POSITIVE ACCOUNTING THEORY: APAKAH PERLU DIKRITIK?
OLEH: AJI DEDI MULAWARMAN
ABSTRAKSI
Artikel ini mencoba menelusuri Positive Accounting Theory sebagai salah satu domain yang
dominan dalam riset akuntansi, terutama artikel-artikel Watts dan Zimmerman (1978, 1986,
1990) melalui serangan kritik-kritik “positif” maupun “negatif” seperti dilakukan Tinker et.al.
(1982), Christenson (1983), Whittington (1987), Sterling (1990), Boland dan Gordon (1992),
Gaffikin (2005). Kritik “positif” terhadap Positive Accounting Theory memang hanya berkutat
pada tataran metodologis dan untuk kepentingan pragmatism utility of accounting research.
Sedangkan kritik “negatif” yang sebenarnya lebih fundamental, pada dataran filosofis (value
laden) dan asumsi dasar teoritis (utility maximization), ternyata tidak (atau belum?) dipahami
sebagai bentuk relationship of scientific accounting development. Tetapi selalu dipahami
sebagai contradiction of scientific accounting development.
Kata kunci: Positive Accounting Theory, Kritik Metodologis, Kritik Filosofis, Kritik Asumsi
Dasar Teoritis, Value Laden, Utility Maximization
1. PENDAHULUAN
Positivisme dalam Riset Akuntansi sebenarnya telah lama dilakukan, yang dimulai oleh
Beaver (1968). Sedangkan Positive Accounting Theory (selanjutnya disebut PAT),
dalam paradigmatic positioning, baru muncul ketika Watts dan Zimmerman
meluncurkan artikel penelitiannya tahun 1978. Gagasan yang disampaikan oleh Watts
dan Zimmerman merupakan gagasan teori yang sangat fenomenal, monumental
sekaligus kontroversial. Banyak pujian muncul terhadapnya, dan akhirnya berujung
dijadikannya PAT sebagai paradigma riset yang dominan, riset berbasis studi empiris-
kuantitatif.
Tidak kurang pula kritikan dialamatkan kepada mereka. Kritikan, baik yang lebih
menekankan pada kritik metodologi, kritik asumsi dasar ekonomi (teoritis), sampai
pada kritik asumsi filosofis-sains. Kritikan pedas misalnya disampaikan Sterling
(1990), yang mengatakan bahwa PAT tidak memenuhi syarat sebagai Ilmu yang utuh.
Tetapi hanya dianggap sebagai Cottage Industry di sisi Periphery Accounting Thought.
Atau disebut Tinker et.al. (1982) sebagai Marginalism.
Tulisan ini mencoba untuk melakukan penelusuran kritik-kritik yang dilakukan oleh
akademisi di bidang akuntansi terhadap PAT dalam dua periode sebelum dan sesudah,
yang dibatasi oleh artikel jawaban dari Watts dan Zimmerman (1990). Dari penelusuran
itu akan ditarik benang merah yang muncul dari kritik PAT dan mencoba untuk
melakukan evaluasi konstruktif.
2. KRITIK SEBELUM WATTS DAN ZIMMERMAN (1990)
Kritik yang dilakukan Christenson (1983) pada pertanyaan-pertanyaan riset “positif”
yang sebenarnya hanya berkaitan dengan ‘sosiologi akuntansi’ bukannya bertujuan
untuk membentuk “teori akuntansi”, karena hal tersebut berkaitan dengan deskripsi dan
prediksi tentang perilaku para akuntan atau manajer, bukan perilaku ’entitas-entitas
akuntansi’. Dan yang paling penting lagi adalah seperti yang disebut Zimmerman
(1980) yang mengutip pernyataan Friedman (1953) “untuk membedakan ekonomi
positif dan ekonomi normatif”, bahwa kebijakan ekonomi yang ‘benar’ tergantung pada
kemajuan ekonomi normatif yang mendukung kemajuan ekonomi positif sehingga teori
ekonomi dapat diterima. Friedman tidak menggunakan istilah “teori positif”, tapi dia
mengatakan bahwa “tujuan akhir dari ilmu pengetahuan positif adalah perkembangan
‘teori’ atau ‘hipotesis’ yang mampu memprediksi secara valid dan bermakna atas
fenomena yang belum diamati.
