaitu antara lain:

1) Ikan paus (Globicephala macrorhynchus). Menurut keyakinan mereka, ikan

tersebut sangat berbahaya jika diganggu atau ditangkap, karena dapat mendapatkan bencana bagi nelayan suku Bajo, seperti datangnya angin besar, terjadinya ombak besar, dan badai.

2) Ikan lumba-lumba (Delphinidae). Jenis ikan ini dianggap oleh sebagian masyarakat

nelayan orang Bajo pada masa dahulu sebagai penolong bagi manusia ketika mereka mendapat kecelakan di laut, sehingga tidak boleh ditangkap terutama oleh sebuah keluarga. Pandangan seperti ini hingga sekarang sudah tidak menjadi pantang/larangan yang terlalu mengikat.

3) Utte lempong (raja ikan) Jenis ikan ini, dianggap oleh nelayan Bajo sebagai raja ikan

(ponggawa bale) dan apabila bertemu dengan nelayan akan mengusap-ngusap kepalanya sebagai tanda kelaparan. Makanan yang paling disukai adalah makanan wajik (baje) sehingga diberi nama bale /aba/e (bahasa lokal).

3. Pengetahuan yang Berkenaan Alat Tangkap yang Ramah Lingkungan Pengetahuan lokal atau keterampilan yang dimiliki oleh nelayan orang Bajo dalam

mengelola sumber daya laut, merupakan suatu keharusan dalam mempertahankan lingkungan hidupnya. Hal ini terlihat dari salah satu alat tangkap yang digunakan oleh orang Bajo dalam mengelola sumber daya laut dengan cara yang ramah lingkungan dan tidak merusak lingkungan dan biota laut lainnya, yaitu alat tangkap pancing (mammeng) .

Penggunaan alat tangkap tersebut diyakini oleh para nelayan tidak akan merusak

terumbu karang, bibit ikan, dan lain-lain, walaupun banyak mata kail yang sering tersangkut pada karang. Selain itu, ikan yang ditangkap tidak serampangan dan tidak akan memusnahkan salah satu jenis ikan, walaupun banyak nelayan yang memancing secara terus-menerus, sebab mata kail yang digunakan berukuran besar sehingga ikan yang ditangkap hanyalah berukuran besar juga. Oleh karena itu, ekosistem biota laut dapat tetap terpelihara dan berkembang secara alamiah.

Adapun jenis-jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan orang Bajo yang ramah

lingkungan adalah antara lain :

Page 8: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

544

1. Pancing (meng)

Merupakan peralatan alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan Bajo untuk mendapatkan ikan, dengan memiliki berbagai ukuran dan bentuk, baik yang dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Adapun jenis ikan yang ditangkap bergantung pada jenis dan ukuran pancing serta umpan yang digunakan. Jenis-jenis peralatan alat pancing yang digunakan oleh nelayan orang Bajo adalah sebagai berikut:

a. Pancing tunggal (sitta), digunakan untuk menangkap ikan-ikan besar seperti ikan hiu

(kareo dengan mata kail nomor 0 (nol) atau nomor 1 (satu) dengan menggunakan umpan ikan ekor kuning. Selain itu, ada pula nelayan yang menggunakan pancing atau meng pada ikan sunu pada malam hari, dengan ukuran tasi meni nomor 100 (seratus) dan mata kail nomor 8 (delapan) serta menggunakan tumarra sebagai pemberat sebanyak 2 buah yang masing-masing berjarak 6 meter dari mata kail, sedang untuk ikan kecil hanya menggunakan 1 (satu) buah tumarra.

b. Pancing atau meng tabere, alat pancing ini dibagi atas 2 macam yaitu: 1) Tabere

monang atau tabere telleni (pancing yang nampak di atas laut) dan biasanya dipasang di lautan lepas. Alat pancing ini khusus digunakan untuk ikan hiu dengan menggunakan tali sebagai pengganti tasi (senar pancing) dan memiliki 2 (dua) buah pelampung yang terbuat dari jerigen dan disertai bendera warna terang, seperti warna putih, dengan umpan sepotong ikan ekor kuning. Alat pancing ini dapat dipasang dengan mengikuti arah mata angin, misalnya di musim timur dimana perahu jerangka dibawa keluar hingga ke tengah laut dekat karang (garas). Pancing tabere tersebut lalu dibuang, kemudian mesin kapal dimatikan dan keesokan harinya barulah diperiksa hasil tangkapannya.

c. Pancing tabere tel/engalau monang (pancing tenggelam dalam air laut). Alat

pancing tabere ini menggunakan banyak mata pancing yang bersambung-sambung, dapat dipasang di sekitar gugusan karang dengan jumlah mata kail antara 30 - 50 buah yang diikatkan pada suatu karang dengan karang yang lain. Cara dan waktu pengoperasiannya dimulai pada sore atau malam hari pada kedalaman 400 depa dari permukaan laut dengan menggunakan tali nomor 5 atau 6. Selanjutnya, perahu jerangka dibawa keluar mengikuti arah mata angin, dan ketika perahu jarangka menjauh dari karang igaras), pancing tabere tel/eng dibuang dengan pelampung dari jerigen serta dipasang ujungnya bendera putih. Adapun maksud pemberian pelampung dan bendera putih pada alat pancing tabere tel/eng ini, adalah untuk memberi tanda pada lokasi penangkapan agar nelayan lainnya tidak memasuki wilayah penangkapan ikan tersebut. Selain itu, juga untuk menjaga peralatan alat tangkap agar tidak hilang atau dibawa arus ke tempat lain. Jenis-jenis ikan yang tertangkap adalah ikan yang ukuran sedang seperti antara lain ikan tangirik.

d. Pancing (meng rinta). Alat pancing ini menggunakan tasi gulung dengan mata kail

10-15 (belas), yaitu pancing rinta disusun sebanyak 5 (lima) buah ladung dengan jarak setengah depa (reppa). Ujung tasi diberi pemberat yang disebut ladung nnta. Rinta terbuat dari tasi sepanjang 7 (tujuh) cm. Ujung tasi diberi mata kail 1 (satu) buah dan diikat lalu diberi beberapa helai tali rafia yang berwarna biru dan beberapa helai benang emas (bennang impulaweng) sebagai umpan, karena warna tali rafia tersebut sangat disukai oleh ikan yang biasanya didatangkan dari Malaysia. Selanjutnya, pancing nnta tersebut dimasukkan ke dalam air dan ditarik-tarik, kalau umpan nnta itu sudah termakan oleh ikan atau cumi- cumi, maka alat nnta ini digoyang-goyang hingga ikan sudah lelah barulah diangkat.

e. Pancing atau Meng palamba' (Palamba). Alat pancing ini menggunakan mata kail

ganda, yang digunakan pada setiap saat baik pagi, sore, dan malam hari. Adapun

Page 9: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

545

mata kailnya adalah nomor 5 (lima) dan 6 (enam) dengan dua pancing yang berjarak 10 cm, serta menggunakan pula tasi nomor 250 (dua ratus lima puluh). Untuk bagian tengah pada tasi dipasang palamba yang terbuai dari sendai jepit (rubbei) yang terapung sehingga bila dioperasikan yang muncul di permukaan adalah palamba atau sandal (rubbei) yang terapung. Jenis-jenis ikan yang ditangkap adalah ikan-ikan besar, seperti ikan tinumbu, ikan jukueja, tuningah, dan lain-lain.

2. Peralatan Panah (manak)

Peralatan panah ini merupakan salah satu alat penangkapan ikan yang biasa digunakan oleh orang-orang Bajo, yaitu pada saat menyelam ke dasar laut selama 1 0 - 1 5 menit untuk memburu ikan-ikan besar yaitu dengan cara mengendap-endap di balik karang sambil menahan napas. Ketika ikan besar muncul di hadapan mereka seperti ikan pari dan ikan sunu, maka anak panah segera dilepaskan menuju sasaran lalu ikan tersebut diikuti kemana perginya sampai ikan tersebut lelah. Peralatan panah tersebut menyerupai senapan dan mempunyai tali jinjingan serta memilki anak panah dengan panjang 2 meter yang terbuat dari besi dan bagian ujungnya sangat tajam.

Adapun alat pendorong dari panah tersebut terbuat dari karet (biasanya dari ban

bekas) sebanyak 3 (tiga) buah dan juga terdapat 3 (tiga) kawat yang berbentuk bulat, lalu diikatkan pada ujung senapan tersebut dan bagian gagang terdapat pula alat pemicu. Ketika alat pemicu itu ditekan, maka karet akan mendorong anak panah dengan cepat menuju pada sasaran.

Dalam mengoperasikan alat panah tersebut, sebaiknya dilengkapi dengan kacamata

selam (macaming) yang terbuat dari kayu yang menyerupai kacamata dimana gagangnya menggunakan tasi atau karet, sedang ukuran dari kacamata selam tersebut tergantung dari pemakainya. Akan tetapi jika digunakan di atas perahu (lepe), maka sebaiknya mesin dimatikan terlebih dahulu dan untuk menuju ke lokasi penangkapan, perahu dapat dijalankan dengan menggunakan alat dayung (busong) secara perlahan-lahan. Hal ini dilakukan agar suasana lebih tenang dan ikan-ikan tidak terganggu pada saat mereka membidik.

3. Peralatan Tombak (sapah)

Peralatan tombak ini dapat digunakan oleh nelayan Bajo, ketika mereka menyelam kedasai laut atau mereka berada dipermukaan laut yaitu pada saal perahu jerangka maupun perahu lepa-lepa (katinting) sedang mabbalango (beristirahat) di karang (garas). Dalam menggunakan alat tombak ini dapat dilakukan secara perorangan atau perkelompok. Mulai dari usia anak-anak, dewasa, ataupun wanita dengan berbagai macam mata tombak, ada yang bermata tiga dan lima, namun fungsi dan kegunaannya adalah tidak jauh berbeda dan bahannya pun ada yang terbuat dari kayu, rotan, atau bambu.

Adapun cara penggunaan alat tombak ini, yaitu hampir sama dengan peralatan alat

panah.Penggunaan tombak dengan jarak sasaran lebih dekat bila dibandingkan peralatan panah, karena cara penggunaannya yakni menusuk, seperti udang, cumi-cumi baik ukuran besar maupun ukuran sedang, teripang, dan lain- lain. Selain itu, alat tombak ini juga dapat digunakan oleh nelayan Bajo untuk mempermudah mengangkat ikan besar dari hasil tangkapan alat tangkap pancing (meng) dengan cara menombak lebih dahulu. Penggunaan alat tombak ini, dapat dilakukan pada waktu sore dan pagi hari, namun bila dilakukan pada malam hari disertai dengan lampu petromaks.

4. Peralatan bunre dan cedo (sero) Alat bunre (jala) ini terbuat dari jaring nilon yang berbentuk jaringan kantong (seperti jarring basket) dengan rotan berbentuk melingkar yang berukuran panjang 1/2 meter dan

Page 10: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

546

mempunyai garis tengah 1/2 meter tanpa gagang. Kegunaan bunre tersebut adalah sebagai tempat penyimpanan sementara hasil-hasil laut seperti ikan, udang, teripang, kerang-kerangan maupun kepiting. Peralatan ini dibawa pada saat menyelam atau berada di permukaan laut yang ditempatkan pada bagian punggung atau dililitkan pada pinggang nelayan.

Sedang peralatan sero (cedo) adalah alat yang mempunyai gagang terbuat dari

rotan dengan panjang 21/2-3 meter dengan berbentuk melingkari jaringan kantong yang terbuat dari nilon, ukuran panjang sama dengan alat tangkap bunre. Adapun cara penggunaannya alat sero tersebut yaitu dengan membenamkan alat itu ke permukaan air laut, dirnana banyak muncul ikan bergerombol yang dapat terjaring baik ikan kecil maupun ikan ukuran sedang. Selain itu, dapat pula difungsikan oleh para nelayan pancing (pammertg) menyimpan sementara hasil tangkapannya bila sedang memancing.

5. Peralatan lambi-lambi

Salah satu jenis alat yang dipakai oleh nelayan orang Bajo. Bentuk alat ini menggunakan pukat yang biasanya ditarik sepanjang 300 - 500 meter dan dipasang sampai mengelilingi karang atau tempat yang diyakini banyak ikan. Jenis alat tangkap ini hingga sekarang masih dipakai oleh nelayan Bajo, namun alatnya dimiliki oleh portggawa nelayan Bugis. Adapun jenis ikan yang ditangkap oleh alat tangkap lambi-lambi tersebut adalah semua jenis ikan yang ada di gugusan karang atau di laut, kecuali ikan kecil yang dapat melewati celah-celah pukat /ambi, seperti ikan katombong, banyara, katampang, sunu, ekor kuning, dan lain-lain.

Dari berbagai jenis alat tangkap tersebut, nelayan Bajo memiliki hampir semua jenis

alat tangkap ini dan menggunakannya sesuai dengan kondisi dan musim yang sedang berlangsung. Adapun ciri khas dari semua peralatan penangkapan ikan hasil perairan tersebut, dengan bahan-bahan yang merupakan alat statis yaitu dengan mudah dipergunakan dan lebih selektif dalam memperoleh hasil, serta dapat menjamin keseimbangan potensi sumber daya laut dan biota laut lainnya, tanpa merusak lingkungan. KESIMPULAN

Dalam melakukan aktivitasnya, nelayan suku Bajo senantiasa mengandalkan sistem

pengetahuan lokal yang diperoleh secara turun temurun. Pengetahuan yang berhubungan dengan kelautan yang sudah mendarah daging dalam mereka. Pengetahuan ini senantiasa selalu menjadi acuan bagi pengambilan keputusan dan perilaku sehari-hari yang meliputi pengetahuan tentang ruang/tempat atau lokasi penangkapan, sistem pengetahuan tentang biota laut, pengetahuan nelayan tentang pelayaran yang terkait aktivitas kenelayanan, serta pengetahuan yang berkenaan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Nelayan Bajo memiliki karakteristik yang sama, meskipun orang Bajo telah hidup di

daerah lain dan hidup berdampingan dengan suku-suku lain, tradisi kehidupan masyarakat Bajo di suatu wilayah masih menerapkan pola-pola, kebiasaan sesuai warisan leluhurnya. Sebagai suku pengemban laut, kehidupan sehari-hari masyarakat Bajo selalu bersentuhan dengan laut.

Mereka bermukim di pinggir laut, hidup berkelompok membentuk perkampungan di

pesisir pantai terutama di daerah daerah teluk yang terlindung dari hempasan gelombang laut, dan bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka juga masih menerapkan adat istiadat dan ciri-ciri khas sesuai kebiasaan turun-temurun, bahkan masih melakukan upacara-upacan tradisional yang berkaitan dengan mata pencaharian di laut. Kedekatan orang Bajo dengan laut telah membentuk alam pikiran yang berorientasi pada laut.

Page 11: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

547

Mereka memandang laut sebagai kampung halaman dan sumber kehidupan, sekalipun mereka menetap di darat. Ketergantungan mereka dengan laut sangat tinggi. Oleh karena itu, nelayan suku Bajo memandang laut dengan berbagai sudut pandang, yakni laut sebagai sahabat (sehe), laut sebagai obat (tabar), laut sebagai makanan (anudinta), laut sebagai prasarana transportasi (lalang), dan laut sebagai tempat tinggal (patambangan). Meskipun pengetahuan yang dimiliki sifatnya tradisional, namun, mengandung kearifan dalam mengelola sumber daya laut mereka. DAFTAR PUSTAKA Anggoro S. 2004. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Semarang: MSDP,

UNDIP. Armini I. Gusti Ayu. 2012. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jurnal /nana Budaya

Vol. 17 No. 1 Bali. BPSNT NTB Bali. Creswell, W. Jhon. 2015. Riset Pendidikan : Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi Riset

Kualitatif & Kuantitatif (Ed. Kelima). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Faisal. 2011. Komunitas Bajo dan Persebarannya di Nusantara (Makala) Makassar.

Dipaparkan pada dialog budaya. Fatchan Ach. 2015. Metode Penelitian Kualitatif: Pendekatan Etnografi dan Etnometodelogi

untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Yogyakarta: Ombak. Saleh Sukmawati. 2004. Pengetahuan Lokal Orang Bajo Dalam Pengelolaan dan

Pelestarian Sumber Daya Laut di Kelurahan Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone. Makassar: Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Sultan. 2005. Menelusuri Jejak Manusia Bajou . (http://www.dft.gov,au/aii/ publication. Diakses pada 25 Juli 2005.

Hafid Abdul. 2014. Pengetahuan Lokal Nelayan Bajo. Makassar: Pustaka Refleksi.

Page 12: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

548

STUDI AWAL PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN LAUT MENGGUNAKAN PENDEKATAN RESILIENSI SOSIAL-EKOLOGI TERUMBU KARANG

DAN SPATIAL SYSTEM DYNAMICS: STUDI KASUS KKPD PULO PASI GUSUNG, KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR, SULAWESI SELATAN1

Suryo Kusumoa*, Luky Adriantoa, Mennofatria Boera dan Suharsonob

aProgram Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, IPB

bPusat Penelitian Oseanografi LIPI

*email : [email protected]

ABSTRAK Konservasi telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Resiliensi terumbu karang hendaknya merupakan salah satu komponen yang penting dalam pemilihan kawasan konservasi terumbu karang. Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi lebih tinggi lebih berharga untuk dikonservasi daripada yang resiliensinya rendah. Penurunan hasil tangkapan ikan karang disebabkan karena menurunnya kualitas terumbu karang sebagai habitat ikan terumbu akibat overfishing, praktik perikanan yang merusak, terutama penggunaan sianida, serta minimnya mata pencaharian alternatif; masih terjadi di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Pulo Pasi Gusung. Pemilihan kawasan konservasi terumbu karang masih dilakukan secara konvensional didasarkan pada kelimpahan dan keanekaragaman komunitas karang dan komunitas ikan. Terumbu karang yang tutupannya baik dan jumlah spesies karang tinggi belum tentu mencerminkan resiliensi yang tinggi. Terumbu karang yang mempunyai nilai resiliensi tinggi dan resiko tinggi mendapatkan prioritas yang tinggi dalam pengelolaan. Aspek sosial dan ekologi dapat dipertimbangkan dalam mengembangkan indeks resiliensi terumbu karang, yang tidak hanya menitikberatkan pada keanekeragaman hayati terumbu karang, tetapi juga aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya terumbu karang. Mengkaji resiliensi terumbu karang menggunakan indeks resiliensi dan spatial system dynamics (SSD) dapat dipertimbangkan dalam menyusun zonasi kawasan konservasi perairan laut. Pengelolaan kawasan konservasi perairan laut dapat dikaji menggunakan beberapa skenario pengelolaan, dimana keragaan dari masing-masing skenario pengelolaan dapat diuji dengan melihat dinamika resiliensi terumbu karang secara spasial dan temporal. KATA KUNCI: Konservasi perairan laut, resiliensi terumbu karang, spatial system dynamics PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia merupakan salah negara yang mengalami penurunan kondisi terumbu karang selama beberapa dekade. Penyebab utama penurunan kondisi terumbu karang adalah terjadinya peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Aktivitas manusia, secara langsung maupun tidak langsung, menekan terumbu karang hingga melebihi ambang batas

1 Disampaikan pada Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Auditorium Gedung Mina Bahari 4, Kementerian Kelauatan dan Perikanan, Jakarta 9-10 Mei 2017 Kontak: [email protected] +62 8121902242

Page 13: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

549

kemampuanya untuk dapat pulih kembali, sehingga dapat dikatakan bahwa terumbu karang akan tidak mampu untuk pulih kembali di masa yang akan datang, akibat tekanan dari aktivitas manusia yang terus berlanjut yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan secara terus menerus (Wilkinson, 1999).

Konservasi telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai

harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumber daya yang ada bagi masa depan. Berbagai permasalahan dan bentuk ancaman yang sangat serius terhadap sektor perikanan dan kelautan, yang terkait dengan kelestarian sumber daya hayati laut sebagai masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi perairan, antara lain: adanya pemanfaatan berlebih (over exploitation) di beberapa wilayah terhadap sumber daya pesisir dan laut, penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, perubahan dan degradasi fisik habitat, pencemaran, introduksi spesies asing, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, perubahan iklim global, serta bencana alam. Upaya-upaya yang komprehensif dari berbagai pihak, pemerintah, non-pemerintah, dan masyarakat telah dilakukan guna pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (KKJI, 2013).

Penetapan kawasan konservasi perairan laut tidak hanya mempertimbangkan

keberlanjutan sumber daya yang ada, terutama ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove, biota yang dilindungi, habitat, serta daerah pemijahan ikan dan biota lainnya. Yang perlu dipertimbangkan juga adalah aktivitas masyarakat lokal yang memanfaatkan sumber daya tersebut.

Menurut Bachtiar (2011), mengukur kondisi dan kualitas ekosistem terumbu karang

merupakan tahapan yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya terumbu karang. Mengenali karakteristik dari suatu ekosistem merupakan langkah awal dalam membuat rencana pengelolaan yang efektif. Salah satu komponen kualitas ekosistem terumbu karang adalah resiliensi, yaitu potensi pemulihan terumbu karang jika terjadi gangguan. Semakin tingginya ancaman terhadap kerusakan terumbu karang karena perubahan iklim global yang terjadi saat ini, membuat posisi resiliensi ekosistem terumbu karang semakin penting.

Menurut Carpenter et al. (2001), terdapat 3 pengertian resiliensi, antara lain: 1) jumlah

gangguan yang dapat diserap oleh suatu sistem dimana kondisi sistem tidak mengalami perubahan/tetap; 2) suatu kondisi dimana sistem mampu untuk mengelola dirinya sendiri ketika terjadi gangguan dari luar; dan 3) suatu kondisi dimana sistem dapat membangun dan meningkatkan kemampuannya untuk belajar dan beradaptasi. Tingkat resiliensi terumbu karang hendaknya merupakan salah satu komponen yang penting didalam pemilihan kawasan konservasi terumbu karang.

Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi lebih tinggi lebih berharga untuk

dikonservasi daripada yang resiliensinya rendah. Pemilihan kawasan konservasi terumbu karang sebagian besar masih dilakukan secara konvensional didasarkan pada kelimpahan dan keanekaragaman komunitas karang dan komunitas ikan. Tetapi terumbu karang yang tutupannya baik dan jumlah spesies karang tinggi belum tentu mencerminkan resiliensi yang tinggi. Terumbu karang yang mempunyai nilai resiliensi tinggi dan resiko tinggi mendapatkan prioritas yang tinggi didalam pengelolaan (Bachtiar 2011).

Selain menetapkan kawasan konservasi perairan laut dengan pendekatan resiliensi,

dibutuhkan juga kajian terhadap pengelolaan kawasan tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji skenario pengelolaan kawasan konservasi perairan secara spasial dan temporal adalah menggunakan pendekatan Spatial System Dynamics (SSD). SSD telah berkembang sejak awal tahun 1990-an hingga saat ini. SSD merupakan pendekatan System Dynamics (SD) yang diaplikasi secara spasial. SD merupakan suatu

Page 14: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

550

model matematika visual dikembangkan untuk dapat melihat perilaku dan kecenderungan suatu sistem berdasarkan beberapa skenario untuk menjawab what-if question (Ford 1999). Perumusan Masalah

Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) adalah kawasan konservasi laut yang berada di dalam wilayah kewenangan pemerintah daerah dan ditetapkan serta dikelola oleh daerah mulai dari tahap perencanaan, penetapan, pengelolaan, serta pemantauan dan evaluasi (DKP 2003). KKPD merupakan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya kelautan yang sedang digalakkan secara nasional, selain kawasan konservasi nasional yang telah ada.

Tujuan penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan laut adalah untuk: (1)

melindungi habitat-habitat kritis, (2) mempertahankan keanekaragaman hayati, (3) mengkonservasi sumber daya ikan, (4) melindungi garis pantai, (5) melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya, (6) menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam, (7) merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi, dan (8) mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan.

Pada umumnya, suatu kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan merupakan

daerah penangkapan ikan, terutama oleh masyarakat secara tradisional, baik yang dilakukan secara ramah lingkungan maupun yang bersifat merusak, seperti menggunakan bom dan sianida. Penetapan beberapa lokasi perairan dari suatu perairan menjadi zonasi tertentu, terutama zona inti, menyebabkan aktivitas perikanan masyarakat lokal menjadi terbatas sehingga menyebabkan terjadinya penurunan hasil tangkapan dan pendapatan mereka.

Kabupaten Kepulauan Selayar memiliki 130 pulau dengan panjang garis pantai

sekitar 670 km. Sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Indonesia, maka Kepulauan Selayar memiliki potensi sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang kaya yang jika dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik dan terencana maka akan mampu menjadikan daerah ini sebagai kabupaten yang mandiri (COREMAP-CTI 2014).

Dalam hal pengelolaan sumber daya kelautan, Pemerintah Daerah Kabupaten

Kepulauan Selayar telah mencadangkan 2 (dua) Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD, yaitu 1. KKPD Pulo Kauna Kayuadi (3.983 Ha) melalui SK Bupati No.465/IX/Tahun 2011; 2. KKPD Pulo Pasi Gusung (5.018 Ha) melalui SK Bupati No. 466/IX/Tahun 2011 menjadi Taman Wisata Perairan. Luas kawasan konservasi perairan P. Pasi Gusung adalah 5.018 hektar. Saat ini, kawasan konservasi perairan P. Pasi Gusung telah memiliki pengelola, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan, rencana pengelolaan, dan zonasi. Upaya-upaya pokok pengelolaan dan pembangunan sarana prasarana juga aktif dilaksanakan baik menggunakan dana APBD maupun APBN (COREMAP-CTI 2014; KKJI 2012).

Meskipun telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan, masyarakat tetap

melakukan aktivitas perikanan, terutama pada zona inti. Sebagian masyarakat telah mengetahui bahwa perairan mereka telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan sebagian lagi tidak.

Mata pencaharian utama masyarakat Pulo Pasi Gusung adalah sebagai nelayan

dengan cara atau teknik penangkapan yang tradisional. Perahu dipakai menggunakan motor tempel atau dayung dan menggunakan alat tangkap pancing, jaring, dan bubu.

Studi yang telah dilakukan oleh Setianto et al. (2016) menggunakan pendekatan

Community-Based System Dynamics (CBSD) untuk mengkaji jasa ekosistem terumbu karang di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil scoping dan focus group discussion (FGD) yang dilakukan pada 5 kelompok masyarakat dari 3 desa di P.

Page 15: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

551

Pasi Gusung, yaitu Desa Bontoborusu, Desa Kahu-kahu, dan Desa Bontolebang, diperoleh permasalahan utama yang terjadi di masyarakat, yaitu terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan karang di P. Pasi Gusung. Penurunan hasil tangkapan ikan karang disebabkan karena menurunnya kualitas terumbu karang sebagai habitat ikan terumbu akibat overfishing (tangkap lebih), praktek perikanan yang merusak, terutama penggunaan sianida, serta minimnya mata pencaharian alternatif.

Praktek penangkapan ikan karang menggunakan sianida dilakukan pada kawasan

konservasi perairan di P. Pasi Gusung. Praktek tersebut didukung oleh adanya suplai sianida serta penampungan hasil tangkapannya. Meskipun ada upaya pengawasan dan penegakan hukum, akan tetapi praktek perikanan yang merusak masih tetap berjalan. Secara umum, permasalahan utama tentang penurunan hasil tangkapan ikan karang di P. Pasi Gusung dapat digambarkan pada diagram hubungan timbal balik (causal loop diagram/CLD) berikut.

Gambar 1. Diagram hubungan timbal balik (causal loop diagram/CLD) tentang penurunan hasil tangkapan ikan karang berdasarkan pendekatan partisipatif masyarakat di P. Pasi Gusung,

Kabupaten Kepulauan Selayar (dimodifikasi dari Setianto et al. (2016).

Berdasarkan CLD di atas, jumlah tangkapan ikan karang merupakan salah satu faktor

utama yang mempengaruhi bagaimana cara nelayan mempertahankan hasil tangkapan dan pendapatannya. Hasil tangkapan ikan akan berdampak langsung terhadap pendapatan yang diperoleh nelayan. Ketika pendapatan berada di atas ambang batas tertentu, masyarakat akan menggunakan cara tradisional untuk menangkap ikan. Sementara ketika pendapatan berada di bawah ambang batas tertentu, nelayan akan berusaha mencari alternatif mata pencaharian lainnya.

Bila tidak tersedia mata pencaharian lain, nelayan lebih cenderung menggunakan

sianida untuk menangkap ikan. Penggunaan bius biasanya dilakukan pada musim barat, dimana kondisi cuaca curuk dan nelayan sangat sulit untuk menangkap ikan dengan cara tradisional. Blythe (2014) dalam studinya menyatakan bahwa penurunan laju hasil tangkapan merupakan faktor utama perubahan yang menggambarkan resiliensi dan ambang batas sosial (social threshold) dari masyarakat nelayan di pesisir pantai Mozambik, Afrika.

Page 16: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

552

Penelitian ini dilakukan mengingat belum banyaknya kajian terhadap penyusunan kawasan konservasi laut yang mempertimbangkan resiliensi terumbu karang dan pendekatan SES. Selain itu, masih belum banyak juga dilakukan kajian terhadap keragaan dari skenario pengelolaan kawasan konservasi perairan laut, terutama menggunakan pendekatan SSD secara spasial dan temporal.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Beberapa tujuan yang diharapkan dicapai dari penelitian ini, yaitu antara lain: 1) Mengembangkan indeks resiliensi terumbu karang menggunakan pendekatan Social-

Ecological System (SES); 2) Mengembangkan model dinamik resiliensi terumbu karang dan penggunaan lahan

pulau secara spasial dan temporal menggunakan pemodelan Spatial System Dynamics (SSD);

3) Mengusulkan zonasi kawasan konservasi perairan menggunakan model resiliensi terumbu karang dan penggunaan lahan pulau secara spasial dan temporal berdasarkan pendekatan SES;

4) Mengusulkan rancangan pengelolaan kawasan konservasi perairan berdasarkan desain kawasan konservasi perairan berbasis SES di P. Pasi Gusung, Kabupaten Kepulauan Selayar. Pemodelan resiliensi sosial-ekologi terumbu karang secara spasial dan temporal

diharapkan dapat memberikan gambaran perilaku (behaviour) sumber daya terumbu karang dan manusia yang mempengaruhi resiliensi terumbu karang. Selain itu juga diharapkan memberikan gambaran resiliensi terumbu karang secara spasial berdasarkan indeks resiliensi yang akan dibangun, sehingga diperoleh lokasi mana yang memiliki resiliensi yang tinggi hingga rendah serta resiko yang tinggi hingga rendah.

Pendekatan spasial-temporal resiliensi terumbu karang diharapkan dapat dijadikan

pertimbangan dalam merancang suatu kawasan konservasi perairan laut dalam kerangka pengelolaan ekosistem terumbu karang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di P. Pasi Gusung, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.

Page 17: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

553

Kerangka Pikir dan Ruang Lingkup Penelitian Kerangka pikir dan ruang lingkup di dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar

berikut.

Fishing Nutrients

+

-

--

--

+

+-

+

-

-

-

+

Fishing Nutrients

+

-

--

--

+

+-

+

-

-

-

+

Gambar 2. Kerangka Pikir dan Ruang Lingkup Penelitian.

Dimodifikasi dari van de Leemput et al., 2016.

Penelitian ini dilaksanakan di P. Pasi Gusung, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, baik pada kawasan perairan laut maupun daratan pulau. Rancangan kawasan konservasi meliputi kawasan perairan laut, sedangkan pemodelan penggunaan lahan menggunakan daratan pulau. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di P. Pasi Gusung, Kabupaten Kep. Selayar, Sulawesi Selatan dan perairan sekitarnya. Secara administratif, P. Pasi Gusung terdiri dari tiga desa, yaitu Desa Bontolebang, Desa Kahu-kahu dan Desa Bontoborusu. Lokasi penelitian dan stasiun pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 3.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2017 hingga Mei 2018, yaitu selama 15

bulan. Selama 12 bulan dilakukan untuk pengambilan data sosial, ekonomi, dan ekologi; dan 3 bulan dilakukan untuk pengolahan dan analisis data, pemodelan dan verifikasi model, simulasi model, dan penulisan disertasi.

Pengamatan data ekologi dilakukan selama 1 tahun, dimana pengambilan data

dilakukan setiap dua bulan sekali. Lamanya waktu pengamatan tersebut diharapkan dapat

Page 18: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

554

mewakili kondisi musim di sekitar perairan P. Pasi Gusung selama satu tahun. Pengamatan dilakukan pada tiga stasiun pada kedalaman 5 – 7 m.

Gambar 3. Lokasi Penelitian dan Stasiun Pengambilan Data Biofisik di P. Pasi Gusung

Kerangka Penelitian

Secara umum, penelitian ini dilakukan dalam 6 tahap. Antara tahap yang satu dengan yang lainnya dapat dilakukan secara bersamaan. Tahapan penelitian ini bertujuan untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai didalam penelitian, yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Indeks Resiliensi Terumbu Karang berbasis Social-Ecological System

Model dinamika karang, alga dan herbivori

Data spasial terumbu karang dan lahan

Model dinamik perikanan karang berbasis Social-

Ecological System

Desain kawasan konservasi perairan terumbu karang secara

spasial dan temporal berbasis Social-Ecological System

Skenario pengelolaan kawasan konservasi

perairan

Analisis Kriteria Ganda (Multi-Criteria Analysis)

Rancangan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di P. Pasi Gusung

Model dinamika spasial perikanan karang berbasis Social-Ecological System

Model dinamik resiliensi terumbu karang berbasis Social-Ecological System

Tahap ke-1 Tahap ke-2 Tahap ke-3 Tahap ke-4

Tahap ke-5

Tahap ke-6

Indeks Resiliensi Terumbu Karang berbasis Social-Ecological System

Model dinamika karang, alga dan herbivori

Data spasial terumbu karang dan lahan

Model dinamik perikanan karang berbasis Social-

Ecological System

Desain kawasan konservasi perairan terumbu karang secara

spasial dan temporal berbasis Social-Ecological System

Skenario pengelolaan kawasan konservasi

perairan

Analisis Kriteria Ganda (Multi-Criteria Analysis)

Rancangan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di P. Pasi Gusung

Model dinamika spasial perikanan karang berbasis Social-Ecological System

Model dinamik resiliensi terumbu karang berbasis Social-Ecological System

Tahap ke-1 Tahap ke-2 Tahap ke-3 Tahap ke-4

Tahap ke-5

Tahap ke-6

Gambar 4. Tahapan Penelitian

Page 19: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

555

Tahap ke-1 bertujuan untuk mengembangkan formulasi indeks resiliensi terumbu karang (IRTK) di P. Pasi Gusung. Pengubah indikator yang digunakan merupakan pengembangan dari peubah indikator yang diusulkan oleh Obura dan Grimsditch (2009) dan Bachtiar (2011) serta pendekatan SES, yaitu antara lain: warisan ekologi (biodiversity); warisan stuktural (habitat complexity and substrate); rekrutmen karang (recruitment); produktivitas (regimes); herbivori (herbivory); kualitas perairan (water quality); tekanan (stress); pengaruh insani (anthropogenic); dan pendapatan nelayan (income).

Indeks resiliensi terumbu karang dikembangkan dari indeks yang telah dikembangkan

oleh Bachtiar (2011), dengan formulasi sebagai berikut.

RIj = Indeks Resiliensi pada transek j ximax = nilai maksimum untuk peubah xi ximin = nilai minimum untuk peubah xi xij = nilai peubah indikator xi dari transek j

Untuk memperoleh kisaran dari indeks resiliensi terumbu karang, maka nilai maksimal

indeks (RImax) diperoleh dari kondisi terumbu karang ideal (super), sedangkan nilai minimum indeks adalah 0, yaitu terumbu karang dengan tutupan persentase rendah, tutupan alga dan fauna lainnya tinggi, serta tutupan lumpur dan pasir tinggi (Bachtiar 2011).

Klasifikasi nilai indeks perlu disusun untuk memudahkan interpretasi dan

mengaplikasikannya secara spasial. Berdasarkan nilai indeks yang telah diperoleh dari seluruh data pengamatan, klasifikasi dihitung berdasarkan kurva sebaran normal dengan menggunakan nilai rerata dan simpangan baku indeks. Selanjutnya, klasifikasi indeks resiliensi terumbu karang dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: (A) tinggi, (B) sedang, dan (C) rendah.

Tahap ke-2 bertujuan untuk melakukan studi dinamika karang, alga, dan herbivori

serta hubungannya dengan organisme bentik lainnya. Data yang digunakan adalah tutupan karang keras hidup, tutupan alga, tutupan karang lunak, tutupan bentik lainnya, dan herbivori.

Berdasarkan mekanisme feedback terumbu karang, maka van de Leemput et al.

(2016) mengembangkan model feedback untuk menggambarkan bagaimana feedback berinteraksi, yang dapat mempengaruhi dinamika terumbu karang. Tutupan karang (C) dan makro-alga (M) sebagai proporsi dari penguasaan ruang, sedangkan kelimpahan herbivor (H) menyatakan proporsi kapasitas daya dukung herbivor. Karang dan makro-alga berkompetisi terhadap ruang terbuka (S), dimana jumlah dari karang (C), makro-alga (M) dan ruang terbuka (S) adalah 1. Model tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut.

(2)

(3)

(4)

(5)

Page 20: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

556

Dari model di atas, terdapat dua mekanisme yang menyebabkan ekspansi karang dan makro-alga, dimana keduanya proporsional terhadap ruang dari sistem. Impor eksternal penempel karang dan makro-alga (iC dan iM) yang independen terhadap tutupan dewasa. Ini menggambarkan penyebaran pada tahap juvenil.

Ekspansi lokal dari keberadaan individu dewasa berbanding dengan keberadaan

tutupan karang dan makro-alga (bC dan bM). mortalitas karang digambarkan dengan dengan dC, dan kematian makro-alga dengan laju grazing per herbivor (g). Herbivor diasumsikan tumbuh secara logistik dengan laju pertumbuhan relatif herbivor (r). Mortalitas herbivor dinyatakan dengan konstanta penangkapan ikan (f).

Positif feedback antara tutupan makro-alga dengan laju herbivori dinyatakan dalam

persamaan (4). Feedback ini menggambarkan tutupan makro-alga yang meningkat akan menyebabkan menurunnya laju herbivori, yang menggambarkan sebuah skenario dimana konsumsi herbivor semakin jenuh ketika alga begitu melimpah. Dalam memodelkan ‘herbivory-escape feedback’ ini, digunakan respon fungsional Holling type II dengan

parameter yang merupakan handling time makro-alga terhadap herbivor (van de Leemput et al. 2016).

Persamaan (3) menyatakan positif feedback karena dampak negatif langsung makro-

alga terhadap rekrutmen dan pertumbuhan karang. Feedback kompetisi ini menyebabkan terbentuknya alternate stable states jika kompetisi interspesifik melebihi kompetisi intraspesifik (Lotka 1932; Volterra 1926) dalam (van de Leemput et al. 2016). Dampak kompetisi makro-alga terhadap rekrutmen dan pertumbuhan karang dinyatakan kedalam αM. Jika α sama dengan nol maka rekrutmen dan pertumbuhan karang hanya dipengaruhi secara tidak langsung oleh makro-alga melalui penyediaan ruang. Nilai α berkisar antara 0 dan 1, yang menggambarkan proporsi keterlibatan makro-alga dalam menghalangi karang (van de Leemput et al. 2016).

Menurut van de Leemput et al. (2016), feedback positif tidak langsung antara karang

dan herbivor juga harus dipertimbangkan. Grazing herbivor terhadap makro-alga akan mengurangi dampak negatif makro-alga terhadap karang. Positif feedback terjadi ketika karang mendukung herbivor dengan menyediakan habitat dan naungan. Pemodelan feedback karang-herbivor dengan asumsi bahwa terdapat hubungan positif antara tutupan karang dan kapasitas daya dukung herbivor. Keeratan hubungan ini dinyakatan dengan σ dalam persamaan (5). Jika σ sama dengan nol, maka herbivor tidak dipengaruhi oleh karang, dan jika σ sama dengan 1 maka tutupan karang menentukan kapasitas daya dukung herbivor.

Tahap-3 bertujuan untuk memperoleh data spasial, baik data spasial penggunaan

lahan pulau maupun data spasial komuntas bentik terumbu karang. Metode yang digunakan adalah kombinasi penggunaan UAV (Unmanned Aerial Vehicle), photogrammetry, dan data ground check control. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memperoleh data penggunaan lahan pulau dan data spasial terumbu karang.

Tahap ke-4 bertujuan untuk memperoleh model dinamik penurunan hasil tangkapan

ikan karang dan ambang batas resiliensi sosial-ekonomi (social-economic resilience threshold) nelayan didalam pemanfaatan ikan karang di P. Pasi Gusung. Metode yang digunakan adalah Community-Based System Dynamics (CBSD) dimana model dinamik dibangun berdasarkan partisipasi masyarakat yang kemudian dilakukan justifikasi berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah serta data kuesioner dan wawancara.

Page 21: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

557

Data tersebut akan digunakan dalam membangun model System Dynamics (SD), yaitu dengan melakukan parameterisasi dan validasi model dalam bentuk model stock and flow. CLD didalam didalam resiliensi sosial-ekonomi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. CLD

Sumber: Setianto et al., 2016.

Gambar 5 menunjukan CLD yang menggambarkan variabel hasil tangkapan ikan karang, alternatif pekerjaan, dan penggunaan sianida yang berperan dalam resiliensi sosial dan social-economic resilience threshold nelayan di P. Pasi Gusung

SD merupakan kombinasi matematika dan simulasi komputer untuk memahami sistem

di dalam dunia nyata. Pendekatan SD memudahkan kita dalam menggambarkan struktur suatu sistem, memberikan pemahaman terhadap apa yang menggerakan system, dan mengkaji dinamika di masa depan berdasarkan asumsi-asumsi. Dua hal penting yang ada dalam SD, yaitu struktur model dan simulasi sistem. Struktur model dapat digambarkan sebagai suatu diagram hubungan sebab akibat (causal loop diagram) (Gambar 6). Arah panah menunjukkan hubungan diantara elemen sistem dan dapat memperlihatkan feedback loops dari sistem.

Hubungan antar variabel dinyatakan sebagai polarity (positif atau negatif) berdasarkan

arah perubahannya. Konseptual diagram causal loop diimplementasikan kedalam suatu model stock and flow (Gambar 15b), yang digambarkan ke dalam stock (akumulasi atau pengurangan), flow (laju perubahan), delays (jeda waktu), dan feedback (hubungan timbal balik).

