Posisi Untuk Persalinan Dan Kelahiran
-
Upload
kuurniiaa-praweestii -
Category
Documents
-
view
38 -
download
9
description
Transcript of Posisi Untuk Persalinan Dan Kelahiran
A. Persalinan
1. Pengertian
Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada
kehamilan cukup bulan (37–42 minggu), lahir spontan dengan presentasi
belakang kepala yang berlangsung 18 – 24 jam tanpa komplikasi baik pada
ibu maupun janin (Saifudin, 2002). Mekanisme Persalinan Normal
2. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Proses Persalinan
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi lama persalinan adalah
kekuatan yang mendorong janin keluar (power), faktor janin, faktor jalan
lahir (Mochtar, 1998).
a. Power
Kekuatan his atau kontraksi otot rahim pada akhir kala I atau kala
II mempunyai amplitudo 60 mmHg dengan interval 2–3 menit durasi
60-90 detik. Kekuatan his dan meneran mendorong janin kearah bawah
menimbulkan peregangan yang pasif, sehingga terjadi putaran paksi
dalam dan penurunan kepala, menekan serviks dimana terdapat pleksus
frankenhauser sehingga menimbulkan efek meneran. Kedua kekuatan
menyebabkan kepala crowning dan penipisan jalan lahir sehingga lahirlah
kepala.
b. Passage
Passage atau jalan lahir merupakan komponen yang sangat penting
dalam proses persalinan, terdiri dari jalan lahir keras (tulang) dan
jalan lahir lunak. Jalan lahir keras (tulang) sangat menentukan apakah
persalinan dapat berlangsung normal ataukah membutuhkan tindakan
operatif. Ukuran panggul yang diperhatikan pada primipara adalah
promontorium, panjang konjugata diagonalis, linea inominata, tulang
sakrum konkaf, keadaan arkus pubis, tulang pubis, dan keadaan dasar
panggul. Keadaan abnormal yang menyebabkan persalinan menyimpang
antara lain terdapat tumor, kekuatan serviks, arah dan panjang serviks,
abnormalitas tulang panggul yang menyebabkan deformitas jalan lahir.
3. Tahap–tahap dalam persalinan
Menurut Mochtar (1998) persalinan dibedakan menjadi 4 kala yaitu :
a. Kala I persalinan
Umumnya dikenal sebagai awitan kontraksi uterus yang teratur
sampai dilatasi serviks lengkap dan wanita tersebut mengeluarkan lendir
yang bersemu darah (bloody show) berasal dari lendir kanalis servikalis,
karena serviks mulai membuka (dilatasi), dan mendatar (effacement).
Kala I pada primipara berlangsung kira – kira 13 jam dan pada
multipara berlangsung 8 jam. Kala I dibagi menjadi fase- fase :
1) Fase laten yang berlangsung kira – kira 8 jam sampai pembukaan 3 cm
2) Fase aktif dibagi menjadi 3 fase :
a) Fase akselerasi berlangsung 2 jam dari pembukaan 3 cm menjadi
4 cm
b) Fase dilatasi maksimal berlangsung selama 2 jam
pembukaan berlangsung cepat menjadi 9 cm.
c) Fase deselerasi membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dari
pembukaan 9 cm menjadi pembukaan lengkap.
b. Persalinan Kala II
Kala dua persalinan dimulai dengan dilatasi penuh serviks, dan
sempurna apabila bayi telah dikeluarkan dari uterus secara menyeluruh
(Verrals, 2003). Persalinan kala II ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan dalam untuk memastikan pembukaan sudah lengkap atau
kepala janin sudah tampak di vulva dengan diameter 5 – 6 cm
(Saifudin, 2002). Selama bertahun – tahun batasan waktu kala II yang
ketat diterapkan pada kala II persalinan. Beberapa orang menganjurkan
pengabaian kala persalinan dan lebih memilih suatu proses persalinan
dan kelahiran yang lebih memperhatikan kemajuan persalinan daripada
durasi. (Jones, 2006). Kala II pada primipara 1 ½ sampai 2 jam, pada
multipara ½ sampai 1 jam (Mochtar, 1998).
c. Kala III (Pengeluaran uri)
Setelah bayi lahir , uterus terasa keras dengan fundus setinggi pusat
setelah timbul his, plasenta terlepas dalam waktu 6 – 15 menit dan plasenta
akan terdorong ke dalam vagina dan lahir spontan disertai pengeluaran darah
kira – kira 100 – 200 cc.
d. Kala IV
Kala IV merupakan waktu yang paling kritis bagi ibu bersalin, pada 2
jam pertama persalinan, akan besar kemungkinan terjadi perdarahan. Hal
yang perlu diperhatikan yaitu tekanan darah, nadi, suhu, kontraksi uterus,
keadaan kandung kencing dan perdarahan. Pemantauan dilakukan tiap
15 menit untuk 1 jam pertama dan setiap 30 menit pada jam kedua post
partum.