Friedman menunjukkan perbedaan antara sains “positif” dan “normatif” dengan
menyatakan bahwa: “sains positif dapat didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan
(knowledge) tersistem yang berkaitan dengan “apa itu” (what is); sedangkan sains
normatif atau regulatif didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan yang
berhubungan dengan kriteria tentang bagaimana seharusnya……”. Konsep “sains
positif” mulai populer sejak abad ke-19. Paradigma sains positif sering-kali disebut
dengan “positivism”, yang hanya melakukan metode-metode ilmu pengetahuan alam
yang memberikan “pengetahuan positif” (positive knowledge) tentang “apa” (what is)
(untuk lebih detil dan sebagai pembanding dapat dilihat kritik dari Whitington 1987
misalnya).
Sebenarnya menurut Christenson (1983) memandang ilmu pengetahuan tidaklah harus
dipandang dari perbedaan antara normatif dan positif. Tetapi ilmu pengetahuan empiris
bisa dipandang sebagai produk (seperangkat pengetahuan atau knowledge yang
tersistem) atau sebagai proses (aktivitas manusia dalam menghasil-kan pengetahuan
atau knowledge). Para positivis menekankan pandangan bahwa ilmu pengetahuan me-
rupakan suatu produk, yang ditunjukkan melalui struktur formal dalam bentuk proposisi
empiris. Sementara itu, filsafat ilmu menekankan pada pandangan ilmu pengetahuan
sebagai suatu proses. Jadi penekanan yang ingin disampaikan oleh Christenson adalah
tidak penting apakah pencapaian ilmu pengetahuan itu dilakukan secara normatif atau
positif, semuanya sah-sah saja. Dan semuanya benar. Bahkan pencapaian ilmu
pengetahuan juga perlu dilakukan pada satu waktu bersifat normatif dan pada akhirnya
bersifat positif. Hanya yang berbeda adalah pencapaian ilmu pengetahuan yang empiris
lebih didasarkan pada produk dan proses.
Lebih mendalam lagi kritik PAT yang dilakukan Sterling (1990), dibagi dalam 3
bagian, yaitu Dua Pilar Utama (Studi Fenomena dan Value Free), Asumsi Dasar
Ekonomi yang berakar pada Teori Ekonomi Positif, serta Science yang berakar dari
Positivisme Logis) dan Pencapaian (Aktual dan Potensial). Kritik ringan Sterling
berkaitan dengan penjelasan dan konten (isi) buku mereka yang terbit tahun 1986 yang
berjudul POSITIVE ACCOUNTING THEORY. Rasional dari buku ini mengenai posisi
scientific dari PAT hanya dijelaskan kurang dari 5% keseluruhan buku. Bab 1 yang
terdiri dari 14 halaman dari 362 halaman, yang berkaitan mengapa teori dikatakan
scientifik hanya setengahnya. Sehingga Sterling kemudian menjuluki buku ini sebagai
Buku Akuntansi Empiris Berbasis Ilmu Ekonomi, bukan Buku tentang Teori
Akuntansi. Hal ini terlihat dari parade kronologis studi empiris akuntansi pada Bab 2-
13. sedangkan bab 14 merupakan Artikel Watts dan Zimmerman tahun 1979 yang
diedit kembali.
Sedangkan Bab 15 hanya Summary, Evaluation dan Prospects.
Kritik Sterling (1992) terhadap PAT dalam hal dua pilar utama, dibagi menjadi dua,
yaitu studi fenonema dan value free. Studi fenomena sendiri berkaitan dengan
penelitian praktik akuntansi, praktik akuntan dan utility maximization. Teori dianggap
ilmiah bila berdasarkan praktik, sedangkan teori yang tidak dipraktikkan dianggap tidak
ilmiah (semu). Praktik akuntansi didasarkan pada tujuan utama dari PAT, yaitu bahwa
tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to
predict). Studi fenomena yang berkaitan dengan praktik akuntan merupakan ekstensi
fenomena akuntansi adalah bagaimana manajer membuat keputusan dengan memakai
formulae atau mathematical constructions (seperti pada kasus LIFO atau LIFO).
