Positive Accounting Theory

22
POSITIVE ACCOUNTING THEORY: APAKAH PERLU DIKRITIK? OLEH: AJI DEDI MULAWARMAN ABSTRAKSI Artikel ini mencoba menelusuri Positive Accounting Theory sebagai salah satu domain yang dominan dalam riset akuntansi, terutama artikel-artikel Watts dan Zimmerman (1978, 1986, 1990) melalui serangan kritik-kritik “positif” maupun “negatif” seperti dilakukan Tinker et.al. (1982), Christenson (1983), Whittington (1987), Sterling (1990), Boland dan Gordon (1992), Gaffikin (2005). Kritik “positif” terhadap Positive Accounting Theory memang hanya berkutat pada tataran metodologis dan untuk kepentingan pragmatism utility of accounting research. Sedangkan kritik “negatif” yang sebenarnya lebih fundamental, pada dataran filosofis (value laden) dan asumsi dasar teoritis (utility maximization), ternyata tidak (atau belum?) dipahami sebagai bentuk relationship of scientific accounting development. Tetapi selalu dipahami sebagai contradiction of scientific accounting development. Kata kunci: Positive Accounting Theory, Kritik Metodologis, Kritik Filosofis, Kritik Asumsi Dasar Teoritis, Value Laden, Utility Maximization 1. PENDAHULUAN Positivisme dalam Riset Akuntansi sebenarnya telah lama dilakukan, yang dimulai oleh Beaver (1968). Sedangkan Positive Accounting Theory (selanjutnya disebut PAT), dalam paradigmatic positioning, baru muncul ketika Watts dan Zimmerman meluncurkan artikel penelitiannya tahun

description

Teori Akuntansi

Transcript of Positive Accounting Theory

Page 1: Positive Accounting Theory

POSITIVE ACCOUNTING THEORY: APAKAH PERLU DIKRITIK?

OLEH: AJI DEDI MULAWARMAN

ABSTRAKSI

Artikel ini mencoba menelusuri Positive Accounting Theory sebagai salah satu domain yang

dominan dalam riset akuntansi, terutama artikel-artikel Watts dan Zimmerman (1978, 1986,

1990) melalui serangan kritik-kritik “positif” maupun “negatif” seperti dilakukan Tinker et.al.

(1982), Christenson (1983), Whittington (1987), Sterling (1990), Boland dan Gordon (1992),

Gaffikin (2005). Kritik “positif” terhadap Positive Accounting Theory memang hanya berkutat

pada tataran metodologis dan untuk kepentingan pragmatism utility of accounting research.

Sedangkan kritik “negatif” yang sebenarnya lebih fundamental, pada dataran filosofis (value

laden) dan asumsi dasar teoritis (utility maximization), ternyata tidak (atau belum?) dipahami

sebagai bentuk relationship of scientific accounting development. Tetapi selalu dipahami

sebagai contradiction of scientific accounting development.

Kata kunci: Positive Accounting Theory, Kritik Metodologis, Kritik Filosofis, Kritik Asumsi

Dasar Teoritis, Value Laden, Utility Maximization

1. PENDAHULUAN

Positivisme dalam Riset Akuntansi sebenarnya telah lama dilakukan, yang dimulai oleh

Beaver (1968). Sedangkan Positive Accounting Theory (selanjutnya disebut PAT),

dalam paradigmatic positioning, baru muncul ketika Watts dan Zimmerman

meluncurkan artikel penelitiannya tahun 1978. Gagasan yang disampaikan oleh Watts

dan Zimmerman merupakan gagasan teori yang sangat fenomenal, monumental

sekaligus kontroversial. Banyak pujian muncul terhadapnya, dan akhirnya berujung

dijadikannya PAT sebagai paradigma riset yang dominan, riset berbasis studi empiris-

kuantitatif.

Tidak kurang pula kritikan dialamatkan kepada mereka. Kritikan, baik yang lebih

menekankan pada kritik metodologi, kritik asumsi dasar ekonomi (teoritis), sampai

pada kritik asumsi filosofis-sains. Kritikan pedas misalnya disampaikan Sterling

(1990), yang mengatakan bahwa PAT tidak memenuhi syarat sebagai Ilmu yang utuh.

Tetapi hanya dianggap sebagai Cottage Industry di sisi Periphery Accounting Thought.

Atau disebut Tinker et.al. (1982) sebagai Marginalism.

Page 2: Positive Accounting Theory

Tulisan ini mencoba untuk melakukan penelusuran kritik-kritik yang dilakukan oleh

akademisi di bidang akuntansi terhadap PAT dalam dua periode sebelum dan sesudah,

yang dibatasi oleh artikel jawaban dari Watts dan Zimmerman (1990). Dari penelusuran

itu akan ditarik benang merah yang muncul dari kritik PAT dan mencoba untuk

melakukan evaluasi konstruktif.