B. POSISI UNTUK PERSALINAN DAN KELAHIRAN
Ada beberapa macam posisi persalinan yang dapat menjadi pilihan seorang ibu
dalam proses persalinan. Namun, setiap posisi tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangan dalam penerapannya baik untuk si ibu itu sendiri maupun sang bayi. Posisi
- posisi itu diantaranya :
1. Tegak dan bertumpu pada tempat tidur
Terkadang, ibu berharap untuk bersandar di tempat tidur. Dalam kondisi ini
anda harus meninggikan tempat tidur sehingga ibu tidak menegangkan
punggungnya. Posisi ini dan posisi tegak lainnya tidak membahayakan ibu maupun
janin serta tidak menghambat kemajuan persalinan (Gupta & Nikodem, 2000).
2. Posisi miring atau lateral
Ibu yang berada dalam posisi miring selama persalinan mengalami nyeri
yang sedikit dan oksigen yang diberikan ke janin lebih banyak dibandingkan ibu
yang bersalin dalam posisi berbaring datar. Posisi ini meningkatkan pola denyut
jantung janin yang lebih normal, kontraksi uterus yang lebih efektif, kala II
persalinan yang lebih singkat, dan penurunan kebutuhan akan obat nyeri. Posisi
berbaring miring juga dapat membantu memperlambat kemajuan persalinan dan
kelahiran yang berlangsung cepat (Keen et al, 2004).
3. Posisi fowler
Posisi ini adalah posisi semi-tegak dengan kepala tempat tidur dinaikkan 80-90
derajat. Posisi Fowler lebih jarang digunakan selama persalinan dibandingkan posisi
semi-fowler dengan kepala tempat tidur 45 derajat. Variasi posisi tegak ini tampak
meningkatkan kenyamanan ibu dan mengurngi kebutuhan akan analgesik. Ini adalah
pilihan yang aman untuk aktivitas ibu selama kala I persalinan (Souza et al, 2006).
Pagar tempat tidur dapat direndahkan hingga ibu diberikan analgesik. Posisi
nonsupinasi , seperti posisi semi-Fowler, dapat mengurangi jumlah pelahiran
operatif per vagina dan seksio sesaria (Romano & Lothian, 2008).
Ibu yang tidak mendapat epidural dan tetap berada pada posisi tegak selama
kala II persalinan mempunyai pola denyut jantung janin abnormal yang lebih sedikit,
laporan nyeri berat yang lebih sedikit, dan penurunan durasi kala II yang lebih
sedikit. Posisi ini juga mengurangi peluang ibu untuk menjalani episiotomi atau
pelahiran operatif per vagina. Ibu yang mengejan selama mereka berada dalam
posisi tegak berisiko tinggi mengalami robekan perineum derajat dua (Roberts &
Hanson 2007).
Posisi tegak, terutama dengan pergeseran uterus ke sisi kiri atau kanan, dapat
mengurangi durasi persalinan pada ibu yang mendapat epidural. Posisi ini juga
meningkatkan jumlah kelahiran spontan pervagina dan mengurangi insiden
pelahiran operatif per vagina serta seksio sesaria (Roberts, Algert, Cameron, &
Torvaldsen, 2005).
4. Posisi semirekumben dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat.
Selama kala II persalinan, dengan meninggikan kepala tempat tidur 30 derajat
dapat mengurangi kapasitas kandung kemih (Roberts & Hanson, 2007). Oleh sebab
itu, jika posisi ini digunakan, ibu harus mengosongkan kandung kemihnya sebelum
ia memulai mengejan. Posisi semirekumben untuk melahirkan juga berkaitan dengan
tingginya angka episiotomi (Shorten & Donsate, 2002)
5. Posisi berlutut
posisi ini sering kali membantu dalam mengurangi nyeri punggung yang
menetap. Bahkan, dengan kesabaran, ibu yang mendapatkan epidural dapat dibantu
dalam menggunakan posisi ini. Umumnya, posisi ini diterima dengan baik oleh ibu
yang berada dalam fase persalinan dan tidak ada bukt bahaya ketika posisi ini
digunakan. Penggunaan posisi ini dapat membantu dalam merotasi posisi janin ke
posisi oksiput anterior dan mengurangi pelahiran operatif per vagina (Stremler et al,
2005).