Pertanyaan yang muncul kemudian formula mana yang dipakai, kedua adalah mengapa
formula tersebut yang dipakai. Fenomena akuntansi dan akuntan hanya diukur melalui
mathematical constructions, yang digunakan untuk merepresentasikan bentuk-bentuk
(informasi) akuntansi. Konstruk matematis ini dianggap Sterling hanya dapat memotret
kata-kata dan angka-angka tanpa dapat melihat bentuk riil (things) dan kejadian
(events). Sindiran Sterling (1990, 101) lengkapnya sebagai berikut:
They have fallen in love with pictures (financial statements) without recognizing that
they need be images of matters (economic goods)
Sedangkan berkaitan dengan behavior akuntan praktisi, PAT memiliki basic assumption
Utility Maximization. Utilitas dalam PAT diasumsikan atau diaproksimasi sebagai
income (atau cashflow, wealth, variabel finansial lainnya). Asumsi ini menurut Sterling
(1990) tidak selalu benar, misal utilitas dalam pandangan philanthropist bukanlah
income, tetapi altruistik. PAT tidak pernah melihat utility maximization di luar
kepentingan self-interest, seperti gagasan yang menjadi rujukannya, Chicago School
yang tetap melihat dua hal tersebut dalam satu bagian utuh.
Bahkan Ulitily Maximization sebenarnya tidak hanya dapat dijelaskan dalam seluruh
perhitungan statistik. Bila setiap manusia memang memiliki utility mazimization
seharusnya hasil penelitian adalah 100%. Tetapi kenyataannya pasti ada R2, yang
terlihat sebagai bentuk tidak adanya kepentingan Utility Maximization yang 100%.
Dari sini diperlukan metode penelitian di luar kuantitatif research yang dapat
menjelaskan realitas utility maximization yang bukan hanya dikonstruk dalam bentuk
income dan derivasinya, atau bahkan perilaku di luar utility maximization. Sterling
misalnya mengusulkan adanya Antropologi Akuntansi, yang melihat fenomena
akuntansi bukan hanya dari hasil mathematical constructions yaitu laporan keuangan
misalnya (misalya Tinker, et.al. 1982, mengusulkan Historical Materialism).
Tetapi fenomena akuntasi seharusnya juga melihat proses akuntan melakukan proses
akuntansi sampai menghasilkan laporan keuangan. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh
PAT, tetapi dapat dilakukan dalam kerangka sosiologis. Dari konteks seperti itu dapat
terlihat motivasi perilaku apakah mengarah pada utility maximization atau tidak,
kemudian juga dapat melakukan konfirmasi utuh terhadap realitas atau fenomena
akuntansi dengan teori akuntansi yang normatif. Artinya tidak seperti PAT, yang
menegasikan Teori Normatif, PAT telah salah dalam menilai Teori Normatif sebagai
tidak ilmiah, dan hanya PAT yang ilmiah. Sebagai Newton atau Einstein-pun
sebenarnya merumuskan teorinya tidak seluruhnya berasal dari fenomena yang
seragam, tetapi juga dapat berasal dari pikiran normatif (misalnya Einstein dengan
rumus E=mc2) atau fenomena tunggal (misalnya Newton dengan gagasan Gravity
Theory)
Pilar kedua PAT menurut Sterling (1990) adalah Value Free. Value Free menghindari
pertanyaan mengenai nilai (menjadi positive atau descriptive) adalah Ilmiah. Sedangkan
yang mempertanyakan nilai (normatif) dianggap tidak ilmiah atau teori semu. Science
adalah bebas nilai atau positif sedangkan yang sarat nilai atau normatif dianggap tidak
ilmiah. Lacunae (bagian yang hilang) dari PAT adalah reduksi teori normatif, dan
Positif adalah satu-satunya yang Ilmiah.
Sebenarnya tidak mungkin realitas akuntansi bebas dari aspek normatif, yang dengan
demikian sarat dengan nilai. Ketika Watts dan Zimmerman mendefinisikan PAT
sebagai textbook, saat itu pula PAT telah menjadi normatif dan Watts dan Zimmerman
telah memasukkan nilai bahwa yang benar adalah proses empiris. Realitas empiris
sebenarnya mempraktikkan aspek normatif akuntansi, yang kemudian diuji secara
statistik (positif) yang kemudian melakukan konfirmasi teori. Sains secara umum
memiliki rantai interelasi aktivitas; peneliti mencari dan menemukan teknik yang lebih
maju, akademisi mengajarkan teknik tersebut, praktisi mengimplementasikan teknik
lebih baik
PAT, lanjut Sterling (1990) dibangun dalam dua asumsi dasar, yaitu Ilmu Ekonomi
Positif dan Positifisme Logis. Basis PAT dalam ekonomi seharusnya merujuk pada
National Income Accounting. Juga dalam konsep utility, seharusnya merujuk konsep
Optimality Pareto yang juga menjadi basis Chicago School. Basis PAT dalam sains
merujuk pada positifisme logis. Positifisme sebenarnya adalah turunan langsung dari
Positifisme Logis dari Hempel, Passmore, Poincare, dan Popper (hal ini diakui oleh
Watts dan Zimmerman). Tetapi mereka sendiri melakukan penolakan terhadap konsep
positifisme logis yang dianggap masih banyak kerumitan di dalamnya. Sedangkan
penentuan kata positif dirujuk dari ilmu ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh
positifisme.