2. KRITIK SEBELUM WATTS DAN ZIMMERMAN (1990)

Kritik yang dilakukan Christenson (1983) pada pertanyaan-pertanyaan riset “positif”

yang sebenarnya hanya berkaitan dengan ‘sosiologi akuntansi’ bukannya bertujuan

untuk membentuk “teori akuntansi”, karena hal tersebut berkaitan dengan deskripsi dan

prediksi tentang perilaku para akuntan atau manajer, bukan perilaku ’entitas-entitas

akuntansi’. Dan yang paling penting lagi adalah seperti yang disebut Zimmerman

(1980) yang mengutip pernyataan Friedman (1953) “untuk membedakan ekonomi

positif dan ekonomi normatif”, bahwa kebijakan ekonomi yang ‘benar’ tergantung pada

kemajuan ekonomi normatif yang mendukung kemajuan ekonomi positif sehingga teori

ekonomi dapat diterima. Friedman tidak menggunakan istilah “teori positif”, tapi dia

mengatakan bahwa “tujuan akhir dari ilmu pengetahuan positif adalah perkembangan

‘teori’ atau ‘hipotesis’ yang mampu memprediksi secara valid dan bermakna atas

fenomena yang belum diamati.

Friedman menunjukkan perbedaan antara sains “positif” dan “normatif” dengan

menyatakan bahwa: “sains positif dapat didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan

(knowledge) tersistem yang berkaitan dengan “apa itu” (what is); sedangkan sains

normatif atau regulatif didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan yang

berhubungan dengan kriteria tentang bagaimana seharusnya……”. Konsep “sains

positif” mulai populer sejak abad ke-19. Paradigma sains positif sering-kali disebut

dengan “positivism”, yang hanya melakukan metode-metode ilmu pengetahuan alam

yang memberikan “pengetahuan positif” (positive knowledge) tentang “apa” (what is)

(untuk lebih detil dan sebagai pembanding dapat dilihat kritik dari Whitington 1987

misalnya).

Sebenarnya menurut Christenson (1983) memandang ilmu pengetahuan tidaklah harus

dipandang dari perbedaan antara normatif dan positif. Tetapi ilmu pengetahuan empiris

bisa dipandang sebagai produk (seperangkat pengetahuan atau knowledge yang

tersistem) atau sebagai proses (aktivitas manusia dalam menghasil-kan pengetahuan

atau knowledge). Para positivis menekankan pandangan bahwa ilmu pengetahuan me-

rupakan suatu produk, yang ditunjukkan melalui struktur formal dalam bentuk proposisi

Page 3: Positive Accounting Theory

empiris. Sementara itu, filsafat ilmu menekankan pada pandangan ilmu pengetahuan

sebagai suatu proses. Jadi penekanan yang ingin disampaikan oleh Christenson adalah

tidak penting apakah pencapaian ilmu pengetahuan itu dilakukan secara normatif atau

positif, semuanya sah-sah saja. Dan semuanya benar. Bahkan pencapaian ilmu

pengetahuan juga perlu dilakukan pada satu waktu bersifat normatif dan pada akhirnya

bersifat positif. Hanya yang berbeda adalah pencapaian ilmu pengetahuan yang empiris

lebih didasarkan pada produk dan proses.

Lebih mendalam lagi kritik PAT yang dilakukan Sterling (1990), dibagi dalam 3

bagian, yaitu Dua Pilar Utama (Studi Fenomena dan Value Free), Asumsi Dasar

Ekonomi yang berakar pada Teori Ekonomi Positif, serta Science yang berakar dari

Positivisme Logis) dan Pencapaian (Aktual dan Potensial). Kritik ringan Sterling

berkaitan dengan penjelasan dan konten (isi) buku mereka yang terbit tahun 1986 yang

berjudul POSITIVE ACCOUNTING THEORY. Rasional dari buku ini mengenai posisi

scientific dari PAT hanya dijelaskan kurang dari 5% keseluruhan buku. Bab 1 yang

terdiri dari 14 halaman dari 362 halaman, yang berkaitan mengapa teori dikatakan

scientifik hanya setengahnya. Sehingga Sterling kemudian menjuluki buku ini sebagai

Buku Akuntansi Empiris Berbasis Ilmu Ekonomi, bukan Buku tentang Teori

Akuntansi. Hal ini terlihat dari parade kronologis studi empiris akuntansi pada Bab 2-

13. sedangkan bab 14 merupakan Artikel Watts dan Zimmerman tahun 1979 yang

diedit kembali.

Sedangkan Bab 15 hanya Summary, Evaluation dan Prospects.