Agar dapat disimulasikan, maka SD menggunakan matematika untuk menjelaskan

dan menghubungkan model stock dengan variabel lainnya. Stock secara matematika dinyatakan sebagai integral, yang memberikan bentuk memori kepada sistem. Flows merupakan laju perubahan yang dinyatakan sebagai persamaan diferensial turunan pertama (Neuwirth et al. 2015a).

Page 22: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

558

PopulationBirths Deaths

S

S S

O

Birth Rate Death Rate

S SR B

(a)

(b)

Gambar 6. (a) Causal Loop Diagram, (b) Model Stock and Flow.

Tahap ke-5 bertujuan untuk memperoleh desain kawasan konservasi perairan

berdasarkan resiliensi terumbu karang secara spasial dan temporal. Analisis spasial dilakukan menggunakan indeks resiliensi terumbu karang, model dinamika karang, alga, dan herbivori dan data spasial terumbu karang dan lahan pulau sehingga akan diperoleh data spasial resiliensi terumbu karang. Berdasarkan model SD serta data spasial dan menggunakan struktur pemodelan Spatial System Dynamics (SSD) resiliensi terumbu karang, maka akan diperoleh model resiliensi terumbu karang secara spasial dan temporal.

Penelitian yang menggunakan pendekatan SSD telah berkembang sejak tahun 1990

hingga saat ini. Perkembangan teknologi perangkat lunak, baik perangkat lunak dalam pengolahan dan analisis data spasial (GIS) maupun SD, membuat semakin berkembangnya penelitian dan aplikasi SSD. Perkembangan (state of the art) penelitian dan aplikasi SSD dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Perkembangan (state of the art) penelitian dan aplikasi SSD

Nama Peneliti dan Tahun

Topik Penelitian Metode

Penelitian Hasil Penelitian

Costanza et al.

(1990) Pemodelan dinamik lansekap pesisir

SD dan GIS Model dan simulasi spasial ekosistem pesisir (CELSS/Coastal Ecological Landscape Spatial Sumulation)

Ruth dan Pieper (1994)

Pemodelan spasial dinamik kenaiakn muka laut di daerah pesisir

Coupling SSD

dan GIS Pemodelan dan simulasi kenaikan muka laut di wilayah pesisir

Deal et al. (2000)

Penyebaran infeksi penyakit

Perangkat lunak SSD

Model penyebaran penyakit rabies serigala di Illionis, Amerika Serikat

Reap et al. (2003)

Life Cycle Assessment (LCA)

Perangkat lunak SSD

Metode didalam menghubungkan model industri dengan eksositem berdasarkan spasial dinamik didalam LCA

Ahmad dan Simonovic (2004)

Aplikasi SSD pada simulasi kerusakan akibat banjir

SSD Aplikasi SSD didalam pengelolaan banjir di Red River basin di Manitoba, Canada

Voinov et al. (2004)

Pemodelan ekosistem Perangkat lunak SSD LHEM (Library of Hydro-Ecological Modules)

Pengembangan LHEM didalam resollusi spasial

BenDor dan Metcalf (2006)

Penyebaran invasive spesies

Perangkat lunak SSD

Penyebaran spasial Agrilus planipennis

Zhang (2008) Polusi perairan Coupling SSD Pemodelan distribusi spasial dan temporal

Page 23: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

559

Nama Peneliti dan Tahun

Topik Penelitian Metode

Penelitian Hasil Penelitian

dan GIS polusi perairan dan dan optimasi respon darurat

Lowry dan Taylor (2009)

Studi Metodologi SSD System Dynamics (SD) dan GIS

Metodologi dengan memanfaatkan vbscript untuk Powersim sehingga secara dinamik akan menampilkan hasil simulasi kedalam Google Earth™

Roach dan Tidwell (2009)

Pemodelan air tanah menggunakan pendekatan C-SSD

Compartemental-SSD

Pemodelan aliran air tanah menggunakan C-SSD didalam pengambilan keputusan

Lauf et al. (2012)

Simulasi penggunaan lahan

Coupling SSD dan GIS

Simulasi klasifikasi penggunaan lahan untuk pemukiman dan simulasi proses re-urbanisasi

BenDor dan Kaza (2012)

Teori Spatial System Archetypes

Pengembangan struktur SSD

Metode spatial system archetype dan struktur network model SD

Neuwirth et al. (2015a)

Proses spasial-temporal dan implementasi model-model SSD

SSD Tipologi spasial-temporal dan implementasi model-model SSD

Neuwirth et al. (2015b)

Pemodelan perubahan struktural SSD

SSD Membandingkan simulasi spasial dan non-spasial serta aplikasi model perubahan struktural dalam bidang pertanian dan pengelolaan bencana

Neuwirth et al. (2016)

Melihat hubungan diantara perubahan struktural, fragmentasi dan kualitas lahan pertanian menggunakan model SSD

SSD Kemampuan pendekatan obyek didalam mengintegrasikan bentuk parcel dan hubungan di antara parcel secara dinamik menggunakan SSD

Menurut Neuwirth et al. (2015a), terdapat 3 (tiga) tipologi dalam SSD (Gambar 7),

yaitu: 1. Proses lokal, dimana interaksi yang berdekatan secara spasial tidak diperhitungkan,

dimana interaksi spasial diabaikan didalam model; 2. Proses difusi, dimana model difusi lebih banyak menggunakan model proses

Langrangian, yang berarti partikel atau elemen lainnya yang mengubah posisi spasial dalam jangka waktu tertentu yang dinyatakan sebagai flow di antara stock.;

3. Proses perubahan struktural, dimana hubungan antar proses menyebabkan perubahan struktur ruang dan struktur dalam hubungan 2 arah. Feedback tipe jenis ini biasanya terdiri dari proses difusi Langrangian dan proses perubahan lokal Eularian.

(1) Proses lokal (2) Proses difusi (3) Proses perubahan struktural

Gambar 7. Tipologi dalam Spatial System Dynamics (SSD).

Tahap ke-6 bertujuan untuk menyusun rancangan pengelolaan kawasan konservasi

perairan P. Pasi Gusung. Tahapan pengelolaan kawasan konservasi P. Pasi Gusung, yaitu:

1) Penentuan zonasi kawasan berdasarkan resiliensi sistem sosial-ekologi; 2) Simulasi model dinamik resiliensi secara spasial dan temporal dengan beberapa

skenario pengelolaan; dan

Page 24: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

560

3) Menentukan skenario pengelolaan yang menjamin keberlanjutan sosial dan ekologi di P. Pasi Gusung.

Kategori zonasi kawasan konservasi perairan dibangun menggunakan kategori

resiliensi terumbu karang, antara lain: 1) zona inti, yaitu area yang memiliki kategori resiliensi tinggi; 2) zona perikanan berkelanjutan, yaitu area yang memiliki kategori resiliensi sedang yang memiliki potensi perikanan; 3) zona pemanfaatan terbatas, yaitu area yang memiliki kategori resiliensi sedang yang memiliki potensi wisata bahari; dan 4) zona lainnya, yaitu area yang memiliki kategori resiliensi rendah. Berdasarkan model spasial dan temporal serta kategori zonasi kawasan perairan maka akan diperoleh desain kawasan konservasi perairan berdasarkan resiliensi terumbu karang secara spasial dan temporal.

Untuk melihat keragaan model dinamik resiliensi sosial-ekologi maka dilakukan

simulasi dari model dinamik menjadi beberapa skenario pengelolaan. Skenario pengelolaan yang akan disimulasi antara lain:

1) Skenario-1, tidak ada upaya perlindungan kawasan konservasi kawasan perairan,

tidak ada upaya penegakan hukum dan tidak ada upaya peningkatan ekonomi masyarakat berupa tersedianya mata pencaharian alternatif;

2) Skenario-2, upaya konservasi kawasan tetapi tidak diikuti dengan penegakan hukum dan tidak tersedianya mata pencaharian alternatif;

3) Skenario-3, upaya konservasi kawasan perairan yang disertai dengan penegakan hukum tetapi tidak tersedianya mata pencaharian alternatif;

4) Skenario-4, upaya konservasi kawasan perairan yang disertai dengan penegakan hukum dan tersedianya mata pencaharian alternative.

Keragaan dari masing-masing skenario diukur dengan menggunakan pendekatan

Analisis Kriteria Ganda (Multi-Criteria Analysis) menggunakan analisis trade-off. Usulan pengelolaan kawasan konservasi yang dipilih adalah skenario yang memiliki nilai keragaan tertinggi. KESIMPULAN

Aspek sosial dan ekologi dapat dipertimbangkan didalam mengembangkan indeks resiliensi terumbu karang. Indeks resiliensi tidak hanya menitikberatkan pada keanekeragaman hayati terumbu karang, tetapi juga aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat didalam memanfaatkan sumber daya terumbu karang.

Mengkaji resiliensi terumbu karang menggunakan indeks resiliensi secara spasial dan

temporal menggunakan SSD dapat dipertimbangkan dalam menyusun zonasi kawasan konservasi perairan laut. Area yang memiliki resiliensi yang tinggi dapat diusulkan menjadi zona inti, area yang memiliki resiliensi sedang dapat diusulkan menjadi zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan terbatas untuk wisata bahari. Hal ini bergantung pada variabel apa yang dominan dalam memberikan kontribusi didalam indeks resiliensi. Area yang memiliki resiliensi rendah dapat diusulkan menjadi zona lainnya.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan laut dapat dikaji menggunakan beberapa

skenario pengelolaan. Keragaan dari masing-masing skenario pengelolaan dapat diuji dengan melihat dinamika resiliensi terumbu karang dengan pendekatan SSD secara spasial dan temporal. Pendekatan spasial-temporal resiliensi terumbu karang dapat dijadikan pertimbangkan dalam mendesain suatu kawasan konservasi perairan laut dalam kerangka pengelolaan ekosistem terumbu karang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 25: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

561

DAFTAR PUSTAKA Ahmad S., and Simonovic, S.P. 2004. Spatial System Dynamics : New Approach for

Simulation of Water Resources Systems. Journal of Compututing in Civil Engeneering, 18, 331-340 pp.

Bachtiar I. 2011. Pengembangan Indeks Resiliensi Ekosistem dalam Pengelolaan Terumbu Karang. (Disertasi Doktor), Institut Pertanian Bogor, Bogor.

BenDor T.K., and Kaza, N. 2012. A theory of spatial system archetypes. System Dynamics Review, 28. 109-130 pp.

BenDor T K, and Metcalf, S S. 2006. The spatial dynamics of invasive species spread. System Dynamics Review, 22. 27-50 pp.

Blythe J.L. 2014. Resilience and social thresholds in small-scale fishing communities. Sustainability Science, 10(1). 157-165 pp.

Carpenter S., Walker, B., Anderies, J.M., and Abel, N. 2001. From Metaphor to Measurement: Resilience of What to What?. Ecosystems, 4. 765-791 pp.

COREMAP-CTI. 2014. Laporan Monitoring Kondisi Biofisik Kawasan Konservasi. Selayar: PIU COREMAP-CTI Kabupaten Kepulauan Selayar.

Costanza R., Sklar, F.H., and White, M.L. 1990. Modeling Coastal Landscape Dynamics: Process-Based Dynamic Spatial Ecosystem Simulation Can Examine Long-Term Natural Changes and Human Impact. BioScience, 40 Number 2.

Deal B., Farello, C., Lancaster, M., Kompare, T., and Hannon, B. 2000. A Dynamic Model of The Spatial Spread of An Infectious Disease: The Case of Fox Rabies in Illinois. Environmental Modeling and Assessment, 5.

Ford A. 1999. Modelling the Environment: An Introduction to System Dynamics Models of Environmental Systems. Island Press. Washington DC, USA.

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. 2012. Kawasan Konservasi, Paradigma, Perkembangan dan Pengelolaannya. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. 2013. Informasi Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Lauf S., Haase, D., Hostert, P., Lakes, T., and Kleinschmit, B. 2012. Uncovering Land-Use Dynamics Driven by Human Decision-Making - A Combined Model Approach Using Cellular Automata And System Dynamics. Environmental Modelling & Software, 27-28, 71-82.

Lotka A.J. 1932. The Growth Of Mixed Populations - Two Species Competing for A Common Food Supply. In F. M. Scudo & J. R. Ziegler (Eds.), The Golden Age of Theoretical Ecology: 1923–1940. German: Springer Berlin Heidelberg.

Lowry T., and Taylor, R. 2009. Visualizing Spatial and Temporal Dynamics in Google Earth Using Powersim. The 27th International Conference of the System Dynamics Society.

Neuwirth C., Hofer, B., and Peck, A. 2015. Spatiotemporal processes and their implementation in Spatial System Dynamics models. Journal of Spatial Science, 60(2). 277-288 pp.

Neuwirth C., Hofer, B., and Schaumberger, A. 2016. Object view in spatial system dynamics: a grassland farming example. Journal of Spatial Science, 1-22 pp.

Neuwirth C., Peck, A., and Simonovic, S P. 2015. Modeling structural change in spatial system dynamics: A Daisyworld example. Environ Model Softw, 65. 30-40 pp.

Obura D., and Grimsditch, G. 2009. Resilience Assessment of Coral Reefs: Rapid assessment protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress (Vol. 5).

Reap J., Bras, B., Newcomb, P.J., & Carmichael, C. 2003. Improving life cycle assessment by including spatial, dynamic and place-based modeling. Proceedings of DETC’03 -

Page 26: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

562

ASME 2003 Design Engineering Technical Conferences and Computers and Information in Engineering Conference.

Roach J., and Tidwell, V. 2009. A compartmental-spatial system dynamics approach to ground water modeling. Ground Water, 47(5). 686-698 pp.

Ruth M., and Pieper, F. 1994. Modeling spatial dynamics of sea-level rise in a coastal area. System Dynamics Review, 10 Number 4.

Setianto, N.A., Kusumo, S., Afatta, S., Smith, C., Richards, R., and Adrianto, L. 2016. Mapping the Systems Responsible for Coral Reef Fisheries Declines in Selayar, Indonesia. Retrieved from Bogor.

Van de Leemput I.A., Hughes, T P, Van Nes, E. H., and Scheffer, M. 2016. Multiple feedbacks and the prevalence of alternate stable states on coral reefs. Coral Reefs, 35(3., 857-865 pp.

Voinov A., Fitz, C., Boumans, R., and Costanza, R. 2004. Modular ecosystem modeling. Environmental Modelling & Software, 19.

Volterra, V. 1926. Fluctuations in the Abundance of a Species considered Mathematically. Nature, 118(2972).

Wilkinson, C.R. 1999. Global and local threats to coral reef functioning and existence: review and predictions. Mar. Freshwater Res., 50. 867-878 pp.

Zhang, B. 2008. A study of GIS-SD based temporal-spatial modelling of water quality in water pollution accidents. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXXVII(Part B).

Page 27: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

563

EGEK, (KONSERVASI) YANG MEMBANGUNKAN MALAUMKARTA

Wiwit Handayania*, Jaquolina Ania Kusalya, Arief Reza Fahlevia

aLoka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong

*email : [email protected]

ABSTRAK Egek, kearifan lokal yang dimiliki masyarakat suku Moi ini sedikit banyak telah mengubah wajah Kampung Malaumkarta. Egek, yang berarti larangan, mengatur tentang larangan penggunaan alat tangkap selain pancing, tombak, dan panah di zona egek serta larangan menangkap biota egek meliputi teripang, lola, dan lobster selama egek berlangsung. Dengan dukungan penuh dari Loka PSPL Sorong, beberapa tokoh masyarakat berusaha memasukan biota yang dilindungi berdasarkan hukum positif ke dalam biota egek (penyu dan dugong). Seperti halnya sasi di wilayah timur, egek pun mengenal masa buka dan tutup egek yang dilakukan melalui serangkaian upacara adat dan peribadatan gereja. Keterlibatan otoritas gereja turut mengukuhkan penegakan egek secara sistem karena mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sekaligus menjaga alam agar mendapatkan berkah dari Tuhan. Hasil yang didapatkan dari penjualan biota egek saat egek dibuka diserahkan seluruhnya kepada gereja untuk dikelola, sementara masyarakat baru diperbolehkan menikmati hasil penjualan sepenuhnya beberapa minggu menjelang tutup egek. Selain manfaat langsung yang dapat dirasakan masyarakat, dana yang didapatkan dari penerapan sistem egek ini dimanfaatkan untuk membangun sarana peribadatan berupa gereja dan rumah pastorial. Di bidang pendidikan, dana egek digunakan untuk membantu biaya pendidikan anak-anak Malaumkarta yang melanjutkan pendidikan di kota Sorong. Bahkan, saat ini, tengah berlangsung proses pembangunan asrama di kota Sorong sebagai salah satu fasilitas penunjang pendidikan mereka. Malaumkarta merupakan bukti, bahwa konservasi tidak hanya mampu membangunkan kesadaran pikir masyarakat, tetapi juga infrastruktur sekaligus sumber daya manusianya. KATA KUNCI : Egek, konservasi, suku Moi

ABSTRACT Egek, the local wisdom possessed by Moi tribe society has more or less changed the face of Kampung Malaumkarta. Egek, which means ‘the ban’, regulates the ban on the use of fishing gear in addition to fishing rods, spears and arrows in the egek zones and restrictions on capturing egek cultivars including sea cucumbers, lola and lobsters during the egek. With the full support from Loka PSPL Sorong, some public figures are trying to include protected biota based on positive law (turtle and dugong) into the egek biota. Similar with the sasi in the eastern region, it has the open and closed periods through series of traditional ceremonies and church worship. The involvement of the church authority also confirmed the systematic upsurge of the system because it was able to awaken people's awareness to utilize and preserve nature in order to obtain blessings from God. During the opening of egek, the egek funds are entirely handed over to the church to be managed, while the moi people was allowed to get all the funds a few weeks before the egek closed. Another benefits from the implementation of egek system, moi people used the funds to build a means of worship in the form of church and pastorial house. In education, egek funds are used to support the educational costs of malaumkarta children who continue their education in sorong city. Even now a dormitory is underconstruction to support their educational facilities in sorong city. Malaumkarta prove that conservation is not only able to awaken the consciousness of the society, but also the infrastructure as well as its human resources.

Page 28: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

564

KEYWORDS: Egek, conservation, moi tribe PENDAHULUAN

Konservasi merupakan suatu upaya untuk melindungi sumber daya alam yang dilakukan secara bijaksana untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam. Di Indonesia, berdasarkan UU No. 5 tahun 1990, konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya, dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keaneka ragaman dan nilainya. Secara sederhana, masyarakat awam memahami konservasi sebagai satu kegiatan untuk melindungi alam dengan tepat dan secara bersama-sama tanpa merusak sumber daya alam itu sendiri, agar dapat dimanfaatkan secara terus menerus.

Di bagian timur Indonesia, upaya konservasi terhadap sumber daya alam telah

dilakukan secara mandiri oleh masyarakat sejak sebelum terbentuknya regulasi pemerintah tentang konservasi. Kegiatan konservasi secara tradisional ini di sebagian wilayah Papua dan Maluku disebut sasi. Sementara suku Moi, suku asli di daratan Kota Sorong dan Kabupaten Sorong menyebut konservasi tradisional mereka dengan sebutan “egek”.

Salah satu suku Moi yang menerapkan egek adalah masyarakat kampung

Malaumkarta. Atas dasar kesadaran bahwa hidup mereka bergantung sepenuhnya kepada ketersediaan sumber daya alam, yang jika pemanfaatannya tidak mereka kelola dengan baik, akan mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka kemudian sepakat untuk menerapkan egek di wilayahnya.

Egek mengandung pengertian sebagai kegiatan larangan pengambilan sumber daya

alam dalam wilayah tertentu hingga batas waktu yang ditentukan secara bersama-sama. Egek ini dimaksudkan untuk mengembalikan ketersediaan sumber daya di alam sehingga dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh masyarakat.

Awalnya, egek hanya diberlakukan oleh pemilik tanah yang menjadi lahan pertanian

kepada masyarakat lainnya. Hal itu dilakukan oleh masyarakat sejak puluhan tahun yang lalu untuk melindungi hasil pertanian dari pencurian di lahan mereka. Hingga pada awal tahun 2000, egek mulai diterapkan secara bersama-sama di bawah pengawasan tokoh agama (gereja) dan pemangku adat. Sumber daya alam yang diberlakukan egek tidak hanya terbatas pada sumber pertanian dan perkebunan, namun juga sumber daya ikan. Adapun egek yang diberlakukan selamanya adalah larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan di dalam zona egek.Penelitian ini ingin memperlihatkan bahwa meskipun harus melalui proses dan waktu yang sangat panjang, penerapan (konservasi) egek yang dipatuhi oleh seluruh kalangan masyarakat Kampung Malaumkarta mampu mempengaruhi tataran kehidupan sosial masyarakat Kampung Malaumkarta.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deskriptif kualitatif untuk mengetahui

pengaruh diberlakukannya sistem egek terhadap tataran kehidupan sosial masyarakat Kampung Malaumkarta. Data didapatkan melalui observasi lapangan, studi literatur, wawancara dengan tokoh masyarakat dan data sekunder demografi desa.

Page 29: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

565

HASIL DAN PEMBAHASAN Kampung Malaumkarta

Malaumkarta berasal dari tiga suku kata, yaitu: mala yang artinya gunung atau dataran

yang luas, um yaitu suatu nama pulau yang terletak ± 0,16 mil dari bibir pantai kampung Malaumkarta, dan kata karta diambil dari nama ibukota negara Ja-karta.

Secara definitif, Kampung Malaumkarta diputuskan melalui Surat Keputusan (SK)

sebagai pemerintah kampung yang otonom (mandiri) pada tanggal, 20 Desember 1991 oleh Gubernur Papua BARNABAS SWEBU, SH (Iran Jaya pada waktu itu). Sebelum dimekarkan menjadi kampung yang definitif, Kampung Malaumkarta merupakan bagian dari kampung Makbon, atau disebut dengan istilah dusun saat itu.

Kampung ini terletak di Distrik Makbon bagian utara Kabupaten Sorong, Provinsi

Papua Barat. Sesuai namanya, topografi kampung Malaumkarta bervariasi dari gunung dan lembah, serta lereng-lereng gunung panjang yang menjurus dari arah timur Papua hingga barat semenanjung gugusan pulau-pulau di kepala burung, membentuk teluk menonjol ke laut melingkar berbentuk tanjung. Malaumkarta berhadapan langsung dengan arah utara laut pasifik, searah garis khatulistiwa, dengan batas wilayah kampung sebagai berikut:

Sebelah Utara : Samudra Pasifik Sebelah Selatan : Kampung Sawatuk Sebelah Timur : Kampung Asbaken Sebelah Barat : Kampung Kuadas Batas-batas wilayah ini didasarkan pada batas wilayah lama Kampung Malaumkarta,

karena pada bulan Juli 2016 terjadi pemekaran desa menjadi 3 kampung, yaitu Kampung Mibi dan Kuadas di sebelah barat, dan Suatolo di sebelah timur. Pemekaran ini sendiri belum disahkan secara administratif oleh Kepala Distrik Makbon. Karenanya, pemekaran ini masih menjadi tanda tanya meski kalangan warga sudah mengakui pemekaran wilayah ini.

Masyarakat Adat Suku Moi

Kampung Malaumkarta didiami oleh penduduk yang beretnis Moi, yaitu penduduk asli

yang memiliki hak ulayat di wilayah kepala burung Papua. Hak pertuanannya meliputi Kabupaten Tambrau di timur sampai Kabupaten Raja Ampat di barat dan utara, dan sebagian Kabupaten Sorong Selatan di sebelah selatan.

Mayoritas Suku Moi beragama Kristen dengan pembagian kekerabatan berdasarkan

marga berdasarkan garis keturunan ayah. Di Kampung Malaumkarta, terdapat 14 marga yang diakui dimana 5 di antaranya memiliki wilayah pantai yang berarti kepemilikan terhadap wilayah laut yang terhubung dengan pantai tersebut.

Setiap marga dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk secara aklamasi berdasarkan

usia tertua. Adapun kepemilikan lahan dimiliki secara marga, kepemilikan lahan secara individu tidak diakui. Akan tetapi, individu tetap dapat memanfaatkan dan mengolah lahan dengan seizin ketua marga.

Semenjak sepuluh tahun terakhir, Suku Moi secara kelembagaan tergabung dalam

satu lembaga adat yang terstruktur dari tingkat kampung hingga kota/kabupaten. Di tingkat kampung, kelembagaan adat ini menyatukan beberapa marga yang berada di dalam kampung tersebut. Lembaga adat di tingkat kampung dipimpin oleh seorang ketua adat, yang berwenang dalam pengaturan aturan adat di tingkat kampung. Seperti pada penetapan

Page 30: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

566

pembukaan dan penutupan egek, serta penyelesaian sengketa adat antar marga maupun antar warga.

Egek

Egek yang berarti larangan, diajarkan oleh guru-guru adat yang disebut untalan dan

tulkama kepada murid adat yang disebut uliwi, sejak mengikuti pendidikan dalam rumah adat (kambik). Dalam pelaksanaannya, pendidikan dilakukan dengan berintegrasi langsung dengan alam yang bisa dikatakan masih asli, karena jauh dari aktivitas manusia.

Dalam pendidikan tersebut, para untalan dan tulkama mengajarkan para uliwi

berbagai pengetahuan tentang alam, hukum adat, dan tata pemerintahan adat. Salah satu ilmu diajarkan adalah mengenai sistem konservasi tradisonal yang disebut egek. Pelaku pelanggaran terhadap hukum adat biasanya akan dilakukan sidang adat, dan pelaku jika terbukti bersalah akan dikenakan sanksi adat yang ditentukan oleh tokoh-tokoh adat.

Tahapan dalam penetapan egek di Kampung Malaumkarta diawali dengan

pembentukan organisasi adat yang disusun oleh tokoh-tokoh adat dengan mengacu pada aturan adat. Tugas utama dari organisasi yang baru terbentuk tersebut adalah menentukan jenis dan lokasi yang akan di-egek, baik di darat (hutan alam) maupun di laut (biasanya berjarak sampai dengan 3 mil dari garis pantai).

Penamaan lokal untuk wilayah ulayat laut Kampung Malaumkarta adalah tas pugumu

dan tas pitie. Dalam bahasa Moi, tas artinya laut, pugumu artinya dalam, dan pitie artinya dangkal. Penamaan ini bukan hanya didasarkan pada bentuk kedalaman laut, tetapi juga pada wilayah pemanfaatan. Tas pitie merupakan wilayah penangkapan dan juga menjadi wilayah yang diberikan aturan egek, sedangkan tas pugumu tidak menjadi wilayah penangkapan ikan seperti tampak pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Wilayah Ulayat Laut Kampung Malaumkarta

Page 31: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

567

Biota untuk egek ditentukan dengan mempertimbangkan nilai ekonomis dan ekologis yang bisa didapat oleh masyarakat Kampung Malaumkarta. Sejak sepuluh tahun terakhir, masyarakat Kampung Malaumkarta menetapkan biota laut sebagai biota egek adalah lola, teripang, dan lobster karena dianggap memiliki nilai ekonomis penting dan dapat menunjang pembangunan fisik dalam kampung (baca; gereja). Barulah pada pertengahan tahun 2016, masyarakat Kampung Malaumkarta juga membuat egek pada penyu dan mamalia laut setelah mengetahui fungsi ekologis dari biota laut tersebut.

Dalam pelaksanaannya, penerapan egek tehadap sumber daya alam tidak

membutuhkan kriteria khusus, penentuan sumber daya alam yang akan dilindungi adalah berdasarkan kesepakatan bersama atas pertimbangan ketersediaan di alam serta nilai ekonomis yang dimiliki.

Berdasarkan penerapannya, egek dapat dikelompokkan menjadi :

a. Egek yang dilakukan oleh sekelompok orang (keluarga) yang memiliki tanah pertanian

dalam luasan tertentu, dan ingin menjaga hasil pertaniannya dari tindakan yang kurang bertanggung jawab, juga untuk menjamin keberhasilan panen. Misalnya, keluarga (marga) Kalami memiliki sebidang tanah yang ditanami kelapa, dan ingin melakukan egek terhadap kelapa yang berada pada tanahnya selama 3 bulan. Maka dalam kurun waktu 3 bulan, tidak akan ada orang yang mengambil kelapa milik keluarga Kalami.

b. Egek yang dilakukan secara umum oleh masyarakat Kampung Malaumkarta kepada

sumber daya alam tertentu dalam masa waktu tertentu untuk kemudian dimanfaatkan secara bersama. Misalnya egek untuk lobster di perairan Kampung Malaumkarta selama enam bulan. Maka, enam bulan kemudian, diadakan prosesi buka egek untuk kemudian lobster dimanfaatkan secara bersama-sama hingga nantinya diberlakukan egek lagi.

Sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap proses masyarakat di kampung

Malaumkarta, tokoh adat dan tokoh agama memiliki peran penting dalam pemberlakuan konservasi tradisional egek ini. Hal ini dapat ditunjukan dengan keterlibatan kedua lembaga ini dalam proses tutup egek (dimulai) hingga buka egek (berakhir). Tokoh adat dan tokoh agama akan sama-sama mengawal prosesi egek.

Ada dua prosesi pelaksanaan egek, yaitu prosesi tutup egek (memulai egek) dan prosesi buka egek (berakhirnya egek). Saat tutup egek, tokoh adat akan berbicara terlebih dahulu sebagai akta atau pernyataan tutup egek dan kemudian akan didoakan oleh tokoh agama, selanjutnya masyarakat Kampung Malaumkarta maupun masyarakat di luar kampung tidak akan mengambil sumber daya alam yang diberlakukan egek.

Sedangkan saat buka egek, tokoh adat akan berbicara terlebih dahulu sebagai akta

atau pernyataan buka egek, kemudian akan didoakan oleh tokoh agama, dan masyarakat secara bersama-sama dapat memanfaatkan sumber daya alam yang telah diizinkan untuk dimanfaatkan baik sebagai bahan konsumsi maupun untuk dijual.

Lama waktu pemanfaatan biota egek juga ditentukan secara bersama, misalnya bila ditentukan unutk memanfaatkan selama dua bulan maka masyarakat dipersilahkan untuk memanfaatkan biota egek selama dua bulan kemudian akan dilakukan prosesi tutup egek kembali, Lama waktu pemberlakuan egek ditentukan secara bersama oleh masyarakat antara dua hingga dua belas bulan. Maka selama waktu tiga hingga dua belas bulan, masyarakat tidak diperbolehkan mengambil sumber daya alam yang diberlakukan egek.

Sejak awal tahun 2000, masyarakat Kampung Malaumkarta telah melakukan egek secara bersama-sama untuk kepentingan bersama, yaitu sebagai salah satu sumber pencarian dana untuk pembangunan gereja. Sumber daya alam khususnya sumber daya

Page 32: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

568

perairan yang telah diberlakukan egek oleh penduduk kampung Malaumkarta adalah kerang lola, teripang, dan lobster. Ketiga komoditas ini memiliki nilai jual yang tinggi sehingga mampu untuk menunjang pembangunan gereja dan infrastruktur lainnya di Kampung Malaumkarta. Secara berkala, egek diberlakukan terhadap tiga komoditas tersebut.

Penegakan Aturan Egek

Tidak jauh berbeda dengan penegakan hukum positif di Indonesia, penegakan aturan

egek pun dilakukan dengan melalui beberapa tahapan. Jika ada laporan untuk tindakan pelanggaran egek, laporan tersebut akan diteruskan ke nelayan terdekat yang memungkinkan untuk melakukan pengecekan kebenaran laporan tersebut. Jika terbukti benar, maka akan dilakukan pemberian sanksi.

Jika dulu sanksi yang berlaku bagi setiap pelanggaran egek adalah hukuman mati di

tempat, seiring dengan perkembangan zaman, hukuman yang diberlakukan lebih bersifat kekeluargaan berupa penyitaan alat tangkap. Sedangkan hasil tangkapan, sebanyak apapun, akan dibuang ke laut. Masyarakat Kampung Malaumkarta percaya bahwa memakan hasil tangkapan dari pelanggaran aturan egek akan menghilangkan keberkahan dalam hidup mereka.

Manfaat Egek Bagi Masyarakat Kampung Malaumkarta

Tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menurut UU No. 5

Tahun 1990 adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Penerapan egek setidaknya peneliti anggap berhasil mencapai tujuan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut :

1. Manfaat Langsung

Menurut penuturan masyarakat Malaumkarta, dengan pemberlakuan egek, hasil laut yang didapatkan tidak mengenal musim, selalu ada sepanjang tahun. Selain itu, nilai ekonomis yang dimiliki biota egek (lola, teripang, dan lobster) seluruhnya menjadi hak masyarakat Malaumkarta menjelang penutupan egek.

2. Infrastruktur

Sejak tahun 2000-2010, dana penjualan biota egek yang terkumpul mencapai 3 milyar rupiah dan dipergunakan sepenuhnya untuk mendanai pembangunan gereja. Sementara rumah pastorial dibangun sebagian dari dana egek dan sebagian lagi dari bantuan pemerintah.

3. Pendidikan

Sarana pendidikan yang ada di Kampung Malaumkarta masih terbatas pada SD dan SMP. Untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi setingkat SMA dan perguruan tinggi, anak-anak Malaumkarta harus bersekolah di distrik, kabupaten, ataupun Kota Sorong. Data demografi terbaru memperlihatkan bahwa dari 78 orang yang berusia 6-26 tahun, terdapat 54 orang yang bersekolah, 8 di antaranya setingkat SMA, dan 9 setingkat perguruan tinggi.

Dengan kesadaran penuh bahwa pendidikan yang baik bisa mengubah sebuah

generasi, maka dana egek pun kemudian ada yang dialokasikan untuk membantu biaya pendidikan mereka. Saat ini untuk menunjang sarana pendidikan mereka, sedang

Page 33: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

569

direncanakan pembangunan asrama untuk tempat tinggal anak-anak malaumkarta selama menempuh pendidikan di Kota Sorong.

4. Pengembangan Potensi Daerah

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan fungsi ekologis biota laut di luar

biota egek yang juga dilindungi pemerintah seperti penyu dan mamalia laut, selain masyarakat tidak lagi mengkonsumsi biota dilindungi tersebut, saat ini program konservasi baru pun tengah berjalan.

Secara swadaya, masyarakat membangun demplot relokasi telur penyu sederhana

berukuran 3 x 4 m. Sejak bulan Februari 2017, sebanyak 12 sarang berisi sekitar 1196 butir telur penyu lekang (Lepidochelys olivacea) telah direlokasi ke tempat ini. Di Pulau Um sendiri, dilakukan pemantauan rutin terhadap 23 sarang penyu.

Konservasi penyu dan perlindungan mamalia laut pun diarahkan untuk

pengembangan ekowisata. Dengan mengusung program adopsi tukik seharga Rp20.000,-/tukik, pada 26 April 2017, sebanyak 130 ekor tukik penyu lekang dilepaskan bersama-sama stakeholder terkait. Dana yang terkumpul pun di diharapkan dapat mendukung inisiasi program konservasi penyu di Kampung Malaumkarta. KESIMPULAN 1. Egek di Kampung Malaumkarta dapat berjalan sangat efektif karena faktor berikut.

a. Didasari oleh komitmen kuat dari seluruh lapisan masyarakat untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat.

b. Digunakan untuk tujuan komunal, bukan individu.

2. Beberapa manfaat dari dikelolanya sistem egek dengan baik : a. Manfaat langsung (dari hasil penjualan biota sasi menjelang masa tutup egek) b. Pembangunan infrastruktur fasilitas umum berupa tempat peribadatan (gereja) dan

rumah pastorial c. Pendidikan (berupa bantuan biaya pendidikan dan pembangunan asrama) d. Pengembangan potensi daerah (sebagai area ekowisata)

UCAPAN TERIMA KASIH 1. Loka PSPL Sorong atas dukungan penuh terhadap penelitian ini; 2. Roberth Kalami, Ketua GPAM GKI Silo Malaumkarta yang telah mendampingi selama

penelitian berlangsung. DAFTAR PUSTAKA Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan

Ekosistemnya. UU No 5 Tahun 1990. Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-

Pulau Kecil. UU No 27 Tahun 2007. Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007. UU No 1 Tahun 2014.

Page 34: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

570

PENGELOLAAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SASI) DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PULAU KOON DAN PULAU NEIDEN

Rizal

WWF-Indonesia

*email : [email protected]

ABSTRAK Pulau Koon dan Pulau Naiden merupakan pulau-pulau yang terdapat di Kabupaten Seram Bagian Timur yang memiliki sumber daya perikanan yang melimpah. Oleh sebab itu, wilayah perairan laut kawasan tersebut dijadikan area konservasi. Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi sosial dan budaya masyarakat untuk menilai dampak dari pengelolaan berbasis kearifan lokal di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pulau Koon dan Pulau Neiden. Survei dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2016 di 11 desa yang terdiri dari 9 desa KKP dan 2 desa kontrol. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan kunci dan focus group discussion (FGD). Data kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan adanya revitalisasi aturan adat yang disepakati oleh seluruh perangkat adat dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah laut. Revitalisasi aturan adat berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menjaga laut dari praktek penangkapan tidak ramah lingkungan. Masyarakat di Kepulauan Gorom mengetahui dengan jelas kawasan konservasi Pulau Koon dan Pulau Neiden. Pengelolaan kawasan laut dilakukan melalui revitalisasi kelembagaan adat antar desa, dusun, dan antar pulau. Pembagian zona-zona petuanan laut sesuai adat dan pengetahuan lokal tentang kelautan serta pola pemanfaatannya harus dipakai sebagai modal dasar pemanfaatan sumber daya laut oleh pemerintah maupun swasta dalam membantu berkembangnya lembaga adat. KATA KUNCI: Aturan adat, konservasi, sumber daya laut ABSTRACT Koon Island and Naiden Island are the islands located in the eastern part of the Seram Regency that have abundant fishery resources. Therefore, its marine territorials are conserved. This study aims to obtain data and information on the social and cultural conditions of the community to assess the impact of local wisdom-based management on Marine Protected Area (MPA) in Koon Island and Neiden Island. The survey was implemented on October-November 2016 in 11 villages consisting of 9 villages in MPA and 2 villages as the control ones. Collecting data using in-depth interview method with key informant and focus group discussion (FGD). And then this data will be analyzed using descriptive qualitative method. The results of the research indicated that there was the revitalization of indigenous rules agreed by all indigenous leaders in the utilization and management of marine areas. The revitalization of indigenous rules has impacted on the increasing awareness of the community to do a sustainable fishing. People in the Gorom Islands are well aware of the conservation areas of Koon Island and Neiden Island. Management of marine areas is done through revitalization of indigenous institutions between villages, hamlets, and inter-island. Marine zones is parted based on the local wisdom as well as knowledge of marine and its utilization pattern should be used as basic resource of marine utilized by government and private sector in assisting the development of indigenous institution. KEYWORDS: Indigenous rules, conservation, marine resources

Page 35: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

571

PENDAHULUAN

Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki sejumlah sumber daya perikanan yang melimpah sehingga menjadi salah satu kabupaten yang dikonservasi wilayah perairan lautnya untuk melindungi sumber daya laut yang dimiliki. Pemanfaatan yang berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat memiliki potensi mengurangi sumber daya perikanan dan bahkan punah membuat punah spesies-spesies yang ada. Oleh karena itu, perlu dilakukan konservasi guna menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan Indonesia. Hal ini yang dilakukan Lembaga Konservasi WWF-Indonesia dengan membuat Marine Conservation Agreement (MCA) atau perjanjian wilayah konservasi dengan masyarakat lokal.

MCA diterapkan pada pemerintah adat atau Petuanan Negeri Kataloka pada tahun

2011. Secara administratif, Negeri Adat Kataloka berada di bawah Kabupaten Seram Bagian Timur. Negeri Adat ini terdiri atas gugusan empat pulau, yaitu Pulau Nukus, Pulau Koon, sebagian Pulau Gorom dan keseluruhan Pulau Grogos. MCA menyepakati penutupan kawasan perairan yang merupakan lokasi pemijahan ikan karang selama satu tahun penuh dan dijadikan kawasan konservasi.

Wilayah seluas 2.497,45 hektar di sekitar perairan di Pulau Koon dibatasi dengan pal

pancang tiang kayu dan pelampung. Selain penetapan dan penutupan wilayah konservasi, MCA juga mengatur adanya patroli oleh warga setempat terhadap wilayah perairan yang ditutup itu. Sebanyak empat warga Pulau Grogos ditunjuk menjadi petugas patroli. Empat kali dalam seminggu, pengawasan dilakukan guna memastikan tidak ada yang melakukan aktivitas pemanfaatan perikanan. MCA sudah berakhir 30 September 2016.

Pihak pemerintah juga memberikan dukungan atas penetapan perairan Pulau Koon

dan Pulau Neiden sebagai kawasan konservasi. Sebagai wujud dukungan, Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur menerbitkan Surat Keputusan (SK) Bupati Seram Bagian Timur No. 523/189/KEP/2011 tentang pencadangan kawasan perairan Pulau Neiden dan Pulau Koon di Kecamatan Pulau Gorom sebagai kawasan konservasi.

Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi sosial

dan budaya masyarakat untuk mengetahui skema/model dan dampak dari pengelolaan berbasis kearifan lokal di KKP Pulau Koon dan Pulau Neiden.

METODE PENELITIAN

Kajian ini dilakukan pada 11 (sebelas) desa yang terdiri dari 9 (sembilan) desa KKP

(Grogos, Rumeon, Dada, Kinali, Adar, Kota Sirih, Miran, Rarat, Ondor) dan 2 (dua) desa Kontrol (Amarsekaru dan Loko) pada bulan Oktober-November 2016. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan kunci dan focus group discussion (FGD). Data kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Page 36: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

572

Gambar 1. Peta Lokasi Kegiatan

HASIL DAN PEMBAHASAN a. Tata Kelola

Aturan secara formal tidak dibuat di tingkat desa/dusun. Pada beberapa desa sampel di dalam KKP dari dulu sampai saat ini tidak ada peraturan secara formal yang berlaku. Namun dari 11 desa/dusun sampel terdapat 7 (tujuh) desa yang memberlakukan peraturan secara formal dimana peraturan tersebut dibuat oleh pemerintah nasional.