Berkaitan dengan pencapaian aktual dan potensial PAT, Watts dan Zimmerman (1986)
memulai dengan asumsi bahwa semua orang bertindak untuk memaksimalkan utilitas
mereka ketika menyeleksi metode akuntansi. Setelah 350 halaman dari buku PAT
mereka menyimpulkan dari temuan empiris utama bahwa para manajer bertindak untuk
memaksimalkan utilitas mereka ketika melakukan pemilihan metode-metode akuntansi.
Kesimpulan empiris pemilik dan manajer memiliki kepentingan diri sendiri dengan
memanipulasi angka akuntansi. Pengalaman itu dihasilkan dalam membangun fungsi
auditing (dan membangun banyak komisi regulatori, pengesahan undang-undang, dll).
Untuk alasan-alasan ini, masalah-masalh semacam itu telah dijelaskan oleh ahli teori
normatif dan lainnya selama puluhan tahun. Hal yang sama dalam Pencapaian Aktual
dalam 20 tahun yang akan datang terdapat laporan penelitian bahwa manajer dan atau
pemilik cenderung memanipulasi angka. Hal ini sebenarnya juga sudah diprediksi oleh
Normative Theory.
3. SESUDAH WATTS AND ZIMMERMAN (1990)
Watts dan Zimmerman tahun 1990 menulis artikel setelah sepuluh tahun keluarnya
gagasan mereka tahun 1978 mengenai PAT, dan empat tahun setelah terbitnya gagasan
PAT dalam bentuk buku. Artikel Watts dan Zimmerman (1990), disamping melakukan
evaluasi perkembangan PAT secara konseptual, juga melakukan tanggapan atas kritik-
kritik terhadap PAT.
Meskipun yang banyak dilakukan Watts dan Zimmerman (1990) adalah evaluasi
mengenai konsep metodologis, bagaimana perkembangannya sampai saat ini dan
pengembangan hipotesis yang dapat menunjang konsep utama PAT, to explain dan to
predict. Pengakuan terhadap asumsi filosofis dan asumsi saintifik, sangat tidak
konstruktif. Pengakuan bahwa sains tidak bebas nilai sebenarnya telah dipahami oleh
Watts dan Zimmerman, meskipun dengan ’agak malu-malu’.
Kritik asumsi dasar PAT sesudah tulisan Watts dan Zimmerman (1990), misalnya
datang dari Boland dan Gordon (1992), yang menurut mereka asumsi dasar PAT
berasal dari Economic-Based Accounting Theory (1978, p.4; 1986, pp.1 & 13). Atau
lebih detil lagi menurut Boland dan Gordon (1992) asumsi Watts Zimmerman tahun
1978, 1979 dan 1980 merupakan penggabungan dari Instrumentalisme dari Milton
Friedman. Instrumentalisme menyatakan bahwa teori dan explanation harus
dijustifikasi untuk kepentingan usefullness daripada realism. Asumsi Watts dan
Zimmerman juga berasal dari Positivisme-nya Paul Samuelson. Teori yang berbasis
empiris tidak akan berjalan jika hanya berada pada kondisi ideal. Sedangkan asumsi
Watts dan Zimmerman tahun 1986 berasal dari kombinasi Poincare, Hemple dan
Popper, yaitu Conventionalism. Conventionalism menyatakan bahwa teori tidak pernah
sepenuhnya benar atau salah (never absolutely thrue or false).
Sedangkan kritik Boland dan Gordon (1992) dilakukan dalam tiga asumsi Metodologis,
Filosofis, Akuntansi berbasis Ilmu Ekonomi. Pertama, Kritik metodologi seperti
dilakukan Lev dan Ohlson (1982) memandang PAT tidak dapat dipakai untuk model
yang multiperson, multiperiod equilibria, terdapat kesenjangan antara strategic
considerations dan pendekatan game-theory yang dijadikan basis mengembangkan teori
formal. Ball dan Foster (1982) memandang validitas konstruk dalam variabel “size”
tidak jelas. Houlthausen dan Leftwich (1983) melihat terdapat dikotomi problematik
dari variabel dependen yang merepresentasikan persetujuan atau ketidaksetujuan dalam
penentuan standar akuntansi. McKee, Bell dan Boatsman (1984) memandang terdapat
bias identifikasi statistik dalam studi Watts dan Zimmerman 1978.