Kritik Sterling (1992) terhadap PAT dalam hal dua pilar utama, dibagi menjadi dua,

yaitu studi fenonema dan value free. Studi fenomena sendiri berkaitan dengan

penelitian praktik akuntansi, praktik akuntan dan utility maximization. Teori dianggap

ilmiah bila berdasarkan praktik, sedangkan teori yang tidak dipraktikkan dianggap tidak

ilmiah (semu). Praktik akuntansi didasarkan pada tujuan utama dari PAT, yaitu bahwa

tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to

predict). Studi fenomena yang berkaitan dengan praktik akuntan merupakan ekstensi

fenomena akuntansi adalah bagaimana manajer membuat keputusan dengan memakai

formulae atau mathematical constructions (seperti pada kasus LIFO atau LIFO).

Pertanyaan yang muncul kemudian formula mana yang dipakai, kedua adalah mengapa

formula tersebut yang dipakai. Fenomena akuntansi dan akuntan hanya diukur melalui

mathematical constructions, yang digunakan untuk merepresentasikan bentuk-bentuk

Page 4: Positive Accounting Theory

(informasi) akuntansi. Konstruk matematis ini dianggap Sterling hanya dapat memotret

kata-kata dan angka-angka tanpa dapat melihat bentuk riil (things) dan kejadian

(events). Sindiran Sterling (1990, 101) lengkapnya sebagai berikut:

They have fallen in love with pictures (financial statements) without recognizing that

they need be images of matters (economic goods)

Sedangkan berkaitan dengan behavior akuntan praktisi, PAT memiliki basic assumption

Utility Maximization. Utilitas dalam PAT diasumsikan atau diaproksimasi sebagai

income (atau cashflow, wealth, variabel finansial lainnya). Asumsi ini menurut Sterling

(1990) tidak selalu benar, misal utilitas dalam pandangan philanthropist bukanlah

income, tetapi altruistik. PAT tidak pernah melihat utility maximization di luar

kepentingan self-interest, seperti gagasan yang menjadi rujukannya, Chicago School

yang tetap melihat dua hal tersebut dalam satu bagian utuh.

Bahkan Ulitily Maximization sebenarnya tidak hanya dapat dijelaskan dalam seluruh

perhitungan statistik. Bila setiap manusia memang memiliki utility mazimization

seharusnya hasil penelitian adalah 100%. Tetapi kenyataannya pasti ada R2, yang

terlihat sebagai bentuk tidak adanya kepentingan Utility Maximization yang 100%.

Dari sini diperlukan metode penelitian di luar kuantitatif research yang dapat

menjelaskan realitas utility maximization yang bukan hanya dikonstruk dalam bentuk

income dan derivasinya, atau bahkan perilaku di luar utility maximization. Sterling

misalnya mengusulkan adanya Antropologi Akuntansi, yang melihat fenomena

akuntansi bukan hanya dari hasil mathematical constructions yaitu laporan keuangan

misalnya (misalya Tinker, et.al. 1982, mengusulkan Historical Materialism).

Tetapi fenomena akuntasi seharusnya juga melihat proses akuntan melakukan proses

akuntansi sampai menghasilkan laporan keuangan. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh

PAT, tetapi dapat dilakukan dalam kerangka sosiologis. Dari konteks seperti itu dapat

terlihat motivasi perilaku apakah mengarah pada utility maximization atau tidak,

kemudian juga dapat melakukan konfirmasi utuh terhadap realitas atau fenomena

akuntansi dengan teori akuntansi yang normatif. Artinya tidak seperti PAT, yang

menegasikan Teori Normatif, PAT telah salah dalam menilai Teori Normatif sebagai

tidak ilmiah, dan hanya PAT yang ilmiah. Sebagai Newton atau Einstein-pun

sebenarnya merumuskan teorinya tidak seluruhnya berasal dari fenomena yang

Page 5: Positive Accounting Theory

seragam, tetapi juga dapat berasal dari pikiran normatif (misalnya Einstein dengan

rumus E=mc2) atau fenomena tunggal (misalnya Newton dengan gagasan Gravity

Theory)

Pilar kedua PAT menurut Sterling (1990) adalah Value Free. Value Free menghindari

pertanyaan mengenai nilai (menjadi positive atau descriptive) adalah Ilmiah. Sedangkan

yang mempertanyakan nilai (normatif) dianggap tidak ilmiah atau teori semu. Science

adalah bebas nilai atau positif sedangkan yang sarat nilai atau normatif dianggap tidak

ilmiah. Lacunae (bagian yang hilang) dari PAT adalah reduksi teori normatif, dan

Positif adalah satu-satunya yang Ilmiah.