Peraturan-peraturan formal yang berlaku di Pulau Grogos adalah peraturan nasional

yaitu UU No. 45 tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU No. 1 Tahun 2014 Pengganti UU No. 27 Tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Masyarakat di Pulau Grogos mengetahui bahwa pada UU tersebut tertulis tentang

larangan-larangan yang dibuat oleh pemerintah nasional berupa larangan penggunaan bom, potasium, bahan peledak biologi. Selain itu, masyarakat dilarang menjual karang mati, terumbu karang, dan pasir; merusak ekosistem mangrove; dan dilarang menangkap penyu, ikan duyung, kepiting kenari, dan biota dilindungi lainnya.

Pada Desa Dada, Miran, dan Adar, ada aturan nasional yang berlaku yaitu larangan

tentang penggunaan bom di desa-desa pesisir dan aturan ini sudah disosialisasikan kepada masyarakat.

Page 37: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

573

Aturan-aturan secara non formal yang berlaku pada setiap desa/dusun adalah

peraturan tentang sasi yang dibuat oleh Raja Kataloka khusus untuk sasi bia mata tujuh/ abalone, lola, dan teripang. Sasi ini hanya berlaku di Pulau Grogos. Sasi merupakan adat khusus yang berlaku hampir di seluruh pulau di Provinsi Maluku dan Papua.

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam

tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Sasi ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu secara turun temurun. Bia mata tujuh, lola, dan teripang di-sasi selama kurun waktu 1-3 tahun tergantung dari hasil sasi. Jika hasilnya sudah banyak, maka sasi dapat dibuka.

Menurut Hijjang (2012), pengertian sasi itu sendiri, secara harfiah berarti larangan.

Suatu benda atau barang di-sasi berarti benda tersebut dilarang diganggu (dirusak atau diambil). Secara umum, sasi merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.

Pemerintah Negeri Adat Kataloka merevitalisasi aturan adat dengan membuat

beberapa peraturan terhadap sasi karang meti yaitu sasi yang berlaku bibir pantai sampai wilayah surut terendah. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa masyarakat dilarang mengambil hasil-hasil laut di sekitar karang meti selama kurun waktu tertentu, dan ini diberlakukan bagi semua dusun-dusun di dalam wilayah petuanan Negeri Adat Kataloka.

Sasi yang sama juga berlaku di Desa Kinali, namun sasi ini hanya berlaku bagi

masyarakat yang datang dari luar Desa Kinali. Masyarakat Desa Kinali bebas memanfaatkan hasil laut. Pada konteks keberlanjutan sumber daya perikanan, pengetahuan lokal masyarakat terhadap lingkungan perairan sesungguhnya mengandung nilai-nilai penghormatan terhadap sumber daya perikanan dan memelihara keberlangsungan alam (Susilo, 2012).

Pemerintah Negeri Adat Kataloka juga memberlakuan sasi di wilayah MCA. Pada

wilayah ini, dilarang melakukan penangkapan dengan cara tidak ramah lingkungan serta memberlakukan lokasi larang tangkap di wilayah perairan Pulau Koon, yang dikenal dengan sebutan “pasar ikan” oleh masyarakat setempat.

Sasi bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem, terutama di wilayah perairan

Pulau Koon. Berdasarkan penelitian WWF-Indonesia, perairan Pulau Koon atau “pasar ikan” merupakan daerah pemijahan beberapa spesies ekonomis, seperti kakap dan kerapu (Leurima, 2017). Menurut (Glaser et al., 2012), pengelolaan berbasis kearifan lokal seperti sasi terbukti lebih efektif sebagai bentuk tata kelola perikanan. Hal ini dikarenakan rasa kepemilikan terhadap wilayah dan kepercayaan terhadap tradisi serta mitos yang tidak boleh dilanggar.

Pengawasan merupakan faktor yang cukup berpengaruh dalam upaya menjaga

kelestarian alam yang telah di-sasi. Pemerintah Negeri Adat Kataloka membentuk suatu unit pengawasan di bawah lembaga adat yang diberi nama pasukan Leawana (Lembaga Adat Wanu Atalo’a) untuk melakukan patroli dan pengawasan di kawasan yang telah dilindungi. Selain bertugas melakukan patroli, pasukan Leawana juga bertugas sebagai petugas keamanan di Negeri Adat Kataloka.

Berdasarkan diskusi kelompok, diketahui bahwa Pemerintah Desa Kataloka telah

melarang masyarakat untuk melakukan penangkapan di sekitar KKP (Kawasan Konservasi Perairan) Pulau Koon karena wilayah perairan tersebut telah dikonservasi sejak tahun 2014. Perairan sekitar KKP Pulau Koon merupakan daerah penangkapan yang strategis karena

Page 38: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

574

sumber daya ikan yang melimpah sejak dulu. Dengan adanya pelarangan tersebut, masyarakat sudah tidak melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan Pulau Koon.

Masyarakat yang ada di sekitar KKP Pulau Koon dan Neiden merasa senang dengan

adanya KKP karena menurut mereka setelah kawasan tersebut dikonservasi maka ikan dapat berkembang dengan baik karena tidak ada pemakaian bom ikan dan sianida lagi. Rata-rata masyarakat sudah menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan laut bagi kelangsungan hidup sumber daya laut tersebut. Dengan adanya KKP, habitat-habitat seperti terumbu karang juga akan terjaga dengan baik, sehingga ikan-ikan akan semakin mudah untuk berkembang. Masyarakat juga berharap agar ada pengawasan dari pemerintah lokal, kabupaten, maupun provinsi dalam menjaga kawasan laut sehingga tidak ada lagi masyarakat yang menggunakan bom ikan maupun sianida.

Aturan secara non formal yang berlaku di desa-desa di luar KKP, adalah aturan-aturan

adat tentang sasi lola dan teripang yang dijalankan di Desa Amarsekaru dan Desa Loko. Di Desa Kotasiri, ada aturan formal dan non formal yang berlaku. Aturan formal mengikuti aturan pemerintah sedangkan aturan non formal dibuat oleh pemerintah desa. Aturan ini dibuat secara tidak tertulis yang mengatur tentang pengguna dari luar desa yang datang memanfaatkan sumber daya laut di sekitar desa harus meminta izin kepada pemerintah desa. Sasi teripang dan lola juga pernah dijalankan di Desa Miran, tetapi sejak 10 (sepuluh) tahun terakhir, tradisi ini sudah tidak dijalankan lagi.

Berdasarkan hasil wawancara di desa-desa di dalam KKP, sanksi yang diterapkan

bagi masyarakat yang melanggar aturan adalah mencabut rumput, mengangkat batu untuk pembuatan fasilitas umum, dan menjadi pelayan selama waktu tertentu di rumah Raja Kataloka, dan lainnya. Sanksi ini masih berlangsung sampai saat ini. Sedangkan untuk desa-desa lain di dalam KKP, tidak ada sanksi lainnya yang diterapkan.

Pada desa-desa di luar KKP, ada sanksi yang diterapkan oleh pemerintah desa yaitu

penyitaan peralatan. Pada Desa Loko, ada sanksi yang dikeluarkan pemerintah desa bersama aparat kepolisian. Sanksinya berupa penangkapan dan proses hukum. Namun, sejak tahun 2010, masyarakat sudah tidak lagi melakukan pelanggaran karena adanya sanksi tersebut. b. Dampak Pengelolaan

Dampak pengelolaan sumber daya laut terdiri atas dampak sosial dan ekologi, yaitu

sebagai berikut. (1) Dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat yang berada di dan sekitar KKP

Pulau Koon dan Pulau Neiden adalah adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber daya laut. Masyarakat saat ini mulai menyadari akan pentingnya kelestarian sumberdaya laut. Sebagian besar masyarakat pada desa-desa sampel sudah tidak lagi menggunakan bom ikan dan sianida, bahkan masyarakat turut berpartisipasi dalam menjaga lingkungan laut dari ancaman-ancaman masyarakat dari luar desa yang datang menangkap ikan secara kurang bertanggung jawab dengan menggunakan bom dan sianida atau bahan-bahan kimia berbahaya lainnya.

Dampak sosial yang kedua adalah adanya peningkatan pendidikan anak-anak

nelayan, dimana melalui pengelolaan sumber daya laut maka masyarakat nelayan dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

(2) Dampak ekologi yang dirasakan oleh masyarakat di desa-desa sampel adalah

dengan pengelolaan sumber daya laut yang baik maka habitat-habitat seperti terumbu karang, mangrove, pasir, dan lamun dapat terjaga dengan baik. Berdasarkan hasil diskusi

Page 39: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

575

kelompok dengan masyarakat, diketahui bahwa masyarakat mengetahui bahwa dengan terjaganya habitat secara baik, maka ikan-ikan juga akan tetap tersedia. Masyarakat juga mengetahui bahwa dengan rusaknya terumbu karang dan habitat lainnya, maka ketersediaan ikan di laut semakin berkurang. Namun, di sisi lain masih ada masyarakat yang melakukan penambangan terhadap terumbu karang, lamun, dan pasir. Hal ini tentu saja berdampak negatif terhadap kelestarian habitat yang akan mempengaruhi ketersediaan ikan di laut.

c. Penerima Manfaat

Para pengguna yang menerima manfaat terbesar pada kesebelas desa sampel

bervariasi pada masing-masing desa/dusun. Pada Desa Rarat, penerima manfaat terbesar adalah nelayan penangkap ikan Desa Kiltufar. Pada Pulau Grogos, penerima manfaat terbesar adalah nelayan penangkap ikan dari Pulau Grogos sendiri, sedangkan pada Desa Kinali yang menerima manfaat terbesar adalah kelompok pengguna balobe (penangkapan ikan pada waktu malam) dari Desa Kinali.

Di Desa Rumeon, yang menerima manfaat terbesar adalah nelayan penangkap ikan

dari Desa Rumeon, sedangkan di Desa Amarsekaru, yang menerima manfaat terbesar adalah wisatawan lokal dan wisatawan asing yang datang untuk menikmati keindahan pantai, sedangkan pada Desa Loko yang menerima manfaat terbesar adalah nelayan penangkap ikan dari Desa Loko.

Pada Desa Ondor, yang menerima manfaat terbesar adalah wisatawan asing,

sedangkan pada Desa Dada masyarakat tidak dapat menyebutkan secara pasti pengguna yang menerima manfaat terbesar. Pada Desa Miran, yang menerima manfaat terbesar adalah nelayan penangkap ikan dari Desa Miran, sedangkan pada Desa Kotasiri yang menerima manfaat terbesar adalah nelayan penangkap ikan dari Desa Miran. Adapun di Desa Adar, penerima manfaat terbesar adalah nelayan penangkap teripang dan batu laga (lola) dari Suku Buton.

d. Tradisi dan Kepercayaan Lokal

Kepercayaan-kepercayaan lokal mulai berangsur-angsur hilang dari kehidupan

masyarakat yang ada di dan sekitar KKP Pulau Koon dan Neiden dalam melakukan praktik pengelolaan sumber daya perikanan. Perubahan yang terjadi sebagai akibat kemampuan manusia untuk belajar, bertindak, berpikir dan dilaksanakan untuk kelangsungan hidup manusia (Widiastuti, 2013). Namun, ada beberapa tradisi lokal yang masih berlangsung sampai saat ini.

Pada masa lampau, masyarakat menggunakan cara tradisional dalam menangkap

ikan, seperti menyusun batu di pesisir pada saat air surut. Pada saat air pasang, ikan akan masuk ke dalam susuan batu-batu tersebut, sehingga saat air mulai surut maka masyarakat dapat mengambil ikan-ikan tersebut dengan mudah.

Alat-alat tangkap yang ramah lingkungan juga digunakan oleh masyarakat seperti

bubu dan sero yang terbuat dari bambu untuk menangkap ikan. Masyarakat pada waktu dahulu sangat menjaga lingkungan laut dari bom ikan maupun bahan-bahan kimia yang berbahaya. Masyarakat pesisir umumnya tunduk pada alam dan menjaga keselarasannya, hal ini sesuai dengan pandangan masyarakat bahwa alam memiliki kekuatan magis (Tahir, 2009).

Tradisi menangkap ikan dengan susunan batu sudah tidak dilakukan lagi pada saat

ini, karena ikan sudah sulit didapatkan jika menggunakan susunan batu. Tradisi-tradisi lokal yang masih berlangsung sampai saat ini adalah penangkapan ikan dari dulu menggunakan

Page 40: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

576

pancing tangan dan sampan. Saat ini, masyarakat telah menggunakan jaring. Jaring yang digunakan setiap 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) minggu. Jumlah ikan yang ditangkap semakin berkurang karena terlalu sering menggunakan potas dan akar tuba.

e. Kelembagaan

Kelembagaan penting dalam desa untuk membantu masyarakat lebih memahami

proses pemanfaatan dan pengelolaan wilayah laut. Sejauh ini, hanya Leawana yang menjadi satu-satunya lembaga adat yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan laut. Lembaga ini terdiri dari perwakilan keluarga kerajaan, badan saniri negeri, dan perangkat adat lainnya.

Lembaga ini bertugas untuk mengatur masyarakat adat. Leawana juga membentuk

kelompok perikanan yang melakukan praktek perbaikan perikanan/Fisheries Improvement Program (FIP) dan membentuk kelompok pariwisata untuk melakukan praktek ekowisata. Pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah laut dilakukan melalui aturan lisan yang disampaikan kepada masyarakat desa dan para pengguna lainnya. Hal ini penting supaya masyarakat desa dan pengguna saling mengetahui dan mengingatkan untuk memanfaatkan laut secara baik dan bijaksana tanpa merusak laut untuk kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok tertentu.

Aktivitas melaut yang dilakukan oleh para pengguna tidak dipantau oleh pemerintah

kabupaten, pemerintah provinsi, maupun pemerintah pusat. Aktivitas pemantauan kondisi ekologi laut hanya dilakukan oleh para pengguna. Hal ini karena mereka sehari-hari melaut sehingga aktivitas di laut lebih banyak diketahui. Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, biasanya mereka langsung menegur supaya laut tetap terjaga dan tidak dirusak secara sembarangan.

Sementara itu, tidak terdapat aktivitas untuk memantau kondisi sosial seperti tingkat

kesejahteraan masyarakat. Masing-masing desa/dusun yang lebih mengetahui keadaan masyarakat desanya sehingga mereka amati sendiri. Jika kedapatan ada yang kesulitan dalam hal keadaan sosial ekonomi, maka mereka saling membantu untuk mengatasinya sesuai kemampuan mereka.

KESIMPULAN

Pengelolaan berbasis kearifan lokal di KKP pulau Koon dan Neiden dapat dilakukan

dengan pemberdayaan masyarakat hukum adat salah satunya dengan melakukan revitalisasi aturan adat sasi. Pengawasan di kawasan konservasi melibatkan masyarakat adat terutama pasukan leawana sabagai patroler. Pembagian zona-zona petuanan laut sesuai adat dan pengetahuan lokal tentang kelautan serta pola pemanfaatannya harus dipakai sebagai modal dasar pemanfaatan sumber daya laut oleh pemerintah maupun swasta dalam membantu berkembangnya lembaga adat.

Dampak sosial dari pengelolaan sumber daya laut antara lain adanya peningkatan

kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber daya laut. Masyarakat saat ini mulai menyadari akan pentingnya kelestarian sumber daya laut. Dampak ekologi yang dirasakan, Habitat-habitat seperti terumbu karang, mangrove, pasir, dan lamun dapat terjaga dengan baik. Dengan terjaganya habitat secara baik, maka ikan-ikan juga akan tetap tersedia.

DAFTAR PUSTAKA Glaser M., W. Baitoningsih, S.C.A. Ferse, M. Neil, R. Deswandi. 2012. Whose sustainability?

Top-Down Participation in MPA Management in Indonesia. http://www.icrs2012.com/proceedings/manuscripts/ICRS2012_22A_2.pdf

Page 41: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

577

Hijjang Pawennari. 2012. Penguatan Hak Ulayat Laut Komunitas Nelayan Di Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Leurima A. 2017. Inilah Koon, Surga Terumbu Karang Terbaik di Indonesia Timur. http://rri.co.id/jakarta/post/berita/349177/daerah/inilah_koon_surga_terumbu_ksrang_terbaik_di_indonesia_timur.html.

Susilo R.K.D. 2012. Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam. Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 264 pp.

Tahir A. 2009. Sistem Sosial Budaya Masyarakat Pesisir. Ambon: J. Fakultas Ushuludin dan Dakwah IAIN.

Widiastuti. 2013. Analisis SWOT Keragaman Budaya Indonesia. Jurnal Ilmiah WIDYA, 1 (1). 8-14 pp.

Page 42: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

578

PENILAIAN KESESUAIAN LAHAN PADA KAWASAN KONSERVASI MANGROVE BAROS MUARA SUNGAI OPAK SEBAGAI PENCADANGAN TAMAN PESISIR

DI KABUPATEN BANTUL

Farid Ibrahima*, Fiqih Astrianib, Lufti Gita Irianic, Theresia Retno Wuland, Mega Dharma Putrae, Edwin Maulanab, Dwi Sri Wahyuningsihe, Fajrun Wahidil Muharramf, Gianova

Andika Putrig, Bernike Hendrastutih, Taufik Walinonoi , Wico Nandiyanta Mulia a,

aParangtritis Geomaritime Science Park bProgram Studi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

cGeo-Information for Spatial Planning and Disaster Risk Management, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

dBadan Informasi Geospasial eProgram Studi Geografi dan Ilmu Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

fProgram Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 7Program Studi Pemanfaatan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Diponegoro hProgram Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

iProgram Studi Magister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai

*email: [email protected]

ABSTRAK

Kawasan Mangrove Baros merupakan hasil rekayasa budidaya dengan asal mula bentuk lahan spit dan rawa belakang dengan tekstur berpasir menjadi kawasan mangrove yang subur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan kesesuaian lahan konservasi sebagai cadangan Taman Pesisir Bantul. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei lapangan dan analisis spasial berdasarkan akuisisi foto udara resolusi tinggi. Validasi hasil interpretasi foto udara dan survei lapangan dilakukan dengan in-depth interview pada pengelola kawasan. Kawasan konservasi mangrove Baros ditargetkan terdiri dari zona inti seluas 10 Ha, 94 Ha zona lainnya, dan 28 Ha zona pemanfaatan terbatas. Namun demikian, mangrove yang saat ini telah tumbuh di zona inti hanya mencapai 2,4 Ha. Jenis vegetasi yang tumbuh di kawasan ini terdiri dari Avicenia sp dengan persentase 60%, Rizhopora 20% disusul Burguirea dan Nipha 10% dari luas 2,4 Ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya pengayaan jenis mangrove, baik mangrove primer maupun mangrove asosiasi di lokasi-lokasi tertentu, sesuai dengan zonasi syarat hidup mangrove. Teknik tanam mangrove perlu menjadi perhatian mengingat kawasan ini berada di muara sungai, yang memungkinkan akumulasi sampah plastik yang akan mengganggu pertumbuhan mangrove. Pemilahan jenis mangrove harus disesuaikan dengan zona kawasan sehingga tidak terganggu dengan kawasan budidaya yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. Pencadangan Kawasan Konservasi Mangrove sebagai Taman Pesisir di Kabupaten Bantul menjadi penting sebagai sumber daya alam hayati. Kawasan konservasi sebagai objek yang dapat dikembangkan guna kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, serta pendidikan sebagai media peningkatan kesadaran konservasi pesisir.

KATA KUNCI: Mangrove, konservasi, taman pesisir PENDAHULUAN

Mangrove adalah tumbuhan tropis yang mampu hidup di daerah payau dan mampu mengeluarkan kadar garam dari hasil penyerapan substrak yang tidak dibutuhkan. Kadar garam yang berbentuk butir garam merupakan hasil pengolahan zat garam yang ikut serta meresap ke dalam akar mangrove ketika proses penyerapan nutrisi di daerah pasang surut.

Page 43: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

579

Butir garam ini pada umumnya dikeluarkan melalui batang dan daun dan akan terlihat bulir putih mengkilap di siang hari karena pantulan sinar matahari. (Kitamura, Chairil, Amoyos, dan Shigeyuki, 1997).

Hutan mangrove memiliki beragam manfaat, baik itu dari aspek fisik, ekonomi, dan

biologi. Dari aspek fisik, hutan mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi pantai, penahan intrusi air laut, dan penambat bahan-bahan pencemar (racun) di perairan pantai. Dari aspek ekonomi, hutan mangrove berfungsi untuk tempat rekreasi dan pariwisata. Sedangkan dari aspek biologi, hutan mangrove merupakan tempat hidup biota laut, baik untuk berlindung, mencari makan, pemijahan, maupun pengasuhan. (Nurhenu,2016)

Indonesia memiliki 8,6 juta hektar hutan mangrove, tetapi menurut Asian Wetland

Bureau, hanya tersisa 2,5 juta ha. Rehabilitasi atau restorasi merupakan tahap yang diperlukan dalam pemulihan fungsi hutan mangrove. Rehabilitasi hutan mangrove dengan cara menanam selama ini tidak sebanding dengan laju perusakan yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan rehabilitasi. Keterbatasan luas dan sebaran ekosistem hutan mangrove, sulitnya proses rehabilitasi, tingginya fungsi dan nilai ekosistem mangrove bagi ekosistem lain; terutama ekosistem di perairan laut, pantai, dan pesisir serta ekosistem daratan; membutuhkan keterlibatan berbagai sektor untuk mengelolanya.

Ekosistem mangrove dengan peran tersebut dikelola untuk dapat menunjang berbagai

aspek pembangunan, terutama di sektor ekonomi. Di lain pihak, telah terjadi degradasi ekosistem dan fungsi mangrove sehingga dalam pengelolaan pemanfaatan diperlukan upaya konservasi dan rehabilitasi guna mempertahankan fungsi tersebut (Bismark).

Berdasarkan penjelasan singkat mengenai fungsi hutan mangrove, kondisi hutan

mangrove di Indonesia dan Keputusan Bupati Bantul Nomor. 284 Tahun 2014 tanggal 28 April 2014 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Taman Pesisir, bisa disimpulkan bahwa hutan mangrove merupakan aspek penting untuk menjaga kestabilan pantai dan pesisir. Untuk itu, perlu dilakukannya konservasi kawasan hutan mangrove. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan dalam konservasi kawasan hutan mangrove adalah dengan cara analisis evaluasi kesesuaian lahan hutan mangrove.

Tingginya manfaat hutan mangrove dari segi ekonomi bisa dijadikan bahan

pertimbangan untuk proses konservasi hutan mangrove yang beriringan dengan peningkatan fungsi ekonomi, misalnya melalui sektor pariwisata. Sehingga diharapkan keberhasilan proses konservasi hutan mangrove bisa menjadi sumber peningkatan ekonomi suatu daerah dari sektor pariwisata.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Studi Area

Penelitian ini dilakukan di Dusun Baros, Desa Tirtohargo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena memiliki kawasan hutan mangrove hasil budidaya masyarakat Baros. Daerah Baros merupakan hasil pembentukan lahan yang dikontrol oleh alluvial dan marine secara bersama-sama. Baros berada di muara sungai Opak dan terlindungi oleh spit laguna Samas. Hal ini menyebabkan

wilayah Baros terlindungi dari hempasan gelombang secara langsung.

Page 44: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

580

Gambar 1. Lokasi Penelitian Sumber: SRTM 30m

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Analisis yang digunakan merupakan analisis spasial dengan menggunakan foto udara resolusi tinggi. Akuisisi foto udara dilakukan dengan menggunakan wahana pesawat nirawak atau biasa dikenal dengan istilah Pesawat Udara Nirawak (PUNA).

Penggunaan foto udara dengan PUNA memiliki beberapa keuntungan bila

dibandingkan dengan data citra satelit, d iantaranya: (1) memiliki resolusi spasial yang tinggi, (2) memiliki resolusi temporal yang tinggi, yakni pemotretan dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun, dan (3) Wahana yang terbang rendah dapat meminimalisasi tutupan awan. Akuisisi data foto udara dilakukan dengan menggunakan wahana berupa DJI Phantom 4 dengan jelajah terbang 100 meter di atas permukaan air laut. Kumpulan foto single frame diolah lebih lanjut dengan menggunakan Agisoft Photoscan untuk mendapatkan ortofoto atau foto tegak (Maulana dan Wulan, 2015).

Ground checking atau validasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan hasil yang

lebih akurat (Maulana et al, 2016). Ground checking dilakukan untuk memperoleh data biotik dan abiotik Kawasan Mangrove Baros. Hasil pemotretan udara dan survei lapangan diperkuat dengan wawancara mendalam (indepth interview) kepada pengelola Kawasan Mangrove Baros. Berdasarkan data foto udara, survei lapangan dan wawancara mendalam ditarik kesimpulan kesesuaian lahan Kawasan Mangrove Baros. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder yang ditunjukan pada tabel berikut.

Page 45: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

581

Tabel 1 . Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Mangrove Kawasan Konservasi Baros

Hasil interpretasi foto udara menunjukkan luas area vegetasi mangrove di Desa Tirtohargo adalah 4,08 ha. Area vegetasi mangrove tersebut terbagi menjadi mangrove sejati, asosiasi, dan campuran mangrove sejati dan asosiasi berupa tanaman perdu. Vegetasi mangrove yang mendominasi di kedua lokasi penelitian adalah jenis vegetasi mangrove sejati.

Tabel 2. Luasan jenis mangrove di Kawasan Mangrove Baros, Desa Tirtohargo

No Jenis Mangrove Desa Tirtohargo

Luas (Ha) (%)

1 Mangrove Sejati 2,34 57,25

2 Mangrove Asosiasi 1,46 35,69

3 Tanaman perdu (campuran mangrove sejati dan asosiasi)

0,29 7,07

Luas Total 4,08 100

Hasil observasi lapangan menunjukkan keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di

lokasi penelitian terdiri dari 6 famili mangrove sejati, terbagi menjadi 4 famili mangrove mayor, dan 2 famili mangrove minor, serta 11 famili mangrove asosiasi.

Famili vegetasi mangrove tersebut dapat dirinci menjadi 14 spesies mangrove sejati

dan 11 spesies mangrove asosiasi. Sebagian besar vegetasi mangrove sejati merupakan hasil dari penanaman, sedangkan vegetasi mangrove asosiasi dibiarkan tumbuh secara alami. Berikut disajikan keanekaragaman hayati mangrove.

Tabel 3. Keragaman hayati mangrove di Kawasan Baros

Famili Spesies Nama Lokal Keterangan

Mangrove Sejati - Mayor

AVICENNIACEAE Avicennia alba Api-api hitam Hasil penanaman

Avicennia marina Api-api putih Hasil penanaman

Avicennia lanata Api-api Hasil penanaman

ARECACEAE Nypa Fruticans Nipah Hasil penanaman

SONNERATIACEAE Sonneratia caseolaris Bogem Tumbuh secara alami dan hasil penanaman

Sonneratia alba Bogem Hasil penanaman

RHIZOPHORACEAE Bruguiera gymnorrhiza Tanjang Hasil penanaman

Jenis Data Teknik Pengumpulan Data

Data Primer: 1. Foto udara format kecil kawasan

Muara Opak tahun 2016 2. Foto udara condong kawasan

mangrove baros tahun 2017 3. Data kondisi mangrove

Pengambilan foto objek menggunakan PUNA (Pesawat Udara Nirawak)

Data Sekunder: 1. Jenis Mangrove 2. Teknik penanaman

In-depth interview pada pengelola kawasan

Page 46: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

582

Famili Spesies Nama Lokal Keterangan

Rhizophora mucronata Bakau Hasil penanaman

Rhizophora stylosa Bakau Hasil penanaman

Rhizophora apiculata Bakau Hasil penanaman

Ceriop tagal Tengar, tangar

Hasil penanaman

Mangrove Sejati - Minor

ACANTHACEAE Acanthus ilicifolius Jeruju Tumbuh secara alami

Acanthus ebracteatus Jeruju Tumbuh secara alami

PTERIDACEAE Acrostichum aureum Paku laut Tumbuh secara alami

Mangrove Asosiasi

ASCLEPIADACEAE Calotropis gigantea Widuri Tumbuh secara alami

GUTTIFERAE Calophilum inophilum Nyamplung Tumbuh secara alami

MALVACEAE Hibiscus tiliaceus Waru Laut Tumbuh secara alami

CONVOLVULACEAE Ipomea pes-capre Tapak Kuda Tumbuh secara alami

RUBIACEAE Morinda citrifolia Mengkudu Tumbuh secara alami

PANDANACEAE Pandanus odoratissima

Pandan Tumbuh secara alami

COMBRETACEAE Terminalia Cattapa Ketapang Tumbuh secara alami

BIGNONIACEAE Dolichandrone spathacea

Kayu Jaran Tumbuh secara alami

LECYTHIDACEAE Barringtonia asiatica Keben Tumbuh secara alami

CASUARUNACEAE Casuarina equisetifolia Cemara Udang

Hasil penanaman

PASSIFLORACEAE Passiflora foetida Kaceprek Tumbuh secara alami

Teknik Penanaman Bibit Mangrove

Sungai Winongo Kecil mempunyai muara di laguna Sungai Opak. Kondisi tanah pada area ini didominasi oleh tekstur geluh lempungan, semakin mendekati muara tesktur tanah semakin kasar. Hal ini disebabkan adanya pengaruh aliran Sungai Opak yang banyak membawa endapan pasir. Ekosistem mangrove di area ini dapat diklasifikasikan ke dalam tipe Riverine Mangrove, karena berada pada lingkungan yang didominasi oleh aliran sungai dengan tingkat pasang surut yang rendah (Day JR, et al., 2012). Ketinggian rata-rata air pada saat pasang mencapai 30 cm. Berdasarkan hasil analisis laboratorium (2017), diketahui kadar salinitas air di area ini yaitu 0,3 ppt.

Area ini didominasi oleh vegetasi mangrove asosiasi. Jenis mangrove sejati yang

banyak ditemukan pada area ini hanya jenis Acanthus. Vegetasi mangrove asosiasi yang dominan adalah jenis Dolichandrone spathacea. Selain itu beberapa jenis mangrove asosiasi seperti Pandanus, Calotropis gigantea, Ipomea pes-capre, Calophilum inophilum, dan Hibiscus tiliaceus banyak ditemukan pada area ini dengan persebaran yang tidak merata.

Page 47: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

583

Gambar 2-3. Kondisi Pasang Surut pada area tepi sebelah utara Laguna S. Opak.

a. Kondisi pada saat surut, b. kondisi pada saat pasang. (Sumber: Data Lapangan, 2017)

Zonasi Kawasan Mangrove Baros

Ekosistem mangrove di area sebelah utara Sungai Opak dapat diklasifikasikan ke dalam tipe Fringe Mangrove. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang lebih dipengaruhi oleh pasang surut dengan input sedimen dari sungai yang rendah (Day JR, et al., 2012). Area ini mempunyai tekstur tanah pasir berlempung di bagian tepi, namun semakin ke dalam secara berangsur menjadi lempung berpasir hingga geluh lempungan.

Gambar 4. Peta Persebaran vegetasi Mangrove di Baros, Tirtohargo

Vegetasi mangrove yang terdapat di bagian tepi didominasi oleh jenis Rhizophora,

selain itu juga terdapat jenis Avicennia dan Sonneratia. Vegetasi mangrove di bagian tepi area ini merupakan hasil dari kegiatan penanaman baru, sehingga masih memiliki tinggi kurang dari 2 (dua) meter.

Semakin ke dalam, terdapat jenis Pandanus, serta beberapa jenis mangrove asosiasi

perdu seperti Calotropis gigantea dan Ipomea pes-capre. Jenis vegetasi bagian dalam area ini terdiri dari beberapa mangrove sejati, seperti: Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Brugueira, dan Nypa, yang telah mencapai ketinggian pohon di atas lima meter.

a b

Page 48: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

584

Beberapa jenis vegetasi mangrove asosiasi juga terdapat di area ini, antara lain: Dolichandrone spathacea, Calophilum inophilum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia, dan Barringtonia asiatica.

KESIMPULAN

Konservasi mangrove Baros saat ini sebagai pencadangan taman pesisir yang

dituangkan dalam Peraturan Bupati Bantul No. 284/2014 sebesar 10 Ha, belum memenuhi target dengan hanya 4,08 Ha. Hal ini menunjukkan perlu adanya pengayaan jenis dan kuantitas mangrove di Baros, Pada penanaman bibit mangrove, perlu juga memperhatikan zonasi kawasan, berdasarkan jenis mangrove sejati dan mangrove asosiasi sehingga dapat membantu berlangsungnya tumbuh mangrove.

Zonasi tumbuh ini akan menjadi penghambat (barrier) bagi mangrove akan gangguan

alam seperti gelombang pasang maupun sampah plastik. Pada teknik penanaman yang telah dilakukan dengan membuat barrier buatan berupa pagar bambu telah membantu tumbuh kembang mangrove di muara Sungai Opak dari sampah plastik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dihaturkan kepada panitia penyelenggara Seminar Nasional

sehingga tulisan ini dapat dipublikasikan dan dapat dibaca secara masal sehingga dapat menambah kekayaan pengetahuan masyarakat dan stakeholder. Tidak lupa, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pengurus Kawasan Mangrove Baros dan Balai Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul yang sudah banyak memberikan masukan bagi peneliti. Ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada mahasiswa magang dari Universitas Brawijaya (UB), Univesitas Trunojoyo Madura (UTN), dan Institut Teknologi Nasional (ITN) yang aktif dalam mengikuti proses lapangan di Kawasan Mangrove Baros.

DAFTAR PUSTAKA Day J.R., dkk. 2012. Estuarine Ecology. Singapore. Kitamura Shozo, Chairil Anwar, Amoyos Chaniago dan Shigeyuki Baba. 1997. Handbook of

Mangrove in Indonesia. Volume. Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh: Mangrove Information Center Project. Denpasar: Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah 1, Mangrove Information Center Project.

M. Bismark, Endro Subiandono, N.M. Heriyanto. Ekosistem Hutan Mangrove. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Maulana E., Wulan, T.R. 2015. Identifikasi Agihan Barkhan pada Zona Inti Gumuk Pasir Parangtritis dengan Menggunakan Data UAV. Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional.

Maulana E., Wulan, T.R., Putra, M.D., Maulia, N., Ibrahim, F., Wahyuningsih, D.S., Putra, A. S. 2016. Damage and Lost Assessment (DaLA) After Giant Tidal Wave Using UAV Data in Depok Beach, Parangtritis, Kretek, Bantul, Yogyakarta (Case Study: Giant Tidal Wave Period June 2016). ICOIRS 2016: The 2nd International Conference of Indonesian Society for Remote Sensing Remote Sensing for a Better Governance.

Maulana. E, Wulan, T.R., Siswanti, E., Wahyuningsih, D.S., Rahmadana, A.D.W., Putra, M. D. 2016. Analysis of Land Capability in Alluvial Plain and Volcanic Slope of Rembang District Using Landforms Approach. ICOIRS 2016: The 2nd International Conference of Indonesian Society for Remote Sensing Remote Sensing for a Better Governance.

Karuniastutui Nurhenu. 2016. Peranan Hutan Mangrove Bagi Lingkungan Hidup. Forum Manajemen. Vol.06. No. 1.

Page 49: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

585

STRATEGI EKOFEMINISME DALAM KONSERVASI PERAIRAN PESISIR INDONESIA YANG BERKELANJUTAN

Nova Scorviana Ha*, Shahibah Yuliania

aUniversitas Negeri Jakarta

*email: [email protected]

ABSTRAK Kajian tentang Konservasi Kawasan Perairan (KKP) yang selanjutnya membentuk sejumlah Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) di Indonesia, tentu sudah dilakukan. Namun, hingga tahun 2015 target pengelolaannya baru mencapai 15 persen saja (Susanto, et al., 2015). Untuk itu, diperlukan paradigma lain dalam mengejar ketertinggalan target yang ingin dicapai. Pendekatan ekofeminisme digunakan untuk melihat siasat kaum perempuan dalam memandang dan memperlakukan alam, termasuk kawasan perairan pesisir. Pendekatan ini juga dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana keterlibatan perempuan dalam pengelolaan KKP dan KKP3K, terutama dengan kearifan lokal yang mereka miliki dalam melindungi keanekaragaman hayati laut yang mengedepankan penyelamatan lingkungan, dengan mengintegrasikan aspek ekonomi dan kesejahteraan secara berkelanjutan melalui pengelolaan KKP/KKP3K yang efektif. Dalam karya ini, penulis mengkaji keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan kawasan perairan pesisir yang ada di Indonesia. Tujuan penulisan Call For Papers ini, di antaranya: 1) untuk mengetahui kearifan lokal yang dimiliki kaum perempuan dalam mengelola kawasan perairan pesisir yang ada di Indonesia; 2) mengetahui sejauh mana keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan KKP/KKP3K; dan 3) mengungkap seberapa besar dari keterlibatan kaum perempuan dalam kontribusinya terhadap peningkatan ekonomi keluarga dan ketahanan pangan hasil laut. Hasil penulisan Call For Papers berupa dukungan inisiatif pelestarian kawasan perairan pesisir yang efektif dan mengedepankan penyelamatan lingkungan, yang bersumber dari strategi ekofeminisme kaum perempuan dalam mengelola alam. Dengan demikian, keanekaragaman hayati dan perikanan berkelanjutan pun tetap terjaga. Hasil penulisan pada Call For Papers ini di antaranya: 1) Kearifan lokal yang dikelola oleh perempuan dalam mengelola kawasan perairan pesisir yang ada di Indonesia; 2) keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan KKP/KKP3K; 3) kontribusi kaum perempuan dalam peningkatan ekonomi keluarga dan ketahanan pangan hasil laut. KATA KUNCI: Ekofeminisme, kearifan lokal perempuan, konservasi perairan pesisir PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah sebesar 1,904,569 km2, yang terdiri dari 17.508 pulau yang membentang sepanjang 5,120 km dari timur ke barat dengan garis pantai sepanjang 81,000 km dan luas laut 3,1 juta km2 atau 62% dari luas teritorial Indonesia (Dahuri, 2001: 1). Dengan luas yang begitu besar, Indonesia menyimpan megapotensi pesisir, mulai dari kekayaan terumbu karang, biota ikan, mangrove, rumput laut, lamun, maupun potensi non hayati seperti minyak, gas, pasir kuarsa, timah, emas, dan lain sebagainya.

Terkait dengan besarnya potensi tersebut, masalah yang dimiliki pun tak kalah besar.

Potensi dan masalah tersebut bukan hanya terdapat pada pulau-pulau besar (seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua), melainkan juga terdapat pada belasan ribu pulau kecil. Sebut saja, selain masalah pencemaran, banjir rob, serta degradasinya ekosistem pesisir dan laut, penyelundupan, perompakan, illegal fishing, illegal logging, dan

Page 50: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

586

adanya potensi konflik (potential dispute) juga menjadi ancaman kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, sangat diperlukan konservasi dalam menjaga dan melestarikan perairan pesisir Indonesia, sehingga pilar pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dapat kita wujudkan.

Konservasi telah diyakini sebagai tonggak penting yang mampu menyelamatkan

potensi sumber daya agar tetap lestari dan menyejahterakan masyarakat. Melalui penulisan ini, strategi konservasi yang penulis tawarkan adalah strategi ekofeminisme. Hal ini beranjak dari kegelisahan yang senantiasa diterima oleh jenis kelamin yang keberadaannya masih dipandang sebelah mata.

Perlakuan yang sama ini pula terjadi pada alam, dimana alam diperlakukan tidak

seimbang. Penyebab krisis lingkungan bukan sekedar disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentrisme, tapi justru secara androsentrisme (cara pandang dan perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam). Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam ekofeminisme adalah mengembalikan identifikasi perempuan dengan alam (Megawangi, 1999), dalam istilah Shiva disebut “menghidupkan kembali prinsip feminin”.

Selama ini, sistem maskulin telah merusak dan menutupi nilai sakral kualitas feminin.

Pada dasarnya, perempuan dan laki-laki mempunyai peran masing-masing (Shiva dan Maria Mies, 2005). Sebagai ibu bumi, alam maupun perempuan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa kita sadari, selama ini kehadiran perempuan mampu menjaga keseimbangan yang terjadi di dalamnya, begitupun halnya dalam Konservasi Kawasan Perairan (KKP).

Kajian tentang Konservasi Kawasan Perairan (KKP) yang selanjutnya membentuk

sejumlah Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) di Indonesia, target pengelolaannya baru mencapai 15 persen. Dengan demikian, tugas yang diemban bangsa ini masih cukup panjang. Melalui pendekatan ekofeminisme berupaya untuk melihat siasat kaum perempuan dalam memandang dan memperlakukan alam, termasuk kawasan perairan pesisir.

Pendekatan ini juga dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana keterlibatan

perempuan dalam pengelolaan KKP dan KKP3K, terutama dengan kearifan lokal yang mereka miliki dalam melindungi keanekaragaman hayati laut yang mengedepankan penyelamatan lingkungan, dengan mengintegrasikan aspek ekonomi dan kesejahteraan secara berkelanjutan melalui pengelolaan KKP/KKP3K yang efektif.

Dalam karya ini, penulis mengkaji keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan

kawasan perairan pesisir yang ada di Indonesia. Tujuan penulisan Call For Papers ini, di antaranya: 1) untuk mengetahui kearifan lokal yang dimiliki kaum perempuan dalam mengelola kawasan perairan pesisir yang ada di Indonesia; 2) mengetahui sejauh mana keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan KKP/KKP3K; dan 3) mengungkap seberapa besar dari keterlibatan kaum perempuan dalam kontribusinya terhadap peningkatan ekonomi keluarga dan ketahanan pangan hasil laut.

METODE PENELITIAN

Metode dalam penulisan ini adalah studi literatur/studi pustaka yang bersumber dari

buku, jurnal, media yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Menurut Zed (2008), salah satu alasan penelitian menggunakan studi pustaka dikarenakan sebagai studi pendahuluan untuk dapat memahami lebih dalam tentang gejala baru yang berkembang di lapangan maupun di masyarakat.

Page 51: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

587

HASIL DAN PEMBAHASAN Perempuan mempunyai peran penting dalam berbagai segi kehidupan, mulai dari

ranah domestik hingga publik. Maka, tak heran jika kaum perempuan kini menyandang gelar ganda (double burden). Selain mengurus rumah tangga, mulai dari mengurus anak-anak, menyiapkan kebutuhan anggota keluarga pada sektor privat, perempuan juga mulai merambah sektor publik dengan bekerja untuk membantu meningkatkan kesejehteraan ekonomi keluarga. Sebagai bagian dari penggerak ekonomi keluarga, perempuan bekerja dalam berbagai bentuk pekerjaan seperti petani, pengumpul, dan pengolah sumber daya hutan dan laut serta penjual dan pedagang.