Kedua, kritik Filosofis mirip Kritik Value Free dalam Sterling. Banyak penulis
mengkritik pembedaan Positif dan Normatif dari Watts dan Zimmerman (Tinker,
Merino, dan Neimark 1982; Christenson 1983; Schreuder 1984; Whittington 1987;
Whitley 1988). Hal ini seperti dibahas oleh Sterling, yang lebih penting adalah seperti
dijelaskan oleh Boland dan Gordon (1992) bahwa PAT berasal dari positivisme ala
London School Economics dan Chicago School.
Ketiga, kritik berbasis Ilmu Ekonomi, menurut Boland dan Gordon (1992) beberapa
pengkritik melihat keterbatasan penjelasan PAT (Sterling 1990 dan Mouck 1990).
Dalam teori ekonomi sendiri, maksimasi kepentingan individu tidak sepenuhnya
dilakukan. Hal ini harus juga dipandang bahwa maksimasi juga harus
mempertimbangkan maksimasi welfare of society. Inilah yang disebut dengan General
Equilibrium dari Chicago School yang dihilangkan dari asumsi Watts dan Zimmerman.
Mereka hanya merujuk salah satu gagasan Chicago School terutama tulisan dari George
Stigler dan Gary Becker 1977. Terutama pada gagasan penjelasan fenomena sebagai
konsekuensi maksimasi utilitas atau secara tidak langsung pada profit atau maksimasi
kekayaan. Sehingga segala bentuk model yang dibangun harus memberikan dukungan
pada asumsi utama ini. Inilah yang disebut dengan Conventionalisme atau Friedman’s
Instrumentalism, yaitu bahwa model merupakan aproksimasi yang baik dari realitas.
PAT memang sampai saat ini masih tidak berubah dari substansi asalnya. Hal ini
ditegaskan oleh Gaffikin (2005), bahwa PAT memiliki asumsi sentral yaitu setiap
individu selalu memiliki tujuan untuk meningkatkan kepentingan dirinya sendiri.
Asumsi ini berasal dari teori ekonomi neo-klasikal. Tujuannya adalah untuk
menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi serta mengendalikan perilaku
opurtunistik dalam bentuk bonding (seperti restriksi), monitoring (seperti reporting) dan
compensation (seperti stock options). Kritik Gaffikin (2005) menyatakan bahwa PAT
tidak pernah melakukan preskripsi, tidak bebas nilai, memiliki asumsi keperilakuan
yang simplistis, secara scientific mengidap cacat (flawed), dan miskin (atau tidak
memiliki) kontribusi praktis akuntansi.
4. EVALUASI KRITIS PAT
Kritik-kritik terhadap PAT sebenarnya merupakan diskursus yang memberikan
kontribusi keilmuan akuntansi. Kritik balik Watts dan Zimmerman (terutama dalam
kritik filosofis-saintifik) yang dialamatkan kepada mereka, dianggap tidak memiliki
kontribusi apapun terhadap praktik akuntansi. Kerangka berpikir Watts dan
Zimmerman sepertinya lebih didorong oleh pragmatism utility of knowledge of
accounting research. Ukuran yang dipakai oleh Watts dan Zimmerman ditera sesuai
dengan kontribusi yang dihasilkan oleh mereka sendiri, yang menurut mereka PAT
lebih memberi manfaat langsung. Sedangkan kontribusi yang diinginkan oleh para
kritikus memang berbeda, yaitu masuk pada substansi keilmuan akuntansi dan bukan
hanya terpenjara dalam praktik akuntansi an sich.
Value Laden
Dalam konteks value laden misalnya, Watts dan Zimmerman memahami pentingnya
nilai yang mempengaruhi akuntan. Tetapi Watts dan Zimmerman tetap tidak
memahami pengaruh yang muncul ketika nilai sosiologis-psikologis akuntan
bersentuhan dengan hasil yang diperoleh oleh akuntan dalam bentuk laporan keuangan
misalnya. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional
teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan. Tetapi,
seperti dikatakan oleh Hines (1989), bahwa :
accounting creates and maintains (or can play a part in changing) the social world, is
through its reflection and reinforcement of the values of society.