Sebenarnya tidak mungkin realitas akuntansi bebas dari aspek normatif, yang dengan

demikian sarat dengan nilai. Ketika Watts dan Zimmerman mendefinisikan PAT

sebagai textbook, saat itu pula PAT telah menjadi normatif dan Watts dan Zimmerman

telah memasukkan nilai bahwa yang benar adalah proses empiris. Realitas empiris

sebenarnya mempraktikkan aspek normatif akuntansi, yang kemudian diuji secara

statistik (positif) yang kemudian melakukan konfirmasi teori. Sains secara umum

memiliki rantai interelasi aktivitas; peneliti mencari dan menemukan teknik yang lebih

maju, akademisi mengajarkan teknik tersebut, praktisi mengimplementasikan teknik

lebih baik

PAT, lanjut Sterling (1990) dibangun dalam dua asumsi dasar, yaitu Ilmu Ekonomi

Positif dan Positifisme Logis. Basis PAT dalam ekonomi seharusnya merujuk pada

National Income Accounting. Juga dalam konsep utility, seharusnya merujuk konsep

Optimality Pareto yang juga menjadi basis Chicago School. Basis PAT dalam sains

merujuk pada positifisme logis. Positifisme sebenarnya adalah turunan langsung dari

Positifisme Logis dari Hempel, Passmore, Poincare, dan Popper (hal ini diakui oleh

Watts dan Zimmerman). Tetapi mereka sendiri melakukan penolakan terhadap konsep

positifisme logis yang dianggap masih banyak kerumitan di dalamnya. Sedangkan

penentuan kata positif dirujuk dari ilmu ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh

positifisme.

Page 6: Positive Accounting Theory

Berkaitan dengan pencapaian aktual dan potensial PAT, Watts dan Zimmerman (1986)

memulai dengan asumsi bahwa semua orang bertindak untuk memaksimalkan utilitas

mereka ketika menyeleksi metode akuntansi. Setelah 350 halaman dari buku PAT

mereka menyimpulkan dari temuan empiris utama bahwa para manajer bertindak untuk

memaksimalkan utilitas mereka ketika melakukan pemilihan metode-metode akuntansi.

Kesimpulan empiris pemilik dan manajer memiliki kepentingan diri sendiri dengan

memanipulasi angka akuntansi. Pengalaman itu dihasilkan dalam membangun fungsi

auditing (dan membangun banyak komisi regulatori, pengesahan undang-undang, dll).

Untuk alasan-alasan ini, masalah-masalh semacam itu telah dijelaskan oleh ahli teori

normatif dan lainnya selama puluhan tahun. Hal yang sama dalam Pencapaian Aktual

dalam 20 tahun yang akan datang terdapat laporan penelitian bahwa manajer dan atau

pemilik cenderung memanipulasi angka. Hal ini sebenarnya juga sudah diprediksi oleh

Normative Theory.

3. SESUDAH WATTS AND ZIMMERMAN (1990)

Watts dan Zimmerman tahun 1990 menulis artikel setelah sepuluh tahun keluarnya

gagasan mereka tahun 1978 mengenai PAT, dan empat tahun setelah terbitnya gagasan

PAT dalam bentuk buku. Artikel Watts dan Zimmerman (1990), disamping melakukan

evaluasi perkembangan PAT secara konseptual, juga melakukan tanggapan atas kritik-

kritik terhadap PAT.

Meskipun yang banyak dilakukan Watts dan Zimmerman (1990) adalah evaluasi

mengenai konsep metodologis, bagaimana perkembangannya sampai saat ini dan

pengembangan hipotesis yang dapat menunjang konsep utama PAT, to explain dan to

predict. Pengakuan terhadap asumsi filosofis dan asumsi saintifik, sangat tidak

konstruktif. Pengakuan bahwa sains tidak bebas nilai sebenarnya telah dipahami oleh

Watts dan Zimmerman, meskipun dengan ’agak malu-malu’.

Kritik asumsi dasar PAT sesudah tulisan Watts dan Zimmerman (1990), misalnya

datang dari Boland dan Gordon (1992), yang menurut mereka asumsi dasar PAT

berasal dari Economic-Based Accounting Theory (1978, p.4; 1986, pp.1 & 13). Atau

lebih detil lagi menurut Boland dan Gordon (1992) asumsi Watts Zimmerman tahun

1978, 1979 dan 1980 merupakan penggabungan dari Instrumentalisme dari Milton

Friedman. Instrumentalisme menyatakan bahwa teori dan explanation harus

Page 7: Positive Accounting Theory

dijustifikasi untuk kepentingan usefullness daripada realism. Asumsi Watts dan

Zimmerman juga berasal dari Positivisme-nya Paul Samuelson. Teori yang berbasis

empiris tidak akan berjalan jika hanya berada pada kondisi ideal. Sedangkan asumsi

Watts dan Zimmerman tahun 1986 berasal dari kombinasi Poincare, Hemple dan

Popper, yaitu Conventionalism. Conventionalism menyatakan bahwa teori tidak pernah

sepenuhnya benar atau salah (never absolutely thrue or false).