Dalam menggeluti pekerjaan-pekerjaan tersebut, perempuan harus memiliki

pengetahuan dan kemampuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA). Pengetahuan dan kemampuan tersebut sebaiknya tidak terbatas hanya pada bagaimana memperoleh sumber bahan makanan, mengolah, atau menjualnya. Perempuan juga perlu memahami dan memiliki kemampuan untuk melakukan pemanfaatan SDA secara lestari, agar ketahanan pangan yang diperoleh dapat dinikmati dalam jangka waktu panjang.

Keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan tentunya tidak dapat

dipisahkan dari prinsip-prinsip feminitas yang senantiasa menjadi pertimbangan dalam memperlakukan sesuatu, termasuk alam. Bagi perempuan, alam merupakan ibu bumi yang harus dijaga dan dilestarikan, alam merupakan sumber penghidupan manusia.

Oleh karena itu, diperlukan pandangan yang mengedepankan keseimbangan dalam

menjaga dan memperlakukan alam, sebagaimana yang digaungkan ekofeminisme. Untuk mewujudkan pengelolaan alam yang mengedepankan prinsip feminitas, maka diperlukan strategi ekofeminisme sebagai berikut:

Perempuan penggerak pelestarian sumber daya pesisir Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan KKP dan KKP3K Kontribusi perempuan dalam pendidikan dan pemberdayaan masyarakat pesisir Rincian strategi ekofeminisme dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Strategi Ekofeminisme dalam Konservasi Perairan Pesisir di Indonesia

No Strategi Ekofeminisme Tokoh Perempuan

Tempat Referensi

1. a. Mengharmonisasikan manusia dan hutan mangrove:

b. Mengembalikan fungsi hutan mangrove seperti semula yang sebelumnya dikonversi menjadi kebun kelapa sawit

c. Menggerakan perempuan nelayan yang menginisiasi dua kelompok nelayan yang tergabung di bawah payung PPNI, yakni Tani Abadi Mangrove di Lubuk Kertang dan Mutiara Bahari di Perlis.

d. Mendorong kemandirian dengan mengolah mangrove bersama Muara Tanjung/PPNI Serdang Bedagai dengan difasilitasi oleh KIARA dan Dompet Dhuafa

Ratna Sari Keliat dan

perempuan nelayan

Langkat Sumatera

Utara

www.kiara.or.id

Page 52: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

588

No Strategi Ekofeminisme Tokoh Perempuan

Tempat Referensi

2. a. Perempuan aktif terlibat dalam sosialisasi kegiatan konservasi sumber daya pesisir ekosistem terumbu karang

b. Perempuan merupakan penggerak masyarakat dalam transformasi informasi terkait pentingnya menjaga kelestarian sumber daya pesisir

c. Menegur, mengawasi, melarang, menasehati, melaporkan pada tugas” merupakan bentuk-bentuk kepedulian yang dilakukan perempuan terhadap pihak-pihak yang merusak kawasan ekosistem

d. Perempuan menanam mange-mange (mangrove)

e. Penggagas dan penggerak rutinitas jumat bersih

f. Menanam pohon dan mengikuti kegiatan tentang sosialisasi lingkungan hidup

g. Perempuan pada masyarakat nelayan terlibat dalam kegiatan sosial ekonomi di darat

Ibu Adolince Umpes, dkk.

Raja Ampat Dalam Handayani dan Endang

Gunaisah

3. a. Strategi ekofeminisme diambil dari pesan adat komunitas Evav, yang berarti persekutuan hidup yang menyatu dengan alam

b. Konsep sasi atau hu wear berfungsi sebagai kehadiran perempuan

c. Perempuan dimaknai sebagai sasi yang hidup

Komunitas Evav

Maluku WWF

4. a. Kesadaran untuk menjaga mangrove (dengan tidak menggunakannya untuk kayu bakar, dll.)

b. Menanam mangrove sebagai “penebus dosa” (mangrove mampu menahan ombak tsunami)

c. Konsisten menanam mangrove, mulai dari mencari bibit, menyiapkan polybag, menyiapkan lahan, menanam, hingga merawat

Rika, Selviana dan tujuh

perempuan lainnya

Manokwari www.mongabay.co.id

5. Kelompok perempuan nelayan dalam meningkatkan sosial ekonomi keluarga dan masyrakat nelayan melalui pengolahan ikan belida menjadi kerupuk, pengemasan teri, dan aneka kerajinan khas pesisir lainnya. Selain itu untuk mengantisipasi ledakan pembiayaan pengeluaran kelurga, Puspita Bahari membentuk tiga model tabungan bagi anggotanya yang terdiri dari

Kelompok nelayan

Puspita Bahari

Demak Jawa Tengah

www.kiara.or.id

Page 53: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

589

No Strategi Ekofeminisme Tokoh Perempuan

Tempat Referensi

perempuan nelayan, baik isteri nelayan maupun mereka yang belum menikah. Diantaranya TAKO (Tabungan Sembako), TAREN (Tabungan Rendeng), dan TAHARA (Tabungan Hari Raya). Ketiga tabungan tersebut dikelola oleh Koperasi Puspita Bahari

6. a. Jumati: Mampu menghidupkan kegiatan ekonomi di desanya melalui kegiatan ekowisata hutan mangrove dan mengolah buah serta daunnya menjadi dodol, tepung kue, bahkan teh dan sirup. Jumati mengetuai kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung

b. Habibah: Mampu meningkatkan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat nelayan di Marunda Kepu Jakarta Utara melalui pengolahan limbah kulit kerang menjadi aneka kerajinan yang bernilai jual, meski berada pada himpitan reklamasi pantai dan pencemaran laut.

Perempuan Pejuang Pangan

Muara Tanjung

Sumatera Utara,

Marunda Kepu

Jakarta Utara

www.kiara.or.id

7. a. Perempuan mandiri pembudidaya udang

b. Berkat kegigihannya dalam mengikuti pelatihan gender dan pengenalan mangrove ia terpilih menjadi koordinator BARET PPNI-P3UW Lampung dalam mendorong kemandirian dan kesejahteraan perempuan melalui budidaya kerupuk udang dan inovasi membuat kemplang berbahan udang

Siti Khodijah Bumi Dipasena Lampung

www.kiara.or.id

Jika melihat Tabel 1 di atas, berbagai gerakan yang dilakukan oleh para perempuan

yang ada di Indonesia (Langkat, Raja Ampat, Maluku, Manokwari, Demak, Muara Tanjung, Marunda Kepu, dan Lampung) dapat dijadikan dukungan inisiatif pelestarian kawasan perairan pesisir yang efektif dan mengedepankan penyelamatan lingkungan, yang bersumber dari strategi ekofeminisme kaum perempuan dalam mengelola alam. Dengan demikian, keanekaragaman hayati dan perikanan berkelanjutan pun tetap terjaga. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa kearifan lokal yang dimiliki kaum perempuan dalam mengelola kawasan perairan pesisir yang ada di Indonesia dapat dilihat dari konsep sasi atau hu wear yang ada pada komunitas Evav di Maluku yang berfungsi sebagai kehadiran perempuan. Perempuan dimaknai sebagai sasi yang hidup. Perempuan di sana mampu melerai konflik yang terjadi dengan adanya konsep tersebut.

Page 54: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

590

Keterlibatan kaum perempuan dalam pengelolaan kawasan perairan pesisir yang ada di Indonesia dapat dilihat dari kegiatan perempuan yang aktif terlibat dalam sosialisasi kegiatan konservasi sumber daya pesisir dalam ekosistem terumbu karang; perempuan juga terlibat dalam gerakan mengembalikan fungsi hutan mangrove seperti semula yang sebelumnya dikonversi menjadi kebun kelapa sawit; mendorong kemandirian perempuan dalam mengolah mangrove; konsisten menanam mangrove; dan perempuan juga menjadi penggerak masyarakat dalam transformasi informasi terkait pentingnya menjaga kelestarian sumber daya pesisir.

Keterlibatan kaum perempuan dalam kontribusinya terhadap peningkatan ekonomi

keluarga dan ketahanan pangan hasil laut cukup besar, dapat dilihat dari kegiatan ekowisata hutan mangrove dan mengolah buah serta daunnya menjadi dodol, tepung kue, bahkan teh dan sirup; adanya pengolahan limbah kulit kerang menjadi aneka kerajinan yang bernilai jual; perempuan pada masyarakat nelayan terlibat dalam kegiatan sosial ekonomi di darat; perempuan mandiri pembudidaya udang; dan perempuan juga mendorong kemandirian dan kesejahteraan perempuan melalui budidaya kerupuk udang dan inovasi membuat kemplang berbahan udang. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada:

1. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 2. WWF-Indonesia 3. Universitas Negeri Jakarta 4. LSM KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) 5. LSM Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)

DAFTAR PUSTAKA Handayani and Endang Gunaisah. Kajian Perempuan Pesisir dalam Mendukung Konservasi

Sumber Daya Pesisir di Kabupaten Raja Ampat. Diakses dari https://www.google.co.id/search?q=perempuan+dan+konservasi+di+raja+ampat&oq=perempuan+dan+konservasi+di+raja+ampat&aqs=chrome..69i57.7407j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8

Megawangi Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan.

Shiva Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminism, Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: Ire Press.

Zed Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sanda, Duma. Cerita Para Perempuan Penjaga Mangrove dari Papua. Diakses dari

www.mongabay.co.id/2017/04/21/cerita-para-perempuan-penjaga-mangrove-dari-papua/

Page 55: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

591

WANAMINA, UPAYA PENGOPTIMALAN KAWASAN KONSERVASI MANGROVE SEBAGAI LAHAN BUDIDAYA UDANG (Litopenaeus vannamei)

DI PARIGI, PANGANDARAN

Siti Rahmania Saria*, Ikfa Permatasaria, Baihaqi Wisnumurti Wiharnoa

aIlmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran

*email: [email protected]

ABSTRAK Ekosistem mangrove di Kabupaten Ciamis tersebar di daerah Majingklak, Kalipucang, hingga Parigi. Teridentifikasi, luasan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Ciamis adalah 334,44 ha, sedangkan pada tahun 2001, luas hutan mangrove di 6 (enam) wilayah kecamatan menyusut menjadi sekitar 237,588 ha dengan kondisi ±40% dalam keadaan rusak. Konservasi mangrove di daerah ini dimulai pada tahun 2012 yang merupakan hasil dari bakti mahasiswa Universitas Pasundan Bandung. Hingga saat ini, kawasan konservasi mangrove di Parigi hanya dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat untuk memancing ikan balanak. Fungsi ekologis yang dimiliki ekosistem mangrove salah satunya sebagai daerah asuhan (nursery ground) karena kawasan ini kaya akan nutrien yang dibutuhkan oleh organisme yang hidup di ekosistem ini. Dalam pengelolaan sumber daya pesisir, dikenal istilah silvofishery atau wanamina yang merupakan suatu pola agroforestry. Prinsip wanamina ini adalah memasukkan mangrove sebagai bagian dari sistem budidaya. Sehingga dengan adanya sistem ini tidak perlu dilakukan alih fungsi dari hutan mangrove menjadi tambak budidaya. Jadi, untuk optimalisasi wilayah konservasi mangrove di Parigi, diperlukan adanya tindakan khusus seperti wanamina sehingga kawasan ini tidak hanya sekedar kawasan konservasi dan tempat pemancingan ikan, tetapi dapat dijadikan lahan budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Terdapat simbiosis mutualisme antara mangrove jenis Rhizopora sp. dan udang vannamei berdasarkan kebutuhan makanan udang vannamei dan kebutuhan nutrien mangrove. Selain itu, wanamina ini mendatangkan keuntungan ekonomis untuk nelayan. Hal ini yang memungkinkan wanamina dapat diaplikasikan untuk membudidaya udang vannamei di kawasan konservasi mangrove. KATA KUNCI: Budidaya, konservasi, litopenaeus vannamei, parigi ABSTRACT Mangrove ecosystem in Ciamis Regency spread in the area of Majingklak-Kalipucang to Parigi. It has identified mangrove in coastal area of Ciamis Regency was 334,44 ha, whereas in 2001 the area of mangrove forest in 6 sub-districts shrank to about 237,588 ha with condition ±40% in damaged condition. Mangrove conservation in this area began in 2012 which is the result of the devotion of the students of Universitas Pasundan, Bandung. Nowadays, society still use mangrove conservation area in Parigi as a fishing ground to catch balanak fish. Ecological functions of the mangrove ecosystem is one of them as a nursery ground because the region is rich in nutrients needed by living organisms in this ecosystem. In the management of coastal resources known term silvofishery or wanamina which is an agroforestry system. The principle of wanamina is to include mangroves as part of the cultivation system. So with the existence of this system do not need to be transferred function from mangrove forest become farming pond. So, to optimize the mangrove conservation area in Parigi, it is necessary to have particular action such as wanamina so that this area is not just a conservation area and fishing ground, but it can be used as vannamei shrimp farming (Litopenaeus vannamei) which has high economic value. There is a symbiotic mutualism between mangrove spesies, Rhizopora sp. and vannamei shrimp

Page 56: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

592

based on the needs of vanname shrimp and nutrient mangrove needs, other than that this wanamina bring economic benefits for fishermen. This allows wanamina to be applied to cultivate vannamei shrimp in mangrove conservation areas. KEYWORDS: Cultivation, conservation, litopenaeus vannamei, parigi PENDAHULUAN

Posisi geografis Kawasan Konservasi Mangrove Bojong Salawe, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran pada 108°29’44,4” BT 07°42’50,8” LS (Kuslani dan Sukamto, 2015) merupakan satu dari banyak tempat konservasi hutan mangrove di Jawa Barat. Pemerintah daerah setempat yang berkoordinasi dengan universitas maupun institusi yang peduli dengan konservasi mangrove telah banyak melakukan penanaman mangrove di Pantai Bojong Salawe.

Sebagai contohnya, Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (Himiteka)

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2014 menanam 2,000 benih mangrove dan telah melakukan pemantauan dalam rangka kegiatan Konservasi dan Survei Kelautan (KONSURV) yang berlangsung pada tanggal 13-15 April 2015. Sampai sekarang, tempat ini telah dijadikan sebagai wilayah konservasi sekaligus ekowisata hutan mangrove yang menjadi minat para pengunjung dari masyarakat Parigi maupun luar kota.

Menurut Bengen (2004) menyatakan bahwa tumbuhan mangrove merupakan sumber

makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi dan manfaat, antara lain sebagai peredam gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, daerah asuhan (nursery grounds), mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Keberadaan mangrove juga berperan penting bagi para nelayan di sekitar pesisir Kabupaten Pangandaran karena mangrove dapat menjadi habitat bagi kepiting bakau dan udang yang bernilai ekonomis tinggi. Tumbuhan mangrove yang ada, sebagian tumbuh dan menjadi tempat hidup bagi biota-biota asosiasi termasuk jenis udang vannamei.

Selain sebagai ekowisata hutan mangrove, masyarakat Parigi hampir sebagian besar

bekerja sebagai buruh tambak udang. Jenis udang yang dibudidayakan yaitu jenis udang vannnamei yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Udang ini juga banyak di perjualbelikan di Pangandaran. Budidaya tambak udang vannamei dipilih oleh para penambak udang karena jenis udang ini memiliki tingkat ketahanan hidup yang tinggi.

Menurut Tim Perikanan WWF-Indonesia, Badrudin (2014), udang vannamei pada

awalnya dianggap tahan terhadap serangan penyakit. Namun, dalam perkembangannya, udang vannamei juga terserang WSSV (White Spot Syndrome Virus), TSV (Taura Syndrome Virus), IMNV (Infectious Myo Necrosis Virus), vibrio, dan penyakit terbaru yaitu EMS (Early Mortality Syndrome). Untuk itu perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian dengan penerapan budidaya ramah lingkungan.

Menurut Bengen (1998), silvofishery atau wanamina adalah suatu pola agroforestry

yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya untuk menambah penghasilan. Di samping itu, ada kewajiban untuk memelihara hutan mangrove. Jadi, prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove. Oleh karena itu, penulisan makalah ini memiliki tujuan yaitu wanamina yang dijadikan sebagai konsep budidaya tambak udang yang ramah

Page 57: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

593

lingkungan sebagai pengoptimalan kawasan konservasi mangrove di Bojong Salawe, Parigi untuk turut mendukung kegiatan ekonomi masyarakat di Bojong Salawe serta mencegah terjadinya alih fungsi lahan mangrove menjadi kawasan tambak. METODE PENELITIAN

Adapun metode yang digunakan dalam kajian penelitian ini yaitu berupa literature review atau studi pustaka, dengan bahan jurnal penelitian dan artikel dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2011-2016) seputar wanamina, kawasan konservasi mangrove, dan kondisi masyarakat di Bojong Salawe, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, udang Litopenaeus vannamei, serta topik pendukung lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Shimoda et al. (2006) dalam Budihastuti (2013) menjelaskan bahwa salah satu peran hutan mangrove dalam kegiatan budidaya adalah sebagai biofilter, meskipun sebenarnya masih ada jenis-jenis biofilter lain yang dapat digunakan. Fungsi biofilter dalam budidaya adalah untuk mengurangi polutan yang akan dibuang ke perairan (sungai atau laut), sehingga kegiatan budidaya yang dilakukan akan lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Primavera (2006) dalam Budihastuti (2013) menyebutkan beberapa dampak negatif

dari kegiatan budidaya yang dapat timbul antara lain alih fungsi mangrove, hasil tangkap samping pada saat pengumpulan benih, masuknya jenis biota baru, penyebaran parasit dan penyakit, penyalahgunaan bahan kimia, dan timbulnya buangan limbah.

Kawasan Konservasi Mangrove Bojong Salawe didominasi oleh mangrove jenis

Rhizopora sp. Pada dasarnya, Rhizophora adalah jenis mangrove yang biasa mendominasi zonasi III, dimana air laut merendam akarnya sepanjang waktu namun belum terlalu tinggi sehingga jenis mangrove ini memiliki akar-akar napas yang muncul ke permukaan air.

Namun, pada Kawasan Konservasi Mangrove Bojong Salawe, Rhizopora tersebar dari

zonasi I hingga zonasi III sehingga hampir seluruhnya terlihat seperti hutan mangrove Rhizopora. Menurut Ahmed dan Shaukat (2012), Rhizopora mucronata memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap pencemeran dibandingkan dengan Avicennia marina.

Mangrove jenis Rhizopora lebih cocok untuk dijadikan asosiasi dengan udang

vannamei, berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa hasil budidaya udang yang berasosiasi dengan mangrove jenis ini lebih baik dari segi kualitas jika dibandingkan dengan mangrove jenis lain. Maie et al. (2008) dalam Budihastuti (2013) menyebutkan bahwa Rhizophora mucronata memproduksi tanin dari daun mangrove. Tannin berfungsi dalam menjaga ketersediaan nitrogen sebagai penyangga siklus nutrien dalam ekosistem mangrove.

Dengan demikian, kandungan nutrisi dalam tambak dengan vegetasi Rhizophora

cenderung memiliki kandungan nutrien yang lebih melimpah dibandingkan dengan Avicennia. Tannin juga mengandung banyak protein yang secara bertahap dilepaskan ke lingkungan perairan pada saat siang hari.

Budidaya udang vannamei dengan sistem wanamina disarankan untuk mengurangi

resiko terhadap kematian dan pengoptimalan kawasan konservasi kawasan mangrove agar tidak terjadi alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak. Islam et al. (2004) dalam Budihastuti (2013) menyatakan bahwa mangrove merupakan ekosistem yang ideal bagi udang, ikan dan kerang-kerangan.

Page 58: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

594

Mangrove menyediakan perlindungan dan tempat pemijahan. Di samping itu, vegetasi

mangrove juga berinteraksi dengan lingkungan dalam proses-proses dekomposisi bahan organik dalam proses penyediaan nutrien dalam lingkungan perairan. Limbah kotoran udang yang berasal dari tambak sendiri merupakan penyumbang unsur hara bagi perairan, sehingga tumbuhan seperti mangrove dapat memanfaatkan unsur hara tersebut sebagai pupuk (Firdaus et al., 2014).

Menurut Walters et al. (2008) dalam Budihastuti (2013), pengelolaan mangrove

diperlukan untuk menjaga kelangsungan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir. Di sisi lain, dengan terjaganya ekosistem mangrove di wilayah pesisir, diharapkan kondisi lingkungan wilayah pesisir dapat pulih seperti sedia kala. Dengan demikian, kelangsungan pemanfaatan sumber daya pesisir dapat dipertahankan dan dilestarikan.

Pembahasan

Wanamina (silvofishery) merupakan perpaduan antara pemanfaatan fungsi ekologi

dan sosial ekonomi ekosistem mangrove. Wanamina dijadikan sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya alih fungsi lahan menjadi pemukiman, tambak untuk budidaya. Mengingat mayoritas masyarakat Bojong Salawe bekerja sebagai buruh tambak udang, maka kegiatan konservasi dan aktivitas masyarakat sekitar dapat berjalan berdampingan dan mensejahterakan masyarakat.

Mengutip dari buku Better Management Practices (BMP) mengenai Panduan

Budidaya Udang Vannamei yang dirilis oleh WWF-Indonesia (2014), pemilihan lokasi dan desain lahan tambak yang cocok untuk budidaya udang vannamei adalah sebagai berikut. a. Pemilihan Lokasi

o Dekat dari sumber air, baik berasal dari sungai atau dari laut dan bebas dari banjir dengan jumlah cukup selama proses budidaya. Sumber air tidak tercemar dan berkualitas bagus.

o Tidak melakukan pengambilan air tanah untuk pengairan tambak, yang dapat menyebabkan intrusiair asin ke dalam akuifer air tawar, serta runtuhnya tanah permukaan.

o Terdapat jalur hijau yang memadai. Penanaman mangrove di saluran air untuk menetralisir pencemaran. Penanaman mangrove di pematang juga akan memperkuat tekstur pematang. Penanaman mangrove disesuaikan dengan jenis tanah dan mangrove.

o Tekstur tanah yang baik yaitu liat berpasir, dengan fraksi liat minimal 20% agar tanah tidak porous (dapat menahan air).

o Memastikan tanah tidak mengandung pyrit/zat besi. Pyrit ditandai munculnya warna kuning keemasan yang berlebihan pada tanah. Kandungan pyrit diatasi dengan cara reklamasi, yaitu melakukan pengeringan, pembalikan dan pencucian tanah, serta pembuangan air secara berulang. Untuk reklamasi tanah tambak secara total dilakukan dengan pengeringan selama berbulan-bulan, pembalikan dan pencucian berkali-kali. Tidak perlu pemberian kapur. Reklamasi tidak dilakukan pada musim hujan.

o Kemudahan akses transportasi akan mendukung kesuksesan budidaya.

b. Desain Tata Letak dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)

Ketinggian pematang sebaiknya 2,5 m dengan lebar 1,5 - 2 m. Dengan konstruksi tersebut, pematang mampu menampung air dengan kedalaman sekitar 1 m serta memungkinkan untuk penanaman mangrove di pematang. Ukuran luasan petak (muka air)

Page 59: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

595

tambak umumnya 0,3 - 0,5 ha, berbentuk segi panjang atau bujur sangkar. Ukuran petakan tambak diupayakan tidak terlalu besar untuk memudahkan pengawasan dan pemeliharaan.

Terdapat sistem pemasukan air (inlet) dan pengeluaran air (outlet) secara terpisah.

Pemasukan dan pengeluaran air dapat didukung dengan penggunaan pipa dan atau bantuan pompa. Sistem tersebut adalah tandon inlet dan tandon IPAL untuk pemantauan kualitas air yang masuk dan keluar. KESIMPULAN

Berdasarkan kondisi kawasan konservasi mangrove dan kondisi masyarakat di Bojong Salawe, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, wanamina dapat dijadikan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan mangrove untuk tambak udang serta mengoptimalkan kawasan konservasi tersebut untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi lahan kawasan mangrove yang mendukung untuk kegiatan wanamina, maka dapat dipastikan kegiatan konservasi mangrove di Bojong Salawe, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran dapat dipadukan dengan budidaya udang vannamei yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami ucapkan sepenuhnya untuk Kepala beserta Staf Anggota Departemen Keilmuan dan Keprofesian Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjran yang telah memberikan bantuan serta dukungan secara fisik dan moral dalam penyelesaian makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Badrudin. 2014. Seri Panduan Perikanan Skala Kecil Budidaya Udang VannameI Tambak

Semi Intensif dengan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Versi 1. Jakarta : WWF-Indonesia

Bengen G.B. 1998. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove. Makalah Lokakarya Jaringan Kerja Pelestarian Mangrove, Instiper. Yogyakarta.

Budihastuti Rini. 2013. Pengaruh Penerapan Wanamina Terhadap Kualitas Lingkungan Tambak dan Pertumbuhan Udang di Kota Semarang. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013

Kuslani Henra and Sukamto. 2015. Teknik Pengamatan Vegetasi Mangrove di Pesisir Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. BTL, Vol.13 No.2 Desember 2015. 83-90 pp.

Page 60: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

596

STRATEGI PENGELOLAAN WISATA BAHARI BERBASIS KONSERVASI PENYU DI KKP3K KEPULAUAN DERAWAN DAN PERAIRAN SEKITARNYA

Meriussoni Zaia , Nofri Yanib

aYayasan Cahaya Maritim

bProgram Pascasarjana – Universitas Bung Hatta

*email: [email protected] ABSTRAK Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya berada di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 87/KEPMEN-KP/2016. Kawasan ini merupakan lokasi pendaratan dan peneluran penyu hijau terbesar di Asia Tenggara, dan terbesar ke-8 di Dunia. Sejak tahun 2008-2016, upaya konservasi penyu dan habitatnya telah dilaksanakan di Pulau Sangalaki, Pulau Derawan, Pulau Mataha, dan Pulau Bilang-Bilangan. Upaya konservasi penyu yang dilaksanakan telah mampu melindungi sebanyak 11.256 sarang penyu. Berdasarkan analisis selama melaksanakan program konservasi penyu di kawasan ini pada tahun 2015-2016, dapat diketahui bahwa Zona Pemanfaatan Terbatas dan Zona Lainnya dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari berbasis konservasi penyu. Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan arahan strategi pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi penyu dalam mendorong optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi. Metoda yang digunakan berupa Analisis SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat), guna mendapatkan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan lebih lanjut. Makalah ini akan menjabarkan hasil analisis berupa tahapan yang perlu dilakukan berupa koordinasi program; penyusunan grand design wisata bahari berbasis konservasi penyu; peningkatan sumber daya manusia dan peran lembaga lokal sebagai pengelola wisata bahari berbasis konservasi penyu; pembentukan lembaga pengelola, peningkatan peran serta masyarakat sekitar kawasan; sosialisasi penggunaan alat tangkap ramah lingkungan; sosialisasi penanganan penyu hasil tangkapan sampingan (bycatch); serta program penanganan sampah plastik dan penghijauan daerah pantai di pulau-pulau kecil yang menjadi habitat peneluran penyu. KATA KUNCI: Wisata, bahari, konservasi, penyu ABSTRACT Derawan Islands marine conservation areas (KKP3K) is located in Berau Regency in the province of East Kalimantan decided by Minister of Marine and Fisheries No. 87/KEPMEN-KP/2016. This area is Southeast Asia’s largest nesting grounds for endangered green turtle and number 8th the largest in the world. Since 2008-2016, turtle conservation and their habitats have been implement on Sangalaki island, Derawan island, Mataha island and Bilang-bilangan island. Turtle conservation implemented efforts have been protect the turtle nest as much 11.256 nest. Based on turtle conservation analysis during program implementation on 2015-2016 in this area, Limited Utilization Zone and Other Zone could be developped into marine tourism area based on turtle conservation. This study purpose is to guidance of marine conservation tourism management strategy based on turtle conservation to push the optimization conservation area management. The method used is SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) analysis to get identification of various factor as systematic for furthermore management strategy formulation. This paper will explain the result of the analysis some steps that have to do such as program coordination, preparing grand design of tourism based on turtle conservation, increasing capacity of human resources and local NGO as implementer of marine tourism based on turtle conservation,

Page 61: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

597

develop organization management, increasing community participation on the area, environmental friendly fishing gear socialization, turtle by catch handling socialization, plastic rubbish handling and trees replanting on coastal area in small islands as turtle nesting area. KEYWORDS : Tourism, marine, conservation, sea turtle PENDAHULUAN

Kabupaten Berau termasuk dalam wilayah administrasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 3.426.070 ha dan memiliki 41 (empat puluh satu) buah pulau kecil, dimana 4 (empat) buah pulau di antaranya yaitu Pulau Derawan, Pulau Maratua, Pulau Balikukup, dan Pulau Kaniungan Besar yang dihuni oleh penduduk. Kabupaten Berau juga memiliki 2 (dua) buah pulau kecil terluar berdasarkan Perpres No. 78 Tahun 2005, yaitu Pulau Maratua dan Pulau Sambit. Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2010, Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) adalah termasuk (KSNT) Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Pulau-pulau kecil di Kabupaten Berau terdiri dari karang dan gosong karang dengan perkiraan luas mencapai 96.368,2 ha (DKP Berau, 2014).

Di Kepulauan Derawan, ditemukan 832 spesies ikan laut yang terbagi dalam 272

genera dan 71 famili. Sebagai tambahan terdapat 40 spesies, 16 genera dan 6 famili dari survey 1994 di perairan Pulau Sangalaki hingga pulau Kakaban, sehingga totalnya adalah 872 species (Allen, 2003). Berdasarkan formula prediksi dengan 6 kunci famili indikator, diperkirakan di perairan laut Berau mempunyai sedikitnya 1.051 spesies, dengan jenis dominan berupa ikan gobies (Gobiidae), wrasses (Labridae), dan damsel fishes (Pomacentridae). Dua lokasi dengan keanekaragaman spesies ikan paling kaya adalah Karang Baliktaba (273 spesies) dan Derawan House Reef (217 spesies). Kedua lokasi ini merupakan 10 besar di Indo-west Central Pacific (Wiryawan et al., 2005).

Sedikitnya terdapat 10 spesies mamalia laut di peraian Berau yang terdiri dari 5 jenis

paus dan 5 jenis lumba-lumba (DKP, 2015) juga terdapat 11 spesies Lamun dari total 13 spesies yang ditemukan di Indonesia (Kuriandewa et al. 2004; Kuo, 2007). Luas hutan mangrove di Kabupaten Berau hasil analisis citra satelit Landsat 8 tahun 2013 adalah seluas 49.159 ha (Sahri et al., in prep-b). Mangrove yang ditemukan sebanyak 26 jenis (Wiryawan et al., 2005). Namun hasil survei mangrove di Teluk Sulaiman pada tahun 2003 ditemukan sebanyak 49 spesies (Sudiono et al., 2014).

Gugusan karang di perairan laut Berau juga termasuk dalam kawasan segitiga karang

dunia (Coral Triangle Initiative). Sejarah pencadangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Berau, dimulai sejak tahun 2005 melalui Peraturan Bupati Berau No. 31 Tahun 2005 Tentang Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau seluas 1.271.719 ha. Pada tahun 2013, KKL tersebut dicadangkan menjadi Taman Pesisir Kepulaun Derawan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Berau No. 516 Tahun 2013 dan direvisi dengan SK Bupati Berau No. 202 Tahun 2014 Tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai Taman Pesisir Kepulauan Derawan Kabupaten Berau seluas 285.266 ha.

Pada tahun 2016, kawasan tersebut ditetapkan dengan SK Menteri Kelautan dan

Perikanan No. 87 Tahun 2016 tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya di Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur seluas 285.548,95 ha (gambar 1). Di Kepulauan Derawan juga terdapat Taman Wisata Alam Laut (TWL) Pulau Sangalaki dengan luas 280 ha dan Suaka Marga Satwa di Pulau Semama seluas 220 ha yang ditetapkan dengan SK Mentan No.604/kpts/Um/1982.

Page 62: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

598

Gambar 1. KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya

Sumber : Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 87 Tahun 2016.

Kepulauan Derawan merupakan koridor penting bagi penyu hijau (Chelonia mydas)

yang bermigrasi dari Malaysia, Filipina dan Palau untuk mencari makan. Ekoregion ini merupakan lokasi pendaratan dan peneluran terbesar bagi kelompok penyu hijau betina di Asia Tenggara, yang kemudian setelah bertelur penyu-penyu tersebut melakukan migrasi ke Pulau Socol di Filipina dan Pulau Banggi di Sabah, Malaysia (KKP, 2012).

Kepulauan Derawan juga merupakan daerah peneluran penyu hijau terbesar ke-8 di

dunia dan tempat mencari makan yang signifikan bagi penyu sisik (Eretmochelys imbricata) (Reischig et al., 2016). Sejarah pemanfaatan penyu di Kabupaten Berau telah berlangsung sejak lama, mulai dari jaman kerajaan (pada abad ke-18) hingga saat ini. Pemerintah Kabupaten Berau memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar dari penjualan konsesi telur penyu pada 5 pulau yaitu Pulau Sambit, Blambangan, Balikukup, Mataha, dan Bilang-bilangan.

Pada tahun 1997, PAD dari telur penyu sebesar 600 juta rupiah, tahun 1998 berjumlah

400 juta rupiah, tahun 1999 sebesar 900 juta rupiah, tahun 2000 sebesar 1,05 milyar rupiah, dan tahun 2001 sebesar 700 juta rupiah. Sejak tahun 2001, ditetapkan agar 20 persen telur penyu dari konsesi itu dikembalikan untuk ditetaskan dan tidak boleh dijual karena pemerintah mulai khawatir dengan keberlangsungan hidup penyu.

Sedangkan untuk Pulau Derawan dan Sangalaki, sudah sejak tahun 2001 ditetapkan

sebagai kawasan yang dilarang untuk pengambilan telur penyu (fully protected) melalui Instruksi Bupati Berau No. 60/2346-Um/XII/2001. Selain itu, juga dibentuk tim pemantauan (monitoring) dan penelitian penyu di Kawasan Kepulauan Derawan melalui SK Bupati No. 35 Tahun 2001, serta tim pengawasan dan pengamanan konservasi Pulau Sangalaki, Pulau Derawan, dan sekitarnya melalui SK Bupati No. 36 Tahun 2002. Di Pulau Sangalaki, dibangun stasiun pemantauan penyu yang melibatkan pemerintah daerah bersama beberapa LSM (Wiryawan et al., 2005).

Page 63: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

599

Turtle Foundation melaporkan, dampak dari praktek konsensi pemanfaatan telur penyu diperkirakan hampir 100% dari jumlah sarang yang terdapat sejak tahun 1940-an menurun drastis dan menyebabkan lebih dari 90% populasi penyu hijau menurun sejak itu. Meskipun adanya larangan hukum pada aktivitas pengumpulan telur penyu, namun perburuan akan penyu terus hampir tidak terkendali tanpa adanya perlindungan yang sistematis dan berkesinambungan di pantai peneluran, seperti yang masih terjadi di pulau-pulau yang belum terlindungi yaitu di Pulau Belambangan dan Pulau Sambit.

Ancaman utama penyu sisik di daerah ini adalah perburuan terhadap penyu yang

sudah mencapai ukuran dan umur remaja, semi-dewasa, dan penyu dewasa. Karapas penyu sisik yang sudah diambil dijadikan sebagai aksesoris yang diperjualbelikan secara bebas di toko-toko aksesoris di Pulau Derawan dan Tanjung Redep.

Selain itu, penyu sisik juga secara langsung dibunuh untuk diawetkan dan dijadikan

sebagai hiasan dinding. Ancaman lain terhadap semua jenis penyu di Kepulauan Derawan adalah perburuan penyu yang dilakukan oleh nelayan lokal dan asing (misalnya, armada nelayan dari provinsi Hainan-Republik Rakyat Cina), walaupun tidak disengaja tetapi untuk penyu biasanya akan fatal jika tertangkap oleh nelayan sebagai hasil tangkapan sampingan (bycatch), nelayan juga melakukan pengrusakan habitat penyu, terutama penggunaan sianida dan bom ikan serta mengakibatkan pencemaran lingkungan seperti sampah plastik dan limbah minyak (Reischig et al., 2016).

Sejak tahun 2002 sampai tahun 2012, Turtle Foundation bekerjasama dengan Balai

Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Kalimantan Timur, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Berau untuk pemantauan dan perlindungan penyu bersarang di stasiun pemantauan Pulau Sangalaki.

Pada tahun 2008-2013, pelaksanaan perlindungan dan pemantauan Penyu oleh Turtle

Foundation dilaksanakan di stasiun monitoring Pulau Bilang-bilangan dan Pulau Mataha bekerja sama dengan Yayasan Penyu Berau (YPB). Pada tahun 2014 sampai 2017 (saat ini), Turtle Foundation bekerja sama dengan Perkumpulan Biota Laut Berau (BLB). Hasil kegiatan perlindungan penyu sampai bulan Desember tahun 2015 telah mampu melindungi sarang sebanyak 11.256 dengan jumlah tukik yang telah menetas dan telah dilepasliarkan ke laut sebanyak 8.096.000 ekor (Reischig et al., 2016).

Tabel 1. Jumlah Pendataran dan Sarang Penyu Hijau di Pulau Sangalaki, Pulau Bilang-Bilangan dan Pulau Mataha.

Pulau Tahun Mendarat Bertelur

Sangalaki Bilang-bilangan Mataha

2002 – 2012 2008 – 2015 2008 – 2015

6711 (± 1002) 8170 (± 1416) 3312 (± 830)

4002 (± 703) 5135 (± 1025) 2118 (± 555)

Totals means: 18193 11256

Sumber: Reischig et al., 2016.

Dalam Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan dan

Perairan Sekitarnya terdapat dua belas pulau besar dan kecil yang merupakan habitat peneluran penyu termasuk Taman Wisata Alam Laut (TWA) Pulau Sangalaki, pulau-pulau tersebut adalah: Bilang-bilangan, Sangalaki, Mataha, Belambangan, Maratua, Sambit, Derawan, Kaniungan Besar, Kaniungan Kecil, Balikukup, Panjang, dan Kakaban.

Page 64: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

600

Kegiatan pemantauan dan perlindungan pantai peneluran Penyu dilaksanakan pada 4 buah pulau yaitu Pulau Bilang-bilangan, Mataha, Sangalaki, dan Derawan. Sementara delapan buah pulau lainnya masih belum dilaksanakan pemantauan dan perlindungan Penyu. Berdasarkan potensi peneluran penyu hijau yang terdapat di KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya, makalah ini bertujuan untuk mendapatkan arahan strategi pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi penyu dalam mendorong optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi. METODE PENELITIAN

Arahan strategi pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi penyu di KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity dan threat) atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman, yang berdasarkan pada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategis suatu pengelolaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (stenght) dan peluang (opportunity) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat) (Rangkuti, 2007). HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyusunan matriks SWOT arahan strategi pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi penyu di KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya berdasarkan pengalaman dan pengamatan kondisi lapangan pelaksanaan konservasi penyu bersama Turtle Foundation pada tahun 2015-2016 di Kabupaten Berau. Dari identifikasi komponen SWOT terhadap partisipasi masyarakat, lembaga lokal, dan pemerintah yang telah dilaksanakan, diperoleh beberapa faktor yang menjadi kekuatan (Strength), untuk mengatasi kelemahan (Weakness) yang perlu memperhatikan peluang (Opportunity) yang dapat dikembangkan untuk mengantisipasi ancaman (Threat) yang perlu dicari pencegahannya.

Faktor-faktor dalam analisis SWOT dikelompokan sebagai berikut.

Strength (Kekuatan) 1. Penetapan KKP3K Kepulauan

Derawan dan perairan sekitarnya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

2. Adanya program perlindungan penyu

di beberapa pulau habitat peneluran Penyu dalam kawasan.

3. KKP3K Kepulauan Derawan dan

perairan sekitarnya termasuk dalam wilayah program CTI-CFF (Coral Triangle Initiative – Fisheries and Food Security) Seascape Southeast Asian.

4. Dalam KKP3K Kepulauan Derawan

dan perairan sekitarnya terdapat zona pemanfaatan terbatas dan zona lainnya yang dapat dimanfaatkan

Weakness (Kelemahan) 1. Lembaga pengelola KKP3K Kepulauan

Derawan dan Perairan Sekitarnya di bawah pengelolaan DKP Provinsi Kalimantan Timur masih belum dibentuk.

2. Tidak semua pulau yang menjadi

habitat peneluran penyu sudah terlindungi.

3. Terjadinya abrasi pantai dan

penumpukan sampah plastik di pulau-pulau kecil yang terbawa oleh arus.

4. Sosialisasi pemanfaatan wisata bahari

berbasis konservasi penyu masih kurang.

Page 65: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

601

untuk wisata bahari berbasis konservasi penyu.

Opportunity (Peluang)

1. Peningkatan pengelolaan KKP3K

Kepulauan Derawan dan perairan sekitarnya pada tingkat optimum.

2. Terdapat beberapa NGO internasional

dan LSM lokal yang bergerak di bidang perlindungan Penyu.

3. Adanya program adaptasi perubahan

iklim yang didanai oleh beberapa NGO internasional untuk diminta berkontribusi dalam pengembangan KKP3K Kepulauan Derawan dan perairan sekitarnya.

4. Pariwisata bahari berbasis konservasi

Penyu dapat dikelola menjadi wisata minat khusus untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.

Threat (Ancaman)

1. Praktek illegal fishing oleh nelayan

luar dan nelayan lokal. 2. Terjadinya pencurian telur penyu,

pemanfaatan karapas penyu sisik dan konsumsi daging penyu.

3. Rusaknya habitat peneluran Penyu

akibat abrasi dan sampah serta habitat mencari makan Penyu oleh sampah plastik.

4. Pemanfaatan Taman Pesisir dan

Taman Pulau Kecil untuk wisata bahari berbasis konservasi penyu dapat mengganggu silkus hidup penyu apabila tidak dikelola dengan baik.

Unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa arahan strategi, keterkaitan unsur-unsur tersebut adalah antara Kekuatan dan Peluang (KP), antara Kekuatan dan Ancaman (KA), antara Kelemahan dan Peluang (LP), dan antara Kelemahan dan Ancaman (LA).

Dari hasil unsur-unsur SWOT diatas, selanjutnya dilakukan pembobotan (nilai) dan

tingkatan (rating) terhadap unsur-unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan. Bobot dikalikan dengan rating untuk menghasilkan skor (nilai).

Berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian unsur-unsur hasil analisis keterkaitan

SWOT dapat disusun prioritas strategi. Penentuan prioritas dilakukan dengan penjumlahan skor yang berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alternative strategi. Jumlah skor tersebut akan menentukan peringkat prioritas Pengelolaan Wisata Bahari Berbasis Konservasi Penyu di KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya. Peringkat prioritas strategi pengelolaan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Rangking Prioritas Strategi Pengelolaan Wisata Bahari Berbasis Konservasi

Penyu di KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya. No Unsur Skor Rank

1

Koordinasi antara pemerintah, lembaga lokal dan lembaga internasional yang dapat menjadi donatur untuk pendanaan berkelanjutan Program Perlindungan Penyu di KKP3K Kepulauan Derawan dan perairan sekitarnya.

5,4 1

2 Koordinasi pada forum CTI-CFF tentang pemanfaatan wisata bahari berbasis konservasi Penyu di KKP3K Kepulauan Derawan dan perairan sekitarnya.

5,4 1

Page 66: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

602

No Unsur Skor Rank

3 Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Grand Design pemanfaatan wisata bahari berbasis konservasi Penyu dalam KKP3K Kepulauan Derawan dan perairan sekitarnya.

4,1 2

4 Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pengelolaan KKP3K Kepulauan Derawan dan perairan sekitarnya.

4,0 3

5 Sosialisasi tentang pentingnya perlindungan penyu kepada masyarakat di dalam kawasan dan sekitar KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya.

3,9 4

6 Meningkatkan peran lembaga lokal untuk mengimplementasikan pemanfaatan dan pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi Penyu dalam KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya.

3,9 4

7 Pembentukan lembaga pengelola KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya.

3,6 5

8 Meningkatkan peran serta masyarakat lokal dalam program penanganan abrasi pantai dan sampah plastik.

3,5 6

9 Sosialisasi penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dan penanganan hasil tangkapan sampingan (bycatch) penyu kepada nelayan.

3,0 7

10 Peningkatan peran serta lembaga lokal untuk pelaksanaan sosialisasi wisata bahari berbasis konservasi penyu dalam KKP3K Kepulauan Derawan dan perairan sekitarnya.

2,3 8

11 Peningkatan peran serta LSM lokal untuk berperan aktif dalam program perlindungan Penyu dalam KKP3K Kepulauan Derawan dan perairan sekitarnya.

2,0 9

12 Meningkatkan peran serta masyarakat untuk pemanfaatan pariwisata bahari berbasis konservasi penyu.

2,0 9

13 Pelaksanaan program perlindungan penyu di pulau-pulau yang masih belum terlindungi.

1,9 10

14 Peningkatan peran Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) dalam pengawasan sumberdaya KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya.

1,5 11

15 Program penanganan sampah plastik dan penghijauan daerah pantai di pulau-pulau kecil yang menjadi habitat peneluran penyu.

1,3 12

16 Peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat melalui pengolahan sampah plastik di KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya.

0,6 13

KESIMPULAN

Dari hasil penyusunan skala prioritas berdasarkan analisis SWOT, pelaksanaan koordinasi antara pemerintah, lembaga lokal, dan lembaga internasional yang dapat menjadi donatur untuk pendanaan berkelanjutan menjadi prioritas utama pada Pengelolaan Wisata Bahari Berbasis Konservasi Penyu. Selanjutnya, penyusunan SOP dan grand design pemanfaatan wisata bahari berbasis konservasi penyu, sebaiknya dilakukan dengan melakukan pemilihan lokasi pilot project seperti Pulau Belambangan yang berada di luar zona inti dan menjadi bagian dalam zona pemanfaatan terbatas dalam KKP3K Kepulauan Derawan. Peningkatan sumber daya manusia sebagai pengelola, sosialisasi perlunya perlindungan penyu dan keterlibatan lembaga lokal dalam Pengelolaan Wisata Bahari Berbasis Konservasi Penyu di KKP3K Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan kesempatan bekerja sama untuk mendorong pengembangan konservasi penyu di Kabupaten Berau diantaranya Turtle Foundation, Pemerintah Kabupaten Berau, dalam hal ini DPRD Kab. Berau dan Bupati Berau, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Berau, BPSPL Pontianak dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), lembaga lokal dalam

Page 67: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

| Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

603

hal ini Biota Laut Berau (BLB) dan Profauna Borneo, serta lembaga internasional The Nature Concervacy, WWF-Indonesia, dan lembaga lainnya yang telah mendukung upaya perlindungan dan konservasi penyu di Berau. DAFTAR PUSTAKA Allen G.R. 2003. Coral Reef Fishes of Berau, East Kalimantan. TNC Consultancy Report.

The Nature Conservancy, East Kalimantan. Bupati Berau. 2013. Keputusan Bupati Berau Tentang Perubahan Lampiran Keputusan

Bupati Nomor 516 Tahun 2013 Tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai Taman Pesisir Kepulauan Derawan Kabupaten Berau. Keputusan No. 202 Tahun 2014.

Bupati Berau. 2005. Keputusan Tentang Kawasan Konservasi Laut Berau. Keputusan No. No. 31 Tahun 2005.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau. 2014. Laporan Akhir. Fasilitasi Rencana Zonasi KSNT Pulau-Pulau Kecil Terluar (Pulau Maratua). Direktorat Tata Ruang, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tanjung Redep.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau. 2015. Rencana Pengelolaan Taman Pesisir Kepulauan Derawan. Tanjung Redep.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, MPAG-USAID. 2012. Prioritas Geografi Keanekaragaman Hayati Laut Untuk Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Marine Protected Areas Governance Program. Jakarta.

Kuo J. 2007. A New Monoecious Seagrass Halophila sulawesii (Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany (in press).

Kuriandewa, T.E., W. Kiswara, M. Hutomo and S. Soemardihardjo. 2004. The Seagrass of Indonesia. In: E P Green and F T Short (eds.). World Atlas of Seagrass. University of California Press: 171-182 pp.

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2016. Keputusan Tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya di Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur. Keputusan No. 87 Tahun 2016.

Rangkuti F. 2007. Analisis SWOT Teknis Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Reischig T., Cordes H., Zai M., Nofri Y. 2016. Laporan Kegiatan Konservasi Penyu di Kabupaten Berau Perovinsi Kalimantan Timur. Cologne: Tutle Foundation.

Sahri A., M. Helmi, R. Denestiyanto dan W.A. Nugraha. In prep-b. Laporan Pemutakhiran Data Hutan Mangrove Kabupaten Berau Tahun 2013. The Nature Conservancy Program Kelautan Berau.

Sudiono E., A. Sasmirul, Purnomo, Jasari, U. Sujoko dan A. Sahri. 2014. Laporan Survey Biodiversitas Kawasan Mangrove Teluk Sulaiman dan Tata Batas Kawasan Lindung dan Wisata Alam Labuan Cermin, Kecamatan Biduk-Biduk, Kabupaten Berau. Kerjasama antara The Nature Concervancy (TNC) dan Dinas Kehutanan Kabupaten Berau.

Wiryawan B., M. Khazili dan M. Knight (eds). 2005. Menuju kawasan Konservasi Laut Berau Kalimantan Timur: Status Sumberdaya Pesisir dan Proses Pengembangan KKL.

Page 68: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

605 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

URGENSI DATA SPASIAL RESOLUSI TINGGI UNTUK KONSERVASI KAWASAN KEPESISIRAN

(STUDI KASUS: PEMOTRETAN UDARA KAWASAN PESISIR DESA PARANGTRITIS, KABUPATEN BANTUL, DIY)

Theresia Retno Wulanab*, Guridno Bintar Saputroa, Mone Iye Cornelia Marchiavellia,

Edwin Maulanacd, Anggara Setyabawana Putrae

aBadan Informasi Geospasial bProgram Doktoral, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

cParangtritis Geomaritime Science Park dMagister Menejemen Bencana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

eStatistika Menejemen Kebencanaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

*email: [email protected]

ABSTRAK Kawasan kepesisiran merupakan kawasan dengan karakteristik yang unik dan berbeda dengan habitat lainya. Berbagai aktivitas alam terjadi di kawasan pesisir yang mengancam kelestarian lingkungan kepesisiran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan uji akuisisi data foto udara untuk konservasi wilayah kepesisiran. Pemotretan udara dilakukan dengan menggunakan wahana Unmanned Aerial Vehicle (UAV) tipe fixed wing dan multirotor. UAV dengan tipe fixed wing dan multirotor memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, pada saat dilakukan pemotretan udara di kawasan kepesisiran. UAV dengan tipe fixed wing cenderung lebih rentan terhadap gangguan angin, sedangkan UAV tipe multirotor cenderung lebih tahan terhadap gangguan angin. UAV tipe fixed wing memiliki daya jelajah yang lebih tinggi, sehingga dalam waktu bersamaan, pemotretan dengan menggunakan fixed wing dapat menjangkau daerah yang lebih luas. Hasil dari pemotretan udara menunjukkan bahwa Ground Square Distance (GSD) kurang dari 10 cm. Data tersebut dapat dipergunakan untuk perencanaan tata ruang maupun konservasi hingga level tapak. KATA KUNCI: UAV, konservasi, foto udara PENDAHULUAN

Wilayah kepesisiran merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut (UU No. 1, 2014). Kondisi demikian menyebabkan kawasan kepesisiran memiliki habitat dan karakteristik yang unik, dan berbeda dengan kawasan lainya (Pakalniete et al., 2017; Srivastava et al., 2016; Xu et al., 2017; Brown & Hausner, 2017) sehingga diperlukan manajemen yang baik dalam mengelola kawasan kepesisiran.

Kawasan kepesisiran selain memiliki karakteristik yang unik juga memiliki resiko

bencana yang tinggi. Bencana kepesisiran dan laut disebabkan oleh bahaya alam berupa anomaly atau perubahan ekstrem di lingkungan laut (Fang et al., 2017). Bencana yang terjadi di wilayah pesisir juga beragam, seperti abrasi, sedimentasi, banjir, angin puting beliung, gempa hingga tsunami (Cellone et al., 2016; Ward et al., 2014; Pouya et al., 2017; Dura et al., 2014). Ragam bencana tersebut, tentunya mengancam kelestarian pesisir.

Page 69: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

606 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1. Contoh Perubahan Garis Pantai Akibat Bencana Abrasi Tahun 1943 – 2013 di Negara Argentina

Sumber: Cellone, 2016

Kelestarian wilayah pesisir memerlukan penanganan khusus dalam pengelolaannya.

Sehingga kebijakan pengelola dapat diterapkan secara tepat dan berkelanjutan. Untuk mendukung hal tersebut, salah satu metode yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan Data Spasial Resolusi Tinggi (DSRT). DSRT dapat dipergunakan untuk perencanaan tata ruang maupun konservasi lingkungan hingga level tapak. Untuk mendapatkan Data Spasial Resolusi Tinggi (DSRT), salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi pengindraan jauh terkini, yakni wahana Unmanned Aerial Vehicle (UAV).

UAV merupakan salah satu teknologi dalam pengambilan data berupa foto

(fotogrametri) untuk kepentingan pemetaan yang kini sedang berkembang pesat (Haala, et al., 2011). UAV memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan teknologi pemetaan lainnya, yaitu murah, sederhana dan mudah dibawa berpindah-pindah (mobile) (Berteska & Ruzgiene, 2013). Selain itu, pemanfaatkan UAV dapat dipergunakan dalam wilayah yang beresiko tinggi dan juga susah dijangkau.

UAV secara konfigurasi airframe dibagi menjadi dua, yakni fixed-wing dan rotary-wing

(rotor) (Putra et al., 2016). Baik tipe fixed-wing maupun rotary-wing, memiliki kelebihan dan keurangan masing-masing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan uji akuisisi data foto udara UAV untuk konservasi wilayah kepesisiran. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan ke dua tipe UAV tersebut. METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 untuk penentuan area of interest (AoI). Peta tematik lain yang digunakan adalah Peta Zona Konservasi Gumuk Pasir Parangtritis skala 1:5.000. Alat yang digunakan terdiri dari pesawat tipe fixed wing dan multirotor. Pesawat tipe menggunakan kamera geo-tagging sehingga tidak memerlukan Ground Control Point (GCP). Kamera yang terinstal pada pesawat tipe fixed wing tidak menggunakan kamera geo-tagging sehingga dilakukan penandaan awal (pre-mark).

Pemotretan udara dilakukan bertahap selama satu minggu. Koreksi radiometrik foto

udara dilakukan sebelum data diolah lebih lanjut. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Agisoft Photoscan. Uji akurasi foto udara dilakukan di lapangan untuk mengecek ketelitian foto udara. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial dan deskriptif kualitatif.

Page 70: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

607 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data spasial merupakan salah satu unsur terpenting dalam perencanaan wilayah. Data spasial dapat memberikan informasi mengenai objek-objek yang terdapat pada suatu area, Sehingga berdasarkan hasil interpretasi dari objek-objek tersebut kita dapat melakukan identifikasi mengenai peruntukan suatu wilayah. Data spasial dibedakan menjadi dua jenis, yaitu data raster dan data vektor. Data raster merupakan data yang terdiri dari pixel-pixel yang memiliki nilai koordinat sedangkan data vektor merupakan data yang menampilkan pola ruang berbentuk titik, garis, maupun poligon yang menampilkan sebuah objek pada peta.

Ketersediaan data vektor skala besar di Indonesia saat ini masih sangat terbatas. Data

vektor dengan skala 1:5.000 hanya terdapat di beberapa kabupaten di Pulau Jawa, sedangkan pada daerah lain data vektor yang tersedia hanya berada pada skala 1:25.000 atau lebih kecil. Data raster yang bisa diperoleh secara gratis terdapat beberapa jenis, diantaranya adalah Landsat, NOAA, dan beberapa jenis citra satelit lainnya.

Citra satelit yang dapat diperoleh secara gratis tersebut tidak bisa memberikan

informasi yang sangat detil atau tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemetaan skala besar. Kebutuhan akan data dengan resolusi tinggi menjadi sangat penting mengingat saat ini keberadaan lahan kosong untuk pengembangan pemukiman perindustrian dan sektor ekonomi yang lain sangat terbatas.

Salah satu alternatif teknologi untuk melakukan akuisisi data foto udara dengan skala

besar adalah dengan melakukan pemotretan menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Penggunaan foto udara dengan UAV memiliki beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan data citra satelit, diantaranya: (1) memiliki resolusi spasial yang tinggi, (2) pengumpulan data dapat dilakukan kapan saja serta (3) dapat terbang di bawah awan sehingga minim akan distorsi (Maulana et al, 2016).

Uji akuisisi data foto udara resolusi tinggi untuk melakukan pemetaan skala besar ini

dilakukan di kawasan kepesisiran khususnya Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Parangtritis dipilih sebagai lokasi uji akuisisi data foto udara karena (1) Desa Parangtritis terletak di kawasan pesisir; (2) memiliki kawasan geoheritage gumuk pasir serta (3) memiliki relief yang melandai hingga bergunung sehingga sangat sesuai bila dijadikan sebagai objek uji akuisisi data foto udara. Uji akuisisi data foto udara dilakukan dengan menggunakan dua tipe pesawat udara yaitu tipe fixed wing dan tipe multirotor. Detil dari hasil penelitian ini dapat dilihat pada hasil dan pembahasan berikut.

a. Uji Akuisisi Data Foto Udara dengan UAV Tipe Multirotor

Pemotretan udara dengan pesawat tanpa awak tipe multirotor dilakukan dengan

menggunakan perangkat DJI Phantom 4. Pesawat tanpa awak ini memiliki propeller atau baling-baling dengan jumlah empat buah. DJI Phantom 4 dapat terbang hingga ketinggian 150 meter di atas permukaan tanah. DJI Phantom 4 memiliki kelebihan yaitu bisa melakukan terbang diam di udara atau dikenal dengan istilah hoffering.

Hal ini memudahkan pengguna untuk mengambil foto udara dari sudut yang

diinginkan. Kelebihan lain yang dimiliki oleh DJI Phantom 4 adalah kamera yang terinstal pada gimbal memiliki kualitas foto yang sangat tinggi yaitu 4K. Hasil foto udara dengan wahana ini juga memiliki nilai koordinat X, Y, dan Z sehingga memudahkan dalam pemrosesan orthophoto.

DJI Phantom 4 sudah kompatibel dengan aplikasi pemetaan yang tersedia di Android,

yang salah satunya adalah Pix4D. Aplikasi Pix4D memungkinkan pengguna untuk membuat

Page 71: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

608 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

jalur terbang secara otomatis sesuai dengan area of Interest (AoI) atau lokasi yang ingin kita potret. Jalur terbang maksimal yang dapat ditempuh DJI Phantom 4 menggunakan sebuah baterai kurang lebih adalah delapan hektar, sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada pemotretan pada area yang sangat luas.

Penggunaan wahana jenis ini sangat efektif untuk pemetaan cepat khususnya

kebencanaan karena data koordinat X, Y, dan Z yang sudah ada pada data foto udara dapat diolah dengan cepat dengan menggunakan Agisoft Photoscan. Hanya saja, akurasi geometrik yang ada pada data foto udara dengan menggunakan wahana ini kurang teliti. Beberapa contoh hasil pemotretan udara dengan menggunakan DJI Phantom 4 di kawasan Parangtritis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil Foto Udara dengan UAV Tipe Multirotor

Sumber: Analisis, 2017

Pemotretan udara dengan Dji Phantom 4 di kawasan Parangtritis dilakukan secara

bertahap karena daya jelajah pesawatnya yang tergolong rendah. Hasil pemotretan udara menunjukkan bahwa foto-foto yang dihasilkan dari wahana multirotor cenderung tegak sehingga memudahkan pada saat proses orthophoto.

Keberadaan fasilitas geo-tagging pada kamera juga menguntungkan karena pengguna

tidak perlu melakukan Ground Control Point (GCP). Namun, di sisi lain, hal tersebut mengakibatkan akurasi geometrik yang diperoleh tidak terlalu tinggi. Hasil pemotretan dengan wahana multirotor memiliki kualitas gambar yang baik sehingga walaupun akurasi geometrik foto tidak tergolong tinggi namun setiap objek dapat diamati dengan jelas.

Hasil ortofoto dari foto udara dengan menggunakan multirotor memiliki Ground Square

Distance (GSD) 8 cm. Tobler (1987) mengemukakan bahwa skala pemetaan dapat dihitung berdasarkan data dasar yang digunakan pada proses pemetaan tersebut. Berdasarkan persamaan Tobler (1987), rumus dalam perhitungan skala pemetaan adalah resolusi data raster (dalam satuan meter) dikali dengan 2000. Data orthophoto kawasan Parangtritis yang memiliki resolusi spasial 8 cm, artinya dapat digunakan untuk pemetaan skala 1:160. Data foto udara tersebut sangat dapat digunakan untuk pemetaan sampai dengan skala tapak.

b. Uji Akuisisi Data Foto Udara dengan UAV Tipe Fixed Wing

Pemotretan udara di kawasan Parangtritis juga dilakukan dengan menggunakan

pesawat tanpa awak tipe fixed wing. Perbedaan mendasar pada pesawat tanpa awak di fixed wing dengan multirotor adalah pesawat tipe fixed wing hanya menggunakan satu propeler atau baling-baling sedangkan multirotor menggunakan beberapa baling-baling. Kelebihan fixed wing dibandingkan pesawat multirotor adalah pesawat tipe fixed wing dapat

Page 72: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

609 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

menjangkau area yang lebih luas. Lebih lanjut, kamera yang terdapat pada pesawat tipe fixed wing dapat diganti sesuai dengan kebutuhan.

Studi kasus pemetaan foto udara di kawasan Parangtritis dengan menggunakan fixed

wing memiliki beberapa hambatan. Hambatan yang pertama adalah pesawat tipe fixed wing relatif rentan terhadap hembusan angin yang sangat kencang sehingga beberapa foto tidak tegak atau tergolong pada foto condong. Hal tersebut membuat pengguna harus mengoreksi foto dan juga mensortasi foto yang akan dimozaik sehingga tidak terjadi distorsi pada ortophoto yang dihasilkan. Beberapa contoh foto udara hasil pemotretan dengan menggunakan wahana fixed wing dapat dilihat pada Gambar 3.

Penulis mencoba menggunakan kamera yang tidak geo-tagging pada pemotretan

dengan pesawat tipe fixed wing. Koreksi geometrik dilakukan dengan pemasangan atau pengukuran letak geografis dengan menggunakan GPS geodetik. Kelebihan metode ini dibandingkan dengan pemotretan udara menggunakan kamera geo-tagging adalah akurasi geometrik yang jauh lebih tinggi.

Hasil pemotretan udara menunjukkan bahwa orthophoto kawasan Parangtritis dengan

menggunakan pesawat tanpa awak tipe fixed wing menghasilkan Ground Square Distance 9 cm. Berdasarkan persamaan Tobler (1987) maka skala pemetaan yang dapat dihasilkan dari pemotretan udara dengan menggunakan pesawat tanpa awak tipe fixed wing adalah 1:180. Data tersebut juga dapat digunakan untuk pemetaan sampai level tapak.

Gambar 3. Hasil Foto Udara dengan UAV Tipe Fixed Wing

Sumber: Analisis, 2017

c. Komparasi Hasil Foto Udara Tipe Fixed Wing dan Multirotor

Pemanfaatan wahana UAV baik tipe fixed wing maupun multirotor merupakan wujud berkembang pesatnya metode pengindraan jauh masa kini. Penerapan metode pengindraan jauh dapat dipergunakan dalam berbagai bidang seperti kebencanaan, pemantauan kawasan, hingga pemetaan (Bhardwaj et al., 2016; Sankey et al., 2017; Mafanya et al., 2017).

Hal ini dikarenakan UAV memberikan nilai lebih dari beberapa aspek. Namun disisi

lain ada hal yang perlu diperhatikan juga dalam menggunakan wahana tersebeut. Berikut adalah komparasi kelebihan dan kekurangan pemanfaatan UAV tipe fixed wing maupun multirotor (Tabel 1.)

Page 73: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

610 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tabel 1. Komparasi

NO Variabel Keterangan

Fixed Wing Multirotor

1 Ketinggian Jelajah

500 - 700 m 150 m

2 Aerial Coverage +2677 Ha +30 Ha

3 Durasi Jelajah +120 menit +20 menit

4 Resolusi spasial 9 cm

8 cm

5 Hasil Pemotretan

Sumber: Analisis, 2017

Berdasarkan hasil komparasi yang dilakukan dengan menggunakan foto udara hasil

pemotretan sebagai sumber data, secara umum, tidak ada perbedaan dari hasil yang didapatkan. Namun, perbedaan pemanfaatan wahana terdapat pada tingkat efektivitas pemotretan dan luasan (areal coverage) di lapangan. Apabila kita menginginkan foto udara dengan areal kecil, kita dapat menggunakan wahana multirotor. Namun apabila dibutuhkan luasan yang lebih, dapat menggunakan wahana fixed wing.

d. Aplikasi Data UAV untuk Pemetaan Fungsi Lahan Geo-Heritage Gumuk Pasir Barkhan

Hasil uji akuisisi data foto udara menunjukkan bahwa Ground Square Distance rata-

rata yang dihasilkan di bawah 10 cm. Realita tersebut menunjukkan bahwa data foto udara dapat digunakan untuk pemetaan skala besar. Hasil pemotretan dengan foto udara dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek dengan sangat detil. Hasil pemotretan dengan menggunakan pesawat tanpa awak tersebut bahkan bisa lebih baik dari hasil akuisisi data dengan menggunakan citra satelit.

Objek-objek kecil seperti selokan yang lebarnya kurang dari setengah meter dapat

dideteksi dengan sangat jelas sehingga data foto udara dengan akurasi geometrik yang tinggi sangat direkomendasikan untuk pemetaan pada skala tapak. Beberapa contoh hasil interpretasi foto udara yang berupa tutupan lahan dan bangunan dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 74: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

611 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 4. Hasil Interpretasi Foto Udara Sumber: Analisis, 2017

Kawasan Geoheritage Gumuk Pasir Parangtritis merupakan daerah konservasi yang

memiliki peruntukan masing-masing. Secara umum, Kawasan Geoheritage Gumuk Pasir Parangtritis diklasifikasikan menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penunjang, dan zona terbatas. Zona inti merupakan kawasan yang diperuntukkan sebagai cagar alam gumuk pasir barchan, sedangkan zona penunjang adalah zona yang digunakan untuk menunjang keberadaan gumuk pasir barchan (Maulana & Wulan, 2015). Zona terbatas saat ini sudah penuh dengan bangunan, sehingga tidak disarankan untuk penambahan bangunan baru.

Jumlah lokasi terbuka yang sangat terbatas dan potensi ekonomi yang sangat tinggi

menyebabkan penataan kawasan konservasi geoheritage gumuk pasir barchan perlu dilakukan dengan sangat teliti. Kesalahan kecil dalam interpretasi foto udara akan sangat berpengaruh terhadap berbagai respon dari masyarakat. Berdasarkan hasil interpretasi foto udara diperoleh peta peruntukan lahan maupun peta fungsi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan wilayah ke depan. Kesalahan yang minim dari interpretasi foto udara diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap pembangunan wilayah sekitar. Hasil interpretasi foto udara pada Kawasan Geoheritage Gumuk Pasir Parangtritis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Fungsi Lahan Geoheritage Gumuk Pasir Barkhan Parangtritis

Sumber: Analisis, 2017

Page 75: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

612 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KESIMPULAN

Ketersediaan sumber data untuk pemetaan detil saat ini merupakan hal yang sangat mendesak. Salah satu sumber data untuk pemetaan detil adalah data foto udara yang diperoleh dengan pemotretan udara dengan menggunakan wahana berupa pesawat tanpa awak. Data hasil pemotretan dengan menggunakan pesawat tanpa awak dapat menghasilkan data foto udara dengan resolusi spasial kurang dari 10 cm.

Data tersebut sangat cukup untuk digunakan dalam pemetaan pada level tapak. Studi

kasus pemotretan udara yang dilakukan pada Kawasan Geoheritage Gumuk Pasir Parangtritis menghasilkan data foto udara dengan resolusi spasial 8 dan 9 cm. Data tersebut dapat digunakan untuk identifikasi objek-objek detil seperti selokan, gang, jalan setapak dan lain-lain. Diharapkan dengan tingkat kedetailan data yang sangat tinggi, konflik antar wilayah dapat diminimalkan. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Junun Sartohadi, M.Sc., Prof.

Akhmad Fauzy, Ph.D. dan Syamsul Bachri, Ph.D. yang selalu membimbing penulis hingga sekarang. Selanjutnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan - rekan di Parangtritis Geomaritime Science Park yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada panitia Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil 2017 yang telah memberikan fasilitas berupa publikasi makalah ini. DAFTAR PUSTAKA ______. 2014. Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Teentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

Bhardwaj A, Sam L, Akanksha, Torres FJM, Kumar R. 2016. UAVs as Remote Sensing Platform In Glaciology: Present Applications and Future Prospects. Journal of Remote Sensing of Environment 175 (2016) 196–204

Berteska T and Ruzgiene B. 2013. Photogrammetric Mapping Based On UAV Imagery. Geodesy and Cartography, Vol. 39, Issue 4, 158-163.

Brown G and Jausner VH. 2017. An Empirical Analysis of Cultural Ecosystem Values in Coastal landscapes. Journal of Pccean & Coastal Management 142 (2017) 49 – 60

Cellone F, Carol E, and Tosi L. 2016. Coastal Erosion and Loss of Wetlands In The Middle Río de la Plata Estuary (Argentina). Journal of Applied Geography 76 (2016) 37 – 48

Dura T, Cisternas M, Horton BP, Ely LL, Nelson AR, Wesson RL, and Pilarczyk JE. Coastal Evidence for Holocene Subduction-Zone Earthquake and Tsunamis In Central Chile. Journal of Quaternary Science Reviews 113 (2015) 93 – 111

Fang J, Liu W, Yang S, Brown S, Nicholls RJ, Hinkel J, Shi X, and Shi P. 2017. Spatial-Temporal Changes of Coastal and Marine Disasters Risks and Impacts in Mainland China. Journal of Ocean & Coastal Management 139 (2017) 125 - 140

Haala N, Cramer M, Weimer F, and Trittler M. 2011. Performance Test on UAV-Based Photogrammetric Data Collection. International Archives of The Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, Vol. XXXVIII-1/C22, 7-12.

Mafanya M, Tsele P, Botai J, Manyama P, Swart B, and Monate T. 2017. Evaluating Pixel and Object Based Image Classification Techniques for Mapping Plant Invasions from UAV Derived Aerial Imagery: Harrisia Pomanensis as A Case Study. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 129 (2017) 1–11

Maulana E andWulan TR. 2015. Identifikasi Agihan Gumuk Pasir Barkhan pada Zona Inti Gumuk Pasir Parangtritis dengan Menggunakan Data UAV. Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV -2015. ISBN: 978-602-73620-0-0.

Page 76: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

613 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Maulana E, Wulan TR, Putra MD, Maulia N, Ibrahim F, Wahyuningsih DS, and Putra AS. 2016. Damage and Lost Assessment (DaLA) After Giant Tidal Wave Using UAV Data in Depok Beach, Parangtritis, Kretek, Bantul, Yogyakarta (Case Study: Giant Tidal Wave Period June 2016). ICOIRS 2016: The 2nd International Conference of Indonesian Society for Remote Sensing Remote Sensing for a Better Governance. ISBN 978­602­73620­1­7.

Pakalniete K, Aigars J, Czajkowski M, Strake S, Zawojska E, and Hanley N. 2017. Understanding The Distribution of Economic Bene Fits from Improving Coastal and Marine Ecosystems. Journal Science of the Total Environtment 584-585 (2017) 29-40

Pouya AS, Nouri J, Mansouri N, and Lashaki Ak. 2017. An Indexing Approach to Assess Flood Vulnerability in The Western Coastal Cities of Mazandaran, Iran. International journal of Disaster Risk Reduction xxx (xxx) xxx-xxx

Putra AS, Maulana E, Rahmadana ADW, Wulan TR, Mahendra IWWY, and Putra MD. 2016. Accuration Test of UAV’s Aerial Photo in Densely Populated Areas (Case Study: Sayidan, Special Province of Yogyakarta). Prosiding Seminar Nasional Pengindraan Jauh 2016. ISBN: 978-979-1458-99-3

Sankey T, Donager J, Vay JM, and Sankey JB. 2017. UAV Lidar and Hyperspectral Fusion for Forest Monitoring In The Southwestern USA. Journal of Remote Sensing of Environment 195 (2017) 30–43

Srivastava P, Sangode SJ, Parmar N, Meshram DC, Jadhav P, and Singvi AK. 2016. Mineral Magnetic Characteristics of The Late Quaternary Coastal Red Sands of Bheemuni, East Coast (India). Journal of Applied Geophysics 134 (2016) 77-88

Tobler W. 1987. Measuring Spatial Resolution. Proceedings, Land Resources Information Systems Conference. Beijing. P: 12-16.

Ward R, Teasdale PA, Burnside NG, Joyce CB, and Sepp K. 2014. Recent Rates of Sedimentation On Irregularly Flooded Boreal Baltic Coastal Wetlands: Responses to Recent Changes In Sea Level. Journal of Geomorphology 217 (2014) 61 – 72

Xu X, Yu Z, Cheng F, He L, Cao X, and Song X. 2017. Molecular Diversity and Ecological Characteristics of The Eukaryotic Phytoplankton Community In The Coastal Waters of The Bohai Sea, China. Journal of Harmful Algae 61 (2017) 13 - 22

Page 77: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

614 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KEBERADAAN PENYU SERTA UPAYA KONSERVASI DAN ZONASI DI PANTAI PALOH,

KABUPATEN SAMBAS, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Dinda Rizkya*, Johannes Ritera

aJurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

*email: [email protected],

ABSTRAK Penyu merupakan salah satu fauna yang dilindungi karena populasinya yang terancam punah. Salah satu tempat habitat bertelur penyu adalah Pantai Paloh yang terdapat di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Saat ini, populasi penyu di Pantai Paloh mulai terancam keberadaanya. Penurunan populasi penyu di Pantai Paloh disebabkan oleh berbagai hal, yaitu faktor alam seperti abrasi, perubahan suhu, dan predator alami dan faktor anthropogenic seperti pemanfaatan penyu dan telur penyu serta kegiatan perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap yang tidak selektif. Hasil penelitian lapangan menemukan ada 3 (tiga) jenis penyu yang mendarat di Pantai Paloh, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lokasi atau hotspot area peneluran penyu dan mengetahui karakteristik habitat peneluran penyu di Pantai Paloh, serta dapat sebagai acuan penentuan kebijakan pembentukan area konservasi (Marine Protected Area). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung di lapangan. Pantai bagian barat (segmen A) merupakan daerah yang disukai penyu untuk bertelur dibandingkan pantai bagian timur (segmen B) dengan hotspot area berada pada segmen 3A. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melindungi spesies penyu dalam upaya pelestarian adalah pengelolaan, perlindungan wilayah pendaratan, dan peneluran penyu. Perlindungan dapat dilakukan dengan membuat penangkaran penyu serta mendorong dan memfasilitasi masyarakat untuk beralih dari kegiatan ilegal menjual telur penyu ke kegiatan legal usaha di bidang wisata melalui pembinaan, pelatihan, dan pendampingan terkait kegiatan wisata. Pengelolaan dapat dilakukan dengan membagi zonasi berdasarkan fungsinya. KATA KUNCI: Habitat peneluran, karakteristik fisik, konservasi, kawasan konservasi perairan ABSTRACT Sea turtle is one of the fauna protected because its endangered population. One of sea turtle nesting habitat is Paloh Beach located in Sambas District, West Kalimantan Province. Currently turtle populations in Paloh Beach began to be threatened. The decline of sea turtle populations at Paloh Beach is caused by various factors, namely natural factors such as abrasion, temperature changes, and natural predators and anthropogenic factors such as the use of sea turtles and sea turtle eggs and fishing activities that use non-selective fishing gear. Field research found 3 species of sea turtles landed on Paloh Beach, Green Turtle (Chelonia mydas), Hawksbill (Eretmochelys imbricata), and Lekang Turtle (Lepidochelys olivacea). The research aimed to determine the location or hotspot area to the nesting zone and to know the characteristics of sea turtle nesting habitat in Paloh Beach, and can as a reference determination establishment of a conservation area or Marine Protected Area. The method used in this study was a descriptive survey method. The western coast (segment A) is the preferred area of sea turtle to spawn compared to the eastern coast (segment B) with the hotspot area in segment 3A. Some things that can be done to protect sea turtle species in conservation efforts are the management, protection of landing areas, and sea turtle nesting. Protection can be done by making sea turtle breeding and encouraging and

Page 78: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

615 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

facilitating the community to switch from illegal activities to sell sea turtle eggs to legal business activities in the field of tourism through coaching, training and assistance related to tourism activities. Management can be done by dividing the zone based on its function. KEYWORDS: Spawning habitat, physical characteristics, conservation, Marine Protected Area

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perairan Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keberadaan spesies penyu. Menurut Cahyani (2003) dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia, enam di antaranya berada di perairan indonesia yaitu: penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu pipih (Natator depressa).

Salah satu tempat habitat bertelur penyu adalah Pantai Paloh yang terdapat di

Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Wilayah terluas di Kabupaten Sambas ini merupakan habitat peneluran bagi penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), danp belimbing (Dermochelys coriacea). Namun, keberadaan penyu hijau (Chelonia mydas) lebih banyak ditemukan (Suprapti, 2012).

Saat ini, populasi penyu di Pantai Paloh mulai terancam keberadaannya. Fluktuasi

pendaratan penyu di Pantai Paloh terjadi cukup signifikan. Pada tahun 2009, penyu mendarat berjumlah 960 ekor. Pada tahun 2010, jumlah pendaratan induk mengalami penurunan hingga 680 ekor. Pada tahun berikutnya, tahun 2011 dan 2012 mengalami jumlah pendaratan yang paling rendah yaitu secara berurut sebesar 490 dan 410 ekor (Suprapti, 2012).

Penurunan populasi penyu akan menyebabkan dampak yang negatif karena penyu

memiliki peran ekologis yang cukup penting. Pemberian status perlindungan saja tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya mempertahankan populasi penyu di Indonesia. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melindungi spesies penyu dalam upaya pelestarian adalah pengelolaan, perlindungan wilayah pendaratan dan peneluran penyu laut (Nuitja, 1992). Salah satu penelitian yang penting dilakukan adalah mengenai tempat habitat peneluran penyu yang mencangkup karakteristik pantai.

Karakteristik pantai tersebut antara lain suhu sarang, kelembapan sarang, lebar

pantai, kemiringan pantai, kadar air substrat, ukuran dan tekstur substrat, vegetasi pantai, kondisi di sekitar pantai peneluran, dan sebagainya. Hal ini penting dilakukan karena kondisi lingkungan pantai sangat berpengaruh terhadap kegiatan peneluran penyu.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui jenis penyu, jumlah penyu, jumlah telur, dan lokasi atau hotspot area

peneluran penyu di Pantai Paloh. 2. Mengetahui karakteristik habitat penyu yang disukai penyu dalam memilih lokasi

bersarang. 3. Sebagai acuan penentuan kebijakan pembentukan area konservasi/Marine

Protected Area.

Page 79: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

616 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

METODE PENELITIAN Materi dan Metode

Penelitian dilakukan selama 2 (dua) bulan pada bulan Maret – April 2016. Lokasi penelitian di Pantai Paloh, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Pengambilan data diperoleh dari pengukuran panjang dan lebar lengkung karapas penyu yang bertelur di Pantai Paloh, suhu dan kelembapan sarang, lebar dan kemiringan pantai, identifikasi vegetasi pantai, dan jenis satwa. Analisis kadar air substrat, ukuran dan tekstur substrat sarang dilakukan pada bulan April 2016 di Laboratorium Geologi, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif.

Penentuan stasiun pengamatan menggunakan metode purposive sampling (Nazir, 2005). Lokasi sampling dibagi atas 2 segmen, yaitu segmen A (bagian barat) dan segmen B (bagian timur). Segmen A terbagi menjadi 5 bagian, yaitu segmen 1A (Sungai Ubah – Sungai Belacan), segmen 2A (Sungai Belacan – Tanjung Api), segmen 3A (Tanjung Api – Tanjung Kemuning), segmen 4A (Tanjung Kemuning – Kampak), dan segmen 5A (Kampak – Sungai Mutusan). Segmen B terbagi menjadi 5 bagian, yaitu segmen 1B (Sungai Ubah – Teluk Limau Manis), segmen 2B (Teluk Limau Manis – Tanjung Bendera), segmen 3B (Tanjung Bendera – Bandang), segmen 4B (Bandang – Baywan), dan segmen 5B (Baywan – Camar Bulan).

Kriteria yang digunakan untuk menentukan stasiun pengamatan antara lain: tanda

kehadiran penyu mendarat dipantai seperti jejak penyu dan sarang peneluran penyu. Lokasi pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Pantai Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat

Page 80: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

617 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pengamatan Penyu Bersarang

Pengamatan penyu dilakukan pada pukul 20.00 - 03.00 WIB. Identifikasi penyu dengan menggunakan panduan identifikasi penyu dari Yayasan Alam Lestari (2000), data penyu yang dicatat meliputi: panjang karapas, lebar karapas, lebar jejak penyu, jumlah penyu naik, serta jumlah penyu yang bertelur dan banyaknya telur.

Gambar 2. Pengukuran Karapas Penyu dan Sarang Telur Penyu

Suhu dan Kelembaban Sarang

Suhu sarang diukur dengan menggunakan soil survey instrument dan kelembapan sarang diukur dengan menggunakan hygrometer digital pada tiap sarangnya. Pengukuran suhu dan kelembaban sarang dilakukan pada substrat bawah permukaan sedalam telur pertama kali dijumpai (Bramantiya, 2006). Lebar Pantai

Lebar pantai diukur dari jarak pasang tertinggi dengan vegetasi terluar dengan roll meter untuk lebar supratidal. Lebar intertidal diukur dari jarak pasang tertinggi sampai batas surut terluar (Yayasan Alam Lestari, 2000). Kemiringan Pantai

Pengukuran kemiringan pantai dengan menggunakan tongkat berskala dan selang air, kemudian selang air direntangkan diatur sampai air di kedua sisi selang seimbang. Pengukuran dimulai dari batas vegetasi terluar sampai ke pantai pertama kali basah oleh gelombang air laut seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pengukuran Kemiringan Pantai

Page 81: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

618 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Penyu, Jumlah Penyu, dan Jumlah Telur yang Bertelur di Pantai Paloh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 3 (tiga) jenis penyu yang mendarat di pantai ini yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea), didominasi oleh jenis penyu hijau (Chelonia mydas), sedangkan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) hanya ditemukan mendarat di Pantai Paloh. Populasi penyu di Pantai Paloh sangat besar, hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang setiap malam menemukan penyu yang mendarat setiap malamnya. Selama bulan Maret 2016, sebanyak 30 ekor yang bertelur setiap malam dan bulan April 2016 sebanyak 15 ekor.

Tabel 1. Pengamatan Penyu yang Bertelur di Pantai Paloh

Jenis Penyu Jumlah (ekor)

Ukuran Tubuh (rata-rata)

Jumlah Telur (butir)

CCL (cm)

CCW (cm)

Penyu Hijau (Chelonia mydas) 40 102 88 3.650

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 5 84 78 855

Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) 0 - - -

TOTAL 45 4.505

(a)

(a) (b) (c)

Gambar 4. Penyu Hijau (a), Penyu Lekang (b), dan Penyu Sisik (c)

Jumlah Sarang Penyu Berdasarkan Lokasi

Berdasarkan hasil pengamatan memperlihatkan bahwa lokasi dengan intensitas peneluran tertinggi berada di bagian barat (segmen A) Pantai Paloh. Bagian barat (segmen A) Pantai Paloh merupakan pantai yang sangat berpotensi sebagai area peneluran dibandingkan bagian timur (segmen B). Hotspot area berada pada segmen 3A dengan jumlah penyu hijau (Chelonia mydas) 12 ekor dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) 4 ekor (Tabel 2).

Hal ini dikarenakan kondisi pantainya yang sesuai atau memenuhi ketentuan sebagai lokasi peneluran serta minimnya aktivitas manusia dibandingkan pada sisi timur (segmen B) yang sering menjadi jalur transportasi masyarakat dan pemukiman.