Ketika akuntansi sarat nilai, yaitu ketika akuntansi konvensional masih didominasi
world-view Barat, yang terjadi dalam karakter akuntansi pasti bernilai kapitalisme,
sekuler, egois, anti-altruistik. Hameed (2000a) menggambarkan, bahwa tujuan
akuntansi sebagai decision usefulness untuk investor dan kreditor yang berorientasi
pada pasar modal berasal dari world-view materialisme dan norma-norma ekonomi
kapitalisme. Hal ini ditegaskan Harahap (2001, 305-306), bahwa akuntansi barat
dibangun atas dasar filsafat materialisme-sekulerisme hasil pemikiran manusia tanpa
campur tangan Allah.
Bila ditelusuri lebih jauh, akar pemikiran akuntansi konvensional tersebut berasal dari
substansi Ilmu Ekonomi, yang berprinsip pada self-interest (lihat misalnya pemikiran
Soros 2002 hal 140 ). Self-interest adalah representasi substansi pandangan dunia
(world-view/paradigma) Barat yang sekuler dan kapitalistik.
Sekularisme adalah bentuk 3 penegasian, yaitu penegasian kekuasaan dan kekuatan di
luar manusia (anthropocentrism), hilangnya nilai-nilai non-materi (materialism) dan
penolakan terhadap certainty condition (relativism) (lebih jauh lihat Al-Attas 1981).
Ketika sekularisme telah muncul di awal pembentukannya di kalangan Barat setelah
Renaissance dan Revolusi Ilmiah serta Revolusi Teknologi. Diakui sendiri oleh
kalangan Barat, bahwa sekularisme telah keluar dari domain religi, dan telah bermakna
sosiologis (lihat misalnya sosiologi sekularisasinya Glasner 1992). Sekularisme dalam
akuntansi, ketika melihat akuntansi modern hanya memiliki sifat materialisme. Seperti
terlihat dalam laporan keuangan yang hanya memberikan informasi tentang aktivitas
perusahaan yang bersifat materi dan diukur dalam unit uang, atau singkatnya
menyajikan realitas materi saja.
Pemikiran kapitalisme seperti dijelaskan panjang lebar oleh Fukuyama (2003) seorang
pemikir politik beraliran Neo-Hegelisme, menyebutkan manusia adalah seperti binatang
yang memiliki kebutuhan alami dan hasrat terhadap benda di luar dirinya seperti
makanan, minuman, tempat berlindung, dan segala sesuatu yang mempertahankan
fisiknya. Namun, lanjut Fukuyama, manusia berbeda secara fundamental dari binatang,
karena disamping manusia memiliki hasrat terhadap orang lain, ia juga ingin “diakui”
oleh orang lain, terutama dia ingin diakui sebagai manusia dengan martabat dan
penghargaan tertentu. Penghargaan, menurut Fukuyama adalah pertama yang
berhubungan dengan keinginannya untuk mempertaruhkan kehidupannya demi
perjuangan memperoleh prestise yang lebih baik. Karena hanya manusia, lebih lanjut
Fukuyama menjelaskan, yang mengatasi instink hewan untuk mencapai prinsip-prinsip
tujuan yang lebih abstrak dan tinggi. Tujuan dalam peperangan berdarah pada awal
sejarah bukanlah makanan, tempat berlindung atau keamanan, tetapi semata-mata untuk
prestise.
Sehingga yang muncul kemudian adalah takut matinya seseorang atas orang lain, dan
akhirnya muncul yang dinamakan sebagai “tuan” dan “budak”. Berdasarkan filosofi
inilah kemudian kapitalisme berkembang, seperti yang dijadikan landasan Weber,
melegitimasi kapitalisme sebagai rasionalisasi kemajuan dan perbaikan manusia dalam
mengarungi dunia. Weber (2003) telah mengarahkan bagaimana Akuntansi sebagai alat
dari para pemilik modal untuk melegitimasi, mencatat dan mempertahkan kepentingan
pribadinya. Ketika perusahaan sebagai pusat modal dan simbol kekuasaan, berkembang
dengan pemisahan antara pemilik modal dan manejemen, maka yang terjadi sebenarnya
bukanlah konflik kepentingan dalam teori agensi. Dalam domain akuntansi, pengaruh
kapitalisme dijelaskan oleh Hines (1989), pertama, bahwa fungsi-fungsi akuntansi
berjalan di dalam lingkungan pasar kompetitif dan yang kuat yang akan bertahan. Pasar
diarahkan pada the invisible hand kompetisi bebas, perusahaan yang paling efisien yang
paling profitable dalam terminologi akuntansi. Kedua, asumsi produsen dan pengguna
informasi akuntansi bertindak rasional, yang menurut Hines merupakan terminologi
yang dibangun dari tradisi self-interest yang berdampak pada survival of the fittest.