Sedangkan kritik Boland dan Gordon (1992) dilakukan dalam tiga asumsi Metodologis,

Filosofis, Akuntansi berbasis Ilmu Ekonomi. Pertama, Kritik metodologi seperti

dilakukan Lev dan Ohlson (1982) memandang PAT tidak dapat dipakai untuk model

yang multiperson, multiperiod equilibria, terdapat kesenjangan antara strategic

considerations dan pendekatan game-theory yang dijadikan basis mengembangkan teori

formal. Ball dan Foster (1982) memandang validitas konstruk dalam variabel “size”

tidak jelas. Houlthausen dan Leftwich (1983) melihat terdapat dikotomi problematik

dari variabel dependen yang merepresentasikan persetujuan atau ketidaksetujuan dalam

penentuan standar akuntansi. McKee, Bell dan Boatsman (1984) memandang terdapat

bias identifikasi statistik dalam studi Watts dan Zimmerman 1978.

Kedua, kritik Filosofis mirip Kritik Value Free dalam Sterling. Banyak penulis

mengkritik pembedaan Positif dan Normatif dari Watts dan Zimmerman (Tinker,

Merino, dan Neimark 1982; Christenson 1983; Schreuder 1984; Whittington 1987;

Whitley 1988). Hal ini seperti dibahas oleh Sterling, yang lebih penting adalah seperti

dijelaskan oleh Boland dan Gordon (1992) bahwa PAT berasal dari positivisme ala

London School Economics dan Chicago School.

Ketiga, kritik berbasis Ilmu Ekonomi, menurut Boland dan Gordon (1992) beberapa

pengkritik melihat keterbatasan penjelasan PAT (Sterling 1990 dan Mouck 1990).

Dalam teori ekonomi sendiri, maksimasi kepentingan individu tidak sepenuhnya

dilakukan. Hal ini harus juga dipandang bahwa maksimasi juga harus

mempertimbangkan maksimasi welfare of society. Inilah yang disebut dengan General

Equilibrium dari Chicago School yang dihilangkan dari asumsi Watts dan Zimmerman.

Mereka hanya merujuk salah satu gagasan Chicago School terutama tulisan dari George

Stigler dan Gary Becker 1977. Terutama pada gagasan penjelasan fenomena sebagai

konsekuensi maksimasi utilitas atau secara tidak langsung pada profit atau maksimasi

kekayaan. Sehingga segala bentuk model yang dibangun harus memberikan dukungan

pada asumsi utama ini. Inilah yang disebut dengan Conventionalisme atau Friedman’s

Page 8: Positive Accounting Theory

Instrumentalism, yaitu bahwa model merupakan aproksimasi yang baik dari realitas.

PAT memang sampai saat ini masih tidak berubah dari substansi asalnya. Hal ini

ditegaskan oleh Gaffikin (2005), bahwa PAT memiliki asumsi sentral yaitu setiap

individu selalu memiliki tujuan untuk meningkatkan kepentingan dirinya sendiri.

Asumsi ini berasal dari teori ekonomi neo-klasikal. Tujuannya adalah untuk

menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi serta mengendalikan perilaku

opurtunistik dalam bentuk bonding (seperti restriksi), monitoring (seperti reporting) dan

compensation (seperti stock options). Kritik Gaffikin (2005) menyatakan bahwa PAT

tidak pernah melakukan preskripsi, tidak bebas nilai, memiliki asumsi keperilakuan

yang simplistis, secara scientific mengidap cacat (flawed), dan miskin (atau tidak

memiliki) kontribusi praktis akuntansi.

4. EVALUASI KRITIS PAT

Kritik-kritik terhadap PAT sebenarnya merupakan diskursus yang memberikan

kontribusi keilmuan akuntansi. Kritik balik Watts dan Zimmerman (terutama dalam

kritik filosofis-saintifik) yang dialamatkan kepada mereka, dianggap tidak memiliki

kontribusi apapun terhadap praktik akuntansi. Kerangka berpikir Watts dan

Zimmerman sepertinya lebih didorong oleh pragmatism utility of knowledge of

accounting research. Ukuran yang dipakai oleh Watts dan Zimmerman ditera sesuai

dengan kontribusi yang dihasilkan oleh mereka sendiri, yang menurut mereka PAT

lebih memberi manfaat langsung. Sedangkan kontribusi yang diinginkan oleh para

kritikus memang berbeda, yaitu masuk pada substansi keilmuan akuntansi dan bukan

hanya terpenjara dalam praktik akuntansi an sich.