Page 82: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

619 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tabel 2. Jumlah Sarang Penyu Berdasarkan Lokasi

Lokasi Jenis Penyu Jumlah (ekor)

Segmen A (Barat)

1A

Penyu Hijau (Chelonia mydas) 4

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 1

2A Penyu Hijau (Chelonia mydas) 14

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 0

3A Penyu Hijau (Chelonia mydas) 12

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 4

4A Penyu Hijau (Chelonia mydas) 2

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 0

5A Penyu Hijau (Chelonia mydas) 1

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 0

Segmen B

(Timur)

1B Penyu Hijau (Chelonia mydas) 3

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 0

2B Penyu Hijau (Chelonia mydas) 1

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 0

3B Penyu Hijau (Chelonia mydas) 1

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 0

4B Penyu Hijau (Chelonia mydas) 1

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 0

5B Penyu Hijau (Chelonia mydas) 1

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) 0

TOTAL 45

Karakteristik Habitat Peneluran Penyu di Pantai Paloh

Hasil pengukuran suhu dan kelembapan pada masing-masing sarang menunjukkan bahwa suhu dan kelembapannya ideal bagi sarang penyu untuk membuat sarang. Lebar Pantai Paloh pada sisi timur (segmen B) dari pasang tertinggi hingga vegetasi terdepan, apabila dibandingkan dengan sisi barat (segmen A), lebih sempit serta jumlah penyu yang naik dan bersarang juga lebih sedikit. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kondisi perairan yang di bagian timur dan barat.

Kondisi perairan di bagian barat (segmen A) lebih tenang dibandingkan bagian timur

(segmen B) dan abrasi yang terjadi di bagian timur (segmen B) lebih besar dibandingkan bagian barat (segmen A) Pantai Paloh lebih tenang dibandingkan bagian barat. Jauh dekatnya lebar pantai sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya gelombang.

Page 83: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

620 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tabel 3. Karakteristik Habitat Peneluran Penyu di Pantai Paloh

No Lokasi

Karakteristik Pantai

Suhu Sarang

(°C)

Kelem-bapan Sarang

(%)

Lebar Pantai

(m)

Kemiringan Pantai (%)

Kadar Air Sedimen (%)

pk 00.00

pk 08.00

pk 16.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Segmen A (barat)

Segmen B (timur)

1A 2A 3A 4A 5A 1B 2B 3B 4B 5B

30 29 29 30 28 27 27 28 27 27

86 79 83 87 82 77 63 82 79 86

36.29 35.95 51.77 24.75 24.1

33.24 20.39 19.27 28.02 40.81

4.41 (landai) 5,65 (landai) 7.94 (landai) 9.48 (miring) 9.61 (miring) 12.13 (miring) 13.31 (miring) 9.39 (miring) 6.29 (landai) 4.46 (landai)

0.30 0.20 0.14 0.12 0.24 2.88 4.46 7.17 6.62 1.24

0.31 0.28 0.21 0.18 0.31 10.25 11.13 13.32 3.60 1.96

0.23 0.16 0.14 0.18 0.21 0.52 0.74 1.00 2.26 0.26

Berdasarkan klasifikasi kemiringan pantai menurut Darmawijaya (1997), bagian barat

(segmen A) termasuk kategori pantai landai, sedangkan bagian timur (segmen B) termasuk kategori miring. Kemiringan kedua sisi pantai ini sebenarnya masih ideal sebagai lokasi peneluran, tetapi hampir di sebagian besar segmen di bagian timur (segmen B) mengalami abrasi, sehingga induk penyu cenderung memilih bagian barat (segmen A) untuk lokasi bersarang.

Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada banyaknya penyu yang membuat sarang.

Semakin curam pantai, maka semakin besar pula energi penyu yang diperlukan untuk naik bertelur dan semakin sulit penyu melihat objek yang berada jauh di depan, karena matanya penyu mampu melihat dengan baik pada sudut 150° ke arah bawah (Symthe, 1975).

Kadar air di Pantai Paloh bagian barat (segmen A) lebih cenderung stabil, sedangkan

kisaran rata-rata kadar air Pantai Paloh bagian timur (segmen B) cenderung kurang stabil. Perbedaan ini disebabkan karena pantai bagian timur (segmen B) lebih terbuka terhadap udara dan sinar matahari, sedangkan di bagian barat (segmen A) substratnya dilindungi oleh vegetasi pantai, sehingga kadar airnya lebih stabil. Vegetasi pada pantai akan melindungi substrat dan telur terhadap perubahan kadar air yang drastis.

Kondisi pasir Pantai Paloh yang didominasi pasir sedang, sangat mendukung proses

pengeraman telur karena pasir sedang sangat cocok untuk penyebaran udara secara merata ke dalam sarang. Hal ini sangat penting untuk proses metabolisme dari perkembangan dan pertumbuhan telur embrionik yang mutlak memerlukan kemantapan suhu dan oksigen yang cukup.

Substrat di bagian timur (segmen B) lebih keras dibandingkan dengan bagian barat

(segmen A) yang menyulitkan induk penyu untuk menggali sarang untuk bertelur, sehingga induk penyu cenderung meletakkkan telurnya dibagian barat (segmen A) Pantai Paloh yang substratnya tidak terlalu keras dan masih memiliki hutan pantai yang masih utuh dengan kelebatan jenis-jenis pohon yang tumbuh hampir di sepanjang pantai, berbeda dengan bagian timur (segmen B) yang kondisi pantainya lebih banyak ditumbuhi hutan mangrove dan pantainya dipenuhi oleh pohon tumbang yang terdampar, selain itu memiliki abrasi pantai yang sangat tinggi, sehingga mengakibatkan berkurangnya habitat penyu untuk bertelur dan vegetasi pantai yang habis terbawa gelombang air laut.

Pengamatan vegetasi pada habitat peneluran penyu, menunjukkan sarang yang paling

banyak ditemukan berada tepat di bawah naungan vegetasi Scaevola taccada dan berada di sisi barat (segmen A) Pantai Paloh. Hal ini karena vegetasi pada bagian barat (segmen A) lebih padat dibandingkan dengan bagian timur (segmen B). Hal ini sesuai dengan

Page 84: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

621 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

penyataan Nuitja (1992), bahwa daerah peneluran penyu berhubungan erat dengan kondisi vegetasi terutama kerapatan yang berkaitan dengan penutupan vegetasi. Semakin rapat kondisi vegetasi, maka penutupan vegetasinya juga semakin besar. Kerapatan vegetasi akan menghalangi intensitas cahaya yang masuk ke dasar vegetasi, sehingga memberikan ketenangan ataa rasa aman pada saat penyu akan bertelur menuju sarang peneluran. Gangguan Kelestarian Penyu dan Upaya Konservasi

Pantai Paloh terletak di Desa Temajuk, tepatnya di perbatasan Indonesia - Malaysia yang jauh dari pembangunan dan mengalami ketergantungan ekonomi terhadap negara tetangga. Kondisi ini mempengaruhi masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya adalah menjual telur penyu.

Desa Teluk Melano, Malaysia merupakan tempat potensial bagi masyarakat Desa

Temajuk untuk memasarkan telur penyu. Selain sebagai habitat penyu, Pantai Temajuk juga banyak dikunjungi orang untuk melakukan wisata. Bahkan, beberapa masyarakat Desa Temajuk sudah bekerja di bidang wisata, seperti penjual makanan dan minuman serta penyedia wisma penginapan.

Oleh karena itu, perlu ditetapkan kebijakan pengelolaan wilayah Pantai Paloh sebagai

area konservasi dan penetapan zona-zona di kawasan tersebut. Penetapan kebijakan dan rancangan area konservasi mengacu juga kepada Permen KP No. 30 Tahun 2010 mengenai Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan dan Zonasi, Permen KP No. 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Permen KP No. 2 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (CTC, 2015).

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pengelolaan wilayah pendaratan dan

peneluran penyu, seperti: 1. Pengumpulan data spasial ekologi 2. Sosialisasi (desa, kecamatan, kabupaten) 3. Penetapan batas luar calon area konservasi 4. Pembuatan zonasi dan rencana pengelolaan jangka panjang 5. Pembentukan badan pengelola 6. Penetapan area konservasi oleh Pemerintah Daerah dan Pusat 7. Pembuatan mekanisme pendanaan jangka panjang

Rekomendasi Kebijakan

1. Pemerintah daerah dan pusat perlu membangunan akses jalan dan sarana prasarana serta promosi untuk membangun kawasan Desa Temajuk.

2. Pemerintah daerah dan pusat dapat mendorong dan memfasilitasi masyarakat untuk beralih dari kegiatan ilegal menjual telur penyu ke kegiatan legal usaha di bidang wisata melalui pembinaan, pelatihan, dan pendampingan terkait kegiatan wisata.

3. Pemerintah daerah dan pusat perlu membuat penangkaran penyu. 4. Perlu diadakan pelatihan rencana pengelolaan area konservasi kepada masyarakat

sekitar Pantai Paloh. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Pantai bagian barat (segmen A) merupakan daerah yang disukai penyu untuk

bertelur dibandingkan pantai bagian timur (segmen B) dengan hotspot area berada pada segmen 3A. Hal ini dikarenakan pantai di bagian barat (segmen A) tersebut

Page 85: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

622 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

memiliki, (1) pantai yang lebih luas dibandingkan dengan bagian timur (segmen B); (2) kemiringan pantai yang landai sehingga memudah penyu untuk mendarat; (3) pasir sedang sehingga mempermudah penyu untuk bertelur; (4) vegetasi yang lebih banyak sehingga suhu dan kadar airnya lebih stabil (5) minimnya aktivitas manusia dibandingkan pada sisi timur (segmen B) yang sering menjadi jalur transportasi masyarakat dan pemukiman.

2. Karakteristik fisik di Pantai Paloh yang meliputi (suhu, kelembapan, lebar pantai, kelandaian pantai, tekstur pasir pantai) mempengaruhi banyaknya penyu mendarat menuju pantai dan membuat sarang. Di samping itu, tidak hanya faktor fisik tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik habitat lain seperti faktor biologi (vegetasi dan spesies lain) dan aktivitas sosial masyarakat.

3. Pantai Paloh belum memiliki upaya konservasi dan pengelolaannya. Indeks penurunan jumlah populasi penyu di Pantai Paloh sebagai indikator perlu dibentuknya kawasan konservasi di daerah tersebut, baik oleh masyarakat maupun Pemerintah Daerah dan Pusat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pemantauan ini tak terlepas dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak,

sehingga ucapan terima kasih yang tak terhingga diberikan kepada WWF-Indonesia Paloh Team yaitu Dwi Suprapti, Hendro Susanto, Agri Aditya, Tam, Jun, dan Andi atas bantuan selama penelitian ini berlangsung, serta dedikasi dan semangatnya melakukan pemantauan populasi penyu di Paloh sejak 2009 sehingga tulisan ini dapat tersusun. Terima kasih pula kepada Anggota Pokmaswas “Kambau Borneo” yang sudah bersama-sama berjuang melakukan upaya konservasi penyu di Paloh. DAFTAR PUSTAKA Bramantiya T. 2006. Studi Karakteristik Fisik Lingkungan Peneluran Penyu Hijau (Chelonia

mydas) di pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) di pantai Pancur-Marengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi Jawa Timur. FPIK UNDIP. 90 hlm.

Cahyani NKD. 2003. Perkembangan Embrio Penyu Sisik Pada Sarang Alami di Pantai Perancak Kab. Jembrana, Bali. Skripsi Fakultas Biologi UGM Yogyakarta.

Coral Triangle Centre. 2015. Rencana Zonasi di Kawasan Konservasi Perairan. Darmawijaya MI. 1997. Klasifikasi Tanah Dasar Teori bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana

Pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 622 hlm. Nuitja INS. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Institut Pertanian Bogor

Press. Bogor. Suprapti D. 2012. Status Populasi Penyu di Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas

Kalimantan Barat. (Report). Symthe RH. 1975. Vision in The Animal World, The Macmilion Press Ltd. London and

Basingtoke. UK. YAL (Yayasan Alam Lestari). 2000. Mengenal Penyu. Yayasan Alam Lestari dan Keidanren

Nature Conservation Fund (KNCF). Jepang.

Page 86: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

623 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAUT DI KP3K KEI KECIL DAN SEKITARNYA

Rafika Puspita Armya*, Rizala

aWWF-Indonesia

*email: [email protected]

ABSTRAK Kepulauan Kei Kecil adalah salah satu bagian dari Kabupaten Maluku Tenggara. Sumber daya laut yang melimpah digunakan masyarakat setempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Survei sosial ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K). Pelaksanan kegiatan survei sosial berlangsung pada bulan Februari-Mei 2016. Pengambilan data menggunakan metode survei cepat terintegrasi melalui pendekatan survei lapangan, wawancara dengan informan kunci, dan diskusi kelompok terarah terhadap tata kelola sumber daya laut di Kepulauan Kei Kecil. Pengambilan data dilakukan pada 19 desa yang terdiri dari 14 desa di dalam KKP3K dan 5 desa di luar KKP3K. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan perairan di Kei Kecil terdiri dari lokasi penangkapan (fishing ground) dan zona non tangkap (no take zone). Pemanfaatan sumber daya laut Kei Kecil diatur dalam peraturan formal dan informal, namun hingga saat ini peraturan formal yang diterapkan masih minim. Kesadaran masyarakat masih rendah serta terkikisnya budaya sasi laut menyebabkan pemanfaatan sumber daya tidak terkontrol. Pengelolaan wilayah laut harus diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir melalui revitalisasi kearifan lokal. KATA KUNCI: Konservasi, sumber daya laut, tata kelola ABSTRACT Kei Kecil Islands is part of Southeast Maluku Region. Kei Kecil Islands marine resource is main philar of local civilians economic. This social survey aims to obtain data and information on social, economic and cultural communities around the marine protected area (KKP3K) of Kei Kecil island. Social survey activities starts from February to May 2016. Data collection was conducted on 19 villages, 14 villages within KKP3K area and 5 villages outside KKP3K area. The results showed that the Kei Kecil marine area consists of fishing ground and no take zone. Utilization of Kei Kecil marine resources regulated in the formal and informal rules, but the formal regulation implementation is minimum. Low people awareness and disrupted local culture causing uncontrolled marine resource utilization. Management of marine areas and marine resources should be directed to coastal communities prosperity through local wisdom revitalization. KEYWORDS: Conservation, marine resources, management PENDAHULUAN

Kawasan konservasi memiliki peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi berfungsi sebagai penyedia jasa ekosistem, melindungi spesies yang terancam, dan mitigasi perubahan iklim (Dudley, 2008). Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan lautan adalah kawasan pesisir dan laut dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan (Soedharma, 2011). Di setiap kawasan konservasi laut, terdapat

Page 87: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

624 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

faktor-faktor biofisik, tata-kelola dan sosio-ekonomi, yang dapat mempengaruhi kinerja pengelolaan secara menyeluruh baik secara langsung maupun tak langsung.

Kepulauan Kei adalah salah satu kepulauan yang ada di Kabupaten Maluku Tenggara,

Provinsi Maluku yang memilik 66 pulau kecil. Tiga belas pulau telah berpenghuni, sedangkan 53 pulau lainnya tidak berpenghuni. Kawasan KP3K Pulau Kei, Pulau-Pulau, dan Perairan Sekitarnya telah dicadangkan pada tahun 2012. Pencadangan KKP3K Pulau Kei, Pulau-Pulau, dan Perairan Sekitarnya seluas 150.000 ha telah diresmikan melalui SK Bupati yang dikeluarkan pada tanggal 4 Mei 2012. Rencana zonasi dan pengelolaan KKP3K Pulau Kei Kecil, Pulau-Pulau, dan Perairan Sekitarnya telah ditetapkan melalui SK Menteri No.6 Tahun 2016.

Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat Kepulauan Kei Kecil tinggal di daratan serta pulau-pulau kecil. Masyarakat

setempat memiliki ketergantungan alamiah terhadap sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan subsisten maupun produksi untuk pasar. Pendayagunaan potensi sumber daya laut semakin berkembang, baik skala lokal maupun mancanegara. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengeksplorasi sumber daya laut tersebut.

Selain potensi kenekaragaman hayati dan perikanan, ada beberapa objek wisata yang

dapat dijadikan tempat untuk berlibur dan menikmati keindahan pantai dan alam yang sangat indah di Kei Kecil. Masyarakat Kei masih mengacu pada aturan-aturan dalam adat dalam kehidupan sehari-hari dan praktik-praktik pengelolaan dan pemanfaatan wilayah perairan (Soselissa et al., 2013).

Kompleksitas yang terdapat pada kegiatan perikanan menjadikan para pengelola

perikanan terus berinovasi berbagai metode untuk mendapatkan cara terbaik dalam melakukan kegiatan pengelolaan terutama di wilayah perairan laut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data tentang kondisi sosial-ekonomi masyarakat sehingga dapat menggambarkan pola penggunaan sumber daya laut (SDL), tata kelola SDL, serta kesadaran masyarakat terhadap fungsi KKP3K Kei Kecil dan sekitarnya.

METODE PENELITIAN Lingkup Penelitian

Pelaksanan kegiatan Survei Sosial Ekonomi di sekitar KKP3K Pulau Kei, pulau-pulau dan perairan sekitarnya dilakukan pada bulan Februari-Mei 2016. Lokasi pengambilan data dilakukan di 19 desa yang terdiri dari 14 desa KKP3K yaitu Debut, Ngilngof, Selayar, Lairngangas, Watngil, Ohoidertutu, Ohoiren, Warwut, Madwaer, Teotat, Madwat, Letvuan, Ur Pulau, dan Pulau Warbal dan 5 desa di luar KKP3K yaitu Abean, Rumaat, Wain, Sathean, dan Mastur Lama.

Page 88: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

625 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1. Peta Desa Sampling di dalam dan di luar KKP3K Kei Kecil dan Sekitarnya

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Pengambilan data menggunakan metode survei cepat terintegrasi melalui pendekatan survei lapangan, melakukan diskusi kelompok terarah (FGD) dan wawancara informan kunci (key informan interview). Data kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Mata Pencaharian Masyarakat

Analisis survei rumah tangga menunjukkan tentang kesejahteraan individu manusia yang tinggal di dalam KKP3K dan di luar KKP3K. Sebagian besar rumah tangga di dalam KKP3K (28%) dan di luar KKP3K serupa (47%) bergantung pada pertanian sebagai pekerjaan utama mereka. Di selayar (100%), Madwat (60%) dan, Ngilngof (50%), kebanyakan mengindikasikan penangkapan ikan sebagai hasil tangkapannya. Sangat sedikit rumah tangga mengandalkan tenaga kerja upahan sebagai pekerjaan utama mereka di Indonesia baik di dalam KKP3K (7%) atau di luar KKP3K Kei Kecil (15%). Potensi Sumber Daya KKP3K

Potensi sumber daya yang terdapat di pulau kecil akan tergantung pada proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda, dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi spesifik dan spesies endemik serta keanekaragaman yang tipikal (Bengen, 2002).

Perairan laut di 19 desa survei sangat berlimpah sumber daya laut dan ditemukan

berbagai jenis spesies penting. Spesies-spesies penting yang ditemukan di 18 desa dari 19 desa survei adalah terdiri dari ikan-ikan pelagis dan ikan-ikan demersal. Ikan-ikan pelagis yang ditemukan di perairan Kei Kecil sering menjadi sasaran tangkapan nelayan.

Dari 19 desa sampel, 17 desa menyatakan bahwa spesies-spesies penting seperti :

teripang, kepiting, lobster, mutiara laut, rumput laut, penyu belimbing, gurita, lola, lat, siput

Page 89: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

626 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

mata tujuh, dan buaya pada tahun 1980-an masih ditemukan dalam jumlah yang banyak. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, jumlah spesies-spesies ini mulai berkurang. Pada 2 desa sampel menyatakan jumlah ikan masih tetap namun spesies yang lain seperti teripang, lola dan mata tujuh (abalon) sudah jarang ditemukan. Sementara, di 5 desa masih ditemukan adanya penyu walaupun jumlahnya semakin sedikit. Di 14 desa lainnya menyatakan bahwa penyu dahulu masih ada dan mudah ditangkap namun sekarang ini sudah tidak ditemukan lagi.

Fenomena ini menjadi salah satu dampak dari eksploitasi sumber daya berlebih.

Masyarakat di sekitar KKP3K Kei Kecil masih banyak yang melakukan kegiatan perikanan tangkap secara destruktif seperti menggunakan bahan peledak dan alat tangkap yang merusak sehingga menyebabkan kelangkaan atau kerusakan habitat yang ada. Kawasan Penting

Kawasan-kawasan perairan penting yang ada di Kei Kecil merupakan lokasi penangkapan ikan, terdiri dari : perairan Nuhvit, Tangwain, Abouvan (arat), Hoat Sorbai, Metin Laai, Pulau Sepuluh dan sekitarnya, Metwair, Meti Silat, Watlus, Metnuhuta, Metver, Ngiar Fanan Boh (depan Pulau Witir), Hoatran, Pulau 5, dan Mad Sombarlus.

Gambar 2. Peta Pemanfaatan di Perairan Kei Kecil Kab. Maluku Tenggara

Kawasan-kawasan ini merupakan kawasan yang paling sering didatangi para nelayan

di 19 desa survei untuk melalukan operasi penangkapan ikan. Menurut hasil survei, kawasan-kawasan sudah menjadi tujuan penangkapan ikan sejak dulu. Masyarakat telah mengetahui keberadaan kawasan ini secara turun-temurun. Daerah warna hijau pada peta merupakan kawasan penting yang sering dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan atau yang disebut dengan daerah penangkapan ikan (DPI).

Beberapa kawasan lainnya pada peta adalah kawasan yang dilarang melakukan

kegiatan penangkapan ikan (no take zone) dengan warna ungu, dan kawasan budidaya dengan warna merah muda. Area yang menjadi area penangkapan merupakan area utara Pulau Kei Kecil.

Page 90: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

627 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Desa-desa yang termasuk dalam KKP3K merupakan kawasan yang perlu dilindungi karena termasuk kawasan penting. Sebagian besar kondisi terumbu karang mulai mengalami kerusakan padahal terumbu karang sebagai tempat berlindungnya ikan-ikan maupun biota laut lainnya. Sedangkan desa-desa di luar KKP3K merupakan kawasan bebas bagi masyarakat dari dalam maupun luar dapat memanfaatkan hasil laut untuk keberlanjutan hidup dengan satu keyakinan bahwa wilayah laut tidak boleh dirusak.

Penataan zonasi kawasan konservasi laut belum cukup optimal karena kelengkapan

data dan informasi dasar dari potensi sumber daya pesisir yang masih terbatas. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan pembagian kawasan atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu perlakuan tertentu di masing-masing zona tersebut.

Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan peruntukkan potensi

sumberdaya alam hayati dan ekosistem pada setiap bagian kawasan (Sriyanto, 1998). Kawasan penting yang sudah terbentuk di KKP3K Kei Kecil menjadi salah satu alat untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) keanekaragaman hayati perairan laut . Tata Kelola Kawasan Konservasi

Pengelolaan dan pemanfaatan laut merujuk pada tata aturan, tata nilai yang mengatur tentang posisi, fungsi, dan peran setiap anggota masyarakat sesuai kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat oleh masyarakat adat Kei yang mendiami wilayah tersebut. Pemanfaatan sumber daya laut di suatu wilayah tidak hanya dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat yang mendiami wilayah tersebut tetapi juga melibatkan kelompok masyarakat tertentu di luar wilayah teritorial untuk pengambilan hasil laut. Aturan-aturan yang mengatur pengelolaan laut diperlukan untuk mengikat masyarakat di dalam dan di luar KKP3K dalam meminimalisir pemanfaatan berlebih.

Terdapat dua komponen penting untuk menunjang keberhasilan peraturan pada

kawasan konservasi pesisir dan laut, yaitu adanya aturan formal dengan melibatkan pemerintah dan stakeholder serta aturan informal dengan melibatkan aturan adat yang telah disepakati oleh masyarakat setempat. Aturan pemerintah yang bersifat mengikat pengguna dalam pemanfaatan laut saat ini belum optimal. Oleh sebab itu, masyarakat hanya menggunakan aturan adat yang sifatnya tidak tertulis untuk mengatur pemanfaatan laut serta hasilnya.

Berdasarkan hasil survei di lapangan, peraturan perlindungan KKP3K di Kei Kecil dan

sekitarnya didominasi oleh aturan adat. . Kearifan lokal bertujuan untuk menjaga sinergitas antara tiga unsur kehidupan yaitu Tuhan, alam, dan manusia serta menjamin pendistribusian manfaat sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Peraturan pemerintah belum optimal karena masih dalam proses diskusi dan sosialisasi mengenai pemanfaatan sumber daya laut secara baik dan berkelanjutan oleh pihak-pihak terkait seperti Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara, Kepala-Kepala Ohoi Kei Kecil, Badan Saniri Ohoi Kei Kecil, WWF-Indonesia, dan lainnya.

Setiap desa dalam KKP3K telah mengetahui bahwa wilayah mereka termasuk dalam

kawasan yang dilindungi karena ketersediaan berbagai habitat dan spesies yang dilindungi. Aturan adat yang berkaitan dengan sasi, pelarangan pengambilan habitat dan spesies tertentu sudah diatur namun tidak secara tertulis oleh pemangku kepentingan di desa seperti kepala ohoi dan BSO (Badan Saniri Ohoi). Konflik baru muncul ketika aturan sasi yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat Kepulauan Kei Kecil mulai hilang dalam 10 tahun terakhir dikarenakan penetapan sasi dilakukan oleh pemangku adat tidak didukung oleh masyarakat.

Page 91: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

628 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Mekanisme kearifan lokal dalam mengelola sumber daya terlihat sebagai dua paradigma yang tidak mungkin disatukan. Revitalisasi kearifan lokal penting dilakukan agar industrialisasi kelautan dan perikanan tidak menjadikan masyarakat menjadi teralienasi dari jati dirinya namun menjadi industrialisasi yang humanis. Sebagai rekomendasi, pemerintah dapat memasukkan nilai-nilai kearifan lokal dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal terutama pada pendidikan dasar dan menengah. Praktek dan nilai-nilai sasi pada masyarakat perlu dikembangkan sebagai bahan dalam membuat tata aturan formal dalam pengelolaan sumberdaya. Pembentukan aturan tersebut hendaknya melibatkan seluruh pemangku kepentingan tak terkecuali masyarakat.

KESIMPULAN

Keberhasilan pengelolaan KKP3K Kei Kecil dan sekitarnya ditunjang oleh adanya peraturan formal dan informal (aturan adat). Aturan formal yang bersifat mengikat dalam pemanfaatan laut masih belum optimal. Selama ini, masyarakat hanya berpedoman pada aturan adat yang sifatnya tidak tertulis untuk mengatur pemanfaatan sumber daya laut serta hasilnya. DAFTAR PUSTAKA Dudley Nigel. 2008. Guidelines For Applying Protected Areas Management Categories.

IUCN. Gland, Swiss Sriyanto. 1998. Lokakarya Kepala Balai Dan Kepala Unit Lido Taman Nasional se-

Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan U.S. Agency for International Development. Bogor.

Bengen DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Cetakan Kedua. Bogor: Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.

Soselisa HS, Sihasale WR, Soselisa PS, Litaay S Ch, dan Namsa TT. 2013. Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kei Kecil Bagian Barat Kabupaten Maluku Tenggara.

Page 92: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

629 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

PEMODELAN NUMERIK SEBARAN DO ESTUARI WONOREJO, SURABAYA DAN DAMPAKNYA TERHADAP EKOSISTEM PERAIRAN ESTUARI

Wazirotus Sakinaha,*, Suntoyob

aUniversitas Abdurachman Saleh

bInstitut Teknologi Sepuluh Nopember

*email: [email protected]

ABSTRAK

Estuari Wonorejo merupakan estuari yang cukup besar di Surabaya yang juga merupakan kawasan konservasi. Namun, banyaknya konversi lahan mangrove menjadi tambak hingga pencemaran yang pekat di sungai sebelah estuari Wonorejo memunculkan masalah kualitas air terutama untuk parameter Dissolved Oxygen (DO). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran DO di muara sungai Wonorejo, mengetahui apakah parameter kualitas air di muara sungai Wonorejo masih memenuhi standar baku mutu air laut, dan mengetahui pengaruhnya di muara sungai Wonorejo terhadap ekosistem estuari. Model hidrodinamika dan kualitas air dengan menggunakan perangkat lunak MIKE 21 modul hidrodinamika dan ECO Lab digunakan untuk meneliti sebaran DO di estuari Wonorejo selama satu bulan pada musim kemarau. Validasi dilakukan dengan menggunakan pengambilan sampel DO di 10 lokasi sepanjang estuari Wonorejo pada musim yang sama. Selanjutnya, dilakukan analisis pengaruhnya terhadap ekosistem perairan estuari. Hasil yang diperoleh adalah konsentrasi DO memiliki rentang 5,26 - 5,72 mg/L saat pasang dan 5,027 - 5,65 mg/L saat surut. Setelah satu bulan, sebaran DO di muara memiliki konsentrasi yang paling tinggi dibandingkan area sungai dan laut dengan konsentrasi yang menurun menjadi 5,536 mg/L. Berdasarkan literatur, konsentrasi ini dapat menyebabkan pertumbuhan udang terganggu. Konsentrasi DO tersebut masih belum melewati batas baku mutu untuk biota laut yang telah ditetapkan oleh KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004. Dalam upaya perbaikannya diperlukan optimalisasi peran pemerintah daerah dan rehabilitasi mangrove yang sesuai prosedur di area muara sungai. KATA KUNCI: DO, estuari Wonorejo, MIKE 21 ABSTRACT Wonorejo river estuary is a wide estuary in Surabaya. It becomes mangrove conservation area. But, many land conversion from mangroves to ponds up to the dense pollution on the river neighbour make water quality issues especially for DO in that water. Based on this situation, the aim of this study is to find distribution of DO in Wonorejo river estuary, to know that water quality standard based on the quality standard criteria, and to know the effect of DO Wonorejo river estuary into estuarine ecosystem. A hydrodynamic and water quality model with MIKE 21 Hydrodynamics and ECO Lab module are used to examine distribution of water quality parameters in Wonorejo river estuary in one month at dry season. Validation used DO measurement in 10 sites along Wonorejo estuary at same season. Then, analyze the impact into estuarine ecosystem was used. DO concentration has interval 5,26 - 5,72 mg/L at high tide and 5,027 - 5,65 mg/L at low tide. After one month, DO in estuary has the highest concentration 5,536 mg/L. Based on literature, this concentrations can make shrimps growth bothered. But, this concentration is still not exceeding from quality standard for marine biota in Environment Ministry Regulation Number 51/2004. Optimizing the role of Local Government and mangrove rehabilitation according to procedures in the estuary area. KEYWORDS: DO, Wonorejo estuary, MIKE 21

Page 93: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

630 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

PENDAHULUAN

Estuari Wonorejo merupakan salah satu estuari besar yang ada di Surabaya dengan ekosistem yang sangat beragam, dan populasi terbesarnya adalah mangrove. Bagi bermacam biota perairan estuari, mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenile, dan berkembang biak. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai penyerap logam berat dan pestisida yang mencemari laut (Mukhtasor, 2007).

Ekosistem perairan yang payau seperti estuari Wonorejo dengan populasi mangrove di dalamnya, sangat cocok untuk membuat tambak terutama tambak udang. Karena itulah, banyak alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak di sekitar estuari Wonorejo. Air buangan dari tambak-tambak tersebut akan mengalir di sekitar estuari Wonorejo.

Permasalahan lain adalah munculnya banyak perumahan baru di dekat kawasan konservasi mangrove Wonorejo. Hal ini membuat kondisi lingkungan semakin memburuk karena adanya penebangan beberapa pohon mangrove untuk keperluan perumahan (Effendi, 2015). Mangrove memiliki banyak bakteri dekomposer yang menghasilkan banyak bahan organik terlarut, sehingga berkurangnya jumlah mangrove akan berdampak terhadap turunnya konsentrasi parameter dari kualitas air (Direktorat pesisir dan lautan, 2009).

Kualitas air memiliki baku mutu yang merupakan referensi untuk menentukan apakah air tersebut aman ataukah tercemar. Salah satu parameter kualitas air adalah DO (Dissolved Oxygen). Parameter kualitas air ini bersifat dinamis dan mampu mengindikasi keadaan lingkungan saat itu. Seperti pada penelitian sebelumnya, Mishra et al. (2015) telah mengevaluasi parameter kualitas air dengan variasi bulanan dan musiman dan hasil yang diperoleh adalah adanya perbedaan yang signifikan di setiap musim. Pada tahun 2011, DO di kali Wonokromo dengan titik pengambilan sampel di jembatan Merr yang cukup dekat dan masih satu sungai dengan perairan Wonorejo memiliki konsentrasi 7,4 mg/L di bulan Agustus (BLH, 2011). Namun pada tahun 2012, DO menurun menjadi 7,36 mg/L (BLH, 2013).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sebaran DO pada estuari Wonorejo dan mengetahui pengaruhnya terhadap ekosistem perairan estuari. METODE PENELITIAN

Lokasi pemodelan terletak di Wonorejo estuari pada 7o15’19,60” - 7o17’13,25” LS

dan 112o48’35,69” - 112o48’40,72” BT. Pengukuran DO di 10 titik di lapangan dilakukan pada bulan Agustus 2015, yaitu pada musim kemarau sebagai validasi model yang telah dijelaskan pada Sakinah et al. (2017).

Lokasi pemodelan dan pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 1.

Selanjutnya pengumpulan data angin, pasang surut, debit sungai, kecepatan arus, peta bathimetri juga diperlukan untuk bahan melakukan pemodelan dengan Mike 21. Analisis sebaran DO dilakukan dengan pemodelan menggunakan software Mike 21 dengan dua modul, yaitu hidrodinamika, dan eco-Lab.

Page 94: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

631 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1. Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel Sumber: Google Maps, 2016

Metodologi Model

Metodologi model dengan Mike 21 ini, seperti pada Suntoyo et al. (2015) dan Suntoyo et al. (menunggu publikasi dari IOP Publishing), data pasang surut digunakan sebagai kondisi batas di batas timur, utara, dan selatan. Sedangkan data debit sungai untuk kondisi batas barat, dengan data debit yang diperoleh dari Jasa Tirta Surabaya pada musim kemarau tahun 2015 sebesar 0,15 kg/m3. Simulasi model dilakukan untuk satu bulan (720 jam) dengan interval time step adalah 3600 detik.

Gambar 2. Kondisi Batas Pemodelan dan Data Bathimetri

Validasi Model

Pengukuran DO pada titik 1, 6, 7, dan 10 (Sakinah et al., 2017) digunakan untuk memvalidasi hasil pemodelan. Titik 1 mewakili sisi barat, titik 6 untuk sisi timur, titik 7 untuk sisi utara, dan titik 10 untuk sisi selatan. Perbandingan serta persentase eror antara hasil pengukuran dan hasil pemodelan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Validasi Konsentrasi DO

Letak Hasil Pengukuran (mg/L) Hasil Pemodelan (mg/L) Error (%)

Titik 1 5,4 5,398 0,04

Titik 6 5,4 5,444 0,82

Titik 7 5,7 5,469 4,05

Titik 10 5,6 5,59 0,02

Page 95: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

632 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Sedangkan untuk model hidrodinamika dilihat dari elevasi muka air laut yang diperoleh dari data Dishidros-AL (2015) dan hasil simulasi pada titik ke-6, root mean square error (RMSE) adalah 0,01 dan persentase eror absolut 0,04%. Kalibrasi lainnya menggunakan model hidrodinamika adalah dengan data arus yang diperoleh dari pengukuran dengan acoustic Doppler current propeller (ADCP) dan hasil simulasi pada titik 6, root mean square error (RMSE) adalah 0,015 dan persentase eror absolut 27,02%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil Simulasi Hidrodinamika

Saat pasang tertinggi, muka air mencapai 2,53 m dengan kecepatan arus 0,045 m/s di laut, 0,017 di muara, dan 0,003 m/s di sungai, yang terjadi pada time step ke-203 pada pemodelan, dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara saat surut terendah, tinggi muka air adalah 0,32 m dengan kecepatan arus 0,051 m/s di laut, 0,02 m/s di muara, dan 0,017 m/s di sungai, yang terjadi pada time step ke-160 dari pemodelan.

(a) (b)

Gambar 3. (A) Kondisi Arus pada Saat Pasang, (B) Kondisi Arus pada Saat Surut

b. Hasil Simulasi ECO-Lab

Sebaran DO saat pasang dengan konsentrasi terendah di pesisir dekat muara

sebesar 5,26 mg/L dan konsentrasi tertinggi berada di laut dengan besar 5,72 mg/L, yang dapat dilihat pada Gambar 4. Sedangkan saat surut, konsentrasi terendah di sungai sebesar 5,061 mg/L dan konsentrasi tertinggi di laut mencapai 5,65 mg/L. Terdapat perbedaan konsentrasi DO ketika pasang dan ketika surut, yaitu konsentrasi DO ketika pasang menjadi lebih tinggi dibandingkan ketika surut.

Fenomena ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pawar (2013), yang menunjukkan konsentrasi DO pada saat surut adalah 4,71 mg/L dan pada saat pasang meningkat menjadi 5,84 mg/L. Menurut Pawar dan Kulkarni (2007) dalam Pawar (2013), meningkatnya konsentrasi DO ketika pasang dikarenakan pengaruh pasang surut dan adanya pencampuran level oksigen yang lebih tinggi pada daerah pantai. Keadaan pasang

0

1

2

3

Tin

ggi P

asu

t (m

)

Waktu (Tanggal dan Jam)

DISHIDROS-ALpasang

surut

surut

Page 96: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

633 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

juga menyebabkan turunnya temperatur, sehingga daya larut oksigen menjadi semakin tinggi.

Gambar 4. (A) Kondisi DO Pada Saat Pasang, (B) Kondisi DO Pada Saat Surut

Pemodelan dilakukan dengan 720 time step dan interval 1 jam. Banyaknya time step

menjelaskan bahwa pemodelan dilakukan untuk prediksi sebaran kualitas air selama satu bulan. Gambar 5 menunjukkan sebaran DO pada time step terakhir.

Gambar 5. Sebaran DO Setelah Satu Bulan

Setelah satu bulan, sebaran DO menunjukkan bahwa area di sepanjang sungai yang menuju muara memiliki konsentrasi tertinggi dibandingkan di laut maupun area sungai yang berada di dalam. Namun secara keseluruhan, dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya, setelah satu bulan konsentrasi DO terjadi penurunan.

Rata-rata konsentrasi DO pada time step ke-1 adalah 5,581 mg/L, namun menjadi turun hingga 5,536 mg/L pada time step terakhir. Fenomena tersebut menjelaskan bahwa dari waktu ke waktu, konsentrasi DO di wilayah estuari Wonorejo mengalami penurunan.

Kondisi DO di laut estuari Wonorejo lebih rendah daripada muara maupun sungai yang memiliki salinitas lebih kecil karena merupakan pencampuran antara air tawar dari sungai dan air asin dari laut. Untuk memperjelas perbedaan konsentrasi DO di sungai, muara, dan laut, maka perbedaan konsentrasi DO di ketiga tempat tersebut serta perbandingannya dengan pasang surut pada waktu yang sama dapat dilihat grafik yang disajikan pada Gambar 6.

Page 97: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

634 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 6. Perbandingan Sebaran DO di Sungai, Muara, dan Laut dengan Pasang Surut

Grafik pada Gambar 6 menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi DO di sungai,

muara, dan laut perairan estuari Wonorejo. Pada grafik tersebut, terlihat bahwa konsentrasi DO di sungai lebih rendah dari waktu ke waktu dibandingkan dengan konsentrasi DO di muara dan laut. Namun, pada waktu terakhir, menjadi lebih tinggi daripada konsentrasi DO di laut. Konsentrasi DO dari ketiga tempat tersebut umumnya memiliki pola yang sama dengan fluktuasi pasang surutnya.

c. Dampak terhadap Ekosistem Perairan Estuari

Baku mutu DO untuk biota laut sesuai dengan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004

adalah lebih dari 5 mg/L, yang berarti biota laut masih dapat hidup dengan baik selama konsentrasi DO di perairan tidak kurang dari 5 mg/L. Berdasarkan hasil simulasi pemodelan kualitas air yang telah dilakukan dengan menggunakan Mike 21, konsentrasi DO secara umum masih menunjukkan diatas 5 mg/L.

Dari hasil tersebut, maka dapat dikatakan kondisi DO di perairan estuari Wonorejo masih tergolong aman saat ini. Namun konsentrasinya yang semakin menurun dengan nilai yang berada di ambang batas baku mutu (masih dalam angka 5 mg/L) menjadi ancaman bagi ekosistem perairan estuari Wonorejo.

Tabel 2 menunjukkan beberapa spesies biota laut yang hidup di estuari Wonorejo berdasarkan data dari BLH (2013) dengan batas toleransinya terhadap DO dari berbagai sumber. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa dengan kondisi DO di perairan estuari Wonorejo saat ini, beberapa biota laut masih dalam kondisi aman dan mampu bertahan. Namun, untuk udang putih maupun udang windu, kondisi tersebut sudah termasuk kondisi yang kritis.

Tabel 2. Batas Toleransi Biota Laut Estuari Wonorejo Terhadap DO

Nama Umum Nama Ilmiah Konsentrasi DO

(mg/L)

Bandeng Chanos chanos 4 – 7 1

Kakap putih Lates calcarifer 3 – 7 1

Ketang ketang Scatophagus argus 4 – 7 1

Udang windu Penaeus monodon 5 – 10 1

Udang putih Penaeus merguiensis 5 – 10 1

Page 98: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

635 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Nama Umum Nama Ilmiah Konsentrasi DO

(mg/L)

Kepiting bakau Scylla serrata 4,5 – 6 2

Kerang hijau Perna viridis 3 – 7 1

Kerang darah Anadara granosa 3 – 6 1

Sumber: 1 Kordi, et al., 2007 2 Tim Karya Tani Mandiri, 2012

Menurut Boyd (1995) dalam Kordi et al. (2007), konsentrasi DO sebesar 1 mg/L

hingga 5 mg/L akan menyebabkan pertumbuhan udang terganggu bila berlangsung terus-menerus. Begitu pula dengan pernyataan nelayan di estuari Wonorejo yang menyebutkan mulai berkurangnya udang putih sebagai hasil tangkapan mereka, sedangkan udang windu justru hanya dapat dipanen dari hasil tambak.

Begitu pula dengan data dari Dinas Pertanian Surabaya, Divisi Kelautan dan Perikanan (2015), pada tahun 2006 hingga 2009 masih terdapat hasil tangkap udang lainnya selain udang putih, termasuk udang barong. Namun, sejak tahun 2010 hingga saat ini, hasil tangkap laut berupa udang, hanyalah udang putih dengan jumlah tangkapan yang terus menurun. Pada tahun 2014, hasil tangkap udang putih masih sebanyak 320,87 ton untuk wilayah Surabaya dan menurun pada tahun 2015 menjadi 300,96 ton. Bahkan, meskipun bandeng memiliki batas toleransi terhadap DO yang lebih baik dibandingkan udang, kini sudah sangat jarang ditemukan di perairan estuari Wonorejo secara bebas.