Sehingga berakibat pada studi-studi akuntansi yang kurang memperhatikan aspek
eksternalitas. Dan ketiga, lebih mementingkan shareholders dan creditors, dimana
hanya hak kepemilikan (property rights) riil yang dianggap eksis, dan cenderung
mereduksi hak-hak masyarakat lainnya yang sarat dengan nilai.
Dua hal itulah (sekularisme dan kapitalisme) yang kemudian mengarahkan pemikiran
manusia Barat menjadi terobsesi dengan dirinya sendiri. Muncul dalam bentuk pondasi
ekonomi Barat yang berprinsip pada Self-Interest. Dengan prinsip utama self-interest,
berdampak pada kepentingan perusahaan yang berorientasi stockholders atau
shareholders.
Kepentingan tersebut adalah bentuk penegasian kekuatan di luar dirinya dan tidak
berlakunya nilai etis. Serta mengarahkan konteks ekonomi yang selalu berada pada
kondisi ketidakpastian yang mutlak, dan tidak bermanfaatnya eksternalitas kecuali
berdampak langsung terhadap dirinya. Ujung-ujungnya, adalah rekayasa kepentingan
manusia yang harus selalu memikirkan untuk dapat hidup dalam kepuasan dan
kesenangan (laissez-faire ). Dampak lanjutan dari self-interest dalam akuntansi,
mengarah pada laporan keuangan, informasi serta akuntabilitas pada shareholders
maupun stockholders (lihat misalnya Triyuwono 2000; Hameed 2000b; Harahap 2002).
Bentuk riilnya terpampang dalam Laporan Laba Rugi/Income Statement, dengan akhir
perhitungan, berupa Laba (earnings-based oriented).
Mathematical Constructions
Di samping itu, teori akuntansi, menurut Sterling (1990) bukan hanya reduksi informasi
akuntansi menjadi mathematical constructions, tetapi juga berhubungan dengan things
dan events. Bila memang asumsi akuntansi mirip studi kealaman, dengan demikian
perlu penggeseran tradisi keilmuan menjadi cabang ilmu matematika dan teknik,
menjadi penting S-Matrix Theory dari Geoffrey Chew yang merupakan gagasan teknis
dari Filsafat Bootstrap. Filsafat Bootstrap (Capra 2000) adalah teori puncak fisika
kuantum dan relativitas, dengan kesadaran kesalinghubungan esensial dan universal,
memperoleh unsur dinamisnya dari teori realitivitas dan dirumuskan dalam konteks
probabilitas reaksi dalam S-Matrix Theory. S-Matrix Theory yang menggabungkan
konsep Kuantum dan Relativitas layak dipertimbangkan untuk memahami sifat-sifat
informasi akuntansi sebagai representasi simbolik reaksi partikel (investor) yang
dideskripsikan dalam konteks kecepatan (momentum) investor ‘bermain’ di bursa
saham.
Tetapi, sekali lagi, apakah mungkin S-Matrix Theory kemudian hanya terpakai secara
parsial dalam Teori Akuntansi Positif, seperti yang terjadi dalam pemakaian asumsi
dasar teoritis ekonomi Neo-Klasik yaitu konsep utility maximization dari Chicago
School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics. Utility maximization
yang hanya dipakai sampai pada taraf kepentingan pemilik modal dan menegasikan
asumsi lanjutan yang bersifat Keseimbangan Pareto? Karena S-Matrix Theory
mensyaratkan empat postulat (prinsip umum) yang membatasi kemungkinan matematis
untuk mengkonstruksi elemen matriks S sehingga memberikan suatu struktur tertentu
pada matriks S.
Prinsip pertama, berasal dari teori relativitas, yaitu bahwa probabilitas-probabillitas
reaksi mesti tak tergantung (Independensi) pada perpindahan peralatan eksperimental
dalam ruang dan waktu, tak bergantung pada orientasinya dalam ruang dan tergantung
pada keadaan gerak dari pengamat. Independensi suatu reaksi partikel terhadap
orientasi dan perpindahannya dalam ruang dan waktu menyiratkan kekelan jumlah total
rotasi, momentum dan energi yang terlibat dalam reaksi. Simetri ini sangat mendasar
bagi aktivitas ilmiah.