Value Laden

Dalam konteks value laden misalnya, Watts dan Zimmerman memahami pentingnya

nilai yang mempengaruhi akuntan. Tetapi Watts dan Zimmerman tetap tidak

memahami pengaruh yang muncul ketika nilai sosiologis-psikologis akuntan

bersentuhan dengan hasil yang diperoleh oleh akuntan dalam bentuk laporan keuangan

misalnya. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional

teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan. Tetapi,

seperti dikatakan oleh Hines (1989), bahwa :

accounting creates and maintains (or can play a part in changing) the social world, is

through its reflection and reinforcement of the values of society.

Page 9: Positive Accounting Theory

Ketika akuntansi sarat nilai, yaitu ketika akuntansi konvensional masih didominasi

world-view Barat, yang terjadi dalam karakter akuntansi pasti bernilai kapitalisme,

sekuler, egois, anti-altruistik. Hameed (2000a) menggambarkan, bahwa tujuan

akuntansi sebagai decision usefulness untuk investor dan kreditor yang berorientasi

pada pasar modal berasal dari world-view materialisme dan norma-norma ekonomi

kapitalisme. Hal ini ditegaskan Harahap (2001, 305-306), bahwa akuntansi barat

dibangun atas dasar filsafat materialisme-sekulerisme hasil pemikiran manusia tanpa

campur tangan Allah.

Bila ditelusuri lebih jauh, akar pemikiran akuntansi konvensional tersebut berasal dari

substansi Ilmu Ekonomi, yang berprinsip pada self-interest (lihat misalnya pemikiran

Soros 2002 hal 140 ). Self-interest adalah representasi substansi pandangan dunia

(world-view/paradigma) Barat yang sekuler dan kapitalistik.

Sekularisme adalah bentuk 3 penegasian, yaitu penegasian kekuasaan dan kekuatan di

luar manusia (anthropocentrism), hilangnya nilai-nilai non-materi (materialism) dan

penolakan terhadap certainty condition (relativism) (lebih jauh lihat Al-Attas 1981).

Ketika sekularisme telah muncul di awal pembentukannya di kalangan Barat setelah

Renaissance dan Revolusi Ilmiah serta Revolusi Teknologi. Diakui sendiri oleh

kalangan Barat, bahwa sekularisme telah keluar dari domain religi, dan telah bermakna

sosiologis (lihat misalnya sosiologi sekularisasinya Glasner 1992). Sekularisme dalam

akuntansi, ketika melihat akuntansi modern hanya memiliki sifat materialisme. Seperti

terlihat dalam laporan keuangan yang hanya memberikan informasi tentang aktivitas

perusahaan yang bersifat materi dan diukur dalam unit uang, atau singkatnya

menyajikan realitas materi saja.

Pemikiran kapitalisme seperti dijelaskan panjang lebar oleh Fukuyama (2003) seorang

pemikir politik beraliran Neo-Hegelisme, menyebutkan manusia adalah seperti binatang

yang memiliki kebutuhan alami dan hasrat terhadap benda di luar dirinya seperti

makanan, minuman, tempat berlindung, dan segala sesuatu yang mempertahankan

fisiknya. Namun, lanjut Fukuyama, manusia berbeda secara fundamental dari binatang,

karena disamping manusia memiliki hasrat terhadap orang lain, ia juga ingin “diakui”

oleh orang lain, terutama dia ingin diakui sebagai manusia dengan martabat dan

penghargaan tertentu. Penghargaan, menurut Fukuyama adalah pertama yang

berhubungan dengan keinginannya untuk mempertaruhkan kehidupannya demi

Page 10: Positive Accounting Theory

perjuangan memperoleh prestise yang lebih baik. Karena hanya manusia, lebih lanjut

Fukuyama menjelaskan, yang mengatasi instink hewan untuk mencapai prinsip-prinsip

tujuan yang lebih abstrak dan tinggi. Tujuan dalam peperangan berdarah pada awal

sejarah bukanlah makanan, tempat berlindung atau keamanan, tetapi semata-mata untuk

prestise.