Beberapa biota laut yang masih mampu bertahan dan cukup banyak ditemukan di perairan estuari Wonorejo antara lain belanak, kerang, dan kepiting. Menurut Kannappan et al. (2013), berdasarkan penelitian yang telah mereka lakukan, maka diketahui bahwa belanak (Liza subviridis) dan kepiting bakau (Scylla serrata) masih mampu bertahan pada perairan dengan konsentrasi DO sebesar 3,29 – 5,44 mg/L. Batas toleransi terhadap DO yang cukup luas inilah yang membuat spesies-spesies tersebut masih mampu hidup pada perairan estuari Wonorejo dengan kondisi DO yang hampir di ambang batas baku mutu.

KESIMPULAN

Pemodelan numerik dengan Mike 21 menghasilkan sebaran DO dengan konsentrasi yang semakin menurun dari waktu ke waktu dimana pada saat pasang lebih tinggi daripada surut dengan rentang 5,26 mg/L – 5,72 mg/L dan surut yang memiliki konsentrasi 5,027 mg/L – 5,65 mg/L. Setelah satu bulan, sebaran DO di muara memiliki konsentrasi yang paling tinggi dibandingkan area sungai dan laut dengan konsentrasi yang menurun menjadi 5,536 mg/L. Konsentrasi DO tersebut masih cukup aman karena belum melewati batas baku mutu untuk biota laut yang telah ditetapkan oleh KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004, namun cukup menyebabkan masa pertumbuhan udang menjadi terganggu.

Dalam upaya perbaikan konsentrasi DO di wilayah estuari Wonorejo ini perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang penanganan limbah secara benar, penerapan tambak silvofishery, optimalisasi peran pemerintah daerah dalam perbaikan kualitas air, adanya berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian kawasan lindung, dan rehabilitasi mangrove yang sesuai prosedur di area muara sungai. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memberikan data yang lebih lengkap dengan simulasi model tidak hanya dalam satu musim saja sehingga hasil yang diperoleh menjadi lebih akurat.

Page 99: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

636 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan atas izin penggunaan lisensi Mike 21/3 untuk penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA BLH Surabaya. 2011. Status Lingkungan Hidup Daerah, BLH Surabaya, Surabaya. BLH Surabaya. 2013. Profil Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem Kota Surabaya, BLH

Surabaya, Surabaya. Direktorat pesisir dan lautan. 2009. Modul Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil secara Terpadu, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Effendi Z. 2015. Penebangan Mangrove untuk Jembatan Perumahan Disoal,

http://m.detik.com/news/berita-jawa-timur/3016533/penebangan-mangrove-untuk-jembatan-perumahan-disoal#

Kannappan Tand Karthikeyan MM. 2013. “Diversity of Fishes in Relation to Physcio-Chemical Properties of Manakudy Estuary, Southwest Cost of India”, International Journal of Biodiversity and Conservation, Vol. 5, No. 7, hal. 396-407.

Kordi MGH and Tancung AB. 2007. Pengelolaan Kualitas Air-dalam Budidaya Perairan, Rineka Cipta, Jakarta.

Mishra P, Panda US, Pradhan U, Kumar CS, Naik S, Begum M, and Ishwarya J. 2015. “Coastal Water Quality Monitoring and Modelling off Chennai City”, Procedia Engineering, Vol. 116, hal. 955-962

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Pawar PR. 2013. “Monitoring of Impact of Anthropogenic Inputs on Water Quality of

Mangrove Ecosystem of Uran, Navi Mumbai, West Coast of India”, Marine Pollution Bulletin, Vol. 75, hal. 291 – 300.

Sakinah W, Suntoyo, and Mukhtasor. 2017. “Impact Identification of Estuarine Water Quality to Marine Biota: A Case Study in Wonorejo Estuary, Indonesia”, Applied Mechanics and Materials, vol. 862, hal. 96-101.

Suntoyo, Ikhwani H, Zikra M, Sukmasari NA, Angraeni G, Tanaka H, Umeda M, and Kure S. 2015. “Modelling of the COD, TSS, Phospate, and Nitrate Distribution due to the Sidoardjo Mud Flow into Parang River Estuary”, Procedia Earth and Planetary Science, Vol. -, hal. 146-153.

Page 100: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

637 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

STATUS POPULASI SUMBER DAYA KIMA (Bivalvia, Cardiidae, Tridacninae) DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI

Muhammad Nur Findraa,d*, Isdradjad Setyobudiandib, Nurlisa A. Butetb, Dedy Duryadi Solihinc

aProgram Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Perairan Institut Pertanian Bogor (Alumni)

bDepartemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK Institut Pertanian Bogor cDepartemen Biologi, FMIPA Institut Pertanian Bogor

dAquatic Study Club of Makassar (ASCM)

*email: [email protected]

ABSTRAK Kima merupakan salah satu sumber daya hayati perairan pesisir yang populasinya telah menurun sehingga memerlukan upaya pengolaan. Pengelolaan sumber daya perairan membutuhkan informasi dari berbagai aspek. Penelitian ini bertujuan mengkaji populasi kima di perairan Taman Nasional Wakatobi yang meliputi komposisi jenis, kepadatan populasi, dan variasi ukurannya. Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem zonasi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2015 di sekitar Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, dan Tomia menggunakan transek kuadrat. Penentuan lokasi pengamatan secara purposive sampling yang didasarkan pada keberadaan kima.Terdapat empat jenis kima di lokasi penelitian, yang terdiri atas genus Tridacna dan Hippopus, yaitu T. crocea, T. squamosa, T. maxima dan H. hippopus. Kepadatan populasi yang rendah ditemukan pada zona pemanfaatan (kawasan P. Wangi-wangi) sedangkan kepadatan populasi yang lebih tinggi umumnya ditemukan pada zona pariwisata (sebagian kawasan P. Kaledupa dan P. Tomia). Di kawasan Wangi-wangi, kepadatan populasi T. crocea, T. maxima, T. squamosa dan H. hippopus masing-masing adalah 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 dan 1 ind/750m2, di kawasan Kaledupa masing-masing sebanyak 11 ind/750m2, 5 ind/750m2, 11 ind/750m2 dan 5 ind/750m2. Sedangkan di kawasan Tomia, masing-masing sebanyak 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 dan 28 ind/750m2. Ukuran kima yang ditemukan bervariasi antar jenis dan lokasi penelitian. Kebanyakan kima yang ditemukan masih berukuran kecil sedangkan yang besar sudah menunjukkan kelangkaan. Perbedaan kepadatan populasi dan ukuran kima yang ditemukan diduga berkaitan dengan masih adanya eksploitasi oleh masyarakat lokal pada zona pemanfaatan. Hal ini mengindikasikan bahwa zonasi pengelolaan kawasan konservasi turut mempengaruhi keberadaan populasi kima di kawasan tersebut. KATA KUNCI: Kima, kepadatan populasi, komposisi jenis, variasi ukuran, Taman Nasional Wakatobi

ABSTRACT

Giant clam is one of the coastal waters resources whose population has declined, so it is requiring management. Management of aquatic resources requires information from various aspects. This study aims to examine the population of giant clam in the Wakatobi National Park waters which includes species composition, population density and size variation. Wakatobi National Park is one of the conservation area managed by zoning system. The research was conducted in March-May 2015 around Wangi-Wangi Island, Kaledupa Island, and Tomia Island using square transect. Observation areas were determinated by purposive sampling based on the existence of giant clam. There were four species of clams in the study sites consisting of genus Tridacna and Hippopus, i.e., T. crocea, T. squamosa, T. maxima and H. hippopus. Low population densities were found in the utilization zone (Wangi-wangi Island area), whereas the higher population densities were commonly found in tourism zones (parts of Kaledupa Island and Tomia Island). In the Wangi-wangi area the

Page 101: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

638 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

population density of T. crocea, T. maxima, T. squamosa, and H. hippopus were 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2, and 1 ind/750m2, respectively, in the Kaledupa region were 11 ind/750m2, 5 ind/750m2, 11 ind/750m2, and 5 ind/750m2, respectively, while in Tomia area were 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2, and 28 ind/750m2, respectively.The size of the clams found varied between species and research sites, most of which were found to be small in size while large ones were scare. Differences in population density and size of giant clams might be due to exploitation of these resources by local communities in the utilization zone. It indicates that zoning of conservation area management also influences the existence of giant clam population in the area. KEYWORDS: Giant clam, species composition, population density, size variation, Wakatobi National Park PENDAHULUAN

Kima adalah kelompok hewan kerang yang hidup di laut tropis, terutama tersebar luas di kawasan Indo-Pasifik. Biasanya ditemukan di daerah terumbu karang dengan sebaran yang berbeda-beda (Copland & Lucas, 1988; Knop, 1996; Bin-Othman et al. 2010). Perairan Indonesia adalah salah satu wilayah penyebaran kima, di antaranya di perairan Kepulauan Seribu dan Manado (Yusuf et al., 2009), beberapa tempat di Wakatobi (Findra 2010), di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur (Tisera et al., 2012), serta masih banyak wilayah perairan lain yang belum dilaporkan.

Di perairan Indonesia, terdapat tujuh dari sebelas jenis kima yang ada di dunia, yaitu

Tridacna gigas, T. derasa, T. squamosa, T. maxima, T. crocea, Hippopus hippopus dan H. porcellanus (Mudjiono, 1988; Hernawan, 2012). Empat jenis lainnya yaitu T. tevoroa (Lucas, Ledua & Braley, 1991), T. rosewateri (Sirenko & Scarlato, 1991), T. costata (Richter, Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah & Kochzius, 2008) dan T. ningaloo (Penny & Willan, 2014) tidak ditemukan di Indonesia.

Kima merupakan salah satu sumber daya hayati perairan yang populasinya di alam

sudah menurun. Ini disebabkan oleh aktivitas penangkapan oleh nelayan, baik untuk tujuan konsumsi, pemanfaatan cangkangnya maupun sebagai ornamen dalam akuarium (Shau-Hwai & Yasin, 2003; Romimohtarto & Juwana, 2005; Larrue, 2006). Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa hewan ini adalah hewan yang dilindungi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999.

Wilayah perairan Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu wilayah

penyebaran kima di Indonesia. Kawasan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Nasional dan dikelola dengan sistem zonasi melalui SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002. Setidaknya terdapat lima jenis kima ditemukan di perairan Taman Nasional Wakatobi, yaitu T. crocea, T. squamosa, T. maxima, T. gigas dan H. hippopus (Findra, 2010).

Meskipun demikian, masyarakat lokal masih melakukan eksploitasi terhadap kima

yang merupakan biota yang dilindungi dan terancam punah. Ini terlihat dari masih adanya daging kima segar maupun kering yang diperjualbelikan di pasar-pasar tradisional. Jika hal ini terus berlangsung, maka dikhawatirkan sumber daya tersebut akan benar-benar punah. Oleh karena itu, upaya pengelolaan sangat perlu dilakukan.

Pengelolaan sumber daya membutuhkan informasi dari berbagai aspek, sehingga

upaya tersebut akan lebih terarah dan berhasil. Pengelolaan populasi alami suatu organisme memerlukan informasi tentang distribusi, komposisi dan kepadatan organisme tersebut (Lewis et al,. 1988). Oleh karena itu, sebagai langkah awal dalam pengelolaan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis, kepadatan, dan variasi ukuran kima di perairan Taman Nasional wakatobi.

Page 102: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

639 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2015 di sekitar tiga pulau utama Taman Nasional Wakatobi, yaitu kawasan Pulau Wangi-wangi, kawasan Pulau Kaledupa dan kawasan Pulau Tomia (Gambar 1). Pengamatan dilakukan menggunakan transek kuadrat (belt transect) dengan ukuran 50 m x 5 m. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga transek pada tiap lokasi, sehingga total area pengamatan tiap lokasi adalah 750 m2.

Penentuan lokasi pengamatan secara purposive sampling yang didasarkan pada

keberadaan kima. Kima yang ditemukan selanjutnya diidentifikasi jenisnya berdasarkan deskripsi oleh Knop (1996). Jenis dan jumlah kima dicatat berdasarkan kemunculannya dalam transek. Kepadatan populasi tiap jenis kima dihitung dengan membandingkan jumlah individu yang ditemukan dengan luas area pengamatan. Ukuran kima diukur menggunakan mistar ukur dan kaliper. Setiap kima yang ditemukan diukur panjang cangkangnya secara insitu.

Data kepadatan populasi dan ukuran kima dianalisis statistik menggunakan uji

Kruskal-Wallis untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar jenis kima atau lokasi penelitian. Jika perbedaannya signifikan, maka dilakukan uji Mann-Whitney U untuk mengetahui spesies atau lokasi mana saja yang memiliki perbedaan signifikan. Analisis statistik tersebut menggunakan perangkat lunak SPSS 17.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Jenis

Hasil pengamatan pada penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua genus kima di perairan Taman Nasional Wakatobi yaitu Tridacna dan Hippopus. Genus Tridacna yang teramati terdiri dari tiga jenis yaitu T. crocea, T. squamosa dan T. maxima, sedangkan genus Hippopus yang teramati hanya satu jenis yaitu jenis H. hippopus (Gambar 2). Beberapa jenis lainnya seperti T. gigas, T. derasa dan H. porcellanus tidak temukan dalam

Page 103: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

640 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

penelitian ini. Tidak ditemukannya beberapa jenis kima tersebut di lokasi pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan kima jenis tersebut sudah semakin langka.

Jenis-jenis tersebut memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan kima lainnya

sehingga sangat diminati untuk diambil. Terlebih lagi cara hidupnya yang tidak tertanam dalam batu ataupun terumbu karang seperti T. crocea dan T. maxima sehingga sangat mudah untuk diambil. Menurut Knop (1996), T. gigas dapat mencapai ukuran lebih dari 150 cm dan beratnya berkisar 200 hingga 500 kg, T. derasa dapat mencapai lebih dari 60 cm, sedangkan H. porcelanus dapat mencapai lebih dari 40 cm.

Ukuran tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jenis T. crocea yang hanya

dapat mencapai ukuran 13 hingga 15 cm serta T. squamosa dan T. maxima yang dapat mencapai 30 hingga 40 cm. Empat jenis lainnya yaitu T. tevoroa, T. rosewateri, T. costata dan T. ningaloo juga yang tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini disebakan karena jenis-jenis tersebut penyebarannya sangat terbatas di dunia, hanya ditemukan pada wilayah tertentu saja yang menjadi habitatnya (Richter et al. 2008; Bin-Othman et al. 2010; Penny & Willan 2014) dan sampai saat ini belum pernah ditemukan di perairan Indonesia.

Gambar 2. Jenis-jenis kima yang ditemukan (A-B = T. crocea, C = T. squamosa, D-E = T. maxima, F = H. hippopus, skala = 2 cm)

Pada masing-masing lokasi, baik kawasan Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, maupun

Tomia; ditemukan keempat jenis kima tersebut. Namun, memiliki perbedaan dalam hal komposisinya (Gambar 3). Di kawasan Wangi-wangi, jenis yang paling banyak ditemukan adalah T. crocea dan T. maxima, masing-masing sebanyak 56% dan 22%. Demikian juga pada kawasan Kaledupa, jenis yang paling banyak ditemukan adalah T. crocea dan T. maxima masing-masing sebanyak 34% sedangkan di kawasan Tomia jenis yang paling banyak ditemukan adalah H. hippopus sebanyak 39%, kemudian T. maxima, T. crocea dan T. squamosa masing-masing sebanyak 30%, 17% dan 14%.

Hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik habitat pada masing-masing lokasi.

Pada kawasan Wangi-wangi (P. Kapota) dan Kaledupa (P. Hoga dan pesisir P. Kaledupa) lokasi pengamatan berupa daerah terumbu karang, sedangkan di kawasan Tomia (P. Sawa

Page 104: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

641 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

dan P. Tolandono) lokasi pengamatan didominasi oleh padang lamun dan sedikit terumbu karang.

T. maxima, T. crocea dan T. squamosa lebih banyak hidup pada daerah terumbu

karang karena membutuhkan substrat berupa batu atau terumbu karang untuk menempel dan membenamkan dirinya di dalam substrat tersebut, sedangkan H. hippopus lebih memilih hidup pada substrat berpasir, baik di sekitar padang lamun maupun di sekitar terumbu karang (Knop 1996; Neo et al. 2015).

Gambar 3. Komposisi jenis kima pada masing-masing lokasi (A = Wangi-wangi, B = Kaledupa, C = Tomia)

Jenis kima yang ditemukan di beberapa lokasi lain di Indonesia juga hanya berkisar

antara tiga hingga empat jenis saja. Di antaranya, di perairan Kepulauan Seribu, ditemukan tiga jenis yaitu T. maxima, T. crocea dan T. squamosa (Yusuf et al. 2009), di Manado ditemukan empat jenis yaitu T. maxima, T. crocea, T. squamosa dan T. gigas (Yusuf et al. 2009) dan di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur juga ditemukan empat jenis yaitu T. maxima, T. crocea, T. squamosa dan H. hippopus (Tisera et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa beberapa jenis kima sudah mengalami kelangkaan bahkan tidak ditemukan lagi di berbagai tempat di Indonesia. Kepadatan Populasi

Jumlah populasi kima yang ditemukan dalam penelitian ini pada tiga lokasi pengamatan adalah sebanyak 113 individu, dengan jumlah individu tiap jenisnya berbeda-beda tiap lokasi. T. crocea yang ditemukan sebanyak 26 individu, T. maxima sebanyak 37 individu, T. squamosa sebanyak 26 individu dan H. hippopus ditemukan sebanyak 34 individu. Adapun kepadatan populasi kima untuk masing-masing jenis dan masing-masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kepadatan Populasi Kima (ind/750m2) di Kawasan Taman Nasional

Wakatobi

Jenis Lokasi

Wangi-wangi Kaledupa Tomia

T. crocea 5a 11a 12a

T. squamosa 1a 5a 10a

T. maxima 2a 11a 22a

H. hippopus 1a 5a 28a

Total 9a 32b 72c

34%

16%

34%

16%

Kaledupa

T. crocea T. squamosa T. maxima H. hippopus

17%

14%

30%

39%

C

34%

16%

34%

16%

B

56%

11%

22%

11%

A

Page 105: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

642 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

a,b Angka-angka pada baris yang sama diikuti superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf α = 0.1

Kepadatan populasi kima paling rendah ditemukan pada wilayah perairan kawasan Pulau Wangi-wangi, baik dari jenis T. crocea, T. maxima, T. squamosa, maupun H. hippopus, sedangkan populasi paling tinggi secara umum ditemukan di wilayah perairan kawasan Pulau Tomia. Di kawasan Wangi-wangi kepadatan populasi T. crocea, T. maxima, T. squamosa dan H. hippopus masing-masing adalah 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 dan 1 ind/750m2 sedangkan di kawasan Tomia kepadatan populasinya masing-masing adalah 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 dan 28 ind/750m2.

Uji statistik kepadatan populasi kima berdasarkan jenis menggunakan uji Mann-

Whitney U pada taraf α = 0.1 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar lokasi, namun kepadatan total kima (tanpa membedakan jenis) menunjukkan perbedaan yang signifikan. Perbedaan kepadatan populasi ini diduga berkaitan dengan tingkat eksploitasi secara liar oleh nelayan. Lokasi yang memiliki potensi adanya aktifitas penangkapan memiliki tingkat kepadatan populasi yang rendah. Lokasi pengamatan di wilayah Wangi-wangi adalah zona pemanfaatan lokal.

Pada zona tersebut masyarakat sekitar boleh mengembangkan dan memanfaatkan

sumber daya alam laut (sumber daya yang tidak dilindungi) secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini tentu mengakibatkan zona tersebut berpotensi adanya aktivitas eksploitasi kima. Berbeda dengan lokasi pengamatan di Kaledupa dan Tomia yang sebagian lokasi pengamatan adalah zona pariwisata, sehingga pengawasannya lebih intensif dan aktivitas pemanfaatannya juga terbatas.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam No. SK.149/IV-KK/2007, sistem zonasi Taman Nasional Wakatobi terdiri atas enam zona dengan peruntukan yang berbeda-beda. Zona-zona tersebut adalah zona inti, zona perlindungan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, dan zona khusus/daratan. Meskipun demikian, nelayan lokal Wakatobi masih mengambil kima yang berasal dari alam untuk dikonsumsi. Ini terlihat dari masih ditemukannya daging kima kering yang dijual oleh masyarakat di beberapa tempat di Wakatobi.

Tingginya kepadatan populasi kima di kawasan Tomia menunjukkan bahwa di

kawasan tersebut kima berhasil melangsungkan reproduksinya sehingga jumlahnya banyak. Berbeda dengan kawasan lain utamanya di kawasan Wangi-wangi, kima yang ditemukan sedikit jumlahnya sehingga kepadatan populasinya juga rendah. Banyaknya populasi kima menunjukkan bahwa ukuran populasinya besar. Ukuran populasi yang besar akan menjamin keberlangsungan proses reproduksi kima. Demikian juga sebaliknya, jika ukuran populasinya kecil maka perkembangbiakan akan sulit berlangsung. Menurut Panggabean (1991), dalam keadaan normal saja, kima lambat dalam berkembang biak, apalagi dalam keadaan yang tidak normal yang disebabkan oleh eksploitasi berlebih. Variasi Ukuran

Kima yang ditemukan di perairan kawasan Taman Nasional Wakatobi baik di kawasan Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, maupun Tomia memiliki ukuran yang bervariasi untuk setiap jenisnya (Tabel 2). Secara umum, kima yang memiliki ukuran lebih besar berada di kawasan Pulau Tomia.

Namun berdasarkan uji statistik menggunakan Kruskal-Wallis, ukuran kima yang

ditemukan di masing-masing lokasi menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan untuk jenis T. crocea, T. squamosa dan T. maxima. Hanya jenis H. hippopus saja yang menunjukkan perbedaan ukuran yang signifikan antar lokasi. Berdasarkan uji Mann-Whitney

Page 106: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

643 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

U, yang signifikan perbedaan ukurannya adalah H. hippopus yang berada di kawasan Pulau Kaledupa dan Tomia.

Tabel 2. Variasi Ukuran (Panjang Cangkang) Kima yang Ditemukan (cm)

Jenis Wangi-wangi Kaledupa Tomia

Variasi ukuran

Rata-rata ±SD

Variasi ukuran

Rata-rata ±SD

Variasi ukuran

Rata-rata ±SD

T. crocea 3.0-5.0 4.40±0.89a 2.0-9.5 5.35±2.27a 1.5-10.0 5.13±2.66a

T. squamosa 6.0 6.00a 5.0-21.0 9.00±6.75a 4.5-12.0 7.45±2.49a

T. maxima 5.0-6.0 5.50±0.71a 3.0-18.5 7.68±4.84a 2.0-10.5 5.50±2.73a

H. hippopus 9.6 9.60a 9.2-11.5 10.45±1.12a 10.0-20.0 15.32±2.83b a,b Angka-angka pada baris yang sama diikuti superscript yang berbeda menunjukkan berbeda

signifikan pada taraf α = 0.1

Kima jenis T. crocea memiliki ukuran yang paling kecil di antara jenis kima lainnya

yaitu dengan kisaran panjang cangkang 3-5 cm dan rata-rata 4.40 cm untuk kawasan Wangi-wangi, kisaran panjang cangkang 2-9.5 cm dan rata-rata 5.35 cm untuk kawasan Kaledupa serta kisaran panjang cangkang 1.5-10 cm dan rata-rata 5.13 cm untuk kawasan Tomia. T. crocea adalah jenis kima yang memiliki ukuran paling kecil dibandingkan jenis lainnya yaitu ukuran maksimalnya hanya mencapai 15 cm saja.

Berdasarkan variasi ukuran tersebut, dapat diketahui bahwa T. crocea yang ditemukan

dalam lokasi penelitian memiliki stadia hidup yang bervariasi, mulai dari kima yang masih dalam stadia juvenil hingga dewasa. T. crocea yang berukuran <2 cm merupakan kima dalam stadia juvenil, 2-4 cm merupakan post-juvenil sedangkan >4 cm adalah kima dewasa dan telah memasuki masa hermaproditnya (Fitt, 1999).

Kima merupakan hewan hermaprodit yaitu setiap individu kima dilengkapi oleh sel-sel

telur dan sperma namun pemijahannya selalu didahului oleh pengeluaran sperma, kemudian baru diikuti oleh pelepasan telur-telur. Telur-telur kemudian menyebar terbawa arus dan dapat merangsang induk-induk kima yang lain untuk memijah secara simultan.

Telur kima masak yang dipijahkan mengandung zat yang dapat menghindarkan

keadaan yang tidak diinginkan, yaitu fertilisasi atau pembuahan sendiri (self fertilization). Di lingkungan terumbu yang belum terjamah, kima yang sejenis biasanya hidup membentuk kelompok-kelompok sehingga memungkinkan terjadinya pembuahan secara optimal (Lucas, 1988; Panggabean, 1991; Soo & Todd, 2014).

T. squamosa di perairan kawasan Wangi-wangi memiliki panjang cangkang 6 cm

(ditemukan hanya satu individu), di kawasan Kaledupa memiliki kisaran panjang cangkang 5-21 cm dan rata-rata 9 cm serta di kawasan Tomia memiliki kisaran panjang cangkang 4.5-12 cm dan rata-rata 7.45 cm. Kima jenis ini yang ditemukan pada setiap lokasi juga dalam stadia juvenil, post-juvenil dan ada yang sudah memasuki fase dewasa. Menurut Fitt (1999), T. squamosa yang berukuran <10 cm merupakan stadia juvenil, 10-20 cm merupakan post-juvenil sedangkan >20 cm telah memasuki masa dewasa.

T. maxima di perairan kawasan Wangi-wangi memiliki kisaran panjang cangkang 5-6

cm dengan rata-rata 5.50 cm, di kawasan Kaledupa memiliki kisaran panjang cangkang 3-18.5 cm dengan rata-rata 7.68 cm, serta di kawasan Tomia memiliki kisaran panjang cangkang 2-10.5 cm dan rata-rata 5.50 cm.

Kima jenis ini yang ditemukan pada setiap lokasi juga dalam stadia juvenil, post-juvenil

dan ada yang sudah memasuki fase dewasa. T. maxima yang berukuran <4 cm merupakan

Page 107: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

644 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

kima dalam stadia juvenil, 4-15 cm merupakan post-juvenil sedangkan >15 cm adalah kima dewasa dan telah memasuki masa dewasa (Fitt, 1999).

H. hippopus di perairan kawasan Wangi-wangi memiliki panjang cangkang 9.6 cm

(ditemukan hanya satu individu), di kawasan Kaledupa memiliki kisaran panjang cangkang 9.2-11.5 cm dengan rata-rata 10.45 cm dan di kawasan Tomia memiliki kisaran panjang cangkang 10-20 cm dengan rata-rata 15.32 cm.

Kima jenis ini yang ditemukan pada setiap lokasi sudah dalam stadia post-juvenil dan

ada yang sudah memasuki fase dewasa. Menurut Fitt (1999), H. hippopus yang berukuran <7 cm merupakan stadia juvenil, 7-12 cm merupakan post-juvenil sedangkan >13 cm telah memasuki masa dewasa. KESIMPULAN

Jenis kima yang ditemukan di lokasi penelitian adalah T. crocea, T. squamosa, T. maxima dan H. hippopus yang terdiri dari dua genus yaitu Tridacna dan Hippopus. Kepadatan populasi kima paling rendah ditemukan pada wilayah perairan kawasan Pulau Wangi-wangi, baik dari jenis T. crocea, T. maxima, T. squamosa, maupun H. hippopus yaitu masing-masing 5 ind/750m2, 1 ind/750m2, 2 ind/750m2 dan 1 ind/750m2 sedangkan populasi paling tinggi secara umum ditemukan di wilayah perairan kawasan Pulau Tomia yaitu masing-masing 12 ind/750m2, 10 ind/750m2, 22 ind/750m2 dan 28 ind/750m2.

Ukuran kima yang ditemukan bervariasi antar jenis dan lokasi penelitian, kebanyakan

kima yang ditemukan masih berukuran kecil, sedangkan yang besar sudah menunjukkan kelangkaan. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya pengelolaan agar sumber daya kima di Wakatobi tetap lestari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Wakatobi dan Balai Taman Nasional Wakatobi atas izin dan fasilitas yang diberikan selama penelitian. Terima kasih juga secara khusus penulis sampaikan kepada Bapak Muhammad Lukman, La Ode Orba, Aah, Hendrawan, La Ode Almar, La Engka dan Alfian Asmara yang telah membantu selama pengamatan di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Bin-Othman AS, Goh GHS, Todd PA. 2010. The Distribution and Status of Giant Clams

(Family Tridacnidae), A Short Review. Raffles Bull Zool. 58(1):103-111. Copland JW, Lucas JS. 1988. Giant Clams in Asia and the Pacific. Canberra (AUS): ACIAR

Monograph. Findra MN. 2010. Komposisi Jenis, Kelimpahan dan Ukuran Kima di Perairan Pulau

Tolandono dan Pulau Sawa, Kawasan Taman Nasional Wakatobi [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.

Fitt WK. 1991. Mariculture of Giant Clam. Di dalam: Menzel W, editor. Estuarine and Marine Bivalve Mollusca Culture. Boston: CRC Press, Inc. Boca Raton. hlm 284-293.

Hernawan UE. 2011. Taxonomy of Indonesian giant clams (Cardiidae, Tridacninae). Biodiversitas. 13(3):118-123.

Knop D. 1996. Giant Clams: A Comprehensive Guide to the Identification and Care of Tridacnid Clams. Ettlingen (DE): Dahne Verlag.

Larrue S. 2006. Giant Clam Fishing On The Island of Tubuai, Austral Islands Group:

between Local Portrayals, Economic Necessity and Ecological Realities. SPC

Page 108: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

645 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Traditional Marine Resource Management and Knowledge Information Bulletin. (19):3-40.

Lewis AD, Adams TJ, Ledua E. 1988. Fiji’s Giant Clam Stocks - A Review of Their Distribution, Abundance, Exploitation and Management. Di dalam: Copland JW, Lucas JS, editor. Giant Clams in Asia and the Pacific. Canberra (AUS): ACIAR Monograph. hlm 66-72.

Lucas JS. 1988. Giant clams: Description, Distribution and Life History. Di dalam: Copland JW, Lucas JS, editor. Giant Clams in Asia and the Pacific. Canberra (AUS): ACIAR Monograph. hlm 21 – 32.

Lucas JS, Ledua E, Braley RD. 1990. A New Species of Giant Clam (Tridacnidae) from Fiji and Tonga. Australian Centre for International Agricultural Research, Working Paper. 33:1-8.

Mudjiono. 1988. Catatan Beberapa Aspek Kehidupan Kima, Suku Tridacnidae. Oseana. 13 (2): 37-47.

Neo ML, Todd PA. 2012. Population Density and Genetic Structure of The Giant Clams Tridacna Crocea and T. Squamosa on Singapore’s reefs. Aquat Biol. 14:265-275.

Panggabean LMG. 1991. Rahasia Kehidupan Kima: III. Kelangsungan hidup. Oseana. 16(2):35-45.

Penny SS, Willan RC. 2014. Description of A New Species of Giant Clam (Bivalvia: Tridacnidae) from Ningaloo Reef, Western Australia. Mollus Res. 34:201-211.

Richter C, Roa-Quiaoit H, Jantzen C, Al-Zibdah M, Kochzius M. 2008. Collapse of A New Living Species of Giant Clam in The Red Sea. Curr Biol. 18:1349-1354.

Romimohtarto K, Juwana S. 2005. Biologi Laut. Jakarta (ID): Djambatan. Shau-Hwai AT, Yasin Z. 2003. Status of Giant Clams in Malaysia. SPC Trochus Information

Bulletin.10:9-10. Sirenko BI, Scarlato OA. 1991. Tridacna Rosewateri sp.n. A New Species of Giant Clam

from The Indian Ocean. La Conchiglia. 22(261):4-9. Soo P, Todd PA. 2014. The Behaviour of Giant Clams (Bivalvia: Cardiidae: Tridacninae).

Mar Biol. 161:2699-2717. doi:10.1007/s00227-014-2545. Tisera WI, Naguit MRA, Rehatta BM, Calumpong HP. 2012. Ecology and Genetic Structure

of Giant Clams Around Savu Sea, East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Asian Journal of Biodiversity. 10:174-194.

Yusuf C, Ambariyanto, Hartati R. 2009. Abundance of Tridacna (Family Tridacnidae) at Seribu Islands and Manado Waters, Indonesia. Ilmu Kelautan. 14(3):150-154.

Page 109: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

646 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

STUDI POLA PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAUT DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

Puji Prihatinningsiha*, Raymond Jacubb, Yusuf Syaifuddinc

acBalai Taman Nasional Karimunjawa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

bRARE

*email: [email protected],

ABSTRAK Salah satu karakteristik kawasan konservasi di Indonesia adalah keberadaan masyarakat yang ada di sekitar kawasan. Tak terkecuali dengan kawasan Taman Nasional Karimunjawa, dimana terdapat 4 (empat) desa di sekitar kawasan, yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, Desa Parang, dan Desa Nyamuk. Sejak lama, sumber daya perairan dianggap sebagai sumber daya yang dapat secara bebas diakses oleh siapa saja atau dikenal sebagai ‘‘Open Pool Common Resources”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pemanfaatan sumber daya laut yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa oleh masyarakat yang hidup di sekitar kawasan. Dalam kegiatan ini, metode yang digunakan adalah metode survei. Survei pemanfaatan sumber daya dilakukan setiap bulan pada tahun 2014-2015 di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Responden survei adalah nelayan yang ditemui sedang menangkap ikan di dalam kawasan. Data yang diambil adalah hasil tangkapan ikan, jenis alat tangkap, dan lokasi penangkapan. Dilakukan pula survei Partisipatory Rural Apprisal yang bertujuan untuk menggali secara langsung pendapat masyarakat secara partisipatif. Survei dilakukan di empat desa di sekitar kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat desa di sekitar kawasan Taman Nasional Karimunjawa memanfaatkan seluruh kawasan untuk menangkap ikan. Tiap desa mempunyai karakteristik pemanfaatan sumber daya yang berbeda satu sama lain. Masyarakat Karimunjawa menangkap ikan di seluruh kawasan tanpa memperhatikan jenis dan alat tangkap yang digunakan. Masyarakat Desa Parang dan Nyamuk memilih menangkap ikan jauh di luar kawasan dan selektif memilih jenis. Sedangkan masyarakat Kemujan lebih suka menangkap ikan di sekitar wilayah desanya. Hampir semua masyarakat berkeinginan untuk mengelola sumber daya laut di sekitarnya secara berkelanjutan. KATA KUNCI: Karimunjawa, pola pemanfaatan, survei ABSTRACT One of the common characteristics of protected area in Indonesia is the presence of inhibiting people in its surroundings. Karimunjawa National Park (KNP) is no exception where there are 4 villages in the park surrounding; Karimunjawa Village, Kemujan Village, Parang Village and parang Village. It has been perceived that marine resources are freely accessible in other words usually called as Open Pool Common Resources. The objective of the study is to study the utilization pattern of marine resources within Karimunjawa National Park by the people living in the park surroundings. Survey method is the chosen method in this study. Resource use monitoring survey was conducted every month from November 2014 to December 2015 within the area of KNP. The respondents were fishers that were fishing during the survey period. They were asked about their catch, gears and the fishing ground. Another survey is the Participatory Rural Appraisal (PRA) survey aiming for direct participatory information from the locals. These study was conducted in 4 villages in the surroundings of Karimunjawa National Park. The surveys shown that people in the surrounding of Karimunjawa National Park has been using the park marine resources especially for fishing. Each villages has its own characteristics of utilization. Karimunjawa

Page 110: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

647 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Village people mainly fish in the water of Karimunjawa Archipeplago using all types of gears. Parang Village and Nyamuk Village choose to fish further away from the park area and they are target selective fishers. Meanwhile Kemujan Village people choose to fish in the adjacent area. Most of the people agreed to sustainable manage its marine resources. KEYWORDS: Karimunjawa, utilization, survey PENDAHULUAN

Taman Nasional Karimunjawa yang merupakan salah satu kawasan perairan pertama

di Indonesia adalah satu-satunya kawasan konservasi perairan di Pantai Utara Jawa Tengah. Kawasan seluas 111.625 hektar ini merepresentasikan ekosistem pantai utara Jawa yang terdiri atas ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Potensi keanekeragaman hayati yang tinggi menjadikan kawasan ini sebagai salah satu destinasi wisata utama di Jawa Tengah, bahkan akan dalam tahapan menjadi salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Sejak lama, sumber daya perairan dianggap sebagai sumber daya yang dapat secara bebas diakses oleh siapa saja atau dikenal sebagai ‘‘Open Pool Common Resources”. Tidak terkecuali sumber daya perairan yang ada di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Kawasan ini menjadi lokasi penangkapan (fishing ground) bagi masyarakat Pantai Utara Jawa dari Indramayu hingga Madura. Hal ini sekaligus menjadi tantangan Balai Taman Nasional Karimunjawa sebagai pengelola kawasan. Salah satu karakteristik kawasan lindung di Indonesia adalah keberadaan masyarakat yang tinggal di sekitarnya bahkan memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam kawasan. Sekitar 10.000 jiwa warga masyarakat Kepulauan Karimunjawa memanfaatkan sumber daya perairan Kawasan Taman Nasional Karimunjawa untuk menopang kehidupan mereka. Sebagian hasil sumber daya laut ini dijual di Pulau Karimunjawa dan ada pula yang langsung menjualnya di Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa. Namun demikian, sampai saat ini, belum secara jelas diketahui pola pemanfaatan sumber daya ini oleh masyarakat sekitar. Keberadaan Tempat Pelelangan Ikan belum sepenuhnya dapat mencatat produktivitas perikanan di kepulauan ini. Pemanfaatan sumber daya perairan di Taman Nasional Karimunjawa dilakukan oleh masyarakat Pantura dan masyarakat lokal Karimunjawa. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui pola pemanfaatan sumber daya laut yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa oleh masyarakat yang hidup di 4 desa di sekitar kawasan. Dengan adanya penelitian ini maka diharapkan pengelola kawasan Taman Nasional Karimunjawa mempunyai gambaran bagaimana tekanan pemanfaatan sumber daya ikan di dalam kawasannya sehingga strategi pengelolaan dapat diformulasikan untuk menjawab tantangan tersebut. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode survei yaitu Survei Resource Use Monitoring (RUM) dan Survei Participatory Rural Apprisal (PRA). Memperhatikan luasan desa dan jumlah penduduk yang bervariasi antar desa di Kecamatan Karimunjawa, maka Survei PRA dilaksanakan di 10 dukuh yang termasuk dalam wilayah Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, Desa Parang dan Desa Nyamuk (Gambar 1). Survei PRA diikuti oleh perwakilan masyarakat yang ada di masing-masing dukuh yang diundang oleh tokoh dukuh setempat. Biasanya teknik PRA digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat (Bourgeois et al, 2003).

Page 111: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

648 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Namun, dalam perkembangannya, metode PRA dapat digunakan untuk mengetahui pendapat masyarakat dengan melakukan pemetaan kawasan partisipatif, mengidentifikasi kalender musim, dan menganalisis tren dan perubahan (Chambers, 1994).

Gambar 1. Peta Pelaksanaan Survei PRA

Gambar 2. Peta Pelaksanaan Survei RUM

Gambar 2. Peta Pelaksanaan Survei RUM

Resource Use Monitoring adalah survei lapangan yang dilaksanakan secara periodik di suatu area tertentu untuk mengetahui tipe pemanfaatan sumber daya, lokasi, waktu, dan siapa yang memanfaatkan (Mous et al, 2004). Khusus untuk pemantauan ini, sumber daya yang diamati adalah sumber daya ikan yang ada di kawasan TN Karimunjawa. pemanfaatan sumber. Mengingat luasanya areal survei, maka Survei RUM dilakukan sebulan satu kali dalam kawasan perairan Taman Nasional Karimunjawa.

Memperhatikan luasan kawasan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan dalam

satu kali trip melaut, maka survei dilakukan dalam dua tahapan yang mencakup lokasi sebelah barat dan sebelah timur (Gambar 2). Pembagian wilayah barat dan timur didasarkan pada fakta bahwa penduduk Kecamatan Karimunjawa berkelompok di bagian barat (Desa Nyamuk dan Desa Parang) dan timur (Kemujan dan Karimunjawa). Dalam setiap survei, dilakukan pendataan terhadap kapal nelayan yang dijumpai sedang beraktivitas. Pendataan berupa pencatatan lokasi menangkap, jumlah nelayan, aktivitas penangkapan, tipe kapal, jenis alat tangkap, dan hasil tangkapan.

Page 112: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

649 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

HASIL DAN PEMBAHASAN

Survei RUM dilaksanakan 20 kali yaitu pada bulan November 2014-Desember 2015 di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Selama survei, dijumpai 258 kapal yang sedang beraktivitas. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan sedang memancing, namun ada pula yang sedang berwisata, istirahat, atau bahkan lewat saja misalnya kapal purseine dan kapal pembawa es dari Jepara yang sedang menuju Pulau Parang

a. Ikan kerapu, ikan kakap dan ekor kuning menjadi sumber daya laut utama yang menjadi tangkapan nelayan. Selain jenis tersebut, nelayan menangkap sumber daya laut apa saja yang ada di dalam kawasan TN Karimunjawa, bergantung pada musim.

b. Hasil survei RUM selengkapnya tersajo pada Gambar 3. Adapun alat tangkap yang digunakan umumnya adalah pancing tangan, pancing tonda, dan bubu.

c. Sangat sedikit nelayan yang dijumpai memakai panah dan pukat cincin. Sebagian besar kapal yang digunakan untuk memancing berukuran 11-20 GT dan 21-30 GT.

d. Terlihat bahwa nelayan Karimunjawa tidak lagi termasuk kategori nelayan kecil karena menggunakan alat tangkap di atas 10 GT sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Pemakaian kapal dengan kapasitas mesin yang cukup besar dapat menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa di sekitar TN Karimunjawa.