Prinsip kedua, berasal dari teori kuantum, bahwa hasil reaksi tertentu hanya dapat
diprediksi dalam konteks probabilitas, dan lebih jauh lagi, jumlah probabilitas untuk
seluruh hasil yang mungkin – termasuk ketika tak terjadi interaksi antar partikel – harus
sama dengan satu. Dengan kata lain, kita bisa memastikan apakah partikel-partikel ini
akan berinteraksi satu sama lain, atau tidak sama sekali. Prinsip ini dinamakan prinsip
uniter yang secara tegas membatasi kemungkinan-kemungkinan untuk menyusun
elemen matriks S.
Prinsip ketiga dan keempat, terkait dengan gagasan tentang sebab akibat (prinsip
kasualitas). Prinsip ini menyatakan bahwa energi dan momentum berpindah melalui
jarak-jarak spasial hanya melalui partikel-partikel, dan perpindahan energi dan
momentum ini terjadi sedemikian sehingga sebuah partikel dapat tercipta dalam suatu
reaksi dan musnah dalam reaksi lainnya hanya jika reakis yang terakhir terjadi setelah
reaksi sebelumnya. Rumusan matematis dari prinsip energi dan momentum dari
partikel-partikel yang terlibat dalam suatu rekasi, kecuali untuk nilai-nilai dimana
penciptaan partikel-partikel yang baru menjadi mungkin. Pada nilai-nilai itu, struktur
matematis dari Matriks S berubah secara tiba-tiba; menjumpai apa yang disebut
matematikawan sebagai singularitas
Ulitity Maximization
Kemudian, berkaitan dengan reduksi positifisme logis atas ekuilibrium dan definisi
utility maximization yang masih dipahami sebagai approximation dalam bentuk
income, cashflow, abnormal return dan lainnya. Watts dan Zimmerman masih tidak
menginginkan adanya bentuk lain dari utility maximization seperti pandangan
filantropis, misalnya distribusi kesejahteraan atau value added. Atau mungkin di luar
utility maximization yang tidak ter’cover’ dalam asumsi dasar economic based
accounting theory. Seperti konsep mandatory-charity atau dalam bahasa budaya asli
kita, shadaqah, infaq dan zakat yang tidak (belum) dipahami dengan utuh dalam konsep
Kapitalisme, Materialisme dan Anthropocentrism (Self-Interest) yang merupakan
substansi dari konsep utility maximization Chicago School, MIT, Harvard ataupun
London School of Economics.
5. CATATAN AKHIR
Benarlah kemudian ketika Suwardjono (2005, 32-34; 482-495) yang meletakkan
pembahasan mengenai PAT sebagai bagian dari Akuntansi dalam Tataran Pragmatik.
Tataran Pragmatik dalam teori komunikasi berkepentingan untuk menentukan apakah
pesan sampai kepada penerima dan mempengaruhi perilaku yang dituju. Teori
akuntansi pragmatik memusatkan perhatiannya pada pengaruh informasi terhadap
perubahan perilaku pemakai informasi akuntansi. Apakah akhirnya pihak pemakai
informasi tersebut untuk dasar pengambilan keputusan merupakan masalah usefulness
informasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya asosiasi antara angka akuntansi atau
peristiwa (event) dengan return, harga atau volume saham di pasar modal
Sebenarnya kontribusi keilmuan akuntansi tidak hanya bersifat pragmatis saja, tetapi
harus selalu dalam bentuk multidimensi dan multi arah. Tidak hanya bersifat linier dan
selalu dependensi satu arah atau beberapa arah yang membentuk parsial utility.
Kontribusi haruslah integrated utility, yang dengan itu maka akuntansi tidak terjebak
pada konteks pragmatis saja dengan ambil teori sana, ambil teori sini.
Akuntansi bukanlah “bangunan mati” yang dapat didirikan oleh batu batu, semen, pasir,
cat yang semuanya berasal dari benda mati. Tetapi bila ingin menjadi ilmu yang kokoh,
seharusnya mengarah menjadi “pohon hidup” keilmuannya sendiri. Struktur keilmuan
akuntansi yang memiliki akar kuat, ke dalam, memiliki batang yang kokoh, cabang
dapat memberikan tempat bagi daun dan buah untuk tumbuh, serta bermanfaat dan bagi
lingkungan serta entitas di luarnya.
Top Related