Sehingga yang muncul kemudian adalah takut matinya seseorang atas orang lain, dan

akhirnya muncul yang dinamakan sebagai “tuan” dan “budak”. Berdasarkan filosofi

inilah kemudian kapitalisme berkembang, seperti yang dijadikan landasan Weber,

melegitimasi kapitalisme sebagai rasionalisasi kemajuan dan perbaikan manusia dalam

mengarungi dunia. Weber (2003) telah mengarahkan bagaimana Akuntansi sebagai alat

dari para pemilik modal untuk melegitimasi, mencatat dan mempertahkan kepentingan

pribadinya. Ketika perusahaan sebagai pusat modal dan simbol kekuasaan, berkembang

dengan pemisahan antara pemilik modal dan manejemen, maka yang terjadi sebenarnya

bukanlah konflik kepentingan dalam teori agensi. Dalam domain akuntansi, pengaruh

kapitalisme dijelaskan oleh Hines (1989), pertama, bahwa fungsi-fungsi akuntansi

berjalan di dalam lingkungan pasar kompetitif dan yang kuat yang akan bertahan. Pasar

diarahkan pada the invisible hand kompetisi bebas, perusahaan yang paling efisien yang

paling profitable dalam terminologi akuntansi. Kedua, asumsi produsen dan pengguna

informasi akuntansi bertindak rasional, yang menurut Hines merupakan terminologi

yang dibangun dari tradisi self-interest yang berdampak pada survival of the fittest.

Sehingga berakibat pada studi-studi akuntansi yang kurang memperhatikan aspek

eksternalitas. Dan ketiga, lebih mementingkan shareholders dan creditors, dimana

hanya hak kepemilikan (property rights) riil yang dianggap eksis, dan cenderung

mereduksi hak-hak masyarakat lainnya yang sarat dengan nilai.

Dua hal itulah (sekularisme dan kapitalisme) yang kemudian mengarahkan pemikiran

manusia Barat menjadi terobsesi dengan dirinya sendiri. Muncul dalam bentuk pondasi

ekonomi Barat yang berprinsip pada Self-Interest. Dengan prinsip utama self-interest,

berdampak pada kepentingan perusahaan yang berorientasi stockholders atau

shareholders.

Kepentingan tersebut adalah bentuk penegasian kekuatan di luar dirinya dan tidak

berlakunya nilai etis. Serta mengarahkan konteks ekonomi yang selalu berada pada

kondisi ketidakpastian yang mutlak, dan tidak bermanfaatnya eksternalitas kecuali

berdampak langsung terhadap dirinya. Ujung-ujungnya, adalah rekayasa kepentingan

Page 11: Positive Accounting Theory

manusia yang harus selalu memikirkan untuk dapat hidup dalam kepuasan dan

kesenangan (laissez-faire ). Dampak lanjutan dari self-interest dalam akuntansi,

mengarah pada laporan keuangan, informasi serta akuntabilitas pada shareholders

maupun stockholders (lihat misalnya Triyuwono 2000; Hameed 2000b; Harahap 2002).

Bentuk riilnya terpampang dalam Laporan Laba Rugi/Income Statement, dengan akhir

perhitungan, berupa Laba (earnings-based oriented).

Mathematical Constructions

Di samping itu, teori akuntansi, menurut Sterling (1990) bukan hanya reduksi informasi

akuntansi menjadi mathematical constructions, tetapi juga berhubungan dengan things

dan events. Bila memang asumsi akuntansi mirip studi kealaman, dengan demikian

perlu penggeseran tradisi keilmuan menjadi cabang ilmu matematika dan teknik,

menjadi penting S-Matrix Theory dari Geoffrey Chew yang merupakan gagasan teknis

dari Filsafat Bootstrap. Filsafat Bootstrap (Capra 2000) adalah teori puncak fisika

kuantum dan relativitas, dengan kesadaran kesalinghubungan esensial dan universal,

memperoleh unsur dinamisnya dari teori realitivitas dan dirumuskan dalam konteks

probabilitas reaksi dalam S-Matrix Theory. S-Matrix Theory yang menggabungkan

konsep Kuantum dan Relativitas layak dipertimbangkan untuk memahami sifat-sifat

informasi akuntansi sebagai representasi simbolik reaksi partikel (investor) yang

dideskripsikan dalam konteks kecepatan (momentum) investor ‘bermain’ di bursa

saham.

Tetapi, sekali lagi, apakah mungkin S-Matrix Theory kemudian hanya terpakai secara

parsial dalam Teori Akuntansi Positif, seperti yang terjadi dalam pemakaian asumsi

dasar teoritis ekonomi Neo-Klasik yaitu konsep utility maximization dari Chicago

School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics. Utility maximization

yang hanya dipakai sampai pada taraf kepentingan pemilik modal dan menegasikan

asumsi lanjutan yang bersifat Keseimbangan Pareto? Karena S-Matrix Theory

mensyaratkan empat postulat (prinsip umum) yang membatasi kemungkinan matematis

untuk mengkonstruksi elemen matriks S sehingga memberikan suatu struktur tertentu

pada matriks S.