Namun demikian, di sisi lain dapat meningkatkan tekanan terhadap kawasan akibat

meningkatnya pemanfaatan sumber daya. Di sisi lain nelayan tersebut tergolong nelayan tradisional karena telah secara turun temurun melakukan aktivitas perikanan di kawasan TN Karimunjawa. keberadaan dan aktivitas mencari ikan nelayan yang turun temurun bahkan menjadi justifikasi pengalokasian zona tradisional dalam sistem zonasi TN Karimunjawa. Ketiadaan payung hukum terkait pengaturan nelayan di dalam zona tradisional menjadi tantangan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan.

Berdasarkan distribusi daerah asal nelayan, diketahui bahwa tiap desa mempunyai karakteristik pemanfaatan sumber daya laut yang berbeda satu sama lain. Nelayan dari Desa Karimunjawa diketahui melaut hampir di seluruh kawasan TN Karimunjawa. Masyarakat Desa Parang dan Nyamuk memilih menangkap ikan jauh di luar kawasan dan selektif memilih jenis.

Sedangkan masyarakat Kemujan lebih suka menangkap ikan di sekitar wilayah desanya (Gambar 4). Secara proporsional, Desa Karimunjawa adalah desa terbesar di kepulauan ini, sehingga wajar apabila nelayan desa ini mendominasi aktivitas penangkapan ikan di dalam kawasan TN Karimunjawa.

A B

Page 113: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

650 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 3. Hasil Survei RUM (A). Grafik Aktivitas Nelayan; (B). Grafik Jenis Ikan Tangkapan Nelayan;

(C). Jenis Alat Tangkap Yang Digunakan Nelayan; (D). Daya Mesin Kapal yang Digunakan Nelayan Karimunjawa

Gambar 4. Hasil Survei RUM Berdasarkan Desa Asal Nelayan

Pada awalnya, survei RUM akan dilakukan selama satu tahun dengan frekuensi dua

kali dalam satu minggu. Namun demikian, bertepatan dengan musim angin selama bulan Januari-Maret, survei RUM tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Metode Survei PRA dipilih karena diharapkan memberikan gambaran sosial ekonomi masyarakat Kepulauan Karimunjawa dalam pemanfaatan sumber daya laut.

Survei PRA dilaksanakan di 10 dukuh di Kepulaian Karimunjawa pada bulan Mei 2015. Kegiatan Survei PRA (Participatory Rural Apprisal) di kawasan TN Karimunjawa dilaksanakan menggunakan 5 teknik, yaitu Peta Desa dan Sumber Daya, Kalender Musim (tahunan), Perbandingan Skor dan Sumber Daya Alam, Tren Sumber Daya Alam (trend line) dan Identifikasi Aktivitas di Laut (Sundjaya & Sabahudin, 2015).

Secara umum, hasil Survei PRA di Kepulauan Karimunjawa menunjukkan kesamaan, di antaranya yaitu:

1. Masyarakat memanfaatkan sumber daya laut hampir sepanjang tahun kecuali musim baratan yang berlangsung Desember-Maret.

2. Masyarakat menganggap bahwa ekosistem terumbu karang berperan sangat penting.

CC

C D

Page 114: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

651 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

3. Sumber daya laut terutama ikan dianggap sebagai sumber daya yang penting bagi masyarakat.

4. Masyarakat mengidentifikasi semakin berkurangnya sumber daya laut yang ada di sekitarnya. Mencari ikan semakin sulit dan semakin jauh.

5. Di sisi lain terdapat keinginan masyarakat untuk mengelola sumber daya laut di sekitarnya secara berkelanjutan

Survei PRA melengkapi informasi pemanfaatan sumber daya di kawasan TN

Karimunjawa yang ditunjukkan Survei RUM. Survei PRA menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Karimunjawa dan Desa Nyamuk menggunakan panah/speargun yang dibantu dengan kompresor dan dioperasikan pada malam hari. Hal ini hanya sedikit terlihat dalam Survei RUM.

Lebih lanjut, diketahui bahwa masyarakat Desa Parang, Desa Nyamuk, dan sejumlah kecil Desa Kemujan tidak banyak menangkap ikan di kawasan TN Karimunjawa karena mereka memilih untuk menangkap ikan di luar kawasan TN Karimunjawa, bahkan sampai 80 mil. Hal ini guna mendapatkan ikan ekonomis penting seperti kakap merah dan kerapu.

Adapun alat tangkap yang digunakan utamanya adalah bubu yang terbuat dari bambu. Guna mendukung penangkapan ikan ini masyarakat menggunakan teknologi yang cukup canggih berupa GPS dan fish finder dan kapal yang dilengkapi dengan solar panel. Adapun alasan mengapa nelayan Desa Karimunjawa dan Desa Kemujan tidak banyak mengambil ikan di luar kawasan tidak secara jelas terjawab dalam survei PRA. Diduga karena masyarakat tersebut mempunyai mata pencaharian alternatif yang berasal dari sektor lain seperti sektor wisata dan perkebunan, mengingat luasan desa yang cukup luas apabila dibandingkan dengan dua desa lainnya di sebelah barat.

Hakikat keberadaan kawasan konservasi perairan adalah untuk melestarikan

keanekaragaman hayati laut serta menjaga bahkan meningkatkan produktivitas perikanan (Crawford et al, 2006). Secara khusus di Indonesia, kawasan konservasi perairan juga mengemban misi sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. adalah tantangan untuk menyeimbangkan amanat pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan mengingat perkembangan saat ini yang cukup dinamis.

Secara khusus untuk Taman Nasional Karimunjawa, selain menghadapi tantangan

pemanfaatan dari luar kawasan terutama nelayan Pantai Utara Jawa, Balai Taman Nasional Karimunjawa juga menghadapi tantangan pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat sekitar kawasan. Penggunaan kombinas metode RUM dan PRA telah memberikan gambaran kepada pengelola. Namun demikian kedua metode tersebut belum sepenuhnya memotret pemanfaatan sumber daya terutama pengambilan sumber daya ikan yang dilakukan malam hari oleh masyarakat. KESIMPULAN

Sumber daya perairan Taman Nasional Karimunjawa dimanfaatkan oleh masyarakat

desa di sekitar kawasan dengan pola pemanfaatan yang berbeda satu dengan lainnya tergantung kondisi budaya masing-masing desa. Masyarakat Karimunjawa menangkap ikan di seluruh kawasan tanpa memperhatikan jenis dan alat tangkap yang digunakan. Masyarakat Desa Parang dan Nyamuk memilih menangkap ikan jauh di luar kawasan dan selektif memilih jenis. Sedangkan masyarakat Kemujan lebih suka menangkap ikan di sekitar wilayah desanya. Lebih lanjut, kombinasi pemakaian metode survei RUM dan survei PRA dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran pemanfatan dalam kawasan.

Page 115: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

652 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2015. Laporan Survei PRA di Taman Nasional Karimunjawa. BTNKJ dan RARE.

128pp. Bourgeois R, Jesus F, Roesch M, Soeprapto N, Renggana A, and Gouyon A. 2003.

Indonesia: Empowering Rural Producers Organization. EASRD. 108pp. Chambers R. 1994. Participatory Rural Appraisal (PRA): Analysis of Experience. World

Development Vol.22 No.9: 1253-1268. Cheung CPS, Ulychiaoco AJ, Suharsono, Pet-Soede L, and Djohari R. 2002. “Indonesia” in

Cheung, C.P.S., Ulychiaoco,A.J., Alino, P.M., Areo, H.O (eds), Marine Protected Areas in South East Asia. ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation. Philippines. 31-44 pp.

Clifton J. 2003. Prospects for Co-Management in Indonesia’s Marine Protected Area. Marine Policy 27: 389-395.

Mous P, G Widiadnya, and Pasya AP. 2004. Manual for The Compilation of Protocols for Resource Use Monitoring Programs (Draft). The Nature Consevancy South Asia Center for Marine Protected Area. 42pp.

Crawford B, Kasmidi M, Korompis F, and Pollnac RB. Factors Influencing Progress in Establishing Community –Based Marine Protected Areas in Indonesia. Coastal Management34:39-64.

Sundjaya and Sabahudin I. 2014. Modul Melakukan PRA Pada Masyarakat Pesisir. RARE. 38pp.

Page 116: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

653 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

RAJA AMPAT SEBAGAI NO TAKE ZONE PERIKANAN HIU DI WILAYAH LAUT INDONESIA TIMUR

Gulam Arafata*

aLoka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sorong

*e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Usaha perikanan hiu di Kota Sorong mulai tercatat pada tahun 2013. Berdasarkan PERMEN KP Nomor 59/MEN-KP/2014, sebagai bentuk pengelolaan jenis ikan, tahun 2015 Loka PSPL Sorong melakukan pelayanan rekomendasi komoditas hiu. Tercatat, jumlah total pengiriman komoditas hiu sebanyak 13 ton tahun 2015, 60 ton tahun 2016, dan tahun 2017 hingga bulan maret telah mencapai 32 ton. Pengajuan permohonan rekomendasi komoditas hiu terus meningkat. Komoditas hiu ini berasal dari berbagai wilayah antara lain Sorong, Manokwari, Teluk Bintuni, dan Biak Numfor. Berbeda dengan Kota Sorong, Raja Ampat melakukan upaya konservasi pada perikanan hiu. Raja Ampat merupakan kabupaten bahari yang memiliki 7 (tujuh) kawasan konservasi. Upaya konservasi hiu dilakukan sejak tahun 2010 melalui surat edaran Bupati nomor 430/470/2010. Salah satu poin menyebutkan melarang menangkap ikan hiu. Pada tahun 2012, diterbitkan Perda Nomor 9/2012 tentang larangan penangkapan hiu, pari manta, dan jenis-jenis ikan tertentu di perairan laut Raja Ampat. Namun, rentang tahun 2015-2017, ditemukan upaya penangkapan hiu di 3 (tiga) kawasan konservasi Raja Ampat. Dicurigai, nelayan menangkap hiu di Raja Ampat kemudian menjualnya ke Kota Sorong. Untuk mencegah kejadian tersebut, perlu upaya pengelolaan oleh Pemda Kota Sorong dan Pemda Raja Ampat. Bagi Pemda Kota Sorong, beberapa kebijakan perlu diterapkan bagi pelaku usaha perikanan hiu, antara lain melakukan registrasi nelayan dan pengusaha, mewajibkan pendaratan hiu dalam bentuk utuh dan setiap transaksi oleh nelayan kepada pengusaha didata melalui mekanisme stock opname. Bagi Pemda Raja Ampat, agar memaksimalkan pengawasan wilayah perairan bekerja sama dengan mitra pelaku wisata untuk melaporkan segala bentuk kegiatan perikanan hiu yang ditemukan di Raja Ampat. KATA KUNCI: Perikanan hiu, kawasan konservasi, upaya pengelolaan PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 pulau dengan luas wilayah perairan hingga 3.257.483 km2 (BIG). dengan luas wilayah perairan tersebut, Indonesia tentu saja memiliki keanekaragaman hayati jenis ikan yang tinggi, salah satu di antaranya adalah ikan hiu.

Usaha perikanan hiu di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1970. Namun,

komoditas hiu digolongkan sebagai tangkapan sampingan khususnya pada perikanan tuna. Meskipun demikian, pada tahun 1988, harga sirip hiu di pasaran dunia meningkat. Usaha perikanan hiu semakin berkembang, bahkan beberapa daerah di Indonesia bahkan menjadikan komoditas hiu sebagai buruan utama (Fahmi & Dharmadi, 2005). Berdasarkan laporan The Wildlife Trade Monitoring Network rentang tahun 2000 - 2010, Indonesia adalah penangkap hiu terbesar di dunia.

Khusus di wilayah Kota Sorong, berdasarkan data dari Stasiun Karantina Ikan dan

Pengendalian Mutu Kota Sorong, pengiriman komoditas hiu tercatat sejak bulan September tahun 2013. Total pengiriman mencapai 4 ton atau sekitar 4.583 kg. Kemudian, pada tahun

Page 117: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

654 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

2014, juga tercatat sebanyak 15 ton atau sekitar 15.688 kg. Namun, sejak isu kampanye perlindungan hiu, pengiriman hiu berhenti pada awal tahun 2015.

Sejak April tahun 2015, berdasarkan PERMEN KP Nomor 59/MEN-KP/2014 sebagai

bentuk pengelolaan jenis ikan, Loka PSPL Sorong melakukan pelayanan rekomendasi komoditas hiu. Berdasarkan data rekomendasi yang dikeluarkan, tercatat jumlah total pengiriman komoditas hiu sebanyak 13 ton tahun 2015, 60 ton tahun 2016 dan untuk tahun 2017 hingga bulan maret telah mencapai 32 ton. Komoditas hiu ini berasal dari berbagai wilayah antara lain Sorong, Manokwari, Teluk Bintuni (Papua Barat), dan Biak Numfor (Papua).

Berbeda dengan Kota Sorong, Raja Ampat yang merupakan kabupaten yang

berbatasan langsung dengan Kota Sorong lebih memilih melakukan upaya konservasi pada perikanan hiu. Kabupaten Raja Ampat merupakan kabupaten bahari yang memiliki 7 kawasan konservasi, yaitu 5kawasan kawasan konservasi perairan daerah, dan 2 kawasan merupakan kawasan konservasi perairan nasional.

Upaya konservasi hiu sudah dilakukan sejak tahun 2010 melalui surat edaran Bupati

Raja Ampat Nomor 430/470/2010 Tanggal 13 Oktober 2010. Salah satu poin pada surat edaran tersebut menyebutkan melarang menagkap ikan hiu. Tidak sampai di situ, pada tahun 2012, Pemda Raja Ampat kemudian mengeluarkan Perda Nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan hiu, pari manta, dan jenis-jenis ikan tertentu di perairan laut Raja Ampat. Kebijakan ini menjadikan kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten pertama di Indonesia yang melakukan perlindungan untuk hiu.

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perikanan hiu yang ada di Kota Sorong

terhadap upaya konservasi yang dilakukan di Kabupaten Raja Ampat. Selain itu, juga untuk membandingkan nilai ekonomi konservasi yang telah diperoleh Pemda Raja Ampat dan nilai ekonomi usaha perikanan hiu. Diharapkan, kajian ini dapat memberikan masukan kebijakan terkait pengelolaan hiu di Kota Sorong dan konservasi hiu di Raja Ampat.

METODE PENELITIAN

Metode kajian yang digunakan adalah dengan model wawancara dan analisis deskriptif. pengumpulan data primer menggunakan data pengajuan permohonan rekomendasi yang masuk ke bagian pelayanan di Loka PSPL Sorong dan wawancara pengusaha terkait harga jual komoditas hiu. Data kunjungan wisata di Raja Ampat menggunakan data sekunder dari BLUD UPTD KKPD Kab. Raja Ampat, dan terakhir data laporan upaya penangkapan hiu di Raja Ampat menggunakan data laporan wisatawan pada website stayrajaampat.com. Data-data yang diperoleh kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik lalu dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Upaya konservasi hiu di Kabupaten Raja Ampat ini tidak sepenuhnya berjalan dengan

baik. Rentang tahun 2015 – 2017, ditemukan beberapa upaya pemanfaatan/penangkapan hiu di wilayah Raja Ampat. Dicurigai, para nelayan baik dari Raja Ampat maupun dari Kota Sorong menangkap ikan hiu di Raja Ampat kemudian menjualnya ke Kota Sorong. Adapun data laporan upaya pemanfaatan/penangkapan hiu di Kab. Raja Ampat adalah sebagai berikut.

Page 118: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

655 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tabel 1. Data Laporan Upaya Pemanfaatan/Penangkapan Hiu di Kab. Raja Ampat No Tanggal Kejadian Lokasi KKP Status

1 27 Desember 2015

Penemuan 1 bangkai hiu oleh wisatawan

Blue Magic Dive Spot, Mioskon

KKPD Selat Dampier

Verified

2 20 Februari 2016

Penemuan 1 bangkai hiu oleh wisatawan

Balbulol, Misool KKPD Misool Verified

3 5 Juni 2016 Penemuan 2 bangkai hiu oleh wisatawan

Yenbuba KKPD Selat Dampier

Verified

4 14 Maret 2017

Penemuan Longline oleh Tim Patroli

Pulau Balak-balak KKPN Waigeo sebelah Barat

Verified

5 15 Maret 2017

Penemuan Longline & Bangkai Hiu oleh

staf Wai Resort

Batanta KKPD Selat Dampier

Verified

6 31 Maret 2017

Penemuan rumah dengan sirip hiu

Yenbuba KKPD Selat Dampier

Unverified

Keterangan:

Informasi No. 1, 2, 3, 5, dan 6 bersumber dari Raja Ampat Environment Watch, www.stayrajaampat.com

Informasi No. 4 bersumber dari Satker KKPN SAP Raja Ampat & Waigeo Barat, BKKPN Kupang

Berdasarkan data di atas, laporan pada tahun 2015 dan 2016 hanya ditemukan

masing-masing 1 kasus dan 2 kasus berupa penemuan bangkai hiu. Diperkirakan, hiu tersebut merupakan hiu yang terkena pancing nelayan yang sedang memancing. Mengetahui sirip hiu memiliki nilai ekonomi, maka siripnya diambil kemudian tubuhnya dibuang kembali ke laut untuk menghilangkan jejak.

(a) (b)

Gambar 1. Penemuan Bangkai Hiu a. Blue magic dive spot, 27 Desember 2015

b. Balbulol, Misool, 20 Februari 2016

Berbeda dengan kasus yang dilaporkan pada tahun 2017, yang hingga bulan Maret

sudah ada tiga laporan. Kasus pada bulan Maret 2017, ditemukan alat pancing longline di dua lokasi yang berbeda, bahkan salah satunya sudah terdapat bangkai hiu utuh pada alat pancing tersebut. Hal ini membuktikan perburuan hiu di Raja Ampat semakin intens.

Page 119: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

656 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Menurut Fahmi dan Dharmadi, alat tangkap hiu berupa surface longline (rawai permukaan) dan bottom longline (rawai dasar).

(a) (b)

Gambar 2. Penemuan alat pancing longline a. Pulau Balak-balak, 14 Maret 2017

b. Batanta, 15 Maret 2017

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pengusaha komoditas hiu di Kota Sorong, sirip hiu untuk ukuran 20 cm (ukuran panjang sirip dada) dihargai Rp. 300.000/kg. sedangkan untuk sirip hiu ukuran 40 cm ke atas dihargai Rp. 1.000.000/kg.

Berdasarkan hasil pengukuran morfometrik, berat 1 set sirip hiu (1 sirip punggung, 2

sirip dada dan 1 sirip ekor) berkisar 0,6 - 1 kg. Jadi, jika ada 100 kg sirip hiu, diperkirakan jumlah hiu yang ditangkap mencapai 100 - 160 individu. Hingga saat ini, belum ada informasi yang pasti mengenai jumlah hiu dari Raja Ampat yang dijual ke Kota Sorong.

Namun, jika mengambil data laporan dari wisatawan, dari jumlah bangkai hiu yang

ditemukan, nilai sirip hiu dari Raja Ampat diperkirakan berkisar Rp. 6.000.000 - Rp 10.000.000 dalam 3 tahun (dengan asumsi ada 10 individu dengan berat sirip berkisar 6 - 10 kg dikalikan 1 juta).

Sementara itu, sebagai kawasan wisata dan konservasi, Kab. Raja Ampat

mengenakan tarif layanan pemeliharaan jasa lingkungan bagi wisatawan lokal dan Internasional melalui peraturan Bupati Raja Ampat no 18 tahun 2014 dengan nilai nominal Rp 425.000/orang/tahun bagi wisatawan lokal dan Rp. 850.000/orang/tahun bagi wisatawan internasional.

Berdasarkan data kunjungan wisatawan tahun 2015, kunjungan oleh wisatawan lokal

sebanyak 2.751 orang dan wisatawan internasional sebanyak 11.439 orang (DKP Raja Ampat, BLUD UPTD KKPD, 2016). Total pemasukan Pemda Raja Ampat dari kegiatan wisata dan konservasi mencapai Rp. 10.892.325.0000 untuk tahun 2015. Sebesar 89% dari nilai tersebut berasal dari wisatawan internasional. Nilai ekonomi tersebut belum termasuk pemasukan dari hotel, homestay, dan transportasi (kapal reguler, speedboat, dan mobil).

Pembahasan

Membandingkan nilai ekonomi dari kegiatan konservasi dan perikanan hiu, tentu nilainya sangat jauh berbeda bagi Kabupaten Raja Ampat. Namun, geliat usaha perikanan hiu yang terjadi di Kota Sorong, secara tidak langsung telah mempengaruhi upaya konservasi di Raja Ampat.

Page 120: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

657 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Berdasarkan data total pengiriman komoditas hiu di Kota Sorong, tiap tahun terus mengalami peningkatan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Gambar 3. Total Pengiriman Komoditas Hiu Berdasarkan Tahun

Data pengiriman pada triwulan 1 tahun 2017, sudah mencapai 32 ton atau 50% dari

total pengiriman tahun 2016. Hal ini memperlihatkan, jumlah pemanfaatan ikan hiu yang melalui Kota Sorong mengalami pengingkatan yang signifikan. Sementara, dari laporan penemuan alat pancing rawai di bulan Maret 2017 di Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat juga memperlihatkan upaya penangkapan ikan hiu oleh nelayan semakin serius.

Agar usaha perikanan hiu di Kota Sorong tetap berjalan dengan baik, dan tidak

mengganggu upaya konservasi di Raja Ampat, perlu ada kerja sama dan pengelolaan yang lebih baik antar kedua pemerintah daerah. Beberapa kebijakan pengelolaan bisa dilakukan antara lain : 1. Melakukan pendataan nelayan hiu dan pengusaha hiu di Kota Sorong

Pendataan nelayan dan pengusaha dilakukan dengan mekanisme registrasi. setiap

nelayan dan pengusaha akan diberikan nomor registrasi sebagai tanda daftar. Tujuannya untuk memudahkan dalam mengidentifikasi para pelaku usaha hiu. 2. Mewajibkan pendaratan hiu dalam bentuk utuh bagi nelayan hiu di Kota Sorong

Kebijakan mewajibkan pendaratan hiu utuh kemungkinan akan memberatkan para

nelayan. Namun, kebijakan ini akan memudahkan memantau hasil tangkapan para nelayan. Pendaratan hiu utuh telah dilakukan oleh nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Lur, NTB. Kaitannya dengan kebijakan registrasi nelayan hiu, jika pada saat pendaratan hiu ditemukan ikan hiu yang didaratkan oleh nelayan yang belum teregistrasi, maka bisa digunakan sebagai mekanisme kontrol upaya ilegal pemanfaaatan hiu.

3. Setiap transaksi oleh nelayan kepada pengusaha juga didata melalui mekanisme stock

opname Setiap transaksi komoditas hiu baik itu daging, tulang, sirip agar dilakukan pencatatan.

Pencatatan dilakukan oleh pengusaha yang membeli ke nelayan dengan mencantumkan minimal informasi tanggal transaksi, nama nelayan yang menjual, dan jumlah/berat

4,583

15,688

13,662

60,862

32,036

-

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

70,000

2013 2014 2015 2016 2017(triwulan 1)

Jum

lah

pe

ngi

rim

an (

kg)

Page 121: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

658 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

komoditas yang ditransaksikan. Catatan itu juga akan dipegang oleh petugas/aparatur yang memiliki kewenangan pengelolaan perikanan hiu.

Jumlah total berat komoditas hiu dinyatakan sebagai stock opname. Ketika pengusaha

akan melakukan pengiriman keluar Kota Sorong, dilakukan pencatatan kembali untuk mencocokkan data sebelum pengiriman dan yang akan dikirim. Jika ditemukan jumlah yang berbeda, bisa dilakukan kontrol untuk mengetahui asal usul komoditas yang akan dilalulintaskan. 4. Pemda Raja Ampat memaksimalkan pengawasan wilayah perairan bekerja sama dengan

mitra pelaku wisata untuk melaporkan segala bentuk kegiatan perikanan hiu yang ditemukan di Raja Ampat

Luas wilayah perairan Raja Ampat yang mencapai 65.521,19 Km2 (Bappeda Raja

Ampat, 2014) tentu menjadi tantangan dalam bidang pengawasan. Biaya yang besar dan keterbatasan waktu tentu menjadi faktor penghambat. Namun, ketika Pemda bisa bermitra dengan pelaku wisata, tentu akan sangat efektif dan efisien dalam melakukan pengawasan wilayah laut. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari kajian ini adalah sebagai berikut. 1. Usaha perikanan hiu di Kota Sorong memberikan pengaruh terhadap upaya konservasi di

Raja Ampat. 2. Nilai ekonomi wisata konservasi di Raja Ampat jauh lebih tinggi dibandingkan nilai

perikanan hiu yang bisa dihasilkan. 3. diperlukan upaya pengelolaan perikanan hiu di Kota Sorong yang lebih baik untuk

meminimalisir illegal fishing. 4. Kerjasama Pemda Raja Ampat dan pelaku wisata dapat menjadikan upaya pengawasan

kawasan konservasi menajdi lebih efektif dan efisien. UCAPAN TERIMA KASIH

Selama kajian hingga akhir penulisan makalah ini, penulis begitu banyak memperoleh bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang tak terhitung nilainya. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Indri Widhiastuti, istri tercinta yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk

mendampingi selama penulisan makalah. 2. Bapak Santoso Budi Widiarto, sebagai Kepala Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir

dan Laut Sorong yang terus mendukung dan memberikan saran pada penulisan makalah ini.

3. Bapak Arief Reza Fahlevi, sebagai atasan langsung di Subseksi Pendayagunaan dan Pelestarian yang mendukung penulisan makalah ini.

4. Pengelola website stayrajaampat.com yang bersedia memberikan akses informasi dan data

5. BKKPN Kupang Satker SAP Raja Ampat dan Waigeo sebelah barat yang memberikan data dan informasi

6. Zarlin Rikola, Staf Loka PSPL Sorong yang membantu mengumpulkan informasi perikanan hiu di sorong.

7. Bapak Hasyim, Pengusaha hiu di Kota Sorong yang bersedia memberikan informasi perdagangan sirip hiu.

Page 122: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

659 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

8. Terakhir untuk semua pihak yang telah membantu tapi tidak sempat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk segala bantuannya, semoga Allah SWT membalas semua bentuk kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan.

DAFTAR PUSTAKA Fahmi dan Dharmadi. 2005. Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya. Oseana,

Volume XXX, Nomor 1 DKP Raja Ampat, BLUD UPTD KKPD. 2016. Data Kunjungan Wisatawan Raja Ampat.

Waisai. Raja Ampat. Papua Barat. Perda Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Larangan Penangkapan Hiu, Pari Manta, dan Jenis-

jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat Peraturan Bupati Raja Ampat No 18 Tahun 2014 Tentang Tarif Layanan Pemeliharaan Jasa

Lingkungan Pada Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pada Dinas Kelautan Dan Perikanan Kab. Raja Ampat.

PERMEN KP Nomor 59/MEN-KP/2014 Tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna Spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia

Raja Ampat Environment Watch, www.stayrajaampat.com Surat Edaran Bupati Raja Ampat Nomor 430/470/2010 Tanggal 13 Oktober 2010

Page 123: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

660 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

STRUKTUR KOMUNITAS PADANG LAMUN DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN,

KEPULAUAN SERIBU

Ratri Cahyania*, Kutriyania, Agathis Noor La, Vivi Yuliana a, Bondan Wisnuaji a, Fitria Hana a, Sri

Lestari a

aJurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman.

*email: [email protected]

ABSTRAK Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) yang hidup dan tumbuh di laut dangkal dan jernih. Ekosistem lamun memiliki peranan utama di wilayah pesisir karena berperan langsung sebagai habitat untuk berbagai jenis hewan laut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 untuk mengetahui struktur komunitas padang lamun. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif. Pengamatan lamun meliputi identifikasi jenis-jenis lamun, menghitung jumlah tegakan/individu, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan dominansi. Jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Semak Daun terdapat delapan jenis yaitu Cymodocea rotundata, Cymodcea serulata, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila minor, Halophila ovalis, dan Thalassodendron ciliatum. Jenis lamun yang paling banyak ditemukan yaitu Cymodocea rotundata. Nilai indeks keanekaragaman berkisar 1,26-1,46 tergolong keanekaragaman sedang; indeks keseragaman berkisar 0,61-0,70 dikategorikan keseragaman tinggi, dan dominansi berkisar 0,01-0,07 tergolong dominansi rendah. Berdasarkan perhitungan indeks tersebut, kondisi padang lamun tergolong cukup baik dan kondisi kualitas perairan secara umum dalam keadaan baik untuk menunjang kehidupan lamun. KATA KUNCI: Struktur komunitas, lamun, Pulau Semak Daun PENDAHULUAN

Lamun merupakan suatu ekosistem yang sangat penting dalam wilayah pesisir karena memiliki keanekaragaman hayati tinggi, sebagai habitat yang baik bagi beberapa biota laut (spawning, nursery ,dan feeding ground) dan merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya (Nontji, 2002).

Dari potensi lamun yang cukup luas di perairan Indonesia dan melihat peranannya

yang sangat penting di daerah pesisir, menjadikan ekosistem lamun sebagai salah satu obyek dari sasaran konservasi perairan (DKP, 2008 dalam Tebaiy et al, 2014). Secara fisik, padang lamun berperan membantu mengurangi hempasan gelombang dan arus yang menuju pantai, menyaring sedimen yang terlarut dalam air, menstabilkan dasar sedimen, serta penangkap sedimen dan penahan erosi (Fonseca et al., 1982; Kiswara & Winardi, 1994 dalam Supriadi et al, 2012).

Secara ekologis, lamun berfungsi sebagai produsen primer, habitat bagi berbagai

satwa laut, substrat bagi biota epifit, tempat asuhan dan pembesaran beberapa jenis biota yang menghabiskan masa dewasanya di habitat ini, melindungi biota di sekitarnya dari panas matahari yang kuat, dan pendaur zat hara (Kiswara & Hutomo, 1985; Nienhuis, 1993 dalam Supriadi et al., 2012).

Keberadaan lamun yang penting bagi keberlangsungan hidup ikan dan lingkungannya,

mendapatkan ancaman yang cukup serius akibat meningkatnya aktivitas penduduk di

Page 124: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

661 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

wilayah pesisir seperti pembangunan pelabuhan, konversi lahan menjadi kawasan industri, dan pemanfatan areal ekosistem pesisir termasuk lamun yang bersifat destruktif (Dahuri, 2003). Permasalahan utama yang mempengaruhi padang lamun di seluruh dunia adalah kerusakan padang lamun akibat kegiatan pengerukan dan penimbunan (reklamasi), pencemaran air, wasting disease (penyakit), tingginya laju sedimentasi, kegiatan penambatan perahu dan kegiatan budidaya laut. Rusak atau hilangnya padang lamun di suatu tempat tidak hanya berakibat buruk terhadap biota-biota laut lainnya, tetapi juga risiko terjadinya pengikisan pantai oleh aksi ombak dan arus meningkat (Supriadi et al., 2012).

Mengingat pentingnya padang lamun di satu sisi dan meningkatnya tekanan

(kerusakan) ekosistem padang lamun oleh aktivitas manusia pada sisi lain, maka perlu segera dilakukan upaya-upaya pengelolan yang tepat dan konservasi padang lamun. Sebagai langkah awal dibutuhkan lebih banyak data dan informasi untuk mengerti kondisi ekologis padang lamun sebelum strategi pengelolaan dan konservasi yang tepat dapat dibuat dan diimplementasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas padang lamun di Perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai struktur kominitas padang lamun dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 berlokasi di perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Penentuan Stasiun Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif yaitu dilaksanakan dengan melakukan survei dan menjadi dasar dalam mengambil kebijakan atau penelitian lanjutan untuk mrencari keterwakilan. Stasiun pengamatan dibagi menjadi 4 sisi berdasarkan arah mata angin (utara, selatan, barat, timur). Pada masing-masing sisi, terdapat tiga stasiun lokasi penelitian.

Page 125: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

662 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pengambilan Data Lamun

Pengambilan data lamun dibagi menjadi tiga stasiun pada setiap sisinya sesuai arah mata angin, dimana tiap stasiun dibentangkan transek garis menggunakan roll meter dari pantai tegak lurus ke arah luar sampai tidak ditemukan lamun. Transek kuadrat yang digunakan dalam pengambilan data lamun yaitu berukuran 50 cm x 50 cm2. Jarak antar transek kuadrat satu dengan lainnya adalah 10 m, dan jarak antar transek garis satu dengan lainnya adalah 10 m. Di setiap transek kuadrat diindentifikasi jenisnya, dihitung tegakan, dan dicatat. Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur komunitas lamun pada ketiga sisi lokasi penelitian, maka dilakukan analisis data yang meliputi:

a. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

Indeks keragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan

jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap spesies di suatu lokasi. Rumus indeks keanekaragaman Shannon sebagai berikut (Odum, 1971) :

Keterangan :

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah individu total Pi = proporsi frekuensi jenis ke-i terhadap jumlah total Kriteria dari indeks keanekaragaman ditentukan berdasarkan nilai yang didapat :

H’<1 = Keanekaragaman rendah 1<H’<3 = Keanekaragaman sedang H’>3 = Keanekaragaman tinggi

b. Indeks Keseragaman

Indeks ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah

individu setiap jenis, yaitu dengan membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Indeks keseragaman ditentukan berdasarkan rumus berikut menurut Odum (1971):

Keterangan :

E = Indeks keseragaman H’ = Indeks keanekaragaman H’ Max = Indeks keanekaragaman maksimum (ln s) S = Jumlah total spesies

Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1, dengan kategori sebagai berikut :

E<0,4 = keseragaman kecil

Page 126: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

663 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

0,4<E<0,6 = keseragaman sedang E>0,6 = keseragaman besar

c. Index Dominansi Simpson

Indeks ini digunakan untuk menggambakan jenis yang paling banyak ditemukan dapat

diketahui dengan menghitung nilai dominansinya. Indeks dominansi dapat dirumuskan sebagai berikut (Odum, 1971):

Keterangan :

D = Indeks dominansi Pi = proporsi jumlah ke-i terhadap jumlah total

Nilai indeks dominansi berkisar 0-1, semakin besar nilai indeks semakin besar adanya kecenderungan salah satu spesies yang mendominasi populasi. Menurut Legendre dan Legendre (1983) indeks dominansi dapa dikelompokkan menjadi:

D<0,4 = Dominansi rendah 0,4<D<0,6 = Dominansi sedang D>0,6 = Dominansi tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Jenis dan Kelimpahan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis-jenis lamun yang dijumpai di perairan

pulau Semak Daun berjumlah delapan jenis. Komunitas lamun tersebut membentuk vegetasi campuran di setiap stasiun. Jenis-jenis lamun tersebut yaitu Cymodocea rotundata, Cymodcea serulata, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila minor, Halophila ovalis dan Thalassodendron ciliatum.

Dalam Gambar 1, dapat dilihat sisi utara memiliki jenis lamun yang paling banyak di

antara ketiga sisi lainnya. Tujuh jenis lamun ditemukan pada sisi utara, sedangkan sisi barat dan timur ditemukan enam jenis, dan sisi selatan hanya ditemukan lima jenis saja.

Jenis lamun yang sering banyak ditemukan dan tersebar hampir di tiap stasiun yakni

Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Jenis lamun Thalassia hemprichii hampir ditemukan di setiap stasiun pengamatan karena biasanya sebaran Thalassia hemprichii mendominasi padang lamun dan sering dijumpai di substrat berpasir (Taka & Azkab, 2010).

25%

26%

0%

37%

7%

4% 1% 0%

Sisi Utara

13%

49%

0%

27%

2%0% 9% 0%

Sisi Selatan

Page 127: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

664 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 2. Komposisi Jenis Lamun Berdasarkan Kelimpahan Jenis Di Empat Sisi Pengamatan

Jenis lamun Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, dan Thalassia hemprichii

ditemukan secara meluas di semua stasiun. Tingginya kemunculan jenis Cymodocea rotundata pada seluruh stasiun pengamatan menunjukkan jenis ini dapat menyesuaikan diri dengan karakteristik habitat perairan Pulau Semak Daun.

Seperti yang dinyatakan oleh Kiswara (1994), bahwa jenis lamun Magnozosterid

(lamun dengan bentuk daun yang panjang dan menyerupai pita dengan daun yang tidak terlalu lebar) dapat dijumpai pada berbagai habitat. Jenis lamun ini sering ditemukan di daerah dangkal hingga daerah yang terekspos ketika air laut surut. Cymodoceae rotundata merupakan jenis yang masuk dalam magnozosterid. Menurut Brower et al. (1990), jenis Cymodocea rotundata menyukai perairan yang terpapar sinar matahari. Jenis lamun tersebut merupakan lamun yang kosmopolit, yaitu dapat tumbuh hampir di semua kategori habitat.

Jenis lamun Syringodium isoetifolium yang hanya dtemukan di dua lokasi pengamatan

yaitu pada sisi barat dan sisi timur kemungkinan disebabkan oleh rendahnya surut muka air laut di perairan Pulau Semak daun yang mengakibatkan dasar perairan senantiasa terekspos. Sehingga jenis lamun seperti Syringodium isoetifolium akan sulit untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi dasar perairan yang terekspos yaitu pada sisi selatan dan utara.

Pendapat ini diperkuat oleh Patty (2013) yang menyatakan bahwa jenis lamun

Syringodium isoetifolium dapat tumbuh subur pada perairan yang selalu tergenang oleh air, dan sulit tumbuh di daerah dangkal.

Indeks Ekologi Komunitas Lamun

Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan Shannon–Weanner, nilai Indeks Keanekaragaman (H’) lamun dapat dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis lamun yang sedang. Hal ini karena hasil yang diperoleh dari ketiga sisi tidak lebih dari tiga, hanya berkisar antara 1,26 – 1,46.

Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan di sisi barat dan indeks keanekaragaman

terendah berada di sisi selatan. Indeks Keseragaman (E’) berkisar antara 0,61 – 0,7 dan dikategorikan keseragaman yang besar karena lebih dari 0,6. Indeks keseragaman tertinggi ditemukan di sisi utara dan barat dengan nilai 0,7 sedangkan indeks keseragaman terendah ada di sisi selatan dengan nilai 0,61 dengan katagori keseragaman tinggi pula.

29%

28%

0%

20%2%

1%0% 20%

Sisi Barat

31%

31%

0%2%

11%

0%24%

1%

Sisi Timur

Page 128: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

665 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 3. Nilai Indeks Ekologi Komunitas Lamun

Indeks dominansi berkisar antara 0,01 - 0,07, pada tiap sisi pengamatan mempunyai

nilai indeks fominansi yang tidak jauh berbeda. Nilai indeks dominansi sisi utara dan selatan dengan nilai dominansi yaitu 0,01 lebih rendah dibandingkan sisi barat yaitu 0,04 dan sisi timur dengan nilai dominansi 0,07.

Pada lokasi penelitian ini, jenis lamun yang mendominasi dari setiap stasiun adalah

jenis Cymodocea rotundata. Secara keseluruhan, dominansi lamun di perairan Pulau Semak Daun dilihat dari nilai total indeks dominansi, nilainya tergolong rendah karena semua nilai yang didapat pada setiap stasiun berada pada kisaran di bawah 0,5.

Nilai dominasi berkisar antara 0 - 1, yang menunjukkan bahwa semakin besar nilai

indeks dominasi, semakin besar adanya kecenderungan salah satu jenis yang mendominasi populasi. Secara umum, nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman dari keempat sisi pengamatan lebih tinggi dibandingkan nilai indeks dominansinya yang menunjukkan bahwa komunitas lamun di Pulau Semak Daun dalam kondisi yang stabil dan dapat mendukung jenis-jenis lamun penyusunnya.

Nilai keanekaragaman yang tergolong tinggi menunjukkan perbedaan jumlah individu

diantara jenis-jenis penyusunnya cenderung merata diikuti dengan indeks dominansi yang kecil. KESIMPULAN

Lamun yang ditemukan di perairan pulau Semak Daun yaitu Cymodocea rotundata, Cymodcea serulata, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila minor, Halophila ovalis, dan Thalassodendron ciliatum. Jenis lamun yang paling banyak ditemukan yaitu Cymodocea rotundata. Nilai indeks keanekaragaman berkisar 1,26-1,46 tergolong keanekaragaman sedang; indeks keseragaman berkisar 0,61-0,70 dikategorikan keseragaman besar dan dominansi berkisar 0,01-0,07 tergolong dominansi rendah. Berdasarkan perhitungan indeks tersebut, kondisi padang lamun tergolong cukup baik dan kondisi kualitas perairan secara umum dalam keadaan baik untuk menunjang kehidupan lamun.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Dra. Bintang Marhaeni, M.Si. selaku dosen yang telah membimbing tim lamun sampai saat ini dan teman- teman ekspedisi yang selalu mendukung untuk menyelesaikan penulisan.

0

0.5

1

1.5

utara selatan barat timur

1.45

1.26

1.46 1.43

0.70.61

0.7 0.69

0.01 0.01 0.04 0.07

keanekaragaman

keseragaman

dominansi

Page 129: POSTER - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/6... · etnografi dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun hasil

666 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DAFTAR PUSTAKA Brower JE, JH Zar, & Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General

Ecology.Wm.C. Brown Publisher. USA. Dahuri Rohmin. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Orasi

Ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Kiswara W. 1994. A Review: Seagrass Ecosystems Studies In Indonesian Waters. Paper

presented at the ASEAN-Australia Symposium on Living Coastal Resources, Chulalongkom University.

Legendre L and P Legendre. 1983. Numerical Ecology. Elsevier Scientific Publishing Company. New York.

Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan, Jakarta. Odum EP. 1971. Fundamentals Of Ecology 3rd Edition. W.B Saunders Co. Philadelphia and

London. Odum EP. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Samingan dan Srigadi, B. Gadjah

Madah University Press, Yogyakarta. Patty I, Simon, dan Rifai Husein. 2013. Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Pulau

Mentehage, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Plataz. 1(4) : 177-178. Supriadi, Richardus F Kaswadji, Dietrich G Bengen, dan Malikusworo Hutomo. 2012.

Komunitas Lamun Di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan Karakteristik Habitat. Maspari Journal. 4(2): 148-158.

Taka K dan MH Azkab. 2010. Struktur Komunitas Lamun di Pulau Talise, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi Indonesia. 36(1) : 85- 95.

Tebaiy, Selvi, Fredinan Yulianda, Achmad Fahrudin, dan Ismudi Muchsin. 2014. Struktur Komunitas Padang Lamun Dan Strategi Pengelolaan Di Teluk Youtefa Jayapura Papua. Jurnal Segara. 10(2) : 137-140.