6. Posisi jongkok
Posisi jongkok dapat melebarkan diameter panggul sehingga memungkinkan
penurunan bayi (Romano & Lothian, 2008). Posisi ini memerlukan kebugaran dan
stamina otot untuk mempertahankan posisi jongkok yang dalam (Gupta et al , 2004).
Jika ibu tidak mampu menopang berat badna mereka dalam posisi jongkok, mereka
dapat ditopang dengan palang yang dipegang saat jongkok atau dengan bantuan
orang lain. Namun, kelemahan posisi ini dapat menyebabkan keletihan yang lebih
dibandingkan dengan posisi yang lain (Keen et al, 2004). Posisi jongkok juga
berkaitan dengan angka robekan derajat tiga yang paling tinggi (yang memerlukan
jaitan) dan kondisi akhir perineum yang kurang diinginkan (Gupta et al, 2004)
7. Posisi Lutut-dada (knee-chest)
Posisi ini dapat menjauhkan janin dari serviks dan menuju diafragma ibu. Oleh
sebab itu, posisi ini merupakan posisi pilihan ketika tali pusat mengalami prolaps.
Akan tetapi, posisi ini harus dihindari jika terdapat kecurigaan terjadinya ruptur
uterus, terutama pada ibu yang diinduksi dengan prostaglandin setelah sebelumnya
pernah mengalami seksio sesaria. Ibu yang sebelumnya menjalani seksio sesaria dan
yang diinduksi dengan prostaglandin cenderung mengalami ruptur uterus, yang lebih
sering terjadi di tempat jaringan parus sesaria sebelumnya dibandingkan di lokasi
lain (Buhimschi, Patel, Malinow, & Weiner, 2005). Jika ibu tersebut menetapkan
posisi lutut-dada, berat janin dapat memperluas ruptur dan janin dapat keluar dari
uterus.
8. Posisi Trendelenburg
Posisi ini tidak meningkatkan resusitasi vaskular sehingga merupakan
penanganan yang tidak efektif untuk hemoragi (Martin, 1995). Meskipun pada masa
lalu posisi ini digunakan untuk mengatasi hipotensi, syok, atau keduanya., tinjauan
hasil dari riset menemukan bahwa posisi ini hanya meningkatkan status
hemodinamik sesaat dan dapat diikuti oleh pemburukan hemodinamik berikut
gangguan fraksi ejeksi ventrikel kanan. Oleh sebab itu Shammas dan Clark (2007)
menyatakan bahwa posisi Trendelenburg dihindari sebagai penanganan untuk
hipotensi akut atau syok hingga dilakukan riset definitif dengan ukuran sampel yang
lebih besar. Dalam posisi Trendelenburg, posisi kepala lebih rendah dibandingkan
tubuh dan diafragma didorong ke atas menuju wajah ibu. Berat uterus, cairan
amnion, plasenta, dan janin akan mengompresi pembuluh dasar besar ibu dan
selanjutnya akan mengganggu aliran darah serta penghantar oksigen ke uterus. Oleh
sebab itu, posisi ini tidak boleh digunakan sebagai intervensi atau posisi selama
persalinan karena posisi ini berpotensi membahayakan ibu dan bayinya. Terkadang,
posisi ini dapat digunakan ketika janin prematur, ibu tidak berada dalam vase
persalinan, dan ketuban menonkjol ke vagina. Pada kasusu tersebut, kepala ibu
dapatditurunkan sedikit. Motivasi ibu untuk beristirahat dengan berbaring mirin.
Posisi ini, dengan kepala sedikit diturunkan, disebut "posisi Trendelenburg yang
dimodifikasi".
9. Posisi Supinasi
Pada posisi ini berat uterus, cairan amnion, dan plasenta dapat menekan vena
kava dan aorta. Posisi ini berkaitan dengan hipotensi ortostatik pada ibu. Oleh
karena itu, posisi supinasi tidak dianjurkan karena dapat menurunkan aliran darah ke
uterus dan mengurangi penghantaran oksisgen ke janin terlebih dahulu (Souza et al ,
2006). Ketika posisi ibu dirubah untuk merespon pola denyut jantung janin yang
mengkhawatirkan posisi ini harus dihindari (De Jong & Lagro-Janssen, 2004).