Page 12: Positive Accounting Theory

Prinsip pertama, berasal dari teori relativitas, yaitu bahwa probabilitas-probabillitas

reaksi mesti tak tergantung (Independensi) pada perpindahan peralatan eksperimental

dalam ruang dan waktu, tak bergantung pada orientasinya dalam ruang dan tergantung

pada keadaan gerak dari pengamat. Independensi suatu reaksi partikel terhadap

orientasi dan perpindahannya dalam ruang dan waktu menyiratkan kekelan jumlah total

rotasi, momentum dan energi yang terlibat dalam reaksi. Simetri ini sangat mendasar

bagi aktivitas ilmiah.

Prinsip kedua, berasal dari teori kuantum, bahwa hasil reaksi tertentu hanya dapat

diprediksi dalam konteks probabilitas, dan lebih jauh lagi, jumlah probabilitas untuk

seluruh hasil yang mungkin – termasuk ketika tak terjadi interaksi antar partikel – harus

sama dengan satu. Dengan kata lain, kita bisa memastikan apakah partikel-partikel ini

akan berinteraksi satu sama lain, atau tidak sama sekali. Prinsip ini dinamakan prinsip

uniter yang secara tegas membatasi kemungkinan-kemungkinan untuk menyusun

elemen matriks S.

Prinsip ketiga dan keempat, terkait dengan gagasan tentang sebab akibat (prinsip

kasualitas). Prinsip ini menyatakan bahwa energi dan momentum berpindah melalui

jarak-jarak spasial hanya melalui partikel-partikel, dan perpindahan energi dan

momentum ini terjadi sedemikian sehingga sebuah partikel dapat tercipta dalam suatu

reaksi dan musnah dalam reaksi lainnya hanya jika reakis yang terakhir terjadi setelah

reaksi sebelumnya. Rumusan matematis dari prinsip energi dan momentum dari

partikel-partikel yang terlibat dalam suatu rekasi, kecuali untuk nilai-nilai dimana

penciptaan partikel-partikel yang baru menjadi mungkin. Pada nilai-nilai itu, struktur

matematis dari Matriks S berubah secara tiba-tiba; menjumpai apa yang disebut

matematikawan sebagai singularitas

Ulitity Maximization

Kemudian, berkaitan dengan reduksi positifisme logis atas ekuilibrium dan definisi

utility maximization yang masih dipahami sebagai approximation dalam bentuk

income, cashflow, abnormal return dan lainnya. Watts dan Zimmerman masih tidak

menginginkan adanya bentuk lain dari utility maximization seperti pandangan

filantropis, misalnya distribusi kesejahteraan atau value added. Atau mungkin di luar

Page 13: Positive Accounting Theory

utility maximization yang tidak ter’cover’ dalam asumsi dasar economic based

accounting theory. Seperti konsep mandatory-charity atau dalam bahasa budaya asli

kita, shadaqah, infaq dan zakat yang tidak (belum) dipahami dengan utuh dalam konsep

Kapitalisme, Materialisme dan Anthropocentrism (Self-Interest) yang merupakan

substansi dari konsep utility maximization Chicago School, MIT, Harvard ataupun

London School of Economics.

5. CATATAN AKHIR

Benarlah kemudian ketika Suwardjono (2005, 32-34; 482-495) yang meletakkan

pembahasan mengenai PAT sebagai bagian dari Akuntansi dalam Tataran Pragmatik.

Tataran Pragmatik dalam teori komunikasi berkepentingan untuk menentukan apakah

pesan sampai kepada penerima dan mempengaruhi perilaku yang dituju. Teori

akuntansi pragmatik memusatkan perhatiannya pada pengaruh informasi terhadap

perubahan perilaku pemakai informasi akuntansi. Apakah akhirnya pihak pemakai

informasi tersebut untuk dasar pengambilan keputusan merupakan masalah usefulness

informasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya asosiasi antara angka akuntansi atau

peristiwa (event) dengan return, harga atau volume saham di pasar modal

Sebenarnya kontribusi keilmuan akuntansi tidak hanya bersifat pragmatis saja, tetapi

harus selalu dalam bentuk multidimensi dan multi arah. Tidak hanya bersifat linier dan

selalu dependensi satu arah atau beberapa arah yang membentuk parsial utility.

Kontribusi haruslah integrated utility, yang dengan itu maka akuntansi tidak terjebak

pada konteks pragmatis saja dengan ambil teori sana, ambil teori sini.

Akuntansi bukanlah “bangunan mati” yang dapat didirikan oleh batu batu, semen, pasir,

cat yang semuanya berasal dari benda mati. Tetapi bila ingin menjadi ilmu yang kokoh,

seharusnya mengarah menjadi “pohon hidup” keilmuannya sendiri. Struktur keilmuan

akuntansi yang memiliki akar kuat, ke dalam, memiliki batang yang kokoh, cabang

dapat memberikan tempat bagi daun dan buah untuk tumbuh, serta bermanfaat dan bagi

lingkungan serta entitas di luarnya.