Persalinan atau pelahiran yang menggunakan posisi supinasi dapat membuat
pemantauan denyut jantung janin dengan menggunakan media elektronik atau
aukultasi menjadi lebih mudah, namun menimbulkan resiko untuk ibu dan bayinya
(Gupta el, 2004). Kebutuhan pemberian asuhan harus mempertimbangkan
kebutuhan untuk memaksimalkan curah jantung ibu ke uterus dan oksigen janin.
Melahirkan dengna posisi supinasi menyebabkan keluahan lebih banyak dari ibu,
pola denyut jantung janin yang abnormal, pelahiran operativ per vagina yang lebi
tinggi, dan robekan perineum. Akan tetapi, terjani penurunan jumlah darah yang
hilag (Gupa el, 2004).
10. Posisi dorsal rekumben
Posisi dorsal rekumben, seperti posisi supinasi mengurangi aliran darah ke
uterus dan penghantaran oksigen ke janin. Oleh sebab itu, uterus harus dimiringkan
dengan bantal atau handuk ke sisi kanan atau kiri jika ibu akan berada pada posisi
ini. Selama lebih beberapa menit. Akan tetapi posisi ini sering kali menjadi pilihan
ketika mengkaji serviks.
11. Posisi litotomi dorsal
Posisi litotomi dorsal sering kali membantu untuk melahirkan janin dengan
ukuran besar. Motivasi pasien untuk "Mengejan langsung". Posisi ini harus
digunakan mendekati persalinan. Penggunaan posisi ini dalam waktu lama selama
kala II persalinan tidak dianjurkan karena dapat menggangu aliran darah ke uteru dan
penghantaran oksigen ke janin.
12. Perasat Mc Robert untuk mengatasi distorsia bahu atau mengantisipasi bayi
berukuran besar
Pada posisi ini tungkai dipindahkan dari sanggurdi (jika sanggurdi digunakan)
dan difleksikan secara tajam. Manuver Mc Robert merupakan intervensi yang
bermanfaat dan aman setelah distosia bahu terdignosis. (Poggi eta al, 2004).
Umumnya perasat Mc Robert adalah perasat pertama yang dilakukan setelah distosia
bahu teridentifikasi (Gherman et al, 1997). Ibu juga dapat ditempatkan posisi ini
ketika mengantisispasi kelahiran janin yang berukuran besar. Prasarat ini
meningkatkan efisiensi mengejan ibu dan memperkuat tekanan intrauteri (Buhimschi
et al, 2005). Manfaat lainnya dapat mengurangi kekuatan ekstraksi janin dan dapat
meregangkan pleksus brakialis tanpa meningkatkan derajat pemisahan simfisi secara
signifikan (Gherman, Tramont, Muffey, & Godwin, 2000; Piper & Mc Downald,
1994).
Prasarat Mc Donald dapat meningkatkan resioko cedera pada ibu karena
kompresi saraf kutaneus femoralis lateral. Cedera atau tertangkapnya saraf ini juga
dikenal sebagai meralgia parestetika, yang berasal dari istilah Yunani, yaitu, meros
yang artinya "paha" dan algo yang artinya "nyeri". Meralgia parestetika merupakan
sindrom yang dicirikan dengan kebas dan nyeri di paha lateral dan anterolateral.
Umumnya saraf kutaneus femoralis lateral terjadi di ligamen inguinal. Bahkan
abduksi paha yang ekstrem dan rotasi rotasi eksternal juga dapat menyebabkan
cedera saraf femoralis (Wong et al, 2003). Penggunaan prasat McRobert dalam waktu
lama atau secara agresif juga dapat menyebabkan cedera regangan pada ligamentum
pelvik (Gherman et al, 2006). Oleh sebab itu, anda harus sangat berhati - hati ketika
menggunakan parasat ini.
Jika pasien melaporkan rasa terbakar, kesemutan, atau kebas di pahanya, dan
gejala ini meningkat saat ia berdiri, berjalan, atau mengekstensikan pinggulnya, pasien
mungkin mengalami cedera pada saraf kutaneus femoralis lateralnya. Gejala biasanya
dirasakan pada salah satu sisi, namun juga dapat terjadi di kedua sisi. Laporkan tanda-
tanda kemugkinan terjadinya cedera saraf kepada dokter.